• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efikasi Larvasida Bacillus Thuringiensis Israelensis Terhadap Kematian Larva Culex Quinquefasciatus Dari Daerah Bekasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efikasi Larvasida Bacillus Thuringiensis Israelensis Terhadap Kematian Larva Culex Quinquefasciatus Dari Daerah Bekasi"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

EFIKASI LARVASIDA

Bacillus thuringiensis

israelensis

TERHADAP KEMATIAN LARVA

Culex quinquefasciatus

DARI DAERAH BEKASI

Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN

OLEH:

Aqidatul Islamiyyati Elqowiyya

NIM: 1112103000042

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan

hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan penelitian ini yang berjudul

Efikasi larvasida Bacillus thuringiensisisraelensis terhadap kematian larva Culex quinquefasciatus dari daerah Bekasi.

Tak lupa, shalawat serta salam saya hanturkan pada junjungan Nabi besar

kita, Nabi Muhammad saw yang membawa kita dari zaman jahiliyah ke zaman

terang benderang yang penuh dengan teknologi ini beserta kepada para keluarga

dan sahabatnya.

Dalam pembuatan skripsi ini, penulis telah berusaha semaksimal mungkin

dengan segala kemampuan yang penulis miliki. Tanpa mengurangi penghargaan

dan penghormatan penulis kepada semua pihak yang telah berjasa terhadap

penyelesaian skripsi ini yaitu: Drs. H. Mohammad Bisry dan Hj. Muizzah, S.Pd.I,

kedua orangtua saya yang telah banyak mendukung dan mendoakan untuk

keberhasilan dan kesuksesan saya, Silvia Fitrina Nasution, M.Biomed dan dr.

Dyah Ayu Woro, M.Biomed selaku dosen pembimbing skripsi saya yang telah

banyak membimbing dan mengarahkan dalam penelitian dan penyusunan laporan

skripsi ini, dr. H. Meizi Fachrizal Achmad, M.Biomed dan dr. Intan Keumala

Dewi, SpMK selaku penguji skripsi yang telah memberikan masukan dalam

penyusunan laporan penelitian ini serta teman-teman sejawat PSPD 2012 yang

selalu mendukung saya.

Sudah tentu, laporan skripsi ini masih terdapat kekurangan dan koreksi.

Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi

kemajuan penulis.

Ciputat, September 2015

(6)

vi

ABSTRAK

Aqidatul Islamiyyati Elqowiyya. Program Studi Pendidikan Dokter. Efikasi larvasida Bacillus thuringiensis israelensis terhadap kematian larva Culex quinquefasciatus dari daerah Bekasi.

Latar belakang: Resistensi terhadap insektisida banyak dilaporkan telah terjadi pada nyamuk Culex quinquefasciatus. Penggunaan bahan kimiawi sebagai insektisida dalam jangka waktu tertentu dapat menyebabkan resistensi nyamuk dan pencemaran lingkungan. Bacillus thuringiensis israelensis (Bti) merupakan larvasida biologi yang bekerja sebagai toksin pencernaan pada larva yang dapat menyebabkan kematian, namun bersifat aman terhadap hewan bukan sasaran dan manusia, serta aman bagi lingkungan. Tujuan: untuk mengetahui pengaruh konsentrasi Bti terhadap kematian larva Cx. quinquefasciatus, serta konsentrasi efektif yang menyebabkan 50% dan 90% kematian larva. Metode penelitian:

Desain penelitian eksperimental, berpasangan dan lebih dari 2 kelompok perlakuan. Sampel yang diambil secara purposive sampling berupa larva instar III dan IV dari daerah Bekasi. Selanjutnya uji efikasi dilakukan dengan 5 konsentrasi Bti yaitu 0.0025, 0.005, 0.01, 0.02 dan 0.04 mg/L serta kontrol negatif. Hasil:

Analisa statistik didapatkan bahwa konsentrasi Bti berpengaruh kuat terhadap kematian larva dengan nilai p=0.00 dan r =0.9. Nilai LC50 didapatkan pada

konsentrasi 0.012 mg/L dan LC90 terdapat pada konsentrasi 0.024 mg/L.

Kesimpulan: Bti efektif menyebabkan kematian larva instar III dan IV nyamuk Cx. quinquefasciatus dengan konsentrasi yang rendah.

(7)

vii

ABSTRACT

Aqidatul Islamiyyati Elqowiyya. Medical Education Program. Efficacy of larvicide Bacillus thuringiensis israelensis against larvae of Culex quinquefasciatus from Bekasi area.

Background: Resistance on insecticide has been several reported against Culex quinquefasciatus. Formulated chemicals in insecticide for certain period has caused resistance in mosquitoes and environment pollution. Bacillus thuringiensis israelensis (Bti) as biological larvicide produces toxin in digestive system of larvae to cause mortality, but safe for non target animals, human, and environment. Purpose: To investigate Bti concentration effects against larvae of Cx. quinquefasciatus, and efficacy of the concentrations to cause 50% (LC50) and 90% (LC90) of larvae mortality. Method: Experimental study, paired, and more than 2 groups of treatments. Purposive sampling was collected and determined as instar III and IV from Bekasi area. Following test of efficacy was conducted for 5 concentrations of Bti, such 0.0025, 0.005, 0.01, 0.02, 0.04 mg/L and negative control. Result: Concentrations of Bti have strong effect to larvae mortality, with p value 0.00 and r=0.9. The LC50 of Bti against the larvae was indicated by concentration of 0.012 mg/L, and 0.024 mg/L for the LC90. Conclusion: Bti is effective to cause mortality against the instar III and IV of the Cx. quinquefasciatus larvae by low concentration.

(8)

viii

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN ... iv

(9)

ix

2.3 Pemanfaatan Bti dalam pemberantasan vektor nyamuk di Indonesia .. 13

2.4 Kerangka Teori ... 14

2.5 Kerangka Konsep ... 14

2.6 Definisi Operasional ... 15

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 16

(10)

x

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Jumlah kematian larva Culex quinquefasciatus pada berbagai

konsentrasi setelah 24 jam perlakuan pada uji pendahuluan ... 23

Tabel 4.2 Hasil uji esterase pada larva instar IV Culex quinquefasciatus ... 24

Tabel 4.3 Jumlah kematian larva Culex quinquefasciatus pada berbagai konsentrasi setelah 24 jam perlakuan pada uji utama ... 24

Tabel 4.4 Hasil Uji Normalitas ... 26

Tabel 4.5 Hasil Uji Variasi Data ... 26

Tabel 4.6 Hasil Uji One Way ANOVA ... 27

(11)

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Morfologi Bacillus thuringiensis ... 4

Gambar 2.2 Spora dan kristal Bacillus thuringiensis israelensis ... 5

Gambar 2.3 Cara kerja Bacillus thuringiensis ... 6

Gambar 2.4 Telur Culex quinquefasciatus di bawah mikroskop ... 8

Gambar 2.5 Telur Culexquinquefasciatus di atas air ... 8

Gambar 2.6 Larva Culex quinquefasciatus ... 8

Gambar 2.7 Perbedaan morfologi larva Culex quinquefasciatus instar I, II, III dan IV ... 9

Gambar 2.8 Pupa Culex quinquefasciatus ... 10

Gambar 2.9 Nyamuk dewasa Culex quinquefasciatus ... 10

Gambar 2.10 Perbandingan antenna nyamuk jantan dan betina ... 11

(12)

xii

DAFTAR GRAFIK

Grafik 4.1 Grafik hubungan antara konsenterasi larvasida Bacillus thuringiensis sub sp. israelensis dengan persentase jumlah

kematian larva Culex quinquefasciatus ... 25 Grafik 4.2 Grafik hasil regresi linier konsenterasi larvasida Bti terhadap

(13)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Culex quinquefasciatus merupakan vektor penular penyakit filariasis. Kasus filariasis di Indonesia setiap tahunnya mengalami

peningkatan dan telah menyebar di hampir seluruh wilayah. Tercatat

sampai dengan tahun 2009, telah ditemukan 11.914 kasus filariasis dan

sekitar 71,9% kabupaten/kota di Indonesia telah dinyatakan endemis

filariasis.1 Melihat tingginya angka endemisitas di Indonesia, diperlukan

upaya pemberantasan filariasis, salah satunya dengan pengendalian vektor

nyamuk pembawa parasit penyebab penyakit tersebut.

