• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kritik Sosial dalam Puisi Esai "Manusia Gerobak" karya Elza Peldi Taher dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kritik Sosial dalam Puisi Esai "Manusia Gerobak" karya Elza Peldi Taher dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA"

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SMA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

Oleh:

Naila Mufidah

NIM 109013000054

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

i

Gerobak” karya Elza Peldi Taher dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA”, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dosen Pembimbing: Drs. Jamal D. Rahman, M.Hum.

Penelitian ini memiliki rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana unsur yang membangun puisi esai “Manusia Gerobak?” 2. Bagaimana kritik sosial dalam puisi esai “Manusia Gerobak”? 3. Bagaimana implikasi kritik sosial dalam puisi esai “Manusia Gerobak” terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA? Tujuan dari penelitian ini adalah menjelaskan unsur yang membangun puisi esai “Manusia Gerobak”, menjelaskan kritik sosial dalam puisi esai “Manusia Gerobak”, dan menjelaskan implikasi kritik sosial dalam puisi esai “Manusia Gerobak” terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif untuk mendeskripsikan data berupa unsur-unsur pembangun puisi esai dan kritik sosial yang terkandung dalam puisi esai “Manusia Gerobak” karya Elza Peldi Taher. Teknik penelitian yang digunakan adalah analisis dokumen yaitu puisi esai “Manusia Gerobak” karya Elza Peldi Taher dan studi pustaka untuk mencari dan mengumpulkan literatur yang mendukung penelitian mengenai kritik sosial dalam puisi esai “Manusia Gerobak” karya Elza Peldi Taher dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA.

Hasil penelitian yang diperoleh yakni unsur pembangun puisi esai “Manusia Gerobak” terdiri dari tema, rasa, nada, amanat, diksi, imajeri, gaya bahasa, rima, ritme, dan pusat pengisahan. Kritik sosial yang diperoleh berupa kritik terhadap ketidakpedulian sosial yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, dan para pihak pengonversi lahan pertanian. Dari ketiga sasaran kritik tersebut, pemerintah dipandang sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas terciptanya permasalahan sosial sebagaimana yang ditampilkan dalam puisi esai “Manusia Gerobak” karya Elza Peldi Taher. Kritik sosial yang terdapat dalam puisi esai “Manusia Gerobak” karya Elza Peldi Taher dapat diimplikasikan dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di tingkat SMA kelas X semester 2 dalam aspek berbicara dengan standar kompetensi mengungkapkan pendapat terhadap puisi melalui diskusi dan kompetensi dasar menghubungkan isi puisi dengan realitas alam, sosial budaya, dan masyarakat melalui diskusi.

(6)

ii

by Elza Peldi Taher and Its Implications to Indonesian Language and Literature Learning at High Schools”. Supervisor: Drs. Jamal D. Rahman, M. Hum.

The research of this essay poem has research questions: 1. How about the building elements of essay poem “Manusia Gerobak”? 2. How about social critic of essay poem “Manusia Gerobak?” 3. How about its implications to Indonesian language and literature learning at high school? The purposes of this research to explain the building elements of essay poem “Manusia Gerobak”, to explain social critic of essay poem “Manusia Gerobak”, and to explain about its implication to Indonesian language and literature learning at high school.

This research using qualitative method to describe things consist of the building elements of essay poem and social critic of essay poem “Manusia Gerobak” by Elza Peldi Taher. This technical research using analyting document of essay poem “Manusia Gerobak” by Elza Peldi Taher and library study to collect the supporting literature of this research.

The results of this research are essay poem “Manusia Gerobak” was building of theme, feel, tone, message, diction, imagery, style, sound, rhythm, and point of view. Result of social critic can be explainable from critic for goverment, society, and the conversioner of villages areas. From the three targets of social critic, goverment is the most responsibilities of the social problems message in essay poem “Manusia Gerobak” by Elza Peldi Taher. This social critic is relevant for Indonesian language and literature learning at high school grade X semester 2 based Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) in the sounding aspect with the standard of competence: explain the argument about poem through class discussion, and the base competence: related the message of poems with universal reality, culture, and social through discussion.

(7)

iii

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah

memberikan rezeki dan karunia sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi

berjudul Kritik Sosial dalam Puisi Esai “Manusia Gerobak” karya Elza Peldi

Taher dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA. Selawat serta salam penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW beserta kerabat, keluarga, dan pengikutnya hingga akhir zaman.

Proses penulisan skripsi ini tidak luput dari berbagai hambatan, namun

dapat dilalui berkat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis

mengucapkan terima kasih kepada:

1. Nurlena Rifa’i, M.A., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan

Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;

2. Dra. Mahmudah Fitriyah ZA, M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan

Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta;

3. Dra. Hindun, M.Pd., selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan

Sastra Indonesia Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;

4. Drs. Jamal D. Rahman, M.Hum., selaku dosen pembimbing skripsi

penulis;

5. Rosida Erowati, M.Hum., selaku dosen penguji I skripsi penulis;

6. Novi Diah Haryanti, M.Hum., selaku dosen penguji II skripsi penulis;

7. Seluruh Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah

(8)

iv

proses penulisan skripsi ini;

9. Elza Peldi Taher, penulis puisi esai Manusia Gerobak yang telah memberikan informasi dan dukungan terhadap penulis;

10.Ihda Auliaunnisa, Nurfayerni Hasan, dan Rahma Zul Prihatini Madrais

yang telah menjadi keluarga penulis selama menetap di Ciputat dan

banyak memberikan bantuan kepada penulis; Anti (Siti Hodijah Haeranti),

Aya (Siti Rokayah), Ochi (Rossita Sevtiyani), dan Dio Mohamad

Nurdiansah yang menjadi orang-orang terdekat bagi penulis dalam berbagi

cerita, pengalaman, dan pengetahuan yang berarti selama ini dan selama

penulisan skripsi ini;

11.Berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih atas

partisipasi dalam penyelesaian skripsi ini.

Semoga semua bantuan, bimbingan, ilmu, dan doa yang telah diberikan

mendapat balasan dari Allah SWT. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat

bermanfaat dan memberi sumbangsih bagi penelitian di bidang sastra serta bagi

pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Penulis juga berharap adanya saran dan

kritik membangun terhadap karya tulis ini.

Wassalamualaikum wr.wb.

Jakarta, Maret 2014

(9)

v

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 4

C. Pembatasan Masalah ... 4

D. Rumusan Masalah ... 4

E. Tujuan Penelitian ... 5

F. Manfaat Penelitian ... 5

G. Metodologi Penelitian ... 6

BAB II LANDASAN TEORI ... 9

A. Puisi ... 9

B. Puisi Esai ... 10

C. Unsur-unsur Pembangun Puisi ... 13

D. Pendekatan Mimetik... 20

E. Kritik Sosial ... 22

F. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA... 26

G. Penelitian Yang Relevan ... 28

BAB III PEMBAHASAN PUISI ESAI “MANUSIA GEROBAK” KARYA ELZA PELDI TAHER ... 31

A. Biografi Penulis ... 31

(10)

vi

3. Nada ... 37

4. Amanat ... 38

5. Diksi ... 40

6. Imajeri ... 43

7. Gaya Bahasa ... 48

8. Rima dan Ritme ... 58

9. Pusat Pengisahan ... 62

BAB IV KRITIK SOSIAL DALAM PUISI ESAI “MANUSIA GEROBAK” KARYA ELZA PELDI TAHER DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA ... 65

A. Kritik Sosial dalam Puisi Esai “Manusia Gerobak” karya Elza Peldi Taher ... 66

1. Kritik terhadap Pemerintah ... 66

2. Kritik terhadap Masyarakat ... 75

3. Kritik terhadap Pengonversi Lahan Pertanian... 79

B. Implikasi Kritik Sosial dalam Puisi Esai “Manusia Gerobak” terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA ... 82

BAB V PENUTUP ... 84

A. Simpulan ... 84

B. Saran ... 86

(11)

vii

Lampiran 3: Hasil Wawancara Peneliti dengan Elza Peldi Taher

[image:11.595.117.493.217.597.2]
(12)

1

A.

Latar Belakang Masalah

Sastra sebagai bentuk karya seni tulis yang indah terdiri dari tiga genre

yakni puisi, prosa, dan drama. Tiap genre tersebut memiliki kekhasan tersendiri

yang membuat ketiganya memiliki perbedaan yang signifikan. Prosa misalnya,

memiliki ciri khas adanya bentuk penarasian peristiwa dengan ragam-ragam

instrinsik yang membangunnya seperti penokohan, alur, dan sebagainya. Ada pula

genre puisi yang memiliki kekhasan lain, yakni struktur kata yang digunakan

cenderung padat namun menghasilkan nilai estetika dengan makna yang

mendalam. Terakhir, genre drama yang memiliki ciri khas adanya penaskahan

berupa dialog dan penanda gerak serta berkaitan pula dengan seni pertunjukkan

apabila dipentaskan.

