Seperti pada pembahasan tentang struktur qiyâs dalam ushûl al-fiqh, pada
pembahasan tentang struktur qiyâs dalam ushûl al-nahw inipun terdapat salah satu
dari unsur qiyâs ini tidak dibahas secara khusus, yaitu kasus cabang dengan alasan
yang sama seperti pada qiyâs ushûl al-fiqh.
1. Asal (ashl)
Tidak ada perbedaan pendapat diantara ahli nahw bahwa yang dimaksud
dengan asal (ashl), yang kepadanya didasarkan qiyâs, adalah kalam Arab. Istilah
lain yang dipakai oleh ahli nahw untuk asal ini adalah maqîs alaih.Tetapi penting
untuk dicatat bahwa tidak semua kalam Arab dapat dijadikan landasan bagi qiyâs. Jadi perbedaan pendapat terjadi dalam hal menentukan kalam Arab yang akan
dijadikan rujukan bagi qiyâs. Untuk ini perlu dibahas mengenai dalil al-Samâ’
dalan bahasa Arab, karena ia terkait dengan asal bagi qiyâs.
Secara umum dalil-dalil dalam ilmu nahw ada dua: tekstual (lafzîah) dan
tidak tekstual (maknawi). Pembagian lain, namun masih mengandung pengertian
yang sama dengan di atas, bahwa dalil dibagi menjadi dalil naql dan dalil ‘aql.
Dengan dalil naql meliputi dalil tekstual . Dengan dalil aql yang dimaksud adalah
dalil bukan tekstual (maknawi), dan inilah yang dimaksud dengan qiyâs.
Dalil al-naql dapat berupa al-Qur’ân , sunnah dan syi’ir-syi’ir Arab dan
kalam Arab (natsar). Ibn Anbarî menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan
al-naql adalah kalam Arab yang fasih dan dinukilkan dengan cara yang valid
(sahîh).97 Penjelasan Ibn Anbarî tersebut memuat dua prisip penting dalam
mengutip bahasa Arab yang akan dijadikan dalil, yaitu kefasihan (fasâhah) dan
sistim transmisi sanad seperti yang ada dalam kajian tentang hadîts. Ini mengingatkan pada keterpengaruhan ilmu bahasa Arab ini denga ilmu hadîts. Al-Qur’ân dalam keyakinan para ahli nahw merupakan kalam Arab yang paling
fasih, dengan demikian ditempatkan pada posisi teratas dari urutan dalil al-naql
ini. Kemudian diikuti oleh hadîts Nabi, karena Nabi adalah orang yang paling fasih dalam bahasa Arab, kemudian ucapan para penyair-penyair kuno dan
terakhir ucapan dari seorang Arab yang fasih.98 Mengeni transmisi yang valid (
al-naql al-sahîh) sesungguhnya ini berkaitan dengan syarat diterimanya sebuah
riwayat, dan difokuskan pada kajian tentang sanad (dirâsah al-sanad) dan kajian
tentang teks (dirâsah al-matn). Mengenai yang disebut pertama, diperlukan
keyakinan apakah periwayat bahasa adalah orang yang dapat dipercaya (‘adalah
al-ruwât), sehingga kata-katanya dapat dijadikan pedoman, dan apakah antara
mata rantai periwayat tersebut pernah saling bertemu (ittishâl al-sanad).99
Persyaratan ini diperlukan untuk menjamin akurasi sumber periwayatan, dengan kata lain bahwa sumber dapat diyakini kredibilitasnya.
Ibn Anbarî menggunakan istilah Mutawâtir untuk sebuah kalam Arab
yang diriwayatkan oleh jumlah yang banyak.100 Maksudnya adalah sejumlah
orang yang tidak memungkinkan mereka sepakat untuk melakukan dusta dalam kaitannya dengan apa yang mereka riwayatkan. Pentingnya kajian tentang sanad
ini menjadi perhatian serius oleh para ahli bahasa. Ini terlihat jelas dalam buku
al-Kitâb karya Sîbawaih dan al-Kâmil karya al-Mubarrad. Dalam kedua buku tersebut para perawi (transmitter) seringkali disebutkan secara lengkap. Nampaknya diskursus tentang sanad ini lebih dekat kepada kajian hadîts daripada kajian bahasa. Bagi penulis, ini memperlihatkan adanya hubungan yang erat antara kajian bahasa dan kajian Hadîts.
