• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pengaruh Instrumen Moneter Syariah dan Konvensional Terhadap Penyaluran Dana ke Sektor Usaha Kecil Mikro Dan Menengah (UMKM ) di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Pengaruh Instrumen Moneter Syariah dan Konvensional Terhadap Penyaluran Dana ke Sektor Usaha Kecil Mikro Dan Menengah (UMKM ) di Indonesia"

Copied!
181
0
0

Teks penuh

(1)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dunia mengakui bahwa usaha kecil, mikro dan menengah (UMKM) memainkan peran yang sangat vital di dalam pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, tidak hanya di negara-negara sedang berkembang tetapi juga di negara maju. Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, Prancis, dan Belanda telah menjadikan sektor UMKM sebagai motor penggerak perekonomian negaranya, yaitu sebagai pemicu pertumbuhan ekonomi, inovasi, dan progres teknologi (Tambunan, 2009).

Sektor UMKM juga memiliki peran yang penting dalam perekonomian Indonesia. Pada tahun 2010 sektor ini mampu menyerap 97,3 persen dari total tenaga kerja. Hal ini menunjukan bahwa sektor UMKM adalah sektor utama dalam penyerapan tenaga kerja di Indonesia yang apabila dikembangkan berpotensi mengurangi pengangguran karena jumlah unit usaha UMKM mencapai 52.764.603 unit atau 99 persen dari total usaha. Selain itu, lebih dari setengah atau 56,5 persen Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia disumbangkan oleh sektor ini. Begitu juga dengan pendapatan ekspor non-migas, sektor UMKM mampu menyumbang 17,04 persen dari pendapatan total (BPS, 2010).

(2)

memanfaatkan pinjaman dan sebagian besar pinjaman berasal dari perorangan, bukan dari lembaga keuangan formal atau perbankan. Permodalan mereka tergantung sepenuhnya pada tabungan sendiri atau sumber-sumber informal seperti keluarga.

Sejak tahun 1970-an, pemerintah telah memfasilitasi penyaluran dana ke sektor usaha kecil mikro dan menengah (UMKM) yang diawali dengan dua skema kredit dari Bank Indonesia yaitu Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP) dan Kredit Investasi Kecil (KIK). Selain itu Bank Sental telah mengeluarkan Peraturan Perbankan Nomor 3/2/PBI/20011 yang mewajibkan perbankan untuk menyediakan 20 persen dari total kreditnya kepada usaha kecil. Peraturan tersebut dikeluarkan untuk mendorong perbankan agar meningkatkan penyaluran dana kepada sektor UMKM. Melihat besarnya peran UMKM di Indonesia maka wajar apabila sektor ini mendapat perhatian lebih khususnya dari segi akses dan pembiayaan modal yang selama ini menjadi permasalahan utama dalam pengembangan UMKM.

Sumber: BPS dan Kementrian Koperasi dan UKM (2010)

(3)

Indonesia merupakan salah satu negara yang menerapkan sistem moneter ganda pada sistem perekonomiannya, yaitu diterapkannya sistem moneter syariah dan konvensional secara bersamaan. Penerapan sistem moneter ganda yang dilandasi oleh Undang-undang Bank Sentral No. 23 Tahun 1999 membawa pengaruh terhadap perkembangan lembaga keuangan syariah di Indonesia. Sejak tahun 2002 mulai bermunculan bank syariah, unit usaha syariah (UUS) dan bank perkreditan rakyat syariah (BPRS) yang tersebar di seluruh Indonesia. Dapat dilihat pada Tabel 1.1 bahwa perkembangan jumlah lembaga keuangan syariah memiliki tren yang meningkat dan diprediksi akan terus bertambah. Begitu juga dengan perkembangan perbankan syariah yang diawali oleh munculnya Bank Muamalat Indonesia pada tahun 2002. Sejak saat itu perkembangan bank syariah semakin pesat dan menjadikan perbankan syariah salah satu lembaga keuangan yang memiliki peran yang semakin besar dalam perbankan nasional.

Tabel 1.1. Perkembangan Jumlah Bank Syariah, Unit Usaha Syariah dan BPRS Tahun 2007-2010

Kelompok Bank 2007 2008 2009 2010

Bank Umum Syariah (BUS) 3 5 6 11

Unit Usaha Syariah (UUS) 26 37 25 23

BPRS 185 202 225 286

Total Jumlah Kantor BUS,UUS

dan BPRS 782 1024 1223 1763

Sumber: Statistik Perbankan Syariah Indonesia (2010)

(4)

diterbitkan oleh Bank Indonesia dalam rangka meningkatkan efektifitas mekanisme moneter dengan prinsip syariah. Sertifikat Bank Indonesia Syariah mulai digunakan sebagai instrumen moneter sejak tahun 2008 yang mengantikan peran Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI). Sebagai Instrumen moneter, SBI dan SBIS memiliki jalur transmisi tersendiri terhadap sektor riil dimana instrumen ini akan mempengaruhi besarnya pembiayaan dan peyaluran kredit kepada sektor riil.

Baik bank syariah maupun bank konvensional memiliki tugas utama sebagai lembaga intermediasi, yaitu menyalurkan dana dari pihak surplus ke pihak yang memerlukan dana secara optimal. Salah satu jalur intermediasi perbankan adalah melalui penyaluran dana kepada UMKM, yaitu penyaluran dana yang dialokasikan untuk investasi atau pengembangan usaha masyarakat berskala mikro, kecil atau menengah. Pemberian kredit kepada dunia usaha khususnya di sektor UMKM perlu ditingkatkan dalam upaya meningkatkan peran perbankan nasional sebagai lembaga intermediasi (Meydianawathi, 2007). Bank sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat harus dapat mengelola saluran kredit dan pembiayaan secara tepat sehingga dapat menjembatani sektor keuangan dan sektor rill. Selain itu, bank sebagai lembaga keuangan yang dominan di Indonesia seharusnya mendukung penuh keberadaan dan perkembangan UMKM mengingat peran UMKM yang sangat besar bagi perekonomian.

(5)

kredit UMKM yang mencapai lebih dari empat puluh persen dari kredit total pada perbankan konvensional. Bahkan porsi pembiayaan UMKM pada bank syariah mencapai lebih dari tujuh puluh persen dari pembiayaan total.

Penyaluran dana ke sektor UMKM lewat perbankan tentunya dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Dari berbagai studi terdahulu, faktor internal yang memengaruhi penyaluran kredit dari perbankan antara lain faktor rentabilitas dan profitabilitas. Sedangkan dari faktor eksternal, penyaluran kredit dari perbankan dipengaruhi oleh instrumen moneter. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan bahwa penelitian mengenai pengaruh instrumen syariah atau konvensional terhadap pembiayaan UMKM di Indonesia penting untuk dilakukan karena akan mempengaruhi tindakan perbankan konvensional maupun syariah dalam menyalurkan dananya ke sektor UMKM. Oleh karena itu, penelitian ini menganalisis secara kuantitatif pengaruh instrumen moneter dan perbankan terhadap pembiayaan UMKM di Indonesia.

1.2 Perumusan Masalah

(6)

Mekanisme transmisi moneter ganda yang diterapkan di Indonesia sejak tahun 1992 melegalkan penggunaan sistem moneter syariah dan konvensional secara bersamaan, hal ini berarti bahwa ada pengaruh dari instrumen moneter syariah dan konvensional terhadap penyaluran dana dari perbankan, termasuk pemberian kredit atau pembiayaan UMKM. Maka dari itu penelitian ini ingin menganalisis instrumen moneter manakah yang lebih berpengaruh dalam penyaluran dana ke sektor UMKM di Indonesia. Secara lebih rinci, perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaruh instrumen moneter konvensional terhadap kredit

UMKM di Indonesia?

2. Bagaimana pengaruh instrumen moneter syariah terhadap pembiayaan

UMKM di Indonesia?

3. Bagaimanakah perbandingan pengaruh instrumen moneter syariah dan konvensional dalam pembiayaan UMKM di Indonesia

1.3 Tujuan Penelitian

Dari perumusan masalah yang telah di uraikan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi pengaruh instrumen moneter syariah dan konvensional terhadap pembiayaan UMKM dari perbankan syariah di Indonesia.

(7)

3. Membandingkan sejauh mana pengaruh instrumen moneter syariah

dan konvensional terhadap penyaluran dana ke sektor UMKM di Indonesia.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat dan masukan bagi pemerintah, masyarakat dan kalangan akademisi:

1. Pemerintah dapat menjadikan penelitian ini sebagai masukan dalam pengambilan kebijakan khususnya dalam mengembangkan sektor UMKM melalui perbankan.

2. Masyarakat dapat mengetahui peran perbankan syariah dalam mengembangkan UMKM.

3. Kalangan akademisi dapat mejadikan referensi dalam melakukan penelitian selanjutnya.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

(8)

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Transmisi Moneter

Transmisi moneter adalah mekanisme bekerjanya kebijakan moneter sampai memengaruhi sektor riil. Mishkin (2004) menjelaskan bahwa jalur mekanisme transmisi moneter dapat terjadi melalui beberapa jalur, yaitu jalur efek suku bunga tradisional (traditional interest rate effect), jalur efek harga asset lain (other asset

price effect) dan jalur kredit (credit view). Berikut adalah penjelasan singkat

mengenai beberapa jalur transmisi moneter :

1. Jalur Efek Suku Bunga Tradisional (Traditional Interest Rate Effect)

Ketika terjadi ekspansi kebijakan moneter dengan penurunan suku bunga yang mana akan menurunkan harga dari modal (cost of capital) maka akan meningkatkan investasi dan memicu agregate demand sehingga meningkatkan

output.