Pengendalian vektor nyamuk dan lingkungan merupakan bagian

dari program pemberantasan penyakit yang ditularkan oleh nyamuk

tersebut, baik berupa pengendalian secara biologi maupun kimiawi.2

Pengendalian secara kimiawi lebih sering digunakan, yaitu dengan

pengasapan atau fogging untuk memberantas nyamuk dewasa dan

penggunaan larvasida kimiawi untuk membunuh larva. Namun,

penggunaan bahan-bahan kimiawi tersebut dalam jangka waktu tertentu

dapat menyebabkan resistensi vektor dan pencemaran lingkungan. Oleh

karena itu, diperlukan upaya memberantas vektor nyamuk dengan cara

yang aman dan tidak mencemari lingkungan. Salah satunya adalah dengan

penggunaan Bacillus thuringiensisisraelensis (Bti)sebagai larvasida.2,3

Bti merupakan bakteri Gram positif fakultatif anaerob yang

digunakan sebagai larvasida biologi. Btimemproduksi kristal protein yang

bekerja sebagai toksin/racun pencernaan larva. Ketika larva memakan

toksin tersebut, terjadi perforasi dinding usus larva yang dapat

mengakibatkan kematian larva. Bti dapat mematikan berbagai larva

nyamuk, baik Aedes, Culex maupun Anopheles, namun tidak mematikan

(14)

2

Menurut WHO, larvasida ini efektif membunuh jentik nyamuk

tersebut pada LC 50 sebesar 0.008-0.024 mg/L dan LC 90 sebesar

0.018-0.059 mg/L.5

Melihat berbagai kelebihan dari Bti yang tidak membahayakan

dan mencemari lingkungan, namun efektif membunuh berbagai jenis larva

nyamuk, maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efikasi larvasida

Bti terhadap kematian larva instar III/IV Culex quinquefasciatus yang diambil dari daerah Bekasi.

1.2 Rumusan Masalah

Penggunaan bahan-bahan kimiawi dalam jangka waktu tertentu

dapat menyebabkan resistensi vektor dan pencemaran lingkungan. Oleh

karena itu, diperlukan upaya memberantas vektor nyamuk dengan cara

yang aman dan tidak mencemari lingkungan. Salah satunya adalah dengan

penggunaan Bti sebagai larvasida. Bagaimana efikasi larvasida Bti

terhadap kematian larva Culex quinquefasciatus instar III/IV dari daerah

Bekasi?.

1.3 Hipotesis

Bti efektif membunuh larva Culex quinquefasciatus instar III/IV dengan konsentrasi kematian (LC50 dan LC90) yang sangat rendah.

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui efikasi larvasida Bti terhadap kematian larva

instar III/IV Culex quinquefasciatus dari daerah Bekasi.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui persentase kematian larva Culex quinquefasciatus instar III/IV pada rentang konsentrasi 0 mg/L, 0,005 mg/L, 0,01 mg/L, 0,02

(15)

2. Mengetahui pengaruh konsentrasi larvasida Bti terhadap kematian

larva.

3. Mengetahui Lethal Concentration (LC50 dan LC90) Bti yang efektif

terhadap kematian larva Culex quinquefasciatus instar III/IV.

1.5 Manfaat Penelitian

Memberikan tambahan informasi tentang manfaat penggunaan

(16)

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Taksonomi, Morfologi, Karakteristik dan Cara Kerja Bacillus

thuringiensis israelensisis (Bti)

2.1.1 Taksonomi Bti

Kingdom : Eubacteria

Filum : Firmicutes

Kelas : Bacilli

Ordo : Bacillales

Famili : Bacillaceae

Genus : Bacillus

Spesies : Bacillus thuringiensis

Subspesies : Bacillus thuringiensis israelensis.6

2.1.2 Morfologi dan Karakteristik Bacillus thuringiensis

Bacillus thuringiensis merupakan bakteri Gram positif, fakultatif

anaerob, berbentuk batang dengan ukuran 3-5 µm. Bakteri ini memiliki

flagel, oleh karena itu ia dapat bergerak/motil. Bt merupakan organisme

saprofit yang hidup dan mendapatkan makanan dari bahan organik/

organisme yang telah mati.6

.

Gambar 2.1 Morfologi Bacillus thuringiensis.7

Bt memiliki 67 subspesies yang berbeda, salah satunya Bacillus

(17)

lainnya terletak pada jenis antigen yang terkandung pada flagelnya yaitu

H-14. Sedangkan pada bentuknya, Bti dengan subspesies lainnya sama. 6 Bakteri ini tumbuh dalam 2 fase yaitu fase vegetatif dan spora. Jika

dalam kondisi yang menguntungkan seperti suplai nutrien yang diperlukan

tersedia, maka bakteri akan tumbuh dalam fase vegetatif. Namun jika

bakteri hidup pada kondisi dimana suplai nutrien tidak mencukupi maka

bakteri akan membentuk spora (parasporal crystalline inclusions) dimana spora ini terdiri dari berbagai insecticidal crystal protein (ICP) yang bersifat toksik.8,9

ICP atau kristal protein ini memiliki bentuk yang

bermacam-macam yaitu bipiramida, kuboid, datar, rhomboid maupun gabungan dari

berbagai bentuk. Kristal protein atau kompleks spora-kristal protein ini

jika dimakan oleh invertebrata tertentu, khususnya larva Diptera,

Coleoptera dan Lepidoptera dapat meracuni usus larva. Umumnya Bt

hidup ditanah, tumbuhan dan di dalam tubuh serangga yang sudah mati.5

Gambar 2.2 Spora dan kristal Bacillus thuringiensis israelensis.10

Bt diformulasikan dalam berbagai macam bentuk larvasida baik

dalam bentuk cair, granul, spray, tablet, pelet dan bubuk, dengan

persentase kandungan zat aktif berupa spora dan kristal protein hidup

maupun yang telah diinaktivasi. Kandungannya berbeda-beda tergantung

jenis produknya. Vectobac WG merupakan produk larvasida berbentuk granul yang mengandung zat aktif Bti sebesar 37,4%, dan mudah larut

(18)

6

2.1.3 Cara Kerja Bacillus thuringiensis

ICP yang dihasilkan oleh Bacillus thuringiensis pada saat fase sporulasi merupakan protoksin yang masih belum aktif. Cara kerja ICP ini

dimakan oleh larva dan larut dalam usus larva, ICP/protoksin diubah

menjadi toksin aktif oleh enzim proteolitik dalam usus larva, kemudian

toksin akan berikatan dengan reseptor spesifik pada membran usus larva.

