TANPA PENGARUH PREDASI DARI IKAN
DESNITA
SKRIPSI
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Desnita. C24070028. Perkembangan Larva Chironomidae pada Substrat Buatan di Kedalaman Berbeda tanpa Pengaruh Predasi dari Ikan. Dibawah bimbingan Yusli Wardiatno dan Majariana Krisanti.
Larva chironomida merupakan serangga air yang paling banyak ditemukan pada ekosistem perairan tawar. Chironomida seperti layaknya anggota diptera memiliki empat fase hidup: telur, larva, pupa, dan dewasa (Bay 2003). Larva adalah fase hidup yang paling lama, diperkirakan mencapai satu bulan untuk daerah tropis dan satu tahun untuk daerahbermusim empat. Keberadaan larva chironomida sangat bergantung terhadap kondisi perairan dan substrat sebagai habitatnya. Kedalaman merupakan faktor yang mempengaruhi parameter kualitas air lainnya. Terjadinya perbedaan kedalaman memberikan pengaruh berbeda pula terhadap parameter kualitas air yang pada akhirnya berpengaruh terhadap penyebaran dan proses kolonisasi larva chironomida pada suatu habitat perairan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kelimpahan dan perkembangan larva chironomida pada substrat buatan di kedalaman berbeda tanpa pengaruh predasi dari ikan pada daerah KJA dan non-KJA.
Penelitian ini dilakukan setiap hari selama satu bulan. Analisis data yang digunakan meliputi kelimpahan dan kepadatan larva chironomida serta tahap perkembangan larva chironomida. Kondisi perairan yang diamati terdiri dari parameter fisika dan kimia yaitu suhu, TSS, pH dan oksigen terlarut yang terdapat dalam perairan. Selain itu digunakan pula uji statistik yaitu uji-t 2 contoh bebas untuk membandingkan kelimpahan larva chironomida antar kedalaman dan stasiun.
i
TANPA PENGARUH PREDASI DARI IKAN
DESNITA C24070028
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :
Perkembangan Larva Chironomidae pada Substrat Buatan di Kedalaman Berbeda tanpa Pengaruh Predasi dari Ikan
adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Oktober 2011
Desnita C24070028
ii
Judul Skripsi : Perkembangan Larva Chironomidae pada Substrat Buatan di Kedalaman Berbeda tanpa Pengaruh Predasi dari Ikan
Nama Mahasiswa : Desnita
NIM : C24070028
Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Dr.Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc Majariana Krisanti, S.Pi, M.Si NIP. 19660728 199103 1 002 NIP. 19691031 199512 2 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc NIP. 19660728 199103 1 002
iii
Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Perkembangan Larva Chironomidae pada Substrat Buatan di Kedalaman Berbeda tanpa Pengaruh Predasi dari Ikan”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan kali ini, penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc. selaku dosen pembimbing pertama dan Majariana Krisanti, S.Pi, M.Si selaku dosen pembimbing kedua serta Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil selaku Komisi Pendidikan S1 yang telah banyak membantu dalam pemberian bimbingan, masukan, dan arahan dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu, penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan tulisan ini. Semoga skripsi ini memberikan manfaat kepada berbagai pihak yang terkait.
Bogor, Oktober 2011
Penulis
iv
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc selaku dosen pembimbing I dan Majariana Krisanti, S.Pi, M.Si selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, arahan, serta saran dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi.
2. Dr. Ir. Achmad Fachruddin, M.Si selaku dosen pembimbing akademik atas
arahan, motivasi, dan nasehat selama perkuliahan.
3. Dr. Ir. Sigid Hariyadi, M.Sc selaku dosen penguji tamu dan Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil. selaku dosen penguji dari program studi yang telah memberikan masukan dan saran yang sangat berarti untuk penyempurnaan skripsi ini.
4. Keluarga tercinta Papa (Ajisman), Mama (Ermawati), kakakku (Mit dan eva), dan adikku (Joni H) serta Indra Yanto atas do’a, kasih sayang dan motivasinya. 5. Bapak Ir. MHD. Shadiq Pasadiqoe, S.H sebagai Bupati Batusangkar, Sumatera
Barat yang telah memberi bantuan dana pendidikan untuk penulis.
6. Seluruh staf dan karyawan Departemen Sumberdaya Perairan serta Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan yang telah membantu memperlancar proses penelitian serta penulisan skripsi ini.
7. Lido Team (Mas Hendry, Dewil dan Dita) atas suka duka, perjuangan, kekompakan, kerjasama dan semangatnya selama melaksanakan penelitian. 8. Arif, Iboth, Eki, Zulmi, Nto, Lutfi, Amanah, Mega, Dedek, Ayu dan
v
Penulis dilahirkan di Sungayang, 09 April 1988 dari pasangan Bapak Ajisman dan Ibu Ermawati. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Pendidikan formal yang telah ditempuh yaitu SDN 11 Taratak Indah, Kec. Sungayang (1995-2001). Penulis kemudian melanjutkan pendidikan formal di MTsN Sungayang (2001-2004) dan MAN 1 Batusangkar (2004-2007). Pada tahun 2007, penulis lulus seleksi masuk ke
perguruan tinggi yaitu Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI di Departemen Manajemen Sumberdaya perairan.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis berkesempatan menjadi asisten mata kuliah Planktonologi (2010/2011). Selain itu penulis juga aktif pada kelembagaan kemahasiswaan seperti Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (HIMASPER) sebagai anggota divisi kewirausahaan dan aktif mengikuti berbagai macam kepanitiaan.
vi
3.3.1. Penentuan instar larva chironomida berdasarkan hubungan panjang dan lebar kapsul kepala ... 15
3.3.2. Uji-t dua contoh bebas ... 16
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil ... ... 17
4.1.1. Larva chironomida ... 17
4.1.2. Kepadatan larva chironomida ... 18
4.1.3. Karakteristik fisika kimia perairan ... 20
4.1.4. Pengelompokkan larva chironomida genus Polypedilum berdasarkan instar ... 22
vii 5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan ... 31
5.2. Saran ... 31
DAFTAR PUSTAKA ... 32
viii
Halaman 1. Metode dan alat yang digunakan pada pengukuran parameter
fisika-kimia perairan ... 14 2. Fungsi diskriminan instar Polypedilum hasil pengamatan
ix
Halaman 1. Perumusan masalah mengenai perkembangan larva chironomida
pada substrat buatan tanpa pengaruh predasi dari ikan ... 3 2. Peta lokasi stasiun pengambilan contoh di Danau Lido,
Kabupaten Bogor ... 10 3. Substrat buatan dan cara penempatannya pada lokasi penelitian ... 12 4. Larva Chironomida genus Polypedilum yang merupakan sub
famili Chironominae ... 18
5. Kepadatan larva chironomida pada tiap waktu pengamatan di stasiun KJA ((a) kedalaman 1 m dan (b) kedalaman 2 m) dan di stasiun
Non-KJA ((c) kedalaman 1 m dan (d) kedalaman 2 m) ... 19 6. Kualitas air Danau Lido (a) suhu KJA; (b) suhu non-KJA;
(c) TSS KJA; (d) TSS non-KJA; (e) pH KJA; (f) pH non-KJA
(g) DO KJA; (h) DO non-KJA ... 21 7. Tahap perkembangan larva berdasarkan panjang dan lebar
kapsul kepala Polypedilum stasiun KJA pada kedalaman
1 m (a) dan 2 m (b) ... 24 8. Tahap perkembangan larva berdasarkan panjang dan lebar
kapsul kepala Polypedilum stasiun non-KJA pada kedalaman
x
Halaman
1. Foto lokasi peletakan substrat buatan ... 36
2. Posisi peletakan rangkaian substrat buatan di Danau Lido ... 37
3. Alat dan bahan yang digunakan untuk analisis chironomida ... 38
4. Alat dan bahan yang digunakan untuk analisis kualitas air ... 39
5. Nilai parameter fisika dan kimia perairan ... 40
6. Kepadatan chironomida genus Polypedilum pada stasiun KJA dan non-KJA (individu/m2) ... 41
1.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Chironomida adalah serangga air yang merupakan famili dari Chironomidae dan merupakan hewan yang tersebar hampir di seluruh dunia dengan menempati habitat yang berbeda pada setiap ekosistem perairan (Frouz et al. 2003). Larva chironomida biasanya ditemukan paling banyak pada perairan tawar. Larva chironomida membutuhkan lingkungan perairan yang tepat agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Beberapa jenis mempunyai kemampuan toleransi
terhadap penurunan kandungan oksigen (Pinder 1986) dan peningkatan kandungan bahan organik (Arimoro et al. 2007, Gillis & Wood 2008, Groenendijk et al. 1998). Perubahan-perubahan pada parameter kualitas air dan substrat sebagai habitat larva chironomida sangat mempengaruhi komposisi dan kelimpahan dari organisme ini. Perubahan-perubahan pada kondisi lingkungan ini dapat berpengaruh terhadap pola penyebaran komunitas larva chironomida (Arimoro et al. 2007, Pinder 1986).
