• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Ketinggian Tempat Terhadap Respon Termoregulasi Dan Produksi Susu Pada Kambing Peranakan Etawa (Pe)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Ketinggian Tempat Terhadap Respon Termoregulasi Dan Produksi Susu Pada Kambing Peranakan Etawa (Pe)"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KETINGGIAN TEMPAT TERHADAP RESPON

TERMOREGULASI DAN PRODUKSI SUSU KAMBING

PERANAKAN ETAWAH (PE)

DIANA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Ketinggian Tempat Terhadap Respon Termoregulasi dan Produksi Susu Kambing Peranakan Etawah (PE) adalah benar karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan cantumkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

DIANA. Pengaruh Ketinggian Tempat Terhadap Respon Termoregulasi dan Produksi Susu pada Kambing Peranakan Etawa (PE). Dibimbing oleh BAGUS P. PURWANTO dan AFTON ATABANY.

Kambing PE umumnya dipelihara pada berbagai ketinggian tempat, mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi. Suhu lingkungan yang berbeda akan memberikan pengaruh terhadap respon termoregulasi dan akan berdampak pada produksi susu. Penelitian bertujuan membandingkan respon termoregulasi dan produksi susu kambing PE yang dipelihara pada ketinggian tempat yang berbeda.

Penelitian dilaksanakan pada bulan April hingga Juli 2014 di tiga peternakan yang terletak pada ketinggian 200, 400 dan 600 m dpl disekitar Bogor. Hubungan antara suhu lingkungan dan respon termoregulasi pada kambing PE menggunakan persamaan regresi sederhana. Faktor lingkungan yang diukur meliputi suhu udara (Ta), kelembaban udara (Rh) dan kecepatan angin (Va). Respon termoregulasi yang diukur meliputi suhu rektal (Tr), frekuensi pernafasan (Rr) dan denyut jantung (Hr). peubah lain yaitu konsumsi pakan dan produksi susu. Data hasil pengukuran terhadap respon termoregulasi dan kondisi lingkungan dianalisis dengan menggunakan uji-t dua sampel independent (tidak berpasangan).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu lingkungan diketinggian 200 m dpl berbeda nyata (P<0.05) dengan ketinggian 400 dan 600 m dpl, namun tidak memberikan pengaruh terhadap kelembaban dan kecepatan angin. Ketinggian tempat berbeda nyata (P<0.05) terhadap suhu rektal dan denyut jantung kambing PE, namun tidak berberda terhadap laju respirasi antara kambing PE di ketinggian 400 dan 600 m dpl. Ketinggian 600 m dpl memiliki konsumsi BK, PK dan TDN lebih tinggi dibandingkan ketinggian 200 m dpl dan 400 m dpl.

Ketinggian tempat yang berbeda nyata (P<0.05) terhadap produksi susu, BK dan lemak, namun tidak berbeda terhadap BKTL dan protein susu kambing. Berdasarkan penelitian dapat dikatakan bahwa Perbedaan ketinggian tempat 200, 400 dan 600 m dpl mempengaruhi suhu lingkungan, namun tidak mempengaruhi kelembaban dan kecepatan angin. Kambing PE mulai nyaman dipelihara pada ketinggian 400 m dpl. Pada ketinggian 600 m dpl meningkatkan produksi susu dan konsumsi pakan.

(5)

SUMMARY

DIANA. Effect of Altitude on Thermoregulatory Response and Milk Production of Peranakan Etawa (PE) Goat. Supervised by BAGUS P. PURWANTO and AFTON ATABANY.

Peranakan Etawa (PE) goats are generally kept at various altitudes, ranging from the lowlands to the highlands. The different in environmental will give effect on the thermoregulatory responses and will have some impact on milk production. The study was done to compare thermoregulatory response and milk production of PE goat which were kept at a different altitude. This study was conducted from April to July 2014 in three farms located at an altitude of 200, 400 and 600 m asl around Bogor. The relationship between environmental factors and responses thermoregulatory responses in goats were using a simple regression equation. Measured environmental factors were air temperature (Ta), relative humidity (Rh) and air velocity (Va). Measured thermoregulatory and production responses were rectal temperature (Tr), respiration rate (Rr) and heart rate (Hr). Another parameters are feed intake and milk production. Data of thermoregulatory responses and environmental conditions among locations were analyzed using two-sample t-test independent (unpaired).

The results showed that the altitude of 200, 400 and 600 m asl significantly influenced (P <0.05) air temperature, but did not influenced to the humidity and air velocity. Altitude significantly (P<0.05) influence rectal temperature and heart rate, but did not effect on respiration rate at an altitude of 400 and 600 m asl. Altitude did not influenced on the average consumption of DM forage and TDN concentrate, but the altitude influenced on the consumption of DM concentrates, protein of forages and concentrates and TDN of forage.

Altitude effected significantly (P<0.05) on milk production, DM and fat, but did not on solid non fat (SNF) and milk proteins. Based on the results it can be concluded that the goats started comfortable while kept at altitude of 400 m asl. At an altitude of 600 m asl milk production and feed intake increased.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

PENGARUH KETINGGIAN TEMPAT TERHADAP

RESPON TERMOREGULASI KAMBING

PERANAKAN ETAWAH (PE)

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(8)
(9)

Judul Tesis : Pengaruh Ketinggian Tempat Terhadap Respon Termoregulasi dan Produksi Susu Kambing Peranakan Etawah (PE)

Nama : Diana

NIM : D151120111

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Bagus Priyo Purwanto, MAgr Ketua

Dr Ir Afton Atabany, MSi Anggota

Diketahui Oleh

Ketua Program Studi

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr Ir Salundik, MSi Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan April hingga Juli 2014 dengan judul Pengaruh Ketinggian Tempat Terhadap Respon Termoregulasi dan Produksi Susu Kambing PE.

