Tesis ini akan ditulis dalam lima bab, yakni pendahuluan, orisinalitas ilmu
keislaman, qiyâs: awal mula dan perkembangannya, struktur qiyâs dan terakhir
merupakan penutup dan kesimpulan.
Bab pertama berisi latar belakang masalah, identifikasi, batasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, signifikasai penelitian, penelitian terdahulu yang relevan, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua merupakan landasan teori yang menjelaskan bahwa qiyâs yang
terdapat pada ilmu ushûl al-fiqh dan pada ushûl al-nahw memiliki landasan
epistemologisnya dalam kebudayaan Arab Islam. Bab ini bertujuan untuk melihat
hubungan qiyâs yang ada dalam ushûl al-Fiqh dan ushûl al-nahw tersebut. Juga
akan dibahas pendapat sejumlah sarjana Barat yang mengatakan bahwa qiyâs
yang ada pada dua disiplin ilmu tersebut berasal bukan dari produk budaya Arab sendiri, melainkan berasal dari luar. Disamping akan dikemukakan pula sanggahan atau keberatan atas pandangan tersebut.
Bab ketiga membahas tentang qiyâs yang mencakup awal mula dan
perkembangannya. Ini merupakan bab inti. Pada bab ini akan dibahas mengenai
penggunaan qiyâs oleh para ahli hukum awal di daerah perkembangan pemikiran
hukum, Madinah dan Iraq. Termasuk proses perkembangan qiyâs pada era
al-Syâfi’i dan sesudahnya. Disamping itu juga akan dibahas tentang penggunaan Qiyâs dalan ilmu nahw oleh para ahli nahw awal seperti al-Khalîl ibn Ahmad dan Sîbawaihi dan tokoh yang seangkatan dengannya. Tujuan utama bab ini untuk
ahli nahw sejak masa-masa awal, sebelum terjadinya penterjemahan buku-buku asing, utamanya buku-buku filsafat dari Yunani kedalam bahasa Arab.
Bab ke empat membahas tentang struktur qiyâs, baik qiyâs ushûlî maupun
qiyâs nahwî, yang mencakup kasus asal, kasus cabang, hukum asl dan ‘illat. Bab
ini akan membahas tentang unsur-unsur pokok qiyâs, persyaratan yang ditetapkan
oleh ahli ushûl al-fiqh dan ahli nahw bagi keabsahan persyaratan tersebut.
Perbedaan pendapat mereka tentang persyaratan tersebut juga akan dibahas. Bab
ke tiga dan ke empat ini sekaligus merupakan pembuktian bahwa qiyâs yang ada
pada ushûl al-fiqh dan ushûl al-nahw tersebut memang berasal dari produk
pemikiran Arab Islam, bukan berasal dari produk budaya asing. Ini dibuktikan
dengan tidak adanya kesamaan antara struktur qiyâs Ushûl al-fiqh dan qiyâs
al-nahw dengan struktur analogi dalam filsafat.
Bab kelima merupakan bab penutup dan kesimpulan. Bab ini berisi temuan-temuan penting yang di dapat dari pembahasan bab-bab sebelumnya.
21 A. Klasifikasi Ilmu
Menurut Makdisi, pada masa klasik pengetahuan Islam terbagi ke dalam
tiga Kelompok.1 Pertama, kelompok pengetahuan yang disebut dengan adâb
(sastra), yaitu pengetahuan yang terkait dengan bahasa.Termasuk dalam kelompok
ini adalah ilmu nahw (tata bahasa Arab), puisi (syi’ir), balâghah (keindahan
bahasa), retorika, seni menulis surat dan sejarah. Kedua, kelompok pengetahuan
yang disebut dengan ilmu-ilmu agama. Ke dalam kelompok pengetahuan ini,
termasuk pengetahuan yang terkait dengan al-Qur’ân (ulûm al-Qur’ân), ilmu-ilmu
yang terkait dengan hadist (ulûm al-hadits), hukum Islam (fiqh), teologi dan
tasawwuf. Ketiga, kelompok pengetahuan asing atau kuno. Termasuk dalam
pengetahuan ini adalah ilmu-ilmu yang berasal dari kebudayaan di luar Arab, seperti filsafat.