Faktor yang berperan dalam perkembangan populasi larva chironomida adalah substrat tempat menempelnya. Berbagai jenis benda yang tenggelam di dalam air dapat menjadi substrat dari larva Chironomidae, diantaranya batu, sedimen halus, kayu tenggelam, dan tumbuhan air, bahkan ada yang epizoik atau menempel pada hewan lain (Pinder 1986). Kebanyakan larva chironomida hidup membentuk tabung pada substrat (McCafferty 1983, Pinder 1986). Substrat bagi larva Chironomidae berperan sebagai rumah dan tempat berlindung dari kondisi lingkungan yang tidak nyaman. Tipe dan posisi kedalaman substrat mempengaruhi kepadatan populasi dan perkembangan larva Chironomidae. Keragaman kondisi perairan di setiap kedalaman juga mempengaruhi distribusi larva chironomida pada setiap kedalaman (Ward 1992).
Larva chironomida hidup dengan memanfaatkan bahan organik terlarut (Pinder 1986), algae perifitik, bahkan organisme lain yang lebih kecil ukurannya
1986). Hewan ini berperan penting terhadap rantai makanan pada ekosistem perairan sebagai makanan utama ikan dan organisme avertebrata lain. Oleh karena itu, untuk mengurangi jumlah predator seperti ikan dan mengetahui struktur komunitas larva chironomida, diperlukan pengkajian mengenai perkembangan larva chironomida pada substrat buatan di kedalaman berbeda tanpa pengaruh predasi dari ikan.
1.2. Perumusan Masalah
Keberadaan larva chironomida pada suatu perairan, sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap keberadaan organisme ini adalah kedalaman perairan dan beban masukan yang berasal dari kegiatan antropogenik dan kegiatan perikanan berupa keramba jaring apung yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kondisi kualitas perairan pada setiap kedalaman. Perbedaan kualitas perairan pada setiap kedalaman ini akan berpengaruh terhadap kolonisasi komunitas larva chironomida pada substrat buatan di setiap kedalaman. Substrat merupakan hal yang sangat penting sebagai habitat bagi larva chironomida. Penggunaan substrat buatan dengan tambahan pelindung diharapkan
Gambar 1. Perumusan masalah mengenai perkembangan larva chironomida pada substrat buatan tanpa pengaruh predasi dari ikan
1.3. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kelimpahan dan perkembangan larva chironomida pada substrat buatan di kedalaman berbeda tanpa pengaruh predasi dari ikan pada daerah KJA dan non-KJA.
1.4. Manfaat
2.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ekosistem Danau Lido
Danau Lido memiliki potensi yang dapat dimanfaatkan secara ekologis maupun secara ekonomis. Secara ekologis danau antara lain sebagai resapan air, sumber air bagi kehidupan, dan pengendali banjir. Danau Lido yang biasanya dikenal dengan istilah Situ Lido oleh masyarakat sekitar memiliki bentuk tidak beraturan, banyak dijumpai teluk sempit dengan tepi danau yang curam, ditumbuhi oleh belukar dan pohon karet. Danau Lido merupakan danau yang relatif kecil dengan luas 21 hektar dan termasuk kategori danau buatan yang dibuat pada abad ke-18 yaitu ketika dibendungnya Sungai Ciletuh untuk pembangunan jalan raya
Bogor-Sukabumi (Nancy 2007). Danau Lido mempunyai satu inlet dan dua outlet. Sumber utama air Danau Lido berasal dari aliran Sungai Ciletuh dan sumber air lainnya berasal dari air permukaan dan air aliran tanah (ground water).
Danau Lido pada awalnya dimanfaatkan untuk mengairi areal persawahan. Namun saat ini Danau Lido sebagai objek wisata, kepentingan rumah tangga, dan kegiatan perikanan dengan sistem KJA.
2.2. Komunitas Chironomida
Larva serangga air merupakan organisme yang sangat banyak ditemukan pada perairan. Beberapa larva serangga air termasuk chironomida hidup meliang pada sedimen. Chironomida yang paling mendominasi komponen makroavertebrata sebagai benthos adalah dari ordo Diptera. Larva chironomida yang melimpah pada perairan tergenang biasanya tidak terlalu terpengaruh terhadap perubahan suhu yang kecil, namun kondisi oksigen yang sedikit sangat berpengaruh terhadap larva chironomida, karena dapat mengganggu proses osmoregulasi organisme tersebut.
merupakan makanan bagi makroavertebrata yang lebih besar dan ikan (Frouz et al. 2003; Zilli et al. 2008). Biasanya setelah proses kawin organisme betina meletakkan telur di permukaan air yang kemudian tenggelam ke dasar perairan, selanjutnya menetas dan berkembang menjadi larva (Ciborowski 2002). Larva dari salah satu jenis chironomida sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan dan bentuk polusi, sementara chironomida jenis lainnya merupakan jenis yang toleran terhadap kondisi perairan. Larva chironomida pada masing-masing habitat memiliki pola adaptasi yang berbeda pula khususnya terhadap suhu dan oksigen (Frouz 2003).
Chironomida, seperti layaknya anggota diptera memiliki empat fase hidup: telur, larva, pupa, dan dewasa. Siklus hidup dari telur hingga dewasa berkisar dalam rentang waktu satu minggu hingga lebih dari satu tahun bergantung pada spesiesnya (Bay 2003). Larva adalah fase hidup yang paling lama, diperkirakan mencapai satu bulan untuk daerah tropis dan satu tahun untuk daerah bermusim empat. Larva chironomida ini memiliki tipe dan cara makan yang bervariasi, ada yang bersifat detrivor yakni memakan organisme yang sudah mati, grazer yaitu memakan algae dan fitoplankton, dan ada pula yang bersifat predator atau memangsa avertebrata
lain yang lebih kecil.
