• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektivitas pemberian probiotik, prebiotik dan sinbiotik melalui pakan untuk pengendalian infeksi streptococcus agalactiae pada ikan nila (oreochromis niloticus)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efektivitas pemberian probiotik, prebiotik dan sinbiotik melalui pakan untuk pengendalian infeksi streptococcus agalactiae pada ikan nila (oreochromis niloticus)"

Copied!
191
0
0

Teks penuh

(1)

EFEKTIVITAS PEMBERIAN PROBIOTIK, PREBIOTIK DAN SINBIOTIK MELALUI PAKAN UNTUK PENGENDALIAN INFEKSI Streptococcus agalactiae

PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus)

TANBIYASKUR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Efektivitas Pemberian Probiotik, Prebiotik dan Sinbiotik Melalui Pakan Untuk Pengendalian Infeksi Streptococcus agalactiae pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2011

(3)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(4)

EFEKTIVITAS PEMBERIAN PROBIOTIK, PREBIOTIK DAN

SINBIOTIK MELALUI PAKAN UNTUK PENGENDALIAN

INFEKSI Streptococcus agalactiae PADA IKAN NILA

(Oreochromis niloticus)

TANBIYASKUR

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Akuakultur

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Judul Proposal : Efektivitas Pemberian Probiotik, Prebiotik dan Sinbiotik Melalui Pakan Untuk Pengendalian Infeksi Streptococcus agalactiae pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

Nama : Tanbiyaskur

NIM : C151090221

Disetujui Komisi Pembimbing

Ketua Dr. Widanarni, M.Si

Anggota

Dr.drh. Angela Mariana L, M.Si

Diketahui

Ketua Program studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Akuakultur

Prof. Dr. Enang Harris, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(6)

PRAKATA

Penulis mempersembahkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas Rahmat dan Hidayah-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis dengan judul Efektivitas Pemberian Probiotik, Prebiotik dan Sinbiotik Melalui Pakan Untuk Pengendalian Infeksi Streptococcus agalactiae Pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus). Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada program Magister Sains di Program Studi Ilmu Akuakultur Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Widanarni, M.Si dan Dr.drh. Angela Mariana Lusiastuti, M.Si selaku komisi

pembimbing yang telah memberikan arahan dan saran-sarannya dalam penulisan tesis ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, karena keterbatasan pengetahuan dan wawasan penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran, masukan dan kritikan untuk perbaikan serta kesempurnaan penulisan selanjutnya. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.

Bogor, Agustus 2011

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Gumai pada tanggal 25 April 1986 dari ayah Zubairi, HS dan ibu Izut. Penulis merupakan putra kelima dari lima bersaudara.

(8)

DAFTAR ISI

Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 3

Hipotesis ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Streptococcus agalactiae ... 4

Probiotik ... 5

Pemilihan Ikan Uji dan Bakteri Probiotik ... 14

Perlakuan dan Rancangan Penelitian ... 14

Pelaksanaan Tahap I ... 15

Uji In Vitro Bakteri Kandidat Probiotik... 15

Aktivitas antagonistik ... 15

Peningkatan Virulensi Bakteri Streptococcus agalactiae ... 15

Pelaksanaan Tahap II ... 17

Ekstraksi Oligosakarida... ... 17

Pembuatan Tepung Ubi Jalar ... 17

Ekstraksi dengan Etanol 70% ... 17

Total Padatan Terlarut ... 18

Pelaksanaan Tahap III ... 19

Pengujian secara In Vivo ... 19

Pengujian Parameter Gambaran Darah ... 20

Total Eritrosit ... 20

Kadar Hemoglobin (Hb) ... 20

Kadar Hematokrit (He) ... 21

(9)

Diferensial Leukosit ... 21

Indeks fagositik ... 22

Jumlah Total Bakteri S. agalactiae di Organ Target... 22

Jumlah Total Bakteri di Usus ... 23

Histopatologi ... 23

Kelangsungan Hidup/Survival Rate (SR) ... 23

Laju Pertumbuhan (GR) ... 25

Analisis Statistik ... 25

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Aktivitas Antagonistik ... 26

Kelangsungan Hidup Ikan ... 28

Gambaran Darah Ikan ... 31

Total Eritrosit ... 31

Kadar Hemoglobin (Hb) ... 35

Kadar Hematokrit (He) ... 37

Total Leukosit ... 39

Diferensial Leukosit ... 40

Indeks fagositik ... 46

Jumlah Total Bakteri di Usus ... 49

Jumlah Total S. agalactiae di Organ Target ... 52

Histopatologi ... 54

Otak ... 54

Ginjal ... 56

Hati ... 58

Mata ... 59

Laju Pertumbuhan Harian dan Konversi Pakan (FCR) ... 61

Kualitas Air ... 65

Kesimpulan dan Saran... 66

DAFTAR PUSTAKA ... 67

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Karakteristik S. agalactiae yang menyerang sapi, bovine dan ikan ... 5

2. Aktivitas antagonistik bakteri NP5 terhadap bakteri patogen S. agalactiae secara in vitro ... 27

3. Perubahan patologis otak ikan nila yang diinfeksi S. agalactiae ... 55

4. Perubahan patologis ginjal ikan nila yang diinfeksi S. agalactiae... 56

5. Perubahan patologis hati ikan nila yang diinfeksi S. agalactiae ... 58

6. Perubahan patologis mata ikan nila yang diinfeksi S. agalactiae ... 60

(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Diagram alir pelaksanaan penelitian ... 16 2. Tahapan pembuatan tepung ubi jalar ... 17 3. Ekstraksi Oligosakarida ubi jalar ... 18 4. Aktivitas antagonistik bakteri NP5 terhadap bakteri patogen S. Agalactiae

A ; Kontrol. B; Probiotik NP5 ... 26 5. Tingkat kelangsungan hidup ikan nila selama perlakuan penambahan

probiotik, prebiotik dan sinbiotik (A) dan pasca uji tantang dengan bakteri patogen S. agalactiae (B); PO(+). kontrol positif; PO(-). kontrol negatif; P1. probiotik; P2. prebiotik; P3. Sinbiotik ... 29 6. Gejala klinis yang ditimbulkan akibat infeksi bakteri S. agalactiae pada

ikan nila; a. timbul garis hitam vertical dan pupil mata mengecil; b. clear operculum; c. purulens (mata putih); d. eksoptalmia ... 30 7. Jumlah total eritrosit ikan nila selama perlakuan penambahan probiotik,

prebiotik dan sinbiotik (minggu ke-1 dan ke-2) dan pasca uji tantang dengan bakteri patogen S. agalactiae (minggu ke-3 dan ke-4) ... 32 8. Kadar hemoglobin ikan nila selama perlakuan penambahan probiotik,

prebiotik dan sinbiotik (minggu ke-1 dan ke-2) dan pasca uji tantang

dengan bakteri patogen S.agalactiae (minggu ke-3 dan ke-4) ... 35 9. Kadar hematokrit ikan nila selama perlakuan penambahan probiotik,

prebiotik dan sinbiotik (minggu ke-1 dan ke-2) dan pasca uji tantang

dengan bakteri patogen S. agalactiae (minggu ke-3 dan ke-4) ... 37 10. Total leukosit ikan nila selama perlakuan penambahan probiotik,

prebiotik dan sinbiotik (minggu ke-1 dan ke-2) dan pasca uji tantang dengan bakteri patogen S. agalactiae (minggu ke-3 dan ke-4) ... 39 11. Persentase jumlah limfosit ikan nila selama perlakuan penambahan

probiotik, prebiotik dan sinbiotik (minggu ke-1 dan ke-2) dan pasca uji tantang dengan bakteri S.agalactiae (minggu ke-3 dan ke-4) ... 41 12. Persentase jumlah monosit ikan nila selama perlakuan penambahan

probiotik, prebiotik dan sinbiotik (minggu ke-1 dan ke-2) dan pasca uji tantang dengan bakteri S.agalactiae (minggu ke-3 dan ke-4) ... 43 13. Persentase jumlah neutrofil ikan nila selama perlakuan penambahan

probiotik, prebiotik dan sinbiotik (minggu ke-1 dan ke-2) dan pasca uji tantang dengan bakteri S.agalactiae (minggu ke-3 dan ke-4) ... 45 14. Persentase indeks fagositik ikan nila selama perlakuan penambahan

(12)

15. Jumlah total bakteri di usus ikan nila; PO(+). kontrol positif;

PO(-). kontrol negatif; P1. probiotik; P2. prebiotik P3. sinbiotik ... ... 49 16. Mekanisme peningkatan respon imun oleh bakteri probiotik

setelah berinteraksi dengan sistem imun di peyer’s patches ... 51 17. Total bakteri S. agalactiae di organ target pada minggu ke-3 (A)

dan minggu ke-4 (B); PO(+). kontrol positif; PO(-). kontrol negatif; P1. probiotik; P2. prebiotik P3. Sinbiotik ... 53 18. Histopatologi otak ikan nila yang diinjeksi S. agalactiae A. hyperplasia

B. hipertropi ; C. nekrosis ; D. kongesti E. vakuolisasi ... 55 19. Histopatologi ginjal ikan nila yang diinjeksi S. agalactiae A. ginjal

normal; B. vakuolisasi ; C. sel radang ; D. deposisi protein hialin

E. kongesti; F. degenerasi, nekrosis ; G: hemoragi ... 57 20. Histopatologi hati ikan nila yang diinjeksi S. agalactiae A. hati

normal; B. atropi ; C. degenerasi lemak; D. hipertropi; E. kongesti

F. hemoragi ... 59 21. Histopatologi hati ikan nila yang diinjeksi S. agalactiae A. mata

normal; B.hipertropi ; C. vakuolisasi; D. hiperplasia; E. nekrosis ... 61 22. Laju pertumbuhan bobot harian (A) dan nilai FCR (B) ikan nila

setelah 14 hari pemeliharaan; PO(+). kontrol positif; PO(-). kontrol

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Skema pembuatan blok paraffin... 72 2. Skema proses pemberiaan warna pada sampel jaringan dengan pewarnaan haematoksilin dan eosin ... 73 3. SR ikan nila setelah pemberian probiotik, prebiotik dan sinbiotik ... 74 4. Kelangsungan hidup ikan nila pasca uji tantang dengan bakteri patogen

