”Cicak vs Buaya” Edisi 17 September 2009
Di Jawa Pos)
SKRIPSI
Disusun Oleh :
FENNY DIAH SETIOWATI
0443010083
YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
Judul : PEMAKNAAN KARIKATUR CELEKIT ”CICAK VERSUS POLRI” (Studi Deskriptif Pemaknaan Karikatur Celekit ”Cicak vs Polri” Edisi 17 September 2009 Di Jawa Pos)
Nama : Fenny Diah Setiowati
NPM : 0443010083
Program Studi : Ilmu Komunikasi
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Telah disetujui untuk mengikuti Seminar Proposal
Menyetujui,
Pembimbing Utama
Drs. Saifuddin Zuhri MSi NPT. 947 000 035
Mengetahui Ketua Program Studi Komunikasi
Media Komunikasi)
Nama : IMA ANGELINA PURWANTO
NPM : 0443010325
Jurusan : Ilmu Komunikasi Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Telah disetujui Pembimbing Utama 1. Penguji I
Juwito, S.Sos, MS Ir. H. Didiek Tranggono, MSi
NPT. 956 700 036 NIP. 030 203 679
Pembimbing Pendamping 2. Penguji II
Drs. Saifuddin Zuhri MSi Zaenal Abidin A, MSi, MEd
NPT. 947 000 035 NPT. 997 300 170
3. Penguji III
Juwito, S.Sos, MSi NPT. 956 700 036
4. Penguji IV
Drs. Kusnarto, Msi NIP. 030 176 735 Mengetahui
Ketua Jurusan Komunikasi
Judul :
MOTIF USER DI SURABAYA DALAM
MENGGUNAKAN JARINGAN WEB 2.0
FACEBOOK SEBAGAI MEDIA KOMUNIKASI
(Studi Deskriptif Motif User Di Surabaya Dalam
Menggunakan Jaringan Web 2.0 Facebook Sebagai
Media Komunikasi)
Nama : IMA ANGELINA PURWANTO
NPM : 0443010325
Jurusan : Ilmu Komunikasi Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi
Menyetujui,
Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping
Juwito, S.Sos, MSi Drs. Saifuddin Zuhri MSi
NPT. 956 700 036 NPT. 947 000 035
Mengetahui Dekan
(Studi Deskriptif Motif User Di Surabaya Dalam Menggunakan
Jaringan Web 2.0 Facebook Sebagai Media Komunikasi)
Diajukan Oleh :
IMA ANGELINA PURWANTO 0443010325
Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi
Menyetujui,
Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping
Juwito, S.Sos, MS Drs. Saifuddin Zuhri MSi
NPT. 956 700 036 NPT. 947 000 035
Mengetahui Dekan
KATA PENGANTAR
Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat serta hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan
judul “PEMAKNAAN KARIKATUR “CICAK VS BUAYA (Studi Semiotik
Tentang Pemaknaan Karikatur “Cicak vs Buaya” Pada Harian Jawa Pos Edisi 17
September 2009)”
Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi persyaratan akademis bagi
mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik di Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini atas
bimbingan dan bantuan yang diberikan oleh berbagai pihak. Pada kesempatan ini,
penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang
terhormat :
1. Dra. Ec. Hj. Suparwati, MSi., Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UPN
“Veteran” Jawa Timur.
2. Juwito, S. Sos., MSi., Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu
Sosial dan Politik UPN “Veteran” Jawa Timur
3. Saifuddin Zuhri M.Si., sebagai Dosen Pembimbing Utama yang senantiasa
memberikan waktu pada penulis dalam penyusunan skripsi penelitian ini.
4. Seluruh staf dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan
Politik UPN “Veteran” Jawa Timur.
iv
maupun moril dengan tulus ikhlas dan tanpa pamrih.
6. Berbagai pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini dengan baik
Semoga Tuhan YME melimpahkan rahmat serta karuniaNya atas
jasa-jasanya yang telah diberikan kepada penulis. Penulis menyadari bahwa tulisan ini
masih jauh dari sempurna. Karena apabila terdapat kekurangan didalam menyusun
skripsi ini, peneliti dengan senang hari menerima segala saran dan kritik demi
sempurnanya skripsi ini.
Surabaya, Juni 2010
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR GAMBAR... viii
DAFTAR LAMPIRAN ... ix
ABSTRAKSI... x
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang Masalah ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 8
1.3. Tujuan Penelitian ... 8
1.4. Manfaat Penelitian ... 8
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 9
2.1. Landasan Teori ... 9
2.1.1. Surat Kabar Sebagai Media Komunikasi Massa ... 9
2.1.2. Karikatur ... 13
2.1.2.1. Pengertian Karikatur ... 13
2.1.2.2. Manfaat Karikatur ... 13
2.1.2.3. Fungsi Karikatur ... 14
2.1.2.4. Karikatur dalam Surat Kabar ... 16
2.1.3. Semiotika ... 17
2.1.6. Polri ... 24
2.1.7. Kasus KPK vs Polri ... 25
2.2. Kerangka Pikir ... 28
BAB III METODE PENELITIAN ... 29
3.1. Metode Penelitian ... 29
3.2. Kerangka Konseptual ... 30
3.2.1. Corpus ... 30
3.2.2. Unit Analisis ... 31
3.2.2.1. Ikon ... 31
3.2.2.2. Indeks ... 32
3.2.23. Simbol ... 32
3.3. Teknik Pengumpulan Data ... 32
3.4. Teknik Analisis Data ... 33
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35
4.1. Gambaran Umum Obyek Penelitian ... 35
4.1.1. Gambaran Umum Harian Jawa Pos ... 35
4.2. Penyajian Data ... 37
4.3. Analisis Data ... 39
4.3.1. Klasifikasi Tanda dalam Semitika Pierce ... 39
4.3.2. Gambar Karikatur “Cicak vs Buaya” Pada Harian
Jawa Pos Edisi September 2009 dalam Model Pierce . 42
4.3.3. Ikon, Indeks dan Symbol ... 45
4.4. Pemaknaan Keseluruhan Gambar Karikatur “Cicak vs Buaya” Pada Harian Jawa Pos Edisi September 2009 ... 58
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 66
5.1. Kesimpulan ... 66
5.2. Saran ... 67
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
Gambar 2.2 : Model Kategori Tanda ... 21
Gambar 2.3 : Kerangka Berfikir Penelitian ... 28
Gambar 4.1 : Konsep Segitiga Peirce ... 43
Gambar 4.2 : Gambar Karikatur “Cicak vs Buaya” dalam Elemen
Makna Peirce... 44
Gambar 4.3 : Gambar Karikatur “Cicak vs Buaya” dalam Kategori
Tanda Peirce... 47
ix
DAFTAR LAMPIRAN
”Cicak vs Buaya” Edisi 17 September 2009 Di Jawa Pos)
Penelitian ini mengutamakan situasi dan kondisi yang bertema Realitas Dalam Karikatur ”Cicak Versus Buaya” sebagai sesuatu yang berarti dalam proses pembentukan pesan. Peristiwa tersebut dipaparkan dalam pembentukan tanda – tanda (gambar, kata-kata, dan lainnya) dalam format sebuah karikatur.
Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Surat Kabar Sebagai Media Komunikasi Massa, Karikatur, Semiotika, Semiotik Charles Sanders Peirce, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Polri.
Teknis Analisis Data dalam penelitian ini analisis semiotika pada corpus penelitian pada karikatur ”Cicak vs Buaya” setelah melalui tahapan pengkodean maka selanjutnya peneliti akan menginterpretasikan tanda-tanda tersebut untuk ditahui pemaknaannya.
Kesimpulan dalam penelitian ini adalah Berdasarkan hasil analisis dan interpretasi dari gambar Karikatur Cicak vs Buaya dalam Surat Kabar Jawa Pos Edisi 17 September 2009 diperoleh kesimpulan bahwa perlawanan pada korupsi misalnya dan kondisi dari keadaan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang saat ini banyak mengundang simpati masyarakat mengingat keadaannya yang semakin memprihatinkan terkait penahanan 2 pimpinan non aktifnya yang seolah-olah dicari cari kesalahannya dengan dugaan masyarakat adanya upaya-upaya secara sistematis untuk mengebiri kekuatan KPK yang selam ini terbukti banyak mengungkapkan kasus-kasus korupsi besar yang melibatkan penguasa di pusat dan didaerah.
Kata Kunci : karikatur, semiotik, jawa pos,cicak versus buaya
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Perseteruan antara Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) makin
memanas. Kedua lembaga hukum itu mulai menunjukkan “perang terbuka”. Kali
ini Mabes Polri telah menyidik kasus penyalahgunaan wewenang dalam
penanganan kasus Masaro. Satu oknum KPK ditetapkan sebagai tersangka. Kasus
ini berawal dari kasus Antasari, lembaga KPK mulai terasa diembosi oleh
berbagai pihak. Jauh sebelumnya, pada April 2008, Ahmad Fauzi- anggota DPR
dari Partai Demokrat meminta KPK dibubarkan. Dua bulan yang lalu,
Nursyahbani Katjasungkana, anggota DPR dari fraksi PKB meminta KPK tidak
mengambil keputusan alias tidak usah kerja lagi untuk proses penyelidikan
korupsi yang membutuhkan keputusan terkait kasus Antasari. Dan 24 Juni 2009,
di media Kompas, Pak SBY mengatakan KPK telah menjadi lembaga superbody
sehingga wewenangnya butuh diwanti alias dikurangi wewenangnya.
