STUDI BEBERAPA ASPEK BIOLOGI KEPITING PASIR
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:
Studi Beberapa Aspek Biologi Kepiting Pasir di Kecamatan Buluspesantren,
Kabupaten Kebumen
adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2012
Eni Megawati C24080052
RINGKASAN
Eni Megawati. C24080052. Studi Beberapa Aspek Biologi Kepiting Pasir di
Kecamatan Buluspesantren, Kabupaten Kebumen. Di bawah bimbingan Yusli
Wardiatno dan Ali Mashar.
Kepiting pasir dikenal oleh masyarakat Kebumen dengan sebutan yutuk dengan common name yaitu mole crab atau sand crab. Kepiting pasir merupakan salah satu jajanan khas pantai di Kebumen yang dikonsumsi dalam bentuk rempeyek. Selain dimanfaatkan sebagai sumber protein, kepiting pasir juga dapat dimanfaatkan sebagai indikator pencemaran (Boere et al. 2011). Studi mengenai kepiting pasir di dunia sudah banyak dilakukan, akan tetapi di Indonesia hanya penelitian mengenai kandungan omega 6 yang dilakukan oleh Mursyidin (2007), sehingga data dan informasi mengenai kepiting pasir masih minim. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai studi beberapa aspek biologi kepiting pasir dari jenis Emerita emeritus dan Hippa ovalis yang meliputi aspek pertumbuhan, distribusi frekuensi panjang karapas, nisbah kelamin, dan aspek reproduksi yang meliputi fekunditas dan stadia telur, sehingga dapat menjadi input untuk pengelolaan sumberdaya perikanan kepiting pasir.
Penelitian dilakukan di wilayah pantai berpasir, Kecamatan Buluspesantren, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Pengambilan sampel dilakukan pada bulan Maret – Mei 2012 dengan frekuensi pengambilan yaitu sebulan sekali. Pengambilan kepiting pasir dilakukan dengan cara menyusur pantai sejauh 3 kilometer. Alat yang digunakan yaitu alat tradisional yang terbuat dari bambu dan memiliki bentuk seperti huruf T. Pengoperasian alatnya menyerupai garuk yang digunakan untuk menjemur padi. Analisis laboratorium dilakukan pada bulan April – Juni 2012 di
Laboratorium Biologi Mikro 1 Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan IPB.
Hasil identifikasi ditemukan tiga jenis kepiting pasir yaitu Emerita emeritus, Hippa ovalis, dan Albunea. Jumlah Emerita emeritus lebih mendominasi dibandingkan jenis yang lainnya. Tipe pertumbuhan Emerita emeritus dan Hippa ovalis yaitu tipe allometrik negatif. Panjang karapas Emerita emeritus berkisar antara 19-34 mm, sedangkan Hippa ovalis berkisar antara 15-39 mm. Perbandingan jantan dan betina Emerita emeritus berbeda secara nyata sementara itu Hippa ovalis tidak berbeda nyata. Stadia telur yang mendominasi baik untuk jenis kepiting pasir Emerita emeritus maupun Hippa ovalis yaitu stadia 1. Fekunditas Emerita emeritus berkisar 180-10120 butir telur, sedangkan Hippa ovalis memiliki fekunditas 809- 6150 butir telur.
STUDI BEBERAPA ASPEK BIOLOGI KEPITING PASIR
PENGESAHAN SKRIPSI
Judul Skripsi : Studi Beberapa Aspek Biologi Kepiting Pasir di Kecamatan
Buluspesantren, Kabupaten Kebumen
Nama Mahasiswa : Eni Megawati
Nomor Induk : C24080052
Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan
Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M. Sc NIP. 19660728 199103 1 002
Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
rahmat yang diberikan-NYA penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Studi Beberapa Aspek Biologi Kepiting Pasir di Kecamatan Buluspesantren,
Kabupaten Kebumen”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh
gelar sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada Dr. Ir. Yusli Wardiatno M.Sc dan Ali Mashar S.Pi, M.Si selaku
pembimbing dan berbagai pihak yang telah banyak membantu dalam memberikan
bimbingan, dukungan, masukan dan arahan sehingga penulis dapat menyusun
skripsi ini dengan baik. Namun demikian, penulis mengharapkan bahwa penelitian
ini memberikan manfaat untuk berbagai pihak.
Bogor, Agustus 2012
Eni Megawati
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Allah SWT yang senantiasa menjadi tempat berserah diri
2. Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc dan Ali Mashar, S.Pi, M.Si selaku ketua dan
anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan serta
masukan hingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
3. Ir. Zairion, M.Sc dan Ir. Agustinus M Samosir, M.Phil selaku dosen penguji
tamu dan ketua program studi atas saran, nasehat dan perbaikan yang
diberikan.
4. Dr. Ir. Hefni Effendi, M.Phil selaku pembimbing akademik yang senantiasa
membimbing penulis selama menempuh pendidikan di Departemen
Manajemen Sumberdaya Perairan.
5. Staf Tata Usaha MSP, terutama Mbak Widaryanti, serta Ibu Siti Nursiyamah
staf dari Laboratorium Biomikro-1 atas arahan dan bantuan yang telah
diberikan selama ini.
6. Keluarga tercinta: Bapak H. Partin, Ibu Hj. Muchayati, Mba Wiwin, Mas
Umar, Mas Asro, Fina, Lik Priati, Lik Parno, adek Tuti atas doa, kasih
sayang, semangat, perhatian, kesabaran dan dukungan baik moril maupun
materiil kepada penulis.
7. Bapak dan Ibu Sarmo dan Mbah Barja yang telah membantu penulis saat
sampling di lapang serta teman satu tim “Yutuk” yaitu Rani Nuraisah.
8. Yayasan Karya Salemba Empat atas beasiswa yang diberikan
9. Marina, Indra, Supri, Imam, Dyan, Selvy, Nisa, Nita, Umi, Lisdiana, Farida,
Titi dan Suami, yang telah direpotkan saat penelitian. Gita, Intan, Precia,
Nimas, Jiwen, Rekha, Danu serta teman-teman MSP 45, 44, 43, 46, 47 yang
tidak bisa disebutkan satu persatu.
10. Nahla crew : Raehana, Ayu, Hamda, Welda, Diana, Dian, Leny, Leli, Imma,
Susan atas suka dukanya selama 2 tahun satu atap.
11. Forum Keluarga Muslim C, BEM FPIK 2010 (Rio, Aty, Faiza, Yulia, Hilmi,
Lukman, Viviq, Dilla), FORKOMA Kebumen (Dani, Nurul, Yuda, Azmi,
Ansor, Pian, Putut, Beqi, Amin, Tri, Feni, Rena, Vintya, Nisa, Agung,
Irgham, dan Forkoma 49) terima kasih atas doa dan dukungannya.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kebumen pada tanggal 21 September
1990 dari pasangan Bapak H. Partin dan Ibu Hj. Muchayati.
Penulis merupakan putri ketiga dari tiga bersaudara. Penulis
memulai pendidikannya di Taman Kanak-Kanak Perwanida
(1996), SDN 6 Bumirejo (2002), SMP Negeri 5 Kebumen
(2005), SMA Negeri 2 Kebumen (2008). Ditahun 2008 penulis
melanjutkan pendidikannya di Institut Pertanian Bogor melalui
jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada program studi Manajemen
Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor.
