• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMAKNAAN KARIKATUR CELEKIT ”CICAK VERSUS BUAYA” (Studi Deskriptif Pemaknaan Karikatur Celekit ”Cicak vs Buaya” Edisi 17 September 2009 Di Jawa Pos).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PEMAKNAAN KARIKATUR CELEKIT ”CICAK VERSUS BUAYA” (Studi Deskriptif Pemaknaan Karikatur Celekit ”Cicak vs Buaya” Edisi 17 September 2009 Di Jawa Pos)."

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

”Cicak vs Buaya” Edisi 17 September 2009

Di Jawa Pos)

SKRIPSI

Disusun Oleh :

FENNY DIAH SETIOWATI

0443010083

YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

(2)

Judul : PEMAKNAAN KARIKATUR CELEKIT ”CICAK VERSUS POLRI” (Studi Deskriptif Pemaknaan Karikatur Celekit ”Cicak vs Polri” Edisi 17 September 2009 Di Jawa Pos)

Nama : Fenny Diah Setiowati

NPM : 0443010083

Program Studi : Ilmu Komunikasi

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Telah disetujui untuk mengikuti Seminar Proposal

Menyetujui,

Pembimbing Utama

Drs. Saifuddin Zuhri MSi NPT. 947 000 035

Mengetahui Ketua Program Studi Komunikasi

(3)

Media Komunikasi)

Nama : IMA ANGELINA PURWANTO

NPM : 0443010325

Jurusan : Ilmu Komunikasi Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Telah disetujui Pembimbing Utama 1. Penguji I

Juwito, S.Sos, MS Ir. H. Didiek Tranggono, MSi

NPT. 956 700 036 NIP. 030 203 679

Pembimbing Pendamping 2. Penguji II

Drs. Saifuddin Zuhri MSi Zaenal Abidin A, MSi, MEd

NPT. 947 000 035 NPT. 997 300 170

3. Penguji III

Juwito, S.Sos, MSi NPT. 956 700 036

4. Penguji IV

Drs. Kusnarto, Msi NIP. 030 176 735 Mengetahui

Ketua Jurusan Komunikasi

(4)

Judul :

MOTIF USER DI SURABAYA DALAM

MENGGUNAKAN JARINGAN WEB 2.0

FACEBOOK SEBAGAI MEDIA KOMUNIKASI

(Studi Deskriptif Motif User Di Surabaya Dalam

Menggunakan Jaringan Web 2.0 Facebook Sebagai

Media Komunikasi)

Nama : IMA ANGELINA PURWANTO

NPM : 0443010325

Jurusan : Ilmu Komunikasi Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi

Menyetujui,

Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

Juwito, S.Sos, MSi Drs. Saifuddin Zuhri MSi

NPT. 956 700 036 NPT. 947 000 035

Mengetahui Dekan

(5)

(Studi Deskriptif Motif User Di Surabaya Dalam Menggunakan

Jaringan Web 2.0 Facebook Sebagai Media Komunikasi)

Diajukan Oleh :

IMA ANGELINA PURWANTO 0443010325

Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi

Menyetujui,

Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

Juwito, S.Sos, MS Drs. Saifuddin Zuhri MSi

NPT. 956 700 036 NPT. 947 000 035

Mengetahui Dekan

(6)

KATA PENGANTAR

Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan

rahmat serta hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan

judul “PEMAKNAAN KARIKATUR “CICAK VS BUAYA (Studi Semiotik

Tentang Pemaknaan Karikatur “Cicak vs Buaya” Pada Harian Jawa Pos Edisi 17

September 2009)”

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi persyaratan akademis bagi

mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik di Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini atas

bimbingan dan bantuan yang diberikan oleh berbagai pihak. Pada kesempatan ini,

penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang

terhormat :

1. Dra. Ec. Hj. Suparwati, MSi., Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UPN

“Veteran” Jawa Timur.

2. Juwito, S. Sos., MSi., Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu

Sosial dan Politik UPN “Veteran” Jawa Timur

3. Saifuddin Zuhri M.Si., sebagai Dosen Pembimbing Utama yang senantiasa

memberikan waktu pada penulis dalam penyusunan skripsi penelitian ini.

4. Seluruh staf dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan

Politik UPN “Veteran” Jawa Timur.

(7)

iv

maupun moril dengan tulus ikhlas dan tanpa pamrih.

6. Berbagai pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini dengan baik

Semoga Tuhan YME melimpahkan rahmat serta karuniaNya atas

jasa-jasanya yang telah diberikan kepada penulis. Penulis menyadari bahwa tulisan ini

masih jauh dari sempurna. Karena apabila terdapat kekurangan didalam menyusun

skripsi ini, peneliti dengan senang hari menerima segala saran dan kritik demi

sempurnanya skripsi ini.

Surabaya, Juni 2010

(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR GAMBAR... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

ABSTRAKSI... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 8

1.3. Tujuan Penelitian ... 8

1.4. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 9

2.1. Landasan Teori ... 9

2.1.1. Surat Kabar Sebagai Media Komunikasi Massa ... 9

2.1.2. Karikatur ... 13

2.1.2.1. Pengertian Karikatur ... 13

2.1.2.2. Manfaat Karikatur ... 13

2.1.2.3. Fungsi Karikatur ... 14

2.1.2.4. Karikatur dalam Surat Kabar ... 16

2.1.3. Semiotika ... 17

(9)

2.1.6. Polri ... 24

2.1.7. Kasus KPK vs Polri ... 25

2.2. Kerangka Pikir ... 28

BAB III METODE PENELITIAN ... 29

3.1. Metode Penelitian ... 29

3.2. Kerangka Konseptual ... 30

3.2.1. Corpus ... 30

3.2.2. Unit Analisis ... 31

3.2.2.1. Ikon ... 31

3.2.2.2. Indeks ... 32

3.2.23. Simbol ... 32

3.3. Teknik Pengumpulan Data ... 32

3.4. Teknik Analisis Data ... 33

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35

4.1. Gambaran Umum Obyek Penelitian ... 35

4.1.1. Gambaran Umum Harian Jawa Pos ... 35

4.2. Penyajian Data ... 37

4.3. Analisis Data ... 39

4.3.1. Klasifikasi Tanda dalam Semitika Pierce ... 39

4.3.2. Gambar Karikatur “Cicak vs Buaya” Pada Harian

Jawa Pos Edisi September 2009 dalam Model Pierce . 42

(10)

4.3.3. Ikon, Indeks dan Symbol ... 45

4.4. Pemaknaan Keseluruhan Gambar Karikatur “Cicak vs Buaya” Pada Harian Jawa Pos Edisi September 2009 ... 58

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 66

5.1. Kesimpulan ... 66

5.2. Saran ... 67

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(11)

Gambar 2.2 : Model Kategori Tanda ... 21

Gambar 2.3 : Kerangka Berfikir Penelitian ... 28

Gambar 4.1 : Konsep Segitiga Peirce ... 43

Gambar 4.2 : Gambar Karikatur “Cicak vs Buaya” dalam Elemen

Makna Peirce... 44

Gambar 4.3 : Gambar Karikatur “Cicak vs Buaya” dalam Kategori

Tanda Peirce... 47

(12)

ix

DAFTAR LAMPIRAN

(13)

”Cicak vs Buaya” Edisi 17 September 2009 Di Jawa Pos)

Penelitian ini mengutamakan situasi dan kondisi yang bertema Realitas Dalam Karikatur ”Cicak Versus Buaya” sebagai sesuatu yang berarti dalam proses pembentukan pesan. Peristiwa tersebut dipaparkan dalam pembentukan tanda – tanda (gambar, kata-kata, dan lainnya) dalam format sebuah karikatur.

Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Surat Kabar Sebagai Media Komunikasi Massa, Karikatur, Semiotika, Semiotik Charles Sanders Peirce, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Polri.

Teknis Analisis Data dalam penelitian ini analisis semiotika pada corpus penelitian pada karikatur ”Cicak vs Buaya” setelah melalui tahapan pengkodean maka selanjutnya peneliti akan menginterpretasikan tanda-tanda tersebut untuk ditahui pemaknaannya.

Kesimpulan dalam penelitian ini adalah Berdasarkan hasil analisis dan interpretasi dari gambar Karikatur Cicak vs Buaya dalam Surat Kabar Jawa Pos Edisi 17 September 2009 diperoleh kesimpulan bahwa perlawanan pada korupsi misalnya dan kondisi dari keadaan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang saat ini banyak mengundang simpati masyarakat mengingat keadaannya yang semakin memprihatinkan terkait penahanan 2 pimpinan non aktifnya yang seolah-olah dicari cari kesalahannya dengan dugaan masyarakat adanya upaya-upaya secara sistematis untuk mengebiri kekuatan KPK yang selam ini terbukti banyak mengungkapkan kasus-kasus korupsi besar yang melibatkan penguasa di pusat dan didaerah.

