TESIS
Dimajukan untuk Memenuhi
Persyaratan Memperoleh Gelar Magister (MA) Dalam Ilmu Agama Islam Konsentrasi Pendidikan Bahasa Arab
Disusun oleh:
ABDUL HAMID
Nim: 07.2.00.1.13.08.0030
Pembimbing:
Dr. Muhbib, MA
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
ii
Nama : Abdul Hamid
NIM : 07.02.00.1.13.08.0030
Pekerjaan : Mahasiswa Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta
Agama : Islam
Menyatakan bahwa:
1. Tesis yang berjudul “Qiyas Ushuli dan Qiyas Nahwi dalam Perspektif
Historis dan Epistemologis” merupakan hasil karya saya yang digunakan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata dua (Magister) di Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya,
maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta berupa pencabutan gelar.
Jakarta, Agustus 2009
iii
berjudul “Qiyâs Ushûlî dan Qiyâs Nahw dalam Perspektif Historis dan Epistemologis” oleh saudara Abdul Hamid, NIM. 07.02.00.1.13.08.0030, Konsentrasi Pendidikan Bahasa Arab Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, maka kami dapat menyetujui untuk diajukan dalam ujian tesis.
Jakarta, Agustus 2009 Pembimbing,
iv
Tesis atas nama Abdul Hamid (NIM. 07.2.00.1.13.08.0030) dengan judul “QIYÂS
USHÛLÎ DAN QIYÂS NAHWÎ DALAM PERSPEKTIF HISTORIS DAN EPISTEMOLOGIS” telah lulus dalam sidang Munaqasyah Magister Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta pada hari Sabtu, tanggal 29 Agustus 2009, dan telah diperbaiki sesuai saran serta rekomendasi dari Tim Penguji Tesis.
TIM PENGUJI :
Ketua Sidang / Penguji,
Dr. Udjang Tholib, MA
Pembimbing / Penguji,
Dr. Muhbib, MA
Penguji,
Prof. Dr. Amany Burhanudin Lubis, MA
Penguji,
v
PERSPEKTIF HISTORIS DAN EPISTEMOLOGIS. Tesis. Jakarta: Program Studi Kajian Islam, Pendidikan Bahasa Arab, Sekolah PascaSarjana Universitas Islam Negeri ( UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2009.
Tesis ini membuktikan bahwa qiyâs, baik yang ada pada ilmu ushûl al-fiqh maupun yang ada pada ilmu nahw mempunyai asal usulnya dalam kebudayaan Arab. Kesimpulan ini berbeda dengan pandangan Joseph Schacht yang mengatakan bahwa qiyâs yang ada dalam fiqh berasal dari konsep tafsir Bibel dalam agama Yahudi. Kesimpulan ini juga berbeda dengan pandangan de Boer yang mengatakan bahwa qiyâs dalam ilmu nahw berasal dari filsafat Yunani.
Dari hasil analisis menunjukkan bahwa qiyâs dengan bebagai maknanya telah dipergunakan dalam bahasa dan kebudayaan Arab sebelum kedatangan Islam. Sesungguhnya qiyâs yang ada dalam ushûl al-fiqh dan ushûl al-nahw
berasal dari ra’y yang karena tuntutan kebutuhan dan desakan sosial, berkembang
menjadi lebih sistematis. Persamaan-persaman yang ada antara qiyâs ushûli dan qiyâs nahwi menunjukkan bahwa keduanya saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Penyebab lainnya adalah karena keduanya bersumber dari epistemology yang sama, yaitu epistemologi bayâni yang salah satu cirinya adalah
adanya konsep ashl dan far’, mengembalikan status hukum kasus baru dengan
cara menerapkan ketentuan hukum dari kasus yang telah ada ketentuannya, karena keduanya memiliki titik kesamaan tertentu, yang dalam istilah teknisnya disebut ‘illat. Ini merupakan prinsip utama dalam qiyâs.
Materi kata qiyas memang tidak terdapat dalam kedua sumber utama ajaran Islam. Tetapi kata atau ungkapan yang memiliki gagasan yang sama dengan qiyas banyak ditemukan pada kedua sumber utama tersebut. Misalnya kata I’tabara mempunyai makna atau gagasan yang kurang lebih sama dengan kata qiyas, yaitu melakukan perbandingan antara dua hal dan mengambil pelajaran dari
perbandingan tersebut. Demikian pula kata nazara yang mempunyai makna yang
kurang lebih sebanding dengan qiyas. Pada sunnah terdapat peryataan yang bersifat perbandingan. Ketika Rasul diminta pendapatnya tentang kebolehan menyelenggarakan ibadah haji atas nama orang yang telah meninggal. Rasul membandingkan hal tersebut dengan kebolehan membayar hutang.
Ra’y merupakan cara penalaran alamiah yang dimiliki oleh semua bangsa, tidak dikhususkan kepada masyarakat tertentu. Dalam tahap perkembangannya ra’y berkembang kearah yang semakin sistematis. Secara berurutan menurut tahap perkembanganya dan tingkat kesistematisannya dapat di susun dengan susunan ra’y, istihsan dan qiyas. Hal ini menunjukkan bahwa qiyas berasal dari ra’y juga.
Sumber-sumber yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah buku-buku
tentang ushûl al-fiqh dan ushûl al-nahw, seperti al-Risalah, karya al-Syafi’i,
vi
Epistemologies Perspective. Thesis Jakarta: Islamic Studies Program, Arabic Language Education, UIN Syarif Hidayatullah, 2009.
The result of the thesis proves that qiyas (analogy), either on the science of Usul al-fiqh (principle of Islamic law) or in nahw has its origins in the Arabic culture. The result of this research refuses Joseph Schacht’s opinion. Schacht stated that the existing qiyas (analogy) in fiqh (Islamic law) derived from the concept of Biblical exegesis in the Jewish religion. And also refuses de Boer’s opinion too; he stated that qiyas (analogy) in nahw sciences comes from Greek philosophy.
The results of the research analysis shows that the kinds of meaning qiyas been used in the Arabic language and culture before the arrival of Islam. Indeed qiyas is in usul al-fiqh (principle of Islamic law) and usul al-nahw (principle of nahw) came from ra'y that needs and demands of social pressure, developed into more systematic. The equations that exists between qiyas ushuli and qiyas nahwi show both are mutually affect one each other. Other causes, both are derived from the same epistemology, it is bayâni epistemology while one of its characteristic is the existence of the concept far and ashl ', restore the legal status of new cases by applying the legal provisions of the existing cases of its provisions, because they have certain common points, which called 'illat. This is the main principle in qiyas.
Perhaps the words material of qiyas do not found in two main sources of Islamic concept. But the words or phrases that have the same idea with qiyas, were found in that two main sources above. For example, the word “I’tabara” has the same meanings with qiyas that makes a comparison between two things then take a conclusion. Similarly with “nazara” that have the same meaning with qiyas, like sunnah have the same statement. When the messenger was asked his opinion about the permissibility of pilgrimage on behalf of people who have died, He compares it with the permissibility of paying debt.
Ra'y is a natural way of reasoning that possessed all nations, not devote to a particular community. According to its development, ra’y developed to high level systematic, that can be rank such as ra’y, istihsan dan qiyas. This condition indicates that qiyas cames from ra’y.
The primary resources analyzed on this research is books of principle of
Islamic law (ushul fiqh) and ushul al-nahw such as al-Risalah written by
vii
" %. ا
:
" 0 ا " '()ا 1ا " ا ه 3 %4 ".
$. ا ت (ار ا " $آ
٢٠٠٩
.
او 8 9 ا ل
أ +$ ل <
= س $ نأ $ ? $ ا ا@ه "< A B C&
ار@
" %. ا "= C ا = "
أو
.
= س ا نأ B 4 3(
8 ,
D ا ا@ه درو
ب 0 ا % 9& + ه 9
8 9 ا ل
أ
)
Bibel(
" د I ا "A ا =
.
8 ,
در J @آو
د
)
de Boer(
" A A ا "9 $9 ا
ا = س ا نأ
.
A . ?0 س ا نأ $ ? $ ا "< A ل &و
= "
BA آ "
ا I
م'()ا ? , " %. ا "= C او "#$ ا
.
ى@ ا يأ% ا
او 8 9 ا ل
أ = س ا نإ
ار N& ر N& "
ا ت
Oاو ت $N
ن آ
.
ا س ا
8 P ا
Q.
IQ. %RS& $ لد
او
.
A ا هو Oاو
ا
IA و
$ 8 0O TA , ى@ ا ?
ا +0O در هو ع%9 او ?
ا م I9 د و IVW VX
"$. ا = I&او
8 0O $ T + ى@ ا ع%9 ا
.
س ا = ( (أ ? أ ا@هو
.
( ( ا م'()ا ير V
= اد
0 + س ا Y9
.
وأ " $0 ا +0 و
Cآ
& س
. ا " و
ا ةر . ا
Y9 ?C ، ( ( ا ر V ا J ذ = ا%
"
% ا
"
س
و
. 8
.