Penulis menghaturkan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada Bapak Dr Ir Bagus Priyo Purwanto, MAgr dan Dr Afton Atabany, MSi selaku pembimbing yang telah memberikan pengarahan dalam penyusunan tesis ini, kepada Bapak Dr Ahmad Yani, STp MSi selaku penguji yang telah memberikan saran dan masukan kepada penulis. Terima kasih penulis ucapkan kepada yang terhormat dan tersayang Bapak H. Darji dan Ibu Sulastri, kedua orangtua penulis yang selalu mendoakan dan memberikan kasih sayang serta motivasi tiada henti. Di samping itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada mas Eko Yulianto, pak Kairul dan pak Agus yang telah memberikan kesempatan penulis untuk melakukan penelitian.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada kakakku Atik, Rupiah, Abangku Irawadi, Dedy dan adikku Dedek Irwansyah serta yang terkasih Toha Guntur Susilo atas segala do’a, dukungan dan sayangnya selama ini. Terimakasih kepada teman-teman seperjuangan ITP 2012 atas kebersamaan, semangat serta dukungan dalam penyelesaian tesis ini.

Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ternak, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari tesis ini masih banyak kekurangan. Semoga Tesis ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis.

Bogor, September 2015

(12)
(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR ix

DAFTAR LAMPIRAN ix

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

Manfaat Penelitian 1

2 METODE

Waktu dan Tempat Penelitian 2

Bahan 2

Alat 2

Prosedur 2

Rancangan dan Analisis Data 4

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Lokasi Penelitian 5

Peternakan kambing PE ketinggian 200 m dpl 5 Peternakan kambing PE ketinggian 400 m dpl 5 Peternakan kambing PE ketinggian 600 m dpl 5 Kondisi lingkungan dan respon termoregulasi 6 Konsumsi Pakan Kambing PE pada Ketinggian Tempat

Berbeda 11

Konsumsi bahan kering (BK) 11

Konsumsi protein kasar (PK) 12

Konsumsi TDN 12

Produksi dan Kualitas Susu Kambing PE 13

4 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan 16

Saran 16

DAFTAR PUSTAKA 16

(14)

DAFTAR TABEL

1 Hasil analisa proksimat 3

2 Kondisi lingkungan dan respon termoregulasi kambing PE yang dipelihara pada ketinggian tempat berbeda 7 3 Koefisien determinan (R

2

) antara suhu lingkungan (Ta) dengan respon termoregulasi kambing PE 9 4 Konsumsi pakan kambing PE pada ketinggian tempat yang

berbeda

13 5 Produksi dan kualitas susu kambing PE dari masing-masing

ketinggian tempat yang berbeda

14

DAFTAR GAMBAR

1 Kondisi harian suhu lingkungan pada ketinggian 200 (▲), 400 (■) dan 600 m dpl (♦)

8 2 Suhu lingkungan dan respon termoregulasi di ketinggian

(15)

1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kambing Peranakan Etawah (PE) termasuk kambing perah yang terdapat di Indonesia. Kambing PE merupakan hasil kawin tatar (grading-up) antara (kambing kacang) dengan kambing Etawah, sehingga mempunyai sifat diantara tetuanya (Atabany 2001). Persilangan kambing PE dilakukan untuk memperbaiki mutu kambing lokal dan mampu beradaptasi dengan lingkungan Indonesia. Produksi susu yang dihasilkan kambing PE adalah 0.452-2.2 kg hari -1 dengan masa laktasi cukup beragam yaitu 92-256 hari dengan rataan 156 hari (Sodiq dan Abidin 2009).

Produksi susu kambing PE bervariasi disebabkan oleh adanya variasi dalam pemeliharaan. Pada umumnya kambing PE di Indonesia dipelihara mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi. Suhu lingkungan yang berbeda akan memberikan pengaruh terhadap respon termoregulasi dan dapat menyebabkan menurunnya konsumsi dan produksi susu. Suhu lingkungan yang tinggi dapat menyebabkan produksi susu menurun sebagai akibat dari menurunnya konsumsi pakan (Collier 1985). Variasi lain dalam pemeliharaan adalah faktor perbedaan pemberian pakan. Pemberian pakan mempengaruhi konsumsi dan kebutuhan energi, dimana ternak banyak menggunakan energinya untuk mengoptimalkan pertumbuhan, produksi dan reproduksi (Johnson 1985).

Berdasarkan uraian tersebut, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh suhu lingkungan akibat perbedaan ketinggian tempat dan konsumsi pakan terhadap respon termoregulasi kambing PE yang dipelihara pada lokasi yang berbeda.

Tujuan Penelitian

Penelitian bertujuan membandingkan respon termoregulasi dan produksi susu kambing PE yang dipelihara pada ketinggian tempat yang berbeda.

Manfaat Penelitian

(16)

2

2 METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Bogor pada bulan April 2014 hingga Juli 2014 pada peternakan Ciangsana (200 m dpl), Sahid (400 m dpl) dan Cordero (600 m dpl). Analisis laboratorium dilakukan di laboratorium Ilmu Produksi Ternak Perah, Departemen llmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan dan di laboratorium Pusat Antar Universitas (PAU), Intitut Pertanian Bogor.

Bahan

Bahan utama dalam penelitian ini adalah kambing PE sebanyak 2 ekor pada ketinggian 200 m dpl, karena ternak kambing yang laktasi hanya 2 ekor dan 8 ekor pada masing-masing ketinggian 400 dan 600 m dpl.

Alat

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya termohigrometer, anemometer, stetoskop, thermometer, timbangan, gelas ukur, coolbox, ice gel dan plastik untuk wadah sampel susu.

Prosedur

Penelitian teridiri atas tiga bagian, yaitu : (1) Pengukuran kondisi lingkungan dan respon termoregulasi; (2) Pengukuran konsumsi pakan dan analisis pakan; (3) Pengukuran produksi susu dan analisis komposisi susu kambing PE.

1. Pengukuran Kondisi Lingkungan dan Respon Termoregulasi

Penelitian dilakukan di tiga peternakan kambing Peranakan Etawah (PE) yang dibedakan berdasarkan ketinggian tempat di kabupaten Bogor. Ketiga peternakan tersebut adalah:

1. Peternakan yang berada pada ketinggian 200 m dpl. 2. Peternakan yang berada pada ketinggian 400 m dpl. 3. Peternakan yang berada pada ketinggian 600 m dpl.