Kata Kunci : karikatur, semiotik, jawa pos,cicak versus buaya

(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Perseteruan antara Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) makin

memanas. Kedua lembaga hukum itu mulai menunjukkan “perang terbuka”. Kali

ini Mabes Polri telah menyidik kasus penyalahgunaan wewenang dalam

penanganan kasus Masaro. Satu oknum KPK ditetapkan sebagai tersangka. Kasus

ini berawal dari kasus Antasari, lembaga KPK mulai terasa diembosi oleh

berbagai pihak. Jauh sebelumnya, pada April 2008, Ahmad Fauzi- anggota DPR

dari Partai Demokrat meminta KPK dibubarkan. Dua bulan yang lalu,

Nursyahbani Katjasungkana, anggota DPR dari fraksi PKB meminta KPK tidak

mengambil keputusan alias tidak usah kerja lagi untuk proses penyelidikan

korupsi yang membutuhkan keputusan terkait kasus Antasari. Dan 24 Juni 2009,

di media Kompas, Pak SBY mengatakan KPK telah menjadi lembaga superbody

sehingga wewenangnya butuh diwanti alias dikurangi wewenangnya.

(http://www.tribun-timur.com/read/artikel/51474)

Salbani Mosa, seorang orator dalam aksi dukungan untuk Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) di Simpang Lima, Banda Aceh mengatakan,

pengurangan wewenang KPK dalam Rancangan Undang – Undang Tindak

Pidana Korupsi yang kini sedang digodok, merupakan upaya pembubaran

KPK secara sistematis. Dalam RUU itu diatur, diantaranya KPK tak

(15)

berwenang lagi menyadap dalam menyidik kasus korupsi. Juga ada peluang bisa

diintervensi pemerintah dalam bertugas. Salbani menambahkan bahwa tanpa

kewenangan seperti itu, KPK akan jadi macan ompong yang berkandang di sekitar

istana.

(http://www.acehkita.com/berita/pemerintah-diminta-jangan-bungkam-kpk/)

Jika kita kilas balik ke belakang sejenak, lahirnya KPK [Komisi

Pemberantasan Korupsi] juga dibidani oleh Polri dan Kejaksaan. Namun, KPK

dilahirkan adalah dalam rangka menghajar korupsi dari negeri ini. Masalah

korupsi adalah masalah pidana atau kriminalitas yang jelas melawan hukum.

Masalah pidana maupun kriminalitas ataupun masalah gangguan alias melawan

hukum di negeri ini telah ada institusi penegak hukum yakni kepolisian dan

kejaksaan. Ketika KPK dilahirkan maka secara implisit memang ada sebuah

ketidakpercayaan lagi terhadap kedua lembaga negara tersebut mampu

mengganyang korupsi dari negeri ini. (http://kaumbiasa.com/kpk-vs-polri.php)

Maka tidak heran, jika kemudian hari pasti timbul persaingan untuk

menunjukkan eksistensi diri masing – masing lembaga. Sebab semuanya

merasa sebagai lembaga penegak hukum. Apapun yang terjadi sebenarnya

masing-masing lembaga tersebut telah memiliki tupoksi [tugas pokok dan

fungsi] masing – masing. Dan tupoksi tersebut saling berkaitan satu sama lain

yang seharusnya berjalan seiring sejalan dalam sebuah jalan yang akhirnya

bertemu pada terminal akhir. Sayangnya, ketiga lembaga tersebut dilengkapi

(16)

3

Polri dan Kejaksaan sama-sama punya penyidik yang tupoksinya sama-sama

menyidik kasus. (http://kaumbiasa.com/kpk-vs-polri.php )

Selain kesamaan perangkat, juga ada kesamaan fungsi dapat menegakkan

hukum korupsi. Rakyat dapat melaporkan kasus korupsi ke Kejaksaan, Polri dan

KPK juga. Inilah yang membuat rakyat bingung, mau melapor ke mana jika ada

kasus korupsi. Ketiganya juga siap menerima laporan dan siap mengusut kasus

tersebut. Di sinilah paradoks itu muncul dan akhirnya gesekan terjadi. Hubungan

mereka menjadi kurang harmonis ketika gesekan memanas dan akhirnya

menajam. (http://www.tribun-timur.com/read/artikel/51474)

Hubungan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Polri semakin

tidak harmonis menyusul dugaan keterlibatan empat pimpinan KPK dalam kasus

Masaro, sesuai testimoni yang ditulis Katua KPK nonaktif Antasari Azhar. Untuk

mendamaikan kedua lembaga penegak hukum ini, Presiden diminta ikut ambil

bagian.

(http://news.okezone.com/read/2009/09/11/1/256515/damaikan-kpk-vs-polri -sby-diminta-turun-tangan)

Campur tangan Presiden dalam kasus ini adalah untuk mencegah

berlarut-larutnya “pertengkaran” antara KPK dan Polri. Selain itu, turun tangannya

Presiden adalah untuk mencegah jangan sampai kepentingan segelintir oknum

dibiarkan berkembang dalam kasus ini. Tetapi Presiden melalui juru bicara

kepresidenan Andi Malarangeng, menyatakan tidak bisa ikut campur soal saling

periksa yang terjadi antara KPK dan Polri. Memurut Malarangeng, selain tugas

(17)

yang penting pemberantasan korupsi berjalan dan dijalankan kedua lembaga

tersebut.(http://infokorupsi.com/id/korupsi.php?ac=3349&l=kpk-vs-polri-presiden

-perlu-segera-turun-tangan)

Dari kasus tersebut berbagai media merespon dengan membuat berbagai

informasi antara lain media cetak dan media elektronik. Kehadiran media massa

merupakan penanda awal dari kehidupan modern sekarang ini. Hal ini dapat

dilihat melalui meningkatnya tingkat konsumsi masyarakat terhadap berbagai

bentuk media massa yang menawarkan banyak pilihan, dan pada akhirnya

menimbulkan ketergantungan masyarakat pada media massa. Kebutuhan terhadap

media massa dapat dipenuhi melalui surat kabar, majalah , radio, televisi, dan

film.

Di antara beberapa jenis media tersebut, media cetak seperti surat kabar

memiliki ciri khas dibandingkan dengan media massa lainnya. Pesan melalui

media cetak diungkapkan dengan huruf-huruf mati, yang baru menimbulkan

makna apabila khalayak berperan secara aktif. Karena itu berita, tajuk rencana,

artikel, dan lain-lain, pada media cetak harus disusun sedemikian rupa, sehingga

mudah dicerna oleh khalayak. Kelebihan media cetak lainnya, ialah bahwa media

ini dapat di kaji ulang, didokumentasikan, dan dihimpun untuk kepentingan

pengetahuan, serta dapat dijadikan bukti otentik yang bernilai tinggi. (Effendy,

2000: 313-314)

Surat kabar adalah kelanjutan dari teknologi teks dan grafis yang sudah

ditemukan beberapa abad yang lalu. Karena itu, surat kabar hanya

(18)

5

populer karena sifatnya yang sederhana menyebabkan ia hampir-hampir tak

tergantikan oleh media apa pun (Bungin, 2006:130).

Selama ini kita tahu bahwa media cetak seperti surat kabar tidak hanya

berperan sebagai pencarian informasi yang utama dalam fungsinya, tetapi bisa

juga mempunyai suatu karakteristik yang menarik yang perlu diperhatikan untuk

memberikan analisis yang sangat kritis yang akan menumbuhkan motivasi,

mendorong serta dapat mengembangkan pola pikir bagi masyarakat untuk

semakin kritis dan selektif dalam menyikapi berita-berita yang ada di dalam

media.

Keberadaan karikatur pada surat kabar, bukan berarti hanya melengkapi

surat kabar dan memberikan hiburan selain berita-berita utama yang disajikan.

Tetapi juga dapat memberikan informasi dan tambahan pengetahuan kepada

masyarakat. Karikatur membangun masyarakat melalui pesan-pesan sosial

yang dikemas secara kreatif dengan pendekatan simbolis. Sayangnya

muatan pesan verbal dan pesan visual yang dituangkan di dalam karikatur

terlalu banyak. Secara visual, desain karikatur yang disajikan pun menjadi

jelek, tidak komunikatif, kurang cerdas, dan terkesan menggurui. Akibatnya

masyarakat luas yang diposisikan sebagai target sasaran dari karikatur

dengan serta merta akan mengabaikan pesan sosial yang ingin disampaikan

oleh karikatur (http://www.desaingrafisindonesia.com/).

Karikatur adalah bagian kartun yang diberi muatan pesan yang bernuansa

(19)

dengan humor, namun karikatur merupakan kartun satire yang terkadang malahan

tidak menghibur, bahkan dapat membuat seseorang tersenyum kecut.

Karikatur (latin: carricare) sebenarnya memiliki arti sebagai gambar yang

didistorsikan, diplesetkan, atau dipeletotkan secara karakteristik tanpa bermaksud

melecehkan si pemilik wajah. Seni memeletotkan wajah ini sudah berkembang

sejak abad ke-17 di Eropa, Inggris dan sampai ke Amerika bersamaan dengan

perkembangan media cetak pada masa itu (Pramoedjo, 2008:13).