Klasifikasi ini membantu menjelaskan sumber pengetahuan tersebut. Filsafat, berikut seluruh cabang-cabangnya jelas berasal dari kebudayaan Yunani.
Ilmu nahw, balâghah, syi’ir dan lainnya, yang masuk dalam kelompok adâb
(sastra), mengindikasikan bahwa ilmu-ilmu ini merupakan produk pemikiran Arab. Sedangkan ilmu-ilmu agama merupakan ilmu yang tumbuh setelah Islam berkembang di tanah Arab. Walaupun terkait erat dengan ajaran Islam, tetapi juga sangat erat hubungannya dengan budaya, terutama, bahasa Arab. Karena itu Makdisi mendiskusikan secara khusus hubungan antara rumpun ilmu pengetahuan adab dengan rumpun pengetahuan agama, khusus hubungannya dengan al-Qur’ân,
hadits dan fiqh.2 Metode riwayat (samâ’) yang dipakai dalam adâb (sastra),
merupakan metode yang juga diterapkan dalam hadits. Lebih jauh Ia
menganalogikan adâb (sastra) dengan hadist sebagai dua sungai kembar yang
mengalir dari sumber yang sama, sebuah analogi yang memperlihatkan kedekatan
kedua cabang ilmu tersebut. Hubungan antara adâb (sastra) dengan fiqh sangat
1 George A. Makdisi, The Rise of Humanism in Classical Islam and Christian West,
(Edinburg: Edinburgh University Press, 2000), h. 120.
erat karena adanya kesamaan orientasi metodologi. Sejak awal para ahli fiqh dikenal sebagai sastrawan, sebaliknya sastrawan memahami betul masalah fiqh. Seorang tokoh fiqh dari Suriah, al-Auza’i (w.157 H/ 774 M), selain seorang tokoh hadits, juga cemerlang dalam penulisan dan kearsipan. Abdullah ibn Mubârak (w.181H/797M) selain tokoh fiqh, juga diriwayatkan memadukan antara ilmu agama dengan ilmu sastra, nahw, sya’ir dan retorika.
Kesamaan orientasi metodologi pada akhirnya menimbulkan banyak kesamaan dalam persoalan-persoalan yang didiskusikan dan metoda-metoda penyelesaiannya. Seperti telah ditunjukkan pada bagian yang lalu (pada bab satu),
persoalan-persoalan ilmu ushûl al-nahw hampir tidak ada bedanya dengan
persoalan-persoalan ushûl al-fiqh. Singkatnya dapat dikatakan bahwa persoalan
ushûl al-fiqh adalah juga persoalan ushûl al-nahw.
Secara umum, ilmu-ilmu agama merupakan ilmu yang terbentuk dari hasil pemahaman ummat Islam terhadap ajaran agama. Meskipun sejumlah cabang ilmu ini tetap menjadi perdebatan. Ilmu-ilmu yang terkait dengan al-Qur’ân tidak terdapat perdebatan tentang asal-usulnya, demikian pula yang terkait dengan
hadist, meskipun asal usul hadist sendiri diperdebatkan.3 Sedangkan ilmu fiqh,
teologi Islam dan sufisme merupakan cabang-cabang ilmu yang diperdebatkan oleh para ahli, baik mengenai asal usulnya maupun perangkat metodologinya. Sufisme dicurigai bukan berasal dari ajaran Islam karena sejumlah praktiknya mempunyai kesamaan dengan praktik agama lain di luar Islam, seperti Hindu,
3 Beberapa sarjana non Muslim meragukan apa yang dikatakan sebagai hadis adalah asli