Pengumpulan data penelitian dilaksanakan pada bulan April - Juni 2014, tetapi pada ketinggian 200 m dpl dilaksanakan pada bulan Apri - Mei 2014.

(17)

3 2. Pengukuran Konsumsi Pakan dan Analisis Pakan

Konsumsi pakan diukur dengan menghitung jumlah pemberian pakan (kg ekor-1 hari-1) dan jumlah pakan yang tersisa (kg ekor-1 hari-1). Pengukuran konsumsi pakan dilakukan pada setiap pemberian pakan dengan menggunakan timbangan pakan. Analisa kualitas pakan yang diambil dari masing-masing kondisi dianalisa di laboratorium Pusat Antar Universitas (PAU), Intitut Pertanian Bogor. Hasil analisa proksimat pakan ternak disajikan pada Tabel 1.

3. Pengukuran Produksi Susu dan Uji kuaitas Susu

Produksi susu didapat dengan cara mengukur banyaknya susu yang dihasilkan tiap ekor kambing dengan satuan liter. Waktu pengukuran dilakukan sesuai dengan jadwal pemerahan, pagi pukul 07.00 dan sore pukul 17.00 wib. Uji kualitas susu dilakukan dengan menggunakan milkotester.

Uji kualitas susu dilakukan di Laboratorium Ilmu Produksi Ternak Perah, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Analisa komposisi susu yakni berat jenis, kadar bahan kering, kadar lemak, kadar bahan kering tanpa lemak (BKTL) dan kadar protein.

Sumber : *) Hasil Analisa Proksimat Laboratorium PAU, 2014 berdasarkan Bahan Kering; **) Berdasarkan Hasil Perhitungan;

(18)

4

Rancangan dan Analisis Data

Data hasil pengukuran terhadap respon termoregulasi dan kondisi lingkungan dianalisis dengan menggunakan uji-t dua sampel independent (tidak berpasangan) dengan persamaan sebagai berikut (Steel dan Torrie 1995):

t =

Keterangan :

n : jumlah data r : koefisien korelasi

Hubungan antara suhu lingkungan dan respon termoregulasi pada kambing PE dihitung menggunakan persamaan regresi sederhana dengan persamaan sebagai berikut (Gasperz 1999):

Y = f (x) = aXb

Keterangan :

Y : Variabel terikat / tidak bebas (Suhu rektal, denyut jantung, laju respirasi)

X : Variabel bebas (Suhu lingkungan) b : Koefisien regresi

(19)

5 3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Peternakan kambing PE di ketinggian 200 m dpl

Lokasi Peternakan Ciangsana yang terletak di desa Gunung Putri merupakan daerah dengan topografi daratan. Kawasan ini berada pada ketinggian 200 m dpl dengan suhu rata-rata berkisar pada 30 °C dengan kelembaban udara sebesar 68%. Peternakan Ciangsana didirikan pada tahun 2009, jumlah populasi saat ini 60 ekor.

Pakan yang diberikan untuk kambing PE adalah rumput lapang dan ampas tahu. Pemberian konsentrat diberikan dua kali yaitu pukul 07.00 dan 13.00 sedangkan pemberian hijauan sebanyak satu kali pada pukul 15.00. Pemerahan dilakukan secara manual dengan menggunakan tangan. Pemerahan dilakukan dua kali dalam sehari yaitu pagi pada pukul 07.00 dan sore pukul 14.00 WIB. Susu langsung dikemas dalam kondisi segar tanpa pengolahan lalu disimpan ke dalam freezer.

Peternakan kambing PE di ketinggian 400 m dpl

Lokasi peternakan Sahid terletak di kaki Gunung Salak berada pada ekor sehingga menambah jumlah populasi menjadi 110 ekor dan pada awal Januari 2007 bertambah menjadi 123 ekor. Saat ini jumlah populasi kambing PE di peternakan Sahid 317 ekor. Peternakan Sahid membeli kambing PE dari Kaligesing, Jawa Tengah.

Pakan yang diberikan untuk kambing PE di ketinggian 400 m dpl adalah hijauan yang diberikan berupa rumput gajah, rumput lapang, dan ampas tahu. Pemberian hijauan sebanyak tiga kali pada pukul 07.00, 11.00 dan 14.00 wib, sedangkan konsentrat diberikan dua kali pada pukul 08.30 dan 13.00 wib. Pemerahan dilakukan secara manual dengan menggunakan tangan. Pemerahan dilakukan dua kali dalam sehari yaitu pagi pada pukul 06.30 dan siang pukul 15.00 wib. Setelah pemerahan susu langsung dikemas dalam kondisi segar tanpa pengolahan lalu disimpan ke dalam freezer. Peternakan kambing PE di ketinggian 600 m dpl

(20)

6

Agus Setiawan telah melakukan usaha sejenis ini lebih lama, yaitu dari tahun 2003-2007 yang bertempat di Setu (Bekasi).

Peternakan Cordero terletak di desa Sukajaya, kecamatan Tamansari, kabupaten Bogor. Kecamatan Tamansari terletak pada ketinggian 600 m dpl, temperatur lingkungan sekitar 25-27 °C, kelembaban udara sekitar 65% - 80% dan curah hujan rata-rata 3 500 - 4 000 mm tahun-1. Luas areal peternakan Cordero sekitar 1.5 ha yang terdiri atas lahan rumput 8 000 m2 dan sisanya adalah bangunan kandang, tempat tinggal dan lahan kosong yang direncanakan untuk pembangunan kandang sapi. Peternakan Cordero memiliki enam kandang yaitu kandang B, C, D, E, F, dan H. Pemeliharaan kambing perah menggunakan kandang B, C, D, E, F dan G, sedangkan kandang H digunakan untuk pemeliharaan sapi perah.

Kambing di peternakan ini pada awalnya didatangkan dari tempat usaha awal masing-masing pemilik pada akhir tahun 2007. Kambing milik Agus Setiawan sebanyak 90 ekor dan kambing milik bapak Sauqi dan Akhmad sebanyak 60 ekor, jumlah populasi saat ini yaitu 250 ekor. Pada awal pendirian usaha ini mengalami masalah yang cukup serius yakni mengalami masalah penurunan populasi sebesar 50% karena kondisi peternakan yang relatif belum stabil. Beberapa penyakit seperti diare dan kembung yang terjadi ketika proses pemindahan dari peternakan sebelumnya.

