SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Per syaratan Memperoleh Gelar Sar jana Ilmu Administrasi Negara Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Univer sitas Pembangunan Nasional “Veteran” J awa Timur
Oleh :
MEIDINAR RAGIL PAWENING NPM : 0941010033
YAYASAN KESEJ AHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ”VETERAN” J AWA TIMUR
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI ILMUADMINISTRASI NEGARA
SURABAYA
(Studi pada Unit Pelaksana Teknis Rehabilitasi Sosial Cacat Tubuh di Pasuruan Dinas Sosial Pemerintah Provinsi Jawa Timur)
Disusun Oleh :
Meidinar Ragil Pawening
NPM. 0941010033
Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi
Menyetujui, Pembimbing
Dra. Sr i Wibawani, Msi NIP. 196704061994032001
Mengetahui, DEKAN
Disusun Oleh :
Meidinar Ragil Pawening
NPM. 0941010033
Telah Dipertahankan Dihadapan Dan Diterima Oleh Tim Penguji Skripsi
J ur usan Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Univer sitas Pembangunan Nasional ” Veteran” J awa Timur
Pada Tanggal : 18 J uni 2013
Pembimbing
Dra. Sri Wibawani, Msi NIP. 196704061994032001
2.
Dra. Sri Wibawani, Msi NIP. 196704061994032001
3.
Tukiman, S.Sos, M.Si NIP. 196103231989031001
Tim Penguji : 1.
Dr. Lukman Arif, M.Si NIP. 196411021994031001
Mengetahui,
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Univer sitas Pembangunan Nasional
Nama Mahasiswa : Meidinar Ragil Pawening
NPM : 0941010033
J ur usan : Ilmu Administrasi Negara
Fakultas : Ilmu Sosial Ilmu Politik
Menyatakan bahwa proposal ini telah dir evisi dan disahkan
Pada Tanggal 25 J uni 2013
Mengetahui / Menyetujui :
Dosen Penguji II
Dra. Sr i Wibawani, Msi NIP. 196704061994032001 Dosen Penguji I
Dr. Lukman Arif, M.Si NIP. 196411021994031001
Dosen Penguji III
rahmat, berkat, dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
dengan judul ”Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat
Melalui Rehabilitasi Sosial” (Studi Pada Unit Pelaksana Teknis Rehabilitasi
Sosial Cacat Tubuh Di Pasuruan Dinas Sosial Pemerintah Pr ovinsi J awa
Timur).
Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan kurikulum
Program Studi Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Dra. Sri
Wibawani, M.Si sebagai dosen pembimbing. Tidak lupa juga penulis
mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam
pelaksanaan penyusunan skripsi ini diantaranya :
1. Ibu Dra. Ec. Hj. Suparwati, M.Si, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
2. DR. Lukman Arif, M.Si, Kepala Program Studi Ilmu Administrasi Negara,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Jawa Timur.
3. UPT Rehabilitasi Sosial Cacat Tubuh Bangil Pasuruan.
4. Orang tua saya yang memberikan doa dan kasih sayang selalu.
khususnya bagi penulis dan bagi fakultas pada umumnya serta para pembaca.
Surabaya, Juni 2013
Lembar Persetujuan ... ii
1. Pembangunan Masyarakat ... 16
a. Pengertian Pembangunan ... 16
b. Tujuan Pembangunan ... 17
c. Nilai Filosofis Pembangunan ... 17
d. Perencanaan Pembangunan... 18
e. Pembangunan Sosial... 20
2.Kesejahteraan Sosial ... 21
a. Pengertian Kesejahteraan ... 21
b. Pengertian Kesejahteraan Sosial ... 22
c. Karakteristik Kesejahteraan... 25
3.Kebijakan Publik ... 25
e. Faktor Kebijakan Publik ... 29
4.Kebijakan Sosial ... 30
a. Pengertian Kebijakan Sosial ... 30
b. Tujuan Kebijakan Sosial ... 32
5.Rehabilitasi Sosial ... 34
a. Pengertian rehabilitasi ... 34
b. Pengertian rehabilitasi Sosial ... 34
6.Pemberdayaan ... 35
a. Pengertian Pemberdayaan ... 35
b. Tujuan Pemberdayaan ... 40
c. Dimensi Pemberdayaan ... 42
d. Indikator Pemberdayaan ... 43
e. Strategi Pemberdayaan ... 46
f. Upaya Pemberdayaan ... 47
7.Penyandang Cacat ... 49
8.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 52
9.PP No.43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat... 53
C. Kerangka Berfikir ... 55
BAB III. Metode Penelitian A. Jenis Penelitian... 56
B. Definisi Operasional dan Fokus Penelitian ... 57
C. Lokasi Penelitian ... 60
D. Sumber dan Jenis Data ... 60
E. Informan dan Teknik Penarikan Informan ... 61
F. Teknik Pengumpulan Data ... 63
2. Visi, Misi dan Motto ... 69
3. Tujuan dan Sasaran ... 69
4. Proses Pelayanan ... 70
5. Sumber Daya Manusia ... 76
6. Kerjasama... 83
7. Keberhasilan yang dicapai ... 83
8. Pembiayaan ... 84
9. Bagan susunan organisasi UPT ... 86
B. Hasil Penelitian ... 87
1. Bimbingan Sosial... 87
2. Bimbingan Ketrampilan ... 106
C. Pembahasan ... 116
1. Bimbingan Sosial... 118
2. Bimbingan Ketrampilan ... 125
BAB V. Kesimpulan dan Sar an A. Kesimpulan ... 135
B. Saran ... 137
REHABILITASI SOSIAL CACAT TUBUH di PASURUAN DINAS SOSIAL PEMERINTAH PROVINSI J AWA TIMUR).
Kecacatan menyebabkan seseorang mengalami keterbatasan atau gangguan yang mempengaruhi keleluasaan aktivitas fisik, kepercayaan dan harga diri, hubungan antar manusia maupun dengan lingkungannya yang menimbulkan permasalahan sosial antara lain adalah ketidak berfungsian sosial, yaitu penyandang cacat kurang mampu melaksanakan peran-peran sosialnya secara wajar dan hal ini yang semakin meyakini pandangan masyarakat untuk meremehkan kemampuan penyandang cacat dengan kekurangan fisiknya. Upaya untuk mensejahterakan penyandang cacat dengan cara melaksanakan program rehabilitasi sosial melalui tahap bimbingan sosial dan ketrampilan di Unit Pelaksana Teknis Rehabilitasi Sosial Cacat Tubuh di Pasuruan. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan, menganalisis dan menginterpretasikan tentang upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat melalui rehabilitasi sosial (studi pada dinas sosial pemerintah provinsi jawa timur unit pelaksana teknis rehabilitasi sosial cacat tubuh di pasuruan).
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Fokus penelitian adalah bimbingan sosial dan bimbingan ketrampilan. Dengan sasaran kajian yaitu bimbingan sosial perorangan, bimbingan sosial kelompok, bimbingan sosial kemasyarakatan, ketrampilan menjahit, elektronika, servis handphone dan sablon/percetakan. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara observasi dan wawancara. Analisa data dalam Penelitian ini dengan menggunakan model interaktif.
Dari hasil penelitian dan pembahasan menghasilkan kesimpulan yaitu upaya peningkatan kesejahteraan melalui bimbingan sosial perorangan, kelompok, masyarakat dan bimbingan ketrampilan yang dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis Rehabilitasi Sosial Cacat Tubuh di Pasuruan mampu memberikan
peningkatan kesejahteraan batiniah, lahiriah dan sosial sehingga penyandang cacat mendapatkan perlakuan yang sama dalam hak dan kewajiban dengan tidak ada rasa kasihan sebagai perlakuan khusus dalam lingkungan sosial sehingga mencapai peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat tubuh.
A. Latar Belakang
Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan bahwa dibentuknya Pemerintah
Negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi (Pasal 4 UUD 1945). Maka tujuan pembangunan nasional
adalah untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur yang merata,
material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Segenap bangsa Indonesia yang dimaksud dalam pembukaan UUD
adalah seluruh rakyat Indonesia tanpa membedakan usia, golongan, suku,
agama, tempat tinggal, dan sebagainya termasuk tidak membedakan status
sosial, ekonomi, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, golongan/pangkat,
maupun keadaan fisik dan mental yaitu penyandang cacat atau bukan. Jadi,
pembangunan harus dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat termasuk
penyandang cacat tubuh.
Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara semua aparat
pemerintah, masyarakat atau semua manusia diharapkan menjunjung tinggi
asas persatuan dan kesatuan bangsa, diantaranya dengan cara memberikan
kesempatan kepada seluruh masyarakat Indonesia tanpa melakukan perbedaan
perbedaan seperti, agama, suku/ras dan lainnya yang dijadikan alasan
timbulnya konflik sehingga untuk menjunjung rasa persatuan dan kesatuan
yang menuju keadilan dan kemakmuran bersama. Munculnya diskriminasi
dalam masalah sosial yang sering tidak bisa dielakkan diantaranya
kemampuan fisik yang berbeda antara masyarakat dengan keadaan fisik
sempurna dibandingkan masyarakat penyandang cacat tubuh.
Perbedaan kesempatan maupun perlakuan terhadap penyandang cacat
tubuh dalam kehidupan berbangsa, bermasyarakat akan menimbulkan
perbedaan kehidupan sosial maupun ekonomi pada kehidupan penyandang
cacat tubuh yang pada akhirnya akan mengarah pada masalah sosial yaitu
kemiskinan.
Selain masalah sosial seperti kemiskinan, diskriminasi yang dihadapi
oleh para masyarakat atau manusia yang mempunyai kekurangan secara fisik
atau mental yang bisa disebut cacat yang secara kuantitas cenderung
meningkat yang menjadi dasar pertimbangan terbitnya Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat. Dimana
disebutkan dalam klausul menimbang poin a. “bahwa dalam pelaksanaan
pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan masyarakat adil dan
makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, penyandang
cacat merupakan bagian masyarakat Indonesia yang juga memiliki kedudukan,
hak, kewajiban dan peran yang sama”.
Dalam Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 1997 dalam pasal 1, yang
kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan
rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya.
Kecacatan menyebabkan seseorang mengalami keterbatasan atau
gangguan yang mempengaruhi keleluasaan aktivitas fisik, kepercayaan dan
harga diri, hubungan antar manusia maupun dengan lingkungannya. Dampak
dari kecacatan tersebut menimbulkan permasalahan sosial antara lain adalah
ketidak berfungsian sosial, yaitu penyandang cacat kurang mampu
melaksanakan peran-peran sosialnya secara wajar dan hal ini yang semakin
meyakini pandangan masyarakat untuk meremehkan kemampuan penyandang
cacat dengan kekurangan fisiknya.
Kesenjangan-kesenjangan yang diperoleh penyandang cacat dapat kita
lihat pada kesenjangan dalam hal pendidikan dan kesempatan kerja. Hal ini
telah banyak terjadi sehingga banyak media yang memberitakan tentang
perlakuan yang diskriminatif antara penyandang cacat dengan bukan
penyandang cacat. Diantaranya artikel yang ditulis oleh Novian, salah satu
mahasiswa Fisip Unair Surabaya tentang diskriminasi masyarakat penyandang
cacat bahwa :
Kenyataan yang terjadi seperti yang ditulis oleh media tersebut diatas
sangatlah bertentangan dengan Undang-Undang RI Nomor 4 tahun 1997 pasal
5 yang menyebutkan bahwa setiap penyandang cacat mempunyai hak dan
kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.
Demikian juga tentang kewajiban penyandang cacat seperti yang tercantum
dalam pasal 7, (1) Setiap penyandang cacat mempunyai kewajiban yang sama
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. (2) Kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaksanaannya disesuaikan dengan jenis
dan derajat kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya.
Bila kenyataan yang telah ditulis oleh media tersebut adalah sangat jelas
bahwa pemerintah dan masyarakat tidak memberikan kesamaan kesempatan
kepada penyandang cacat sedangkan pasal 9 dalam Undang-Undang tentang
penyandang cacat menyebutkan bahwa setiap penyandang cacat mempunyai
kesamaan kesempatan dalam segala aspek penghidupan dan kehidupan.
Asumsi bahwa seorang penyandang cacat tidak akan mampu
mengerjakan pekerjaan seefektif karyawan lain yang bukan penyandang cacat,
tidaklah selalu benar. Menurut salah satu pengamat bernama Momo, yang
mengatakan bahwa :
tidak sedikit hasil kerja para penyandang cacat yang tidak kalah bahkan banyak juga yang lebih baik dari hasil serupa dari mereka yang normal. Diperkirakan dalam beberapa hal seperti ketekunan, kesabaran, kesungguhan justru tenaga kerja penyandang cacat berada di atas rata-rata prestasi mereka yang bukan penyandang cacat. Dapat dilihat betapa besar potensi para penyandang cacat yang tidak pernah
diaktualisasikan, hanya disebabkan oleh kecilnya kesediaan
Terbitnya Undang-Undang tentang penyandang cacat yang pada tahun
tersebut (1997) diantaranya karena pertimbangan poin b. yaitu bahwa
penyandang cacat secara kuantitas cenderung meningkat dan oleh karena itu,
perlu semakin diupayakan peningkatan kesejahteraan sosial bagi penyandang
cacat.
Dalam rangka implementasi Undang-Undang tentang penyandang cacat
maka dikeluarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun
1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat,
sebagai penjabaran dari Undang-Undang tentang penyandang cacat pasal 8
yang menyatakan bahwa pemerintah dan atau masyarakat berkewajiban
mengupayakan terwujudnya hak-hak penyandang cacat. Serta pasal 16 yang
menyatakan bahwa pemerintah dan atau masyarakat menyelenggarakan upaya:
1.Rehabilitasi; 2.Bantuan Sosial; 3.Pemeliharaan Taraf Kesejahteraan Sosial.
Berdasarkan data tahun 2011, menurut Siswadi, Ketua Umum Persatuan
Penyandang Cacat Indonesia, jumlah penyandang cacat di Indonesia
berdasarkan data Depkes RI mencapai 3,11% dari populasi penduduk atau
sekitar 6,7 juta jiwa. Sementara bila mengacu pada standar yang diterapkan
Organisasi Kesehatan Dunia PBB dengan persyaratan lebih ketat, jumlah
penyandang cacat di Indonesia mencapai 10 juta jiwa (tribunnews.com, 23
Maret 2013).
Menurut ILO, prinsip untuk mengatasi diskriminasi yang terjadi pada
penyandang cacat ini adalah hak, kesempatan dan perlakuan yang adil dalam
kecacatan mereka. Semua orang bebas mengembangkan kemampuan pribadi
mereka dan melakukan pilihan tanpa dibatasi oleh stereotip, asumsi dan
prasangka tentang kecacatan mereka. Ini bukan berarti semua orang punya
kemampuan yang sama atau harus diperlakukan dengan cara yang sama, tapi
perilaku, aspirasi dan kebutuhan masyarakat yang berbeda perlu secara adil
dipertimbangkan, dinilai dan didukung, tanpa memandang status kecacatan
mereka diperlukannya upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan
sosial bagi penyandang cacat.
Data Depkes tahun 2011 diatas menunjukkan bahwa terjadi peningkatan
jumlah penyandang cacat setiap tahun. Pada tahun 2010 sekitar 5,3 juta jiwa
pada tahun 2011 sekitar 6,7 juta jiwa. Hal ini perlu menjadi perhatian bagi
pemerintah maupun masyarakat agar diskriminasi terhadap penyandang cacat
bisa diperkecil seperti yang diharapkan oleh PP Nomor 43 tahun 1998 yang
dalam penjelasan menyatakan bahwa upaya peningkatan kesejahteraan sosial
penyandang cacat yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini meliputi
kesamaan kesempatan, rehabilitasi, pemberian bantuan sosial, dan
pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial yang dilaksanakan oleh dan menjadi
tanggung jawab bersama Pemerintah, masyarakat, keluarga, dan penyandang
cacat sendiri.