S. agalactiae ... 75 5. Nilai total padatan terlarut ekstraksi oligosakarida ubi jalar ... 77 6. Gambaran Mikroskopis darah (total eritrosit, kadar hematokrit dan

kadar hemoglobin) ikan nila selama penelitian ... 78 7. Gambaran Mikroskopis darah (total Leukosit, Differensial leukosit dan indeks fagositik) ikan nila selama penelitian ... 85 8. Jumlah total bakteri di usus pada akhir pemberian probiotik, prebiotik dan

sinbiotik ... 90 9. Jumlah total bakteri S. agalactiae di organ target pasca uji tantang ... 92 10. Laju pertumbuhan (GR) yang diberi pakan dengan penambahan probiotik, prebiotik dan sinbiotik ... 93 11. Konversi pakan (FCR) ikan nila yang diberi pakan dengan penambahan

(14)

I. PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan jenis ikan air tawar yang sangat potensial dikembangkan di Indonesia. Ikan ini memiliki laju pertumbuhan yang cepat, mudah bereproduksi, berdaging tebal dan mudah dibudidayakan (Molina et al. 2009). Berbagai keunggulan pada ikan nila membuat permintaan terus meningkat, akibatnya penerapan intensifikasi budidaya tidak dapat dihindarkan. Namun demikian, intensifikasi budidaya yang kurang memperhatikan kondisi lingkungan budidaya dapat menimbulkan berbagai dampak negatif antara lain timbulnya penyakit. Salah satu penyakit yang sedang mewabah dan menjadi salah satu masalah utama pada budidaya ikan nila saat ini yaitu Streptococcosis yang disebabkan oleh bakteri Streptococcus agalactiae.

Bakteri S. agalactiae dapat menyebabkan kematian yang tinggi dan menyebabkan kerugian ekonomi yang cukup besar dalam budidaya ikan nila. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Evans (2006), bakteri S. agalactiae

menyebabkan 90% kematian ikan 6 hari setelah injeksi. Infeksi S.agalactiae bersifat septicemia dan koloninya menyebar di beberapa organ dalam seperti pada otak, mata dan ginjal (Sheehan 2009). Menurut Conroy (2009), S. agalactiae menginfeksi dan lebih virulen pada kondisi lingkungan dengan suhu 24 oC - 29 o

Kontrol dan penanggulangan terhadap penyakit secara konvensional sering dilakukan dengan menggunakan bahan-bahan kimia seperti obat-obatan antimikroba dan desinfektan (Gomez et al. 2000). Penggunaan antibiotik yang tidak terkendali untuk pengobatan penyakit, dapat menyebabkan gangguan pada keseimbangan dinamika alami mikroorganisme dalam pemeliharaan ikan. Oleh karena itu, penggunaan bahan-bahan kimia tersebut saat ini dibatasi dan tidak dianjurkan. Berdasarkan kelemahan tersebut, maka perlu dicari alternatif untuk menanggulangi permasalahan penyakit tanpa menggunakan antibiotik dan bahan kimia lainnya (Weston 1996; Esiobu et al. 2002).

C. Mengingat suhu di Indonesia umumnya berada pada kisaran tersebut, maka penyebaran serangan

(15)

Pada kondisi ini, pendekatan yang dapat dilakukan yaitu pengendalian

S. agalactiae pada ikan nila dengan probiotik. Probiotik tidak terakumulasi dalam tubuh ikan dan tidak menyebabkan resistensi organisme patogen seperti pada antibiotik (Guo et al. 2009). Bakteri probiotik mampu melakukan pengontrolan kondisi pemeliharaan secara biologis tanpa menimbulkan dampak buruk terhadap sistem keseimbangan ekologis mikroba baik dalam pencernaan maupun dalam sistem pemeliharaan ikan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Haroun et al. (2006), bakteri probiotik telah terbukti berhasil dalam menstimulasi sistem imun dan menurunkan bakteri patogen pada budidaya ikan nila. Hal ini juga didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Wang et al. (2008), pemberian bakteri Enteroccus faecium sebagai probiotik dapat meningkatkan pertumbuhan dan respon imun ikan nila. Namun demikian, perlu diketahui bakteri probiotik yang tepat dan potensial untuk menekan virulensi S. agalactiae pada ikan nila.

Pemberian probiotik yang tepat dan potensial sebagai hasil dari seleksi terkadang juga memiliki kelemahan. Beberapa kelemahan konsep probiotik di antaranya adalah kompetisi nutrien, kemampuan hidup dan kolonisasi bakteri probiotik dalam saluran pencernaan yang secara alami sudah mengandung ratusan spesies bakteri lainya. Jika bakteri probiotik tidak mendapatkan jumlah nutrien yang cukup untuk kehidupannya, ditambah terjadinya perubahan lingkungan yang ekstrim dalam saluran pencernaan, maka bakteri probiotik akan cepat mengalami wash out

(pencucian) (Lisal 2005).

(16)

meningkatkan fungsi probiotik dalam saluran pencernaan yang akhirnya dapat menstimulasi sistem imun ikan. Oleh sebab itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai peranan probiotik, prebiotik dan sinbiotik dalam meningkatkan sistem imun ikan terhadap serangan bakteri patogen S. agalactiae. 1.2. Rumusan Masalah

Penggunaan antibiotik dan bahan kimia dalam upaya untuk mengatasi penyakit pada ikan budidaya perlu dihindari dan dikurangi mengingat penggunaan bahan-bahan tersebut memiliki dampak yang merugikan. Beberapa dampak yang diakibatkan dari penggunaan bahan tersebut, diantaranya dapat memicu terjadinya resistensi yaitu meningkatnya kekebalan mikroorganisme patogen terhadap bahan kimia tersebut dan adanya residu yang dapat membahayakan konsumen. Oleh karena itu perlu dikaji studi tentang penggunaan probiotik, prebiotik dan sinbiotik untuk pengendalian penyakit. Penggunaan probiotik, prebiotik dan sinbiotik menguntungkan bagi organisme budidaya, diantaranya dapat meningkatkan sistem imun ikan, membantu proses pencernaan dan tidak bersifat patogen. Mengingat berbagai keuntungan tersebut maka perlu dikembangkan lebih lanjut.

1.3. Tujuan dan Manfaat

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui efektivitas pemberian probiotik, prebiotik dan sinbiotik melalui pakan dalam menstimulasi sistem imun ikan nila (Oreochromis niloticus) untuk pengendalian infeksi S. agalactiae. Manfaat dari penelitian ini adalah dengan pemberian probiotik, prebiotik dan sinbiotik diharapkan dapat menggantikan penggunaan bahan-bahan antibiotik dalam penanggulangan penyakit bakterial.

1.4. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah pemberian probiotik,

(17)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Streptococcus agalactiae

Streptococcus agalactiae dapat menyebabkan neonatal meningitis pada manusia dan mastitis pada beberapa hewan terestrial misalnya pada sapi (Lindahl et al. 2005). S. agalactiae tergolong ke dalam grup GBS (Group B Streptococcal) yang dapat menyebabkan kematian yang besar pada ikan budidaya dan ikan di perairan umum, di antaranya ikan Striped bass (Morone saxatilis) (Baya

et al. 1990) dan ikan nila (Oreochromis niloticus). Streptococcus agalactiae biasanya menyerang bagian otak, mata dan organ lain yang umumnya mengandung cairan (Evans etal. 2002).

Berdasarkan hasil pengujian oleh Evans et al. (2002), S. agalactiae termasuk dalam bakteri gram positif, oksidase negatif, katalase negatif, isolat menunjukkan hasil positif pada reaksi leucine aminopeptidase, arginin deaminase dan trehalose.

Negatif pada tes reaksi β-galactosidase, β-glucuronidase, N-acetyl- β -glucosaminidase, β-mannosidase, glycyl-tryptophane arylamidase, sorbitol, L-arabinosa , D-arabitol, glycogen , melezitos dan hidrolisis amilum.

Serangan penyakit yang disebabkan oleh S. agalactiae dapat memberikan efek kronis dan akut tergantung pada tingkat serangan. Serangan pada tingkat kronis ditandai dengan adanya luka di permukaan tubuh, bercak-bercak merah pada sirip, berenang lambat dan nafsu makan ikan menjadi menurun. Sedangkan serangan akut menyebabkan kematian yang diduga karena ikan kehilangan cairan pada saluran pencernaan bagian belakang. Sebelum mengalami kematian, ikan menunjukkan gejala klinis berenang lemah dan berada di dasar akuarium, respon terhadap pakan lemah, berenang whirling (menggelepar), tubuh membentuk huruf ”C”, perubahan pada warna tubuh, dan bukaan operkulum lebih cepat ( Evans 2006).

(18)

Tabel 1. Karakteristik S. agalactiae yang menyerang sapi, bovine dan ikan

Keterangan : SNI : Standar Nasional Indonesia; (1) & (2) : pada hewan sapi, pada bovine; (3) & (4) pada ikan; non : tidak dilakukan; Var : bervariasi

2.2. Probiotik

(19)

pakan (Verschuere et al. 2000). Bakteri probiotik sebagai suplemen pakan memiliki pengaruh menguntungkan untuk memperbaiki keseimbangan mikroflora pada saluran pencernaan larva. Menurut Fuller (1992), probiotik harus memiliki karakter-karakter sebagai berikut: (1) menguntungkan inangnya, (2) mampu hidup (tidak harus tumbuh) di intestinum, (3) dapat disiapkan sebagai produk sel hidup pada skala industri, (4) dapat terjaga stabilitas dan sintasan untuk waktu yang lama pada penyimpanan maupun di lapangan.

