• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Curah Hujan terhadap Frekuensi Kejadian Penyakit Reproduksi pada Sapi Perah: Studi Kasus di KPBS Pangalengan, Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Curah Hujan terhadap Frekuensi Kejadian Penyakit Reproduksi pada Sapi Perah: Studi Kasus di KPBS Pangalengan, Jawa Barat"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH CURAH HUJAN TERHADAP FREKUENSI

KEJADIAN PENYAKIT REPRODUKSI PADA SAPI PERAH :

Studi Kasus di KPBS Pangalengan, Jawa Barat

RISNIA BUATAMA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Curah Hujan terhadap Frekuensi Kejadian Penyakit Reproduksi pada Sapi Perah: Studi Kasus di KPBS Pangalengan, Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, November 2013 Risnia Buatama NIM B04090199

(4)

ABSTRAK

RISNIA BUATAMA. Pengaruh Curah Hujan terhadap Frekuensi Kejadian Penyakit Reproduksi pada Sapi Perah: Studi Kasus di KPBS Pangalengan, Jawa Barat. Dibimbing oleh YUDI dan ASEP YAYAN RUHYANA.

Penelitian ini bertujuan menjelaskan korelasi curah hujan terhadap frekuensi kejadian penyakit reproduksi pada sapi perah di Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan, Jawa Barat. Variabel penelitian meliputi data curah hujan dan penyakit reproduksi tahun 2010-2012 yang dianalisis menggunakan metode analisis korelasi dan regresi. Penyakit reproduksi yang memiliki frekuensi kejadian paling tinggi selama tahun 2010-2012 adalah hipokalsemia, retensio sekundinae, abortus, mastitis, dan endometritis. Kejadian penyakit reproduksi yang memiliki korelasi dengan nilai curah hujan (mm/bulan) adalah mastitis, ketosis, kelahiran prematur, dan milk let down failure. Mastitis dan milk let down failure masing-masing sebanyak 14% dan 12.8% dipengaruhi oleh curah hujan yang tinggi (musim hujan) pada periode Januari-April, dan November-Desember, sedangkan kejadian penyakit ketosis dan kasus kelahiran prematur masing-masing sebanyak 13.3% dan 11.7% disebabkan oleh pengaruh curah hujan yang rendah (musim kemarau) pada periode Mei-Oktober. Penyakit reproduksi yang tinggi kejadiannya namun tidak dipengaruhi oleh curah hujan dapat disebabkan oleh pengaruh lain seperti tidak tertanganinya kasus penyakit, terlambatnya pelaporan kejadian penyakit, keterampilan peternak dalam perawatan sapi, serta ketersediaan dokter hewan dan paramedis.

Kata kunci: curah hujan, KPBS Pangalengan, penyakit reproduksi, sapi perah

ABSTRACT

RISNIA BUATAMA. Effect of Rainfall to Incident Frequency of Dairy Cattle Reproduction Disease: Case Study in KPBS Pangalengan, West Java. Supervised by YUDI and ASEP YAYAN RUHYANA.

This research was aimed to explain the rainfall correlation to incident frequency of the dairy cattle reproduction disease in Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan, West Java. Research variables are data of rainfall and reproduction disease on 2010-2012 that analysed using correlation and regretion analysis. The highest reproduction disease incidents that happened on 2010-2012 were hypocalsemia, retained placenta, abortus, mastitis, and endometritis. Reproduction disease incidents that have correlation to rainfall value (mm/month) are mastitis, ketosis, premature, and milk let down failure. Mastitis and milk let down failure which are 14% and 12.8% effected by high rainfall (rain season) on January-April, and November-December, while ketosis and premature which are 13.3% and 11.7% effected by low rainfall (dry season) on May-October. The high incidents of reproduction diseases that have not effected by rainfall may effected by other factors, like disease case that not treated, late report of disease case, incompetency farmer in cattle treatment, also paramedic and veterinarian availability.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Fakultas Kedokteran Hewan

PENGARUH CURAH HUJAN TERHADAP FREKUENSI

KEJADIAN PENYAKIT REPRODUKSI PADA SAPI PERAH :

Studi Kasus di KPBS Pangalengan, Jawa Barat

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Pengaruh Curah Hujan terhadap Frekuensi Kejadian Penyakit Reproduksi pada Sapi Perah: Studi Kasus di KPBS Pangalengan, Jawa Barat

Nama : Risnia Buatama NIM : B04090199

Disetujui oleh

Dr drh Yudi, MSi Pembimbing I

drh Asep Yayan Ruhyana Pembimbing II

Diketahui oleh

drh Agus Setiyono, MS PhD APVet Wakil Dekan

(8)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah untuk tugas akhir (skripsi) berjudul “Pengaruh Curah Hujan terhadap Frekuensi Kejadian Penyakit Reproduksi pada Sapi Perah: Studi Kasus di KPBS Pangalengan, Jawa Barat” berhasil diselesaikan. Karya ilmiah ini mengangkat tema perubahan iklim dan lingkungan yang telah memberikan banyak tantangan bagi manusia beberapa dekade terakhir.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr drh Yudi, MSi dan drh Asep Yayan Ruhyana selaku pembimbing yang telah meluangkan banyak waktu, tenaga, dan pikiran dalam proses penelitian hingga penulisan karya ilmiah, serta Prof Dr drh Agik Suprayogi yang telah banyak memberi semangat dan saran selama proses penelitian. Kepada Dr drh Damiana RE, MS sebagai dosen pembimbing akademik, penulis haturkan terima kasih atas motivasi dan bimbingannya. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Keluarga Bapak Warsa dan Keluarga Bapak Sopyan, beserta kelompok peternak di Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan yang membantu selama penelitian, serta Ibu Dwiati dan staf Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayahanda Cakir, SSos, Ibunda Gustiana, SPd, Horis, Cia, Nanda, Afsa, beserta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Terima kasih juga tidak lupa penulis sampaikan kepada kawan-kawan penelitian, Bagus, Putra, Budi, Ruli, dan Ganjar atas segala semangat, bantuan, dan kerjasamanya selama penelitian dan proses penulisan, serta kawan-kawan Geochelone FKH 46, Korps Sukarela Palang Merah Indonesia Unit 1 IPB, Organisasi Mahasiswa Daerah Sulawesi Selatan, dan Himpunan Minat dan Profesi Satwa Liar FKH IPB yang selama ini telah bersama-sama menempuh suka dan duka demi mendapatkan ilmu di almamater tercinta.