97 Ibn Anbarî, Luma’ al-Adillah, (Kairo: Dâr al-Ma’arif al-Nizamiyyah, tt), h. 81, dan al-Ighrâb fî jadal al-‘Irâb, h. 45.
98 Khâlid Sa’ad Muhammad Sya’bân, Ushûl al-Nahw inda ibn Mâlik, (Kairo: Maktabah
al-Adâb, 2006), h. 18, al-Suyûthî, al-Iqtirâh…, h. 14.
99 Khâlid Sa’ad Muhammad Sya’bân, Ushûl…, h,19. 100 IbnAnbarî, Luma’ al-Adillah, h. 84-85.
Beralih pada persoalan al-Qur’ân sebagai dalil. Tidak ada perbedaan pendapat diantara ahli bahasa tentang otoritas teks al-Qur’ân sebagai argumen kebahasaan. Mereka juga sepakat bahwa al-Qur’ân adalah kalam Arab yang paling fasih yang pernah diucapkan oleh orang Arab, mempunyai jalur transmisi
yang valid (naql sahîh), terbebas dari segala bentuk distorsi (tahrîf). Para ahli
nahw mengakui bahwa al-Qur’ân adalah kalam Allah, dalam pemberlakuannya dipergunakan instrumen-insrumen bahasa manusia seperti menggunakan huruf
dan sistim suara.101 Dengan demikian wajar jika ditemukan dalam al-Kitâb karya
Sîbawaih dan buku-buku nahw lainnya digunakan ayat-ayat al-Qur’ân sebagai
bukti kebahasaan (syâhid).
Persoalan yang krusial tentang al-Qur’ân dalam kaitannya sebagai
argumen kebahasaan adalah, persoalan cara baca al-Qur’ân (qirâat) yang beragam
itu. Sîbawaih dan ahli nahw setelahnya, dalam menjadikan al-Qur’ân sebagai
bukti kebahasaan (al-istisyhâd) tidak hanya terbatas pada teks al-Qur’ân semata,
tetapi juga cara baca al-Qur’ân yang beragam tersebut. Teks al-Qur’ân dan cara
baca al-Qur’ân (qirâat) adalah dua hal yang berbeda. Qirâat adalah perbedaan
pelafalan al-Qur’ân , dengan ini membuka bagi kebolehan beragam segi ‘irâb 102.
Dengan demikian terbuka ruang bagi ahli nahw untuk menjadikan bacaan yang beragam tersebut sebagai bukti bagi kaidah- kaidah nahw yang akan dibangunnya dan sekaligus menjadikan al-Qur’ân sebagai objek kajian.
Berikut ini ringkasan dari pandangan para ahli nahw tentang ragam cara
baca al-Qur’ân (qirâat) dalam kaitannya dengan ilmu nahw. Secara umum mereka
mengakui bahwa bahasa al-Qur’ân adalah bahasa yang paling fasih walaupun dengan keragaman bacaannya, dan kaitannya dengan qiyâs, ia dapat dibangun berdasarkan bacaan yang beragam tersebut. Sîbawaih berpendapat bahwa bacaan al-Qur’ân yang beragam itu tidak bertentangan dengan ilmu nahw karena bacaan
tersebut hukumnya hanya sunnah.103 Tampaknya Sîbawaih dalam hal ini lebih
mengedepankan bacaan yang sejalan dengan kaidah nahw. Menurut al-Farrâ’ (w.
101 Sîbawaih, al-Kitâb, (Kairo: Maktabah al-Khanjî, 1988), juz I, h. 133.
102 Badruddin al-Zarkasyî, al-Burhân fî Ulûm al-Qur’ân, (Kairo: Dâr al-Kutub, 1958),juz I,
h. 158.