(http://www.tribun-timur.com/read/artikel/51474)
Salbani Mosa, seorang orator dalam aksi dukungan untuk Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) di Simpang Lima, Banda Aceh mengatakan,
pengurangan wewenang KPK dalam Rancangan Undang – Undang Tindak
Pidana Korupsi yang kini sedang digodok, merupakan upaya pembubaran
KPK secara sistematis. Dalam RUU itu diatur, diantaranya KPK tak
berwenang lagi menyadap dalam menyidik kasus korupsi. Juga ada peluang bisa
diintervensi pemerintah dalam bertugas. Salbani menambahkan bahwa tanpa
kewenangan seperti itu, KPK akan jadi macan ompong yang berkandang di sekitar
istana.
(http://www.acehkita.com/berita/pemerintah-diminta-jangan-bungkam-kpk/)
Jika kita kilas balik ke belakang sejenak, lahirnya KPK [Komisi
Pemberantasan Korupsi] juga dibidani oleh Polri dan Kejaksaan. Namun, KPK
dilahirkan adalah dalam rangka menghajar korupsi dari negeri ini. Masalah
korupsi adalah masalah pidana atau kriminalitas yang jelas melawan hukum.
Masalah pidana maupun kriminalitas ataupun masalah gangguan alias melawan
hukum di negeri ini telah ada institusi penegak hukum yakni kepolisian dan
kejaksaan. Ketika KPK dilahirkan maka secara implisit memang ada sebuah
ketidakpercayaan lagi terhadap kedua lembaga negara tersebut mampu
mengganyang korupsi dari negeri ini. (http://kaumbiasa.com/kpk-vs-polri.php)
Maka tidak heran, jika kemudian hari pasti timbul persaingan untuk
menunjukkan eksistensi diri masing – masing lembaga. Sebab semuanya
merasa sebagai lembaga penegak hukum. Apapun yang terjadi sebenarnya
masing-masing lembaga tersebut telah memiliki tupoksi [tugas pokok dan
fungsi] masing – masing. Dan tupoksi tersebut saling berkaitan satu sama lain
yang seharusnya berjalan seiring sejalan dalam sebuah jalan yang akhirnya
bertemu pada terminal akhir. Sayangnya, ketiga lembaga tersebut dilengkapi
3
Polri dan Kejaksaan sama-sama punya penyidik yang tupoksinya sama-sama
menyidik kasus. (http://kaumbiasa.com/kpk-vs-polri.php )
Selain kesamaan perangkat, juga ada kesamaan fungsi dapat menegakkan
hukum korupsi. Rakyat dapat melaporkan kasus korupsi ke Kejaksaan, Polri dan
KPK juga. Inilah yang membuat rakyat bingung, mau melapor ke mana jika ada
kasus korupsi. Ketiganya juga siap menerima laporan dan siap mengusut kasus
tersebut. Di sinilah paradoks itu muncul dan akhirnya gesekan terjadi. Hubungan
mereka menjadi kurang harmonis ketika gesekan memanas dan akhirnya
menajam. (http://www.tribun-timur.com/read/artikel/51474)
Hubungan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Polri semakin
tidak harmonis menyusul dugaan keterlibatan empat pimpinan KPK dalam kasus
Masaro, sesuai testimoni yang ditulis Katua KPK nonaktif Antasari Azhar. Untuk
mendamaikan kedua lembaga penegak hukum ini, Presiden diminta ikut ambil
bagian.
(http://news.okezone.com/read/2009/09/11/1/256515/damaikan-kpk-vs-polri -sby-diminta-turun-tangan)
Campur tangan Presiden dalam kasus ini adalah untuk mencegah
berlarut-larutnya “pertengkaran” antara KPK dan Polri. Selain itu, turun tangannya
Presiden adalah untuk mencegah jangan sampai kepentingan segelintir oknum
dibiarkan berkembang dalam kasus ini. Tetapi Presiden melalui juru bicara
kepresidenan Andi Malarangeng, menyatakan tidak bisa ikut campur soal saling
periksa yang terjadi antara KPK dan Polri. Memurut Malarangeng, selain tugas
yang penting pemberantasan korupsi berjalan dan dijalankan kedua lembaga
tersebut.(http://infokorupsi.com/id/korupsi.php?ac=3349&l=kpk-vs-polri-presiden
-perlu-segera-turun-tangan)
Dari kasus tersebut berbagai media merespon dengan membuat berbagai
informasi antara lain media cetak dan media elektronik. Kehadiran media massa
merupakan penanda awal dari kehidupan modern sekarang ini. Hal ini dapat
dilihat melalui meningkatnya tingkat konsumsi masyarakat terhadap berbagai
bentuk media massa yang menawarkan banyak pilihan, dan pada akhirnya
menimbulkan ketergantungan masyarakat pada media massa. Kebutuhan terhadap
media massa dapat dipenuhi melalui surat kabar, majalah , radio, televisi, dan
film.
Di antara beberapa jenis media tersebut, media cetak seperti surat kabar
memiliki ciri khas dibandingkan dengan media massa lainnya. Pesan melalui
media cetak diungkapkan dengan huruf-huruf mati, yang baru menimbulkan
makna apabila khalayak berperan secara aktif. Karena itu berita, tajuk rencana,
artikel, dan lain-lain, pada media cetak harus disusun sedemikian rupa, sehingga
mudah dicerna oleh khalayak. Kelebihan media cetak lainnya, ialah bahwa media
ini dapat di kaji ulang, didokumentasikan, dan dihimpun untuk kepentingan
pengetahuan, serta dapat dijadikan bukti otentik yang bernilai tinggi. (Effendy,
2000: 313-314)
Surat kabar adalah kelanjutan dari teknologi teks dan grafis yang sudah
ditemukan beberapa abad yang lalu. Karena itu, surat kabar hanya
5
populer karena sifatnya yang sederhana menyebabkan ia hampir-hampir tak
tergantikan oleh media apa pun (Bungin, 2006:130).
Selama ini kita tahu bahwa media cetak seperti surat kabar tidak hanya
berperan sebagai pencarian informasi yang utama dalam fungsinya, tetapi bisa
juga mempunyai suatu karakteristik yang menarik yang perlu diperhatikan untuk
memberikan analisis yang sangat kritis yang akan menumbuhkan motivasi,
mendorong serta dapat mengembangkan pola pikir bagi masyarakat untuk
semakin kritis dan selektif dalam menyikapi berita-berita yang ada di dalam
media.
Keberadaan karikatur pada surat kabar, bukan berarti hanya melengkapi
surat kabar dan memberikan hiburan selain berita-berita utama yang disajikan.
Tetapi juga dapat memberikan informasi dan tambahan pengetahuan kepada
masyarakat. Karikatur membangun masyarakat melalui pesan-pesan sosial
yang dikemas secara kreatif dengan pendekatan simbolis. Sayangnya
muatan pesan verbal dan pesan visual yang dituangkan di dalam karikatur
terlalu banyak. Secara visual, desain karikatur yang disajikan pun menjadi
jelek, tidak komunikatif, kurang cerdas, dan terkesan menggurui. Akibatnya
masyarakat luas yang diposisikan sebagai target sasaran dari karikatur
dengan serta merta akan mengabaikan pesan sosial yang ingin disampaikan
oleh karikatur (http://www.desaingrafisindonesia.com/).
Karikatur adalah bagian kartun yang diberi muatan pesan yang bernuansa
dengan humor, namun karikatur merupakan kartun satire yang terkadang malahan
tidak menghibur, bahkan dapat membuat seseorang tersenyum kecut.
Karikatur (latin: carricare) sebenarnya memiliki arti sebagai gambar yang
didistorsikan, diplesetkan, atau dipeletotkan secara karakteristik tanpa bermaksud
melecehkan si pemilik wajah. Seni memeletotkan wajah ini sudah berkembang
sejak abad ke-17 di Eropa, Inggris dan sampai ke Amerika bersamaan dengan
perkembangan media cetak pada masa itu (Pramoedjo, 2008:13).