Digunakannya gambar karikatur dari harian Jawa Pos edisi 17 September

2009 sebagai objek penelitian dikarenakan gambar karikatur tersebut merupakan

penggambaran suatu dari peristiwa yang sedang dialami di dalam pemerintahan

yaitu perseteruan antara KPK dengan Polri. Memanasnya hubungan KPK dan

Polri diibaratkan dengan “Cicak” melawan “Buaya”, demikian sorotan media

massa tentang panasnya hubungan tersebut. Cicak dalam hal ini yaitu cinta

Indonesia cinta KPK yang muncul sebagai respon atas pernyataan Kabareskrim

Mabes Polri Komjen Polisi Susno Duadji yang mengatakan KPK sebagai Cicak,

sementara Kepolisian adalah Buaya. Dalam karikatur tersebut disebutkan bahwa

dalam hal ini Polri yang diibaratkan buaya bagaikan hewan buas yang tidak takut

dengan apapun termasuk dengan KPK Sedangkan KPK yang dalam hal ini

diibaratkan sebagai cicak yang sebagai hewan kecil tidak bisa berbuat apa-apa

dalam menghadapi tekanan buaya yang dalam hal ini Polri. Tantangannya adalah

mampukah KPK dan Polri dapat menyelesaikan masalah yang mereka hadapi

sekarang sehingga kelak antara KPK dan Polri dapat bersatu menjadi buaya ganas

(20)

7

buaya yang dalam hal Polri bermusuhan, maka para korupor di Indonesia tepuk

tangan dan akan makin merajarela dalam melakukan korupsi.

(http://kaumbiasa.com/kpk-vs-polri.php)

Berdasarkan fenomena di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan

studi semiotik Charles Sanders Peirce dalam karikatur pada harian Jawa Pos edisi

17 September 2009. Semiotik Peirce menekankan pada hubungan antara tanda,

obyek dan peserta komunikasi. Hubungan antara ketiga unsur tersebut adalah

untuk mencapai suatu makna, terutama antara tanda dan obyeknya

Penelitian ini mengutamakan situasi dan kondisi yang bertema Realitas

Dalam Karikatur ”Cicak Versus Buaya” sebagai sesuatu yang berarti dalam proses

pembentukan pesan. Peristiwa tersebut dipaparkan dalam pembentukan tanda –

tanda (gambar, kata-kata, dan lainnya) dalam format sebuah karikatur. Sehingga

yang menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah bagaimana suatu peristiwa

dalam pemerintahan yang dipandang, dituangkan dan dinilai oleh masyarakat.

Sebab itulah diperlukan adanya karikatur tersebut, dengan siatuasi dan kondisi

yang berkembang dalam masyarakat. Hal itulah yang kemudian dijadikan alasan

penggunaan model semiotik Peirce, karena Peirce dalam hal ini lebih

memperhatikan realita makna. Dengan demikian penelitian ini termasuk pada

bidang studi semiotik budaya tempat kode-kode dan tanda-tanda digunakan Ikon

dalam karikatur clekit yang dimuat di Harian Jawa Pos Edisi 17 September 2009

Polri dan KPK. Indeks dalam karikatur yang dimuat adalah teks saya cicak dan

teks sementara kalah melawan buaya. Sedangkan simbol adalah. seekor cicak dan

(21)

Dari latar belakang tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk meneliti

tentang Pemaknaan Karikatur ”Cicak Versus Buaya” Pada Harian Jawa Pos Edisi

17 September 2009

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas,

maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah “bagaimanakah

pemaknaan karikatur “Cicak Versus Buaya” pada harian Jawa Pos edisi 17

September 2009?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah

pemaknaan karikatur “Cicak Versus Buaya” pada harian Jawa Pos edisi 17

September 2009 ?

1.4. Manfaat Peneltian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan ciri ilmiah pada sebuah

penelitian dengan mengaplikasikan teori-teori, khususnya teori-teori

komunikasi tentang pemahaman pesan yang dikemas oleh media

melalui karikatur.

2. Manfaat Praktis

Kegunaan praktis yang akan diperoleh dari penelitian ini adalah agar

masyarakat lebih bersikap kritis dalam menyikapi berbagai kekerasan

yang dilakukan oleh aparat pemeritah terutama yang dilakukan oleh

(22)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

2.1.1. Surat Kabar Sebagai Media Komunikasi Massa

Kegiatan komunikasi adalah penciptaan interaksi perorangan

dengan mengunakan tanda-tanda yang tegas. Komunikasi juga berarti

pembagian unsur-unsur perilaku, atau cara hidup dengan eksistensi

seperangkat ketentuan dan pemakaian tanda-tanda. Dari segi komunikasi,

rekayasa unsur pesan sangat tergantung dari siapa khalayak sasaran yang

dituju, dan melalui media apa sajakah iklan tersebut sebaiknya

disampaikan. Karena itu, untuk membuat komunikasi menjadi efektif,

harus dipahami betul siapa khalayak sasarannya, secara kuantitatif maupun

kualitatif.

(http://www.desaingrafisindonesia.com/2007/10/15/semiotika-iklan-sosial/)

Komunikasi massa berfungsi menyiarkan infomasi, gagasan dan

sikap kepada komunikan yang beragam dalam jumlah yang banyak dengan

menggunakan media (Effendy, 2003:80).

Menurut Gerbner (1967) dalam Rakhmat (2002:188) Komunikasi

massa adalah produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi dan

lembaga dari arus pesan yang kontinyu serta paling luas dimiliki orang

dalam masyarakat industri.

(23)

Komunikasi massa (mass communication) adalah komunikasi yang

dilakukan melalui media massa modern meliputi surat kabar yang

mempunyai sirkulasi yang luas, siaran radio dan televisi yang ditujukan

kepada umum dan film yang dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop

(Effendy, 2003:79).

Banyak definisi tentang komunikasi massa yang telah dikemukakan

para ahli komunikasi. Banyak ragam dan titik tekan yang dikemukakannya.

Namun, dari sekian banyak definisi itu ada benang merah kesamaan

definisi satu sama lain. Pada dasarnya komunikasi massa adalah

komunikasi melalui media massa (mdia cetak dan elektronik). Sebab, awal

perkembangannya saja, komunikasi massa berasal dari pengembangan kata

media of mass communication (media komunikasi massa) yang dihasilkan

oleh teknologi modern. (Nurudin, 2007:4)

Secara teoritis, berbagai media massa memiliki fungsi sebagai

saluran informasi, saluran pendidikan, dan saluran hiburan, namun

kenyataannya media massa memberikan efek lain di luar fungsinya itu.

Efek media massa tidak hanya mempengaruhi sikap seseorang namun pula

dapat mempengaruhi perilaku, bahkan pada tataran yang lebih jauh efek

media massa dapat mempengaruhi sistem-sistem sosial maupun sistem

budaya masyarakat.

Hal tersebut dapat mempengaruhi seseorang dalam waktu pendek

(24)

11

efek dalam waktu yang lama, sehingga memberi dampak pada

perubahan-perubahan dalam waktu yang lama.

McQuail menjelaskan bahwa : “Efek media massa memiliki andil

dalam pembentukan sikap, perilaku, dan keadaan masyarakat. Antara lain

terjadinya penyebaran budaya global yang menyebabkan masyarakat

berubah dari tradisional ke modern. Selain itu, media massa juga mampu

mengubah masyarakat dari kota sampai ke desa, sehingga menjadi

masyarakat konsumerisme.” (Bungin, 2006 : 320).

Berkaitan dengan efek media massa maka salah satu media massa

yang juga dapat memberikan efek kepada khalayaknya adalah surat kabar.

Surat kabar merupakan kumpulan dari berita, artikel, cerita, iklan dan

sebagainya yang dicetak ke dalam lembaran kertas ukuran plano yang

diterbitkan secara teratur, bias terbit setiap hari atau seminggu satu kali

(Djuroto, 2002:11).

Surat kabar merupakan salah satu kajian dalam studi ilmu

komunikasi, khususnya pada studi komunikasi massa. Dalam buku

“Ensiklopedi Pers Indonesia” disebutkan bahwa pengertian surat kabar

sebagai sebutan bagi penerbit pers yang masuk dalam media massa cetak

yaitu berupa lembaran-lembaran berisi berita-berita, karangan-karangan

dan iklan yang diterbitkan secara berkala : bias harian, mingguan dan

bulanan, serta diedarkan secara umum (Junaedhi, 1991 : 257).

Surat kabar pada perkembangannya, menjelma sebagai salah satu

(25)

sebuah kontrol sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal

tersebut disebabkan karena falsafah pers yang selalu identik dengan

kehidupan sosial, budaya dan politik.

Menurut Sumadiria (2005 : 32-35) dalam Jurnalistik Indonesia

menunjukkan 5 fungsi dari pers yaitu :

1. Fungsi Informasi, sebagai sarana untuk menyampaikan informasi

secepat cepatnya kepada masyarakat yang seluas-luasnya yang aktual,

akurat, faktual dan bermanfaat.

2. Fungsi Edukasi, maksudnya disini informasi yang disebar luaskan pers

hendaknya dalam kerangka mendidik. Dalam istilah sekarang pers

harus mau dan mampu memerank an dirinya sebagai guru pers.

3. Fungsi Hiburan, pers harus mampu memerankan dirinya sebagai

wahana hiburan yang menyenangkan sekaligus menyehatkan bagi

semua lapisan masyarakat.

4. Fungsi Kontrol sosial atau koreksi, pers mengemban fungsi sebagai

pengawas pemerintah dan masyarakat. Pers akan senantiasa

menyalahkan ketika melihat penyimpangan dan ketidak adilan dalam

suatu masyarakat atau negara.