Pakan yang diberikan di peternakan Cordero adalah hijauan berupa rumput gajah dan rumput lapang, sedangkan konsentrat yang diberikan merupakan campuran dari ampas tempe dan konsentrat buatan pabrik. Pemberian pakan dilakukan tiga kali dalam sehari yaitu pada pagi hari setelah dilakukan pemerahan susu yaitu sekitar pukul 07.00, 14.00 dan sore hari sebelum dilakukan pemerahan susu yaitu sekitar pukul 16.00 WIB. Pemerahan dilakukan secara manual dengan menggunakan tangan, dilakukan dua kali dalam sehari yaitu pada pagi hari pukul 06.30 WIB dan sore hari pukul 17.30 WIB.

Kondisi lingkungan dan respon termoregulasi

(21)

7

Suhu (ºC) 30.16±2.88a 27.73±2.45b 26.63±2.91b

Kelembaban (%) 68.50±10.31 73.5±8.70 72.40±11.29

Kecepatan angin (m s-1) 0.010±0.04 0.10±0.17 0.04±0.2

Rataan suhu dan kelembaban udara dalam penelitian ini masih berada dalam kisaran nyaman bagi kambing. Smith dan Mangkuwidjojo (1988) mengemukakan suhu udara nyaman bagi kambing berkisar antara 18 sampai 30 oC. Secara umum kisaran rentang suhu dan kelembaban dalam penelitian ini hampir sama dengan suhu dan kelembaban di Indonesia pada umumnya berkisar 24-34oC dengan kelembaban 60% - 90%. Hal tersebut akan sangat mempengaruhi produktivitas kambing PE.

(22)

8

Frekuensi denyut jantung kambing PE yang dipelihara pada ketinggian 600 m dpl lebih tinggi dibandingkan ketinggian 400 m dpl. Hal tersebut diduga karena pada ketinggian 600 m dpl suhu lingkungan relatif lebih nyaman sehingga kambing PE akan meningkatkan konsumsi pakan untuk meningkatkan produksi panas sehingga meningkatkan respon termoregulasi terutama denyut jantung. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa ketinggian tempat berbeda nyata (P<0.05) terhadap frekuensi denyut jantung. Frekuensi denyut jantung kambing PE dalam penelitian ini masih dalam kisaran normal, seperti dinyatakan oleh Duke’s (1995) bahwa Frekuensi denyut jantung kambing normal berkisar 70-80 kali menit-1.

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa ketinggian tempat tidak berpengaruh terhadap laju respirasi. Hal ini disebabkan pada ketinggian 400 dan 600 m dpl suhu udara dan kelembaban masih dalam kisaran yang dapat ditolerir oleh kambing PE. Kurihara dan Shioya (2003) menyatakan bahwa pada saat suhu lingkungan 28 °C dan kelembaban 40%-80% maka suhu tubuh dan frekuensi pernafasan yang terjadi dalam kondisi normal. Silanikove (2000) menyatakan bahwa pengukuran laju respirasi dapat memberikan informasi untuk mengetahui tingkat stres pada ternak (rendah : 40-60 kali menit -1; sedang: 60-80 kali menit -1; tinggi: 80-120 kali menit -1 dan stres panas yang parah di atas 150 kali menit -1. Okourwa et al. (2013) juga menyatakan bahwa peningkatan laju respirasi 12-20 kali menit -1 menunjukkan kambing telah mengalami stres panas.

Hubungan antara kondisi lingkungan dan respon termoregulasi

Suhu udara dan kelembaban menyebabkan perubahan keseimbangan panas dalam tubuh ternak, keseimbangan air, keseimbangan energi dan keseimbangan tingkah laku ternak. Iklim mikro disuatu tempat yang tidak mendukung bagi kehidupan ternak membuat potensi genetik seekor ternak tidak dapat ditampilkan secara maksimal (McNeilly 2001). Hasil perhitungan hubungan antara kondisi suhu lingkungan dan respon termoregulasi kambing PE disajikan pada Tabel 3. Dipetakan dalam grafik hubungan suhu lingkungan peternakan dan respon termoregulasi kambing PE dapat dilihat pada Gambar 2.

(23)

9 Hasil analisis regresi linier pada suhu rektal menunjukkan bahwa koefisien regresi pada ketinggian 200, 400 dan 600 m dpl adalah 0.07, 0.05 dan 0.03. Koefisien regresi pada ketinggian 200 m dpl lebih tinggi dibandingkan ketinggian 400 dan 600 m dpl. Suhu lingkungan mempengaruhi suhu rektal dilihat dari koefisien determinan (R2) yaitu 0.93 atau 93% suhu rektal dipengaruhi suhu lingkungan sisanya 7% dipengaruhi faktor lain.

Menurut Rahardja (2007) bahwa pada hewan yang lebih aktif, lebih banyak energi yang dikeluarkan untuk mendukung aktivitasnya dan faktor ekstrinsik yang paling besar mempengaruhi metabolism adalah suhu lingkungan. Berdasarkan hal tersebut, fluktuasi suhu lingkungan dapat mempengaruhi pola perubahan suhu rektal. Koefisien regresi di ketinggian 400 m dpl adalah 0.05, namun R2 0.74 artinya (74%) suhu rektal dipengaruhi suhu lingkungan sisanya 26% dipengaruhi faktor lain. Hal ini diduga dipengaruhi oleh suhu lingkungan, aktivitas, ukuran tubuh serta menajemen pemeliharaan.

Koefisien regresi di ketinggian 600 m dpl adalah 0.03, namun R2 0.68 (68%) suhu rektal dipengaruhi suhu lingkungan sisanya 32% dipengaruhi faktor lain. Lebih rendah dibanding ketinggian 200 dan 400 m dpl, karena suhu lingkungan pada ketinggian 600 m dpl lebih rendah sehingga ternak dapat menyesuaikan suhu rektal. Sesuai dengan pendapat (Purwanto et al. 1995) mengatakan bahwa ternak berhasil melakukan proses termoregulasi atau pengaturan keseimbangan panas melalui mekanisme Tabel 3 Koefisien determinan (R2) antara suhu lingkungan (Ta) dengan

respon termoregulasi kambing PE

(24)

10

homeostatis di dalam tubuh yang merupakan perwujudan kerja organ-organ tubuh.