Digunakannya gambar karikatur dari harian Jawa Pos edisi 17 September
2009 sebagai objek penelitian dikarenakan gambar karikatur tersebut merupakan
penggambaran suatu dari peristiwa yang sedang dialami di dalam pemerintahan
yaitu perseteruan antara KPK dengan Polri. Memanasnya hubungan KPK dan
Polri diibaratkan dengan “Cicak” melawan “Buaya”, demikian sorotan media
massa tentang panasnya hubungan tersebut. Cicak dalam hal ini yaitu cinta
Indonesia cinta KPK yang muncul sebagai respon atas pernyataan Kabareskrim
Mabes Polri Komjen Polisi Susno Duadji yang mengatakan KPK sebagai Cicak,
sementara Kepolisian adalah Buaya. Dalam karikatur tersebut disebutkan bahwa
dalam hal ini Polri yang diibaratkan buaya bagaikan hewan buas yang tidak takut
dengan apapun termasuk dengan KPK Sedangkan KPK yang dalam hal ini
diibaratkan sebagai cicak yang sebagai hewan kecil tidak bisa berbuat apa-apa
dalam menghadapi tekanan buaya yang dalam hal ini Polri. Tantangannya adalah
mampukah KPK dan Polri dapat menyelesaikan masalah yang mereka hadapi
sekarang sehingga kelak antara KPK dan Polri dapat bersatu menjadi buaya ganas
7
buaya yang dalam hal Polri bermusuhan, maka para korupor di Indonesia tepuk
tangan dan akan makin merajarela dalam melakukan korupsi.
(http://kaumbiasa.com/kpk-vs-polri.php)
Berdasarkan fenomena di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan
studi semiotik Charles Sanders Peirce dalam karikatur pada harian Jawa Pos edisi
17 September 2009. Semiotik Peirce menekankan pada hubungan antara tanda,
obyek dan peserta komunikasi. Hubungan antara ketiga unsur tersebut adalah
untuk mencapai suatu makna, terutama antara tanda dan obyeknya
Penelitian ini mengutamakan situasi dan kondisi yang bertema Realitas
Dalam Karikatur ”Cicak Versus Buaya” sebagai sesuatu yang berarti dalam proses
pembentukan pesan. Peristiwa tersebut dipaparkan dalam pembentukan tanda –
tanda (gambar, kata-kata, dan lainnya) dalam format sebuah karikatur. Sehingga
yang menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah bagaimana suatu peristiwa
dalam pemerintahan yang dipandang, dituangkan dan dinilai oleh masyarakat.
Sebab itulah diperlukan adanya karikatur tersebut, dengan siatuasi dan kondisi
yang berkembang dalam masyarakat. Hal itulah yang kemudian dijadikan alasan
penggunaan model semiotik Peirce, karena Peirce dalam hal ini lebih
memperhatikan realita makna. Dengan demikian penelitian ini termasuk pada
bidang studi semiotik budaya tempat kode-kode dan tanda-tanda digunakan Ikon
dalam karikatur clekit yang dimuat di Harian Jawa Pos Edisi 17 September 2009
Polri dan KPK. Indeks dalam karikatur yang dimuat adalah teks saya cicak dan
teks sementara kalah melawan buaya. Sedangkan simbol adalah. seekor cicak dan
Dari latar belakang tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk meneliti
tentang Pemaknaan Karikatur ”Cicak Versus Buaya” Pada Harian Jawa Pos Edisi
17 September 2009
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas,
maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah “bagaimanakah
pemaknaan karikatur “Cicak Versus Buaya” pada harian Jawa Pos edisi 17
September 2009?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah
pemaknaan karikatur “Cicak Versus Buaya” pada harian Jawa Pos edisi 17
September 2009 ?
1.4. Manfaat Peneltian 1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan ciri ilmiah pada sebuah
penelitian dengan mengaplikasikan teori-teori, khususnya teori-teori
komunikasi tentang pemahaman pesan yang dikemas oleh media
melalui karikatur.
2. Manfaat Praktis
Kegunaan praktis yang akan diperoleh dari penelitian ini adalah agar
masyarakat lebih bersikap kritis dalam menyikapi berbagai kekerasan
yang dilakukan oleh aparat pemeritah terutama yang dilakukan oleh
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
2.1.1. Surat Kabar Sebagai Media Komunikasi Massa
Kegiatan komunikasi adalah penciptaan interaksi perorangan
dengan mengunakan tanda-tanda yang tegas. Komunikasi juga berarti
pembagian unsur-unsur perilaku, atau cara hidup dengan eksistensi
seperangkat ketentuan dan pemakaian tanda-tanda. Dari segi komunikasi,
rekayasa unsur pesan sangat tergantung dari siapa khalayak sasaran yang
dituju, dan melalui media apa sajakah iklan tersebut sebaiknya
disampaikan. Karena itu, untuk membuat komunikasi menjadi efektif,
harus dipahami betul siapa khalayak sasarannya, secara kuantitatif maupun
kualitatif.
(http://www.desaingrafisindonesia.com/2007/10/15/semiotika-iklan-sosial/)
Komunikasi massa berfungsi menyiarkan infomasi, gagasan dan
sikap kepada komunikan yang beragam dalam jumlah yang banyak dengan
menggunakan media (Effendy, 2003:80).
Menurut Gerbner (1967) dalam Rakhmat (2002:188) Komunikasi
massa adalah produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi dan
lembaga dari arus pesan yang kontinyu serta paling luas dimiliki orang
dalam masyarakat industri.
Komunikasi massa (mass communication) adalah komunikasi yang
dilakukan melalui media massa modern meliputi surat kabar yang
mempunyai sirkulasi yang luas, siaran radio dan televisi yang ditujukan
kepada umum dan film yang dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop
(Effendy, 2003:79).
Banyak definisi tentang komunikasi massa yang telah dikemukakan
para ahli komunikasi. Banyak ragam dan titik tekan yang dikemukakannya.
Namun, dari sekian banyak definisi itu ada benang merah kesamaan
definisi satu sama lain. Pada dasarnya komunikasi massa adalah
komunikasi melalui media massa (mdia cetak dan elektronik). Sebab, awal
perkembangannya saja, komunikasi massa berasal dari pengembangan kata
media of mass communication (media komunikasi massa) yang dihasilkan
oleh teknologi modern. (Nurudin, 2007:4)
Secara teoritis, berbagai media massa memiliki fungsi sebagai
saluran informasi, saluran pendidikan, dan saluran hiburan, namun
kenyataannya media massa memberikan efek lain di luar fungsinya itu.
Efek media massa tidak hanya mempengaruhi sikap seseorang namun pula
dapat mempengaruhi perilaku, bahkan pada tataran yang lebih jauh efek
media massa dapat mempengaruhi sistem-sistem sosial maupun sistem
budaya masyarakat.
Hal tersebut dapat mempengaruhi seseorang dalam waktu pendek
11
efek dalam waktu yang lama, sehingga memberi dampak pada
perubahan-perubahan dalam waktu yang lama.
McQuail menjelaskan bahwa : “Efek media massa memiliki andil
dalam pembentukan sikap, perilaku, dan keadaan masyarakat. Antara lain
terjadinya penyebaran budaya global yang menyebabkan masyarakat
berubah dari tradisional ke modern. Selain itu, media massa juga mampu
mengubah masyarakat dari kota sampai ke desa, sehingga menjadi
masyarakat konsumerisme.” (Bungin, 2006 : 320).
Berkaitan dengan efek media massa maka salah satu media massa
yang juga dapat memberikan efek kepada khalayaknya adalah surat kabar.
Surat kabar merupakan kumpulan dari berita, artikel, cerita, iklan dan
sebagainya yang dicetak ke dalam lembaran kertas ukuran plano yang
diterbitkan secara teratur, bias terbit setiap hari atau seminggu satu kali
(Djuroto, 2002:11).
Surat kabar merupakan salah satu kajian dalam studi ilmu
komunikasi, khususnya pada studi komunikasi massa. Dalam buku
“Ensiklopedi Pers Indonesia” disebutkan bahwa pengertian surat kabar
sebagai sebutan bagi penerbit pers yang masuk dalam media massa cetak
yaitu berupa lembaran-lembaran berisi berita-berita, karangan-karangan
dan iklan yang diterbitkan secara berkala : bias harian, mingguan dan
bulanan, serta diedarkan secara umum (Junaedhi, 1991 : 257).
Surat kabar pada perkembangannya, menjelma sebagai salah satu
sebuah kontrol sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal
tersebut disebabkan karena falsafah pers yang selalu identik dengan
kehidupan sosial, budaya dan politik.
Menurut Sumadiria (2005 : 32-35) dalam Jurnalistik Indonesia
menunjukkan 5 fungsi dari pers yaitu :
1. Fungsi Informasi, sebagai sarana untuk menyampaikan informasi
secepat cepatnya kepada masyarakat yang seluas-luasnya yang aktual,
akurat, faktual dan bermanfaat.
2. Fungsi Edukasi, maksudnya disini informasi yang disebar luaskan pers
hendaknya dalam kerangka mendidik. Dalam istilah sekarang pers
harus mau dan mampu memerank an dirinya sebagai guru pers.
3. Fungsi Hiburan, pers harus mampu memerankan dirinya sebagai
wahana hiburan yang menyenangkan sekaligus menyehatkan bagi
semua lapisan masyarakat.
