• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Ukuran Tubuh dan Kejadian Kecacingan Gnathostoma spinigerum pada Belut Sawah (Monopterus albus).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Ukuran Tubuh dan Kejadian Kecacingan Gnathostoma spinigerum pada Belut Sawah (Monopterus albus)."

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

STEPHANUS WAHYU NUGROHO

HUBUNGAN UKURAN TUBUH DAN KEJADIAN

KECACINGAN

Gnathostoma spinigerum

PADA BELUT

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hubungan Ukuran Tubuh dan Kejadian Kecacingan Gnathostoma spinigerum pada Belut Sawah (Monopterus albus) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

STEPHANUS WAHYU NUGROHO Hubungan Ukuran Tubuh dan Kejadian Kecacingan Gnathostoma spinigerum pada Belut Sawah (Monopterus albus). Dibimbing oleh RISA TIURIA dan KHUMAIRA PUSPASARI.

Gnathostomiasis merupakan penyakit zoonotik yang menyerang paru-paru, mata, dan sistem saraf sehingga dapat mengakibatkan kebutaan, kelumpuhan, bahkan kematian. Manusia yang mengkonsumsi belut sawah yang terinfeksi oleh cacing L3 Gnathostoma spinigerum dan belum matang secara sempurna diolah, akan menderita Gnathostomiasis. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan ukuran tubuh belut dengan kejadian kecacingan Gnathostoma spinigerum pada belut, sehingga masyarakat yang mengkonsumsi belut dapat lebih hati-hati dalam mengkonsumsi belut dan waspada terhadap penyakit Gnathostomiasis. Sebanyak 124 sampel belut ditimbang, dan dicatat ukuran tubuhnya. Organ-organ visera dari belut tersebut diambil dan dibersihkan dengan aquades dan diperiksa dengan metode penekanan. Semua larva yang ditemukan di organ belut dibersihkan, disimpan, dan difiksasi dalam etanol 70%. Kemudian larva tersebut diidentifikasi secara morfologi dengan menggunakan mikroskop berdasarkan literatur yang ada untuk menemukan cacing Gnathostoma spinigerum. Data yang terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis korelasi spearman. Berdasarkan analisis yang dilakukan diperoleh nilai korelasi yaitu bobot (r = 0.446; p<0.05), panjang (r =0.427; p<0.05), dan diameter (r =0.397; p<0.05). Ketiga kategori ukuran tubuh yang diteliti memiliki korelasi nyata yang bernilai positif terhadap kejadian gnathostomiasis. Korelasi positif pada ketiga komponen ini, membuktikan bahwa infeksi L3 Gnathostoma spinigerum tidak menghambat pertumbuhan ukuran tubuh belut (Monopterus albus).

.

Kata kunci: Belut sawah, Gnathostoma spinigerum, Ukuran tubuh, Korelasi, Gnathostomiasis, Zoonosis.

ABSTRACT

STEPHANUS WAHYU NUGROHO. The Relation of Eels’ Body Size with the Infestation of Gnathostoma spinigerum in Swamp Eels (Monopterus albus). Supervised by RISA TIURIA and KHUMAIRA PUSPASARI.

(5)

were cleaned Ana kept in ethanol of 70%. Then the worm larvas were indentified morphologically using microscope to observe the existence of Gnathostoma spinigerum worm. All collected data were then analyzed using spearman corelation analysis, and by this, three correlation values were obtained; weight (r = 0.446; p<0.05), length (r =0.427; p<0.05), and diameter (r =0.397; p<0.05). Of the three body size parameters observed, it revealed that they all have positive correlation with gnathostmiasis. This proved that the infection of L3 Gnathostoma spinigerum did not inhibit the growth of the swamp eels (Monopterus albus).

(6)
(7)

STEPHANUS WAHYU NUGROHO

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Fakultas Kedokteran Hewan

HUBUNGAN UKURAN TUBUH DAN KEJADIAN

KECACINGAN

Gnathostoma spinigerum

PADA BELUT

SAWAH (

Monopterus albus

).

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)
(10)

Judul Skripsi : Hubungan Ukuran Tubuh dan Kejadian Kecacingan Gnathostoma spinigerum pada Belut Sawah (Monopterus albus).

