• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aplikasi Microwave Untuk Disinfestasi Tribolium Castaneum (Herbst.) Serta Pengaruhnya Terhadap Warna Dan Karakteristik Amilografi Tepung Terigu.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Aplikasi Microwave Untuk Disinfestasi Tribolium Castaneum (Herbst.) Serta Pengaruhnya Terhadap Warna Dan Karakteristik Amilografi Tepung Terigu."

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

APLIKASI

MICROWAVE

UNTUK DISINFESTASI

Tribolium castaneum

(Herbst.) SERTA PENGARUHNYA TERHADAP WARNA DAN

KARAKTERISTIK AMILOGRAFI TEPUNG TERIGU

NUR PRATIWI RASYID

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Aplikasi Microwave untuk Disinfestasi Tribolium castaneum (Herbst.) serta Pengaruhnya terhadap Warna dan Karakteristik Amilografi Tepung Terigu adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

NUR PRATIWI RASYID. Aplikasi microwave untuk Disinfestasi Tribolium castaneum (Herbst.) serta Pengaruhnya terhadap Warna dan Karakteristik Amilografi Tepung Terigu. Dibimbing oleh EDY HARTULISTIYOSO dan DEDI FARDIAZ.

Kerusakan tepung terigu salah satunya dapat disebabkan oleh adanya serangan Tribolium castaneum selama masa penyimpanan. Keberadaan T. castaneum menyebabkan terjadinya perubahan fisik dan kimiawi tepung. Kerusakan fisik berupa terjadinya perubaan warna tepung, sedangkan kerusakan kimiawi seperti ketengikan disebabkan oleh adanya aktifitas enzim lipase dan benzokuinon yang berasal dari hasil sekresi T. castaneum. Aplikasi microwave telah dipelajari untuk disinfestasi T. castaneum (Herbst.) dan pengaruhnya terhadap karakteristik warna dan amilografi tepung terigu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya jumlah energi dan berat sampel yang tepat, untuk disinfestasi T. castaneum serta mengetahui perubahan warna dan amilografi tepung terigu setelah perlakuan microwave.

(5)

SUMMARY

NUR PRATIWI RASYID. Microwave Application for the Disinfestation of Tribolium castaneum (Herbst.) and its Effect to Color and Characteristics Amilographic of Wheat Flour. Supervised by EDY HARTULISTIYOSO and DEDI FARDIAZ.

Wheat flour damage can be caused by the presence of Tribolium castaneum during storage. The existence of T. castaneum in the flour cause physical and chemical changes. The physical damage in the wheat flour such as a changing color of flour, whereas the chemical damage such as rancidity that caused by the activity of the enzyme lipase and benzokuinon derived from the secretion of T. castaneum. The application of microwave was studied for the disinsfestation of T. castenum (Herbst.) and its effect to color characteristics and amilographic of wheat flour. This study aims to determine the amount of energy and appropriate mass of samples for the disinfestation of T. castaneum using microwave and to know its effect to discoloration and amilographic of treated wheat flour.

The study was conducted by using unfumigated flour in the milling stage. The contamination of the flour was artificially made by giving cultured T. castaneum that consists of 10 males and 10 females into 50 g as well as 100 g of flour. The study showed that the mortality rate of microwave untreated samples after 42 days storage time was 0% both for 50 g and 100 g samples. The moisture showed decreasing, while color brightness level, and peak viscosity were increasing. All samples those were treated by 23.76 kJ, 24.00 kJ, 31.68 kJ and 36.00 kJ of microwave energy indicated 100% mortality of T. castaneum, the decrease the color brightness, the amilographic peak, and moisture after H+42 storage time both

on the mass of 50 g and 100 g.

(6)

©

Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Teknologi Pasca Panen

APLIKASI MICROWAVE UNTUK DISINFESTASI Tribolium castaneum

(Herbst.) SERTA PENGARUHNYA TERHADAP WARNA DAN KARAKTERISTIK AMILOGRAFI TEPUNG TERIGU

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(8)
(9)

Judul Tesis : Aplikasi microwave untuk Disinfestasi Tribolium castaneum (Herbst.) serta Pengaruhnya terhadap Warna dan Karakteristik Amilografi Tepung Terigu

Nama : Nur Pratiwi Rasyid NIM : F152120181

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Edy Hartulistiyoso, MSc Ketua

Prof Dr Ir Dedi Fardiaz, MSc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Teknologi Pascapanen

Prof Dr Ir Sutrisno, MAgr

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wata’ala atas segala karunia-Nya sehingga Tesis yang berjudul “Aplikasi Microwave untuk Disinfestasi Tribolium castaneum (Herbst.) serta Pengaruhnya terhadap Warna dan Karakteristik Amilografi Tepung Terigu”.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Edy Hartulistiyoso selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Prof Dr Ir Dedi Fardiaz selaku anggota komisi pembimbing atas waktu dan kesempatan yang telah diluangkan dalam memberikan bimbingan, ilmu, arahan, motivasi, dan masukan selama penulis mengikuti pendidikan, penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian, pembuatan artikel jurnal hingga penyusunan tesis. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof Dr Ir Sutrisno, MAgr selaku penguji luar komisi pembimbing atas saran dan masukannya demi kesempurnaan Tesis ini.

Terima kasih kepada keluarga terutama orangtua penulis Bapak ABD. Rasyid Sire dan Sitti Habiba, kedua kakak penulis MUH. Harsyid, MUH. Iqbal dan adik penulis MUH. Ridwan atas doa, bantuan, dan dukungannya hingga penulis berhasil menyelesaikan tesis ini. Serta ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Dahrul Syah dan Prof Dr Ir Nahrowi yang telah membantu penulis dalam pengurusan akademik dan beasiswa serta dukungan dan motivasinya pada saat penulis pindah Program Studi, Ibu wiwied dari SEAMEO-BIOTROP atas saran, bantuan, dan masukannya selama penelitian saya. Serta Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada para staf di TPP Ibu rus, Pak mul, serta teknisi Pak sul, Pak taufik, Kepada rekan-rekan Puri, tuti, laras, diana, mia, wulan, rina, lita, danang, mas novan, kamil, wahyu, waqif, sari, uci, wendi, irna, kania, eky, ucul, nurul, lista, akram serta teman-teman IPN dan TPP lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Terima kasih atas bantuan, masukan, dukungan dan kerjasama selama melakukan penelitian ini, serta kepada semua pihak yang turut mendukung penyelesaian tesis ini.

Akhir kata penulis berharap semoga penelitian dan tesis ini dapat bermanfaat bagi pembaca serta mampu memberikan sumbangan yang berarti bagi ilmu pengetahuan.