Semasa di IPB penulis aktif berorganisasi di Koran Kampus sebagai
Reporter, Klub Cinta Lingkungan pada divisi program, Forum Keluarga Muslim C
sebagai staf HRD (2009-2010), BEM-C sebagai sekertaris departemen sosial dan
lingkungan (2010-2011), Senyum Kebumenku sebagai Kepala HRD, dan aktif di
Keluarga Alumni Rohis SMA Negeri 2 (KARISMANDA) Kebumen. Penulis juga
pernah menjadi Asisten mata Kuliah Metode Statistika, Fisiologi Hewan Air,
Toksikologi Lingkungan, Ekotoksikologi Perairan, dan Oseanografi Umum. Penulis
juga mengikuti beberapa kepanitian seperti panitia Kongres HIMAPIKANI X
sebagai Bendahara Umum, Festival Air sebagai tim acara, Jelajah Kampung
Nelayan sebagai Bendahara Umum, dan lain sebagainya. Selain itu, penulis juga
terpilih menjadi Mahasiswa Berprestasi 2 Tingkat Departemen Manajemen
Sumberdaya Perairan tahun 2011.
Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis
menyusun skripsi yang berjudul “Studi Beberapa Aspek Biologi Kepiting Pasir di
Kecamatan Buluspesantren, Kabupaten Kebumen” dibawah bimbingan Dr. Ir
Yusli Wardiatno, M.Sc dan Ali Mashar S.Pi, M.Si.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ...ix
DAFTAR TABEL ...x
DAFTAR GAMBAR ...xi
DAFTAR LAMPIRAN ...xii
1. PENDAHULUAN... 1
1.1 Latar Belakang ...1
1.2 Tujuan Penelitian ...2
1.3 Manfaat Penelitian ...2
1.4 Rumusan Masalah ...2
2. TINJAUAN PUSTAKA ...4
2.1 Biologi Kepiting Pasir ...4
2.2 Habitat dan Tingkah Laku Kepiting Pasir ...6
2.3 Pertumbuhan Kepiting Pasir ...8
2.4 Siklus Hidup dan Reproduksi Kepiting Pasir ...9
3. METODE PENELITIAN ...12
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ...12
3.2 Prosedur Pengambilan dan Penanganan Sampel ...12
3.3 Analisis Data...14
3.3.1 Hubungan panjang karapas dengan berat total ...14
3.3.2 Sebaran frekuensi panjang ...15
3.3.3 Nisbah kelamin...15
3.3.4 Analisis stadia telur kepiting pasir ...15
3.3.5 Hubungan panjang karapas dan fekunditas kepiting pasir ...16
4. HASIL DAN PEMBAHASAN... 17
4.1 Hasil ...17
4.1.1 Komposisi Jenis... 17
4.1.2 Hubungan panjang karapas dengan berat total ...18
4.1.3 Distribusi Ukuran Selang Kelas Panjang...20
4.1.4 Nisbah Kelamin ...21
4.1.5 Reproduksi ...23
4.2 Pembahasan ...27
4.3 Implementasi Pengelolaan Sumberdaya Kepiting Pasir ...32
5. KESIMPULAN DAN SARAN... 34
5.1 Kesimpulan ...34
5.2 Saran ...34
DAFTAR PUSTAKA... 35
LAMPIRAN ...38
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Emerita emeritus...5
2. Hippa ovalis ...6
3. Daur hidup kepiting pasir ...9
4. Stadia telur ordo decapoda ...11
5. Lokasi pengambilan sampel ...12
6. Alat pencari kepiting pasir ...13
7. Pengukuran panjang karapas kepiting pasir ...13
8. (a) Emerita emeritus (b) Hippa ovalis (c) Albunea ...17
9. Jumlah kepiting pasir yang tertangkap ...17
10. Perbandingan hubungan panjang karapas dan berat Emerita emeritus yang bertelur, tidak, dan total ...18
11. Perbandingan hubungan panjang karapas dan berat Hippa ovalis bertelur, tidak bertelur, dan total...19
12. Distribusi ukuran selang kelas panjang Emerita emeritus ...20
13. Distribusi frekuensi panjang Hippa ovalis ...21
14. Komposisi betina Emerita emeritus...23
15. Komposisi betina Hippa ovalis ...24
16. Stadia telur kepiting pasir jenis Emerita emeritus dan Hippa ovalis...24
17. Komposisi stadia telur Emerita emeritus ...25
18. Komposisi stadia telur Hippa ovalis ...25
19. Hubungan panjang karapas dengan jumlah telur Emerita emeritus ...26
20. Hubungan panjang karapas dengan jumlah telur Hippa ovalis...26
DAFTAR LAMPIRAN
3. Pantai Enthak...39
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Wilayah pesisir merupakan suatu wilayah pertemuan antara wilayah lautan
dan wilayah daratan. Wilayah pesisir memiliki potensi sumberdaya yang sangat
melimpah, baik secara fisik maupun biologi. Secara fisik, wilayah pesisir dapat
dimanfaatkan sebagai mesin penggerak dalam bidang jasa pariwisata. Sementara itu
secara biologi, ikan dan sumberdaya perikanan lainnya dapat dimanfaatkan sebagai
sumber mata pencaharian bagi warga sekitar. Salah satu kabupaten di Indonesia
yang berada di wilayah pesisir yaitu Kabupaten Kebumen.
Kabupaten Kebumen merupakan salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang
letaknya berada di selatan Pulau Jawa yang tepat langsung berbatasan dengan
Samudera Hindia. Salah satu sumberdaya perikanan yang ada di pesisir pantai
Kebumen adalah kepiting pasir.
Kepiting pasir dikenal oleh masyarakat Kebumen dengan sebutan yutuk dan
dalam bahasa Indonesia dikenal dengan sebutan undur-undur laut. Kepiting pasir
merupakan salah satu jajanan khas pantai di Kebumen yang biasanya dikonsumsi
menjadi rempeyek. Selain dimanfaatkan sebagai sumber protein, kepiting pasir juga
dapat dimanfaatkan sebagai indikator pencemaran (Boere et al. 2011). Menurut
Perez (1999) kepiting pasir jenis Emerita brasiliensis dan Emerita portoricensis
dapat menjadi bioindikator untuk merkuri karena dapat mengakumulasi logam
tersebut. Selain itu, kepiting pasir juga mempunyai daerah distribusi yang luas,
mudah ditangkap, dan dekat dengan aktivitas manusia (Boere et al. 2011).
Studi mengenai kepiting pasir di dunia sudah banyak dilakukan, misalnya
studi mengenai akumulasi merkuri (Perez 1999), studi mengenai produktivitas
sekunder (Petracco et al. 2003), dan studi mengenai parasit yang ada di dalam tubuh
kepiting pasir (FMSA 2007). Akan tetapi untuk di Indonesia sendiri, penelitian
mengenai kepiting pasir yang baru tercatat hanya penelitian mengenai kandungan
Omega 6 yang dilakukan oleh Mursyidin (2007), sehingga data dan informasi
mengenai kepiting pasir yang ada di Indonesia masih minim. Padahal kepiting pasir
merupakan sumberdaya penting dalam siklus rantai makanan yang dalam trofik level
merupakan konsumen tingkat awal di daerah pantai berpasir (Rodgers 1778; Lercari
& Deffeo 1999; Hurband & Dugan 2003 in Boere et al. 2011).
Selain dapat dijadikan indikator suatu perairan, dilihat dari segi ekonomi
kepiting pasir memiliki nilai jual yang cukup tinggi. Di daerah pesisir Kebumen,
nilai jual 1 kilogram yutuk mencapai Rp 25.000,00. Saat ini, besarnya tingkat
pemanfaatan kepiting pasir tidak diimbangi dengan pengetahuan tentang cara
melestarikan sumberdaya kepiting pasir. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian
mengenai studi beberapa aspek biologi kepiting pasir. Hasil dari analisis tentang
beberapa aspek biologi kepiting pasir ini dapat dijadikan sebagai bukti ilmiah dan
dapat menjadi input dalam penyusunan suatu rencana untuk melakukan pengelolaan
sumberdaya perikanan kepiting pasir secara berkelanjutan di Indonesia secara
umum, dan khususnya di pesisir Kabupaten Kebumen.