Ketiga genre tersebut tentunya mengalami perkembangan. Perkembangan

puisi misalnya, dapat diamati dengan hadirnya perubahan dari puisi lama menuju

puisi baru. Hal ini bisa dilihat pada perkembangan syair, gurindam, soneta,

maupun puisi baru—yang pada kenyataannya masih belum membebaskan diri

dari nuansa puisi lama. Perkembangan yang bisa dilihat dari puisi-puisi karya

Chairil Anwar misalnya, mendobrak kebaruan puisi Indonesia yang sebelumnya

sarat dengan aturan-aturan mengikat yang ditandai dengan penggunaan rima

teratur, sedangkan apa yang diciptakan oleh Chairil pada saat itu, berusaha

membebaskan kata dari keterikatan bentuk.

Setelah era puisi baru di awal abad 20-an, berkembang berbagai subgenre

puisi di Indonesia seperti puisi pamflet maupun balada oleh WS Rendra, puisi

mantra oleh Sutardji Colzoum Bachri, serta ragam puisi naratif lainnya. Selain itu,

beberapa waktu ke belakang muncul sebuah penamaan baru pada jenis puisi di

Indonesia yakni puisi esai. Puisi esai ini disebut oleh pencetusnya, Denny JA,

(13)

penyebutannya terhadap aspek kognitif tersebut ditandai dengan adanya catatan

kaki. Aspek estetik tentu berhubungan dengan karaketeristik yang ada dalam

sebuah puisi, sedangkan dalam puisi esai diwajibkan adanya penambahan catatan

kaki. Penempatan catatan kaki sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam

perpuisian Indonesia. Beberapa penyair di Indonesia pernah menghadirkan atau

memanfaatkan catatan kaki dalam puisi yang mereka ciptakan. Catatan kaki pada

puisi esai sengaja ditulis sebagai penjelas realitas kehidupan atau fakta sosial yang

terkait dengan kisah dalam puisi esai tersebut. Realitas yang dihadirkan lewat

catatan kaki itulah yang dimaksud dengan aspek kognitif oleh Denny JA. Kedua

aspek tersebut diakuinya sebagai dua hal penting dalam puisi esai. Tidak ada satu

yang mendominasi atau yang memiliki nilai lebih.

Tujuan dari puisi esai yakni menyampaikan gagasan ataupun tanggapan

terhadap fakta sosial yang terjadi di dalam kehidupan. Salah satu gagasan yang

dihadirkan lewat puisi esai yakni kritik sosial. Kritik sosial tersebut misalnya

ditujukan terhadap permasalahan sosial yang ada seperti ketidakadilan,

penindasan, dan lain sebagainya yang benar-benar terjadi di tengah kehidupan

kita.

Salah satu puisi esai yang hadir setelah puisi esai karya Denny JA berjudul

Atas Nama Cinta adalah puisi esai berjudul “Manusia Gerobak” karya Elza Peldi

Taher. Puisi esai tersebut merupakan salah satu puisi esai karya Elza Peldi Taher

yang dibukukan dengan judul buku yang sama yakni Manusia Gerobak. Kumpulan puisi esai Manusia Gerobak terdiri dari lima buah puisi esai. Kelima puisi esai tersebut masing-masing berjudul “Manusia Gerobak”, “Asih Bakar Diri”, “Catatan Harian Ivon”, “Toga Hakim dan Kotak Amal”, serta “Zaka dan Tato Gajah”.

Puisi esai “Manusia Gerobak” menggambarkan fenomena sosial di Indonesia yang didominasi oleh sikap marjinalisasi dan ketidakadilan sebagian

pihak terhadap rakyat miskin. Ketidakadilan tersebut terjadi di berbagai wilayah,

baik pedesaan maupun perkotaan. Dengan pelataran baik tempat, suasana,

(14)

pemerintah semakin dipertanyakan dan rasa ketidakpedulian sosial pada

kenyataannya semakin tinggi.

Elza Peldi Taher berusaha mengangkat kisah nyata yang menjadi cerminan

dari kondisi masyarakat pinggiran. Sebutan manusia gerobak yang dipakai

olehnya ditujukan pada para tunawisma yang tetap berjuang untuk bertahan hidup

dengan bermodalkan gerobak. Fenomena manusia gerobak ini dapat ditemukan di

kota-kota besar dengan tingkat ketimpangan sosial yang tinggi. Elza Peldi Taher

ingin menyampaikan kritisisasinya terhadap beberapa pihak melalui satu tragedi yang menimpa tokoh dalam puisi esainya ini. Puisi esai “Manusia Gerobak” menyampaikan kritik sosial dengan tambahan informasi yang bisa diperoleh

pembaca lewat catatan kaki yang ditulisnya. Catatan kaki tersebut memberikan

manfaat lain, yakni kesadaran bahwa puisi esai yang diciptakannya tidak hanya

sekadar karya semata, tetapi juga gambaran mengenai kenyataan yang

benar-benar terjadi di tengah kehidupan kita.

Kemunculan puisi esai yang masih terbilang baru membuat jumlah

penelitian terhadap karya-karya berjenis puisi esai belum terlampau banyak.

Beberapa penelitian terhadap puisi esai muncul dalam artikel-artikel di media

massa baik elektronik maupun cetak. Penelitian berupa skripsi dapat menjadi

sumbangsih karya tulis ilmiah dalam mengkaji puisi esai.

Oleh karena itu, akan sangat menarik apabila diadakan penelitian lebih

mendalam terhadap kritik-kritik sosial yang ingin disampaikan lewat puisi esai “Manusia Gerobak”. Tentu saja pengkajian terhadap kritik-kritik sosial ini dilakukan setelah memahami terlebih dahulu unsur-unsur yang membangun puisi esai “Manusia Gerobak”, sehingga bukan hanya pesan kritik sosial yang bisa diperoleh, melainkan juga menambah pemahaman terhadap apa, bagaimana, dan

tujuan apa yang dimaksudkan dalam puisi esai “Manusia Gerobak”.

Puisi esai dengan pesan-pesan fakta sosialnya seperti kritik sosial tentunya

akan membuka kesadaran bahwa permasalahan sosial yang banyak muncul di

negeri ini perlu mendapat perhatian lebih dan juga tindakan nyata dalam

menanganinya. Tindakan nyata untuk perubahan yang lebih baik tersebut tentunya

(15)

putra-putri bangsa sejak dini, salah satunya lewat jalur pendidikan. Maka dari itu,

pengkajian terhadap kritik sosial akan memberi sumbangsih penting terhadap

pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia dengan menggambarkan realitas

kehidupan sebagai pengalaman yang bisa ditemui sehari-hari. Para pendidik bisa

memberikan warna baru untuk mengembangkan kreativitas pengajaran dalam

memaknai hidup melalui sastra.

Pesan kritik sosial dalam puisi esai “Manusia Gerobak” dapat menjadi salah satu pilihan bagi siswa untuk mengembangkan pemikiran kritis mereka.

Pembelajaran yang dapat mengembangkan pemikiran kritis tentu mampu

membentuk karakter-karakter unggul pada diri siswa di antaranya sikap toleransi,

peduli, komunikatif, kreatif, dan sebagainya. Hal ini sejalan dengan tujuan

pendidikan di Indonesia yang selalu berusaha dikembangkan agar lebih baik.

B.

Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang peneliti paparkan sebelumnya,

maka identifikasi masalah penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Kurangnya pemahaman terhadap puisi esai.

2. Kurangnya penelitian karya ilmiah terhadap puisi esai.

3. Kurangnya penelitian kritik sosial yang terkandung dalam puisi esai

serta pengimplikasiannya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra

Indonesia di SMA.

C.

Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah peneliti, maka penelitian ini dibatasi pada pengkajian terhadap kritik sosial dalam puisi esai “Manusia Gerobak” dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA.

D.

Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah peneliti, maka dapat dirumuskan

(16)

1. Bagaimana unsur-unsur yang membangun puisi esai “Manusia Gerobak”?

2. Bagaimana kritik sosial dalam puisi esai “Manusia Gerobak”?

3. Bagaimana implikasi kritik sosial dalam puisi esai “Manusia Gerobak”

terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA?

E.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah peneliti, maka tujuan yang ingin dicapai

dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menjelaskan unsur yang membangun puisi esai “Manusia Gerobak”.

2. Menjelaskan kritik sosial dalam puisi esai “Manusia Gerobak”.

3. Menjelaskan implikasi kritik sosial dalam puisi esai “Manusia Gerobak”

terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA.

F.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara

teoretis maupun praktis.

1. Manfaat teoretis dimaksudkan bahwa hasil penelitian dapat dijadikan

sebagai pengembangan di bidang sastra dalam mengkaji kritik sosial.

Selain itu, diharapkan dapat memberikan sumbangsih penelitian ilmiah

terhadap kehadiran puisi esai.

2. Manfaat praktis dimaksudkan bahwa hasil penelitian dapat dijadikan

sebagai pengembangan ilmu bahasa dan sastra Indonesia di bidang

pendidikan baik bagi para pendidik dan mahasiswa kependidikan. Hal

tersebut dapat dilihat dari implikasi penelitian ini terhadap pembelajaran

(17)

G.

Metodologi Penelitian

1. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipakai oleh peneliti adalah metode kualitatif.