Bogor, Agustus 2015

(11)

DAFTAR ISI

Aplikasi Microwave pada Disinfestasi Serangga T. castaneum (Herbst.) 10

(12)

DAFTAR TABEL

1 Syarat mutu tepung terigu sebagai bahan makanan SNI 3751:2009 3

2 Pengaruh perlakuan energi microwave terhadap mortalitas T. castaneum setelah penyimpanan 42 hari 17

3 Pengaruh perlakuan energi microwave terhadap warna tepung terigu setelah penyimpanan 42 hari 18

DAFTAR GAMBAR

1 Bentuk granula terigu (BALITSEREAL 2014) 4

2 Siklus metamorfosis Tribolium castaneum (Herbst.) 5

3 Ukuran skala telur, larva, pupa dan serangga dewasa Tribolium sp. (Sokoloff 1974) 5

4 Diagram warna chromameter L*, a*, b* 8

5 Kurva kekentalan (BU) hasil pengukuran brabender (Techawipharat 2007) 8

6 Tahapan penelitian 15

7 Kurva amilografi tepung terigu dengan perlakuan microwave pada berat sampel 50 gr setelah penyimpanan 42 hari 19

8 Kurva amilografi tepung terigu dengan perlakuan microwave pada berat sampel 100 gr setelah penyimpanan 42 hari 20

14 Kadar karbohidrat pada berbagai tingkatan energi dan berat sampel 27

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil uji ANOVA dan Duncan terhadap Suhu Tepung Terigu 33

(13)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia adalah pengimpor gandum terbesar kedua dunia setelah Mesir dengan jumlah rata-rata volume impor diatas 5 juta MT pertahun. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), volume impor gandum pada 2013 mencapai 6.37 juta MT dan meningkat menjadi 7.43 juta MT pada tahun 2014 (APTINDO 2014).

Tepung terigu menurun kualitasnya jika tidak disimpan dengan tepat. Kerusakan karena serangan Tribolium castaneum selama penyimpanan menyebabkan terjadinya perubahan fisik dan kimiawi tepung. Kerusakan fisik berupa terjadinya perubahan warna tepung, sedangkan kerusakan kimiawi karena aktifitas enzim lipase dan benzokuinon yang berasal dari hasil sekresi T. castaneum. Benzokuinon berwarna kuning cerah, jingga atau merah dan berbau tajam sehingga tepung berbau apek dan tengik. Benzokuinon mudah larut dalam pelarut organik dan memiliki efek karsinogenik yang dapat memicu terjadinya kanker (Lis et al. 2011). Peningkatan jumlah T. castaneum selama penyimpanan akan meningkatkan senyawa benzokuinon yang berasal dari sekresi T. castaneum (Prendeville & Stevens 2002).

Selama ini pengendalian hama gudang dilakukan dengan menggunakan bahan kimiawi fosfin. Berdasarkan ketentuan Codex Alimentarius, batas residu inorganik fosfin yang diperbolehkan pada biji-bijian yang belum diolah adalah 0.1 mg/kg dan 0.01 mg/kg pada biji-bijian yang telah diolah (BARANTAN 2013). Diperkirakan penggunaan bahan kimia fosfin untuk disinfestasi pada biji-bijian yang diolah bisa mencapai 743 kg/tahun.

Fosfin tidak ramah lingkungan, sehingga harus dicari alternatif lain seperti aplikasi energi microwave. Perlakuan pra-penyimpanan dengan microwave diharapkan mampu memperpanjang masa simpan dari tepung terigu. Prinsip pemanasan microwave yaitu menggunakan gelombang radio untuk memanaskan material dielektrik. Material dielektrik yang dimaksud adalah air, lemak dan gula (Das et al. 2013). Menurut Copson (1975), frekuensi microwave yang diizinkan penggunaannya oleh Industrial Science and Medical Frequence (ISM) berkisar antara 900 MHz dan 2450 MHz, yang merupakan batas frekuensi yang aman bagi manusia. Penelitian Vadivambal et al. (2007) menyebutkan bahwa pengendalian T. castaneum dengan menggunakan microwave pada tingkatan daya 400 watt dengan pemaparan microwave 56 detik mampu mencapai mortalitas 100%. Nurbianto (2008) menemukan mortalitas T. castaneum 100% dan kemunculan keturunan T. castaneum 0 % dengan pemaparan microwave 120 detik pada energi 57.6 kJ. Radiasi microwave tidak hanya dapat mempengaruhi sistem reproduksi serangga, tetapi juga dapat membunuhnya.

(14)

2

(2002) bahwa besarnya jumlah penyerapan energi dengan pemanasan microwave menyebabkan terjadinya kerusakan makromolekul pati dan inaktivasi α-amilase. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya jumlah energi microwave untuk disinfestasi T. castaneum dan perubahan warna dan sifat amilografi tepung terigu sebagai akibat dari aplikasi microwave tersebut.

Perumusan Masalah

Pengendalian serangga hama gudang pada umumnya masih dilakukan dengan cara konvensional baik secara fisik, mekanik, kimiawi, maupun hayati. Sesuai dengan ketentuan Codex Alimentarius, batas residu untuk inorganik Fosfin yang diperbolehkan pada biji-bijian yang belum diolah adalah 0.1 mg/kg dan 0.01 mg/kg pada biji-bijian yang telah diolah. Sehingga pada penelitian ini diharapkan penggunaan aplikasi microwave mampu mengendalikan dan membasmi T. castaneum tanpa membahayakan kesehatan dan lingkungan tanpa mengubah sifat dan karakteristik dari tepung terigu.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menganalisis besarnya jumlah energi microwave yang tepat untuk disinfestasi Tribolium castaneum.

2. Menganalisis perubahan warna dan karakteristik amilografi tepung terigu setelah aplikasi microwave.

Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah:

1. Besarnya jumlah energi yang tepat dapat mengendalikan T. castaneum.

2. Dengan jumlah energi yang tepat tidak mempengaruhi warna dan karakteristik amilografi tepung terigu.

Manfaat Penelitian

(15)

3

2

TINJAUAN PUSTAKA

Tepung Terigu

Gandum (Triticum spp.) adalah salah satu makanan yang kaya akan karbohidrat. Tepung yang dihasilkan dari biji gandum berasal dari jaringan endosperm. Tepung terigu mengandung banyak zat pati, yaitu karbohidrat kompleks yang tidak larut dalam air. Endosperm merupakan bagian yang terbesar dari biji gandum (80-83%) yang banyak mengandung protein, pati, dan air.Selama proses penggilingan endosperm biasanya dipisahkan bagian lembaga dan kulit untuk mendapatkan tepung putih, yang merupakan bahan baku yang paling cocok untuk pembuatan roti (Paola et al.2011).

Di Indonesia terdapat beberapa jenis tepung terigu yang dibedakan berdasarkan kadar proteinnya yaitu tepung keras dengan kadar protein 12-13 %, medium dengan kadar protein 9.5-10 % dan yang mengandung 7.5-8 % protein adalah tepung lunak.Persyaratan mutu terigu menurut SNI 3751:2009 yaitu harus bebas dari serangga, sisa-sisa serangga seperti telur, larva dan pupa. Persyaratan mutu tepung terigu menurut standar SNI tahun 2009 dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Syarat mutu tepung terigu sebagai bahan makanan SNI 3751:2009

Jenis uji Satuan Persyaratan

Keadaan:

Vitamin B2 (riboflavin) mg/kg min. 4

(16)

4

Jenis dan kuantitas protein gluten penting dalam menentukan pembuatan roti (Dupont & Altenbach 2003; Gomez et al. 2011). Gluten pada biji gandum terletak pada bagian endosperm. Gluten terdiri atas glutenin dan gliadin. Gluten kompleks terdiri dari gliadin monomer, yang bertanggung jawab dalam viskositas adonan dan extensibility dan polimer glutenin yang bertanggung jawab untuk kekuatan dan elastisitas adonan (Gujral & Rosell 2004; Khatkar 2006; Wieser et al. 2006).

