• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan perkebunan kakao theobroma cacao l. rakyat berkelanjutan di Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara pengelolaan hama penggerek buah kakao Conopomorpha cramerella Snellen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengembangan perkebunan kakao theobroma cacao l. rakyat berkelanjutan di Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara pengelolaan hama penggerek buah kakao Conopomorpha cramerella Snellen"

Copied!
216
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN PERKEBUNAN KAKAO

Theobroma cacao

L. RAKYAT BERKELANJUTAN

DI KABUPATEN KOLAKA PROVINSI SULAWESI

TENGGARA : PENGELOLAAN HAMA PENGGEREK

BUAH KAKAO

Conopomorpha cramerella

Snellen

(Lepidoptera: Gracillariidae)

MAZHFIA UMAR

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengembangan Sistem Perkebunan Kakao Theobroma cacao L. Rakyat Berkelanjutan di Kabupaten Kolaka: Pengelolaan Hama Penggerek Buah Kakao Conopomorpha cramerella Snellen (Lepidoptera: Gracillariidae) adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Agustus 2010

(3)

ABSTRACT

MAZHFIA UMAR. Development of sustainable of Smallholders Cocoa Plantations in Kolaka District South East Sulawesi: Management of Cocoa Pod Borer (CPB)

Conopomorpha cramerella Snellen (Lepidoptera: Gracillariidae). Under direction of SYAFRIDA MANUWOTO, SUPIANDI SABIHAM, LALA M. KOLOPAKING.

Development of plantations in Kolaka Regency becomes a complex problem, which has the implications in the incidence of pest and disease problems, especially cocoa pod borers (CPB). To overcome these problems, a research was conducted in the cocoa-producing center in Lambandia Sub-district using an exploratory method

and experts’ opinions. Description of the current plantation conditions shows that the famers were choice the pesticides on management of Cacao Pod Borer (CPB) in Lambandia Sub District. The famers consider pesticides as a means of the controller in overcoming CPB problems and it has an impact on the sustainability of cocoa plantations. An assessment of the sustainability of the PBK resource management using MDS (Multi Dimensional Scaling) method showed that the social dimension was sufficiently sustainable with a value 58.39%; on the other hand, the dimensions of institution/policy, ecology, economy, and technology/ infrastructure were not sustainable with values of 37.32%, 44.62%, 45.27%, and 46.59% respectively. Thus, CPB management in the sub-district should be improved. CPB management was determined by using a descriptive analysis and SWOT (Strengths Weaknesses Opportunities and Threaths).

The strategy priority based on SWOT analysis is to increase knowledge and skills of farmers (1.101) and related officers which is the main priority, followed by the development of adaptive IPM CPB (0.538), empowerment of PHT institution (0.310), quality improvement (0.180), and supply chain efficiency (0.207). The descriptive analysis showed that the CPB management system were the farmers, supplies of production facilities, the market system, and supporting institutional. The organization structure of famers group include the function of production facilities, production, control of CPB, post harvest, marketing, and cooperative. In implementing the PBK management, farmers group is complemented by supporting institutional. Institutional design was made using ISM analysis (Interpretative Structural Modelling). ISM analysis is to identify obstacles faced which include the

limited utilization of mutual cooperation values in promoting farmers’ participation, so

that the institutional farmers can not run optimally, ineffective role of supporting institution, including the control of policy marker. For that purpose, the activities which can be implemented is the program related to improving of IPM CPB and increasing multiplication and certification of cocoa seeds and the resistant clones of PBK, monitoring the distribution and use of pesticides and fertilizers. The successful implementation of PBK management is measured by the improve of IPM CPB, increase income of farmer, quality life of farmer. The roles of supporting institutional are under the Department of Agriculture, the Government of Regency and Sub-district, and Extention Centre.

(4)

RINGKASAN

MAZHFIA UMAR. Pengembangan Perkebunan Kakao Theobroma cacao L. Rakyat Berkelanjutan di Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara : Pengelolaan Hama Penggerek Buah Kakao Conopomorpha cramerella Snellen (Lepidoptera: Gracillariidae). Dibimbing oleh SYAFRIDA MANUWOTO, SUPIANDI SABIHAM, dan LALA M. KOLOPAKING.

Pengembangan perkebunan kakao di Kabupaten Kolaka menghadapi permasalahan yang kompleks sehingga mengancam keberlanjutan perkebunan. Salah satu permasalahan adalah kendala organisme pengganggu. Berdasarkan kondisi tersebut, maka penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan pengelolaan organisme pengganggu utama yaitu penggerek buah kakao (PBK) (Conopomorpha cramerella Snellen) (Lepidoptera: Gracillariidae). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk pengelolaan PBK, kelembagaan yang ada, pengembangannya kedepan didasari prinsip-prinsip pengendalian hama terpadu (PHT) dan pembangunan berkelanjutan.

Penelitian ini menggunakan metode eksplorasi dan pendapat pakar. Penilaian kondisi terkini pengelolaan PBK menggunakan pendekatan eksploratif dengan teknik pengamatan langsung, wawancara, observasi, dan interpretasi data sekunder. Penilaian status keberlanjutan dilakukan dengan teknik interpretasi data sekunder didukung oleh wawancara pakar. Data dianalisis dengan menggunakan Multi Dimensional Scaling (MDS) dalam bentuk Rap-Lambandia. Hasil penilaian status keberlanjutan dilanjutkan dengan perumusan strategi pengelolaan PBK dengan teknik wawancara dan data dianalisis dengan alat analisis Strenghtness, Weakness, Opportunities, Threatness (SWOT). Desain kelembagaan dilakukan dengan cara teknik wawancara pakar. Data yang terkumpul dianalisis menggunakan Interpretative Structural Modeling (ISM).

Hasil analisis menunjukan bahwa pada saat ini pekebun menempatkan pestisida sebagai bentuk utama pengelolaan PBK. Salah pandang berimplikasi pada keberlanjutan perkebunan kakao ditunjukan oleh nilai status keberlanjutan aspek ekologi, ekonomi, sosial termasuk di dalamnya sub aspek kelembagaan/kebijakan dan teknologi/infrastruktur berturut-turut sebesar 44.62%, 45.27%, 58.39%, 37.32%, dan 46.58%. Artinya pengelolaan PBK yang dilakukan saat ini mengancam keberlanjutan perkebunan. Dengan demikian pengelolaan PBK perlu diperbaiki agar tidak bergantung pada pestisida saja tetapi juga memanfaatkan sumber daya lainnya. Sumber daya pengelolaan PBK yang dapat dimanfaatkan untuk mencapai perkebunan berkelanjutan adalah limbah kakao, musuh alami, pemanfaatan potensi nilai-nilai sosial dan kepemilikan lahan, serta mengoptimalkan peran kelembagaan pekebun dan kelembagaan penunjang.

(5)

pemasaran, dan koperasi. Sistem pengelolaan PBK terdiri dari kelompok pekebun, penyedia sarana produksi, pelaku pasar, serta lembaga penunjang.

Dalam memperbaiki pengelolaan PBK masih ditemukan kendala utama yaitu belum dimanfaatkannya nilai-nilai sosial gotong royong dan belum optimalnya pengawasan peredaran dan penggunaan pestisida. Untuk itu diperlukan kegiatan pengembangan dan pengerapan PHT PBK yang ditandai dengan terbentuknya PHT PBK yang mampu menurunkan serangan PBK, meningkatnya pendapatan pekebun, dan meningkatnya kualitas hidup pekebun. Berdasarkan strategi dan kendala yang dihadapi kendala maka visi pengelolaan PBK adalah terciptanya perkebunan kakao rakyat yang produktif, mampu meningkatkan pendapatan, dan aman bagi lingkungan. Misi pengelolaan PBK adalah produksi biji kakao bermutu dengan proses produksi minim dampak negatif terhadap lingkungan. memerlukan visi. Strategi pengelolaan PBK adalah penguatan PHT PBK melalui peningkatan kapasitas kelembagaan dengan cara peningkatan pengetahuan dan keterampilan pekebun sehingga pekebun mampu meningkatkan mutu produk kakao yang dapat memenuhi kebutuhan pasar lokal dan global.

Untuk mencapai visi, misi, dan strategi pengelolaan PBK maka lembaga yang menjadi penggerak utama pengelolaan PBK adalah Dinas Perkebunan yang merupakan lembaga pengontrol, Pemerintah daerah, dan Badan Penyuluhan Pertanian. Balai Penyuluhan Pertanian menjembatani Balai Penelitian/Pengkajian Teknologi/Perguruan Tinggi dengan kelompok pekebun. Pengembangan PHT PBK meliputi penyediaan sarana produksi, pasca panen, dan pemasaran, sehingga kelompok pekebun juga perlu bermitra dengan dinas Koperasi, Dinas perindustrian/Perdagangan berperan dalam pembinaan koperasi dan standar mutu biji kakao.

Dengan demikian maka harapan implikasi kebijakan PHT PBK pembentukan forum pengembangan dan pengendalian kakao rakyat yang berperan dalam percepatan pelaksanaan koordinasi, pemantauan dan evaluasi, pengelolaan insentif, pemberdayaan alumni SLPHT, dan peningkatan pengetahuan dan keterampilan pekebun.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

PENGEMBANGAN PERKEBUNAN KAKAO

Theobroma cacao

L. RAKYAT BERKELANJUTAN

DI KABUPATEN KOLAKA PROVINSI SULAWESI

TENGGARA : PENGELOLAAN HAMA PENGGEREK

BUAH KAKAO

Conopomorpha cramerella

Snellen

(Lepidoptera: Gracillariidae)

MAZHFIA UMAR

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumber daya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. I Wayan Winasa, M.Si. Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc.

