(Studi Kasus Kabupaten Indramayu, Jawa Barat)
ARTINY MARTHA A14060828
MAYOR MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN
ARTINY MARTHA. Mapping of Potential Flood Area using Geographic Information System (Case Study of Indramayu Regency, West Java Province) (Supervised by MUHAMMAD ARDIANSYAH and WIDIATMAKA)
Remote Sensing and Geographic Information System (GIS) can be applied to identify potential flood area. Remote Sensing helps to extract information without direct interaction with the object. On the other hand, GIS can be used to identify flood prone of an area using overlay method toward the parameters that causes flood phenomena.
The object of this research was to mapping the vulnerability of flood area in Indramayu Regency using cartography models of biophysics parameters, to study the distribution and characteristic of flood area in Indramayu Regency, and to study the result using different rainfall parameters and weight category for mapping vulnerable flood area in Indramayu Regency.
Data processing was done using software such as ArcView 3.3, ERDAS Imagine 9.1, and Frame & Fill (USGS). The used data are rainfall, Landsat Imagery; DEM, SRTM data; soil map, river map, and landform map. The methods consist of imagery analysis, DEM data analysis, rainfall data analysis, attribute data analysis, spatial analysis dan vulnerabilty class analysis.
Rainfall parameter divided into two groups, the first group used annual mean rainfall data and the second group used monthly mean rainfall data (three-month peak of rainy season). Proportion of parameters that called as a weight category in this research divided into two groups, the first group with different weight and the second group with equal weight.
The results showed that Indramayu Regency can be concluded as a potential flood area, where the north side of Indramayu Regency is more vulnerable rather than the south side. The land characteristic of the potential flood area are flat area, alluvial plains, bad drainage, and paddy field land cover. The map that using monthly mean rainfall data and different weight is more representative for mapping flood area in Indramayu Regency.
ARTINY MARTHA. Pemetaan Kawasan Berpotensi Banjir Menggunakan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus Kabupaten Indramayu, Jawa Barat) (Dibawah Bimbingan MUHAMMAD ARDIANSYAH dan WIDIATMAKA)
Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG) dapat diaplikasikan untuk mengidentifikasi potensi banjir suatu wilayah. Penginderaan Jauh memudahkan dalam memperoleh informasi yang ada di lapang tanpa harus langsung berinteraksi dengan objek. Disisi lain, SIG dapat dengan cepat mengidentifikasi kerentanan banjir suatu wilayah dengan menggunakan pemodelan kartografi atau overlay (tumpang susun) terhadap faktor-faktor penyebab/ parameter banjir.
Penelitian ini bertujuan untuk memetakan potensi banjir di Kabupaten Indramayu menggunakan pemodelan kartografi (SIG) dari parameter biofisik, mengetahui mengetahui penyebaran dan karakteristik daerah banjir di Kabupaten Indramayu dan mempelajari hasil peta dengan penggunaan parameter curah hujan dan nilai bobot yang berbeda dalam pemetaan kerawanan banjir di Kabupaten Indramayu.
Pengolahan data dilakukan secara digital menggunakan software ArcView 3.3, ERDAS Imagine 9.1, Frame and Fill dari USGS. Data yang digunakan adalah data curah hujan; citra Landsat; data DEM, SRTM; peta tanah, peta sungai dan peta landform. Metode yang digunakan adalah analisis Citra Landsat dan DEM SRTM, analisis data curah hujan, analisis peta tematik, analisis atribut, analisis keruangan dan analisis tingkat kerawanan.
Parameter curah hujan yang digunakan dibagi menjadi dua kelompok : curah hujan rata-rata tahunan dan curah hujan rata-rata bulanan (tiga bulan puncak musim hujan). Nilai bobot pada penelitian ini juga terbagi menjadi dua kelompok, yaitu bobot 1 dengan bobot berbeda dan bobot 2 dengan bobot sama.
(Studi Kasus Kabupaten Indramayu, Jawa Barat)
ARTINY MARTHA A14060828
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor
MAYOR MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN
(Studi Kasus Kabupaten Indramayu, Jawa Barat)
Nama Mahasiswa : Artiny Martha
Nomor Pokok : A14060828
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah Dr. Ir. Widiatmaka, DAA
NIP. 19630604 198811 1 001 NIP. 19621201 198703 1 002
Mengetahui,
Ketua Departemen
Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc.
NIP. 19621113 198703 1 003
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 17 April 1988 merupakan anak
pertama dari dua bersaudara. Penulis adalah puteri dari pasangan Bapak
Fransiscus Sinaga dan Ibu Emma Amaliah.
Penulis memulai masa sekolahnya di Taman Kanak-kanak Bunda Asuh
Nanda, Bandung hingga tahun 1994. Penulis melanjutkan pendidikan ke SD
Negeri Kayu Putih 09 Pagi/Siemens Jakarta dan lulus pada tahun 2000. Setelah itu
melanjutkan ke SMP Negeri 99 Jakarta dan lulus pada tahun 2003. Kemudian
penulis meneruskan pendidikan ke SMA Negeri 81 Jakarta dan lulus pada tahun
2006. Pada tahun 2006 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui
jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Setelah menyelesaikan masa
Tingkat Persiapan Bersama (TPB), penulis diterima di program studi (mayor)
Manajemen Sumberdaya Lahan, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sebagai pelengkap kompetensi
mayor, penulis mengambil kompetensi minor Komunikasi di Departemen Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut
Pertanian Bogor.
Selama menyelesaikan pendidikannya di IPB, penulis pernah berperan
aktif di beberapa kepanitiaan acara besar di kampus maupun departemen. Penulis
juga pernah diamanahkan sebagai sekretaris Badan Pengawas Himpunan
Mahasiswa Ilmu Tanah (BP-HMIT) periode 2009-2010. Selain itu, penulis pernah
berkesempatan menjadi asisten praktikum mata kuliah Penginderaan Jauh dan
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Yang Maha
Pengasih dan Maha Penyayang yang telah memberikan rahmat-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pemetaan Kawasan
Berpotensi Banjir Menggunakan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus
Kabupaten Indramayu, Jawa Barat)”, sebagai syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan.
Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini tidak lepas dari
bantuan berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan
terima kasih kepada:
1. Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah sebagai pembimbing I atas kesabaran,
bimbingan, saran, masukan sejak dimulainya penelitian ini hingga selesai
penulisan.
2. Dr. Ir. Widiatmaka, DAA atas kesediaannya sebagai pembimbing II, saran,
dan masukan yang diberikan.
3. Dr. Ir. Khursatul Munibah, M.Sc. selaku dosen penguji yang telah
memberikan masukan bagi penulis dalam penulisan skripsi.
4. Keluarga yang selalu mendukung penulis terutama kedua orang tua penulis
atas doa, kasih sayang, pengorbanan, kepercayaan, dan bimbingan yang
tulus dan tiada henti sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan
hingga jenjang S1.
5. Seluruh Dosen dan jajaran Staf Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya
Lahan atas ilmu dan bantuan selama penulis menyelesaikan studi.
6. Tubagus Farih Mufti atas kebersamaan yang pernah ada juga atas masukan
dan teguran yang penulis terima.
7. Teman-teman satu laboratorium yang pernah membantu penulis dalam
penyelesaian penelitian ini : Miranty, Luluk, Poppy, Annisa, Ivong, Kak
Bambang, dan Kak Ikhsan
8. Teman-teman semenjak masa TPB : Anggraini, Yolanda, Hadhianto, Dita,
Trista, Randi.
10.Teman-teman di Manajemen Sumberdaya Lahan : Laras, Octovia, Nurul,
Dina, DR-mania, teman-teman dari lab. kesuburan, lab. pengembangan
wilayah, lab. bioteknologi, lab. KTA, dan lab. genesis yang tidak dapat saya
sebutkan secara penuh satu per satu.
11. Seluruh pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah
membantu terselesaikannya penulisan skipsi ini.