207 H/ 628 M), al-Qur’ân lebih kuat untuk dijadikan argumen dibanding dengan
bahasa Arab biasa.104 Menurut Ibn Fâris bahwa bahasa al-Qur’ân adalah bahasa
yang paling fasih.105 Menurut al-Zajjâj (w. 310H/ 631M) al-Qur’ân, seluruh
bacaannya otoritatif (muhkam), tidak ada kerancuan bahasa (lahn) padanya, itu
adalah kalam terbaik dari segi i’rabnya yang pernah diucapkan oleh orang
Arab.106 Tentu yang dimaksud di sini adalah bacaan yang mutawatir itu.
Dalil berikutnya adalah hadîts Nabi. Dapat dipastikan bahwa ahli bahasa menjadikan hadîts Nabi sebagai salah satu bukti kebahasaan. Ini terlihat begitu banyak hadîts-hadîts Nabi banyak dikutip oleh ahli bahasa disamping tidak ditemukan perbedaan pendapat ahli nahw dalam hal kebolehan berargumen
dengan hadîts. Alasannya adalah, pertama, perintah al-Qur’ân sendiri untuk
mengamalkan sunnah dan memetik hukum dari sunnah Nabi. Kedua, karena peran
sunnah sebagai penjelas bagi al-Qur’ân .107 Akan tetapi para ahli nahw tidak
menjadikan hadîts Nabi sebagai sumber yang berdiri sendiri, melainkan hanya sebagai penguat apa yang terdapat pada al-Qur’ân atau kalam Arab tanpa
menjadikannya sebagai sumber kaidah nahw. Di dalam al-Kitab, Sîbawaih hanya
mempergunakan hadîts Nabi dalam jumlah yang sangat kecil jika dibandingkan
dengan penggunaannya terhadap al-Qur’ân .108
Terjadi perbedaan pendapat ahli nahw tentang kebolehan menjadikan
hadîts sebagai bukti (istisyhâd) kebahasaan. Sebagian melarang secara mutlak.
Padangan ini merupakan pandangan mayoritas ahli nahw, setidaknya oleh para ahli nahw generasi awal hingga abad ke tujuh hijrah. Tapi dimulai pada abad ke tujuh hijrah tersebut terjadi pergeseran pandangan ketika Ibn Mâlik, seorang pakar garamatika Arab dari Spanyol, menyatakan pendapatnya tentang kebolehan
104 Al-Farrâ’, Ma’ani al-Qur’ân, (Kairo: al-Dâr al-Misriyyah li al-Ta’lif wa al- Turjumah,
tt), Vol I, h. 14.
105 Abû al-Husain Ahmad ibn Fâris, al-Shâhibîfi Fiqh al-Lughah, (Beirut: Badrân li
al-Thaba’ah, tt), h. 26.
106 Abu Ishâq Ibrahim ibn al-Sarî al-Zajjâj’, Ma’âni al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Hadîts,
1994), h. 81.
107 Mahmûd Ahmad Nahlah, Ushûl al-Nahw al-‘Arabî, h. 47.
108 Lihat misalnya dalam daftar indeks penggunaan hadîts yang dibuat oleh Abd al-Salâm
Harun atas penggunaan hadîts yang ada dalam kitab Sîbawaih. Ia hanya mendaftar delapan hadîts yang ada dalam kitab tersebut. Fakta ini menunjukkan bahwa hadîts tidaklah menjadi sumber utama bagi pembuatan kaidah nahw pada masa-masa awal. Lihat Abd al-Salâm Muhammad Harun, Al-Kitâb, (Kairo: Maktabah al-Khanjî, 1983), juz V, h. 29.