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui beberapa aspek biologi kepiting
pasir jenis Emerita emeritus dan Hippa ovalis meliputi pola pertumbuhan, distribusi
selang ukuran panjang karapas, nisbah kelamin, dan aspek reproduksi yang meliputi
stadia telur dan fekunditas.
1.3 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bukti ilmiah dan dapat dijadikan
input dalam penyusunan suatu rencana pengelolaan sumberdaya perikanan kepiting
pasir secara berkelanjutan serta memberikan informasi mengenai beberapa aspek
biologi kepiting pasir jenis Emerita emeritus dan Hippa ovalis di pantai Kecamatan
Buluspesantren, Kabupaten Kebumen.
1.4 Rumusan Masalah
Sumberdaya perikanan pantai terdiri dari sumberdaya fisik dan biologi.
Sumberdaya fisik sebagai contoh yaitu pantai itu sendiri. Sedangkan sumberdaya
biologi misalnya kepiting pasir. Kepiting pasir atau yang sering disebut dengan
yutuk oleh masyarakat Kebumen, memiliki nilai ekonomis maupun ekologis.
Kepiting pasir bernilai ekonomis karena memiliki nilai jual, sehingga dijadikan
sumber mata pencaharian warga sekitar pesisir pantai di wilayah Kebumen. Kepiting
pasir dapat dijadikan makanan khas pantai yang sangat digemari. Oleh karena itu,
setiap harinya kepiting ditangkap untuk memenuhi kebutuhan warung-warung yang
ada di sekitar pantai. Secara ekologis, menurut Rodgers (1978), Lercari & Defeo
(1999) dan Hurband & Dugan (2003) in Boere et al. (2011) kepiting pasir
merupakan sumberdaya penting dalam siklus rantai makanan yang berperan sebagai
konsumen tingkat awal dalam trofik level. Apabila setiap hari kepiting pasir
ditangkap secara intensif tanpa mempertimbangkan fase-fase penting dalam daur
hidupnya, tentu dapat mengganggu fungsi ekologis dan manajemen kelestariannya.
Besarnya pemanfaatan dan penangkapan tidak diimbangi dengan pengetahuan
tentang cara melestarikan sumberdaya kepiting pasir, oleh karena itu perlu dilakukan
studi mengenai beberapa aspek biologi kepiting pasir yang dapat dijadikan input
untuk pengelolaan sumberdaya kepiting pasir secara berkelanjutan.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biologi Kepiting Pasir
Klasifikasi Emerita emeritus menurut Zipcodezoo (2012) dan Hippa ovalis
menurut crust.biota.biodiv.tw (2012) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Super kelas : Crustacea
Kelas : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Famili : Hippidae
Genus : Emerita
Spesies : Emerita emeritus
Genus : Hippa (Fabricius 1787)
Spesies : Hippa ovalis (A. Milne-Edwards 1862)
Adapun common name dan nama daerah dari Emerita emeritus dan Hippa
ovalis tersebut adalah sebagai berikut:
Common Name : Mole Crab, Sand Crab
Nama daerah : Yutuk (Kebumen), Undur-undur laut (Yogyakarta)
(Republika 2003), Ketam pasir (Mursyidin 2007)
Kepiting pasir termasuk kedalam famili Hippidae yang memiliki ciri-ciri
khusus yaitu tubuh sangat pendek dan melengkung, abdomen bilateralsimetris,
lunak, pipih dorsoventral, atau sedikit membulat, ujung posterior abdomen terlipat
kearah ventral dan kedepan, cephalothoraks tumbuh sangat baik, memiliki rostrum
kecil atau mereduksi, telson berada di bawah thoraks, memanjang dan meruncing.
Memiliki kaki pertama yang disebut chelate atau subchelate, kaki ke lima tereduksi
dan melipat, serta selalu berada di bawah karapas (Haye et al. 2002).
Kepiting pasir umumnya berukuran kecil dan dapat tumbuh hingga mencapai
ukuran panjang 35 mm dan lebar 25 mm. Kepiting pasir memiliki ciri berwarna abu-
abu atau sewarna dengan pasir dan tidak memiliki tulang belakang. Seperti krustasea
lainnya, kepiting pasir melakukan molting secara periodik. Di dalam rantai
makanan, keberadaan kepiting pasir sangat penting, karena berada di level
konsumen tingkat 1 (Boere et al. 2011).
Kepiting pasir betina memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dibandingkan
dengan kepititng pasir jantan. Hasil penelitian Petracco et al. (2003) di Pantai
Prainha Brazil, Emerita brasiliensis jantan terbesar mencapai ukuran 15 mm,
sedangkan yang betina mencapai ukuran 23-24 mm. Peneliti sebelumnya mengamati
bahwa betina dari genus Emerita cenderung tumbuh lebih cepat daripada jantan
(Sastre 1991; Contreras et al. 1999; Veloso & Cardoso 1999 in Petracco et al. 2003).
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh Veloso & Cardoso (1999) dan Defeo
et al. (2001) in Petracco et al. (2003) menunjukkan bahwa tingkat kematian E.
brasiliensis betina lebih tinggi dibandingkan jantannya.
Berikut ini merupakan gambar Emerita emeritus dan Hippa ovalis yang
disajikan pada Gambar 1 dan Gambar 2.
Gambar 1. Emerita emeritus Sumber : educationally.narod.ru 2012
Gambar 2. Hippa ovalis Sumber : crust.biota.biodiv.tw 2012
2.2 Habitat dan Tingkah Laku Kepiting Pasir
Kepiting pasir termasuk kedalam subfilum crustacea, yang secara umum
berkerabat dengan udang (shrimp), kepiting (crab), lobster, dan teritip (barnacle).
Hewan ini mempunyai struktur tubuh yang sangat khas yaitu bulat. Secara umum
kepiting pasir dilengkapi dengan karapas dan dua antena seperti sisir yang berbentuk
huruf „V . Kedua antena ini digunakan untuk menangkap makanan. Makanan
kepiting pasir adalah plankton dan detritus yang terbawa dalam air, sehingga sering
disebut filter feeder (Wenner 1977). Keberadaan makanan kepiting pasir ada pada
saat laut tenang. Selain itu, kepiting pasir hanya memakan makanan yang segar yang
dibawa ke arah pantai oleh angin. Pada tahun 1970 dilakukan penelitian yang
memberikan informasi yaitu pada bulan september, kepiting pasir memakan goat
fish (Subramoniam 1981 in Deglado & Defeo 2006)
Kepiting pasir memiliki sifat memendamkan diri dalam pasir untuk
menghindari predator dan menyimpan energi (Mc Gaw 2005 in Boere 2011).
Kepiting pasir menggali pasir menggunakan uropod dan keempat pasang kaki.
Seringkali muncul ketika tersapu gelombang pasang, dan memendamkan diri ketika
gelombang surut sehingga hanya antena saja yang terlihat. Antenna pada kepititng
pasir berfungsi sebagai penyaring plankton dan detritus-detritus yang terbawa oleh
gelombang pasang surut (Beries 1980 in Perez 1999).
Substrat dasar merupakan salah satu faktor ekologis utama yang
mempengaruhi kelimpahan ataupun struktur suatu jenis biota (Nybakken 1988).
Karakteristik pantai ada bermacam-macam yaitu pantai berpasir, pantai berbatu, dan
pantai berlumpur. Menurut Dahuri (2003), pantai di Indonesia secara morfologi
terbagi menjadi tujuh yaitu : pantai terjal berbatu, pantai landai dan datar, pantai
dengan bukit pasir, pantai beralur, pantai lurus di daratan pantai yang landai, pantai
berbatu, dan pantai yang terbentuk karena erosi.