8 أر ل (% ا ]$^
" ( , ةر
،" ا =و
ا ءادأ زا < ل (% ا 8( , B ا
a ا ةد
ءادأ زا
نأ
.
ر N& 8&bPA "$O% و
. c < T
+ ا c < " . ^ ة% A يأ% ا
ر N& d <&
+
.
ا
ا $ ]&% 8
&و يأ% ا ر N& ن 0 ] &% او
:
س او ن
()او يأ% ا
.
يأ% ا
س ا نأ $ ل
هو
.
،
او 8 9 ا ل
b " $. ا ] 0 ا ه ? $ ا ا@ه = "
ا رد V ا
ا@I " ( ا ى%X ا ] 0 او ،8
ب 0 او ، .= P$ " (ا% آ
? $ ا
.
?$O +R
viii
+ ا ا إ A 4رأو ،+ ا طا%V ا Aا ه ي@ ا ،+ . ا $. ا 1 أ .
A ( $ م' او ة'V او
8 f $ و ،+ %0 ا ا ،+( ا أ ما%0 ا 8 أو
.
Segala puji dan syukur hamba panjatkan kehadirat Allah SWT Rab al-‘Alamin. Dia-lah yang telah memberi potensi-potensi kecerdasan, pemberi rizki, pemotivasi jiwa. Shalawat dan salam penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad Saw. sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan dan penulisan tesis dengan judul “Qiyas Ushuli dan Qiyas Nahwi dalam Perspektif Historis dan Epistemologis” dengan segala kekurangan dan keterbatasannya, guna meraih gelar Magister Agama pada Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Kepada Bapak Menteri Agama RI, Kepala Kantor Wilayah Depertemen Agama Provinsi Riau, dan Kepala Madrasah Aliyah Negeri Tembilahan, Pimpinan Sekolah Tinggi Agama Islam (S. T. A. I) Tembilahan, penulis sampaikan terima kasih atas waktu dan kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk belajar di SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, guna peningkatan SDM dan profesionalitas penulis.
Kepada Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Prof. Dr. Suwito, MA, Dr. Fu’ad Jabali, MA, dan Dr. Udjang Thalib, MA selaku Direktur dan Deputi Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta seluruh staf pengajarnya, penulis sampaikan terima kasih yang tulus atas perhatian dan motivasinya.
ix
Dan tidak lupa penulis sampaikan ucapan terima kasih yang tidak terhingga kepada Pimpinan dan seluruh jajaran pengasuh Madrasah Aliyah Negeri Tembilahan Riau, yang telah memberikan motivasi, dan tak lupa ucapan terima kasih yang tulus kepada teman- teman tenaga pengajar di Madrasah Aliyah Negeri Tembilahan atas persahabatannya yang hangat.
Di samping itu juga, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada pimpinan dan karyawan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta atas pelayanannya yang baik dan ramah dalam bentuk peminjaman buku-buku maupun foto copy data-data yang penulis butuhkan, semoga bantuannya mendapatkan balasan dari Allah swt.
Kepada Ayahanda H. Jamaluddin Siddiq (alm), Ibunda Hamisah, Terima kasih telah membesarkan ananda dengan semangat keilmuan meskipun tanpa kekayaan. Ayahanda Ibrahim dan Ibunda Nurjannah (mertua), terima kasih atas bantuannya karena menjadi ikut direpotkan dengan kehadiran cucu, motivasi dan do’anya selama penulis menyelesaikan studi di Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta.
Kepada sahabat-sahabatku pada program beasiswa Departemen Agama angkatan 2007 dari PBA dan PAI di Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah yang selalu memberikan semangat dan waktu berdiskusi untuk segera menyelesaikan Program Magister terutama dalam penulisan Tesis ini. Dan, semua pihak yang telah membantu penyelesaian tugas ini tanpa bisa disebutkan satu persatu.
x
terakhirmu pada pada saat engkau menghadap Ilahi.
Akhir kata, semoga Tesis ini dengan segala keterbatasannya dapat menjadi ilmu yang bermanfaat bagi penulis, khsususnya dan para pembaca pada umumnya sehingga menjadi amal jariyah yang tiada akan terputus, dan menambah wawasan keilmuan dalam khazanah masyarakat ilmiah. Amin.
Jakarta, Agustus 2009 Penulis
xi penelitian ini adalah:
A. Konsonan Huruf
Arab Nama Huruf Latin Keterangan
ا Alîf Tidak dilambangkan
ب
Bâ’ B, b Beت
Ta’ T, t Teث
Tsâ’ Ts, ts Te dan esج
Jîm J, j Jeح
Hâ’ H, h Ha (dengan garis di bawah)خ
Kha’ Kh, kh Ka dan haد
Dâl D, d Deذ
Dzâl Dz, dz De dan zetر
Râ’ R, r Erز
Zây Z, z Zetس
Sîn S, s Esش
Syîn Sy, sy Es dan yeص
Shâd SH s SH dengan garis di bawahض
Dhâd D, d de dengan garis di bawahط
Thâ’ T, t te dengan garis di bawahظ
Zhâ’ Z, z zet dengan garis di bawahع
‘Ain ‘ koma terbalik di atasغ
Ghain Gh, gh Ge dan haف
Fâ’ F, f Efق
Qâf Q, q Kiك
Kâf K, k Kaل
Lâm L, l Elم
Mîm M, m Emن
Nûn n, n Enو
Wâw w, w Weـه
hâ’ h, h Ha&
lâm alîf Lâ, lâ el dan aء
Hamzah ˏ apostrofxii
َ Fathah a a
ِ
Kasrah i Іُ
Dammah u u2. Vokal Rangkap
Tanda Nama Gabungan Huruf Nama
َ...
ى Fathah dan yâ’ ai a dan i
َ...
و
Fathah dan wâw au a dan uContoh:
xiii
Kalau kata yang berakhir dengan tâ’ marbûthah diikuti oleh kata yang
bersandang /al/, maka kedua kata itu dipisah dan tâ’ marbûthah
ditransliterasikan dengan /h/. Contoh:
3ّ56 ا
7ّ56 ا
3 : al-Makkah al-Mukarramah
E. Syaddah
Syaddah/tasydîd di transliterasi ini dilambangkan dengan huruf, yaitu
huruf yang sama dengan huruf yang bersyiddah itu.
Contoh:
89ّـ:ر
: rabbanâلّ;<
: nazzalF. Kata Sandang
Kata sandang “ـ ا ” dilambangkan berdasarkan huruf yang mengikutinya, jika
diikuti huruf syamsiyah dan huruf qamariyah maka ditulis “al”
Contoh:
xiv
H. : Tahun Hijriyah
h. : Halaman
H.R : Hadis Riwayat
j. : Jilid
j. : Juz
M. : Tahun Masehi
QS. : al-Quran Surat
ra. : Ra iya Allâh ’anḥu
saw. : Sallallâḥ ‘Alaiḥi wa Sallam
swt. : Subhânahu wa Ta‘âla
t.th. : Tanpa tahun
t.tp. : Tanpa tempat penerbit
xv
HALAMAN JUDUL ... i
SURAT PERNYATAAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PERSETUJUAN TIM PENGUJI ... iv
ABSTRAK ... v
ABSTRACT ... vii
D ا T $ ... ix
KATA PENGANTAR ... xi
PEDOMAN TRANSLITERASI ... xiii
DAFTAR ISI ... xvi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan Rumusan masalah ... 13
C. Tujuan Penelitian ... 14
D. Signifikansi Penelitian ... 14
E. Kajian Terdahulu yang Relevan ... 15
F. Metode Penelitian ... 17
1. Sumber Data ... 17
2. Pendekatan ... 18
3. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data ... 18
G. Sistematika Penulisan ... 19
BAB II ORISINALITAS ILMU KEISLAMAN A. Klasifikasi Ilmu ... 21
B. Hubungan Fiqh dengan Bahasa Arab ... 30
xvi
C. Qiyâs Nahw ... 87
BAB IV STRUKTUR QIYÂS A. Ushul al-Fiqh ... 102
1. Kasus ‘Ashl ... 102
2. Kasus Cabang ... 120
3. ’Ilat ... 127
B . Ushûl al-Nahw ... 148
1. Ashl ... 148
2. Hukum ... 155
3. ’Illat ... 157
BAB V PENUTUP ... 162
A. Kesimpulan ... 162
B. Saran ... 163
1 A. Latar Belakang Masalah
Istilah qiyâs dipergunakan dalam dua bidang ilmu keislaman yang berbeda
yaitu ilmu ushȗl al-fiqh dan ilmu ushȗl al-nahw. Dalam ushȗl al-fiqh, qiyâs
ditempatkan pada posisi ke empat dari urutan dalil hukum, al-Qur’ân, sunnah,
Ijma’ dan Qiyâs. Dalam teori hukum Islam, qiyâs lahir paling belakang. Ia
dianggap sebagai prinsip, dasar atau sumber hukum yang ke empat, seperti
sumber-sumber lainnya. Sebenarnya qiyâs adalah salah satu cara ijtihad dan
bukan sebagai sumber hukum seperti yang digambarkan oleh ke empat perangkat
teori hukum di atas.1 Alasannya adalah ia bukan hujjah (otoritas) dan bukan pula
sumber yang berdiri sendiri. Ia merupakan proses ijtihad yang sistematis untuk
untuk mengungkap ketetapan hukum. Ia sepenuhnya bergantung pada sumber hukum yang lain, baik al-Qur’ân maupun sunnah. Terkadang ia didasarkan pada Ijma’, yang juga mencari dukungan pada kedua sumber tersebut. Dengan demikian semua sumber tersebut saling terkait dan pada dasarnya merujuk pada satu sumber, yaitu al-Qur’ân. Sedangkan fungsi qiyâs dalam ushul al- fiqh untuk memperluas hukum yang terdapat dalam al-Qur’ân dan sunnah. Karena tidak semua persoalan yang terjadi ada penjelasannya secara tekstual didalam al-Qur’ân dan sunnah.
