• Tidak ada hasil yang ditemukan

”UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN SOSIAL PENYANDANG CACAT MELALUI REHABILITASI SOSIAL” (Studi pada Unit Pelaksana Teknis Rehabilitasi Sosial Cacat Tubuh di Pasuruan Dinas Sosial Pemerintah Provinsi Jawa Timur).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "”UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN SOSIAL PENYANDANG CACAT MELALUI REHABILITASI SOSIAL” (Studi pada Unit Pelaksana Teknis Rehabilitasi Sosial Cacat Tubuh di Pasuruan Dinas Sosial Pemerintah Provinsi Jawa Timur)."

Copied!
152
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Per syaratan Memperoleh Gelar Sar jana Ilmu Administrasi Negara Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Univer sitas Pembangunan Nasional “Veteran” J awa Timur

Oleh :

MEIDINAR RAGIL PAWENING NPM : 0941010033

YAYASAN KESEJ AHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ”VETERAN” J AWA TIMUR

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PROGRAM STUDI ILMUADMINISTRASI NEGARA

SURABAYA

(2)

(Studi pada Unit Pelaksana Teknis Rehabilitasi Sosial Cacat Tubuh di Pasuruan Dinas Sosial Pemerintah Provinsi Jawa Timur)

Disusun Oleh :

Meidinar Ragil Pawening

NPM. 0941010033

Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi

Menyetujui, Pembimbing

Dra. Sr i Wibawani, Msi NIP. 196704061994032001

Mengetahui, DEKAN

(3)

Disusun Oleh :

Meidinar Ragil Pawening

NPM. 0941010033

Telah Dipertahankan Dihadapan Dan Diterima Oleh Tim Penguji Skripsi

J ur usan Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik

Univer sitas Pembangunan Nasional ” Veteran” J awa Timur

Pada Tanggal : 18 J uni 2013

Pembimbing

Dra. Sri Wibawani, Msi NIP. 196704061994032001

2.

Dra. Sri Wibawani, Msi NIP. 196704061994032001

3.

Tukiman, S.Sos, M.Si NIP. 196103231989031001

Tim Penguji : 1.

Dr. Lukman Arif, M.Si NIP. 196411021994031001

Mengetahui,

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Univer sitas Pembangunan Nasional

(4)

Nama Mahasiswa : Meidinar Ragil Pawening

NPM : 0941010033

J ur usan : Ilmu Administrasi Negara

Fakultas : Ilmu Sosial Ilmu Politik

Menyatakan bahwa proposal ini telah dir evisi dan disahkan

Pada Tanggal 25 J uni 2013

Mengetahui / Menyetujui :

Dosen Penguji II

Dra. Sr i Wibawani, Msi NIP. 196704061994032001 Dosen Penguji I

Dr. Lukman Arif, M.Si NIP. 196411021994031001

Dosen Penguji III

(5)

rahmat, berkat, dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

dengan judul ”Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat

Melalui Rehabilitasi Sosial” (Studi Pada Unit Pelaksana Teknis Rehabilitasi

Sosial Cacat Tubuh Di Pasuruan Dinas Sosial Pemerintah Pr ovinsi J awa

Timur).

Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan kurikulum

Program Studi Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Dra. Sri

Wibawani, M.Si sebagai dosen pembimbing. Tidak lupa juga penulis

mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam

pelaksanaan penyusunan skripsi ini diantaranya :

1. Ibu Dra. Ec. Hj. Suparwati, M.Si, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

2. DR. Lukman Arif, M.Si, Kepala Program Studi Ilmu Administrasi Negara,

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional

“Veteran” Jawa Timur.

3. UPT Rehabilitasi Sosial Cacat Tubuh Bangil Pasuruan.

4. Orang tua saya yang memberikan doa dan kasih sayang selalu.

(6)

khususnya bagi penulis dan bagi fakultas pada umumnya serta para pembaca.

Surabaya, Juni 2013

(7)
(8)
(9)
(10)

Lembar Persetujuan ... ii

1. Pembangunan Masyarakat ... 16

a. Pengertian Pembangunan ... 16

b. Tujuan Pembangunan ... 17

c. Nilai Filosofis Pembangunan ... 17

d. Perencanaan Pembangunan... 18

e. Pembangunan Sosial... 20

2.Kesejahteraan Sosial ... 21

a. Pengertian Kesejahteraan ... 21

b. Pengertian Kesejahteraan Sosial ... 22

c. Karakteristik Kesejahteraan... 25

3.Kebijakan Publik ... 25

(11)

e. Faktor Kebijakan Publik ... 29

4.Kebijakan Sosial ... 30

a. Pengertian Kebijakan Sosial ... 30

b. Tujuan Kebijakan Sosial ... 32

5.Rehabilitasi Sosial ... 34

a. Pengertian rehabilitasi ... 34

b. Pengertian rehabilitasi Sosial ... 34

6.Pemberdayaan ... 35

a. Pengertian Pemberdayaan ... 35

b. Tujuan Pemberdayaan ... 40

c. Dimensi Pemberdayaan ... 42

d. Indikator Pemberdayaan ... 43

e. Strategi Pemberdayaan ... 46

f. Upaya Pemberdayaan ... 47

7.Penyandang Cacat ... 49

8.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 52

9.PP No.43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat... 53

C. Kerangka Berfikir ... 55

BAB III. Metode Penelitian A. Jenis Penelitian... 56

B. Definisi Operasional dan Fokus Penelitian ... 57

C. Lokasi Penelitian ... 60

D. Sumber dan Jenis Data ... 60

E. Informan dan Teknik Penarikan Informan ... 61

F. Teknik Pengumpulan Data ... 63

(12)

2. Visi, Misi dan Motto ... 69

3. Tujuan dan Sasaran ... 69

4. Proses Pelayanan ... 70

5. Sumber Daya Manusia ... 76

6. Kerjasama... 83

7. Keberhasilan yang dicapai ... 83

8. Pembiayaan ... 84

9. Bagan susunan organisasi UPT ... 86

B. Hasil Penelitian ... 87

1. Bimbingan Sosial... 87

2. Bimbingan Ketrampilan ... 106

C. Pembahasan ... 116

1. Bimbingan Sosial... 118

2. Bimbingan Ketrampilan ... 125

BAB V. Kesimpulan dan Sar an A. Kesimpulan ... 135

B. Saran ... 137

(13)

REHABILITASI SOSIAL CACAT TUBUH di PASURUAN DINAS SOSIAL PEMERINTAH PROVINSI J AWA TIMUR).

Kecacatan menyebabkan seseorang mengalami keterbatasan atau gangguan yang mempengaruhi keleluasaan aktivitas fisik, kepercayaan dan harga diri, hubungan antar manusia maupun dengan lingkungannya yang menimbulkan permasalahan sosial antara lain adalah ketidak berfungsian sosial, yaitu penyandang cacat kurang mampu melaksanakan peran-peran sosialnya secara wajar dan hal ini yang semakin meyakini pandangan masyarakat untuk meremehkan kemampuan penyandang cacat dengan kekurangan fisiknya. Upaya untuk mensejahterakan penyandang cacat dengan cara melaksanakan program rehabilitasi sosial melalui tahap bimbingan sosial dan ketrampilan di Unit Pelaksana Teknis Rehabilitasi Sosial Cacat Tubuh di Pasuruan. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan, menganalisis dan menginterpretasikan tentang upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat melalui rehabilitasi sosial (studi pada dinas sosial pemerintah provinsi jawa timur unit pelaksana teknis rehabilitasi sosial cacat tubuh di pasuruan).

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Fokus penelitian adalah bimbingan sosial dan bimbingan ketrampilan. Dengan sasaran kajian yaitu bimbingan sosial perorangan, bimbingan sosial kelompok, bimbingan sosial kemasyarakatan, ketrampilan menjahit, elektronika, servis handphone dan sablon/percetakan. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara observasi dan wawancara. Analisa data dalam Penelitian ini dengan menggunakan model interaktif.

Dari hasil penelitian dan pembahasan menghasilkan kesimpulan yaitu upaya peningkatan kesejahteraan melalui bimbingan sosial perorangan, kelompok, masyarakat dan bimbingan ketrampilan yang dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis Rehabilitasi Sosial Cacat Tubuh di Pasuruan mampu memberikan

peningkatan kesejahteraan batiniah, lahiriah dan sosial sehingga penyandang cacat mendapatkan perlakuan yang sama dalam hak dan kewajiban dengan tidak ada rasa kasihan sebagai perlakuan khusus dalam lingkungan sosial sehingga mencapai peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat tubuh.