2.3. Substrat Buatan
Substrat buatan merupakan alat yang dibuat dari material alami maupun buatan dari berbagai komposisi dan konfigurasi yang ditempatkan dalam air pada kedalaman tertentu selama periode pemaparan untuk kolonisasi komunitas makroavertebrata (APHA 1995). Substrat buatan merupakan manipulasi atau imitasi dari karakteristik substrat alami (Allan 1995 in Saliu & Ovuorie 2006). Seperti halnya substrat alami yang tenggelam (misalnya ranting kayu), pada substrat buatan, kolonisasi utama dilakukan oleh larva serangga air, crustacea, coelenterata, bryozoan, cacing, gastropoda, dan moluska (APHA 1995).
memberikan nilai keragaman yang lebih rendah dikarenakan substrat buatan ini memiliki bentuk habitat yang seragam untuk proses kolonisasi.
Keuntungan utama dalam penggunaan substrat buatan untuk mendapatkan data makroavertebrata adalah untuk meminimalisasi bentuk variasi fisik seperti jenis substrat, kedalaman, dan penetrasi cahaya. Alat ini juga digunakan karena tidak mengganggu keberadaan organisme asli di kawasan tersebut. Substrat buatan baik digunakan untuk mendapatkan data mengenai populasi makroavertebrata ketika alat konvensional tidak efisien dan tidak efektif untuk digunakan khususnya pada perairan yang memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Sifat badan air memiliki kedalaman yang besar dan keruh 2. Sifat substrat yang tidak stabil berupa pasir dan lumpur 3. Sifat dasar perairan berupa bebatuan besar dan keras
Melalui substrat buatan, habitat yang tidak cocok untuk organisme bentik dapat diatasi dengan menyeragamkan bentuk dasar dari habitat yang dapat diletakkan pada area manapun sesuai kondisi yang diinginkan. Kemampuan organisme invertebrata untuk berkoloni pada substrat buatan sangat dipengaruhi oleh
lingkungan alami dan stabilitas serta ketetapan substrat (Saliu & Ovuorie 2007).
2.4. Parameter Fisika dan Kimia Perairan 2.4.1. Kedalaman
dengan banyaknya air yang masuk ke dalam suatu sistem perairan dan berpengaruh terhadap penyebaran organisme perairan (Welch 1952).
2.4.2. Suhu
Suhu suatu perairan sangat dipengaruhi oleh jumlah cahaya matahari yang jatuh ke permukaan perairan, sebagian dipantulkan kembali ke atmosfer dan sebagian masuk ke perairan yang disimpan dalam bentuk energi (Welch 1952). Suhu suatu badan perairan dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran serta kedalaman badan air. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia, biologi badan air. Suhu menjadi parameter penting dalam perairan dan berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan di perairan. Suhu disebutkan memberikan pengaruh bagi proses kimia maupun biologi di perairan. Secara umum, tingkat reaksi kimia dan biologi meningkat menjadi dua kali lipat untuk setiap kenaikan suhu sebesar 10 0C. Hal ini menunjukkan bahwa organisme akuatik menggunakan oksigen terlarut dua kali lebih banyak untuk suhu 30 0C dibandingkan suhu 20 0C, dan reaksi kimia menunjukkan kemajuan dua kali lebih cepat pada suhu 30 0C dibandingkan suhu 20 0C (Boyd 1998).
2.4.3. TSS atau padatan tersuspensi
2.4.4. pH
Konsentrasi ion hidrogen adalah salah satu parameter kualitas air yang sangat penting baik untuk perairan alami maupun air limbah. Definisi yang biasanya digunakan untuk menyatakan konsentrasi hidrogen adalah pH, yang didefinisikan sebagai logaritma negatif dari konsentrasi ion hidrogen. Kisaran konsentrasi pH bagi keberadaan hampir semua kehidupan biologi biasanya sangat sempit dan kritis (6-9). Nilai pH ideal untuk perairan adalah 6,5-8,5, sedangkan pH air yang digunakan untuk keperluan perikanan dan peternakan adalah 6,9 (PPRI No. 82 tahun 2001). Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan mebahayakan kelangsungan hidup organisme karena menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi (Barus 2002).
Air yang basa dapat mendorong proses perombakan bahan organik yang ada dalam air menjadi mineral-mineral yang dapat diasimilasi oleh tumbuhan. Nilai pH sering juga dipakai sebagai petunjuk untuk menyatakan baik buruknya keadaan air sebagai lingkungan hidup, walaupun baik buruknya suatu perairan itu tergantung pula dari faktor lain (Welch 1952).
2.4.5. Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen/DO)
Oksigen terlarut (DO) adalah konsentrasi gas oksigen yang terlarut dalam air. Oksigen terlarut merupakan parameter penting karena dapat digunakan untuk mengetahui gerakan masa air yang merupakan indikator penting bagi proses kimia dan biologi. Oksigen di perairan berasal dari difusi udara maupun dari proses
fotosintesis oleh organisme nabati seperti fitoplankton dan tumbuhan air. Difusi oksigen dari atmosfer ke air bisa terjadi secara langsung pada kondisi air diam (stagnant) atau pergolakan massa air akibat adanya arus (Wetzel 2001).
3.
METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 27 Maret – 26 April 2011 yang berlokasi di Danau Lido. Penelitian dilakukan di kawasan perairan Danau Lido dengan membagi dua kawasan pengamatan. Stasiun pengamatan pertama berada pada koordinat 106048’ 42” BT dan 06044’ 29” LS, dan stasiun pengamatan kedua berada pada koordinat 106048’ 30” BT dan 060 44’ 47” LS dengan ketinggian 502,2 m dpl. Peletakan substrat buatan didasarkan pada kondisi lingkungan yang terdapat dan tidak terdapat karamba jaring apung (KJA). Stasiun satu adalah kawasan yang terdapat karamba jaring apung (KJA) yang terletak dekat outlet dari Danau Lido dan
stasiun dua merupakan kawasan yang tidak terdapat karamba jaring apung (non-KJA) yang terletak dekat inlet dari Danau Lido.
Peletakkan substrat buatan dilakukan dengan mempertimbangkan aspek aksesibilitas, keamanan dan kedalaman yang ditentukan. Substrat buatan diletakkan pada dua kedalaman yaitu kedalaman 1 m dan 2 m. Posisi kedalaman substrat buatan diharapkan mampu memberikan respon yang berbeda berkenaan dengan kondisi kualitas perairan pada dua kedalaman tersebut.
3.2. Tahapan Penelitian 3.2.1. Persiapan
Pada tahap ini dipersiapkan substrat buatan yang terbuat dari kawat nyamuk yang berbahan nilon, kawat besi, bambu sebagai frame, botol plastik dengan ukuran 1,5 liter yang digunakan sebagai pelampung, batu bata sebagai pemberat dan tali tambang yang digunakan untuk merangkai antar frame. Pertama, kawat besi dibentuk persegi dengan ukuran 15x15 cm. Kemudian kawat besi yang sudah dibingkai ditutupi kawat nyamuk dengan ukuran mata jaring 2 mm dan dijahit pada setiap sisinya. Kawat besi yang sudah dilapisi dengan kawat nyamuk ini tampak seperti saringan berbentuk persegi.