Hampir sama dengan qiyâs yang ada di dalam ushûl al-fiqh, qiyâs dalam
ushûl al-nahw, ditempatkan pada posisi ketiga dalam deretan urutan dalil dalam
cabang ilmu ini, yaitu al-sama’ atau al-riwâyah, ijma’ dan qiyâs. Fungsi qiyâs
dalam ushûl al-nahw untuk memperluas kalam Arab dengan cara mengqiyaskan
pada pola bahasa yang ada.
1 Para ahli ushul al-fiqh membedakan antara dalil dan sumber hukum. Sumber merupakan
Beralih ke struktur2 qiyâs, kedua jenis qiyâs tersebut mempunyai banyak persamaan. Menurut al-Âmidî, dengan mengutip pendapat Abu Husain al-Bashri,
mengemukakan definisi qiyâs sebagai “penerapan hukum ashl kepada far’ karena
ada kesamaan ‘illat antara keduanya”.3 Sedangkan dalam ilmu ushûl al-nahw, Ibn
Anbari (w. 557 H) mendefinisikan qiyâs sebagai “membawa (haml) far’” kepada
asl karena ada ‘illat dan memberlakukan hukm asl kepada cabang tersebut.4
Dengan kata lain ketetapan hukum bagi kasus cabang (far’) didasarkan pada
ketetapan hukum kasus pokok (ashl) karena ada sifat yang menghubungkan (wasf
jâmi’) antara keduanya. Dengan membandingkan dua pengertian qiyâs di atas
dapat disimpulkan bahwa unsur pokok pembentuk qiyâs terdiri dari ashl, far’,
hukm ashl dan ‘illat. Ini memperlihatkan ada kesamaan antara dua jenis qiyâs
tersebut, yakni qiyâs dalam ushul al-fiqh dan qiyâs dalam ushul al-nahw.
Persamaan lain dapat ditemukan ketika membandingkan macam-macam qiyâs dan
cara-cara mencari ‘illat (masâlik al-‘illah). Sejumlah besar persamaan dapat
ditemukan.
Dari sekian banyak kesamaan tersebut timbul pertanyaan apakah salah satu
dari kedu jenis qiyâs tersebut dipengaruhi atau disalin dari lainnya? Terjadi
perbedaan pendapat di antara para ahli dalam mejawab persoalan ini. Ali Syâmi
al- Nassyâr berpendapat bahwa qiyâs yang ada pada ilmu nahw dipengaruhi oleh
qiyâs dalam ushȗl al-fiqh.5 Alasannya adalah bahwa qiyâs yang ada dalam ushȗl al-fiqh lebih sistematis dibanding dengan qiyâs yang ada dalam ilmu nahw (ushul al-nahw). Menurut penulis alasan ini tidak cukup untuk membuktikan hal
tersebut. Harus ada bukti kongkrit yang menunjukkan bahwa qiyâs dalam nahw
dipengaruhi oleh qiyâs dalam ushûl al-fiqh.
2 Struktur merupakan unsur-unsur pokok pembentuk qiyâs seperti kasus asal, kasus cabang,
hukum asl dan ‘illat (kausa). Lihat Ahmad Hasan, Analogical Reasoning In Islamic Jurisprudence, (Delhi: Adam Publishers and Distributors,1994), h. 10.
3 Saifuddin Abi Hasan al-Âmidî, Al-Ihkâm fȋ al-Ushȗl al-Ahkâm, (Beirut: Dȃr al-Fikr,
2003), juz II, h. 126.
4 Kamâluddin Abi Barakât ibn Anbari, luma’ al-Adillah, (ttp, 1988), h. 93. Bandingkan
dengan Said al-Afghâni, Fȋ Ushûl al-Nahwî, (Beirut: Al-Maktab Al-Islȃmi, 1987), h. 78.
5 Ali Syami al-Nassyar, Manâhij al-Bahs ‘Inda Mufakkiri al-Islâm, (Iskandariah: Dȃr al-
Pengaruh ushȗl al-fiqh terhadap ilmu nahw sesungguhnya tidak hanya
terbatas di seputar qiyâs, tetapi bahkan hampir keseluruh bangunan qiyâs. Para
ahli ilmu nahw (nuhât) mengakui bahwa mereka mengambil prinsip-prinsip ilmu
mereka dari ushȗl al-fiqh Abu Hanîfah. Ibn Jinnî (w. 392 H) pernah berkata
bahwa para ahli nahw mengambil konsep tentang ‘illat dari kitab Muhammad ibn
Hasan al-Syaibânî yang merupakan salah seorang murid Abu Hanîfah. Tetapi di
dalam Khasâisnya, Ibn Jinni mengatakan bahwa qiyâs ahli nahw lebih dekat
kepada qiyâs para teolog dibanding dengan ahli fiqh.6 Alasannya menurut Ibn
Jinni adalah karena ‘illat dalam nahwu, dalam proses pencarian dan penetapannya
sangat dekat dengan cara-cara yang dipakai oleh para teolog dalam menetapakan ‘illat yaitu berdasarkan phenomena yang dapat tertangkap oleh panca indera. Lain
halnya dengan proses pencarian ‘illat dalam fiqh. Proses pencariannya seringkali
bersifat ta’abbudi, dimana peran akal hampir tidak berfungsi atau kecil sekali,
seperti ketika para ahli fiqh menjelaskan hubungan antara tergelincirnya Matahari dengan kewajiban shalat dzuhur.
Sesungguhnya yang terjadi adalah saling mempengaruhi antara ushûl
al-fiqh dengan ushûl al-nahw. Pada tahap awal perkembangannya ilmu ushûl al-Fiqh
dipengaruhi oleh ilmu nahwu, khususnya berkaitan dengan pemikiran tentang ashl
dan far’ yang merupakan prinsip dalam qiyas. Pada masa yang lebih terkemudian,
ilmu ushûl al-fiqh berkembang lebih cepat dari pada ilmu bahasa dan menjadi cabang ilmu yang berdiri sendiri. Pada tahap ini giliran ilmu bahasa yang dipengaruhi oleh ilmu ushûl al-fiqh, khususnya yang berkaiatan dengan struktur dalil dalam ilmu nahwu, banyak dipengaruhi oleh struktur dalil dalam ushûl al- fiqh.
Buku-buku yang mengulas tentang biografi para ahli nahw menyebutkan
bahwa ‘Abdullah ibn Ishaq al-Hadramî (w. 117 H) adalah orang yang mula-mula
merumuskan nahw, menetapkan qiyȃs, dan menjelaskan kausa (‘illat) dan sangat
teliti dalam mengupas qiyȃs. Juga di jelaskan bahwa al-Khalȋl ibn Ahmad al-
Farâhîdî (w. 175 H) berindak mengoreksi qiyȃs dan merumuskan masalah-
6 Abu al-Fath Utsmân ibn Jinnî, Al-khasâis, (Mesir: Dâr al-Kutub al-Misriyyah, 1982), juz l
masalah nahw dari kausanya.7 Sedangkan Sîbawaih (w. 180 H), dari buku yang
ditulisnya al-Kitab terlihat bahwa qiyâs dalam nahw pada masa hidupnya telah
menjadi alat untuk berfikir, untuk menghasilkan produk teoritis dalam wilayah
konstruksi kata (nahw).
Dengan demikian pada tahap yang masih sangat awal ini, yaitu sebelum
al-Syâfi’i menulis kitab al-Risalah, qiyâs dalam nahw telah melampaui tujuan
asalnya dari hanya sekedar memperluas perkataan orang Arab, menjadi sebuah keniscayaan-keniscayaan kognitif yang tidak diambil dari perkataan orang Arab
atau dari instink Arab. Dalam buku-buku biografi para ahli nahw juga disebutkan
bahwa Muhammad ibn al-Mustanbar yang terkenal di daerah Qutrub (w. 204 H)
yang tidak lain adalah murid Sîbawaih, menulis buku yang berjudul ‘illal fi
al-Nahw. Setelah itu muncul beberapa buku yang mengulas tentang ‘illah dan qiyȃs al-nahwiyyah kemudian disusul buku-buku tentang metode nahw yang mencapai
puncaknya pada Ibn Anbari yang menulis buku Luma’ al-Adillah, al-Inshȃf fi
Masȃil al-Khilȃf. Penting untuk dicatat bahwa Ibn Sarrâj (w. 316 H) menulis
buku tentang ushul al-nahw dengan judul al-Ushul fi al-Nahw, sebuah karya yang
didasarkan pada al-Kitâb Sîbawaih dalam bentuk yang sistematis.