(14)

A. Latar Belakang

Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan bahwa dibentuknya Pemerintah

Negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan

seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,

dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi (Pasal 4 UUD 1945). Maka tujuan pembangunan nasional

adalah untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur yang merata,

material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Segenap bangsa Indonesia yang dimaksud dalam pembukaan UUD

adalah seluruh rakyat Indonesia tanpa membedakan usia, golongan, suku,

agama, tempat tinggal, dan sebagainya termasuk tidak membedakan status

sosial, ekonomi, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, golongan/pangkat,

maupun keadaan fisik dan mental yaitu penyandang cacat atau bukan. Jadi,

pembangunan harus dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat termasuk

penyandang cacat tubuh.

Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara semua aparat

pemerintah, masyarakat atau semua manusia diharapkan menjunjung tinggi

asas persatuan dan kesatuan bangsa, diantaranya dengan cara memberikan

kesempatan kepada seluruh masyarakat Indonesia tanpa melakukan perbedaan

(15)

perbedaan seperti, agama, suku/ras dan lainnya yang dijadikan alasan

timbulnya konflik sehingga untuk menjunjung rasa persatuan dan kesatuan

yang menuju keadilan dan kemakmuran bersama. Munculnya diskriminasi

dalam masalah sosial yang sering tidak bisa dielakkan diantaranya

kemampuan fisik yang berbeda antara masyarakat dengan keadaan fisik

sempurna dibandingkan masyarakat penyandang cacat tubuh.

Perbedaan kesempatan maupun perlakuan terhadap penyandang cacat

tubuh dalam kehidupan berbangsa, bermasyarakat akan menimbulkan

perbedaan kehidupan sosial maupun ekonomi pada kehidupan penyandang

cacat tubuh yang pada akhirnya akan mengarah pada masalah sosial yaitu

kemiskinan.

Selain masalah sosial seperti kemiskinan, diskriminasi yang dihadapi

oleh para masyarakat atau manusia yang mempunyai kekurangan secara fisik

atau mental yang bisa disebut cacat yang secara kuantitas cenderung

meningkat yang menjadi dasar pertimbangan terbitnya Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat. Dimana

disebutkan dalam klausul menimbang poin a. “bahwa dalam pelaksanaan

pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan masyarakat adil dan

makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, penyandang

cacat merupakan bagian masyarakat Indonesia yang juga memiliki kedudukan,

hak, kewajiban dan peran yang sama”.

Dalam Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 1997 dalam pasal 1, yang

(16)

kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan

rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya.

Kecacatan menyebabkan seseorang mengalami keterbatasan atau

gangguan yang mempengaruhi keleluasaan aktivitas fisik, kepercayaan dan

harga diri, hubungan antar manusia maupun dengan lingkungannya. Dampak

dari kecacatan tersebut menimbulkan permasalahan sosial antara lain adalah

ketidak berfungsian sosial, yaitu penyandang cacat kurang mampu

melaksanakan peran-peran sosialnya secara wajar dan hal ini yang semakin

meyakini pandangan masyarakat untuk meremehkan kemampuan penyandang

cacat dengan kekurangan fisiknya.

Kesenjangan-kesenjangan yang diperoleh penyandang cacat dapat kita

lihat pada kesenjangan dalam hal pendidikan dan kesempatan kerja. Hal ini

telah banyak terjadi sehingga banyak media yang memberitakan tentang

perlakuan yang diskriminatif antara penyandang cacat dengan bukan

penyandang cacat. Diantaranya artikel yang ditulis oleh Novian, salah satu

mahasiswa Fisip Unair Surabaya tentang diskriminasi masyarakat penyandang

cacat bahwa :

(17)

Kenyataan yang terjadi seperti yang ditulis oleh media tersebut diatas

sangatlah bertentangan dengan Undang-Undang RI Nomor 4 tahun 1997 pasal

5 yang menyebutkan bahwa setiap penyandang cacat mempunyai hak dan

kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.

Demikian juga tentang kewajiban penyandang cacat seperti yang tercantum

dalam pasal 7, (1) Setiap penyandang cacat mempunyai kewajiban yang sama

dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. (2) Kewajiban

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaksanaannya disesuaikan dengan jenis

dan derajat kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya.

Bila kenyataan yang telah ditulis oleh media tersebut adalah sangat jelas

bahwa pemerintah dan masyarakat tidak memberikan kesamaan kesempatan

kepada penyandang cacat sedangkan pasal 9 dalam Undang-Undang tentang

penyandang cacat menyebutkan bahwa setiap penyandang cacat mempunyai

kesamaan kesempatan dalam segala aspek penghidupan dan kehidupan.

Asumsi bahwa seorang penyandang cacat tidak akan mampu

mengerjakan pekerjaan seefektif karyawan lain yang bukan penyandang cacat,

tidaklah selalu benar. Menurut salah satu pengamat bernama Momo, yang

mengatakan bahwa :

tidak sedikit hasil kerja para penyandang cacat yang tidak kalah bahkan banyak juga yang lebih baik dari hasil serupa dari mereka yang normal. Diperkirakan dalam beberapa hal seperti ketekunan, kesabaran, kesungguhan justru tenaga kerja penyandang cacat berada di atas rata-rata prestasi mereka yang bukan penyandang cacat. Dapat dilihat betapa besar potensi para penyandang cacat yang tidak pernah

diaktualisasikan, hanya disebabkan oleh kecilnya kesediaan

(18)

Terbitnya Undang-Undang tentang penyandang cacat yang pada tahun

tersebut (1997) diantaranya karena pertimbangan poin b. yaitu bahwa

penyandang cacat secara kuantitas cenderung meningkat dan oleh karena itu,

perlu semakin diupayakan peningkatan kesejahteraan sosial bagi penyandang

cacat.

Dalam rangka implementasi Undang-Undang tentang penyandang cacat

maka dikeluarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun

1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat,

sebagai penjabaran dari Undang-Undang tentang penyandang cacat pasal 8

yang menyatakan bahwa pemerintah dan atau masyarakat berkewajiban

mengupayakan terwujudnya hak-hak penyandang cacat. Serta pasal 16 yang

menyatakan bahwa pemerintah dan atau masyarakat menyelenggarakan upaya:

1.Rehabilitasi; 2.Bantuan Sosial; 3.Pemeliharaan Taraf Kesejahteraan Sosial.

Berdasarkan data tahun 2011, menurut Siswadi, Ketua Umum Persatuan

Penyandang Cacat Indonesia, jumlah penyandang cacat di Indonesia

berdasarkan data Depkes RI mencapai 3,11% dari populasi penduduk atau

sekitar 6,7 juta jiwa. Sementara bila mengacu pada standar yang diterapkan

Organisasi Kesehatan Dunia PBB dengan persyaratan lebih ketat, jumlah

penyandang cacat di Indonesia mencapai 10 juta jiwa (tribunnews.com, 23

Maret 2013).

Menurut ILO, prinsip untuk mengatasi diskriminasi yang terjadi pada

penyandang cacat ini adalah hak, kesempatan dan perlakuan yang adil dalam

(19)

kecacatan mereka. Semua orang bebas mengembangkan kemampuan pribadi

mereka dan melakukan pilihan tanpa dibatasi oleh stereotip, asumsi dan

prasangka tentang kecacatan mereka. Ini bukan berarti semua orang punya

kemampuan yang sama atau harus diperlakukan dengan cara yang sama, tapi

perilaku, aspirasi dan kebutuhan masyarakat yang berbeda perlu secara adil

dipertimbangkan, dinilai dan didukung, tanpa memandang status kecacatan

mereka diperlukannya upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan

sosial bagi penyandang cacat.

Data Depkes tahun 2011 diatas menunjukkan bahwa terjadi peningkatan

jumlah penyandang cacat setiap tahun. Pada tahun 2010 sekitar 5,3 juta jiwa

pada tahun 2011 sekitar 6,7 juta jiwa. Hal ini perlu menjadi perhatian bagi

pemerintah maupun masyarakat agar diskriminasi terhadap penyandang cacat

bisa diperkecil seperti yang diharapkan oleh PP Nomor 43 tahun 1998 yang

dalam penjelasan menyatakan bahwa upaya peningkatan kesejahteraan sosial

penyandang cacat yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini meliputi

kesamaan kesempatan, rehabilitasi, pemberian bantuan sosial, dan

pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial yang dilaksanakan oleh dan menjadi

tanggung jawab bersama Pemerintah, masyarakat, keluarga, dan penyandang

cacat sendiri.