menggunakan hadîts Nabi sebagai argumen kebahasaan. Pandangan Ibn Mâlik terebut di ikuti oleh Ibn Hisyâm, yang juga seorang pakar gramatika Arab terkemuka. Alasan mereka yang melarang tersebut menurut Abû Hayyân
setidaknya didasarkan pada dua alasan. Pertama, dibolehkannya dalam
periwayatan hadîts dengan makna. Bagi ahli bahasa ini merupakan masalah otentisitas lafal. Mereka memerlukan lafal asli dari Nabi untuk dijadikan pedoman kebahasaan, dalam riwayat dengan makna hal yang dimaksud itu tidak terjadi. Kedua, para periwayat hadîts tidak sedikit yang berasal dari non Arab. Ini bisa mengakibatkan ketika mereka meriwayatkan hadîts, terjadi pengucapan yang
salah (lahn). Dengan demikian sulit untuk meyakini bahwa sebuah hadîts
betul-betul ucapan Nabi.109
Pandangan lain menyatakan bahwa hadîts Nabi dapat dijadikan sebagai argumen kebahasaan secara mutlak. Ini merupakan pandangan umum ahli bahasa dan leksikografi dan sebagian kecil ahli tata bahasa seperti Ibn Mâlik, seorah ahli tata bahasa Arab yang berasal dari Andalusia, dan Ibn Hisyâm. Argumen kelompok ini adalah bahwa telah ada kesepakatan bahwa Nabi adalah orang Arab yang paling fasih, sanad-sanad hadîts tersebut lebih valid dibanding sanad pada syi’ir-syi’ir Arab yang selama ini dijadikan hujjah kebahasaan dan tidak perlu menjadi persoalan jika dalam beberapa periwayat hadîts terdapat orang-orang non
Arab. Karena kasus yang sama juga terjadi pada periwayat syi’ir.110 Dengan
demikian bahwa yang perlu dijadikan prisip adalah bagaimana sebuah hadîts diriwayatkan bukan pada siapa yang meriwayatkan.
Pandangan ketiga merupakan pandangan jalan tengah antara dua pandangan sebelumnya. Artinya hadîts tetap dapat dijadikan argumen kebahasaan, namun harus ada kriteria hadîts yang dapat dijadikan hujjah. Tokoh utama pandangan ini adalah Abû Hasan al-Syâtibi (w. 790H/ 1411M). Menurutnya,
sebuah hadîts diriwayatkan dengan dua cara. Pertama, ada hadîts yang
diriwayatkan hanya maknanya saja, untuk yang seperti ini tidak ada ahli bahasa
yang menjadikannya sebagai bukti kebahasaan (al-istisyhâd). Kedua, ada hadîts
109 Jalâl al-Din Abdurrahman ibn Abi Bakar al-Sayuthî, al-Iqtirâh…, h. 17, Bandingkan
dengan Mahmûd Ahmad Nahlah, Ushûl…, h. 50.
yang diriwayatkan berdasarkan teksnya, untuk jenis yang disebut terakhir ini
dapat dijadikan argumen kebahasaan.111 Tampaknya Ibn Anbarî sepakat dengan
pandangan ini. Mengenai periwayatan hadîts Ia mengatakan, setelah membagi
hadîts menjadi dua bagian: mutawâtir dan ahâd, bahwa hadîts yang mutawatir
merupakan argumen yang meyakinkan (dalîl qat’î) dalam ilmu nahw.112
Sedangkan al-Sayûthî mengatakan bahwa penggunaan hadîts Nabi sebagai
argumen kebahasaan adalah jarang.113
Dengan melihat urutan dalil dalam bahasa Arab seperti yang telah dikemukakan diatas, ini memperlihatkan ada kesamaan dengan urutan dalil dalam ushûl al-fiqh. Ini bukanlah suatu kebetulan, tetapi ini menunjukkan adanya keterpengaruhan ushûl al-nahw pada ushûl al-fiqh. Seperti telah ditunjukkan pada bagian yang lalu bahwa para ahli ushûl al-fiqh dalam membangun ilmu ini memang mengambil manfaat dari para ahli bahasa.Tetapi setelah ilmu ushûl al-fiqh telah menjadi ilmu yang mandiri, sejumlah cabang ilmu lain justru meminjam kembali metode ushûl al-fiqh tersebut, termasuk dalam hal ini ilmu bahasa. Inilah alasan kenapa dikatakan bahwa ahli bahasa terpengaruh oleh ahli ushûl al-fiqh, bukan sebaliknya.