Faktor utama yang mempengaruhi keanekaragaman dan distribusi suatu biota
yaitu substrat, organik, oksigen terlarut, pH, salinitas, dan suhu. Odum (1971) in
Efriyeldi (1999) menyatakan bahwa kecepatan arus secara tidak langsung dapat
mempengaruhi substrat dasar perairan. Nilai pH substrat erat hubungannya dengan
bahan organik substrat, jenis substrat dan kandungan oksigen. Derajat keasaman
(pH) akan mempengaruhi daya tahan organisme dan reaksi enzimatik.
Suhu merupakan salah satu faktor penting dalam mengatur proses kehidupan
dan juga pola penyebaran organisme. Proses kehidupan yang vital, yang secara
kolektif disebut metabolisme, hanya berfungsi di dalam kisaran suhu yang relatif
sempit, biasanya antara 0-40oC. Kebanyakan organisme laut telah mengalami
adapatasi untuk hidup dan berkembang biak dalam kisaran suhu yang lebih sempit
daripada kisaran total 0-40oC (Nybakken 1988). Pengaruh suhu secara langsung
dapat dilihat dari kemampuannya mempengaruhi laju fotosintesis dari tumbuh-
tumbuhan dan juga proses fisiologi hewan.
Suhu di daerah intertidal dipengaruhi oleh suhu udara selama periode
berbeda-beda. Suhu di daerah intertidal mempunyai kisaran yang luas, baik secara
harian maupun musiman. Organisme dapat mati apabila pasang surut terjadi ketika
suhu udara minimum (daerah sedang-kutub) atau ketika suhu udara maksimum
(tropik), sehingga batas tropik dapat terlampaui. Suhu permukaan laut di perairan
Indonesia umumnya berkisar antara 280C-310C (Nontji 1993 in Hasyim et al. 2010).
Tingginya nilai suhu permukaan laut di perairan Indonesia disebabkan oleh posisi
geografi Indonesia yang terletak di wilayah ekuator yang merupakan daerah
penerima panas matahari terbanyak (Hasyim et al. 2010).
Perubahan salinitas yang terjadi di zona intertidal dipengaruhi oleh
terbukanya zona intertidal pada saat pasang turun dan kemudian digenangi air atau
aliran air akibat hujan lebat. Hal ini dapat menyebabkan salinitas akan menurun.
Pada keadaan tertentu, penurunan salinitas akan melewati batas toleransi yang akan
menyebabkan organisme mati. Selain terbukanya daerah intertidal, pasang surut juga
erat kaitannya dalam mempengaruhi perubahan salinitas. Daerah yang menampung
air laut ketika pasang turun dapat digenangi oleh air tawar yang mengalir masuk
ketika hujan deras sehingga menurunkan salinitas. Sebaliknya, kenaikan salinitas
akan terjadi pada saat siang hari saat penguapan sangat tinggi (Nybakken 1988).
Kadar salinitas yang diperlukan untuk bertelur dan untuk pertumbuhan berbeda.
Salinitas untuk kepiting pasir yang bertelur lebih kecil dibandingkan untuk kepiting
pasir yang sedang tumbuh (Begon et al 1990 in Bakir et al. 2009)
Kondisi lingkungan perairan laut memiliki pH yang bersifat relatif stabil dan
dalam kisaran yang sempit yaitu antara 7,5-8,4 (Nybakken 1988). Kondisi perairan
yang sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup
organisme karena dapat menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan
respirasi, selain itu jika pH dalam suatu perairan rendah maka dapat menghambat
laju reproduksi organisme perairan (Affandi & Tang 2002).
2.3 Pertumbuhan Kepiting Pasir
Pertumbuhan merupakan perubahan baik panjang, berat, maupun volume
dalam waktu tertentu. Pertumbuhan ada yang disebut dengan pertumbuhan mutlak.
Pertumbuhan mutlak yaitu selisih rataan bobot akhir dengan bobot awalnya (Effendi
2005). Ciri pertumbuhan yaitu terjadi perubahan ukuran, perubahan proporsi,
hilangnya ciri-ciri lama, dan timbulnya ciri-ciri baru. Faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan.
Pertumbuhan terjadi diberbagai stadia. Stadia larva terjadi perubahan bentuk
dan ukuran. Stadia remaja terjadi perubahan panjang dan model hubungan panjang
dan berat. Stadia dewasa terjadi perubahan energi untuk pematangan gonad dan alat
reproduksi. Stadia tua terjadi perubahan untuk pemeliharaan tubuhnya (Effendi
2005).
Hubungan panjang karapas dan bobot dapat digunakan untuk menduga pola
pertumbuhan kepiting pasir. Dalam biologi perikanan hubungan panajng dan berat
berguna untuk mengkonversi persamaan pertumbuhan panjang kedalam persamaan
pertumbuhan bobot yang berguna untuk membuat model stok assesmen dan
mengestimasi stok biomassa dari ukuran sampel terbatas (Binohlan & Pauly 1998;
Koutrakis & Tsikliras 2003; Valle et al. 2003; Ecoutin et al. 2005 in Nurdawati
2010)
2.4 Siklus Hidup dan Reproduksi Kepiting Pasir
Pada umumnya, siklus hidup kepiting pasir yaitu telur – protozeoa – zoea –
megalopa – juvenil – dewasa. Hanson (1965) menyatakan bahwa kepiting pasir
memiliki daur hidup yang relatif lama. Daur hidup kepiting pasir dimulai dari
embrio kemudian menjadi zoea yang kemudian berkembang menjadi megalopa,
kemudian berkembang menjadi kepiting pasir remaja (juvenile) yang berakhir
dengan menjadi kepiting pasir dewasa. Daur hidup kepiting pasir dapat dilihat pada
Gambar 3.
Gambar 3. Daur hidup kepiting pasir Sumber : Hanson (1965)
Kepiting pasir mempunyai 8-11 stadia larva dan selama stadia itu mereka
berada di lepas pantai (off shore). Ketika sudah mengalami stadia larva, mereka
kembali ke pantai dan memasuki fase recruitment. Di daerah sub tropis, recruitment
terjadi sepanjang tahun, namun jumlah terbesar terjadi pada saat musim panas dan
musim gugur (FMSA 2007). Di daerah tropis, hasil penelitian Ansell et al. (1972) in
Phasuk & Bonruang (1975) fase recruitment terjadi pada bulan Februari dan Maret.
Hasil penelitian Phasuk & Bonruang (1975) yang dilakukan di pantai Thailand
menunjukkan kelimpahan maksimum kepiting pasir betina pada bulan Juni,
sedangkan jantan terjadi pada bulan April. Hasil penelitian Hanson (1965)
menyatakan bahwa kisaran parameter lingkungan yang mempengaruhi larva
kepititng pasir yaitu suhu 25,5o serta salinitas 34,45 % - 35,8 %.
Di daerah sub tropis, kepiting pasir dapat ditemukan sepanjang tahun dengan
jumlah besar ditemukan pada musim semi sampai musim gugur. Saat musim dingin,
mereka berada di dalam pasir lepas pantai (off shore) dan kembali ke pantai saat
musim semi. Musim reproduksi terjadi pada bulan Februari sampai bulan Oktober,
Kepiting pasir betina dapat menghasilkan 50-45.000 butir telur per siklus (FMSA
2007).
Kepiting pasir merupakan hewan diocieous. Meskipun demikian ada jenis
tertentu yang merupakan hermaprodit protandri. Jenis yang termasuk kedalam jenis
kepititng pasir hermaprodit yaitu Emerita asiatica (Subramoniam 1981 in Deglado
dan Defeo 2006). Subramoniam (1981) in Deglado dan Defeo (2006) menyatakan
bahwa musim kepiting pasir untuk bertelur yaitu pada bulan september – desember.