Berdasarkan rekapitulasi data orang dengan kecacatan Provinsi Jawa

Timur oleh Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur pada tahun 2012 sejumlah

70.329 penyandang cacat dari 41. 513 laki-laki dan 28.816 perempuan dengan

(20)

Dari data tersebut diatas bahwa penyandang cacat merupakan bagian

dari masyarakat Indonesia yang mempunyai kedudukan, hak, kewajiban dan

peran yang sama dengan yang bukan penyandang cacat. Untuk mewujudkan

itu pasal 8 Undang-Undang tentang penyandang cacat mengamanatkan kepada

Pemerintah dan/atau masyarakat berkewajiban mengupayakan terwujudnya

hak-hak penyandang cacat. Lebih lanjut pasal 3 PP tentang upaya peningkatan

kesejahteraan sosial penyandang cacat mengamanatkan bahwa upaya

peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat bertujuan untuk

mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan penyandang cacat. Maka dapat

dinyatakan bahwa upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat

adalah bagian dari upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Masalah penanganan atau upaya peningkatan kesejahteraan sosial

penyandang cacat bukan hanya menjadi masalah nasional tetapi juga menjadi

kewajiban dari Pemerintah Daerah dimana dalam Undang-Undang RI Nomor

32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah menyatakan :

Bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintahan daerah, yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas

pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya

kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan,

pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Berpedoman pada Undang-Undang tentang pemerintahan daerah

tersebut diatas serta pembagian kewenangan antara pemerintah dan

(21)

sosial khusunya penanganan masalah sosial serta upaya peningkatan

kesejahteraan sosial yang didalamnya terdapat penyandang cacat maka

pemerintah provinsi mempunyai kewenangan sesuai PP Nomor 25 Tahun

2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan provinsi sebagai

daerah otonom dalam pasal 3 poin 11 yaitu bidang sosial memberikan

kewenangan dalam bentuk mendukung upaya pengembangan pelayanan

sosial.

Berdasarkan peraturan gubernur nomor 119 tahun 2008 bahwa UPT

Rehabilitasi Sosial Cacat Tubuh di Pasuruan dibawah kendali Dinas Sosial

Provinsi Jawa Timur mempunyai tugas pokok dan fungsi memberikan

pelayanan dan rehabilitasi sosial, mental, fisik serta ketrampilan terhadap

penyandang cacat tubuh yang berada di wilayah Jawa Timur, dengan kapasitas

tampung 90 klien per-tahun. Tugas pokok UPT Rehabilitasi Sosial Cacat

Tubuh di Pasuruan tersebut diatas adalah sebagai pelaksanaan tugas

Pemerintah Provinsi Jawa Timur dalam upaya peningkatan kesejahteraan

sosial penyandang cacat di Jawa Timur.

Secara lengkap pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998

menyatakan bahwa upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat

dilaksanakan melalui : a.kesamaan kesempatan; b.rehabilitasi; c.bantuan

sosial; d.pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.

Rehabilitasi didefinisikan sebagai ”satu program holistik dan terpadu

atas intervensi-intervensi medis, fisik, psikososial, dan vokasional yang

(22)

pencapaian pribadi, kebermaknaan sosial, dan interaksi efektif yang

fungsional dengan dunia” (Banja,1990:615). Menurut Soewito dalam (Sri

Widati, 1984:5) menyatakan bahwa Rehabilitasi penderita cacat merupakan

segala daya upaya, baik dalam bidang kesehatan, sosial, kejiwaan, pendidikan,

ekonomi, maupun bidang lain yang dikoordinir menjadi continous process,

dan yang bertujuan untuk memulihkan tenaga penderita cacat baik jasmaniah

maupun rohaniah, untuk menduduki kembali tempat di masyarakat sebagai

anggota penuh yang swasembada, produktif dan berguna bagi masyarakat dan

Negara.

Keadaan kesejahteraan penyandang cacat tubuh yang awalnya kurang

percaya diri, kurang memiliki keberanian untuk maju karena kekurangan

fisiknya, tidak mempunyai ketrampilan apapun, makan sehari hanya dua kali

dan itupun tidak selalu memenuhi gizi 4 sehat 5 sempurna, pakaian yang

kurang layak karena rata-rata tergolong orang yang kurang mampu.

Dengan adanya UPT Rehabilitasi Sosial Cacat Tubuh yang dibangun

tahun 1986 diatas areal seluas 30.080 m2. Diharapkan penyandang cacat tubuh

yang terlantar dan tidak mempunyai ketrampilan apapun, dapat mempunyai

ketrampilan, kemampuan, dan keahlian untuk bekerja dengan layak dan dapat

diterima di masyarakat tanpa diskriminasi, terpenuhinya gizi seimbang 4 sehat

5 sempurna demi tercapainya tujuan umum untuk meningkatkan kesejahteraan

sosial.

Hal ini sesuai isi visi UPT Rehabilitasi Sosial Cacat Tubuh di Pasuruan

(23)

penyandang cacat tubuh melalui rehabilitasi sosial, untuk membangun tekad

mandiri melalui wujud usaha bersama pemerintah dan masyarakat menuju

Jawa Timur makmur dan berakhlak bagi semua lapisan masyarakat.

Menurut Midgley (1995:14) Kondisi kesejahteraan sosial diciptakan atas

kompromi tiga elemen. Pertama, sejauh mana masalah-masalah sosial ini

diatur, kedua sejauh mana kebutuhan-kebutuhan dipenuhi, ketiga sejauh mana

kesempatan untuk meningkatkan taraf hidup dapat disediakan.

Uraian dalam latar belakang tersebut diatas mendasari penulis untuk

memilih judul penelitian “upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang

cacat melalui rehabilitasi sosial” (studi pada unit pelaksana teknis rehabilitasi

sosial cacat tubuh di pasuruan dinas sosial pemerintah provinsi jawa timur).

B. Perumusan Masalah

Rumusan masalah merupakan upaya untuk menyatakan secara tersurat

pertanyaan yang hendak dicarikan jawabannya melalui sebuah penelitian.

Perumusan masalah penelitian ini adalah : “Bagaimana upaya peningkatan

kesejahteraan sosial penyandang cacat melalui rehabilitasi sosial” (studi pada

unit pelaksana teknis rehabilitasi sosial cacat tubuh di pasuruan dinas sosial

pemerintah provinsi jawa timur).

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah mengungkapkan sasaran yang ingin dicapai

dalam penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan,

menganalisis dan menginterpretasikan tentang : “upaya peningkatan

(24)

unit pelaksana teknis rehabilitasi sosial cacat tubuh di pasuruan dinas sosial

pemerintah provinsi jawa timur).

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Penulis

Menambah pengetahuan tentang apa dan bagaimana “upaya peningkatan

kesejahteraan sosial penyandang cacat melalui rehabilitasi sosial” (studi

pada unit pelaksana teknis rehabilitasi sosial cacat tubuh di pasuruan dinas

sosial pemerintah provinsi jawa timur).

2. Bagi Universitas

Menambah rasa kerja sama antara Universitas dan Instansi dalam kegiatan

ilmiah, menambah arsip perpustakaan guna kepentingan dalam penelitian

dan menambah wawasan baru bagi Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan

Politik.

3. Bagi Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur

Dari hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan dan

pertimbangan mengenai masalah yang ada di Dinas Sosial Provinsi Jawa

Timur yang berkaitan dengan upaya peningkatan kesejahteraan sosial

penyandang cacat melalui rehabilitasi sosial (studi pada unit pelaksana

teknis rehabilitasi sosial cacat tubuh di pasuruan dinas sosial pemerintah

(25)

A. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu yang pernah dilakukan oleh pihak lain yang dapat

dipakai sebagai bahan masukan serta bahan pengkajian yang terkait dengan

penelitian ini, yaitu :

1. Dina Pranasari, Jurnal Ilmu Manajemen, REVITALISASI, Vol. 1, Nomor

1, Juni 2012, STRATEGI PENGENTASAN PENYANDANG

MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL (PMKS) KHUSUSNYA

PENYANDANG CACAT DI WILAYAH KABUPATEN KEDIRI.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) Bagaimana kondisi PMKS

khususnya penyandang cacat di Kabupaten Kediri; (2) Faktor internal dan

factor eksternal apa saja yang dapat mempengaruhi pengentasan PMKS

khususnya penyandang cacat di Kabupaten Kediri; dan (4) Strategi apa

yang lebih tepat diterapkan untuk pengentasan PMKS khususnya

penyandang cacat di Kabupaten Kediri. Teknik analisis yang digunakan

adalah SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunitiesdan Threats) yaitu

dengan mengidentifikasi faktor internal yang terdiri dari kekuatan dan

kelemahan serta faktor eksternal yang terdiri dari peluang dan ancaman.