Secara dasar ada tiga model kerja probiotik, yaitu (a) menekan populasi mikroba melalui kompetisi dengan memproduksi senyawa-senyawa antimikrobia atau melalui kompetisi nutrisi dan tempat pelekatan di dinding usus, (b) mengubah keseimbangan metabolisme mikrobial dengan meningkatkan dan menurunkan aktivitas enzim dan (c) menstimulasi immunitas dengan meningkatkan antibodi dan aktivitas makrofag (Irianto, 2003). Menurut Verschuere et al. (2000), mekanisme kerja bakteri probiotik dapat dibagi menjadi beberapa cara yaitu: (1) produksi senyawa inhibitor; (2) kompetisi terhadap senyawa kimia atau sumber energi (nutrisi); kompetisi terhadap tempat pelekatan; (4) peningkatan respon imun (kekebalan); (5) perbaikan kualitas air dan (6) interaksi dengan fitoplankton.

Probiotik yang bekerja di dalam tubuh inang harus mampu bertahan hidup dalam mukosa usus inang dan berkembang biak dengan cepat agar tidak terbawa keluar bersama sisa metabolisme inang. Meskipun secara in vitro probiotik terbukti mampu menekan atau menghambat pertumbuhan bakteri patogen, namun apabila probiotik tersebut tidak dapat bertahan hidup dalam mukosa usus kemungkinan besar probiotik yang menghambat pertumbuhan bakteri patogen tidak ditemukan pada uji

in vivo (Vine et al 2004).

(20)

inhibitor maupun berkompetisi tempat pelekatan dan nutrien; (4) pendugaan patogenitas probiotik potensial yang meliputi probiotik tidak boleh patogen pada inang; (5) evaluasi pengaruh probiotik potensial pada larva dengan hasil terbaik yang dilihat dari nilai kelangsungan hidup tertinggi, penambahan bobot terbesar, peningkatan daya tahan tubuh inang terhadap stress dan serangan patogen terendah; (6) analisa ekonomi biaya laba.

Evaluasi kemampuan probiotik potensial berkompetisi dengan galur patogen dapat dilakukan melalui tes antagonis secara in vitro. Uji in vitro dapat berupa uji tantang antara bakteri kandidat probiotik dengan bakteri patogen dalam media cair maupun padat. Pada media padat dapat berupa disk diffusion method untuk melihat kemampuan kandidat probiotik dalam menghasilkan senyawa antibakterial. Zona bening yang dihasilkan menunjukkan bahwa bakteri tersebut mampu mensekresikan suatu senyawa antimikroba (Chythanya et al. 2002 dalamSasanti 2008).

2.3. Prebiotik

Prebiotik adalah bahan makanan yang tidak dapat dicerna di mana makanan ini mempunyai pengaruh baik terhadap inangnya dengan memicu aktivitas metabolik dan pertumbuhan yang selektif satu atau lebih bakteri yang terdapat dalam usus (Gibson dan Fuller 2000; Roberfroid 2000; Schrezenmeir dan Vrese 2001). Definisi ini didukung oleh pendapat Lisal (2005) yang menyatakan bahwa prebiotik adalah bahan yang tidak dihidrolisa di saluran cerna dan merupakan substrat selektif bagi bakteri komensal dalam kolon yang dapat menstimulasi aktifitas bakteri. Prebiotik umumnya adalah senyawa karbohidrat yang tidak dapat dicerna serta umumnya berbentuk oligosakarida (oligofruktosa) dan serat pangan (inulin) (Reddy 1999).

(21)

Roberfroid (2000) menyatakan bahwa prebiotik sangat erat kaitannya dengan probiotik, karena target dari prebiotik adalah memacu pertumbuhan selektif dari bakteri probiotik. Prebiotik berperan untuk meregulasi dan memodulasi mikroekosistem populasi bakteri probiotik. Mengkonsumsi bahan prebiotik secara signifikan dapat memodulasi komposisi mikroflora kolon yang menyebabkan bakteri yang menguntungkan lebih dominan di dalam kolon dan banyak ditemukan di dalam feses (Gibson dan Roberfroid 1995). Prebiotik dalam usus besar akan difermentasi oleh bakteri probiotik dan akan menghasilkan short chain fatty acid (SCFA) dalam bentuk asam asetat, propionat, butirat, serta karbondioksida dan hidrogen (Cummings et al. 2001).

2.3.1 Oligosakarida

Oligosakarida merupakan karbohidrat sederhana yang berupa polisakarida rantai pendek dengan 3 hingga 20 unit sakarida (Manning et al. 2004). Sumber oligosakarida banyak terdapat pada umbi-umbian, biji-bijian dan kacang-kacangan.

Oligosakarida tidak dapat dicerna karena memiliki ikatan glikosidik yaitu β (1→4), α (1→4), β (1→6), α (1→4) (Wilbraham dan Matta 1992, diacu dalam Marlis 2008).

Mukosa mamalia tidak mempunyai enzim pencerna yang dapat memecah

ikatan-ikatan glikosidik oligosakarida tersebut yaitu enzim α-galaktosidase dan

β-fruktofuranosidase. Bakteri baik seperti Lactobacillus mempunyai enzim

α-galaktosidase yang mampu memutus ikatan alfa-galaktosa sehingga oligosakarida seperti Galaktooligosakrida (GOS) dapat dicerna oleh Lactobacillus. Sedangkan

Bifidobacteria memiliki enzim β-fruktofuranosidase yang dapat memutus ikatan beta-D-fruktofuranosida sehingga oligosakarida seperti Fruktooligosakarida (FOS) dapat dicerna oleh Bifidobacteria. Oligosakarida yang terdapat dalam ubi jalar yaitu rafinosa, oligofruktosa dan maltotriosa. Pada manusia, rafinosa dapat memberikan dampak yang baik bagi kesehatan diantaranya adalah menghasilkan energi metabolisme yang lebih rendah dari sukrosa, tidak memberikan efek sekresi insulin dari pankreas dan meningkatkan mikroflora usus ( Rini 2008; Marlis 2008).

(22)

lemak rantai pendek (terutama asam asetat dan asam laktat dengan perbandingan 3:2) yang akan menyebabkan komposisi mikroflora usus berubah serta dihasilkannya zat yang bersifat antibiotik. Hampir semua zat yang diproduksi oleh bakteri bersifat asam sebagai hasil fermentasi karbohidrat oligosakarida. Nilai pH akan turun mencapai pH asam sehingga persentase bakteri menguntungkan meningkat sedangkan persentase bakeri merugikan menurun (Tomomatsu 1994).

Oligosakarida dapat mengurangi metabolik toksik dan enzim-enzim yang merugikan di dalam pencernaan. Konsumsi oligosakarida dapat mencegah penyakit kanker dan meningkatkan kesehatan melalui beberapa mekanisme secara fisiologis. Tomomatsu (1994) menyatakan bahwa konsumsi 3-6 gram oligosakarida per hari akan mengurangi senyawa toksik yang terdapat dalam usus sebanyak 44,6% dan enzim-enzim yang merugikan sebanyak 40,9% selama tiga minggu pemberian. Lebih lanjut Tomomatsu (1994) menyatakan bahwa suplementasi oligosakarida sebanyak 4 gram per hari selama 25 hari akan mengurangi resiko terserang penyakit kanker.

2.4. Sinbiotik

Sinbiotik adalah gabungan antara probiotik dan prebiotik, yang memberikan pengaruh menguntungkan bagi inang, dengan cara memperbaiki survival dan implantasi suplemen mikroba hidup dalam saluran cerna, oleh stimulasi pertumbuhan secara selektif dan dengan aktivasi metabolisme dari satu atau sejumlah terbatas bakteri yang mempunyai efek promotif bagi kesehatan, sehingga dapat meningkatkan kesehatan inang. Telah dibuktikan bahwa gabungan kedua bahan (probiotik dan prebiotik) dalam satu produk tunggal maka kegunaan masing-masing atau kedua komponen tersebut semakin meningkat.

Berdasarkan hasil penelitian Li et al. (2009), penambahan probiotik Bacillus

(23)

yang lebih tinggi dari mikroorganisme probiotik yang hidup, bila dibandingkan dengan tanpa pemberian amilose (RS2) (Lisal 2005).

Konsep sinbiotik belum banyak diaplikasikan pada kegiatan akuakultur. Sampai saat ini belum ada laporan penelitian mengenai aplikasi sinbiotik untuk meningkatkan sistem imun ikan dalam pengendalian terhadap bakteri patogen. Berhubungan dengan hal tersebut, maka penelitian ini perlu dilakukan.

2.5. Ikan Nila

Ikan nila termasuk dalam kingdom Animalia, filum Chordata, sub filum

Vertebrata, kelas Pisces, sub kelas Acanthopterigii, ordo Percomorphi, sub ordo

Percaidae, famili Cichlidae, genus Oreochromis, spesies Oreochromis niloticus. Pada awalnya ikan nila bernama Tilapia nilotica, kemudian diganti dengan

Sarotherodon niloticus dan sekarang dikenal dengan Oreochromis niloticus. Ikan nila berasal dari sungai Nil di Uganda yang telah bermigrasi ke selatan melewati danau Raft dan Tanganyika. Ikan nila pertama kali diintroduksikan ke Indonesia sekitar Juli 1969 dari Taiwan dan disebarkan ke setiap provinsi pada tahun 1971. Nila merupakan ikan sungai atau danau yang sangat cocok dipelihara diperairan tenang, kolam maupun reservoir. Di California, spesies Tilapia zillii yang merupakan herbivora, dipelihara pada saluran irigasi sebagai pengontrol tumbuh-tumbuhan air. Ikan nila juga digunakan untuk membersihkan kotoran pada danau dengan memakan tanaman airnya (Anonimous 1991).

(24)

antara 25-30 o

Makanan ikan nila secara alami berupa plankton, perifiton dan tumbuh-tumbuhan lunak seperti hydrilla, ganggang sutera dan klekap. Ikan nila tergolong ke dalam ikan omnivora yang lebih cenderung herbivora. Ikan nila juga memakan jenis-jenis makanan tambahan yang biasa diberikan seperti dedak halus, ampas kelapa dan sebagainya. Pencernaan ikan nila memiliki kemampuan untuk menghancurkan ikatan hidrogen pada unit selulosa pakan nabati dengan enzim dalam pencernaannya, sehingga dinding sel rumput mudah pecah dan dapat dihidrolisis cairan selnya. Akan tetapi kuantitas dan kualitas enzim ini jumlahnya masih terbatas. Untuk budidaya, ikan nila tumbuh lebih cepat hanya dengan pakan yang mengandung protein sebanyak 20-25%. Dari hasil penelitian Balai Penelitian Perikanan yang dilakukan secara terpadu (integrated) terhadap pemberian pakan ikan nila, ransum harian yang diberikan kepada benih ikan nila sebanyak 3% dari berat biomassa ikan/hari. Pakan yang diberikan berupa pelet yang berkadar protein 25-26% dan kandungan lemak sebesar 6-8% pada pemeliharaan di keramba Jaring Apung (Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-6495. 1-2000). Menurut Webster dan Lim (2002), kadar protein berkisar antara 28-40% mampu menunjang pertumbuhan optimal ikan nila yang dipelihara di kolam. Nilai ini akan menjadi lebih rendah dengan mempertimbangkan kehadiran pakan alami yang dapat memberikan kontribusi protein dalam jumlah tertentu.