Bogor, 2011
KATA PENGANTAR...i
2.4 Sistem Informasi Geografis... 6
2.5 Integrasi Penginderaan Jauh dan SIG ... 7
2.6 Aplikasi Penginderaan Jauh dan SIG untuk Pemetaan Kerawanan Banjir ... 8
2.7 Parameter Pemetaan Kerawanan Banjir... 9
2.7.1 Kriteria Parameter Kerawanan Banjir ... 11
2.7.2 Pembobotan Parameter Kerawanan Banjir... 13
III. BAHAN DAN METODE... 15
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian... 15
3.2 Alat dan Bahan ... 15
3.3 Tahapan Penelitian... 16
3.4 Metode Pengolahan Data ... 19
3.4.1 Analisis Citra Landsat dan DEM SRTM... 19
3.4.2 Analisis Data Curah Hujan... 19
3.4.3 Analisis Peta Tematik... 20
3.4.4 Analisis Atribut ... 21
3.4.5 Analisis Keruangan dan Analisis Tingkat Kerawanan... 23
IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN... 25
4.2 Drainase... 28
4.3 Bentuk Lahan... 28
V. HASIL DAN PEMBAHASAN... 30
5.1 Penutupan Lahan ... 30
5.2 Curah Hujan ... 31
5.3 Peta Rawan Banjir dan Karakteristik Wilayah Rawan Banjir... 33
5.3.1 Peta Rawan Banjir dengan CH Tahunan dan Bobot 1 ... 34
5.3.2 Peta Rawan Banjir dengan CH Tahunan dan Bobot 2 ... 35
5.3.3 Peta Rawan Banjir dengan CH Bulanan dan Bobot 1... 37
5.3.4 Peta Rawan Banjir dengan CH Bulanan dan Bobot 2... 38
5.4 Kejadian Banjir dan Hubungannya dengan Peta Rawan Banjir... 40
VI. KESIMPULAN DAN SARAN... 47
6.1 Kesimpulan... 47
6.2 Saran ... 47
DAFTAR PUSTAKA... 48
Nomor Halaman
1 Band Landsat 7 dan Kegunaanya ... 6
2 Contoh Pembagian Kelas Parameter Banjir Beserta Nilai Skor... 10
3 Software yang Digunakan dan Fungsinya... 16
4 Pembagian Kelas, Skoring , dan Pembobotan Masing-masing Parameter Banjir... 22
5 Kelas Potensi Banjir... 24
6 Kelas Ketinggian ... 26
7 Kelas Lereng... 27
8 Kelas Drainase... 28
9 Kelas Bentuk Lahan... 29
10 Penutupan Lahan ... 31
11 Kelas Curah Hujan Rata-rata Tahunan ... 32
12 Kelas Curah Hujan Rata-rata Bulanan... 33
13 Luas Kelas Kerawanan Banjir CH Tahunan (Bobot 1) ... 35
14 Luas Kelas Kerawanan Banjir CH Tahunan (Bobot 2) ... 36
15 Luas Kelas Kerawanan Banjir CH Bulanan (Bobot 1) ... 38
Nomor Halaman
1 Peta Lokasi Penelitian... 15
2 Tahapan Penelitian... 18
3 Buffer Sungai... 20
4 Peta Kecamatan di Kabupaten Indramayu ... 25
5 Peta Kelas Ketinggian... 26
6 Peta Kelas Lereng ... 27
7 Peta Kelas Drainase ... 28
8 Peta Bentuk Lahan ... 29
9 Peta Penutupan Lahan... 30
10 Peta Kelas Curah Hujan Tahunan... 32
11 Peta Kelas Curah Hujan Bulanan ... 33
12 Peta Kelas Rawan Banjir CH Tahunan (Bobot 1) ... 34
13 Peta Kelas Rawan Banjir CH Tahunan (Bobot 2) ... 36
14 Peta Kelas Rawan Banjir CH Bulanan (Bobot 1)... 37
Nomor Halaman
1 Contoh Pembagian Kelas Parameter Banjir ... 52
2 Contoh Pembobotan Parameter Kerawanan Banjir ... 55
1.1 Latar Belakang
Banjir merupakan salah satu fenomena yang sering terjadi di musim
penghujan. Banjir tidak terlepas dari faktor alam dan faktor manusia. Faktor iklim
dan faktor fisik daerah alir sungai (DAS) merupakan faktor alam yang saling
terkait dalam kejadian banjir. Faktor iklim yang terkait dengan banjir adalah
hujan, dimana hujan merupakan sumber air terjadinya suatu kejadian banjir.
Faktor fisik dari DAS yang mempengaruhi terjadinya banjir adalah faktor lereng,
kemampuan tanah dalam meresapkan air hujan serta jarak dari badan air. Wilayah
yang lebih rentan terhadap genangan air, diantaranya wilayah yang datar, dekat
dengan sungai, dan berdrainase buruk. Faktor aktifitas manusia dalam
menggunakan lahan mempengaruhi kondisi fisik DAS sehingga berpengaruh
terhadap kejadian banjir.
Kabupaten Indramayu merupakan salah satu daerah di Jawa Barat yang
bermasalah dengan banjir. Situs resmi pemerintah Kabupaten Indramayu,
indramayukab.go.id, menyebutkan bahwa morfologi daerah Indramayu secara umum berupa dataran rendah dan perbukitan rendah bergelombang, topografi
didominasi dataran dengan kemiringan tanah rata-rata 0 - 2%, dimana ketinggian
wilayah umumnya 0 - 18 m dpl. Gambaran tersebut menunjukan adanya peluang
secara fisik dari Kabupaten Indramayu untuk mengalami kejadian banjir.
Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG) dapat
diaplikasikan untuk mengidentifikasi potensi banjir suatu wilayah. Penginderaan
Jauh memudahkan dalam perolehan informasi yang ada di lapang tanpa harus
langsung berinteraksi dengan objek. Di sisi lain, SIG dapat dengan cepat
mengidentifikasi kerentanan banjir suatu wilayah dengan menggunakan
pemodelan kartografi terhadap faktor-faktor penyebab/ parameter banjir. Metode
ini memudahkan dalam menganalisis dan mengidentifikasi daerah-daerah
1.2 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mendapatkan peta potensi banjir di Kabupaten Indramayu menggunakan
pemodelan kartografi (SIG) dari parameter biofisik.
2. Mengetahui penyebaran dan karakteristik daerah banjir di Kabupaten
Indramayu.
3. Mempelajari hasil peta dengan penggunaan parameter curah hujan dan nilai
bobot yang berbeda dalam pemetaan kerawanan banjir di Kabupaten
2.1 Banjir
Banjir merupakan salah satu fenomena alam yang sering terjadi di berbagai
wilayah. Richard (1995 dalam Suherlan 2001) mengartikan banjir dalam dua pengertian, yaitu : 1) meluapnya air sungai yang disebabkan oleh debit sungai
yang melebihi daya tampung sungai pada keadaan curah hujan tinggi, 2) genangan
pada daerah dataran rendah yang datar yang biasanya tidak tergenang.
Banjir dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor antara lain faktor iklim
dan faktor fisik wilayah tersebut. Faktor utama terjadinya banjir adalah faktor
iklim, yaitu hujan. Hujan merupakan sumber air untuk terjadinya banjir. Banjir
tidak akan terjadi bila permukaan yang terkena hujan mampu meresapkan air
dengan baik, sehingga menurunkan jumlah air hujan yang langsung mengalir
melalui permukaan (Adiningsih, 1998 dalam Sariwulan et al., 2000). Ini menunjukkan bahwa selain faktor utama berupa faktor iklim, faktor fisik wilayah
juga mempengaruhi.
Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa
alam serta persoalan banjir yang disebabkan oleh aktifitas penduduk. Kondisi dan
peristiwa alam yang dimaksud, antara lain curah hujan yang tinggi; jumlah aliran
permukaan yang besar; melimpasnya air sungai; dan pembendungan muara sungai akibat air pasang dari laut. Faktor aktifitas penduduk berpengaruh terhadap
kejadian banjir, seperti tumbuhnya daerah budidaya di daerah dataran banjir;
penimbunan daerah rawa/situ atau reklamasi pantai; menyempitnya alur sungai
akibat adanya pemukiman di sepanjang sempadan aliran sungai; dan pengendalian
pemukiman di sepanjang sempadan sungai tidak dilaksanakan dengan baik.
2.2 Tipologi Kawasan Rawan Banjir
Tipologi kawasan rawan banjir merupakan pengelompokan kawasan yang
sering atau berpotensi tinggi mengalami bencana banjir, sesuai dengan
karakteristik penyebab banjir. Adapun tipologi kawasan budidaya rawan bencana
a. Daerah Pesisir Pantai
Daerah pesisir pantai merupakan daerah yang rawan banjir. Hal tersebut
dikarenakan daerah pesisir merupakan dataran rendah yang elevasi permukaan
tanahnya lebih rendah atau sama dengan elevasi air laut pasang rata-rata (mean sea level/ MSL) dan tempat bermuaranya sungai.
b. Daerah Dataran Banjir
Daerah dataran banjir adalah daerah dataran rendah di sisi sungai yang
memiliki elevasi sangat landai dan relatif datar. Aliran air menuju sungai yang
lambat akibat dataran banjir ini, mengakibatkan daerah tersebut rawan terhadap
banjir baik oleh luapan air sungai maupun karena hujan lokal. Bencana banjir
umumnya terjadi terutama pada daerah yang dilalui sungai besar dengan debit
banjir yang besar.
c. Daerah Sempadan Sungai
Daerah ini merupakan daerah rawan banjir, namun daerah ini sering
dimanfaatkan sebagai tempat hunian dan kegiatan usaha. Akibatnya, apabila
terjadi banjir akan menimbulkan dampak bencana yang membahayakan jiwa dan
harta benda.
d. Daerah Cekungan
Daerah cekungan merupakan daerah yang relatif cukup luas baik di dataran
rendah maupun di dataran tinggi (hulu sungai). Daerah cekungan dapat menjadi
daerah rawan bencana banjir, bila penataan kawasan atau ruang tidak terkendali
dan mempunyai sistem drainase yang kurang memadai.