5. Fungsi mediasi, dengan fungsi mediasi, pers mampu menjadi fasilitator

atau mediator menghubungkan tempat yang satu dengan yang lain,

peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain, atau orang yang satu

(26)

13

2.1.2. Karikatur

2.1.2.1.Pengertian Karikatur

Karikatur adalah deformasi berlebihan atas wajah seseorang,

biasanya orang terkenal, dengan “mempercantiknya” dengan

penggambaran ciri khas lahiriahnya untuk tujuan mengejek. (Sudarta,

1987 dalam Sobur, 2006:138)

Dalam Encyclopedia of The Art dijelaskan, karikatur merupakan

representasi sikap atau karakter seseorang dengan cara melebih-lebihkan

sehingga melahirkan kelucuan. Karikatur juga sering dipakai sebagai

sarana kritik sosial dan politik. (Sumandiria, 2005:8)

Karikatur adalah bagian dari opini penerbit yang dituangkan dalam

bentuk gambar-gambar khusus. Semula, karikatur ini hanya merupakan

selingan atau ilustrasi belaka. Namun pada perkembangan selanjutnya,

karikatur dijadikan sarana untuk menyampaikan kritik yang sehat.

Dikatakan kritik sehat karena penyampaiannya dilakukan dengan

gambar-gambar lucu dan menarik. (Sobur, 2006:140)

2.1.2.2.Manfaat Karikatur

Karikatur yang sudah diberi beban pesan, dan sebagainya berarti

telah menajdi kartun opini (Prmaono, 1996:138). Dengan kata lain, kartun

(27)

suart kabar adalah political cartoon atau editorial cartoon. Inilah yang

biasa disebut sebagai karikatur. (Sobur, 2006:138)

Berdasarkan keterangan tersbeut menunjukkan bahwa karikatur

merupakan suatu wadah yang bermanfaat untuk menampung suatu bentuk

opini atau kritik sosial dari para seniman karikatur. Menurut Sumandiria

(2005:3), karikatur merupakan opini redaksi media dalam bentuk gambar

yang sarat dengan muatan kritik sosial dengan memasukkan unsur

kelucuan, ankedot atau humor agar siapapun yang melihatnya bisa

tersenyum, termasuk tokoh atau objek yang dikarikaturkan itu sendiri.

Sebagai kartun opini, setidaknya empat hal teknik yang harus

diingat. (Sobur, 2006:139). Pertama, harus inormatif dan komunikatif.

Kedua, cukup memuat dengan pengungkapan yang hangat. Ketiga, cukup

membuat kandangungan humor. Keempat, harus mempunyai gambar yang

baik. Bila kurang dari salah satu, ibarat mobil beroda empat, maka bobot

karikatur akan berkurang.

2.1.2.3.Fungsi Karikatur

Secara etimologis, karikatur berasal dari bahasa Italia, caricare,

artinya melebih-lebihkan. Kata caricare itu sendiri dipengaruhi kata

carattere, juga bahasa Italia, yang berarti karakter dan kata cara bahasa

Spanyol yang berarti wajah. Menurut Lukman (1989) dalam Sumadiria

(28)

15

Mossini, orang Perancis, dalam sebuah karyanya yang berjudul Diverse

Figure. Sedangkan orang yang pertama memperkenalkan kata caricature

adalah Lorenzo Bernini adalah seorang pemahat patung pada zaman

Renaissance. Dengan demikian, secara estimologis karikatur adalah

gambar wajah dan karakteristik seseorang yang diekspresikan secara

berlebih-lebihan.

Pramono berpendapat bahwa sebetulnya karikatur adalah bagian

dari kartun opini, tetapi kemudian menjadi salah kaprah. Karikatur yang

sudah diberi beban pesan, kritik, dan sebagainya berarti telah menjadi

kartun opini. Dengan kata lain, kartun yang membawa pesan kritik sosial,

yang muncul di setiap penerbitan surat kabar adlaah political cartoon atau

aditorial cartoon, yakni versi lain dari editorial, atau tajuk rencana dalam

versi gambar humor. Inilah yang disebut sebagai karikatur. (Sudarta, 1987

dalam Sobur, 2006:139)

Menggambar karikatur termasuk proses kreatif seorang ahli grafis

sekaligus seorang jurnalis. Sebagai ahli grafis, ia harus dapat menyajikan

gambar yang memenuhi kaidah komposisi gradasi, dan aksentuasi secara

tajam dan serasi. Sebagai jurnalis, ia pandai memilih topik yang sedang

aktual, menyangkut kepentingan masyarakat umum, dan mengemasnya

(29)

Secara teknis jurnalistik, karikatur diartikan sebagai opini redaksi

media dalam bentuk gambar yang sarat dengan muatan kritik sosial

dengan memasukkan unsur kelucuan, anekdot, atau humor agar siapa pun

yang melihatnya bisa tersenyum, termasuk tokoh atau objek yang

dikarikaturkan itu sendiri. (Sumandiria, 2005:9)

2.1.2.4.Karikatur Dalam Surat Kabar

Keberadaan karikatur dalam surat kabar bukan berarti hanya

melengkapi artikel atau tulisan-tulisan di surat kabar saja, tetapi juga

memberikan informasi kepada masyarakat. Banyak kejadian yang

dilaporkan dalam bentuk gambar (misalnya kartun) yang lebih efektif

daripada kalau diterangkan dengan kata-kata. Karena karikatur mempunyai

kekuatan dan karakter yang sehingga pembaca tertarik untuk sekedar

melihat atau bahkan berusaha memahami makna dan pesan yang

terkandung dalam gambar karikatur tersebut.

Karikatur sendiri merupakan produk keahlian seorang kartunis, baik

dari segi pengetahuan, intelektual, teknik melukis, psikologi, cara melobi,

referensi, bacaan, maupun bagaimana tangapan atau opini secara subyektif

terhadap suatu kejadian, tokoh, suatu soal, pemikiran atau pesan tertentu.

(30)

17

ini. Juga cara dia mengkritik yang secara langsung membuat orang yang

dikritik justru tersenyum (Sobur, 2003:140)

2.1.3. Semiotika

Kata “semiotika” berasal dari bahasa Yunani, semeion yang berarti

tanda, atau seme yang berarti penafsir tanda. Semiotika sendiri berakar

dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika dan poetika.

Semiotika adalah cabang sebuah ilmu pengetahuan yang mempelajari

tentang tanda. Tanda terdapat dimana-mana “kata” adalah tanda, demikian

pula gerak isyarat, lampu lalu lintas, bendera dan sebagainya. Semiotika

merupakan cabang ilmu yang semula berkembang dalm bidang bahasa.

Dalam perkembangannya kemudian semiotika bahkan masuk pada semua

segi kehidupan manusia. Sehingga Derrida (dalam Kurniawan, 2008 : 34),

mengikrarkan bahwa tidak ada sesuatupun di dunia ini sepenting bahasa,

“there is nothing outside language”. Bahasa dalam hal ini dibaca sebagai

“teks” atau “tanda”. Dalam konteks ini tanda memegang peranan penting

dalam kehidupan umat manusia sehingga : “manusia yang tak mampu

mengenal tanda, tak akan bertahan hidup” (Widagdo dalam Kruniawan,

2008).

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji

tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya

(31)

bersama-sama manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semilogi,

pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity)

memaknai hal-hal (things). Memakai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat

dicampuradukkan denagn mengkomunikasikan (to communicate).

Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi,

dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga

mengkonsitusi sistem terstruktur dari tanda (Kurniawan, 2001 dalam

Sobur, 2006:15)

2.1.4. Semiotik Charles Sanders Peirce

Model dasar semiotik dikembangkan oleh Charles Sanders Peirce

(1839-1914) dan Ferdinand de Saussure (1857-1913), yang pada

perkembangannya sangat mempengaruhi model-model berikutnya. Peirce

menekankan pada hubungan antara tanda, obyek dan peserta komunikasi.

Hubungan antara ketiga unsur tersebut adalah untuk mencapai suatu

makna, terutama antara tanda dan obyeknya. Karena itu hubungan antara

ketiganya disebut hubungan makna. Bila Peirce menekankan pada fungsi

logika tanda, maka Sausssure yang dianggap sebagai pendiri lingusitik

modern, lebih menekankan pada hubungan dari masing-masing tanda, dan

menurut Saussure tanda merupakan obyek fisik yang penuh dengan

berbagai makna. Saussure tidak terlalu memperhatikan realitas dari makna

(32)

19

Penelitian ini mengutamakan situasi dan kondisi yang bertema

”Keserakahan Koruptor” sebagai sesuatu yang berarti dalam proses

pembentukan pesan. Peristiwa tersebut dipaparkan dalam pembentukan

tanda –tanda (gambar, kata-kata, dan lainnya) dalam format sebuah kartun

editorial. Sehingga yang menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah

bagaimana suatu peristiwa dalam masyarakat dipandang, dituangkan dan

dinilai. Sebab itulah diperlukan adanya kartun editorial tersebut, dengan

siatuasi dan kondisi yang berkembang dalam masyarakat. Hal itulah yang

kemudian dijadikan alasan penggunaan model semiotik Peirce, karena

Peirce dalam hal ini lebih memperhatikan realita makna. Dengan demikian

penelitian ini termasuk pada bidang studi semiotik budaya tempat

kode-kode dan tanda-tanda digunakan.