Langkah berikutnya, bambu dibuat seperti persegi panjang dengan ukuran 45 x30 cm mengikuti panjang sisi kawat besi yang telah dirangkai. Kawat besi yang sudah dirangkai dengan kawat nyamuk sejumlah tiga buah diletakkan selang seling pada bambu yang sudah dibuat seperti persegi panjang. Kemudian antar bambu dirangkai menggunakan tali tambang. Tambang bagian atas diikatkan dengan botol plastik sebagai pelampung dan bagian bawahnya diikatkan dengan batu bata sebagai pemberat seperti yang terlihat pada Gambar 3. Setelah itu, seluruh rangkaian substrat buatan dilindungi dengan menggunakan jaring, mulai dari bawah sampai ke permukaan atau sejajar dengan pelampung.
Gambar 3. Substrat buatan dan cara penempatannya pada lokasi penelitian
3.2.2. Pelaksanaan
Pengambilan sampel dilakukan satu hari setelah substrat diletakkan. Sampel diambil setiap hari selama satu bulan. Pengambilan sampel kualitas perairan baik itu
parameter fisika dan kimia dilakukan sebanyak satu kali dalam satu minggu yang kemudian dilakukan analisis secara insitu dan exsitu. Analisis laboratorium untuk sampel air secara exsitu dilakukan di laboratorium Fisika-Kimia Perairan bagian
( i )
d : Bingkai substrat buatan (z=1m) e : Bingkai substrat buatan (z=2m) f : Pemberat pada dasar perarian
g : Substrat buatan dari kasa nyamuk (15 x 15) cm2, mesh size 2 mm
h : Tanpa substrat buatan (celah)
i : Jaring sebagai pelindung dengan ukuran mata jaring 0.5 inc
Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Analisis untuk sampel larva chironomida dilakukan di Laboratorium Biomikro I bagian Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
3.2.3. Pengambilan contoh
Metode pengambilan contoh yang digunakan pada peletakan substrat buatan adalah metode purposive sampling yaitu suatu metode penarikan contoh dimana unsur-unsur penarikan contoh sudah ditentukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang ada (Mantra & Kasto 2006). Sistem pengambilan contoh secara purposive sampling ini diterapkan pada peletakan substrat buatan dalam ekosistem perairan Danau Lido ini yang didasarkan pada suatu kerangka berpikir, dimana terdapat ordinasi atau tujuan dalam pengamatan mengenai proses kolonisasi larva chironomida pada substrat buatan yang dicirikan dengan adanya perbedaan pada ekosistem tersebut dalam hal ini adalah lokasi titik sampling.
Substrat buatan diletakkan pada dua titik stasiun, stasiun pertama merupakan kawasan yang terdapat KJA dan stasiun kedua tidak terdapat KJA. Setelah peletakan substrat buatan, keesokan harinya dilakukan pengangkatan pada substrat buatan dan net yang berukuran 15x15 cm. Net tersebut selanjutnya dikerik dengan menggunakan kuas, kemudian hasil kerikan dimasukkan kedalam botol sampel yang telah diberi alkohol dengan konsentrasi 70%. Tahap berikutnya sampel dianalisis di
Tabel 1. Metode dan alat yang digunakan pada pengukuran parameter fisika-kimia perairan
Parameter Unit Alat /Metode Pustaka Acuan
FISIKA
1. Suhu 0C Termometer/pemuaian APHA 1995
2. Kedalaman m Tali berskala/pengukuran APHA 1995
3. TSS mg/l Vacuum pump/gravimetrik APHA 1995
KIMIA
1. pH - pH stik APHA 1995
2. DO mg/l Titrasi modifikasi Winkler APHA 1995
3.2.4. Analisis di laboratorium
Analisis sampel larva chironomida dilakukan di Laboratorium Biomikro I bagian Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Sampel larva chironomida dipisahkan (disortir) dari serasah dan bahan lainnya menggunakan mikroskop stereo, setelah itu diidentifikasi dengan menggunakan mikroskop majemuk yang terhubung dengan kamera Motic Images Plus 2.0 ML. Untuk memudahkan dalam pemisahan organisme dengan serasah ditambahkan larutan Rose Bengal ke dalam sampel tersebut, sehingga terjadi perbedaan warna antara serasah dengan organisme. Selanjutnya sampel larva chironomida tersebut disimpan didalam botol sampel yang sudah diberi alkohol dengan konsentrasi 70%.
3.3. Pengolahan Data
3.3.1. Penentuan instar larva chironomida berdasarkan hubungan panjang dan lebar kapsul kepala
Larva chironomida memiliki empat tahap perkembangan atau biasa disebut dengan instar. Bagian tubuh larva yang digunakan untuk menduga perkembangan dari setiap tahapan instar adalah ukuran kapsul kepala, yaitu panjang dan lebar kapsul kepala. Hal ini dilakukan karena tubuh larva chironomida seringkali mengkerut setelah diawetkan sedangkan kapsul kepala bentuknya tetap karena terbuat dari khitin. Ukuran panjang dan lebar kapsul kepala diukur dengan menggunakan program Motic Image 2.0 pada komputer yang terhubung dengan mikroskop majemuk berkamera. Selanjutnya data ukuran panjang dan lebar kapsul kepala tersebut diplotkan pada grafik scater untuk menduga kelompok instar. Penentuan kelompok instar tersebut dapat ditentukan berdasarkan persamaan pada Tabel 2 dari hasil pengolahan data instar menggunakan metode discriminant analysis oleh Favian (2011).
Tabel 2. Fungsi diskriminan instar Polypedilum hasil pengamatan di Danau Lido
Fungsi
Diskriminan Instar Persamaan Kepercayaan
Setelah diperoleh data panjang dan lebar kapsul kepala setiap tahapan instar, data tersebut diplotkan pada grafik scater menggunakan program Sigma plot 11, dimana panjang kapsul kepala sebagai sumbu x dan lebar kapsul kepala sebagai sumbu y.
3.3.2. Uji-t dua contoh bebas
Uji-t 2 sampel independen (bebas) adalah metode yang digunakan untuk menguji kesamaan rata-rata dari 2 populasi yang bersifat independen, dimana peneliti tidak memiliki informasi mengenai ragam populasi. Independen maksudnya adalah bahwa populasi yang satu tidak dipengaruhi atau tidak berhubungan dengan populasi yang lain (Matjik & Sumertajaya 2002). Kemungkinan kondisi dimana peneliti tidak memiliki informasi mengenai ragam populasi adalah kondisi yang paling sering dijumpai di kehidupan nyata. Oleh karena itu secara umum, uji-t (baik 1-sampel, 2-sampel, independen maupun paired) adalah metode paling sering digunakan. Perhitungan uji-t ini menggunakan program minitab 14.
Hipotesis yang digunakan adalah:
Ho : Ukuran lebar kepala larva chironomida pada tiap kedalaman adalah sama H1 : Ukuran lebar kepala larva chironomida pada tiap kedalaman adalah berbeda
Ho : Ukuran lebar kepala larva chironomida pada tiap stasiun adalah sama H1 : Ukuran lebar kepala larva chironomida pada tiap stasiun adalah berbeda
Perhitungan uji statistik berdasarkan Matjik (2002) adalah:
Dimana 1 merupakan rataan sampel pertama, 2 adalah rataan sampel kedua, d0
adalah dugaan nilai tengah, n1 adalah jumlah sampel yang pertama dan n2 adalah
jumlah sampel yang kedua. adalah ragam sampel pertama dan ragam dari
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
4.1.1. Larva Chironomida
Larva chironomida yang ditemukan pada kedua stasiun adalah dari famili
Chironomidae dengan sub famili Chironominae, Tanypodinae dan Orthocladiinae.