Argumen kebahasaan berikutnya adalah kalam Arab. Yaitu materi bahasa yang didengar langsung dari penutur Arab yang dipandang masih murni
kearabannya, baik berupa syi’ir maupun natsar. Ada kesepakatan diantara ahli
bahasa Arab bahwa narasumber bahasa Arab yang dari mereka boleh diambil bahasanya, berakhir pada abad ke dua hijrah. Alasannya adalah bahwa setelah
masa tersebut bahasa Arab telah mengalami kerusakan bahasa (lahn) disebabkan
terjadinya akulturasi antara penutur asli Arab dengan non Arab.114 Ini berkaitan
dengan batas waktu. Adapaun yang terkait dengan tempat, para ahli bahasa dalam mengambil materi bahasa Arab, juga menetapakan suku-suku Arab tertentu yang
111 Lihat Thaha al-Rawi, Nazharât fi al-Nahw, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1962), h. 13,
Bandingkan dengan Mahmûd Ahmad Nahlah, Ushûl…, h. 53.
112 Ibn Anbarî, Luma’…, h. 32.
113 Jalâl al- Din Abdurrahmân ibn Abi Bakar al-Sayuthî, al-Iqtirâh…, h. 16.
114 Mahmûd Ahmad Nahlah, Ushûl…, h. 59-60, Afâf Hasanain, fi Adillah al-Nahw, (Kairo:
dari mereka bahasa dapat diambil, seperti yang telah ditunjukkan pada bab sebelumnya.
Untuk menjamin kualitas sebuah riwayat tentang materi bahasa, para ahli bahasa menetapkan beberapa syarat. Mereka membagi kuantitas perawi bahasa
menjadi dua, mutawâtir dan ahâd. Mutawâtir adalah kuantitas perawi bahasa yang
diperkirakan dengan jumlah tersebut diyakini tidak memungkinkan terjadinya kesepakatan pemalsuan informasi. Ini merupakan dalil yang bernilai meyakinkan (qat’î). Sedangkan ahâd adalah perawi individual, tetapi tetap bisa dijadikan dalil meskipun nilainya tidak setinggi yang disebut pertama. Para ahli bahasa juga menetapkan syarat bagi periwayat yang dapat dipercaya tersebut dengan bahwa ia
harus âdil, baik ia seorang pria, wanita atau seorang budak.115 Tetapi tidak terlalu
jelas apa yang dimaksud dengan âdil dalam konteks ini. Dugaan penulis konsep
ini sangat dekat dengan konsep âdil dalam ilmu hadîts.
Ketiga dalil bahasa tersebut merupakan dasar bagi qiyâs atau maqîs alaih
atau asl. Dari ketiga sumber bahasa tersebut diatas para ahli bahasa menetapkan
kaidah-kaidah bahasa yang berfungsi untuk menempatkan bahasa kedalam sebuah sistim bahasa. Adapun sarana untuk memperluas bahasa agar dapat mengakomodir kebutuhan sosial pengguna bahasa, para ahli bahasa Arab mengembangkan metode qiyâs. Dengan demikian maka qiyâs dalan nahw merupakan perangkat yang sistemik untuk mengubah ujaran menjadi menjadi bahasa dan mengembalikan perubahan dan keanekaragaman gejala bahasa kedalam sebuah sistem. Kenyataannya, kehidupan selalu berkembang dan berubah menuju kearah yang semakin kompleks. Ini menuntut adanya kosa kata-kosa kata atau kalimat baru untuk menjelaskan dan mengakomodir perkembangan tersebut. Dari sini kemudian lahir prinsip-prinsip qiyas. Prinsip kerja qiyâs adalah
menerapkan hukum asal kepada kasus cabang, karena keduanya memiliki ‘illat
yang sama (‘illat jâmi).
115 Ali Abû al-Makarim, Ushûl al-Tafkîr al-Nahw, (Beirut: Dâr al-Hadîts, 1978), h. 67,
2. Hukum
Pengertian hukum dalam ilmu ushûl al-nahw hampir sama dengan pegertaian hukum dalam pengertian ushûl al-fiqh. Dalam ushûl al-fiqh dikenal ada
lima nilai hukum, yaitu wajib, sunnah, jâiz (boleh), makruh dan haram.
Sedangkan dalam ushul al-nahw hukum dapat berbentuk: (1). wajib (al-wâjib),
seperti bahwa fâ’il wajib rafa’ dan posisinya wajib terkemudian dari fi’il. (2).