Berdasarkan rekapitulasi data orang dengan kecacatan Provinsi Jawa
Timur oleh Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur pada tahun 2012 sejumlah
70.329 penyandang cacat dari 41. 513 laki-laki dan 28.816 perempuan dengan
Dari data tersebut diatas bahwa penyandang cacat merupakan bagian
dari masyarakat Indonesia yang mempunyai kedudukan, hak, kewajiban dan
peran yang sama dengan yang bukan penyandang cacat. Untuk mewujudkan
itu pasal 8 Undang-Undang tentang penyandang cacat mengamanatkan kepada
Pemerintah dan/atau masyarakat berkewajiban mengupayakan terwujudnya
hak-hak penyandang cacat. Lebih lanjut pasal 3 PP tentang upaya peningkatan
kesejahteraan sosial penyandang cacat mengamanatkan bahwa upaya
peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat bertujuan untuk
mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan penyandang cacat. Maka dapat
dinyatakan bahwa upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat
adalah bagian dari upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Masalah penanganan atau upaya peningkatan kesejahteraan sosial
penyandang cacat bukan hanya menjadi masalah nasional tetapi juga menjadi
kewajiban dari Pemerintah Daerah dimana dalam Undang-Undang RI Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah menyatakan :
Bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintahan daerah, yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan,
pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berpedoman pada Undang-Undang tentang pemerintahan daerah
tersebut diatas serta pembagian kewenangan antara pemerintah dan
sosial khusunya penanganan masalah sosial serta upaya peningkatan
kesejahteraan sosial yang didalamnya terdapat penyandang cacat maka
pemerintah provinsi mempunyai kewenangan sesuai PP Nomor 25 Tahun
2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan provinsi sebagai
daerah otonom dalam pasal 3 poin 11 yaitu bidang sosial memberikan
kewenangan dalam bentuk mendukung upaya pengembangan pelayanan
sosial.
Berdasarkan peraturan gubernur nomor 119 tahun 2008 bahwa UPT
Rehabilitasi Sosial Cacat Tubuh di Pasuruan dibawah kendali Dinas Sosial
Provinsi Jawa Timur mempunyai tugas pokok dan fungsi memberikan
pelayanan dan rehabilitasi sosial, mental, fisik serta ketrampilan terhadap
penyandang cacat tubuh yang berada di wilayah Jawa Timur, dengan kapasitas
tampung 90 klien per-tahun. Tugas pokok UPT Rehabilitasi Sosial Cacat
Tubuh di Pasuruan tersebut diatas adalah sebagai pelaksanaan tugas
Pemerintah Provinsi Jawa Timur dalam upaya peningkatan kesejahteraan
sosial penyandang cacat di Jawa Timur.
Secara lengkap pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998
menyatakan bahwa upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat
dilaksanakan melalui : a.kesamaan kesempatan; b.rehabilitasi; c.bantuan
sosial; d.pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.
Rehabilitasi didefinisikan sebagai ”satu program holistik dan terpadu
atas intervensi-intervensi medis, fisik, psikososial, dan vokasional yang
pencapaian pribadi, kebermaknaan sosial, dan interaksi efektif yang
fungsional dengan dunia” (Banja,1990:615). Menurut Soewito dalam (Sri
Widati, 1984:5) menyatakan bahwa Rehabilitasi penderita cacat merupakan
segala daya upaya, baik dalam bidang kesehatan, sosial, kejiwaan, pendidikan,
ekonomi, maupun bidang lain yang dikoordinir menjadi continous process,
dan yang bertujuan untuk memulihkan tenaga penderita cacat baik jasmaniah
maupun rohaniah, untuk menduduki kembali tempat di masyarakat sebagai
anggota penuh yang swasembada, produktif dan berguna bagi masyarakat dan
Negara.
Keadaan kesejahteraan penyandang cacat tubuh yang awalnya kurang
percaya diri, kurang memiliki keberanian untuk maju karena kekurangan
fisiknya, tidak mempunyai ketrampilan apapun, makan sehari hanya dua kali
dan itupun tidak selalu memenuhi gizi 4 sehat 5 sempurna, pakaian yang
kurang layak karena rata-rata tergolong orang yang kurang mampu.
Dengan adanya UPT Rehabilitasi Sosial Cacat Tubuh yang dibangun
tahun 1986 diatas areal seluas 30.080 m2. Diharapkan penyandang cacat tubuh
yang terlantar dan tidak mempunyai ketrampilan apapun, dapat mempunyai
ketrampilan, kemampuan, dan keahlian untuk bekerja dengan layak dan dapat
diterima di masyarakat tanpa diskriminasi, terpenuhinya gizi seimbang 4 sehat
5 sempurna demi tercapainya tujuan umum untuk meningkatkan kesejahteraan
sosial.
Hal ini sesuai isi visi UPT Rehabilitasi Sosial Cacat Tubuh di Pasuruan
penyandang cacat tubuh melalui rehabilitasi sosial, untuk membangun tekad
mandiri melalui wujud usaha bersama pemerintah dan masyarakat menuju
Jawa Timur makmur dan berakhlak bagi semua lapisan masyarakat.
Menurut Midgley (1995:14) Kondisi kesejahteraan sosial diciptakan atas
kompromi tiga elemen. Pertama, sejauh mana masalah-masalah sosial ini
diatur, kedua sejauh mana kebutuhan-kebutuhan dipenuhi, ketiga sejauh mana
kesempatan untuk meningkatkan taraf hidup dapat disediakan.
Uraian dalam latar belakang tersebut diatas mendasari penulis untuk
memilih judul penelitian “upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang
cacat melalui rehabilitasi sosial” (studi pada unit pelaksana teknis rehabilitasi
sosial cacat tubuh di pasuruan dinas sosial pemerintah provinsi jawa timur).
B. Perumusan Masalah
Rumusan masalah merupakan upaya untuk menyatakan secara tersurat
pertanyaan yang hendak dicarikan jawabannya melalui sebuah penelitian.
Perumusan masalah penelitian ini adalah : “Bagaimana upaya peningkatan
kesejahteraan sosial penyandang cacat melalui rehabilitasi sosial” (studi pada
unit pelaksana teknis rehabilitasi sosial cacat tubuh di pasuruan dinas sosial
pemerintah provinsi jawa timur).
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah mengungkapkan sasaran yang ingin dicapai
dalam penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan,
menganalisis dan menginterpretasikan tentang : “upaya peningkatan
unit pelaksana teknis rehabilitasi sosial cacat tubuh di pasuruan dinas sosial
pemerintah provinsi jawa timur).
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Penulis
Menambah pengetahuan tentang apa dan bagaimana “upaya peningkatan
kesejahteraan sosial penyandang cacat melalui rehabilitasi sosial” (studi
pada unit pelaksana teknis rehabilitasi sosial cacat tubuh di pasuruan dinas
sosial pemerintah provinsi jawa timur).
2. Bagi Universitas
Menambah rasa kerja sama antara Universitas dan Instansi dalam kegiatan
ilmiah, menambah arsip perpustakaan guna kepentingan dalam penelitian
dan menambah wawasan baru bagi Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan
Politik.
3. Bagi Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur
Dari hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan dan
pertimbangan mengenai masalah yang ada di Dinas Sosial Provinsi Jawa
Timur yang berkaitan dengan upaya peningkatan kesejahteraan sosial
penyandang cacat melalui rehabilitasi sosial (studi pada unit pelaksana
teknis rehabilitasi sosial cacat tubuh di pasuruan dinas sosial pemerintah
A. Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang pernah dilakukan oleh pihak lain yang dapat
dipakai sebagai bahan masukan serta bahan pengkajian yang terkait dengan
penelitian ini, yaitu :
1. Dina Pranasari, Jurnal Ilmu Manajemen, REVITALISASI, Vol. 1, Nomor
1, Juni 2012, STRATEGI PENGENTASAN PENYANDANG
MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL (PMKS) KHUSUSNYA
PENYANDANG CACAT DI WILAYAH KABUPATEN KEDIRI.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) Bagaimana kondisi PMKS
khususnya penyandang cacat di Kabupaten Kediri; (2) Faktor internal dan
factor eksternal apa saja yang dapat mempengaruhi pengentasan PMKS
khususnya penyandang cacat di Kabupaten Kediri; dan (4) Strategi apa
yang lebih tepat diterapkan untuk pengentasan PMKS khususnya
penyandang cacat di Kabupaten Kediri. Teknik analisis yang digunakan
adalah SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunitiesdan Threats) yaitu
dengan mengidentifikasi faktor internal yang terdiri dari kekuatan dan
kelemahan serta faktor eksternal yang terdiri dari peluang dan ancaman.