2. Jalur Efek Harga Asset Lain (Other Asset Price Effect)

Transmisi moneter melalui jalur harga aset lain (other asset price effect) dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu efek nilai tukar terhadap ekspor bersih

(Exchange Rate Effect on Net Export), Teori Q Tobin (Tobin’s Q Theory) dan

Efek Kesejahteraan (Wealth Effect).

a. Exchange Rate Effect on Net Export

(9)

aset rupiah akan menurun sehingga rupiah terdepresiasi. Nilai rupiah yang lebih rendah dibandingkan mata uang asing akan menyebabkan harga barang domestik menjadi lebih murah dibandingkan harga barang asing sehingga meningkatkan ekspor dan agregate output.

b. Tobin’s Q Theory

Teori ini dikembangkan oleh James Tobin yang menjelaskan pengaruh kebijakan moneter terhadap penilaian ekuitas. Tobin mendefinisikan ‘q’ sebagai harga pasar untuk perusahaan yang dibagi dengan penggantian harga modal. Ketika nilai q tinggi maka harga pasar untuk perusahaan akan relatif tinggi dibandingkan dengan harga modalnya. Untuk itu perluasan usaha dan harga dari peralatan relatif murah sehingga dapat meningkatkan investasi. Hal ini terjadi karena perusahaan dapat mengeluarkan sedikit saham, tetapi dapat dijual dengan harga yang tinggi.

Ketika terjadi ekspansi moneter maka masyarakat akan dihadapkan pada kondisi dimana terjadi kelebihan uang dibandingkan kebutuhan yang ada sehingga masyarakat akan menyalurkan dananya ke pasar saham. Permintaan saham akan meningkat dan harga saham akan naik. Harga saham yang naik akan menyebabkan q naik sehingga meningkatkan investasi dan output.

c. Wealth Effect

Asumsi yang mendasari proses transmisi moneter pada jalur ini bahwa pengeluaran konsumsi juga dipengaruhi oleh sumber daya seumur hidup

(lifetime resources), bukan hanya didasari pada pendapatan yang didapat hari

(10)

moneter maka harga saham akan naik, sehingga menaikan kesejahteraan dan juga menaikan konsumsi. Konsumsi yang naik akan meningkatkan ouput.

3. Jalur Kredit(Credit View)

Transmisi moneter melalui jalur kredit dapat dibedakan menjadi lima bagian, yaitu penyaluran bank (bank lending channel), jalur neraca (balance sheet

channel), jalur arus kas (cash flow channel), jalur tingkat harga yang tidak

diantisipasi (unanticipated price level channel), dan jalur efek likuiditas rumah tangga (household liquidity effect).

(11)

Jika dilihat dari bagan diatas maka dapat disimpulkan bahwa

kebijakan moneter melalui jalur kredit bertujuan untuk mendorong investasi dari sisi supply yang direpresentasikan oleh bank sebagai lembaga intermediasi. Implikasi yang penting transmisi moneter melalui jalur kredit bahwa dengan adanya kebijakan moneter maka efek yang lebih besar akan dirasakan oleh perusahaan kecil yang mana sangat bergantung oleh pinjaman bank. Sedangkan perusahaan besar dapat mengantisipasinya dengan mencari sumber modal lain selain perbankan, yaitu melalui saham atau obligasi (Miskhin, 2009).

Penyaluran dana untuk sektor UMKM dari perbankan dapat diklasifikasikan ke jalur bank lending channel karena bank memiliki peran yang penting dalam sistem keuangan, yaitu sebagai lembaga intermediasi sekaligus penyalur kredit dan pembiayaan terhadap masyarakat, termasuk kepada sektor UMKM.

Dalam proses transmisinya, Bank Indonesia dapat melakukan kontraksi dan ekspansi moneter dengan menaikan atau menurunkan suku bunga kebijakan (BI Rate). Kebijakan ini akan mempengaruhi sisi liabilitas (kewajiban) bank yang di dominasi oleh dana pihak ketiga (DPK) yaitu dana masyarakat yang disimpan di perbankan. Ketika ekonomi memanas, Bank Indonesia melakukan kontraksi moneter dengan menaikan BI Rate. Kebijakan ini akan menyebabkan jumlah uang beredar di masyarakat akan turun sehingga mengakibatkan jumlah DPK juga ikut menurun. Penurunan DPK akan mengakibatkan penurunan ketersediaan dana yang siap disalurkan oleh perbankan, salah satunya dalam bentuk kredit. Untuk

Ekspansi kebijakan moneter : cadangan dan deposit bank

ketersediaan pinjaman dari bank Investasi(I)

(12)

meningkatkan DPK perbankan akan cenderung menaikan suku bunga dana seperti tabungan dan deposito sehingga berakibat pada kenaikan suku bunga kredit. Permintaan terhadap kredit baru cenderung turun karena suku bunga kredit yang meningkat dan menyebabkan investasi turun dan pertumbuhan ekonomi melambat.

Bank Indonesia juga dapat melakukan kontraksi moneter dengan peningkatan Giro Wajib Minimum (GWM). Peningkatan GWM akan mempengaruhi sisi liabilitas perbankan secara langsung sehingga dana yang siap disalurkan juga akan cenderung menurun. Hal ini juga akan meningkatkan suku bunga kredit dan menurunkan permintaan terhadap kredit baru sehingga investasi juga menurun. Investasi yang menurun akan menurunkan pertumbuhan ekonomi.

2.2. Instrumen Moneter

Dalam menjalankan kebijakan moneter Bank Indonesia memiliki beberapa instrumen moneter yaitu Operasi Pasar Terbuka atau Open Market Operation

(OPT), Giro Wajib Minimum (GWM), Fasilitas Diskonto, dan Intervensi Mata Uang Asing. Berikut adalah penjelasan singkat mengenai beberapa instrumen moneter yang digunakan oleh Bank Indonesia dalam menjalankan operasi moneternya:

a. Operasi Pasar terbuka adalah kegiatan jual beli surat berharga oleh bank

(13)

instrumen utama dalam kebijakan moneter antara lain karena Bank Indonesia memiliki SBI dalam jumlah yang memadai untuk mengeksekusi keputusan kontraksi atau ekspansi moneter yang diambil setelah mempertimbangkan tekanan terhadap inflasi. Selain itu SBI memenuhi tiga syarat utama likuiditas surat berharga yang dapat diperjualbelikan dalam operasi pasar terbuka dan diterbitkan secara kontinyu serta tersedia setiap saat (Sugiyono, 2003).

b. Giro Wajib Minimum (Reserve Requirement)

Giro Wajib Minimum adalah ketentuan bank sentral yang mewajibkan bank-bank untuk memelihara sejumlah alat likuid sebesar presentase tertentu dari kewajiban lancarnya. Semakin kecil presentase tersebut maka semakin besar kemampuan bank memanfaatkan cadangannya untuk diberikan kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman dan begitu juga sebaliknya.

c. Fasilitas Diskonto

Fasilitas diskonto adalah kebijakan moneter bank sentral untuk memengaruhi jumlah uang beredar melalui penetapan diskonto pinjaman bank sentral kepada bank-bank. Dengan penetapan diskonto yang tinggi diharapkan bank akan mengurangi permintaan kredit dari bank sentral yang akibatnya akan mengurangi jumlah uang beredar.

d. Intervensi Mata Uang Asing

(14)

mengetatkan likuiditas rupiah di pasar uang, bank sentral akan menjual cadangan devisanya.

Peraturan Bank Indonesia nomor 4/10/PBI/2002 tentang Sertifikat Bank Indonesia (SBI) menyatakan bahwa SBI adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. SBI ditebitkan oleh Bank Indonesia sebagai salah satu piranti dalam Operasi Pasar Terbuka (OPT). Sedangkan Peraturan Bank Indonesia nomor 10/11/PBI/2008 tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah menyatakan bahwa SBIS adalah surat berharga bedasarkan prinsip syariah berjangka waktu pendek dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia menggunakan Akad Jua’lah. SBIS dibuat oleh Bank Indonesia dalam rangka meningkatkan efektifitas mekanisme moneter dengan prinsip syariah. Kedua instrumen ini memiliki fungsi yang sama yaitu sebagai instrumen Operasi Pasar Terbuka dalam rangka pengendalian moneter dengan tujuan akhir kestabilan nilai rupiah dan tingkat inflasi.

(15)

Bank Indonesia akan mengumumkan bahwa Bank Indonesia akan melakukan kebijakan moneternya yaitu akan menyerap likuiditas yang beredar di masyarakat. Maka bank syariah akan membeli SBIS tersebut dan mendapatkan imbalan tertentu. Jumlah nominal Ju’ul atau imbalannya harus dibayarkan oleh Ja’il yang ditetapkan saat terjadinya akad dan harus disepakati oleh kedua belah pihak.