Hasil analisis dapat disimpulkan sebagai berikut : Berdasarkan faktor

internal daneksternal dapat disusun strategi sebagai berikut : (a)

(26)

Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) dengan mengirimkan

SDM tersebut dalam pelatihan-pelatihan; (b) Meningkatkan aksesbilitas

terhadap Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) khususnya

PenyandangCacat, agar pendataan dan penanganannya lebih tepat sasaran

dan efisien; (c)Mengintensifkan pelatihan ketrampilan dan belajar kerja

bagi penyandang cacat potensial sehingga dapat diterima di dunia kerja

atau dapat mendirikan usaha mandiri; (d)Menggali dan mendayagunakan

seluruh potensi sumber daya kesejahteraan sosial yang ada seperti

pengusaha dan donatur untuk menampung Penyandang Masalah

Kesejahteraan Sosial (PMKS) khususnya Penyandang Cacat; (e) Membina

dan mengembangkan Tenaga Kesejahteraan Sosial Masyarakat sebagai

mitra kerja pemerintah daerah dalam pembangunan kesejahteraan sosial.

Penelitian ini dengan penelitian tersebut diatas membahas obyek yang

sama yaitu penyandang cacat, dengan tempat yang berbeda yaitu Kediri

dan Pasuruan, menggunakan metode yang sama yaitu kualitatif, fokus

yang dituju oleh penelitian diatas lebih menekankan pada strategi

pengentasan sedangkan penelitian ini mengarah pada bimbingan sosial dan

ketrampilan.

2. Dyota Puspitasari Dan Ilham Nur Alfian, Jurnal Psikologi Klinis dan

Kesehatan Mental Vol. 1, No 02 Juni 2012, MAKNA HIDUP

PENYANDANG CACAT FISIK POSTNATAL KARENA

KECELAKAAN. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna hidup

(27)

ini dilakukan pada tiga orang subyek yang menjadi penyandang cacat fisik

postnatal disebabkan karena kecelakaan hingga diamputasi dan kehilangan

salah satu anggota tubuhnya. Informasi mengenai subyek diungkap dengan

menggunakan metode wawancara mendalam sebagai teknik pengumpulan

data yang utama. Teknik analisis data yang digunakan pada penelitian ini

adalah analisis tematik dengan melakukan koding terhadap hasil transkrip

wawancara yang telah diverbatim, catatan lapangan dan beberapa

dokumentasi. Penelitian ini menggunakan teori makna hidup dari Victor

Frankl. Makna hidup dianggap sesuatu yang berharga dan bersifat obyektif

pada manusia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga subyek

menemukan makna hidupnya dalam menghadapi peristiwa kecelakaan

yang menimpanya. Ketiga subyek menganggap peristiwa yang terjadi

adalah murni kecelakaannya itu kecelakaan kerja pada subyek satu dan

dua serta murni kecelakaan lalu lintas pada subyek ketiga. Peristiwa

kecelakaan tersebut juga dianggap sebagai musibah diluar kendali manusia

yang diberikan cobaan dan pembelajaran dari Allah SWT. Hal tersebut

memberikan dampak pada subyek yaitu dapat menerima kondisinya

dengan pasrah dan menerima dengan apa adanya. Subyek menjadi lebih

sabar dalam bertindak dan terjalin hubungan yang lebih harmonis dengan

lingkungan dan keluarga.

Penelitian ini dengan penelitian tersebut diatas membahas obyek yang

sama yaitu penyandang cacat, metode yang sama yaitu kualitatif, fokus

(28)

seorang penyandang cacat sedangkan penelitian ini mengarah pada

bimbingan sosial dan ketrampilan.

3. Denia Martini Machdan Dan Nurul Hartini, Jurnal Psikologi Klinis dan

Kesehatan Mental Vol. 1, No 02 Juni 2012, HUBUNGAN ANTARA

PENERIMAAN DIRI DENGAN KECEMASAN MENGHADAPI

DUNIA KERJA PADA TUNADAKSA DI UPT REHABILITASI

SOSIAL CACAT TUBUH PASURUAN. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui hubungan negative antara penerimaan diri dengan kecemasan

menghadapi dunia kerja pada tunadaksa. Berdasarkan penelitian, secara

internal individu tunadaksa memiliki penerimaan diri yang rendah dan

kecemasan yang tinggi dikarenakan kecacatan pada dirinya. Secara

eksternal, individu tunadaksa mendapatkan diskriminasi dari masyarakat

dan memiliki kesempatan kerja yang terbatas. Penelitian dilakukan pada

klien di UPT Rehabilitasi Sosial Cacat Tubuh Pasuruan yang berusia

antara 21-35 tahun dengan jumlah subyek penelitian sebanyak 40 orang

yang terdiri dari 24 berjenis kelamin laki-laki dan 16 orang perempuan.

Alat pengumpulan data berupa kuesioner penerimaan diri yang terdiri dari

32 butir dan kuesioner kecemasan menghadapi dunia kerja terdiri dari 45

butir. Uji reliabilitas pada skala penerimaan diri sebesar 0,788 dan skala

kecemasan sebesar 0,901. Analisis data dilakukan dengan teknik statistic

korelasi Product Moment, dengan bantuan SPSS versi 16. Berdasarkan

hasil analisa data penelitian diperoleh nilai korelasi antara penerimaan diri

(29)

menunjukkan bahwa terdapat korelasi negative dan signifikan antara

penerimaan diri dengan kecemasan menghadapi dunia kerja pada tuna

daksa. Artinya, semakin tinggi penerimaan diri, maka kecemasan

menghadapi dunia kerja semakin rendah.

Penelitian ini dengan penelitian tersebut diatas membahas obyek yang

sama yaitu penyandang cacat, dengan tempat yang sama yaitu Pasuruan,

penelitian diatas menggunakan metode yang berbeda dengan penelitian ini

yaitu kuantitatif, fokus yang dituju oleh penelitian diatas lebih

menekankan pada hubungan negatif penerimaan diri dengan kecemasan

penyandang cacat sedangkan penelitian ini mengarah pada bimbingan

sosial dan ketrampilan.

B. Landasan Teori

1. Pembangunan Masyarakat

a. Pengertian Pembangunan

Pembangunan adalah proses perubahan yang dilakukan secara

sengaja untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang

bersangkutan. Phillips Roupp (1953 ; 16) : Pembangunan adalah

perubahan dari sesuatu yang kurang berarti kepada sesuatu yang lebih

berarti. Bintoro Tjokroamidjojo dan Mustopadidjaja, AR (1980: 1) :

Pembangunan adalah suatu orientasi dan kegiatan usaha yang tanpa

akhir. Sondang P. Siagian (1983: 2-3) : Pembangunan adalah suatu

usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang

(30)

pemerintah. Dari beberapa pengertian tentang pembangunan diatas

dapat disimpulkan bahwa pembangunan mengandung unsur-unsur :

1. Usaha atau proses.

2. Peningkatan, kemajuan, atau perubahan ke arah kemajuan.

3. Berkesinambungan.

4. Dilakukan secara sadar atau sengaja.

5. Terencana.

6. Untuk tujuan pembinaan bangsa.

7. Dilakukan secara bertahap.

b. Tujuan Pembangunan

Tujuan pembangunan, di negara mana pun, pasti bertujuan untuk

kebaikan masyarakatnya. Meskipun istilah tujuan pembangunan yang

digunakan cukup bervariasi, tetapi hakikatnya hampir sama, yakni

meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sedangkan tujuan itu sendiri

lebih memberikan arti kepada arah yang hendak dicapai. Tidak ada

satu pun tujuan yang benar-benar merupakan tujuan akhir dalam arti

sesungguhnya. Artinya, setelah tujuan tersebut dicapai, maka

berhentilah pembangunan itu.

Bagi negara indonesia, sebagaimana yang tercantum dalam

GBHN, tujuan pembangunan nasionalnya mengandung unsur-unsur

sebagai berikut:

1. Mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata

(31)

2. Didalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang

merdeka, berdaulat, bersatu, dan berkedaulatan rakyat;

3. Dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tentram, tertib

dan dinamis;

4. Dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat,

tertib, dan damai.

c. Nilai-nilai Filosofis dalam Pembangunan

Secara filosofis, satu hal yang perlu kita perhatikan dalam

pembangunan adalah keberadaan manusia Indonesia di tengah-tengah

kemajuan teknologi dalam kaitannya dengan pembangunan manusia

Indonesia seutuhnya, yang merupakan hakikat pembangunan nasional.

Kemajuan teknologi sebagai salah satu indikator yang sering di

gunakan untuk mengatakan kemajuan pembangunan, tanpa di

kendalikan secara baik justru akan dapat mempengaruhi diri manusia

itu sendiri. Kegunaan teknologi tersebutlah nantinya yang akan

didasarkan pada hakikat manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk

berkebutuhan. Sebagaimana yang di kemukakan oleh beberapa ahli

akhir-akhir ini bahwa teknologi memang sudah banyak yang keluar

dari tujuannya semula. Seperti misalnya Jozef Banka (1983: 75)

mengatakan: “Teknologi itu sendiri sudah mempengaruhi bidang

(32)

d. Perencanaan Pembangunan

1. Pengertian dan Fungsi

Beberapa definisi dapat dikemukakan, antara lain:

Dr. J.W. Schoorl (1980: 294): perencanaan pada umumnya di

pandang sebagai suatu metode untuk menggariskan tujuan-tujuan

dan cara-cara untuk mencapainya.