Semoga karya ilmiah ini memberi manfaat bagi kita semua.

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN viii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

METODE PENELITIAN 3

Waktu dan Tempat Penelitian 3

Variabel Penelitian 3

Prosedur Analisis Data 4

HASIL DAN PEMBAHASAN 4

Keadaan Umum KPBS Pangalengan 4

Curah Hujan di Wilayah Kerja KPBS Pangalengan 5

Penyakit Reproduksi pada Sapi Perah di KPBS Pangalengan 6

Korelasi Curah Hujan terhadap Penyakit Reproduksi 7

SIMPULAN DAN SARAN 13

Simpulan 13

Saran 13

DAFTAR PUSTAKA 14

LAMPIRAN 16

(10)

DAFTAR TABEL

1 Nilai curah hujan (mm) di wilayah KPBS Pangalengan, Jawa Barat

Tahun 2010-2012 5

2 Jumlah kasus dan rata-rata penyakit reproduksi pada musim hujan dan musim kemarau di KPBS Pangalengan, Jawa Barat selama

Tahun 2010-2012 6

3 Korelasi curah hujan dengan penyakit reproduksi pada sapi perah di

KPBS Pangalengan, Jawa Barat Tahun 2010-2012 8

4 Persentase kejadian penyakit reproduksi pada sapi perah yang dipengaruhi oleh curah hujan (r2%) di KPBS Pangalengan, Jawa

Barat Tahun 2010-2012 9

DAFTAR GAMBAR

1 Frekuensi curah hujan dan mastitis di KPBS Pangalengan, Jawa

Barat tahun 2010-2012 9

2 Frekuensi curah hujan dan ketosis di KPBS Pangalengan, Jawa Barat

tahun 2010-2012 10

3 Frekuensi curah hujan dan kelahiran prematur di KPBS

Pangalengan, Jawa Barat tahun 2010-2012 11

4 Frekuensi curah hujan dan milk let down failure di KPBS

Pangalengan, Jawa Barat tahun 2010-2012 12

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta wilayah kerja KPBS Pangalengan, Jawa Barat 16 2 Rekapitulasi jumlah kasus penyakit reproduksi di KPBS

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Wilayah Indonesia berada di antara 6oLU-11oLS dan dari 95oBT-141oBT sehingga merupakan salah satu negara dengan iklim tropis yang dilewati oleh garis khatulistiwa. Indonesia hanya memiliki dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Hal tersebut menyebabkan Indonesia memiliki curah hujan yang cukup tinggi. Curah hujan rata-rata pada daerah beriklim tropis berada di atas 1800 mm/tahun. Curah hujan di wilayah Indonesia yang diamati dari satelit TRMM 3B-43 pada tahun 1998-2003 memberikan gambaran level presipitasi (curah hujan) di Indonesia mencapai 2000-3800 mm/tahun, dan berbeda pada tiap daerah (Subarna 2006). Daerah dengan iklim tropis cenderung memiliki suhu lingkungan yang tinggi, namun beberapa daerah di Indonesia khususnya pada daerah yang berada pada dataran tinggi seperti Pangalengan, Jawa Barat memiliki suhu yang rendah sehingga secara agroklimatis cocok untuk dijadikan sebagai kawasan peternakan sapi perah. Wilayah Pangalengan memiliki ketinggian 1050-1600 m di atas permukaan laut (dpl) dan selama tahun 2012 memiliki temperatur rata-rata bulanan antara 19.6-21.5 oC dengan kelembapan rata-rata bulanan berkisar 72-87 % (BMKG 2013).

Sapi friesian holstein (FH) adalah salah satu jenis sapi perah yang banyak dikembangkan di Indonesia. Keberadaan sapi FH di Indonesia bermula dari periode pemerintahan Hindia Belanda yang memasukkan sapi-sapi perah dari Australia dan Belanda dalam rangka memenuhi kebutuhan susu warga Belanda yang tinggal di Indonesia. Sapi ini merupakan hasil perkembangbiakan dari sapi liar spesies Bos taurus (Hardjosworo & Levine 1987). Sapi FH memiliki ciri-ciri rambut dominan berwarna belang hitam putih dengan batas warna yang jelas, corak warna putih berbentuk segitiga di dahi, warna putih pada bagian bawah persendian siku dan lutut, dan rambut berwarna putih di bagian ekor (Bappenas 2000).

Sapi FH merupakan sapi yang berasal dari daerah subtropis dengan iklim yang sedang. Sapi FH dapat berproduksi maksimal dengan kondisi lingkungan yang memiliki kisaran suhu 13-18oC dengan kelembapan 55% (Yani & Purwanto 2006). Keadaan tersebut membuat jenis sapi ini sangat peka terhadap perubahan kondisi lingkungan, khususnya terhadap iklim di negara tropis. Namun demikian, sapi FH memiliki adaptasi lingkungan yang cukup baik di daerah dataran tinggi (minimal berada pada 700 m dpl) dengan temperatur antara 16-24oC serta curah hujan sekitar 2000 mm/tahun (Yani & Purwanto 2006). Sapi FH yang sudah beradaptasi di Indonesia umumnya dikembangkan di daerah dengan ketinggian 800 m dpl atau lebih. Sapi FH yang dikawinkan dan beranak memiliki periode laktasi sekitar 305 hari, dengan kemampuan produksi susu rata-rata 7.245 kg untuk setiap periode laktasi di Amerika Serikat, sedangkan di Indonesia rata-rata 3.050 kg/laktasi atau sekitar 10 liter/ekor/hari (Sudono et al. 2003).

(12)

2

liter susu per kapita per tahun (Purwanto 2012). Pada sisi lain, pertumbuhan produksi susu nasional menurun dari 6.5% pada tahun 2011 menjadi 4.44% pada tahun 2012 (Ditjennak 2012). Hal ini mengakibatkan produksi susu dalam negeri belum dapat memenuhi permintaan masyarakat sehingga mengharuskan pemerintah melakukan impor dari negara lain. Kondisi tersebut dikarenakan rendahnya populasi dan produktivitas, serta wilayah pengembangan sapi perah yang terbatas.

Perkembangan populasi sapi perah dipengaruhi oleh berbagai hal, antara lain manajemen pemeliharaan, kesehatan ternak, dan lingkungan. Iklim merupakan salah satu faktor lingkungan yang sangat berpengaruh dalam peternakan sapi perah. Iklim dapat secara langsung mempengaruhi kondisi tubuh ternak, namun dapat juga secara tidak langsung melalui faktor lingkungan yang lain. Perubahan iklim global membuat peternakan sapi perah lebih waspada terhadap kemungkinan terjadinya kondisi iklim yang ekstrim. Unsur-unsur iklim yang digunakan untuk mendeteksi perubahan iklim antara lain adalah suhu udara, kelembapan, dan curah hujan (Williamson & Payne 1993).

