• Tidak ada hasil yang ditemukan

Characteristics of Soil and Land Properties for Cassava (Manihot spp.) Land Suitability in Lampung Province

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Characteristics of Soil and Land Properties for Cassava (Manihot spp.) Land Suitability in Lampung Province"

Copied!
193
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK TANAH DAN LAHAN UNTUK

KESESUAIAN LAHAN UBIKAYU (

Manihot spp

.)

DI PROVINSI LAMPUNG

Muhamad Adi Nurwansyah A14061926

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRACT

MUHAMAD ADI NURWANSYAH. Characteristics of Soil and Land Properties for Cassava (Manihot spp.) Land Suitability in Lampung Province. Guided by

WIDIATMAKA and ATANG SUTANDI.

Cassava is a crop with another name cassava. Cassava comes from

Americas, exactly from Brasil. This plant can be utilized for food, feed and basic materials industries. In general, This species have the potential yield and high starch content, so it is considered the most suitable raw material for bioethanol. The quality of this plant used as raw material for bioethanol can be seen from the production of tubers and starch, so the growing requirements must be considered in order the productivity of cassava plants generated the optimum.

This study aims to make the criteria of land suitability for cassava as raw material for bioethanol in Lampung province. The establishment of criteria for land suitability use the Boundary Line Method. Resulted Land suitability criteria Lampung province is compared with the criteria that have been made in Bogor and its surrounding area. This research is a continuation of previous studies. Activities undertaken consisted of field survey and laboratory analysis. Phase of the research include preliminary activities, surveys and field observations, soil and plant analysis in the laboratory, data analysis, determination of land suitability criteria, calibration age for the production of tubers and starch biomass, the model of land suitability criteria for withdrawal limits, and analysis of farming.

Results of the studies indicated that the relation level of tubers and starch production and land qualities spread with such particular pattern which is convined with boundary line. The production on classed for S1, S2, and S3 with each class values by 80%, 60% and 28%, where 28% is break event point of productivity. The limit of every classes in the land evaluation criteria for each evaluated land quality could be made by creating a projection from the cutting between the boundary line and the production classes.

This land evaluation criteria was an exploration study, based on the specific place and did not evaluate entirely all of the crop requirements. More data from a wider soil agroclimate zone therefore would be greatly appreciated.

(3)

RINGKASAN

MUHAMAD ADI NURWANSYAH. Karakteristik Tanah dan Lahan untuk Kesesuaian Lahan Ubikayu (Manihot Spp.) di Provinsi Lampung. Dibimbing oleh

WIDIATMAKA dan ATANG SUTANDI.

Ubikayu merupakan tanaman pangan berupa perdu dengan nama lain singkong atau cassava. Ubikayu berasal dari benua Amerika, tepatnya dari

negara Brasil. Tanaman ini dapat dimanfaatkan untuk keperluan pangan, pakan maupun bahan dasar berbagai industri. Secara umum, jenis ubikayu yang memiliki potensi hasil dan kadar pati tinggi, sehingga dianggap paling sesuai untuk bahan baku bioetanol. Kualitas tanaman ini yang dimanfaatkan sebagai bahan baku bioetanol dapat dilihat dari produksi umbi dan pati, sehingga persyaratan tumbuh harus diperhatikan agar produktivitas tanaman ubikayu yang dihasilkan menjadi optimum.

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk membuat kriteria kesesuaian lahan untuk ubikayu di Provinsi Lampung. Penetapan kriteria kesesuaian lahan menggunakan metode penarikan batas Boundary Line Method dan

membandingkan kriteria kesesuaian lahan Provinsi Lampung dengan kriteria yang telah dibuat di daerah Bogor dan sekitarnya. Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari penelitian terdahulu. Kegiatan yang dilakukan terdiri dari survei lapangan dan analisis laboratorium. Tahapan pelaksanaan penelitian meliputi kegiatan pendahuluan, survei dan pengamatan lapangan, analisis tanah dan tanaman di laboratorium, analisis data penetapan kriteria kesesuaian lahan, peneraan umur untuk produksi umbi dan biomas pati, model penarikan batas kriteria kesesuaian lahan, dan analisis usahatani.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan tingkat produksi umbi dan pati dengan unsur kualitas menyebar dengan pola tertentu yang dibatasi oleh garis luar. Dengan membuat sekat produksi untuk S1, S2, dan S3 masing-masing sebesar 80%, 60%, dan 28%, dimana nilai 28% merupakan batas BEP (titik impas produksi). Batas kriteria kelas kesesuaian lahan untuk setiap kualitas lahan yang dievaluasi dapat dibuat dengan membuat proyeksi dari perpotongan garis batas luar (boundary line) dengan sekat produksi.

Kriteria kesesuaian lahan ini dibuat berdasarkan studi eksplorasi di tempat tertentu saja, dan belum semua lingkungan tumbuh tanaman dievaluasi, sehingga perlu dilakukan penambahan data dari lingkungan tumbuh yang lebih luas.

(4)

KARAKTERISTIK TANAH DAN LAHAN UNTUK KESESUAIAN LAHAN UBIKAYU (Manihot spp.)

DI PROVINSI LAMPUNG

MUHAMAD ADI NURWANSYAH A14061926

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

Pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Judul Penelitian : Karakteristik Tanah dan Lahan untuk Kesesuaian Lahan Ubikayu (Manihot Spp.) di Provinsi Lampung

Nama

: Muhamad Adi Nurwansyah

NRP

: A14061926

Disetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Widiatmaka, DAA. Dr. Ir. Atang Sutandi, MSi. NIP. 19621201 198703 1 002 NIP. 19541212 198103 1 010

Diketahui,

Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc. NIP. 19621113 198703 1 003

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 24 Februari 1988 dari pasangan H. Hariszuan dan Hj. Misdaleni.Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara.

(7)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Karakteristik Tanah dan Lahan untuk Kesesuaian Lahan Ubikayu (Manihot Spp.) di Provinsi Lampung”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk kelulusan dari Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan. Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bimbingan, bantuan, dan dorongan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga kesulitan yang penulis hadapi dapat teratasi.

Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Ir. Widiatmaka, DAA. selaku dosen pembimbing skripsi atas bimbingan, bantuan, saran, dan motivasi yang diberikan selama proses penelitian dan penyusunan skripsi ini.

2. Dr. Ir. Atang Sutandi, MSi. selaku dosen pembimbing skripsi atas kesabaran, bimbingan dan segala saran sejak dimulainya penelitian ini hingga skripsi selesai.

3. Dr. Ir. Dyah Tjanyandari, MApplSc. selaku dosen penguji skripsi atas bimbingan dan segala saran sejak dimulainya penelitian ini hingga skripsi selesai. 4. Ir. Muhammad Hikmat, MSi. selaku pembimbing penelitian atas saran-saran

dan bantuan selama masa penyusunan skripsi serta penelitian.

5. Bapak Ir. Halim yang memberikan masukan dan bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.

6. Kedua orang tua penulis, Bapak Hariszuan, SH., Ibu Misdaleni, Spd., adik Dwi Kania E, Amd., dan Chindra Sari, serta saudara-saudara lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu, atas dorongan dan motivasi yang diberikan pada penulis sehingga penulis tetap bersemangat dalam menyelesaikan skripsi ini. 7. Seluruh staf Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan,

(8)

8. Teman-teman seperjuangan, Yasa, Cwit, Bima, Asep Barkhah, Bayu, Andi Wawaw, Adin, Dyah, Wiwin, Nurul, dan Tomi yang telah banyak membantu penulis selama masa penelitian.

9. Teman-teman satu kosan di Wisma Anggita, Angga, Mas Efri, Imam, Pak Noto, Mbak Desi, Mas Erwin, Bang Jimmy, Bang Asrul, Teh Euis, Bu Ita, dan semua teman kosan lainnya yang telah membantu.

10.Seluruh teman-teman dari Soilers 43 yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu atas bantuan, serta doa dan semangatnya, yang tidak akan pernah dilupakan oleh penulis.

11.Pihak-pihak lain yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini, yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.

Penulis sadar bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna dan masih membutuhkan saran serta kritik. Namun, penulis berharap agar tulisan ini dapat memberikan manfaat dalam rangka pembelajaran bagi penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya.