(9)

Judul Disertasi : Pengembangan Perkebunan Kakao Theobroma cacao L. Rakyat Berkelanjutan di Kabupaten Kolaka: Pengelolaan Hama Penggerek Buah Kakao Conopomorpha cramerella Snellen (Lepidoptera: Gracillariidae)

Nama : Mazhfia Umar NIM : P062050281

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc. Ketua

Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr. Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, M.S. Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Pengelolaan SDA dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2008 ini adalah perkebunan berkelanjutan dengan judul Pengembangan Perkebunan Kakao Theobroma cacao L. Rakyat Berkelanjutan di Kabupaten Kolaka : Pengelolaan Hama Penggerek Buah Kakao

Conopomorpha cramerella Snellen (Lepidoptera: Gracillariidae).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc., Bapak Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr, dan Bapak Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, M.S. selaku komisi Pembimbing. Bapak Dr. Ir. I Wayan Winasa, M.Si. dan Bapak Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc. selaku Penguji Luar Ujian Tertutup serta Bapak Dr. Sabarman Damanik M.S. dan Bapak Dr. Ir. Ade Wachjar, M.S. selaku Penguji Luar Sidang Terbuka. Disamping itu, penulis sampaikan penghargaan kepada Bapak Gubernur Kepala Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara atas izin dan kesempatan yang diberikan untuk menempuh pendidikan di IPB ini, nara sumber, dan PT Antam (tbk) melalui Divisi Corporate Social Responsibility atas perhatian bantuan dalam penulisan disertasi. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada rekan-rekan program studi Pengelolaan SDA dan Lingkungan tahun 2005 atas dorongan dan kekompakannya, kedua orang tua dan adik-adik serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2010.

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pomalaa (Sulawesi Tenggara) pada tanggal 9 Desember 1966 sebagai anak sulung dari pasangan La Pia Umar dan Mauzu. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, lulus tahun 1991. Pada tahun 2002, penulis diterima di Magister Manajemen Agribisnis, Institut Pertanian Bogor dan menamatkannya pada tahun 2004. Setahun kemudian tepatnya tahun 2005 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pada Program Studi Pengelolaan Sumber daya Alam dan Lingkungan.

(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 6

Tujuan Penelitian ... 8

Manfaat ... 9

Ruang Lingkup Penelitian ... 9

TINJAUAN PUSTAKA... 13

JUDUL 1 KONDISI TERKINI PERKEBUNAN KAKAO RAKYAT ... 32

Abstrak ... 32

Abstract ... 32

Pendahuluan ... 32

Metodologi Penelitian ... 36

Hasil ... 41

Pembahasan ... 67

Kesimpulan... 72

Daftar Pustaka ... 72

JUDUL 2 STATUS PENGELOLAAN PENGGEREK BUAH KAKAO (PBK) MENUJU PERKEBUNAN BERKELANJUTAN ... 75

Abstrak ... 75

Abstract ... 75

Pendahuluan ... 76

Metodologi Penelitian ... 80

Hasil ... 81

Pembahasan ... 92

Kesimpulan... 95

Daftar Pustaka ... 95

JUDUL 3 STRATEGI PENGELOLAAN PBK ... 98

Abstrak ... 98

(13)

xii

Pendahuluan ... 99

Metodologi Penelitian ... 102

Hasil ... 104

Pembahasan ... 115

Kesimpulan... 123

Daftar Pustaka... .. 124

JUDUL 4 DESAIN KELEMBAGAAN PENUNJANG PENGELOLAAN PBK ... 126

Abstrak ... 126

Abstract... 126

Pendahuluan ... 126

Metodologi Penelitian ... 131

Hasil ... 133

Pembahasan ... 143

Kesimpulan... 145

Daftar Pustaka ... 146

PEMBAHASAN UMUM ... 148

Visi, Misi, dan Strategi Pengelolaan PBK ... 148

Bentuk Kebijakan Pengelolaan PBK ... 150

Kelembagaan Pengelolaan PBK ... 155

KESIMPULAN UMUM DAN SARAN ... 159

DAFTAR PUSTAKA ... 161

(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Perkebunan berkelanjutan terkait aspek ekologi, ekonomi, dan sosial ... 17

2. Lama Hidup pada setiap fase perkembangan PBK ... 23

3. SOP Pengendalian Hama Terpadu (PHT) PBK ... 27

4. Perkembangan penelitian terkait pengelolaan PBK ... 28

5. Karakteristik sumberdaya perkebunan kakao ... 34

6. Kondisi tanah di Kecamatan Lambandia ... 45

7. Jenis musuh alami PBK yang terjaring di Kecamatan Lambandia ... 48

8. Jenis kebijakan terkait perlindungan tanaman ... 51

9. Penerapan teknologi pengendalian PBK ... 57

10. Rata-rata produksi kakao di Kecamatan Lambandia pada puncak produksi bulan Juli 2008... 62

11.Pendapatan pekebun responden pada berbagai tindakan pengendalian PBK ... 63

12. Konsep PHT PBK berdasarkan sumberdaya dan tujuan perkebunan berkelanjutan ... 79

13. Hasil penilaian keberlanjutan setiap dimensi keberlanjutan pengelolaan PBK di Kecamatan Lambandia ... 92

14.Matriks alternatif strategi pengelolaan PBK menuju perkebunan kakao rakyat berkelanjutan di Kecamatan Lambandia ... 110

15.Perumusan sasaran dan kebijakan pengelolaan PBK ... 118

16.Jenis lembaga pengelolaan PBK menurut legalitas dan ukuran ... 130

(15)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman 1. Luas tanam kakao (ha) tahun 2009 pada sentra produksi kakao di

Kabupaten Kolaka ... 3

2. Kerangka pemikiran penelitian ... 11

3. Proses penerapan konsep PHT mencapai perkebunan berkelanjutan ... 21

4. Penggerek Buah Kakao (PBK) ... 24

5. Gejala Serangan PBK ... 24

6. Peta Lokasi Penelitian ... 37

7. Petak Pengambilan sampel ... 39

8. Jenis semut ranggang Oecophylla smaragdina (Formicidae: Hymenoptera) yang dominan ditemukan di lokasi pengamatan ... 49

9. Kondisi jalan desa masih labil dan belum memadai ... 53

10.Penanganan pascapanen pemisahan biji dari daging buah (kiri) dan pengeringan biji kakao (kanan) yang dilakukan masih tradisional ... 54

11. Luas serangan PBK setiap tahun di Kecamatan Lambandia ... 56

12. Kondisi kebun setelah panen tanpa sanitasi (kiri) dan sanitasi (kanan) ... 58

13. Kondisi Terkini Pengelolaan PBK dan implikasi terhadap perkebunan berkelanjutan ... 68

14.Atribut aspek ekologi pengelolaan PBK yang menjadi penentu keberlanjutan perkebunan kakao di Kecamatan Lambandia ... 82

15.Atribut aspek ekonomi pengelolaan PBK yang menjadi penentu keberlanjutan perkebunan kakao di Kecamatan Lambandia ... 84

16.Atribut aspek sosial pengelolaan PBK yang menjadi penentu keberlanjutan perkebunan kakao di Kecamatan Lambandia ... 85

17.Atribut aspek infrastruktur/teknologi pengelolaan PBK yang menjadi penentu keberlanjutan perkebunan kakao di Kecamatan Lambandia ... 86

18.Atribut aspek kelembagaan/kebijakan pengelolaan PBK yang menjadi penentu keberlanjutan perkebunan kakao di Kecamatan Lambandia ... 88

19.Indeks keberlanjutan pengelolaan PBK menggunakan rap-Lambandia ... 89

(16)

21.Matriks SWOT ... 104

22. Prioritas faktor internal yang menjadi kekuatan dalam pengelolaan PBK .. 105

23. Prioritas faktor internal yang menjadi kelemahan dalam pengelolaan PBK ... 106

24. Prioritas faktor eksternal yang menjadi peluang dalam pengelolaan PBK . 107 25.Prioritas faktor ekternal yang menjadi ancaman dalam pengelolaan PBK . 109 26.Prioritas Strategi pengelolaan PBK ... 112

27.Struktur Organisasi Kelembagaan Pengelolaan PBK ... 120

28.Sistem Kelembagaan Pengelolaan PBK ... 123

29.Matriks Hubungan DP-D Elemen ... 132

30.Struktur ISM VAXO keterkaitan tolok ukur kendala yang dihadapi ... 133

31.Matriks Hubungan DP-D elemen tolok ukur kendala yang dihadapi ... 134

32.Struktur ISM VAXO keterkaitan tolok ukur kebutuhan kegiatan ... 135

33.Matriks Hubungan P-D elemen tolok ukur kebutuhan kegiatan ... 136

34.Struktur ISM VAXO keterkaitan tolok ukur untuk menilai keberhasilan . 138 35.Matriks hubungan DP-D elemen tolok ukur keberhasilan program ... 139

36.Struktur ISM VAXO tolok ukur keterkaitan antara lembaga ... 140

37. Matriks hubungan DP-D elemen tolok ukur lembaga terkait ... 141

38. Keterkaitan antar lembaga-lembaga penunjang pengelolaan PBK berdasarkan sub elemen kunci setiap elemen ... 144

(17)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1. Rapfish Ordination dan Rapfish Ordination Monte Carlo aspek ekologi,

ekonomi, sosial, teknologi/infrastruktur, dan kelembagaan/kebijakan pengelolaan PBK ... 169 2. Penilaian responden berdasarkan bobot dan urut kepentingan kekuatan,

(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kakao Theobroma cacao L. merupakan salah satu komoditas perkebunan yang strategis bagi Indonesia. Pada saat ini 93% perkebunan kakao merupakan perkebunan rakyat, melibatkan 1 395 824 Kepala Keluarga dan menyerap 82 197 HOK tenaga kerja. Luas lahan kakao mencapai 1 425 216 ha dan 857 757 ha (60.18%) diantaranya berada di Pulau Sulawesi. Produksi kakao Indonesia pada tahun 2008 mencapai 803 590 ton (Deptan 2009) sehingga menjadi penyumbang kedua pasar kakao dunia setelah Pantai Gading (Côte d'Ivoire) (ICCO 2008). Perkebunan kakao juga merupakan penyumbang devisa negara dengan nilai ekspor mencapai 1 268 914 000.00 US$ pada tahun 2008 (Deptan 2009).

