• Tidak ada hasil yang ditemukan

Budaya Ilmiah Bangsa Arab Sebelum dan Setelah kedatangan Islam Bangsa Arab sebelum kedatangan Islam seringkali digambarkan dalam Bangsa Arab sebelum kedatangan Islam seringkali digambarkan dalam

buku-buku sejarah dengan ungkapan Arab jahili. Ungkapan ini seolah-olah memberikan gambaran bahwa tidak ada sama sekali nilai-nilai positif yang mereka yakini dan mereka terapkan dalam kehidupan mereka. Cara pandang seperti ini berpijak pada pandangan bahwa Islam adalah cahaya kebenaran dan sebelum kedatangan Islam kebenaran itu belum ada. Biasanya yang sering dipersoalkan adalah masalah keyakinan bangsa Arab yang masih menyembah berhala.

Terlepas dari persoalan di atas, pada bangsa Arab sebelum Islam sesungguhnya terdapat hal-hal yang positif atau nilai-nilai kebajikan pada mereka.

59 Al-Syâfi’î, al-Risâlah, h. 51-52.

60 Pembahasan yang bagus mengenai pola hubungan hubungan kata dengan makna dalam

lingkup Syari’ah lihat Muhammad ‘Abd al-‘Ali Muhammad ‘Ali, Mabâhits Ushûliyyah fî Taqsîmât al-Alfâz, (Kairo: Dar al-Hadits, 2007), Saifuddin al-Âmidi, al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, (Beirut: Dâr al-Fikr, 2003), h. 16-29, Hasyim Kamali, Principles of Islamic Jurisprudence, (Cambridge: Islamic Texts Society, 1991), h. 87-137.

Philip K. Hitti misalnya mencatat beberapa nilai positif yang ada pada bangsa

Arab sebelum Islam seperti murû’ah (kewibawaan) dan ‘irdh (kehormatan). 61

Unsur-unsur yang terdapat dalam muru’ah adalah keberanian, loyalitas dan

kedermawanan. Keberanian pada umumnya diukur dengan berapa banyak jumlah peperangan yang telah diikuti. Kedermawanan terlihat dari kesediaannya mengurbankan untanya untuk menyambut tamu atau untuk kepentingan orang miskin yang memerlukan bantuan.

Hal-hal positif lainnya dari bangsa Arab sebelum Islam adalah seperti

keterampilan menunggang kuda, kekuatan daya hafal, membuat syi’ir.62 Hidup

berpindah-pindah (nomaden) menuntut keterampilan untuk mempergunakan sarana mobilitas yang cepat dan tepat, yang membuat mereka dituntut untuk mahir menunggang kuda. Keterbatasan alat-alat tulis dan minimnya kemampuan tulis mereka memaksa mereka untuk mencatat peristiwa kehidupan yang mereka alami dengan cara menghafal. Dan kebanggaan mereka terhadap bahasa dan ungkapan yang indah menumbuhkan bakat alamiah mereka untuk membuat syi’ir. Kemampuan menghafal memainkan peran yang sangat penting pada masa kemudian setelah kedatangan Islam dan masa kemajuan ilmu pengetahuan dalam Islam.

Jika pengertian ilmiah, diukur ddengan pengertian saat ini, yakni suatu kajian sistematis terhadap disiplin ilmu tertentu, maka sulit untuk menemukan adanya aktifitas ilmiah pada bangsa Arab sebelum Islam. Dengan kata lain aktifitas ilmiah belumlah ada pada masyarakat Arab sebelum kedatangan Islam. Tetapi potensi bagi suatu kajian ilmiah telah dimiliki oleh bangsa Arab sebelum Islam yaitu berupa kekuatan daya hafal.

Para ahli sejarah mencatat bahwa awal kegiatan ilmiah baru dimulai

seiring dengan kedatangan Islam.63 Landasan awal bagi pemikiran dan tradisi

keilmuan dalam Islam terdapat pada al-Qur’an dan sunnah Nabi. Al-Qur’an secara

61 Philip K. Hitti, History of The Arabs, terjemah oleh cecep Luqman Yasin, (Jakarta:

Serambi, 2006), h. 119.