Ikatan ini menyebabkan lisis epitel usus larva dan juga mengganggu

permeabilitas cairan sehingga sel menjadi bengkak kemudian pecah dan

pada akhirnya mengakibatkan kematian larva.9,11

Gambar 2.3 Cara kerja Bacillus thuringiensis.4

Selain menyebabkan lisis epitel, toksin ini mengakibatkan

penurunan nafsu makan larva, sehingga larva menjadi tidak nafsu makan

dan berhenti makan. Di sisi lain, bakteri ini terus berproliferasi dalam

tubuh larva sehingga larva menjadi septik. Mekanisme ini juga turut

berperan dalam kematian larva. Kematian ini mengakibatkan tubuh larva

berubah menjadi kehitaman atau kecoklatan.9

Bt aman digunakan bagi lingkungan karena Bt akan terurai oleh

sinar ultraviolet, bersifat tidak toksik dan tidak patogen terhadap spesies

bukan sasaran seperti burung, cacing, ikan dan spesies lain yang hidup di

dalam air. Namun dilaporkan bahwa pada hewan percobaan kelinci, Bt

(19)

Bt yang terkontak dengan kulit, mata, terhirup, termakan atau terminum

tidak berbahaya bagi kesehatan.5

Telah diketahui bahwa racun Bt aktif di suasana basa pada sistem

pencernaan. Oleh karena itu, racun Bt dapat aktif pada larva. Namun pada

manusia yang termakan Bt tidak akan menyebabkan efek patologis,

dikarenakan kondisi sistem pencernaan manusia yang bersifat asam.

Dilaporkan bahwa manusia yang memakan Bt hingga 1000 mg/hari

selama 3-5 hari tidak menunjukkan efek negatif. Selain itu, Bt tidak

memicu kanker dan tidak menyebabkan kelainan kongenital.12

2.2. Taksonomi, Morfologi, Habitat dan Perilaku, serta Siklus Hidup

Cx. quinquefasciatus

2.2.1. Taksonomi Cx. quinquefasciatus

Kingdom : Animalia

Filum : Arthropoda

Kelas : Insecta

Ordo : Diptera

Famili : Culicidae

Genus : Culex

Spesies : Culex quinquefasciatus.13

2.2.2. Morfologi Cx. quinquefasciatus

Telur Cx.quinquefasciatus berbentuk lonjong seperti peluru dengan ujung tumpul yang tersusun berkelompok membentuk seperti rakit.

Panjang telur sekitar 1/4 inch dan lebar 1/8 inch.14,15 Telur yang baru diletakkan diatas air masih berwarna putih, beberapa jam setelah berkontak

dengan air berubah menjadi coklat kehitaman. Telur ini berisi calon larva

(20)

8

Gambar 2.4 Telur Cx. quinquefasciatus di bawah

mikroskop.

Sumber: Dokumentasi pribadi.

Gambar 2.5 Telur Cx quinquefasciatus di atas

air.17

Tubuh larva terdiri dari bagian kepala, thoraks dan abdomen. Pada bagian abdomennya, terdiri dari 8 segmen dengan sifon terletak pada

bagian dorsal abdomen.18,19 Sedangkan saddle terletak di bagian ventral

abdomennya. Sifonnya 4 kali lebih panjang dibandingkan spesies larva lainnya dengan bulu lebih dari satu pasang.18

Gambar 2.6 Larva Cx. quinquefasciatus

Sumber: Dokumentasi pribadi

Sesuai dengan perkembangannya, larva nyamuk ini dibagi menjadi

4 tahap yaitu instar I, II, III dan IV.20 Pertumbuhan dan perkembangan larva berbeda-beda tergantung suplai nutrisi dan temperatur tempat larva

hidup.14

Tampak bentuk satu persatu di bawah ikroskop

Sifon

Kepala

Thoraks Abdomen

(21)

Gambar 2.7 Perbedaan morfologi larva Cx. quinquefasciatus instar I, II, III dan IV.13

1. Instar I yaitu pada hari ke 1-2 setelah telur menetas dengan

ukuran 1-2 mm.

2. Instar II yaitu pada hari ke 2-3 setelah telur menetas dengan

ukuran 2,5 - 3,5 mm.

3. Instar III yaitu pada hari ke 3-4 setelah telur menetas dengan

ukuran 4-5 mm.

4. Instar IV yaitu pada hari ke 4-6 setelah telur menetas dengan

ukuran 5-6 mm.14

Tabel 2.1 Perbandingan ukuran larva Cx. quinquefasciatus instar I, II, III dan IV.14

Pada pupa, bagian kepala dan dada bergabung menjadi

(22)

10

seperti bentuk koma.14,21 Pupa sering naik ke permukaan air untuk bernapas melalui sepasang terompet pernafasan di bagian thoraksnya.21

Gambar 2.8 Pupa Cx. quinquefasciatus.22

Pada fase ini, pupa tidak memerlukan makanan dan terjadi

perkembangan organ tubuhnya seperti sayap untuk persiapannya menjadi

nyamuk dewasa.14

Nyamuk dewasa terdiri atas bagian kepala, thorax dan abdomen dengan ukuran bervariasi 4-10 mm.Pada bagian kepala terdapat sepasang

mata majemuk, sepasang antenna, sepasang palpus yang berfungsi sebagai pendeteksi tingkat kelembaban lingkungan, dan juga proboscis yang digunakan untuk menghisap makanan yang dibutuhkannya. Baik jantan

maupun betina, menghisap cairan tumbuhan (nektar). Gula pada nektar

menjadi sumber energi bagi nyamuk ketika terbang. Selain nektar, betina

juga menghisap darah yang didalamnya mengandung protein. Protein ini

diperlukan untuk perkembangan ovarium dan telur.14,19

Gambar 2.9Nyamuk dewasa Cx. quinquefasciatus.22

(23)

Selain itu, hal lain yang membedakan jantan dan betina adalah panjang

palpus dan proboscis. Pada nyamuk jantan, palpus lebih panjang atau sama dengan proboscis. Namun sebaliknya pada nyamuk betina.17,23

Nyamuk dewasa memiliki abdomen dengan ujung tumpul, warna cokelat muda. Sayap berbentuk sempit panjang dengan ujung runcing dan

kaki yang berwarna lebih gelap dibandingkan tubuhnya.16

Gambar 2.10 Perbandingan antenna nyamuk jantan dan betina.24

2.2.3. Habitat dan Perilaku Cx. quinquefasciatus

Nyamuk ini hidup dan berkembangbiak di air yang keruh atau

kotor seperti di got, selokan, comberan, sungai yang dipenuhi sampah dan

tempat-tempat lainnya yang tinggi pencemarannya.16,25 Begitu pula dengan larva, lebih menyukai tempat-tempat yang tertutupi rumput maupun

tanaman air. Hal ini bertujuan agar larva terlindungi dari ikan dan predator

air lainnya.14

Nyamuk tersebut merupakan nyamuk yang menghisap darah

sebagai sumber makanannya (hematofagik), baik menghisap darah manusia (antrofilik) maupun binatang (zoofilik) terutama mamalia dan

burung. Nyamuk ini biasanya istirahat saat siang hari dan menghisap darah

manusia pada malam hari setelah matahari terbenam. Oleh karena itu, Cx.

quinquefasciatus dikenal sebagai nocturnal mosquito yang sering masuk ke dalam rumah-rumah terutama tengah malam dan nyamuk ini bersifat

(24)

12

2.2.4. Siklus hidup Cx. quinquefasciatus

Nyamuk betina dapat bertelur hingga 400 butir telur diatas

permukaan air kotor membentuk sekumpulan telur yang berdekatan seperti

rakit. Biasanya ia meletakkan telur pada malam hari di air yang

menggenang daripada air yang mengalir. Dalam siklusnya, nyamuk betina

dapat bertelur setiap 3 hari sekali.14

Telur tersebut menetas menjadi larva setelah 2-3 hari di air dan

berkembang dari larva instar I sampai larva instar IV yang berlangsung

kurang lebih 6-8 hari.20

Setelah itu, larva instar IV molting atau berganti kulit menjadi pupa. Perubahan ini optimum terjadi ketika suhu lingkungan 27º- 30ºC.

Perbedaan antara larva dan pupa adalah pada saat fase larva, dimana larva

memerlukan makanan yang diambilnya dari tempat perindukannya

(breeding place). Pupa tidak memerlukan makanan tetapi memerlukan oksigen yang didapatkan melalui tabung pernafasan (breathing trumpet).