Bogor, Desember 2012

(9)

DAFTAR ISI

2.1. Asal dan Botani Tanaman Ubikayu ... 4

2.2. Varietas Unggul Ubikayu ... 6

2.3. Teknik Budidaya dan Syarat Pertumbuhan Ubikayu ... 9

2.3.1. Iklim ... 9

2.3.2. Media Tanam ... 10

2.3.3. Persiapan Bibit ... 11

2.3.4. Pola Tanam ... 12

2.3.5. Pemupukan ... 16

2.3.6. Hama Dan Penyakit Ubikayu ... 17

2.3.7. Pemeliharaan ... 18

2.3.8. Panen ... 19

2.4. Potensi Ubikayu di Indonesia ... 19

2.5. Pemanfaatan Ubikayu sebagai Bioetanol ... 23

2.6. Tanah dan Lahan ... 26

2.6.1. Pengertian Evaluasi Kesesuaian Lahan ... 26

2.6.2. Kaidah Evaluasi Kesesuaian Lahan ... 27

2.6.3. Asumsi-asumsi Dalam Evaluasi Lahan ... 28

2.6.4. Kualitas Lahan ... 29

2.6.5. Karakteristik Lahan ... 29

2.6.6. Kesesuaian Lahan ... 30

2.6.7. Persyaratan Penggunaan Lahan ... 32

2.7. Metode Penarikan Garis Batas (Boundary Line Methods) ... 33

(10)

III. BAHAN DAN METODE ... 34

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 34

3.2. Bahan dan Alat ... 34

3.3. Metodologi Penelitian ... 34

3.3.1. Kegiatan Pendahuluan ... 35

3.3.2. Survei dan Pengamatan Lapangan ... 35

3.3.3. Analisis Tanah dan Tanaman di Laboratorium ... 36

3.3.4. Pembentukan Kriteria Kesesuaian Lahan ... 36

3.3.4.1. Peneraan Umur untuk Produksi Umbi dan Biomas Pati ... 36

3.3.4.2. Model Penarikan Batas Kriteria Kesesuaian Lahan ... 37

3.3.4.3. Analisis Usahatani ... 37

3.3.5. Perbandingan Kriteria Kesesuaian Lahan ... 38

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 39

4.1. Kondisi Umum Daerah Penelitian ... 39

4.1.1. Lampung Tengah ... 40

4.1.2. Lampung Timur ... 41

4.1.3. Lampung Utara ... 41

4.1.4. Lampung Selatan ... 42

4.2. Analisis Usahatani ... 43

4.3. Hubungan antara Produksi dan Umur Contoh Tanaman ... 44

4.4. Pengembangan Model Kesesuaian Lahan ... 46

4.4.1. Hubungan antara Produksi dan Zone Perakaran ... 48

4.4.2. Hubungan antara Produksi dan Retensi Hara ... 51

4.4.3. Hubungan antara Produksi dengan Ketersediaan Hara... 54

4.4.4. Hubungan antara Produksi dan Kondisi Terrain ... 58

4.4.5. Hubungan antara produksi dan Toksisitas ... 59

4.5. Kriteria Kesesuaian Lahan Untuk Ubikayu ... 61

4.6. Analisis Kesesuaian Lahan Penelitian Berdasarkan Kriteria Kesesuaian Lampung dan Jawa Barat Untuk Produksi Ubikayu ... 62

4.7. Peta Kelas Kesesuaian Lahan ... 65

4.8. Perbandingan Kriteria Kelas Kesesuaian Lahan Tanaman Ubikayu ... 67

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 69

5.1. Kesimpulan... 69

5.2. Saran ... 70

DAFTAR PUSTAKA ... 71

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Varietas unggul ubikayu yang sesuai untuk pangan beserta

karakteristiknya ... 7

2. Varietas unggul ubikayu yang sesuai untuk bahan baku industri beserta karakteristiknya ... 9

3. Efektivitas pengolahan tanah konservasi dan produksi ... 11

4. Sebaran Tanaman Ubikayu di Indonesia ... 20

5. Luas panen, produksi dan produktivitas ubikayu di Indonesia ... 21

6. Luas Panen Tanaman Ubikayu (Ha) di 10 Provinsi di Indonesia Tahun 2008 – 2012 ... 22

7. Produksi ubikayu (ton) di 10 provinsi di Indonesia tahun 2008–2012 ... 22

8. Produktivitas ubikayu (kuintal/ha) di 10 provinsi di Indonesia tahun 2008 – 2012 ... 23

9. Jenis Tumbuhan Penghasil Energi ... 23

10. Konvensi biomasa menjadi bioethanol ... 24

11. Komposisi kimia umbi ubikayu ... 25

12. Komposisi kimia, rasio fermentasi, dan angka konversi menjadi bioetanol 96% dari beberapa varietas ubikayu ... 25

13. Analisis Usahatani Ubikayu Provinsi Lampung ... 43

14. Sekat Produksi Umbi dan Pati untuk Batas Kelas Kesesuaian Lahan ... 46

15. Selang nilai fraksi pasir dan liat untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi umbi dan produksi pati ubikayu ... 49

16. Selang nilai tekstur untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi umbi dan produksi pati ubikayu ... 49

17. Selang nilai C-organik untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi umbi dan produksi pati ubikayu ... 52

18. Selang nilai pH untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi umbi dan produksi pati ubikayu ... 52

19. Selang nilai KTK untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi umbi dan produksi pati ubikayu ... 53

20. Selang nilai N-total untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi umbi dan produksi pati ubikayu ... 55

21. Selang nilai P-tersedia untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi umbi dan produksi pati ubikayu ... 56

22. Selang nilai K dapat ditukar untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi umbi dan produksi pati ubikayu ... 57

(12)

24. Selang nilai Al untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan

produksi umbi dan produksi pati ubikayu ... 60

25. Kriteria Kesesuaian Lahan Tanaman Ubikayu Berbasis Produksi Umbi .. 61

26. Kriteria Kesesuaian Lahan Tanaman Ubikayu Berbasis Produksi Pati .... 62

27. Kelas Kesesuaian Berdasarkan Kriteria Kesesuaian Lahan Penelitian Lampung ... 63

28. Kelas Kesesuaian Berdasarkan Kriteria Kesesuaian Lahan Penelitian Jawa Barat ... 64

29. Luas dan Persentase Kelas Kesesuaian Berdasarkan Kriteria Kesesuaian Lahan Penelitian Lampung ... 66

30. Luas dan Persentase Kelas Kesesuaian Berdasarkan Kriteria Kesesuaian Lahan Penelitian Jawa Barat ... 67

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Tumpangsari ubikayu dengan kedelai, kacang tanah, kacang hijau, jagung

dan padi gogo ... 15

2. Hubungan Produksi Umbi Aktual (atas) dan Teraan Ubikayu (bawah) dengan Umur Tanaman. ... 44

3. Hubungan Produksi Pati Aktual (atas) dan Teraan (bawah) Ubikayu dengan Umur Tanaman. ... 45

4. Hubungan antara Produksi Umbi Tera (Atas) dan Produksi Pati (bawah) Tera dengan Tekstur Pasir ... 50

5. Hubungan antara Produksi Umbi Tera (Atas) dan Produksi Pati (bawah) Tera dengan Tekstur Liat ... 50

6. Hubungan antara Produksi Umbi dan Pati Tera dengan C-Organik ... 52

7. Hubungan antara Produksi Umbi dan Pati Tera dengan pH ... 53

8. Hubungan antara Produksi Umbi dan Pati Tera dengan KTK ... 54

9. Hubungan antara Produksi Umbi dan Pati Tera dengan N-Total ... 56

10. Hubungan antara Produksi Umbi dan Pati Tera dengan P-Tersedia ... 57

11. Hubungan antara Produksi Umbi dan Pati Tera dengan K-dapat ditukar . 58 12. Hubungan antara Produksi Umbi dan Pati Tera dengan Lereng ... 59

13. Hubungan antara Produksi Umbi dan Pati Tera dengan Al ... 60

14. Peta Kesesuaian Lahan Penelitian Lampung ... 65

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Blanko Pengamatan ... 78

2. Lokasi Titik Pengamatan ... 80

3. Data Penelitian Lapang ... 81

4. Data Analisis Laboratorium dan Iklim ... 82

5. Kriteria klasifikasi kesesuaian lahan berbasis produksi ubikayu Jawa Barat. ... 83

6. Kriteria klasifikasi kesesuaian lahan berbasis produksi pati ubikayu Jawa Barat. ... 83

7. Peta Administrasi Penelitian ... 84

8. Peta Curah Hujan Penelitian ... 84

9. Peta Geologi Penelitian ... 85

10.Peta Geomorfologi Penelitian ... 85

11.Peta Tanah Penelitian ... 86

12.Peta Ketinggian Tempat Penelitian ... 86

13.Peta Kemiringan Lereng Penelitian... 87

(15)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ubikayu merupakan tanaman pangan berupa perdu dengan nama lain singkong atau cassava. Ubikayu berasal dari benua Amerika, tepatnya dari Brasil.

Penyebarannya hampir ke seluruh dunia, antara lain: Afrika, Madagaskar, India, Tiongkok. Ubikayu berkembang di negara-negara yang terkenal wilayah pertaniannya dan masuk ke Indonesia pada tahun 1852. Indonesia merupakan negara terbesar keempat pengahasil ubikayu di dunia setelah Nigeria, Brasil, dan Thailand.

Berdasarkan kontribusi terhadap produksi nasional, terdapat sepuluh provinsi utama penghasil ubikayu yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, Sumatera Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Maluku dan Yogyakarta yang menyumbang sebesar 89,47 % dari produksi nasional sedangkan produksi provinsi lainnya sekitar 11-12 % (Agrica, 2007). Produksi ubikayu tahun 2011 sebesar 23,5 juta ton dengan areal seluas 1,2 juta ha. Provinsi Lampung adalah daerah penghasil ubikayu terbesar (38%), diikuti Jawa Tengah (15%), Jawa Timur (13%), Jawa Barat (9%), Nusa Tenggara Timur (5%), dan DI Yogyakarta (4%)

(Departemen Pertanian, 2011).

Ubikayu sangat potensial untuk ditanam di Provinsi Lampung karena produktivitasnya yang cukup tinggi dan memiliki berbagai manfaat. Menurut Suprapti (2005), masyarakat Indonesia mengenal ubikayu sebagai bahan makanan pokok setelah beras dan jagung. Daunnya dapat digunakan sebagai bahan sayuran, kayunya dapat digunakan sebagai kayu bakar, dan umbinya dapat digunakan sebagai obat. Selain itu, umbi ubikayu merupakan sumber pati yang cukup tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan dasar bioetanol (Kusumastuti, 2007).