Hasil analisis regresi linier denyut jantung menunjukkan bahwa koefisien regresipada ketinggian 200, 400 dan 600 m dpl adalah -0.12, 0.42 dan 0.18. Koefisien regresi di ketinggian 400 lebih tinggi dibandingkan ketinggian 200 dan 600 m dpl. Dari R2 yaitu 0.98 artinya 98% denyut jantung dipengaruhi suhu lingkungan sisanya 2% dipengaruhi faktor lain. Tingginya R2 dididuga disebabkan oleh suhu lingkungan, ukuran tubuh ternak, aktivitas ternak dan aktivitas pencernaan terutama rumen. Hal ini sesuai dengan pernyataan Utomo et al. (2009) Tingginya frekuensi denyut jantug kemungkinan disebabkan tingginya beban panas dari dalam dan luar tubuh ternak. Pembuangan beban panas terlihat pada peningkatan laju respirasi dan denyut jantung yang merupakan usaha ternak untuk menyeimbangkan produksi panas.

Panas yang tinggi akan dilepaskan ke lingkungan dengan cara melakukan peningkatan denyut nadi dalam upaya pengangkutan aliran darah yang membawa panas dari dalam keluar tubuh sehingga jantung bekerja lebih cepat. Koefisien regresi diketinggian 200 m dpl adalah -0.12 negatif (berlawanan) jika suhu lingkungan meningkat maka denyut jantung akan menurun sebesar 0.12 kali. Koefisien regresi denyut jantung diketinggian 600 m dpl adalah 0.18 lebih rendah dibandingkan ketinggian 400 m dpl. Dilihat dari R2 0.76 artinya (76%) suhu lingkungan mempengaruhi denyut jantung, sisanya 24% dipengaruhi faktor lain. Barkai et al. (2002)

Gambar 2 Suhu lingkungan dan respon termoregulasi di ketinggian (200) (▲),

(25)

11 melaporkan bahwa terdapat hubungan antara denyut jantung dan matabolisme produksi panas. Perubahan denyut jantung merupakan usaha ternak untuk meminimalkan kehilangan panas dan mempertahan suhu tubuh. Aharoni et al. (2003) melaporkan bahwa penurunan denyut jantung merupakan suatu usaha untuk menurunkan produksi panas tubuh, yang ditunjukkan dengan penurunan konsumsi pakan.

Koefisien regresi laju respirasi diketinggian 200, 400 dan 600 m dpl adalah -0.10, 1.56 dan 0.54. Koefisien regresi di ketinggian 400 m dpl lebih tinggi dibandingkan keduanya R2 yaitu 0.90 (90%) artinya 90% laju respirasi dipengaruhi suhu lingkungan sisanya 10% dipengaruhi faktor lain. Tingginya R2 diduga disebabkan oleh suhu lingkungan, ukuran tubuh dan aktivitas. Guyton (1990) menyatakan bahwa perubahan frekuensi pernafasan sejalan dengan peningkatan suhu udara untuk melepaskan panas.

Faktor yang dapat mempengaruhi frekuensi pernapasan adalah ukuran tubuh, umur, gerak otot, temperatur lingkungan dan faktor yang disebabkan pengaruh terhadap suhu tubuh ternak yaitu dalam hal produksi panas tubuh. Pada ketinggian 600 m dpl koefisien regresi 0.54 dengan R2 0.64 (64%) artinya 64% laju respirasi dipengaruhi suhu lingkungan, sisanya 36% dipengaruhi faktor lain. Hal ini diduga oleh suhu lingkungan, ukuran tubuh, aktifitas dan kelelahan. Smith dan Mangkuwidjo (1988) laju respirasi bervariasi tergantung dari besar badan, umur, aktivitas tubuh kelelahan dan penuh tidaknya rumen. Peningkatan laju respirasi merupakan suatu usaha untuk meningkatkan evaporasi. Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Al-Haidary (2000) dan Sunagawa et al. (2002) bahwa laju respirasi dan suhu rektal merupakan indikator yang baik untuk menunjukkan stress lingkungan yang diterima oleh ternak.

Konsumsi Pakan Kambing PE pada Ketinggian Tempat yang Berbeda

Konsumsi bahan kering (BK)

Penentuan konsumsi pada ternak ruminansia didasarkan pada bahan kering. Kandungan air dari berbagai macam pakan sangat bervariasi. Konsumsi pakan pada kambing selama periode laktasi lebih banyak ditujukan untuk memproduksi susu. Konsumsi pakan kambing PE dapat dilihat pada Tabel 4.

(26)

12

Ketinggian 200 m dpl konsumsi BK lebih rendah yaitu 642.62±27.39 g ekor-1 hari-1 dibandingkan kedua ketinggian. Suhu udara pada ketinggian ini lebih tinggi sehingga ternak mengurangi konsumsi pakan. Hal ini disebabkan karena kondisi peternakan berada dipemukiman padat penduduk, sehingga sangat sulit untuk mencari hijauan.

Konsumsi BK pada penelitian ini hampir sama dengan hasil penelitian Atabany (2001) konsumsi BK harian kambing PE pada penelitiannya di peternakan Barokah (720 m dpl) adalah 1 759 g ekor-1 hari

-1

. Berdasarkan NRC (1981) diketahui bahwa kambing laktasi dengan bobot badan 50 dan 60 kg membutuhkan bahan kering pakan masing-masing adalah 2 400 g dan 2 600 g sehingga dalam penelitian ini dapat dikatakan bahwa konsumsi BK belum terpenuhi.