Yang menarik untuk dicermati di sini bahwa proses penetapan dan
perumusan metode kajian dalam nahw khususnya qiyȃs telah ada sejak al-Syafi’i
menulis al-Risȃlahnya dalam bidang Ushȗl al-Fiqh, sehingga memunculkan
pertanyaan, siapakah yang lebih dahulu merumuskan qiyȃs ? ahli nahw atau ahli
fiqh. Sulit untuk memberikan jawaban pasti. Namun sumber- sumber yang ada
menunjukkan bahwa ahli nahw secara umum adalah lebih dahulu melakukan
qiyȃs secara sistematis. Sebab, jika fiqh untuk pertama kalinya dibangun
berdasarkan naql (al-Qur’ȃn dan sunnah), maka nahw sejak semula dibangun
berdasarkan qiyȃs. Secara definitif nahw adalah ilmu tentang standar penilaian
yang di induksi (istiqra’) dari perkataan orang Arab. Atau seperti yang
dikemukakan oleh al-Kisâ’i bahwa bahwa nahw adalah qiyȃs yang di ikuti (qiyâs
7 Muhammad ‘Abd al-Karȋm, Al-Wasȋt fȋ Tarȋkh al-Nahw al-‘Arabȋ, (Riyȃdh: Dȃr al-Sawȃf,
1992), h.49, Muhammad Thantȃwi, Nasy’ah al-Nahw, (Dȃr al- Manȃr, 1991) h. 46. Syauqi Dhaif,
yuttaba’).8 Sama halnya jika di tetapkan awal perumusan nahw dikembalikan kepada Abu al- Aswad al-Du’ali (w. 67 H) yang disebut-sebut sebagai orang yang
pertama merumuskan ilmu nahw atau kepada ‘Abdullah ibn Abi Ishaq al-Hadramî
dimana para ahli nahw sepakat bahwa dia orang yang mengkaji nahw secara
metodik dan mempraktikkan qiyȃs, namun harus diakui bahwa para ahli nahw
dari segi waktu, telah lebih dahulu mempraktikkan qiyȃs secara metodik.9
Terlepas dari persoalan siapa yang lebih dahulu, dari sumber yang ada terlihat
jelas bahwa para ahli nahw menyalin perangkat-perangkat konsepsional dan
metodis mereka dari para teolog dan ulama’ ushȗl al-fiqh. Hal ini berlangsung
sejak mereka mulai melakukan teoritisasi wacana nahw hingga filsafat nahw
mencapai puncaknya.
Pengaruh ushȗl al-fiqh terhadap nahw sangat nyata pada Ibn Anbari dan
al-Sayûti. Di dalam bukunya (Luma’al-Adillah), Ibn Anbari menyebutkan bahwa
ilmu ushûl al-nahw sama seperti ilmu ushȗl al-fiqh. Ia merumuskan bab-bab
untuk qiyâs berikut pembagiannya sama seperti susunan yang ada dalam
buku-buku ushȗl al-fiqh. Al-Sayȗti di dalam bukunya (Al-Iqtirâh) menyebutkan
kesamaan antara ilmu ushȗl al- fiqh dengan ilmu ushûl al-nahw, menyusun
bab-bab bukunya seperti susunan yang ada dalam ilmu ushȗl al-fiqh dan membagi
qiyȃs menjadi qiyâs ‘illat, qiyâs syabah dan qiyâs thard. Sama seperti yang ada di
dalam ushûl al-fiqh.10
Contoh lain yang menunjukkan dipengaruhinya ilmu nahw oleh ushûl
al-fiqh, dipakainya konsep ushȗl al-fiqh dalam ilmu nahw. Ketika mendiskusikan
dua kata kerja (fi’il) yang dimana para ahli ilmu nahw berbeda pendapat tentang
apakah keduanya termasuk kata kerja (fi’il) ataukah kata benda (ism). Ibn Anbari
(w. 577 H) berpendapat bahwa keduanya adalah kata kerja (fi’il). Selanjutnya ia
mengatakan, bukti bahwa ni’ma dan bi’sa adalah kata kerja (fi’il), karena
8 Syauqi Dhaif, Al-Madȃris al-Nahwiyah,(Kairo: Dâr al-Ma’ârif, 1979), h. 176.
Bandingkan dengan Khalid Sa’ad, Ushȗl al-Nahw, (Kairo: Maktabah al- Adȃb, 2006) h. 157.
9 Ini dapat dilihat pada buku-buku tentang ushûl nahw seperti Luma’ al-‘Adillah, Kitab al- Iqtirah dan buku-buku sejenis.
keduanya selalu fathah. Seandainya kedua kata itu adalah kata benda (ism), harus
dilengkapi bukti pendukung. Prinsip itu didasarkan pada ”istishâb al-hâl”.11
Istishâb merupakan salah satu dalil dalam ushȗl al-fiqh.
Dalam penetapan ushul, para ahli nahw secara keseluruhan menyalin
konsep ushûl al-fiqh. Hal ini terjadi tidak hanya pada tingkat istilah dan
klasifikasi, tetapi juga pada tingkat pendasaran dan struktur. Sejauh pengetahuan penulis, Ibn Anbari (w. 557 H) adalah orang yang menyalin secara utuh struktur
umum ushûl al-fiqh dan menetapkannya bagi ushûl al-nahw. Ini terlihat jelas
dalam risalah kecilnya yang berjudul Luma’ al-Adillah tersebut. Dalam pengantar
buku tersebut tertulis bahwa ushûl al-nahw adalah dalil-dalil nahw yang dari sana
lahir cabang dan bagian-bagiannya, sebagaimana ushûl al- fiqh adalah dalil- dalil
fiqh yang dari sana lahir totalitas dan detail-detailnya. Manfaat Ushûl al-nahw
adalah menjadi sandaran dalam berargumentasi dan kausasi dalam menetapkan hukum dan naik dari derajad taqlid menjadi mampu menetapkan hukum dengan
dalil.12Persesuaian antara struktur ushûl al-fiqh dengan ushûl al- nahw tidak hanya
terbatas pada tingkat definisi dan tujuan, sebab dalil-dalil nahw juga meminjam
dalil-dalil fiqh dan sekaligus mengadopsi persoalan-persoalan dan problematika
epistemologisnya. Dengan demikian dalil-dalil nahw secara berurutan ada tiga:
al-naql (al-sama’), qiyâs dan istishâb al-hâl, demikian pula istidlâlnya. Yang
dimaksud dengan al-naql adalah perkataan orang Arab yang fasih yang
ditransmisikan secara valid (sahîh) dengan jumlah jalur periwayatan yang banyak.
Dalam hal ini naql ada dua macam: mutawâtir dan âhâd. Naql mutawâtir adalah
bahasa Al-Qur’ȃn dan sunnah serta perkataan orang Arab yang ditransmisikan
secara mutawâtir. Transmisi mutawâtir dan âhâd ini mempunyai beberapa
syarat.13 Sedangkan qiyâs adalah ungkapan yang menunjukkan proses penetapan
hukum kasus cabang berdasar hukum ashl. Jika dalam fiqh ada orang yang
mengingkari argumentasi qiyâs, tidak demikian halnya dalam nahw, sebab nahw
11 Kamâluddin Abî Barakât ibn Anbari, Al-Inshâf fî Masâil al-Khilâf, (Kairo: Al-Istiqâmah,
1364 H), h. 73.
12 Kamâluddin Abi Barakât ibn Anbari, Luma’ al-Adillah, (Mesir: Al-Jȃmi’ah, 1988) h.81 13 Kamaluddin Abi Barakât ibn Anbari, Luma’… h.81-85 bandingkan dengan Mahmûd
secara keseluruhan adalah qiyâs dan siapa yang mengingkari qiyâs berarti
mengingkari nahw14 Sebenarnya penolakan terhadap qiyâs dalam nahw juga
terjadi namun tidak seluas yang terjadi dalam wilayah fiqh. Dapat dilihat pada
pandangan Ibn Madhâ’ yang menolak qiyâs dalam nahw.
Dalam karya tersebut selanjutnya diulas macam-macam qiyâs dengan
meniru apa yang ada di kalangan ulama’ ushûl al-fiqh. Dengan demikian ada tiga
macam qiyâs yaitu qiyâs ‘illah, qiyâs syibh dan qiyâs thard. Yang dimaksud
dengan qiyâs ‘illah adalah apabila far’ dipersamakan dengan ashl sebab adanya
‘illah yang menghubungkannya dengan hukum asl, seperti mengqiyaskan nȃib al-
fȃ’il kepada fȃ’il dengan ‘illat isnâd. Sedangkan qiyâs syibh adalah ketika
disamakan far’ dengan ashl karena adanya persamaan (bukan ‘illah) yang
menghubungkan far’ dengan ashl. Misalnya i’rabnya fi’il mudhari’ (kata kerja
untuk waktu sekarang) yang bersifat khusus setelah sebelumnya bersifat umum
karena memiliki kesamaan dengan kata benda (ism) yang bersifat khusus setelah
sebelumnya bersifat umum, maka i’rab fi’il itu seperti i’rab kata benda (ism).