C, oleh karena itu ikan nila cocok dipelihara di daratan rendah dan dataran agak tinggi (500 m di atas permukaan laut) (Robert 2000).

2.6. Imunologi Ikan

(25)

ikan terdiri dari pertahanan selular dan humoral. Berbagai bahan dalam sirkulasi seperti komplemen, interferon, CRP dan kolektin berperan dalam pertahanan nonspesifik humoral. Sedangkan fagosit, makrofag dan sel NK berperan dalam sistem imun nonspesifik selular (Baratawidjaja 2006).

Sistem imun spesifik pada ikan walaupun tidak sempurna seperti pada vertebrata tetapi memiliki banyak kesamaan diantaranya mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama kali muncul dalam tubuh akan segera dikenali oleh sistem imun spesifik sehingga terjadi sensitasi sel-sel sistem imun tersebut. Benda asing yang sama, bila terpapar ulang akan dikenal lebih cepat, kemudian dihancurkan. Mekanisme sistem imun hanya ditujukan pada organisme tertentu dan sangat efektif untuk mengatasi serangan dari mikroba yang pernah memapar sebelumnya. Respon imunitas spesifik lambat tidak siap sampai ada paparan sebelumnya. Berbagai bahan atau sel penting yang berperan yaitu limfosit B atau sel B merupakan sistem imun spesifik humoral. Limfosit T atau sel T berperan pada sistem imun spesifik selular. Sedangkan beberapa molekul yang penting antibodi, sitokin, molekul adhesin (Baratawidjaja 2006).

Menurut Anderson (1974), mekanisme kekebalan non-spesifik merupakan kekebalan alamiah (innate immunity) pertahanan inang yang responnya tidak tergantung kontak antigen tertentu, respon kekebalan spesifik (humoral mediated immunity dan cellular mediated immunity) tergantung kontak inang dengan antigen tertentu sebelumnya (= adaptive immunity). Mekanisme sistem imun nonspesifik tidak ditujukan pada organisme tertentu dan tidak menunjukkan spesifisitas terhadap banyak patogen potensial. Respon imunitas nonspesifik cepat, selalu siap dan tidak perlu ada paparan sebelumnya. Sistem pertahanan tubuh non spesifik terdiri dari kulit dan selaput mukosa. Sistem pertahanan tubuh spesifik, kekebalan khusus yang membuat limfosit peka untuk segera menyerang patogen tertentu.

(26)

antigen tertentu pada limpa dan hati. Menurut Anderson (1974), pada imunitas spesifik selular, sel T akan mengaktifkan makrofag untuk menghancurkan mikroba atau mengaktifkan sel Tc untuk memusnahkan sel terinfeksi. Sistem kekebalan spesifik pada ikan meliputi sistem reticulo endothelial, limfosit, plasmosit, dan fraksi serum protein tertentu. Sistem reticulo endothelial ikan terdiri dari bagian depan ginjal, timus, limpa, dan hati (pada awal perkembangan).

(27)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan dari bulan Januari - Maret 2011.

3.2. Pemilihan Ikan Uji dan Bakteri Probiotik

Ikan uji yang digunakan pada penelitian ini adalah benih ikan nila BEST dengan berat 15-20 g. Ikan nila dipelihara dalam akuarium berukuran 60x30x40 cm3

3.3. Perlakuan dan Rancangan Penelitian

dengan kepadatan 10 ekor/akuarium. Sebelum digunakan dalam perlakuan, benih ikan diadaptasikan terlebih dahulu selama 7 hari. Bakteri probiotik yang digunakan dalam penelitian ini adalah bakteri NP5, yaitu dari genus Bacillus. Uji-uji yang telah dilakukan terhadap bakteri probiotik ini berupa uji ketahanan terhadap pH asam, uji penempelan dan uji patogenisitas (Putra 2010). Prebiotik yang digunakan adalah ekstraksi oligosakarida ubi jalar varietas sukuh.

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 5 perlakuan dan 4 kali pengulangan. Adapun perlakuannya adalah sebagai berikut :

P0 (+) : Pemberian pakan tanpa penambahan probiotik, prebiotik, sinbiotik dan diuji tantang dengan S. agalactiae

P0 (-) : Pemberian pakan tanpa penambahan probiotik, prebiotik, sinbiotik dan tanpa uji tantang dengan S. agalactiae

P1 : Pemberian pakan dengan penambahan probiotik sebesar 1 %

( 1g/100g pakan : Putra 2010) dan diuji tantang dengan S. agalactiae

P2 : Pemberian pakan dengan penambahan prebiotik sebesar 2 %

(2g/100g pakan : Mahious et al.2006) dan diuji tantang dengan S. agalactiae

P3 : Pemberian pakan dengan penambahan sinbiotik

(28)

3.4. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini dibagi menjadi 3 tahapan (Gambar 1) yang akan dilaksanakan sebagai berikut :

Tahap 1. Uji in vitro bakteri kandidat Probiotik Aktivitas antagonistik

Isolat bakteri NP5, diuji daya hambatnya terhadap S. agalactiae dengan metode Kirby-Bauer (Lay 1994). Isolat S. agalactiae dan bakteri kandidat probiotik (NP5) yang telah berumur 24 jam diencerkan hingga memiliki tingkat kekeruhan

yang sama dengan konsentrasi biakan suspensi sekitar 106 CFU/ml. Selanjutnya

S. agalactiae disebar pada media Triptic Soy Agar (TSA) sebanyak 100 µl. Kertas cakram (Whatman antibiotic assay paper) berdiameter 6 mm ditetesi suspensi bakteri kandidat probiotik sebanyak 10 µl, kemudian diletakkan diatas media TSA yang telah diberi bakteri S. agalactiae. Sebagai kontrol digunakan larutan fisiologis. Selanjutnya diinkubasi pada suhu 29 o

Peningkatan virulensi bakteri S. agalactiae

C selama 24 jam. Setelah itu diukur zona bening yang terbentuk menggunakan jangka sorong pada 4 posisi dari setiap kertas cakram, kemudian dirata-ratakan.

Sebelum bakteri stok digunakan untuk uji tantang, dilakukan postulat koch sebanyak 2 kali untuk meningkatkan virulensi bakteri. Stok bakteri ditumbuhkan pada media Brain Heart Infusion Broth (BHIB) 10 ml selama 24-48 jam. Ikan nila sehat sebanyak 10 ekor disuntik bakteri S. agalactiae dengan konsentrasi 0.1 ml/ekor. Sebagai kontrol ikan nila disuntik dengan larutan Phosphate Buffer Saline

(PBS) dengan dosis yang sama. Ikan yang telah disuntik diamati selama 7 hari. Ikan yang menunjukkan gejala klinis S. agalactiae seperti, warna tubuh menjadi gelap, garis-garis vertikal menjadi lebih gelap, mata menonjol, clear operculum (operculum mengalami lisis), berenang whirling dan juga kematian, diambil dan diisolasi. Bakteri diisolasi dari bagian organ target yaitu otak, mata dan ginjal ikan nila dalam

(29)

Prosedur Penelitian

Gambar 1. Diagram alir pelaksanaan penelitian. Peningkatan virulensi bakteri S. agalactiae

Probiotik (NP5)

Tahap 1. Pengujian secara In vitro

Pembuatan tepung ubi jalar

Ekstraksi Oligosakarida

Prebiotik

Tahap 2. Ekstraksi Oligosakarida

Tahap 3. Pengujian secara in vivo Sinbiotik

Ikan nila dipelihara selama 14 hari dan diberi pakan 3x sehari dengan pemberian probiotik,

prebiotik dan sinbiotik dosis perlakuan

Pengukuran parameter gambaran darah pada hari ke-0, 7, 15 serta hari ke-7

dan hari ke-14 setelah uji tantang dengan bakteri S.agalactiae

Pengukuran jumlah koloni bakteri di usus pada hari ke-15 dan histopatologi pada organ

otak, mata, hati dan ginjal pada hari ke- 7 dan 14 setelah uji tantang

Uji aktivitas antagonistik bakteri NP5

(30)

Tahap 2. Ekstraksi Oligosakarida Pembuatan Tepung Ubi Jalar

Ubi jalar segar dibersihkan dan dikupas, kemudian diiris menggunakan pisau dengan ketebalan ±1 mm dan dikeringkan dalam oven suhu 550C selama 5 jam atau hingga irisan ubi jalar dapat dipatahkan dengan tangan. Irisan ubi jalar kemudian digiling dengan

willey mill dan diayak 60 mesh. Tahapan dalam pembuatan tepung segar ubi jalar dapat dilihat pada diagram berikut :

Gambar 2. Tahapan pembuatan tepung ubi jalar.

Ekstraksi dengan Etanol 70% (Muchtadi 1989)

Sebanyak 500 gram tepung ubi jalar dicampur air dengan perbandingan 1:1 (w/v) dan dikukus pada suhu 1000C selama 30 menit. Kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 550C selama 18 jam. Selanjutnya, digiling dan disaring dengan ayakan hingga tepung kukus ubi jalar dapat terkumpul. Pada proses ekstraksi, sebanyak 100 gram tepung kukus ubi jalar disuspensikan ke dalam 1 L etanol 70% dan diaduk selama 15 jam menggunakan

magnetic stirer pada suhu ruang. Setelah itu dilakukan penyaringan menggunakan kertas saring mesh 40 dan residu dicuci dengan menggunakan etanol 70%. Filtrat yang diperoleh dipekatkan menggunakan evaporator vakum pada suhu 400C. Hasil pemekatan di sentrifus

Persiapan ubi jalar

Pengupasan dan pengirisan

Pengeringan pada 550C, 5 jam

Penggilingan dengan willey mill

Pengayakan dengan 60 mesh

(31)

pada 5000 rpm selama 10 menit untuk mengendapkan kotoran, sehingga ekstrak mudah disterilisasi dengan kertas saring.