Konsumsi protein kasar (PK)

Konsumsi PK pada ketinggian 200 m dpl, 400 m dpl dan 600 m dpl masing-masing 95.45±2.56 g ekor-1 hari-1, 96.16±2.50 g ekor-1 hari-1 dan 180.49±50.92 g ekor-1 hari-1. Konsumsi PK pada ketinggian 600 m dpl lebih tinggi dibandingkan dengan kedua ketinggian tersebut. Perbedaan konsumsi PK pada pada ketiga ketinggian ini disebabkan karena jenis pakan dan kandungan pakan berbeda. Putra dan Puger (1995) menyatakan bahwa protein pakan berkorelasi positif dengan konsumsi bahan kering, bahan

organik, protein, dan energi. Menurut Ensminger (2001) dan Purbowati et al. (2007), faktor yang mempengaruhi konsumsi protein pakan

adalah konsumsi bahan kering dan kandungan protein pakan. Kamal (1997) menambahkan bahwa banyaknya pakan yang dikonsumsi akan mempengaruhi besarnya nutrien lain yang dikonsumsi, sehingga semakin banyak pakan yang dikonsumsi akan meningkatkan konsumsi nutrien lain yang ada dalam pakan. Menurut Kearl (1982) kebutuhan protein pada kambing berkisar antara 12% - 14% ekor-1. Terlalu banyak pemberian protein dapat menyebabkan kerugian ekonomis yang besar, karena akan berdampak pada harga ransum yang lebih mahal, apabila jumlah pemberian protein terlalu sedikit, maka produktivitas ternak tidak akan mencapai optimal. pakan akan meningkat seiring meningkatnya bobot badan ternak. NRC (1981) kebutuhan TDN bagi kambing dengan bobot badan 60 kg dengan persentase lemak berkisar 5% adalah 1 093.158 g. Dapat dikatakan bahwa kebutuhan TDN diketinggian 600 m dpl sudah terpenuhi.

(27)

13 mengkonsumsi air dan mengurangi konsumsi pakan. Hal ini sesuai dengan penelitian Nurlaha (2015) bahwa rendahnya nilai konsumsi TDN dapat disebabkan oleh rendahnya tingkat konsumsi BK pakan.

Produksi dan Komposisi Susu Kambing PE

Kuantitas dan kualitas pakan yang diberikan pada seekor ternak perah merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan optimalitas produksi susu dan komposisi susu selama laktasi. Produksi dan kualitas susu kambing PE dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 5. Ketinggian tempat berbeda nyata (P<0.05) terhadap produksi susu kambing PE di ketinggian 400 dan 600 m dpl. Rataan produksi susu pada ketinggian 200 mdpl 400 m dpl dan 600 m dpl masing-masing adalah (0.626±0.07 L ekor-1 hari-1), (0.413±0.09 L ekor-1 hari-1) dan (1.254±0.42 L ekor-1 hari-1).

Produksi susu yang dihasilkan berbeda diduga akibat kondisi lingkungan, manajemen pemeliharaan berbeda serta bulan laktasi yang berbeda. Pada ketinggian 600 m dpl ternak berada pada puncak laktasi sehingga menghasilkan produksi susu lebih banyak. Hal ini sesuai dengan pernyataan (Pavic et al. 2002; Oravcova et al. 2006, 2007; Kuchtik et al. 2008) produksi susu dan komposisi dipengaruhi oleh bangsa, umur ternak, ukuran tubuh, nutrisi, kesehatan hewan, lingkungan, tahapan laktasi dan lain-lain. Peningkatan produksi susu dapat dilihat dari peningkatan konsumsi pakan dalam bentuk bahan kering (BK) dan protein kasar yang Tabel 4 Konsumsi pakan kambing PE pada ketinggian tempat yang

berbeda

Peubah Ketinggian tempat (m dpl)

200 400 600

Konsumsi bahan kering (g ekor-1 hari-1)

Rumput lapang 228.85±23.62 326.88±10.59 445.91±49.78

Rumput gajah 189.68±9.41 171.58±80.19

Ampas tahu 413.77±3.77 307.89±2.87

Ampas tempe 1160.15±129.23

Total 642.62±27.39 824.45±22.87 1777.64±259.19 Protein kasar (g ekor-1 hari-1)

Rumput lapang 17.91±1.85 26.99±0.87 29.10±3.25

Rumput gajah 24.90±1.24 13.93±6.51

Ampas tahu 77.539±0.707 44.276±0.413

Ampas tempe 137.46±15.31

Total 95.45±2.56 96.16±2.50 180.49±50.92

TDN (g ekor-1 hari-1)

Rumput lapang 126.0±13.0 176.22±5.71 235.3±26.3

Rumput gajah 97.40±4.83 89.0±41.6

Ampas tahu 312.26±2.85 206.83±1.93

Ampas tempe 51.52±0.48

(28)

14

terkandung dalam bahan pakan yang disintesa menjadi zat-zat nutrient dalam darah dan terjadi penyerapan yang dapat meningkatkan produksi susu dan kadar protein serta lemak dalam susu (McDonald et al. 2002).

Berat jenis susu adalah perbandingan antara berat bahan tersebut dengan berat air pada volume dan suhu yang sama. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan berat jenis susu adalah faktor komposisi susu itu sendiri, yang terdiri dari protein, lemak, laktosa, gas dan mineral dalam susu (Eckles et al. 1957). Ketinggian tempat berbeda nyata (P<0.05) terhadap berat jenis susu kambing PE pada ketinggian 200, 400 dan 600 m dpl. Rataan berat jenis susu di ketinggian 200, 400 dan 600 m dpl adalah 1.028, 1.033 dan 1.028 g ml-1. Eldesten (1988) menyatakan yaitu berat jenis susu kambing bervariasi antara 1.0260 sampai 1.0420. Perbedaan BJ susu diduga disebabkan oleh BK susu dan BKTL pada masing-masing ketinggian. Adriani (2003) menyatakan, berat jenis susu ditentukan oleh kandungan bahan kering susu, sehingga perbedaan kandungan bahan kering menyebabkan perbedaan berat jenis. Menurut Thailand Agricurtural Standar (TAS) tentang kualitas susu No 6006 (2008) kualitas dari standar berat jenis adalah >1.028 sehingga BJ susu dalam penelitian ini sudah memenuhi syarat susu segar kambing.