Granula pati gandum cenderung berkelompok dengan berbagai ukuran. Ukuran normalnya adalah 18 µm, granula yang lebih besar berukuran rata-rata 24 µm dan granula yang lebih kecil berukuran 7-8 µm, secara umum berkisar 2-35 µm. Bentuk granula pati gandum adalah bulat (lonjong) cenderung berbentuk ellips. Rasio kadar amilosa dan amilopektinnya adalah 1:3. Dengan kadar amilosa sebesar 25% dan kadar amilopektin sebesar 75%. Bentuk granula yang kecil dan kompak memungkinkan terigu untuk tetap elastis saat diolah atau dibentuk menjadi adonan (BALITSEREAL 2014). Adapun bentuk granula pati pada tepung terigu dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Bentuk granula terigu (BALITSEREAL 2014)

Morfologi Serangga T. castaneum (Herbst)

Serangga T. castaneum (Herbst.) merupakan jenis seranggga dari ordo Coleoptera famili Tenebrionidae. Telur T. castaneum relatif kecil, memanjang berbentuk oval dengan ukuran 0.6 x 0.4 mm dan berwarna keputihan. Permukaan telur biasanya diliputi oleh zat yang lengket sehingga akan mudah dilekati oleh bubuk dan mudah menempel pada sisi karung atau tempat bahan makanan yang disimpan. Selama masa perkembangannya larva akan mengalami pergantian kulit antara 6 – 11 kali. Menjelang masa kepompong, larva ini akan muncul di permukaan material tetapi setelah imago (dewasa) akan kembali (masuk) ke dalam material. Siklus hidupnya adalah sekitar 3542 hari. Pupa Tribolium castaneum berwarna putih agak kekuningan dengan ukuran ± 3.5 mm (Eden 1967). Siklus hidup metamorfosis sempurna ordo Coleoptera dan morfologi larva, pupa dan imago serangga T. castaneum disajikan pada Gambar 2 dan 3.

(17)

5 yang disimpan dalam gudang dengan kondisi optimum temperatur 33 oC dan RH 70% (Kalshoven 1981).

Gambar 2 Siklus metamorfosis T. castaneum (Herbst.)

Perbedaan morfologi pupa Tribolium castaneum pada jenis kelamin jantan ditandai dengan bentuk urogomphi (sepasang tonjolan pada ujung abdomen) yang lebih besar dan pada jenis kelamin betina terdapat papillae (sepasang tonjolan yang berada diatas urogomphi) diatas bagian urogomphi pada ujung abdomen (USDA 2006).

Gambar 3 Ukuran skala telur, larva, pupa dan serangga dewasa Tribolium sp. (Sokoloff 1974)

Perkembangan Serangga T. castaneum sp.

(18)

6

Kerusakan yang Ditimbulkan Serangga Tribolium sp.

Serangan serangga dapat menimbulkan kerusakan baik secara langsung maupun tidak langsung. Kerusakan langsung dapat terjadi akibat serangga yang mengkonsumsi bahan yang disimpan, dan juga karena adanya kontaminasi serangga dewasa, pupa, larva, telur dan kulit serangga. Kerusakan tidak langsung dapat berupa kenaikan suhu akibat metabolisme serangga yang disebut hotspot, yaitu area sekitar serangga yang terinfeksi dalam jumlah yang sangat besar dimana suhunya dapat mencapai 42.2°C. Jika terjadi kenaikan kadar air dapat menyebabkan bahan akan menjadi lembab dan lengket, timbul storage fungi, dan bau apek. Tetapi apabila kadar air bahan rendah karena terjadinya proses perpindahan uap air, menyebabkan mikroba lain juga dapat tumbuh, sehingga menyebabkan berkurangnya nilai estetis dari produk (Cotton & Wilbur 1974).

Hama serangga mampu mempercepat proses perubahan kimiawi berbahaya. Hasil sekresi enzim lipase oleh serangga mampu meningkatkan proses kerusakan secara kimiawi. T. castaneum mampu bertahan pada bahan pangan dengan kadar air rendah sehingga dapat menimbulkan kerusakan pada pakan, serealia yang berkadar air rendah, masih utuh dan beras dari serpihan. Serangga ini merupakan hama yang paling banyak ditemukan di gudang penyimpanan biji-bijian serealia, khususnya pada produk olahan seperti tepung dan beras giling. Bahan pangan yang terserang berat biasanya tercemar oleh benzokuinon (sekresi T. castaneum) sehingga tidak layak untuk dikonsumsi (Sunjaya & Widayanti 2006).

Microwave

Gelombang mikro (microwave) adalah suatu bentuk gelombang elektromagnet sebagaimana cahaya dan bergerak di udara setara dengan kecepatan cahaya (c = 2.9979 x 108 m/s). Dalam spektrum frekuensi, microwave terletak antara 300 MHz dan 300 GHz atau antara gelombang radio dan inframerah. Karena letak spektrum frekuensinya yang mendekati gelombang radio, maka agar tidak mengganggu frekuensi gelombang lainnya, hanya frekuensi tertentu yang diizinkan oleh Industrial Science and Medical Frequences (ISM). Frekuensi gelombang mikro tertentu yang diizinkan oleh Industrial Science and Medical Frequence (ISM) berkisar antara 900 MHz dan 2450 MHz ±50 MHz, yang merupakan batas frekuensi yang aman bagi manusia (Copson 1975).

Hasil konvensi internasional menyatakan bahwa oven gelombang mikro (aplikasi pada industri, keilmiahan dan medis) beroperasi pada frekuensi tertentu yaitu 2.45 GHz dimana pada frekuensi ini medan listrik menggerakkan molekul air 109 kali setiap detik, sehingga menciptakan panas yang hebat yang dapat meningkat 10 0C per detik. Air menjadi komponen utama dari bahan biologis, isinya langsung mempengaruhi pemanasan (Meda et al. 2005).

(19)

7 Pemanasan dengan microwave dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti volume, luas permukaan, dan sifat dielektrik bahan yang merupakan hal penting dalam menentukan besarnya dan keseragaman penyerapan daya. Besarnya volume dan luas permukaan bahan pangan lebih berpegaruh terhadap besarnya penyerapan energi gelombang mikro, sedangkan keseragaman penyerapan energi gelombang mikro terkait dengan geometri makanan dan sifat dielektrik bahan pangan itu sendiri (Zhang & Datta 2001).

Bahan pangan memiliki komposisi dan distribusi komponen yang berbeda, sehingga pola pemanasan yang dihasilkan juga berbeda pada saat bahan pangan dipanaskan dengan microwave. Semakin besar kehilangan energi dalam bentuk panas pada saat berpenetrasi, maka makin besar loss factor, maka panas yang dihasilkan makin besar dan makin kecil daya penetrasinya. Makin kecil loss factor maka makin besar daya penetrasinya (Muchtadi & Ayustaningwarno 2010). Kedalaman penetrasi microwave dapat diketahui dari loss factor dan frekuensinya, dengan menggunakan persamaan:

E = kekuatan medan listrik (V m-1) ɛ” = loss factor

Warna

(20)

8

Gambar 4 Diagram warna chromameter L*, a*, b*

Menurut Wheat Marketing Center Inc. (2004) menyatakan bahwa warna tepung yang khas adalah memiliki warna L* = + 92.5, a* = -2.4 dan b* = +6.9. Warna L* tepung sangat terkait dengan pericarp, fluoresensi aleuron dan juga berhubungan dengan ukuran partikel. Peningkatan warna L*, disebabkan oleh terjadinya kenaikan ukuran granulometri sehingga menyebabkan penurunan luminositas (L*) (Symons & Dexter 1991; Hidalgo et al. 2014).