Adapun genus yang ditemukan pada masing-masing sub famili dapat disajikan pada
Tabel 3. Namun, pada kedua stasiun didominasi oleh sub famili Chironominae yaitu
dari genus Polypedilum.
Tabel 3. Genus larva chironomida yang ditemukan tiap stasiun
Sub Famili Genus
Chironominae Chironomus, Dicrotendipes, Kiefferulus, Microchironomus, Micropsectra, Parachironomus, Polypedilum, Pseudochironomus
Tanypodinae Ablabesmyia, Monopelopia, Procladius
Orthocladiinae Cricotopus, Orthocladius,Parakiefferiella, Tvetenia
Larva chironomida pada sub famili Chironominae memiliki ciri berupa antena
yang terdiri dari empat sampai delapan segmen. Labral lamella biasanya
berkembang dengan baik, namun pada beberapa taksa tidak terlihat
perkembangannya. Mentum biasanya memiliki delapan sampai enam belas gigi.
Ventromental plate biasanya berkembang dengan baik dan memiliki striae seperti
kipas. Anal tubulus biasanya ada pada sub famili ini dan biasanya perkembangan
anal tubulus lebih kecil pada larva chironomida yang ditemukan di air payau dan air
laut. Larva chironomida pada sub famili ini hidup meliang dengan membentuk
kapsul yang melindungi tubuhnya, memakan algae dan detritus, beberapa taksa
Gambar 4. Larva Chironomida genus Polypedilum yang merupakan sub famili Chironominae
4.1.2. Kepadatan larva chironomida
Kepadatan larva chironomida bervariasi pada tiap pengambilan contoh. Adanya perbedaan tersebut dipengaruhi oleh variasi kondisi kualitas perairan baik yang bersifat fisik, kimia maupun biologi, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap kelimpahan makanan yang ada pada perairan tersebut. Faktor lingkungan yang berbeda pada setiap kedalaman, posisi stasiun dan waktu pengamatan dapat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup larva chironomida pada substrat buatan. Gambar 5 memberikan informasi mengenai kepadatan larva chironomida yang ditemukan pada stasiun KJA dan non-KJA dengan kedalaman berbeda. Nilai kepadatan larva chironomida yang ditemukan pada stasiun KJA jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan stasiun non-KJA, baik pada kedalaman 1 m maupun pada kedalaman 2 m. Namun dari kedua stasiun, nilai kepadatan larva chironomida genus Polypedilum dominan lebih tinggi dibandingkan dengan larva chironomida genus lain (non Polypedilum).
Gambar 5. Kepadatan larva chironomida pada tiap waktu pengamatan di stasiun KJA ((a) kedalaman 1 m dan (b) kedalaman 2 m) dan di stasiun non-KJA ((c) kedalaman 1 m dan (d) kedalaman 2 m)
Nilai kepadatan larva Polypedilum pada stasiun non-KJA paling besar terdapat pada waktu pengambilan contoh hari ke-18 dan hari ke-29 yaitu sebesar 281 individu/m2 pada kedalaman 1 m (Gambar 5 (c)) sedangkan pada kedalaman 2 m (Gambar 5 (d)), kepadatan larva paling besar terdapat pada waktu pengambilan sampel hari ke-22 yaitu sebesar 148 individu/m2. Sedangkan nilai kepadatan larva non Polypedilum paling besar terdapat pada waktu pengambilan contoh hari ke- 25
sebesar 222 individu/m2 di kedalaman 1 m dan pada kedalaman 2 m paling besar terdapat pada waktu pengambilan contoh hari ke- 17 sebesar 148 individu/m2.
4.1.3. Karakteristik fisika kimia perairan
Pengukuran nilai parameter fisika dan kimia perairan dilakukan sebanyak satu
kali dalam satu minggu. Nilai parameter fisika dan kimia perairan ini dapat
menggambarkan kualitas perairan yang ada di Danau Lido. Nilai parameter fisika
dan kimia perairan dapat dilihat pada Lampiran 5.
Suhu suatu perairan dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude), ketinggian dari permukaan laut (altitude), waktu dalam malam hari, sirkulasi udara, penutupan awan dan aliran serta kedalaman badan air. Nilai suhu pada lokasi pengamatan
berbeda-beda namun memiliki kisaran yang hampir sama. Pada Gambar 6 (a) dapat
dilihat bahwa nilai suhu pada stasiun KJA berkisar antara 25-27 0C. Nilai suhu
tertinggi berada pada waktu pengambilan sampel hari ke 1 dan ke-8 pada kedalaman
Nilai pH pada setiap stasiun hampir sama. Nilai pH pada stasiun KJA berkisar antara 5,5-6,0. Nilai pH di kedalaman 1 m adalah sama pada setiap waktu pengambilan contoh sedangkan pada kedalaman pH terendah terdapat pada waktu pengambilan contoh hari ke- 15 sebesar 5,5 (Gambar 6 (e)). Sedangkan Gambar 6 (f) menjelaskan bahwa nilai pH pada stasiun non-KJA berkisar antara 5,5-6,0. Nilai pH terendah terdapat pada kedalaman 1 m yaitu sebesar 5,5 pada waktu pengambilan contoh hari ke-15 dan pada kedalaman 2 m nilai pH sama pada setiap waktu pengambilan contoh.
Oksigen merupakan parameter yang sangat signifikan bagi kelangsungan hidup organisme akuatik. Pada Gambar 6 dapat diketahui bahwa nilai oksigen yang diperoleh berbeda pada setiap kedalaman. Nilai oksigen ini sangat dipengaruhi oleh suhu, turbulensi air, dan tekanan atmosfer. Semakin besar suhu dan ketinggian, serta semakin kecil tekanan atmosfer, kadar oksigen terlarut akan semakin kecil. Pada stasiun KJA pada Gambar 6 (g) nilai oksigen terlarut yang diperoleh berkisar antara 3,0-7,6 mg/l dengan nilai tertinggi berada pada kedalaman 1 m waktu pengambilan sampel hari ke-15 yaitu sebesar 7.6 mg/l dan terendah sebesar 3,0 mg/l pada waktu
pengambilan sampel hari ke-1 kedalaman 1 m dan setiap waktu pengambilan sampel pada kedalaman 2 m. Sedangkan pada stasiun non-KJA (Gambar 6 (h)) nilai oksigen terlarut yang diperoleh berkisar antara 2,3-8,1 mg/l. Nilai oksigen terlarut tertinggi diperoleh pada waktu pengambilan sampel hari ke-29 kedalaman 1 m dengan nilai sebesar 8,1 mg/l dan terendah sebesar 2,3 mg/l pada waktu pengambilan sampel hari ke-1 kedalaman 2 m.
4.1.4. Pengelompokkan larva chironomida genus Polypedilum berdasarkan instar
Perkembangan larva chironomida dapat dilihat dari pola perkembangan instar.
Perkembangan instar pada larva chironomida terdiri dari empat tahap yaitu mulai
dari instar I sampai dengan instar IV. Tahapan setiap instar tersebut ditentukan
berdasarkan ukuran panjang dan lebar dari kapsul kepala larva chironomida.