Kadar lemak yang terkandung dalam susu dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik pengaruh dari faktor fisiologis ternak itu sendiri maupun pengaruh dari lingkungan. Hasil analisis statistik dengan uji-t menunjukkan bahwa ketinggian tempat berbeda nyata (P<0.05) terhadap kadar lemak susu. Kadar lemak susu kambing PE yang dipelihara pada ketinggian 400 m dpl lebih tinggi dari pada ketinggian 200 dan 600 m dpl. Hal ini diduga disebabkan kambing PE yang dipelihara pada ketinggian 400 m dpl lebih banyak mengkonsumsi hijauan sedangkan di ketinggian 600 m dpl hanya sedikit mengkonsumsi. Tyler dan Ensminger (2006) juga menyatakan bahwa tingginya proporsi hijauan dalam pakan ternak perah menyebabkan peningkatan kadar lemak susu yang dihasilkan. Kadar lemak dipengaruhi oleh asam asetat yang berasal dari hijauan (Ace dan Wahyuningsih 2010 dan Ramadhan et al. 2013). Prekusor dari asam asetat adalah serat kasar (Suhardi 2011). Hijauan yang dimakan oleh ternak, kemudian mengalami proses fermentatif didalam rumen oleh mikroba rumen. Hasil proses fermentatif berupa VFA. VFA terdiri dari propionat, asetat, dan butirat. Asetat masuk kedalam darah dan diubah menjadi asam lemak, kemudian akan masuk ke dalam sel-sel sekresi ambing dan menjadi lemak susu.

(29)

15 Ketinggian 600 m dpl ternak lebih banyak mengkonsumsi konsentrat, sehingga menyebabkan kadar lemak susu rendah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sukarini (2006), bahwa ternak yang diberi pakan tambahan konsentrat akan menurunkan kadar lemak susu dan pakan yang hanya terdiri dari hijauan memiliki kadar lemak yang lebih tinggi dibanding pakan yang ditambah dengan konsentrat. Mukhtar (2006) menyatakan bahwa pada saat produksi susu meningkat, kadar lemak dan kadar protein susu akan menurun. Terdapat korelasi yang negatif antara produksi susu dengan kadar lemak susu.

Kadar bahan kering tanpa lemak adalah bahan kering dikurangi dengan kadar lemak (Saleh 2004). Hasil analisis statistik dengan uji-t menunjukkan bahwa ketinggian tempat tidak berbeda nyata terhadap kadar bahan kering tanpa lemak (BKTL) susu kambing PE. Kadar BKTL susu kambing PE yang dipelihara pada ketinggian 200, 400 dan 600 m dpl masing-masing adalah 8.39±0.56%, 8.86±0.58%dan 8.81±0.76%.

(30)

16

4 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Perbedaan ketinggian tempat 200, 400 dan 600 m dpl mempengaruhi suhu lingkungan, namun tidak mempengaruhi kelembaban dan kecepatan angin. Kambing PE mulai nyaman dipelihara pada ketinggian 400 m dpl. Pada ketinggian 600 m dpl terjadi peningkatkan produksi susu dan konsumsi pakan.

Saran

Selain suhu lingkungan, faktor manajemen pemeliharaan harus lebih diperhatikan agar konsumsi pakan dan produsksi susu dapat ditingkatkan secara optimal.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin S. 2009. Peningkatan Produksi Susu Kambing PE. Jakarta (ID): Agromedia Pustaka

Ace I, S Wahyuningsih. 2010. Hubungan variasi pakan terhadap mutu susu segar di Desa Pasirbuncir Kecamatan Caringin Kabupaten Bogor. J Penyuluhan Pertan Vol. 5 No. 1.

Adriani. 2003. Optimalisasi produksi anak dan susu kambing Peranakan Etawah dengan superovulasi dan suplementasi seng. [disertasi]. Bogor (ID): Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Al-Haidary A. 2000. Effect of heat stress on some thermoregulatory responses of cattle, sheep and goat. Zag Vet. J., 28: 101–10

Al-Tamimi HJ. 2007. Thermoregulatory response of goat kids subjected to heat stress. Small Ruminant. Vol 71. Pages 280-285

Arora SP. 1995. Pencernaan Mikrobia pada Ruminansia. Cetakan ke-2. Yogyakarta (ID) : Gadjah Mada University Press.

Atabany A. 2001. Studi kasus produktivitas kambing Peranakan Etawah dan kambing Saanen pada Peternakan Kambing Perah Barokah dan PT. Taurus Dairy Farm (tesis). Bogor (ID): Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Barkai S Landau A Brosh et al. 2002. Estimation of energy intake from heart rate and energy expenditure in sheep under confinement or grazing condition. Livestock Prod. Sci. 73: 237–46

Edelsten D. 1988. Composition of Milk. Di dalam : Cross HR dan Overby AJ (Editor), Meat Science, Milk Sci and Tech. Illinois : Interstate Publishing Inc.

Duke’s. 1995. Physiology of Domestic Animal. Comestock. New York (US): University Collage, Camel.

(31)

17 Hartadi H Reksohadiprodjo S, Lebdosukojo S, Tillman A, Kearl LC, Harris LE. 1980. Tabel-tabel dari Komposisi Bahan Makanan Ternak untuk Indonesia. Yogyakarta (ID): Gajah Mada University Press.

Johnson H.D. 1985. Physiological responses and productivity of cattle. Dalam: Yousef M.K. (Ed). Stress Physiology of Livestock. Vol II. CRC Press Inc. Boca Raton, Florida (US).

Kearl. 1982. Nutien Requirement of Ruminants in Developing Countries. Utah (US) : International Feedstuffs Institute Utah Agricultural Experiment Station.

Kuchtik J, Sustova K, Urban T, Zapletal D. 2008. Effect of the stage of lactation on milk composition, its properties and the quality of rennet curdling in East Friesian ewes. Czech J Anim Sci. 53(2), 55–63. Kurihara M, Shioya S. 2003. Dairy cattle management in hot environment.

http//www.fffc.agent.org/library/abstract/eb529.htm. (12 Desember 2014).

Lailia et al. 2013. Kajian kadar lemak dan bahan kering tanpa lemak susu kambing Sapera di Cilacap dan Bogor. J Ilmiah Peternakan 1(3): 874-880,

Liem. 2004. Pengelolaan berbasis birogion .http://www.walhi. or.id/bioregion/nas/peng_basis_bioreg. (27 November 2014).