2.3 Penginderaan Jauh
Penginderaan Jauh adalah ilmu, teknik, dan seni untuk memperoleh
informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang
diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah, atau
fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kieffer, 1994). Data Penginderaan Jauh
dapat berupa citra, grafik, dan data numerik. Data tersebut dianalisis untuk
diteliti. Proses penerjemahan data menjadi informasi disebut analisis dan
interpretasi data.
Analisis data Penginderaan Jauh memerlukan data rujukan seperti peta
tematik, data statistik, dan data lapangan. Hasil analisis yang diperoleh berupa
informasi mengenai bentang lahan, jenis penutup lahan, kondisi lokasi, dan
kondisi sumberdaya daerah yang diindera (Purwadhi, 2001). Informasi jenis
penutupan lahan didapatkan dengan melakukan interpretasi terhadap citra satelit
maupun foto udara. Jenis penutupan lahan merupakan parameter fisik yang
banyak membantu berbagai analisa dan evaluasi dalam aplikasi penginderaan
jauh. Penutupan lahan secara mudah didapatkan dari data Penginderaan Jauh
sehingga lebih menghemat waktu dan biaya.
Salah satu bentuk data Penginderaan Jauh adalah citra satelit. Citra dari
satelit Landsat merupakan salah satu citra satelit yang banyak digunakan dalam
aplikasi Penginderaan Jauh karena cukup baik dalam interpretasi penutupan lahan
daerah yang luas dan mudah didapatkan. Misi satelit Landsat yang terakhir
diluncurkan ke orbit adalah Landsat 7 ETM+. Citra Landsat terdiri dari beberapa
saluran yang memiliki kegunaan tertentu (Tabel 1).
Terhitung sejak tanggal 31 Mei 2003, Satelit Landsat-7 ETM+ dioperasikan
dengan mode SLC-off akibat kerusakan pada salah satu instrument sensor yaitu
Scan Line Corrector (SLC) secara permanen (Julimantoro, 2004). Pada citra satelit Landsat-7 SLC-off ini, terdapat gap (bagian yang terlewat oleh sapuan sensor) pada data citra seluas 22% dari luasan citra. Koreksi terhadap gap ini
dapat dilakukan salah satunya dengan menggunakan produk gap-filled (frame and fill) dari USGS. Produk ini memungkinkan koreksi citra utama dengan mengunakan citra kedua (pengisi) untuk mengisi wilayah gap. Koreksi dapat
Tabel 1 Band Landsat 7 dan Kegunaanya
Saluran Kisaran Panjang
Gelombang Kegunaan Utama
1 0,45-0,52
Gelombang Biru
Penetrasi tubuh air, analisis penggunaan lahan, tanah, dan vegetasi. Pembedaan vegetasi dan lahan
2 0,52-0,60
Gelombang Hijau
Pengamatan puncak pantulan vegetasi pada saluran hijau yang terletak diantara dua saluran penyerapan. Pengamatan ini dimaksudkan untuk membedakaan jenis vegetasi dan untuk membedakan tanaman sehat dan tidak sehat
3 0,63-0,69
Gelombang Merah
Saluran terpenting untuk membedakan jenis vegetasi. Saluran ini terletak pada salah satu daerah penyerapan korofil dan memudahkan pembedaan antara lahan terbuka terhadap lahan bervegetasi
4
0,76-0,90 Gelombang Inframerah Dekat
Saluran yang peka terhadap biomassa vegetasi. Juga untuk identifikasi jenis tanaman, memudahkan pembedaan tanah dan tanaman serta air
5
1,55-1,75 Gelombang Inframerah Pendek
Saluran penting untuk penentuan jenis tanaman, kandungan air tanaman, kondisi kelembaban tanah pemisahan kelembaban tanah, dan sejumlah gejala lainnya yang berhubungan dengan panas
7 2,085-2,35
Inframerah Pendek
Untuk membedakan formasi batuan dan pemetaan hidrotermal
8 0,50-0,90
Pankromatik
Saluran ini digunakan untuk meningkatkan resolusi spasial
Sumber : Lillesand dan Kieffer,1994
2.4 Sistem Informasi Geografis
SIG menurut Aronof (1989 dalam Prahasta 2002) adalah sistem yang berbasiskan komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi
informasi-informasi geografi. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan,
dan menganalisis objek-objek dan fenomena dimana lokasi geografi merupakan
karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis. Prahasta (2002)
menyebutkan bahwa SIG dapat merepresentasikan dunia nyata di atas monitor
kertas. Tetapi SIG memiliki kekuatan lebih dan fleksibelitas dari pada lembaran
peta kertas.
SIG menyediakan kemampuan analisis yang luas dalam menganalisa
topologi atau aspek spasial dan atribut-atributnya. (Burrough 1986 dalam Maji et al., 1998). SIG mampu menyimpan, menyusun, menganalisa, dan menampilkan
sumber data untuk menyediakan manajemen informasi atau untuk membangun
pemahaman yang lebih baik tentang hubungan aspek-aspeknya. (McCloy, 1995
dalam Maji et al., 1998). SIG dapat mengintegrasikan data spasial dan non-spasial dengan mengedit via poligon. Hasilnya adalah data yang terkonversi yang
secara mudah dapat diterjemahkan sebagai informasi (Maji et al., 1998).
Shamsi (2005) menyebutkan bahwa pengaplikasian SIG memiliki beberapa
keuntungan. SIG meningkatkan efisiensi waktu, menghemat dana, dan
memudahkan pekerjaan. SIG juga menawarkan kemampuan dalam
mengintegrasikan informasi sehingga menciptakan komunikasi yang lebih baik
diantara beragam pengguna informasi. Hal-hal tersebut membuat SIG mampu
dimanfaatkan dan diaplikasikan dalam berbagai bidang.
2.5 Integrasi Penginderaan Jauh dan SIG
Wilkinson (1996) dalam Weng (2010) menyimpulkan tiga jalan utama Penginderaan Jauh dan SIG dapat diintegrasikan, yaitu : 1) Penginderaan Jauh
digunakan sebagai alat pengumpul data untuk digunakan dalam SIG, 2) Data SIG
digunakan sebagai informasi penunjang untuk memperbaiki hasil yang didapatkan
dari Penginderaan Jauh, 3) Penginderaan Jauh dan SIG digunakan bersama untuk
pemodelan dan analisa.
Weng (2010) kemudian menjabarkan bahwa data Penginderaan Jauh dapat
digunakan untuk memperoleh informasi tematik dan perbaharuan data SIG.
Informasi tematik digunakan untuk membuat layer dalam SIG. Informasi tematik
tersebut berupa hasil interpretasi terhadap citra satelit baik secara otomatis
maupun manual. Pembaharuan data SIG dengan data Penginderaan Jauh misalnya
digunakan untuk memperbaharui data penggunaan lahan. Pembaharuan data SIG
dengan data Penginderaan Jauh menjadi lebih efektif dan efisien dari segi waktu
Data SIG sebagai informasi penunjang data Penginderaan Jauh digunakan
dalam klasifikasi citra, dan pra penggolahan citra. Informasi penunjang tersebut
memberikan nilai lebih terhadap klasifikasi citra. Sebagai contoh, informasi
penunjang seperti data topografis dapat digunakan untuk memperbaiki akurasi
penutupan lahan terutama di daerah bergunung. Peran data SIG dalam pra
pengolahan citra satelit misalnya digunakan dalam koreksi geografis citra dan
pembatasan wilayah amatan/ pemotongan citra satelit (Weng, 2010).
2.6 Aplikasi Penginderaan Jauh dan SIG untuk Pemetaan Kerawanan Banjir
Salah satu aplikasi teknologi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi
Geografis adalah dapat digunakan untuk memetakan daerah rawan bencana.
Penginderaan Jauh menyediakan input data untuk SIG sedangkan SIG menyusun
dan membantu tahap analisis data hingga informasi yang diinginkan bisa
didapatkan. Penggunaan data Penginderaan Jauh dan SIG dalam pemetaan
kerawanan banjir baik secara terpisah maupun terintegrasi telah dilakukan oleh
banyak pihak.
Penggunaan data DEM SRTM, citra Landsat ETM dan integrasinya dengan
SIG dalam pemetaan rawan banjir dievaluasi oleh Willege (2007) dalam tulisanya
berjudul “Flooding Risk of Java, Indonesia”, yaitu mengenai resiko banjir Pulau Jawa, Indonesia. Penelitian ini mengulas penggunaan data DEM SRTM dan citra
Landsat ETM dalam pemetaan rawan banjir. Data dari SRTM dapat menyediakan
informasi topografi spesifik mengenai daerah amatan secara mudah. Kemiringan
lereng dan ketinggian merupakan informasi yang dapat diambil dari data SRTM
dan digunakan dalam pemetaan rawan banjir. Gambaran kemiringan lereng dan
ketinggian wilayah amatan dapat dijelaskan dengan adanya informasi ini. Willage
(2007) menyebutkan bahwa pemetaan kerawanan bencana secara umum dengan
pendekatan yang mengitegrasikan data inderaja, fisik lahan, topografi, dan data
kejadian bencana dapat dilakukan dengan SIG.