Metode kualitatif dilakukan dengan cara memanfaatkan cara-cara penafsiran

dengan menyajikannya dalam bentuk deskripsi.1 Tujuan dari penelitian kualitatif

ini adalah untuk menyajikan penafsiran secara sistematis, faktual, dan akurat

mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antarfenomena yang diselidiki.

Istilah penelitian kualitatif menurut Kirk dan Miller pada mulanya bersumber pada pengamatan kualitatif yang dipertentangkan dengan pengamatan kuantitatif. Pengamatan kuantitatif melibatkan pengukuran tingkatan suatu ciri tertentu. Untuk menemukan sesuatu dalam pengamatan, pengamat harus mengetahui apa yang menjadi ciri sesuatu itu. Untuk itu pengamat mulai mencatat atau menghitung dari satu, dua, tiga, dan seterusnya. Dengan kata lain, penelitian kuantitatif melibatkan diri pada perhitungan angka atau kuantitas.

Di pihak lain, kualitas menunjuk segi alamiah yang dipertentangkan dengan kuantum atau jumlah tersebut. Atas dasar pertimbangan itulah maka penelitian kualitatif tampaknya diartikan sebagai penelitian yang tidak mengadakan perhitungan. Secara lebih jelas, penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung dari pengamatan pada manusia baik dalam kawasannya maupun dalam peristilahannya.2

Dari kajian tentang definisi penelitian kualitatif tersebut, dapat

disimpulkan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk

memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh objek penelitian, misalnya

perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara utuh dengan cara

pendeskripsian dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus

yang alamiah dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.3

2. Sumber Data

Sumber data untuk penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah puisi esai berjudul “Manusia Gerobak” yang menjadi salah satu puisi dalam buku

1

Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S.U., Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), Cet. 3, h. 46.

2

Prof. Dr. Lexy J. Moleong, M.A, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Rosda Karya, 2011), Cet. 29, h.3.

3

(18)

kumpulan puisi esai dengan judul yang sama. Buku kumpulan puisi esai berjudul

Manusia Gerobak ini merupakan karya Elza Peldi Taher yang diterbitkan pada Januari 2013 oleh PT Jurnal Sajak, Depok, Indonesia.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti adalah:

1. Teknik inventarisasi

Dalam teknik ini peneliti mengumpulkan beberapa judul puisi esai.

2. Teknik baca simak

Dalam teknik ini peneliti membaca, menelaah, memahami puisi-puisi

tersebut, dan mengidentifikasikan pesan dari setiap puisi tersebut.

3. Teknik pencatatan

Dalam teknik ini peneliti mencatat hal-hal penting yang mendukung

pesan dari setiap puisi tersebut dan menentukan satu pesan yang diteliti

dalam puisi esai yang terpilih, yakni kritik sosial dalam puisi esai “Manusia Gerobak”karya Elza Peldi Taher.

4. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang dilakukan peneliti adalah:

1. Data dibaca

Peneliti melakukan pembacaan teks sastra secara terus menerus dan

bolak balik dari awal hingga akhir hingga memahami isi puisi esai dalam puisi esai “Manusia Gerobak” karya Elza Peldi Taher.

2. Data ditandai

Setelah melakukan pembacaan, peneliti menandai hal-hal yang

berhubungan langsung dengan penelitian yang dipilih, yakni mengenai

(19)

3. Data dikelompokkan

Setelah melakukan penandaan, peneliti mengelompokkan data

berdasarkan unsur pembangun puisi esai dan kritik sosial dalam puisi esai “Manusia Gerobak” karya Elza Peldi Taher.

4. Data dianalisis

Setelah melakukan pengelompokkan, peneliti menganalisis data terkait kritik sosial yang terkandung dalam puisi esai “Manusia Gerobak” karya Elza Peldi Taher. Setelah menganalisis kritik sosial tersebut,

peneliti menjabarkan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan

sastra Indonesia di SMA.

5. Penyajian

Setelah data dianalisis, peneliti menyajikan uraian mengenai unsur

pembangun puisi esai dan kritik sosial dalam puisi esai “Manusia Gerobak” karya Elza Peldi Taher dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra di SMA.

6. Data disimpulkan

Setelah melakukan penyajian, peneliti menyimpulkan hasil penelitian

(20)

9

Pemaparan mengenai landasan teori yang menjadi fondasi dalam

menganalisis penelitian tentu amat diperlukan. Landasan teori berguna agar

penelitian tetap berada pada jalur sistematika ilmiah dan terhindar dari kekeliruan

dalam pembuatan karya ilmiah. Maka dari itu, sangat penting untuk memaparkan

terlebih dahulu teori-teori yang menjadi landasan sebelum isi penelitian disajikan.

Teori-teori yang menjadi landasan dalam penelitian terhadap kumpulan puisi esai “Manusia Gerobak”ini dapat dipaparkan sebagai berikut.

A.

Puisi

Sebagai salah satu genre sastra, puisi merupakan suatu karya yang

memiliki nilai estetika yang tinggi. Melalui puisi, ekspresi pengalaman batin

(jiwa) penyair mengenai kehidupan manusia, alam, dan Tuhan sang pencipta

disampaikan dengan media bahasa yang estetik secara padat dan utuh.1 Meskipun

bermain dengan kata, puisi tetaplah berbeda dengan prosa, sebagaimana

penjelasan berikut ini, poetry squeezes meaning into a small number of words and lines, while prose is often longer and looser.2 Dari pernyataan tersebut, dapat dijelaskan bahwa puisi merupakan bangunan kata-kata yang padat. Hal tersebut

tentu saja berbeda dengan prosa yang memanfaatkan banyak kata dalam

penarasiannya.

Secara etimologi, istilah puisi berasal dari bahasa Yunani poeima

‗membuat’ atau poeisis‗pembuatan’, dan dalam bahasa Inggris disebut poem atau

poetry. Puisi diartikan ‗membuat’ dan ‗pembuatan’ karena lewat puisi pada

dasarnya seseorang telah menciptakan suatu dunia tersendiri, yang mungkin berisi

1

Widjojoko dan Endang Hidayat, Teori dan Sejarah Sastra, (Bandung: UPI Press, 2006), h. 51.

2

(21)

pesan atau gambaran suasana-suasana tertentu, baik fisik maupun batiniah.3

Sedangkan dalam Kamus Istilah Sastra, puisi diartikan sebagai (1) ragam sastra yang bahasanya terikat oleh rima dan tata puitika yang lain; (2) gubahan dalam

bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam

kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat

penataan bunyi, irama, dan makna khusus; (3) sajak.4

Teori lain mengenai puisi yakni teori yang dipaparkan oleh Hudson

sebagaimana berikut ini.

...puisi adalah salah satu cabang sastra yang menggunakan kata-kata sebagai media penyampaian untuk membuahkan ilusi dan imajinasi, seperti halnya lukisan yang menggunakan garis dan warna dalam menggambarkan gagasan pelukisnya.5

Selain itu, Slamet Mulyana menyebutkan bahwa puisi adalah,

...sintesis dari berbagai peristiwa bahasa yang tersaring semurni-murninya dan berbagai proses jiwa yang mencari hakikat pengalamannya, tersusun dengan sistem korespondensi dalam salah satu bentuk.6

Waluyo mengemukakan pendapatnya mengenai puisi sebagai berikut.

...bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengonsentrasikan struktur fisik dan struktur batinnya.7

Dari beberapa penjelasan diatas, disimpulkan bahwa puisi merupakan

susunan kata-kata pilihan yang tajam dan murni sehingga tercipta padanan kata

yang padat serta indah sebagai gambaran dari perasaan yang kuat dan bersifat

imajinatif bahkan mewakili pengalaman kehidupan.

B.

Puisi Esai

Denny JA yang tampil dengan karyanya Atas Nama Cinta, memperkenalkan puisi esai sebagaimana yang diakuinya sebagai medium yang

tak lazim dari ekspresi kisah yang berangkat dari fakta sosial. Ia bukan esai dalam

format biasa, seperti kolom, editorial, atau paper ilmiah. Namun, ia bukan juga

3

Drs. Aminuddin, M.Pd., Pengantar Apresiasi Sastra, (Yogyakarta: Sinar Baru, 1987), h. 134.