Informasi mengenai tahap perkembangan larva chironomida genus Polypedilum di stasiun KJA pada setiap kedalaman dapat dilihat pada Gambar 7. Penentuan instar
selama waktu pengambilan contoh memiliki perkembangan larva yang terdiri atas
empat instar. Pada Gambar 7 (a) dapat dilihat tahap perkembangan larva genus
Polypedilum stasiun KJA pada kedalaman 1 m, dimana instar pertama memiliki panjang kepala dengan kisaran 61,3 µm sampai 140,3 µm dan memiliki lebar kepala
dengan kisaran 63,5 µm sampai 141,8 µm. Tahap perkembangan larva pada instar
kedua memiliki panjang kepala dengan nilai antara 96,1 µm sampai 182,2 µm dan
lebar kepala berkisar antara 135,1 µm sampai 192,3 µm. Tahap perkembangan larva
selanjutnya adalah pada instar ketiga dengan panjang kepala berkisar 164,2 µm
sampai 239,9 µm dan lebar kepala berkisar antara 192,2 µm sampai 248,9 µm.
Sedangkan tahap perkembangan larva instar keempat panjang kepala berkisar antara
188,8 µm sampai 387,1 µm dan lebar kepala berkisar antara 225,8 µm sampai 398
µm.
Informasi mengenai tahap perkembangan larva pada kedalaman 2 m dapat
dilihat pada Gambar 7 (b). Instar pertama memiliki kisaran panjang kepala dari 65,5
µm sampai 128,3 µm dan lebar kepala berkisar antara 70,5 µm sampai 142 µm.
Tahap perkembangan selanjutnya adalah instar kedua dengan kisaran panjang kepala
102,3 µm sampai 184,6 µm dan memiliki lebar kepala berkisar antara 139,3 µm
sampai 199,2 µm. Tahap perkembangan larva pada instar ketiga memiliki panjang
kepala 161,9 µm sampai 225,5 µm dan lebar kepala 197,2 µm sampai 248,9 µm.
Sedangkan tahap perkembangan larva instar keempat memiliki panjang kepala 184,6
µm sampai 781,5 µm dan lebar kepala 218,8 µm sampai 692,3 µm
Gambar 7. Tahap perkembangan larva berdasarkan panjang dan lebar kapsul kepala Polypedilum stasiun KJA pada kedalaman 1m (a) dan 2 m (b)
Informasi mengenai tahap perkembangan larva chironomida genus
Polypedilum pada stasiun non-KJA per kedalaman dapat dilihat pada Gambar 8. Gambar 8 (a) dapat memberikan informasi mengenai tahap perkembangan larva
genus Polypedilum pada kedalaman 1 m. Instar pertama memiliki kisaran panjang kepala dari 59 µm sampai 130,3 µm dan lebar kepala dari 77,4 µm sampai 139,2
µm. Tahap perkembangan selanjutnya adalah instar kedua yang memiliki panjang
kepala dari 109 µm sampai 163,2 µm dan lebar kepala dari 138,3 µm sampai 184,6
µm. Tahap perkembangan larva pada instar ketiga memiliki panjang kepala dari
161,5 µm sampai 221 µm dan lebar kepala dari 193,4 µm sampai 241,1 µm.
Sedangkan instar keempat memiliki panjang kepala dari 193,9 µm sampai 541,8 µm
dan lebar kepala 226,5 µm sampai 574,2 µm.
Gambar 8 (b) menggambarkan tahap perkembangan larva Polypedilum pada kedalaman 2 m. Instar pertama memiliki panjang kepala berkisar antara 65,9 µm
sampai 139 µm dan lebar kepala dari 71 µm sampai 141,7 µm. Tahap selanjutnya
adalah instar kedua dengan kisaran panjang kepala 102,6 µm sampai 173,2 µm dan
lebar kepala berkisar antara 142,9 µm sampai 198,1 µm. Tahap perkembangan larva
instar ketiga memiliki panjang kepala berkisar antara 167,3 µm sampai 225,5 µm
dan lebar kepala dari 195 µm sampai 240,7 µm. Sedangkan pada tahap
perkembangan selanjutnya adalah instar keempat memiliki panjang kepala dari
Gambar 8. Tahap perkembangan larva berdasarkan panjang dan lebar kapsul kepala Polypedilum stasiun non-KJA pada kedalaman 1m (a) dan 2 m (b)
4.1.5. Uji t-dua contoh bebas
Hasil yang diperoleh dari uji-t dua contoh antar kedalaman pada kedua stasiun
adalah gagal tolak Ho. Pada uji dua sampel di stasiun dengan membandingkan antar
kedalaman diperoleh nilai Thitung sebesar -0,72 dimana nilai Thitung ini jauh lebih kecil
dari nilai taraf nyata α= 0,05 artinya dari dua kedalaman tersebut perkembangan larva chironomida genus Polypedilum yang ada tidak berbeda nyata. Hal ini diduga bahwa kondisi oksigen terlarut stasiun tersebut masih di atas baku mutu
memungkinkan organisme larva chironomida genus ini dapat bertahan hidup. Hal
yang sama juga terjadi pada stasiun non-KJA dimana nilai Thitung yang diperoleh
lebih kecil dari taraf nyata α= 0,05 dengan nilai Thitung adalah 0,38 artinya hipotesis
Ho diterima sehingga dapat dikatakan bahwa perkembangan larva chironomida
genus Polypedilum pada dua kedalaman tidak berbeda nyata.
Untuk uji t-dua contoh pada dua stasiun yang berbeda antara stasiun KJA
dengan stasiun non-KJA pada kedalaman 1 m pada waktu pengambilan sampel
dipeoleh nilai Thitung sebesar 2,88, dimana nilai Thitunglebih besar dari taraf nyata α=
0,05. Keputusannya adalah tolak Ho yang berarti pada setiap pengambilan sampel
yang dilakukan pada kedalaman 1 m di antara dua stasiun tersebut berbeda nyata.
Hal yang sama terjadi pada kedalaman 2 m, dimana nilai Thitung yang diperoleh lebih
besar jika dibandingkan dengan nilai taraf nyata α= 0,05 dengan nilai Thitung sebesar
2,43. Sehingga keputusan yang dapat diambil adalah tolak Ho. Artinya hal ini
menggambarkan bahwa pada kedalaman 2 m perkembangan larva chironomida
genus Polypedilum ini adalah berbeda nyata. Hal ini diduga bahwa suplai makanan di stasiun KJA jauh lebih banyak dibandingkan dengan stasiun non-KJA.
4.2. Pembahasan
Larva chironomida yang ditemukan pada penelitian ini terdiri dari tiga sub
famili yaitu Chironominae, Tanypodinae dan Orthocladiinae. Organisme yang
paling banyak ditemukan dari kedua stasiun berasal dari sub famili Chironominae
yaitu sebanyak delapan genus. Sedangkan untuk sub famili Tanypodinae dan
Orthocladiinae masing-masing ditemukan tiga dan empat genus. Jenis larva
Polypedilum dari sub famili Chironominae. Perkembangan larva Polypedilum tentunya tidak terlepas dari pengaruh lingkungan, baik faktor fisik, kimia maupun
biologis (Arimoro et al. 2007). Beberapa faktor fisik dan kimia yang merupakan parameter kualitas air yang menjadi faktor pendukung terhadap perkembangan larva
Polypedilum diantaranya yaitu DO, TSS, pH, dan suhu. Selain itu larva chironomida genus ini memiliki kemampuan adaptasi dan sangat toleran terhadap kondisi
lingkungan terutama terhadap pencemaran (Newburn & Krane 2000) dibandingkan
dengan genus-genus dari sub famili Tanypodinae dan Orthocladiinae.