Rahardjo (2008) membahas tentang “Pemetaan Rawan Banjir berdasarkan
Kondisi Fisik Lahan secara Umum Pulau Jawa”. Penelitian ini menggunakan
didapatkan membagi Pulau Jawa dalam empat kelas kerawanan banjir, yaitu
kerawanan tinggi, rawan, kerawanan rendah, dan tidak rawan.
Sukiyah et al. (2004) menggunakan parameter litologi, kemiringan lereng, curah hujan, penggunaan lahan, dan perkembangan orde sungai dalam analisis
penentuan lokasi rawan banjir. Penelitian “Aplikasi SIG dalam Penetapan
Kawasan Rawan Banjir di Kabupaten Bandung Selatan” ini, membagi wilayah
penelitian menjadi empat kelas rawan banjir, yaitu daerah rawan banjir, daerah
berpotensi banjir, daerah agak aman, dan daerah aman dari banjir.
2.7 Parameter Pemetaan Kerawanan Banjir
Penelitian-penelitian sebelumnya telah memetakan kerawanan banjir suatu
wilayah dengan berbagai parameter. Parameter yang umum digunakan adalah
curah hujan dan parameter fisik wilayah. Parameter fisik yang umum digunakan
adalah lereng, tanah, bentuk lahan, sungai, dan penutupan lahan.
Tiap-tiap parameter terbagi atas beberapa kelas yang diberi nilai skor sesuai
dengan besar kecilnya pengaruh terhadap kejadian banjir. Pembagian kelas ini
dapat berbeda-beda. Pembagian kelas dari setiap parameter yang digunakan secara
umum disesuaikan dengan kelas parameter yang dimiliki oleh daerah yang
diamati.
Kombinasi parameter yang digunakan pada penelitian-penelitian
sebelumnya berbeda-beda. Perbedaan jenis parameter dan jumlah parameter yang
digunakan pada pemetaan kerawanan banjir menyebabkan proporsi atau
pembobotan dari tiap-tiap parameter menjadi berbeda. Hal tersebut dikarenakan
besarnya nilai bobot disesuaikan dengan jumlah parameter yang digunakan dan
pengaruh parameter tersebut terhadap kejadian banjir. Tabel 2 adalah contoh
pembagian kelas dari parameter banjir beserta nilai skor yang diberikan dan nilai
Tabel 2 Contoh Pembagian Kelas Parameter Banjir Beserta Nilai Skor dan Nilai Bobot untuk Tiap Parameter.
2.7.1Kriteria Parameter Kerawanan Banjir 1. Curah Hujan
Curah hujan adalah faktor non-fisik lahan yang sangat mempengaruhi
kejadian banjir. Curah hujan yang tinggi, akan memperbesar kemungkinan
terjadinya banjir. Puslitbang DPU (2007) menyebutkan bahwa curah hujan
merupakan input penyebab dalam sistem lahan. Curah hujan berinteraksi langsung
terhadap karakteristik fisik lahan, berproses menghasilkan suatu keluaran sebagai
respon permukaan lahan, dalam hal ini adalah banjir.
Richard (1955) dalam Suherlan (2001) menyebutkan bahwa penggunaan peta isohyet pada puncak hujan didasarkan alasan bahwa semakin tinggi tebal
hujan dalam periode pendek (tiga bulan) akan lebih memungkinkan terjadi banjir
dibandingkan dengan isohyet tahunan atau isohyet pada musim hujan. Hal ini
disebabkan pada masalah banjir tidak memperlihatkan tebal hujan tahunan atau
tebal hujan periode panjang.
Adapun penelitian sebelumnya yaitu Suherlan (2001) dan Utomo (2004)
yang menggunakan tebal hujan tiga bulan puncak di musim hujan dalam
memberikan skor kelas curah hujan. Namun, Nurjanah (2005) dan Primayuda
(2006) menggunakan tebal hujan tahunan dalam memberikan skor kelas curah
hujan (Lampiran 1).
2. Lereng
Arsyad (2006) menyebutkan bahwa kemiringan lereng merupakan salah satu
sifat topografi yang paling berpengaruh terhadap aliran permukaan. Kemiringan
lereng dinyatakan dalam derajat atau persen. Kemiringan lereng yang landai
memiliki kerentanan banjir lebih tinggi dari lereng yang curam. Hal ini
dikarenakan laju air pada kemiringan datar/ landai lebih lambat bila dibandingan
pada lereng yang curam. Dengan kata lain, semakin kecil kemiringan suatu
wilayah, maka semakin rentan wilayah tersebut mengalami genangan air/ banjir.
Penelitian sebelumnya yaitu Suherlan (2001), Utomo (2004), Primayuda
(2006), dan Purnama (2008) menggunakan pembagian kelas kemiringan lereng
yang sama. Adapun perbedaan yang ada hanya berupa kisaran nilai skor yang
3. Kelas Drainase
Drainase merupakan parameter penentuan banjir yang terkait dengan tekstur
tanah. Tekstur tanah dapat menggambarkan kemampuan tanah dalam meresapkan
air. Tanah bertekstur halus lebih lambat dalam meresapkan air ke dalam namun,
mampu mengikat air lebih lama bila dibandingkan tanah bertekstur kasar. Hal ini
mendasari pemikiran bahwa tanah bertekstur halus lebih cepat jenuh sehingga
aliran permukaan dan genangan air lebih cepat terjadi. Kondisi ini menunjukkan
drainase yang buruk. Sehingga pada tanah yang bertekstur halus memiliki
drainase yang buruk dan mudah terjadi genangan. Semakin buruk drainase maka
kemungkinan terjadinya genangan air atau banjir semakin tinggi.
Penelitian tentang pemetaan kerawanan, seperti Suherlan (2001) dan Utomo
(2004) membagi kelas tekstur tanah dalam pemberian nilai skor, sedangkan
Wiujianna (2005) dan Purnama (2008) menggunakan kelas drainase dalam
pemberian nilai skor. Raharjo (2008) membagi kelas berdasarkan nama tanah
(klasifikasi USDA) untuk pemberian nilai skor (Lampiran 1).
4. Bentuk Lahan
Bentuk lahan merupakan salah satu wahana tempat berlangsungnya proses
air mengalir yang berasal dari input hujan sampai ke laut. Bentuk lahan dari
permukaan yang berbeda memberikan arti bahwa permukaan tersebut terkena
suatu tenaga yang prosesnya berulang-ulang sehingga memberikan ciri dan
karakter yang berbeda (Raharjo, 2008). Bentuk lahan yang berbeda memiliki
respon yang berbeda dalam merespon air. Pemberian skor terhadap bentuk lahan
dilakukan berdasarkan respon bentuk lahan tersebut terhadap air hujan. Bentuk
lahan yang lebih landai hingga cekung memiliki kemungkinan terjadi banjir lebih
besar karena aliran air akan bergerak lambat sehingga kemungkinan terjadinya
genangan atau banjir lebih tinggi.
Utomo (2004) mengelompokkan 15 kelas bentuk lahan dengan nilai skor
berbeda. Raharjo (2008) mengelompokkan 16 kelas bentuk lahan (Lampiran 1).
Utomo (2004) memberi berbeda terhadap tiap kelas bentuk lahan. Nilai terbesar
diberikan pada kelas bentuk lahan yang dianggap paling berpengaruh terhadap
kejadian benjir. Sedikit berbeda dengan Raharjo (2008) yang memberi nilai skor
terhadap air hujan dan nilai yang berbeda terhadap bentuk lahan yang dianggap
memiliki respon berbeda terhadap air hujan.
5. Penutupan Lahan dan Buffer Sungai
Penutupan lahan atau penggunaan lahan untuk suatu fungsi tertentu
mempengaruhi terjadinya kejadian banjir di suatu wilayah. Penutupan lahan yang
dianggap rentan terhadap banjir adalah penutupan lahan yang mempengaruhi laju
masuknya air ke dalam tanah dan penggunaan lahan dengan kemungkinan aliran
permukaan yang cukup besar bila terjadi hujan.
Buffer adalah batas dengan jarak tertentu yang dibuat mengelilingi suatu titik, garis, atau poligon. Buffer sungai dan badan air merupakan penentuan jarak tertentu dari sungai atau badan air tersebut yang memungkinkan terjadinya banjir.
Skor diberikan berdasarkan kedekatan terhadap sungai atau badan air tersebut.
Semakin dekat dengan sungai atau badan air tersebut, maka kemungkinan
terjadinya genangan atau banjir yang berasal dari luapan sungai lebih besar.
Primayuda (2006) membagi penutupan lahan menjadi 10 jenis dalam enam
kelas (Lampiran 1). Kelas penutupan lahan dengan kerawanan banjir yang
dianggap rentan mengalami banjir diberi skor yang lebih tinggi. Pemberian nilai
skor pada kelas buffer sungai didasari oleh kedekatan jarak sungai. Semakin dekat dengan sungai, maka semakin besar nilai skor yang diberikan pada kelas tersebut.
2.7.2Pembobotan Parameter Kerawanan Banjir
Pembobotan adalah pemberian bobot pada peta digital masing-masing
parameter yang berpengaruh terhadap banjir, dengan didasarkan atas
pertimbangan seberapa besar masing-masing parameter banjir berpengaruh
terhadap banjir. Parameter-parameter yang digunakan dapat berbeda-beda sesuai
dengan tujuan penulisan, data yang dimiliki, atau pertimbangan logis penulis.