4. Fungsi Kontrol sosial atau koreksi, pers mengemban fungsi sebagai
pengawas pemerintah dan masyarakat. Pers akan senantiasa
menyalahkan ketika melihat penyimpangan dan ketidak adilan dalam
suatu masyarakat atau negara.
5. Fungsi mediasi, dengan fungsi mediasi, pers mampu menjadi fasilitator
atau mediator menghubungkan tempat yang satu dengan yang lain,
peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain, atau orang yang satu
13
2.1.2. Karikatur
2.1.2.1.Pengertian Karikatur
Karikatur adalah deformasi berlebihan atas wajah seseorang,
biasanya orang terkenal, dengan “mempercantiknya” dengan
penggambaran ciri khas lahiriahnya untuk tujuan mengejek. (Sudarta,
1987 dalam Sobur, 2006:138)
Dalam Encyclopedia of The Art dijelaskan, karikatur merupakan
representasi sikap atau karakter seseorang dengan cara melebih-lebihkan
sehingga melahirkan kelucuan. Karikatur juga sering dipakai sebagai
sarana kritik sosial dan politik. (Sumandiria, 2005:8)
Karikatur adalah bagian dari opini penerbit yang dituangkan dalam
bentuk gambar-gambar khusus. Semula, karikatur ini hanya merupakan
selingan atau ilustrasi belaka. Namun pada perkembangan selanjutnya,
karikatur dijadikan sarana untuk menyampaikan kritik yang sehat.
Dikatakan kritik sehat karena penyampaiannya dilakukan dengan
gambar-gambar lucu dan menarik. (Sobur, 2006:140)
2.1.2.2.Manfaat Karikatur
Karikatur yang sudah diberi beban pesan, dan sebagainya berarti
telah menajdi kartun opini (Prmaono, 1996:138). Dengan kata lain, kartun
suart kabar adalah political cartoon atau editorial cartoon. Inilah yang
biasa disebut sebagai karikatur. (Sobur, 2006:138)
Berdasarkan keterangan tersbeut menunjukkan bahwa karikatur
merupakan suatu wadah yang bermanfaat untuk menampung suatu bentuk
opini atau kritik sosial dari para seniman karikatur. Menurut Sumandiria
(2005:3), karikatur merupakan opini redaksi media dalam bentuk gambar
yang sarat dengan muatan kritik sosial dengan memasukkan unsur
kelucuan, ankedot atau humor agar siapapun yang melihatnya bisa
tersenyum, termasuk tokoh atau objek yang dikarikaturkan itu sendiri.
Sebagai kartun opini, setidaknya empat hal teknik yang harus
diingat. (Sobur, 2006:139). Pertama, harus inormatif dan komunikatif.
Kedua, cukup memuat dengan pengungkapan yang hangat. Ketiga, cukup
membuat kandangungan humor. Keempat, harus mempunyai gambar yang
baik. Bila kurang dari salah satu, ibarat mobil beroda empat, maka bobot
karikatur akan berkurang.
2.1.2.3.Fungsi Karikatur
Secara etimologis, karikatur berasal dari bahasa Italia, caricare,
artinya melebih-lebihkan. Kata caricare itu sendiri dipengaruhi kata
carattere, juga bahasa Italia, yang berarti karakter dan kata cara bahasa
Spanyol yang berarti wajah. Menurut Lukman (1989) dalam Sumadiria
15
Mossini, orang Perancis, dalam sebuah karyanya yang berjudul Diverse
Figure. Sedangkan orang yang pertama memperkenalkan kata caricature
adalah Lorenzo Bernini adalah seorang pemahat patung pada zaman
Renaissance. Dengan demikian, secara estimologis karikatur adalah
gambar wajah dan karakteristik seseorang yang diekspresikan secara
berlebih-lebihan.
Pramono berpendapat bahwa sebetulnya karikatur adalah bagian
dari kartun opini, tetapi kemudian menjadi salah kaprah. Karikatur yang
sudah diberi beban pesan, kritik, dan sebagainya berarti telah menjadi
kartun opini. Dengan kata lain, kartun yang membawa pesan kritik sosial,
yang muncul di setiap penerbitan surat kabar adlaah political cartoon atau
aditorial cartoon, yakni versi lain dari editorial, atau tajuk rencana dalam
versi gambar humor. Inilah yang disebut sebagai karikatur. (Sudarta, 1987
dalam Sobur, 2006:139)
Menggambar karikatur termasuk proses kreatif seorang ahli grafis
sekaligus seorang jurnalis. Sebagai ahli grafis, ia harus dapat menyajikan
gambar yang memenuhi kaidah komposisi gradasi, dan aksentuasi secara
tajam dan serasi. Sebagai jurnalis, ia pandai memilih topik yang sedang
aktual, menyangkut kepentingan masyarakat umum, dan mengemasnya
Secara teknis jurnalistik, karikatur diartikan sebagai opini redaksi
media dalam bentuk gambar yang sarat dengan muatan kritik sosial
dengan memasukkan unsur kelucuan, anekdot, atau humor agar siapa pun
yang melihatnya bisa tersenyum, termasuk tokoh atau objek yang
dikarikaturkan itu sendiri. (Sumandiria, 2005:9)
2.1.2.4.Karikatur Dalam Surat Kabar
Keberadaan karikatur dalam surat kabar bukan berarti hanya
melengkapi artikel atau tulisan-tulisan di surat kabar saja, tetapi juga
memberikan informasi kepada masyarakat. Banyak kejadian yang
dilaporkan dalam bentuk gambar (misalnya kartun) yang lebih efektif
daripada kalau diterangkan dengan kata-kata. Karena karikatur mempunyai
kekuatan dan karakter yang sehingga pembaca tertarik untuk sekedar
melihat atau bahkan berusaha memahami makna dan pesan yang
terkandung dalam gambar karikatur tersebut.
Karikatur sendiri merupakan produk keahlian seorang kartunis, baik
dari segi pengetahuan, intelektual, teknik melukis, psikologi, cara melobi,
referensi, bacaan, maupun bagaimana tangapan atau opini secara subyektif
terhadap suatu kejadian, tokoh, suatu soal, pemikiran atau pesan tertentu.
17
ini. Juga cara dia mengkritik yang secara langsung membuat orang yang
dikritik justru tersenyum (Sobur, 2003:140)
2.1.3. Semiotika
Kata “semiotika” berasal dari bahasa Yunani, semeion yang berarti
tanda, atau seme yang berarti penafsir tanda. Semiotika sendiri berakar
dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika dan poetika.
Semiotika adalah cabang sebuah ilmu pengetahuan yang mempelajari
tentang tanda. Tanda terdapat dimana-mana “kata” adalah tanda, demikian
pula gerak isyarat, lampu lalu lintas, bendera dan sebagainya. Semiotika
merupakan cabang ilmu yang semula berkembang dalm bidang bahasa.
Dalam perkembangannya kemudian semiotika bahkan masuk pada semua
segi kehidupan manusia. Sehingga Derrida (dalam Kurniawan, 2008 : 34),
mengikrarkan bahwa tidak ada sesuatupun di dunia ini sepenting bahasa,
“there is nothing outside language”. Bahasa dalam hal ini dibaca sebagai
“teks” atau “tanda”. Dalam konteks ini tanda memegang peranan penting
dalam kehidupan umat manusia sehingga : “manusia yang tak mampu
mengenal tanda, tak akan bertahan hidup” (Widagdo dalam Kruniawan,
2008).
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji
tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya
bersama-sama manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semilogi,
pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity)
memaknai hal-hal (things). Memakai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat
dicampuradukkan denagn mengkomunikasikan (to communicate).
Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi,
dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga
mengkonsitusi sistem terstruktur dari tanda (Kurniawan, 2001 dalam
Sobur, 2006:15)
2.1.4. Semiotik Charles Sanders Peirce
Model dasar semiotik dikembangkan oleh Charles Sanders Peirce
(1839-1914) dan Ferdinand de Saussure (1857-1913), yang pada
perkembangannya sangat mempengaruhi model-model berikutnya. Peirce
menekankan pada hubungan antara tanda, obyek dan peserta komunikasi.
Hubungan antara ketiga unsur tersebut adalah untuk mencapai suatu
makna, terutama antara tanda dan obyeknya. Karena itu hubungan antara
ketiganya disebut hubungan makna. Bila Peirce menekankan pada fungsi
logika tanda, maka Sausssure yang dianggap sebagai pendiri lingusitik
modern, lebih menekankan pada hubungan dari masing-masing tanda, dan
menurut Saussure tanda merupakan obyek fisik yang penuh dengan
berbagai makna. Saussure tidak terlalu memperhatikan realitas dari makna
19
Penelitian ini mengutamakan situasi dan kondisi yang bertema
”Keserakahan Koruptor” sebagai sesuatu yang berarti dalam proses
pembentukan pesan. Peristiwa tersebut dipaparkan dalam pembentukan
tanda –tanda (gambar, kata-kata, dan lainnya) dalam format sebuah kartun
editorial. Sehingga yang menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah
bagaimana suatu peristiwa dalam masyarakat dipandang, dituangkan dan
dinilai. Sebab itulah diperlukan adanya kartun editorial tersebut, dengan
siatuasi dan kondisi yang berkembang dalam masyarakat. Hal itulah yang
kemudian dijadikan alasan penggunaan model semiotik Peirce, karena
Peirce dalam hal ini lebih memperhatikan realita makna. Dengan demikian
penelitian ini termasuk pada bidang studi semiotik budaya tempat
kode-kode dan tanda-tanda digunakan.