Pada beberapa negara dengan periode (musim) hujan pendek, hujan secara signifikan berkorelasi dengan jumlah sapi yaitu ketika terjadi peningkatan curah hujan maka terjadi peningkatan jumlah sapi (Lunde & Lindtjørn 2013). Namun, perubahan iklim yang ekstrim pada beberapa tahun ini sangat mempengaruhi musim hujan hampir di semua wilayah Indonesia, termasuk wilayah peternakan sapi perah di Jawa Barat (Hanifah & Endarwin 2011). Keadaan tersebut dapat berdampak pada penurunan kondisi tubuh dan timbulnya berbagai penyakit pada sapi perah karena adaptasi yang kurang terhadap perubahan iklim dan curah hujan.

Penyakit reproduksi merupakan penyakit yang paling berpengaruh pada usaha peternakan sapi perah karena akan berakibat pada rendahnya efisiensi reproduksi, yang selanjutnya akan berdampak pada pertumbuhan populasi dan produksi susu. Penyakit reproduksi yang sering terjadi pada peternakan sapi perah antara lain mastitis, hipokalsemia, ketosis, abortus, endometritis, metritis, mumifikasi fetus, piometra, vulvovaginitis, dan retensio sekundinae (Blakely & Blade 1991). Kejadian penyakit reproduksi dapat disebabkan oleh berbagai faktor yaitu lingkungan, pakan, perkandangan, dan pemeliharaan kesehatan ternak (Blakely & Blade 1991). Perubahan pada iklim di lingkungan peternakan dapat mempengaruhi ternak dari aspek produksi pakan (efek langsung CO2, temperatur,

(13)

3

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menerangkan hubungan antara curah hujan dengan frekuensi kejadian penyakit reproduksi yang sering terjadi pada sapi perah di peternakan rakyat dengan mengambil kasus di wilayah Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan, Jawa Barat.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini memberikan gambaran hubungan curah hujan dengan kejadian penyakit reproduksi pada sapi perah di wilayah dengan iklim tropis. Hasilnya diharapkan dapat menjadi acuan dalam manajemen sapi perah dan mengantisipasi perubahan musim (curah hujan) melalui upaya pemeliharaan lingkungan dan ternak yang baik dan upaya penanganan penyakit reproduksi.

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Stasiun Klimatologi Dramaga, Bogor, Jawa Barat pada bulan Oktober 2012 sampai dengan Juni 2013. Wilayah kerja KPBS Pangalengan yang diamati meliputi Kecamatan Pangalengan, Kertasari, dan Pacet (Lampiran 1).

Variabel Penelitian

Curah Hujan

Data curah hujan bulanan tahun 2010-2012 untuk wilayah Pangalengan diperoleh dari BMKG Stasiun Klimatologi Dramaga, Bogor, Jawa Barat. Curah hujan dinilai dengan mengukur jumlah air yang jatuh di permukaan tanah datar selama periode tertentu dengan satuan tinggi (mm) di atas permukaan datar yang terkumpul, tidak menguap, tidak meresap, dan tidak mengalir (Slamet & Berliana 2006). Curah hujan diamati melalui stasiun pengamatan BMKG, untuk data bulanan wilayah Pangalengan berasal dari stasiun di daerah perkebunan Malabar, Pangalengan. Permulaan musim hujan dapat ditetapkan dengan melihat jumlah curah hujan dalam rentang waktu 10 hari (dasarian) yang mencapai lebih dari 50 mm kemudian diikuti oleh beberapa dasarian berikutnya (BMKG 2013).

Penyakit Reproduksi pada Sapi Perah

(14)

4

yang diuji merupakan penyakit-penyakit reproduksi yang sering terjadi di peternakan rakyat KPBS Pangalengan selama tahun 2010-2012.

Prosedur Analisis Data

Variabel penelitian yang telah terkumpul dianalisis menggunakan program SPSS 16.0 dan MS. Excel. Curah hujan dalam penelitian ini dimasukkan ke dalam variabel bebas (X) dan penyakit reproduksi merupakan variabel yang tak bebas (Y) dengan jumlah data tiap bulan selama tahun 2010-2012 (N = 36). Analisis korelasi menggunakan SPSS 16.0 diawali dengan melakukan uji normalitas ( one-sample Kolmogorov-Smirnov Tes) untuk mengetahui data terdistribusi normal atau tidak (P > 0.05). Selanjutnya dilakukan analisis korelasi (korelasi sederhana pearson) untuk melihat korelasi variabel curah hujan dengan masing-masing penyakit reproduksi selama tahun 2010-2012. Analisis korelasi menghasilkan nilai koefisien korelasi (r) dari setiap penyakit yang dikorelasikan dengan curah hujan (r hitung > r tabel, P < 0.05). Nilai koefisien korelasi (r) dapat pula dihitung menggunakan rumus (Sudjana 2005) sebagai berikut :

r =

Penyakit reproduksi yang menunjukkan korelasi yang signifikan terhadap curah hujan kemudian dilakukan analisis lanjut menggunakan analisis regresi linear yang akan menghasilkan koefisien determinan (r2) untuk melihat sejauh mana pengaruh curah hujan terhadap penyakit reproduksi setelah diketahui ada hubungan antara variabel tersebut (P < 0.05).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum KPBS Pangalengan

(15)

5

Tabel 1 Nilai Curah Hujan (mm/bulan) di Pangalengan, Jawa Barat Tahun 2010-2012a(Lokasi: Perkebunan Malabar, lintang -7.14718, bujur 107.495)

Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agust Sep Okt Nov Des Curah Hujan

Tanda (*) menandakan bulan-bulan dengan curah hujan rendah (musim kemarau)

Sumber: Data curah hujan bulanan daerah Pangalengan dari Stasiun Pengamatan BMKG 2013 total jumlah sapi perah sebanyak 16952 ekor. Jumlah ini tercatat menurun dari tahun sebelumnya dikarenakan tingginya angka pemotongan sapi perah dan tidak sebanding dengan angka kelahiran pedet.