Penelitian-penelitian sebelumnya menggunakan jumlah parameter berbeda
dengan besar bobot tiap parameter yang juga berbeda. Suherlan (2001)
menggunakan lima parameter banjir yaitu tebal hujan, lereng, ketinggian,
penggunaan lahan, dan tekstur tanah. Nilai bobot terbesar dalam penelitian
tersebut adalah parameter tebal hujan sebesar 30%. Primayuda (2006)
lahan, curah hujan, tekstur, penggunaan lahan, dan buffer sungai. Bobot terbesar
diberikan terhadap parameter curah hujan, kemiringan lereng, dan bentuk lahan
dengan besar nilai adalah 0,25. Purnama (2008) menggunakan tujuh parameter,
yaitu kemiringan lahan, kelas ketinggian, tektur tanah, drainase tanah, curah
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian
Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Kabupaten Indramayu, Jawa
Barat (Gambar 1). Penelitian dimulai dari bulan Juli 2010 sampai Januari 2011 di
Laboratorium Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Departemen Ilmu Tanah
dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan untuk melakukan penelitian ini adalah seperangkat
Tabel 3 Software yang Digunakan dan Fungsinya
Software Fungsi
1 Arcview 3.3 Interpolasi data curah hujan, digitasi, analisis keruangan, layout
2 ERDAS Imagine 9.1 Koreksi geometri, layer stack, dan mosaicing citra
3 Frame and Fill, USGS Mengisi citra landsat SLC-off
4 Excel Menyusun dan mengolah data atribut
Bahan yang digunakan untuk penelitian ini antara lain :
1. Data curah hujan ratarata bulanan periode 15 tahun (19791989 dan 1993
-2001).
2. Citra satelit Landsat ETM+7 SLC-off path 121, row 064 & 065 dengan
tanggal akuisisi citra utama adalah 18 Oktober 2009 dan tanggal akuisisi dua
citra pengisi SLC-off antara lain 31 Oktober dan 15 Oktober 2008.
3. DEM SRTM.
4. Peta Satuan Lahan daerah pantai utara bagian timur Provinsi Jawa Barat,
tahun 1990 skala 1: 250.000 Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.
5. Peta Bentuk Lahan (Landsystem, RePPPRoT).
3.3 Tahapan Penelitian
Tahapan penelitian dibagi dalam beberapa tahapan, yaitu persiapan,
pelaksanaan, pengolahan data, analisis, dan penyelesaian. Secara ringkas tahapan
penelitian disajikan pada Gambar 2.
1. Tahapan Persiapan
Tahapan ini meliputi studi pustaka topik yang terkait dengan penelitian,
pengumpulan alat dan bahan, pengisian gap citra Landsat SLC-off, dan koreksi geometrik peta-peta tematik.
2. Tahapan Pelaksanaan
Tahapan ini meliputi pembuatan basis data dan analisis data, antara lain :
a. Pengolahan data Penginderaan Jauh, berupa interpretasi dan digitasi citra
pengolahan citra Landsat adalah peta penutupan lahan sedangkan hasil dari
pengolahan data DEM adalah peta kemiringan lereng.
b. Pengolahan data curah hujan dengan analisis keruangan berupa interpolasi
terhadap data curah hujan dari setiap stasiun hujan. Hasil yang didapatkan
adalah peta curah hujan rata-rata bulanan dan tahunan.
c. Pengolahan peta-peta tematik yang digunakan. Hasil yang didapatkan adalah
peta bentuk lahan, peta drainase, serta peta buffer sungai.
d. Analisis atribut berupa pemberian nilai skor untuk masing-masing parameter
banjir dan nilai bobot untuk tiap kelas kerawanan.
e. Analisis keruangan berupa tumpang susun peta-peta hasil analisis atribut,
dan analisis kelas kerawanan banjir.
3. Tahapan Penyelesaian
Tahapan ini terdiri dari validasi untuk mengevaluasi hasil identifikasi objek
dan analisis, perbaikan peta dan penyesuaiaan hasil analisis, serta pembuatan
3.4 Metode Pengolahan Data
Metode pengolahan data menjabarkan metode-metode yang digunakan
dalam mengolah masing-masing data. Hasil pengolahan data dari masing-masing
data adalah informasi yang dibutuhkan untuk diolah pada tahap selanjutnya.
3.4.1Analisis Citra Landsat dan DEM SRTM
Citra satelit yang digunakan adalah Citra Landsat ETM +7 SLC-off daerah Kabupaten Indramayu saat musim hujan dengan kondisi awan yang paling
minimum. Pada citra satelit Landsat-7 SLC-off ini, terdapat gap. Gap tersebut dikoreksi dengan menggunakan produk gap-filled (frame and fill) dari USGS. Koreksi yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan citra SLC-off sebagai citra pengisi (metode SLC-off to SLC-off).
Tahapan selanjutnya adalah layer stack dan mosaicing dengan menggunakan ERDAS Imagine 9.1. Layer stack adalah menggabungkan layer-layer band yang terpisah menjadi satu layer citra. Mosaicing adalah menggabungkan dua citra yang bertampalan. Mosaicing citra dilakukan karena wilayah Kabupaten Indramayu diliput dalam dua scene yang berbeda.
Penutupan Lahan dinterpretasi dari citra Landsat secara visual.dengan
mengacu kepada “Petunjuk Teknis Penafsiran Citra Resolusi Sedang” yang
dikeluarkan oleh Direktorat IPSDH (Inventarisasi dan Pemantauan Sumberdaya
Hutan). Kombinasi band yang digunakan adalah 5-4-2. Hasil interpretasi
didigitasi dengan menggunakan ArcView 3.3.
Analisis data DEM SRTM dilakukan dengan bantuan software ArcView 3.3 dan exstensions spatial analysis. Data DEM SRTM dengan mudah dapat dikonversi menjadi garis kontur maupun slope kemiringan lereng. Hasil dari
analisis data DEM SRTM yang digunakan dalam analisis adalah peta kelas lereng.
3.4.2Analisis Data Curah Hujan
Data curah hujan yang digunakan adalah data dari 19 stasiun hujan yang
tersebar di wilayah Kabupaten Indramayu. Data yang didapatkan berupa data
curah hujan rata-rata bulanan selama periode 15 tahun. Data ini menjadi input
curah hujan rata-rata bulanan dan peta curah hujan rata-rata tahunan. Peta kelas
curah hujan rata-rata bulanan didapatkan dari data rata-rata curah hujan periode
tiga bulan di musim hujan dengan curah hujan yang paling tinggi, yaitu pada
bulan Desember-Februari. Peta kelas curah hujan tahunan didapatkan dari data
rata-rata total curah hujan tahunan.
Metode yang digunakan dalam membuat peta curah hujan adalah interpolasi
keruangan dengan metode kriging. Penerapannya menggunakan ArcView 3.3
dengan ekstensions kriging interpolation. Hasilnya berupa peta isohyet dalam bentuk grid. Data tersebut kemudian didigitasi sehingga menjadi data dalam
bentuk vektor sehingga memudahkan dalam analisis selanjutnya.
3.4.3Analisis Peta Tematik
Peta tanah digunakan untuk mendapatkan peta kelas drainase tanah. Peta
kelas drainase merupakan pendekatan kemampuan drainase tanah berdasarkan
informasi tekstur tanah dari jenis tanah yang ada. Peta tersebut berupa lembaran
kertas. Peta kemudian di-scan dengan scanner, dikoreksi geografis dan didigitasi sehingga dapat diolah secara digital.
Peta bentuk lahan yang digunakan didapatkan dari peta bentuk lahan dalam
format digital sehingga memudahkan dalam pengolahan.
Peta sungai didapatkan secara digital yang kemudian disesuaikan dengan
peta dasar dan citra landsat yang digunakan. Analisis yang dilakukan terhadap
peta sungai adalah analisis keruangan yaitu buffer. Zona buffer sungai adalah
daerah dalam lebar tertentu yang digambarkan di sekitar sungai dengan jarak
tertentu (Gambar 3).
3.4.4Analisis Atribut
Analisis atribut adalah bagian proses pengolahan data. Analisis ini terdiri
dari skoring dan pembobotan. Skoring adalah pemberian skor terhadap tiap kelas
di masing-masing parameter banjir. Pemberian skor didasarkan pada pengaruh
kelas tersebut terhadap kejadian banjir. Semakin besar pengaruhnya terhadap
kejadian banjir, maka semakin tinggi nilai skornya. Pembobotan adalah
pemberian bobot pada peta digital masing-masing parameter yang berpengaruh
terhadap banjir. Pembobotan dilakukan terhadap tiap-tiap parameter banjir
berdasarkan pengaruhnya terhadap banjir. Semakin besar pengaruh parameter
terhadap kejadian banjir, semakin tinggi bobot yang diberikan. Nilai skor dan
bobot disajikan dalam Tabel 4.