Teori semiotik Peirce berpendapat bahwa tanda dibentuk melalui

hubungan segitiga yaitu tanda berhubungan dengan obyek yang

dirujuknya. Hubungan tersebut membuahkan interpretan. Preirce

menelaskan modelnya sebagai berikut:

(33)

Model semiotik Peirce dapat digambarkan dalam bentuk segitiga

seperti berikut:

Gambar 2.1. Model Semiotik Peirce

Sumber: Fiske (1990:42)

Sign

Interpretant Obyek

Garis-garis berpanah tersebut hanya bisa dimengerti dalam

hubungannya antara satu elemen dengan elemen lainnya. Tanda merujuk

pada sesuatu di luar tanda itu sendiri, yaitu obyek dipahami oleh

seseorang. Interpretan adalah tanda yang ada dalam benak seseorang

tentang obyek yang dirujuk sebuah tanda. Interpretan merupakan konsep

mental yang diproduksi oleh tanda dan pengalaman pengguna tanda

terhadap sebuah obyek. Apabila ketiga elemen makna itu berinteraksi

dalam benak seseorang maka muncul makna tentang sesuatu yang diwakili

oleh tanda tersebut. Diantara ketiganya, interpretanlah yang paling sulit

dipahami. Interpretan adalah tanda sebagaimana diserap oleh benak kita,

(34)

21

Berdasarkan obyeknya Peirce membagi tanda atas icon (ikon),

index (indeks), dan symbol (simbol). Ketiga kategoru tersebut dapat

digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.2. Model Kategori Tanda

Icon

Index Simbol

Sumber: Fiske (1990:47)

Model tersebut merupakan hal penting dan sangat fundamental dari

hakekat tanda. Peirce mengungkapkannya sebagai berikut:

1. Ikon

Adalah tanda yang berhubungan antara tanda dan acuannya bersifat

bersamaan bentuk alamiah (berupa hubungan kemiripan). Misalnya

adalah potret dan peta. Potret merupakan ikonik dari orang yang ada

dalam potret tersebut, sedangkan peta merupakan ikonik dari pulau

yang ada dalam peta tersebut.

2. Indeks

Adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara

(35)

atau atnda yang langusng mengacu pada kenyataannya. Misalnya

adalah asap sebagai tanda adanya api.

3. Simbol

Adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara tanda dan

acuannya (berdasarkan hubungan konvensi atau perjanjian). Misalnya

orang yang menggelengkan kepalanya merupakan simbol yang

menandakan ketidak setujuan yang termasuk secara konvensional.

(Sobur, 2003:41)

2.1.5. Komisi Pemberantasan Korupsi

Indonesia merupakan Negara dunia kegita, yang dalam artian

bahwa Indonesia tergolong dalam kelompok Negara berkembang. Dalam

proses perkembangan itu, Indonesia mencoba mensejajarkan diri dengan

Negara-negara Eropa yang sudah terlebih dahulu mencapai kemajuan.

Perkembangan dalam dunia politik juga tidak kalah cepatnya disbanding

dengan perkembangan sendi-sendi kehidupan lainnya seperti ekonomi dan

ilmu pengetahuan.

Sebagai Negara berkembangan, politik yang terjadi di Negara itu

sendiri yang dalam hal ini adalah Indonesia masih dalam tahap

pendewasaaan. Sehingga masih banyak terlihat kekurangan dalam dunia

perpolitikan di Indonesia. Demikian juga dengan sikap para elit politik

(36)

23

kita temui kecurangan dalam pelaksanaan politik di Indonesia. Baik dari

sikap para pejabat tinggi Negara maupun para elit politik tersebut.

Seakan-akan mereka haus Seakan-akan harta dan tahta. Bukan sekedar menjalanSeakan-akan tugas

dan kewajiban untuk mensejahterakan rakyat.

Melihat dari sikap para pejabat dan elit politik yang cenderung

korup itu, maka dibentuk suatu badan independen yang khusus menangani

masalah korupsi. Dalam hal ini badan tersebut memiliki kewenangan

penuh untuk melacak dan menangkap para pelaku korupsi yang telah

terbukti melakukannya. Yang dalam perekrutan anggotanya harus

benar-benar bersih dan memiliki profesional tinggi serta perspektif yang kuat

sehingga dapat melihat secara lebih tajam persoalan mendasar dari

masalah merajalelanya korupsi. Sudah seharusnya desain program dan

kebijakan pemberantasan korupsi harus bercermin pada tipologi korupsi

yang mendominasi. Bukan sekedar menjalankan tugas dan kewajiban

untuk memberantas korupsi sebagaimana mandate Undang-undang tapi

tanpa bekal yang cukup memadai.

Dalam pelaksanaannya KPK yang memiliki kewenangan penuh

untuk menangkap dan menyelidiki kasus tindak pidana korupsi. Tidak

dapat kita pungkiri dengan kewenangan itu pula, KPK menjadi mimpi

(37)

menangkap para pelaku korupsi yang telah di curigai kapanpun dan

dimana pun.

2.1.6. Polri

LAHIR, tumbuh dan berkembangnya Polri tidak lepas dari sejarah

perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia sejak Proklamasi.

Kemerdekaan Indonesia, Polri telah dihadapkan pada tugas-tugas yang

unik dan kompleks. Selain menata keamanan dan ketertiban masyarakat di

masa perang, Polri juga terlibat langsung dalam pertempuran melawan

penjajah dan berbagai opersai militer bersama-sama satuan angkatan

bersenjata yang lain. Kondisi seperti ini dilakukan oleh Polri karena Polri

lahir sebagai satu-satunya satuan bersenjata yang relatif lebih lengkap.

Pertempuran 10 Nopember 1945.di Surabaya menjadi sangat

penting dalam sejarah Indonesia, bukan hanya karena ribuan rakyat

Indonesia gugur, tetapi lebih dari itu karena semangat heroiknya mampu

menggetarkan dunia dan PBB akan eksistensi bangsa dan negara Indonesia

di mata dunia. Andil pasukan Polisi dalam mengobarkan semangat

perlawanan rakyat ketika itupun sangat besar. Alam menciptakan

keamanan dan ketertiban didalam negeri, Polri juga sudan banyak

disibukkan oleh berbagai operasi militer, penumpasan pemberontakan dari

DI & TII, PRRI, PKI RMS RAM dan G 30 S/PKI serta berbagai

(38)

25

Dalam perkembangan paling akhir dalam kepolisian yang semakin

modern dan global, Polri bukan hanya mengurusi keamanan dan ketertiban

di dalam negeri, akan tetapi juga terlibat dalam masalah-masalah

keamanan dan ketertiban regional maupun internasional, sebagaimana

yang di tempuh oleh kebijakan PBB yang telah meminta pasukan-pasukan

polisi, termasuk Indonesia, untuk ikut aktif dalam berbagai operasi

kepolisian, misalnya di Namibia (Afrika Selatan) dan di Kamboja (Asia).

2.1.7. Kasus KPK Versus Polri

Polri dan KPK, yang menjadi isu hangat di masyarakat sebagai

drama 'Cicak vs Buaya' jadi perhatian saat ini. kemunculan Cicak menjadi

perhatian unik tatkala Cicak dikatakan akan melawan Buaya. Yang pasti,

bukanlah cicak dan buaya yang sesungguhnya. Cicak merupakan gerakan

Cinta Indonesia Cinta KPK yang muncul sebagai respons pernyataan

Kabareskrim Mabes Polri Komjen Polisi Susno Duadji dalam wawancara

majalah Tempo Edisi 6-12 Juli 2009 yang mengatakan KPK sebagai

Cicak, sementara Kepolisian adalah Buaya. Kedua lembaga penegak

hukum itu saling membongkar keterlibatan oknum pejabat mereka dalam

kasus-kasus penyalahgunaan kewenangan dan jabatan.

Kepolisian memeriksa tiga orang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Termasuk diantaranya Kepala Biro Hukum Komisi Pemberantasan

(39)

penyalahgunaan wewenang yang dilakukan Wakil Ketua Bidang

Penindakan, Chandra M Hamzah. Pemanggilan tersebut oleh penyidik

guna meminta keterangan terkait penyalahgunaan wewenang yang diduga

dilakukan pimpinan KPK tersebut.

(http://www.tribun-timur.com/read/artikel/51474)

Pihak Polri telah memanggil empat pimpinan KPK untuk diperiksa

sebagai saksi dalam kasus testimoni yang disampaikan Antasari Azhar.

Para pimpinan KPK itu diperiksa sebagai saksi atas kasus pelanggaran

pasal 23 UU No 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana

korupsi yakni dugaan penyalahgunaan wewenang. Sementara KPK juga

memeriksa Kabareskrim Komjen Pol Susno Duaji terkait kasus Bank

Century. Sebelumnya diberitakan bahwa kepolisian telah menangani

dugaan penggelapan, sehingga bank tersebut berada dalam masalah modal.

(http://www.tribun-timur.com/read/artikel/51474)

Ditetapkannya status tersangka terhadap dua pemimpin Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan tindakan salah alamat. Dalam

kasus ini pendekatan pidana dinilai tidak tepat. Jika kasus ini diproses

secara pidana, maka akan menimbulkan kekacauan hukum karena di

antara para penegak hukum satu sama lain saling memproses

kewenangan-kewenangan tiap lembaga penegak hukum. Karena di antara penyidik

saling proses kewenangan, ini bisa menjadi dasar penyidik lain untuk

(40)

27

forum pra-peradilan jika dianggap tidak sesuai prosedur, rehabilitasi, atau

kompensasi. (http://www.tribun-timur.com/read/artikel/51474).