Gambar 3. Ekstraksi Oligosakarida Ubi Jalar.

Total Padatan Terlarut (TPT)

Total padatan terlarut diukur berdasarkan metode Apriyantono (1989). Pengukuran TPT bertujuan untuk melihat kepekatan padatan terlarut prebiotik yang berguna pada analisa oligosakarida pada tahap pengujian secara in vitro dan in vivo. Cawan porselin dikeringkan selama 2 jam dalam oven bersuhu 1000C, kemudian didinginkan dalam desikator hingga diperoleh berat tetap. Cawan tersebut kemudian ditimbang (a gram). Sebanyak 1 ml oligosakarida yang diekstraksi dari ubi jalar ditempatkan dalam cawan porselen tersebut dan ditimbang (b gram). Kemudian dimasukan ke dalam oven selama 24 jam dengan suhu 1000C. Setelah kering, cawan didinginkan dalam desikator selama 10 menit atau hingga

Tepung kukus ubi jalar

Ekstraksi dengan etanol 70%

Pengadukan selama 15 jam

Penyaringan

Pemekatan dengan evaporator vakum

Sentrifus

Penyaringan

Ekstrak oligosakarida Tepung ubi jalar, dikukus pada

(32)

berat cawan stabil, kemudian cawan tersebut ditimbang (c gram). Total padatan terlarut dihitung dari hasil perbandingan berat ekstrak setelah dikeringkan dengan berat ekstrak sebelum dikeringkan.

Keterangan : a = berat cawan sebelum diisi ekstrak oligosakarida b = berat cawan setelah diisi ekstrak oligosakarida

c = berat cawan setelah diisi ekstrak oligosakarida dan dioven 24 jam. Tahap 3. Pengujian secara In Vivo

Bakteri probiotik (NP5) dengan konsentrasi 106

Pakan yang digunakan untuk pemeliharaan adalah pakan komersil dengan kandungan protein 38%. Ikan nila diberi pakan 3 kali sehari yaitu pada pukul 07.30, 12.00 dan 16.30 secara at satiation. Pemberian probiotik, prebiotik dan sinbiotik dalam pakan dilakukan satu kali pada pagi hari selama 14 hari masa pemeliharaan (Aly et al. 2008). Setelah diberikan ke ikan, pakan perlakuan disimpan pada suhu 4

CFU/ml ditambahkan sebanyak 1% (1g/100g pakan) (Putra 2010). Sedangkan dosis prebiotik yang diberikan pada perlakuan P2 dan P3 adalah 2% atau 2 g/100g pakan (Mahious et al. 2006) dengan TPT 5% (Marlis 2008). Probiotik, prebiotik dan sinbiotik dicampur atau ditambahkan ke dalam pakan dengan menambahkan kuning telur sebesar 2% sebagai perekat, lalu kemudian disemprotkan secara merata menggunakan spuit (Putra 2010).

o

(33)

3.5. Pengukuran Parameter

Pengukuran parameter dalam penelitian meliputi gambaran darah, histopatologi, jumlah bakteri pada otak, mata dan ginjal, jumlah bakteri di usus, tingkat kelangsungan hidup dan pertumbuhan berat mutlak.

3.5.1 Gambaran Darah

Pengukuran parameter gambaran darah dilakukan sebanyak 5 kali yaitu pada hari ke-0, 7, 14, kemudian pada hari ke-7 dan hari ke-14 setelah uji tantang. Adapun parameter gambaran darah yang diukur adalah sebagai berikut :

a.Total eritrosit

Jumlah eritrosit dihitung menurut Blaxhall dan Daisley (1973). Perhitungan eritrosit dengan cara : sampel darah dihisap dengan pipet yang berisi bulir pengaduk warna merah sampai skala 1, kemudian ditambahkan larutan Hayem’s sampai skala 101, digoyang atau diayunkan membentuk angka delapan selama 3-5 menit agar bercampur homogen. Tetesan pertama dibuang, berikutnya diteteskan ke dalam hemasitometer dan ditutup dengan kaca penutup, diamati dibawah mikroskop. Perhitungan dilakukan pada kotak kecil

hemasitometer, Σ eritrosit = Σ sel eritrosit terhitung x pengencer / volume

b. Kadar hemoglobin (Hb)

(34)

c. Kadar hematokrit (He)

Kadar hematokrit (He) diukur menurut Anderson dan Siwicki (1993). Kadar He ditentukan dengan cara: sampel darah dimasukkan dalam tabung mikrohematokrit sampai kira-kira 3/4 bagian tabung, kemudian ujungnya disumbat dengan crytoseal sedalam 1 mm. Setelah itu disentrifus dengan kecepatan 5000 rpm selama 5 menit. Setelah itu dilakukan pengukuran panjang darah yang mengendap (a) serta panjang total volume darah yang terdapat didalam tabung (b). Kadar He dinyatakan sebagai % volume padatan sel darah dan dihitung dengan cara = (a/b) x 100%.

d. Total leukosit

Jumlah leukosit dihitung menurut Blaxhall dan Daisley (1973) yaitu : sampel darah dihisap dengan pipet yang berisi bulir pengaduk berwarna putih berskala sampai 0,5 ml. Lalu ditambahkan larutan turk’s sampai skala 11. Selanjutnya pipet digoyang membentuk angka delapan selama 5 menit agar bercampur homogen. Tetesan pertama dibuang, tetesan berikutnya dimasukkan kedalam hemasitometer ditutup dengan kaca penutup, diamati di bawah mikroskop. Perhitungan dilakukan pada kotak kecil hemasitometer, Σ leukosit = Σ sel leukosit terhitung x volume / pengencer.

e. Diferensial leukosit

Diferensial leukosit ditentukan mengikuti Amlacher (1970). Perhitungan dilakukan dengan mengamati preparat ulas darah. Darah diteteskan diatas gelas objek steril yang sudah direndam dengan metanol, kemudian ujung gelas objek kedua ditempatkan di atas gelas objek yang telah ditetesi darah hingga membentuk sudut 30 o

f. Indeks fagositik

(35)

Aktivitas fagositik ditentukan melalui indeks fagositik yang diukur mengikuti Anderson dan Siwicki (1993). Pengukuran dilakukan dengan cara : sebanyak 50 µl darah dimasukkan kedalam eppendorf, ditambahkan 50 µl suspensi sel Staphylococcus aureus

(107

3.5.2. Jumlah total bakteri S. agalactiae di organ target

) dalam PBS, dicampurkan homogen dan diinkubasi selama 20 menit. Sebanyak 5µl dibuat sediaan ulas, dikeringkan di udara, lalu difiksasi dengan metanol 5 menit, dibilas dengan akuades dan dikeringkan. Sediaan diwarnai dengan pewarna Giemsa 15 menit, dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan diatas kertas tisu. Aktivitas fagositik didasarkan pada persentase dari 100 sel fagositik yang menunjukkan proses fagositosis.

Kemampuan bakteri probiotik hasil seleksi dalam menghambat perkembangan bakteri S. agalactiae juga ditentukan berdasarkan jumlah bakteri S. agalactiae yang ada di otak, mata dan ginjal. Masing-masing organ diambil lalu ditimbang dan dimasukkan ke dalam larutan PBS dengan perbandingan 1 : 9. Kemudian organ digerus sampai homogen dengan larutan PBS. Setelah homogen dengan larutan PBS, diambil sebanyak 0,1 ml kemudian dilakukan pengenceran bertingkat lalu dituang dalam cawan petri dengan metode agar tuang dan disebar merata dengan batang penyebar pada media BHIA dengan 2 ulangan dan diinkubasi selama 24-48 jam. Jumlah koloni bakteri S. agalactiae dihitung berdasarkan rumus :

PM =

AxB K

Dimana:

PM = Populasi bakteri (cfu/ml) K = Jumlah koloni

A = Volume inokulasi dalam media pengencer (ml) B = Pada pengenceran keberapa koloni bakteri dihitung

Jika jumlah koloni bakteri S. agalactiae pada perlakuan lebih kecil dibandingkan kontrol maka perlakuan tersebut berhasil menghambat S. agalactiae.

3.5.4. Jumlah total bakteri di usus

(36)

sama dengan perhitungan koloni bakteri pada organ target S. agalactiae, akan tetapi untuk organ usus digunakan media TSA.

3.5.3. Histopatologi

Pengukuran parameter histopatologi dilakukan pada organ otak, mata, ginjal dan hati ikan nila pada hari ke 7 dan 14 setelah uji tantang. Histopatologi dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui tingkat kerusakan organ akibat serangan bakteri patogen. Masing-masing perlakuan diambil 1 ekor ikan sebagai sampel. Hasil preparat histopatologi dibandingkan dengan kontrol. Jika terlihat tingkat kerusakan jaringan pada perlakuan lebih kecil dari kontrol berarti perlakuan memberikan pengaruh dalam menekan virulensi dari patogen.