Setelah itu, pupa tumbuh menjadi nyamuk dewasa dalam waktu 2-5 hari.21 Nyamuk betina dapat bertahan hidup hingga 2 bulan, namun nyamuk

jantan hanya kurang dari 10 hari.14

(25)

2.3. Pemanfaatan Bti dalam pemberantasan vektor nyamuk di Indonesia

Bti sebagai insektisida biologi telah digunakan oleh Amerika

Serikat sejak tahun 1960-an. Namun, di Indonesia insektisida ini belum

umum digunakan oleh masyarakat luas. Kini Bti telah diperdagangkan di

Indonesia sebagai bioinsektisida dengan berbagai formulasi baik dalam

bentuk wettable powder (WP), water dispersible granule (WG), aqueous suspension (AS), soluble liquid (SL) dan suspension concentrate (SC) dengan berbagai merk dagang.3,28,29

Selain menggunakan produk komersial dalam pemberantasan

vektor nyamuk di Indonesia, digunakan pula Bti yang diperoleh dari

isolasi bakteri dari habitatnya langsung yaitu tanah dan dikembangbiakkan

dalam media air kelapa.30 Seperti halnya penelitian Balitbangkes (Badan

Penelitian dan Pengembangan Kesehatan) yang dilakukan oleh Christina

dan Widyastuti (2013), didapatkan hasil persentase kematian larva

Anopheles sp. sebesar 80-100% dan Culex sp. sebesar 79,31-100%.31

Selain itu, dapat pula digunakan ekstrak dari kristal endotoksin Bti.

Seperti halnya penelitian Anggraeni, Christina dan Wianto (2013) yang

(26)

14

2.4. Kerangka Teori

2.5. Kerangka Konsep

Diberi larvasida Bti dengan berbagai konsentrasi Larva Cx. quinquefasciatus

instar III/IV

Larva hidup Tidak diberi larvasida Bti

Larva mati Efek larvasida (-) Efek larvasida (+)

Dimakan dan larut dalam usus larva Bersifat toksik

bagi larva Morfologi/ KarakteristikBti

Kristal protein Spora

Lisis sel epitel pencernaan larva

Gangguan permeabilitas sel

(27)

2.6. Definisi Operasional

No. Variabel Definisi Operasional

Loupe. Jumlah larva instar III/IV yang mati.

(28)

16

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Penelitian ini bersifat eksperimental dengan lebih dari 2 kelompok

perlakuan, dan dilakukan secara berpasangan. Pengambilan sampel

nyamuk dilakukan secara purposive sampling yang memenuhi kriteria sampel terpilih. Analisa statistik dilakukan untuk mengetahui tentang

efikasi Bti pada beberapa konsentrasi berbeda terhadap kematian larva

instar III/IV nyamuk Cx. quinquefasciatus serta nilai LC50 dan LC90 dari

larvisida tersebut.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Pengambilan sampel yang berupa telur dan larva nyamuk Cx.

quinquefasciatus dilakukan pada bulan April 2015 di wilayah Bekasi dari tempat perindukan nyamuk tersebut yaitu air got/selokan. Pemeliharaan

nyamuk, identifikasi, serta pengujian sampel dilakukan bulan April-Juni

2015 di Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran dan Ilmu

Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1. Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini berupa koloni larva Cx.

quinquefasciatus instar I sampai IV yang dipelihara dalam wadah berisi media air got.

3.3.2. Besar Sampel Penelitian

Dalam menentukan banyaknya sampel dalam setiap konsentrasi,

maka digunakan rumus Federer, yaitu: 33

(29)

Keterangan:

n = besar sampel

t = jumlah kelompok perlakuan

Pada penelitian ini, digunakan 1 kelompok kontrol dan 5 kelompok

yang diberi larvasida Bti dengan konsentrasi berbeda. Berdasarkan rumus

tersebut, maka didapatkan banyaknya sampel yang digunakan adalah:

(n-1) (t-1) ≥ 15

(n-1) (5-1) ≥ 15

(n-1) 4 ≥ 15

4n –4 ≥ 15

4n ≥ 19

n ≥ 4.75

Minimal sampel yang digunakan adalah 5 ekor larva, sedangkan

jumlah sampel yang diuji pada penelitian ini untuk setiap konsentrasi

adalah 25 ekor larva.34 Larva yang memenuhi kriteria inklusi yaitu telah

mencapai instar III/IV serta masih hidup yang ditandai dengan larva yang

bergerak aktif ketika diberi rangsangan, selanjutnya di ambil secara acak

dengan menggunakan pipet dari wadah perindukannya di laboratorium.

Kemudian larva tersebut ditempatkan pada wadah yang telah berisi larutan

Bti dengan berbagai konsentrasi sebagai perlakuan, dan wadah yang hanya

berisi air keran (tap water) sebagai kontrol.

Perlakuan dilakukan selama 24 jam. Pencatatan jumlah larva yang

mati dilakukan saat 24 jam setelah perlakuan. Jumlah pengulangan dalam

setiap perlakuan adalah 4 kali.

3.3.3. Kriteria Sampel

1. Kriteria inklusi

(30)

18

 Larva yang masih hidup ditandai dengan larva yang bergerak

aktif ketika diberi rangsangan.

 Berasal dari filial atau keturunan yang umurnya sama.

 Larva diberi perlakuan pakan dan media rearing yang sama.

2. Kriteria eksklusi

 Larva yang sudah berubah menjadi pupa.

 Larva yang tidak sehat dan cacat.

3.4. Variabel Penelitian

a. Variabel independen (bebas) : konsentrasi larutan larvasida Bti.

Pada penelitian ini dibuat rentang konsentrasi sebesar 0, 0.01, 0.02,

0.04, 0.06, dan 0.08 mg/L.

b. Variabel dependen (terikat) : kematian larva instar III/IV setelah 24

jam.

Pada penelitian ini, dihitung berapa jumlah larva yang mati setelah

mendapat perlakuan berupa pemberian larvasida Bti dengan berbagai

konsentrasi pada media hidupnya di dalam wadah.

c. Variabel luar terkendali:

 Umur larva yaitu larva instar III/IV.

 Pakan larva.

 Ph dan salinitas air.

 Suhu ruangan tempat rearing nyamuk.

d. Variabel luar tidak terkendali:

 Kondisi biologis larva.

 Kontaminan lingkungan dalam media tumbuh larva.

 Kualitas larvasida dan pelarutnya.

3.5. Alat dan Bahan

3.5.1. Alat

Kandang nyamuk, pipet tetes, mikropipet, gelas plastik, neraca

(31)

penyaring, label, termometer, dan mikroplat ELISA Foto alat dan bahan

dilampirkan pada lampiran 2.

3.5.2. Bahan

Larva Cx. quinquefasciatus instar III/IV, Vectobac WG (Bahan aktif: Bacillus thuringiensisisraelensis), air aquadest sebagai pelarut, pelet ikan sebagai pakan larva, air gula sebagai pakan nyamuk dewasa dan

bahan uji esterase: larutan phosphat buffer saline (PBS) 0,02 M, coupling reagen, α-naftil asetat dan asam asetat 10%.

3.6. Cara Kerja Penelitian

3.6.1. Persiapan dan Pengumpulan Larva Cx. quinquefasciatus

Telur dan larva diambil dari got di daerah Bekasi untuk dipelihara

(rearing) di lab Parasitologi FKIK UIN Jakarta. Telur dan larva diletakan dalam wadah yang berbeda. Larva dipisahkan dari kotoran air got

menggunakan saringan dan diletakkan didalam wadah yang berisi air

keran setinggi 2/3 dari tinggi wadah. Larva diberi makan berupa pelet ikan

setiap 2-3 hari sekali, diberikan secukupnya untuk mencegah pertumbuhan

bakteri yang dapat membuat larva mati. Setelah itu, dalam waktu 3-5 hari,

larva instar I tumbuh menjadi larva instar III/IV dengan panjang 4-6 cm.