Kepadatan larva chironomida genus Polypedilum pada kedua stasiun berbeda-beda. Kepadatan larva genus Polypedilum pada stasiun KJA bervariasi pada setiap waktu pengambilan contoh dan kedalaman. Waktu pengambilan contoh minggu
pertama belum ditemukan larva chironomida. Hal ini diduga karena perlu adanya
suksesi larva terhadap substrat buatan yang baru dipasang, sehingga pada substrat
buatan tersebut belum terjadi proses kolonisasi larva chironomida. Kepadatan larva
chironomida terbesar terdapat pada waktu pengambilan contoh minggu kedua yaitu
hari ke-14. Tingginya kepadatan larva pada hari tersebut disebabkan karena
banyaknya larva yang hidup menetap dan sudah berumur 14 hari dan adanya
kelompok larva baru pada hari tersebut. Sedangkan pada waktu pengambilan contoh
minggu ketiga dan keempat secara umum kepadatan larva setiap hari semakin
menurun. Kepadatan larva chironomida yang menurun dari waktu ke waktu
pengambilan contoh ini diduga karena jaring tersebut tidak dapat melindungi larva
chironomida dari predator selain ikan, seperti nimfa capung. Nimfa capung
merupakan salah satu karnivora ganas yang apabila berukuran besar dapat memburu
dan memangsa berudu, anak ikan dan termasuk larva chironomida.
Pemakaian jaring pelindung dengan tujuan mengurangi predasi dari ikan
berhasil untuk menghalangi predasi dari ikan. Akan tetapi jaring tersebut tidak bisa
melindungi larva dari predator selain ikan, seperti dengan ditemukan keong, udang
dan nimfa capung pada beberapa waktu selama pengamatan. Oleh karena itu,
alangkah baiknya jaring yang digunakan itu tidak hanya dari bawah dan samping
tetapi juga dari atas, sebagaimana percobaan yang telah dilakukan oleh Klemm
sehingga benar-benar dapat melindungi larva chironomida dari predasi selain ikan.
Selain itu penggunaan jaring pelindung di bagian atas juga memperkecil peluang
adanya serangga jenis lain meletakkan telurnya di substrat buatan yang dapat
menjadi pesaing (competitor) ataupun predator bagi larva chironomida.
Kepadatan larva chironomida pada stasiun non-KJA jauh lebih kecil
dibandingkan dengan kepadatan larva pada stasiun KJA. Hal ini diduga terkait
dengan kondisi pada stasiun KJA yang banyak mengandung bahan organik yang
berasal dari limbah domestik dan sisa pakan ikan (Sukmana 2010). Masukan bahan
organik ini merupakan sumber makanan bagi larva Chironomida (Silva et al. 2008) termasuk juga Polypedilum, dengan demikian kelimpahan Polypedilum pada stasiun KJA lebih banyak dibandingkan di stasiun non-KJA. Perbedaan tersebut dapat pula
disebabkan oleh kondisi fisik lingkungan perairan, seperti halnya pada stasiun KJA
lebih banyak ditemukan Chironomidae dewasa serta banyak bagian dari KJA yang
dapat menjadi tempat berlindung dan bertengger Chironomidae dewasa. Dengan
demikian hal ini memberi peluang indukan untuk meletakkan telur lebih banyak.
Tahap perkembangan larva chironomida dapat dilihat dari ukuran tubuhnya.
Ukuran tubuh yang dapat dijadikan sebagai penentu tahap perkembangan larva
adalah lebar kapsul kepala larva chironomida (Klemm 2003). Berdasarkan hasil
yang diperoleh baik di stasiun KJA maupun non-KJA, keempat instar dalam
perkembangan larva chironomida bisa ditemukan di substrat buatan, yaitu mulai dari
instar pertama, kedua, ketiga dan keempat. Hal ini menjelaskan bahwa substrat
buatan yang digunakan pada penelitian ini dapat memberikan habitat bagi tiap
tahapan instar dari larva genus ini. Seperti yang diketahui larva genus ini memiliki
adaptasi yang berbeda dan sangat toleran terhadap kondisi lingkungan pada setiap
instarnya. Selain itu ukuran tubuh larva genus Polypedilum pada stasiun KJA lebih besar dibandingkan pada stasiun non-KJA. Sesuai dengan Silva et al. (2008) bahwa larva Polypedilum pada lokasi yang dekat dengan pemukiman penduduk yang banyak menerima masukan limbah domestik akan lebih cepat dibandingkan dengan
lokasi yang tinggi sedimentasi. Selain itu, perkembangan larva Polypedilum pada lokasi yang terdapat makanan relatif lebih cepat dibandingkan dengan lokasi yang
Perbedaan respon larva chironomida pada substrat buatan di kedua stasiun ini
dapat dibuktikan dengan uji t. Berdasarkan uji t tersebut terlihat adanya perbedaan
respon antar stasiun, namun hasil uji t terhadap larva pada setiap kedalaman antar
stasiun memberikan hasil yang tidak berbeda nyata. Hal ini berkaitan dengan kondisi
lingkungan perairan di kedua stasiun. Pada stasiun KJA masih memenuhi
karakteristik agar larva chironomida dapat bertahan hidup, yaitu dengan adanya
bahan organik yang banyak sebagai makanan bagi larva chironomida.
Perubahan-perubahan terhadap respon yang diamati ini pada akhirnya akan menunjukkan
adanya perkembangan larva chironomida pada substrat buatan di kedalaman
5.
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Substrat buatan yang diberi jaring pelindung pada stasiun KJA dan non-KJA
mampu menjadi habitat tiruan bagi larva chironomida khususnya pada larva
Polypedilum, sehingga dapat melindunginya dari predator berupa ikan. Keempat instar larva chironomida ditemukan pada substrat buatan yaitu instar pertama, kedua,
ketiga, dan keempat.
5.2. Saran
Perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai rancangan yang
melindungi substrat buatan dari segala arah agar perkembangan chironomida
berlangsung dengan baik tanpa adanya gangguan dari predator untuk meningkatkan
DAFTAR PUSTAKA
[APHA] American Public Heath Association. 1995. Standard methods for the examination of water and wastewater. 19th Edition. American Public Health Association, Washington, American Water Works Association, Water Environment Federation. Uniterd Book Press, Inc. Maryland. The United State of America. 1015 p.
Arimoro FO, Ikomi RB, Iwegbue CMA. 2007. Water quality changes in relation to Diptera community patterns and diversity measured at an organic effluent impacted stream in the Niger Delta, Nigeria. Ecological Indicators 7:541-552. Barus TA. 2002. Pengantar limnologi. Jurusan Biologi. FMIPA. USU. Medan. 164
p.
Basmi HJ. 1988. Perkembangan komunitas fitoplankton sebagai indikasi perubahan tingkat kesuburan kualitas perairan [tidak dipublikasikan]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Bogor.
Bay EC. 2003. Chironomid midges. Washington State University. USA.
Boyd C. 1998. Water quality for pond aquaculture. Auburn University. Almabama.
Brodersen KP. Pederson Ole. Walker IR. Jensen MT. 2007. Respiration of midges (Diptera: Chironomidae) in British Columbian Lakes: Oxy-regulation, Temperature and Their Role as Paleo-indicator. Freshwater Biologi (2008) 53. 593-602. Blackwell Publishing. Canada.
Ciborowski J. 2002. Indicator: Chironomid abundance and deformities. Department of Biological Sciences University of Windsor.
Epler JH. 2001. Identification manual for the larval Chironomidae (Diptera) of North and South Carolina. EPA Region 4 and Human Healt and Ecological Criteria Division. Crawfordfile.