Prosedur pembuatan preparat histopatologi melalui empat tahapan yaitu : fiksasi atau pengawetan jaringan, perlakuan (processing) jaringan, pemotongan jaringan dan pewarnaan jaringan.

a. Fiksasi

Tahap permulaan pembuatan sediaan histopatologis adalah memotong bagian tubuh ikan yang akan dijadikan sampel, lalu kemudian dimasukkan dalam larutan fiksatif Bouin’s. Larutan Bouin’s dibuat dari campuran asam pikrat 21 g/l, formalin 40% dan acetic acid glacial, dengan perbandingan 15 : 5 : 1. Pada penelitian ini organ tubuh ikan yang diambil adalah otak, ginjal, hati dan mata. Sampel dipotong dengan ukuran kira-kira 1x1 cm. Semua sampel organ direndam dalam larutan fiksatif Bouin’s selama 24 jam. Setelah difiksasi kemudian sampel direndam dalam larutan formalin 4% selama 24 jam dan alkohol 70% selama 24 jam, dengan tujuan agar sampel jaringan tidak mengeras.

b. Perlakuan (processing) jaringan

Potongan sampel organ diberi perlakuan berupa dehidrasi (pengambilan air) dan

clearing (penjernihan), kemudian dilakukan impregnasi (penyusunan parafin) untuk kemudian jaringan siap dibuat blok (melalui proses embedding) (Lampiran 1). Proses ini bertujuan untuk membuat sediaan ada dalam blok paraffin yang merupakan penunjang yang sangat diperlukan dalam proses pemotongan. Mula-mula paraffin cair dituang kedalam wadah cetakan sebagai dasar pembuatan blok. Sediaan diambil dengan pinset dan diletakkan diatas dasar blok tersebut, kemudiaan bahan embedding dituang hingga memenuhi cetakan dengan sediaan di dalamnya. Blok kemudian ditempel pada holder atau blok kayu.

(37)

Sediaan yang sudah diblok siap dipotong dengan menggunakan mikrotom setebal 5 µm dan dibuat preparat. Sebelum proes pewarnaan, dilakukan deparafinasi dengan cara mencelupkan sediaan ke dalam Xylol I dan II masing-masing 5 menit dan dilanjutkan dengan pencelupan ke dalam alkohol absolut I dan II selama 2-3 menit, alkohol 95 % selama 2-3 menit, alkohol 90% selama 2-3 menit, alkohol 80% selama 2-3 menit, alkohol 70% selama 2-3 menit, alkohol 50% selama 2-3 menit (Lampiran 2). Kemudian dilakukan proses rehidrasi yaitu proses mencuci preparat jaringan dengan aquades mengalir selama 2-3 menit.

d. Pewarnaan jaringan

Proses pewarnaan preparat jaringan yaitu dengan memasukkan preparat/sediaan ke dalam larutan pewarna hematoksilin selam 3-5 menit, dicuci dalam air mengalir. Kemudian dilanjutkan dengan pencelupan ke dalam larutan pewarna eosin selama 3 detik. Untuk menghilangkan kelebihan warna, preparat dicuci dalam air mengalir selama 5 menit. Selanjutnya dilakukan pencelupan ke dalam alkohol 50%, 70%, 85%, 90%, alkohol absolut I dan absolut II maing-masing selama 2-3 menit. Kemudian preparat jaringan ditutup dengan

cover glass yang sudah ditetesi dengan entelan neu, dikeringkan dalam oven pada suhu 40 o

3.5.5. Kelangsungan hidup/Survival Rate (SR)

C selama 24 jam. Setelah itu preparat dapat diamati dibawah mikroskop.

Kelangsungan hidup ikan dihitung dengan rumus berdasarkan Effendie (1979) :

Dimana :

SR = Kelangsungan hidup (%) Nt

N

= Jumlah ikan yang hidup pada akhir pemeliharaan (ekor) o = Jumlah ikan pada awal pemeliharaan (ekor)

3.5.6. Laju Pertumbuhan (GR)

Laju pertumbuhan harian ikan dianalisa dengan menggunakan rumus berdasarkan Huismann (1976), diacu dalam Effendie (1979):

SR = x 100% No

(38)

   

 

= t 1

Wo Wt

α x 100

Dimana: α = laju pertumbuhan bobot rerata harian (%) Wt = bobot rata-rata individu pada waktu t (g)

Wo = bobot rata-rata individu pada waktu t0 t = lama percobaan (hari)

(g)

Analisis Statistik

(39)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pengujian Aktivitas Antagonistik

Hasil pengujian aktivitas antagonistik bakteri NP5 terhadap bakteri patogen

Streptococcus agalactiae secara in vitro disajikan pada Gambar 4 dan Tabel 2.

v

Gambar 4. Aktivitas antagonistik bakteri NP5 terhadap bakteri patogen S. agalactiae. A ; Kontrol. B; Probiotik NP5

Berdasarkan Gambar 4 diatas terlihat bahwa bakteri probiotik NP5 mampu membentuk zona hambat terhadap bakteri patogen S. agalactiae. Zona hambat yang terbentuk yaitu berupa zona bening disekitar kertas cakram. Kemampuan bakteri kandidat probiotik dalam menghasilkan zona hambat pada uji in vitro merupakan salah satu aspek penting. Diameter zona hambat yang terbentuk dari uji in vitro merupakan gambaran kepekaan mikroorganisme terhadap antibakteri. Terbentuknya zona hambat pada uji in vitro

ini dapat terjadi diduga karena bakteri probiotik NP5 mampu menghasilkan senyawa A

B

B B

(40)

antimikrobial atau senyawa yang bersifat bakterisidal (bakteriostatik) yang mampu menghambat virulensi bakteri S. agalactiae.

Tabel 2. Aktivitas antagonistik bakteri NP5 terhadap bakteri patogen Streptococcus agalactiae secara in vitro

Isolat bakteri NP5 Diameter zona hambat (mm)

Ulangan 1 12,5

Ulangan 2 11,0

Ulangan 3 12,0

Ulangan 4 10,5

Rata-rata 11,5 + 0,91

Dari Tabel 2 diatas terlihat bahwa bakteri probiotik (NP5) mampu menghasilkan rata-rata zona hambat sebesar 11,5 mm. Pelczar dan Chan (1988) menyatakan bahwa nilai zona hambat dari bakteri probiotik dapat berbeda-beda, karena dipengaruhi oleh beberapa faktor atau keadaan yang mempengaruhi efek antimikrobial. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan yang dilakukan dalam penelitian, dengan konsentrasi dan bakteri probiotik yang sama, ketika dilakukan uji zona hambat secara in vitro menghasilkan diameter zona hambat yang berbeda.

Selain menghambat faktor virulensi bakteri patogen, senyawa yang dihasilkan bakteri probiotik ini diperkirakan merupakan faktor penghalang terhadap proliferasi bakteri patogen, sehingga jumlah bakteri patogen di media uji dan di dalam saluran pencernaan dapat ditekan. Menurut Verschuere (2000) senyawa bakterisidal atau bakteriostatik yang dihasilkan oleh bakteri probiotik dapat berupa produksi antibiotik, senyawa asam laktat,

lysozim, protease, hidrogen peroksida dan bakteriosin. Namun demikian, dalam penelitian ini tidak diteliti senyawa bakterisidal apa yang berperan dalam aktivitas penghambatan bakteri patogen. Akan tetapi hasil yang diperoleh berupa terbentuknya zona hambat, sudah cukup membuktikan bahwa bakteri probiotik NP5 memiliki potensi untuk menekan pertumbuhan bakteri patogen (S. agalactiae) secara in vitro dan selanjutnya akan diteruskan pada pengujian secara in vivo.

(41)

atau sama dengan 20 mm, tergolong sangat kuat, zona hambat sebesar 10-20 mm tergolong kuat, zona hambat sebesar 5-10 mm tergolong sedang, dan zona hambat sebesar 5 mm tergolong lemah. Zona hambat yang diperoleh pada penelitian ini berkisar antara 10,5-12,5 mm yang berarti tergolong kuat. Isolat bakteri yang berpotensi untuk dipakai dalam menghambat bakteri patogen adalah minimal termasuk kategori sedang sampai kuat (Hasim 2003). Selain itu, terbentuknya zona hambat dapat juga terjadi karena aktivitas bakteri probiotik dalam menghambat aktivitas bakteri patogen yang berupa kompetisi nutrien di media uji.

4.2 Kelangsungan Hidup Ikan

(42)

A

B

Gambar 5. Tingkat kelangsungan hidup ikan nila selama perlakuan penambahan

probiotik, prebiotik dan sinbiotik (A) dan pasca uji tantang dengan bakteri patogen S. agalactiae (B); PO(+). kontrol positif; PO(-). kontrol negatif; P1. probiotik; P2. prebiotik P3. sinbiotik. Huruf superskrip yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05).

Dari pengamatan selama penelitian, jumlah tertinggi kematian ikan nila terjadi pada hari ke-4 dan hari ke-5 pasca uji tantang pada semua perlakuan (Lampiran 4). Hal ini terjadi karena diduga puncak faktor virulensi bakteri S. agalactiae terjadi pada hari tersebut. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Evans et al. (2004) bahwa kematian tertinggi ikan nila pasca infeksi S. agalactiae terjadi pada hari ke-4 sampai hari ke-7. Hasil ini juga

(43)

sejalan dengan hasil penelitian Taukhid et al. (2009) bahwa kematian tertinggi ikan nila pada uji LD50 terjadi pada hari ke-4 dan ke-5.

Gejala klinis yang muncul akibat serangan bakteri S. agalactiae pada ikan nila sebelum ikan mengalami kematian dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Gejala klinis yang ditimbulkan akibat infeksi bakteri S. agalactiae pada ikan nila; a. timbul garis hitam vertikal dan pupil mata mengecil; b. clear operculum; c. purulens (mata putih); d. eksoptalmia.

Pasca infeksi bakteri S. agalactiae, terjadi perubahan makroskopis pada anatomi organ luar dan organ dalam ikan nila. Pada anatomi organ luar terjadi perubahan pada bagian operkulum, mata dan tubuh ikan. Sedangkan pada bagian anatomi organ dalam, terjadi perubahan pada organ hati, ginjal dan otak. Pada hari pertama infeksi S. agalactiae

ikan sudah mengalami perubahan warna, ikan menjadi pucat lalu timbul garis-garis hitam vertikal pada tubuh ikan, lalu pupil mata ikan mengecil (Gambar 6a). Pada hari berikutnya gejala yang ditimbulkan akibat infeksi S. agalactiae yaitu ikan mengalami clear operculum

(Gambar 6b) dimana pada awalnya operkulum menjadi sedikit kekuningan lalu terlihat seperti menjadi jernih.