Karakteristik Amilografi

Analisis viskometri dapat digunakan untuk membedakan sifat fungsional pati dari varietas yang berbeda atau lingkungan pertumbuhan yang berbeda (Copeland et al. 2009). Menurut Lewicka et al. (2015) pengolahan dengan microwave mampu mengubah sifat fisikokimia pati terutama, menurunkan viskositas. Perubahan ini mempengaruhi mekanisme gelasi dan sifat reologi dari pati.

Sifat amilografi berhubungan dengan pengukuran viskositas tepung dengan konsentrasi tertentu selama pemanasan dan pengadukan. Terdapat beberapa parameter yang diamati pada sifat amilografi yang meliputi suhu awal gelatinisasi, suhu puncak gelatinisasi, viskositas maksimum, breakdown viscosity dan setback viscosity (Gambar 5).

(21)

9 Menurut Sira (2000), karakteristik sifat fungsional yang penting dapat dilihat melalui profil gelatinisasinya. Profil tersebut didefinisikan dengan fenomena sebagai berikut. (1) Gelatinisasi berarti pemecahan ikatan intermolekuler dengan meningkatnya suhu, dan sisi yang mengikat hidrogen menyerap air lebih banyak sehingga meningkatkan kekacauan struktur, menurunkan daerah kristalisasi dan kehilangan birefringence. Pati dengan kadar amilosa tinggi sulit tergelatinisasi dan dapat membentuk film atau serat dengan kelarutan yang lebih tinggi dan pengembangan pada kondisi alkali. Strukturnya yang berupa rantai heliks dapat memerangkap asam lemak dan menghambat pengembangan granula. (2) Pembentukan adonan merupakan fenomena yang mengikuti proses gelatinisasi pada pati yang dilarutkan. Hal ini termasuk pengembangan granula, keluarnya komponen-komponen molekuler dari granula dan pada akhirya terjadilah kekacauan total pada granula. (3) Retrogradasi berhubungan dengan jumlah percabangan. Ikatan hidrogen antara gugus hidroksil pada amilosa dalam pati tergelatinisasi selama pendinginan menghasilkan retrogradasi. Pati dengan amilopektin tinggi akan teretrogradasi saat dibekukan.

(22)

10

3

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Agustus 2014 hingga April 2015 di Laboratorium Entomologi SEAMEO BIOTROP Bogor, Laboratorium Taksonomi Program Studi Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian, Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian, Laboratorium Kimia PAU dan SEAFAST Center IPB.

Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tepung terigu tanpa diberi perlakuan fumigasi setelah proses penggilingan. Tepung terigu yang digunakan diperoleh dari PT. SRIBOGA Raturaya Flour Mill, Semarang dan serangga hama gudang T. castaneum berumur 17 hari diperoleh dari laboratorium Entomologi SEAMEO BIOTROP, Bogor. Bahan kimia yang digunakan yaitu K2SO4 (Merck,

Germany), HgO (Merck, Germany), H2SO4 (Merck, Germany), H3BO4 (Merck,

Germany), NaOH-Na2S2O3 (Merck, Germany) dan HCl 0,02 N (Merck, Germany).

Alat

Peralatan yang digunakan adalah mikroskop stereo Olympus tipe SZM-45B1, oven microwave electrolux tipe EMS2007X, timbangan digital AND tipe EK 1200 A berkapasitas 1200 g x 0.1 g, oven pengering (IKEDA RIKA tipe SS204 D), hybrid recorder, kjedhal, chromameter Konica Minolta CR400 dan Rapid Visco Analyzer (RVA) (TecMaster), termokopel tipe T, Silica gel, desikator, kuas, wadah plastik, cawan seng, cawan porselen, kertas saring, erlenmeyer, labu ukur, canister dan paddle RVA.

Metode Penelitian

Aplikasi Microwave pada Disinfestasi Serangga T. castaneum (Herbst.)

Sampel dirancang dengan menghitung ketebalan dan densitasnya berdasarkan asumsi daya tembus energi yang dihasilkan oleh microwave. Sampel tepung terigu selanjutnya diberi biakan T. castaneum.

Persiapan Sampel

Sampel tepung terigu tanpa diberi perlakuan fumigasi yang telah siap diberi biakan T. castaneum. Kemudian, sampel tepung terigu di beri perlakuan aplikasi microwave dan tanpa perlakuan aplikasi microwave sebagai kontrol.

Persiapan Pembiakan Serangga

(23)

11 kemudian disimpan pada suhu 28 °C. Serangga uji yang digunakan ialah serangga dewasa umur 7-14 hari berukuran 3-4 mm, dan berwarna merah sampai coklat tua.

Mortalitas T. castaneum

T. castaneum dalam setiap perlakuan digunakan sebanyak 20 ekor dengan kombinasi 10 jantan dan 10 betina. Penentuan jenis kelamin T. castaneum dilakukan pada tahap pupa. Perbedaan morfologi pupa T. castaneum jantan ditandai dengan bentuk urogomphi (sepasang tonjolan pada ujung abdomen) yang lebih besar sedangkan pada jenis kelamin betina terdapat papillae (sepasang tonjolan yang berada diatas urogomphi) di atas bagian urogomphi pada ujung abdomen (USDA 2006).

Pengamatan terhadap T. castaneum dilakukan baik sebelum maupun setelah masa penyimpanan yang disimpan pada suhu ruang selama 42 hari. Serangga dewasa yang hidup pada sampel tepung terigu baik yang diberi maupun yang tidak diberi aplikasi microwave dihitung jumlahnya. Persentase kematian (mortalitas) dilakukan dengan cara menghitung jumlah T. castaneum yang mati pada setiap tingkatan energi yang diberikan. Untuk memastikan serangga sudah mati, serangga dibiarkan beberapa menit sampai tidak bergerak sama sekali.

Disinfestasi T. castaneum dengan Microwave

Disinfestasi T. castaneum dilakukan dengan menggunakan microwave pada energi 23.76 kJ, 24.00 kJ, 31.68 kJ dan 36.00 kJ terhadap masing-masing perlakuan dilakukan tiga kali pengulangan. Pengaturan energi dengan mengatur tombol daya microwave dan waktu paparan untuk menghasilkan energi yang telah ditentukan. Energi yang digunakan dapat dihitung dengan mengalikan daya dan waktu yang digunakan menggunakan persamaan:

W = P x t...(3) Keterangan:

W = Energi yang digunakan (kJ) P = Daya yang digunakan (Watt) t = Waktu yang digunakan (detik)

Suhu

(24)

12

Pengamatan T. castaneum

Pengamatan T. castaneum dilakukan baik sebelum maupun setelah masa penyimpanan yang disimpan pada suhu ruang selama 42 hari dengan menghitung jumlah serangga dewasa yang hidup pada sampel tepung terigu baik yang telah diberi maupun yang tidak diberi aplikasi microwave.