Pariata Westra (1980: M. 17): perencanaan berarti penggambaran

dimuka hal-hal yang harus dikerjakan dan cara bagaimana

mengerjakan dalam rangka pencapaian tujuan yang telah

ditentukan.

Dengan lengkap Prof. Bintoro Tjokroamidjojo (1984: 12)

menyusun pengertian perencanaan sebagai berikut :

a. Perencanaan dalam arti seluas-luasnya tidak lain adalah suatu

proses mempersiapkan secara sistematis kegiatan-kegiatan

yang akan dilakukan untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

Oleh karena itu pada hakikatnya terdapat pada tiap jenis usaha

manusia.

b. Perencanaan adalah suatu cara bagaimana mencapai tujuan

sebaik-baiknya (maximum output) dengan sumber-sumber

yang ada supaya lebih efektif dan efisien.

c. Perencanaan adalah penentuan tujuan yang akan dicapai atau

(33)

d. Albert Waterson menyebutkan perencanaan pembangunan

adalah melihat kedepan dengan mengambil pilihan berbagai

alternatif dari kegiatan untuk mencapai tujuan masa depan

tersebut dengan terus mengikuti agar pelaksanaannya tidak

menyimpang dari tujuan.

e. Perencanaan pembangunan adalah suatu pengarahan

penggunaan sumber pembangunan (termasuk

sumber-sumber ekonomi) yang terbatas adanya, untuk mencapai

tujuan-tujuan keadaan sosial ekonomi yang lebih baik secara

lebih efisien dan efektif.

Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa perencanaan

pasti mengandung unsur-unsur sebagai berikut.

a) Aktivitas yang dipikirkan.

b) Berorientasi ke masa depan.

c) Mempunyai tujuan tertentu.

d) Merupakan pilihan alternatif.

e. Pembangunan Sosial

Pembangunan sosial adalah strategi yang bertujuan

meningkatkan kualitas kehidupan manusia secara paripurna.

Pembangunan sosial lebih berorientasi pada prinsip keadilan sosial

ketimbang pertumbuhan ekonomi. Beberapa sektor yang menjadi pusat

perhatian pendekatan ini mencakup pendidikan, kesehatan,

(34)

sempit, pembangunan sosial dapat didefinisikan sebagai pembangunan

kesejahteraan sosial. Ia berorientasi pada peningkatan keberfungsian

sosial (social fungtioning) kelompok-kelompok tidak beruntung

(disadvantage groups) atau Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial

(PPKS), yang meliputi fakir miskin, anak terlantar, anak jalanan,

pekerja anak, keluarga rentan, wanita rawan sosial ekonomi, dan

komunitas adat lokal.

Tiga dimensi pembangunan sosial :

1. Dimensi Kemiskinan.

Tipologi kemiskinan dapat dikategorikan pada empat kategori,

yakni kemiskinan absolut, kemiskinan relatif, kemiskinan kultural

dan kemiskinan struktural.

2. Dimensi Ketenagakerjaan.

3. Dimensi Integrasi Sosial

2. Kesejahteraan Sosial

a. Pengertian Kesejahteraan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kesejahteraan adalah

hal atau keadaan sejahtera; keamanan, keselamatan, ketentraman; jiwa,

kesehatan jiwa, sosial; keadaan sejahtera. Sedangkan menurut Kamus

Besar Ilmu Pengetahuan, Kesejahteraan umum adalah (1) penataan

kebaikan publik yang diperlukan suatu lembaga umum supaya

individu-individu didalamnya mencapai kebahagiaan jasmani dan

(35)

dengan mudah dapat mengembangkan bakat-bakatnya hingga

mencapai kesempurnaan rohani, jasmani dan kesempurnaan moral

sendiri.

Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, baik kita suka

atau tidak, hampir semua yang kita lakukan dalam kehidupan kita

berkaitan dengan orang lain (Jones,2009). Kondisi sejahtera

(well-being) biasanya menunjuk pada istilah kesejahteraan sosial sebagai

kondisi terpenuhinya kebutuhan material dan non material. Menurut

Midgley (2000: XI) mendefinisikan kesejateraan sosial sebagai “..a

condition or state of human well being.” Kondisi sejahtera terjadi

manakala kehidupan manusia aman dan bahagia karena kebutuhan

dasar akan gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan pendapatan

dapat terpenuhi; serta manakala manusia memperoleh perlindungan

dari resiko-resiko utama yang mengancam kehidupannya. Agar dapat

memahami lebih dalam apa yang dimaksud dengan kesejahteraan

sosial berikut definisi kesejahteraan sosial menurut para ahli.

b. Pengertian Kesejahteraan Sosial

Menurut definisinya kesejahteraan sosial dibagi menjadi tiga

kelompok yaitu kesejahteraan sosial sebagai suatu keadaan,

kesejahteraan sosial sebagai suatu kegiatan atau pelayanan dan

kesejahteraan sosial sebagai ilmu (Suud, 2006). Menurut Suharto

(2006: 3) kesejahteraan sosial juga termasuk sebagai suatu proses atau

(36)

sosial, masyarakat maupun badan-badan pemerintah untuk

meningkatkan kualitas melalui pemberian pelayanan sosial dan

tunjangan sosial. Kesejahteraan sosial sebagai suatu keadaan adalah

sebagai berikut dibawah ini.

Konsep kesejahteraan sosial yang dituangkan dalam

Undang-Undang Nomor 6 tahun 1974 berbunyi : “Kesejahteraan sosial adalah

suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial materiil maupun

spiritual yang diliputi oleh rasa keselarasan, kesusilaan dan

ketentraman lahir dan batin, yang memungkinkan bagi setiap warga

negara mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan

jasmaniah, rohaniah, dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri,

keluarga, serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi

serta kewajiban manusia sesuai dengan pancasila.”

Menurut Suparlan dalam Suud (2006: 5), kesejahteraan sosial,

menandakan keadaan sejahterah pada umumnya, yang meliputi

keadaan jasmaniah, rohaniah, dan sosial dan bukan hanya perbaikan

dan pemberantasan keburukan sosial tertentu saja; jadi merupakan

suatu keadaan dan kegiatan.

Menurut Segel dan Bruzy (1998:8), “Kesejahteraan sosial adalah

kondisi sejahtera dari suatu masyarakat. Kesejahteraan sosial meliputi

kesehatan, keadaan ekonomi, kebahagiaan, dan kualitas hidup rakyat”.

Sedangkan menurut Midgley (1995:14) Kondisi kesejahteraan sosial

(37)

masalah-masalah sosial ini diatur, kedua sejauh mana kebutuhan-kebutuhan

dipenuhi, ketiga sejauh mana kesempatan untuk meningkatkan taraf

hidup dapat disediakan

Kesejahteraan sosial menurut Friendlander dalam Suud (2006: 8)

merupakan sistem yang terorganisir dari pelayanan-pelayanan dan

lembaga-lembaga sosial, yang dimaksudkan untuk membantu

individu-individu dan kelompok-kelompok agar mencapai tingkat

hidup dan kesehatan yang memuaskan dan hubungan-hubungan

personal dan sosial yang memberi kesempatan kepada mereka untuk

memperkembangkan seluruh kemampuannya dan untuk meningkatkan

kesejahteraannya sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan keluarga dan

masyarakatnya.

Menurut Segal dan Brzuzy, yang dikutip dalam suud (2006: 5)

kesejahteraan sosial adalah kondisi sejahtera dari suatu masyarakat.

Kesejahteraan sosial meliputi kesehatan, keadaan ekonomi,

kebahagiaan, dan kualitas hidup rakyat.

Berdasarkan pengertian tersebut, maka kesejahteraan sosial

mengedepankan tujuan untuk menjamin kebutuhan ekonomi manusia,

standart kesehatan dan kondisi kehidupan yang layak, mendapatkan

kesempatan yang sama dengan warga negara lainnya, peningkatan

derajat harga diri setinggi mungkin, kebebasan berfikir, dan melakukan

kegiatan tanpa gangguan sesuai dengan hak-hak asasi yang dimiliki

(38)

aktivitas pengorganisasian dan pendistribusian pelayanan sosial bagi

kelompok masyarakat, terutama kelompok yang kurang beruntung.

Dengan demikian, konsep kesejahteraan sosial atau kesejahteraan

masyarakat mengandung maksud maksud sebagai suatu program

kegiatan pelayanan yang berusaha melepaskan masyarakat dari

kesulitan yang dihadapi dalam usaha pemenuhan fisik maupun sosial.