Pada tingkat kerusakan selanjutnya gejala yang timbul adalah perubahan pada organ mata ikan, mata seperti berkabut atau purulens (Gambar 6c) hingga mata membengkak (Gambar 6d) dan kemudian lepas dari cekungan mata. Selama pengamatan dalam penelitian,

a

d c

(44)

kerusakan pada organ mata ikan nila ini mulai ditemukan pada hari ke-4. Sebelum mengalami kematian, gejala khas yang ditimbulkan yaitu ikan berenang whirling lalu tubuh ikan membentuk huruf “C”. Gelaja yang ditimbulkan ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Evans (2006), bahwa pada ikan nila yang diinjeksi S. agalactiae, sebelum mengalami kematian ikan berenang whirling dan seperti membentuk huruf “C”.

4.3 Gambaran Darah Ikan Nila

Efektivitas pemberian probiotik, prebiotik dan sinbiotik dalam pakan dapat dilihat dari nilai kelangsungan hidup ikan nila sebelum dan setelah dilakukan uji tantang dengan S. agalactiae. Namun untuk menjelaskan lebih lanjut mengenai efektivitas probiotik, prebiotik dan sinbiotik tersebut dapat dijelaskan dengan gambaran sistem imun ikan nila. Untuk memperoleh gambaran mengenai sistem imun ikan nila ini, dilakukan pengukuran parameter mikroskopis darah berupa : total eritrosit, kadar hemoglobin, kadar hematokrit, total leukosit, differensial leukosit dan indeks fagositik.

4.3.1. Total Eritrosit

(45)

Gambar 7. Jumlah total eritrosit ikan nila selama perlakuan penambahan probiotik, prebiotik dan sinbiotik (minggu ke-1 dan ke-2) dan pasca uji tantang dengan bakteri patogen S. agalactiae (minggu ke-3 dan ke-4)

Berdasarkan Gambar 7 diatas, terlihat bahwa pada minggu ke-0 jumlah total eritrosit ikan masih sama pada setiap perlakuan yaitu 10,1+ 0,29 (105 sel/mm3

Pada minggu ke-1 terjadi peningkatan jumlah total eritrosit. Jumlah total eritrosit tertinggi diperoleh pada perlakuan sinbiotik (P3) yaitu sebesar 15,16 + 0,29 (10

). Dari Gambar terlihat bahwa jumlah total eritrosit mengalami peningkatan pada minggu ke-1 (7 hari setelah pemberian probiotik, prebiotik dan sinbiotik) sampai minggu ke-2 (akhir pemberian probiotik, prebiotik dan sinbiotik). Akan tetapi nilai eritrosit mengalami penurunan pada minggu ke-3 (7 hari pasca uji tantang dengan bakteri S. agalactiae) lalu kembali meningkat pada minggu ke-4 (14 hari pasca uji tantang), kecuali pada perlakuan kontrol negatif tidak terjadi penurunan jumlah eritosit karena ikan tidak diinfeksi dengan bakteri S. agalactiae

tetapi dengan PBS.

5

sel/mm3). Dari uji lanjut Duncan, perlakuan P3 berbeda nyata dengan semua perlakuan lainnya (Lampiran 6). Selanjutnya berturut-turut dari tinggi ke rendah pada perlakuan dengan penambahan probiotik (P1) sebesar 14,33 + 0,33 (105 sel/mm3), perlakuan dengan penambahan prebiotik (P2) sebesar 13,83 + 0,34 (105 sel/mm3), perlakuan kontrol negatif (PO-) sebesar 12,08 + 0,53 (105 sel/mm3) dan perlakuan kontrol positif (PO+) sebesar 11,72

(46)

+ 0,59 (105 sel/mm3).

Jumlah total eritrosit terus meningkat pada minggu ke-2 setelah pemberian probiotik, prebiotik dan sinbiotik dalam pakan. Jumlah total eritrosit tertinggi masih diperoleh pada perlakuan P3 yaitu sebesar 27,75 + 1,40 (10

Dari hasil uji statistik, perlakuan P1, P2 dan P3 berbeda nyata dengan PO+ (P<0,05).

5

sel/mm3). Selanjutnya berturut-turut dari tinggi ke rendah pada perlakuan P1 sebesar 25,54 + 0,73 (105 sel/mm3), perlakuan P2 sebesar 23,80 + 0,64 (105 sel/mm3), perlakuan PO (-) sebesar 14,39 + 0,25 (105 sel/mm3) dan perlakuan PO (+) sebesar 13,99 + 0,40 (105 sel/mm3). Dari hasil uji statistik, pada minggu kedua menunjukkan pola yang sama dengan minggu ke-1 (Lampiran 6). Takashima dan Hibiya (1995), menyatakan ikan normal umumnya memiliki jumlah total eritrosit sebesar 10-30 x 105 sel/mm3

Jumlah total eritrosit ikan nila mengalami penurunan pada minggu ke-3. Pada minggu ke-3, jumlah eritrosit mencapai nilai terendah sebesar 7,69 + 0,3 (10

. Jumlah total eritrosit selama pemberian probiotik, prebiotik dan sinbiotik masih berada pada kisaran normal. Menurut Sjafei et al. (1989), ketika nilai eritrosit berada dalam kisaran normal, hal ini menandakan bahwa penambahan bakteri probiotik pada perlakuan tidak mengganggu kesehatan ikan.

5

sel/mm3) yaitu pada perlakuan PO(+) yang merupakan nilai dibawah kisaran normal. Perlakuan P1, P2 dan P3 juga mengalami penurunan jumlah eritrosit, akan tetapi jumlah eritrosit pada ketiga perlakuan ini masih berada pada kisaran normal dan lebih tinggi serta berbeda nyata secara statistik (P<0,05) dibandingkan perlakuan PO(+). Jumlah total eritrosit tertinggi pada minggu ke-3 diperoleh pada perlakuan P3 yaitu sebesar 16,40 + 0,34 (105 sel/mm3). Selanjutnya berturut-turut dari tinggi ke rendah pada perlakuan P1 sebesar 15,31 + 0,35 (105 sel/mm3), perlakuan P2 sebesar 15,08 + 0,22 (105 sel/mm3), perlakuan PO(-) sebesar 15,03 + 0,29 (105 sel/mm3

(47)

salah satu toksin yang dikeluarkan oleh bakteri patogen S. agalactiae adalah hyaluronidase. Toksin ini merupakan enzim yang dapat berfungsi sebagai “spreading factor”, sehingga dapat memudahkan penyebaran zat-zat toksin lainnya di dalam tubuh inang. Segura dan Gottschalk (2004) menyatakan bahwa toksin lain dari bakteri S. agalactiae adalah

superoxide dismutase dan kapsul polisakarida. Superoxide dismutase merupakan toksin yang dapat membuat bakteri S. agalactiae mampu menembus fagosit saat tidak terjadi opsonin, sedangkan kapsul polisakarida merupakan toksin yang mampu menekan aktivitas komplemen sehingga eleminasi bakteri S. agalactiae oleh makrofag jadi terhambat. Toksin-toksin ini mempengaruhi ginjal dan menyebabkan infeksi pada ginjal ikan sehingga jumlah total eritrosit yang dihasilkan menurun.

(48)

4.3.2 Hemoglobin (Hb)

Berdasarkan pengamatan terhadap parameter darah dalam penelitian, kadar hemoglobin di dalam darah cukup bervariasi. Kadar hemoglobin dalam darah selama penelitian disajikan pada Gambar 8 dan Lampiran 6.

Gambar 8. Kadar hemoglobin ikan nila selama perlakuan penambahan probiotik,

prebiotik dan sinbiotik (minggu ke-1 dan ke-2) dan pasca uji tantang dengan bakteri patogen S. agalactiae (minggu ke-3 dan ke-4)

Hasil pengamatan terhadap kadar hemoglobin selama penelitian menunjukkan bahwa kadar hemoglobin dalam darah berkorelasi positif dengan nilai total eritrosit. Menurut Fujaya (2004), ada korelasi yang kuat antara hemoglobin, sel darah merah dan hematokrit, semakin rendah jumlah sel-sel darah merah, maka semakin rendah pula kandungan hemoglobin dalam darah. Kadar rata-rata hemoglobin masing-masing perlakuan sama pada awal penelitian (minggu ke-0) yaitu sebesar 10,33 + 0,31 (g%). Kadar Hb mengalami kenaikan pada minggu ke-1 dan terus meningkat pada minggu ke-2 (14 hari setelah pemberian probiotik, prebiotik dan sinbiotik).

Pada minggu ke-1 kadar Hb tertinggi diperoleh pada perlakuan P3 yaitu sebesar 11 (g%). Selanjutnya berturut-turut dari tinggi ke rendah pada perlakuan P1 sebesar 10,9 (g%), perlakuan P2 sebesar 10,75 (g%), perlakuan PO (+) sebesar 9,75 (g%) dan perlakuan PO (-)

(49)

sebesar 9,7 (g%).

Kadar Hb terus meningkat pada minggu ke-2 setelah pemberian probiotik, prebiotik dan sinbiotik dalam pakan. Kadar Hb tertinggi masih diperoleh pada perlakuan P3 yaitu sebesar 11,1 (g%). Selanjutnya berturut-turut dari tinggi ke rendah pada perlakuan P1 sebesar 11,03 (g%), perlakuan P2 sebesar 11 (g%), perlakuan PO (-) sebesar 10,6 (g%) dan perlakuan PO (+) sebesar 10,3 (g%).

Dari hasil uji statistik perlakuan P1, P2 dan P3 memberikan pengaruh nyata terhadap kadar Hb ikan (P<0,05).

Pada minggu ke-3 (7 hari pasca uji tantang dengan S. agalactiae) kadar hemoglobin mengalami penurunan yang cukup drastis. Pada minggu ke-3 ini kadar hemoglobin mencapai nilai terendah selama penelitian. Kadar rata-rata hemoglobin terendah yaitu terdapat pada perlakuan PO(+) sebesar 4,2 (g%), merupakan kadar yang berada dibawah kisaran nilai hemoglobin normal ikan nila. Dari uji statistik nilai Hb pada PO(+) berbeda nyata dengan perlakuan P1, P2 dan P3 (P<0,05).