4

Abd. Zaidan dkk, Kamus Istilah Sastra, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), Cet. 3, h. 160. 5

Aminuddin, op. cit., h. 134. 6

Atar Semi, Anatomi Sastra, (Padang: Angkasa Raya, 1988), h. 93. 7

(22)

puisi panjang atau prosa liris.8 Denny JA menjelaskan bahwa puisi esai bukan

puisi yang lazim karena terdapat catatan kaki mengenai data dan fakta di sana dan

di sini, serta panjang dan berbabak. Ia juga bukan esai yang lazim karena

dituliskan dengan larik, puitik, dan lebih mengeksplor sisi batin.9

Penjelasan lebih lanjut mengenai puisi esai oleh Denny JA adalah sebagai

berikut. Pertama, puisi esai mengeksplor sisi batin individu yang sedang berada dalam sebuah konflik sosial. Jika Budi jatuh cinta kepada Ani, itu saja belum

cukup untuk menjadi sebuah puisi esai. Topik itu hanya menjadi puisi esai, jika

kondisinya diubah menjadi: Budi jatuh kepada Ani, tapi mereka berbeda agama,

atau berbeda kasta, atau berbeda kelas sosialnya sehingga menimbulkan satu

problema dalam komunitas tertentu. Ayah dan anak yang saling bertengkar saja

tak cukup untuk menjadi bahan sebuah puisi esai. Untuk menjadi puisi esai, kasus

ayah dan anak itu harus masuk dalam sebuah setting sosial. Misalnya sang ayah pembela Orde Baru, sementara anaknya pembela Orde Reformasi. Mereka saling

menyayangi namun harus berhadapan frontal karena memilih jalan politik yang

saling bertentangan.10

Kedua, puisi esai menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Semua perangkat bahasa seperti metafor, analogi, dan sebagainya justru bagus untuk

dipilih. Namun, diupayakan anak SMA sekalipun cepat memahami pesan yang

hendak disampaikan puisi. Puisi Chairil Anwar atau Rendra dapat dijadikan

referensi dalam berbahasa. Puisi juga adalah medium komunikasi. Prinsip puisi

esai, semakin sulit puisi itu dipahami publik luas, semakin buruk puisi itu sebagai

medium komunikasi penyair dan dunia di luarnya. Jika kisah itu ditulis dalam bahasa yang sulit, walaupun dengan atas nama “pencapaian estetik bahasa”, ia melawan spirit puisi esai. Sejak awal puisi esai justru ingin mengembalikan puisi

agar mudah dipahami publik luas. Pencapaian estetik tidak harus dengan bahasa

8

Denny Januar Ali, Atas Nama Cinta, (Jakarta: Renebook, Cet-1, 2012), h. 11. 9

Ibid, h. 12. 10

(23)

yang sulit. Jika bahasanya sulit dipahami itu bukan pencapaian estetik tapi

ketidakmampuan penyair berkomunikasi dengan baik.11

Ketiga, puisi esai adalah fiksi. Boleh saja puisi esai itu memotret tokoh riel yang hidup dalam sejarah. Namun realitas itu diperkaya dengan aneka tokoh fiktif

dan dramatisasi. Yang dipentingkan oleh puisi esai adalah renungan dan

kandungan moral yang disampaikan lewat sebuah kisah, bukan semata potret

akurat sebuah sejarah. Puisi esai memang bukan biografi atau potongan sejarah

objektif.12

Keempat, puisi esai tidak hanya lahir dari imajinasi penyair tapi hasil riset minimal realitas sosial. Ia merespon isu sosial yang sedang bergetar di sebuah

komunitas, apapun itu. Isu sosial yang direkam bisa soal diskriminasi,

pembaharuan agama, kemiskinan, huru hara, dan seribu isu lainnya. Walau puisi

esai itu fiksi, tapi ia diletakan dalam setting sosial yang benar. Catatan kaki menjadi sentral dalam puisi esai. Catatan kaki itu menunjukkan bahwa fiksi ini

berangkat dari fakta sosial. Jika pembaca ingin tahu lebih detail soal fakta sosial

itu bisa mengeksplor lebih detail melalui catatan kaki. Fungsi catatan kaki tidak

sekedar asesori atau gaya saja, tapi bagian sentral puisi esai. Sejak awal puisi esai

ini memang menggabungkan fiksi dan fakta. Unsur fakta dalam puisi esai itu

diwakili oleh catatan kaki tersebut.13

Kelima, puisi esai berbabak dan panjang. Pada dasarnya puisi esai itu adalah drama atau cerpen yang dipuisikan. Dalam sebuah puisi esai, selayaknya

tergambar dinamika karakter pelaku utama atau perubahan sebuah realitas

sosial.14 Jika dikuantifikasi, puisi esai ini harus diwujudkan minimal dengan

tulisan 10.000 karakter.15 Namun tentu saja kelima kriteria itu bukanlah sejenis

hukum agama yang berdosa jika seseorang membuat sebuah puisi esai. Ketika

11Denny Januar Ali. “Puisi Esai: Apa dan Mengapa?” dalam Acep Zamzam Noor (ed), Puisi Esai: Kemungkinan Baru Puisi Indonesia (Depok: Jurnal Sajak, 2013), h. 40.

12

Ibid, h. 41. 13

Ibid, h. 41. 14

Ibid, h. 42. 15

(24)

sebuah “movement” dan genre ingin dikemas, tak terhindari harus ada garis batas yang memisahkan “what is” dengan “what is not”. Kelima kriteria itu adalah

what is”.16 Puisi esai hanya satu variasi saja dari aneka bentuk puisi yang sudah ada dan yang akan ada. Ia tidak diklaim lebih superior atau inferior. Ia juga tidak

dimaksudkan untuk mendominasi apalagi menyeragamkannya.17 Dari penjelasan

Denny JA tersebut, disimpulkan bahwa puisi esai adalah bentuk pengekspresian

suatu kisah fiksi yang bersumber dari realitas sosial yang disusun secara

komunikatif, panjang, berbabak, serta memiliki catatan kaki sebagai penjelas

realitas sosial.

C.

Unsur-unsur Pembangun Puisi

Bangun struktur puisi menurut Aminuddin adalah unsur pembentuk puisi

yang dapat diamati secara visual. Unsur tersebut meliputi (1) bunyi, (2) kata, (3)

larik atau baris, (4) bait, dan (5) tipografi. Bangun struktur disebut sebagai salah

satu unsur yang dapat diamati secara visual karena dalam puisi juga terdapat

unsur-unsur yang hanya dapat ditangkap lewat kepekaan batin dan daya kritis

pikiran pembaca. Unsur tersebut pada dasarnya merupakan unsur yang

tersembunyi di balik apa yang diamati secara visual. Unsur yang tersembunyi di

balik bangun struktur disebut dengan istilah lapis makna.18 Lapis makna yang

disebut oleh Aminuddin tersebut berorientasi pada pembagian lapis makna dari

I.A. Richards, dengan pertimbangan bahwa pengidentifiksian pembagian lapis

makna menurut I.A. Richards tersebut lebih mudah.19 Paparan lebih lanjut tentang

pembagian lapis makna menurut I.A. Richards itu adalah sense, subject matter, feeling, tone, totalitas makna, dan tema.20

Pendapat lain mengenai unsur pembangun puisi yakni sebagaimana yang

disampaikan oleh Marjorie Boulton berikut ini.

...tidak mungkin untuk membedakan bentuk fisik dengan bentuk mental secara komplit karena kedua bentuk itu berinterrelasi satu dengan yang lain. Bentuk fisik puisi mencakup penampilannya di atas kertas

16

Ibid, h. 43. 17

Ibid, h. 43. 18

Aminuddin, op. cit., h. 136. 19

Aminuddin, op.cit., h. 150. 20

(25)

dalam bentuk nada dan larik puisi: termasuk ke dalamnya irama, sajak, intonasi, pengulangan, dan perangkat kebahasaan lainnya. Bentul mental terdiri dari tema, urutan logis, pola asosiasi, satuan arti yang dilambangkan, dan pola-pola citra dan emosi.21 Bentuk fisik dan mental sebuah puisi pada dasarnya dapat pula dilihat sebagai satu kesatuan yang terdiri dari tiga lapisan. Pertama, lapisan bunyi, yakni lapisan lambang-lambang bahasa sastra. Lapisan pertama inilah yang kita sebut sebagai bentuk fisik puisi. Kedua, lapisan arti, yakni sejumlah arti yang dilambangkan. Ketiga, lapisan tema, yakni suatu “dunia” pengucapan

karya sastra, sesuatu yang menjadi tujuan penyair, atau suatu efek tertentu yang didambakan penyair. Lapisan arti dan tema inilah yang dapat dianggap sebagai bentuk mental sebuah puisi.22

Menurut Widjojoko dan Endang Hidayat, puisi sebagai salah satu karya

kreatif yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, mempunyai unsur-unsur yang

dapat ditelusuri. Unsur yang tergolong unsur intrinsik puisi itu adalah: (1) tema,

(2) rasa, (3) nada, (4) amanat, (5) diksi, (6) imajeri, (7) pusat pengisahan, (8) gaya

bahasa, (9) ritme, dan (10) rima.23

Menurut Siswanto, unsur pembangun puisi terdiri dari bentuk struktur fisik

puisi dan struktur batin puisi. Bentuk dan struktur fisik puisi sering disebut

metode puisi. Bentuk dan struktur fisik puisi mencakup (1) perwajahan puisi (tipografi), (2) diksi, (3) pengimajian, (4) kata konkret, (5) majas atau bahasa

figuratif, dan versifikasi (rima, ritme, dan metrum).24 Terkait dengan struktur

batin puisi, Siswanto seperti halnya Aminuddin memaparkan teori yang

dikemukakan oleh I. A. Richards.