2.2. Kerangka Berpikir

Perseteruan antara Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

makin memanas. Kedua lembaga hukum itu mulai menunjukkan “perang

terbuka”. Berdasarkan landasan teori yang telah disampaikan, penelitian ini

berusaha mengungkap makna yang terkandung pada karikatur harian Jawa

Pos edisi 17 September 2009, maka peneliti melakukan pemaknaan terhadap

tanda lambang dengan menggunakan metode semiotik Peirce, sehingga

akhirnya diperoleh hasil dan interprestasi data mengenai Penelitian ini

mengutamakan situasi dan kondisi yang bertema Realitas Dalam Karikatur

”Cicak Versus Buaya” sebagai sesuatu yang berarti dalam proses

pembentukan pesan. Peristiwa tersebut dipaparkan dalam pembentukan tanda

–tanda (gambar, kata-kata, dan lainnya) dalam format sebuah karikatur.

Sehingga yang menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah bagaimana

suatu peristiwa dalam pemerintahan yang dipandang, dituangkan dan dinilai

oleh masyarakat.

Pada penelitian ini menggunakan analisis kualitatif dengan

pendekatan semiotika. Adapun hasil kerangka berfikir diatas dapat

(41)

Karikatur

”Cicak Vs Buaya” pada Surat Kabar Jawa Pos Edisi 17 September 2009

Analisis kualitatif dengan pendekatan semiotika Peirce:

 Ikon, terdiri dari cicak dan buaya

 Indeks, terdiri dari teks cicak, buaya, saya cicak, dan sementara kalah lawan buaya.  Simbol, terdiri dari lingkaran

yang melingkari cicak dan buya, serta ekor buaya yang menjerat leher cicak

Hasil interpretan peneliti

Gambar 2.3.

(42)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan

menggunakan analisis semiotik Pierce, untuk memaknai suatu karikatur pada

media cetak yaitu surat kabar, yang akan dijadikan sebagai objek penelitian ini

adalah keserakahan koruptor yang terdapat pada Jawa Pos Edisi 17 September

2009.

Oleh karena itu peneliti yang melakukan studi analisis isi kualitatif harus

memperhatikan beberapa hal: pertama adalah konteks atau situasi social diseputar

dokumen atau teks yang diteliti. Disini, peneliti diharapkan dapat memahami the

nature atau kealamiahan dan culture meaning atau makna cultural dari artifact

atau teks yang diteliti. Kedua adalah proses atau bagaimana suatu produksi media

atau isi pesannya dikreasi secara actual dan diorganisasikan secara bersama.

Ketiga adalah emergence, yakni pembentukan secara gradual/bertahap dari makna

sebuah pesan melalui pemahaman dan interpretasi. Penelitian ini menggunakan

model semiotik Pierce, karena Pierce dalam hal ini lebih memperhatikan realita

makna. Dengan demikian penelitian ini temrasuk pada bidang studi semiotik

budaya tempat kode-kode dan tanda-tanda digunakan.

(43)

3.2. Kerangka Konseptual

3.2.1. Corpus

Didalam penelitian kualitatif diperlukan adanya suatu pembahasan

masalah yang disebut corpus. Corpus adalah sekumpulan bahan terbatas yang

ditentukan pada perkembangannya oleh analisa dengan semacam kesemenaan,

bersifat sehomogen mungkin (Kurniawan.2001:7).

Corpus adalah kata lain dari sampel, bertujuan tetapi khusus digunakan

untuk analisis semiologi dan analisis wacana. Pada penelitian kualitatif ini

memberikan peluang yang besar bagi dibuatnya interpretasi alternatif. Corpus dari

penelitian ini adalah karikatur “Cicak Vs Buaya” di Surat Kabar Jawa Pos Edisi

17 September 2009. penelitian ini meneliti tentang karikatur Cicak vs Buaya

berikut ini deskripsi tentang hewan Cicak dan buaya. Cicak termasuk hewan

melata. Dengan alur yang dimiliki, memungkinkan cicak dapat menempelkan

kakinya di dinding dan berjalan tanpa terpeleset. Ciri lain dari cicak adalah

kemampuan memutuskan ekornya. Hal ini dilakukan cicak untuk melindungi diri

dari musuhnya. Cicak akan memutuskan ekor, kemudian ekor tersebut akan

bergerak-gerak untuk mengalihkan perhatian musuh. Sementara itu, cicak dengan

ekor yang putus akan leluasa untuk meloloskan diri. Untuk memperoleh makanan,

cicak mempunyai ciri khusus berupa lidah yang panjang dan lengket. Bentuk lidah

(44)

31

Buaya adalah sejenis hewan adalah reptil bertubuh besar yang hidup di air.

Secara ilmiah, buaya meliputi seluruh spesies anggota suku Crocodylidae,

termasuk pula buaya ikan (Tomistoma schlegelii).

Buaya umumnya menghuni habitat perairan tawar seperti sungai, danau,

rawa dan lahan basah lainnya, namun ada pula yang hidup di air payau seperti

buaya muara. Makanan utama buaya adalah hewan-hewan bertulang belakang

seperti bangsa ikan, reptil dan mamalia, terkadang juga memangsa moluska dan

krustasea bergantung pada spesiesnya. Buaya merupakan hewan purba, yang

hanya sedikit berubah karena evolusi semenjak zaman dinosaurus (Kamus

Wikipedia)

3.2.2. Unit Analisis

Unit analisis data dalam penelitian ini adalah tanda yang ada dalam

karikatur yang berupa gambar dan tulisan yang terdapat dalam karikatur yang

dimuat di Surat Kabar Jawa Pos, kemudian diinterpretsikan dengan menggunakan

ikon (icon), indeks (index), dan symbol (symbol).

3.2.2.1. Ikon

Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat

bersamaan bentuk alamiah. Atau dengan kata lain, ikon adalah hubungan antara

tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan. Ikon dalam karikatur yang

(45)

3.2.2.2. Indeks

Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara

tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda

yang langsung mengacu pada kenyataan. Indeks dapat disebut juga sebagai tanda

yang hadir secara asosiatif akibat terdapatnya hubungan ciri acuan yang sifatnya

tetap. Kata – kata yang memiliki hubungan indeksikal masing –masing memiliki

ciri utama secara individual. Ciri tersebut antara yang satu dengan yang lain

berbeda dan tidak dapat saling menggantikan. (Sobur 2006:159). Indeks dalam

karikatur yang dimuat di surat kabar Jawa Pos adalah teks cicak, buaya, saya

cicak, dan sementara kalah lawan buaya. Dalam karikatur ini indeksnya adalah

cicak adalah hewan melata yang masih satu ras dengan buaya hanya cicak bukan

hewan buas cicak dan buaya sama – sama mempunyai ciri-ciri yaitu sam-sama

hewan melata.

3.2.2.3. Simbol

Simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda

keserakahan dengan petandanya. Hubungan diantaranya bersifat abitrer atau

semena, hubungan berdasarkan konvensi (perjanjian) masyarakat. Simbol dalam

karikatur yang dimuat di surat kabar Jawa Pos ini adalah lingkaran yang

melingkari cicak dan buya, serta ekor buaya yang menjerat leher cicak.

3.3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik

(46)

33

langsung serta melakukan studi pustaka untuk melengkapi data-data dan

bahan-bahan yang dapat dijadikan sebagai referensi.

3.4. Teknis Analisis Data

Analisis Semiotika pada corpus penelitian pada karikatur ”Cicak Vs

Buaya” setelah melalui tahapan pengkodean maka selanjutnya peneliti akan

menginterpretasikan tanda-tanda tersebut untuk ditahui pemaknaannya.

Terkait dalam penelitian ini, untuk mengetahui isi pesan dalam karikatur

surat pembaca, peneliti mengamati signs atau system tanda yang tampak dalam

Iklan, kemudian memaknai dan menginterpretasikannya dengan menggunakan

metode semiotik Pierce, yang terdiri dari :

1. Obyek

Adalah gambar atau karikatur itu sendiri. Obyek dalam penelitian ini adalah

karikatur “Cicak Vs Buaya” di Surat Kabar Jawa Pos Edisi 17 September

2009.

2. Sign

Adalah segala sesuatu yang ada dalam gambar karikatur tersebut. Sign dalam

penelitian ini adalah teks cicak, buaya, saya cicak, teks sementara kalah lawan

buaya, lingkaran yang melingkari cicak dan buya, serta ekor buaya yang

menjerat leher cicak.

3. Interpretant

Adalah tanda yang ada dalam benak seseorang tentang obyek yang dirujuk

sebuah tanda. Interpretant dalam penelitian ini adalah hasil interpretasi dari

(47)

Berdasarkan obyeknya Peirce membagi tanda atas icon (ikon), index

(indeks), dan symbol (simbol). Ketiga kategori tersebut dapat digambarkan

sebagai berikut:

1. Ikon (Icon)

Adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat

bersamaan bentuk alamiah. Atau dengan kata lain, ikon adalah hubungan

antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan. Ikon dalam

karikatur yang dimuat di Surat Kabar Jawa Pos adalah cicak dan buaya.

2. Indeks (Index)

Adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan

petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang

langsung mengacu pada kenyataan. Indeks dalam karikatur yang dimuat di

surat kabar Jawa Pos adalah teks cicak, buaya, saya cicak, dan sementara

kalah lawan buaya.