(16)

Pada setiap wilayah di Provinsi Lampung terdapat keragaman kondisi lahan yang menghasilkan keragaman produktivitas. Keragaman produktivitas ubikayu antara lain disebabkan karena beragamnya sifat tanah dan lahan di areal penanaman ubikayu. Sifat tanah dan lahan terbentuk secara alamiah sebagai akibat dari proses pedogenesis (pembentukan tanah) mulai dari bahan induk yang berkembang menjadi tanah pada berbagai kondisi lahan (Thompson dan Troeh, 1973). Sehubungan dengan tingginya keragaman tersebut maka informasi yang lebih obyektif tentang kesuburan tanah di setiap jenis tanah sangat diperlukan untuk lebih mengarahkan tindakan manajemen tanah serta upaya pemeliharaan kultur teknis ubikayu. Untuk memperoleh informasi mengenai kondisi lahan pada daerah yang ditanami ubikayu, maka perlu dilakukan evaluasi lahan.

Evaluasi lahan merupakan proses penilaian potensi suatu lahan untuk penggunaan tertentu. Pada prinsipnya, evaluasi sumberdaya lahan dilakukan dengan cara membandingkan antara persyaratan yang diperlukan untuk suatu penggunaan lahan tertentu dengan sifat-sifat sumberdaya pada lahan tersebut. Hasil dari evaluasi lahan bermanfaat untuk perencanaan tataguna lahan yang rasional, sehingga lahan dapat digunakan secara optimal dan lestari serta diperoleh kemungkinan tingkat produksi ubikayu untuk satu musim atau untuk beberapa tahun ke depan. Karena itu, evaluasi lahan merupakan salah satu mata rantai yang harus dilakukan agar rencana tataguna lahan dapat tersusun dengan baik (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).

Perencanaan dan pengembangan yang dilakukan untuk ubikayu di Provinsi Lampung belum dilakukan secara maksimal sehingga diperlukan penetapan kriteria kesesuaian lahan. Penetapan kriteria kesesuaian lahan tanaman ubikayu dapat dilakukan dengan menghubungkan data produksi dan kualitas/karakteristik lahan, kemudian ditarik batas kriteria kesesuaian lahan dengan cara memproyeksikan titik potong sekat produksi dengan garis batas (boundary line)

(17)

1.2. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk membuat kriteria kesesuaian lahan untuk ubikayu di Provinsi Lampung. Secara rinci, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengevaluasi keterkaitan antara karakteristik bio-fisik lingkungan dan produktivitas komoditas ubikayu.

2. Memperoleh pola hubungan antara beberapa parameter kualitas lahan dan produksi biomassa (pati) pada ubikayu sebagai bahan baku bioetanol. 3. Menetapkan kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman ubikayu di Provinsi

Lampung.

(18)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Asal dan Botani Tanaman Ubikayu

Ubikayu berasal dari Brasilia. Ilmuwan yang pertama kali melaporkan hal ini adalah Johann Baptist Emanuel Pohl, seorang ahli botani asal Austria pada tahun 1827 (Allem, 2002). Menurut Allem (2002), asal tanaman ubikayu menyangkut tiga hal, yaitu asal botani (botanical origin), asal geografis

(geographical origin) dan asal budidaya (agricultural origin).

Asal botani misalnya menyangkut jenis liar tumbuhan ubikayu yang menurunkan tanaman ubikayu yang sekarang dikenal. Asal geografis menyangkut tempat dimana nenek moyang ubikayu berkembang di masa lalu, sedangkan asal budidaya berhubungan dengan tempat dimana budidaya awal tanaman ini dilakukan oleh orang-orang Indian Amerika (Amerindian). Dari hasil penelitiannya yang juga didukung hasil penelitian banyak peneliti lain, Allem (2002) menyimpulkan bahwa ubikayu berasal dari jenis liar tumbuhan Manihot flabelifolia.

Nenek moyang ubikayu ini selanjutnya diduga berkembang di daerah padang rumput (sabana) Cerrado. Setelah itu domestikasi terjadi di sebagian daerah Amazon, yaitu di hutan-hutan. Lathrap (1970) dalam Allem (2002)

memperkirakan bahwa domestikasi dimulai sekitar 5000 – 7000 tahun sebelum Masehi. Perkiraan ini diperkuat dengan temuan-temuan arkeologis di Amazon (Gibbons, 1990 dalam Allem, 2002). Ketika orang-orang Eropa pertama kali tiba

di Dunia Baru, tanaman ini telah dibudidayakan di semua daerah tropis Amerika (Pattino, 1964 dalam Allem, 2002).

Tanaman ini selanjutnya menyebar ke berbagai penjuru dunia, terutama negara-negara di Asia dan Afrika. Tanaman ubikayu mencapai Afrika sekitar akhir pertengahan abad ke 16 (Ekanayake et al., 1997), sedangkan masuk ke

(19)

Upaya penanaman ubikayu di Jawa mulai berhasil setelah didatangkan stek dari Paramaribo pada tahun 1858 (Darjanto dan Murjati 1980). Dalam sistematika tumbuhan, ubikayu termasuk ke dalam kelas Dicotyledoneae. Ubikayu berada dalam famili Euphorbiaceae yang mempunyai sekitar 7.200 spesies, beberapa diantaranya adalah tanaman yang mempunyai nilai komersial, seperti karet (Hevea brasiliensis), jarak (Ricinus comunis dan Jatropha curcas),

umbi-umbian (Manihot spp), dan tanaman hias (Euphorbia spp). Manihot esculenta Crantz mempunyai nama lain Manihotutilissima dan Manihotalpi. Semua Genus

Manihot berasal dari Amerika Selatan. Brasilia merupakan pusat asal dan sekaligus sebagai pusat keragaman ubikayu. Manihot mempunyai 100 spesies yang telah diklasifikasikan dan mayoritas ditemukan di daerah yang relatif kering. Klasifikasi tanaman ubikayu adalah sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Sub kelas : Arhichlamydeae Ordo : Euphorbiales Famili : Euphorbiaceae Genus : Manihot

Spesies : Manihot utilissima Pohl; Manihot esculenta Crantz sin

;Manihot alpi.

(20)

2.2. Varietas Unggul Ubikayu

Ubikayu dapat dimanfaatkan untuk keperluan pangan, pakan maupun bahan dasar berbagai industri. Oleh karena itu pemilihan varietas ubikayu harus disesuaikan untuk peruntukannya. Di daerah dimana ubikayu dikonsumsi secara langsung untuk bahan pangan diperlukan varietas ubikayu yang rasanya enak dan pulen dan kandungan HCN rendah. Berdasarkan kandungan HCN ubikayu dibedakan menjadi ubikayu manis/tidak pahit, dengan kandungan HCN < 40 mg/kg umbi segar, dan ubikayu pahit dengan kadar HCN ≥ 50 mg/kg umbi segar.

(21)

Tabel 1. Varietas unggul ubikayu yang sesuai untuk pangan beserta

- Agak tahan tungau merah (Tetranichus bimaculatus) - Tahan bakteri hawar daun, penyakit layu Pseudomonas solanacearum, dan Xanthomonas manihotis

Malang 1 1992 9-10 36,5 32-36* < 40,0 - Tidak pahit - Sesuai untuk pangan - Toleran tungau merah (Tetranichus bimaculatus) - Toleran bercak daun (Cercospora sp.) -Adaptasi cukup luas

Malang 2 1992 8-10 31,5 32-36* < 40,0 - Tidak pahit - Sesuai untuk pangan - Agak peka tungau merah

(Tetranichus bimaculatus) - Toleran penyakit bercak daun (Cercospora sp.)

Darul Hidayah

1998 8-12 102,1 25-31 < 40,0 - Tidak pahit - Sesuai untuk pangan - Agak peka tungau merah

(Tetranichus sp.) - Agak peka busuk jamur (Fusarium sp.)

Sumber : Balai Penelitian Tanaman Kacang Kacangan dan Umbi Umbian Malang, 2010

Selain peruntukannya, pemilihan dan penerimaan suatu varietas ubikayu oleh petani dan pengguna lainnya juga ditentukan oleh umur tanaman, keragaan dan sifat ketahanannya terhadap gangguan hama dan penyakit tanaman. Pada umumnya petani sangat fanatik terhadap varietas lama maupun unggul lokal yang telah dikenal luas oleh masyarakat luas sehingga pasarnya jelas.

(22)

Secara umum, jenis ubikayu yang memiliki potensi hasil dan kadar pati tinggi, dianggap paling sesuai untuk bahan baku industri. Sebagai bahan baku industri, kadar HCN yang tinggi tidak menjadi masalah karena sebagian besar HCN akan hilang pada proses pencucian, pemanasan maupun pengeringan.