Hal ini terjadi pada saat air tenang.
Menurut Nikolsky in Effendi (2005) fekunditas dibagi menjadi tiga yaitu
fekunditas mutlak, fekunditas nisbi, dan fekunditas total. Fekunditas mutlak yaitu
jumlah telur masak sasaat sebelum memijah. Fekunditas nisbi yaitu jumlah telur per
satuan panjang atau berat. Fekunditas total yaitu jumlah seluruh telur yang
dihasilkan selama satu siklus produksi atau dari awal sampai akhir. Metode untuk
menghitung fekunditas terbagi menjadi dua yaitu metode sensus (langsung) dan
metode volumetrik.
Trijoko (1988) in Mursyidin (2007) melaporkan bahwa kepiting pasir di
pantai selatan Yogyakarta mempunyai fekunditas antara 1.410–11.983 butir telur
yang berbanding lurus dengan panjang dan lebar karapas serta berat tubuhnya.
Hanson (1965) mengatakan ciri warna telur untuk stadia pertama yaitu
berwarna kuning telur dan minimum panjang karapas untuk bertelur yaitu pada saat
panjang karapas berukuran 11,5 milimeter. Pada stadia selanjutnya warna akan
menjadi transparan yang kemudian akan berkembang menjadi embrio.
3. METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di wilayah pantai berpasir, Kecamatan Buluspesantren,
Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Pengambilan sampel dilakukan pada bulan
Maret – Mei 2012 dengan frekuensi pengambilan sampel yaitu sebulan sekali.
Analisis laboratorium dilakukan pada bulan April – Juni 2012 di Laboratorium
Biologi Mikro 1 Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Analisis data dilakukan pada bulan
Juni-Juli 2012. Peta lokasi pengambilan sampel dapat dilihat pada Gambar 5 dan
garis merah merupakan daerah penyusuran untuk pengambilan sampel kepiting
pasir.
Gambar 5. Lokasi pengambilan sampel
Sumber : maps.google.com 2012
3.2 Prosedur Pengambilan dan Penanganan Sampel
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara menyusur pantai sepanjang 3
kilometer. Alat yang digunakan yaitu menggunakan alat tradisional setempat yang
terbuat dari bambu yang berbentuk seperti huruf T. Pengoperasian alat tradisional
tersebut dengan cara di dorong seperti pengoperasian garuk untuk menjemur padi
(Gambar 6).
Gambar 6. Alat pencari kepiting pasir
Sampel kepiting pasir yang didapatkan dari hasil penyusuran dimasukkan ke
dalam plastik klip yang sebelumnya dipisahkan antara kepiting pasir yang bertelur
dan yang tidak bertelur. Setelah itu diberi formalin 10% untuk mengawetkan
sampel.
Analisis sampel di laboratorium dilakukan untuk mengetahui panjang berat
dan penghitungan telur (fekunditas). Pengukuran panjang yang dilakukan yaitu
pengukuran panjang karapas. Pengukuran panjang karapas dibantu dengan
menggunakan benang yang kemudian diukur menggunakan penggaris dengan
ketelitian 0,5 milimeter (Gambar 7). Pengukuran berat menggunakan timbangan
digital dengan ketelitian 0,0001 gram.
Gambar 7. Pengukuran panjang karapas kepiting pasir
Penghitungan jumlah telur dilakukan dengan menggunakan metode sensus,
yaitu menghitung semua telur yang ada. Sampel telur yang dihitung yaitu sampel
telur kepiting pasir yang dipilih berdasarkan selang kelas panjang karapasnya,
sehingga untuk Emerita emeritus sampel yang dihitung telurnya yaitu 47 ekor dan
untuk Hippa ovalis 13 ekor. Penghitungan telur dilakukan dengan mengeluarkan
telur yang ada di bawah telson ke dalam cawan petri, kemudian diberi air sedikit
untuk memudahkan dalam menghitung. Setelah itu diambil menggunakan pipet
sedikit demi sedikit sehingga dapat membantu untuk memudahkan dalam
penghitungan telur. Setelah itu dihitung satu per satu dengan bantuan alat
penghitung (counter). Setelah penghitungan telur selesai, dilakukan pengecekkan
stadia telur dan ukuran telur dengan menggunakan mikroskop.
Pengecekan stadia telur dilakukan dengan cara mengambil sampel telur,
kemudian diletakkan pada gelas objek yang kemudian ditutup menggunakan cover
glass. Setelah itu, mulai pengamatan menggunakan mikroskop. Apabila kurang jels,
pada saat sebelum pengamatan, sampel tidak perlu ditutup.
3.3 Analisis Data
Analisis data yang digunakan yaitu analilis hubungan panjang karapas
dengan berat total, sebaran frekuensi panjang karapas, nisbah kelamin, analisis
stadia telur, serta analisis hubungan fekunditas dengan panjang karapas. Berikut ini
merupakan penjelasan masing-masing analisis data yang dilakukan saat penelitian.
3.3.1 Hubungan panjang karapas dengan berat total
Pertumbuhan merupakan perubahan baik panjang, berat, maupun volume
yang terjadi dalam waktu tertentu. Berat dapat dianggap sebagai suatu fungsi dari
panjang. Hubungan panjang berat digambarkan dengan W = aLb, dimana a dan b
adalah konstanta yang didapatkan dari perhitungan regresi, sedangkan W adalah
berat dan L adalah panjang.
Bilamana nilai n sama dengan 3 menunjukkan bahwa pertumbuhan ikan
tidak berubah bentuknya disebut dengan pertumbuhan isometrik. Jika b lebih besar
atau lebih kecil dari 3 dinamakan pertumbuhan allometrik. Apabila nilai b kurang
dari 3 menunjukkan keadaan pertambahan panjangnya lebih cepat dari pertambahan
beratnya. Sementara itu, jika nilai b lebih besar dari 3 menunjukkan pertambahan
berat lebih cepat dari pertambahan panjangnya (Effendie 2005).
3.3.2 Sebaran frekuensi panjang
Sebaran frekuensi panjang dapat dianalisis menggunakan data panjang
kepiting pasir yang telah di ukur. Adapun analisis data frekuensi panjang menurut
Walpole (1992) dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Menentukan jumlah selang kelas yang diperlukan
2. Menentukan lebar kelas
3. Menentukan kelas frekuensi dan memasukkan masing-masing kelas dengan
memasukkan panjang dan masing-masing biota contoh pada selang kelas yang
telah ditentukan. Untuk memudahkan, dapat menggunakan tool berupa program
ms. Excel.
4. Sebaran frekuensi panjang yang didapatkan kemudian diplotkan ke dalam sebuah
grafik. Pada grafik tersebut dapat dilihat pergeseran sebaran kelas panjang setiap
pengambilan contoh, yang menggambarkan jumlah kelompok umur (cohort) dari
contoh tersebut sehingga jika terdapat pergeseran modus sebaran frekuensi
panjang berarti terdapat lebih dari satu kelompok umur.
3.3.3 Nisbah kelamin
Nisbah kelamin (sex ratio) merupakan perbandingan jumlah kepiting pasir
jantan dibanding dengan betinanya. Idealnya, untuk populasi di alam, rasionya
adalah 1. Hal ini berarti 1 jantan, untuk 1 betina. Sex ratio hanya membandingkan
jumlah jantan dengan jumlah betina yang tertangkap di setiap bulannya. Setelah itu,
diuji dengan menggunakan uji chi-square dengan faktor koreksi Yates’ untuk uji
lanjutnya (Fowler & Cohen 1992)
3.3.4 Analisis stadia telur kepiting pasir
Penentuan stadia telur didasarkan pada analogi dengan krustacea yang
lainnya yaitu dengan udang Nihonotrypaea japonica (Wardiatno 2002). Stadia 1
ditandai dengan telur berbentuk bulat dan berwarna orange. Stadia 2 ditandai
dengan telur sudah berbeda bentuk dan terdapat selaput di sekitarnya. Stadia 3
ditandai dengan warna yang sudah kecoklatan dan sudah terdapat bintik mata.