Tingkat suku bunga pada Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan bonus Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) nantinya akan digunakan sebagai proksi bagi kebijakan moneter, oleh karenanya perubahan pada tingkat suku bunga SBI diharapkan mampu memberi pengaruh pada tingkat suku bunga kredit. Dengan kata lain tingkat suku bunga SBI dijadikan barometer untuk menentukan tingkat suku bunga deposito, kemudian suku bunga pinjaman akan merespon perubahan tersebut (Muslim, 2008).

Sumber: Ascarya (2011)

Gambar 2.1. Alur Penerapan Sistem Moneter Ganda di Indonesia

(16)

jalur syariah. Instrumen kebijakan moneter ganda juga tidak terbatas hanya menggunakan suku bunga saja, tetapi dapat pula menggunakan bagi hasil atau margin. Dengan demikian, dalam sistem moneter ganda, interest rate

pass-through lebih tepat disebut policy rate pass-through, dimana policy rate untuk

konvensional menggunakan suku bunga, sedangkan policy rate untuk syariah dapat menggunakan bagi hasil atau margin (Ascarya, 2012).

Dalam sistem perbankan syariah di Indonesia terdapat hubungan antara sistem moneter yang ada di Indonesia dengan sistem perbankan syariah, yaitu dengan keikutsertaan perbankan syariah di dalam kebijakan moneter yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebagai otoritas moneter utama. Bank Indonesia menyatakan bahwa cara-cara pengendalian moneter di Indonesia bisa dilakukan berdasarkan prinsip Syariah yang ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia (Triandaru, 2006).

2.3. Teori Preferensi Likuiditas

(17)

Ketika tingkat bunga naik, orang-orang ingin memegang uang dalam jumlah yang lebih sedikit. Hal ini menunjukan bahwa fungsi bahwa permintaan uang riil dipengaruhi oleh suku bunga (Mankiw, 2007).

Tingkat bunga akan menyesuaikan untuk menyeimbangkan pasar uang, dimana jumlah uang riil yang diminta sama dengan jumlah penawarannya. Penyesuaian terjadi karena ketika terjadi ketidakseimbangan pada pasar uang maka masyarakat akan berusaha menyesuaikan aset mereka dan dalam prosesnya mengubah suku bunga. Misalnya, apabila tingkat bunga diatas keseimbangan maka jumlah uang riil yang ditawarkan akan melebihi jumlah yang diminta. Oang-orang yang memegang yang kelebihan penawaran uang berusaha untuk mengubah sebagian diantaranya menjadi deposito atau obligasi. Bank-bank dan penerbit obligasi yang lebih suka membayar tingkat bunga yang lebih rendah merespon kelebihan uang dengan mengurangi tingkat bunga, begitu juga sebaliknya. Hal ini digambarkan dalam kurva berikut:

Sumber: Mankiw, 2007

Gambar 2.2. Kurva Permintaan dan Penawaran Uang M/P

Permintaan, L(r) Tingkat bunga, r Penawaran

Keseimbangan uang riil, M/P Tingkat bunga

(18)

2.4. Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)

Usaha mikro kecil dan menengah memiliki beberapa definisi dari beberapa lembaga dan institusi terkait yang mendefinisikannya dengan berbagai kriteria, antara lain:

a. Berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, pengertian UMKM adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha lain. UMKM dikelompokan menjadi tiga usaha berdasarkan kriteria asset dan omzet yang dimiliki, kriterianya adalah sebagai berikut:

Tabel 2.1 Kriteria UMKM Menurut UU Nomor 20 Tahun 2008

No Uraian

Kriteria

Asset Omzet

1 Usaha Mikro Max 50 juta Max 300 juta 2 Usaha Kecil >50juta-500juta >300juta-2,5 Miliar 3 Usaha Menengah >500 juta-10 Miliar >2,5 Miliar -50 Miliar Sumber: UU Nomor 20 Tahun 2008

(19)

menengah adalah usaha yang dapat menerima kredit dari Rp 500 juta sampai Rp 5 Miliar.

c. Berdasarkan Badan Pusat Statistik, UMKM dibagi berdasarkan jumlah

tenaga kerja yang dipakai. Usaha mikro adalah usaha yang mempekerjakan maksimal lima orang pekerja keluarga. Usaha kecil adalah usaha yang mempekerjakan lima sampai sepuluh orang pekerja. Sedangkan usaha menengah adalah usaha yang mempekerjakan 20 sampai 99 orang.

2.5. Teori Bank Syariah dan Bank Konvensional

Bank adalah salah satu badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Seperti yang dipaparkan dalam undang-undang No.10 Tahun 1998 bahwa fungsi dari perbankan adalah sebagai lembaga intermediasi atau penghubung antara sektor keuangan dan sektor riil.

(20)

dengan menjunjung tinggi asas keadilan, etika, persaudaraan, dan menghindari transaksi spekulatif.

Dalam beberapa hal terdapat persamaan antara bank konvensional dan bank syariah antara lain dari teknis penerimaan uang, mekanisme transfer dan pembuatan laporan keuangannya. Tetapi terdapat beberapa perbedaan mendasar yang membedakan kedua perbankan ini. Perbedaan yang ada dapat di rangkum dalam Tabel 2.2 berikut.

Tabel 2.2. Perbedaan Antara Bank Syariah dan Bank Konvensional

Pembeda Bank Konvensional Bank Syariah

Akad dan Aspek

Peradilan Negeri Badan Arbitrase Muamalah Indonesia (BAMUI)

Struktur Organisasi Komisaris dan Direksi

Terdapat Dewan Pengawas Syariah (DPS) dan Dewan

Syariah Nasional (DSN)

Investasi Investasi yang halal dan haram

Hanya melakukan investasi yang halal

Hubungan dengan

Nasabah Debitur-Kreditur Kemitraan

Prinsip Bunga Bagi Hasil, Jual Beli dan Sewa

Tujuan Profit Oriented Profit dan Falah Oriented Sumber: Antonio (1999)

(21)

digunakan dalam penyaluran dana adalah pembiayaan dan sistem yang digunakan adalah sistem bagi hasil. Beberapa contoh pembiayaan dan produk yang biasa dilakukan bank syariah adalah:

1. Produk dengan prinsip jual beli antara lain murabahah, salam, dan istisna.

2. Produk dengan prinsip bagi hasil antara lain musyarakah, mudharabah,

dan rahn.

3. Produk dengan prinsip sewa antara lain ijarah.

Berikut adalah penjelasan singkat mengenai beberapa definisi produk perbankan syariah yang digunakan dalam penelitian ini:

a. Al-Musyarakah : Pembiayaan berdasarkan akad kerja sama antara dua

pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.

b. Al-Mudharabah : Akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak

pertama (shahibul mal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya sebagai pengelola. Dana keuntungan usaha bagi diantara mereka sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak.

c. Al-Murabahah : menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya

kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga lebih sebagai laba (Fatwa DSN-MUI).

(22)

persamaan dalam tabungan. Untuk itu piranti kebijakan konvensional seperti SBI, Giro Wajib Minimum dan intervensi rupiah tidak hanya mempengaruhi bank kovensional, tetapi juga mempengaruhi bank syariah. Begitu juga sebaliknya, piranti kebijakan syariah seperti SBIS/SWBI dan Giro Wajib Minimum Syariah juga mempengaruhi bank konvensional.

2.6. Pembiayaan dan Kredit Perbankan

Berdasarkan Undang-undang Perbankan Syariah No. 21/2008, pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa transaksi bagi hasil, sewa menyewa, jual beli atau pinjam meminjam berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank syariah dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan atau diberi fasilitas dana tersebut untuk mengembalikan dana tersebut dalam jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan atau bagi hasil.

Antonio (2001) menjelaskan bahwa pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok dari bank, yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan deficit unit. Menurut sifat penggunaannya, pembiayaan di bagi menjadi dua hal:

a. Pembiayaan Konsumtif, yaitu pembiayaan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, yang akan habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan.

(23)

keperluannya, pembiayaan produktif dapat dibagi menjadi dua hal, yaitu pembiayaan modal kerja dan pembiayaan investasi.

Pada pembiayaan modal kerja, terdapat perbedaan antara sistem yang dipakai pada bank syariah dan konvensional. Bank konvensonal memberikan kredit modal kerja tersebut dengan cara memberikan pinjaman sejumlah uang yang dibutuhkan untuk mendanai seluruh kebutuhan yang merupakan kombinasi dari komponen-komponen modal kerja tersebut, baik untuk keperluan produksi maupun perdagangan dalam waktu tertentu.

Sedangkan pada bank syariah, dalam memenuhi seluruh kebutuhan untuk mendanai modal kerja bukan dengan meminjamkan uang, tetapi dengan menjalin hubungan partnership dengan nasabah, dimana bank bertindak sebagai penyandang dana (shahibul maal) dan nasabah sebagai (mudharib) atau biasa dikenal dengan istilah mudharabah atau trust financing.