Karakteristik Warna dan Amilografi Tepung Terigu

Analisis yang dilakukan meliputi analisis warna, amilografi dan proksimat. Analisis proksimat yang dilakukan mencakup analisis kadar air, abu, protein, lemak dan karbohidrat (by difference). Selanjutnya data analisis proksimat yang diperoleh akan diolah dalam bentuk dry basis.

Analisis Warna

Analisis warna dilakukan dengan menggunakan Chromameter Minolta (Gaurav 2003). Uji warna dilakukan dengan sistem warna Hunter L*, a*, b*. Chromameter terlebih dahulu dikalibrasi dengan lempeng standar putih dengan Y = 93.2, x = 0.314, y = 0.3204. Sampel yang dianalisis adalah tepung terigu. Hasil analisis derajat putih yang dihasilkan berupa nilai L*, a*, b*. Pengukuran total derajat warna digunakan basis warna putih sebagai strandar (L1, a1, b1).

Analisis Amilografi Tepung (AACC 2009)

Karakteristik amilografi tepung terigu ditetapkan menggunakan Rapid Visco Analyser dengan metode AACC 61-02.01. Secara berturut-turut 25 ml air destilata dan 3 g sampel (kadar air disesuaikan 14 %) dimasukkan ke dalam RVA canister. Kemudian canister dimasukkan ke dalam alat dan dilakukan pengadukan sampel dengan air pada kecepatan 960 rpm selama 10 detik. Pada tahap pengukuran awal, campuran diaduk dengan kecepatan 160 rpm dan suhu dipertahankan pada 50 oC selama 1 menit. Suhu kemudian dinaikkan dari 50 oC ke 95 oC dalam 3.5 menit dan

dipertahankan pada kondisi tersebut selama 2.5 menit. Suhu diturunkan kembali ke 50 oC dalam 3.5 menit dan kemudian dipertahankan selama 5 menit. Parameter-parameter yang diukur meliputi peak viscosity (PV, viskositas tertinggi selama pemanasan), trough (T, viskositas paling rendah), breakdown (BD = PV – T), final viscosity (FV, viskositas pada akhir pemanasan), dan setback (SB = FV – PV). Semua nilai dinyatakan dalam cP dan setiap sampel diukur sebanyak 2 kali.

Analisis Kadar Air (BSN 2006)

(25)

13 itu, cawan berisi sampel dikeringkan kembali dalam oven selama 15-30 menit, lalu ditimbang kembali. Pengeringan diulangi hingga diperoleh bobot konstan (selisih bobot ≤ 0.005 gram). Penentuan kadar air dilakukan sebanyak 2 (dua) kali, hasil penentuan tersebut kemudian dirata-ratakan. Kadar air diukur dengan cara sebagai berikut:

Kadar air (%) = − −

� � %...(4)

Keterangan:

W = Bobot sampel awal (g)

X = Bobot sampel dan cawan setelah dikeringkan (g) A = Bobot cawan kosong (g)

Kadar Abu (AOAC 2006)

Cawan porselen dikeringkan dalam tanur bersuhu 400-600 °C, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 3-5 g sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan porselen. Selanjutnya sampel dipijarkan di atas nyala pembakar bunsen sampai tidak berasap lagi, kemudian dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 400-600 °C selama 4-6 jam atau sampai terbentuk abu berwarna putih. Sampel kemudian didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Kadar abu dihitung dengan rumus:

Kadar Protein Metode Mikro Kjeldahl (AOAC 2006)

Sampel sebanyak ± 100 mg ditimbang (A) dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 30 ml. Ditambahkan 1.9 ± 0.1 g K2SO4, 40 ± 10 mg HgO, dan 3.8 ± 0.1

ml H2SO4. Ditambahkan batu didih pada labu lalu sampel dididihkan selama 1-1.5

jam sampai cairan menjadi jernih. Labu beserta sampel dididihkan dengan air dingin. Dipindahkan isi labu dan air bekas pembilasnya ke dalam alat destilasi. Labu erlenmeyer 125 ml diisi dengan 5 ml larutan H3BO4 dan ditambahkan dengan

4 tetes indikator, kemudian diletakkan di bawah kondensor dengan ujung kondensor terendam baik dalam larutan H3BO4. Larutan NaOH-Na2S2O3 sebanyak 8-10 ml

ditambahkan ke dalam alat destilasi dan dilakukan destilasi sampai didapat destilatnya ± 15 ml dalam erlenmeyer. Destilat dalam erlenmeyer tersebut kemudian dititrasi dengan larutan HCl 0.02 N hingga terjadi perubahan warna hijau menjadi biru. Dilakukan perhitungan jumlah nitrogen setelah sebelumnya diperoleh jumlah volume (ml) blanko.Kadar protein dihitung dengan rumus:

Jumlah N (%) = �� − � � ��� � 4 �

� ...(6)

(26)

14

Kadar Lemak (AOAC 2006)

Labu lemak disediakan sesuai dengan ukuran alat ekstraksi soxhlet yang digunakan. Labu dikeringkan dalam oven dengan suhu 105-110oC selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam desikator lalu ditimbang (A). Ditimbang sebanyak ± 5 g sampel (B) dalam kertas saring, kemudian ditutup dengan kapas bebas lemak. Kertas saring beserta isinya dimasukkan ke dalam ekstraksi soxhlet dan dipasang pada alat kondensor. Pelarut heksan dituangkan ke dalam labu soxhlet secukupnya. Dilakukan refluks selama 5 jam sampai pelarut yang turun kembali menjadi bening. Pelarut yang tersisa dalam labu lemak didestilasi dan kemudian labu dipanaskan dalam oven pada suhu 105 oC. Setelah dikeringkan sampai berat tetap dan didinginkan dalam desikator kemudian labu beserta lemak ditimbang (C) dan dilakukan perhitungan kadar lemak. Kadar lemak dihitung dengan rumus:

Kadar L�mak % = − x 100%...(5)

Karbohidrat by difference (SNI 01-2891-1992)

Karbohidrat dihitung berdasarkan metode by difference dengan rumus perhitungan:

Variabel dalam penelitian adalah tingkatan energi microwave (kJ) dan berat sampel. Pengumpulan data diulang tiga kali pada sampel yang berbeda. Wadah tepung yang digunakan memiliki luasan permukaan 120 mm dan tinggi 70 mm. Rancangan percobaaan yang digunakan adalah RAL (Rancangan Acak Lengkap) faktorial dengan 3 ulangan. Adapun rancangan percobaan yang digunakan terdiri atas 2 faktor perlakuan meliputi :

1. Berat sampel yang terdiri atas 2 taraf yaitu 50 dan 100 g

2. Besarnya energi microwave yang terdiri atas 4 taraf yaitu 23.76 kJ, 24.00 kJ, 31.68 kJ dan 36.00 kJ

(27)

15

Gambar 6 Tahapan penelitian

Berat sampel 50 gram dan 100 gram + infestasi 20 serangga tanpa gelombang mikro

Penyimpanan pada suhu ruang selama 42 hari

Berat sampel 100 + infestasi 20 serangga + gelombang mikro Berat sampel 50 gram + infestasi

20 serangga + gelombang mikro

Energi microwave :

23.76 kJ 24.00 kJ 31.68 kJ 36.00 kJ

Pengamatan Pertumbuhan Populasi

Serangga Tribolium castenum

Parameter pengamatan tepung terigu: Analisis Amilografi

Analisis Warna Analisis Proksimat

Analisis Data

Tepung terigu

(28)

16

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Hasil penelitian pendahuluan yang diperoleh menunjukkan bahwa pada energi 7.92 kJ, 12.00 kJ, 15.84 kJ, 18.00 kJ baik pada berat sampel 50 g dan 100 g tidak memberikan pengaruh terhadap mortalitas T. castaneum. Selain itu, pada energi 48.00 kJ, 54.00 kJ, dan 72.00 kJ selain memberikan pengaruh yang signifikan terhadap mortalitas T. castaneum juga menyebabkan terjadinya kerusakan pada tepung terigu berupa perubahan warna tepung terigu menjadi kuning kecoklatan.