Pemberian skor pada kelas di setiap parameter banjir dilakukan secara linier
dengan skor terendah adalah 1 (satu) sampai dengan 4 (empat). Pemberian skor
dipengaruhi oleh klasifikasi kelas dari masing-masing parameter banjir. Skor
bernilai 1 (satu) diberikan kepada kelas dengan pengaruh paling kecil terhadap
kerentanan banjir. Skor bernilai 4 (empat) diberikan kepada kelas dengan
pengaruh paling besar terhadap kerentanan banjir. Kelas yang memiliki pengaruh
diantara keduanya, mendapat skor bernilai diantara rentang nilai tersebut.
Kriteria banjir yang dijadikan parameter penentuan wilayah banjir, adalah
curah hujan, kemiringan lereng, drainase, bentuk lahan, jarak terhadap sungai/
badan air, dan penutupan lahan. Pada kelas curah hujan pembagian kelas terbagi
menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu kelompok dengan kelas rata-rata tahunan dan
rata-rata bulanan. Pembagian ini bertujuan untuk melihat kelompok kelas curah
hujan mana yang lebih baik dalam mewakili kejadian nyata di lapang. Pembagian
kelas dan pemberian nilai skor yang digunakan ditampilkan pada Tabel 3.
Adapun pemberian skor dilandasi beberapa filosofi, yaitu : 1) wilayah
dengan curah hujan tinggi memiliki kerentanan banjir lebih tinggi, 2) kemiringan
lereng yang landai memiliki kerentanan banjir lebih tinggi dari lereng yang curam,
3) semakin buruk drainase maka kemungkinan terjadinya genangan air atau banjir
semakin tinggi , 4) bentuk lahan yang lebih landai hingga cekung memiliki keren
lebih tinggi, 5) semakin dekat dengan sungai atau badan air, maka kemungkinan
penutupan lahan yang dianggap rentan terhadap banjir adalah penutupan lahan
yang lebih berpengaruh pada air limpasan yang melebihi laju infiltrasi.
Pembobotan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu bobot dengan nilai berbeda
dan bobot dengan nilai sama. Bobot dengan nilai berbeda kemudian disebut bobot
1 dan bobot dengan nilai yang sama kemudian disebut bobot 2. Kelompok bobot 1
mengacu kepada penelitian-penelitian sebelumnya dan disesuaikan dengan jumlah
parameter yang digunakan dalam penelitian ini. Kelompok bobot ini memiliki
nilai berbeda pada setiap parameter kerentanan banjir, dengan didasarkan atas
pertimbangan seberapa besar masing-masing parameter tersebut berpengaruh
terhadap banjir. Kelompok bobot 2 adalah kelompok nilai bobot yang
menganggap bahwa semua parameter memiliki pengaruh yang sama besar
terhadap kejadian banjir. Kelompok bobot ini memberi nilai bobot yang sama
besar untuk setiap parameter banjir yang digunakan. Besar nilai bobot dari setiap
kelompok ditunjukkan pada Tabel 4.
Tabel 4 Pembagian Kelas, Skoring, dan Pembobotan Masing-masing
Parameter Banjir
Kelas Parameter Banjir Skor Bobot 1
Tabel 4 (lanjutan) Pembagian Kelas, Skoring, dan Pembobotan
Masing-masing Parameter Banjir
Kelas Parameter Banjir Skor Bobot 1
(Bobot Beda)
1 Pesisir Pantai,Rawa Pasang Surut 4 2 Dataran Aluvial, Lembah Aluvial 3
3 Dataran 2
1 Sawah, Tambak,Tubuh Air, Tanah
Terbuka, 4
3.4.5Analisis Keruangan dan Analisis Tingkat Kerawanan
Analisis keruangan yang dilakukan pada tahap ini adalah overlay (tumpang susun). Tumpang susun dilakukan terhadap semua peta tematik yang menjadi
parameter banjir. Hasil dari tumpang susun adalah informasi baru dalam bentuk
luasan atau poligon, hasil irisan peta-peta yang dijadikan parameter banjir.
Untuk mengetahui potensi banjir dari suatu wilayah maka diperlukan
didapatkan dari hasil penjumlahan bobot nilai parameter-parameter banjir. Secara
matematis persamaan tersebut adalah :
P =
n
i
i i
xS
B
1
)
(
dimana :
P = Nilai potensi banjir
Bi = Bobot parameter ke-i
Si = Skor kelas parameter ke-i
Wilayah dengan potensi banjir yang tinggi akan memiliki nilai yang yang
tinggi. Pembagian kelas potensi banjir dibagi menjadi empat kelas. Pembagian
tersebut disajikan dalam Tabel 5.
Tabel 5 Kelas Potensi Banjir
No. Kelas Potensi Banjir Nilai
1 Tidak Rawan < 1,5
2 Cukup Rawan 1,5 - < 2,5
3 Rawan 2,5 - < 3,5
Daerah penelitian adalah wilayah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.
Kabupaten ini terletak di daerah pantai utara Pulau Jawa. memiliki letak geografis
107° 52’ - 108° 36‘ BT dan 6° 15’ - 6° 40’ LS. Adapun batas wilayah penelitian
adalah sebagai berikut: sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah
selatan dengan Kab. Majalengka, Kab. Sumedang, dan Kab. Cirebon, sebelah
Barat dengan Kab. Subang, dan sebelah Timur dengan Laut Jawa
Kabupaten ini terdiri atas 31 wilayah kecamatan dengan ibukota kabupaten
adalah Kota Indramayu di Kecamatan Indramayu. Terdapat 11 kecamatan yang
berbatasan langsung dengan perairan Laut Jawa, yaitu Kecamatan Sukra, Patrol,
Kandanghaur, Losarang, Cantigi, Pasekan, Indramayu, Balongan, Jutinyuat,
Karangampel, dan Krangkeng (Gambar 4).
Gambar 4 Peta Kecamatan di Kabupaten Indramayu
Kabupaten Indramayu memiliki suhu udara harian cukup tinggi sekitar
22,9-30 0C. Tipe iklim di Indramayu menurut Schmidt dan Ferguson termasuk tipe
Curah hujan rata-rata tahunan daerah ini adalah 1587 mm per tahun (Pemkab
Indramayu).
4.1 Topografi
Informasi ketinggian tempat dan kelas lereng diperoleh dari DEM, SRTM.
Secara umum wilayah Kabupaten Indramayu berada di ketinggian kurang dari 100
m dpl, dimana 127.142 ha (60,73%) berada di ketinggian antara 0 - 12,5 m dpl
(Tabel 6). Semakin ke arah selatan, kabupaten ini semakin berada di posisi yang
lebih tinggi (Gambar 5).
Gambar 5 Peta Kelas Ketinggian
Tabel 6 Kelas Ketinggian
Luas No. Kelas Ketinggian (m dpl)
ha %
1 0 - 12,5 127.142 60,73
2 12,5 - 25 40.532 19,36
3 25 - 50 27.342 13,06
4 50 - 75 10.566 5,05
5 75 - 100 2.224 1,06
6 > 100 1.544 0,74
Kabupaten Indramayu memiliki empat kelas kemiringan lereng. Gambar 6
memperlihatkan bahwa daerah Indramayu merupakan daerah datar hingga
datar-bergelombang. Bagian utara Kabupaten Indramayu adalah wilayah dengan kelas
kemiringan lereng datar (0 - 3%) seluas 169.826 ha (81,12%), sedangkan bagian
selatan kabupaten ini didominasi wilayah datar-berombak (3 - 8%) seluas 38.108
ha (18,20%) (Tabel 7).
Gambar 6 Peta Kelas Lereng
Tabel 7 Kelas Lereng
Luas No. Kelas Lereng (% lereng)
ha %
1 Datar (0 - 3 %) 169.826 81,12
2 Datar-berombak (3 - 8 %) 38.108 18,20
3 Bergelombang (8 - 15 %) 799 0,38
4 Berbukit kecil (15 - 30 %) 617 0,29
4.2 Drainase
Kabupaten Indramayu memiliki empat kelas drainase. Secara umum, bagian
utara kabupaten ini memiliki kelas drainase buruk (33,46%) dan sangat buruk
(33,46%). Wilayah bagian selatan dan tengah memiliki drainase baik (29,01%).
Gambar 7 Peta Kelas Drainase
Tabel 8 Kelas Drainase
Luas No. Kelas Drainase
ha %
1 Sangat Buruk 70.069 33,47
2 Buruk 70.038 33,46
3 Sedang 8.506 4,06
4 Baik 60.737 29,01
Total 209.350 100,00
4.3 Bentuk Lahan
Kabupaten Indramayu memiliki 6 bentuk lahan yang didominasi oleh
dataran aluvial seluas 154.598 ha (73,85%). Dataran aluvial ini berada di bagian
utara wilayah Kabupaten Indramayu (Gambar 8). Dataran aluvial merupakan
fluvial dengan tingkat sedimentasi yang tinggi. Bentuk lahan lain yang juga
langsung terpengaruh oleh aktifitas air adalah rawa pasang surut. Letak rawa
pasang surut yang berada tepat di pinggir laut menunjukkan bahwa daerah
tersebut terpengaruh aktifitas air laut secara langsung. Rawa pasang surut terdapat
di bagian paling utara dan sedikit di bagian timur kabupaten ini (Gambar 6).