Nama : Stephanus Wahyu Nugroho NIM : B04090093

Disetujui Komisi Pembimbing

drh. Risa Tiuria, MS, Ph.D Pembimbing I

Khumaira Puspasari, SSi, MSi Pembimbing II

Diketahui

drh. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet Wakil Dekan FKH IPB

(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada TUHAN atas segala karunia-Nya kepada saya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2013 hingga Maret 2013 di Laboratorium Balai Uji Standar Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan, Setu Cipayung, Jakarta Timur.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu drh. Risa Tiuria, MS, Ph.D dan Ibu Khumaira Puspasari, SSi, MSi selaku pembimbing skripsi serta Ibu Dr. drh. Ligaya ITA Tumbelaka, Sp.MP., M.Sc selaku pembimbing akademik. Penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Yakobus Sukardji dan Ibu Agnes Fatimah Sutanto selaku orang tua, serta Adi dan Agung selaku saudara yang selalu mendukung dengan doa dan kasih sayang dalam segala hal. Ungkapan terima kasih turut penulis sampaikan kepada semua dosen dan staf FKH IPB atas segala ilmu yang diberikan. Rasa terima kasih turut penulis ungkapkan kepada Irva Mavrudah, teman-teman sekontrakan, rekan sepenelitian, dan Geochelone 46 atas segala dukungan selama penulis menempuh pendidikan di FKH IPB.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

(12)

3

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

METODE

Waktu dan Tempat 4

Bahan dan Alat 4

Pengambilan Sampel dan Pengukuran Ukuran Tubuh 4

Pemeriksaan Cacing Gnathostoma spinigerum 4

Nekropsi Belut 4

Metode Tekanan 5

Analisis Data 5

HASIL DAN PEMBAHASAN 6

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan 8

Saran 9

(13)

DAFTAR TABEL

1 Perbandingan zat gizi dan vitamin antara belut, telur, dan daging sapi 1 2 Status infeksi belut sawah (Monopterus albus) oleh L3

Gnathostoma spinigerum 6

3 Persentase lokasi organ yang terinfeksi L3 Gnathostoma spinigerum 7

4 Ukuran tubuh belut yang diperiksa 8

5 Hubungan antara ukuran tubuh dan kejadian Gnathostomiasis 8

DAFTAR GAMBAR

1 Ciri L3 Gnathostoma spinigerum :

A. Kepala bohlam dan 4 baris kait, 6

B. Saluran pencernaan Gnathostoma spinigerum 6

(14)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Belut sawah (Monopterus albus) adalah ikan dari Famili Synbranchidae (belut) dan ordo Synbranchiiformes. Awalnya, belut sawah merupakan musuh bagi para petani di pedesaan. Hal itu disebabkan karena belut sawah mempunyai sifat buruk yang dapat merugikan para petani. Sifat buruk belut ialah perilaku belut yang merusak pematang-pematang sawah yang digunakan belut sebagai tempat hidupnya. Sifat belut sawah tersebut menjadikan belut sawah diburu dan ditangkap oleh para petani. Namun, tidak sedikit petani yang menggunakan belut sawah sebagai makanan lauk pauk untuk dikonsumsi karena ternyata memliki rasa yang gurih dan lezat.

Belut sawah yang dulunya dianggap sebagai hama ini ternyata memiliki kandungan gizi dan vitamin A yang tinggi. Sarwono (2000) menyebutkan bahwa kandungan zat gizi dan vitamin A pada belut sawah lebih tinggi daripada kandungan gizi dan vitamin A pada telur dan daging sapi dengan bobot yang sama, yakni sebesar 100 gram (Tabel 1).