Kegiatan KPBS Pangalengan menerapkan pola agribisnis dan agro-industri yang meliputi pra-produksi, proses produksi, pemasaran hasil produksi, dan penunjang usaha. Kegiatan pra-produksi merupakan kegiatan pelayanan dan usaha koperasi yang berhubungan dengan pihak ketiga di luar koperasi seperti penyediaan bibit sapi perah, pakan ternak, peralatan, dan obat-obatan. Proses produksi adalah proses yang melibatkan usaha anggota dan koperasi seperti manajemen koperasi dan manajemen beternak sapi perah, penyediaan hijauan, penyetoran susu, penampungan susu, transportasi, pengolahan susu, dan pelaporan sapi yang sakit, berahi, lahir, atau mutasi. Pemasaran hasil produksi dilakukan dengan melakukan pemasaran ke industri pengolahan susu (IPS) atau non-IPS. Kegiatan penunjang usaha meliputi kegiatan yang melibatkan pihak luar untuk meningkatkan pengetahuan dan kesejahteraan anggota yaitu pendidikan dan latihan, penyuluhan dan pendampingan, pelayanan dan usaha kesehatan anggota, pelayanan dan usaha kesehatan ternak, pelayanan dan usaha kebutuhan anggota, asuransi, kredit, dan pelayanan apotik.

Curah Hujan di Wilayah Kerja KPBS Pangalengan

(16)

6

Penyakit Reproduksi pada Sapi Perah di KPBS Pangalengan

Penyakit reproduksi di KPBS Pangalengan yang memiliki frekuensi tinggi selama tahun 2010-2012 adalah hipokalsemia atau milk fever 3744 kasus, retensio sekundinae sebanyak 3482 kasus, abortus sebanyak 3136 kasus, mastitis sebanyak 3019 kasus, dan endometritis sebanyak 2820 kasus (Tabel 2). Penyakit yang frekuensi kejadiannya lebih tinggi pada musim hujan dibandingkan dengan musim kemarau sebagian besar merupakan penyakit dan gangguan yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme dan kegagalan fungsi hormon. Penyakit dan gangguan reproduksi tersebut yaitu retensio secundinae, abortus, mastitis, endometritis, hipofungsi dan aplasia ovari, anestrus, mumifikasi fetus, piometra, kista ovari, corpus luteum persistent, torsio uteri, vulvovaginitis, milk let down failure, dan repeat breeding. Sedangkan penyakit dan gangguan yang memiliki kejadian lebih tinggi pada musim kemarau dibandingkan pada musim hujan umumnya diakibatkan oleh kekurangan asupan pakan dan nutrisi yaitu hipokalsemia, ketosis, distokia, kelahiran prematur, metritis, prolapsus uteri, dan ruptura uteri.

Keberhasilan reproduksi sangat menentukan keuntungan usaha peternakan sapi perah. Gangguan reproduksi menimbulkan banyak kerugian bagi peternak, antara lain menurunkan produksi susu dan kelahiran pedet, meningkatkan angka pengafkiran ternak, memperlambat perbaikan genetik, serta meningkatkan biaya penggantian ternak dan biaya inseminasi buatan (Anggraeni 2008). Gangguan Tabel 2 Jumlah kasus dan rata-rata penyakit reproduksi pada musim hujan dan musim kemarau di KPBS Pangalengan, Jawa Barat selama tahun 2010-2012

Penyakit Jumlah Kasus Rata-rata (kasus/bulan) Musim Hujan Musim Kemarau Hipokalsemia/Milk Fever 3744 103.14 ± 27.19 105.36 ± 29.37b Retensio Sekundinae 3482 111.05 ± 52.23a 74.21 ± 29.19

Abortus 3136 89.64 ± 29.16a 83.14 ± 17.67

Mastitis 3019 91.41 ± 22.46a 72.00 ± 19.21

Endometritis 2820 89.95 ± 44.97a 60.07 ± 29.88 Ketosis/Hipoglikemia 993 23.73 ± 9.85 33.64 ± 21.55b

Hypo et Aplasia Ovary 696 21.32 ± 12.13a 16.21 ± 10.45

(17)

7 reproduksi pada sapi perah disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal penyebab gangguan reproduksi antara lain kelainan anatomi organ reproduksi atau kelainan fungsi hormonal dapat mengakibatkan hipoplasia ovari, freemartin, dan atresia vulva. Sedangkan faktor eksternal dari ternak seperti infeksi mikroorganisme pada organ reproduksi dapat menyebabkan mastitis, endometritis, mumifikasi fetus, maserasi fetus, brucellosis, dan piometra; manajemen pakan yang buruk antara lain mengakibatkan hipofungsi ovari, hipoglikemia, abortus, dan milk fever; serta perkandangan yang buruk dan kecelakaan (accidental) dapat menyebabkan distokia, retensio sekundinae, ruptura uteri, dan torsio uteri (Ratnawati et al. 2007).

Kemampuan reproduksi ternak merupakan suatu proses kompleks yang dipengaruhi oleh faktor genetik, fisiologi, nutrisi, manajemen, lingkungan pemeliharaan, dan iklim (Anggraeni 2008). Curah hujan sebagai salah satu faktor lingkungan dan iklim berpengaruh besar terhadap kondisi nutrisi pakan dan stres lingkungan. Pada awal musim hujan, cuaca akan terus menerus mendung sehingga pertumbuhan hijauan berkurang, tetapi akan meningkat dengan cepat saat terkena sinar matahari. Nutrisi pada pakan hijauan akan lebih rendah dan kandungan air pada hijauan akan lebih tinggi pada musim hujan dan sebaliknya pada musim kemarau (Williamson & Payne 1993). Iklim di Indonesia membuat perlunya adaptasi lingkungan bagi ternak domestik yang berasal dari daerah dengan iklim dingin untuk menghasilkan ternak produktif yang sesuai dengan iklim tropis.

Peternakan sapi perah di KPBS Pangalengan merupakan peternakan rakyat yang hanya melakukan perawatan ternak seadanya, berbeda dengan peternakan komersil yang melakukan perawatan intensif kepada ternaknya. Kondisi kandang dan perawatan kesehatan hewan beserta iklim yang tidak menentu membuat sapi perah rentan terhadap penyakit. Tingginya kasus penyakit reproduksi di KPBS Pangalengan mengindikasikan perlunya perbaikan manajemen perawatan dan kesehatan ternak pada wilayah tersebut.