Produk kakao Indonesia di pasar global umumnya dijual dalam bentuk biji kakao kering (BKK), sementara potensi produk olahan yang dapat memberi nilai tambah seperti kakao butter, kakao pasta, tepung kakao, atau makanan mengandung coklat lebih banyak dihasilkan oleh negara-negara importir biji kakao. Kebijakan pemerintah Indonesia turut mendorong kondisi di atas seperti tidak dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN) bagi ekspor biji kakao dan PPN 10% bagi biji kakao yang akan digunakan sebagai bahan baku pabrik pengolahan biji kakao. Bagi kakao olahan dikenakan PPN 30% dan tarif impor 5%. Sebaliknya di negara-negara pengimpor seperti Malaysia, Amerika, dan Negara-Negara Eropa tidak mengenakan pajak impor terhadap biji kakao kering dan ekspor biji kakao olahan. Masalah lain yang dihadapi biji kakao Indonesia adalah mutu yang rendah sehingga dikenakan penahanan (detention) oleh lembaga Pengawas Makanan dan Obat Amerika (USFDA). Akibatnya produk kakao Indonesia terkena pemotongan harga sebesar 10-15% dari harga pasar untuk biaya penanganan kembali (reconditioning). Kebijakan-kebijakan tersebut di atas berdampak pada harga di tingkat pekebun dan selanjutnya berdampak pada pendapatan pekebun.

(19)

2

Kakao Indonesia sekitar 60% di pasarkan ke Malaysia, Amerika, Singapura, dan Brazil, sementara potensi pasar lainnya seperti Eropa, Rusia, Slovenia, dan Cina belum terjamah. Potensi konsumsi kakao di pasar global pada tahun 2004/2005 ádalah Eropa 50%, Amerika 34%, Asia 13% dan Afrika 3% (ICCO 2008).

Dalam pengelolaan perkebunan kakao masih ditemukan berbagai kendala yaitu: degradasi lingkungan (Vadapalli 1999), sosial ekonomi pekebun, pola budidaya tanaman, dan serangan hama dan penyakit (Deptan 2006). Penerapan teknologi budidaya belum sepenuhnya mempertimbangkan daya dukung lingkungan sehingga rentan terhadap penurunan kesuburan dan keanekaragaman hayati (Rice dan Greenberg 2000), yang bermuara pada serangan hama penyakit, penurunan produksi, dan penurunan pendapatan (Siebert 2002). Kakao yang ditanam dengan pola monokultur tanpa naungan dan tanpa diimbangi dengan perlakuan budidaya lainnya dapat menimbulkan berbagai implikasi ekologis. Ukuran daun kakao yang relatif besar mempunyai jumlah stomata per unit area lebih banyak, menyebabkan penguapan lebih tinggi dan menurunkan ketahanan fisiologi tanaman (De-Almeida dan Valle 2007; Belsky dan Siebert 2003). Kehilangan hara dan kandungan bahan organik potensial menyebabkan tanaman lebih rentan terhadap hama dan penyakit (Belsky dan Siebert 2003; Bos et al.

2007).

(20)

Gambar 1 Luas tanam kakao (ha) tahun 2009 pada sentra produksi kakao Kabupaten Kolaka.

Kakao merupakan komoditas perkebunan utama di Kabupaten Kolaka. Dilihat dari perdagangan antar pulau, subsektor perkebunan memberikan kontribusi senilai Rp235 256 400.00 yaitu 92.1% dari total nilai perdagangan (BPS Kabupaten Kolaka 2006a). Kakao menjadi tumpuan rumah tangga pekebun, karena sifat agronomis tanaman yaitu berbuah sepanjang tahun. Kakao merupakan komoditas perdagangan global, selain itu karena ketersediaan lahan kering memungkinkan perluasan. Bagi pembangunan daerah, kakao merupakan komoditas strategis terlihat dari sumbangannya terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Kolaka atas harga berlaku dari perkebunan mencapai 18.50% (BPS Kabupaten Kolaka 2006b).

Potensi pengembangan kakao belum diimbangi dengan pengelolaan sistem produksi yang memadai. Selama lima tahun terakhir (tahun 2002 sampai 2007) rata-rata produksi kakao Kolaka mengalami penurunan sebesar 51% atau sekitar 10% setiap tahun diantaranya akibat serangan hama dan penyakit (Dinas Perkebunan 2007). Hasil survei terhadap perkebunan kakao rakyat di Provinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara menunjukan bahwa 63 - 80% tanaman kakao terserang OPT, 5-40% adalah hama penggerek buah kakao (PBK) Conopomorpha cramerella Snellen (Gracillariidae: Lepidoptera), 19.2% adalah penyakit busuk buah (Phytophthora palmivora) dan selebihnya adalah penyakit VSD ( Vascular-streak dieback) (Mc.Mahon et al. 2006). Serangan PBK menyebabkan biji kakao

Lambandia Ladongi Poli-polia Samaturu Wolo Latambaga 31 852.50

14 831.40

5 035.50 6 861.99 8 218.50 3 855.50 Luas tanam (Ha)

(21)

4

menyatu satu dengan lainnya dan plasenta biji mengeras serta aroma biji kakao tidak dapat terbentuk secara baik terutama pada biji kakao yang difermentasi, sehingga menyebabkan penurunan mutu.

Luas serangan hama PBK di Provinsi Sulawesi Tenggara meliputi areal 3 735.4 ha dengan kerugian sekitar Rp22.312 milyar (Dinas Perkebunan dan Hortikultura Sulawesi Tenggara 2007). Kehilangan hasil akibat serangan hama PBK di daerah endemis mencapai 24% (Jamaluddin dan Sjafaruddin, 2005), bahkan pada beberapa daerah mencapai 80-90%. Kehilangan hasil akibat

serangan PBK khususnya di Kabupaten Kolaka diperkirakan mencapai Rp25 milyar per tahun. Pada sentra produksi kakao di Kabupaten Kolaka,

serangan hama PBK juga menjadi kendala utama. Luas serangan hama PBK tertinggi dijumpai pada tahun 2007 di Kecamatan Lambandia yaitu 662 ha, diikuti Kecamatan Ladongi 508 ha, Kecamatan Samaturu 483 ha, dan Wolo 446 ha (Disbunhorti 2008). Permasalahan PBK diperkirakan semakin meluas mengingat bentang alam perkebunan yang cukup luas dan pengendalian PBK belum dilakukan secara komprehensif dan terpadu.

Peran strategis perkebunan kakao dan permasalahan yang cukup kompleks di Indonesia, khususnya di Kabupaten Kolaka membutuhkan penanganan yang komprehensif terutama penanganan hulu dalam bentuk pengawalan kebijakan. Pengawalan kebijakan membutuhkan pemahaman pelaku pengambil kebijakan untuk mengetahui akar permasalahan, merumuskan alternatif pemecahan dan mampu mengembangkan desain pengelolaannya (Robert 2004). Kebijakan yang dihasilkan selain dapat diterapkan juga dapat mencapai tujuan. Untuk itu pengambil kebijakan perlu merumuskan strategi, merumuskan dan mendistribusikan program, menyelaraskan dan memadukan berbagai fungsi dalam bentuk koordinasi program, dan melakukan evaluasi (Peter 1996). Kebijakan pembangunan yang diharapkan mampu mengatasi atau menjadi jalan tengah bagi permasalah perkebunan adalah penerapan ‘konsep perkebunan berkelanjutan’.

(22)

kebijakan termasuk dalam kebijakan perlindungan tanaman untuk mengatasi permasalahan organisme pengganggu tanaman termasuk hama PBK. Implementasi kebijakan perlindungan tanaman yang sejalan dengan tujuan perkebunan berkelanjutan adalah penerapan konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT) (Heinrichs 2005). Konsep PHT mengintegrasikan pengelolaan tanaman dalam skala hamparan yang melibatkan pekebun, kelompok pekebun (Bianchi et al. 2006; Campbell dan Godoy 1986), dan pengambil kebijakan yang berperan sebagai pengontrol (Campbell dan Godoy 1986).

Pengendalian hama terpadu merupakan pengambilan keputusan secara holistik dan partisipatif untuk menghasilkan teknologi, anjuran, strategi pengendalian yang aman bagi lingkungan dan masyarakat serta memiliki manfaat sosial ekonomi (Norris et al. 2003; Dhaliwal et al. 2004). Pengambilan keputusan dilakukan dengan mempertimbangkan tujuan pengelolaan, masalah yang dihadapi, kondisi sumber daya, dan alternatif teknologi PHT yang tersedia (Dhaliwal et al.