Tabel 1 Perbandingan zat gizi dan vitamin antara belut, telur, dan daging sapi

No. Zat Gizi Belut

(15)

2

Indonesia. Pada tahun 2011, nilai ekspor belut sawah hidup menyumbang devisa bagi negara sebesar US$7 866 968 (KKP 2012). Seiring dengan berjalannya waktu, muncul berbagai tantangan dalam perkembangan usaha budi daya belut, yaitu standar dalam kualitas belut sawah yang akan diimpor. Salah satu negara importir yang melakukan standarisasi dalam kualitas belut sawah adalah negara Jepang. Jepang menetapkan standar kualitas belut sawah yang harus dipatuhi oleh negara importir dalam hal bobot tubuhnya. Bobot belut sawah yang ditetapkan adalah minimal 50 hingga 100 gram/ekor dan maksimal 250 gram/ekor (Rukmana 2003). Tantangan lainnya bagi perkembangan usaha budi daya belut sawah adalah adanya parasit-parasit yang dapat mengganggu kesehatan manusia. Apabila manusia mengkonsumsi belut sawah dengan tidak mengolahnya secara benar, maka akan menimbulkan berbagai penyakit. Salah satu contohnya adalah penyakit Human Gnathostomiasis yang disebabkan oleh cacing Gnathostoma spinigerum. Gnathostoma spinigerum adalah parasit yang memiliki banyak inang pada siklus hidupnya, namun manusia merupakan inang yang tidak normal bagi larva Gnathostoma spinigerum atau disebut juga incidental host. Hal ini mengindikasikan bahwa larva Gnathostoma spinigerum tidak akan berkembang menjadi bentuk dewasa di dalam tubuh manusia. Di dalam tubuh manusia, larva ini akan bermigrasi dan menimbulkan gejala penyakit pernapasan, saraf bahkan kematian (Rusnak dan Lucey 1993; Chaicumpa 2010).

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara kondisi tubuh seperti diameter, bobot dan panjang tubuh belut dengan kejadian kecacingan Gnathostoma spinigerum pada belut-belut sawah yang diambil dari beberapa perusahaan pengekspor belut di Indonesia.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang keberadaan cacing parasitik khususnya Gnathostoma spinigerum pada belut sawah. Selain itu dapat bermanfaat dalam pengendalian kejadian zoonosis Gnathostomiasis.

TINJAUAN PUSTAKA

Belut Sawah (Monopterus albus)

Berdasarkan taksonomi yang tercantum dalam Integrated Taxonomic Information System (ITIS) dengan nomor serial : 166697, klasifikasi Monopterus albus adalah sebagai berikut :

(16)

3

Ordo : Synbranchiformes Famili : Synbranchidae Genus : Monopterus Species : Monopterus albus

Belut sawah (Monopterus albus) merupakan ikan yang berasal dari wilayah tropis dan subtropis benua Asia yang tersebar luas mulai dari India, China, Jepang, Malaysia, Indonesia hingga ke Bangladesh (Froese dan Pauly 2012). Selain itu, menurut Straight et al.(2005), belut sawah juga dapat ditemukan di benua Amerika, tepatnya di Georgia. Lebih lanjut, Prok (2000) menyebutkan bahwa umumnya belut sawah dapat ditemukan pada daerah kolam berlumpur, rawa, sungai, selokan, bahkan dapat juga ditemukan pada daerah yang kering. Bricking (2002) menjelaskan bahwa belut sawah memiliki ciri-ciri bentuk tubuh memanjang seperti tubuh ular dengan ujung kepala yang tumpul, memiliki kulit tubuh yang berwarna cokelat hingga cokelat gelap pada bagian dorsal dan bagian ventral yang berwarna terang, serta permukaan kulit yang dilapisi lendir. Tubuhnya dapat tumbuh mencapai satu meter panjangnya dan memiliki bobot hingga 0,5 kg. Menurut Shafland et al. (2010) dan Liem (1981), belut sawah merupakan hewan karnivor yang aktif mencari makan pada malam hari berupa udang, udang karang, siput, larva serangga, katak, telur katak, dan berudu. Hal yang unik dari Monopterus albus adalah sifat hermaprodit protogininya, yakni kemampuannya dalam mengubah jenis kelaminnya (Riani dan Ernawati 2004). Kemampuan hermaprodit protogini inilah yang mendukung belut sawah dalam mempertahankan keturunannya.