Sehingga pada penelitian ini diperoleh energi dan berat sampel yang tepat untuk disinfestasi T. castaneum. Adapun energi yang digunakan terdiri dari 2 taraf yaitu 23.76 kJ, 24.00 kJ, 31.68 kJ dan 36.00 kJ.

Pembahasan

Mortalitas T. castaneum

Persyaratan mutu terigu menurut SNI 3751:2009 yaitu tepung terigu harus bebas dari serangga, maupun sisa-sisa serangga baik berupa telur, larva dan pupa. Pengendalian T. castaneum mutlak dilakukan karena selain dapat merusak sifat fisik tepung terigu juga dapat merusak sifat kimiawi tepung. Kerusakan kimiawi dapat berupa terjadinya perubahan struktur kimia komponen penyusun mutu tepung akibat hasil sekresi T. castaneum yang menghasilkan enzim lipase dan enzim benzokuinon dimana dalam jumlah berlebih akan menyebabkan masalah pada kesehatan Lis et al. (2011).

Tabel 2 menunjukkan bahwa sampel yang diberi biakan T. castaneum tanpa perlakuan microwave (H+42), pada berat sampel 100 g memperlihatkan peningkatan

(29)

17 Tabel 2 Pengaruh perlakuan energi microwave terhadap mortalitas T. castaneum

setelah penyimpanan 42 hari

Perlakuan Energi (KJ) Kontrol Ho Mortalitas H+42 (ekor) Persentase

mortalitas (%)

Mati Hidup Mati Hidup

Kontrol tanpa tribolium dan

microwave H0 nyata pada taraf uji 5% menurut uji Duncan

Tabel 2 juga menunjukkan tercapainya mortalitas T. castaneum 100 % pada setiap perlakuan microwave dengan berbagai tingkatan energi. Hal ini dapat dilihat dari hasil uji anova dimana energi berpengaruh signifikan terhadap mortalitas T. castaneum pada taraf uji 5%. Uji lanjut Duncan juga menunjukkan bahwa perlakuan kontrol Ho dan kontrol H+42 hari tanpa perlakuan microwave berbeda

nyata pada setiap tingkatan energi dan berat sampel. Tercapainya mortalitas T. castaneum 100 % ini disebabkan oleh perubahan struktur komponen penyususn tubuh tribolium castaneum akibat perlakuan microwave yang menyebabkan ikatan protein penyusun tubuh T. castaneum tidak berfungsi dengan baik. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Lu et al. (2010) yang menyatakan bahwa paparan microwave menyebabkan komposisi asam amino dari T. castaneum berubah, sehingga DNA serangga juga menjadi rusak. Hasil penelitian yang dilakukan oleh (Nelson 1996; Gasemzadeh et al. 2010) juga menyebutkan bahwa perlakuan microwave memiliki efek merusak komponen penyusun tubuh serangga yang menyebabkan pengurangan tingkat reproduksi, kehilangan berat badan dan malformasi.

Warna

(30)

18

pengaruh T. castaneum terhadap perubahan warna tepung terigu dapat dilihat pada tabel 3.

Keberadaan T. castaneum dalam tepung dapat menyebabkan terjadinya perubahan warna selama penyimpanan. Hasil pengamatan warna terhadap tepung terigu kontrol Ho tanpa penyimpanan dan tanpa T. castaneum menunjukkan warna

sebagai berikut: L* = 95.72, a* = -0.48, dan b* = 9.23. Kecerahan warna tepung ini (L* = 95.72) lebih tinggi daripada kecerahan tepung terigu pada umumnya. Menurut Wheat Marketing Center Inc. (2004) menyatakan bahwa warna tepung yang khas adalah memiliki nilai L* = + 92.5, a* = -2.4 dan b* = +6.9.

Tabel 3 Pengaruh perlakuan energi microwave terhadap warna tepung terigu setelah penyimpanan 42 hari

Perlakuan Energi (kJ) Penyimpanan H+42

L* a* b*

Tabel 3 menunjukkan bahwa sampel kontrol H+42 yang telah diberi biakan T.

castaneum tanpa perlakuan microwave, pada berat sampel 50 g memiliki kecerahan warna L* = 92.71 sedangkan pada sampel 100 g yaitu L* = 92.32. Tingkat kecerahan tepung yang semakin berkurang dipengaruhi oleh banyaknya jumlah cemaran populasi T. castaneum baik berupa sisa hasil sekresi yang mengandung senyawa benzokuinon maupun adanya sisa pergantian kulit dan sisa potongan-potongan tubuh T. castaneum yang terlepas. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Eden (1967) bahwa tepung yang telah diserang Tribolium sp. memiliki warna yang kotor akibat adanya pergantian kulit dari T. castaneum pada fase larva. Larva akan mengalami pergantian kulit sebanyak 6-11 kali, tidak jarang pula pergantian kulit ini hanya terjadi sebanyak 6-7 kali, menjelang terbentuknya pupa, larva akan muncul di permukaan material, tetapi setelah menjadi imago akan kembali masuk ke dalam material.

(31)

19 Hidalgo et al. (2014) yang membandingkan 4 sampel tepung dari einkorn, kamut dan gandum durum dengan menggunakan alat Chromameter Minolta CR-210 dan Chromameter Minolta II Reflectan. Untuk semua sampel terjadi peningkatan warna L*, hal ini disebabkan oleh terjadinya kenaikan ukuran granulometri sehingga menyebabkan penurunan luminositas (L*).

Hasil pengamatan warna a* pada sampel tepung kontrol Ho menunjukkan

warna hijau kromatisitas. Setelah penyimpanan 42 hari, sampel yang diberi perlakuan microwave maupun tanpa perlakuan microwave (kontrol H+42)

mengalami perubahan warna dari hijau ke merah baik pada berat sampel 50 g maupun 100 g dengan warna a* berkisar 0.13 hingga 0.80. Pada sampel kontrol Ho

dan sampel yang diberi perlakuan microwave warna b* berkisar 9.27 hingga 9.76. Namun, pada sampel kontrol H+42 terjadi perubahan warna b* menjadi 8.14 yang

dapat dilihat pada Tabel 2. Menurut Symon dan Dexter (1991) peningkatan warna a* dan b* ini berhubungan dengan besarnya jumlah kadar air pada tepung yang dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban relatif lingkungan tempat penyimpanan. Selain itu, menurut Hidalgo et al. (2014) bahwa warna a* berkorelasi terhadap kandungan protein pada tepung terigu dan b* berkorelasi positif terhadap kadar abu. Perubahan warna a* setelah perlakuan microwave disebabkan oleh adanya reaksi antara gula pereduksi dengan gugus amin bebas dari asam amino atau protein sehingga pada saat perlakuan microwave terjadi reaksi maillard.