Sifat fisik, seperti ukuran granula pati dan sifat kimia lainnya, seperti kadar amilosa/amilopektin yang berperan dalam proses gelatinisasi dan sifat amilografi, yang meliputi suhu dan waktu gelatinisasi serta viskositas puncak, belum banyak diteliti dalam kaitannya dengan produksi bioetanol. Pati dengan ukuran granula kecil dilaporkan memiliki daya serap air yang lebih baik dan lebih mudah dicerna oleh enzim (BIOTEC, 2003). Sementara rendemen glukosa yang dihasilkan, dipengaruhi oleh tinggi dan panjang rantai amilosa. Semakin panjang rantai amilosa akan dihasilkan rendemen gula yang semakin tinggi karena diduga berkaitan dengan kemudahan enzim α-amilase untuk memecah ikatan lurus 1,4 α

glikosidik dibanding ikatan cabang 1,6 α glikosidik pada amilopektin (Richana et al., 2000). Pati dengan kadar amilosa tinggi lebih sesuai karena proporsi partikel

pati tidak larutnya (insoluble starch particles) lebih rendah sehingga relatif lebih

(23)

Tabel 2. Varietas unggul ubikayu yang sesuai untuk bahan baku industri

industri - Cukup tahan tungau merah (Tetranichus bimaculatus) - Tahan penyakit layu Pseudomonas solanacearum

Adira 4 1978 10 35 20-22 68,0 - Pahit - Sesuai untuk bahan baku

industri - Cukup tahan tungau merah (Tetranichus bimaculatus) - Tahan terhadap Pseudomonas solanacearum dan Xanthomonas manihotis

UJ-3 2000 8-10 20-35 20-27 > 100,0 - Pahit- Sesuai untuk bahan baku industri- Agak tahan bakteri hawar daun (Cassava Bacterial Blight) UJ-5 2000 9-10 25-38 19-30 > 100,0 - Pahit - Sesuai untuk bahan baku

industri Agak tahan CBB (Cassava Bacterial Blight)

Malang 4 2001 9 39,7 25-32 > 100,0 - Pahit - Sesuai untuk bahan baku industri - Agak tahan tungau merah (Tetranichus sp.) -Adaptif terhadap hara sub-optimal

Malang 6 2001 9 36,4 25-32 > 100,0 - Pahit - Sesuai untuk bahan baku industri - Agak tahan tungau merah (Tetranichus sp.) -Adaptif terhadap hara sub-optimal

Sumber : Balai Penelitian Tanaman Kacang Kacangan dan Umbi Umbian Malang, 2010

2.3. Teknik Budidaya dan Syarat Pertumbuhan Ubikayu

Ubikayu merupakan salah satu tanaman pangan yang dapat tumbuh dan berproduksi pada lingkungan dimana tanaman pangan yang lain seperti padi dan jagung tidak dapat tumbuh. Meskipun demikian, untuk dapat tumbuh, berkembang dan menghasilkan umbi dengan baik, ubikayu menghendaki kondisi lingkungan tertentu, baik kondisi lingkungan di atas permukaan tanah (iklim) maupun di bawah permukaan tanah.

2.3.1. Iklim

Ubikayu merupakan tanaman tropis. Wilayah pengembangan ubikayu berada pada 30o LU dan 30o LS. Namun demikian, untuk dapat tumbuh,

(24)

tertentu. Tanaman ubikayu menghendaki suhu antara 18o-35 o C. Pada suhu di bawah 10 o C pertumbuhan tanaman ubikayu akan terhambat. Kelembaban udara yang dibutuhkan ubikayu adalah 65% (Suharno et al., 1999). Namun demikian,

untuk berproduksi secara maksimum tanaman ubikayu membutuhkan kondisi tertentu, yaitu pada dataran rendah tropis, dengan ketinggian 150 m di atas permukaan laut (dpl), dengan suhu rata-rata antara 25-27 o C, tetapi beberapa varietas dapat tumbuh pada ketinggian di atas 1500 m dpl (Anonim, 2003). Tanaman ubikayu dapat tumbuh dengan baik apabila curah hujan cukup, tetapi tanaman ini juga dapat tumbuh pada curah hujan rendah (< 500 mm), ataupun tinggi (5000 mm). Curah hujan optimum untuk ubikayu berkisar antara 760- 1015 mm per tahun. Curah hujan terlalu tinggi mengakibatkan terjadinya serangan jamur dan bakteri pada batang, daun dan umbi apabila drainase kurang baik (Anonim, 2003; Suharno et al., 1999).

2.3.2. Media Tanam

Ubikayu dapat tumbuh di berbagai jenis tanah. Pada daerah di mana jagung dan padi tumbuh kurang baik, ubikayu masih dapat tumbuh dengan baik dan mampu berproduksi tinggi apabila ditanam dan dipupuk tepat pada waktunya. Sebagian besar pertanaman ubikayu terdapat di daerah dengan jenis tanah Aluvial, Latosol, Podsolik dan sebagian kecil terdapat di daerah dengan jenis tanah Mediteran, Grumusol dan Andosol. Tingkat kemasaman tanah (pH) untuk tanaman ubikayu minimum 5. Tanaman ubikayu memerlukan struktur tanah yang gembur untuk pembentukan dan perkembangan umbi. Pada tanah yang berat, perlu ditambahkan pupuk organik (Wargiono, 1979).

Untuk memperbaiki struktur tanah, menekan pertumbuhan gulma, dan menerapkan konservasi tanah untuk memperkecil peluang terjadinya erosi maka harus dilakukan pengolahan tanah. Pengolahan tanah berdasarkan jenis tanah dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu :

1. Tanah ringan atau gembur : tanah cukup dibajak atau dicangkul satu kali, kemudian diratakan dan dapat langsung ditanami.

(25)

3. Tanah berat dan berair : tanah dibajak atau dicangkul sebanyak dua kali atau lebih, kemudian dibuat bedengan atau guludan sekaligus sebagai saluran drainase. Penanaman dilakukan di atas guludan (Wargiono, 1979).

Pada lahan miring atau peka terhadap erosi, pengolahan tanah harus dikelola dengan sistem konservasi, yaitu :

1. Tanpa olah tanah.

2. Pengolahan tanah minimal adalah pengolahan tanah secara larik atau individual. Pengolahan tanah ini efektif untuk mengendalikan erosi, tetapi hasil ubikayu pada umumnya rendah.

3. Pengolahan tanah sempurna dengan sistem guludan kontur. Pengolahan tanah sempurna didasarkan pada pencapaian hasil yang tinggi, biaya pengolahan tanah dan pengendalian gulma rendah serta tingkat erosi minimal. Dalam hal ini tanah dibajak dengan traktor 3-7 singkal piring atau secara tradisional (dengan ternak) sebanyak 2 kali atau satu kali yang diikuti dengan pembuatan guludan. Untuk lahan peka erosi, guludan juga berperan sebagai pengendali erosi, sehingga guludan dibuat searah kontur (Wargiono et al., 2006).

Tabel 3. Efektivitas pengolahan tanah konservasi dan produksi

Pengolahan tanah Hasil ubi segar

(Ton/ha)

Tanah tererosi (Ton/ha/tahun)

Olah tanah minimal 15,0 7,6

Cangkul 1 kali 14,3 10,3

Bajak traktor 2 kali 19,0 66,8

Bajak traktor 1 kali + guludan kontur 25,4 30,8

Sumber : Suharno et al., 1999

2.3.3. Persiapan Bibit

Tanaman ubikayu dibudidayakan dengan menggunakan stek batang. Perkecambahan stek tergantung pada kondisi varietas, umur tanaman, penyimpanan dan lingkungan. Teknik pengambilan stek :

1. Stek diambil dari batang bagian tengah tanaman ubikayu yang berumur 8-12 bulan.

(26)

3. Penyimpanan stek yang baik adalah dengan cara posisi batang tegak, disimpan di bawah naungan.

4. Panjang stek optimum adalah 20-25 cm, dengan jumlah mata tunas paling sedikit 10 mata.

5. Sebelum tanam, stek dapat diperlakukan dengan insektisida dan fungisida untuk mencegah serangan hama dan penyakit (Anonim, 2003).

Untuk mendapatkan pertumbuhan tanaman yang baik, maka stek harus dipilih dari tanaman yang sehat, diameter stek antara 2-3 cm dan umurnya seragam.

Pada saat memotong stek, diusahakan kulit batang tidak terkelupas supaya tidak mudah kering dan daya tumbuhnya baik.

2.3.4. Pola Tanam

Ubikayu dapat ditanam secara monokultur maupun tumpangsari. Pola monokultur umumnya dikembangkan dalam usahatani komersial atau usahatani alternatif pada lahan marjinal, di mana komoditas lain tidak produktif atau usahatani dengan input minimal bagi petani yang modalnya terbatas. Pola tumpangsari diusahakan oleh petani berlahan sempit, baik secara komersial maupun subsisten. Jarak tanam yang digunakan dalam pola monokultur ada beberapa macam, diantaranya adalah :

1. 1 m x 1 m (10.000 tanaman/ha), 2. 1 m x 0,8 m (12.500 tanaman/ha), 3. 1 m x 0,75 m (13.333 tanaman/ha), 4. 1 m x 0,5 m (20.000 tanaman/ha), 5. 0,8 m x 0,7 m (17.850 tanaman/ha), dan 6. 1 m x 0,7 m (14.285 tanaman/ha).

(27)

Pola tumpangsari dilakukan dengan mengatur jarak tanam ubikayu sedemikian rupa sehingga ruang diantara barisan ubikayu dapat ditanami dengan tanaman lain (kacang-kacangan, jagung maupun padi gogo). Pengaturan jarak tanam ubikayu diistilahkan dengan double row (baris ganda). Ada beberapa

pengaturan baris ganda pada ubikayu, diantaranya adalah : 1. Jarak tanam baris ganda 2,6 m

Pada baris ganda 2,6 m ini, tanaman ubikayu ditanam dengan jarak tanam 0,6 m x 0,7 m x 2,6 m. Dimana 0,6 m merupakan jarak antar barisan dan 0,7 m merupakan jarak di dalam barisan, sedangkan 2,6 m merupakan jarak antar baris ganda ubikayu. Pada jarak antar baris ganda ubikayu ini dapat ditanami dengan tanaman jagung, padi gogo, kedelai, kacang tanah maupun kacang hijau.

2. Jarak tanam baris ganda 0,5 m x 1 m x 2 m

(28)

3. Jarak tanam baris ganda 0,5 m x 0,5 m x 4 m

Diantara baris tanaman ubikayu yang berjarak 4 m tersebut dapat ditanami dengan tanaman jagung, padi gogo, kedelai, kacang tanah maupun kacang hijau.

4. Cara penanaman

 Waktu tanam pada MH I.

 Tanaman kacang-kacangan atau jagung atau padi gogo ditanam dengan populasi 100%.