Korelasi Curah Hujan terhadap Penyakit Reproduksi

Hasil analisis korelasi antara curah hujan dengan berbagai penyakit reproduksi yang muncul di KPBS Pangalengan disajikan pada Tabel 3. Koefisien korelasi (r) menunjukkan adanya hubungan antara variabel X (curah hujan) dan Y (penyakit reproduksi). Nilai r hitung yang menunjukkan adanya korelasi yang signifikan (P < 0.05) adalah pada penyakit mastitis (r = 0.374), ketosis (r = -0.364), kelahiran prematur (r = -0.342), dan milk let down failure (r = 0.358). Koefisien korelasi (r) yang bernilai 1 atau -1 menunjukkan korelasi yang sempurna, sedangkan yang bernilai 0 menunjukkan korelasi yang nihil atau tidak ada. Nilai r yang mendekati 1 atau -1 menggambarkan korelasi yang kuat, sedangkan nilai r yang mendekati angka 0 menggambarkan korelasi yang lemah antar-variabel.

(18)

8

curah hujan dan penyakit reproduksi yang berkorelasi (mastitis, ketosis, kelahiran prematur, dan milk let down failure) dapat dilihat pada Tabel 4.

Kejadian mastitis di KPBS Pangalengan termasuk ke dalam lima penyakit reproduksi yang paling sering terjadi selama tahun 2010-2012. Koefisien korelasi penyakit mastitis dengan curah hujan (r = 0.374) menggambarkan adanya hubungan yang searah dari kedua variabel, yang berarti semakin tinggi curah hujan maka semakin tinggi kejadian penyakit mastitis (Gambar 1). Penghitungan lanjut menunjukkan bahwa kejadian mastitis di KPBS Pangalengan 14% dipengaruhi oleh curah hujan yang tinggi (Tabel 4), sedangkan 86% lainnya merupakan pengaruh dari faktor lain seperti kekurangan asupan mineral, pemerahan yang salah, kebersihan tangan pemerah, dan kebersihan kandang.

Berdasarkan rata-rata kasus bulanan, kasus mastitis pada musim hujan (91.41±22.46/bulan) lebih tinggi dibandingkan dengan kejadiannya pada musim kemarau (72.00±19.21/bulan) (Tabel 2). Hal ini menguatkan hipotesis bahwa pada musim hujan lingkungan menjadi kotor dan bakteri penyebab mastitis seperti Staphylococcus aureus dan Streptococcus agalactiae lebih mudah berkembang dan menginfeksi sapi-sapi perah di peternakan (Hameed et al. 2006). Pada musim hujan, suhu lingkungan menjadi rendah dan kelembapan meningkat, sehingga perkembangan bakteri menjadi semakin meningkat. Sedangkan ketika curah hujan Tabel 3 Korelasi curah hujan dengan penyakit reproduksi pada sapi perah di

Corpus luteum persisten 0.052 0.763

(19)

9

Tabel 4 Persentase kejadian penyakit reproduksi pada sapi perah yang dipengaruhi oleh curah hujan (r2%) di KPBS Pangalengan, Jawa Barat Tahun 2010-2012

Penyakit rc r2 r2% (%)b Pa

Mastitis 0.374 0.140 14 0.025

Ketosis/Hipoglikemia -0.364 0.133 13.3 0.029

Kelahiran prematur -0.342 0.117 11.7 0.041

Milk let down failure 0.358 0.128 12.8 0.032

a

Korelasi signifikan variabel X (curah hujan) dengan variabel Y (penyakit) (r hitung > r tabel (r tabel = 0.329, N = 36), P < 0.05), bPersentase kejadian penyakit yang dipengaruhi oleh curah hujan, cTanda (-) menandakan hubungan yang terbalik antar variabel, tidak ada tanda menandakan hubungan searah antar-variabel.

rendah, suplai air yang kurang dalam peternakan dapat mengurangi tingkat kebersihan ambing-puting sehingga dapat menyebabkan terjadinya mastitis pada musim kemarau.

Mastitis merupakan penyakit yang kompleks yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti pola dan jenis pakan, genetik sapi, periode laktasi, periode kering kandang, sanitasi lingkungan kandang, iklim, dan mikroorganisme (Anggraeni 2000). Pada curah hujan yang tinggi dengan kondisi kandang yang lembap dan temperatur yang rendah membuat mikroorganisme dapat berkembang dengan baik. Kandungan nutrisi termasuk mineral dalam pakan juga perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya mastitis. Pada musim hujan, hijauan akan mengandung lebih banyak air dibandingkan dengan nutrisi di dalamnya, sehingga nutrisi perlu ditambahkan dari sumber pakan yang lain (Blakely & Blade 1991). Sedangkan ketika curah hujan rendah, suplai air yang kurang dalam peternakan dapat mengurangi tingkat kebersihan ambing-puting sehingga dapat menyebabkan terjadinya mastitis pada musim kemarau.

Kasus ketosis yang terjadi di wilayah KPBS Pangalengan memiliki koefisien korelasi yang negatif (r = -0.364) yang berarti tingginya kejadian ketosis diakibatkan oleh rendahnya curah hujan di wilayah Pangalengan (Gambar 2). Gambar 1 Frekuensi curah hujan (a) dan mastitis (b) di KPBS Pangalengan, Jawa

(20)

10

Koefisien determinan menunjukkan bahwa 13.3% (Tabel 4) penyebab kasus ketosis di KPBS Pangalengan adalah curah hujan yang rendah, sedangkan 86.7% lainnya dipengaruhi oleh konsumsi pakan yang rendah dari ternak maupun dari gangguan metabolisme lemak dalam tubuh (Leslie et al.2003). Rata-rata bulanan kasus ketosis pada musim hujan (23.73±9.85/bulan) lebih rendah dibanding pada musim kemarau (33.64±21.55/bulan) (Tabel 2). Ketosis terjadi akibat kurangnya glukosa dalam tubuh sehingga terjadi perombakan lemak di hati untuk memenuhi kebutuhan energi ternak yang kemudian akan menyebabkan peningkatan badan-badan keton yang beredar dalam darah (Leslie et al. 2003). Peristiwa ini biasanya sering terjadi pada sapi yang bunting tua (masa kering) atau sapi-sapi yang baru melahirkan (masa awal laktasi) dengan produksi susu yang tinggi.