Frouz J, Matena J & Ali A. 2003. Survival strategies of chironomids (Diptera: Chironomidae) living in temporary habitats: A Review. University of Florida, Florida Research and Education Center. USA.
Favian HA. 2011. Struktur populasi larva Polypedilum (Insekta: Chironomidae) pada kedalaman berbeda di Danau Lido, Kabupaten Bogor [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Groenendijk D, Postma JF, Kraak MHS, and Admiraal W. 1998. Seasonal dynamics and larval drift of Chironomus riparius (Diptera) in a metal contaminated lowland river. Aquatic Ecology 32:341-351.
Haas EMD. Wagner. C, Koelmans .AA, Kraak MHS,, and Admiraal W. 2006. Habitat selection by chironomid larvae: fast growth requires fast food. Journal of Animal Ecology.Vol 75 p 148-155.
Jangkaru Z. 2003. Memelihara ikan di kolam tadah hujan. Penebar Swadaya. Jakarta. 72 hlm.
Klemm PMAD. 2003. Chironomids (Diptera, Nematocera) of temporary pools - an ecological case study. [tesis]. Fachbereich Biologie der Phillips-Universität Marburg vorgelegt von. St
Kodds WK 2002. Freshwater ecology concepts and environmental applications. Academic Press. United States of America.
Lencioni V, Bernabo P, Vanin S, Muro PD & Beltramini M. 2008. Respiration rate and oxy-regulatory capacity in cold stenothermal chironomids. Elsivier. Italy.
Mattjik AA & Sumertajaya IM. 2002. Perancanaan percoban dengan aplikasi SAS dan Minitab Jilid 1 edisi 2. IPB Press. Bogor.
McCafferty WP. 1983. Aquatic entomology: the fishermen’s and ecologists’ ilustrated guide to insect and their relatives. Jones and Bartlett Publishers. Boston. 448 p.
MINITAB, Inc. 2003. Minitab release 14 for windows.
Nancy EP. 2007. Kajian pengelolaan kawasan wisata di Danau Lido Kabupaten Bogor, Jawa Barat [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Newburn E & Krane D. 2000. Identification markers of the its-1 region of chironomid species for use as ecoindicators of water pollution p 769-771 vol. 40 No.21. In Symposia papers presente.
Pinder LCV. 1986. Biology of freshwater Chironomidae. Ann. Rev. Entomol. 31:1-23.
PP. No. 82. 2001. Tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.
Silva FL, Ruiz SS, Bochini GL & Moreira DC. 2008. Functional feeding habits of Chironomidae larvae (Insecta, Diptera) in a lotic system from Midwestern region of São Paulo State.
Sudarso Y. 2006. Pengaruh kontaminasi logam berat terhadap kecacatan larva (Dicrotendipes simpsoni) (Diptera: Chironomidae): studi kasus di Waduk Saguling Jawa Barat. J. manusia dan lingkungan. 13(1): 1-10.
Sukmana H. 2010. Dinamika komunitas larva chironomid pada substrat buatan di kedalaman berbeda [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Tarkowska-Kukuryk M and Mieczan T. 2008. Diet composition of epiphytic chironomids of the Cricotopus sylvestris group (Diptera: Chironomidae) in a shallow hypertrophic lake. Aquatic Insects 30(4): 285-294.
Ward JV. 1992. Aquatic insect ecology: biology and habitat. John Wiley & Sons, Inc. New York.
Welch PS. 1952. Limnology. McGraw-Hill Book Company Inc. United State of America. 538p.
Wetzel RG. 2001. Limnology lake and river ecosystems. Academic Press. California. 1006 p.
Lampiran 1. Foto lokasi peletakan substrat buatan
Stasiun KJA
Lampiran 2. Posisi peletakan rangkaian substrat buatan di Danau Lido
Posisi peletakan substrat buatan di stasiun KJA
Lampiran 3. Alat dan bahan yang digunakan untuk analisis chironomida
Mikroskop bedah Mikroskop majemuk Entellan
Alkohol 70% KOH 10% Akuades
Bingkai substrat buatan Nampan Kuas
Pinset Pipet drop Botol sampel
Alkohol
Lampiran 4. Alat dan bahan yang digunakan untuk analisis kualitas air
Termometer raksa Vandorn water sampler Syring/suntikan
Dessikator Botol BOD Kertas saring
Reagen Vacuum pump Perahu
Lampiran 5. Nilai parameter fisika dan kimia perairan
Parameter Unit STASIUN PENGAMATAN KJA STASIUN PENGAMATAN NON-KJA
Kedalaman max m 9.7 2.5
Z=1 meter Z=2 meter Z=1 meter Z=2 meter
Pengamatan hari
ke 1 8 15 22 29 1 8 15 22 29 1 8 15 22 29 1 8 15 22 29
FISIKA
Suhu oC 27.0 27.0 26.2 26.7 26.0 27.0 27.0 25.5 26.0 25.5 26.7 26.7 25.8 26.0 26.0 26.8 26.5 25.3 25.3 25.3
TSS mg/l 1.7 2.7 10.0 19.7 8.9 5.3 5.0 7.3 27.3 7.8 16.7 11.0 18.7 18.3 21.1 310.3 512.0 210.0 425.0 360.0
KIMIA
pH - 6.0 6.0 6.0 6.0 6.0 6.0 6.0 5.5 6.0 6.0 6.0 6.0 5.5 6.0 6.0 6.0 6.0 6.0 6.0 6.0
non-Lampiran 7. Uji t-dua contoh terhadap respon yang diamati
Stasiun T hitung T ᾳ/2 Keterangan
KJA 1 m & KJA 2 m -0,72
Analisis uji t-dua sampel menggunakan minitab 14.
Stasiun KJA
95% CI for difference: (-8.39794, 3.90295)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -0.72 P-Value = 0.474 DF =1300 Both use Pooled StDev = 54.8496
Stasiun Non-KJA
Two-Sample T-Test and CI: nKJA 1m, nKJA 2m
Two-sample T for nKJA 1m vs nKJA 2m
N Mean StDev SE Mean nKJA 1m 216 193.5 61.7 4.2 nKJA 2m 97 190.5 68.6 7.0
Difference = mu (nKJA 1m) - mu (nKJA 2m) Estimate for difference: 2.95649
95% CI for difference: (-12.40797, 18.32095)
Kedalaman 1 m pada setiap waktu pengamatan
Two-Sample T-Test and CI: KJA 1 m, nKJA 1m
Two-sample T for KJA 1 m vs nKJA 1m
N Mean StDev SE Mean KJA 1 m 810 205.2 50.5 1.8 nKJA 1m 216 193.5 61.7 4.2
Difference = mu (KJA 1 m) - mu (nKJA 1m) Estimate for difference: 11.7169
95% CI for difference: (3.7427, 19.6912)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 2.88 P-Value = 0.004 DF = 1024 Both use Pooled StDev = 53.0668
Kedalaman 2 m pada setiap waktu pengamatan
Two-Sample T-Test and CI: KJA 2m, nKJA 2m
Two-sample T for KJA 2m vs nKJA 2m
N Mean StDev SE Mean KJA 2m 492 207.5 61.3 2.8 nKJA 2m 97 190.5 68.6 7.0
Difference = mu (KJA 2m) - mu (nKJA 2m) Estimate for difference: 16.9209
95% CI for difference: (3.2729, 30.5689)