Berdasarkan Undang-undang No.7 Tahun 1992 tentang perbankan menyatakan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain, yang mewajibkan pihak pinjam meminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan sejumlah bunga imbalan atau pembagian hasil keuntungan. Kredit perbankan dapat diklasifikasikan berdasarkan berdasarkan beberapa kriteria yaitu:

a. Berdasarkan jangka waktunya, yaitu kredit jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.

b. Berdasarkan tujuan penggunaan dananya, yaitu kredit modal kerja, kredit

(24)

c. Berdasarkan golongan atau segmentasinya, yaitu kredit di sektor UMKM

dan non-UMKM

2.7. Konsep Bunga dan Profit Loss Sharing

Suku bunga adalah salah satu komponen utama dalam kebijakan ekonomi konvensional yang berarti biaya yang harus dibayarkan oleh peminjam atas pinjaman yang diterima dan merupakan imbalan bagi pemberi pinjaman atas investasinya. Sedangkan bagi hasil adalah komponen terpenting dalam sistem moneter syariah dan merupakan cerminan dari kinerja sektor riil. Dengan adanya sistem bagi hasil makan distribusi kekayaan dan pendapatan akan semakin merata sehingga sektor riil akan tumbuh (Ayuniyyah, 2010). Terdapat beberapa perbedaan yang sangat mendasar antara suku bunga dan bagi hasil, perbedaanya antara lain adalah sebagai berikut:

Tabel 2.3 Perbedaan Sistem Bunga dan Bagi Hasil

Bunga Bagi Hasil

Penentuan bunga dibuat pada akad dengan asumsi selalu untung

Penentuan besarnya rasio atau nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada keadaan untung dan rugi

Besarnya presentase berdasarkan jumlah modal yang dipinjamkan

Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh Pembayaran bunga tetap walaupun

proyek yang dijalankan nasabah mengalami kerugian

Bagi hasil tergantung pada keuntungan, jika rugi maka akan di tanggung

(25)

Pada bank syariah terdapat dua jenis keuntungan yang didapat dari pembiayaan yang diberikan, yaitu margin keuntungan dan bagi hasil. Margin keuntungan adalah persentase tertentu yang ditetapkan oleh perbankan syariah terhadap produk pembiayaan yang berbasis Natural Certainty Contract atau akad bisnis yang memberikan kepastian pembayaran, baik dari segi jumlah maupun waktu seperti murabahah, ijarah, salam dan istisna. Sedangkan bagi hasil adalah nisbah yang ditetapkan terhadap produk-produk pembiayaan yang berbasis

Natural Uncertainty Contract atau akad bisnis yang tidak memberikan kepastian

pendapatan (return), baik dari segi jumlah maupun waktunya seperti musyarakah

dan mudharabah (Karim, 2010).

2.8. Teori Keuangan Syariah

Konsep uang dalam ekonomi Islam berbeda dengan konsep uang dalam ekonomi konvensional. Dalam ekonomi Islam, uang bukanlah capital dan uang merupakan sesuatu yang bersifat flow concept. Hal ini sejalan dengan konsep yang diajukan oleh Fisher, yaitu:

M V = P T

dengan M adalah jumlah uang beredar, V adalah tingkat perputaran uang, P adalah tingkat harga barang dan T adalah jumlah uang yang diperdagangkan. Dari persamaan di atas dapat diketahui bahwa semakin cepat perputaran uang maka semakin besar pendapatan yang akan diperoleh.

(26)

diarahkan penggunaannya terhadap uang yang memiliki tujuan yang bersifat penting dan mendesak serta investasi yang produktif dan efisien (Karim, 2008).

Sistem keuangan Islam hadir untuk memberikan berbagai jasa keuangan yang berkontribusi secara pantas kepada pencapaian tujuan sosio-ekonomi yang utama yaitu kesejahteraan ekonomi, kesempatan kerja, keadilan, distribusi pendapatan yang wajar, dan stabilitas nilai uang (Algaoud, 2001). Dari segi perspektif Islam tujuan utama perbankan dan keuangan Islam adalah:

1. Penghapusan bunga dari semua transaksi keuangan dan pembaharuan

semua aktivitas bank agar sesuai dengan prinsip Islam.

2. Pencapaian distribusi pendapatan dan kekayaan yang wajar serta pembangunan ekonomi yang menguntungkan semua pihak yang terlibat

2.9. Penelitian Terdahulu

(27)

Selain itu, penelitian yang dilakukan Ayyuniah (2010) bahwa instrumen moneter konvensional memberikan guncangan yang lebih besar terhadap pertumbuhan sektor riil dibandingkan dengan instrumen moneter syariah karena proporsi instrumen konvensional yang masih mendominasi sampai dengan 97 persen dari share perbankan nasional Indonesia. Akan tetapi, instrumen moneter syariah memiliki karakteristik yang lebih stabil dibandingkan dengan variabel moneter konvensional karena lebih cepat menemukan titik kestabilan dibandingkan dengan instrumen moneter konvensional. Selain itu, dapat disimpulkan bahwa kebijakan moneter baik ekspansif maupun kontraktif dengan instrumen suku bunga SBI, tidak mampu mempengaruhi jumlah penawaran kredit investasi perbankan umum, hal ini menjadi bukti bahwa kebijakan moneter melalui jalur bank lending tidak berlangsung di Indonesia selama periode 2001-2007.

(28)

Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Oliver Wurzbug (2003) dengan studi kasus di negara Jerman menyatakan bahwa pinjaman yang diberikan bank memiliki hubungan yang positif terhadap suku bunga pinjaman dan modal, tetapi memiliki hubungan yang negatif dengan instrumen moneter. Dengan metode IRF, guncangan pada kebijakan moneter akan dengan cepat menurunkan pinjaman dari perbankan karena bank akan mengalami penurunan keuntungan dan modal.

2.10. Kerangka Pemikiran Konseptual

Gambar 2.3. Kerangka Pemikiran Konseptual

Hubungan antara permasalahan dan tujuan penelitian digambarkan dalam diagram kerangka pemikiran konseptual pada Gambar 2.3. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh instrumen moneter syariah dan konvensional

Penerapan

Kredit UMKM Pembiayaan UMKM

(29)

terhadap penyaluran dana ke sektor UMKM di Indonesia. Instrumen moneter yang dimaksud adalah SBI dan SBIS. Sedangkan penyaluran dana digambarkan dengan pembiayaan dari perbankan syariah dan kredit dari perbankan konvensional. Sebagai saluran transmisinya digunakan besarnya bagi hasil dan suku bunga kredit.

2.11. Hipotesis

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan sebelumnya, maka hipotesis penelitian dirumuskan sebagai berikut:

1. SBI dan SBIS berpengaruh negatif terhadap penyaluran dana ke sektor UMKM.

(30)

III. METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan adalah data sekunder berupa time series

bulanan periode Mei 2006 sampai dengan Desember 2010. Sumber data di dapat dari Statistik Ekonomi dan Perbankan Indonesia (SEKI), Statistik Perbankan Indonesia (SPI), Statistik Perbankan Syariah Bank Indonesia (SPSBI), Biro Pusat Statistik, dan Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah.

3.2 Variabel dan Definisi Operasional

Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. SBIS adalah bonus Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) yaitu bonus dari surat berharga berdasarkan prinsip syariah berjangka waktu pendek dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh bank Indonesia. Data yang dipakai adalah data Bonus Sertifikat Bank Indonesia Syariah dan Sertifikat Wadiah Bank Indonesia periode bulanan dari Mei 2006 sampai dengan Desember 2010.

2. SBI adalah suku bunga SBI yaitu suku bunga dari surat berharga dalam

mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. Data yang dipakai adalah suku bunga Sertifikat Bank Indonesia periode bulanan dari Mei 2006 sampai dengan Desember 2010.

3. PYD adalah pembiayaan UMKM perbankan syariah yaitu total

(31)

perbankan syariah periode bulanan dari Mei 2006 sampai dengan Desember 2010.

4. CRD adalah kredit UMKM bank umum yaitu total kredit yang diberikan oleh industri perbankan konvensional kepada sektor UMKM periode bulanan dari Mei 2006 sampai dengan Desember 2010.

5. IR adalah suku bunga rata-rata kredit yaitu suku bunga rata- rata bulanan

pada kredit modal kerja perbankan konvensional. Kredit modal kerja dipilih karena porsi pembiayaan kredit ini paling besar dibandingkan dengan kredit investasi atau konsumsi.

Untuk tingkat pengembalian atau return pada pembiayaan perbankan syariah diklasifikasikan menjadi dua, yaitu tingkat margin rata-rata dan PLS. Hal ini dilakukan karena porsi pembiayaan jual beli (akad murabahah) mencapai 56,7 persen sedangkan pembiayaan bagi hasil (akad musyarakah ditambah dengan

mudharabah) mencapai 35,3 persen. Selain itu, dengan adanya pengklasifikasian

ini dapat terlihat jalur pembiayaan mana yang lebih mempengaruhi pembiayaan UMKM di Indonesia melihat adanya perbedaan mendasar antara pembiayaan dengan akad jual beli dan bagi hasil.

6. MARGIN adalah tingkat margin rata-rata pembiayaan yaitu rata- rata

persentasi bagi hasil pembiayaan dengan akad murabahah pada industri perbankan syariah periode bulanan dari Mei 2006 sampai dengan Desember 2010.