Ketosis yang banyak terjadi pada musim kemarau atau pada curah hujan yang rendah diduga akibat nutrisi yang kurang dari pakan. Lamy et al. (2012) menjelaskan bahwa pada musim hujan jumlah hijauan sangat banyak dan memiliki kandungan nutrisi yang baik, sedangkan pada musim kemarau hijauan memiliki nutrisi yang tidak begitu baik dengan kandungan serat yang tinggi dan rendah protein. Pada musim kemarau saat hijauan sulit didapatkan, sapi-sapi di peternakan KPBS Pangalengan sebagian besar diberi pakan dari limbah pertanian seperti sayur-sayuran dan tambahan konsentrat. Kandungan nutrisi dari limbah pertanian umumnya rendah karbohidrat (Lamy et al. 2012), sehingga dapat menjadi penyebab terjadinya ketosis yang tinggi pada musim kemarau. Rendahnya karbohidrat dalam pakan akan menyebabkan rendahnya glukosa dalam darah sehingga terjadi perombakan lemak dari jaringan adiposa untuk memenuhi kebutuhan energi ternak (Leslie et al. 2003). Kondisi ini akan menyebabkan terjadinya ketosis pada ternak. Pemberian konsentrat dan tanaman kacang-kacangan yang sesuai dengan kebutuhan ternak dapat menjadi solusi dalam mencegah terjadinya penyakit tersebut.

Kelahiran prematur merupakan proses kelahiran yang terjadi sebelum saatnya dengan kondisi pedet dalam keadaan hidup (Putro 2008). Kelahiran sebelum saatnya dapat terjadi akibat berbagai faktor antara lain genetik, jenis kelamin, umur saat kebuntingan pertama, musim, dan nutrisi pakan (Szucs et al.

(21)

11 2009). Kasus kelahiran prematur di KPBS Pangalengan dalam tiga tahun terakhir cukup tinggi yaitu rata-rata tiap tahun mencapai lebih dari 100 kasus. Berdasarkan analisis korelasi curah hujan dengan kejadian kelahiran prematur di KPBS Pangalengan juga menunjukkan koefisien korelasi yang negatif (r = -0.342). Rata-rata kasus kelahiran prematur lebih tinggi pada musim kemarau (11.43±5.64/bulan) dibanding pada musim hujan (8.45±5.47/bulan) (Tabel 2). Berdasarkan analisis koefisien determinan, sebanyak 11.7% penyebab terjadinya kelahiran prematur di KPBS Pangalengan selama tahun 2010-2012 adalah curah hujan yang rendah, sedangkan 88.3% lainnya disebabkan oleh faktor lain. Kelahiran sebelum saatnya dapat terjadi akibat berbagai faktor antara lain genetik, jenis kelamin, umur saat kebuntingan pertama, musim, dan nutrisi pakan (Szucs et al. 2009). Kelahiran prematur yang terjadi pada bulan-bulan dengan curah hujan rendah (kemarau), dapat berhubungan dengan asupan nutrisi yang tidak mencukupi kebutuhan induk dan anak selama masa kebuntingan.

Kasus milk let down failure atau kegagalan proses pengeluaran susu merupakan suatu gangguan reproduksi yang terjadi akibat rendahnya pelepasan hormon oksitosin (Bruckmaier 2005). Edward (2003) mengatakan bahwa proses pemerahan dan pengeluaran susu dari ambing sapi dipengaruhi oleh hormon oksitosin yang dilepaskan oleh kelenjar pituitari anterior ke peredaran darah terutama menuju ambing. Hormon oksitosin juga berpengaruh pada perasaan nyaman pada hewan. Rata-rata bulanan kasus milk let down failure pada musim hujan (1.86±3.31/bulan) lebih tinggi dibanding pada musim kemarau (0.43±0.76/bulan) (Tabel 2). Analisis korelasi dan regresi milk let down failure dengan curah hujan (r = 0.358) menunjukkan bahwa 12.8% (Tabel 4) penyebab kegagalan proses pengeluaran susu di KPBS Pangalengan adalah curah hujan yang tinggi, sedangkan 87.2% merupakan pengaruh dari faktor lain seperti tingginya hormon adrenalin di dalam tubuh yang dapat diakibatkan oleh cara pemerahan yang salah.

Kegagalan proses pengeluaran susu dapat terjadi akibat tingginya hormon adrenalin yang bersifat antagonis terhadap hormon oksitosin (FAO 2013). Selain itu, adrenalin yang beredar dalam tubuh dapat menyebabkan vasokonstriksi buluh

(22)

12

darah yang dapat menghambat produksi susu dari ambing (FAO 2013). Hormon adrenalin dapat muncul ketika hewan merasa dalam bahaya atau dalam kondisi tidak nyaman seperti stres karena hujan, petir, kandang yang basah, atau pemerahan yang salah. Curah hujan yang tinggi dapat menjadi kondisi lingkungan yang nyaman bagi ternak subtropis berhubungan dengan nilai temperatur yang rendah dan kelembapan yang tinggi pada musim hujan. Namun, hal ini ternyata bertolak belakang dengan kenyataan di peternakan. Keadaan ini dapat diakibatkan adaptasi hewan yang tidak baik terhadap curah hujan yang terlalu tinggi atau berubah-ubah. Kondisi ini perlu diperhatikan karena kegagalan dalam pengeluaran susu dapat meningkatkan resiko infeksi pada ambing dan bisa menjadi predisposisi kejadian mastitis (Bruckmaier 2005).

Penyakit yang memiliki jumlah rata-rata tinggi pada musim hujan atau musim kemarau tidak semuanya berkorelasi dengan curah hujan. Penyakit yang tinggi jumlahnya pada musim hujan namun tidak berkorelasi yaitu retensio secundinae, abortus, endometritis, hypo et aplasia ovary, anestrus, mumifikasi fetus, piometra, kista ovari, corpus luteum persistent, torsio uteri, vulvovaginitis, dan repeat breeding, sedangkan penyakit yang tinggi jumlahnya pada musim kemarau namun tidak berkorelasi yaitu hipokalsemia, distokia, metritis, prolapsus uteri, dan ruptura uteri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa curah hujan bukan merupakan faktor utama yang berpengaruh terhadap kejadian penyakit-penyakit tersebut. Kasus penyakit reproduksi yang jumlah kejadiannya tinggi namun tidak berkorelasi dengan curah hujan perlu diperhatikan, karena penyebabnya mungkin dikarenakan oleh faktor lain seperti tidak tertanganinya kasus penyakit, terlambatnya pelaporan kejadian penyakit, keterampilan peternak dalam perawatan sapi, maupun ketersediaan dokter hewan dan paramedis. Prihatini (2011) dalam penelitiannya menyatakan bahwa sebanyak 0.72% retensio sekundinae dan 3.92% endometritis dipengaruhi oleh curah hujan di wilayah kerja Koperasi Peternakan Sapi Bandung Utara (KPSBU) Lembang. Hal ini menjelaskan bahwa terdapat kondisi yang berbeda antara kejadian di KPBS Pangalengan dan KPSBU Lembang yang dapat diakibatkan oleh faktor-faktor lain seperti yang telah disebutkan dan faktor curah hujan yang berbeda di tiap daerah.