Gnathostoma spinigerum

Berdasarkan taksonomi, Gnathostoma spinigerum diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Animalia Phylum : Nematoda Class : Secernentea Order : Spirurida

Family : Gnathostomatidae Genus : Gnathostoma

Species : Gnathostoma spinigerum

(17)

4

seorang wanita Thailand di Bangkok (Lee et al. 1988). Infeksi akibat larva (L3) Gnathostoma spinigerum pada manusia dapat mengakibatkan visceral dan cutaneous larva migran. Visceral larva migran merupakan penyakit pada organ – organ visera akibat migrasi larva pada organ tersebut. Cutaneus larva migran merupakan penyakit yang disebabkan migrasi larva nematoda pada kulit. Gejala visceral larva migran berupa nyeri dan gangguan fungsi organ akibat dari migrasi larva Gnathostoma spinigerum. Sedangkan cutaneus larva migran gejalanya berupa bengkak yang diikuti dengan rasa gatal pada kulit (Saksirisampant dan Thanomsub 2012; Sukontason et al. 2001; Rojekittikhun et al. 2002). Bahkan, larva Gnathostoma spinigerum juga dapat bermigrasi mencapai paru-paru, mata, dan sistem saraf pusat sehingga dapat mengakibatkan kebutaan hingga kematian (Tran et al. 2009;Jung et al. 2008). Kasus gnathostomiasis yang terjadi pada sistem saraf pusat pertama kali dilaporkan terjadi pada seorang anak berumur 4 tahun di Bangkok (Bunyaratavej et al. 2008). Kejadian Gnathostomiasis dapat terjadi sebagai akibat dari konsumsi daging yang mentah atau daging yang kurang matang yang terdapat L3 larva Gnathostoma spinigerum (Rojekittikhun et al. 1998; Barua et al. 2007).

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Januari hingga Maret 2013, di Laboratorium Balai Uji Standar Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta Timur.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah belut sawah (Monopterus albus), aquades, Etanol 70 % dan xylol. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: gelas objek, penutup gelas objek, alat bedah minor, cawan petri, dan video microscopes.

Metode Penelitian

Pengambilan Sampel dan Pengukuran Ukuran Tubuh

(18)

5

Pemeriksaan Cacing Gnathostoma spinigerum

Nekropsi Belut

Nekropsi pada belut sampel dilakukan dengan menyayat sepanjang ventral tubuh belut. Organ-organ visceral dan otot belut kemudian dipisahkan dan dikumpulkan.

Metode Tekanan

Hati, usus, dan ginjal dari belut sawah (Monopterus albus) yang diduga terdapat kista Gnathostoma spinigerum ditekan dengan menggunakan gelas objek. Selanjutnya diperiksa terhadap larva Gnathostoma spinigerum. Semua otot dari belut sawah dipisahkan dari tulang dan kulitnya serta diperiksa dengan cara yang sama seperti bagian hati (Ompusunggu 1996). Larva Gnathostoma disimpan, dibersihkan, dan difiksasi dalam etanol 70 %. Selanjutnya diidentifikasi secara morfologi dengan menggunakan mikroskop berdasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Jung et al. (2008) dan Lee et al. (1988).

Analisis Data

(19)

6

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kejadian Infeksi Cacing Gnathostoma spinigerum pada Belut Sawah

Sebanyak 33 dari total 124 sampel dinyatakan positif terinfeksi parasit Gnathostoma spinigerum. Pada sampel yang terbukti positif dapat ditemukan kista larva stadium tiga (L3) yang mencirikan morfologi yang khas Gnathostoma spinigerum. Karakteristik morfologi yang teramati ialah terdapat kepala bulat menyerupai bohlam (head bulb) dan 4 baris kait yang berada di sekeliling kepalanya (Gambar 1A). Saluran pencernaan pada Gnathostoma spinigerum hanya terdiri atas struktur yang sederhana, yaitu esofagus, usus, dan anus. Esofagus teramati pada bagian anterior, kemudian terhubung dengan usus di bagian posterior sepertiga panjang tubuh cacing (Gambar 1B). Karakteristik morfologi ini sesuai dengan ciri L3 Gnathostoma spinigerum yang ditemukan dalam penelitian Jung et al. (2008) dan Asnita (2011).