Teori semiotik Peirce berpendapat bahwa tanda dibentuk melalui
hubungan segitiga yaitu tanda berhubungan dengan obyek yang
dirujuknya. Hubungan tersebut membuahkan interpretan. Preirce
menelaskan modelnya sebagai berikut:
Model semiotik Peirce dapat digambarkan dalam bentuk segitiga
seperti berikut:
Gambar 2.1. Model Semiotik Peirce
Sumber: Fiske (1990:42)
Sign
Interpretant Obyek
Garis-garis berpanah tersebut hanya bisa dimengerti dalam
hubungannya antara satu elemen dengan elemen lainnya. Tanda merujuk
pada sesuatu di luar tanda itu sendiri, yaitu obyek dipahami oleh
seseorang. Interpretan adalah tanda yang ada dalam benak seseorang
tentang obyek yang dirujuk sebuah tanda. Interpretan merupakan konsep
mental yang diproduksi oleh tanda dan pengalaman pengguna tanda
terhadap sebuah obyek. Apabila ketiga elemen makna itu berinteraksi
dalam benak seseorang maka muncul makna tentang sesuatu yang diwakili
oleh tanda tersebut. Diantara ketiganya, interpretanlah yang paling sulit
dipahami. Interpretan adalah tanda sebagaimana diserap oleh benak kita,
21
Berdasarkan obyeknya Peirce membagi tanda atas icon (ikon),
index (indeks), dan symbol (simbol). Ketiga kategoru tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.2. Model Kategori Tanda
Icon
Index Simbol
Sumber: Fiske (1990:47)
Model tersebut merupakan hal penting dan sangat fundamental dari
hakekat tanda. Peirce mengungkapkannya sebagai berikut:
1. Ikon
Adalah tanda yang berhubungan antara tanda dan acuannya bersifat
bersamaan bentuk alamiah (berupa hubungan kemiripan). Misalnya
adalah potret dan peta. Potret merupakan ikonik dari orang yang ada
dalam potret tersebut, sedangkan peta merupakan ikonik dari pulau
yang ada dalam peta tersebut.
2. Indeks
Adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara
atau atnda yang langusng mengacu pada kenyataannya. Misalnya
adalah asap sebagai tanda adanya api.
3. Simbol
Adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara tanda dan
acuannya (berdasarkan hubungan konvensi atau perjanjian). Misalnya
orang yang menggelengkan kepalanya merupakan simbol yang
menandakan ketidak setujuan yang termasuk secara konvensional.
(Sobur, 2003:41)
2.1.5. Komisi Pemberantasan Korupsi
Indonesia merupakan Negara dunia kegita, yang dalam artian
bahwa Indonesia tergolong dalam kelompok Negara berkembang. Dalam
proses perkembangan itu, Indonesia mencoba mensejajarkan diri dengan
Negara-negara Eropa yang sudah terlebih dahulu mencapai kemajuan.
Perkembangan dalam dunia politik juga tidak kalah cepatnya disbanding
dengan perkembangan sendi-sendi kehidupan lainnya seperti ekonomi dan
ilmu pengetahuan.
Sebagai Negara berkembangan, politik yang terjadi di Negara itu
sendiri yang dalam hal ini adalah Indonesia masih dalam tahap
pendewasaaan. Sehingga masih banyak terlihat kekurangan dalam dunia
perpolitikan di Indonesia. Demikian juga dengan sikap para elit politik
23
kita temui kecurangan dalam pelaksanaan politik di Indonesia. Baik dari
sikap para pejabat tinggi Negara maupun para elit politik tersebut.
Seakan-akan mereka haus Seakan-akan harta dan tahta. Bukan sekedar menjalanSeakan-akan tugas
dan kewajiban untuk mensejahterakan rakyat.
Melihat dari sikap para pejabat dan elit politik yang cenderung
korup itu, maka dibentuk suatu badan independen yang khusus menangani
masalah korupsi. Dalam hal ini badan tersebut memiliki kewenangan
penuh untuk melacak dan menangkap para pelaku korupsi yang telah
terbukti melakukannya. Yang dalam perekrutan anggotanya harus
benar-benar bersih dan memiliki profesional tinggi serta perspektif yang kuat
sehingga dapat melihat secara lebih tajam persoalan mendasar dari
masalah merajalelanya korupsi. Sudah seharusnya desain program dan
kebijakan pemberantasan korupsi harus bercermin pada tipologi korupsi
yang mendominasi. Bukan sekedar menjalankan tugas dan kewajiban
untuk memberantas korupsi sebagaimana mandate Undang-undang tapi
tanpa bekal yang cukup memadai.
Dalam pelaksanaannya KPK yang memiliki kewenangan penuh
untuk menangkap dan menyelidiki kasus tindak pidana korupsi. Tidak
dapat kita pungkiri dengan kewenangan itu pula, KPK menjadi mimpi
menangkap para pelaku korupsi yang telah di curigai kapanpun dan
dimana pun.
2.1.6. Polri
LAHIR, tumbuh dan berkembangnya Polri tidak lepas dari sejarah
perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia sejak Proklamasi.
Kemerdekaan Indonesia, Polri telah dihadapkan pada tugas-tugas yang
unik dan kompleks. Selain menata keamanan dan ketertiban masyarakat di
masa perang, Polri juga terlibat langsung dalam pertempuran melawan
penjajah dan berbagai opersai militer bersama-sama satuan angkatan
bersenjata yang lain. Kondisi seperti ini dilakukan oleh Polri karena Polri
lahir sebagai satu-satunya satuan bersenjata yang relatif lebih lengkap.
Pertempuran 10 Nopember 1945.di Surabaya menjadi sangat
penting dalam sejarah Indonesia, bukan hanya karena ribuan rakyat
Indonesia gugur, tetapi lebih dari itu karena semangat heroiknya mampu
menggetarkan dunia dan PBB akan eksistensi bangsa dan negara Indonesia
di mata dunia. Andil pasukan Polisi dalam mengobarkan semangat
perlawanan rakyat ketika itupun sangat besar. Alam menciptakan
keamanan dan ketertiban didalam negeri, Polri juga sudan banyak
disibukkan oleh berbagai operasi militer, penumpasan pemberontakan dari
DI & TII, PRRI, PKI RMS RAM dan G 30 S/PKI serta berbagai
25
Dalam perkembangan paling akhir dalam kepolisian yang semakin
modern dan global, Polri bukan hanya mengurusi keamanan dan ketertiban
di dalam negeri, akan tetapi juga terlibat dalam masalah-masalah
keamanan dan ketertiban regional maupun internasional, sebagaimana
yang di tempuh oleh kebijakan PBB yang telah meminta pasukan-pasukan
polisi, termasuk Indonesia, untuk ikut aktif dalam berbagai operasi
kepolisian, misalnya di Namibia (Afrika Selatan) dan di Kamboja (Asia).
2.1.7. Kasus KPK Versus Polri
Polri dan KPK, yang menjadi isu hangat di masyarakat sebagai
drama 'Cicak vs Buaya' jadi perhatian saat ini. kemunculan Cicak menjadi
perhatian unik tatkala Cicak dikatakan akan melawan Buaya. Yang pasti,
bukanlah cicak dan buaya yang sesungguhnya. Cicak merupakan gerakan
Cinta Indonesia Cinta KPK yang muncul sebagai respons pernyataan
Kabareskrim Mabes Polri Komjen Polisi Susno Duadji dalam wawancara
majalah Tempo Edisi 6-12 Juli 2009 yang mengatakan KPK sebagai
Cicak, sementara Kepolisian adalah Buaya. Kedua lembaga penegak
hukum itu saling membongkar keterlibatan oknum pejabat mereka dalam
kasus-kasus penyalahgunaan kewenangan dan jabatan.
Kepolisian memeriksa tiga orang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Termasuk diantaranya Kepala Biro Hukum Komisi Pemberantasan
penyalahgunaan wewenang yang dilakukan Wakil Ketua Bidang
Penindakan, Chandra M Hamzah. Pemanggilan tersebut oleh penyidik
guna meminta keterangan terkait penyalahgunaan wewenang yang diduga
dilakukan pimpinan KPK tersebut.
(http://www.tribun-timur.com/read/artikel/51474)
Pihak Polri telah memanggil empat pimpinan KPK untuk diperiksa
sebagai saksi dalam kasus testimoni yang disampaikan Antasari Azhar.