Hasil analisis dapat disimpulkan sebagai berikut : Berdasarkan faktor
internal daneksternal dapat disusun strategi sebagai berikut : (a)
Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) dengan mengirimkan
SDM tersebut dalam pelatihan-pelatihan; (b) Meningkatkan aksesbilitas
terhadap Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) khususnya
PenyandangCacat, agar pendataan dan penanganannya lebih tepat sasaran
dan efisien; (c)Mengintensifkan pelatihan ketrampilan dan belajar kerja
bagi penyandang cacat potensial sehingga dapat diterima di dunia kerja
atau dapat mendirikan usaha mandiri; (d)Menggali dan mendayagunakan
seluruh potensi sumber daya kesejahteraan sosial yang ada seperti
pengusaha dan donatur untuk menampung Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial (PMKS) khususnya Penyandang Cacat; (e) Membina
dan mengembangkan Tenaga Kesejahteraan Sosial Masyarakat sebagai
mitra kerja pemerintah daerah dalam pembangunan kesejahteraan sosial.
Penelitian ini dengan penelitian tersebut diatas membahas obyek yang
sama yaitu penyandang cacat, dengan tempat yang berbeda yaitu Kediri
dan Pasuruan, menggunakan metode yang sama yaitu kualitatif, fokus
yang dituju oleh penelitian diatas lebih menekankan pada strategi
pengentasan sedangkan penelitian ini mengarah pada bimbingan sosial dan
ketrampilan.
2. Dyota Puspitasari Dan Ilham Nur Alfian, Jurnal Psikologi Klinis dan
Kesehatan Mental Vol. 1, No 02 Juni 2012, MAKNA HIDUP
PENYANDANG CACAT FISIK POSTNATAL KARENA
KECELAKAAN. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna hidup
ini dilakukan pada tiga orang subyek yang menjadi penyandang cacat fisik
postnatal disebabkan karena kecelakaan hingga diamputasi dan kehilangan
salah satu anggota tubuhnya. Informasi mengenai subyek diungkap dengan
menggunakan metode wawancara mendalam sebagai teknik pengumpulan
data yang utama. Teknik analisis data yang digunakan pada penelitian ini
adalah analisis tematik dengan melakukan koding terhadap hasil transkrip
wawancara yang telah diverbatim, catatan lapangan dan beberapa
dokumentasi. Penelitian ini menggunakan teori makna hidup dari Victor
Frankl. Makna hidup dianggap sesuatu yang berharga dan bersifat obyektif
pada manusia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga subyek
menemukan makna hidupnya dalam menghadapi peristiwa kecelakaan
yang menimpanya. Ketiga subyek menganggap peristiwa yang terjadi
adalah murni kecelakaannya itu kecelakaan kerja pada subyek satu dan
dua serta murni kecelakaan lalu lintas pada subyek ketiga. Peristiwa
kecelakaan tersebut juga dianggap sebagai musibah diluar kendali manusia
yang diberikan cobaan dan pembelajaran dari Allah SWT. Hal tersebut
memberikan dampak pada subyek yaitu dapat menerima kondisinya
dengan pasrah dan menerima dengan apa adanya. Subyek menjadi lebih
sabar dalam bertindak dan terjalin hubungan yang lebih harmonis dengan
lingkungan dan keluarga.
Penelitian ini dengan penelitian tersebut diatas membahas obyek yang
sama yaitu penyandang cacat, metode yang sama yaitu kualitatif, fokus
seorang penyandang cacat sedangkan penelitian ini mengarah pada
bimbingan sosial dan ketrampilan.
3. Denia Martini Machdan Dan Nurul Hartini, Jurnal Psikologi Klinis dan
Kesehatan Mental Vol. 1, No 02 Juni 2012, HUBUNGAN ANTARA
PENERIMAAN DIRI DENGAN KECEMASAN MENGHADAPI
DUNIA KERJA PADA TUNADAKSA DI UPT REHABILITASI
SOSIAL CACAT TUBUH PASURUAN. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui hubungan negative antara penerimaan diri dengan kecemasan
menghadapi dunia kerja pada tunadaksa. Berdasarkan penelitian, secara
internal individu tunadaksa memiliki penerimaan diri yang rendah dan
kecemasan yang tinggi dikarenakan kecacatan pada dirinya. Secara
eksternal, individu tunadaksa mendapatkan diskriminasi dari masyarakat
dan memiliki kesempatan kerja yang terbatas. Penelitian dilakukan pada
klien di UPT Rehabilitasi Sosial Cacat Tubuh Pasuruan yang berusia
antara 21-35 tahun dengan jumlah subyek penelitian sebanyak 40 orang
yang terdiri dari 24 berjenis kelamin laki-laki dan 16 orang perempuan.
Alat pengumpulan data berupa kuesioner penerimaan diri yang terdiri dari
32 butir dan kuesioner kecemasan menghadapi dunia kerja terdiri dari 45
butir. Uji reliabilitas pada skala penerimaan diri sebesar 0,788 dan skala
kecemasan sebesar 0,901. Analisis data dilakukan dengan teknik statistic
korelasi Product Moment, dengan bantuan SPSS versi 16. Berdasarkan
hasil analisa data penelitian diperoleh nilai korelasi antara penerimaan diri
menunjukkan bahwa terdapat korelasi negative dan signifikan antara
penerimaan diri dengan kecemasan menghadapi dunia kerja pada tuna
daksa. Artinya, semakin tinggi penerimaan diri, maka kecemasan
menghadapi dunia kerja semakin rendah.
Penelitian ini dengan penelitian tersebut diatas membahas obyek yang
sama yaitu penyandang cacat, dengan tempat yang sama yaitu Pasuruan,
penelitian diatas menggunakan metode yang berbeda dengan penelitian ini
yaitu kuantitatif, fokus yang dituju oleh penelitian diatas lebih
menekankan pada hubungan negatif penerimaan diri dengan kecemasan
penyandang cacat sedangkan penelitian ini mengarah pada bimbingan
sosial dan ketrampilan.
B. Landasan Teori
1. Pembangunan Masyarakat
a. Pengertian Pembangunan
Pembangunan adalah proses perubahan yang dilakukan secara
sengaja untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang
bersangkutan. Phillips Roupp (1953 ; 16) : Pembangunan adalah
perubahan dari sesuatu yang kurang berarti kepada sesuatu yang lebih
berarti. Bintoro Tjokroamidjojo dan Mustopadidjaja, AR (1980: 1) :
Pembangunan adalah suatu orientasi dan kegiatan usaha yang tanpa
akhir. Sondang P. Siagian (1983: 2-3) : Pembangunan adalah suatu
usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang
pemerintah. Dari beberapa pengertian tentang pembangunan diatas
dapat disimpulkan bahwa pembangunan mengandung unsur-unsur :
1. Usaha atau proses.
2. Peningkatan, kemajuan, atau perubahan ke arah kemajuan.
3. Berkesinambungan.
4. Dilakukan secara sadar atau sengaja.
5. Terencana.
6. Untuk tujuan pembinaan bangsa.
7. Dilakukan secara bertahap.
b. Tujuan Pembangunan
Tujuan pembangunan, di negara mana pun, pasti bertujuan untuk
kebaikan masyarakatnya. Meskipun istilah tujuan pembangunan yang
digunakan cukup bervariasi, tetapi hakikatnya hampir sama, yakni
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sedangkan tujuan itu sendiri
lebih memberikan arti kepada arah yang hendak dicapai. Tidak ada
satu pun tujuan yang benar-benar merupakan tujuan akhir dalam arti
sesungguhnya. Artinya, setelah tujuan tersebut dicapai, maka
berhentilah pembangunan itu.
Bagi negara indonesia, sebagaimana yang tercantum dalam
GBHN, tujuan pembangunan nasionalnya mengandung unsur-unsur
sebagai berikut:
1. Mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata
2. Didalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
merdeka, berdaulat, bersatu, dan berkedaulatan rakyat;
3. Dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tentram, tertib
dan dinamis;
4. Dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat,
tertib, dan damai.
c. Nilai-nilai Filosofis dalam Pembangunan
Secara filosofis, satu hal yang perlu kita perhatikan dalam
pembangunan adalah keberadaan manusia Indonesia di tengah-tengah
kemajuan teknologi dalam kaitannya dengan pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya, yang merupakan hakikat pembangunan nasional.