2004). Sumber daya perkebunan meliputi sumber daya ekologi, fisik (teknologi, sarana produksi, dan infrastruktur), ekonomi, manusia, dan sosial (Campbell et al.

2001; Hassanshahi et al. 2008).

Penerapan PHT tidak hanya pada level pekebun, tetapi juga pada level kelompok pekebun, dan pengambil kebijakan (Heong 1985). Pekebun adalah inidividu pengambil keputusan tingkat agroekosistem kakao oleh karena itu dibutuhkan kemampuan pekebun untuk menganalisis kondisi ekosistem dan mempertimbangkan teknik pengendalian yang kompatibel. Kelompok pekebun diharapkan dapat bekerjasama dengan lembaga-lembaga terkait, dan pengambil kebijakan melaksanakan peran kontrol secara terus menerus. Secara keseluruhan dibutuhkan pembelajaran secara terus menerus pada setiap level untuk mendukung pengambilan keputusan di tingkat pekebun. Setiap level pengambilan keputusan diharapkan saling mendukung, pengambilan keputusan pada level pekebun didasari oleh pengambilan keputusan pada level diatasnya, demikian pula sebaliknya.

(23)

6

yang dapat diterapkan dan dikontrol secara optimal. Untuk itu dalam pengelolaan PBK diperlukan suatu keterpaduan antara pekebun, kelompok pekebun, dan pengambil kebijakan. Pekebun diharapkan mampu mengidentifikasi permasalahan dan merumuskan strategi pengendalian, serta mampu melaksanakan pengendalian dengan dukungan kelembagaan pekebun yang efektif, dan pengawalan kebijakan yang mendorong terlaksananya strategi pengendalian PBK.

Perumusan Masalah

Kebijakan perkebunan berkelanjutan tertuang dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, dan penjabarannya pada berbagai perundang-undangan terkait. Kebijakan perkebunan berkelanjutan sejalan dengan prinsip-prinsip PHT yaitu pengelolaan yang dapat mendorong pelestarian lahan dan keanekaragaman hayati, mampu meningkatkan produktivitas dan pendapatan pekebun untuk menerapkan dan mengembangkan PHT secara terus menerus.

(24)

tentang Pemerintahan Daerah). Berdasarkan ketentuan di atas, maka pembangunan perkebunan kakao seyogyanya mampu menciptakan kelestarian lahan dan keseimbangan ekosistem, bersifat adil, aman bagi kesehatan pekebun, dan dapat mendorong iklim usaha yang kondusif serta mampu meningkatkan pendapatan rumah tangga pekebun.

Pembangunan perkebunan kakao di Provinsi Sulawesi Tenggara masih belum sepenuhnya mengimplementasikan ketentuan yang ada. Penggunaan lahan untuk perkebunan belum mempertimbangkan peruntukan lahan, bahkan sampai ke hutan lindung dan mengancam kehidupan satwa endemik seperti Anoa (Balbadus

sp.) dan babi rusa (Babyrousa babyrussa) sehingga mengancam keseimbangan ekosistem setempat. Pola budidaya yang belum sepenuhnya berpedoman pada standar budidaya seperti penggunaan pupuk yang belum mengacu kebutuhan hara lahan, penebangan naungan, dan pengendalian OPT yang masih terpaku pada penggunaan pestisida. Akibatnya serangan OPT dalam hal ini serangan PBK meningkat dan produktivitas kakao semakin menurun. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa serangan PBK merupakan kendala penting mengingat timbulnya serangan OPT merupakan akumulasi dari kendala-kendala lainnya yang belum ditangani dengan baik.

Sementara orientasi pengelolaan PBK oleh masing-masing pekebun di Kecamatan Lambandia belum dilakukan secara berkelanjutan, misalnya belum dipertimbangkan keterpaduan manfaat ekologi, ekonomi, dan sosial. Pengambilan keputusan pengendalian dilakukan oleh inividu pekebun yang pada umumnya memilih teknik pengendalian pestisida yang dianggap paling praktis. Peran kelompok pekebun masih belum optimal, terutama dalam mendukung pengambilan keputusan pengendalian PBK. Akibatnya masih terus terjadi peningkatan luas serangan PBK dan penurunan produksi kakao.

(25)

8

pengendalian OPT yang diyakini mampu menurunkan tingkat serangan OPT, murah, mudah, dan menggunakan tenaga kerja yang lebih sedikit (Orr dan Ritchie 2004).

Kendala-kendala yang dihadapi meliputi semua komponen sumber daya (1) kendala sumber daya manusia seperti pengetahuan dan keterampilan, (2) sumber daya fisik seperti pemenuhan sarana produksi, (3) sumber daya keuangan yang menyangkut pendapatan pekebun, (4) sumber daya sosial yang terkait dengan kelembagaan pekebun. Dengan demikian berdasarkan kendala sumber daya yang dihadapi, maka permasalahan PBK memerlukan suatu bentuk pengelolaan sumber daya berkelanjutan. Pengelolaan yang berkelanjutan merupakan suatu bentuk pengelolaan yang aman bagi lingkungan, dan memberi manfaat sosial ekonomi bagi pekebun dan masyarakat.

Berdasarkan kendala dan kebutuhan partisipasi pekebun dalam pengelolaan PBK maka perlu dirancang suatu desain pengelolaan PBK yang terintegrasi dan komprehensif. Oleh karena itu permasalahan penelitian dirumuskan sebagai berikut :

1. Terbatasnya informasi status pengelolaan PBK dalam upaya mencapai perkebunan berkelanjutan

2. Pengelolaan PBK yang dilakukan masih belum terintegrasi antar sub sektor 3. Kelembagaan pengelolaan PBK belum menjadi sarana untuk memudahkan

pemanfaatan sumber daya.

Pertanyaan penelitian adalah apakah pengelolaan hama PBK berkontribusi sebagai kendala besar dalam mewujudkan perkebunan kakao rakyat berkelanjutan di Kabupaten Kolaka?

Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengobservasi kondisi terkini perkebunan kakao rakyat

2. Menganalisis status pengelolaan PBK dalam rangka mencapai perkebunan berkelanjutan

3. Menganalisis strategi pengelolaan PBK

(26)

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran yaitu :

1. Pengembangan ilmu pengetahuan dengan aplikasi sistematika berfikir yang holistik dalam mengeksplorasi potensi dan perumusan kegiatan berdasarkan akar permasalahan dalam konsep pembangunan berkelanjutan.

2. Para pihak terkait dapat memahami visi bersama dan saling kerjasama untuk mencapai tujuan pengembangan perkebunan kakao rakyat berkelanjutan di Kecamatan Lambandia.

3. Pemerintah daerah, khususnya Kecamatan Lambandia dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai bahan bagi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan perkebunan kakao rakyat berkelanjutan.

Ruang Lingkup Penelitian

Paradigma pembangunan berkelanjutan merupakan arah bagi pelaksanaan pembangunan di berbagai sektor yang mampu menciptakan manfaat ekologi, ekonomi, dan sosial baik bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang. Perkebunan berkelanjutan ditunjukan dengan tetap terjaganya kualitas lahan dan keseimbangan ekosistem, bersifat adil, aman bagi kesehatan pekebun, dan dapat mendorong iklim usaha yang kondusif serta mampu meningkatkan pendapatan rumah tangga pekebun. Beberapa kebijakan terkait perkebunan berkelanjutan sebagaimana disebutkan pada perumusan masalah telah memuat tujuan pembangunan perkebunan dalam aspek ekologi, ekonomi, atau sosial.

Dalam mencapai tujuan tersebut, maka pembangunan perkebunan masih menghadapi berbagai permasalahan seperti pembukaan lahan kebun belum sepenuhnya mengindahkan peruntukan lahan, produktivitas kakao rendah, dan kelembagaan pekebun yang belum berperan optimal, dan lingkaran kemiskinan rumah tangga pekebun. Kompleksitas permasalahan perkebunan bermuara pada permasalahan hama dan penyakit atau bencana alam (Power 1999), misalnya pada perkebunan kakao rakyat yang didera permasalahan OPT, khususnya penggerek buah kakao (PBK).

(27)

10

identifikasi masalah secara tepat. Hasil identifikasi masalah dijadikan dasar dalam menerapkan kebijakan perlindungan tanaman menggunakan konsep pengendalian hama terpadu (PHT). Konsep PHT sejalan dengan paradigma keberlanjutan karena PHT mempertimbangkan keberlanjutan ekologi, mampu meningkatkan pendapatan dan dapat diterapkan secara terus menerus. Penerapan PHT meliputi tindakan preventif dan tindakan pengendalian. Tindakan preventif dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi sumber daya, melakukan monitoring dan analisis data, serta evaluasi tindakan pengendalian yang dilakukan. Keputusan pengendalian mempertimbangkan pula tujuan perkebunan dan teknologi yang tersedia seperti pengendalian biologi, fisik, mekanik, dan kimiawi. Dalam mempertimbangkan kondisi sumber daya dilihat permasalahan dan kendala yang dihadapi, dan tujuan pembangunan perkebunan (Dhaliwal et al.

2004) dalam hal ini tujuan perkebunan berkelanjutan. Sumber daya meliputi sumber daya ekologi, ekonomi, fisik, manusia, dan sosial (Campbell et al. 2001; Hassanshahi et al. 2008).