Para pimpinan KPK itu diperiksa sebagai saksi atas kasus pelanggaran
pasal 23 UU No 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi yakni dugaan penyalahgunaan wewenang. Sementara KPK juga
memeriksa Kabareskrim Komjen Pol Susno Duaji terkait kasus Bank
Century. Sebelumnya diberitakan bahwa kepolisian telah menangani
dugaan penggelapan, sehingga bank tersebut berada dalam masalah modal.
(http://www.tribun-timur.com/read/artikel/51474)
Ditetapkannya status tersangka terhadap dua pemimpin Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan tindakan salah alamat. Dalam
kasus ini pendekatan pidana dinilai tidak tepat. Jika kasus ini diproses
secara pidana, maka akan menimbulkan kekacauan hukum karena di
antara para penegak hukum satu sama lain saling memproses
kewenangan-kewenangan tiap lembaga penegak hukum. Karena di antara penyidik
saling proses kewenangan, ini bisa menjadi dasar penyidik lain untuk
27
forum pra-peradilan jika dianggap tidak sesuai prosedur, rehabilitasi, atau
kompensasi. (http://www.tribun-timur.com/read/artikel/51474).
2.2. Kerangka Berpikir
Perseteruan antara Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
makin memanas. Kedua lembaga hukum itu mulai menunjukkan “perang
terbuka”. Berdasarkan landasan teori yang telah disampaikan, penelitian ini
berusaha mengungkap makna yang terkandung pada karikatur harian Jawa
Pos edisi 17 September 2009, maka peneliti melakukan pemaknaan terhadap
tanda lambang dengan menggunakan metode semiotik Peirce, sehingga
akhirnya diperoleh hasil dan interprestasi data mengenai Penelitian ini
mengutamakan situasi dan kondisi yang bertema Realitas Dalam Karikatur
”Cicak Versus Buaya” sebagai sesuatu yang berarti dalam proses
pembentukan pesan. Peristiwa tersebut dipaparkan dalam pembentukan tanda
–tanda (gambar, kata-kata, dan lainnya) dalam format sebuah karikatur.
Sehingga yang menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah bagaimana
suatu peristiwa dalam pemerintahan yang dipandang, dituangkan dan dinilai
oleh masyarakat.
Pada penelitian ini menggunakan analisis kualitatif dengan
pendekatan semiotika. Adapun hasil kerangka berfikir diatas dapat
Karikatur
”Cicak Vs Buaya” pada Surat Kabar Jawa Pos Edisi 17 September 2009
Analisis kualitatif dengan pendekatan semiotika Peirce:
Ikon, terdiri dari cicak dan buaya
Indeks, terdiri dari teks cicak, buaya, saya cicak, dan sementara kalah lawan buaya. Simbol, terdiri dari lingkaran
yang melingkari cicak dan buya, serta ekor buaya yang menjerat leher cicak
Hasil interpretan peneliti
Gambar 2.3.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan
menggunakan analisis semiotik Pierce, untuk memaknai suatu karikatur pada
media cetak yaitu surat kabar, yang akan dijadikan sebagai objek penelitian ini
adalah keserakahan koruptor yang terdapat pada Jawa Pos Edisi 17 September
2009.
Oleh karena itu peneliti yang melakukan studi analisis isi kualitatif harus
memperhatikan beberapa hal: pertama adalah konteks atau situasi social diseputar
dokumen atau teks yang diteliti. Disini, peneliti diharapkan dapat memahami the
nature atau kealamiahan dan culture meaning atau makna cultural dari artifact
atau teks yang diteliti. Kedua adalah proses atau bagaimana suatu produksi media
atau isi pesannya dikreasi secara actual dan diorganisasikan secara bersama.
Ketiga adalah emergence, yakni pembentukan secara gradual/bertahap dari makna
sebuah pesan melalui pemahaman dan interpretasi. Penelitian ini menggunakan
model semiotik Pierce, karena Pierce dalam hal ini lebih memperhatikan realita
makna. Dengan demikian penelitian ini temrasuk pada bidang studi semiotik
budaya tempat kode-kode dan tanda-tanda digunakan.
3.2. Kerangka Konseptual
3.2.1. Corpus
Didalam penelitian kualitatif diperlukan adanya suatu pembahasan
masalah yang disebut corpus. Corpus adalah sekumpulan bahan terbatas yang
ditentukan pada perkembangannya oleh analisa dengan semacam kesemenaan,
bersifat sehomogen mungkin (Kurniawan.2001:7).
Corpus adalah kata lain dari sampel, bertujuan tetapi khusus digunakan
untuk analisis semiologi dan analisis wacana. Pada penelitian kualitatif ini
memberikan peluang yang besar bagi dibuatnya interpretasi alternatif. Corpus dari
penelitian ini adalah karikatur “Cicak Vs Buaya” di Surat Kabar Jawa Pos Edisi
17 September 2009. penelitian ini meneliti tentang karikatur Cicak vs Buaya
berikut ini deskripsi tentang hewan Cicak dan buaya. Cicak termasuk hewan
melata. Dengan alur yang dimiliki, memungkinkan cicak dapat menempelkan
kakinya di dinding dan berjalan tanpa terpeleset. Ciri lain dari cicak adalah
kemampuan memutuskan ekornya. Hal ini dilakukan cicak untuk melindungi diri
dari musuhnya. Cicak akan memutuskan ekor, kemudian ekor tersebut akan
bergerak-gerak untuk mengalihkan perhatian musuh. Sementara itu, cicak dengan
ekor yang putus akan leluasa untuk meloloskan diri. Untuk memperoleh makanan,
cicak mempunyai ciri khusus berupa lidah yang panjang dan lengket. Bentuk lidah
31
Buaya adalah sejenis hewan adalah reptil bertubuh besar yang hidup di air.
Secara ilmiah, buaya meliputi seluruh spesies anggota suku Crocodylidae,
termasuk pula buaya ikan (Tomistoma schlegelii).
Buaya umumnya menghuni habitat perairan tawar seperti sungai, danau,
rawa dan lahan basah lainnya, namun ada pula yang hidup di air payau seperti
buaya muara. Makanan utama buaya adalah hewan-hewan bertulang belakang
seperti bangsa ikan, reptil dan mamalia, terkadang juga memangsa moluska dan
krustasea bergantung pada spesiesnya. Buaya merupakan hewan purba, yang
hanya sedikit berubah karena evolusi semenjak zaman dinosaurus (Kamus
Wikipedia)
3.2.2. Unit Analisis
Unit analisis data dalam penelitian ini adalah tanda yang ada dalam
karikatur yang berupa gambar dan tulisan yang terdapat dalam karikatur yang
dimuat di Surat Kabar Jawa Pos, kemudian diinterpretsikan dengan menggunakan
ikon (icon), indeks (index), dan symbol (symbol).
3.2.2.1. Ikon
Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat
bersamaan bentuk alamiah. Atau dengan kata lain, ikon adalah hubungan antara
tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan. Ikon dalam karikatur yang
3.2.2.2. Indeks
Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara
tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda
yang langsung mengacu pada kenyataan. Indeks dapat disebut juga sebagai tanda
yang hadir secara asosiatif akibat terdapatnya hubungan ciri acuan yang sifatnya
tetap. Kata – kata yang memiliki hubungan indeksikal masing –masing memiliki
ciri utama secara individual. Ciri tersebut antara yang satu dengan yang lain
berbeda dan tidak dapat saling menggantikan. (Sobur 2006:159). Indeks dalam
karikatur yang dimuat di surat kabar Jawa Pos adalah teks cicak, buaya, saya
cicak, dan sementara kalah lawan buaya. Dalam karikatur ini indeksnya adalah
cicak adalah hewan melata yang masih satu ras dengan buaya hanya cicak bukan
hewan buas cicak dan buaya sama – sama mempunyai ciri-ciri yaitu sam-sama
hewan melata.
3.2.2.3. Simbol
Simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda
keserakahan dengan petandanya. Hubungan diantaranya bersifat abitrer atau
semena, hubungan berdasarkan konvensi (perjanjian) masyarakat. Simbol dalam
karikatur yang dimuat di surat kabar Jawa Pos ini adalah lingkaran yang
melingkari cicak dan buya, serta ekor buaya yang menjerat leher cicak.
3.3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik
33
langsung serta melakukan studi pustaka untuk melengkapi data-data dan
bahan-bahan yang dapat dijadikan sebagai referensi.
3.4. Teknis Analisis Data
Analisis Semiotika pada corpus penelitian pada karikatur ”Cicak Vs
Buaya” setelah melalui tahapan pengkodean maka selanjutnya peneliti akan
menginterpretasikan tanda-tanda tersebut untuk ditahui pemaknaannya.
Terkait dalam penelitian ini, untuk mengetahui isi pesan dalam karikatur
surat pembaca, peneliti mengamati signs atau system tanda yang tampak dalam
Iklan, kemudian memaknai dan menginterpretasikannya dengan menggunakan
metode semiotik Pierce, yang terdiri dari :
1. Obyek
Adalah gambar atau karikatur itu sendiri. Obyek dalam penelitian ini adalah
karikatur “Cicak Vs Buaya” di Surat Kabar Jawa Pos Edisi 17 September
2009.