...struktur batin puisi terdiri atas empat unsur: (1) tema; makna (sense), (2) rasa (feeling), (3) nada (tone), dan (4) amanat; tujuan; maksud (intention).25

Dari beberapa teori yang dibangun untuk menentukan unsur-unsur

pembangun sebuah puisi, terdapat penjelasan dari Widjojoko dan Endang Hidayat

mengenai sepuluh unsur pembangun puisi yakni tema, rasa, nada, amanat, diksi,

imajeri, pusat pengisahan, gaya bahasa, ritme, dan rima. Adanya pusat pengisahan

sebagai salah satu unsur pembangun puisi tersebut dapat mempermudah penelitian

21

Semi, op. cit., h. 107. 22

Semi, op. cit., h. 108. 23

Widjojoko, op. cit., h. 61. 24

Siswanto, op. cit., h. 113. 25

(26)

terhadap unsur pembangun puisi esai, sehingga penjelasan Widjojoko dan Endang

Hidayat tersebut dapat dijadikan sebagai landasan teori dalam penelitian ini.

Penjelasan lebih mendalam mengenai kesepuluh unsur tersebut dapat

dipaparkan sebagai berikut.

1) Tema

Tema adalah ide atau gagasan yang menduduki tempat utama di dalam

cerita. Penyair mengemukakan pokok persoalan di dalam puisinya. Pokok

persoalan itu mungkin disampaikan secara langsung mungkin juga secara

tidak langsung. Tema atau pokok persoalan hanya terdapat pada satu puisi.

jadi tidak bisa ada satu puisi mengandung dua tema betapa pun

panjangnya puisi tersebut.26

2) Rasa

Rasa disebut juga arti emosional. Dalam menghadapi suatu persoalan,

seorang penyair selain tersentuh secara rasional ia tersentuh dan terlibat

secara emosional. Ketika ia melihat suatu obyek, ia bisa saja merasa sedih

atau merasa heran. Makna emosional seperti itulah yang disebut dengan

rasa.27

3) Nada

Nada dalam puisi dapat ditangkap dari sikap penyair lewat intonasi puisi

tersebut. Penyair dapat terlihat menggurui, mencaci, merayu, merengek,

menyindir, mengajak, dan sebagainya terhadap pembaca atau

pendengarnya.28

4) Amanat

Amanat merupakan pesan-pesan yang ingin disampaikan pengarang

kepada pembaca, pendengar, atau penonton. Di dalam satu puisi bisa

terdapat beberapa amanat. Amanat ada yang diungkapkan secara langsung

ada juga yang terselubung. Melalui amanat inilah, penyair menyampaikan

sesuatu kepada pembaca. Mungkin ia mengharapkan pembaca marah,

benci, menyenangi sesuatu atau berontak dan berbuat sesuatu. Barangkali

26

Widjojoko, op.cit., h. 61. 27

Widjojoko, op.cit., h. 61. 28

(27)

juga penyair mengharapkan kita merenung dan menjadi bijak setelah

membaca puisi. itulah yang disebut amanat yang kadang-kadang juga

disebut pemecahan persoalan yang dikemukakan dalam tema.29

5) Diksi (Pilihan Kata)

Diksi atau pilihan kata di dalam puisi merupakan hal yang penting karena

keberhasilan puisi dicapai dengan mengintensifkan pilihan kata.

Puisi-puisi modern mencari kekuatan pada diksi yang tepat karena makna dan

keindahan puisi dibangun oleh seni kata. Seni kata merupakan pengalaman

batin atau jiwa ke dalam kata-kata yang indah. Setiap kata yang digunakan

dalam cipta sastra mengandung napas penciptanya, berisi jiwa dan

perasaan pikiran penyairnya. Kata merupakan unsur integral dan esensial

dalam puisi. Penggunaan kata-kata yang tepat oleh penyair akan

menunjukkan kemampuan intelektualnya dalam melukiskan sesuatu.30 Contoh diksi dapat dilihat dalam puisi esai “Toga Hakim dan Kotak Amal” karya Elza Peldi Taher seperti berikut ini.

Kakek telah berpindah tinggal

Jauh dari rumah majikannya yang pengusaha permata Bahkan, melintas batas kota

Menikmati hari tua

Bercengkerama bersama anak-cucu31

Diksi ‗batas’ menunjukkan wilayah paling luar dari sebuah kota. Diksi ‗batas’ yang diawali dengan kata ‗melintas’ menunjukkan tokoh ‗kakek’ berpindah ke luar kota.

6) Imajeri

Imajeri atau daya bayang ialah suatu kata atau kelompok kata yang

digunakan utnuk mengungkapkan kembali kesan-kesan pancaindra dalam

jiwa kita. Berdasarkan indra yang dikenai rangsang, maka imajeri dapat

dikelompokkan menjadi imajeri pandang, imajeri dengar, dan imajeri

kecap.32

29

Widjojoko, op.cit., h. 61. 30

Widjojoko, op.cit., h. 61. 31

Elza Peldi Taher, Manusia Gerobak, (Depok: Jurnal Sajak, 2013), h. 125. 32

(28)

Contoh imajeri yang berasal dari kesan pancaindra tersebut dapat dilihat pada puisi esai “Zaka dan Tato Gajah” karya Elza Peldi Taher dengan penjabaran seperti berikut ini.

a. Imajeri pandang:

Tiba-tiba mata Zaka membelalak33

b. Imajeri dengar:

Hanya ada nyinyir dan cibir34

7) Pusat Pengisahan

Pusat pengisahan atau titik pandang (point of view) yaitu cara penyampaian cerita, ide, gagasan, atau kisahan cerita. Puisi yang

mencakup siapa yang berbicara dan kepada siapa ditujukan (ia

berbicara).35

Contoh penggunaan sudut pandang dapat ditunjukkan dalam puisi esai “Toga Hakim dan Kotak Amal” karya Elza Peldi Taher berikut ini.

Lega hatiku

Kembali ke rumah mungil Di kaki bukit Ciragil

Dalam kehangatan anak-istri Tiada bara kayu bakar Tiada darah hitam pekat.36

Bait tersebut menunjukkan penggunaan sudut pandang orang pertama

(aku) sebagai pelaku utama dalam cerita dan kisahan berpusat pada tokoh ‗aku’ tersebut.

8) Gaya Bahasa

Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara

khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis atau pemakai

bahasa. Gaya bahasa digunakan oleh penyair untuk mencapai efek tertentu

misalnya mengintensifkan makna. Gaya bahasa umpamanya repetisi,

33

Taher, op. cit., h. 140. 34

Taher, op. cit., h. 139. 35

Widjojoko, op.cit., h. 62. 36

(29)

pararelisme, perumpamaan, metafora, personifikasi, dan sebagainya.

Gaya-gaya bahasa itu sering digunakan oleh penyair.37

Penjelasan mengenai macam-macam gaya bahasa tersebut sebagai berikut.

a. Repetisi merupakan cara yang ditempuh dengan menunggunakan gaya

perulangan. Dengan mengulang bagian-bagian tertentu, diharapkan

bagian tersebut lebih mendapat perhatian, lebih ditekankan, dan lebih

jelas maknanya. Bermacam-macam ragam pengulangan: ada

pengulangan penuh, arti, kata, frasa, atau kalimat itu diulang

sepenuhnya, tanpa ada bagian yang hilang atau ditambah; ada pula

pengulangan sebagian, artinya frasa, ungkapan, atau kalimat yang

diulang itu hanya sebagian saja. Ditinjau dari posisi atau letak bagian

yang diulang itu pun bermacam-macam: ada pengulangan yang

terletak dalam satu baris, ada yang terletak pada baris yang berlainan,

ada yang terletak dalam satu bait, dan ada pula perulangan yang

beruntun, dan sebagainya. Contoh repetisi sebagai berikut.

KUPANGGILI NAMAMU

(Rendra)

...

Apakah engkau juga menjadi masa silamku?

Kupanggili namamu Kupanggili namamu38

b. Paralelisme (penjajaran) merupakan penggunaan kata yang sama

artinya, seperti: halus lembut

Dapat pula menggunakan penjajaran kata-kata yang bebeda artinya

atau berlainan sifatnya, misalnya:

“Kujelajahi bumi dan alis kekasih” (Sitor Situmorang)

Penjajaran kata-kata semacam ini untuk mendapatkan efek puitis dan

intensitas makna.39

37

Widjojoko, op.cit., h. 62. 38

Semi, op.cit., h. 129. 39

(30)

c. Perumpamaan merupakan perbandingan biasa yang menggunakan

kombinasi kata-kata yang menunjukkan benda-benda, perbuatan,

keadaan, dan sebagainya yang senapas, selingkungan, atau sejenis,

serta mempunyai sifat yang sama sebagai perbandingan.40 Perbedaan

perumpamaan dengan metafora hanyalah ditentukan oleh ada tidaknya

penggunaan kata-kata yang secara langsung berfungsi membandingkan

antara satu objek dengan objek yang lain. Perkataan yang berfungsi

demikian adalah bagai, seperti, laksana, macam, bak, seumpama. “Wajahnya seperti bulan purnama” adalah perumpamaan. Bila kata ‗seperti’ dihilangkan, maka ungkapan itu menjadi:

“Wajahnya bulan purnama” ungkapan ini merupakan metafora.41

d. Metafora yakni pengucapan yang berhubungan dengan perbandingan

langsung, atau memindahkan sifat benda yang satu menjadi sifat benda

yang lain, misalnya:

TANAH AIR

(Ajip Rosidi)

Seorang putri cantik tidur

Rambutnya indah sepanjang katulistiwa membujur

...42

e. Personifikasi yaitu suatu cara pengimajian dengan memberikan

sifat-sifat manusia kepada benda mati, misal:

LAHIR SAJAK

(Subagio Sastrowardojo)

Malam yang hamil oleh benihku

Mencampakkan anak sembilan bulan

ke lantai bumi.