Larva instar III/IV inilah yang menjadi sampel penelitian ini, Sebelum

dilakukannya uji pendahuluan, sampel larva instar III/IV diidentifikasi

terlebih dahulu dibawah mikroskop. (Lihat lampiran 2).

3.6.2. Uji Pendahuluan

a. Uji resistensi enzim esterase dengan metode Lee.

 Jentik nyamuk instar IV awal digerus untuk dibuat homogenat.

 Dilarutkan dengan 0,5 ml larutan PBS 0,02 M.

 50 µL homogenat dipindahkan ke sumur mikroplat dengan

menggunakan mikropipet.

 Setiap sumuran ditambahkan 50 µL bahan substrat α-naftil asetat

(32)

20

 Setiap mikroplat ditambahkan 50 µL bahan coupling reagen.

 Setelah reaksi berlangsung 10 menit, warna merah berubah

menjadi biru.

 Ditambahkan 50 µL asam asetat 10% pada setiap sumuran.

 Kemudian dibaca dengan ELISA reader dengan panjang

gelombang 450 nm.

b. Uji efikasi Bti

Vectobac WG (Bti) ditimbang dengan neraca digital sebanyak

200 mg dan dicampur aquadest sebanyak 20 ml sehingga

menghasilkan larutan induk sebesar 1% atau 10.000 ppm. Larutan

induk diencerkan hingga menghasilkan 10 ppm. Ambil larutan

tersebut dengan menggunakan mikropipet 100 µ L, 200 µ L, 400 µ L,

600 µ L, dan 800 µ L. Masing-masing ditambahkan ke dalam gelas

plastik berisi aquadest sebanyak 100 ml sehingga diperoleh larutan

sebesar 0.01, 0.02, 0.04, 0.06, dan 0.08 mg/L. (Lihat lampiran 2).

Pada masing-masing gelas plastik diberikan 25 ekor larva

instar III/IV tanpa diberikan makan/pelet ikan. Kemudian setelah 24

jam perlakuan, dihitung jumlah larva yang mati. Larva yang sudah

mati kemudian disaring dan digerus sebelum dibuang.

Sisa larva hidup yang tidak digunakan untuk pengujian,

kemudian dibiarkan menjadi nyamuk dewasa untuk digunakan dalam

uji bioassay rekan peneliti lainnya.

3.7. Pengumpulan dan Manajemen Data

Larva instar III/IV yang telah diberikan perlakuan, kemudian

dihitung larva yang hidup dan yang mati setelah 24 jam perlakuan. Larva

yang hidup ditandai dengan ciri-ciri yaitu larva bergerak ketika diberi

rangsangan dengan menggunakan lidi serta aktif berenang didalam air,

sedangkan larva yang telah mati adalah larva yang tidak bergerak ketika

(33)

Jumlah larva yang mati dihitung dan dicatat untuk setiap

perlakuan. Pengulangan dilakukan sebanyak 4 kali untuk setiap perlakuan

serta kontrol. Data yang diperoleh kemudian dimasukkan dalam program

excel dan diolah serta dianalisis dalam program SPSS 21.0 (Lihat lampiran

2)

3.8. Analisis Data

Data yang diperoleh akan diolah dan dianalisis menggunakan

analisis Probit untuk menentukan efikasi larvasida terhadap kematian larva

nyamuk yang dinyatakan dengan nilai konsentrasi yang menyebabkan

kematian 50% dan 90% (LC50 dan LC90).

Selain itu juga dilakukan uji parametrik One Way ANOVA untuk melihat pengaruh perlakuan antar kelompok terhadap kematian larva, dan

regresi linier untuk mengukur derajat hubungan antara konsentrasi

larvasida (X) dan kematian larva (Y), yang dinyatakan dengan nilai

persentase dari r2 (sebagai koefisien korelasi).35

3.9. Alur Penelitian

Penelitian menggunakan 5 kelompok perlakuan yang diberikan

larvasida Bti dan 1 kelompok kontrol tanpa diberikan larvasida tersebut.

Pengulangan dilakukan sebanyak 4 kali. Berikut ini adalah alur

(34)

22

Alur Penelitian Telur dan larva yang.

diambil dari got berisi 25 larva Culex

quinquefasciatus

Kelompok 1: Larvasida Bti 0% Kelompok 2: Larvasida Bti 0.01 mg/L Kelompok 3: Larvasida Bti 0.02 mg/L Kelompok 4: Larvasida Bti 0.04 mg/L Kelompok 5: Larvasida Bti 0.06 mg/L Kelompok 6: Larvasida Bti 0.08 mg/L

Rearing larva di laboratorium

Pengulangan percobaan sebanyak 4 kali di setiap

konsentrasinya dalam air yang telah diberi

(35)

23

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

4.1.1 Uji Pendahuluan

Pada uji pendahuluan digunakan 6 konsentrasi yaitu 0, 0.01, 0.02,

0.04, 0.06,dan 0.08 mg/L dengan 4 kali pengulangan. Hasil kematian larva

setelah 24 jam perlakuan pada uji pendahuluan dapat dilihat pada tabel 4.1

Tabel 4.1 Jumlah kematian larva Cx.quinquefasciatus pada berbagai konsentrasi setelah 24 jam perlakuan pada uji pendahuluan.

Dari tabel diatas, dapat diketahui bahwa pada konsentrasi 0.01

konsentrasi yang berada diatasnya yaitu 0.02 dan 0.04 mg/L.

4.1.2 Uji Resistensi dengan metode Lee

Untuk menentukan apakah sampel uji sudah mengalami resistensi,

maka dilakukan uji resistensi dengan metode Lee terhadap mekanisme

aktivitas enzim kolinesterase dalam tubuh larva nyamuk, didapatkan hasil

sebagai berikut. (Lihat lampiran 2).

Konsentrasi

Jumlah kematian larva setelah 24 jam

(36)

24

Tabel 4.2 Hasil uji esterase pada larva instar IV Culex quinquefasciatus.

Nilai AV pada sumur ke-

1 2 3 4 5

F 1.257 1.483 1.508 1.333 1.240

G 1.311 1.479 1.369 1.347 1.310

Rata – rata nilai AV data diatas dengan ELISA adalah 1364 dan

1.363. Menurut Lee, 1990, nilai tersebut dikategorikan bersifat sangat

resisten.36

 0 – 0,7 = sangat peka.

 0,7 – 0,9 = resisten sedang.

 > 0,9 = sangat resisten.

4.1.3 Uji bioassay larvasida Bti

Hasil kematian larva setelah 24 jam perlakuan pada uji utama dapat

dilihat pada tabel 4.3.

Tabel 4.3 Jumlah kematian larva Culex quinquefasciatus pada berbagai konsentrasi setelah 24 jam perlakuan pada uji utama.

Prinsip dasar uji bioassay adalah pemaparan larva nyamuk dalam

batas perlakuan yang menggunakan konsentrasi dan waktu standar dengan

menggunakan insektisida yang dapat melumpuhkan larva nyamuk,

kemudian mencatat kelumpuhan dan kematian larva nyamuk di akhir

pemaparan dan pada akhir periode pemulihan (recovering time) selama 24 jam.34

Konsentrasi

Jumlah kematian larva setelah 24 jam

(37)

Pengamatan jumlah larva nyamuk yang mati dihitung setelah 24

jam dan bila persentase kematian pada kelompok kontrol berkisar 5-20%,

maka untuk faktor koreksi digunakan rumus Abbott:34

% kematian nyamuk uji - % kematian kontrol x 100% 100 - % kematian kontrol

Apabila kematian pada kontrol diatas 20% maka uji tersebut

dinyatakan gagal dan harus mengulang kembali percobaan.34

Pada tabel 4.3 diatas didapatkan bahwa pada konsentrasi 0 mg/L

(kontrol) tidak ditemukan kematian larva. Hal ini menyatakan bahwa

kondisi larva dalam keadaan baik dan dapat menyingkirkan adanya

kemungkinan faktor lain atau faktor perancu yang menyebabkan kematian

larva pada kelompok perlakuan.