(32)

3.3 Metode Penelitian

Permasalahan dalam studi ini akan dianalisis menggunakan Vector

Autoregressive (VAR) yang menggambarkan hubungan kausalitas antar variabel

dalam persamaan. Dalam pengolahan data penulis menggunakan perangkat lunak

Microsoft Excel 2007 dan Eviews 4.1.

3.3.1 Vector Autoregresisve (VAR)

Vector Autoregresisve (VAR) adalah salah satu model estimasi yang

digunakan kembangkan oleh Cristoper A. Sims pada tahun 1980. Sims menyatakan bahwa apabila terdapat hubungan yang simultan atau hubungan sebab akibat antar variabel yang diamati, semua variabel harus diperlakukan sama sehingga tidak lagi ada variabel endogen maupun variabel endogen, sehingga pada konsep VAR semua variabel adalah peubah endogen. VAR adalah model yang a-priori terhadap teori ekonomi namun sangat berguna dalam menentukan tingkat eksogenitas suatu variabel ekonomi dalam sebuah sistem ekonomi dimana terjadi saling ketergantungan antar variabel dalam ekonomi. Model VAR juga menjadi dasar dalam pengembangan metode kointegrasi johansen yang mampu menjelaskan dengan baik perilaku variabel dalam perekonomian. Model VAR secara matematis dapat dituliskan :

Dengan:

Zt : vektor dari variabel – variabel endogen sebanyak m

(33)

A1, ... , Ap dan B : matriks – matriks koefisien yang akan diestimasi

: vektor dari residual – residual yang secara kontemporer berkorelasi tetapi

tidak berkorelasi dengan nilai – nilai lag mereka sendiri dan juga tidak berkorelasi dengan seluruh variabel yang ada dalam sisi kanan persamaan di atas.

Berikut adalah beberapa keunggulan VAR dibandingkan dengan model lainnya adalah:

1. Model VAR mengembangkan model dalam suatu sistem yang kompleks

(multivariat), sehingga dapat menangkap hubungan keseluruhan variabel

dalam sistem.

2. Uji VAR yang bersifat multivariat bisa menghindari parameter yang bias

akibat tidak dimasukannya variabel yang relevan.

3. Dapat mendeteksi hubungan antar variabel dalam sistem persamaan dengan menjadikan seluruh variabel menjadi endogenus.

4. Metode VAR bebas dari berbagai batasan teori ekonomi yang sering muncul termasuk gejala perbedaan semu (spurious variabel endogeneity

dan exogeneity) di dalam model ekonometrik konvensional terutama

pada persamaan simultan sehingga menghindari penafsiran yang salah. 5. Dengan teknik VAR maka yang akan terpilih hanya variabel yang

relevan untuk disinkronisasi dengan teori yang ada. Sedangkan beberapa kelemahan VAR adalah:

1. Model VAR tidak dilandasi teori tentang hubungan antar variabel (model nonstruktural)

(34)

3. Pemilihan banyaknya lag dalam persamaan dapat menimbulkan

permasalahan.

4. Interpretasi koefisien yang didapat berdasarkan model VAR tidak mudah. (Malahayati, 2011)

3.3.2 Vector Error Correction Model (VECM)

Vector Error Correction Model dilakukan jika terdapat variable yang

tidak stasioner pada first different. VECM adalah bentuk VAR yang terekstriksi. Restriksi tambahan ini harus diberikan karena keberadaan bentuk data yang tidak stasioner namun terkointegrasi. Dengan menggunakan metode VECM maka akan didapatkan dampak jangka panjang dan jangka pendek. Selain itu pendugaan dengan VECM digunakan untuk melihat tingkat perubahan tertentu dengan analisis Impulse Respond Function dan Variance Decomposition. Berikut adalah tahapan yang dilakukan dalam penggunaan metode VAR dan VECM, secara lebih ringkas digambarkan dalam gambar dibawah ini:

Sumber: Nugraheni, 2011

(35)

3.3.3 Uji Stasioneritas Data

Tahap pertama yang dilakukan dalam mengolah data time series adalah dengan menguji stasioneritas atau unit root test. Data yang stasioner akan mempunyai kecenderungan untuk mendekati nilai rata-rata dan berfluktuasi di sekitar nilai rata-ratanya atau memiliki ragam yang konstan. Data yang tidak stasioner akan menghasilkan regresi yang lancung (spurious regression) yaitu regresi yang menggambarkan hubungan dua variabel atau lebih yang nampaknya signifikan secara statistik padahal kenyataannya tidak atau tidak sebesar regresi yang dihasilkan tersebut. Jika data stasioner maka metode yang dipilih adalah metode VAR dan jika data tidak stasioner maka menggunakan metode VECM.

Pengujian stasioneritas dilakukan dengan menggunakan uji akar menggunakan Augmented Dickey Fuller (ADF) Test. Misalkan model persamaan

time series sebagai berikut:

Yt= ρ yt-1 + εt (3.1)

dengan mengurangkan kedua sisi persamaan tersebut dengan yt-1 maka akan

didapatkan persamaan,

Δyt =  yt-1 + εt (3.2)

(36)

3.3.4 Pemilihan Lag Optimum

Dalam VAR penentuan lag optimal sangat penting karena penentuan lag optimal berguna untuk menghilangkan masalah autokorelasi dalam sebuah sistem VAR. Penentuan lag optimal juga berguna untuk menunjukkan berapa lama reaksi suatu variabel terhadap variabel lainnya (Gustiani, 2010). Pemilihan Ordo atau lag dilakukan berdasarkan kriteria Akaike Information Criterion (AIC), Schwarz

Information Criterion (SC), dan Hannan Quinnon (HQ). Lag yang dipilih adalah

model dengan nilai AIC dan SC terkecil dan nilai HQ terbesar. Lag yang dipilih pada penelitian ini berdasarkan kriteria dengan SC terkecil.

SC = AIC (q) + (q/T)( logT-1) (3.3)

dengan q adalah jumlah variabel, T adalah jumlah observasi dan AIC adalah

Akaike Information Criteria dengan perhitungan,

AIC= log

i2 N

+ 2k / N (3.4)

dengan

i2 adalah jumlah residual kuadrat sedangkan N dan k adalah sampel

jumlah variabel dari jumlah varibel yang beroperasi dalam persamaan tersebut.

3.3.5 Uji Kointegrasi

(37)

menjadi stasioner. Adanya hubungan kointegrasi dalam sebuah sistem persamaan menandakan bahwa dalam sistem tersebut terdapat error correction model yang menggambarkan adanya dinamisasi dalam jangka pendek secara konsisten dengan hubungan jangka panjangnya.

3.3.6 Uji Stabilitas

Stabilitas dalam sistem VAR perlu diperhatikan dalam penentuan lag. Stabilitas VAR dapat dilihat dari nilai inverse roots karakteristik AR polinomialnya. Suatu sistem VAR dikatakan stabil apabila seluruh roots pada tabel AR roots-nya memiliki modulus lebih kecil dari satu dan semuanya terletak di dalam unit circle.

3.3.7 Impulse Respond Function (IRF) dan Forecast Error Variance

Decomposition (FEVD)

Impulse Respond Funtion adalah suatu metode yang digunakan untuk

melihat respon suatu variabel akibat adanya guncangan atau shock pada suatu variabel endogen Metode ini juga menunjukan arah hubungan dan besarnya pengaruh suatu variabel endogen terhadap berbagai variabel endogen lainnya yang ada dalam suatu sistem dinamis VAR.

Forecast Error Variance Decomposition adalah metode yang digunakan

(38)

kekuatan dan kelebihan masing-masing variabel dalam mempengaruhi variabel yang lainnya dalam kurun waktu yang panjang.

3.4 Model Penelitian

Model yang digunakan dalam penelitiaan ini dalam bentuk matriks sebagai berikut:

Xt = t + ∑kt=1 At + Xt=1 + εt (3.5) Dimana Xt adalah vektor dari variabel endogen dengan dimensi (n x 1), t adalah vektor dari variabel endogen, termasuk konstanta dan trend, At adalah koefisien matriks dengan dimensi (n x n), dan εt adalah vektor dari residual.

Model VECM yang akan digunakan dalam penelitian ini dalam bentuk matriks sebagai berikut :

ΔXt-1= t + πXt-1 + ∑kt=1 Гt ΔXt-1 + Xt=1 + εt (3.6)

Dimana π dan Г merupakan fungsi dari At pada persamaan diatas. Matriks

π dapat dipecah menjadi dua matriks, yaitu dan β dengan dimensi (n x n).

π= + βα, dimana merupakan matriks penyesuaian, β merupakan vektor

kointegrasi, dan α adalah rank kointegrasi.

(39)

Model I dan II dijabarkan dalam tabel sebagai berikut :

Tabel 3.1 Model Penelitian

Model Penjabaran

I CRDt= f ( IRt , SBIt ,SBISt )

(40)

IV. GAMBARAN UMUM

Pada penelitian ini instrumen moneter yang digunakan diklasifikasikan menjadi dua, yaitu instrumen moneter konvensional dan syariah. Instrumen moneter konvensional dicerminkan melalui besarnya suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI), sedangkan Instrumen moneter syariah dicerminkan melalui bonus Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS).