(23)

13 Beberapa kejadian penyakit reproduksi dapat terjadi pada periode curah hujan yang rendah atau tinggi tergantung pada kondisi metabolik hewan. Kondisi keseimbangan metabolik dalam tubuh hewan perlu dijaga untuk mempertahankan imunitas tubuh terhadap perubahan lingkungan dan agen penyakit. Hal tersebut dapat diusahakan dengan melakukan perbaikan pada manajemen pakan dan konstruksi bangunan kandang yang menyesuaikan lingkungan nyaman dari ternak (Yani & Purwanto 2006). Kondisi lingkungan yang nyaman dan pakan yang baik membuat hewan lebih baik dalam reproduksi dan produktivitasnya. Selain itu, pelayanan kesehatan hewan yang baik juga merupakan suatu usaha yang menunjang perbaikan kesehatan ternak (Lamy et al. 2012). Kondisi lingkungan di Pangalengan, Jawa Barat sudah cukup baik untuk kawasan pengembangan sapi perah. Namun, perlu diperhatikan manajemen dan perawatan sapi perah agar sapi perah di daerah Pangalengan dapat lebih baik dalam adaptasi lingkungan, reproduksi, dan produktivitasnya.

Pemecahan analisis dan pola hubungan antara kondisi lingkungan dengan respon fisiologis ternak menggunakan analisis regresi memiliki kelemahan, yaitu belum mampu memberikan umpan balik atau prediksi untuk masa yang akan datang. Pada penelitian Suherman et al. (2013) digunakan artificial neural network (ANN) yang merupakan unit pemrosesan yang dimodelkan berdasarkan jaringan saraf manusia dengan sistem yang adaptif untuk memecahkan masalah dari informasi internal maupun eksternal yang mengalir melalui jaringan. Sistem ANN memiliki kemampuan memberikan informasi atau keputusan bahkan terhadap data yang belum pernah dipelajari sehingga sangat membantu dalam mengetahui respon hewan terhadap suatu kondisi tertentu. Kemajuan teknologi dalam ilmu peternakan dan kedokteran hewan seperti ini akan sangat membantu dalam mendukung perbaikan manajemen dan kesehatan ternak di Indonesia.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Penyakit-penyakit reproduksi yang tinggi kejadiannya selama tahun 2010-2012 di KPBS Pangalengan adalah hipokalsemia, retensio sekundinae, abortus, mastitis, dan endometritis. Berdasarkan analisis statistik diketahui curah hujan mempengaruhi kejadian penyakit mastitis (14%), ketosis (13.3%), kelahiran prematur (11.7%), dan milk let down failure (12.8%) di KPBS Pangalengan selama tahun 2010-2012, sedangkan penyakit reproduksi lainnya tidak dipengaruhi oleh curah hujan.

Saran

(24)

14

dipengaruhi oleh curah hujan juga perlu diperhatikan untuk melihat faktor lain yang mengakibatkan tingginya kejadian penyakit-penyakit tersebut. Perlunya dilakukan penelitian lebih mendalam dengan metode lain untuk mengetahui prediksi iklim terhadap kejadian penyakit reproduksi pada masa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

Anggraeni A. 2000. Keragaman Produksi Susu Sapi Perah: Kajian pada Faktor Koreksi Pengaruh Lingkungan Internal. Wartazoa. 9(2): 41-49.

Anggraeni A. 2008. Indeks Reproduksi sebagai Faktor Penentu Efisiensi Reproduksi Sapi Perah: Fokus Kajian pada Sapi Perah Bos taurus. Di dalam: Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas 2020; 2008 April 21; Jakarta, Indonesia. Jakarta (ID): Puslitbang Peternakan. hlm 61-74.

Blakely J, Blade DH. 1991. Ilmu Peternakan. Srigandono B, penerjemah; Sudarsono, editor. Yogyakarta(ID): UGM. Terjemahan dari: The Science of Animal Husbandry. Ed ke-4.

[Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2000. Budidaya Ternak Sapi Perah [Internet]. Jakarta (ID): BPP Teknologi. Hlm 1-10; [diunduh 2013 Mei 25]. Tersedia pada: http://www.warintek. ristek.go.id/ peternakan/ budidaya/ sapi_perah.pdf.

[BMKG] Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2013. Curah Hujan, Temperatur, dan Kelembapan di Wilayah Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung Jawa Barat. Bogor (ID): BMKG Stasiun Klimatologi Dramaga.

Bruckmaier RM. 2005. Normal and Disturbed Milk Ejection in Dairy Cows. J Dom Anim End. 68:369–76. doi:10.1016/j.domaniend.2005.02.023

[Ditjennak] Direktorat Jenderal Peternakan. 2012. Total Produksi Susu di Indonesia menurut Provinsi. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Peternakan. Edward P. 2003. Understanding The Mammary System. J Dairy Cattle. 3:81- 83. [FAO] Food and Agriculture Organization. 2013. Diseases of Calving Cow. Italia

(IT): FAO.

Hameed KGA, Sender G, Korwin-Kossakowska A. 2006. Public Health Hazard due to Mastitis in Dairy Cows. Anim Sci Papers Report.25(2): 73-85.

Hanifah A, Endarwin. 2011. Analisis Intensitas Curah Hujan Wilayah Bandung pada Awal 2010. J Met Geo. 12(2): 145-149.

Hardjosworo PS, Levine JM. 1987. Pengembangan Peternakan di Indonesia. Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia.

Lamy E, Harten SV, Baptista ES, Manuela M, Guerra M, Almeida AM. 2012.Factors Influencing Livestock Productivity. Di dalam: Sejian V, Naqvi SMK, Ezeji T, Lakritz J, Lal R, editor. Environmental Stress and Amelioratioin Livestock Production. Belgia (BE): Springer-Verlag. doi: 10.1007/978-3-642-29205-7_2.

(25)

15 Lunde TM, Lindtjørn B. 2013. Cattle and Climate in Africa: How Climate Variability has Influenced National Cattle Holdings from 1961–2008. PeerJ.1(55):1-18. doi: 10.7717/peerj.55.