2. Sign
Adalah segala sesuatu yang ada dalam gambar karikatur tersebut. Sign dalam
penelitian ini adalah teks cicak, buaya, saya cicak, teks sementara kalah lawan
buaya, lingkaran yang melingkari cicak dan buya, serta ekor buaya yang
menjerat leher cicak.
3. Interpretant
Adalah tanda yang ada dalam benak seseorang tentang obyek yang dirujuk
sebuah tanda. Interpretant dalam penelitian ini adalah hasil interpretasi dari
Berdasarkan obyeknya Peirce membagi tanda atas icon (ikon), index
(indeks), dan symbol (simbol). Ketiga kategori tersebut dapat digambarkan
sebagai berikut:
1. Ikon (Icon)
Adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat
bersamaan bentuk alamiah. Atau dengan kata lain, ikon adalah hubungan
antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan. Ikon dalam
karikatur yang dimuat di Surat Kabar Jawa Pos adalah cicak dan buaya.
2. Indeks (Index)
Adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan
petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang
langsung mengacu pada kenyataan. Indeks dalam karikatur yang dimuat di
surat kabar Jawa Pos adalah teks cicak, buaya, saya cicak, dan sementara
kalah lawan buaya.
3. Simbol (Symbol)
Adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dengan
petandanya. Hubungan diantaranya bersifat abitrer atau semena, hubungan
berdasarkan konvensi (perjanjian) masyarakat. Simbol dalam karikatur yang
dimuat di surat kabar Jawa Pos ini adalah lingkaran yang melingkari cicak dan
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Obyek Penelitian
4.1.1. Gambaran Umum Harian Jawa Pos
Jawa Pos merupakan surat kabar harian yang berpusat di
Surabaya dan terbesar di Jawa Timur. Surat kabar tersebut termasuk salah
satu harian dengan oplah terbesar di Indonesia. Sirkulasinya menyebar di
seluruh Jawa Timur, Bali, dan sebagian Jawa Tengah dan DI Yogyakarta.
Ia mengklaim sebagai "Harian Nasional yang Terbit dari Surabaya".
Terkait sejarah, Jawa Pos didirikan oleh The Chung Shen pada 1
Juli 1949 dengan nama Djawa Post. Saat itu, The Chung Shen hanyalah
seorang pegawai bagian iklan sebuah bioskop di Surabaya. Karena setiap
hari ia harus memasang iklan bioskop di surat kabar, lama-lama ia tertarik
untuk membuat surat kabar sendiri. Begitu sukses, The Chung Shen
mendirikan pula koran berbahasa Mandarin dan Belanda. Meski
kemudian, bisnis The Chung Shen di bidang surat kabar tidak selamanya
mulus. Pada akhir tahun 1970-an, omzet Jawa Pos mengalami
kemerosotan yang tajam. Tahun 1982, oplahnya hanya tinggal 6.800
eksemplar saja. Koran-korannya yang lain sudah lebih dulu pensiun.
Ketika usianya menginjak 80 tahun, The Chung Shen akhirnya
memutuskan untuk menjual Jawa Pos. Dia merasa tidak mampu lagi
mengurus perusahaannya, sementara tiga orang anaknya lebih memilih
tinggal di London, Inggris.
Pada tahun 1982, Eric FH Samola, waktu itu adalah Direktur
Utama PT Grafiti Pers (penerbit majalah Tempo) mengambil alih Jawa
Pos. Dengan manajemen baru, Eric mengangkat Dahlan Iskan, yang
sebelumnya adalah Kepala Biro Tempo di Surabaya untuk memimpin
Koran ini. Eric Samola kemudian meninggal dunia pada tahun 2000.
Dahlan Iskan adalah sosok yang menjadikan Koran yang waktu itu hampir
mati dengan oplah 6.000 eksemplar, dalam waktu 5 tahun menjadi surat
kabar dengan oplah 300.000 eksemplar. Lima tahun kemudian
terbentuklah Jawa Pos News Network (JPNN), salah satu jaringan surat
kabar terbesar di Indonesia, dimana memiliki lebih dari 80 surat kabar,
tabloid, dan majalah, serta 40 jaringan percetakan di Indonesia.
Pada tahun 1997, Jawa Pos pindah ke gedung yang baru berlantai
21, Graha Pena, salah satu gedung pencakar langit di Surabaya. Tahun
2002 dibangun Graha Pena di Jakarta. Dan, saat ini bermunculan
gedung-gedung Graha Pena di hampir semua wilayah di Indonesia. Tahun 2002,
Jawa Pos Group membangun pabrik kertas koran yang kedua dengan
kapasitas dua kali lebih besar dari pabrik yang pertama. Kini pabrik itu, PT
Adiprima Sura Perinta, mampu memproduksi kertas koran 450 ton/hari.
Lokasi pabrik ini di Kabupaten Gresik.
Setelah sukses mengembangkan media cetak di seluruh
37
lokal JTV di Surabaya, yang kemudian diikuti Batam TV di Batam, Riau
TV di Pekanbaru, FMTV di Makassar, PTV di Palembang, Padjadjaran
TV di Bandung. Memasuki tahun 2003, Jawa Pos Group merambah bisnis
baru : Independent Power Plant. Proyek pertama adalah 1 x 25 MW di
Kab. Gresik, yakni dekat pabrik kertas. Proyek yang kedua 2 x 25 MW,
didirikan di Kaltim, bekerjasama dengan perusahaan daerah setempat.
Hingga pada tahun 2008, mereka menambah stasiun televisi baru, yaitu
Mahkamah Konstitusi Televisi (MKtv) yang berkantor di Gedung
Mahkamah Konstitusi Jakarta.
4.2. Penyajian Data
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan terhadap gambar
karikatur ”Cicak Vs Buaya” Pada Harian Jawa Pos Edisi 17 September
2009 disajikan hasil pengamatan terhadap gambar karikatur tersebut.
Dalam tampilan gambar karikatur tersebut terdapat pesan verbal. Pesan
verbalnya adalah adanya seekor cicak berwarna abu-abu yang sedang di
lilit oleh ekor dari buaya berwarna hitam dimana seolah-olah cicak yang
sudah tidak berdaya tersebut hendak di terkam. Aktivitas dari cicak dan
buaya tersebut terjadi di dalam sebuah lingkaran yang tampak bagai
sebuah arena untuk melakukan pergulatan.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti pada
September 2009, akan disajikan hasil pengamatan dari gambar karikatur
”Cicak Vs Buaya” Pada Harian Jawa Pos Edisi 17 September 2009.
Interpretasi yang dilakukan terhadap gambar karikatur ”Cicak Vs
Buaya” Pada Harian Jawa Pos Edisi 17 September 2009 akan
menampakkan makna yang tersirat di dalamnya. Gambar ini merupakan
suatu bentuk sistem tanda yang merujuk pada sesuatu diluar tanda itu
sendiri.
Pada pendekatan semiotik Charles Sanders Peirce terdapat tiga
unsur yaitu ikon, indeks dan simbol, oleh karena itu peneliti akan
menginterpretasikan makna pesan berdasarkan unsur – unsur tersebut.
Dalam gambar karikatur ”Cicak Vs Buaya”, yang menjadi Ikonnya adalah
cicak dan buaya. Indeks dari gambar karikatur ”Cicak Vs Buaya” adalah
teks cicak,buaya dan saya cicak sementara kalah melawan buaya. dan
Simbol dari gambar karikatur ”Cicak Vs Buaya” ini yaitu lingkaran, ekor
buaya yang melilit tubuh cicak dan warna tubuh dari cicak dan buaya.
Pemaknaan gambar yang dilakukan terhadap gambar karikatur
“Cicak Vs Buaya” pada koran Jawa Pos terlihat makna yang tersirat di
dalam gambar karikatur tersebut. Gambar karikatur “Cicak Vs Buaya”
merupakan suatu bentuk sistem yang merujuk pada sesuatu di luar tanda
itu sendiri dimana hal tersebut tersirat di dalam gambar karikatur “Cicak
39
Vs Buaya” dalam koran Jawa Pos tersebut digunakan oleh peneliti untuk
menginterpretasikan sistem tanda dalam penelitian ini.
4.3. Analisis Data
4.3.1. Klasifikasi Tanda dalam Semiotika Pierce
Semiotika adalah cabang ilmu yang semula berkembang dalam
bidang bahasa.Dalam perkembangannya kemudian semiotika bahkan
merasuk pada semua segikehidupan umat manusia. Charles Sanders Peirce
yang merupakan ahli filsafat dan tokoh terkemuka dalam semiotika
modern Amerika menegaskan bahwa manusia hanya dapat berfikir dengan
sarana tanda, manusia hanya dapat berkomunikasi dengan sarana tanda.
Tanda yang dimaksud dapat berupa tanda visual yang bersifat non-verbal,
maupun yang bersifat verbal.