(28)

- UU No. 9 Tahun 1960 - UU No. 5 Tahun 1990 - UU No.12 Tahun 1992 - UU No. 9 Tahun 1995 - UU No. 8 Tahun 1999 - UU No.32 Tahun 2004 - UU No.18 Tahun 2004 - UU No.26 Tahun 2007 - UU No.32 Tahun 2009 Perkebunan Kakao

Rakyat

Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan

Kondisi terkini Perkebunan Kakao Rakyat

Akumulasi degradasi

Pengelolaan PBK

Lingkaran kemiskinan

Identifikasi masalah dan kebutuhan

Tujuan perkebunan berkelanjutan Sumberdaya

perkebunan

Gangguan OPT-PBK

Tanaman tidak produktif Pembukaan hutan

Teknologi yang tersedia

Strategi Pengelolaan PBK

Kelembagaan Pengelolaan PBK Pengendalian hama terpadu (PHT)

Gambar 2 Kerangka Pemikiran Penelitian.

(29)

12

(30)

Pawar CS. 2002. IPM and Plant Science Industries in India. Agrolinks. Juni 2002.

Peshin R, Bandral RS, Zang WJ, Wilson L, Dhawan AK. 2009. Integrated Pest Management: A Global Overview of History, Progress and Adoption. Di dalam Dhawan AK, Peshin R, editor. Integrated Pest Management: Innovation-Develop-ment Process. Springer Netherlands: Netherlands. 689pp.

Contents

PENDAHULUAN ...1 Latarbelakang ...1 Perumusan Masalah ...6 Tujuan Penelitian ...8 Manfaat Penelitian ...9 Ruang Lingkup Penelitian ...9 TINJAUAN PUSTAKA ... 12

I. PENDAHULUAN ...1 Latarbelakang ...1 Perumusan Masalah ...6 Tujuan Penelitian ...8 Manfaat Penelitian ...9 Ruang Lingkup Penelitian ...9 Daftar Pustaka... 12

erutama dalam era perdagangan global yang semakin kompleks yang ditandai oleh diratifikasikannya beberapa kesepakatan internasional (seperti GATT dan WTO) serta kesepakatan regional (seperti APEC, AFTA, MEE, NAFTA), maka produk hortikultura dituntut untuk memiliki daya saing yaitu aman, murah, berkualitas, dan proses produksi yang berbasis lingkungan.

(31)

14

[image:31.595.107.520.74.641.2]

Peshin R, Bandral RS, Zang WJ, Wilson L, Dhawan AK. 2009. Integrated Pest Management: A Global Overview of History, Progress and Adoption. Di dalam Dhawan AK, Peshin R, editor. Integrated Pest Management: Innovation-Develop-ment Process. Springer Netherlands: Netherlands. 689pp.

Gambar 2 Kerangka Pemikiran Penelitian.

-UU No. 9 Tahun 1960

-UU No. 5 Tahun 1990

-UU No 9 tahun 1995

-UU No. 8 Tahun 1999

-UU No. 32 tahun 2004

-UU No. 26 Tahun 2007

-UU No. 32 tahun 2009

-Perkebunan Kakao Rakyat Kebijakan Pembangunan

Berkelanjutan

Pembukaan hutan

Tanaman tidak produktif

Gangguan OPT-PBK

Akumulasi degradasi lingkungan

Lingkaran kemiskinan

Identifikasi masalah dan kebutuhan Sumber daya

perkebunan

Tujuan Perkebunan berkelanjutan

Kelembagaan Pengelolaan PBK Kondisi terkini Perkebunan

Kakao Rakyat

Pengendalian Hama Terpadu (PHT)

Strategi Pengelolaan PBK

Pengelolaan PBK

(32)

TINJAUAN PUSTAKA

Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan merupakan kebijakan global yang dicetuskan sebagai akibat akumulasi keprihatinan terhadap ketidakseimbangan antara pertumbuhan penduduk dengan kemampuan pemenuhan kebutuhan pangan, ketidakmeratan kesejahteraan umat manusia, dan kecenderungan timbulnya dampak lingkungan. Keprihatinan terhadap pertumbuhan penduduk dikemukan oleh Thomas Robert Malthus (1766-1834) dalam tulisan An Essay on the Principle of Population pada tahun 1797. Dalam tulisan Malthus disebutkan

“populasi manusia akan tumbuh secara eksponensial dan ketersediaan pangan

tumbuhan secara aritmetika”. Meadows tahun 1972 dalam laporannya berjudul

The Limits to Growth mengoreksi pendapat Malthus dan mengusulkan suatu desain pembangunan yang berorientasi keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan dan potensi sumberdaya yang dimiliki.

Ketimpangan kesejahteraan masyarakat dan keterbatasan daya dukung

lingkungan semakin meluas sehingga dilangsungkan pertemuan „Club of Rome

tahun 1972. Pada pertemuan dihasilkan kesepahaman bahwa ketersediaan sumberdaya alami berada pada batas yang memprihatinkan sehingga mengancam keberlanjutan (sustainability) pertumbuhan penduduk dan ekonomi. Dalam tahun yang sama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadakan konferensi mengenai Lingkungan di Stockholm. Dalam konferensi tersebut disepakati bahwa permasalahan lingkungan merupakan masalah global.

Negara-negara maju belum dapat memperbaiki pola konsumsi yang tidak ramah lingkungan, dan negara berkembang dikatakan mengeksploitasi sumberdaya alam untuk tujuan pembangunan. Oleh karena itu pada Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1983 dibentuk World Commision on Environment and Development (WCED). Komisi diketuai oleh Ny. Gro Brundland dan bertugas merumuskan agenda pembangunan global.

(33)

14

mengusulkan pembangunan berkelanjutan. „Pembangunan Berkelanjutan”

menjadi jalan tengah untuk mewadahi pembangunan berorientasi ekonomi dan

kelestarian lingkungan. Pembangunan berkelanjutan adalah “Development that

meets the needs of the present without compromising the ability of future generation to meet their own needs” (WCED 1987).

Pembangunan berkelanjutan mengintegrasikan nilai lingkungan, ekonomi, dan sosial dalam perencanaan sehingga tercipta pemerataan distribusi manfaat antar strata sosioekonomi dan jender, dan tersedia peluang pembangunan bagi generasi mendatang. Berdasarkan definisi di atas maka pembangunan berkelanjutan ditopang oleh tiga pilar, yaitu 1) pembangunan lingkungan hidup, 2) pembangunan ekonomi dan 3) pembangunan sosial. Ketiga pilar saling terkait dan memperkuat satu sama lain (Eppel 1999; Harris 2000), bersifat dinamis dengan mendorong penggunaan sumberdaya yang didukung oleh pengembangan teknologi, dan kelembagaan yang dapat mengawal pemenuhan kebutuhan generasi saat ini dan akan datang (WCED 1987).

Sumberdaya perlu digunakan secara efisien untuk mencapai produksi optimal secara berkelanjutan dengan memelihara kestabilan dan menghindari eksploitasi sumberdaya yang berlebihan. Untuk menghindari eksploitasi yang berlebihan maka perlu dicapai suatu keseimbangan antara konsumsi dan ketersediaan sumberdaya. Pada sumberdaya tak terbarukan efisiensi ditempuh melalui konversi atau investasi kembali menjadi sumberdaya terbarukan. Kestabilan sumberdaya dilakukan melalui pemeliharaan keanekaragaman hayati, stabilitas atmosfer, dan fungsi ekosistem lainnya. Keberlanjutan sunberdaya juga ditandai oleh kemampuan pulih lingkungan terhadap gangguan dan kerusakan lingkungan.

(34)

jender, peranan politik dan partisipasi (Harris 2000). Pembangunan berkelanjutan menempatkan manusia sebagai pelaku pembangunan yang bersinergi satu sama lain dalam menggunakan sumberdaya secara efisien bagi peningkatan kesejahteraannya (people oriented) dan minim dampak lingkungan. Dalam hal ini diperlukan sinergi secara terus menerus antara pekebun maupun pihak-pihak terkait dalam penggunaan sumberdaya perkebunan.

Untuk mengimplementasikan ketiga pilar pembangunan dibutuhkan keserasian antar bebagai sektor sehingga diperlukan suatu pengawalan kebijakan. Dalam pembangunan perkebunan kebijakan perkebunan berkelanjutan tertuang dalam strategi pembangunan perkebunan yaitu (1) revitalisasi perkebunan, (2) pengembangan komoditas unggulan perkebunan terpadu, (3) revitalisasi perbenihan, dan (4) integrasi ternak dan kebun (www.deptan.go.id). Pengembangan perkebunan berkelanjutan di Kecamatan Lambandia merupakan salah satu upaya implementasi strategi pembangunan perkebunan Indonesia.

Sistem Perkebunan Berkelanjutan

Sub sektor Perkebunan merupakan bagian dari pembangunan Sektor Pertanian dalam arti luas. Oleh karena itu pertanian berkelanjutan memayungi perkebunan berkelanjutan. Sistem perkebunan berkaitan dengan pemanfaatan lahan sebagai basis sistem produksi tanaman, sumberdaya untuk pemenuhan kebutuhan sarana produksi, dan pengelolaan pemasaran yang melibatkan berbagai stakeholder1. Berkaitan dengan Pengembangan agribisnis, maka sistem perkebunan meliputi empat subsistem (Saragih 2000), yaitu :

1. Subsistem agribisnis hulu (upstream off-farm agribusiness), yaitu kegiatan yang menghasilkan sarana produksi seperti bibit, pupuk, dan bahan pengendali 2. Subsistem agribisnis tanaman perkebunan (on-farm agribusiness), yaitu proses

budidaya.

3. Subsistem agribisnis hilir (downstream off-farm agribusiness), yaitu kegiatan ekonomi yang mengolah dan memperdagangkan hasil tanaman.