...43

9) Rima atau sajak

40

Semi, op.cit., h. 127. 41

Semi, op.cit., h. 128. 42

Semi, op.cit., h. 125. 43

(31)

Rima atau sajak adalah persamaan bunyi. Persamaan bunyi bisa terjadi di

awal, tengah, atau akhir. Pada puisi lama, rima akhir sangat teratur,

misalnya dalam pantun (a-b-a-b), syair (a-a-a-a). Di dalam puisi modern,

rima tidak seteratur puisi lama. Walaupun demikian, bukan berarti tidak

berirama. Puisi modern pun menggunakan rima, hanya tidak berpola

seperti dahulu. Rima digunakan secara bebas sesuai dengan ekspresi yang

diinginkan penyair.44

Contoh rima dengan persamaan bunyi akhir a-a-a-a dapat ditunjukkan dalam puisi esai “Toga Hakim dan Kotak Amal” karya Elza Peldi Taher berikut ini.

Rasa keadilan terkoyak Ingin rasanya berontak Pada sistem yang retak Nurani yang nihil watak45

10)Ritme

Ritme atau irama adalah totalitas tinggi rendahnya suara, panjang pendek,

dan cepat lambatnya suara saat membaca puisi. Ritme di dalam puisi

dibentuk oleh pengaturan larik, jumlah suku kata, dan pengaturan bunyi.

Di dalam puisi yang baik, ritme itu dapat memberi gambaran yang intensif

tentang nada, rasa, dan tema.46

D.

Pendekatan Mimetik

Penelitian dalam skripsi ini menggunakan pendekatan mimetik untuk

melihat bagaimana kaitan karya dengan kenyataan yang ada. Pendekatan ini akan

sangat relevan dengan penelitian terhadap kritik sosial yang dapat dilihat pada puisi esai “Manusia Gerobak”. Pendekatan mimetik itu sendiri dapat dijelaskan berdasarkan pendapat Abrams sebagaimana penjelasan berikut ini.

Pendekatan mimetik adalah pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya terhadap hubungan karya sastra dengan

44

Wijojoko, op.cit., h. 62. 45

Taher, op. cit., h. 129. 46

(32)

kenyataan di luar karya sastra. Pendekatan ini memandang karya sastra sebagai imitasi dari realitas.47

Kajian semacam ini dimulai dari pendapat Plato tentang seni. Plato

berpendapat bahwa seni hanya dapat meniru dan membayangkan hal-hal yang ada

dalam kenyataan yang tampak. Ia berdiri di bawah kenyataan itu sendiri. Wujud

yang ideal tidak bisa terjelma langsung dalam karya seni. Ini ada kaitannya

dengan pandangan Plato mengenai tataran tentang Ada. Yang nyata secara mutlak hanya yang Baik. Derajat kenyataan semesta tergantung pada derajat kedekatannya terhadap Ada yang abadi. Dunia empirik tidak mewakili kenyataan yang sungguh-sungguh, hanya dapat mendekatinya lewat mimetik, peneladanan,

pembayangan, atau peniruan. Bagi Plato tidak ada pertentangan antara realisme

dan idealisme dalam seni. Seni yang terbaik lewat mimetik. Seni yang baik harus

truthful, benar. Seniman harus modest, rendah hati. Bagi Aristoteles, seniman tidak meniru kenyataan, manusia, dan peristiwa sebagaimana adanya. Seniman

menciptakan dunianya sendiri. Apa yang terjadi dalam ciptaan seniman masuk

akal dalam keseluruhan dunia ciptaan itu. Pada Abad Pertengahan, pendapat

bahwa seni harus seperti alam menjadi pandangan umum. Hal ini ada kaitannya

dengan anggapan tentang hubungan manusia dengan Tuhan. Ciptaan manusia

hanya meneladani ciptaan Tuhan yang mutlak dan indah.48

Pandangan bahwa setiap karya sastra itu mencerminkan masyarakat dan

zamannya pada umumnya dianut oleh kritikus akademik. Pandangan ini,

semata-mata sering muncul dalam penelitian berupa skripsi, tesis, disertasi, dan sejumlah

penelitian kecil. Penelitian tersebut berusaha mengungkap karya sastra tertentu,

terutama novel karya penulis terkenal, untuk melihat refleksi masyarakat di

dalamnya. Bahkan, kadang-kadang ada yang mencoba merelevansikan dengan

zaman yang sedang berjalan.49

Karya sastra cenderung memantulkan keadaan masyarakat sehingga mau

tidak mau akan menjadi saksi zaman. Dalam kaitan ini, sebenarnya pengarang

ingin berupaya untuk mendokumentasikan zaman dan sekaligus sebagai alat

47

Siswanto, op. cit., h. 188. 48

Siswanto, op .cit., h. 189. 49

(33)

komunikasi antara pengarang dengan pembacanya.50 Fungsi sastra dapat

berbeda-beda dari zaman ke zaman di belbagai masyarakat. Di suatu zaman dan

masyarakat tertentu, sastra mungkin berfungsi sebagai alat menyebarluaskan

ideologi, di zaman lain dan masyarakat lain, sastra mungkin sekali dianggap

sebagai tempat pelarian yang aman dari kenyataan sehari-hari yang tak

tertahankan. Bahkan mungkin saja bagi mereka—sastra dianggap mampu

memberikan pengalaman hidup dan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur bagi

pembacanya.51

E.

Kritik Sosial

Pengertian kritik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kecaman atau tanggapan untuk menilai baik buruknya suatu pendapat, hasil karya, dan

sebagainya.52 Berdasarkan Kamus Istilah Sastra, kritik adalah evaluasi dan analisis dari segi bentuk dan isi melalui proses menimbang, menilai, dan

memutuskan. Kritik yang ilmiah mempertimbangkan keburukan dan kebaikan,

kebenaran dan kesalahan, serta memberikan penilaian yang masak dan tidak

mengobral pujian atau cacian.53 Kemudian menurut Adinegoro, kritik adalah salah

satu ciri dan sifat penting dari peristiwa otak manusia sehingga kritik dapat

dijadikan dasar untuk berpikir dan mengembangkan pikiran. Kritik tidak

dimaksudkan untuk meruntuhkan sesuatu, tetapi untuk memperbaiki hal yang

dianggap tidak sesuai dan akhirnya untuk mendapatkan kemajuan.54

Pengertian sosial dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti berkenaan dengan masyarakat, suka memperhatikan kepentingan umum.55 Dari beberapa

penjabaran mengenai pengertian kritik dan sosial tersebut, maka dapat

disimpulkan bahwa kritik sosial merupakan penilaian yang masak dengan

mempertimbangkan baik buruknya peristiwa yang terjadi di masyarakat.

50

Endraswara, op.cit., h. 89. 51

Endraswara, op.cit., h. 91. 52

Tim Pusat Bahasa, op. cit., h. 742. 53

Zaidan, op.cit., h. 109. 54

Djamaludin Adinegoro, Tata Kritik. (Djakarta: Nusantara, 1958), h. 10. 55

(34)

Kritik sosial adalah salah satu bentuk komunikasi dalam masyarakat yang

bertujuan atau berfungsi sebagai kontrol terhadap jalannya sebuah sistem sosial

atau proses bermasyarakat. Dalam konteks inilah, kritik sosial merupakan salah

satu variabel penting dalam memelihara sistem sosial. Berbagai tindakan sosial

ataupun individual yang menyimpang dari orde sosial maupun orde nilai moral

dalam masyarakat dapat dicegah dengan memfungsikan kritik sosial. Dengan kata

lain, kritik sosial dalam hal ini berfungsi sebagai wahana untuk konservasi dan

reproduksi sebuah sistem sosial atau masyarakat.56 Kritik sosial juga dapat berarti

sebuah inovasi sosial. Artinya, kritik sosial menjadi sarana komunikasi

gagasan-gagasan baru—sembari menilai gagasan-gagasan lama—untuk suatu perubahan

sosial. Kritik sosial dalam kerangka yang demikian berfungsi untuk membongkar

berbagi sikap konservatif, status quo, dan vested interest dalam masyarakat untuk perubahan sosial.57 Perspektif kritik sosial yang demikian lebih banyak dianut

oleh kaum kritis dan strukturalis. Mereka melihat bahwa kritik sosial adalah

wahana komunikatif untuk suatu tujuan perubahan sosial.58

Kritik sosial dapat disampaikan melalui beberapa wahana, mulai dari cara

yang paling tradisional, ungkapan-ungkapan sindiran melalui komunikasi

antarpersonal dan komunikasi sosial, melalui berbagai pertunjukkan sosial dan

kesenian dalam komunikasi publik, seni sastra, dan melalui media massa.59

Menurut Astrid Susanto, kritik sosial itu sebenarnya merupakan ssuatu yang positif karena ia mendorong sesuatu yang terjadi di dalam masyarakat untuk kembali ke kriteria. Kritik sosial adalah penilaian ilmiah atau pengujian terhadap keadaan masyarakat pada suatu saat. Dalam bidang politik, istilah kritik sosial seringkali memperoleh konotasi negatif karena diartikan mencari kelemahan-kelemahan pihak lain dalam pertarungan politik sehingga arti yang substansial dari kritik sosial itu menjadi kabur. Astrid menulis tentang arti kritik sosial ini lebih lanjut sebagai:....penjabaran megenai suatu masyarakat, anggota atau elitenya

56Akhmad Zaini Abar, “Kritik Sosial, Pers, dan Politik Indonesia” dalam Moh. Mahfud MD, dkk (editor), Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan, (Yogyakarta: UII Press, 1999), Cet. 2, h. 47.