Semiotika adalah ilmu tanda, istilah ini berasal dari kata Yunani
semeion yang berarti “tanda”. Tanda terdapat dimana-mana : ‘kata’ adalah
tanda, demikian pula gerak isyarat, lampu lalu lintas, bendera dan
sebagainya. Struktur karya sastra, struktur film, bangunan (arsitektur) atau
nyanyian burung dapat dianggap sebagai tanda. Segala sesuatu dapat
menjadi tanda. Dalam kehidupan sehari-hari kita tanpa sadar telah
mempraktekkan semiotika atau semiologi dalam komunikasi. Misalkan
saja ketika kita melihat lampu lalu lintas yang menunjukkan warna merah
maka otomatis kita menghentikan kendaraan kita, dan kita memaknai
dicoret maka kita tahu bahwa kita tidak boleh memarkirkan kendaraan di
lokasi tersebut. Ketika kita memaknai tanda P dicoret itu, kita telah
berkomunikasi, kita telah melakukan proses pemaknaan terhadap tanda
(sign) tersebut.
Charles Sanders Pierce sebagai tokoh terkemuka dalam dunia
semiotika dengan teori tandanya membagi tanda menjadi sepuluh jenis,
selengkapnya sebagai berikut :
1. Qualisign, yakni kualitas kedalaman makna yang dimiliki tanda.
Sebagai contoh kata keras dapat menunjukkan kualitas tanda. Gambar
karikatur cicak vs buaya dalam surat kabar Jawa Pos edisi 17
September 2009 yaitu ”saya cicak sementara kalah lawan buaya”.
2. Iconic Sinsign, yakni tanda yang memperlihatkan kemiripan. Gambar
karikatur cicak vs buaya dalam surat kabar Jawa Pos edisi 17
September 2009 yaitu gambar ”cicak dan buaya”. Adanya
macam-macam iconic sinsign yang terdapat pada gambar karikatur tersebut
memiliki kemiripan dengan seekor cicak yang diibaratkan sebagai
KPK dan seekor buaya yang diibaratkan sebagai Polri.
3. Rhematic Indexical Sinsign, yakni tanda berdasarkan pengalaman
langsung, yang secara langsung menarik perhatian karena
kehadirannya disebabkan sesuatu. Misalnya : gambar seekor cicak
41
sebagai lambang untuk mereplikasikan lembaga elit bernama KPK dan
gambar seekor buaya yang merupakan reptilia berukuran besar dan
buas digunakan sebagai lambang untuk mereplikasikan lembaga
kepolisian di negara Indonesia.
4. Discent Sinsign, yakni tanda yang memberikan informasi tentang
sesuatu. Misalnya : ”adanya pengakuan dari seekor cicak yang dalam
hal ini adalah KPK yang menyatakan bahwa dirinya hanya sementara
KALAH melawan buaya (POLRI).
5. Iconic Legisign, yakni tanda yang menginformasikan norma atau
hukum. Misalnya : lembaga KPK yang ketika menghadapi perseteruan
dengan POLRI.
6. Rhematic Indexica Legisign, yakni tanda yang mangacu kepada obyek
tertentu. Misalnya : cicak dan buaya.
7. Dicent Indexica Legisign, tanda yang bermakna informasi dan
menunjuk subjek informasi. Misalnya teks ”KPK pada tubuh hewan
cicak dan POLRI pada tubuh hewan buaya”.
8. Rhematic Symbol atau Symbolic Rheme, yakni tanda yang dihubungkan
dengan obyeknya melalui asosiasi ide umum yaitu semua gambar yang
terdapat pada gambar karikatur cicak vs buaya dalam surat kabar
9. Dicent Symbol atau Proposion (proporsi) adalah tanda yang langsung
menghubungkan dengan obyek melalui asosiasi dalam otak. Pada
kariaktur tersebut di tunjukkan oleh gambar cicak dan buaya dimana
pada masing-masing tubuh dari hewan tersebut terdapat teks (KPK
pada cicak dan POLRI pada Buaya).
10.Argument, yakni tanda yang merupakan inferens seseorang terhadap
sesuatu berdasarkan alasan tertentu. Misalnya : pengakuan cicak yang
menyatakan sementara kalah dari buaya (pengakuan KPK yang
sementara kalah dari POLRI.
4.3.2. Gambar karikatur ”Cicak Vs Buaya” Pada Harian Jawa Pos Edisi 17
September 2009 dalam Model Pierce
Menurut Pierce, sebuah tanda itu adalah segala sesuatu yang ada
pada seseorang untuk menyatakan sesuatu yang lain dalam beberapa hal
atau kapasitas. Suatu tanda, atau representamen, adalah sesuatu yang bagi
seseorang mewakili sesuatu (yang lain) dalam kaitan atau kapasitas
tertentu. Tanda mengarah kepada seseorang, yakni menciptakan dalam
pikiran orang itu suatu tanda lain yang setara, atau bisa juga suatu tanda
yang lebih terkembang. Tanda yang tercipta itu saya sebut interpretan dari
tanda yang pertama. Suatu tanda (yang pertama) mewakili sesuatu, yaitu
objek-nya. Tanda mewakili objeknya tidak dalam sembarang kaitan, tetapi
43
Agar mempermudah pemahaman mengenai konsep tanda yang
dikemukakan oleh Pierce tersebut maka di bentuklah konsep segitiga tanda
sebagaimana tertera pada gambar di bawah ini :
Gambar 4.1.
Konsep Segitiga Tanda Pierce
Apabila gambar tersebut lebih dicermati pada dasarnya terdapat
tiga komponen dalam definisi tanda Peirce, yaitu representamen (sign),
interpretan, dan objek. Karena itu, definisi tanda Peirce disebut triadik
(bersisi tiga). Sesuatu dapat disebut representamen jika memenuhi dua
syarat yakni bisa dipersepsikan baik dengan pancaindera maupun dengan
pikiran/ perasaan dan dapat berfungsi sebagai tanda.
Untuk menguaraikan makna dari gambar karikatur “Cicak Vs
Buaya” Pada Harian Jawa Pos Edisi 17 September 2009 ini akan menjadi
korpus penelitian terlebih dahulu akan dibagi menjadi unsur–unsur
1. Tanda (Sign), dalam gambar karikatur ini adalah setiap bentuk
pemaknaan yang dapat ditimbulkan oleh gambar karikatur tersebut
baik itu makna yang bersifat konotatif maupun yang bersifat denotatif.
2. Obyek (Object), dalam penelitian ini adalah keseluruhan badan gambar
karikatur, mulai dari jenis gambar karikatur, bentuk gambar dan bentuk
dari penyajian gambar karikatur tersebut.
3. Interpretan (Interpretant), sebagai interpretan peneliti akan
menganalisa gambar karikatur yang akan dijadikan corpus, yaitu
gambar karikatur “Cicak Vs Buaya” secara keseluruhan dengan
menggunakan hubungan antara tanda dengan acuan tanda dalam model
kategori tanda yang dimiliki pierce, yaitu : ikon, indeks dan simbol
sehingga akan diperoleh makna dalam gambar karikatur tersebut.
Apabila digambarkan hubungan antara tanda, obyek dan interpretan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Gambar 4.2.
Gambar Karikatur “Cicak vs Buaya” dalam Elemen Makna Pierce
Obyek
Karikatur Cicak vs Buaya
Interpretasi Tanda
Hasil interpretasi peneliti dalam melihat hubungan antara tanda dan petanda
45
Gambar karikatur ”Cicak Vs Buaya” Pada Harian Jawa Pos Edisi
17 September 2009 merupakan obyek dalam penelitian ini dan
keseluruhan dari tampilan karikatur yang berupa gambar, teks dan warna
yang menjadi latar belakang maupun visual dari gambar karikatur tersebut
merupakan tanda – tanda yang terkandung dalam suatu gambar. Gambar
karikatur ”Cicak Vs Buaya” karikatur ini akan direpresentasikan dengan
menggunakan model Semiotik Pierce. Dalam semiotik Pierce sebuah
acuan dan representasi adalah fungsi utamanya.
4.3.3. Ikon, Indeks dan Symbol (Tipologi Tanda)
Tanda mengacu pada sesuatu diluar dirnya sendiri dan ini dipahami
oleh seseorang serta memiliki efek di benak penggunanya. Setiap orang
mesti menyadari bahwa interpretant bukanlah pengguna tanda, namun
Pierce menyebutnya dimana-mana efek pertandaan yang tepat, yaitu
konsep mental yang dihasilkan baik oleh tanda maupun pengalaman
pengguna terhadap objek.
Untuk menjabarkan konsep relasi makna (tanda,interpetant,objeka)
C.S Pierce memiliki cara guna memudahkan megoperasionalkan konsep
makna tersebut, pierce memberikan pembagian tanda dalam tiga bagian
yaitu ikon,indeks dan simbol yang disebut tipologi tanda. Ikon, adalah
tanda yang dicirikan oleh persamaannya (resembles) dengan objek yang
digambarkan. Tanda visual seperti fotografi adalah ikon, karena tanda