Hasil uji pada kelompok perlakuan larvasida didapatkan kematian

terendah terdapat pada konsentrasi 0.0025 mg/L dengan persentase

kematian larva sebesar 20%, sedangkan kematian tertinggi terdapat pada

konsentrasi 0.04 mg/L dengan persentase kematian larva sebesar 99%.

Hasil ini sama dengan hasil uji pendahuluan pada tabel 4.1 di atas. Pada

tabel tersebut dapat dilihat bahwa semakin besar konsentrasi semakin

banyak larva yang mati. Hal ini tergambar dalam grafik di bawah ini.

Grafik 4.1 Hubungan antara konsenterasi larvasida Btidengan persentase jumlah kematian larva Culex quinquefasciatus

0 %

0 0,0025 0,005 0,01 0,02 0,04

(38)

26

4.2. Analisis Data

4.2.1 Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui distribusi data

penelitian. Data yang baik untuk digunakan dalam penelitian adalah data

yang berdistribusi normal. Hal ini juga merupakan salah satu syarat untuk

dapat dilakukannya uji One Way ANOVA. Dari hasil uji normalitas

Shapiro-Wilk didapatkan nilai p>0.05. Hal ini menunjukan bahwa

distribusi data normal.

Tabel 4.4 Hasil Uji Normalitas

Statistic df Sig. kematian .926 24 .078

4.2.2. Uji One Way ANOVA

Syarat lain untuk dilakukannya uji One Way ANOVA adalah varians data homogen. Pada uji variasi data, didapatkan nilai p sebesar

0.082. Hal ini menunjukan bahwa nilai p>0.05 yang artinya varians data

penelitian ini homogen. Hasil dapat dilihat pada tabel 4.5 dibawah ini.

Tabel 4.5 Hasil Uji Variasi Data

Levene Statistic df1 df2 Sig.

2358 5 18 .082

Berdasarkan hasil sebelumnya bahwa data yang diperoleh

berdistribusi normal dan varians data homogen, maka kedua syarat One Way ANOVA terpenuhi. Uji One Way ANOVA dilakukan untuk melihat pengaruh perlakuan dan antar kelompok perlakuan terhadap kematian

(39)

Tabel 4.6 Hasil Uji One Way ANOVA

Berdasarkan tabel 4.6 didapatkan bahwa nilai p<0.05 yaitu 0.000.

Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara

konsenterasi larvasida Bti terhadap jumlah kematian larva instar III/IV.

Interpretasi dari analisa tersebut menunjukkan adanya pengaruh larvasida

terhadap kematian larva, dan perbedaan konsentrasi larvasida

menyebabkan perbedaan yang signifikan terhadap jumlah kematian larva.

4.2.3 Uji Least Significance Difference (LSD)

Pada uji One Way ANOVA diketahui bahwa terdapat perbedaan yang signifikan. Untuk mengetahui kelompok mana yang terdapat

perbedaan yang signifikan, maka dilakukan post hoc test yaitu uji Least Significance Difference (LSD). Didapatkan hasil bahwa pada semua kelompok terdapat perbedaan yang signifikan. Lihat lampiran 1.

4.2.4. Analisa Regresi Linier

Uji ini dilakukan untuk mengukur derajat hubungan antara

konsentrasi larvasida (X) dan kematian larva (Y), yang dinyatakan dengan

nilai persentase dari r2 (sebagai koefisien korelasi).

Tabel 4.7 Hasil Uji Regresi Linier

Regression Statistics

Multiple R 0.940721 R Square 0.884957 Adjusted R Square 0.856196 Standard Error 0.005701

(40)

28

Berdasarkan nilai R2 sebesar 0.885 maka nilai r didapatkan 0.9407, dimana nilai tersebut diantara nilai 0.8-1, yang dikategorikan bahwa

hubungan antara variabel independen (konsentrasi Bti) dan variabel dependen (kematian larva instar III/IV) sangat kuat. Hal ini menyatakan

bahwa konsentrasi larvasida sangat kuat berpengaruh terhadap kematian

larva nyamuk tersebut.

Grafik 4.2 Hasil regresi linier konsenterasi larvasida Bti terhadap jumlah kematian larva Culex quinquefasciatus

4.2.5 Analisa Probit

Analisa Probit ditujukan untuk menentukan efikasi larvasida

terhadap kematian larva nyamuk yang dinyatakan dengan nilai konsentrasi

yang menyebabkan kematian 50% dan 90% yang dinyatakan dengan nilai

(41)

4.3 Pembahasan

Hasil bioassay dan analisa deskriptif menunjukkan persentase

kematian 50% larva instar III/IV pada konsentrasi 0,012 mg/L dan

kematian larva 90% terdapat pada konsentrasi 0.024 mg/L. Menurut

WHO, larvasida dikatakan efektif jika dapat membunuh larva sebesar

10-95% dari total larva uji. Pada penelitian ini didapatkan bahwa Bti efektif

membunuh jentik nyamuk tersebut pada nilai interval LC50 sebesar

0.010-0.013 mg/L dan interval LC 90 sebesar 0.022-0.028 mg/L.5,34

Pada penelitian Russell et al. (2003) dengan menggunakan Bti

formulasi granul yang diujikan pada larva instar III dari 6 spesies larva

yang berbeda yaitu Aedes aegypti, Ochlerotatus vigilax, Ochlerotatus notoscriptus, Culex sitiens, Culex annulirostris dan Culex quinquefasciatus didapatkan bahwa Culex annulirostris dan Culex quinquefasciatus merupakan spesies larva yang paling sensitif terhadap Bti formulasi granul dibandingkan spesies lainnya dengan LC 95 sebesar

0.019 mg/L.37 Nilai tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian ini yang juga menggunakan formulasi granul. Ketika granul mengendap

dibawah permukaan air dan perilaku larva Culex memakan makanannya di bawah permukaan air maka semakin banyak toksin Bti yang dapat

memasuki tubuh larva tersebut.38

Kristal protein dan spora yang diproduksi oleh Bti merupakan

toksin yang akan larut dan aktif dalam suasana basa usus larva. Ikatan

antara toksin dengan reseptor cadherin menyebabkan rusaknya mikrovili usus, sel kolumnar, sel goblet serta lisisnya sel epitel lainnya, yang

berujung pada kematian larva.8,39 Pada menit awal setelah pemaparan, larva bergerak lemah ketika berenang dan pada akhirnya mengambang di

permukaan air tidak memberikan respon, kemudian mati.

Selain menyebabkan lisis epitel, toksin ini mengakibatkan

penurunan nafsu makan larva, sehingga larva menjadi tidak nafsu makan

(42)

pori-30

pori kecil berukuran 0,5-1 nm sehingga terjadi gangguan permeabilitas

cairan. Di sisi lain, bakteri ini terus berproliferasi dalam tubuh larva

sehingga larva menjadi septik. Seluruh mekanisme ini turut berperan

dalam kematian larva. Tubuh larva yang mati tampak berwarna kehitaman

yang dimulai dari bagian anterior hingga posterior dan membengkak akibat terganggunya tekanan osmotik cairan.8,9,39,40

Kematian larva pada penelitian ini dipengaruhi oleh beberapa

faktor, baik faktor dari kondisi larva maupun faktor lingkungan. Ditinjau

dari faktor kondisi larva, larva yang digunakan pada penelitian ini adalah

larva instar III/IV dimana pada stadium ini, sistem pencernaan larva sudah

terbentuk dengan sempurna sehingga kristal protein dan spora pada Bti

dapat bekerja optimum sebagai racun perut. Oleh karena itu, Bti kurang

cocok digunakan untuk larva instar I/II. Begitupun larva yang telah

berubah menjadi pupa, karena pada fase tersebut, pupa tidak memerlukan

makanan lagi,14 tetapi memerlukan oksigen yang didapatkan melalui

tabung pernafasan (breathing trumpet).21

Faktor lain yang meningkatkan keefektifan larvasida ini dalam

membunuh larva adalah pengujian Bti dilakukan di dalam laboratorium

sehingga Bti tidak terpajan langsung oleh sinar ultraviolet yang dapat

merusak Bti. Bti dapat bekerja efektif pada suhu 28-32ºC dan pH 6,8-7,2.