berasal dari Nabi. Goldziher, Schacht dan Juynboll misalnya mengatakan terdapat alasan kuat untuk mempercayai bahwa Hadist Nabi diciptakan pada masa yang lebih akhir dalam sejarah Islam, dan yang secara perlahan-lahan dinisbatkan kepada Nabi. Schacht menempatkan Sunnah dan laporan-laporan verbal yang mengekspresikannya, pada akhir abad pertama dan awal abad kedua hijrah. Sementara Juynboll yakin bahwa hal itu muncul seperempat abad lebih awal. Akan tetapi, penelitian yang akhir-akhir ini dilakukan, sejauh yang berhubungan dengan asal-usul historis hadist Nabi, menunjukkan bahwa Goldziher, Schacht dan Juynboll terlalu skeptis dan bahwa sejumlah hadist berasal lebih awal dari pemikiran di atas, bahkan semasa dengan Nabi. Penemuan-penemuan ini ditambah dengan studi-studi penting lainnya yang kritis terhadap tesis Schacht, menunjukkan bahwa, sementara banyak hadist Nabi yang berasal dari periode setelah hijrah, ada juga sejumlah materi yang berasal dari masa Nabi. Lihat Joseph Schacht, The Origins
of Muhammadan Jurisprudence, (Oxford: Clarendon Press, 1950), G.H.A Juynboll, Muslim
Tradition: Studies in Cronology, Provenance and Authorship of Early Hadith, (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), M.M. Azami, Studies in Early Hadith Literature, (Beirut: al Maktabah al Islâmî, 1968), On Schacht’s Origin of Muhammad Jurisprudence, (New York: John Wiley, 1986).
Budha bahkan Kristen.4 Teologi Islam dikritik keras karena pengaruh filsafat yang
sangat kuat dalam metodologinya.5
Fiqh Islam, ilmu tentang hukum Islam, termasuk metodologi penalaran
hukumnya (ushûl al-fiqh), juga diperdebatkan oleh para ahli baik mengenai asal
usul maupun metodologinya. Tesis-tesis Schacht yang memberikan gambaran secara garis besar sejarah dan perkembangan hukum Islam, sampai hari ini tetap menjadi tolak ukur semua kajian modern tentang topik ini. Tesis Schacht tentang
topik ini, seperti yang tertuang dalam karyanya The Origins, dapat diringkas
sebagai berikut. Hukum Islam (fiqh), seperti yang dikenal sekarang, belum ada pada masa hidup Muhammad atau pada sebagian besar abad pertama Hijriah. Meskipun al-Qur’ân membuat aturan-aturan tertentu dalam wilayah hukum keluarga, waris dan ibadah (ritual). Menurut Schacht, generasi muslim pertama hanya memberikan sedikit perhatian atas aturan-aturan tersebut dan mereka hanya mengambil kesimpulan-kesimpulan yang paling elementer darinya dan dalam beberapa kasus praktek hukum awal memang menyimpang dari kata-kata exsplisit al-Qur’ân.
Mengenai hadits, Schacht mengatakan, riwayat tentang perilaku dan ucapan yang berasal dari Nabi sesungguhnya riwayat itu baru ada pada akhir abad pertama Hijrah. Dasar-dasar hukum Islam, sesungguhnya tidak diletakkan oleh
Muhammad atau para sahabatnya, tetapi justru oleh para qâdhi generasi awal,
yaitu ahli hukum yang ditunjuk oleh para gubernur Dinasti Umayyah, yang mentransformasikan praktik-praktik populer dan administratif pemerintahan Umayyah menjadi hukum-hukum religius. Ketika kelompok-kelompok ahli hukum bertambah secara kuantitas dan kualitas sepanjang dekade-dekade pertama abad kedua Hijrah maka itu semua kemudian berkembang menjadi mazhab-mazhab hukum awal di Kufah, Basrah, Makkah, Madinah dan Suriah. Pada masa ini, para ulama mulai memberikan perhatian yang serius terhadap norma-norma
4 Untuk informasi lebih rinci lihat ‘Ali Syâmi al-Nassyâr, Manâhij al-Bahts ‘Inda Mufakkiri al-Islâm, (Beirut: Dâr al-Fikr al-‘Arabi, 1947), h. 64. Bandingkan dengan Joel L. Kraemer, Philosophy in the Renaissance of Islam, (Leiden: E. J. Brill, 1986), h. 246.