57

Ibid., h. 49. 58

Ibid., h. 49. 59

(35)

pada suatu saat, merupakan suatu analisa yang berbobot ilmiah dan disertai pertanggungjawaban ilmiah pula.60

Hampir semua karya sastra Indonesia sejak awal pertumbuhannya hingga

dewasa ini, boleh dikatakan, mengandung unsur pesan kritik sosial walau dengan

tingkat intensitas yang berbeda. Wujud kehidupan sosial yang dikritik dapat

bermacam-macam seluas lingkup kehidupan sosial itu sendiri. Banyak karya

sastra yang bernilai tinggi yang di dalamnya menampilkan pesan-pesan kritik

sosial. Namun, perlu ditegaskan bahwa karya-karya tersebut menjadi bernilai

bukan lantaran pesan itu, melainkan lebih ditentukan oleh koherensi semua unsur

intrinsiknya. Pesan moral hanya merupakan salah satu unsur pembangun karya

fiksi saja, yang sebenarnya justru tidak mungkin terlihat dipaksakan dalam karya

yang baik, walau hal itu mungkin sekali sebagai salah satu pendorong ditulisnya

sebuah karya. Selain itu, pesan moral pun, khususnya yang berupa kritik sosial,

dapat memengaruhi aktualisasi karya yang bersangkutan.61

Wujud kritik sosial karya-karya sastra masa Balai Pustaka misalnya, lebih

banyak berkaitan dengan adat-istiadat dan dominasi golongan tua yang tampak “tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan”, khususnya dalam hal mengatur dan menentukan jodoh bagi anak-anak muda. Masalah tersebut memang aktual pada

waktu itu, namun tentunya tidak untuk masa sekarang. Ada berbagai aspek

kehidupan sosial yang lebih menarik, aktual, relevan untuk diceritakan dan

diamanatkan sesuai dengan derap kehidupan modern. Namun demikian,

sebenarnya terdapat berbagai aspek kehidupan sosial yang besifat hakiki, dan itu

bersifat langgeng dan universal, tidak hanya berlaku dan tidak terikat oleh batas

waktu dan tempat.62

Sastra yang mengandung pesan kritik—dapat juga disebut sebagai sastra

kritik—biasanya akan lahir di tengah masyarakat jika terjadi hal-hal yang kurang

beres dalam kehidupan sosial dan masyarakat. Paling tidak, hal itu ada dalam

penglihatan dan dapat dirasakan oleh pengarang yang berperasaan peka.

60Moh. Mahfud MD, “Perspektif Politik dan Hukum tentang Kebebasan Akademik dan Kritik Sosial” dalam Moh. Mahfud MD, dkk (editor), Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan, (Yogyakarta: UII Press, 1999), Cet. 2, h. 73.

61

Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2005), Cet. 5, h. 331.

62

(36)

Pengarang umumnya tampil sebagai pembela kebenaran dan keadilan, ataupun

sifat-sifat luhur kemanusian yang lain. Ia tidak akan diam dan lewat karangannya

itu akan memperjuangkan hal-hal yang diyakini kebenarannya. Hal-hal yang

memang salah dan bertentangan dengan sifat-sifat kemanusian tidak akan

ditutup-tutupinya, sebab terhadap nilai seni ia hanya bertanggung jawab kepada dirinya

sendiri. Sebaliknya, jika pengarang menerima paksaan dari luar (baca: mau

menulis tidak sesuai dengan keyakinan dan kata hatinya sendiri), padahal itu

diketahuinya tidak benar, misalnya sastra yang dipakai sebagai ajang main

politik-politikan seperti pada masa Lekra, ia akan menghasilkan karya seni yang rendah.

Menulis sebentuk karya yang tidak didukung oleh unsur isi yang sesuai dengan

keyakinan sendiri, atau yang diketahuinya palsu, adalah kosong. Hal itu juga

berarti pengarang telah membohongi dirinya sendiri.

Banyak karya sastra, jadi tidak hanya fiksi saja, yang memperjuangkan

nasib rakyat kecil yang menderita, nasib rakyat kecil yang memang perlu dibela,

rakyat kecil yang seperti dipermainkan oleh tangan-tangan kekuasaan, kekuasaan

yang kini lebih berupa menjadi korban kesewenangan, penipuan, atau yang selalu

dipandang, diperlakukan, dan diputuskan sebagai pihak yang selalu di bawah,

kalah, dan dikalahkan. Namun, apakah dengan adanya berbagai bentuk pembelaan

yang dilakukan oleh pengarang lewat karya-karya kreatifnya itu nasib rakyat

menjadi lebih baik, atau pihak yang dikritik menjadi menyadari kekeliruannya, itu

adalah masalah lain. Paling tidak mereka, para pengarang itu, telah merasa terlibat

dengan nasib rakyat, dan itu pantas menjadi bahan perenungan kita.63

Keterlibatan penulis puisi dalam kegiatan masyarakat secara otomatis akan

memberikan pengalaman sosial dan kepekaan terhadap isi-isu sosial yang terjadi.

Seperti yang dipaparkan Ajip Rosidi bahwa pada setiap masa, sejak awal

kebangkitannya, para penulis puisi (dan sastra umumnya) kita, selalu terlibat

dalam kegiatan kemasyarakatan. Yamin, Rustam Effendi, Sanusi Pane dan

Asmara Hadi, terlibat dalam gerakan kebangsaan yang bersifat politik. Chairil

Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin dan umumnya para penyair Angkatan 45 ikut serta

mengangkat senjata dalam perjuangan mengusir penjajah setelah proklamasi

63

(37)

kemerdekaan. Para penyair yang lain seperti Rendra, Taufiq Ismail, Mansur

Samin, Wahid Situmeang, Slamet Kirnanto dan lain-lain, terlibat dalam

perjuangan menumbangkan Orde Lama atau gerakan-gerakan kemasyarakatan

lainnya. Ada pula di antaranya yang pernah menduduki jabatan tinggi negara, baik

dalam bidang eksekutif maupun legislatif.64

Puisi semakin menyuarakan kritikan sosial tatkala berakhirnya Orde Lama

dan kemunculan Orde Baru. Seperti yang dijelaskan oleh Ajip Rosidi, sejak itu

puisi seakan-akan tidak terpisahkan dari perjuangan para mahasiswa yang bersifat

sosial-politik. Hampir dalam tiap demonstrasi mahasiswa, baik terhadap pimpinan

Orde Lama, maupun terhadap sementara pejabat Orde Baru, lahir sajak-sajak yang

ditulis dengan spontan, baik oleh para mahasiswa itu sendiri maupun oleh para

penyair yang sudah mempunyai nama.65

F.

Pembelajaran Bahasa dan Sastra di SMA

Pembelajaran sastra Indonesia di sekolah hingga saat ini masih menjadi

kesatuan dalam satu mata pelajaran yaitu pelajaran bahasa Indonesia. Program

pembelajaran apresiasi sastra Indonesia yang dipadukan dalam mata pelajaran

bahasa dan sastra Indonesia ini pada kenyataannya memang masih kurang

menarik bagi siswa. Penyebab kurang menariknya apresiasi sastra Indonesia

adalah kurang dapat dipahaminya karya sastra oleh mereka. Hal ini bisa

disebabkan oleh cara mengajar yang tidak memotivasi siswa dan kurang akrabnya

mereka dengan karya sastra. Ini membuktikan kurang terbinanya pengajaran

apresiasi sastra dengan baik.66

Ketidakberhasilan pengajaran apresiasi sastra juga disebabkan belum

ditetapkannnya alokasi waktu untuk pengajaran apresiasi sastra Indonesia sebagai

mata ajar yang mandiri. Sampai kini, sastra diajarkan sebagai sambilan dalam

mengajarkan bahasa Indonesia. Berdasarkan kenyataan di lapangan, tidak semua

guru bahasa Indonesia mampu menyajikan pengajaran apresiasi sastra dengan

64

Ajip Rosidi, Puisi Indonesia Modern, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2010), Cet. 5, h. 119. 65

Rosidi, op.cit., h. 107. 66

(38)

baik. Guru yang mahir mengajarkan bahasa Indonesia belum tentu mampu

memikat saat mengajar sastra. Misalnya saat menyajikan puisi, selain dituntut

menguasai materi ajar, guru harus memberikan contoh yang memikat dan sugestif.