 Tanaman ubikayu ditanam 20 hari setelah tanaman kacang-kacangan atau jagung atau padi gogo ditanam, dengan populasi 90% dari populasi monokultur. Jarak tanam ubikayu (60 x 70) x 260 cm.

 Setelah tanaman kacang-kacangan atau jagung atau padi gogo yang ditanam pada MH I di panen, maka tersedia ruang di antara baris ganda ubikayu selebar 260 cm yang dapat dimanfaatkan untuk tanaman kacang-kacangan (kacang tanah, kedelai, kacang hijau).

(29)

 Kacang tanah atau kedelai atau kacang hijau ditanam sebanyak lima (5) baris dengan jarak tanam 40 cm x 15 cm atau 35 cm x 20 cm, 1 biji/lubang (kacang tanah) atau 2 biji/lubang (kedelai atau kacang hijau), jarak tanam jagung 75 cm x 20 cm. Populasi sekitar 70% dari monokultur.

(30)

2.3.5. Pemupukan

Waktu tanam ubikayu yang baik untuk lahan tegalan adalah pada awal musim penghujan (MH I), sedangkan pada lahan sawah tadah hujan adalah setelah panen padi (MH II), karena selama pertumbuhan vegetatif aktif (3-4 bulan pertama) ubikayu membutuhkan air. Untuk pertumbuhan selanjutnya ubikayu tidak terlalu banyak membutuhkan air.

Penanaman ubikayu baik pada pola monokultur maupun tumpangsari dapat dilakukan segera setelah bibit dan lahan siap. Pada pola tumpangsari, ubikayu ditumpangsarikan dengan jagung dan tanaman kacang-kacangan seperti dengan kedelai maupun kacang tanah. Pada pola tanam ini, ubikayu ditanam bersamaan atau sehari sesudahnya. Namun sekarang tersedia beberapa teknik budidaya dengan pola tumpangsari, antara lain tanaman kacang-kacangan ditanam 1-2 minggu sebelum atau sesudah tanam ubikayu.

Ubikayu merupakan tanaman yang mampu berproduksi tinggi, tetapi juga cepat menguruskan tanah. Untuk mendapatkan hasil yang tinggi, diperlukan penambahan hara yang cukup tinggi juga, tergantung pada tingkat kesuburan tanahnya. Untuk tanah-tanah berat perlu ditambahkan pupuk organik yang ditujukan untuk memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah.

Untuk pola tanam monokultur, pupuk yang dianjurkan adalah 200 kg Urea + 100 kg KCl + 100 kg SP-36/ha. Pemupukan dilakukan dua tahap, tahap pertama diberikan pada umur 1 bulan dengan dosis 100 kg Urea + 50 kg KCL + 100 kg SP-36/ha, sedangkan sisanya diberikan pada tahap kedua yaitu pada umur 3 bulan. Untuk pola tanam tumpangsari, dosis pupuk yang dianjurkan berbeda, ubikayu dosis yang digunakan adalah 200 kg Urea/ha, 100 kg SP36/ha, 100 kg KCl/ha, sedangkan jagung dosis yang digunakan adalah 300 kg Urea/ha, 100 kg SP36/ha, 100 kg KCl/ha.

(31)

2.3.6. Hama Dan Penyakit Ubikayu Uret (Xylenthropus)

Ciri : berada dalam akar dari tanaman. Gejala : tanaman mati pada yg usia muda, karena akar batang dan umbi dirusak. Pengendalian : bersihkan sisa-sisa bahan organik pada saat tanam dan atau mencampur sevin pada saat pengolahan lahan.

Tungau merah (Tetranychus bimaculatus)

Ciri : menyerang pada permukaan bawah daun dengan menghisap cairan daun tersebut. Gejala : daun akan menjadi kering. Pengendalian :menanam varietas toleran dan menyemprotkan air yang banyak.

Bercak daun bakteri

Penyebab : Xanthomonas manihotis atau Cassava Bacterial Blight/CBG. Gejala : bercak-bercak bersudut pada daun lalu bergerak dan mengakibatkan pada daun kering dan akhirnya mati. Pengendalian :menanam varietas yang tahan, memotong atau memusnahkan bagian tanaman yang sakit, melakukan pergiliran tanaman dan sanitasi kebun

Layu bakteri (Pseudomonas solanacearum E.F. Smith)

Ciri : hidup di daun, akar dan batang. Gejala : daun yang mendadak jadi layu seperti tersiram air panas. Akar, batang dan umbi langsung membusuk. Pengendalian : melakukan pergiliran tanaman, menanam varietas yang tahan seperti Adira 1, Adira 2 dan Muara, melakukan pencabutan dan pemusnahan tanaman yang sakit berat.

Bercak daun coklat (Cercospora heningsii)

Penyebab : cendawan yang hidup di dalam daun. Gejala : daun bercak-bercak coklat, mengering, lubang-lubang bulat kecil dan jaringan daun mati. Pengendalian : melakukan pelebaran jarak tanam, penanaman varietas yang tahan, pemangkasan pada daun yang sakit serta melakukan sanitasi kebun.

Bercak daun konsentris (Phoma phyllostica)

(32)

Gulma

Sistem penyiangan/pembersihan secara menyeluruh dan gulmanya dibakar/dikubur dalam seperti yang dilakukan umumnya para petani Ubikayu dapat menekan pertumbuhan gulma. Namun demikian, gulma tetap tumbuh di parit/got dan lubang penanaman. Khusus gulma dari golongan teki (Cyperus sp.)

dapat di berantas dengan cara manual dengan penyiangan yang dilakukan 2-3 kali permusim tanam. Penyiangan dilakukan sampai akar tanaman tercabut. Secara kimiawi dengan penyemprotan herbisida seperti dari golongan 2,4-D amin dan sulfonil urea. Penyemprotan harus dilakukan dengan hati-hati. Sedangkan jenis gulma lainnya adalah rerumputan yang banyak ditemukan di lubang penanaman maupun dalam got/parit. Jenis gulma rerumputan yang sering dijumpai yaitu jenis rumput belulang (Eleusine indica), tuton (Echinochloa colona), rumput grintingan

(Cynodondactilon), rumput pahit (Paspalum distichum), dan rumput sunduk

gangsir (digitaria ciliaris). Pembasmian gulma dari golongan rerumputan

dilakukan dengan cara manual yaitu penyiangan dan penyemprotan herbisida berspektrum sempit misalnya Rumpas 120 EW dengan konsentrasi 1,0-1,5 ml/liter.

2.3.7. Pemeliharaan

Untuk mendapatkan pertanaman ubikayu yang sehat, baik, seragam dan berproduksi tinggi, harus dilakukan pemeliharaan, meliputi penyulaman, penyiangan, pembumbuhan dan pemberantasan hama dan penyakit.

Penyulaman dilakukan segera setelah diketahui adanya tanaman yang tidak tumbuh, paling lambat 1 minggu setelah tanam.

(33)

Pembumbunan dilakukan untuk menggemburkan tanah. Pembumbunan dilakukan pada umur 2-4 bulan (Balai Penelitian Tanaman Kacang Kacangan dan Umbi Umbian Malang, 2010). Pada umur ini tanaman ubikayu mulai melakukan pembentukan umbi, sehingga dibutuhkan tekstur tanah yang gembur untuk untuk perkembangan umbinya.

Pemberantasan hama dan penyakit dilakukan apabila terjadi serangan. Hama yang biasa dijumpai pada tanaman ubikayu adalah hama tungau merah yang muncul pada musim kemarau. Pemberantasan terhadap hama ini dilakukan dengan cara fumigasi menggunakan larutan belerang dicampur dengan larutan sabun. Untuk penyakit yang biasa dijumpai adalah Xanthomonas manihotis (jenis

bakteri), gejala serangan : daun mengalami bercak-bercak seperti terkena air panas. Pemberantasan dilakukan dengan menggunakan bakterisida dan penyakit bercak daun (Cercospora henningsii) yang sering dijumpai menyerang daun yang

sudah tua.

2.3.8. Panen

Panen tergantung dari umur masing-masing varietas. Varietas ubikayu yang berumur genjah panen dapat dilakukan pada umur 6-8 bulan, sedangkan varietas berumur dalam dilakukan pada umur 9-12 bulan. Namun secara umum, panen dilakukan pada umur antara 8-12 bulan.

2.4. Potensi Ubikayu di Indonesia

(34)

Tabel 4. Sebaran Tanaman Ubikayu di Indonesia

Pulau Provinsi Luas Tanam

(%)

Sumatera Nangroe Aceh Darussalam 0,27

Sumatera Utara 3,35

Kalimantan Kalimantan Barat 0,79

Kalimantan Tengah 0,36

Kalimantan Selatan 0,56

Kalimantan Timur 0,45

Sulawesi Sulawesi Utara 0,42

Sulawesi Tengah 0,52

Nusa Tenggara Barat 0,51

Nusa Tenggara Timur 7,96

Maluku dan Papua Maluku 0,62

Maluku Utara 0,82

Papua 0,13

Papua Barat 0,25

Sumber : Departemen pertanian (2011)

(35)

disebabkan tersedianya bibit yang lebih baik serta teknik budidaya yang lebih baik juga.