5 Lihat Muhammad ‘Abid al-Jâbiri, Takwîn al-‘Aql al-‘Arabî, (Beirut: Markaz Saqâfi
al-Qur’ân dan menarik kesimpulan-kesimpulan formal dari norma-norma itu.
Untuk selanjutnya ini berakibat pada munculnya “tradisi yang hidup” (living
tradition), yaitu kesepakatan anonim dari suatu generasi ulama’. Untuk memberi alasan pembenar atas kesinambungan mereka dengan opini mayoritas, para ahli hukum menyandarkan “tradisi yang hidup” itu ke masa-masa yang sebelumnya, dengan menganggapnya berasal dari, pertama-tama, sejumlah tokoh besar pada masa lalu yang meninggal pada sekitar abad pertama Hijrah, kemudian dari tokoh sahabat dan terakhir dari Nabi sendiri. Pada masa al-Syâfi’i (w. 204 H/820 M), dan sebagai akibat dari usahanya, nilai-nilai tradisi formal tentang Nabi mulai mengalahkan tradisi yang hidup dari mazhab-mazhab hukum awal. Hal ini pada akhirnya mendorong pemalsuan hadits yang diklaim sebagai laporan saksi mata tentang kata-kata atau perbuatan Nabi yang dialihtangankan secara lisan melalui
mata rantai yang tidak terputus.6
Pemikiran Schacht tentang hadits, terkait erat dengan kajian utamanya mengenai asal usul hukum Islam dan peran al-Syâfi’î dalam perkembangannya. Al-Syâfi’î dipandang sebagai orang yang bertanggung jawab atas kemenangan
hadits Nabi sebagai sumber hukum Islam.7 Ada beberapa alasan mengapa Schacht
lebih memilih berangkat dari persoalan hukum di dalam mengkaji hadits. Pertama, sumber-sumber hukum dalam Islam tidak hanya lebih tua dan lebih kaya dari sumber-sumber lain, tetapi juga karena penilaian orang terhadap persoalan
hukum cenderung terdistorsi oleh ide-ide prakonsepsi.8
Kedua, hukum Islam dalam pengertian teknis belum lahir pada abad
pertama Hijriah.9 Menurut Schacht, Nabi Muhammad tidak memiliki alasan yang
cukup untuk mengganti hukum adat yang sudah ada. Otoritas Nabi saat itu di Madinah tidak dalam masalah hukum, tetapi dalam masalah agama dan politik.
6 Joseph Schacht, Law and Justice, (Cambridge: Cambridge University Press, 1970), h.
539-550. Dan An Introduction to Islamic Law, (Oxford: Clarendon Press, 1950), h. 10-30. Sedangkan dalam Origins pembahasan Schacht tentang topik ini tersebar hampir diseluruh bagian buku itu.
7 Joseph Schacht, The Origins of Islamic Jurisprudence, (Oxford: Clarendon Press, 1959),
h. 3.
8 Joseph Schacht, A Revaluation of Islamic Traditions. Dalam Journal of the Royal Asiatic
Society, 1949, h.144.