Rawa pasang surut di wilayah ini adalah seluas 12.888 ha (6,16%).
Gambar 8 Peta Bentuk Lahan
Tabel 9 Kelas Bentuk Lahan
Luas
No. Bentuk Lahan
ha %
1 Bukit 1.443 0,69
2 Dataran 39.151 18,70
3 Dataran Aluvial 154.598 73,85
4 Lembah Aluvial 43 0,02
5 Pantai 1.227 0,59
6 Rawa pasang surut 12.888 6,16
5.1 Penutupan Lahan
Penutupan lahan didapatkan dari interpretasi citra Landsat wilayah
Kabupaten Indramayu tahun 2009. Citra Landsat yang digunakan adalah citra saat
musim hujan dengan kondisi awan yang paling minimum. Interpretasi dilakukan
secara visual setelah citra SLC-off tersebut dikoreksi terlebih dahulu. Interpretasi citra landsat menghasilkan peta penutupan lahan (Gambar 9).
Gambar 9 Peta Penutupan Lahan
Sawah merupakan penutupan lahan yang paling dominan di Kabupaten
Indramayu yakni seluas 112.899 ha (53,93%). Bagian utara dan sedikit bagian
timur dari Kabupaten Indramayu terdapat penutupan lahan berupa tambak. Bagian
selatan wilayah Kabupaten ini secara umum adalah pertanian lahan kering dan
perkebunan (Gambar 7). Luas penutupan lahan berupa tambak adalah seluas
23.211 ha (11,09%), pertanian lahan kering 30.620 ha (14,63%) dan perkebunan
seluas 6.769 ha (3,23%) (Tabel 10)
Penutupan lahan berupa permukiman dengan total luas 25.617 ha (12,24%),
permukiman berada mengelompok di dekat jalan dan bercampur dengan kebun
13 Pertanian Lahan Kering 30.620 14,63
Total 209.350 100,00
5.2 Curah Hujan
Peta kelas curah hujan yang dibuat adalah peta curah hujan rata-rata tahunan
dan peta curah hujan rata-rata bulanan (dalam tiga bulan puncak selama musim
hujan). Peta kelas curah hujan rata-rata tahunan Kabupaten Indramayu didapatkan
dari hasil rata-rata data curah hujan tahunan periode 15 tahun dari setiap stasiun
hujan. Peta kelas curah hujan rata-rata bulanan didapatkan dari rata-rata curah
hujan pada tiga bulan dengan curah hujan yang paling tinggi, yaitu pada bulan
Desember-Februari selama musim hujan (Oktober-Maret).
Kabupaten Indramayu hanya memiliki kelas curah hujan rata-rata tahunan
sangat kering hingga sedang. Peta kelas curah hujan rata-rata tahunan
memperlihatkan bahwa secara umum wilayah Kabupaten Indramayu memiliki
curah hujan rata-rata tahunan < 2.000 mm/thn. Sebagian besar Kabupaten
Indramayu memiliki kelas curah hujan sangat kering (< 1.500 mm/thn) seluas
51,44% dan kelas curah hujan kering (1.500 - 2.000 mm/thn) seluas 45,83% dari
dibandingkan wilayah bagian tengah dan selatannya (Gambar 10). Adapun curah
hujan rata-rata tahunan berdasarkan data adalah 1.471 mm/thn (Lampiran 3).
Gambar 10 Peta Kelas Curah Hujan Tahunan
Tabel 11 Kelas Curah Hujan Rata-rata Tahunan
Luas No. Kelas Curah Hujan (mm/thn)
ha %
1 Sedang (2.000 - 2.500) 5.717 2,73
2 Kering (1.500 - 2.000) 95.950 45,83
3 Sangat kering (< 1.500) 107.683 51,44
Total 209.350 100,00
Peta kelas curah hujan rata-rata bulanan memperlihatkan bahwa secara
umum wilayah Kabupaten ini memiliki kelas curah hujan 225 - 250 mm/bln
(Gambar 11) yang mencakup 42,72% dari luas wilayah Kabupaten Indramayu
Gambar 11 Peta Kelas Curah Hujan Bulanan
Tabel 12 Kelas Curah Hujan Rata-rata Bulanan
Luas No. Kelas Curah Hujan (mm/bln)
ha %
1 < 200 36.419 17,40
2 200 - 225 41.233 19,70
3 225 - 250 89.480 42,74
4 > 250 42.217 20,17
Total 209.350 100,00
5.3 Peta Rawan Banjir dan Karakteristik Wilayah Rawan Banjir
Peta rawan banjir menampilkan informasi tentang sebaran kelas daerah
rawan banjir di wilayah pengamatan. Daerah rawan banjir adalah daerah yang
dari segi fisik dan klimatologis memiliki kemungkinan terjadi banjir. Peta rawan
banjir diperoleh dari tumpang susun peta-peta dari parameter rawan banjir yang
digunakan. Parameter banjir yang digunakan adalah curah hujan, lereng, bentuk
lahan, penggunaan lahan, drainase, dan buffer sungai.
Parameter berupa curah hujan dibagi menjadi kelompok dengan kelas curah
hujan rata-rata tahunan dan kelompok dengan curah hujan rata-rata bulanan,
pembobotan, yaitu bobot berbeda (bobot 1) dan bobot sama (bobot 2), sehingga
peta rawan banjir yang didapatkan antara lain:
1. Peta Rawan Banjir CH Tahunan (Bobot 1),
2. Peta Rawan Banjir CH Tahunan (Bobot 2),
3. Peta Rawan Banjir CH Bulanan (Bobot 1),
4. Peta Rawan Banjir CH Bulanan (Bobot 2).
5.3.1 Peta Rawan Banjir dengan CH Tahunan dan Bobot 1
Kelompok pembobot pertama dengan kelas curah hujan tahunan membagi
wilayah Kabupaten Indramayu menjadi dua kelas rawan banjir, yaitu cukup rawan
dan rawan (Gambar 12). Kelas rawan adalah kelas rawan banjir terluas yaitu
sebesar 181.213 ha atau 86,56% (Tabel 13).
Tabel 13 Luas Kelas Kerawanan Banjir CH Tahunan (Bobot 1)
Secara umum kelas cukup rawan dan rawan menyebar di wilayah Kabupaten
Indramayu, sehingga karakteristik wilayah dari tiap kelas tidak berbeda jauh atau
dengan lain perkataan kelas cukup rawan dan kelas rawan memiliki karakteristik
wilayah yang hampir sama. Karakteristik wilayah yang sama dari kedua kelas
adalah curah hujan dari kelas sangat kering hingga sedang, kelas lereng dari datar
hingga berbukit kecil, kelas drainase baik hingga sangat buruk, dan kelas buffer
dari jarak < 100 m hingga > 500 m. Karakteristik yang berbeda adalah bentuk
lahan dan penutupan lahan. Kelas cukup rawan tidak terdapat pada wilayah
dengan penutupan lahan tambak dan bentuk lahan rawa pasang surut.
Sementara itu, karakteristik dominan pada kelas cukup rawan adalah kelas
curah hujan kering, bentuk lahan dataran, kelas lereng datar-berombak, drainase
baik, dan penutupan lahan berupa pertanian lahan kering. Karakteristik dominan
pada kelas rawan adalah kelas curah hujan kering, bentuk lahan dataran aluvial,
kelas lereng datar, drainase buruk-sangat buruk, dan penutupan lahan berupa
sawah.
5.3.2 Peta Rawan Banjir dengan CH Tahunan dan Bobot 2
Kelompok pembobot kedua membagi wilayah Kabupaten Indramayu
menjadi tiga kelas rawan banjir, yaitu cukup rawan, rawan, dan sangat rawan.
Secara umum, Kabupaten Indramayu didominasi kelas rawan, yaitu sebesar
79,57% (Tabel 14). Wilayah bagian utara Kabupaten Indramayu lebih rawan
dibandingkan dengan bagian selatan, dengan kelas sangat rawan berada di daerah
Gambar 13 Peta Kelas Rawan Banjir CH Tahunan (Bobot 2)
Tabel 14 Luas Kelas Kerawanan Banjir CH Tahunan (Bobot 2)
Luas No. Kelas Kerawanan Banjir
ha %
1 Cukup Rawan 41.880 20,00
2 Rawan 166.578 79,57
3 Sangat Rawan 892 0,43
Total 209.350 100,00
Karakteristik wilayah dari kelas cukup rawan adalah memiliki kelas curah
hujan dari sangat kering hingga sedang dengan kelas drainase baik hingga sedang.
Kelas lereng antara datar hingga berbukit kecil dengan jarak dari sungai antara <
100 m hingga > 500 m. Adapun bentuk lahan yang ada pada kelas cukup rawan
ini adalah dataran aluvial, lembah aluvial, bukit, dan dataran. Karakteristik
dominan dari kelas cukup rawan di kelompok ini adalah bentuk lahan dataran,
kelas lereng datar-berombak, drainase baik, kelas curah hujan kering, dan
penutupan lahan berupa pertanian lahan kering.