Oleh karena itu, masyarakat akan mencapai tingkat kesejahteraan

manakala mereka telah terpenuhi kebutuhan primernya (sandang,

pangan, dan papan) dan kebutuhan sekunder (pendidikan, kesehatan,

dan lain-lain).

Kesejahteraan sosial dapat diukur dari ukuran-ukuran seperti

tingkat kehidupan, pemenuhan kebutuhan pokok, kualitas hidup dan

pembangunan manusia (Sen, 2008: 8). Yang paling berhubungan

dengan sistem kesejahteraan sosial bagi para homeless ini adalah

seikatsu hogo. Pemerintah memberikan perlindungan hidup (seikatsu

hogo) kepada masyarakat Jepang dan tidak boleh ada diskriminasi, dan

orang yang hidup miskin dapat menuntut pertolongan bantuan dari

pemerintah (Kennett dan Iwata, 2003: 63).

c. Karakteristik Kesejahteraan Sosial

Menurut Okumara dalam Takehara (2005: 114) menjabarkan

bahwa ada tujuh karakteristik di dalam kesejahteraan sosial yaitu :

1. Tuntutan ekonomi yang stabil

(39)

3. Tuntutan keluarga yang stabil

4. Tuntutan jaminan kesehatan

5. Tuntutan jaminan pendidikan

6. Tuntutan kesempatan dalam bermasyarakat

7. Tuntutan kesempatan budaya atau rekreasi

3. Kebijakan Publik

a. Pengertian Kebijakan Publik

Adapun definisi kebijakan publik menurut Santoso dalam

Winarno (2007:19) yang dikemukakan oleh para ahli yang menaruh

minat dalam bidang kebijakan publik menyimpulkan bahwa pada

dasarnya pandangan mengenai kebijakan publik dapat dibagi kedalam

dua wilayah kategori yaitu :

1. Bahwa semua tindakan pemerintah dapat disebut sebagai kebijakan

publik.

2. Kebijakan publik sebagai keputusan-keputusan pemerintah yang

mempunyai tujuan dan maksud-maksud tertentu, dengan kata lain

kebijakan publik dapat dipandang sebagai proses perumusan,

implementasi dan evaluasi kebijakan.

Menurut Andreson dalam Agustino (2006:7) memberikan

pengertian tentang kebijakan publik yaitu serangkaian kegiatan yang

mempunyai maksud dan tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan

oleh seorang aktor atau sekelompok aktor yang berhubungan dengan

(40)

Nugroho (2003:54) mendefinisikan kebijakan publik adalah

hal-hal yang diputuskan pemerintah untuk dikerjakan dan hal-hal-hal-hal yang

diputuskan pemerintah untuk tidak dikerjakan atau dibiarkan.

Dari pengertian diatas dan menurut pemahaman bahwa kebijakan

publik harus mengabdi kepada masyarakat, maka dengan demikian

dapat disimpulkan kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang

ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah

yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi

kepentingan masyarakat.

b. Sifat Kebijakan Publik

Menurut Winarno (2007:21) sifat kebijakan publik sebagai arah

tindakan dapat dipahami secara lebih baik bila konsep ini dirinci

beberapa kategori sebagai berikut :

1. Tuntutan-tuntutan Kebijakan (Policy Demands)

Tuntutan-tuntutan yang dibuat oleh aktor-aktor swasta atau

pemerintah, ditujukan kepada pejabat-pejabat pemerintah dalam

suatu sistem politik.

2. Keputusan Kebijakan (Policy Decisions)

Keputusan-keputusan yang dibuat oleh pejabat-pejabat pemerintah

yang mengesahkan atau memberi arah dan subtansi kepada

(41)

3. Pernyataan-pernyataan kebijakan (Policy Statements)

Pernyataan-peryataan resmi atau artikulasi-artikulasi (penjelasan)

kebijakan publik.

4. Hasil-hasil Kebijakan (Policy Outputs)

Manifestasi nyata dari kebijakan-kebijakan publik, yaitu hal-hal

yang sebenarnya dilakukan menurut keputusan-keputusan dan

pernyataan-pernyataan kebijakan.

5. Dampak-dampak Kebijakan

Akibat bagi masyarakat baik yang berasal dari tindakan atau tidak

adanya tindakan pemerintah.

c. Manfaat Kebijakan Publik

Menurut Dye dan Andreson dalam Subarsono (2005:4), studi

kebijakan publik memiliki tiga manfaat penting yaitu :

1. Pengembangan ilmu pengetahuan

Dalam konteks ini, ilmuwan dapat menempatkan kebijakan publik

sebagai variabel terpengaruh (dependent variabel) sehingga

berusaha menentukan variabel pengaruhnya (independent

variabel). Studi ini berusaha mencari variabel-variabel yang dapat

mempengaruhi isi dari sebuah kebijakan publik.

2. Membantu para praktisi dalam memecahkan masalah publik.

Dengan mempelajari kebijakan publik para praktisi akan memiliki

dasar teoritis tentang bagaimana membuat kebijakan publik yang

(42)

Sehingga kedepan akan lahir kebijakan publik yang lebih

berkualitas yang dapat menopang tujuan pembangunan.

3. Berguna untuk tujuan politik

Suatu kebijakan yang dibuat melalui proses yang besar dengan

dukungan teori yang kuat memiliki posisi yang kuat terhadap kritik

dari lawan-lawan politik. Kebijakan publik tersebut dapat

meyakinkan kepada lawan-lawan politik yang tadinya kurang

setuju. Kebijakan publik seperti itu tidak akan mudah dicabut

hanya karena alasan kepentingan sesaat dari lawan-lawan politik.

d. Tujuan Kebijakan

Ada beberapa tujuan kebijakan menurut Hoogerwef dalam

Soenarko (2000:82) yaitu :

1. Memelihara ketertiban umum (Negara sebagai stabilisator).

2. Melancarkan perkembangan masyarakat dalam berbagai hal

(Negara sebagai perangsang, stimulator).

3. Menyesuaikan berbagai aktivitas (Negara sebagai koordinator).

4. Memperuntunkan dalam membagi berbagai materi (Negara sebagai

pembagi, alokator).

Tujuan-tujuan yang demikian itu, tentu saja merupakan tujuan

guna untuk mencapai tujuan akhir. Untuk bangsa dan Negara

Indonesia, tujuan kebijaksanaan itu adalah :

1. Memajukan kesejahteraan umum.

(43)

3. Ikut melaksanakan ketertiban dunia.

e. Faktor Penentu Dilaksanakan/Tidaknya Suatu Kebijakan Publik

Beberapa faktor yang mempengaruhi pelaksanaan atau tidaknya

suatu kebijakan publik menurut Agustino (2006:157) yaitu :

a. Faktor Penentu Pemenuhan Kebutuhan

1. Respeknya anggota masyarakat pada otoritas dan keputusan

pemerintah;

2. Adanya kesadaran untuk menerima kebijakan;

3. Adanya sanksi hukum;

4. Adanya kepentingan publik;

5. Adanya kepentingan pribadi;

6. Masalah waktu.

b. Faktor Penentu Penolakan atau Penundaan Kebijakan

1. Adanya kebijakan yang bertentangan dengan sistem yang ada;

2. Tidak adanya kepastian hukum;

3. Adanya keanggotaan seseorang dalam suatu organisasi;

4. Adanya konsep ketidakpatuhan selektif terhadap hukum.

4. Kebijakan Sosial

a. Pengertian Kebijakan Sosial

Kebijakan sosial adalah seperangkat tindakan (course of action),

kerangka kerja (Framework), petunjuk (guideline), rencana (plan), peta

(map), atau strategi yang dirancang untuk menterjemahkan visi politis

(44)

untuk mencapai tujuan tertentu di bidang kesejahteraan sosial. Karena

urusan kesejahteraan sosial senantiasa menyangkut orang banyak,

maka kebijakan sosial seringkali diidentikan dengan kebijakan public

(Suharto, 2005a).

Dalam arti spesifik atau sempit, kata sosial menyangkut sector

kesejahteraan sosial sebagai suatu bidang atau bagian dari

pembangunan sosial atau kesejahteraan rakyat yang bertujuan untuk

meningkatkan kualitas kehidupan manusia, terutama mereka yang

dikategorikan sebagai kelompok yang tidak beruntung (disadvantaged

group) dan kelompok rentan (vulnerable group). Kata sosial disini

menyangkut program-program dan atau pelayanan-pelayanan sosial

untuk mengatasi masalah-masalah sosial, seperti kemiskinan,

ketelantaran, ketidakberfungsian fisik dan psikis, tuna sosial dan tuna

susila, kenakalan remaja dan lain sebagainya. Sementara kebijakan

sosial diartikan sebagai kebijakan yang menyangkut aspek sosial

dalam pengertian spesifik, yakni yang menyangkut bidang

kesejahteraan sosial. Pengertian sosial seperti ini selaras dengan

pengertian perencanaan sosial sebagaimana dikemukakan oleh Conyer.