Pengukuran diameter telur dilakukan dengan menggunakan mikroskop yang sudah
dilengkapi dengan mikrometer. Selain mengacu pada penelitian Wardiatno (2002)
pada udang, pada jenis udang yang lainnya, penentuan stadianya relatif sama untuk
ordo decapoda.
3.3.5 Hubungan panjang karapas dan fekunditas kepiting pasir
Analisis hubungan panjang karapas dan fekunditas dapat menggunakan
analisis korelasi linear. Korelasi linear didapatkan dengan meregresikan panjang
karapas sebagai peubah x dengan fekunditas sebagai peubah y, sehingga akan
didaparkan nilai korelasi yaitu berupa nilai r. Menurut Steel & Torrie (1980),
korelasi linear merupakan suatu ukuran derajat bervariasinya kedua peubah secara
bersama-sama atau ukuran keeratan antara kedua peubah. Nilai korelasi kecil apabila
nilai r mendekati nol dan nilai korelasi besar apabila nilai r mendekati +1 atau -1.
Juml
Berdasarkan hasil pengambilan sampel yang telah dilakukan selama 3 bulan,
ditemukan 3 jenis kepiting pasir yang terdiri dari jenis Famili Hippidae yaitu
Emerita emeritus dan Hippa ovalis, sedangkan jenis dari Famili Albunidae yaitu
Albunea sp. Berikut ini merupakan gambar spesies yang ditemukan selama
penelitian berlangsung yang disajikan pada Gambar 8 dan komposisi jenis yang
didapatkan selama penelitian disajikan pada Gambar 9.
Albunea Emerita emeritus Hippa ovalis
Gambar 9. Jumlah kepiting pasir yang tertangkap
Berattotal(gram)
Berdasarkan Gambar 9, terlihat bahwa jenis Emerita emeritus lebih
mendominasi dibandingkan dua jenis lainnya yaitu Albunea dan Hippa ovalis. Dari
total kepiting pasir sejumlah 270 ekor yang ditemukan selama penelitian, kepiting
pasir jenis Emerita emeritus ditemukan paling banyak yaitu 203 ekor, kemudian
jenis Hippa ovalis sebanyak 56 ekor, dan Albunea 11 ekor.
4.1.2 Hubungan panjang karapas dengan berat total
Perbandingan panjang dan berat kepiting pasir jenis Emerita emeritus
disajikan pada gambar 10, sedangkan jenis Hippa ovalis disajikan pada gambar 11.
Panjang Karapas (mm)
Gambar 10. Perbandingan hubungan panjang karapas dan berat Emerita emeritus yang bertelur, tidak, dan total
Berat
Berdasarkan Gambar 10, menjelaskan mengenai hubungan panjang karapas
dan berat Emerita emeritus yang bertelur, tidak bertelur, dan total. Didapatkan nilai
b yang berbeda. Nilai b Emerita emeritus yang bertelur menunjukkan nilai 2,379,
tidak bertelur yaitu 2,413, dan total yaitu 2,426. Berdasarkan nilai b tersebut, pola
pertumbuhan kepiting pasir jenis Emerita emeritus yaitu allometrik negatif yang
berarti pertumbuhan panjang lebih dominan dibandingkan pertumbuhan berat.
Panjang Karapas (mm)
Gambar 11. Perbandingan hubungan panjang karapas dan berat Hippa ovalis bertelur, tidak bertelur, dan total.
Ju
ml
ah(ekor)
Berdasarkan Gambar 11, menjelaskan mengenai perbandingan hubungan
panjang karapas dan berat Hippa ovalis yang bertelur, tidak bertelur, dan total.
Didapatkan perbedaan pada ketiganya. Hal ini terlihat dari nilai b yang berbeda.
Nilai b Hippa ovalis yang bertelur menunjukkan nilai 2,903, tidak bertelur yaitu
1,677, dan total yaitu 2,656. Berdasarkan nilai b tersebut, didapatkan pola
pertumbuhan kepiting pasir jenis Hippa ovalis yaitu allometrik negatif. Hal ini
dikarenakan nilai b yang kurang dari 3 yang berarti pertumbuhan panjang lebih
dominan dibandingkan pertumbuhan berat.
4.1.3 Distribusi Ukuran Selang Kelas Panjang
Distribusi ukuran selang kelas panjang merupakan sebaran jumlah kepiting
pasir pada setiap selang kelas panjang yang dihitung per satuan panjang karapas.
Distribusi frekuensi panjang Emerita emeritus dan Hippa ovalis akan disajikan pada
Gambar 12 dan 13.
Jumla
Gambar 13. Distribusi frekuensi panjang Hippa ovalis
Gambar 12 dan 13 menunjukkan sebaran ukuran selang kelas panjang
Emerita emeritus dan Hippa ovalis selama penelitian. Jumlah total Emerita emeritus
sebanyak 203 ekor yang tersebar dengan panjang karapas minimum yaitu 19 mm
Nisbah kelamin merupakan perbandingan jumlah kepiting pasir jantan
dibandingkan dengan jumlah kepiting pasir betinanya. Idealnya untuk populasi
Table 1. Nisbah kelamin Emerita emeritus
Selang Kelas (mm) Betina Jantan Jantan/Betina X2 Hitung X2 Tabel
19-20 2 0 0,000 2,50 3,8
21-22 5 0 0,000 5,20 3,8
23-24 14 0 0,000 14,07 3,8
25-26 34 8 0,235 16,12 3,8
27-28 39 4 0,103 25,40 3,8
29-30 58 5 0,086 44,60 3,8
31-32 29 1 0,034 26,17 3,8
33-34 3 1 0,333 1,25 3,8
Total 184 19 0,103 134,12 3,8
Tabel 1 menjelaskan nisbah kelamin kepiting pasir jenis Emerita emeritus
selama penelitian. Berdasarkan analisis chi-square dengan uji lanjut dengan koreksi
Yate, pada selang kelas panjang 19-20 mm dan selang kelas panjang 33-34 mm
terlihat nilai X2 hitung lebih kecil dibandingkan dengan nilai X2 tabel. Hal ini
menunjukkan bahwa tidak adanya perbedaan secara nyata antara jumlah jantan
dengan jumlah betinanya. Akan tetapi secara total, hasil analisis menunjukkan
bahwa nilai X2 hitung lebih besar dibandingkan dengan nilai X2 tabel. Hal ini berarti
terdapat perbedaan secara nyata antara jumlah jantan dengan jumlah betinanya.
Table 2. Nisbah kelamin Hippa ovalis
Selang kelas (mm) Betina Jantan Jantan/Betina X2 Hitung X2 Tabel
15-18 1 4 4,00 0,80 3,8
19-22 7 2 0,29 1,78 3,8
23-26 9 14 1,56 0,70 3,8
27-30 9 5 0,56 0,64 3,8
31-34 1 1 1,00 0,50 3,8
35-38 2 0 0,00 0,50 3,8
39-42 1 0 0,00 4,00 3,8
Total 30 26 0,87 0,16 3,8
Tabel 2 menjelaskan nisbah kelamin kepiting pasir jenis Hippa ovalis selama
penelitian. Berdasarkan analisis chi-square dengan uji lanjut dengan koreksi Yate,
pada selang kelas panjang 39-40 mm terlihat nilai X2 hitung lebih besar
dibandingkan dengan nilai X2 tabel. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan secara
%
nyata antara jumlah jantan dengan jumlah betinanya. Akan tetapi secara total, hasil
analisis menunjukkan bahwa nilai X2 hitung lebih kecil dibandingkan dengan nilai
X2 tabel. Hal ini menunjukkan bahwa tidak adanya perbedaan secara nyata antara
jumlah jantan dengan jumlah betinanya.