Sedangkan qiyâs thard adalah ketika ditemukan adanya persamaan hukum namun
tidak ada persesuaian (munâsabah) dalam ‘illah. Terhadap jenis qiyâs yang ketiga
ini terjadi perbedaan pendapat tentang kehujjahannya. Jelas pada ketiganya
terdapat problem yang sama seperti yang tersebar dalam buku-buku fiqh dan ushûl
al-fiqh seputar masalah qiyâs dan jenis-jenisnya, sehingga seolah-olah
problematika nahw seolah-olah sama dengan problematika ushûl al-fiqh. Lebih
lanjut dia juga membahas masalah istihsân dan kontradiksi antara naql dengan
naql dan qiyâs dengan qiyâs, setelah itu kembali kepada dalil yang ketiga yaitu
istishâb al-hâl yakni berlanjutnya hukum ashl untuk kata benda (ism) dalam
keadaan mu’rab, dan berlanjutnya hukum untuk kata kerja (fi’il) dalam keadaan
mabnî.
Mahmûd Ahmad Nahlah15 dan Âbid al-Jâbiri berpendapat sejalan dengan
pandangan di atas. Dengan menggunakan argumen historis al-Jâbiri mengatakan
bahwa qiyâs dalam ilmu nahw telah lebih dahulu matang dalam tulisan
14 Kamâluddin Abi Barakât ibn Anbari, luma’… h. 82
15 Mahmûd Ahmad Nahlah, Ushûl Al-Nahwî al-‘Arabî, (Iskandariah: Dâr al-Ma’rifah al-
Sîbawaih.16 Sementara qiyâs dalam ushȗl al-fiqh baru menemukan bentuknya
yang sistematis ketika al-Syâfi’i merumuskannya dalam tulisan-tulisannya.17 Dan
al- Syâfi’i ketika merumuskan tesisnya tentang qiyâs dalam ushȗl al-fiqh tersebut
terjadi sekitar penghujung abad kedua hijrah, bahkan mungkin di awal abad ketiga
hijrah.18 Jadi dari segi waktu jelas qiyâs dalam ilmu nahw lebih dahulu
dirumuskan dan mencapai kematangannya pada saat qiyâs dalam ushûl al-fiqh
belum dirumuskan.19
Berbeda dengan al-Jâbiri, Mahmûd Ahmad Nahlah mempunyai argumen lain. Baginya, karena bahasa merupakan alat untuk memperoleh ilmu, maka
bahasa hadir terlebih dahulu dibanding ilmu lainnya, termasuk dalam hal ini qiyâs.
Istilah dan konsep bahasa sering dipinjam oleh disiplin ilmu lain.20 Riwayat
berikut memperlihatkan pengaruh ilmu nahw terhadap ushûl al-fiqh.
Seorang ahli fiqh yang bermazhab al-Syâfi’i, Ibn al-Haddâd al-Misrî mengkhususkan satu malam tertentu di dalam seminggu untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan fiqh berdasarkan kaidah nahw. Dalam riwayat tersebut
dinyatakan bahwa Abu Ja’far al-Nahhâs al- Misrȋ tidak pernah absen menghadiri
majlis Ibn al-Haddâd tersebut.21 Jamâl al-Dîn al-Isnawi menulis sebuah buku yang
berjudul al-Kawâkib al-Durriyyah fȋ al-tanzîl al-furû’ al-fiqhiyyah ‘alâ al-Qawâid
al-nahwiyyah. Judul buku tersebut mengindikasikan dengan jelas bahwa ushûl
al-fiqh dipengaruhi oleh ilmu nahw.
Qiyâs dalam ilmu nahw boleh jadi juga dipengaruhi oleh ilmu kalam.
Mengingat banyak tokoh-tokoh ilmu nahw menganut teologi mu’tazilah.
Sîbawaih, Al-Farrâ’, Abu Ali al-Fârisi, al-Rummânî, Ibnu Jinnî dan Al-
Zamakhsyari adalah beberapa tokoh ilmu nahw yang yang menganut paham
16 Untuk biografi Sîbawaih lihat Syauqi Dhaif, Al-Madâris al-Nahwiyah, (Mesir: Dâr
al-Ma’ârif, 1976), h, 57. Muhammah ’Abd al-Karim, Al-Wasith Fi Târikh al-Nahw al-‘Arabi, (Riyadh: Dâr al-Syawaf, 1992), h, 58. Muhammad al-Thantâwi, Nasy’ah al-Nahwî, (Mesir: Dâr al-Manâr, 1991), h, 47.
17 Muhammad ‘Abid al-Jâbiri, Takwîn al-‘Aql al-‘Arabî, (Beirut, Al-Markaz al-Saqâfi al-
Arabi, 1991), h. 100
18 Al-Syâfi’i Wafat tahun 205 Hijriyah, kuat dugaan bahwa dia menulis buku Al-Risalahnya
beberapa tahun menjelang wafatnya.
19 Muhammad ‘Âbid Al-Jâbiri, Takwîn…h.50. 20 Muhammad ‘Abid Al-Jâbiri, Takwîn…h.52.
21 Abû Bakr Muhammad ibn Hasan al-Zubaidi, Tabaqât al-Nahwiyyîn wa al-Lughawiyyîn,
mu’tazilah. Adalah Mungkin metodologi kalam mu’tazilah tersebut, khususnya
analogi, masuk ke dalam ilmu nahw.22Dalam ilmu kalam dikenal ada istilah qiyas
al-ghaib ‘ala al-syahid, membandingkan yang tidak nyata dengan yang nyata.
Pengaruh wacana teologis dalam wacana nahw sepanjang abad ketika ilmu
teologi tumbuh dengan pesat. Konsep dan persoalan teoritis nahw banyak diambil
dari teolog. Mereka sangat menyukai metode diskusi, dialektika dan analisa.
Misalnya mereka menghubungkan konsep gerak (harakah) dalam wilayah
teologis dengan dengan harakah dalam i’rab, mereka melarang menggabungkan
dua i’rab dengan bersandar pada landasan yang dijadikan pegangan oleh para
teolog, yaitu landasan yang mengatakan bahwa dua faktor yang berpengaruh
(al-muatsirâni ) tidak bisa dikumpulkan di satu tempat. Ilmu nahw juga dipengaruhi
oleh ilmu hadits. Ilmu nahw menggunakan metoda ilmu hadits untuk menentukan
kriteria riwayat-riwayat yang bisa diterima dari kalam Arab.
Perbedaan pendapat tentang qiyâs tidak berakhir sampai di situ. Pada
ranah epistemologis terjadi perbedaan pendapat. Qiyâs adalah bentuk penalaran
yang sistematis baik dalam bahasa maupun dalam ushûl al-fiqh. Sebelum menjadi
ajaran yang komplek di tangan Sîbawaihi dan al-Syâfi’i, qiyâs pada awalnya
hanya merupakan bentuk penalaran sederhana dan tidak pelik. Gagasan tentang premis mayor dan minor yang logis dengan faktor-faktor esensial yang sama
belumlah muncul. Waktu itu qiyâs hanya merupakan pengutipan preseden yang
mirip atas sebuah kasus yang analog. Suatu persamaan sederhana sudah dapat
dilakukan qiyâs. Misalnya, dalam bahasa Arab, ketika para ahli nahw
mengqiyâskan sejumlah kata sifat dengan kata kerja dari segi bahwa kata sifat
tersebut dapat beramal seperti kata kerja (fi’il). Dalam kasus fiqh hal yang sama
juga terjadi. Contohnya seperti kasus berikut.
Jika seorang pencuri mengumpulkan barang-barang di suatu tempat dalam rumah yang ingin dicurinya, tetapi barang tersebut tidak diangkutnya keluar
rumah, maka tangan orang tersebut tidak dipotong. Kasus ini sejajar (diqiyâskan)
dengan kasus seseorang yang menyiapkan minuman keras di hadapannya untuk
22 Lihat Said al-Afghâni, Fȋ al-Ushȗl al-Nahwî, (Beirut: al-Maktab al-Islâmi, 1987), h.
diminum, tapi dia tidak meminumnya, orang ini tidak dikenai hukuman hadd bagi kejahatan tersebut.
Tapi pada tahap selanjutnya, terutama setelah masa Sȋbawaihi dan al-
Syâfi’i, qiyâs berkembang menjadi ajaran yang komplek dan sistematis karena
dilengkapi dengan sejumlah syarat yang ketat.23 Maka wajar kemudian muncul
pertanyaan dari mana orang Arab memperoleh gagasan tentang qiyâs? Apakah
qiyâs merupakan hasil pemikiran orang Arab yang lahir karena kebutuhan sosial
mereka atau berasal dari luar?. Apalagi jika dibandingkan dengan qiyâs yang ada
dalam logika Yunani, maka menjadi wajar jika terjadi perbedaan pendapat seputar
asal usul qiyâs tersebut.