Hal ini sesuai dengan kondisi suhu dan pH yang sama di laboratorium

tempat penelitian. pH lebih dari 9 dapat menyebabkan rusaknya kristal

protein Bti.41,42

Nyamuk Cx. quinquefasciatus telah resisten terhadap insektisida golongan piretroid, organofosfat dan karbamat. Namun tidak resisten

terhadap larvasida Bti. Bahkan suatu populasi larva yang telah diberikan

Bti selama 20 generasi tidak menujukkan adanya resistensi.28 Potensi toksisitasnya pun 300 kali lebih besar daripada piretroid sintetik.9 Oleh

karena itu, kemampuannya dipakai dalam mengatasi resistensi nyamuk

(43)

Menurut WHO, keutamaan lain dari Bti adalah aman digunakan

bagi lingkungan karena akan terurai oleh sinar ultraviolet, bersifat tidak

toksik dan tidak patogen terhadap spesies bukan sasaran seperti burung,

cacing, ikan dan spesies lain yang hidup di dalam air.4,12 Pada manusia, Bti yang terkontak dengan kulit, mata, terhirup, termakan atau terminum tidak

berbahaya bagi kesehatan.5 Dengan demikian larvasida Bti ini sangat direkomendasikan untuk digunakan dalam program pemberantasan vektor

(44)

32

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa:

1. Persentase kematian larva instar III/IV terendah yaitu 20% pada

konsentrasi 0.0025 mg/L kematian 100% pada konsentrasi 0.04 mg/L.

2. Perbedaan konsentrasi larvasida Bti sangat berpengaruh kuat terhadap

kematian larva Culex quinquefasciatus instar III/IV.

3. Larvasida Bti efektif membunuh larva Cx. quinquefasciatus instar III/IV dengan LC 50 sebesar 0,012 mg/L dan LC 90 sebesar 0.024

mg/L.

5.2 Saran

1. Penelitian ini dapat diteruskan dengan menggunakan Bti terhadap

spesies nyamuk lain seperti Anopheles dan Aedes.

2. Penelitian lain dapat dibandingkan dengan menggunakan larvasida

biologi lainnya seperti penggunaan ekstrak tanaman atau cara

pengendalian biologis lain seperti penggunaan hewan air sebagai

predator larva nyamuk.

3. Untuk penelitian selanjutnya disarankan agar melakukan pengamatan

dalam beberapa rentang waktu sebelum 24 jam.

4. Penelitian ini dapat dikembangkan dari skala percobaan di

(45)

DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi J et al. 2010. Buletin jendela epidemiologi filariasis di Indonesia.

Jakarta: Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementerian Kesehatan RI.

vol 1: p.1-8.

2. Chandra B. 2009. Ilmu kedokteran pencegahan dan komunitas. Jakarta: EGC;

p.34-35.

3. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2012.

Pedoman penggunaan insektisida (pestisida) dalam pengendalian vector.

Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; p.13-66.

4. World Health Organization. 1999. Microbal pest control agent Bacillus thuringiensis. Geneva; p.1-5.

5. World Health Organization. 2004. Review of Vectobac WG, Permanet,

Gokilaht-S 5EC. Geneva; p.27.

6. Cetinkaya FT. 2002. Isolation of Bacillus thuringiensis and investigation of its

crystal protein genes. Turki; p.4-5.

7. Organic Soil Technology. Bacillus thuringiensis var israelensis larvae toxin. Available from:

http://organicsoiltechnology.com/bacillus-thuringiensis-israelensis-bti.html [Cited 27 Agustus 2015].

8. Ibrahim MA, Griko N, Junker M, Bulla LA. 2010. Bacillus thuringiensis a genomics and proteomics perspective. Bioengineered Bugs; p.31-33.

9. Bahagiawati. 2002. Penggunaan Bacillus thuringiensis sebagai boinsektisida. Buletin Agrobio; 5(1): p.21-28.

10.Regis L, Oliveira CMF, Silva MH, Silva SB, Maciel A, Furtado AF. 2001.

Bacteriological larvicides of dipteral disease vectors. Trends Parasitol; 17:

p.377.

11.Knowles BH. 1994. Mechanism of action of Bacillus thuringiensis insecticidal delta-endotoxin. London: Academic Press; vol 24: p.276-283.

(46)

34

13.University of Michigan Museum of Zoology. Culex quinquefasciatus. Availablefrom:http://animaldiversity.ummz.umich.edu/accounts/Culex_quinqu

efasciatus/classification/. [Cited 9 Desember 2014].

14.Manimegalai K, Sukanya S. 2014. Biology of the filarial vector, Culex quinquefasciatus (Diptera:Culicidae). Int.J.Curr.Microbiol.App.Sci. 3(4): 718-24.

15.Jupp Peter. 2013. Mosquitoes: morphology and systematic. University of

Pretoria: p.1-13.

16.Prianto J. 2000. Atlas parasitologi kedokteran. Jakarta: PT. Gramedia.

17.Gough Harrold. 2013. A culex mosquito egg raft & irritating flies. Available from:

http://photomacrography.net [Cited 9 Desember 2014].

18.Hill S, Conrelly R. 2013. Southern house mosquito Culex quinquefasciatus Say. USA : Institute of Food and Agricultural Sciences, University of Florida. 19.Littig KS, Stojanovich CJ. Mosquitoes: characterictics of Anophelines and

Culicines: p.134-166.

20.Natadisastra D, Agoes R. 2005. Parasitologi kedokteran ditinjau dari organ

tubuh yang diserang. Jakarta: EGC.

21.Staf Pengajar Departemen Parasitologi FK UI. 2009. .Parasitologi kedokteran

4th ed. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.

22.Bryant PJ. 2008. Southern house mosquito Culex quinquefasciatus. Available from: http://nahistoc.bio.uci.edu/dipteral/culex%20quinquefasciatus.htm [Cited

21 Juli 2015].

23.New Zealand Biosecure Entomology Laboratory. 2008. Culex

quinquefasciatus. New Zealand.

24.Inadays. Available from: www.inadays.com.tr/en/mosquito-museum [Cited 21

Juli 2015].

25.Molaei G et al. 2007. Host feeding pattern of Culex quinquefasciatus (Diptera: Culicidae) and its role in transmission of west nile virus in Harris County,

Texas. The American Society of Tropical Medicine and Hygiene; 77(1):

p.73-81.

26.Farajollahi A, Fonseca DM, Kramer LD, Kilpatrick AM. 2011. “Bird biting”

(47)

mosquitoes in epidemiology. National Institutes of Health. Infect Genet Evol:

11(7): p.1577-1585.

27.American Mosquito Control Association. 2014. Life cycle. Available from:

www.mosquito.org/life-cycle [Cited 21 Juli 2015].

28.Salaki CL, Sembiring L. 2009. Eksplorasi bakteri Bacillus thuringiensis dari berbagai habitat alami yang berpotensi sebagai agensia pengendali hayati

nyamuk Aedes aegypti Linnaeus. Yogyakarta: Fakultas Biologi UGM; p.156-161.