4.1.5 Reproduksi
Beberapa aspek reproduksi yang dianalisis yaitu komposisi kepiting pasir
yang bertelur dengan yang tidak bertelur, hasil identifikasi stadia telur, komposisi
stadia telur kepiting pasir, dan hubungan panjang karapas kepiting pasir dengan
jumlah telur (fekunditas). Komposisi kepiting pasir jenis Emerita emeritus yang
bertelur dengan yang tidak bertelur disajikan pada Gambar 14, dan jenis Hippa
ovalis disajikan pada Gambar 15. Hasil identifikasi stadia telur disajikan pada
Gambar 16. Komposisi stadia telur kepiting pasir jenis Emerita emeritus disajikan
pada Gambar 17, dan jenis hippa ovalis disajikan pada Gambar 18. Hubungan
panjang karapas dengan jumlah telur kepiting pasir jenis Emerita emeritus disajikan
pada Gambar 19, dan jenis Hippa ovalis disajikan pada Gambar 20.
Betina tidak Bertelur Betina Bertelur
Gambar 14. Komposisi betina Emerita emeritus
Gambar 14 menunjukkan komposisi kepiting pasir betina jenis Emerita
emeritus. Dari gambar tersebut terlihat bahwa pada bulan Maret, April, dan Mei
komposisi kepiting pasir betina yang bertelur mendominasi dibandingkan dengan
kepiting pasir betina yang tidak bertelur.
%
Betina tidak bertelur
40 Betina bertelur
Gambar 15 menunjukkan komposisi betina kepiting pasir jenis Hippa ovalis.
Dari gambar tersebut terlihat bahwa pada bulan Maret jumlah betina yang bertelur
cenderung mendominasi, kemudian pada bulan April jumlah betina yang bertelur
dengan yang tidak bertelur seimbang, sedangkan pada bulan Mei komposisi betina
yang tidak bertelur yang lebih mendominasi.
Berikut ini merupakan hasil identifikasi stadia telur kepiting pasir baik
Emerita emeritus maupun Hippa ovalis. Hasil identifikasi stadia telur kepiting pasir
akan disajikan pada Gambar 16.
Gambar 16 menunjukkan stadia telur kepiting pasir. Stadia 1 ditandai dengan
%
ditandai dengan warna yang sudah transparan dan sudah terdapat bintik mata.
Gambar 17. Komposisi stadia telur Emerita emeritus
Gambar 17 menunjukkan komposisi stadia telur kepiting jenis Emerita
emeritus. Dari gambar tersebut terlihat bahwa setiap bulannya telur stadia 1
cenderung mendominasi dibandingkan dengan stadia 2 dan stadia 3.
Gambar 18 menunjukkan komposisi stadia telur kepiting jenis Hippa ovalis.
Dari gambar tersebut terlihat bahwa setiap bulannya telur stadia 1 cenderung
Jumlahte
Panjang karapas (mm)
Gambar 19. Hubungan panjang karapas dengan jumlah telur Emerita emeritus
Panjang karapas (mm)
Gambar 20. Hubungan panjang karapas dengan jumlah telur Hippa ovalis
Gambar 19 dan 20 menunjukkan hubungan panjang karapas dengan jumlah
telur Emerita emeritus dan Hippa ovalis. Berdasarkan hasil regresi terlihat nilai
korelasi antara panjang karapas dan jumlah telur menujukkan hubungan yang erat.
4.2 Pembahasan
Kabupaten Kebumen merupakan salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang
letaknya berada di pantai selatan pulau Jawa, yaitu Kebumen langsung berbatasan
dengan Samudera Hindia. Keberadaan kepiting pasir sering dijumpai hampir di
semua wilayah pesisir pantai berpasir di Kebumen. Akan tetapi, lokasi penelitian
diambil di Pantai Bocor berdasarkan informasi kelimpahan kepiting pasir terbanyak
dibandingkan dengan pantai-pantai lainnya yang ada di Kebumen.
Kepiting pasir di Kebumen dijadikan jajanan khas pantai yang sangat di
gemari. Salah satu hasil olahan kepiting pasir atau yang dikenal dengan sebutan
yutuk yaitu rempeyek atau peyek yutuk. Satu buah peyek yutuk dijual dengan
kisaran harga Rp 1500,00 – Rp 2000,00. Harga kepiting pasir segar dijual dengan
harga Rp 15.000,00 – Rp 30.000,00 per kilogram.
Menurut informasi dari bapak Sarno yang didapatkan melalui komunikasi
pribadi (18 Maret 2012), keberadaan kepiting pasir di pantai tempat penelitian baru
terlihat kembali dua tahun belakangan ini setelah bertahun-tahun keberadaannya
menghilang. Hal ini di duga akibat penurunan stok yang drastis akibat penangkapan.
Awalnya penangkapan kepiting pasir menggunakan alat yang sudah modern seperti
menggunakan jaring yang dapat mengeruk pasir sampai kedalaman tertentu,
sehingga stok kepiting pasir menurun sampai keberadaannya tidak terlihat.
Pada penelitian ini, pengambilan sampel menggunakan alat tradisional yang
cara pengoperasiannya serupa dengan garuk yang digunakan untuk menjemur padi.
Hal ini terkait dengan struktur pasir yang keras dan ombak yang besar, agar lebih
mudah untuk mendapatkan kepiting pasir tersebut.
Berdasarkan hasil pengambilan sampel, terdapat tiga jenis kepiting pasir
yang ditemukan di pantai Kebumen ini. Setelah diidentifikasi, tiga jenis tersebut
yaitu Emerita emeritus, Hippa ovalis, dan Albunea. Selama tiga bulan pengambilan
sampel, ketiga jenis ini selalu di temukan meskipun dengan jumlah yang berbeda-
beda. Secara keseluruhan, didapatkan 270 ekor kepiting pasir yang terdiri dari
Albunea 11 ekor, Emerita emeritus 203 ekor, dan Hippa ovalis 56 ekor.
Jumlah Emerita emeritus terlihat mendominasi dibandingkan dengan jenis
lain. Hal ini dapat dikarenakan habitat Emerita emeritus cenderung pada bagian
pasir yang paling atas. Hal ini dikuatkan oleh Phasuk dan Boonruang (1975) yang
melakukan penelitian di pantai berpasir di Thailand, bahwa habitat Emerita emeritus
cenderung berada di lapisan pasir atas sekitar 0-15 cm. Dominasi jenis Emerita
emeritus yang didapatkan di Kebumen dapat terjadi karena pada saat sampling alat
yang digunakan hanya menyusur diatas pasir dengan kedalaman pasir tidak lebih
dari 10 cm, sehingga didapatkan Emerita emeritus yang lebih mendominasi.
Berdasarkan habitatnya, Emerita emeritus dan Hippa ovalis berada di zona
intertidal. Sementara Albunea terdapat di zona sub-tidal, zona yang lebih dalam.