62 Charles Michael Stanton, The Higher learning in Islam, (USA: Rowman & Littlefield

Publishers, Inc, 1990), h. 14.

63 Gregor Schoeler, The Oral and The Written In Early Islam, (London: Routledge, 2006),

tegas memerintahkan ummatnya untuk membaca semenjak awal al-Qur’an diturunkan. Demikian pula dengan usaha keras yang dilakukan Nabi yang menganjurkan pengikutnya untuk bergiat mencari ilmu pengetahuan. Contoh terbaik yang menggambarkan upaya keras Nabi untuk menggiatkan mencari ilmu adalah berkaitan dengan tawanan perang. Dalam salah satu peperangan yang terjadi antara kaum Muslim dengan orang kafir, kaum Muslim dapat menawan sejumlah kaum kafir. Sebuah kebijakan diluncurkan oleh Nabi menyangkut tawanan perang tersebut. Bagi mereka yang memiliki kesanggupan untuk membebaskan diri mereka dengan tebusan dapat memperoleh kembali kebebasannya dengan membayar sejumlah tebusan. Tetapi bagi mereka yang tidak mampu membayar tebusan, tetapi memiliki kemampuan tulis-baca, ia dapat memperoleh kebebasannya dengan cara mengajar tulis baca kepada anak-anak

Muslim.64

Setelah Nabi wafat, di hadapan umat Islam terdapat dua sumber utama ajaran Islam yaitu al-Qur’ân dan sunnah. Pada saat itu al-Qur’ân belum terhimpun menjadi buku yang terhimpun dan terkodifikasi. Al-Qur’ân masih tersimpan berserakan pada catatan pelepah kurma, bebatuan dan tulang unta. Demikian pula dengan hadis Nabi. Hadis masih tersimpan pada hafalan para sahabat dan

sejumlah catatan pribadi.65 Upaya penyebaran al-Qur’ân dan hadis ini dilakukan

secara oral (lisan) atau yang lebih lazim disebut dengan tradisi riwayat oleh para sahabat kepada generasi dibawah mereka. Tradisi riwayat ini menempati peran sentral dalam ilmu-ilmu keislaman dan kemudian berkembang sehingga menjadi tren metodologi pengetahuan abad kedua hijrah. Abad inilah yang disebut oleh

Fazlurrahman sebagai fenomena metodologi keagamaan.66 Tradisi ini kemudian

terkodifikasi pada abad ketiga hijrah dalam bentuk enam kumpulan buku hadis

yang kemudian terkenal dengan sebutan Kutub al-Sittah. Fenomena ini menarik

64 Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,

2006), h. 16.

65 Muhammad Musthfa Azami, Studies in Early Hadith Literature: Whith a Critical Edition of Some Early Texts, (Indianapolis: American Trust Publication,1978), h. 50. Bandingkan dengan Musyrifah Sunanto, Sejararah Islam Klasik, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 15-16.

66 Fazlurrahman, Islam, terjemahan oleh Ammar Haryono, (Bandung: Pustaka, 1984), h.

karena dalam jangka yang begitu lama untuk ukuran berita, hadis bisa disaring menjadi sebuah catatan yang bisa diterima dan disahkan sebagai asli dari Nabi.

Transmisi keilmuan dengan cara lisan dan tertulis ini menandai perkembangan awal tradidisi ilmiah dalam Islam. Pada tradisi lisan dilakukan dengan cara mendengarkan secara langsung ilmu dari orang yang memiliki otoritas dalam bidang ilmu yang terkait. Otoritas itu ditandai dengan kemampuan seseorang untuk menguasai satu bidang ilmu tertentu dengan basis ingatannya yang kuat. Di sini peran kekuatan daya ingat yang merupakan salah satu nilai positif bangsa Arab, berperan besar bagi pengembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Menurut Gregor Schoeler, tradisi lisan ini berlangsung hingga abad kedua hijrah, yang ia sebut sebagai masa pembentukan teks. Tradisi lisan, dengan mendengar langsung dari guru, dianggap sebagai metoda terbaik dalam tradisi