Terlarang (al-mamnû’), seperti mubtada’ terlarang mansûb. (3). Baik (al-hasan),
seperti merafa’kan fi’il mudhâri’ yang berkedudukan sebagai jawab syarat dari
fi’il mâdhi. (4). Buruk (al-qabîh), seperti merafa’kan fi’il mudhâri’ yang
berfungsi sebagai jawab syarat dari fi’il mudhâri’. (5). Khilâf aulâ, seperti
mendahulukan fâ’il dalam contoh kalimat dharaba ghulâmuh Zaidan. (6). Boleh
(al-jâiz), seperti boleh menghazafkan atau tidak menghazafkan mubtada’.116 Dengan pembagian seperti ini jelas bahwa para ahli nahw sangat dipengaruhi oleh ahli ushûl al-fiqh.
Al-Sayuthî mengemukakan tambahan hukum dalam ushûl al-nahw ini,
yaitu rukhsah dan ghair rukhsah. Penambahan ini semakin mengukuhkan
keterpengaruhan ushûl al-nahw dengan ushûl al-fiqh disamping al-Sayûthî sendiri
adalah seorang ahli fiqh. Yang dimaksud dengan rukhsah menurut al-Sayûthî
adalah sesuatu yang dibolehkan penggunaannya dalam darûrat al-syi’ir.117
Namun pengertian darûrat al-syi’ir ini terdapat perbedaan pendapat diantara para
ahli nahw. Menurut Ibn Mâlik118 dianggap darûrat al-syi’ir jika seorang penyair
tidak lagi bisa menghindari pengucapan yang demikian karena tuntutan timbangan (wazân) syi’ir. Menurut Ibn Usfûr,119 syi’ir itu sendiri secara keseluruhan adalah darûrat. Dengan demikian ada kebebasan bagi seorang penya’ir untuk menggunakan ungkapan yang mungkin melanggar aturan gramatika, meskipun hal itu bisa dihindari dengan ungkapan lain. Pendapat lain yang mengatakan bahwa
116 Al-Sayuthî, Kitab al-Iqtirâh fi ‘Ilm Ushûl al-Nahw, (Kairo: Dâr Ma’arif
al-Nizhamiyyah, tt), h. 10. Mahmûd Ahmad Nahlah, Ushûl al-Nahw al-‘Arabi, (Kairo: Dâr al-Ma’rifah al-Jâmi’iyyah, 2002), h. 136. Khalid Sa’ad Muhammad Sya’bân, Ushûl al-Nahw Inda Ibn Mâlik, (Kairo: Maktabah al-Adâb, 2006), H. 204
117 Al-Sayuthî, al-Iqtirâh…, h. 12.
118 Untuk biobgrafi Ibn Mâlik lihat Syauqi Dhaif, al-Madâris al-Nahwiyyah, (Mesir: Dâr
al-Ma’ârif, 1976), h. 309-317.
tidak ada darûrat dalam bahasa Arab, karena sangat mungkin untuk menempatkan
kalimat pengganti untuk menghindari darûrat tersebut.120
Hukum dalam ilmu nahw berasal dari dua sumber. Pertama, hukum yang
sejak semula telah ditetapkan pemakaiannya dalam bahasa Arab. Seperti wajib
bagi mubtada’ dan fâ’il dirafa’kan. Untuk hukum yang seperti ini tidak ada
perbedaan pendapat oleh ahli nahw tentang kebolehannya untuk menjadi dasar
bagi qiyâs. Kedua, hukum yang ditetapkan berdasarkan qiyâs. Untuk yang disebut
terkhir ini terjadi perbedaan pendapat diantara ahli nahw tentang kebolehannya untuk dijadikan landasan qiyâs. Mayoritas ahli nahw tampaknya membolehkan hal tersebut.121
Ibn Anbarî meriwayatkan adanya perbedaan pendapat ahli nahw tentang
apakah hukum ditetapkan berdasarkan nashsh atau berdasarkan ‘illat. Pendapat
Mayoritas ahli nahw adalah bahwa hukum ditetapkan berdasarkan ‘illat bukan
berdasarkan nashsh. Alasannya adalah apabila hukum ditetapkan berdasarkan
nashsh, bukan berdasarkan ‘illat, hal itu akan berakibat batalnya proses qiyâs. Karena pengertian qiyâs menurut kelompok ini, membawa cabang kepada asal