Tabel 5. Luas panen, produksi dan produktivitas ubikayu di Indonesia Tahun Luas Panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (ku/ha)

2005 1.213.460 19.321.183 159,00

2006 1.227.459 19.986.640 163,00

2007 1.201.481 19.988.058 166,36

2008 1.204.933 21.756.991 180,57

2009 1.175.666 22.039.145 187,46

2010 1.183.047 23.918.118 202,17

2011 1.184.696 (1) 24.044.025 (1) 202,96 (1)

2012 1.178.101 (4) 23.712.029 (4) 201,27 (4)

(1) : angka ramalan I (4) : angka sementara

Sumber : Departemen Petanian (2011)

(36)

Tabel 6. Luas Panen Tanaman Ubikayu (Ha) di 10 Provinsi di Indonesia Tahun 2008 – 2012

Provinsi Tahun

2008 2009 2010 2011(4) 2012(1) Lampung 318.969 309.047 346.217 368.096 357.744 Jawa Timur 220.394 207.507 188.158 199.407 194.142 Jawa Tengah 191.053 190.851 188.080 173.195 168.501 Jawa Barat 109.354 110.827 105.023 103.244 108.678 NTT 87.906 89.154 102.460 96.705 93.764 DIY 62.543 63.275 62.563 62.414 61.769 Sumatera Utara 37.941 38.611 32.402 37.929 39.467 Sulawesi Selatan 29.796 26.944 25.010 20.268 22.315 Kalimantan Barat 13.677 11.524 11.913 10.783 9.303 Sulawesi Tenggara 12.190 12.353 9.556 9.130 16.319

(1) : angka ramalan I (4) : angka sementara

Sumber : Departemen Petanian (2011)

Tabel 7. Produksi ubikayu (ton) di 10 provinsi di Indonesia tahun 2008–2012

Provinsi Tahun

2008 2009 2010 2011(4) 2012(1)

Lampung 7.721.882 7.569.178 8.637.594 9.193.676 9.199.157 Jawa Timur 3.533.772 3.222.637 3.667.058 4.032.081 3.205.768 Jawa Tengah 3.325.099 3.676.809 3.876.242 3.501.458 3.459.235 Jawa Barat 2.034.854 2.086.187 2.014.402 2.058.785 2.204.542 NTT 928.974 913.053 1.032.538 962.128 903.089 DIY 892.907 1.047.684 1.114.665 867.596 918.907 Sumatera Utara 736.771 1.007.284 905.571 1.091.711 1.202.094 Sulawesi Selatan 504.198 434.862 601.437 370.125 444.069 Kalimantan Barat 193.804 166.584 177.807 141.550 141.915 Sulawesi Tenggara 217.727 226.927 163.350 164.850 300.204

(1) : angka ramalan I (4) : angka sementara

(37)

Tabel 8. Produktivitas ubikayu (kuintal/ha) di 10 provinsi di Indonesia tahun Sulawesi Selatan 169,22 161,39 240,48 182,62 199,00 Kalimantan Barat 141,70 144,55 149,25 131,27 152,55 Sulawesi Tenggara 178,61 183,70 170,94 180,56 183,96

(1) : angka ramalan I (4) : angka sementara

Sumber : Departemen Petanian (2011)

2.5. Pemanfaatan Ubikayu sebagai Bioetanol

Ada beberapa alasan digunakannya ubikayu sebagai bahan baku bioenergi, khususnya bioetanol, di antaranya adalah ubikayu sudah lama dikenal oleh petani di Indonesia; tanaman ubikayu tersebar di 55 kabupaten dan 33 provinsi; ubikayu merupakan tanaman sumber karbohidrat karena kandungan patinya yang cukup tinggi; harga ubikayu di saat panen raya seringkali sangat rendah sehingga dengan mengolahnya menjadi etanol diharapkan harga ubikayu lebih stabil; ubikayu akan menguatkan security of supply bahan bakar berbasis kemasyarakatan; ubikayu

toleran terhadap tanah dengan tingkat kesuburan rendah, mampu berproduksi baik pada lingkungan sub-optimal, dan mempunyai pertumbuhan yang relatif lebih baik pada lingkungan sub-optimal dibandingkan dengan tanaman lain (Prihandana

et al., 2007).

Tabel 9. Jenis Tumbuhan Penghasil Energi Jenis Tumbuhan Produksi Minyak

(Liter per Ha)

Ekivalen Energi (kWh per Ha) kelapa sawit 3.600-4.000 33.900-37.700 jarak pagar 2.100-2.800 19.800-26.400 biji kemiri 1.800-2.700 17.000-25.500

tebu 2.450 16.000

jarak kepyar 1.200-2.000 11.300-18.900

ubikayu 1.020 6.600

(38)

Tabel 10. Konvensi biomasa menjadi bioethanol Biomasa (kg) Kandungan gula

(Kg)

Sumber : Martono dan Sasongko, 2007

Selama ini dikenal ada dua jenis ubikayu, yaitu ubikayu manis dan ubikayu pahit. Kriteria manis dan pahit biasanya berdasarkan kadar asam sianida (HCN) yang terkandung dalam umbi ubikayu. (Darjanto dan Muryati, 1980) membagi ubikayu menjadi tiga golongan sebagai berikut :

a. Golongan yang tidak beracun (tidak berbahaya), mengandung HCN 20 - 50 mg per kg umbi.

b. Golongan yangberacun sedang, mengandung HCN 50 – 100 mg per kg umbi. c. Golongan yang sangat beracun, mengandung HCN lebih besar dari 100 mg

per kg umbi.

Menurut (Grace, 1977), kandungan asam sianida semula diperkirakan berhubungan dengan varietas ubikayu, namun kemudian ternyata juga bergantung pada kondisi pertumbuhan, tanah, kelembaban, suhu dan umur tanaman. Komposisi kimia tepung dan pati ubikayu jenis pahit dan manis ternyata hampir sama, kecuali kadar serat dan kadar abu pada tepung ubikayu manis lebih tinggi dari tepung ubikayu pahit (Rattanachon et al., 2004). Selanjutnya (Rattanachon et al., 2004) menerangkan bahwa viskositas tepung dan pati ubikayu tergantung

varietasnya, dan tidak ada hubungannya dengan kriteria manis atau pahit.

(39)

kg. Pada Tabel 12 dapat diketahui potensi etanol yang dihasilkan dari empat varietas unggul ubikayu di Indonesia. Varietas tersebut berpotensi menghasilkan 4,35 – 4,70 liter etanol per kg ubikayu segar. Kadar amilosa pati ubikayu berkisar 17 – 18% (Rattanachon et al., 2004). Laporan lain menyebutkan kadar amilosa

pati ubikayu sekitar 14 – 24% (Mbougueang et al., 2008). Suhu gelatinisasi

tepung ubikayu 85 – 89,1 oC (Owuamanam, 2007), sedangkan suhu gelatinisasi pati ubikayu 59 – 87 oC (Mbougueang, et al., 2008).

Tabel 11. Komposisi kimia umbi ubikayu

Komponen Persentase Komponen Persentase

Air (%) 62,8 Mineral (mg/100g)

Sumber : Bradburry and Holloway, 1988 in Westby (2002)

Tabel 12. Komposisi kimia, rasio fermentasi, dan angka konversi menjadi bioetanol 96% dari beberapa varietas ubikayu

No. Varietas K. Bahan Kering

* Fermentasi ubikayu segar menjadi bioetanol dengan kadar 7-11% ** Etanol dengan kadar 96% (efisiensi distilasi dianggap 95%) Sumber : Ginting et al. (2006) diacu dalam Prihandana et al. (2007).

Prospek ubikayu sebagai bahan baku bioetanol di Indonesia akan lebih jelas terlihat bila dilakukan Analisis Daur Hidup (Life Cycle Assessment) terhadap

(40)

Analisis Daur Hidup (Life Cycle Assessment) yang dilakukan di Thailand,

produksi etanol dari ubikayu memberikan nilai positif terhadap lingkungan. Penggunaannya dalam bentuk E10 dalam keseluruhan daur hidupnya menurunkan beberapa beban lingkungan. Penurunan beban lingkungan relatif terhadap bahan bakar konvensional adalah 6,1% untuk penggunaan energi fosil, 6,0% untuk potensi pemanasan global, 6,8% untuk asidifikasi, dan 12,2% untuk pengayaan nutrisi. Jika pada proses produksi etanol juga digunakan biomassa sebagai pengganti bahan bakar fosil, maka keseluruahn daur hidup energi dan kinerja lingkungan akan lebih baik pula.

2.6. Tanah dan Lahan

Tanah adalah bahan mineral yang tidak padat terletak di permukaan bumi, yang telah dan akan tetap mengalami perlakuan dan dipengaruhi oleh faktor-faktor genetik dan lingkungan yang meliputi bahan induk, iklim, organisme, dan topografi pada suatu periode waktu tertentu (Hanafiah, 2007). Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi, dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaannya. Termasuk di dalamnya adalah akibat-akibat kegiatan manusia, baik pada masa lalu maupun sekarang, seperti reklamasi daerah-daerah pantai, penebangan hutan, dan akibat-akibat yang merugikan seperti erosi dan akumulasi garam. Faktor-faktor sosial dan ekonomi secara murni tidak termasuk dalam konsep lahan ini (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).

Lahan dalam pengertian yang lebih luas termasuk bagian yang telah dipengaruhi oleh berbagai akivitas flora, fauna, dan manusia baik di masa lalu maupun masa sekarang, seperti lahan rawa dan pasang surut yang telah direklamasi atau tindakan konservasi tanah pada suatu lahan tertentu (Djaenudin

et al., 2003). Faktor-faktor sosial dan ekonomi secara murni tidak termasuk dalam

konsep lahan.

2.6.1. Pengertian Evaluasi Kesesuaian Lahan

(41)

kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan yang akan digunakan. Dengan cara ini, maka akan diketahui potensi lahan atau kelas kesesuaian/kemampuan lahan untuk jenis penggunaan lahan tersebut (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2001). Evaluasi kesesuaian lahan adalah proses penilaian tampilan atau keragaan (performance)

lahan jika digunakan untuk tujuan tertentu, meliputi pelaksanaan dan interpretasi survei dan studi bentuk lahan, tanah, vegetasi, iklim dan aspek lahan lainnya, agar dapat mengidentifikasi dan membuat perbandingan berbagai penggunaan lahan yang mungkin dikembangkan (FAO, 1976).