29.Hudayya A, Jayanti H, Moekasan TK. Daftar dan pengelompokan pestisida

yang beredar di Indonesia berdasarkan cara kerjanya. Bandung: Balai

Penelitian Tanaman Sayuran.

30.Trapsilowati W, Christina B. 2010. Partisipasi masyarakat dalam pengendalian

vektor malaria menggunakan Bacillus thuringiensis H-14 galur lokal di

Banjarnegara, Jawa Tengah. Media Litbang Kesehatan. Vol XX No.1; p.

26-32.

31.Christina B, Widyastuti U. 2013. Efekstivitas Bacillus thuringiensis H-14 strain local dalam buah kelapa terhadap larva Anopheles sp. dan Culex sp. di

Kampung Laut kabupaten Cilacap. Media Litbangkes. Vol 23 No. 2; p.58-64.

32.Anggraeni YM, Christina B, Wianto R. 2013. Uji daya bunuh ekstrak kristal

endotoksin Bacillus thuringiensis israelensis (H-14) terhadap jentik Aedes aegypti, Anopheles aconitus dan Culex quinquefasciatus. Jurnal Sain Veteriner; 31(1): p.35-42.

33.Sudigdo I. 2002. Dasar-dasar metodologi dalam penelitian klinis. Jakarta:

Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

34.WHO. 2005. Guidelines for laboratory and field testing for mosquito

larvicides.

35.Dahlan Sopiyudin. 2009. Statistik untuk kedokteran dan kesehatan 4th ed. Jakarta: Salemba Medika.

36.Lee HL. 1990. A Rapid and simple biochemical method for the detection of

(48)

36

37.Russell TL, Brown MD, Purdie DM, Ryan PA, Kay BH. 2003. Efficacy of

Vectobac (Bacillus thuringiensis variety israelensis) formulations for mosquito control in Australia. J Econ Entomol; 96(6): p.1786-91.

38.Raoska WA, Hopkins TL. 1981. Effects of mosquitoes larval feeding behavior

on Bacillus sphaericus. J invert Pathol; 37: p.269.

39.Gama ZP, Yanuwiadi B, Kurniati TH. 2010. Strategi pemberantasan nyamuk

aman lingkungan: potensi Bacillus thuringiensis isolat Madura sebagai musuh alami nyamuk Aedes aegypti. Jurnal Pembangunan dan Alam Lestari. Vol 1 No. 1; p.1-10.

40.Lopes J, Arantes O, Cenci MA. 2010. Evaluation of new formulation of

Bacillus thuringiensis israelensis. Braz J Biol; p.1109-1110.

41.Achille GN, Christophe HS, Yilian L. 2010. Effect of Bacillus thuringiensis var. israelesnsis (H-14) on Culex, Aedes and Anopheles larvae. Stem Cell;

1(1): p.60-68.

42.Lepe MR, Suero MR. 2012. Biological control of mosquito larvae by Bacillus

(49)
(50)

38

Multiple Comparisons

Dependent Variable: kematian

LSD

(I) konsentrasi (J) konsentrasi Mean

Difference

(I-J)

Std. Error Sig. 95% Confidence Interval

Lower

(51)

Lampiran 2

Foto-foto hasil kegiatan penelitian

Wadah tempat larva hidup

Rearing nyamuk di dalam kandang nyamuk Pemberian makan nyamuk dengan air

gula dan vitamin

Alat-alat yang digunakan dalam uji larvasida Bti terhadap larva

Vectobac WG (zat aktif: Bacillus thuringiensis israelesis)

(52)

40

Mikropipet 100 µl dan 1000 µl Granul Bti ditimbang dengan

neraca digital

Pemberian makan larva berupa pelet ikan

Pengenceran larvasida menjadi 10.000 ppm dan 10 ppm

Uji Pendahuluan dengan berbagai konsentrasi larvasida Pembuatan konsentrasi larvasida

(53)

Bahan untuk uji resistensi enzim esterase larva nyamuk Cx. quinquefasciatus Pengukuran pH air wadah tempat

larva hidup

Uji Utama dengan berbagai konsentrasi larvasida

Temperatur ruangan 28ºC

(54)

42

Sumur dalam uji resistensi enzim esterase

larva nyamuk Cx. quinquefasciatus

Hasil ELISA Reader

Pengambilan sampel larva dengan

(55)

Pengukuran panjang larva instar III Sampel larva instar III/IV

Pupa Cx. quinquefasciatus Laboratorium nyamuk

Telur Cx. quinquefasciatus yang

diidentifikasi dibawah mikroskop

Larva instar I Cx. quinquefasciatus yang diidentifikasi dibawah

(56)

44

Nyamuk jantan Cx. quinquefasciatus yang diidentifikasi dibawah

mikroskop Nyamuk betina Cx. quinquefasciatus

yang diidentifikasi dibawah

mikroskop

Larva instar II Cx. quinquefasciatus yang diidentifikasi dibawah

mikroskop

Larva instar III Cx. quinquefasciatus yang diidentifikasi dibawah

mikroskop

Larva instar IV Cx. quinquefasciatus yang diidentifikasi dibawah

mikroskop

(57)

Lampiran 3

Riwayat Penulis

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

PERSONAL DATA

Nama : Aqidatul Islamiyyati Elqowiyya

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat Tanggal Lahir: Tangerang, 24 Juli 1994

Status : Belum Menikah

Agama : Islam

Alamat : Jl. Dewi Sartika Gg. Masjid Ar Riyadh No 22 Rt 01

Rw 004 Ciputat 15411

No Telepon/HP : 085692026161/ 08123262233

Email : miaelqowiyya94@gmail.com

RIWAYAT PENDIDIKAN

1998 - 2000 : TK Cendrawasih Ciputat

2000 - 2006 : MI Pembangunan UIN Jakarta

2006 - 2009 : MTs Pembangunan UIN Jakarta

2009 - 2012 : SMA Negeri 34 Jakarta

2012 - Sekarang : Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas

Gambar

Tabel 4.2  Hasil uji esterase pada larva instar IV Culex quinquefasciatus  .....
Gambar 2.1   Morfologi Bacillus thuringiensis  .............................................
Grafik 4.1   Grafik hubungan antara konsenterasi larvasida Bacillus
Gambar 2.1 Morfologi Bacillus thuringiensis.7
+7

Referensi

Dokumen terkait

Metode yang digunakan dalam pemilihan calon Wirausaha Muda Pemula dan Penggerak Wirausaha Berprestasi tahun 2013 adalah metode kualitatif dengan pendekatan induktif,

Data primer berupa kadar glukosa darah yang diperoleh pada waktu sebelum penundaan dan sesudah penundaan pemeriksaan akan diolah menggunakan uji normalitas data Shapiro-Wilk

Penelitian ini bertujuan untuk meng- etahui perbedaan kadar glukosa darah 2 jam post prandial antara yang diberi beban makanan dengan beban glukosa 75 gram.. Jenis penelitian

Karena, kebanyakan wanita dengan DMG memiliki homeostatis glukosa relatif normal selama paruh pertama waktu kehamilan dan bisa juga mengalami defisiensi insulin relatif

Berdasarkan analisis ini dapat dikatakan bahwa kesalahan pemakaian tanda titik koma masih ditemukan yang berarti para mahasiswa masih mengalami permasalahan

Istilah negara dipakai dalam arti “Penguasa”, yakni untuk menyatakan orang atau orang orang yang melakukan kekuasaan tertinggi Atas persekutuan rakyat yang bertempat tinggal dalam

Pada masyarakat Jawa, transformasi nilai–nilai moral sebagai wujud pendidikan budi pekerti umumnya telah dilakukan melalui tembang (Setyadi, 2012). Dalam paradigma lama,

Pimpinan perusahaan memiliki peran yang sangat penting, seorang pemimpin harus dapat menggunakan gaya komunikasi yang tepat untuk menggerakkan bawahannya agar para