Gambar 1 Ciri L3 Gnathostoma spinigerum : A. Kepala bohlam dan 4 baris kait, B. Saluran pencernaan Gnathostoma spinigerum

Prevalensi gnathostomiasis pada belut sawah adalah 26.61% dengan intensitas infeksi L3 adalah 2 ekor per belut infeksi (Tabel 2). Menurut Labarthe et al. (2004), tingginya tingkat kejadian infeksi parasit di suatu wilayah dapat diakibatkan oleh musim, curah hujan, suhu, sinar matahari, keadaan geografi, dan manajemen pemeliharaan. Namun, rendahnya prevalensi kejadian Gnathostomiasis yang terjadi pada belut-belut sampel dapat diakibatkan oleh lingkungan yang sudah terkontrol. Berdasarkan data yang dimiliki oleh BUSKIPM, setiap perusahaan asal sampel telah menerapkan standardisasi dalam manajemen perawatan belut-belutnya sehingga faktor iklim seperti curah hujan yang tinggi pada periode Januari

– Maret tidak memberikan dampak yang berarti dalam tingkat kejadian Gnathostomiasis.

(20)

7

Berdasarkan hasil pemeriksaan dan identifikasi larva stadium 3 (L3) Gnathostoma spinigerum, sebanyak 35 organ ditemukan mengandung kista Gnathostoma spinigerum (Gambar 3). Organ tubuh belut yang menjadi tempat terbentuknya kista L3 adalah hati dan otot.

Gambar 2 Kista Gnathosthoma spinigerum

Sebanyak 35 sampel yang diperiksa dan diteliti kemudian ditemukan sebanyak 32 (91.43%) sampel adalah organ hati dan 3 (8.57%) lainnya adalah otot (Tabel 3). Hasil penelitian ini sesuai dengan Rojekittikhun et al (2004), yang dalam penelitiannya menyatakan bahwa tempat kejadian Gnathostomiasis adalah hati dan otot dari inang yang terinfeksi.

Tabel 3 Persentase lokasi organ yang terinfeksi L3 Gnathostoma spinigerum Organ

Terinfeksi

Jumlah Organ Terinfeksi

Persentase (%)

Hati 32 91.43

Otot 3 8.57

Hubungan Antara Ukuran Tubuh dengan Kejadian Gnathostomiasis

Infeksi L3 Gnathostoma spinigerum yang terjadi pada manusia merupakan kejadian yang tidak disengaja karena manusia bukan merupakan inang definitifnya. Larva (L3) Gnathostoma spinigerum apabila masuk ke dalam tubuh manusia, larva tidak akan mencapai bentuk dewasanya. Namun, larva akan bermigrasi dari dinding lambung ke jaringan tubuh lainnnya, seperti hati, daging, mata hingga ke saraf. Individu yang terinfeksi dapat menunjukkan gejala-gejala gnathostomiasis dalam 24 jam setelah menelan cacing. Indikator-indikator awal infeksi dapat berupa malaise, demam, urtikaria, anoreksia, mual, muntah, diare, dan nyeri epigastrium (Rusnak dan Lucey 1993).

(21)

8

hubungan antara tiga faktor, yaitu kondisi lingkungan (kondisi di dalam air), kondisi inang (ikan), dan adanya agen patogen (agen penyakit).

Melalui analisis korelasi spearman terlihat adanya hubungan antara kondisi inang yaitu ukuran tubuh yang meliputi bobot, panjang, dan diameter tubuh belut sawah dengan munculnya infeksi L3 Gnathostoma spinigerum. Keseluruhan sampel sebanyak 124 ekor belut diperiksa dan diukur bobot, panjang, dan diameternya (Tabel 4).

Tabel 4 Ukuran tubuh belut yang diperiksa Spesies Jumlah

Sampel

Bobot (gram) Panjang (cm) Diameter (cm)

Range Mean Range Mean Range Mean

Monopterus

albus 124 12,6 - 324,7 89,27±58,67 24,5 - 83 44,26±9,03 0,41- 2,4 1,14±0,42

Berdasarkan hasil uji korelasi rank spearman diperoleh bahwa ketiga variabel, yaitu bobot (r = 0.446; p<0.05), panjang (r =0.427; p<0.05), dan diameter (r =0.397; p<0.05) masing – masing memiliki korelasi nyata yang bernilai positif dengan kejadian gnathostomiasis (Tabel 5). Hal ini artinya semakin tinggi nilai bobot, panjang, dan diameter tubuh pada belut, maka peluang kejadian gnathostomiasis pada belut akan semakin tinggi pula.