Kemajuan teknologi sebagai salah satu indikator yang sering di
gunakan untuk mengatakan kemajuan pembangunan, tanpa di
kendalikan secara baik justru akan dapat mempengaruhi diri manusia
itu sendiri. Kegunaan teknologi tersebutlah nantinya yang akan
didasarkan pada hakikat manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk
berkebutuhan. Sebagaimana yang di kemukakan oleh beberapa ahli
akhir-akhir ini bahwa teknologi memang sudah banyak yang keluar
dari tujuannya semula. Seperti misalnya Jozef Banka (1983: 75)
mengatakan: “Teknologi itu sendiri sudah mempengaruhi bidang
d. Perencanaan Pembangunan
1. Pengertian dan Fungsi
Beberapa definisi dapat dikemukakan, antara lain:
Dr. J.W. Schoorl (1980: 294): perencanaan pada umumnya di
pandang sebagai suatu metode untuk menggariskan tujuan-tujuan
dan cara-cara untuk mencapainya.
Pariata Westra (1980: M. 17): perencanaan berarti penggambaran
dimuka hal-hal yang harus dikerjakan dan cara bagaimana
mengerjakan dalam rangka pencapaian tujuan yang telah
ditentukan.
Dengan lengkap Prof. Bintoro Tjokroamidjojo (1984: 12)
menyusun pengertian perencanaan sebagai berikut :
a. Perencanaan dalam arti seluas-luasnya tidak lain adalah suatu
proses mempersiapkan secara sistematis kegiatan-kegiatan
yang akan dilakukan untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Oleh karena itu pada hakikatnya terdapat pada tiap jenis usaha
manusia.
b. Perencanaan adalah suatu cara bagaimana mencapai tujuan
sebaik-baiknya (maximum output) dengan sumber-sumber
yang ada supaya lebih efektif dan efisien.
c. Perencanaan adalah penentuan tujuan yang akan dicapai atau
d. Albert Waterson menyebutkan perencanaan pembangunan
adalah melihat kedepan dengan mengambil pilihan berbagai
alternatif dari kegiatan untuk mencapai tujuan masa depan
tersebut dengan terus mengikuti agar pelaksanaannya tidak
menyimpang dari tujuan.
e. Perencanaan pembangunan adalah suatu pengarahan
penggunaan sumber pembangunan (termasuk
sumber-sumber ekonomi) yang terbatas adanya, untuk mencapai
tujuan-tujuan keadaan sosial ekonomi yang lebih baik secara
lebih efisien dan efektif.
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa perencanaan
pasti mengandung unsur-unsur sebagai berikut.
a) Aktivitas yang dipikirkan.
b) Berorientasi ke masa depan.
c) Mempunyai tujuan tertentu.
d) Merupakan pilihan alternatif.
e. Pembangunan Sosial
Pembangunan sosial adalah strategi yang bertujuan
meningkatkan kualitas kehidupan manusia secara paripurna.
Pembangunan sosial lebih berorientasi pada prinsip keadilan sosial
ketimbang pertumbuhan ekonomi. Beberapa sektor yang menjadi pusat
perhatian pendekatan ini mencakup pendidikan, kesehatan,
sempit, pembangunan sosial dapat didefinisikan sebagai pembangunan
kesejahteraan sosial. Ia berorientasi pada peningkatan keberfungsian
sosial (social fungtioning) kelompok-kelompok tidak beruntung
(disadvantage groups) atau Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial
(PPKS), yang meliputi fakir miskin, anak terlantar, anak jalanan,
pekerja anak, keluarga rentan, wanita rawan sosial ekonomi, dan
komunitas adat lokal.
Tiga dimensi pembangunan sosial :
1. Dimensi Kemiskinan.
Tipologi kemiskinan dapat dikategorikan pada empat kategori,
yakni kemiskinan absolut, kemiskinan relatif, kemiskinan kultural
dan kemiskinan struktural.
2. Dimensi Ketenagakerjaan.
3. Dimensi Integrasi Sosial
2. Kesejahteraan Sosial
a. Pengertian Kesejahteraan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kesejahteraan adalah
hal atau keadaan sejahtera; keamanan, keselamatan, ketentraman; jiwa,
kesehatan jiwa, sosial; keadaan sejahtera. Sedangkan menurut Kamus
Besar Ilmu Pengetahuan, Kesejahteraan umum adalah (1) penataan
kebaikan publik yang diperlukan suatu lembaga umum supaya
individu-individu didalamnya mencapai kebahagiaan jasmani dan
dengan mudah dapat mengembangkan bakat-bakatnya hingga
mencapai kesempurnaan rohani, jasmani dan kesempurnaan moral
sendiri.
Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, baik kita suka
atau tidak, hampir semua yang kita lakukan dalam kehidupan kita
berkaitan dengan orang lain (Jones,2009). Kondisi sejahtera
(well-being) biasanya menunjuk pada istilah kesejahteraan sosial sebagai
kondisi terpenuhinya kebutuhan material dan non material. Menurut
Midgley (2000: XI) mendefinisikan kesejateraan sosial sebagai “..a
condition or state of human well being.” Kondisi sejahtera terjadi
manakala kehidupan manusia aman dan bahagia karena kebutuhan
dasar akan gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan pendapatan
dapat terpenuhi; serta manakala manusia memperoleh perlindungan
dari resiko-resiko utama yang mengancam kehidupannya. Agar dapat
memahami lebih dalam apa yang dimaksud dengan kesejahteraan
sosial berikut definisi kesejahteraan sosial menurut para ahli.
b. Pengertian Kesejahteraan Sosial
Menurut definisinya kesejahteraan sosial dibagi menjadi tiga
kelompok yaitu kesejahteraan sosial sebagai suatu keadaan,
kesejahteraan sosial sebagai suatu kegiatan atau pelayanan dan
kesejahteraan sosial sebagai ilmu (Suud, 2006). Menurut Suharto
(2006: 3) kesejahteraan sosial juga termasuk sebagai suatu proses atau
sosial, masyarakat maupun badan-badan pemerintah untuk
meningkatkan kualitas melalui pemberian pelayanan sosial dan
tunjangan sosial. Kesejahteraan sosial sebagai suatu keadaan adalah
sebagai berikut dibawah ini.
Konsep kesejahteraan sosial yang dituangkan dalam
Undang-Undang Nomor 6 tahun 1974 berbunyi : “Kesejahteraan sosial adalah
suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial materiil maupun
spiritual yang diliputi oleh rasa keselarasan, kesusilaan dan
ketentraman lahir dan batin, yang memungkinkan bagi setiap warga
negara mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
jasmaniah, rohaniah, dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri,
keluarga, serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi
serta kewajiban manusia sesuai dengan pancasila.”
Menurut Suparlan dalam Suud (2006: 5), kesejahteraan sosial,
menandakan keadaan sejahterah pada umumnya, yang meliputi
keadaan jasmaniah, rohaniah, dan sosial dan bukan hanya perbaikan
dan pemberantasan keburukan sosial tertentu saja; jadi merupakan
suatu keadaan dan kegiatan.
Menurut Segel dan Bruzy (1998:8), “Kesejahteraan sosial adalah
kondisi sejahtera dari suatu masyarakat. Kesejahteraan sosial meliputi
kesehatan, keadaan ekonomi, kebahagiaan, dan kualitas hidup rakyat”.
Sedangkan menurut Midgley (1995:14) Kondisi kesejahteraan sosial
masalah-masalah sosial ini diatur, kedua sejauh mana kebutuhan-kebutuhan
dipenuhi, ketiga sejauh mana kesempatan untuk meningkatkan taraf
hidup dapat disediakan
Kesejahteraan sosial menurut Friendlander dalam Suud (2006: 8)
merupakan sistem yang terorganisir dari pelayanan-pelayanan dan
lembaga-lembaga sosial, yang dimaksudkan untuk membantu
individu-individu dan kelompok-kelompok agar mencapai tingkat
hidup dan kesehatan yang memuaskan dan hubungan-hubungan
personal dan sosial yang memberi kesempatan kepada mereka untuk
memperkembangkan seluruh kemampuannya dan untuk meningkatkan
kesejahteraannya sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan keluarga dan
masyarakatnya.
Menurut Segal dan Brzuzy, yang dikutip dalam suud (2006: 5)
kesejahteraan sosial adalah kondisi sejahtera dari suatu masyarakat.
Kesejahteraan sosial meliputi kesehatan, keadaan ekonomi,
kebahagiaan, dan kualitas hidup rakyat.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka kesejahteraan sosial
mengedepankan tujuan untuk menjamin kebutuhan ekonomi manusia,
standart kesehatan dan kondisi kehidupan yang layak, mendapatkan
kesempatan yang sama dengan warga negara lainnya, peningkatan
derajat harga diri setinggi mungkin, kebebasan berfikir, dan melakukan
kegiatan tanpa gangguan sesuai dengan hak-hak asasi yang dimiliki
aktivitas pengorganisasian dan pendistribusian pelayanan sosial bagi
kelompok masyarakat, terutama kelompok yang kurang beruntung.