Sementara itu, al-Khulafa’ al-Rasyidin adalah pemimpin-pemimpin politik dari masayarakat Islam yang tidak mengambil hukum dari sumber yang lebih tinggi, tetapi mereka mengambilnya dari mereka sendiri sebagai pembuat hukum
masyarakat.10
Ketiga, pada dekade selanjutnya, para Khalifah Bani Umayyah melakukan langkah penting dengan mengangkat para hakim untuk menyelesaikan persoalan-persoalan hukum. Pemilihan para hakim kemudian ditujukan kepada orang-orang spesialis. Kelompok ini akhirnya berkembang dan lama-kelamaan semakin kuat. Pada dekade pertama abad kedua Hijriah, mereka berkembang menjadi aliran fiqh
klasik (the ancient school of law) yang mempunyai persamaan dalam teori hukum
yang esensial. Titik pusat ide dari teori ini adalah perkara-perkara yang sudah
memasyarakat, yang disebut oleh Schacht dengan Istilah the living tradition of the
school, yang dikemukakan oleh wakil resmi mereka. Persoalan-persoalan tersebut
pada akhirnya menjadi praktik ideal yang disebut sunnah.11
Pandangan yang mengejutkan dari Schacht, yang terkait dengan hukum Islam, adalah pandangannya tentang salah satu metode penalaran hukum, yaitu qiyâs. Dengan menggunakan pendekatan filologi, Schacht sampai pada
kesimpulan bahwa qiyâs yang ada dalam hukum Islam itu berasal dari qiyâs yang
ada dalam agama Yahudi.12 Lebih jauh ia menyimpulkan bahwa hukum Islam
berasal dari hukum Romawi. Dengan kata lain bahwa hukum Islam dan salah satu metode penalaran hukumnya tidaklah asli berasal dari produk pemikiran ummat Islam.
Kesimpulan Schacht ini mendapat kritik dari Ahmad Hasan, tetapi secara tersirat disetujui oleh Wael Hallaq. Dengan pendekatan sejarah Ahmad Hasan,
dalam The Earlynya membuktikan bahwa hukum Islam dan sekaligus qiyâs,
murni bersumber dari al-Qur’ân dan merupakan produk pemikiran umat Islam. 13
Kesimpulan Ahmad Hasan ini sama dengan kesimpulan Yassin Dutton yang
10 Joseph Schacht, An Introduction…, h. 11-15. 11 Joseph Schacht, The Origins…, h. 253. 12 Joseph Schacht, The Origins…, h. 99.
13 Ahmad Hasan, The Early development of Islamic Jurisprudence, (India: Adam
melakukan kajian terhadap Kitab al-Muwaththa’ karya Mâlik. Dutton, dalam The Originsnya juga menyimpulkan bahwa hukum Islam itu telah ada seiring dengan keberadaan Islam itu sendiri dan bersumber dari al-Qur’ân, dan bahwa
kebijakan-kebijakan hukum semenjak awal telah ditetapkan oleh otoritas Nabi.14 Tetapi
Hallaq, dalam dua karyanya, The History of Islamic legal Theories (1997) dan The
origins and Evolutions of Islamic Law (2005) mengukuhkan pandangan Schacht.15 Tesis Schacht tentang hadits juga mendapat tanggapan, bahkan kritik dari sejumlah sarjana. Dengan tetap menerima secara keseluruhan tentang kesahihan dari kerangka studinya, sekelompok sejarawan mengkritisi aspek-aspek tertentu dari tesis Schacht di atas. S. Vesey-Fitzgerald, dengan mengakui bahwa hadits dalam jumlah yang besar telah dilupakan orang, berpendapat bahwa aturan-aturan legal yang disebutkan dalam “kisah- kisah palsu” tersebut boleh jadi benar
merefleksikan pandangan Muhammad.16 Ahli sejarah hukum Inggris, N. J.
Coulson, juga mengakui pokok-pokok tesis Schacht dan menyatakan bahwa mayoritas hadits hukum yang dinisbatkan kepada Muhammad adalah tidak asli
dan merupakan hasil dari proses “perujukan kembali” (back projection) doktrin
hukum.17 Akan tetapi, Coulson dihadapkan pada masalah karena munculnya
ketidaksinambungan yang dibuat oleh tesis Schacht, antara al-Qur’ân dan pembentukan hukum Islam, sementara Coulson berpendapat bahwa legislasi al- Qur’ân, khususnya aturan-aturan rinci dalam hukum keluarga, semestinya mendorong munculnya perkembangan hukum yang dini dan berkesinambungan.
Kenyataannya, al-Qur’ân sendiri mengajukan masalah-masalah yang pasti menjadi perhatian masyarakat Muslim awal dan masalah-masalah yang Nabi sendiri dalam kapasitasnya sebagai pemegang tertinggi kekuasaan politik dan otoritas hukum juga mengalami dan menghadapinya. Oleh sebab itu, ketika tesis
14 Yassin Dutton, The Origins of Islamic Law, (Great Britain: Curzon Press, 1999), h.
179-180.