Karakteristik Amilografi Tepung Terigu

Analisis viskometri dapat digunakan untuk membedakan sifat fungsional pati dari varietas yang berbeda atau lingkungan pertumbuhan yang berbeda (Copeland et al. 2009). Menurut Lewicka et al. (2015) pengolahan dengan microwave mampu mengubah sifat fisikokimia pati terutama, menurunkan viskositas. Perubahan ini mempengaruhi mekanisme gelasi dan sifat reologi dari pati. Selain itu juga menyebabkan perubahan dalam struktur butir dan bentuk molekul kristal pati. Perubahan sifat fisikokimia pati dalam tepung terigu pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 7 dan 8.

(32)

20

Gambar 8 Kurva amilografi tepung terigu dengan perlakuan microwave pada berat sampel 100 gr setelah penyimpanan 42 hari

Pada awalnya tepung terigu kontrol Ho memiliki viskositas puncak (peak

viscosity) tertinggi yaitu 2543 cP. Terigu kontrol yang diberi biakan T. castaneum tetapi tanpa perlakuan microwave, setelah penyimpanan 42 hari (H+42) mempunyai

viskositas puncak lebih rendah yaitu 2033cP dan 2155 cP masing-masing pada berat sampel 50 g dan 100 g. Penurunan viskositas puncak juga terjadi pada perlakuan microwave. Besarnya energi yang diberikan mempengaruhi viskositas puncak tepung baik pada sampel 50 g maupun 100 g. Penurunan viskositas puncak setelah perlakuan microwave yaitu sebesar 2496 cP hingga 2174 cP. Hal ini disebabkan oleh rusaknya struktur gluten akibat perlakuan pemanasan dengan microwave. Kerusakan struktur protein, gluten dan lemak setelah perlakuan microwave mempengaruhi sifat rheologi tepung. Menurut Goesaert et al. (2005) sifat-sifat gluten tergantung pada pengikatan komponen lipid dari tepung. Hal ini juga sejalan dengan penelitian Mohamed et al. (2004) yang menyebutkan bahwa kerusakan panas dapat menyebabkan protein menjadi tidak larut dengan cara agegasi.

Suhu Tepung Terigu

(33)

21

Gambar 9 Suhu tepung terigu pada tingkat energi dan berat sampel yang berbeda. (Histogram dengan bentuk yang sama dan diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf uji 5%).

Gambar 9 menunjukkan terjadinya kenaikan suhu tepung terigu pada setiap tingkatan energi yang diberikan. Peningkatan suhu ini terjadi baik pada perlakuan tepung pada berat sampel 50 g maupun 100 g. Besarnya jumlah molekul dielektrik yang dikandung oleh bahan akan mempengaruhi peningkatan suhu. Kenaikan suhu terjadi akibat adanya molekul dielektrik yang akan berosilasi dengan frekuensi yang sesuai. Kenaikan suhu tepung terigu terjadi akibat pemanasan dielektrik yang melalui dua mekanisme yaitu konduksi ionik dan rotasi dipolar.

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan energi, berat sampel dan interaksi antara energi dan berat sampel berpengaruh signifikan pada taraf uji 5% terhadap suhu permukaan tepung terigu. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan tanpa microwave dan T. castaneum (kontrol Ho)dan perlakuan

pemberian biakan T. castaneum tanpa microwave setelah penyimpanan (kontrol H+42) tidak berbeda nyata baik pada berat sampel 50 g maupun 100 g. Akan tetapi

berbeda nyata pada setiap tingkatan perlakuan energi dan berat sampel. Pada gambar 5 terlihat bahwa berat sampel 100 g dengan perlakuan energi 23.76 kJ dan 24.00 kJ berbeda nyata dengan energi 31.68 kJ dan 36.00 kJ pada taraf uji 5%. Sedangkan pada berat sampel 50 g menunjukkan bahwa energi 23.76 kJ dan 24.00 kJ berbeda nyata pada perlakuan energi 31.68 kJ dan 36.00 kJ. Pemanasan microwave memanfaatkan material dielektrik pada bahan yang berupa air, lemak, dan gula. Material dielektrik ini selanjutnya akan menyerap energi kemudian melepaskan panas (Hartulistiyoso E. 2012). Hal ini juga sesuai dengan yang dikemukakan oleh Resurreccion et al. (2015) bahwa frekuensi yang sesuai dan besarnya energi gelombang mikro dapat memproduksi laju pemanasan yang lebih tinggi sehingga meningkatkan suhu akhir dari makanan.

0 0

H0 H +42 23.76 24.00 31.68 36.00

(34)

22

Kadar Air TepungTerigu

Kadar air merupakan salah satu parameter utama dalam standar mutu tepung terigu. Persyaratan kadar air (% b/b) tepung terigu menurut SNI 3751:2009 yaitu maksimal 14.5%. Penyimpanan tepung terigu dengan kadar air yang tinggi dapat menyebabkan tumbuhnya cendawan, mikroba, dan terjadinya serangan T. castaneum terutama apabila suhu lingkungan dan kelembaban (RH) tempat penyimpanan sesuai dengan suhu optimum pertumbuhannya. Pemanasan dengan microwave mempunyai efek menurunkan jumlah kadar air secara signifikan dalam waktu yang singkat. Penurunan kadar air pada berbagai tingkatan energi dan berat sampel dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10 Kadar air tepung terigu pada berbagai tingkatan energi dan berat sampel. (Histogram dengan bentuk yang sama dan diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf uji 5%).

Terjadinya peningkatan kadar air pada perlakuan kontrol H+42 dipengaruhi

oleh suhu dan kelembaban relatif (RH) lingkungan. Gambar 10 menunjukkan adanya kecenderungan penurunan kadar air setelah diberi perlakuan microwave. Semakin tinggi energi yang diberikan maka kehilangan kadar air juga semakin besar. Sampel kontrol Ho yang tanpa diberi perlakuan microwave dan T. castaneum

memiliki kadar air sebesar 12.62%. Sedangkan sampel H+42 yang telah diberi

biakan T. castaneum baik pada berat sampel 100 g maupun 50 g tanpa perlakuan microwave, menunjukkan terjadinya peningkatan jumlah kadar air jika dibandingkan dengan hari kontrol yaitu 15.59% dan 13.79%. Hal ini juga dilaporkan pada penelitian Okky et al. (2014) bahwa Kadar air beras yang disimpan selama 1, 2, dan 3 bulan tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata dengan sebelum penyimpanan. Kadar air beras pada awal penyimpanan yaitu sekitar 13%, sedangkan setelah penyimpanan kadar air beras meningkat sekitar 14%. Peningkatan kadar air ini dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti suhu dan kelembaban relatif tempat penyimpanan. Menurut Cotton dan Wilbur (1974) adanya aktifitas respirasi dari T. castaneum yang mengeluarkan panas, CO2 dan uap

air juga dapat menyebabkan suhu dan temperatur dibawah tumpukan tepung

(35)

23 meningkat (area hotspot) sehingga timbul uap air akibat proses metabolisme T. castaneum yang terinfeksi dalam jumlah yang sangat besar. Uap air kemudian akan berkondensasi pada permukaan bahan sehingga kadar air meningkat.