Tabel 5 Hubungan antara ukuran tubuh dan kejadian Gnathostomiasis

Korelasi ( r )

Bobot Panjang Diameter

Kejadian Gnathostomiasis 0.446* 0.427* 0.397* *= Signifikan P < 0.05

Korelasi positif pada ketiga komponen juga membuktikankan bahwa infeksi L3 Gnathostoma spinigerum terhadap belut tidak bersifat patogen. Dengan demikian, infeksi yang terjadi pada tubuh belut tidak menghambat pertumbuhan ukuran tubuh belut itu sendiri. Puspasari (2013) menyebutkan bahwa L3 Gnathostoma spinigerum yang menginfeksi tubuh belut sawah akan membentuk kista yang membuat tubuh belut mampu bertoleransi terhadap kista dorman ini. Selain itu, belut yang telah dewasa dapat lebih toleran dalam mengadaptasikan cacing parasitik yang hadir dalam tubuh belut (Rahayu et al 2013).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

(22)

9

Saran

Jumlah sampel yang diteliti perlu ditambah, agar persebarannya merata dan perhitungan perlu dilakukan setiap bulan, agar faktor lingkungan juga dapat diketahui korelasinya.

DAFTAR PUSTAKA

Asnita. 2011. Identifikasi Cacing Parasitik Dan Perubahan Histopatologi Pada Ikan Bunglon Batik Jepara (Cryptocentrus leptocephalus) Dari Kepulauan Seribu [tesis]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.

Bricking EM 2002. Introduced species summary project: Asian Swamp Eel. [Internet]. [Diunduh 2013 feb 3]. Tersedia pada : http://www.columbia.edu/itc/cerc/danoffburg/

invasion_bio/inv_spp_summ/Monopterus_albus.html.

Barua P, Hazarika NK, Barua N, Barua CK, Choudhury B. 2007. Gnathostomiasis of the anterior chamber. Indian J Med Microbiol. 25(3):276-278.

Bunyaratavej K, Pongpunlert W, Jongwutiwes S, Likitnukul S. 2008. Spinal Gnathostomiasis resembling an intrinsic cord tumor/myelitis in a 4-year-old boy. Southeast Asian J. Trop. Med. Public Health. 39(5):800-803. Chaicumpa W. 2010.Immunodiagnosis of Gnathostomiasis. Siriraj Med J. 62(2)

79-83.

Froese,R.and D.Pauly.2012. Monopterus albus: Swamp eel. [Internet]. [Dinduh

2013 feb 3]. Tersedia pada :

[KKP] Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2012. Statistik Ekspor dan Impor Hasil Perikanan Indonesia. Jakarta (ID) : Direktorat Jendral Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan.

Labarthe N, Serrão ML, Ferreira AMR, Almeida NKO, Guerrero J. 2004. A survey of gastrointestinal helminths in cats of the metropolitan region of Rio de Janeiro, Brazil. Vetpar. 123:133–139.doi:10.1016/j.vetpar.2004.06.002. Lee SH, Hong ST, Chai JY. 1988. Description of a male Gnathostoma spinigerum

recovered from a thai woman with meningoenchephalitis. Korean J.Parasitiol. 26(1):33-38.

Liem, K. F. 1981. Larvae of air-breathing fishes as countercurrent flow devices in hypoxic environments. Science 211:1177-1178.

Ompusunggu S.1996. Cacing-cacing manusia yang ditularkan melalui ikan. Media Litbangkes. 6 (3) : 13-17.

(23)

10

Prok J. 2000. Asian swamp eel invasion increases in southeast. ANS digest : a publication of the freshwater foundation.4(1):5.

Rahayu FD, Ekastuti DR, Tiuria R. 2013. Infestasi Cacing Parasitik pada Insang Ikan Mujair. Acta Vet Indones. 1(1):8-14.

Riani E, Ernawati Y. 2004. Hubungan perubahan jenis kelamin dan ukutan tubuh ikan belut sawah (Monopterus albus). JIPPI.11(2):139-144.