Kelas rawan memiliki karakteristik wilayah yang tidak berbeda jauh dengan
kelas cukup rawan. Pada kelas ini terdapat bentuk lahan yang tidak termasuk ke
didominasi oleh bentuk lahan dataran aluvial, kelas lereng datar, drainase
buruk-sangat buruk, kelas curah hujan kering, dan penutupan lahan berupa sawah.
Karakteristik wilayah yang termasuk kelas sangat rawan adalah wilayah
dengan kelas curah hujan kering dan sangat kering dengan kelas drainase buruk
dan sangat buruk. Wilayah dengan kelas ini berada pada jarak < 100 m hingga
100 - 200 m dari sungai dengan bentuk lahan dataran aluvial, pantai, dan rawa
pasang surut. Kemiringan lereng di wilayah ini adalah datar. Bila dilihat dari
luasan yang paling besar, maka kelas ini didominasi oleh adalah bentuk lahan
dataran aluvial, kelas lereng datar, drainase sangat buruk, kelas curah hujan
kering, dan penutupan lahan berupa sawah.
5.3.3 Peta Rawan Banjir dengan CH Bulanan dan Bobot 1
Kelompok ini membagi wilayah penelitian kedalam tiga kelas rawan banjir,
yaitu cukup rawan, rawan, dan sangat rawan. Kelas cukup rawan hanya memiliki
luasan yang kecil, sedangkan kelas rawan berada di seluruh wilayah Kabupaten
Indramayu. Sementara, kelas sangat rawan hanya berada di sisi utara Kabupaten
Indramayu (Gambar 14).
Hasil kelompok ini menunjukkan bahwa daerah Kabupaten Indramayu
secara umum termasuk dalam kelas rawan banjir sebesar 89,70% (Tabel 15).
Adapun wilayah cukup rawan hanya memiliki luas sebesar 0,61%.
Tabel 15 Luas Kelas Kerawanan Banjir CH Bulanan (Bobot 1)
Luas
Karakteristik dominan dari kelas cukup rawan adalah kelas curah hujan
<200 mm/bln dengan kelas drainase baik, kelas lereng datar dengan bentuk lahan
dataran aluvial dan wilayah ini berjarak > 500 m dari sungai dengan penutupan
lahan permukiman.
Kelas rawan pada kelompok ini memiliki karakteristik wilayah yang
mewakili semua kelas dari parameter banjir yang digunakan. Wilayah ini berada
pada kelas curah hujan < 200 mm/bln hingga > 250 mm/blm dengan kelas
drainase baik hingga sangat buruk dengan kelas lereng datar hingga berbukit
kecil, berada antara < 100 m hingga > 500 m dari sungai dan mencakup seluruh
kelas penutupan lahan dan bentuk lahan. Adapun karakteristik dominan pada
kelas rawan adalah bentuk lahan dataran aluvial, kelas lereng datar, drainase
buruk-sangat buruk, kelas curah hujan 225 - 250 mm/bln dan penutupan lahan
berupa sawah.
Karakteristik wilayah pada kelas sangat rawan tidak berbeda jauh dengan
kelas rawan. Namun wilayah dengan kelas ini hanya berada di wilayah dengan
kelas lereng datar hingga datar berombak. Karakteristik dominan dari kelas sangat
rawan ini adalah bentuk lahan dataran aluvial, kelas lereng datar, drainase sangat
buruk, kelas curah hujan > 250 mm/ bln, dan penutupan lahan berupa tambak.
5.3.4 Peta Rawan Banjir dengan CH Bulanan dan Bobot 2
Kelompok ini membagi wilayah Kabupaten Indramayu kedalam tiga kelas
terlihat menyebar di sisi bagian selatan Kabupaten Indramayu, kelas sangat rawan
berada di bagian utara indramayu, dan kelas rawan mencakup seluruh wilayah
Kabupaten Indramayu (Gambar 15). Kelas kerawanan terluas adalah kelas rawan
sebesar 89,11 % (Tabel 16).
Gambar 15 Peta Kelas Rawan Banjir CH Bulanan (Bobot 2)
Tabel 16 Luas Kelas Kerawanan Banjir CH Bulanan (Bobot 2)
Luas No. Kelas Kerawanan Banjir
ha %
1 Cukup Rawan 13.935 6,66
2 Rawan 186.547 89,11
3 Sangat Rawan 8.868 4,24
Total 209.350 100,00
Kelas cukup rawan memiliki karakteristik wilayah yaitu kelas curah hujan <
200 mm/bln hingga > 250 mm/blm, dengan kelas drainase baik hingga buruk.
Kelas lereng datar hingga berbukit kecil. Wilayah ini berjarak dari sungai <100 m
hingga > 500 m. Adapun bentuk lahan yang ada pada kelas cukup rawan ini
di kelas ini adalah bentuk lahan dataran, kelas lereng datar-berombak, drainase
baik, kelas curah hujan 225 - 250 mm/ bln, dan penutupan lahan berupa pertanian
lahan kering.
Kelas rawan pada kelompok ini memiliki karakteristik wilayah yang
mewakili semua kelas dari parameter banjir yang digunakan. Wilayah ini berada
pada kelas curah hujan < 200 mm/bln hingga > 250 mm/blm dengan kelas
drainase baik hingga sangat buruk dengan kelas lereng datar hingga berbukit
kecil, berada pada jarak < 100 m hingga > 500 m dari sungai dan mencakup
seluruh kelas penutupan lahan dan bentuk lahan. Adapun karakteristik dominan
di kelas ini adalah bentuk lahan dataran aluvial, kelas lereng datar, drainase buruk,
kelas curah hujan 225 - 250 mm/blm, dan penutupan lahan berupa sawah.
Karakteristik wilayah pada kelas sangat rawan tidak berbeda jauh dengan
kelas rawan. Namun wilayah dengan kelas ini hanya berada di wilayah dengan
kelas lereng datar hingga datar berombak dan bentuk lahan dataran aluvial,
lembah aluvial, rawa pasang surut, drainase sangat buruk dengan kelas curah
hujan dominan > 250 mm/ bln.
5.4 Kejadian Banjir dan Hubungannya dengan Peta Rawan Banjir
Kejadian banjir di Kabupaten Indramayu bukan merupakan hal baru.
Kejadian banjir di kabupaten ini terjadi setiap tahun dan telah dipaparkan di
beberapa media informasi. Kejadian banjir yang terekam adalah kejadian nyata di
lapangan. Kejadian banjir yang terekam pada umumnya adalah kejadian yang
memiliki dampak terhadap areal pertanian dan permukiman.
Ivansyah (2009) menyebutkan bahwa 16 kecamatan di Kabupaten
Indramayu diidentifikasi sebagai daerah rawan bencana, yaitu Kecamatan
Anjatan, Arahan, Bongas, Cantigi, Cikedung, Gabuswetan, Indramayu,
Kandanghaur, Kroya, Lohbener, Lelea, Losarang, Patrol, Terisi, Sukra, dan
Widasari. Data kejadian banjir di Kabupaten Indramayu dari beberapa media
Tabel 17 Daftar Lokasi Rekaman Kejadian Banjir di Kabupaten Indramayu
Lokasi Kejadian Banjir Keterangan
Kecamatan Gabuswetan, Bongas, dan Kandanghaur
(Detik, 2006)
Membanjiri ratusan rumah penduduk dan ratusan hektar sawah akibat curah hujan
Banjir diakibatkan tanggul di Sungai Cimanuk, jebol akibat hujan deras selama dua hari berturut-turut.
Kecamatan Sukra, Kandanghaur, Patrol, dan Bongas
(Romlah, 2011)
Banjir setinggi 1 - 1,5 m menyebabkan ribuan rumah, ratusan hektar dan puluhan rumah rusak terendam banjir. sekitar 1000 warga diungsikan. Tinggi air sepinggang orang dewasa.
Patrol, Bongas, Sukra, Losarang, dan Kandanghaur.
(Seputar Indramayu, 2011)
Curah hujan tinggi, sehingga air tidak tertampung di sejumlah sungai. Banjir merusak ratusan rumah, ratusan hektar sawah dan menganggu lalu lintas.
Kecamatan Patrol dan Anjatan (Depkes, 2011)
Jumlah penduduk yang terancam sebanyak 30.546 jiwa.
Kecamatan Sukra, Losarang, Patrol, dan Kandanghaur
(Pikiran Rakyat, 2011)
Banjir diakibatkan curah hujan tinggi dan rusaknya tanggul sungai. melampaui ambang batas di atas 30 cm.
Merujuk pada sumber-sumber berita diatas, maka kecamatan-kecamatan di
Kabupaten Indramayu yang rawan terkena bencana banjir adalah Anjatan,
Bongas, Gabuswetan, Indramayu, Kandanghaur, Kroya, Lohbener, Losarang,
Patrol, dan Sukra.
Hasil dari setiap pemodelan curah hujan dan pembobotan yang berbeda
membagi wilayah Kabupaten Indramayu kedalam kelas tingkat kerawanan yang
hampir sama, yaitu cukup rawan, rawan, dan sangat rawan. Hasil dari keempat