Penyaluran dana dari perbankan ke sektor UMKM dicerminkan melalui total kredit UMKM dari perbankan konvensional dan pembiayaan UMKM dari perbankan syariah. Sedangkan suku bunga kredit, presentase profit dan loss

sharing, dan presentase margin adalah variabel dalam proses transmisi moneter

melalui jalur kredit.

4.1. Sertifikat Bank Indonesia dan Sertifikat Bank Indonesia Syariah

Sertifikat Bank Indonesia (SBI) adalah surat berharga yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek (1-3 bulan) dengan sistem diskonto atau bunga. SBI digunakan untuk menjaga kestabilan rupiah dimana dengan penjualan SBI Bank Indonesia dapat menyerap kelebihan uang primer yang beredar. Sejak Juli 2005, Bank Indonesia melakukan perhitungan suku bunga setifikat Bank Indonesia dengan cara mengumumkan target suku bunga SBI yang diinginkan Bank Indonesia untuk pelelangan pada masa periode tertentu.

(41)

pesat tentuna dilandasai dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. Dengan perkembangan tersebut maka pengendalian moneter oleh Bank Indonesia melalui Operasi Pasar Terbuka (OPT) yang selama ini melalui bank-bank konvensional dapat diperluas melalui bank-bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah (Bank Indonesia, 2011).

Instrumen kebijakan moneter yang hadir pertama kali di Indonesia setelah dikeluarkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan syariah sebagai instrumen penyerap likuiditas layaknya bank konvensional adalah Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI). Bedasarkan peraturan Bank Indonesia Nomor 6/7/PBI/2004, SWBI adalah penitipan dana jangka pendek dengan prinsip

wadiah yang disediakan Bank Indonesia untuk bank syariah dan unit usaha

syariah sebagai bukti penitipan dana wadiah.

Akan tetapi, bank syariah mengeluh akan return dari SWBI yang nilainya lebih rendah dari Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Hal ini disebabkan karena pemberian bonus atas penitipan dana wadiah adalah kewenangan Bank Indonesia yang besarnya sesuai dengan kebijakan dan anggaran dana yang dimiliki oleh Bank Indonesia. Karena hal itulah Bank Indonesia mengeluarkan peraturan kembali mengenai instrumen penyerap likuiditas yang berdasarkan syariah pengganti SWBI agar lebih menguntungkan dalam hal return yang didapatkan bank syariah.

(42)

moneter yang dilakukan berdasarkan Prinsip Syariah. SBIS yang diterbitkan

menggunakan akad Ju’alah, yaitu janji atau komitmen (iltizam) untuk memberikan

imbalan tertentu (’iwadhju’l) atas pencapaian hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu pekerjaan.

Gambar 4.1 menunjukan besarnya return SBI dan SBIS pada periode penelitian. Dapat dilihat pada gambar bahwa sebelum tahun 2009 return SBI selalu lebih tinggi dibandingkan SBIS, tetapi sejak adanya peraturan Bank Indonesia Nomor 10/11/PBI/2008 yang mulai diterapkan sejak Maret 2008 tentang penerapan SBIS maka return SBIS dan SBI tidak jauh berbeda dan mengalami penyesuaian.

Sumber: Statistik Ekonomi dan Perbankan Indonesia (2011)

Gambar 4.1. Perkembangan SBI dan SBIS periode Mei 2006 - Desember 2010

4.2 Penyaluran Dana Usaha Mikro Kecil dan Menengah ( UMKM )

(43)

4.2.1. Kredit UMKM dari Bank Konvensional

Kredit UMKM adalah semua penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu dalam rupiah dan valuta asing, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank pelapor dengan bank dan pihak ketiga bukan bank yang memenuhi kriteria usaha sesuai undang-undang tentang UMKM yang berlaku (Bank Indonesia, 2011).

Sumber: Statistik Perbankan Indonesia (2010)

Gambar 4.2. Perbandingan Kredit UMKM dan Non-UMKM Bank Konvensional Periode Desember 2006- Desember 2010

Gambar 4.2 menunjukan bahwa kredit UMKM yang disalurkan bank konvensional memiliki tren yang terus meningkat dan porsi kredit UMKM lebih besar dibandingkan dengan non-UMKM. Tercatat pada Desember 2010, porsi kredit UMKM yang disalurkan sebesar 52,48 persen dari total kredit atau sekitar Rp 926.782.000.000.

4.2.2. Pembiayaan UMKM dari Bank Syariah

(44)

Gambar 4.3 menjelaskan bahwa pembiayaan bank syariah terhadap sektor UMKM memiliki tren yang terus meningkat dan porsi pembiayaan UMKM lebih besardibandingkan dengan pembiayaan non-UMKM. Tercatat pada bulan Desember 2010, pembiayaan UMKM yang disalurkan oleh perbankan syariah mencapai 77,10 persen dari total pembiayaan atau sekitar Rp 82.831.000.000.

Sumber: Statistik Perbankan Syariah Bank Indonesia (2010)

Gambar 4.3. Perbandingan Pembiayaan UMKM dan Non-UMKM Bank Syariah

4.2.3 Perbandingan Kredit dan Pembiayaan UMKM

(45)

Sumber : Statistik Perbankan Indonesia dan Perbankan Syariah Indonesia (2010) Gambar 4.4 Perbandingan Jumlah Penyaluran Dana Ke Sektor UMKM Bank

Syariah dan Konvensional Periode Mei 2006- Desember 2010

(46)

Sumber: Statistik Perbankan Indonesia dan Perbankan Syariah Indonesia (2010) Gambar 4.5 Perbandingan Porsi Penyaluran Dana Ke Sektor UMKM Bank

Konvensional dan Syariah Periode Mei 2006- Desember 2010

4.3 Suku Bunga Kredit dan Bagi Hasil

Dalam penyaluran pembiayaan UMKM faktor suku bunga dan bagi hasil tentunya menjadi pertimbangan para bankir dalam menentukan besar kecilnya dana yang akan diberikan. Gambar 4.6 menjelaskan bahwa terjadi kompetisi antara bank konvensional dan bank syariah dalam penentuan besaran

return karena adanya fluktuasi pada besaran suku bunga bank konvensional dan

bagi hasil bank syariah. Selain itu selisih diantara kedanya tidak terlalu jauh menunjukan adangya persaingan dalam menyalurkan kredit atau pembiayaan.

Sumber: Statistik Perbankan Indonesia dan Perbankan Syariah Indonesia (2010) Gambar 4.6 Perbandingan Suku Bunga Bank Konvensional dan Bagi Hasil Bank

Syariah Periode Mei 2006- Desember 2010

(47)
(48)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Uji Kestasioneritasan Data

Uji stasioneritas data dilakukan pada setiap variabel yang digunakan pada model. Langkah ini digunakan untuk menghindari masalah regresi lancung

(spurious regression) karena data yang digunakan pada penelitian ini adalah data

time series. Data time series umumnya tidak stasioner karena mengandung unit

root pada tingkat level. Uji stasioneritas ini dilakukan pada tingkat level dan first

difference dengan menggunakan Augmented Dickey Fuller (ADF) test. Jika nilai

ADF test lebih kecil dari nilai kritisnya, maka data tersebut stasioner. Nilai kritis yang dipakai pada penelitian ini adalah 5 persen.

Tabel 5.1. Hasil Uji Stasioneritas

Variabel Level First Diffrence

ADF-Statistik t-statistik (5%) ADF-Statistik t-statistik (5%)

CRD 1.432862 -2.915522 -6.658755** -2.916566

IR -2.019345 -2.916566 -3.594928** -2.916566

PYD -0.008691 -2.915522 -4.891885** -2.916566

MARGIN -3.274322** -2.915522 -6.884884 -2.918778

PLS -2.013306 -2.918778 -11.79131** -2.917650

SBI -2.502072 -2.916566 -3.833385** -2.916566

SBIS -3.017490 -2.915522 -6.070852** -2.917650

Keterangan : ** = Signifikan pada nyata 5 persen

(49)

5.2 Hasil Uji Kausalitas Granger

Berdasarkan hasil Uji Kausalitas Granger terdapat beberapa hubungan antara variabel, tetapi tidak terdapat hubungan sebab akibat diantara variabel. Pada Model I, kredit UMKM memengaruhi suku bunga kredit, dan suku bunga kredit memengaruhi besarnya suku bunga SBI dan bonus SBIS. Sedangkan pada Model II, profit dan loss sharing memengaruhi besarnya suku bunga SBI dan pembiyaan UMKM memengaruhi besarnya margin pembiayaan.

Hasil Uji Kausalitas Granger dirangkum dalam Tabel 5.2 berikut :

Tabel 5.2. Hasil Uji Kausalitas Granger

Hipotesis Probability Kesimpulan

MODEL I

CRD does not Granger Cause IR 0.0484* CRD IR IR does not Granger Cause SBIS 0.0631** IR SBIS IR does not Granger Cause SBI 0.0071* IR SBI

MODEL II

PLS does not Granger Cause SBI 0.0711* PLS SBI PYD does not Granger Cause MARGIN 0.0880** PYD MARGIN

5.3 Penetapan Lag Optimum

Penetapan lag optimum bertujuan untuk menunjukan berapa lama reaksi suatu variabel terhadap variabel lainnya serta menghilangkan masalah autokorelasi dalam sebuah sistem VAR (Firdaus, 2011). Pengujian panjang lag ditentukan berdasarkan kriteia Akaike Information Criterion (AIC)dan Schwarz

Criterion (SC) yang terkecil. Pada penelitian ini model VAR diestimasi dengan

(50)

optimum yang terdapat pada Tabel 5.3 bahwa Model I dan Model II optimum pada lag kedua.