ilmiah Islam hingga muncul istilah isnad.67

William C. Chittik mencatat dari para filosof Islam bahwa mereka membedakan pengetahuan antara yang ditransmisikan dengan pengetahuan intelektual. Pengetahuan yang ditransmisikan adalah pengetahuan yang diperoleh secara turun temurun dari dari orang lain secara lisan, dalam arti tidak bisa diperoleh hanya dengan mengandalkan cara kerja akal. Ia memberikan contoh untuk ilmu-ilmu yang diperoleh dengan cara seperti itu adalah ilmu bahasa, wahyu, ilmu kalam dan fiqh. Sedangkan pengetahuan intelektual adalah kebalikan dari yang disebut pertama, yaitu ilmu yang dapat diperoleh dengan memaksimalkan cara kerja akal secara sistemik. Contoh untuk ilmu-ilmu yang diperoleh dengan cara yang disebut terkhir ini adalah matematika, astronomi,

psikologi, kosmologi dan filsafat.68 Dalam konteks inilah kemudian ia

mengelompokkan para filosof sebagai kelompok yang memperoleh pengetahuan intelektual, berdasarkan perenungan dan pemikiran yang mendalam terhadap realitas. Masih dalam kontek cara memperoleh pengetahuan ini, Fazlurrahman

67 Gregor Schoeler, The Oral and Written in Early Islam, h. 45.

68 Dalam penjelasan lebih lanjut Chittik menjelaskan bahwa di dalam Islam bahwa antara

akal dan wahyu terdapat hubungan yang harmonis yang tidak bisa dipisahkan secara antagonis. Lihat William C. Chittik, dalam Ted Peters, Muzaffar Iqbal dan Syed Nomanul Haq (ed), Tuhan, Alam dan Manusia: Perspektif Sains dan Agama, terj (Bandung: Mizan, 2006), h. 146-150.

menggunakan istilah tradisi verbal dan praktis. Tradisi verbal yang dimaksud adalah keingintahuan masyarakat pada awal Islam untuk mengetahui sifat dan tindakan Nabi dengan cara mencari informasi dari orang-orang yang pernah menemani atau pernah sekedar dekat dengan Nabi. Sedangkan tradisi praktis adalah praktik yang telah berlangsung secara cultural semenjak Nabi masih hidup hingga wafatnyadan berlangsung secara bersama di beberapa tempat dengan transmisi dari orang yang juga pernah hidup bersama dan dan melihat langsung pribadi Nabi.

Al-Ghazali mengklasifikasi pemerolehan ilmu berdasarkan jenis ilmu itu

sendiri, yaitu ilmu insani dan ilmu rabbany. Ilmu insani adalh ilmu yang diperoleh

melalui pembelajaran biasa, yaitu menggunakan media panca indera, tulisan atau transmisi melalui guru. Sedangkan ilmu rabbani adalah ilmu yang langsung dari Tuhan, bisa dalam bentuk wahyu yang sudah tertulis maupun dalam bentuk

ilham.69 Sedangkan Makdisi menceritakan periode pengetahuan dalam Islam

melalui hafalan dan itu terjadi semenjak awal keberadaan Islam. Dalam penjelasannya ia menegaskan bahwa seseorang dalam pada masa awal Islam menghafal syi’ir-syi’ir Arab kuno untuk mendukung argumen dalam menjelaskan

makna al-Qur’ân dan melahirkan ilmu nahw.70

69 Abû Hamid Muhammad al-Ghazâlî, Risâlah Laduniah dalam Majmû’ ât Rasâil, (Kairo:

Maktabah Tawfiqiyah, 1960), h. 247.

47

Pembahasan pada bab ini bertujuan untuk membuktikan bahwa qiyâs, baik

yang ada pada ushûl al-fiqh maupun pada ushûl al-nahw, mempunyai

akar-akarnya dalam kebudayaan Arab. Qiyâs yang ada dalam dua cabang ilmu tersebut

sesungguhnya merupakan ra’y, yang karena desakan kebutuhan sosial,

berkembang menjadi lebih sistematis.