3. Simbol (Symbol)

Adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dengan

petandanya. Hubungan diantaranya bersifat abitrer atau semena, hubungan

berdasarkan konvensi (perjanjian) masyarakat. Simbol dalam karikatur yang

dimuat di surat kabar Jawa Pos ini adalah lingkaran yang melingkari cicak dan

(48)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Obyek Penelitian

4.1.1. Gambaran Umum Harian Jawa Pos

Jawa Pos merupakan surat kabar harian yang berpusat di

Surabaya dan terbesar di Jawa Timur. Surat kabar tersebut termasuk salah

satu harian dengan oplah terbesar di Indonesia. Sirkulasinya menyebar di

seluruh Jawa Timur, Bali, dan sebagian Jawa Tengah dan DI Yogyakarta.

Ia mengklaim sebagai "Harian Nasional yang Terbit dari Surabaya".

Terkait sejarah, Jawa Pos didirikan oleh The Chung Shen pada 1

Juli 1949 dengan nama Djawa Post. Saat itu, The Chung Shen hanyalah

seorang pegawai bagian iklan sebuah bioskop di Surabaya. Karena setiap

hari ia harus memasang iklan bioskop di surat kabar, lama-lama ia tertarik

untuk membuat surat kabar sendiri. Begitu sukses, The Chung Shen

mendirikan pula koran berbahasa Mandarin dan Belanda. Meski

kemudian, bisnis The Chung Shen di bidang surat kabar tidak selamanya

mulus. Pada akhir tahun 1970-an, omzet Jawa Pos mengalami

kemerosotan yang tajam. Tahun 1982, oplahnya hanya tinggal 6.800

eksemplar saja. Koran-korannya yang lain sudah lebih dulu pensiun.

Ketika usianya menginjak 80 tahun, The Chung Shen akhirnya

memutuskan untuk menjual Jawa Pos. Dia merasa tidak mampu lagi

(49)

mengurus perusahaannya, sementara tiga orang anaknya lebih memilih

tinggal di London, Inggris.

Pada tahun 1982, Eric FH Samola, waktu itu adalah Direktur

Utama PT Grafiti Pers (penerbit majalah Tempo) mengambil alih Jawa

Pos. Dengan manajemen baru, Eric mengangkat Dahlan Iskan, yang

sebelumnya adalah Kepala Biro Tempo di Surabaya untuk memimpin

Koran ini. Eric Samola kemudian meninggal dunia pada tahun 2000.

Dahlan Iskan adalah sosok yang menjadikan Koran yang waktu itu hampir

mati dengan oplah 6.000 eksemplar, dalam waktu 5 tahun menjadi surat

kabar dengan oplah 300.000 eksemplar. Lima tahun kemudian

terbentuklah Jawa Pos News Network (JPNN), salah satu jaringan surat

kabar terbesar di Indonesia, dimana memiliki lebih dari 80 surat kabar,

tabloid, dan majalah, serta 40 jaringan percetakan di Indonesia.

Pada tahun 1997, Jawa Pos pindah ke gedung yang baru berlantai

21, Graha Pena, salah satu gedung pencakar langit di Surabaya. Tahun

2002 dibangun Graha Pena di Jakarta. Dan, saat ini bermunculan

gedung-gedung Graha Pena di hampir semua wilayah di Indonesia. Tahun 2002,

Jawa Pos Group membangun pabrik kertas koran yang kedua dengan

kapasitas dua kali lebih besar dari pabrik yang pertama. Kini pabrik itu, PT

Adiprima Sura Perinta, mampu memproduksi kertas koran 450 ton/hari.

Lokasi pabrik ini di Kabupaten Gresik.

Setelah sukses mengembangkan media cetak di seluruh

(50)

37

lokal JTV di Surabaya, yang kemudian diikuti Batam TV di Batam, Riau

TV di Pekanbaru, FMTV di Makassar, PTV di Palembang, Padjadjaran

TV di Bandung. Memasuki tahun 2003, Jawa Pos Group merambah bisnis

baru : Independent Power Plant. Proyek pertama adalah 1 x 25 MW di

Kab. Gresik, yakni dekat pabrik kertas. Proyek yang kedua 2 x 25 MW,

didirikan di Kaltim, bekerjasama dengan perusahaan daerah setempat.

Hingga pada tahun 2008, mereka menambah stasiun televisi baru, yaitu

Mahkamah Konstitusi Televisi (MKtv) yang berkantor di Gedung

Mahkamah Konstitusi Jakarta.

4.2. Penyajian Data

Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan terhadap gambar

karikatur ”Cicak Vs Buaya” Pada Harian Jawa Pos Edisi 17 September

2009 disajikan hasil pengamatan terhadap gambar karikatur tersebut.

Dalam tampilan gambar karikatur tersebut terdapat pesan verbal. Pesan

verbalnya adalah adanya seekor cicak berwarna abu-abu yang sedang di

lilit oleh ekor dari buaya berwarna hitam dimana seolah-olah cicak yang

sudah tidak berdaya tersebut hendak di terkam. Aktivitas dari cicak dan

buaya tersebut terjadi di dalam sebuah lingkaran yang tampak bagai

sebuah arena untuk melakukan pergulatan.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti pada

(51)

September 2009, akan disajikan hasil pengamatan dari gambar karikatur

”Cicak Vs Buaya” Pada Harian Jawa Pos Edisi 17 September 2009.

Interpretasi yang dilakukan terhadap gambar karikatur ”Cicak Vs

Buaya” Pada Harian Jawa Pos Edisi 17 September 2009 akan

menampakkan makna yang tersirat di dalamnya. Gambar ini merupakan

suatu bentuk sistem tanda yang merujuk pada sesuatu diluar tanda itu

sendiri.

Pada pendekatan semiotik Charles Sanders Peirce terdapat tiga

unsur yaitu ikon, indeks dan simbol, oleh karena itu peneliti akan

menginterpretasikan makna pesan berdasarkan unsur – unsur tersebut.

Dalam gambar karikatur ”Cicak Vs Buaya”, yang menjadi Ikonnya adalah

cicak dan buaya. Indeks dari gambar karikatur ”Cicak Vs Buaya” adalah

teks cicak,buaya dan saya cicak sementara kalah melawan buaya. dan

Simbol dari gambar karikatur ”Cicak Vs Buaya” ini yaitu lingkaran, ekor

buaya yang melilit tubuh cicak dan warna tubuh dari cicak dan buaya.

Pemaknaan gambar yang dilakukan terhadap gambar karikatur

“Cicak Vs Buaya” pada koran Jawa Pos terlihat makna yang tersirat di

dalam gambar karikatur tersebut. Gambar karikatur “Cicak Vs Buaya”

merupakan suatu bentuk sistem yang merujuk pada sesuatu di luar tanda

itu sendiri dimana hal tersebut tersirat di dalam gambar karikatur “Cicak

(52)

39

Vs Buaya” dalam koran Jawa Pos tersebut digunakan oleh peneliti untuk

menginterpretasikan sistem tanda dalam penelitian ini.

4.3. Analisis Data

4.3.1. Klasifikasi Tanda dalam Semiotika Pierce

Semiotika adalah cabang ilmu yang semula berkembang dalam

bidang bahasa.Dalam perkembangannya kemudian semiotika bahkan

merasuk pada semua segikehidupan umat manusia. Charles Sanders Peirce

yang merupakan ahli filsafat dan tokoh terkemuka dalam semiotika

modern Amerika menegaskan bahwa manusia hanya dapat berfikir dengan

sarana tanda, manusia hanya dapat berkomunikasi dengan sarana tanda.

Tanda yang dimaksud dapat berupa tanda visual yang bersifat non-verbal,

maupun yang bersifat verbal.

Semiotika adalah ilmu tanda, istilah ini berasal dari kata Yunani

semeion yang berarti “tanda”. Tanda terdapat dimana-mana : ‘kata’ adalah

tanda, demikian pula gerak isyarat, lampu lalu lintas, bendera dan

sebagainya. Struktur karya sastra, struktur film, bangunan (arsitektur) atau

nyanyian burung dapat dianggap sebagai tanda. Segala sesuatu dapat

menjadi tanda. Dalam kehidupan sehari-hari kita tanpa sadar telah

mempraktekkan semiotika atau semiologi dalam komunikasi. Misalkan

saja ketika kita melihat lampu lalu lintas yang menunjukkan warna merah

maka otomatis kita menghentikan kendaraan kita, dan kita memaknai

(53)

dicoret maka kita tahu bahwa kita tidak boleh memarkirkan kendaraan di

lokasi tersebut. Ketika kita memaknai tanda P dicoret itu, kita telah

berkomunikasi, kita telah melakukan proses pemaknaan terhadap tanda

(sign) tersebut.

Charles Sanders Pierce sebagai tokoh terkemuka dalam dunia

semiotika dengan teori tandanya membagi tanda menjadi sepuluh jenis,

selengkapnya sebagai berikut :

1. Qualisign, yakni kualitas kedalaman makna yang dimiliki tanda.

Sebagai contoh kata keras dapat menunjukkan kualitas tanda. Gambar

karikatur cicak vs buaya dalam surat kabar Jawa Pos edisi 17

September 2009 yaitu ”saya cicak sementara kalah lawan buaya”.