Tabel 5.3. Hasil Pengujian Lag Optimum

Lag AIC

Model I Model II

0 34.59488 35.72875

1 23.94378 29.29504

2 23.57957* 29.18349*

Keterangan : * = nilai AIC terkecil

5.4 Uji Stabilitas VAR

Dari hasil uji stabilitas VAR, dapat disimpulkan bahwa sistem VAR bersifat stabil karena root yang diuji memiliki kisaran kurang dari satu, yatu berkisar antara 0.398319- 0.759231 pada Model I dan berkisar antara 0.251941 -0.966520 pada Model II.

Tabel 5.4. Hasil Uji Stabilitas VAR pada Model I

Root Modulus

0.727885 - 0.215907i 0.759231

0.727885 + 0.215907i 0.759231

0.034432 - 0.584167i 0.585181

0.034432 + 0.584167i 0.585181

-0.196964 - 0.464653i 0.504675

-0.196964 + 0.464653i 0.504675

-0.068859 - 0.392321i 0.398319

-0.068859 + 0.392321i 0.398319

(51)

Tabel 5.5. Hasil Uji Stabilitas VAR pada Model II

Root Modulus

0.966520 0.966520

0.837030 0.837030

0.775247 - 0.230579i 0.808810

0.775247 + 0.230579i 0.808810

0.407425 - 0.456512i 0.611881

0.407425 + 0.456512i 0.611881

-0.46734 0.467340

0.147684 - 0.389766i 0.416807

0.147684 + 0.389766i 0.416807

0.251941 0.251941

5.5 Uji Kointegrasi Johansen

Langkah yang dilakukan selanjutnya adalah uji kointegrasi. Uji Kointegrasi dilakukan untuk menentukan apakah variabel-variabel yang tidak stasioner pada level terkointegrasi atau tidak. Uji Kointegrasi mengimplikasikan bahwa dalam sistem persamaan mengimplikasikan bahwa dalam sistem tersebut terdapat error correction model yang menggambarkan adanya dinamisasi jangka pendek secara konsisten dengan hubungan jangka panjangnya. Koitegrasi mempresentasikan hubungan keseimbangan jangka panjang (Firdaus, 2011). Uji kointegrasi dalam penelitian ini menggunakan pendekatan Johansen dengan membandingkan trace statistic dengan nilai kritis sebesar 5 persen. Jika nilai

trace statistik lebih besar dibandingkan nilai kritisnya maka terdapat kointegrasi

(52)

Tabel 5.6. Hasil Uji Kointegrasi Johansen pada Model I

Hipotesa Trace Statistic 5 % Critical Value

None* 67.63257 47.85613

At most 1 27.02358 29.79707

At most 2 12.60481 15.49471

At most 3 0.884772 3.841466

Tabel 5.5. menunjukan bahwa terdapat minimal satu rank kointegrasi pada taraf nyata lima persen, yang berarti terdapat minimal satu persamaan kointegrasi yang mampu menerangkan keseluruhan Model I.

Tabel 5.7. Hasil Uji Kointegrasi Johansen pada Model II

Hipotesa Trace Statistic 5 % Critical Value

None* 71.32552 69.81889

At most 1 38.78936 47.85613

At most 2 18.60038 29.79707

At most 3 5.809156 15.49471

At most 4 0.422953 3.841466

Tabel 5.6. menunjukan bahwa terdapat minimal satu rank kointegrasi pada taraf nyata lima persen, yang berarti terdapat minimal satu persamaan kointegrasi yang mampu menerangkan keseluruhan Model II.

Tabel 5.8. Rangkuman Hasil Uji Kointegrasi

Model Rank Kesimpulan

I 1 Terkointegrasi, model VECM

(53)

5.6 Hasil Estimasi VECM

Dari hasil uji kointegrasi sebelumnya terbukti bahwa terdapat kointegrasi pada kedua model. Untuk itu digunakanlah model VECM untuk menganalisis responsivitas kredit dan pembiayaan UMKM terhadap instrumen moneter. Dengan analisis VECM dapat diketahui hubungan jangka pendek dan jangka panjang antar variabel. Dalam penelitian ini, digunakan signifikansi dengan taraf nyata lima persen.

Tabel 5.9. Hasil Estimasi VECM Model I

Jangka Panjang

Variabel Koefisien Tanda

IR(-1) 956664.44 (-) minus

SBIS(-1) 235707.2** (-) minus

SBI(-1) 454426.8** (-) minus

Coef 6946859

Keterangan: **= signifikan pada taraf nyata 5 persen

Dari hasil uji estimasi VECM pada Model I dapat dijelaskan bahwa pada jangka pendek tidak ada variabel yang signifikan mempengaruhi kredit UMKM. Hal ini terjadi karena model dalam penelitian ini adalah model transmisi moneter sehingga suatu variabel membutuhkan waktu atau lag untuk bereaksi pada variabel lain sehingga umumnya reaksi suatu variabel terhadap variabel lainnya terjadi dalam jangka panjang.

(54)

menjanjikan return yang tinggi. Hal inilah yang menyebabkan jumlah dana kredit UMKM yang disalurkan akan menurun.

Di samping itu, terdapat satu variabel yang tidak signifikan mempengaruhi kredit UMKM yaitu suku bunga kredit. Hal ini terjadi karena struktur kredit UMKM di Indonesia masih didominasi oleh penawarannya yang lebih besar dari permintaannya. Jika permintaannya sangat kecil maka suku bunga tidaklah menjadi variabel utama dalam penyaluran kredit UMKM. Permintaan yang rendah tercermin dari jumlah UMKM yang menerima sumber dana dari perbankan. Pada tahn 2010 UMKM yang menerima dana perbankan baru mencapai 21,35 persen dan 49,18 persen menyatakan tidak berminat mendapatkan pembiayaan dari perbankan. Selain itu, berdasarkan studi sebelumnya penawaran kredit UMKM dari perbankan dipengaruhi oleh faktor lain seperti rentabilitas bank, tingkat profitabilitas bank dan keadaan makro ekonomi.

Tabel 5.10. Hasil Estimasi VECM Model II Jangka Panjang

Variabel Koefisien Tanda

PLS(-1) 190.5207 - (minus)

MARGIN(-1) 116.4096** + (positif)

SBI(-1) 1102.075** + (positif)

SBIS(-1) 1092.085** - (minus)

C 3468.55

Keterangan: **= signifikan pada taraf nyata 5 persen

(55)

pada variabel lain sehingga umumnya reaksi suatu variabel terhadap variabel lainnya terjadi dalam jangka panjang.

Dari hasil estimasi jangka panjang, suku bunga SBI, bonus SBIS dan tingkat margin memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pembiayaan UMKM melalui bank syariah. Margin memiliki pengaruh yang positif terhadap pembiayaan UMKM, apabila tingkat return atau margin keuntungan meningkat maka perbankan akan mendapat keuntungan yang lebih besar dari pembiayaan sehingga akan menaikan jumlah pembiayaan yang disalurkan.

Lain halnya dengan variabel bonus SBIS. Dari hasil estimasi terdapat hubungan negatif antara bonus SBIS dan pembiayaan UMKM. Hal ini terjadi karena apabila terjadi kenaikan bonus SBIS maka perbankan syariah akan lebih tertarik menyalurkan dana dengan pembelian SBIS karena memberikan return

yang lebih tinggi dan menghadapi resiko yang lebih rendah dibandingkan dengan menyalurkan pembiayaan ke sektor UMKM.

Selain itu, variabel suku bunga SBI memiliki hubungan yang positif terhadap penyaluran pembiayaan UMKM dari perbankan syariah. Hal ini terjadi karena ketika terjadi kenaikan suku bunga SBI maka bank konvensional akan mengalihkan penyaluran dananya ke SBI sehingga kredit yang mereka tawarkan akan menurun. Kondisi ini dimanfaatkan oleh perbankan syariah dengan memberikan pembiayaan UMKM yang lebih besar karena bank konvensional sebagai saingannya sedang menurunkan penyaluran kreditnya.

(56)

dibandingkan dengan pembiayaan dengan akad jual beli. Porsi pembiayaan dengan akad bagi hasil (musyarakah dan mudharabah) hanya sebesar 35,29 persen dari pembiayaan total. Sedangkan porsi pembiayaan dengan akad jual beli

(murabahah ) mencapai 55,76 persen.