Joseph Schacht, dalam The Origins berpendapat bahwa qiyâs dalam ushȗl
al-fiqh dipengaruhi oleh pemikiran Yahudi.24 Menurut Schacht, qiyâs diturunkan
dari istilah tafsir dalam agama Yahudi hiqqish, dari akar kata bahasa Aramea
naqsh yang berarti “memukuli bersama-sama”. Lebih lanjut dia menjelaskan
bahwa kata tersebut dipergunakan untuk arti berikut. Pertama, untuk penjajaran
dua pokok masalah dalam Bibel, dan menunjukkan bahwa keduanya harus
diperlakukan dengan cara yang sama. Kedua, mengenai kegiatan penafsir Bibel
yang membuat perbandingan dengan menggunakan teks yang tertulis dan ketiga, untuk kesimpulan dengan analogi, berdasarkan adanya sifat-sifat penting yang sama-sama terdapat dalam kasus patokan maupun kasus lain yang disejajarkan.
Arti yang ketiga ini menurut Schacht identik dengan qiyâs yang ada dalam ushȗl
fiqh.25
Ahmad Hasan mempunyai pendapat yang berbeda dengan Schacht.
Menurut Ahmad Hasan, qiyâs lahir sebagai desakan kebutuhan sosial masyarakat
23 Untuk penjelasan rinci tentang qiyâs dalam ushȗl fiqh lihat Ahmad Hasan, Analogical
Reasoning in Islamic Jurisprudence,(Delhi: Adam Publishers And Distributors, 1994), h. 200-250
danal-Âmidi, al-Ihkam…,Hasyim Kamali, The Principle of Islamic Jurisprudence, (Cambridge: The Islamic texts society, 1991), h. 197-226. Sedangkan untuk pembahasan rinci tentang qiyâs dalam ilmu nahw lihat Muna Ilyas, Al-Qiyâs fî al-Nahwî, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1985), dan Muhammad Hasan ‘Abd al-Azîz, Al-Qiyâs fî al-Lughah al- Arabiyyah, (Beirut: Dâr Fikr al-Arabi, 1995).
24 Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, (London: Oxford, 1959), h.
99
Arab Islam, bukan berasal dari pengaruh pemikiranYahudi atau lainnya.26 Menyanggah pandangan Schacht, Ahmad Hasan menjelaskan andai kata bahwa
kata hiqqish dalam istilah tafsir Bibel itu identik dengan qiyâs yang ada dalam
hukum Islam, masih harus dibuktikan bahwa qiyâs dalam hukum Islam itu
dipinjam dari dari kata Yahudi tersebut. Dengan kata lain diperlukan bukti yang
memadai untuk menetapkan asal-usul dari qiyâs. Karena bahasa Arab dan bahasa
Yahudi termasuk dalam rumpun bahasa yang sama, tampaknya kedua kata
tersebut mempunyai kesamaan arti, atau paling kurang hampir sama.27 Dari sudut
pandang sosiologis, setiap masyarakat menciptakan norma-norma dan pranata-pranata sosialnya sendiri menurut kebutuhan masing-masing. Menjadi keliru untuk membuat asumsi pranata-pranata tersebut selalu mesti dipinjam dari pranata asing, kecuali jika bisa dibuktikan sebaliknya. Jadi menurut penulis,
prinsip-prinsip qiyâs muncul karena desakan kebutuhan sosial ummat Islam walaupun
dalam perkembangannya pada masa belakangan dipengaruhi oleh unsur asing.
Hal yang sama terjadi pada qiyâs nahw. Terjadi perbedaan pendapat
tentang asal usul qiyâs. De Boer berpendapat bahwa ilmu nahw dipengaruhi oleh
pemikiran Persia. Alasan yang dikemukakannya adalah bahwa Ibn al-Muqaffa’ (w. 142 H) adalah orang yang melapangkan jalan bagi orang-orang Arab untuk
mengenal bahasa dan filsafat Persia.28 Menurut Syauqi Dha’if, Ibn al-Muqaffa’
menyediakan jalan bagi masuknya pengaruh Yunani ke dalam ilmu nahw. Ia
menerjemahkan buku-buku Aristoteles ke dalam bahasa Arab. Ia hidup sezaman
bahkan berteman dengan al-Khalȋl ibn Ahmad (w. 170 H). Besar kemungkinan
al-Khalȋl Ibn Ahmad mengenal logika Yunani lewat buku terjemahan Ibn
al-Muqaffa’ tersebut.29 Penelitian yang lebih belakangan menunjukkan bahwa
al-Kalîl ibn ahmad tampaknya tidak memperoleh manfaat dari buku Ibn al-Muqaffa’ tersebut. Masih menurut de Boer juga, bahwa Pengaruh Logika Yunani yang
26 Ahmad Hasan, The Early Development…h, 125. 27 Ahmad Hasan, The Early Development…h, 126.
28 De Boer, Târîkh al Falsafah fȋ al Islâm, diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Abu
Ridah, (Kairo: Lajnah al-Ta’lif wa al-Turjumah, 1938), h. 38.
masuk ke dalam ilmu nahw bukan melalui terjemahan Ibn Muqaffa’ tetapi lewat
terjemahan Hunain ibn Ishaq dan putranya, Ishaq ibn Hunain.30
Perbedaan pendapat tentang qiyâs juga terjadi tentang keabsahan qiyâs
untuk dijadikan sebagai salah satu metode untuk mengistinbatkan hukum dalam
Islam. Mayoritas ulama’ menerima qiyâs sebagai salah satu metoda ijtihad,
walaupun dengan tingkat penerimaan yang berbeda. Tetapi Ibn Hazm menolak qiyâs untuk dijadikan metode istinbat dalam hukum Islam.
Ibn Hazm adalah musuh besar bagi qiyâs. Yang mengherankan sebagai
seorang ahli logika ia justru menolak qiyâs.31 Ada beberapa alasan mengapa ia
menentang penggunaan qiyâs dalam hukum. Ia mengakui penggunaan qiyâs
dalam ilmu fisika, tetapi tidak dalam ilmu-ilmu keagamaan, terutama hukum Islam. Sebagai seorang ahli logika ia mempunyai pemikiran yang mendalam tentang al-Qur’an dan menemukan hanya ada tiga sumber hukum: al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’. Ia berpendapat bahwa ummat Islam tidak dituntut untuk mencari sebab-sebab perintah Tuhan. Jika seseorang mengambil sebab suatu ketetapan hukum dan menganggap bahwa itu juga yang dikehendaki oleh Tuhan, hal itu merupakan keputusan yang sewenang-wenang. Jika pintu sebab-akibat aturan-aturan syari’ah terbuka, maka akan banyak terjadi perselisihan di antara manusia dan kekacauan akan melanda hukum. Menurutnya, dalam hukum tidak
ada ruang bagi akal sama sekali. Hukum didasarkan pada nass yang diwahyukan
Tuhan.32
Ia menganggap bahwa logika dan hukum adalah dua ilmu yang terpisah, dan merupakan kesalahan yang besar menyamakan satu dengan lainnya. Dalam logika, sarana-sarana untuk memperoleh pengetahuan adalah persepsi indera, penyelidikan dan sebab-sebab. Sedang dalam hukum sarana untuk memperoleh pengetahuan adalah wahyu. Ada perbedaan besar antara objek yang tidak terlihat (mughibat) dengan objek-objek fisik (thabî’iyyât). Benar bahwa hasil keduanya
30 De Boer, Târȋkh....h. 25.
31 Penolakan Ibn Hazm tehadap qiyâs ia bentangkan dalam bukunya Al-Ihkâm fî ushûl al-Ahkâm, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt) dan bukunya tentang logika, Taqrîb li Hadd al-Mantiq, (Beirut: Dâr al-Fikr, tt).
kadang- kadang bertepatan. Tetapi seseorang tidak boleh tertipu oleh ketepatan ini, karena premis kedua ilmu itu berbeda. Karena itu, syari’ah tidak boleh disamakan dengan ilmu-ilmu kealaman. Syariah didasarkan pada premis-premis
yang diambil dari al-Qur’an, sunnah dan Ijma’ ulama’.33 Argumen Ibn Hazm ini
kemudian dipakai oleh Ibn Madhâ’ untuk menyerang qiyâs dalam nahw.34 Yang
menarik adalah bahwa keduanya sama-sama beraliran literalis. Pada umumnya aliran literalis tidaklah terlalu menekankan persoalan yang berkaiatan dengan penggunaan logika.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa persoalan qiyâs, khususnya
tentang asal usul konsep qiyâs masih menjadi persoalan yang diperselisihkan oleh
para ahli. Dengan demikian masih layak untuk dijadikan objek penelitian. Alasan utamanya adalah untuk mendapatkan keyakinan mengenai gagasan tentang
konsep qiyâs dan asal usulnya.