1

(35)

16

4. Subsistem jasa penunjang (supporting institution), yaitu kegiatan yang menyediakan jasa bagi agribisnis tanaman perkebunan seperti lembaga penelitian, lembaga pendidikan, kebijakan pemerintah, penyuluh pertanian, koperasi, asuransi , ataupun jasa perbankan.

Berdasarkan pelaku usaha perkebunan, maka sistem perkebunan di Indonesia, meliputi perkebunan yang diusahakan oleh perusahan perkebunan yang dikelola oleh Swasta dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan perkebunan rakyat yang dikelola oleh masyarakat. Perusahaan perkebunan dicirikan dengan kepemilikan lahan yang relatif besar dan mendapat hak pengusahaan lahan pada suatu waktu tertentu. Perkebunan rakyat umumnya memiliki luas lahan dibawah 5 ha dan diusahakan oleh masyarakat (ICCO 2003). Perkebunan rakyat khususnya perkebunan kakao meliputi sebagian besar potensi perkebunan kakao di Indonesia, bahkan di Provinsi Sulawesi Tenggara seluruhnya merupakan perkebunan rakyat. Sangat diharapkan pengembangan tanaman perkebunan merupakan bagian dari pembangunan berkelanjutan.

Menurut persepsi yang ada penerapan perkebunan berkelanjutan lebih menekankan pada sub sistem produksi (on farm). Perkebunan berkelanjutan belum dilaksanakan secara utuh yang juga meliputi sub sistem terkait lainnya seperti penyedia sarana produksi, pengolahan hasil/pemasaran, dan kelembagaan penunjang. Subsistem yang terkait secara langsung dengan perkebunan kakao perlu bersinergi untuk mencapai suatu perkebunan yang berkelanjutan. Ketidakpaduan penerapan berbagai subsistem perkebunan dapat menghambat tercapainya tujuan perkebunan berkelanjutan. Perkebunan berkelanjutan dapat

didefinisikan sebagai ‟konservasi dan penggunaan sumberdaya secara efisien dan

aman untuk mencapai produksi dengan mutu tinggi yang akhirnya mampu

meningkatkan kualitas hidup pelaku perkebunan‟. Konservasi bertujuan untuk

(36)

Tabel 1 Perkebunan berkelanjutan terkait aspek ekologi, ekonomi, dan sosial

Aspek Sasaran Tujuan

1. Ekologi Konservasi dan kualitas lingkungan

Sinergi sumberdaya (CGIAR 2003), Efisiensi penggunaan sumberdaya alam (Power 1999; Kada 1999; Shepherd 1998), keseimbangan agroekosistem dan minimal dampak lingkungan (Power 1999).

2. Ekonomi Pendapatan positif Mampu memenuhi kebutuhan hidup (Minami 1999; FAO 1991),

Produktivitas tinggi (Kada 1999; Shepherd 1999)

3. Sosial Peningkatan kualitas hidup dirasakan secara adil oleh pelaku perkebunan.

Kompatibel dengan nilai-nilai dalam masyarakat dan kebijakan yang berlaku; partisipasi, pemberdayaan (Power 1999; Shepherd 1998); kelembagaan pekebun dan penunjang (Minami 1991).

Efisiensi penggunaan sumberdaya bertujuan untuk meningkatkan hasil dan memelihara sumberdaya lingkungan agar dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan pekebun khususnya dan masyarakat luas pada umumnya baik masa kini maupun generasi mendatang. Merijn et al. (2007) mengatakan efisiensi penggunaan sumberdaya terkait dengan efisiensi produksi dan efisiensi teknik. Efisiensi produksi merupakan efisiensi biaya penggunan sumberdaya terhadap pendapatan dan efisiensi teknik merupakan penggunaan sumberdaya minimal untuk mendapatkan hasil maksimal. Pelibatan anggota keluarga dalam aktivitas produksi dapat menekan biaya produksi (Kolawole dan Alademimokun 2006; Amos 2007) dan pada luas kebun sekitar 1.2 ha mampu mengadopsi teknik budidaya dengan baik sehingga efisiensi sumberdaya yang dapat dicapai sekitar 51%-80% (Amos 2007). Penggunaan sumberdaya secara efisien juga mampu meningkatkan kualitas lingkungan seperti penggunaan pupuk kompos dapat meningkatkan struktur tanah, kandungan bahan organik, kapasitas ketersediaan air tanah, dan mengurangi pencucian tanah (Lai 2003).

(37)

18

peranan yang sama dalam membentuk kestabilan agroekosistem. Kestabilan agroekosistem ditunjukkan oleh keeratan hubungan antara hama dan musuh alami (Thompson dan Starzomski 2007), serta kestabilan produksi (Power 1999).

Rasul dan Thapa (2004) mengatakan bahwa produksi tanaman dalam sistem pertanian monokultur dan dalam sistem pertanian ekologi yang bersifat polikultur relatif sama, tetapi pertanian polikultur memiliki nilai kestabilan yang lebih tinggi. Dalam jangka panjang pertanian monokultur rentan terhadap penurunan kesuburan lahan akibat penggunaan input kimiawi yang intensif. Dampak yang ditimbulkan antara lain struktur tanah semakin padat, penetrasi akar dan infiltrasi air menurun, dan aliran permukaan meningkat. Keanekaragaman tanaman dan kestabilan agroekosistem dalam pertanian polikultur lebih mampu mengkompensasi gangguan iklim seperti kekeringan (Rasul dan Thapa 2004).

Efisiensi penggunaan sarana produksi juga mampu meningkatkan pendapatan (Rasul dan Thapa 2004) untuk memenuhi kebutuhan pengguna sumberdaya. Menurut hierarki kebutuhan Maslow, kebutuhan manusia dimulai dari (1) kebutuhan fisiologi seperti sandang, pangan, papan, udara bersih, (2) kebutuhan keamanan seperti keamanan dan kenyamanan lingkungan kebun dan perumahan, keamanan sumberdaya alam, (3) kebutuhan sosial seperti interaksi antar tetangga/keluarga, (4) kebutuhan penghargaan seperti pujian, dan (5) kebutuhan aktualisasi diri yaitu kemampuan untuk bertindak sesuai kemampuan yang dimiliki.

(38)

tujuan sosial maka stakeholder perlu menggali nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat melalui pemberdayaan dan kelembagaan yang dinamis.

Pemberdayaan merupakan suatu proses alamiah yang mengarahkan individu/kelompok memiliki kemandirian dalam pengambilan keputusan dan pengimplementasiannya dengan mempertimbangkan kemampuan sumberdaya, bersifat partisipatif, demokratis, dan melalui pembelajaran sosial (Wrihatnolo dan Dwidjowijoto 2007). Proses pemberdayaan seringkali membutuhkan dukungan pihak lain untuk menumbuhkan kepercayaan, dan kemampuan diri dalam mengambil inisiatif serta menumbuhkan tanggung jawab terhadap kehidupan di masa mendatang. Oleh karena itu dalam meningkatkan manfaat sosial suatu pembangunan perkebunan diperlukan pemberdayaan dan partisipasi pelaku perkebunan secara terus menerus agar manfaat pembangunan perkebunan dapat dirasakan secara adil. Untuk itu peran kelembagaan menjadi penting dalam mengakomodasikan dan meningkatkan efisiensi pengambilan keputusan lembaga dalam pengelolaan sumberdaya (Ostermeier 1999).

Pengendalian Hama Terpadu (PHT)

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya Pengendalian Hama Terpadu (PHT) merupakan kebijakan perlindungan tanaman yang sejalan dengan prinsip-prinsip perkebunan berkelanjutan. PHT ditetapkan sebagai kebijakan perlindungan tanaman dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman dan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 390/Kpts/TP.600/5/ 1994 tentang Penyelenggaraan Program Nasional Pengendalian Hama Terpadu. Definisi PHT juga telah mengalami perkembangan sejalan dengan kesadaran manusia terhadap produk pertanian yang aman bagi kesehatan dan lingkungan.

(39)

20

Definisi PHT kemudian berkaitan dengan penggunaan berbagai teknik pengendalian berdasarkan pengamatan populasi dengan tujuan menekan perkembangan populasi OPT sehingga dicapai tingkat populasi OPT yang tidak merugikan secara ekonomi dan pengendalian yang dilakukan berdampak minimal terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. PHT bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman dengan dampak kerusakan minimal terhadap agroekosistem serta mendorong terjadinya pengendalian oleh musuh alami (http://www.fao.org/ agriculture/crops/core-themes/theme/pests/ipm/ en/ akses 17 Februari 2010). PHT juga merupakan pengelolaan aktivitas secara holistik meliputi identifikasi OPT, melakukan pengamatan efektif, dan mengambil keputusan teknik pengendalian secara tepat. Biasanya diperlukan suatu strategi pengelolaan OPT dalam jangka panjang (Elsey dan Sirichoti 2001).

PHT menekankan pada pengamatan OPT dan penggunaan teknik-teknik preventif (FAO 1991; Boller et al. 2004), yaitu : (1) Tindakan preventif, (2) identifikasi dan melakukan pengamatan, dan (3) teknik pengendalian. Tindakan preventif, merupakan aktivitas pencegahan dengan menciptakan kondisi yang tidak kondusif bagi perkembangan OPT. Misalnya penggunaan klon tahan OPT, rotasi tanaman, penggunaan tanaman naungan, kultur teknis, konservasi dan pelepasan musuh alami, pengelolaan ekologi di sekitar area kebun untuk konservasi biologi dan antagonis. Identifikasi dan pengamatan OPT dilakukan dengan maksud mengembangkan sistem peringatan dini, peramalan, dan sistem diagnosis yang selanjutnya digunakan dalam pengambilan keputusan tentang teknik pengendalian yang digunakan. Untuk itu perlu didukung oleh keberadaan petugas Pengamat Hama Penyakit (PHP) guna menyediakan data, menganalisis, dan mengembangkan ambang kendali yang tepat untuk pengambilan keputusan. Pengamatan OPT perlu dilengkapi dengan evaluasi, sehingga dapat diperoleh umpan balik pengendalian OPT yang telah dilakukan. Oleh karena itu pekebun membutuhkan bantuan transfer teknologi.