Dengan demikian, konsep kesejahteraan sosial atau kesejahteraan
masyarakat mengandung maksud maksud sebagai suatu program
kegiatan pelayanan yang berusaha melepaskan masyarakat dari
kesulitan yang dihadapi dalam usaha pemenuhan fisik maupun sosial.
Oleh karena itu, masyarakat akan mencapai tingkat kesejahteraan
manakala mereka telah terpenuhi kebutuhan primernya (sandang,
pangan, dan papan) dan kebutuhan sekunder (pendidikan, kesehatan,
dan lain-lain).
Kesejahteraan sosial dapat diukur dari ukuran-ukuran seperti
tingkat kehidupan, pemenuhan kebutuhan pokok, kualitas hidup dan
pembangunan manusia (Sen, 2008: 8). Yang paling berhubungan
dengan sistem kesejahteraan sosial bagi para homeless ini adalah
seikatsu hogo. Pemerintah memberikan perlindungan hidup (seikatsu
hogo) kepada masyarakat Jepang dan tidak boleh ada diskriminasi, dan
orang yang hidup miskin dapat menuntut pertolongan bantuan dari
pemerintah (Kennett dan Iwata, 2003: 63).
c. Karakteristik Kesejahteraan Sosial
Menurut Okumara dalam Takehara (2005: 114) menjabarkan
bahwa ada tujuh karakteristik di dalam kesejahteraan sosial yaitu :
1. Tuntutan ekonomi yang stabil
3. Tuntutan keluarga yang stabil
4. Tuntutan jaminan kesehatan
5. Tuntutan jaminan pendidikan
6. Tuntutan kesempatan dalam bermasyarakat
7. Tuntutan kesempatan budaya atau rekreasi
3. Kebijakan Publik
a. Pengertian Kebijakan Publik
Adapun definisi kebijakan publik menurut Santoso dalam
Winarno (2007:19) yang dikemukakan oleh para ahli yang menaruh
minat dalam bidang kebijakan publik menyimpulkan bahwa pada
dasarnya pandangan mengenai kebijakan publik dapat dibagi kedalam
dua wilayah kategori yaitu :
1. Bahwa semua tindakan pemerintah dapat disebut sebagai kebijakan
publik.
2. Kebijakan publik sebagai keputusan-keputusan pemerintah yang
mempunyai tujuan dan maksud-maksud tertentu, dengan kata lain
kebijakan publik dapat dipandang sebagai proses perumusan,
implementasi dan evaluasi kebijakan.
Menurut Andreson dalam Agustino (2006:7) memberikan
pengertian tentang kebijakan publik yaitu serangkaian kegiatan yang
mempunyai maksud dan tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan
oleh seorang aktor atau sekelompok aktor yang berhubungan dengan
Nugroho (2003:54) mendefinisikan kebijakan publik adalah
hal-hal yang diputuskan pemerintah untuk dikerjakan dan hal-hal-hal-hal yang
diputuskan pemerintah untuk tidak dikerjakan atau dibiarkan.
Dari pengertian diatas dan menurut pemahaman bahwa kebijakan
publik harus mengabdi kepada masyarakat, maka dengan demikian
dapat disimpulkan kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang
ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah
yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi
kepentingan masyarakat.
b. Sifat Kebijakan Publik
Menurut Winarno (2007:21) sifat kebijakan publik sebagai arah
tindakan dapat dipahami secara lebih baik bila konsep ini dirinci
beberapa kategori sebagai berikut :
1. Tuntutan-tuntutan Kebijakan (Policy Demands)
Tuntutan-tuntutan yang dibuat oleh aktor-aktor swasta atau
pemerintah, ditujukan kepada pejabat-pejabat pemerintah dalam
suatu sistem politik.
2. Keputusan Kebijakan (Policy Decisions)
Keputusan-keputusan yang dibuat oleh pejabat-pejabat pemerintah
yang mengesahkan atau memberi arah dan subtansi kepada
3. Pernyataan-pernyataan kebijakan (Policy Statements)
Pernyataan-peryataan resmi atau artikulasi-artikulasi (penjelasan)
kebijakan publik.
4. Hasil-hasil Kebijakan (Policy Outputs)
Manifestasi nyata dari kebijakan-kebijakan publik, yaitu hal-hal
yang sebenarnya dilakukan menurut keputusan-keputusan dan
pernyataan-pernyataan kebijakan.
5. Dampak-dampak Kebijakan
Akibat bagi masyarakat baik yang berasal dari tindakan atau tidak
adanya tindakan pemerintah.
c. Manfaat Kebijakan Publik
Menurut Dye dan Andreson dalam Subarsono (2005:4), studi
kebijakan publik memiliki tiga manfaat penting yaitu :
1. Pengembangan ilmu pengetahuan
Dalam konteks ini, ilmuwan dapat menempatkan kebijakan publik
sebagai variabel terpengaruh (dependent variabel) sehingga
berusaha menentukan variabel pengaruhnya (independent
variabel). Studi ini berusaha mencari variabel-variabel yang dapat
mempengaruhi isi dari sebuah kebijakan publik.
2. Membantu para praktisi dalam memecahkan masalah publik.
Dengan mempelajari kebijakan publik para praktisi akan memiliki
dasar teoritis tentang bagaimana membuat kebijakan publik yang
Sehingga kedepan akan lahir kebijakan publik yang lebih
berkualitas yang dapat menopang tujuan pembangunan.
3. Berguna untuk tujuan politik
Suatu kebijakan yang dibuat melalui proses yang besar dengan
dukungan teori yang kuat memiliki posisi yang kuat terhadap kritik
dari lawan-lawan politik. Kebijakan publik tersebut dapat
meyakinkan kepada lawan-lawan politik yang tadinya kurang
setuju. Kebijakan publik seperti itu tidak akan mudah dicabut
hanya karena alasan kepentingan sesaat dari lawan-lawan politik.
d. Tujuan Kebijakan
Ada beberapa tujuan kebijakan menurut Hoogerwef dalam
Soenarko (2000:82) yaitu :
1. Memelihara ketertiban umum (Negara sebagai stabilisator).
2. Melancarkan perkembangan masyarakat dalam berbagai hal
(Negara sebagai perangsang, stimulator).
3. Menyesuaikan berbagai aktivitas (Negara sebagai koordinator).
4. Memperuntunkan dalam membagi berbagai materi (Negara sebagai
pembagi, alokator).
Tujuan-tujuan yang demikian itu, tentu saja merupakan tujuan
guna untuk mencapai tujuan akhir. Untuk bangsa dan Negara
Indonesia, tujuan kebijaksanaan itu adalah :
1. Memajukan kesejahteraan umum.
3. Ikut melaksanakan ketertiban dunia.
e. Faktor Penentu Dilaksanakan/Tidaknya Suatu Kebijakan Publik
Beberapa faktor yang mempengaruhi pelaksanaan atau tidaknya
suatu kebijakan publik menurut Agustino (2006:157) yaitu :
a. Faktor Penentu Pemenuhan Kebutuhan
1. Respeknya anggota masyarakat pada otoritas dan keputusan
pemerintah;
2. Adanya kesadaran untuk menerima kebijakan;
3. Adanya sanksi hukum;
4. Adanya kepentingan publik;
5. Adanya kepentingan pribadi;
6. Masalah waktu.
b. Faktor Penentu Penolakan atau Penundaan Kebijakan
1. Adanya kebijakan yang bertentangan dengan sistem yang ada;
2. Tidak adanya kepastian hukum;
3. Adanya keanggotaan seseorang dalam suatu organisasi;
4. Adanya konsep ketidakpatuhan selektif terhadap hukum.
4. Kebijakan Sosial
a. Pengertian Kebijakan Sosial
Kebijakan sosial adalah seperangkat tindakan (course of action),
kerangka kerja (Framework), petunjuk (guideline), rencana (plan), peta
(map), atau strategi yang dirancang untuk menterjemahkan visi politis
untuk mencapai tujuan tertentu di bidang kesejahteraan sosial. Karena
urusan kesejahteraan sosial senantiasa menyangkut orang banyak,
maka kebijakan sosial seringkali diidentikan dengan kebijakan public
(Suharto, 2005a).