Menurut Conyer, perencanaan sosial adalah perencanaan

perundang-undangan tentang pelayanan kesejahteraan sosial dalam berbagai hal

(45)

Kemudian dari pada itu, menurut Huttman dalam Ali (2012: 182)

melihat kebijakan sosial dari tiga sudut pandang, yakni kebijakan

sosial sebagai proses, sebagai produk dan sebagai kinerja atau capaian.

Pertama, Sebagai suatu proses, kebijakan sosial menunjuk pada

perumusan kebijakan dalam kaitannya dengan variabel-variabel

sosial-politik dan teknik metodologi. Kebijakan sosial merupakan suatu

tahapan untuk membuat sebuah rencana tindak (plan of action) yang

dimulai dari pengidentifikasian kebutuhan (assessing need), penetapan

alternatif-alternatif tindakan, penyeleksian strategi-strategi kebijakan.

Kedua, kebijakan sosial sebagai produk, kebijakan sosial adalah

hasil dari proses perumusan kebijakan atau perencanaan sosial, yaitu

mencakup segala bentuk peraturan perundang-undangan atau proposal

program yang berfungsi sebagai pedoman dalam melaksanakan

berbagai kegiatan atau proyek.

Ketiga, kebijakan sosial sebagai suatu kinerja (performance),

kebijakan sosial merupakan deskripsi atau evaluasi terhadap hasil

pengimplementasian produk kebijakan sosial atau pencapaian tujuan

suatu rencana pembangunan. Kebijakan sosial dalam pengertian ini,

menyangkut kegiatan analisa untuk melihat dampak atau pengaruh

yang terjadi pada masyarakat, baik yang bersifat positif maupun

negatif, sebagai akibat dari diterapkannya suatu perundang-undangan

(46)

diistilahkan dengan analisa kebijakan sosial (Dunn, 1981 ; Quide,

1982).

b. Tujuan Kebijakan Sosial

Dalam konteks pembangunan sosial, kebijakan sosial merupakan

perangkat, mekanisme, dan system yang dapat mengarahkan dan

menterjemahkan tujuan-tujuan pembangunan. Kebijakan sosial

senantiasa berorientasi kepada pencapaian tujuan sosial. Tujuan sosial

ini mengandung dua pengertian yang saling terkait, yakni :

memecahkan masalah sosial dan memenuhi kebutuhan sosial.

Tujuan pemecahan masalah sosial mengandung arti

mengusahakan atau mengadakan perbaikan karena ada sesuatu

keadaan yang tidak diharapkan (misalnya kemiskinan) atau kejadian

yang bersifat destruktif atau patologis yang mengganggu dan merusak

tatanan masyarakat (misalnya kenakalan remaja). Tujuan pemenuhan

kebutuhan mengandung arti menyediakan pelayanan sosial yang

diperlukan, baik dikarenakan adanya masalah maupun tidak ada

masalah, dalam arti bersifat pencegahan (mencegah terjadinya

masalah, mencegah tidak terulang atau timbul lagi masalah atau

mencegah meluasnya masalah atau pengembangan (meningkatkan

kualitas suatu kondisi agar lebih baik dari keadaan sebelumnya).

Secara lebih luas, tujuan-tujuan kebijakan sosial adalah :

1. Mengantisipasi, mengurangi, atau mengatasi masalah-masalah

(47)

2.Memenuhi kebutuhan-kebutuhan individu, keluarga, kelompok

atau masyarakat yang tidak dapat mereka penuhi secara

sendiri-sendiri melainkan harus melalui tindakan kolektif.

3.Meningkatkan hubungan intrasosial manusia dengan mengurangi

kedisfungsian sosial individu atau kelompok yang disebabkan oleh

faktor-faktor internal personal maupun eksternal struktural.

4.Meningkatkan situasi dan lingkungan sosial ekonomi yang

kondusif bagi upaya pelaksanaan peranan-peranan sosial dan

pencapaian kebutuhan masyarakat sesuai dengan hak, harkat dan

martabat kemanusiaan.

5.Menggali, mengalokasikan dan mengembangkan sumber-sumber

kemasyarakatan demi tercapainya kesejahteraan sosial dan keadilan

sosial.

5. Rehabilitasi Sosial

a. Pengertian Rehabilitasi

Rehabilitasi didefinisikan sebagai ”satu program holistik dan

terpadu atas intervensi-intervensi medis, fisik, psikososial, dan

vokasional yang memberdayakan seorang (individu penyandang cacat)

untuk meraih pencapaian pribadi, kebermaknaan sosial, dan interaksi

efektif yang fungsional dengan dunia” (Banja,1990:615). Menurut

Soewito dalam (Sri Widati, 1984:5) menyatakan bahwa Rehabilitasi

penderita cacat merupakan segala daya upaya, baik dalam bidang

(48)

yang dikoordinir menjadi continous process, dan yang bertujuan untuk

memulihkan tenaga penderita cacat baik jasmaniah maupun rohaniah,

untuk menduduki kembali tempat di masyarakat sebagai anggota

penuh yang swasembada, produktif dan berguna bagi masyarakat dan

Negara.

b. Pengertian Rehabilitasi Sosial

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian rehabilitasi

sosial adalah proses pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental

maupun sosial agar bekas pecandu narkotika, narapidana, dsb dapat

kembali melaksanakan fungsi sosialnya dalam kehidupan

bermasyarakat.

6. Pemberdayaan

a. Pengertian Pemberdayaan

Kata “empowerment” dan “empower” diterjemahkan dalam

Bahasa Indonesia menjadi pemberdayaan dan memberdayakan,

menurut merriam webster dan oxfort english dictionary dalam prijono

dan pranarka (www.file.upi.edu,2012) mengandung dua pengertian

yaitu: pengertian pertama adalah to give power or authority to, dan

pengertian kedua berarti to give ability to or enable. Dalam pengertian

pertama diartikan sebagai memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan

atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain. Sedang dalam pengertian

kedua, diartikan sebagai upaya untuk memberikan kemampuan atau

(49)

Konsep empowerment pada dasarnya adalah upaya menjadikan

suasana kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi semakin efektif

secara struktural, baik dalam kehidupan keluarga, masyarakat, negara,

regional, internasional, maupun dalam bidang politik, ekonomi dan

lain-lain. Memberdayakan masyarakat menurut Kartasasmita

(www.isjn.or.id/index.php, 2012) adalah upaya untuk meningkatkan

harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang

tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan

keterbelakangan.

Pemberdayaan masyarakat merupakan sebuah konsep

pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini

mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat

“people-centered, participatory, empowering and sustainable.

Gagasan pembangunan yang mengutamakan pemberdayaan

masyarakat perlu untuk dipahami sebagai suatu proses transformasi

dalam hubungan sosial, ekonomi, budaya dan politik masyarakat.

Perubahan struktur yang sangat diharapkan adalah proses yang

berlangsung secara alamiah, yaitu yang menghasilkan dan harus dapat

dinikmati bersama. Begitu pula sebaliknya, yang menikmati haruslah

yang menghasilkan. Proses ini diarahkan agar setiap upaya

pemberdayaan masyarakat dapat meningkatkan kapasitas masyarakat

(capacity building) melalui penciptaan akumulasi modal yang

(50)

nanti dapat pula menciptakan pendapatan yang akhirnya dinikmati oleh

seluruh rakyat. dan proses transpormasi ini harus dapat digerakan

sendiri oleh masyarakat.

Menurut Sumodiningrat (www.isjn.or.id/index.php,2012),

mengatakan bahwa kebijaksanaan pemberdayaan masyarakat secara

umum dapat dipilah dalam tiga kelompok yaitu:

1) Kebijaksanaan yang secara tidak langsung mengarah pada sasaran

tetapi memberikan dasar tercapainya suasana yang mendukung

kegiatan sosial ekonomi masyarakat.

2) Kebijaksanaan yang secara langsung mengarah pada peningkatan

kegiatan ekonomi kelompok sasaran.

3) Kebijaksanaan khusus yang menjangkau masyarakat miskin

melalui upaya khusus.

Pelaksanaan pemberdayaan masyarakat, menurut Kartasasmita

(www.isjn.or.id/index.php,2012), harus dilakukan melalui beberapa

kegiatan:

1) Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi

masyarakat berkembang (enabling).

2) Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat

(empowering).

3) Memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Disinilah letak

titik tolaknya yaitu bahwa pengenalan setiap manusia, setiap

(51)

dikembangkan. Artinya, tidak ada masyarakat yang sama sekali

tidak berdaya, karena kalau demikian akan mudah punah.