(40)

dinamis sehingga diperlukan proses pembelajaran secara terus menerus dengan melakukan penelitian-penelitian untuk memecahkan masalah OPT di lahan usaha taninya (Soon 1996). SLPHT memfasilitasi proses pembelajaran seperti tersebut di atas antara lain penelitian terapan yang dilakukan pekebun. Proses pengembangan dan penerapan PHT disajikan pada Gambar 3

Gambar 3 Proses penerapan PHT untuk mencapai perkebunan berkelanjutan (adaptasi dari Bird 2003).

Pada Gambar 3 dikemukakan proses penerapan PHT diawali dengan tindakan preventif yaitu upaya untuk menciptakan keseimbangan ekosistem dengan mempertimbangan keberadaan sumberdaya ekologi, sumberdaya sosial dan sumberdaya fisik. Sumberdaya ekologi adalah kondisi tanaman, identifikasi OPT, bioekologi OPT, kondisi iklim; sumberdaya ekonomi seperti sumber-sumber pendapatan pekebun, sumberdaya sosial seperti kelembagaan pekebun, kondisi sumberdaya manusia seperti pengetahuan dan keterampilan pekebun, serta sumberdaya fisik seperti ketersediaan sarana produksi, teknologi pengendalian, dan infrastruktur. Ketersediaan sumberdaya diharapkan dapat mendukung kegiatan pengamatan dan analisis data untuk mendukung pengambilan keputusan pengendalian oleh pekebun. Pengamatan dan analisis meliputi pengamatan populasi, luas serangan, dan musuh alami. Analisis data yaitu interpretasi data-data untuk peramalan serangan OPT sehingga dapat memberi informasi dalam pengambilan keputusan pengendalian. Ketersediaan sumberdaya dan hasil analisis data digunakan untuk memutuskan bentuk pengendalian yang digunakan.

Tindakan preventif

Sumberdaya ekologi, ekonomi, sosial, manusia, fisik , dan

kelembagaan

Pengamatan OPT dan analisis data

Keputusan pengendalian biologi,

fisik, mekanik, dan kimiawi Kualitas lingkungan,

produksi dan pendapatan, produktivitas pekebun Sistem Pengelolaan

[image:40.595.114.519.203.390.2]
(41)

22

Hasil pengendalian kemudian di analisis untuk mengetahui efektivitas pengendalian, dampak terhadap lingkungan, produksi, dan pendapatan pekebun. Tindakan preventif dan kuratif diikuti dengan evaluasi hasil pengendalian merupakan suatu sistem pengelolaan OPT.

Menurut Dhawan dan Peshin (2009) penerapan PHT sangat ditentukan oleh sistem pengambilan keputusan dan penggunaan teknik pengendalian yang kompatibel, diikuti dengan evaluasi penerapannya. Pengambilan keputusan dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi sumberdaya, teknologi yang tersedia, permasalahan yang dihadapi, dan tujuan yang akan dicapai (Dhaliwal et al. 2004). Pengambilan keputusan PHT dilakukan pada tingkat pekebun, kelompok pekebun, dan pengambil kebijakan (Heong 1995). Dengan demikian maka PHT merupakan suatu sistem pengambilan keputusan yang holistik yang dilakukan melalui proses pembelajaran yang terus menerus dengan mempertimbangkan jenis OPT, kondisi sumberdaya, teknik pengendalian yang tersedia, dan data hasil pemantauan, diikuti dengan evaluasi penerapannya.

Dalam penerapan PHT diperlukan suatu desain kelembagaan (Maumbe et al. 2003), sehingga proses pengawalan dan pengontrolan dapat berlangsung dalam jangka panjang. Proses pembelajaran dapat berjalan dengan baik bila diikuti dengan transfer teknologi dan dengan melibatkan lembaga penelitian dan lembaga penyuluhan. Demikian pula evaluasi penerapan memerlukan dukungan pengambil kebijakan seperti Dinas Perkebunan atau Pemerintah Daerah. Untuk itu penerapan PHT memerlukan partisipasi kelompok pekebun, karena perpindahan OPT tidak mengenal batas antar kebun, dan lembaga terkait diperlukan untuk mengawal penerapan PHT. Oleh karena itu fungsi kelembagaan pekebun dan kelembagaan penunjang dalam penerapan PHT berperan penting (Maumbe et al. 2003). Dengan demikian pengembangan PHT tidak hanya membutuhkan pengetahuan biologi, tetapi juga sosial kelembagaan, sehingga pekebun dan stakeholder lainnya perlu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan.

(42)

keseimbangan ekosistem, kualitas lahan, produksi tanaman optimal, peningkatan pendapatan, dan produktivitas pekebun dalam jangka panjang. PHT mampu memelihara kualitas lingkungan sehingga lahan dapat terus digunakan untuk proses produksi tanaman. Produk pertanian mampu memenuhi kebutuhan pasar dan meningkatkan penerimaan pekebun. Produktivitas terkait dengan kemampuan pekebun untuk mengembangkan teknologi yang ramah lingkungan dan terintegrasi dengan kelangsungan ekosistem dalam jangka panjang, serta keadilan antar dan intra stakeholder maupun generasi (Bird 2003). Dengan demikian penerapan PHT beserta kelembagaan yang terkait di dalamnya merupakan suatu bentuk pengelolaan PBK.

Karakteristik Penggerek Buah Kakao

Penggerek Buah Kakao (PBK) Conopomorpha cramerella Snellen (Lepidoptera: Gracillariidae) mengalami 4 fase perkembangan yaitu telur, larva, pupa, dan serangga dewasa dengan total lama perkembangan dari stadia telur hingga serangga dewasa sekitar 28.6 hari (Lim et al. 1982). Telur diletakkan oleh imago betina pada bagian tengah dan atas di antara alur/celah kulit buah. Jumlah telur yang ditemukan per satu buah kakao maksimum 35 butir. Larva terdiri dari empat instar. Telur diletakkan satu persatu atau berkelompok dengan dua atau tiga butir telur setiap kelompok Setelah menetas larva langsung menembus lapisan epidermis kulit kakao dan membuat lubang gerekan melalui penampang buah kakao dengan cara memakan plasenta biji kakao (Lim et al. 1982). Lama hidup pada setiap fase perkembangan PBK disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Lama hidup pada setiap fase perkembangan PBK

No Fase perkembangan Hari

1. Telur (hari) 3.3

2. Larva (hari) 17.6

3. Pupa (hari) 6.7

4. Imago (hari) 4.5

(43)

24

Larva dapat menyerang buah dari ukuran 4-5 cm hingga buah masak (Lim

et al. 1982). Gangguan fisiologis akibat aktivitas makan larva adalah terhambatnya perkembangan dan proses pembentukan biji. Serangan larva pada buah muda dapat menyebabkan buah matang sebelum waktunya serta biji kakao menyatu dan membatu. Tingkat kerusakan tergantung pada umur buah waktu diserang, total jumlah larva dan periode makan larva (Lim 1992).

[image:43.595.115.503.229.426.2]

Gambar 5 Gejala serangan PBK. Gejala pada kulit kakao (kiri) dan gejala serangan biji kakao (kanan) (Foto: Mazhfia dkk, lokasi : Kecamatan Lambandia Juli 2008)

(44)

Larva instar terakhir membuat lubang keluar dan turun ke permukaan tanah untuk membentuk pupa. Pupa mempunyai kokon dari benang sutera yang digunakan sebagai pelindung selama berkepompong pada daun atau buah kakao yang terdapat di permukaan tanah. Serangga dewasa memiliki bentang sayap 5-7

mm (Lim 1992) dan pada sayap terdapat bercak berbentuk „zig-zag‟. Antena

panjang dan selalu digerak-gerakan. Serangga penggerek buah kakao dapat dilihat pada Gambar 4.

Perkembangan PBK membutuhkan waktu yang relatif singkat untuk menyelesaikan siklus hidupnya yaitu sekitar 28.6 hari (Liem et al. 1982), peningkatan rata-rata populasi yang cukup tinggi, dan memiliki tempat hidup dan berkembang biak yang spesifik (Tscharntke dan Brandl 2004). Pola budidaya monokultur menyebabkan berkurangnya keanekaragaman tanaman bagi serangga herbivora dan musuh alami, disamping itu terjadi konsentrasi tanaman sehingga menyediakan inang dalam jumlah yang berlimpah bagi OPT. Keterbatasan keanekaragaman tanaman mengurangi ketersediaan inang yang menguntungkan serangga seperti parasitoid, serangga penyerbuk, atau predator. Tekanan terhadap serangga yang bermanfaat memberi keleluasaan bagi perkembangan OPT (Nair 2001; Nicholls dan Altieri 2004). Sistem tanaman perkebunan yang cenderung menyeragamkan jenis tanaman membuat tanaman menjadi lebih peka terhadap OPT.