Dalam arti spesifik atau sempit, kata sosial menyangkut sector
kesejahteraan sosial sebagai suatu bidang atau bagian dari
pembangunan sosial atau kesejahteraan rakyat yang bertujuan untuk
meningkatkan kualitas kehidupan manusia, terutama mereka yang
dikategorikan sebagai kelompok yang tidak beruntung (disadvantaged
group) dan kelompok rentan (vulnerable group). Kata sosial disini
menyangkut program-program dan atau pelayanan-pelayanan sosial
untuk mengatasi masalah-masalah sosial, seperti kemiskinan,
ketelantaran, ketidakberfungsian fisik dan psikis, tuna sosial dan tuna
susila, kenakalan remaja dan lain sebagainya. Sementara kebijakan
sosial diartikan sebagai kebijakan yang menyangkut aspek sosial
dalam pengertian spesifik, yakni yang menyangkut bidang
kesejahteraan sosial. Pengertian sosial seperti ini selaras dengan
pengertian perencanaan sosial sebagaimana dikemukakan oleh Conyer.
Menurut Conyer, perencanaan sosial adalah perencanaan
perundang-undangan tentang pelayanan kesejahteraan sosial dalam berbagai hal
Kemudian dari pada itu, menurut Huttman dalam Ali (2012: 182)
melihat kebijakan sosial dari tiga sudut pandang, yakni kebijakan
sosial sebagai proses, sebagai produk dan sebagai kinerja atau capaian.
Pertama, Sebagai suatu proses, kebijakan sosial menunjuk pada
perumusan kebijakan dalam kaitannya dengan variabel-variabel
sosial-politik dan teknik metodologi. Kebijakan sosial merupakan suatu
tahapan untuk membuat sebuah rencana tindak (plan of action) yang
dimulai dari pengidentifikasian kebutuhan (assessing need), penetapan
alternatif-alternatif tindakan, penyeleksian strategi-strategi kebijakan.
Kedua, kebijakan sosial sebagai produk, kebijakan sosial adalah
hasil dari proses perumusan kebijakan atau perencanaan sosial, yaitu
mencakup segala bentuk peraturan perundang-undangan atau proposal
program yang berfungsi sebagai pedoman dalam melaksanakan
berbagai kegiatan atau proyek.
Ketiga, kebijakan sosial sebagai suatu kinerja (performance),
kebijakan sosial merupakan deskripsi atau evaluasi terhadap hasil
pengimplementasian produk kebijakan sosial atau pencapaian tujuan
suatu rencana pembangunan. Kebijakan sosial dalam pengertian ini,
menyangkut kegiatan analisa untuk melihat dampak atau pengaruh
yang terjadi pada masyarakat, baik yang bersifat positif maupun
negatif, sebagai akibat dari diterapkannya suatu perundang-undangan
diistilahkan dengan analisa kebijakan sosial (Dunn, 1981 ; Quide,
1982).
b. Tujuan Kebijakan Sosial
Dalam konteks pembangunan sosial, kebijakan sosial merupakan
perangkat, mekanisme, dan system yang dapat mengarahkan dan
menterjemahkan tujuan-tujuan pembangunan. Kebijakan sosial
senantiasa berorientasi kepada pencapaian tujuan sosial. Tujuan sosial
ini mengandung dua pengertian yang saling terkait, yakni :
memecahkan masalah sosial dan memenuhi kebutuhan sosial.
Tujuan pemecahan masalah sosial mengandung arti
mengusahakan atau mengadakan perbaikan karena ada sesuatu
keadaan yang tidak diharapkan (misalnya kemiskinan) atau kejadian
yang bersifat destruktif atau patologis yang mengganggu dan merusak
tatanan masyarakat (misalnya kenakalan remaja). Tujuan pemenuhan
kebutuhan mengandung arti menyediakan pelayanan sosial yang
diperlukan, baik dikarenakan adanya masalah maupun tidak ada
masalah, dalam arti bersifat pencegahan (mencegah terjadinya
masalah, mencegah tidak terulang atau timbul lagi masalah atau
mencegah meluasnya masalah atau pengembangan (meningkatkan
kualitas suatu kondisi agar lebih baik dari keadaan sebelumnya).
Secara lebih luas, tujuan-tujuan kebijakan sosial adalah :
1. Mengantisipasi, mengurangi, atau mengatasi masalah-masalah
2.Memenuhi kebutuhan-kebutuhan individu, keluarga, kelompok
atau masyarakat yang tidak dapat mereka penuhi secara
sendiri-sendiri melainkan harus melalui tindakan kolektif.
3.Meningkatkan hubungan intrasosial manusia dengan mengurangi
kedisfungsian sosial individu atau kelompok yang disebabkan oleh
faktor-faktor internal personal maupun eksternal struktural.
4.Meningkatkan situasi dan lingkungan sosial ekonomi yang
kondusif bagi upaya pelaksanaan peranan-peranan sosial dan
pencapaian kebutuhan masyarakat sesuai dengan hak, harkat dan
martabat kemanusiaan.
5.Menggali, mengalokasikan dan mengembangkan sumber-sumber
kemasyarakatan demi tercapainya kesejahteraan sosial dan keadilan
sosial.
5. Rehabilitasi Sosial
a. Pengertian Rehabilitasi
Rehabilitasi didefinisikan sebagai ”satu program holistik dan
terpadu atas intervensi-intervensi medis, fisik, psikososial, dan
vokasional yang memberdayakan seorang (individu penyandang cacat)
untuk meraih pencapaian pribadi, kebermaknaan sosial, dan interaksi
efektif yang fungsional dengan dunia” (Banja,1990:615). Menurut
Soewito dalam (Sri Widati, 1984:5) menyatakan bahwa Rehabilitasi
penderita cacat merupakan segala daya upaya, baik dalam bidang
yang dikoordinir menjadi continous process, dan yang bertujuan untuk
memulihkan tenaga penderita cacat baik jasmaniah maupun rohaniah,
untuk menduduki kembali tempat di masyarakat sebagai anggota
penuh yang swasembada, produktif dan berguna bagi masyarakat dan
Negara.
b. Pengertian Rehabilitasi Sosial
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian rehabilitasi
sosial adalah proses pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental
maupun sosial agar bekas pecandu narkotika, narapidana, dsb dapat
kembali melaksanakan fungsi sosialnya dalam kehidupan
bermasyarakat.
6. Pemberdayaan
a. Pengertian Pemberdayaan
Kata “empowerment” dan “empower” diterjemahkan dalam
Bahasa Indonesia menjadi pemberdayaan dan memberdayakan,
menurut merriam webster dan oxfort english dictionary dalam prijono
dan pranarka (www.file.upi.edu,2012) mengandung dua pengertian
yaitu: pengertian pertama adalah to give power or authority to, dan
pengertian kedua berarti to give ability to or enable. Dalam pengertian
pertama diartikan sebagai memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan
atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain. Sedang dalam pengertian
kedua, diartikan sebagai upaya untuk memberikan kemampuan atau
Konsep empowerment pada dasarnya adalah upaya menjadikan
suasana kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi semakin efektif
secara struktural, baik dalam kehidupan keluarga, masyarakat, negara,
regional, internasional, maupun dalam bidang politik, ekonomi dan
lain-lain. Memberdayakan masyarakat menurut Kartasasmita
(www.isjn.or.id/index.php, 2012) adalah upaya untuk meningkatkan
harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang
tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan
keterbelakangan.
Pemberdayaan masyarakat merupakan sebuah konsep
pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini
mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat
“people-centered, participatory, empowering and sustainable.
Gagasan pembangunan yang mengutamakan pemberdayaan
masyarakat perlu untuk dipahami sebagai suatu proses transformasi
dalam hubungan sosial, ekonomi, budaya dan politik masyarakat.
Perubahan struktur yang sangat diharapkan adalah proses yang
berlangsung secara alamiah, yaitu yang menghasilkan dan harus dapat
dinikmati bersama. Begitu pula sebaliknya, yang menikmati haruslah
yang menghasilkan. Proses ini diarahkan agar setiap upaya
pemberdayaan masyarakat dapat meningkatkan kapasitas masyarakat
(capacity building) melalui penciptaan akumulasi modal yang
nanti dapat pula menciptakan pendapatan yang akhirnya dinikmati oleh
seluruh rakyat. dan proses transpormasi ini harus dapat digerakan
sendiri oleh masyarakat.