Pemberdayaan merupakan suatu upaya yang harus diikuti dengan

tetap memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh setiap

masyarakat. Dalam rangka itu pula diperlukan langkah-langkah yang

lebih positif selain dari menciptakan iklim dan suasana. perkuatan ini

meliputi langkah-langkah nyata dan menyangkut penyediaan berbagai

masukan (input) serta membuka akses kepada berbagai peluang

(upportunities) yang nantinya dapat membuat masyarakat menjadi

semakin berdaya. Keadaan dan perilaku tidak berdaya yang menimpa

kelompok tersebut sering dipandang sebagai deviant atau

menyimpang, kurang dihargai dan bahkan dicap sebagai orang yang

malas dan lemah yang disebabkan oleh dirinya sendiri. Padahal

ketidakberdayaan tersebut merupakan akibat faktor struktural dari

adanya ketidakadilan dan faktor kultural berupa diskriminasi dalam

aspek-aspek kehidupan tertentu.

Menurut Sennet & Cabb (1972) dan Conway (1979) dalam

Suharto (1998:209); “ketidakberdayaan ini disebabkan oleh beberapa

faktor seperti ketiadaan jaminan ekonomi, rendahnya akses politik,

lemahnya akses informasi dan teknologi, ketiadaan dukungan finansial

serta tidak tersedianya pendidikan dan pelatihan”.Para teoritisi seperti

(52)

oleh sekelompok masyarakat merupakan akibat dari proses

internalisasi yang dihasilkan dari interaksi mereka dengan masyarakat.

Kelompok masyarakat yang kurang berdaya menganggap diri mereka

lemah dan tidak berdaya karena masyarakat menganggap demikian”.

Seeman menyebutnya dengan alienasi, Seligmen menyebutnya dengan

ketidakberdayaan dan Learner mengistilahkan dengan

ketidakberdayaan surplus. Berawal dari fenomena ketidakberdayaan

tersebut, maka muncul berbagai tindakan pemberdayaan dengan

berbagai pendekatan mulai dari program yang berkelanjutan sampai

pada aktivitas-aktivitas yang sporadis. Pengertian pemberdayaan

sendiri menjadi perhatian banyak pihak dari berbagai bidang, disiplin

ilmu dan berbagai pendekatan.Menurut Rappaport dalam Suharto

(1998:3); “pemberdayaan menunjuk pada usaha realokasi sumber daya

melalui pengubahan struktur sosial. Pemberdayaan adalah suatu cara

yang diarahkan kepada masyarakat, organisasi atau komunitas agar

mampu menguasai (berkuasa atas) kehidupannya”.

Menurut Ife dalam Edi Suharto (2009:59) pemberdayaan memuat

dua pengertian kunci yakni kekuasaan dan kelompok lemah.

Kekuasaan di sini diartikan bukan hanya menyangkut kekuatan politik

namun mempunyai arti luas yang merupakan penguasaan masyarakat

atas:

(53)

kemampuan dalam membuat keputusan-keputusan mengenai

pilihan hidup, tempat tinggal dan pekerjaan dan sebagainya.

b. Power over the definition of need :Kekuasaan atas pendefinisian

kebutuhan, kemampuan menentukan kebutuhan selaras dengan

aspirasi dan keinginan.

c. Power over ideas : Kekuasaan atas ide atau gagasan, kemampuan

mengekspersikan dan menyumbang gagasan dalam interaksi,

forum dan diskusi secara bebas dan tanpa tekanan.

d. Power over institutions: Kekuasaan atas lembaga-lembaga,

kemampuan menjangkau, menggunakan dan mempengaruhi

lembaga-lembaga masyarakat seperti; lembaga pendidikan,

kesehatan, keuangan serta lembaga-lembaga pemenuh kebutuhan

hidup lainnya.

e. Power over resources : Kekuasaan atas sumber daya, kemampuan

memobilisasi sumber daya formal dan informal serta

kemasyarakatan dalam memenuhi kebutuhan hidup.

f. Power over economic activity :Kekuasaan atas aktivitas ekonomi

kemampuan memanfaatkan dan mengelola mekanisme produksi,

distribusi serta pertukaran barang dan jasa.

g. Power over reproduction :Kekuasaan atas reproduksi, kemampuan

dalam kaitannya dengan proses reproduksi dalam arti luas seperti

pendidikan, sosialisasi, nilai dan perilaku bahkan kelahiran dan

(54)

b. Tujuan Pemberdayaan

Menurut Suharto (2009; 60), Tujuan utama pemberdayaan adalah

memperkuat kekuasaan masyarakat, khususnya kelompok lemah yang

memiliki ketidakberdayaan, baik karena kondisi internal (misalnya

persepsi mereka sendiri), maupun karena kondisi eksternal (misalnya

ditindas oleh struktur sosial yang tidak adil) guna melengkapi

pemahaman mengenai pemberdayaan perlu diketahui konsep mengenai

kelompok lemah dan ketidakberdayaan yang dialaminya. Beberapa

kelompok yang dapat dikategorikan sebagai kelompok lemah atau

tidak berdaya meliputi:

1. Kelompok lemah secara struktural, baik lemah secara kelas, gender

maupun etnis.

2. Kelompok lemah khusus, seperti manula, anak-anak dan remaja,

penyandang cacat, gay dan lesbian, masyarakat terasing.

3. Kelompok lemah secara personal, yakni mereka yang mengalami

masalah pribadi atau keluarga.

Kelompok-kelompok tertentu yang mengalami diskriminasi

dalam suatu masyarakat, seperti masyarakat ekonomi rendah,

kelompok minoritas etnis, wanita, populasi lanjut usia, serta para

penyandang cacat, adalah orang-orang yang mengalami

ketidakberdayaan. Keadaan dan perilaku mereka berbeda dari

‘keumuman’ kerapkali dipandang sebagai penyimpang. Mereka

(55)

lemah, yang disebabkan oleh dirinya sendiri. Padahal

ketidakberdayaan mereka seringkali merupakan akibat dari adanya

kekurangadilan dan diskriminasi dalam aspek-aspek kehidupan

tertentu.

Menurut Sennet dan cabb (1972) dan Conway (1979) dalam Edi

Suharto (2009: 61) menyatakan bahwa ketidakberdayaan ini

disebabkan oleh beberapa factor seperti: ketiadaan jaminan ekonomi,

ketiadaan pengalaman dalam arena politik, ketiadaan akses terhadap

informasi, ketiadaan dukungan finansial, ketiadaan pelatihan-pelatihan

dan adanya ketegangan fisik maupun emosional.

c. Dimensi Ukuran Pemberdayaan

Pemberdayaan masyarakat harus dilihat baik dari dengan

pendekatan komprehensif maupun incremental. Pada pengertian

pertama, dalam upaya ini diperlukan perencanaaan berjangka, serta

pengerahan sumber daya yang tersedia dan pengembangan potensi

yang ada secara nasional, yang mencakup seluruh masyarakat. Dalam

upaya ini perlu dilibatkan seluruh lapisan masyarakat, baik pemerintah

maupun dunia usaha dan lembaga sosial dan kemasyarakatan, serta

tokoh-tokoh dan individu-individu yang mempunyai kemampuan

untuk membantu. Dengan demikian, programnya harus bersifat

nasional, dengan curahan sumber daya yang cukup besar untuk

Gambar

 Gambar 1 UU No. 4 Tahun 1997
Gambar 2 Analisis Interaktif Menurut Miles Dan Huberman
Tabel 1 Data penyandang cacat sesuai dengan jenis kelamin
Tabel 3 Data penyandang cacat sesuai dengan minat ketrampilan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Persepsi responden tentang kualitas produk, harga produk, keunggulan teknologi produk, penggunaan produk, manfaat produk, dan kompatibilitas produk untuk kelima produk kosmetik

maupun wide-area network (WAN), banyak komputer terhubung satu dengan lainnya untuk melayani user..  Dalam hal pelayanan

Koefisien regresi atau pengaruh langsung BOPO terhadap laba perusa- haan perbankan sebesar -0,383 dan pengaruh tidak langsung BOPO terhadap laba melalui volume

Berdasarkan hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa proses perancangan seni lingkungan pada Green Collaboration #3 menghasilkan pengalaman antara lain terdapat 3 kelompok besar

Pemberian ransum komersial tersubtitusi 10%-30% tepung kulit biji kedelai (TKBK) pada ayam kampung sampai umur 7 minggu dapat meningkatkan performans karkas meliputi

Terdapat berbagai variabel makroekonomi yang mempengaruhi kinerja indeks harga saham dalam hal ini Jakarta Islamic Index seperti inflasi, JUB, harga minyak dunia,

Upaya yang telah dilakukan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Mamuju belum maksimal dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui pengembangan

Persaingan yang semakin ketat saat ini, menuntut adanya keunggulan bersaing yang harus dimiliki oleh setiap perusahaan, dan membutuhkan strategi pemasaran yang tepat. Jumlah