15 Wael B. Hallaq, History of Islamic Legal Theories, (Cambridge: Cambridge University
Press, 1997), h. 21. Dan The Origins and Evolutions of Islamic Law, (Cambridge: Cambridge University Press, 2005, h. 4.
16 S.Vesey-Fitzgerald, Nature and Sources of the Syari’a, Dalam Law in the Midle East,
(Washington, 1955), h. 93-94.
17 N. J. Coulson, A History of Islamic Law, (Edinburgh: Edinburgh University Press,
Schacht secara sistematis difokuskan pada pengembangan sikap “bahwa bukti hadits-hadits hukum hanya mengarah pada sekitar tahun 100 Hijrah saja”, dan ketika keotentikan hukum-hukum yang secara praktis dianggap berasal dari Nabi ditolak, maka akan muncul asumsi bahwa adanya kevakuman hukum dalam potret perkembangan hukum masyarakat Muslim awal. Dari sudut pandang praktis dan dengan memperhatikan kenyataan historis pada waktu itu, pemikiran yang
mengandaikan adanya kevakuman hukum seperti itu, sangat sulit diterima.18
Peneliti lainnya lebih senang menilai tesis Schacht dengan mendorong mundur asal-usul hukum Islam lebih jauh kebelakang dari yang dinyatakan oleh Schacht, meskipun tidak sejauh yang dilakukan Coulson. G. H. A. Juynboll meragukan pendapat Schacht yang didasarkan pada statemen yang konon dari Ibn
Sirin, bahwa penggunaan isnad, rangkaian transmisi, baru mulai pada seperempat
kedua abad kedua Hijrah. Pendapat ini diambil Schacht dari penggunaan kata fitnah pada pernyataan Ibn Sirin, yang itu merujuk pada peristiwa-peristiwa yang terjadi menyusul wafatnya khalifah dari Bani Umayyah, Walid ibn Yazid, pada
tahun 126 H.19 Namun Juynboll, setelah melakukan penelitian secara mendalam
atas penggunaan kata fitnah dalam sejumlah sumber awal, menyimpukan bahwa
Ibn Sirin paling mungkin sedang membicarakan pemberontakan Ibn Zubair (64-71 H) itu.
Kritik yang lebih kokoh dan sistematis atas tesis Schacht dikemukakan
oleh Nabia Abbot. Ia mempublikasikan volume kedua dari karyanya, Studies in
Arabic Literary Papyry, yang dicurahkan untuk meneliti tafsir al-Qur’ân dan hadits. Dengan penelitian yang seksama atas papirus awal, dilengkapi dengan studi mendalam atas ilmu hadits, membawanya pada kesimpulan-kesimpulan berikut: (1) hadits telah ditransmisikan, baik secara lisan maupun tulisan, sejak zaman permulaan sejarah Islam; (2) laporan-laporan tentang Muhammad, seperti yang diriwayatkan oleh para pengikutnya, telah diteliti secara ketat dalam setiap mata rantai transmisinya; (3) perkembangan yang fenomenal dalam literatur hadits pada abad kedua dan ketiga Hijrah adalah dampak dari peningkatan jumlah mata