Menurut Sumodiningrat (www.isjn.or.id/index.php,2012),
mengatakan bahwa kebijaksanaan pemberdayaan masyarakat secara
umum dapat dipilah dalam tiga kelompok yaitu:
1) Kebijaksanaan yang secara tidak langsung mengarah pada sasaran
tetapi memberikan dasar tercapainya suasana yang mendukung
kegiatan sosial ekonomi masyarakat.
2) Kebijaksanaan yang secara langsung mengarah pada peningkatan
kegiatan ekonomi kelompok sasaran.
3) Kebijaksanaan khusus yang menjangkau masyarakat miskin
melalui upaya khusus.
Pelaksanaan pemberdayaan masyarakat, menurut Kartasasmita
(www.isjn.or.id/index.php,2012), harus dilakukan melalui beberapa
kegiatan:
1) Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi
masyarakat berkembang (enabling).
2) Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat
(empowering).
3) Memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Disinilah letak
titik tolaknya yaitu bahwa pengenalan setiap manusia, setiap
dikembangkan. Artinya, tidak ada masyarakat yang sama sekali
tidak berdaya, karena kalau demikian akan mudah punah.
Pemberdayaan merupakan suatu upaya yang harus diikuti dengan
tetap memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh setiap
masyarakat. Dalam rangka itu pula diperlukan langkah-langkah yang
lebih positif selain dari menciptakan iklim dan suasana. perkuatan ini
meliputi langkah-langkah nyata dan menyangkut penyediaan berbagai
masukan (input) serta membuka akses kepada berbagai peluang
(upportunities) yang nantinya dapat membuat masyarakat menjadi
semakin berdaya. Keadaan dan perilaku tidak berdaya yang menimpa
kelompok tersebut sering dipandang sebagai deviant atau
menyimpang, kurang dihargai dan bahkan dicap sebagai orang yang
malas dan lemah yang disebabkan oleh dirinya sendiri. Padahal
ketidakberdayaan tersebut merupakan akibat faktor struktural dari
adanya ketidakadilan dan faktor kultural berupa diskriminasi dalam
aspek-aspek kehidupan tertentu.
Menurut Sennet & Cabb (1972) dan Conway (1979) dalam
Suharto (1998:209); “ketidakberdayaan ini disebabkan oleh beberapa
faktor seperti ketiadaan jaminan ekonomi, rendahnya akses politik,
lemahnya akses informasi dan teknologi, ketiadaan dukungan finansial
serta tidak tersedianya pendidikan dan pelatihan”.Para teoritisi seperti
oleh sekelompok masyarakat merupakan akibat dari proses
internalisasi yang dihasilkan dari interaksi mereka dengan masyarakat.
Kelompok masyarakat yang kurang berdaya menganggap diri mereka
lemah dan tidak berdaya karena masyarakat menganggap demikian”.
Seeman menyebutnya dengan alienasi, Seligmen menyebutnya dengan
ketidakberdayaan dan Learner mengistilahkan dengan
ketidakberdayaan surplus. Berawal dari fenomena ketidakberdayaan
tersebut, maka muncul berbagai tindakan pemberdayaan dengan
berbagai pendekatan mulai dari program yang berkelanjutan sampai
pada aktivitas-aktivitas yang sporadis. Pengertian pemberdayaan
sendiri menjadi perhatian banyak pihak dari berbagai bidang, disiplin
ilmu dan berbagai pendekatan.Menurut Rappaport dalam Suharto
(1998:3); “pemberdayaan menunjuk pada usaha realokasi sumber daya
melalui pengubahan struktur sosial. Pemberdayaan adalah suatu cara
yang diarahkan kepada masyarakat, organisasi atau komunitas agar
mampu menguasai (berkuasa atas) kehidupannya”.
Menurut Ife dalam Edi Suharto (2009:59) pemberdayaan memuat
dua pengertian kunci yakni kekuasaan dan kelompok lemah.
Kekuasaan di sini diartikan bukan hanya menyangkut kekuatan politik
namun mempunyai arti luas yang merupakan penguasaan masyarakat
atas:
kemampuan dalam membuat keputusan-keputusan mengenai
pilihan hidup, tempat tinggal dan pekerjaan dan sebagainya.
b. Power over the definition of need :Kekuasaan atas pendefinisian
kebutuhan, kemampuan menentukan kebutuhan selaras dengan
aspirasi dan keinginan.
c. Power over ideas : Kekuasaan atas ide atau gagasan, kemampuan
mengekspersikan dan menyumbang gagasan dalam interaksi,
forum dan diskusi secara bebas dan tanpa tekanan.
d. Power over institutions: Kekuasaan atas lembaga-lembaga,
kemampuan menjangkau, menggunakan dan mempengaruhi
lembaga-lembaga masyarakat seperti; lembaga pendidikan,
kesehatan, keuangan serta lembaga-lembaga pemenuh kebutuhan
hidup lainnya.
e. Power over resources : Kekuasaan atas sumber daya, kemampuan
memobilisasi sumber daya formal dan informal serta
kemasyarakatan dalam memenuhi kebutuhan hidup.
f. Power over economic activity :Kekuasaan atas aktivitas ekonomi
kemampuan memanfaatkan dan mengelola mekanisme produksi,
distribusi serta pertukaran barang dan jasa.
g. Power over reproduction :Kekuasaan atas reproduksi, kemampuan
dalam kaitannya dengan proses reproduksi dalam arti luas seperti
pendidikan, sosialisasi, nilai dan perilaku bahkan kelahiran dan
b. Tujuan Pemberdayaan
Menurut Suharto (2009; 60), Tujuan utama pemberdayaan adalah
memperkuat kekuasaan masyarakat, khususnya kelompok lemah yang
memiliki ketidakberdayaan, baik karena kondisi internal (misalnya
persepsi mereka sendiri), maupun karena kondisi eksternal (misalnya
ditindas oleh struktur sosial yang tidak adil) guna melengkapi
pemahaman mengenai pemberdayaan perlu diketahui konsep mengenai
kelompok lemah dan ketidakberdayaan yang dialaminya. Beberapa
kelompok yang dapat dikategorikan sebagai kelompok lemah atau
tidak berdaya meliputi:
1. Kelompok lemah secara struktural, baik lemah secara kelas, gender
maupun etnis.
2. Kelompok lemah khusus, seperti manula, anak-anak dan remaja,
penyandang cacat, gay dan lesbian, masyarakat terasing.
3. Kelompok lemah secara personal, yakni mereka yang mengalami
masalah pribadi atau keluarga.
Kelompok-kelompok tertentu yang mengalami diskriminasi
dalam suatu masyarakat, seperti masyarakat ekonomi rendah,
kelompok minoritas etnis, wanita, populasi lanjut usia, serta para
penyandang cacat, adalah orang-orang yang mengalami
ketidakberdayaan. Keadaan dan perilaku mereka berbeda dari
‘keumuman’ kerapkali dipandang sebagai penyimpang. Mereka
lemah, yang disebabkan oleh dirinya sendiri. Padahal
ketidakberdayaan mereka seringkali merupakan akibat dari adanya
kekurangadilan dan diskriminasi dalam aspek-aspek kehidupan
tertentu.
Menurut Sennet dan cabb (1972) dan Conway (1979) dalam Edi
Suharto (2009: 61) menyatakan bahwa ketidakberdayaan ini
disebabkan oleh beberapa factor seperti: ketiadaan jaminan ekonomi,
ketiadaan pengalaman dalam arena politik, ketiadaan akses terhadap
informasi, ketiadaan dukungan finansial, ketiadaan pelatihan-pelatihan
dan adanya ketegangan fisik maupun emosional.
c. Dimensi Ukuran Pemberdayaan
Pemberdayaan masyarakat harus dilihat baik dari dengan
pendekatan komprehensif maupun incremental. Pada pengertian
pertama, dalam upaya ini diperlukan perencanaaan berjangka, serta
pengerahan sumber daya yang tersedia dan pengembangan potensi
yang ada secara nasional, yang mencakup seluruh masyarakat. Dalam
upaya ini perlu dilibatkan seluruh lapisan masyarakat, baik pemerintah
maupun dunia usaha dan lembaga sosial dan kemasyarakatan, serta
tokoh-tokoh dan individu-individu yang mempunyai kemampuan
untuk membantu. Dengan demikian, programnya harus bersifat
nasional, dengan curahan sumber daya yang cukup besar untuk