B. Identifikasi dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang masalah di atas dapat di identifikasi beberapa masalah.
Dari kesamaan yang begitu banyak antara qiyâs ushûlî dengan qiyâs nahwî adalah
layak untuk menjadi pertanyaan, pertama, bahwa Apakah salah satu dari kedua
jenis qiyâs tersebut dipengaruhi oleh lainnya atau keduanya saling mempengaruhi
dan seperti apa sifat keterpengaruhan itu. Kedua, dari mana orang Arab
mendapatkan gagasan tentang qiyâs, Apakah qiyâs lahir sebagai desakan
kebutuhan sosial masyarakat Arab, dengan kata lain merupakan produk pemikiran
Arab, atau diambil dari budaya lain. Dan terakhir, mengenai keabsahan qiyâs
sebagai metode penalaran hukum.
2. Pembatasan Masalah
Dari identifikasi masalah di atas, maka masalah yang akan diteliti dalam tesis ini dibatasi hanya pada masalah yang kedua yaitu mengenai asal-usul atau
33 Abû Muhammad ‘Ali ibn Hazm, Al-Taqrîb…h. 144, 163, 170 dan 202.
34 Lihat Abû al-Abbâs Ahmad ibn Abdirrahmân ibn Madha’, Al-Radd ‘ala Al-Nuhât,
sumber qiyâs. Mengenai masalah pertama, yaitu keterpengaruhan atau tepatnya
saling mempengaruhi antara qiyâs ushûli dan qiyâs nahwî, sejumlah studi telah
dilakukan oleh para peneliti. Kajian perbandingan yang cukup bagus tentang topik ini dapat dilihat pada karya Mahmûd Ahmad Nakhlah, yang membandingkan
struktur dalil dalam ushûl al-fiqh dengan struktur dalil dalam ushûl al-nahw.
Dengan cara yang hampir sama, Ibn Anbari juga melakukan perbandingan antara
struktur dalil ushûl al-fiqh dengan dalil ushûl al-nahw. Karya ‘Abid al-Jâbiri,
membandingkan dua jenis qiyâs tersebut dan pada akhirnya menyimpulkan bahwa
kedua qiyas tersebut berasal dari epistemologi yang sama yaitu epistemologi
bayâni.35 Dengan demikian penulis tidak lagi perlu membahas topik tersebut.
Sedangkan untuk masalah yang ketiga, yaitu tentang keabsahan qiyâs, pada
prinsip qiyâs dapat dipakai sebagai salah satu metoda penetapan hukum.dengan demikian topik tersebut tidak cukup menarik untuk dibahas.
3. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dijadikan objek penelitian ini
memastikan geneologis qiyas. Apakah memang murni berasal dari produk
pemikiran atau kebudayaan Arab, atau berasal dari kebudayaan non Arab.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk, pertama, mendeskripsikan asal
usul qiyâs termasuk pertumbuhan dan perkembangannya. Kedua, Untuk
mengetahui lebih lanjut perkembangan qiyâs sampai pada tingkat kematangannya dan wacana-wacana yang berkembang di sekitar qiyâs, dan untuk mengetahui dan menjelaskan ada atau tidaknya pengaruh budaya non Arab ikut berperan dalam
pembentukan qiyâs, baik qiyâs ushûlî maupun qiyâs nahwî.
D. Signifikansi Penelitian
Signifikansi yang diharapkan dari penelitian ini di antaranya untuk pertama,Mengkaji konsep awal tentang qiyas. Kedua, Mengkaji perkembangan
35 Kajian tentang perbandingan qiyâs tersebut dapat diihat pada karya-karya berikut.
lebih lanjut tentang konsep qiyâs sampai pada tahap kematangannya dan wacana-wacana yang berkembang diseputar qiyâs. Manfaat lainnya, agar menjadi sumber inspirasi bagi para peneliti lain untuk melanjutkan penelitian di bidang ini. Studi
perbandingan antara qiyâs yang ada dalam ushȗl al-fiqh dan nahw untuk
kemudian dibandingkan dengan analogi yang ada dalam logika formal mungkin dapat dijadikan objek penelitian lanjutan.
E. Kajian Terdahulu Yang Relevan
Objek penelitian dalam tesis ini memang bukan merupakan objek penelitian yang benar-benar baru. Sejumlah peneliti telah melakukan kajian terhadap objek ini. Akan tetapi menurut hemat penulis, masih ada hal-hal yang perlu dikritisi dan mungkin dikaji ulang terhadap hasil penelitian terdahulu tersebut. Di antara para peneliti yang telah mengkaji topik ini antara lain Joseph
Schacht dalam The Origins of Muhammadan Jurisprudence,36 yang
menyimpulkan bahwa qiyâs dalam hukum Islam berasal dari qiyâs yang ada
dalam agama Yahudi. Tetapi Schacht tidak menjelaskan bagaimana proses
masuknya gagasan tentang qiyâs yang ada dalan agama Yahudi tersebut masuk
atau tepatnya diadopsi oleh para ahli hukum Islam.
Berbeda dengan Schacht, Ahmad Hasan dalam The Early Development of
Islamic Jurisprudence,37 mengatakan bahwa qiyâs yang ada dalam ushȗl al-fiqh bukan berasal dari agama Yahudi atau budaya asing lainnya, melainkan ia muncul sebagai desakan kebutuhan sosial masyarakat Arab Islam. Tapi perlu penjelasan
lebih lanjut mengenai proses pembentukan qiyâs tersebut sampai pada tingkat
kematangannya seperti sekarang ini. Bisa jadi dalam perkembangannya qiyâs
mendapat pengaruh dari budaya asing.
Beralih ke qiyâs dalam ilmu nahw. Secara umum pendapat tentang qiyâs
dalam ilmu nahw dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok. Pertama, mereka
36 Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, london: Oxford University
Press, 1959. Topik yang sama lihat Wael B. Hallaq, The Origins and Evolution of Islamic Law, United kingdom: Cambridge University Press, 2005. Yassin Dutton, The Origins of Islamic Law, (Great Britain: Curzon Press, 1999).
37 Lihat Ahmad Hasan, The Early Develofment of Islamic Jurisprudence, (Islamabad:
yang berpendapat bahwa qiyâs berasal dari budaya asing. De Boer dalam Târȋkh al-Falsafah fî al-Islâm, berpendapat bahwa qiyâs nahw dipengaruhi oleh budaya Persia. Ia menjelaskan bahwa Ibn al-Muqaffa’ menterjemahkan buku-buku yang
berasal dari bahasa Persia ke dalam bahasa Arab dan al-Khalȋl ibn Ahmad
memperoleh gagasan tentang qiyâs dari buku-buku tersebut. Di buku yang sama
de Boer juga berpendapat bahwa ilmu nahw dipengaruhi oleh logika Yunani lewat
buku-buku Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Hunain ibn Ishaq dan putranya, Ishaq ibn Hunain. Pendapat ini di ikuti oleh Syauqi Dhaif.
Pendapat ini menjadi diragukan karena qiyâs telah ada dalam ilmu nahw sebelum
terjadinya penerjemahan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab.
Kelompok kedua berpendapat bahwa qiyâs yang ada dalam ilmu nahw
telah ada seiring dengan keberadaan ilmu nahw itu sendiri. Ia lahir dan tumbuh
dalam sistem bahasa Arab itu sendiri dan tak ada hubungan sama sekali dengan
budaya asing. Pandangan seperti ini dianut oleh Thantâwi,38 Abbâs Hassân,39
Affâf Hasanain40 Taufiq Muhammad Syâhin.41 Pandangan seperti ini tidak
melihat kenyataan bahwa bahasa Arab itu hidup dan tumbuh berdampingan bahkan telah didahului oleh budaya lain. Dan sulit untuk mengatakan bahwa bahasa itu tidak sama sekali dipengaruhi oleh unsur asing.
Pendapat ketiga mengatakan bahwa qiyâs dalam ilmu nahw ada dan
tumbuh seiring dengan keberadaan ilmu nahw itu sendiri. Namun dalam
perkembangannya banyak dipengaruhi oleh unsur asing, khususnya logika Yunani. Menurut penulis, hal ini merupakan pandangan yang moderat. Masuknya pengaruh asing ke dalam bahasa Arab, khususnya logika Yunani, memang telah terjadi walaupun terdapat penolakan. Perdebatan terbuka yang terjadi antara Yunus ibn Matta yang mewakili filosof dan al-Sirâfi yang mewakili para ahli
nahw, tentang manfaat relatif logika dapat ditafsirkan sebagai cermin kegelisahan
38 Muhammad Thantâwi, Nasy’ah al-Nahwî, (Mesir: Dâr al-Manâr, 1991).
39 Abbâs Hassân, Al-Lughah wa al-Nahwu Baina al-Qadîm wa al-Hadîts, (Mesir: Dâr al-
Ma’ârif, 1971).