Rojekittikhun W, Chaiyasith T, Nuamtanong S, Komalamisra C. 2004. Gnathostoma infection in fish caught for local consumption in Nakhon Nayok Province, Thailand I. Prevalence and fish species. . Southeast Asian J. Trop. Med. Public Health. 35(3):523-530.

Rojekittikhun W, Pubampen S, Waikagul J. 1998. Seasonal variation in the intensity of Gnathostoma larvae in swamp eels (Fluta alba) sold in a local market in Bangkok. Southeast Asian J. Trop. Med. Public Health.29(1):148-153.

Rojekittikhun W, Waikagul J, Chaiyasith T. 2002. Fish as the natural second intermediate host of Gnathostoma spinigerum . Southeast Asian J. Trop. Med. Public Health. 33 supl 3:63-69.

Rukmana, Rahmat. 2003. Budidaya Belut. Yogyakarta (ID): Kanisius.

Rusnak JM, Lucey DR. 1993. Clinical gnathostomiasis: case repot and review of the English-language literature. Clin Infect Dis 16:33–50.

Saksirisampant W, Thanomsub BW. 2012. Positivity and intensity id Gnathostoma spinigerum infective larvae in farmed and wild-caught swamp eels in Thailand. Korean J. Parasitiol. 50(2):113-118.

Sarwono B, 2000. Budidaya Belut dan Sidat. Jakarta (ID) : Penebar swadaya. Shafland PL, Gestring KB, Stanford MS. 2010. An assesment of the asian swamp

eel (Monopterus albu) in Florida. REV FISH SCI .18(1):25-39.doi:10.1080/10641260903225542.

Straight CA, Reinert TR, Freeman BJ, Shelton J. 2005. The swamp eel, Monopterus sp.CF.M.albus, in the Chattahoochee river system, Fulton County, Georgia (US). Institute of Ecology, University of Georgia.

Sukontason K, Sukontason KL, Muangyimpong Y, Piangjai S. 2001. Experimental infection of Gnathostoma spinigerum larvae in prawns and tadpoles. Southeast Asian J. Trop. Med. Public Health. 32 Supl 2:122-125.

(24)

11

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pontianak Provinsi Kalimantan Barat pada tanggal 7 Januari 1991. Penulis adalah anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Drs. Yakobus Sukadji dan Agnes Fatimah Sutanto S.Pd. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Bruder Nusa Indah B Pontianak dan lulus pada tahun 2003. Penulis melanjutkan pendidikan di SMPN 10 Pontianak dan lulus pada tahun 2006. Sekolah Menengah Atas penulis ditempuh di SMAN 3 Pontianak dan lulus pada tahun 2009. Penulis diterima masuk Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI.

Gambar

Tabel 1 Perbandingan zat gizi dan vitamin antara belut, telur, dan daging sapi
Gambar 2 Kista Gnathosthoma spinigerum

Referensi

Dokumen terkait

maka dapat disimpulkan Ho diterima dan Ha ditolak, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor Pemberian Kredit mempunyai hubungan.. yang tidak signifikan terhadap variabel

Mind mapping dalam penelitian ini adalah sebuah metode yang dipilih untuk pembelajaran IPA yang telah disesuaikan dengan materi ajar.. Bentuk mind mapping

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara perilaku asertif dan tingkat stres kerja pada karyawan.. Subjek penelitian adalah karyawan

Manajemen Cpd Continuing Professional Development Dalam Upaya Peningkatan Profesionalitas GuruDi Smp Darul Hikam Bandung.. Universitas Pendidikan Indonesia |

- Mahasiswa mampu memberikan penilaian terhadap contoh tipe window Presentasi studi kasus 3x50 7 Mahasiswa/i dapat memilih perangkat interaksi yang tepat dalam desain UI

Berdasarkan perhitungan harga pokok dan tarif per masing-masing kamar Swiss Belhotel Borneo Samarinda dengan menggunakan metode Activity Based Costing , penulis

dan Sifat Kedap Air pada Tanah Sekitar Rawa Pening (Studi kasus: Tanah Urug Tanggul di Jalan Lingkar Selatan Km.03 Ambarawa) ”. Tugas Akhir ini dibuat untuk memenuhi salah satu

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode convenience sampling , yaitu pengambilan sampel secara nyaman