Prihatini R. 2011. Hubungan Retensio Sekundinae dan Endometritis dengan Efisiensi Reproduksi pada Sapi Perah: Studi Kasus di Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU) Lembang, Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Purwanto D. 2012 September 9. Konsumsi Susu di Indonesia Terendah se-Asia. Kompas.

Putro P. 2008. Dampak Crossbreeding terhadap Reproduksi ternak Induk Turunannya: Hasil Studi Klinis. Lokakarya Lustrum VIII Peternakan UGM, Yogyakarta 8 Agustus 2009. Yogyakarta (ID): UGM.

Ratnawati D, Pratiwi WC, Affandhy S. 2007. Petunjuk Teknis Penanganan Gangguan Reproduksi pada Sapi Potong. Grati Pasuruan (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.

R¨otter R, van de Geijn SC. 1999. Climate Change Effects on Plant Growth, Crop Yield and Livestock. Clim Change. 43:651–681. doi: 10.1023/A: 1005541132734.

Seo S,Mendelsohn R. 2006. The Impact of Climate Change on Livestock Management in Africa: a Structural Ricardian Analysis. CEEPA Discussion Paper. 23:1–48.

Slamet LS, Berliana SS. 2006. Analisis Statistik Intensitas Curah Hujan di Indonesia untuk Evaluasi Perubahan Iklim. Di dalam: Tarsilowati L, Susanti I, Aditya E, editor. Seminar Nasional Perubahan Iklim dan Lingkungan di Indonesia; 2006 Nov 9; Bandung, Indonesia. Bandung (ID): LAPAN. hlm 129-140.

Subarna D. 2006. Telekoneksi antara Hujan Monsun di India dan Curah Hujan di Indonesia dari data TRMM. Di dalam: Tarsilowati L, Susanti I, Aditya E, editor. Seminar Nasional Perubahan Iklim dan Lingkungan di Indonesia; 2006 Nov 9; Bandung, Indonesia. Bandung (ID): LAPAN.

Sudjana. 2005. Metoda Statistika. Bandung (ID): Tarsito.

Sudono A, Rosdiana RF, SetiawanBS. 2003. Beternak Sapi Perah Secara Intensif. Jakarta (ID): Agromedia Pustaka.

Suherman D, Purwanto BP, Manalu W, Permana IG. 2013. Artificial Neural Networks simulation to define critical temperature ofFries Holland based on physiological responses. JITV. 18(1): 70-80.

Szucs E, Gulyas L, Cziszter LT, Demirkan I. 2009. Stillbirth in Dairy Cattle: Review. Zoo Biot. 42 (2): 622-636.

Wiliamson G, Payne WJA. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Ed ke-3. Darmadja SGND, penerjemah. Yogyakarta (ID): UGM Press. Terjemahan dari: An Introduction to Animal Husbandry in The Tropics Third Edition.

(26)

16

Lampiran 1 Peta wilayah kerja KPBS Pangalengan, Jawa Barat

(27)

17 Lampiran 2 Rekapitulasi jumlah kasus penyakit reproduksi di KPBS Pangalengan tahun

(28)

18

Lampiran 2 (Lanjutan) Rekapitulasi jumlah kasus penyakit reproduksi di KPBS Pangalengan tahun 2010-2012

No Penyakit Tahun/Bulan Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agst Sep Okt Nop Des TOTAL

Torsio Uteri

2010 4 1 2 3 3 1 3 1 2 1 0 2

17 2011 5 3 2 4 1 1 5 1 4 2 0 1

2012 0 1 4 0 0 0 2 0 0 1 7 5 72

Vulvovaginitis

2010 6 2 11 2 5 1 4 0 0 2 2 3

18 2011 4 3 2 2 0 2 0 0 0 0 1 0

2012 0 2 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 56

Milk let down failure

2010 4 4 2 4 0 0 0 3 1 3 15 3

19 2011 0 0 0 0 0 0 1 0 2 1 1 1

2012 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 47

Repeat Breeder

2010 0 5 0 0 0 0 0 2 3 2 1 0

20 2011 0 0 4 1 0 1 2 3 1 0 0 2

2012 0 2 2 0 1 0 0 0 0 0 0 0 32

Ruptura uteri

2010 0 1 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0

21 2011 0 0 1 0 0 0 1 1 0 0 0 0

2012 0 0 0 0 3 1 0 0 0 0 0 0 10

(29)

19

RIWAYAT HIDUP

Penulis yang bernama lengkap Risnia Buatama, merupakan anak kedua dari lima bersaudara dari pasangan Cakir, SSos dan Gustiana, SPd. Penulis dilahirkan di Bone, Sulawesi Selatan pada tanggal 2 Februari 1991. Penulis menyelesaikan pendidikan menengah di SMA Negeri 9 Kendari pada tahun 2009 dan pada tahun yang sama diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan mayor Kedokteran Hewan melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) tertulis.

Gambar

Tabel  2  Jumlah kasus dan rata-rata penyakit reproduksi pada musim hujan dan
Tabel 3 Korelasi curah hujan dengan penyakit reproduksi pada sapi perah di
Gambar 2 Frekuensi curah hujan (a) dan ketosis (b) di KPBS
Gambar 3 Frekuensi curah hujan (a) dan kelahiran prematur (b) di
+2

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil perhitungan di atas, didapatkan bahwa nilai periode getar arah sumbu Y semua struktur, melebihi batas yang ditctapkan, yakiu sebesar 80% - 120% dari. asumsi periode

Pada blok produksi faktor dominan yang mempengaruhi produksi gabah kering giling adalah luas panen padi sawah.Pada blokalokasi waktu kerja, faktor-faktor

Jual beli follower Twitter sama halnya dengan jual beli yang ada dalam dunia maya lainnya, yaitu jual beli yang terdapat penjual, pembeli, barang yang dijual,

Lambung kapal adalah untuk menyediakan daya apung ( bouyancy ) yang mencegah kapal tenggelam dan menyediakan displacement. Bentuk lambung kapal juga akan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan mengenai nilai estetis kesenian Sintren Retno Asih Budoyo di Desa Sidareja Kecamatan Sidareja Kabupaten Cilacap, dapat

Untuk melakukan pengenalan terhadap pola tanda tangan, input gambar scan tanda tangan akan dilakukan proses pengambangan (thresholding), untuk menghasilkan gambar biner (hitam

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan angket kemampuan penalaran siswa dan angket soal untuk hasil belajar matematika siswa setelah

[r]