5.7 Simulasi Impulse Response Function (IRF)

Simulasi ini digunakan untuk melihat respon suatu variabel apabila ada guncangan pada variabel lain serta melihat pengaruh lamanya guncangan suatu peubah endogen yang diakibatkan oleh shock atau guncangan peubah endogen lain. Berikut adalah hasil simulasi IRF untuk masing-masing model:

a. Model I

Gambar 5.1 Respon Kredit UMKM terhadap Guncangan SBIS dan SBI

Guncangan pada suku bunga SBI sebesar satu standar deviasi belum di respon oleh kredit UMKM pada periode pertama. Pada periode kedua, guncangan tersebut direspon positif dengan kenaikan kredit UMKM sebesar 337 juta Rupiah. Akan tetapi kredit terus mengalami fluktuasi sampai dengan periode kelima. Guncangan pada SBI mulai direspon negatif pada periode keenam dan

-5,000 -4,000 -3,000 -2,000 -1,000 0 1,000

5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

SBIS SBI

(57)

terjadi penurunan terus menerus sampai dengan periode ke enam belas. Penurunan yang terjadi mencapai 1,7 juta miliar dari kondisi awal dan kredit akan stabil kembali pada periode ke 45. Akan tetapi, ketika terjadi guncangan pada bonus SBIS maka kredit UMKM yang disalurkan akan langsung turun pada periode kedua secara drastis dan penurunanya mencapai 4,1 miliar juta Rupiah dan akan stabil pada periode ke 47.

Disisi lain, ketika terjadi guncangan pada SBI maka suku bunga kredit baru akan memberikan respon negatif pada periode kedua dan pada akhirnya memberikan respon positif dimulai dari periode ketiga dan seterusnya. Kenaikan suku bunga kredit tertinggi mencapai angka 0.0579 persen dan akan stabil kembali pada periode ke 47. Tetapi apabila terjadi guncangan pada SBIS respon suku bunga kredit cenderung langsung mengalami penurunan dari periode kedua dan terus menurun hingga mencapai penurunan tertinggi sebesar 0.123 persen dan akan stabil pada periode ke 50.

Gambar 5.2 Respon Suku Bunga Kredit terhadap Guncangan SBIS dan SBI

-.16 -.12 -.08 -.04 .00 .04 .08

5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

SBIS SBI

(58)

b. Model II

Terlihat pada Gambar 5.3. guncangan pada suku bunga SBI sebesar satu standar deviasi belum direspon oleh pembiayaan UMKM pada periode pertama. Guncangan SBI direspon negatif pada periode kedua. Awalnya pembiayaan UMKM mengalami penurunan, tetapi setelah periode ketiga pembiayaan UMKM terus mengalami kenaikan hingga mencapai 86 juta Rupiah dan akan stabil kembali pada periode ke 27. Disisi lain, ketika terjadi guncangan pada SBIS sebesar satu standar deviasi tidak langsung direspon oleh pembiayaan UMKM pada periode pertama. Respon dimulai pada periode kedua dengan adanya penurunan pembiayaan UMKM. Penurunan pembiayaan UMKM terbesar terjadi pada periode kelima dengan penurunan mencapai 165 juta Rupiah dan juga stabil pada periode ke 27.

Gambar 5.3 Respon Pembiyaan UMKM terhadap Guncangan SBIS dan SBI

Dapat dilihat pada gambar 5.4 guncangan pada SBI sebesar satu satuan standar deviasi direspon dengan sangat fluktuatif oleh PLS. Penurunan PLS dapat mencapai 2 persen. Sedangkan guncangan pada SBIS langsung direspon

-200 -150 -100 -50 0 50 100

5 10 15 20 25 30 35 40

SBI SBIS

(59)

oleh bagi hasil pembiayaan pada periode pertama. Guncangan pada SBIS juga direspon cukup fluktuatif oleh PLS, sehingga pada akhirnya PLS mengalami penurunan sekitar 0,01 persen dan akan stabil pada periode ke 30.

Gambar 5.4 Respon Profit dan Loss Sharing terhadap Guncangan SBIS dan SBI

Dapat dilihat pada Gambar 5.5 guncangan pada SBI sebesar satu satuan standar deviasi tidak langsung direspon oleh margin murabahah pada periode pertama, guncangan pada SBI menyebabkan margin murabahah mengalami penurunan hingga mencapai 2,2 persen. Sedangkan guncangan pada SBIS justru direspon positif oleh margin murabahah dengan adanya kenaikan margin sampai dengan lima persen.

Gambar 5.5. Respon Margin Keuntungan terhadap Guncangan SBIS dan SBI

(60)

Dari hasil simulasi Impulse Response Function pada Model I dan Model II maka dapat disimpulkan beberapa hal, antara lain:

1. Terlihat dari hasil simulasi pada Model I dan Model II guncangan moneter akan berpengaruh dengan cepat pada pembiayaan UMKM dari perbankan syariah dan kredit UMKM dari perbankan konvensional. Akan tetapi, saat terjadi guncangan moneter pembiayaan UMKM dari perbankan syariah akan lebih cepat stabil dibandingkan dengan kredit UMKM dari perbankan konvensional. Pembiayaan UMKM dari perbankan syariah stabil pada peeriode ke 27 dan kredit UMKM stabil pada periode ke 45. Hal ini mengindikasikan daya tahan perbankan syariah yang baik ketika adanya guncangan moneter karena seluruh pembiayaan dan produk perbankan syariah berbasiskan sektor riil.

2. Terlihat dari hasil simulasi pada Model I dan Model II guncangan

moneter akan berpengaruh juga kepada return penyaluran dana perbankan, yaitu suku bunga kredit pada perbankan konvensional, profit

loss sharing serta margin murabahah pada perbankan syariah. Saat terjadi

guncangan moneter maka return dari perbankan syariah (PLS dan Margin) lebih cepat stabil dibandingkan dengan suku bunga kredit. Hal ini terjadi karena jumlah pembiayaan UMKM dari perbankan syariah dari masih jauh lebih kecil dari perbankan konvensional sehingga apabila terjadi guncangan moneter maka perbankan syariah akan lebih cepat mengalami penyesuaian.

3. Dari hasil simulasi pada Model II, terdapat perbedaan respon ketika

(61)

moneter direspon cukup fluktuatif oleh PLS dibandingkan dengan respon Margin yang relatif stabil. Hal ini terjadi karena penentuan besaran margin

murabahah adalah tetap, sedangkan penentuan besaran PLS tergantung

dari kondisi ekonomi. Maka dari itu ketika ada guncangan ekonomi yang dicerminkan oleh guncangan moneter maka pengaruhnya terhadap variabel PLS akan lebih besar dibandingkan dengan variabel Margin.

5.8 Forecast Error Variance Decomposition (FEVD)

a. Pembiayaan UMKM Bank Syariah

(62)

Gambar 5.6 Hasil FEDV pada Pembiayaan UMKM Bank Syariah

b. Kredit UMKM Bank Konvensional

Dari hasil pengujian FEDV pada Model II kredit UMKM dari perbankan konvensional dipengaruhi oleh kredit itu sendiri. Faktor lain yang mempengaruhi kredit UMKM adalah suku bunga kredit dengan porsi 12,5 persen, SBIS dengan porsi 13 persen dan SBI dengan porsi 0.35 persen. Dalam jangka panjang pengaruh SBIS semakin signifikan tetapi lain halnya dengan SBI. Hal ini mengindikasikan bahwa peran SBI semakin lama semakin tidak efektif dalam transmisi moneter melalui jalur kredit.

(63)

Gambar

Gambar 2.1. Alur Penerapan Sistem Moneter Ganda di Indonesia
Tabel 2.3 Perbedaan Sistem Bunga dan Bagi Hasil
Gambar 2.3.  Kerangka Pemikiran Konseptual
Gambar 3.1. Tahapan Analisis VAR dan VECM
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kelas PBL lebih dominan mendapatkan sumber informasi tentang konsep-konsep virus (ciri-ciri, cara reproduksi, pencegahan serta penularan dan pengobatan) dari

PENGARUH PENAMBAHAN BIODIESEL PADA BAHAN BAKAR SOLAR DAN PENERAPAN PIPA BERSIRIP PERSEGI DI DALAM UPPER TANK RADIATOR TERHADAP KONSUMSI BAHAN BAKAR PADA UJI JALAN

2) Faktor internal dan eksternal yang berpengaruh pada pengembangan agroindustri keripik pisang di Desa Hegarmanah Kecamatan Cidolog Kabupaten Ciamis terdiri dari kekuatan,

 Peserta didik yang belum mencapai KKM diberi kegiatan remedial yang dilakukan dalam bentuk pemberian tugas “Berikan contoh bencana alam di Indonesia yang terjadi

Kecamatan Pedan yang memiliki Pasar Pedan sebagai pusat ekonomi masyarakat akan tetapi saat ini pasar pedan yang sudah di revitalisasi menjadi pasar modern oleh investor

Informasi keuangan di atas diambil dari laporan keuangan PT Bank China Construction Bank Indonesia Tbk (“Bank”) tanggal 31 Desember 2019 dan untuk tahun yang berakhir pada tanggal

Pengolahan Data dan Analisis Data Melakukan proses Pengolahan Data dan Analisis Data berdasarkan lingkaran referensi kebulatan (Lingkaran luar minimum, Lingkaran dalam

yang menyatakan bahwa relevansi laba akan menurun dan sebaliknya relevansi nilai buku ekuitas akan meningkat ketika perusahaan melakukan manajemen laba melalui short-term