Evaluasi lahan memerlukan sifat-sifat fisik lingkungan suatu wilayah yang dirinci ke dalam kualitas lahan (land qualities), dari setiap kualitas lahan biasanya

terdiri atas satu atau lebih karakteristik lahan (land characteristics). Beberapa

karakteristik lahan umumnya mempunyai hubungan satu sama lain didalam pengertian kualitas lahan dan akan berpengaruh terhadap jenis penggunaan atau pertumbuhan tanaman dan komoditas lainnya yang berbasis lahan misalnya : peternakan, perikanan, dan kehutanan (Djaenudin et al., 2003).

Hasil evaluasi lahan digambarkan dalam bentuk peta sebagai dasar untuk perencanaan tata guna lahan yang rasional, sehingga tanah dapat digunakan secara optimal dan lestari (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2001). Hasil evaluasi lahan juga akan memberikan informasi atau arahan penggunaan lahan yang diperlukan, dan akhirnya nilai harapan produksi yang akan diperoleh (Djaenudin et al., 2003).

Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya akan menimbulkan kerusakan-kerusakan pada lahan (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2001). Evaluasi lahan dapat dilakukan dengan pendekatan dua tahap dan pendekatan pararel. Pendekatan dua tahap terdiri atas tahapan pertama adalah evaluasi lahan secara fisik dan tahapan kedua secara ekonomi. Kegiatan evaluasi lahan secara fisik dan ekonomi pada pendekatan paralel dilakukan secara bersamaan (FAO, 1976).

2.6.2. Kaidah Evaluasi Kesesuaian Lahan

Kaidah klasifikasi kesesuaian lahan (land suitability rules) adalah aturan

(42)

kesepakatan tentang kaidah yang akan dipakai dalam evaluasi lahan. Kaidah-kaidah tersebut dapat dirubah, akan tetapi harus didasarkan pada alas an-alasan yang tepat dan disepakati oleh pakar evaluasi lahan yang dapat berasal dari berbagai disiplin ilmu, seperti : perencana pertanian, ilmu tanah, agronomi, dan lain- lain.

Dalam kaidah klasifikasi kesesuaian lahan perlu ditetapkan hal- hal berikut : (1) Jumlah kelas kesesuaian lahan. (2) Pengharkatan masing-masing kelas kesesuaian lahan, jumlah dan jenis parameter yang dinilai. (3) Pengharkatan (rating) terhadap parameter yang dinilai. (4) Kisaran produksi yang diharapkan untuk masing-masing kelas kesesuaian lahan pada tingkat pengelolaan tertentu, serta produksi optimalnya. (5) Sistim dan prosedur dalam evaluasi lahan, asumsiasumsi misal : data, tingkat pengelolaan, dan lain- lain (Djaenudin et al.,

1994).

2.6.3. Asumsi-asumsi Dalam Evaluasi Lahan

Asumsi-asumsi dalam evaluasi lahan menurut (Djaenudinet al., 2003)

dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : menyangkut areal proyek; dan menyangkut pelaksanaan evaluasi lahan atau intepretasi serta waktu berlakunya dari hasil evaluasi lahan. Beberapa contoh asumsi yang ditetapkan untuk evaluasi lahan secara kuantitatif fisik, adalah :

1. Data tanah yang digunakan hanya terbatas pada informasi atau data dari satuan lahan atau satuan peta tanah.

2. Reliabilitas data yang tersedia : rendah, sedang, tinggi. 3. Lokasi penelitian atau daerah survei.

4. Kependudukan tidak dipertimbangkan dalam evaluasi.

5. Infrastruktur dan aksesibilitas serta fasilitas pemerintah tidak dipertimbangkan dalam evaluasi.

6. Tingkat pengelolaan atau manajemen dibedakan atas 3 tingkatan, yaitu rendah, sedang, dan tinggi.

7. Pemilikan tanah tidak dipertimbangkan dalam evaluasi.

(43)

9. Usaha perbaikan lahan untuk mendapatkan kondisi potensial dipertimbangkan dan disesuaikan dengan tingkat pengelolaannya.

10.Aspek ekonomi hanya dipertimbangkan secara garis besar.

2.6.4. Kualitas Lahan

Menurut (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007), kualitas lahan menunjukkan sifat-sifat lahan yang mempunyai pengaruh nyata terhadap kesesuaian lahan untuk penggunaan tertentu, dimana satu jenis kualitas lahan dapat disebabkan oleh beberapa karakteristik lahan. Kualitas lahan adalah sifat-sifat pengenal yang bersifat-sifat kompleks dari sebidang lahan. Dalam evaluasi lahan sering kualitas lahan tidak digunakan tetapi langsung menggunakan karakteristik lahan, karena keduanya dianggap sama nilainya dalam evaluasi (Driessen, 1997) & PPT, 1983, dalam Djaenudin et al., 2003).

Kualitas lahan dapat bersifat positif yaitu dapat memberikan pengaruh yang menguntungkan bagi suatu penggunaan, akan tetapi dapat juga memberikan pengaruh negatif dengan menimbulkan kerugian-kerugian atau dengan kata lain merupakan faktor penghambat atau pembatas terhadap penggunaan lahan tertentu. Kualitas lahan dapat berpengaruh terhadap satu atau lebih dari jenis penggunaan lahannya. Begitu pula sebaliknya penggunaan lahan dipengaruhi oleh kualitas lahan.

2.6.5. Karakteristik Lahan

(44)

tanah dan kedalaman zone perakaran tanaman yang bersangkutan (Djaenudin et al., 2003).

Karakteristik lahan yang merupakan gabungan dari sifat-sifat lahan dan lingkungannya diperoleh dari data yang tertera pada legenda peta tanah dan uraiannya, peta/data iklim dan peta topografi/elevasi. Karakteristik lahan diuraikan pada setiap satuan peta tanah (SPT) dari peta tanah, yang meliputi : bentuk wilayah/lereng, drainase tanah, kedalaman tanah, tekstur tanah (lapisan atas 0-30 cm, dan lapisan bawah 30-50 cm), pH tanah, KTK liat, salinitas, kandungan pirit, banjir/genangan dan singkapan permukaan (singkapan batuan di permukaan tanah). Data iklim terdiri dari curah hujan rata-rata tahunan dan jumlah bulan kering, serta suhu udara diperoleh dari stasiun pengamat iklim. Data iklim juga dapat diperoleh dari peta iklim yang sudah tersedia, misalnya peta pola curah hujan, peta zona agroklimat atau peta isohyet. Peta-peta iklim tersebut biasanya disajikan dalam skala kecil, sehingga perlu lebih cermat dalam penggunaannya untuk pemetaan atau evaluasi lahan skala yang lebih besar, misalnya skala semi detail (1:25.000 - 1:50.000). Suhu udara didapatkan dari stasiun pengamat iklim di lokasi yang akan dievaluasi atau diestimasi dengan Persamaan (Braak, 1928) jika data tidak tersedia (Ritung et al., 2002).

2.6.6. Kesesuaian Lahan

Kesesuaian lahan adalah penilaian dan pengelompokan atau proses penilaian atau pengelompokan lahan dalam arti kesesuaian relatif lahan atau kesesuaian absolut lahan bagi suatu penggunaan tertentu. Kesesuaian sebagai kenyataan adaptabilitas atau kemungkinan penyesuaian sebidang lahan bagi suatu macam penggunaan tertentu (Arsyad, 2000).

Pengertian kesesuaian lahan (land suitability) berbeda dengan kemampuan

lahan (land capability). Kemampuan lahan lebih menekankan kepada kapasitas

berbagai penggunaan lahan secara umum yang dapat diusahakan disuatu wilayah. Jadi semakin banyak jenis tanaman yang dapat dikembangkan atau diusahakan di suatu wilayah, maka kemampuan lahan tersebut semakin tinggi (Djaenudin et al.,

(45)

Menurut kerangka FAO (1976) dalam Djaenudin et al., (2003) dikenal dua

macam kesesuaian lahan, yaitu : kesesuaian lahan kualitatif dan kuantitatif. Masing-masing kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai secara aktual maupun potensial, atau kesesuaian lahan potensial dan kesesuaian lahan potensial.

Kesesuaian lahan kualitatif adalah kesesuaian lahan yang hanya dinyatakan dalam istilah kualitatif, tanpa perhitungan yang tepat baik biaya atau modal maupun keuntungan. Klasifikasi ini didasarkan hanya pada fisik lahan. Kesesuaian lahan kuantitatif adalah kesesuaian lahan yang didasarkan tidak hanya pada sifat fisik lahan tetapi juga mempertimbangkan aspek ekonomi. Kesesuaian lahan aktual adalah kesesuaian lahan yang dilakukan pada kondisi penggunaan lahan sekarang (present land use), tanpa masukan perbaikan. Kesesuaian lahan

potensial adalah kesesuaian lahan yang dilakukan pada kondisi setelah diberikan masukan perbaikan.

Struktur klasifikasi kesesuaian lahan menurut kerangka FAO (1976) dapat dibedakan menurut tingkatannya sebagai berikut :

1. Ordo : Menunjukkan apakah suatu lahan sesuai atau tidak sesuai untuk penggunaan tertentu. Pada tingkat ordo kesesuaian lahan dibedakan antara lahan yang tergolong sesuai (S) dan lahan tergolng tidak sesuai (N).