Dari hasil uji statistik perlakuan P1, P2 dan P3 memberikan pengaruh nyata terhadap kadar Hb ikan (P<0,05). Dari hasil uji lanjut duncan perlakuan P1, P2 dan P3 berbeda nyata dengan perlakuan PO (+) dan PO(-). Hardi (2011), menyatakan ikan nila normal umumnya memiliki kadar Hb sebesar 10-11,1 (g%). Kadar Hb ikan selama pemberian probiotik, prebiotik dan sinbiotik masih berada pada kisaran normal. Wedemeyer dan Yasutake (1977) menyatakan bahwa nilai hemoglobin yang berada pada kisaran normal (baik) mengindikasikan bahwa terdapat cukup oksigen yang terikat dalam darah sehingga menggambarkan kesehatan ikan berada pada kondisi yang baik pula.

Kadar Hb yang rendah menandakan bahwa ikan nila yang diinfeksi dengan

S. agalactiae mengalami gangguan dalam eritrosit darahnya. Adanya toksin S. agalactiae

(50)

Hb tertinggi diperoleh pada perlakuan P3 yaitu sebesar 11,35 + 0,5 (g%). Dari hasil Anova dan uji lanjut duncan perlakuan PO (+) berbeda nyata dengan semua perlakuan lainnya (P<0,05).

4.3.3 Hematokrit (He)

Persentase hematokrit berguna untuk melihat kondisi kesehatan ikan yaitu dengan melihat persentase nilai volume eritrosit. Hasil pengukuran He pada penelitian ini disajikan pada Gambar 9 dan Lampiran 6.

Gambar 9. Kadar hematokrit ikan nila selama perlakuan penambahan probiotik, prebiotik dan sinbiotik (minggu ke-1 dan ke-2) dan pasca uji

tantang dengan bakteri patogen S. agalactiae (minggu ke-3 dan ke-4)

Hasil pengamatan kadar hematokrit masing-masing perlakuan pada awal penelitian (minggu ke-0) sama yaitu sebesar 22,22 + 0,51 %. Hal ini terjadi karena pada minggu ke-0 ikan belum diberi perlakuan. Pola kadar He selama penelitian hampir sama dengan jumlah eritrosit dan kadar Hb, karena terdapat korelasi yang kuat dari ketiga komponen penyusun darah ini. Pada minggu ke-1 dan ke-2 kadar He meningkat, lalu terjadi penurunan pada minggu ke-3 dan kemudian naik kembali pada minggu ke-4.

Selama penelitian nilai kadar He cukup berfluktuasi, kadar He tertinggi selama penelitian terdapat pada minggu ke-2 yaitu pada perlakuan P3 sebesar 36,38 + 1,33 %. Dari hasil pengamatan selama 4 minggu, perlakuan P3 memiliki kadar He tertinggi dan berbeda

(51)

nyata dengan perlakuan PO(+) (P<0,05). Hal yang sama juga terjadi pada minggu ke-3, hasil uji lanjut duncan menunjukkan nilai He pada perlakuan P3 berbeda nyata dengan perlakuan PO(+), P1 dan P2, namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan PO(-), karena perlakuan ini tidak diinfeksi dengan bakteri patogen tetapi hanya dengan PBS. Kadar He perlakuan P1 dan P2 tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata dengan perlakuan PO(+) (P<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian probiotik, prebiotik dan sinbiotik memberikan pengaruh yang baik terhadap kadar He darah ikan nila walaupun mendapat infeksi bakteri patogen, karena nilai He pada perlakuan P1, P2 dan P3 masih berada pada kisaran normal.

Kadar He terendah selama penelitian terdapat pada minggu ke-4 yaitu pada perlakuan PO(+) sebesar 10,63 + 1,38 %. Dari hasil uji Anova, nilai pada perlakuan PO(+) di minggu ke-4 ini berbeda nyata dengan semua perlakuan lainnya (P<0,05). Kadar He pada perlakuan PO(+) ini berada di bawah kisaran kadar He normal ikan nila. Diduga penurunan kadar He terjadi karena bertambah luasnya kerusakan jaringan dan organ pada ikan akibat virulensi bakteri S. agalactiae yaitu berupa produk ekstraseluler yang dihasilkannya. Bakteri

S. agalactiae memiliki sifat septicemia yaitu mampu menyebar melalui aliran darah, sehingga dapat dengan cepat mencapai organ target dan mengembangkan faktor virulensinya. Kadar He yang rendah pada perlakuan PO(+) juga disebabkan ikan kehilangan nafsu makan sebagai salah satu akibat serangan bakteri S. agalactiae. Rendahnya nafsu makan menyebabkan ikan kekurangan nutrisi dan vitamin yang dibutuhkan tubuh ikan. Blaxhall (1972) mengatakan, bahwa kadar hematokrit merupakan indikator bahwa ikan mendapat infeksi, rendahnya kandungan protein pakan dan defisiensi vitamin. Sedangkan kadar He terlalu tinggi (di atas batas normal) menunjukkan ikan ada dalam keadaan stres (Anderson dan Siwicki 1993).

4.3.4 Total Leukosit

(52)

Gambar 10. Total leukosit ikan nila selama perlakuan penambahan probiotik,

prebiotik dan sinbiotik (minggu ke-1 dan ke-2) dan pasca uji tantang dengan bakteri patogen S. agalactiae (minggu ke-3 dan ke-4)

Hasil pengamatan terhadap total leukosit selama penelitian terlihat mengalami peningkatan pada minggu ke-1 (7 hari setelah pemberian probiotik, prebiotik dan sinbiotik) sampai minggu ke-2 (akhir pemberian probiotik, prebiotik dan sinbiotik). Dari hasil uji statistik perlakuan P1, P2 dan P3 memberikan pengaruh nyata dibandingkan dengan perlakuan PO(+) dan PO(-) selama penelitian (P<0,05). Berbeda dengan fenomena yang terjadi pada total eritrosit, sebaliknya nilai total leukosit mengalami peningkatan pada minggu ke-3 (pasca uji tantang dengan bakteri S. agalactiae) lalu kembali menurun pada minggu ke-4 (akhir uji tantang).

Total leukosit mengalami puncak kenaikan tertinggi pada minggu ke-3 yaitu pada perlakuan P3 yang mencapai 5,73 + 0,81 (105 sel/mm3). Nilai ini merupakan nilai tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya, perlakuan P1 sebesar 5,23 + 0,25 (105 sel/mm3), P2 sebesar 4,88 + 0,31 (105 sel/mm3), PO (+) sebesar 4,75 + 0,21 (105 sel/mm3) dan PO(-) sebesar 3,93 + 0,50 (105 sel/mm3). Sakai et al. (1995) menyatakan peningkatan jumlah leukosit dapat terjadi sebagai akibat meningkatnya aktivitas pembelahan sel. Pemicu peningkatan aktivitas pembelahan sel ini dapat disebabkan karena terjadinya infeksi bakteri patogen. Infeksi bakteri S. agalactiae menyebabkan ikan mengirimkan leukosit dalam jumlah yang lebih banyak ke areal infeksi sebagai upaya pertahanan tubuh terhadap

(53)

serangan bakteri. Sel-sel leukosit tersebut bekerja sebagai sel yang memfagosit bakteri agar tidak berkembang serta menyebarkan faktor virulensinya di dalam tubuh inang. Hal inilah yang menyebabkan sering ditemukan jumlah total leukosit meningkat pasca infeksi bakteri patogen.

Pada akhir pengamatan yaitu pada minggu ke-4, total leukosit cenderung turun, namun dari hasil uji statistik perlakuan P1, P2 dan P3 tetap memberikan pengaruh yang berbeda nyata dengan PO(+) (P<0,05). Penurunan total leukosit pada minggu ke-4 ini menandakan bahwa infeksi bakteri S. agalactiae mulai berkurang sehingga leukosit yang diproduksi oleh tubuh untuk memfagosit dan mengeliminir bakteri patogen menjadi lebih sedikit. Dari hasil yang diperoleh, membuktikan bahwa total leukosit ikan yang terkena infeksi lebih tinggi dibandingkan total leukosit ikan dalam keadaan normal.

4.3.5 Diferensial leukosit

Diferensial leukosit diperoleh berdasarkan hasil pengamatan dan identifikasi terhadap preparat ulas darah ikan. Dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada penelitian ini leukosit yang ditemukan atau teridentifikasi terdiri atas limfosit, monosit dan neutrofil.

a. Limfosit

Gambar

Gambar 2. Tahapan pembuatan tepung ubi jalar.
Gambar 3. Ekstraksi Oligosakarida Ubi Jalar.
Gambar 5. Tingkat kelangsungan hidup ikan nila selama perlakuan penambahan
Gambar 8. Kadar hemoglobin ikan nila selama perlakuan penambahan probiotik,
+7

Referensi

Dokumen terkait

Variabel Sarana dan Prasarana Ada Karena kondisi masyarakat slum area yang memiliki pendapatan di bawah upah minum regional dan terbatasnya akses terhadap lapangan

Dalam upaya melihat pengembangan agrowisata di Kawasan Agroteknobisnis Sumedang (KAS), penelitian yang dilakukan yaitu untuk melihat sejauh mana upaya pengembangan agrowisata

memanfaatkan potensi kawasan agar dapat difungsikan secara optimal. 2) Merupakan area pemukiman dan pariwisata dimana Sungai Cisadane telah digunakan sebagai objek

Kualitas air Sungai Cisadane dari hulu sampai hilir berdasarkan bioindikator Bentos makroinvertebrata berada pada status tercemar sedang sampai buruk. Prosen (%) EPT menurun

Persentase nilai harapan peternak di Kecamatan Rengat Barat terhadap adopsi teknologi inseminasi buatan terlihat bahwa 40 orang peternak menyatakan tinggi (51,9%), 35

potensial pada Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan Kehamilan.. dengan Abortus Inkompletus di RSUD K.R.M.T Wongsonegoro. Kota Semarang. 4) Melaksanakan tindakan segera dan

Hasil ini menunjukkan bahwa rata-rata skor frekuensi mual muntah 15 responden sebelum dan sesudah pemberian inhalasi lemon memiliki perbedaan yang signifikan, sehingga

Selain itu penulis juga melakukan analisis lanjutan untuk mengetahui karakteristik fisik pada setiap jenis endapan channel , untuk menentukan faktor pengontrol yang