Looper. 2014. Factors Affecting Milk Composition of Lactating Cows. Agriculture and Natural Resources. (US) University of Arkansas System.

Mc Donald P, Edwards RA, Greenhalgh JFD, Morgan CA. 2002. Animal Nutrition 6th Edition. London (GB) : Pearson Education.

Mukhtar A. 2006. Ilmu Produksi Ternak Perah. Surakarta ID : UNS press [NRC] National Research Council. 1981. Nutrient Requirements of Goats.

Washington DC (US): National Academy Press.

Nurlaha. 2015. Potensi dan kecukupan nutrient hijauan pakan ternak pada kambing PE di Kecamatan Lasusua Kabupaten Kolaka Utara. [tesis]. Bogor. (ID): Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Okoruwa MI, Ikhimioya I. 2014. Haematological indices and serum biochemical profiles of dwarf goats fed elephant grass and varying levels of combined plantain with mango peels. American J Exp Agric 4(6): 619–628.

Oravcova M, Margetin M, Peskovicova D, Dano J, Milerski M, Hetenyi L, Polak P. 2006. Factors affecting milk yield and ewe’s lactation curves estimated with test-day models. Czech J Anim Sci. 51.483–490.

Pavic V, Antunac N, Mioc B, Ivankovic A, Havranek JL. 2002. Influence of stage of lactation on the chem. composition and physical properties of sheep milk. Czech J Anim Sci. 47,80–84.

Purwanto BP, Santoso AB, Murfi A. 1995. Fisiologi Lingkungan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor (ID).

Putra S, Puger AW. 1995. Manipulasi mikroba dalam fermentasi rumen salah Satu alternatif untuk meningkatkan efisiensi penggunaan zat-zat makanan. Fapet, Unud, Denpasar.

(32)

18

Smith JB. Mangkoewidjojo S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta (ID) : UI Press.

Steel RDG, Torrie JH. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometri. Ed ke-2. Terjemahan Bambang S. Jakarta (ID) : PT Gramedia Pustaka Utama.

Sudarman A, Ito T. 2000. Heat production and thermoregulatory responses of sheep fed roughage propotion diets and intake levels when exposed to a high ambient temperature. Asian-Aus. J. Anim. Sci. 13 (5): 625-629.

Suhardi. 2011. Pengaruh penggantian rumput gajah dengan jerami padi amoniasi terhadap kualitas Susu sapi perah. Fakultas Peternakan, Universitas

Boyolali.http://ejournal.politama.ac.id/index.php/politeknosains/article /download/44/41.Diakses tanggal 2 April 2015.

Silanikove N. 2000. Effects of heat stress on the welfare of extensively managed domestic ruminants: a review. Livest Prod Sci. 67:1-18. Sukarini. 2006. Produksi dan komposisi air susu kambing Peranakan

Etawah yang diberi tambahan konsentrat pada awal laktasi. Denpasar (ID): Universitas Udayana.

Sunagawa K, Arikawa Y, Higashi M, Matsuda H, Takahashi H, Kuriwaki Z, Kojiya Z, Uechi S, Hong F. 2002. Direct effect of a hot environment on ruminal motility in sheep. Asian Aust J Anim Sci. 6: 859–65

[TAS] Thai Agricurtural Standar) 6006. 2008. Raw Goat Milk National Bureau of Agricurtural Commodity and Food Standards. Bangkok (TH). Ministry of agricultural and cooperatives.

Tyler HD, Ensminger ME. 2006. Dairy Cattle Science. 4th ed. New Jersey (US) : Prentice Hall.

Utomo B, Miranti DP, Intan GC. 2009. Kajian termoregulasi sapi perah periode Laktasi dengan introduksi teknologi Peningkatan kualitas pakan. Sem Nas. Tek. Peternakan dan Veteriner. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah, Bukit Tegalepek, Sidomulyo, Ungaran 50501.

Wodzicka-Tomaszewska, Mashka IM, Djajanegara A, Gardiner S, Wiradarya TP. 1993. Produksi Kambing dan Domba di Indonesia. Surakarta (ID) : Sebelas Maret University Press.

(33)

19

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 24 Desember 1986 di Sei Malombu Tapanuli Selatan. Penulis adalah anak ke Enam dari tujuh bersaudara dari pasangan Bapak Darji dan Ibu Sulastri.

Gambar

Table 1 Hasil analisa proksimat
Gambar 1 Kondisi harian suhu lingkungan pada ketinggian 200 (▲), 400
Tabel 3 Koefisien determinan (R2) antara suhu lingkungan (Ta) dengan respon termoregulasi kambing PE
Gambar 2 Suhu lingkungan dan  respon termoregulasi di ketinggian (200) (▲),
+2

Referensi

Dokumen terkait

Profesionalisme yang berpengaruh terhadap kualitas audit menunjukkan fenomena bahwa sikap auditor yang profesional dalam melaksanakan tugasnya mampu memberikan nilai

Metode yang dipakai dalam penyusunan kertas karya ini adalah dengan menggunakan metode pustaka yaitu metode yang dilakukan dengan mempelajari dan mengumpulkan data

pilih menu kelola fasilitas tampil halaman kelola fasilitas masukkan data fasilitas simpan data fasilitas ubah data fasilitas cari data fasilitas hapus data fasilitas Y T

Bakteri Gram negatif terbanyak yang ditemukan adalah Escherica coli (72%), hal ini disebabkan karena kurangnya perilaku higienis ibu hamil, disebabkan karena tingkat sosial

[r]

Jika anda mempunyai pengalaman kerja yang banyak, format resume begini adalah yang paling sesuai untuk

Private class ini diharapkan memberikan kesempatan peserta training untuk memahami alur pemeriksaan CT Scan pada kasus onkologi, baik diarea Lung maupun abdominal secara

“The Industrial Impact of Oil Price Shocks: Evidence from the Industries of Six OECD Countries”, Bank of Spain Working Paper... この研究で Jiménez-Rodríguez は欧州の OECD