18 Coulson, A History…, h. 64-65.
19 Joseph Schacht, The Origins…, h. 36-37. G. H. A Juynboll, The Date of the Great Fitna,
rantai transmisi, baik secara vertikal maupun horizontal, bukan karena
bertambahnya pemalsuan matan hadits.20
Muhammad Musthafa Azami dalam karyanya, Studies in Early Hadits
Literature, mempunyai kesimpulan sama dengan Abbot. Intinya adalah bahwa proses-proses perekaman hadits telah mulai dilakukan sejak zaman Muhammad. Azami mencatat sejumlah kelemahan dan kekuranan pada argument Schacht. Sama seperti Coulson, Azami mengkritik Schacht karena kegagalannya dalam mengamati legislasi al-Qur’ân, dan sama seperti Juynboll, Azami meragukan
akurasi identifikasi Schacht pada kata fitnah sebagai perang sipil menyusul
kematian Walid ibn Yazid.21 Lebih lanjut, Azami berpendapat bahwa Schacht
telah gagal memahami makna teks-teks Arab tertentu, mengutip statemen keluar dari konteks, berargumen berdasarkan kasus-kasus pengecualian dan membuat
generalisasi hanya berdasarkan contoh-contoh yang sangat terbatas.22
Azami juga memunculkan beberapa pertanyaan menarik ditengah analisis diskursifnya. Sebagai contoh bagaimana mungkin para ulama abad pertama Hijrah, seperti dikatakan Schacht, membatasi dirinya hanya pada masalah-masalah ritual? Mengapa pula para ulama menisbatkan doktrin mereka pada otoritas yang lemah dan tidak kepada yang kuat? Bagaimana mungkin, jika sebagian besar hadits yang telah dipalsukan pada abad ke dua dan ke tiga hijrah, kita dapat menemukan hadits yang bentuk dan maknanya populer tersebar di
antara orang-orang Sunni, Zaidi dan Khawarij?.23
Tesis Schacht, selain telah mendapat kritik-kritik negatif seperti di atas, telah juga menjalani ujian waktu. Seperti catatan D. Forte dalam surveinya tentang pengaruh Schacht pada kesarjanaan kontemporer, bahwa hampir semua sarjana Barat setuju bahwa bukti-bukti yang dimajukan Schacht atas ketidakotentikan
20 Nabia Abbot, Studies in Arabic literary Papiry, (Chicago: Chicago University of
Chicago, 1972), h. 75.
21 Muhammad Musthafa ‘Azami, Studies in Early Hadith Literature: Whith a Critical
Edition of Some Early Texts, (Indianapolis: American Trust Publication, 1978), h. 215-217,
251-252.
22 Azami, Studies…, h. 233-235, 237, 254-255. 23 Azami, Studies…, h. 242-243, 252.
hadits sebenarnya tak terbantahkan.24 Tetapi menurut David Powers, penalaran
Schacht mempunyai dua kelemahan fundamental. Pertama, terjadi pada
perlakuannya terhadap al-Qur’ân; dan kedua, terjadi pada kekaburannya dalam
membedakan antara yurisprudensi dan hukum positif.25 Schacht mengatakan
bahwa,” jelaslah bahwa banyak aturan dalam hukum Islam, khususnya dalam hukum keluarga dan hukum waris, untuk tidak menyebutkan pula hukum ibadah
dan ritual, semuanya berdasarkan pada al-Qur’ân sejak awalnya.26 Tetapi, pada
saat yang sama, ia berpendapat bahwa hukum Islam belum mulai berkembang sampai tahun 725 M, kira-kira seabad setelah Muhammad meninggal dunia. Schacht menghindari kontradiksi ini dengan menggunakan sedikit contoh saja untuk berargumen bahwa praktek hukum awal telah menyimpang dari
maksud-maksud dan bahkan dari kata-kata explisit al-Qur’ân,27 dan bahwa norma-norma
yang diambil dari al-Qur’ân baru dimasukkan kedalam doktrin hukum pada
tahapan sekunder.28 Penting ditambahkan bahwa studi Schacht berisi tidak lebih
dari empat halaman saja tentang elemen al-Qur’ân dalam hukum Islam awal.29
Mengenai kelemahan kedua, Schacht mengindikasikan dalam judul yang menjadi karya utamanya bahwa ia telah mengeksplorasi asal usul yurisprudensi
Islam (Islamic Jurisprudence, Ushûl al-Fiqh), bukan hukum positif (fiqh).
Disayangkan, bahwa Schacht tidak selalu tetap mmempertahankan perbedaan ini
dalam pikirannya. Meskipun dalam epilog buku Origins Ia mengemukakan bahwa
metode-metode yang Ia kembangkan untuk melacak pembentukan yurisprudensi