2. Kelas : Menunjukkan tingkat kesesuaian suatu lahan dalam tingkat ordo. Pada tingkat kelas, lahan yang tergolong ordo sesuai (S) dibedakan kedalam tiga kelas, yaitu :

 Kelas S1, (Sangat Sesuai) : Lahan tidak mempunyai faktor pembatas yang

berarti atau nyata terhadap penggunaan secara berkelanjutan.

 Kelas S2, (Cukup Sesuai) : Lahan mempunyai faktor pembatas yang

mempengaruhi produktivitasnya, memerlukan tambahan input, biasanya dapat diatasi petani sendiri.

 Kelas S3, (Sesuai Marjinal) : Lahan mempunyai faktor pembatas yang

berat dan berpengaruh terhadap produktivitas, memerlukan tambahan input yang lebih banyak dari Kelas S2, petani tidak mampu mengatasi sendiri.

(46)

 Kelas N1, (Tidak Sesuai Saat Ini) : Lahan mempunyai faktor pembatas

yang sangat berat tetapi masih mungkin diatasi dengan biaya yang sangat besar.

 Kelas N2, (Tidak Sesuai Permanen) : Lahan mempunyai faktor pembatas

yang sangat berat atau sulit diatasi sehingga tidak mungkin digunakan bagi suatu penggunaan secara lestari.

3. Subkelas : Menunjukkan jenis pembatas atau macam perbaikan yang harus dijalankan dalam masing- masing kelas. Kelas kesesuian lahan dibedakan menjadi subkelas berdasarkan kualitas dan karakteristik lahan yang menjadi faktor pembatas terberat. Dalam satu subkelas dapat mempunyai lebih dari satu faktor pembatas; untuk itu pembatas yang paling dominan dituliskan paling depan. Kelas kesesuaian lahan yang dihasilkan dapat diperbaiki dan ditingkatkan kelasnya sesuai dengan peranan faktor pembatas.

4. Unit : menunjukkan perbedaan-perbedaan kecil yang diperlukan dalam pengelolaan didalam sub kelas. Satuan-satuan kesesuaian lahan berbeda satu dengan yang lainnya dalam sifat-sifat atau aspek tambahan dan pengelolaan yang diperlukan dan sering merupakan pembedaan detil dari pembatas-pembatasnya.

2.6.7. Persyaratan Penggunaan Lahan

Penggunaan Lahan (Land Use) diartikan sebagai setiap bentuk intervensi

(campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materil maupun spiritual (Arsyad, 2000). Persyaratan penggunaan lahan adalah sekelompok kualitas lahan yang diperlukan oleh suatu tipe penggunaan lahan agar dapat berproduksi dengan baik (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).

(47)

2.7. Metode Penarikan Garis Batas (Boundary Line Methods)

Boundary line methods adalah metode penarikan batas, dimana garis

pembungkus diagram sebar menunjukan hubungan antara produksi dan kualitas lahan. Garis tersebut membatasi data aktual lapang, sehingga sangat kecil peluangnya akan ditemukan data di luar garis pembungkus tersebut. Garis batas ini menggambarkan batas yang dapat terjadi pada produksi optimum dengan faktor-faktor pertumbuhan tertentu dan dapat digunakan untuk menetapkan kualitas lahan yang sesuai untuk menetapkan produksi optimun. Diagram sebaran hasil yang direncanakan untuk mengatasi faktor pertumbuhan tanaman umumnya mencapai puncak pada tingkat optimum dari faktor pertumbuhan tertentu, dimana garis pembatas memisahkan data dari situasi nyata dan tidak nyata. Penggambaran seperti ini sangat bermanfaat dalam mendiagnosa kemungkinan perolehan produksi maksimum yang konsisten dengan nilai apapun dari faktor pertumbuhan tertentu yang dapat ditentukan (Walworth et al., 1986).

2.8. Metode Pembatasan Minimum

Keseluruhan sifat fisik yang sesuai dari area lahan untuk tipe penggunaan lahan diambil dari yang paling membatasi kualitas lahan, yaitu kualitas lahan yang nilainya sangat buruk. Metode ini memiliki keuntungan yaitu sederhana. Hukum Minimum (Law of the minimum) : Jika tingkat kualitas-kualitas lahan tergambar

(48)

III.

BAHAN DAN METODE

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari penelitian terdahulu yang dilakukan di Jawa Barat. Kegiatan yang dilakukan terdiri dari survei lapangan dan analisis laboratorium. Survei lapangan dan pengamatan produksi tanaman ubikayu dilakukan di sentra perkebunan budidaya ubikayu masyarakat provinsi Lampung. Pengamatan dilakukan pada beberapa titik yang mewakili daerah, antara lain : Lampung Tengah, Lampung Timur, Lampung Selatan, dan Lampung Utara. Analisis kimia dilakukan di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Pengujian Balai Besar Pascapanen Pertanian (BBPP), Cimanggu, Bogor. Penelitian dilaksanakan dari bulan Juli sampai Oktober 2010.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : contoh tanah komposit, data primer, data sekunder, bahan-bahan kimia untuk analisis tanah, bahan-bahan kimia untuk analisis pati, dan bahan-bahan kimia untuk analisis amilosa. Sedangkan peralatan yang digunakan dalam pengambilan contoh tanah dan pengamatan sifat fisik lapang diantaranya adalah peta-peta Provinsi Lampung, kuisioner (Lampiran 1), bor belgi, meteran, pisau lapang, sekop, garpu, munsell soil color chart, kompas, abney level, altimeter, Global Positioning System (GPS),

plastik, spidol, Software Microsoft Excel, Arcview 3.3, Arcgis 9, serangkaian

peralatan laboratorium untuk analisis tanah dan ubikayu.

3.3. Metodologi Penelitian

(49)

derajat dan jumlah pembatas yang dimiliki lahan untuk tanaman yang tumbuh normal. Dalam hal ini sifat-sifat tanah dibandingkan dengan faktor kelas kesesuaian lahan bagi tanaman ubikayu. Tahapan pelaksanaan penelitian meliputi kegiatan pendahuluan, survei dan pengamatan lapangan, analisis tanah dan tanaman di laboratorium, analisis data penetapan kriteria kesesuaian lahan, peneraan umur untuk produksi umbi dan biomas pati, model penarikan batas kriteria kesesuaian lahan, dan analisis usahatani.

3.3.1. Kegiatan Pendahuluan

Kegiatan yang dilakukan meliputi pencarian pustaka, pengumpulan data-data agrobiofisik daerah penelitian, perijinan penelitian, dan mempersiapkan bahan dan alat yang akan dibawa ke lapang.

3.3.2. Survei dan Pengamatan Lapangan

Kegiatan yang dilakukan pada survei dan pengamatan lapangan meliputi : 1. Pemetaan dimulai dari pengamatan morfologi tanah melalui pemboran,

penentuan titik kordinat pengamatan menggunakan GPS (Lampiran 2), dan pengambilan sampel.

2. Melakukan pengambilan contoh tanah secara komposit.

3. Melakukan analisis parameter meliputi mengukur kemiringan lereng (%) dengan menggunakan abney level, mengukur kedalaman efektif yaitu sampai

kedalaman akar menembus tanah, mengukur ketersediaan udara dengan melihat kondisi drainase tanah di lapangan.

4. Melakukan pengambilan sampel umbi, batang, daun, pucuk, dan buah dari ubikayu.

5. Melakukan pengamatan morfologi ubikayu.

6. Melakukan dokumentasi sampel pada titik pengamatan. 7. Mewawancarai petani dan pemilik kebun.

Gambar

Tabel 4.  Sebaran Tanaman Ubikayu di Indonesia
Tabel 13. Analisis Usahatani Ubikayu Provinsi Lampung
Gambar 3. Hubungan Produksi Pati Aktual (a) dan Teraan (b) Ubikayu
Gambar 4. Hubungan antara Produksi Umbi Tera (a) dan Produksi Pati (b)
+7

Referensi

Dokumen terkait

diharapkan dari penelitian……….. Kriteria klasifikasi kemampuan lahan pada tingkat sub kelas………….... Penggunaan lahan Kota Bima tahun 2005 ... Penggunaan lahan Kota Bima

Serta terdapat tiga f yaitu (i) kelerengan, (ii) kedala (iii) tekstur tanah.Berdasarka yang dipertimbangkan dalam sebaran daerah penanaman pada yaitu kelas kesesuaian lahan,

Tujuan: mengetahui (1) pengaruh sifat fisik dan kimia tanah pada produksi bawang daun, (2) pengaruh pemupukan dan ketinggian, dan (3) nilai ekonomi lahan pada ketinggian 800 hingga

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelas kesesuaian lahan untuk tanaman padi Sawah dan padi Gogo di Kabupaten Lombok Tengah berdasarkan beberapa aspek yaitu

Berdasarkan hasil pencocokan data karakteristik tanah dengan tanaman kentang maka diperoleh kelas kesesuaian lahan aktual pada SPL 2 adalah sesuai marginal /S3

Setelah mempertimbangkan usaha-usaha perbaikan yang dapat dilakukan pada faktor-faktor penghambatnya, maka selanjutnya diperolehlah kelas kesesuaian lahan potensial

Kualitas tanah dilihat dari sifat fisika tanah tekstur, struktur, dan drainase pada lahan tanaman kakao di Kenagarian Lakitan Utara Kecamatan Lengayang adalah untuk tekstur tergolong

Rekomendasi ideal untuk meningkatkan nilai kesesuaian lahan di Desa Sumberejo untuk penanaman porang adalah dengan pembuatan teras dan penanaman vegetasi penutup tanah untuk mengatasi