Musuh Alami PBK

(45)

26

Goryphus sp. Paraphylax sp. dan Paraphylax sp. 1 (Hymenoptera; Ichneumonidae). Pada beberapa lokasi ditemukan juga parasitoid pupa Megaselia

sp. (Diptera : Phoridae) dan Phaenocarpa sp. (Hymenoptera : Branonidae). Parasitoid telur yang ditemukan adalah Trichogrammatoide bacirae-fumata

(Hymenoptera: Trichogrammatidae) dan bersama Paraphylax sp. berpotensi sebagai agen pengendali PBK, serta parasitoid larva lalat tachinid (Tachinidae: Diptera) (Lim 1992; Deptan 2004)

Predator larva dan pupa PBK yang cukup penting adalah semut dan laba-laba. Spesies semut yang teridentifikasi diantaranya adalah Camponotus cramatogaster, Iridomyremex anceps Roger, Melanoplus bellii Fonel, Myrmicaria brunnea Saund, Oecophylla smaragdina Fabr., Odontoponea transversa Sm,

Lebopelta processionalis Terb. Semut hitam Dilichoderus bituberculatus

mengganggu imago PBK meletakan telur saat berjalan diantara buah kakao. Laba-laba Menemenus bitittans Dufour, Myrarechine melanocephala Macleay, Thene sp. (Araneae: Tetragnathidae). Argiope versicolor (Doleschall), Araneus sp. (Argiopidae) memangsa larva dan imago PBK (Lim 1992). Jenis laba-laba lain yang memangsa PBK adalah laba-laba lompat (Araneae: Salticidae), laba-laba serigala dan laba-laba tutul (Araneae: Lycosidae), laba-laba kepiting (Araneae: Thomisidae), Laba-laba bermata tajam (Araneae: Oxyopidae), laba-laba pembuat jaring (Araneae: Araneidae) (Deptan 2004).

Peranan semut dalam menekan populasi PBK mulai dikembangkan. Predator lain yang tercatat adalah kepik 5 spesies, 11 spesies mantidae, 4 spesies lacewing, 13 spesies dragonfly, 5 spesies kumbang karabid dan 1 spesies kumbang staphylinid (Lim 1992). Jenis patogen yang dapat menyerang PBK adalah Beauveria bassiana (Hyphomycetes). Cendawan ini menyerang berbagai jenis serangga termasuk imago PBK (Deptan 2004).

(46)

Standard Operating Procedured (SOP) Teknologi Pengelolaan PBK Teknologi pengelolaan PBK mengacu pada Pengendalian Hama Terpadu (PHT). PHT PBK mengintegrasikan teknik pengendalian yang kompatibel, perlu dikembangkan dan diimplementasikan ke tingkat lapang sesuai dengan kondisi sumberdaya dan penerimaan masyarakat. Teknologi pengelolaan PBK yang berorientasi pada keseimbangan agroekosistem dalam bentuk SOP PHT PBK diantaranya kultur teknis seperti pemangkasan tanaman kakao dan naungan, frekwensi panen, sanitasi, penyarungan buah, (ICCRI 2005), dan penggunaan klon-klon lokal tahan PBK. SOP Pengendalian Hama Terpadu PBK disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 SOP Pengendalian Hama Terpadu (PHT) PBK

No Jenis Pengendalian Tujuan Sumber

1. Klon tahan PBK  Menghindari peletakan telur PPKKI 2005; Lim 1992 (Klon ARDACIAR 25 dan

ARDACIAR 10)

Imago PBK

2. Kultur Teknis  Memanipulasi kondisi PPKKI 2005

Pemangkasan kakao agroekosistem kakao

Pemangkasan naungan

Pemupukan

3. Penyarungan buah  Menghindari peletakan telur PPKKI 2005 ; (pada buah ukuran 8-10 cm

atau buah umur 3 bulan.

imago PBK, memutus siklus hidup PBK

4. Panen sering (interval  Memutus siklus hidup PBK PPKKI 2005 ; Panen 5-7 hari

5. Sanitasi (pembenaman  Memutus siklus hidup PBK PPKKI 2005 ; (kulit buah dan plasenta)

6. Pengendalian biologi  Mematikan serangga PPKKI 2005;

(Paecilomyces fumosoroseu atauBeauveria bassiana

dengan volume semprot 250 ml/pohon atau 250 l/ha).

Sulistyowati et al. 2006

7. Aplikasi Pestisida (bila tingkat serangan > 30%)

 Mematikan serangga PPKKI 2005; Lim 1992

(47)

28

dilakukan dengan memotong cabang primer, sekunder, dan cabang yang tumbuh ke atas sedemikian sehingga tinggi tanaman mencapai 4-5 meter.

Pemangkasan pemeliharaan dilakukan dengan cara mengurangi daun yang rimbun, memotong cabang yang menyentuh tanaman di dekatnya dan diameter kurang dari 2.5 cm. Pemangkasan pemeliharaan dilakukan pada sela-sela pemangkasan produksi dengan frekuensi 2-3 bulan. Cara pemangkasan adalah memotong cabang sehingga tinggi tajuk pada kisaran 3-4 m, memangkas ranting dan daun hingga 25-50%. Pemangksan dilakukan pada akhir musim kemarau sampai awal musim hujan (PPKKI, 2005).

Tanaman kakao membutuhkan naungan menyamai habitat asli hutan tropis yang memiliki kelembaban dan suhu udara relatif tinggi, dan penyinaran teduh yang berfungsi sebagai penyangga (buffer). Naungan yang berlebihan menurunkan produksi buah dan memicu perkembangan penyakit, sebaliknya tanaman kakao tanpa naungan membutuhkan input pupuk yang lebih tinggi (De-Almeida dan Valle 2007).

Penelitian Terkait

Penelitian pengelolaan hama PBK telah banyak dilakukan terutama terkait dengan pengembangan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dalam mendukung keberlanjutan pertanian. Beberapa penelitian penerapan PHT dari aspek ekologi, ekonomi, dan sosial disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Perkembangan penelitian terkait pengelolaan PBK

No Topik Penelitian Pustaka

1. Strategi PHT dan PHT berkelanjutan Dhaliwal et al. 2004, Elsey dan Sirichoti 2001

2. Aspek Ekologi PHT PBK Depparaba 2002, Sulistyowati

-Komponen PHT PBK et al. 2003

3. Aspek Ekonomi PHT PBK

- PHT PBK meningkatkan produksi dan pendapatan Sjafaruddin et al. 2006 - Pengolahan hasil dan pemasaran meningkatkan pendapatan Mwakalobo 2000

4. Aspek Sosial PHT PBK

- Analisis kebutuhan PHT yang sistematis Samiee et al. 2009,

- Keragaan penerapan PHT PBK Darwis 2004

- Kolaborasi kelompok tani, lembaga penelitian dan swasta dalam transfer teknologi PHT

Heinrich 2005,

(48)

Tabel 4 dikemukakan penelitian terkait pengembangan strategi PHT (Dhaliwal et al. 2004; Elsey dan Sirichoti 2001) yaitu PHT yang mempertimbangkan keseimbangan ekologi, manfaat ekonomi, dan partisipasi untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Strategi merupakan pengorganisasian atau perumusan aktivitas perencanaan secara komprehensif untuk mencapai tujuan pengelolaan (Heizer dan Render 2004; Hunger dan Wheelen 2003). Tujuan pengelolaan PBK untuk mencapai perkebunan kakao rakyat berkelanjutan sebagaimana dikemukakan sebelumnya adalah terciptanya keseimbangan ekosistem, kelestarian lahan, peningkatan pendapatan, dan peningkatan kualitas hidup pekebun. Strategi pengelolaan PBK merupakan pengorganisasian atau perumusan aktivitas-aktivitas pada level agroekosistem sampai pemasaran kakao, sehingga diperlukan peran kelembagaan untuk mengawal pencapaian tujuan pengelolaan PBK. Pengelolaan PBK dilandasi oleh penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) yang memerlukan kolaborasi dengan kelembagaan terkait sehingga dilakukan penelitian kolaborasi antara petani, perguruan ting

Gambar

Gambar  2  Kerangka Pemikiran Penelitian.
Gambar  2  Kerangka Pemikiran Penelitian.
Gambar 3  Proses penerapan  PHT untuk mencapai perkebunan berkelanjutan
Gambar 4  Penggerek  buah kakao.  Stadium  larva  (kiri),  pupa (tengah), dan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kec. Sambeng ProsentaseLaporan capaian kinerja dan keuangan yang tepat waktu 2 Item 70.000.000 Program : Peningkatan pengembangan system pelaporan capaian kinerja

2 Sistem OSS Persetujuan Lingkungan (PL) Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) & Sertifikat Laik Fungsi (SLF) • 4 UU, 51

Mencermati karya-karya tersebut maka, peneliti berkesimpulan bahwa judul yang peneliti ajukan tentang Tinjauan Maqashid al-Syari‟ah sebagai Hikmah al-Tasyri‟ terhadap

jumlah perjalanan minimum dan armada bus optimum yang dibutuhkan sehingga dapat memperbaiki sistem penjadwalan bus existing.Selanjutnya, penelitian ini fokus

Argha Karya Prima Industri adalah banyaknya produk cacat yang dihasilkan serta kapabilitas proses yang tinggi untuk bersaing dengan perusahaan sejenis yang berasal dari negara

Hasil pengujian menunjukkan bahwa kapasitas penyimpanan pesan rahasia ini lebih baik dari metode steganografi teks berbasis emoticon pada chat yang telah ada.. Hasil

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Kerusakan Biji Kakao Oleh Hama Penggerek Buah (C. Cramerella Snellen) Pada Pertanaman Kakao Di Desa Muntoi dan Desa