2. Iconic Sinsign, yakni tanda yang memperlihatkan kemiripan. Gambar

karikatur cicak vs buaya dalam surat kabar Jawa Pos edisi 17

September 2009 yaitu gambar ”cicak dan buaya”. Adanya

macam-macam iconic sinsign yang terdapat pada gambar karikatur tersebut

memiliki kemiripan dengan seekor cicak yang diibaratkan sebagai

KPK dan seekor buaya yang diibaratkan sebagai Polri.

3. Rhematic Indexical Sinsign, yakni tanda berdasarkan pengalaman

langsung, yang secara langsung menarik perhatian karena

kehadirannya disebabkan sesuatu. Misalnya : gambar seekor cicak

(54)

41

sebagai lambang untuk mereplikasikan lembaga elit bernama KPK dan

gambar seekor buaya yang merupakan reptilia berukuran besar dan

buas digunakan sebagai lambang untuk mereplikasikan lembaga

kepolisian di negara Indonesia.

4. Discent Sinsign, yakni tanda yang memberikan informasi tentang

sesuatu. Misalnya : ”adanya pengakuan dari seekor cicak yang dalam

hal ini adalah KPK yang menyatakan bahwa dirinya hanya sementara

KALAH melawan buaya (POLRI).

5. Iconic Legisign, yakni tanda yang menginformasikan norma atau

hukum. Misalnya : lembaga KPK yang ketika menghadapi perseteruan

dengan POLRI.

6. Rhematic Indexica Legisign, yakni tanda yang mangacu kepada obyek

tertentu. Misalnya : cicak dan buaya.

7. Dicent Indexica Legisign, tanda yang bermakna informasi dan

menunjuk subjek informasi. Misalnya teks ”KPK pada tubuh hewan

cicak dan POLRI pada tubuh hewan buaya”.

8. Rhematic Symbol atau Symbolic Rheme, yakni tanda yang dihubungkan

dengan obyeknya melalui asosiasi ide umum yaitu semua gambar yang

terdapat pada gambar karikatur cicak vs buaya dalam surat kabar

(55)

9. Dicent Symbol atau Proposion (proporsi) adalah tanda yang langsung

menghubungkan dengan obyek melalui asosiasi dalam otak. Pada

kariaktur tersebut di tunjukkan oleh gambar cicak dan buaya dimana

pada masing-masing tubuh dari hewan tersebut terdapat teks (KPK

pada cicak dan POLRI pada Buaya).

10.Argument, yakni tanda yang merupakan inferens seseorang terhadap

sesuatu berdasarkan alasan tertentu. Misalnya : pengakuan cicak yang

menyatakan sementara kalah dari buaya (pengakuan KPK yang

sementara kalah dari POLRI.

4.3.2. Gambar karikatur ”Cicak Vs Buaya” Pada Harian Jawa Pos Edisi 17

September 2009 dalam Model Pierce

Menurut Pierce, sebuah tanda itu adalah segala sesuatu yang ada

pada seseorang untuk menyatakan sesuatu yang lain dalam beberapa hal

atau kapasitas. Suatu tanda, atau representamen, adalah sesuatu yang bagi

seseorang mewakili sesuatu (yang lain) dalam kaitan atau kapasitas

tertentu. Tanda mengarah kepada seseorang, yakni menciptakan dalam

pikiran orang itu suatu tanda lain yang setara, atau bisa juga suatu tanda

yang lebih terkembang. Tanda yang tercipta itu saya sebut interpretan dari

tanda yang pertama. Suatu tanda (yang pertama) mewakili sesuatu, yaitu

objek-nya. Tanda mewakili objeknya tidak dalam sembarang kaitan, tetapi

(56)

43

Agar mempermudah pemahaman mengenai konsep tanda yang

dikemukakan oleh Pierce tersebut maka di bentuklah konsep segitiga tanda

sebagaimana tertera pada gambar di bawah ini :

Gambar 4.1.

Konsep Segitiga Tanda Pierce

Apabila gambar tersebut lebih dicermati pada dasarnya terdapat

tiga komponen dalam definisi tanda Peirce, yaitu representamen (sign),

interpretan, dan objek. Karena itu, definisi tanda Peirce disebut triadik

(bersisi tiga). Sesuatu dapat disebut representamen jika memenuhi dua

syarat yakni bisa dipersepsikan baik dengan pancaindera maupun dengan

pikiran/ perasaan dan dapat berfungsi sebagai tanda.

Untuk menguaraikan makna dari gambar karikatur “Cicak Vs

Buaya” Pada Harian Jawa Pos Edisi 17 September 2009 ini akan menjadi

korpus penelitian terlebih dahulu akan dibagi menjadi unsur–unsur

(57)

1. Tanda (Sign), dalam gambar karikatur ini adalah setiap bentuk

pemaknaan yang dapat ditimbulkan oleh gambar karikatur tersebut

baik itu makna yang bersifat konotatif maupun yang bersifat denotatif.

2. Obyek (Object), dalam penelitian ini adalah keseluruhan badan gambar

karikatur, mulai dari jenis gambar karikatur, bentuk gambar dan bentuk

dari penyajian gambar karikatur tersebut.

3. Interpretan (Interpretant), sebagai interpretan peneliti akan

menganalisa gambar karikatur yang akan dijadikan corpus, yaitu

gambar karikatur “Cicak Vs Buaya” secara keseluruhan dengan

menggunakan hubungan antara tanda dengan acuan tanda dalam model

kategori tanda yang dimiliki pierce, yaitu : ikon, indeks dan simbol

sehingga akan diperoleh makna dalam gambar karikatur tersebut.

Apabila digambarkan hubungan antara tanda, obyek dan interpretan

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Gambar 4.2.

Gambar Karikatur “Cicak vs Buaya” dalam Elemen Makna Pierce

Obyek

Karikatur Cicak vs Buaya

Interpretasi Tanda

Hasil interpretasi peneliti dalam melihat hubungan antara tanda dan petanda

(58)

45

Gambar karikatur ”Cicak Vs Buaya” Pada Harian Jawa Pos Edisi

17 September 2009 merupakan obyek dalam penelitian ini dan

keseluruhan dari tampilan karikatur yang berupa gambar, teks dan warna

yang menjadi latar belakang maupun visual dari gambar karikatur tersebut

merupakan tanda – tanda yang terkandung dalam suatu gambar. Gambar

karikatur ”Cicak Vs Buaya” karikatur ini akan direpresentasikan dengan

menggunakan model Semiotik Pierce. Dalam semiotik Pierce sebuah

acuan dan representasi adalah fungsi utamanya.

4.3.3. Ikon, Indeks dan Symbol (Tipologi Tanda)

Tanda mengacu pada sesuatu diluar dirnya sendiri dan ini dipahami

oleh seseorang serta memiliki efek di benak penggunanya. Setiap orang

mesti menyadari bahwa interpretant bukanlah pengguna tanda, namun

Pierce menyebutnya dimana-mana efek pertandaan yang tepat, yaitu

konsep mental yang dihasilkan baik oleh tanda maupun pengalaman

pengguna terhadap objek.

Untuk menjabarkan konsep relasi makna (tanda,interpetant,objeka)

C.S Pierce memiliki cara guna memudahkan megoperasionalkan konsep

makna tersebut, pierce memberikan pembagian tanda dalam tiga bagian

yaitu ikon,indeks dan simbol yang disebut tipologi tanda. Ikon, adalah

tanda yang dicirikan oleh persamaannya (resembles) dengan objek yang

digambarkan. Tanda visual seperti fotografi adalah ikon, karena tanda

Gambar

Gambar 2.1. Model Semiotik Peirce
Gambar 2.2. Model Kategori Tanda
Gambar 2.3. Kerangka Berfikir Penelitian
Gambar 4.1. Konsep Segitiga Tanda Pierce
+3

Referensi

Dokumen terkait

kuat. Walaupun terkesan telah terintegrasi, yang sebenarnya terjadi adalah negara maju ,,memanfaatkan" negara lemah dalam berbagai hal seperti akses pasar yang luas,

Dalam penelitian Laporan Praktik Kerja Lapangan ini, penulis menggunakan data yang tepat dan akurat sebagai sumber informasi untuk mendukung penyajian laporan ini. Sumber

Penegasan di atas menunjukan bahwa desentralisasi fiskal merupakan instrumen yang paling penting untuk mencapai keberhasilan melaksanakan otonomi daerah, sebab

Hasil penelitian ini dapat diigunakan sebagai sumber acuan atau sumber kepustakaan berkenan dengan proses pembelajaran menulis teks deskripsi dan berpikir kreatif, khususya

STUDENTS’ PERCEPTION ON PROPROFS ONLINE COMPUTER ASSESSMENT SOFTWAREAS AN ASSESSMENT TOOL AT.. DEPARTEMENT, UIN SUNAN

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efektifitas pemberian gel ekstrak daun pepaya (Carica papaya) pada konsentrasi 75% terhadap peningkatan jumlah fibroblas

Tujuan dari Tugas Akhir ini adalah merealisasikan lift miniatur , membuat program PLC untuk mengontrol lift miniatur, dan dapat memonitor posisi dan

Penelitian ekperimental laboratorik sungguhan terhadap 30 ekor tikus Wistar jantan yang diinduksi pakan tinggi kolesterol kemudian dikelompokkan menjadi 5 kelompok (n=6): Kelompok