Sehingga jumlah Albunea yang tertangkap sangat sedikit dibandingkan Emerita
emeritus ataupun Hippa ovalis. Selain itu, dominasi Emerita emeritus dapat
dikaitkan dengan ketahanan fisiknya. Pada umumnya, Emerita emeritus ditemukan
baik di daerah tropis maupun daerah sub-tropis. Oleh karena itu, daya tahan tubuh
Emerita emeritus cenderung lebih kuat dibandingkan dengan Hiipa yang hanya
ditemukan di daerah tropis. Hal ini dikuatkan oleh Hanson (1965) yang menyatakan
bahwa Emerita ditemukan baik di daerah tropis maupun di daerah sub-tropis,
sedangkan Hippa hanya ditemukan di daerah tropis saja.
Keberadaan 3 jenis kepiting pasir ini juga didukung oleh kondisi perairan
yang masih sehat. Dalam penelitian ini tercatat bahwa nilai parameter fisika-kimia
perairan pantai selatan Kebumen masih sehat. Nilai pH yang dihasilkan adalah
berkisar antara 7,5 sampai 8,29. Nilai pH menunjukkan seberapa besar derajat
keasaman suatu perairan. Hal ini akan berkaitan dengan kondisi fisiologis dari suatu
biota. Keadaan pH yang sangat tinggi maupun terlalu rendah akan berpengaruh
terhadap biota yang ada di dalam perairan tersebut, dalam hal ini kepiting pasir.
Berdasarkan pernyataan Nybakken (1988) bahwa kondisi lingkungan perairan laut
memiliki pH yang bersifat relatif stabil serta berada dalam kisaran yang sempit yaitu
antara 7,5-8,4. Oleh karena itu, kondisi perairan pantai selatan Kebumen dapat
dikatakan masih sehat.
Kadar salinitas yang didapatkan berkisar antara 30,4o/oo sampai 34o/oo.
Sementara itu, suhu yang dihasilkan adalah berkisar antara 28oC sampai 29oC. Suhu
permukaan laut di perairan Indonesia umumnya berkisar antara 28oC-31oC (Nontji
1993 in Hasyim et al. 2010). Tingginya nilai suhu permukaan laut di perairan
Indonesia dapat disebabkan oleh posisi geografi Indonesia yang terletak di wilayah
ekuator yang merupakan daerah penerima panas matahari terbanyak (Hasyim et al.
2010).
Hasil analisis kualitas perairan di tempat penelitian kurang cocok untuk larva
kepiting pasir. Menurut Hanson (1965) kisaran suhu yang cocok untuk larva yaitu
25,5oC, salinitas 34,4 – 35,8 %o. Sementara itu, kondisi di tempat penelitian kisaran
suhu 28-290C dan salinitas 30-34 %o. Dari hasil ini, didapatkan bahwa pada saat
larva, kepiting pasir berada di laut atau zona yang lebih dalam sementara kepiting
pasir yang sudah dewasa akan ke zona yang dekat pantai.
Pertumbuhan merupakan perubahan panjang, berat, maupun volume dalam
satuan waktu tertentu. Berdasarkan analisis perhitungan korelasi antara panjang
karapas dengan berat total, didapatkan tipe pertumbuhan kepiting pasir baik Emerita
emeritus maupun Hippa ovalis yaitu Allometrik negatif. Hal ini dapat dilihat dari
nilai b yang kurang dari 3. Hal ini berarti pertumbuhan panjang lebih dominan
dibandingkan pertumbuhan berat (Effendie 2005).
Pertumbuhan kepiting pasir cenderung lebih kearah panjang. Hal ini dapat
dikaitkan dengan morfologi kepiting pasir yang cenderung memanjang tidak
melebar. Terlihat dari rasio panjang dan lebar kepiting pasir yaitu cenderung lebih
besar panjangnya.
Berdasarkan ukuran panjang karapas, didapatkan hasil bahwa yang
ditemukan sepanjang pengambilan sampel, ukuran panjang karapas untuk Emerita
emeritus berkisar 19-35 mm, sedangkan untuk Hippa ovalis berkisar 15-39 mm.
Berdasarkan hasil rata-rata panjang karapas, spesies Emerita emeritus yang memiliki
jenis kelamin betina dan bertelur memiliki panjang karapas minimum 22 mm. Hal
dikuatkan dengan pernyataan Phasuk dan Boonruang (1975) yang mengatakan
bahwa ukuran Emerita emeritus yang sudah dewasa memiliki panjang karapas lebih
dari 12 mm, sedangkan untuk yang berjenis kelamin jantan, ukuran panjang karapas
kurang dari 12 mm.
Nisbah kelamin kepititng pasir merupakan perbandingan jumlah kepiting
pasir jantan dibandingkan dengan jumlah betinanya. Idealnya, suatu populasi di
alam rasio jantan dan betinanya yaitu 1:1. Hal ini berarti 1 jantan, untuk 1 betina.
Hal ini agar tidak terjadi dominansi jenis kelamin. Berdasarkan hasil analisis yang
terlihat pada tabel 1, perbandingan jantan dengan betina Emerita emeritus dari bulan
maret sampai mei ternyata betina Emerita emeritus lebih mendominasi. Hal ini
terlihat dari nilai rasio yang nilainya kurang dari 1. Berdasarkan hasil perhitungan
rasio jantan dengan betina yang di uji dengan uji Chi-square dengan koreksi Yate,
pada selang kelas panjang 19-20 mm dan selang kelas panjang 33-34 mm terlihat
nilai X2 hitung lebih kecil dibandingkan dengan nilai X2 tabel. Hal ini menunjukkan
bahwa tidak adanya perbedaan secara nyata antara jumlah jantan dengan jumlah
betinanya. Akan tetapi secara total, hasil analisis menunjukkan bahwa nilai X2
hitung lebih besar dibandingkan dengan nilai X2 tabel. Hal ini berarti terdapat
perbedaan secara nyata antara jumlah jantan dengan jumlah betinanya. Berdasarkan
analisis tersebut, keadaan populasi Emerita emeritus pada lokasi penelitian dapat
dikatan tidak stabil. Hal ini dikarenakan perbandingan jantan dan betinanya tidak
sama.
Hasil analisis perbandingan jantan dan betina Hippa avalis berdasarkan
analisis uji chi-square dengan koreksi Yate yaitu pada selang kelas panjang 39-40
mm terlihat nilai X2 hitung lebih besar dibandingkan dengan nilai X2 tabel. Hal ini
menunjukkan adanya perbedaan secara nyata antara jumlah jantan dengan jumlah
betinanya. Akan tetapi secara total, hasil analisis menunjukkan bahwa nilai X2
hitung lebih kecil dibandingkan dengan nilai X2 tabel. Hal ini menunjukkan bahwa
tidak adanya perbedaan secara nyata antara jumlah jantan dengan jumlah betinanya.
Oleh karena itu, keberadaan populasi kepiting pasir jenis Hippa ovalis masih stabil.
Berdasarkan analisis kepiting pasir yaitu betina bertelur dan betina tidak
bertelur, didapatkan lebih banyak betina yang sedang bertelur. Hal ini dapat diduga
karena pada saat kepiting pasir sedang bertelur, habitat yang lebih disukai yaitu zona
pantai yang dekat dengan aktivitas manusia. Setelah dilakukan analisis stadia telur,
didapatkan stadia 1 lebih mendominasi baik untuk jenis Emerita emeritus maupun
Hippa ovalis. Stadia 1 ditandai dengan telur berwarna orange, bentuk telur bulat
padat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sampel yang didapatkan baik Emerita
emeritus maupun Hippa ovalis sedang dalam kondisi bertelur. Hal ini dapat terjadi
karena pada saat bertelur, kepiting pasir membutuhkan banyak makanan untuk
memenuhi nutrisi dalam tubuhnya. Di daerah intertidal, terdapat nutrisi yang
diperlukan oleh kepiting pasir, sehingga kepiting pasir yang sedang bertelur
cenderung ke daerah intertidal dan cenderung ke bagian pasir atas untuk mencari