40 Affâf Hasanain, Fî Adillah al-Nahwî, (Mesir: Al-Maktabah al-Akâdimiyyah, 1996). 41 Taufiq Muhammad Syâhin, ’Awâmil Tanmiyyah al-Lughah al-Arabiyyah, (Kairo:
para ahli nahw tentang masuknya unsur asing ke dalam bahasa Arab.42 Pandangan
seperti ini dianut oleh Muhammad Husain Ali Yasin,43 ‘Abd Allah Jâd al-Karîm,44
Tammâm Hassân45 dan Khâlid Sa’ad Muhammad Sya’bân.46
F. Metodologi Penelitian
1. Sumber Data
Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini dikelompokkan dalan dua kelompok, sumber primer dan sumber sekunder.
Untuk sumber yang berkaitan dengan ushȗl al-fiqh, sumber utamanya
adalah Al-Risalah karya al-Syâfi’i, al-Muwattha’ karya Mâlik, Kitâb al-Mu’tamad
Fi Ushul al-Fiqh, karya Abu Husain al-Bashri dan buku-buku lain yang relevan.
Karya al-Syâfi’i dipilih karena karya itu merupakan buku ushȗl al-fiqh
pertama dan secara cukup jelas memperlihatkan konsep qiyâs. Sedangkan Al-
Muwatta’, meskipun secara umum merupakan buku kumpulan hadits, namun buku tersebut memuat metodologi penalaran hukum Mâlik, yangs secara implisit
memberikan gambaran awal terhadap perkembangan konsep qiyâs. Schacht,
sejauh pengetahuan penulis adalah orang pertama yang meyakini bahwa qiyâs
dalam ushȗl al-fiqh berasal dari konsep tafsir Bibel Yahudi. Sedangkan Ahmad
Hasan melakukan penelitian tentang qiyâs dan dalam beberapa hal kesimpulan
penelitiannya berbeda pandangan dengan Schacht.
Untuk sumber utama tentang qiyâs nahw, penulis menggunakan buku Al-
Kitab karya Sîbawaihi, Luma’ al-Adillah, al-Inshâf fî Masâil al-Khilâf, keduanya
karya Ibn Anbari, dan Kitab al-Iqtirâh fî ‘Ilm Ushȗl al-Nahwî karya al-Sayȗthi.
Demikian pula karya Ibn Sarrâj yang telah disebutkan diatas, yaitu Ushul fi
al-nahw dan buku-buku lainnya tentang nahw.
42 Perdebatan ini dapat dilihat dalam, Abu Hayyân al-Tauhîdi, Al-Imtâ’ wa al-Mu’ânasah,
(Kairo: Lajnah al-Ta’lîf wa al-Tarjamah, 1939). Dalam perdebatan yang berakhir dengan vonis yang dijatuhkan oleh Al-Sirâfi terhadap para filosof bahwa mereka telah membuat bahasa di dalam bahasa.
43 Muhammad Husain Ali Yâsin, Al-Dirâsât al-Lughawiyyah ‘Inda al-‘Arab, (Beirut: Dâr
al-Maktabah al-Hayah, 1980), h. 90-91.
44 ‘Abd Allah Jâd al-Karîm, Al-Dars al-Nahw fî al-Qarn al-‘Isyrîn, (Kairo: Maktabah al-
Adab, 2004), h. 187.
45 Tammâm Hassân, Al-Ushûl, (Kairo: ‘Alam al-Kutub, 2000).
46 Khâlid Sa’ad Muhammad Sya’bân, Ushûl al-Nahwî ‘Inda ibn Mâlik, (Kairo: Maktabah
Karya Sîbawaih, al-Kitab, memperlihatkan dengan sangat jelas bagaimana qiyâs telah dipakai dalam penalaran kebahasaan. Sedangkan Ibn Anbari berada pada era di mana pertentangan antara aliran Kufah dan Basrah sudah sedemikian
luasnya, khususnya dalam penggunaan qiyâs. Al-Sayȗthi mewakili puncak
kematangan ilmu ushȗl al-nahw.
Sedangkan untuk sumber sekunder, baik untuk ushȗl al-fiqh dan ushûl
al-nahw, penulis mempergunakan buku-buku ushȗl al-fiqh dan ushûl al-nahw, dan buku-buku lain yang relevan untuk penelitian ini.
2. Pendekatan
Penelitian ini mengkaji basis epistemologis qiyâs dan pengaruh pemikiran
asing (Yunani) terhadap qiyâs. Pendekatan yang akan dipakai adalah pendekatan
sejarahdan filsafat. Epistemologi adalah salah satu cabang filsafat. Objeknya adalah membahas tentang sejumlah konsep, prinsip dasar dan aktivitas untuk
memperoleh pengetahuan dalam suatu era sejarah tertentu.47 Pendekatan filsafat
digunakan untuk mengkaji struktur-struktur pembentuk qiyâs untuk mengetahui
basis epistemologisnya. Singkatnya, metode ini dipergunakan untuk mengungkap
perangkat pemikiran dan prinsip-prinsip dasar yang melahirkan qiyâs. Dengan ini
diharapkan dapat diketahui asal-usul pemikiran tentang qiyâs dikalangan ahli
bahasa dan ahli ushȗl al-fiqh.
Pendekatan sejarah dipakai untuk melacak adanya pengaruh pemikiran
asing terhadap konsep qiyâs ini. Juga untuk mendapatkan informasi mengenai
bentuk dan sifat keterpengaruhan itu. Umpamanya jika dikatakan bahwa qiyâs
dipengaruhi oleh pemikiran Yunani, maka pernyataan ini perlu dibuktikan dengan bukti-bukti kesejarahan yang dapat menjelaskan proses masuknya pemikiran Yunani itu ke dalam Islam dengan melihat buku-buku sejarah yang ditulis tentang keterpengaruhan pemikiran Islam oleh pemikiran Yunani.
3. Teknik Pengumpulan Data dan Analisis Data
Setelah data terkumpul maka akan dilakukan langkah analisa data sebagai
berikut. Pertama, menganalisis dan membanding unsur-unsur pokok struktur
kedua qiyâs tersebut. langkah ini dilakukan untuk mendapatkan penjelasan
tentang sebab terjadinya kesamaan antara kedua qiyâs. Juga untuk mengetahui
Epistemologi qiyâs tersebut. Kedua, melakukan kajian kritis terhadap sejarah
masuknya pemikiran asing ke dalam Islam dan motif yang melatarbelakangi penerjemahan buku-buku Yunani secara massif. Pendekatan yang dipakai dalam hal ini adalah pendekatan sejarah. langkah ini dilakukan untuk mengetahui kapan masuknya pemikiran asing ke dalam Islam.
G. Sistematika Penulisan
Tesis ini akan ditulis dalam lima bab, yakni pendahuluan, orisinalitas ilmu
keislaman, qiyâs: awal mula dan perkembangannya, struktur qiyâs dan terakhir
merupakan penutup dan kesimpulan.
Bab pertama berisi latar belakang masalah, identifikasi, batasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, signifikasai penelitian, penelitian terdahulu yang relevan, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua merupakan landasan teori yang menjelaskan bahwa qiyâs yang
terdapat pada ilmu ushûl al-fiqh dan pada ushûl al-nahw memiliki landasan
epistemologisnya dalam kebudayaan Arab Islam. Bab ini bertujuan untuk melihat
hubungan qiyâs yang ada dalam ushûl al-Fiqh dan ushûl al-nahw tersebut. Juga
akan dibahas pendapat sejumlah sarjana Barat yang mengatakan bahwa qiyâs
yang ada pada dua disiplin ilmu tersebut berasal bukan dari produk budaya Arab sendiri, melainkan berasal dari luar. Disamping akan dikemukakan pula sanggahan atau keberatan atas pandangan tersebut.
Bab ketiga membahas tentang qiyâs yang mencakup awal mula dan
perkembangannya. Ini merupakan bab inti. Pada bab ini akan dibahas mengenai
penggunaan qiyâs oleh para ahli hukum awal di daerah perkembangan pemikiran
hukum, Madinah dan Iraq. Termasuk proses perkembangan qiyâs pada era
al-Syâfi’i dan sesudahnya. Disamping itu juga akan dibahas tentang penggunaan Qiyâs dalan ilmu nahw oleh para ahli nahw awal seperti al-Khalîl ibn Ahmad dan Sîbawaihi dan tokoh yang seangkatan dengannya. Tujuan utama bab ini untuk
ahli nahw sejak masa-masa awal, sebelum terjadinya penterjemahan buku-buku asing, utamanya buku-buku filsafat dari Yunani kedalam bahasa Arab.
Bab ke empat membahas tentang struktur qiyâs, baik qiyâs ushûlî maupun
qiyâs nahwî, yang mencakup kasus asal, kasus cabang, hukum asl dan ‘illat. Bab
ini akan membahas tentang unsur-unsur pokok qiyâs, persyaratan yang ditetapkan
oleh ahli ushûl al-fiqh dan ahli nahw bagi keabsahan persyaratan tersebut.
Perbedaan pendapat mereka tentang persyaratan tersebut juga akan dibahas. Bab
ke tiga dan ke empat ini sekaligus merupakan pembuktian bahwa qiyâs yang ada
pada ushûl al-fiqh dan ushûl al-nahw tersebut memang berasal dari produk