karena ada ‘illat (haml far’ ‘alâ ashl bi ‘illah jâmiah). Dengan kata lain,
menerapkan hukum yang ada pada kasus asal (ashl), untuk diterapkan pada kasus
cabang (far’) karena ada titik kesamaan antara kedunya (‘illat). Seandainya ‘illat
ini tidak ada, dengan sendirinya qiyâs menjadi batal, berarti hukumpun tidak ada,
dan cabang diqiyâskan kepada sesuatu yang tidak ada asalnya.122 Sebagian ahli
nahw berpendapat bahwa untuk kasus dimana terdapat nashsh, hukum ditetapkan
berdasarkan nashsh, namun apabila tidak terdapat nashsh, hukum ditetapkan
berdasarkan ‘illat. Penting untuk ditambahkan bahwa prinsip qiyâs dalam ushûl
al-nahw sama dengan prinsip qiyâs dalam ushûl al-fiqh, yaitu sama-sama
bertumpu pada prinsip asl dan far’ yang merupakan salah satu ciri epistemologi
bayâni. Dengan ini dapat dinyatakan bahwa ushûl al-nahw dengan ushûl al-fiqh berasal dari epistemologi yang sama.
120 Al-Sayuthî, al-Iqtirâh…, h. 12.
121 Mahmûd Ahmad Nahlah, Ushûl…, h. 134, al-Sayuthî, al-Iqtirâh…, h.
73-76-122 Ibn Anbarî, Luma’ al-Adillah, (Kairo: Dâr al-Ma’arif al-Nizhamiyyah, tt), h. 121.
3.’Illat
Al-Khalîl ibn Ahmad pernah ditanya tentang alasan-alasan (‘ilal) yang
dipergunakan oleh para ahli nahw untuk menafsirkan gejala-gejala bahasa. Ia ditanya “ Apakah dari orang Arab Anda mengambil alasan-alasan kebahasaan tersebut atau Anda membuatnya sendiri”. Ia menjawab bahawa orang Arab berbicara menurut naluri dan wataknya. Mereka mengenali posisi-posisi ujaran dan dalam pikiran mereka tentunya telah ada alasan-alasannya meskipun tidak diriwayatkan dari mereka. Al-Khalîl ibn Ahmad mengakui bahwa Ia mencari sendiri alasan-alasan yang mungkin seperti itu yang ada dalam pemikiran orang Arab. Jika ia benar dalam pencariannya, itulah yang ia harapkan. Al-Khalîl ibn Ahmad menganalogikan proses pencarian alasan-alasan itu dengan orang seorang bijak yang masuk ke sebuah rumah atau bangunan yang kokoh, struktur dan bagian-bagiannya menakjubkan. Melalui berita yang dapat dipercaya atau melalui bukti-bukti yang jelas dan argumen-argumen yang nyata, memang harus diakui keahlian orang yang membagun rumah atau bangunan tersebut. Ketika orang yang masuk kedalam rumah tersebut dan memperhatikan salah satu bagian dari bangunan tersebut, ia mengatakan bahwa orang yang membangun rumah ini, dalam membangun bagian yang dilihatnya tersebut dengan alasan ini dan itu, karena sebab ini dan itu, yang ada dalam pikirannya. Bisa saja orang yang membuat rumah tersebut melakukan pembuatan rumah tersebut mempunyai alasan yang sama persis dengan alasan orang yang memperhatikan tadi, namun bisa jadi karena alasan lain. Hanya saja apa yang dilakukan oleh orang yang memperhatikan bangunan tersebut dimungkinkan untuk menjadi alasan pembangunannya. Selanjutnya al-Khalîl ibn Ahmad menegaskan pandangannya, jika ada orang lain lebih benar dalam memberikan alasan-alasan dalam nahw,
biarkanlah ia menayatakannya.123 Dengan pengertian bahwa Ia juga akan
mengakui hasil ijtihad mereka. Karena kebenaran dapat berada pada setiap orang.