Hal ini sulit dilakukan oleh guru bahasa Indonesia yang kurang memiliki minat

serius yang cukup tentang sastra67.

Dalam pembelajaran sastra pada khususnya, siswa bukan hanya dituntut

memahami teori-teori sastra saja, tetapi juga lebih dituntut untuk memiliki

kemampuan dalam mengapresiasi karya sastra. Keterampilan proses komunikasi

diharapkan hadir dari hasil pemahaman membaca karya sastra yang baik yaitu

kemampuan merekonstruksi struktur bangun sastra secara faktual yang berwujud

pengalaman-pengalaman hidup yang berharga.68 Berlandaskan pada pengalaman

hidup inilah siswa akan menyadari pentingnya mempelajari dan mengapresiasi

karya sastra.

Untuk mewujudkan tujuan pembelajaran apresiasi sastra ini, kehadiran

buku-buku sastra mutlak harus dipenuhi. Pengalaman membaca sastra merupakan

penentu dalam mengapresiasi karya sastra. Sehingga, lewat pembelajaran

apresiasi sastra Indonesia, siswa diperkenalkan pada nilai-nilai yang terkandung

dalam karya sastra serta mengajak siswa menghayati pengalaman-pengalaman

yang disajikan. Pembelajaran apresiasi sastra Indonesia bertujuan

mengembangkan nilai-nilai indrawi, nilai akali, nilai afektif, nilai keagamaan, dan

nilai sosial, secara sendiri-sendiri, atau gabungan keseluruhan, seperti yang

tercermin dalam karya sastra.69

Penyampaian bahan ajar yang sesuai dengan kehidupan sehari-hari

merupakan strategi pengajaran yang paling tepat. Strategi ini memerlukan cara

mengajar yang bervariasi. Strategi mengajar tersebut bukanlah strategi bagaimana

mengajar dengan mudah, praktis, dan dapat menyelesaikan bahan pembelajaran

secara tepat waktu, tetapi perlu dipikirkan pula bahwa strategi mengajar harus

67

Widjojoko, op.cit., h, 98. 68

Widjojoko, op.cit., h, 98. 69

(39)

berorientasi kepada tingkat keterpahaman dan pengalaman siswa terhadap bahan

pembelajaran yang dipersiapkan secara terencana.70

G.

Penelitian Yang Relevan

Penelitian yang relevan dengan skripsi ini adalah penelitian yang

dilakukan oleh Prima Yulia Nugraha (NIM 106013000311) Pendidikan Bahasa

dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011 yang berjudul Kritik Sosial dengan Pendekatan Mimetik pada Kumpulan Puisi Potret Pembangunan dalam Puisi karya W.S. Rendra. Penelitian tersebut menggunakan penelitian kualitatif dengan pendekatan analisis deskriptif. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui

kritik sosial yang terdapat dalam Sajak Seorang Tua di Bawah Pohon dan Sajak Sebotol Bir. Metode yang digunakan adalah metode dokumentasi, yaitu teknik pengumpulan data atau dokumen untuk memperkuat informasi, seperti terdapat

dalam bacaan maupun internet, lalu dilanjutkan dengan menganalisis data sejarah

yakni pada dua puisi tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya. Pengkajian yang

dilakukan yakni pengkajian terhadap struktur batin dan fisik dalam puisi serta

pengaitan peristiwa sosial yang berlangsung di sekitar tahun penciptaan puisi

dengan peristiwa yang digambarkan oleh Rendra di dalam puisinya. Adapun

kesamaan penelitian ini dengan penelitian tersebut yakni pendekatan mimetik

yang digunakan dalam menganalisis, pengkajian terhadap unsur pembangun puisi,

dan pengaitan fakta sosial yang terkandung dalam puisi. Perbedaan antara

penelitian ini dengan penelitian tersebut yakni puisi yang digunakan dalam

penelitian. Penelitian tersebut menggunakan puisi berjudul Sajak Seorang Tua di Bawah Pohon dan Sajak Sebotol Bir karya WS Rendra, sedangkan penelitian ini menggunakan puisi esai berjudul “Manusia Gerobak” karya Elza Peldi Taher.

Penelitian lainnya yang relevan dengan penelitian ini adalah skripsi

berjudul Kritik Sosial dalam Kumpulan Puisi Aku Ingin Jadi Peluru karya Wiji Thukul (Kajian Resepsi Sastra), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakatya, tahun 2010. Adapun kesamaan penelitian

70

(40)

ini dengan penelitian tersebut adalah penelitian terhadap kritik sosial dalam puisi,

sedangkan perbedaan penelitian ini dengan penelitian tersebut adalah data yang

digunakan serta pendekatan yang digunakan. Penelitian ini menggunakan

pendekatan mimetik sastra sedangkan penelitian tersebut menggunakan

pendekatan kajian terhadap resepsi sastra. Kritik sosial dalam penelitian tersebut

meliputi: 1) kritik terhadap kesewenang-wenangan pemerintah, b) kritik terhadap

penderitaan kaum miskin, c) kritik terhadap perlawanan kaum miskin, d) kritik

terhadap perlindungan hak buruh, e) kritik terhadap fakta atau kenyataan sosial

yang dialami masyarakat.71

Penelitian selanjutnya yang relevan dengan penelitian ini adalah skripsi

berjudul Kritik Sosial dalam Kumpulan Puisi Refrein di Sudut Dam karya D. Zawawi Imron: Tinjauan Semiotik oleh Alexa Grevey A 310 040 079 Jurusan Bahasa dan Sastra Indoensia Universitas Kristen Maranatha tahun 2011. Adapun kesamaan penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah kesamaan penelitian

terhadap kritik sosial dalam puisi. Sementara itu, perbedaan penelitian tersebut

dengan penelitian ini adalah pendekatan yang digunakan. Penelitian Alexa Grevey

A tersebut menggunakan pendekatan semiotik sastra, sedangkan penelitian ini

menggunakan pendekatan mimetik sastra. Selain itu, perbedaan lainnya yakni

penggunaan data yang berbeda. Alexa Grevey A dalam penelitian tersebut

menggunakan kumpulan puisi Refrein di Sudut Dam karya D. Zawawi Imron, sedangkan penelitian ini menggunakan puisi esai “Manusia Gerobak” karya Elza

Peldi Taher. Penelitian ini mengemukakan pertama, kumpulan puisi Refrein di Sudut Dam merupakan catatan perjalanan hidup yang mengungkapkan sikap kritis terhadap masyarakat di sekelilingnya. Kedua, puisi Refrein di Sudut Dam

mengungkapkan perasaan penyair terhadap peristiwa sejarah akibat penjajahan

kolonialisme Belanda.

Penelitian lainnya yang relevan dengan penelitian ini adalah skripsi

berjudul Kritik Sosial dalam Kumpulan Puisi Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia karya Taufiq Ismail oleh Nila Mega Marahayu Fakultas ISIP, UNSOED tahun 2011. Adapun kesamaan penelitian ini dengan penelitian tersebut adalah

71

(41)

penelitian terhadap kritik sosial dalam puisi. Sedangkan perbedaan penelitian ini

dengan penelitian tersebut adalah data yang digunakan. Nila Mega Marahayu

(42)

31

A.

Biografi

Elza Peldi Taher lahir di Muara Labuh, 18 Desember 1962. Dia

menempuh studi di FISIP Universitas Indones

Gambar

Gambar 1 : Elza Peldi Taher

Referensi

Dokumen terkait

Waluyo mendefinisikan bahwa puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran secara imajinasi dan disusun dengan mengkosentrasikan semua kekuatan bahasa

Kritik Sosial dalam Antologi Puisi Aku Ingin Jadi Peluru Karya Wiji Thukul (Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra).. Jurnal Fakultas Bahasa dan

Tujuan penelitian ini yaitu, 1) mendeskripsikan struktur batin dan struktur fisik kumpulan puisi Stanza dan Blues Karya W.S. Rendra, 2) menjelaskan kritik sosial dalam

Reza Alpha Christyanjaya. “Kritik Sosial dalam novel Cerita Calon Arang Karya Pramoedya Ananta Toer: Pendekatan Sosiologi Sastra”. Skripsi Jurusan Pendidikan Bahasa

Bab IV: merupakan inti dari penelitian yang membahas tentang kritik sosial dalam kumpulan puisi Terkenang Topeng Cirebon karya Ajip Rosidi dengan menggunakan tinjauan sosiologi

Beberapa puisi yang dianalisis dalam buku kumpulan puisi O Amuk Kapak karya Sutardji Calzoum Bachri dapat digunakan sebagai contoh dalam pembelajaran sastra mengenai unsur

Krtik Sosial dalam Novel La Muli Karya Nunuk Y.Kusmiana dan implikasi dalam pembelajaran sastra di SMA Kajian Sosiologi Sastra 233 dalam jurnal tersebut mendeskripsikan bentuk

RUBRIK PENILAIAN Nomor 7 Kalimat kritik terhadap novel Laskar Pelangi Peserta didik membuat kalimat esai dengan tidak tepat Peserta didik membuat kalimat esai dengan kurang tepat