Hasil anova menunjukkan bahwa perlakuan energi, berat sampel dan interaksi antara energi dan berat sampel berpengaruh nyata pada taraf uji 5%. Penurunan kadar air tertinggi terjadi pada perlakuan energi 36.00 kJ baik pada berat sampel 50 g maupun 100 g dengan kadar air 10.08 % dan 10.75 %. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi energi yang diberikan maka kehilangan kadar air juga semakin besar. Penggunaan microwave sangat efektif menurunkan kadar air dalam waktu yang singkat. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Resurreccion et al. (2015) bahwa frekuensi microwave yang berkisar antara 900 MHz ke 920 MHz tidak mempengaruhi pola pemanasan dalam makanan. Tapi tingginya frekuensi yang sesuai dengan besarnya energi microwave dapat memproduksi laju pemanasan yang lebih tinggi sehingga meningkatkan suhu akhir dari makanan. Peningkatan suhu mengakibatkan terjadinya kehilangan air karena energi microwave menyerap air sehingga mengurangi jumlah energi yang dapat diserap oleh makanan.

Penurunan kadar air ini dipengaruhi oleh adanya aktifitas medan listrik, medan elektromagnetik, besarnya energi, volume sampel dan luas permukaan. Aktifitas medan listrik dan medan elektromagnetik menggerakkan molekul air dengan cepat sehingga menciptakan panas. Semakin tinggi energi yang diserap maka semakin tinggi kenaikan suhu pada permukaan tepung. Peningkatan suhu pada bahan menyebabkan tekanan uap air semakin meningkat sehingga mengakibatkan hilangnya sebagian air yang ada pada tepung (Zhang & Datta 2011).

Kadar Protein

Standar mutu tepung terigu menurut SNI 3751:2009 menyebutkan bahwa kandungan protein minimal yaitu 7.0. Tepung terigu termasuk dalam kategori protein sederhana yang mengandung gluten. Protein pada tepung terigu terdiri atas dua jenis yaitu Gluten dan pati. Gluten memiliki sifat tidak larut air sedangkan pati bersifat larut air. Gluten memiliki sifat khas dalam pembentukan struktur dan elastisitas adonan karena gluten mengandung dua komponen protein yang terdiri atas gliadin dan glutenin. Gliadin terkait dengan respon kekentalan sedangkan glutenin bertanggung jawab dalam elastisitas adonan (Goesaert et al. 2005). Selain itu, protein gandum juga mengandung sejumlah asam amino diantaranya lysin, triptofan, thereonine dan metionin (Ashraf et al. 2012). Pengaruh microwave terhadap protein dapat dilihat pada gambar 11.

Gambar 11 menunjukkan terjadinya penurunan protein pada setiap perlakuan jika dibandingkan dengan kontrol Ho. Kandungan protein pada sampel kontrol Ho

yaitu 12.58%. Setelah masa penyimpanan kontrol H+42 tanpa perlakuan microwave

dengan berat sampel 50 g maupun 100 g menunjukkan penurunan yang signifikan dibandingkan dengan kontrol Ho yaitu 10.61 % dan 10.01%. Penurunan mutu

(36)

24

Gambar 11 Kadar protein pada berbagai tingkatan energi dan berat sampel. (Histogram dengan bentuk yang sama dan diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut Uji Duncan pada taraf uji 5%).

Hasil anova menunjukkan bahwa perlakuan energi, berat sampel dan interaksi energi dan berat sampel berpengaruh signifikan pada taraf uji 5% terhadap kandungan protein. Penurunan kandungan protein pada sampel yang diberi perlakuan microwave dengan berbagai tingkatan energi disebabkan terjadinya proses koagulasi dan denaturasi baik pada tepung maupun pada struktur protein yang menyusun tubuh T. castaneum. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa berat sampel 50 g pada setiap tingkatan energi tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%. Sedangkan pada berat sampel 100 g dengan perlakuan energi 24.00 kJ dan 36.00 kJ tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% terhadap kadar protein. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh El-Naggar dan Mikhaiel (2011) dimana pemanasan dengan microwave pada berbagai tingkatan suhu menyebabkan perubahan unsur protein kasar sehingga mempengaruhi sifat tepung. Sedangkan menurut Ashraf et al. (2012), perlakuan microwave secara signifikan menyebabkan terjadinya proses denaturasi protein akibat peningkatan permukaan protein yang bersifat hidrofobik karena terbukanya struktur heliks sekunder, dan adanya interaksi antara asam amino hidrofobik membentuk ikatan disulfida.

Kadar Lemak

Lemak biasa dikenal dengan nama trigliserida merupakan senyawa yang pada umumnya terkandung dalam makanan. Gliserida akan mengalami hidrolisis bila dipanaskan pada suhu tinggi.

(37)

25

Gambar 12 Kadar lemak pada berbagai tingkatan energi dan berat sampel. (Histogram dengan bentuk yang sama dan diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut Uji Duncan pada taraf uji 5%).

Hasil pengamatan tepung terigu pada sampel kontrol Ho tanpa diberi

perlakuan microwave dan T. castaneum menunjukkan nilai kadar lemak sebesar 1.71%. Peningkatan lemak tertinggi terjadi pada sampel kontrol H+42 yang telah

diberi biakan T. castaneum tanpa perlakuan microwave baik dengan berat sampel 100 g maupun 50 g sebesar 1.90% dan 1.82%. Peningkatan kadar lemak pada sampel Kontrol H+42 ini dapat mempersingkat masa penyimpanan. Menurut

Doblado-Maldonado (2012) bahwa terjadinya degradasi lipid menyebabkan hilangnya fungsi tepung selama masa penyimpanan tepung terigu. Hal ini disebabkan oleh tingginya kadar air pada tepung selama masa penyimpanan dan dengan adanya aktivitas enzim lipase sehingga terjadi proses oksidasi lemak yang menyebabkan timbulnya bau tengik. Hasil penelitian Soucek et al. (2000) menunjukkan bahwa hydroquinone dan benzokuinon yang berasal dari hasil sekresi T. castaneum merangsang pembentukan radikal bebas OH dalam mikrosom dan menghambat peroksidasi lipid.

Penurunan kandungan lemak tepung terigu terjadi pada sampel yang diberi perlakuan microwave. Penurunan kadar lemak tertinggi terjadi pada sampel tepung dengan berat 100 gr dan 50 gr yang diberi energi 36.00 kJ yaitu 1.31% dan 1.09%. Terjadinya penurunan lemak pada sampel yang diberi perlakuan microwave disebabkan oleh non aktifnya enzim lipase dan terjadinya hidrolisis lemak oleh panas sehingga struktur lemak menjadi rusak. Hasil uji anova menunjukkan energi, berat sampel dan interaksi energi dan berat sampel berpengaruh signifikan pada taraf uji 5% terhadap kadar lemak. Uji lanjut Duncan pada perlakuan berat sampel 50 g dengan energi 31.68 kJ dan 36.00 kJ tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%. Hal ini sesuai dengan pendapat Meera et al. (2011) bahwa perlakuan pemanasan dapat menghambat pembentukan asam lemak bebas (FFA) akibat aktivitas enzim lipase sehingga dapat memperpanjang masa simpan.

(38)

26

Kadar abu

Kadar abu yaitu zat organik yang tidak menguap, dan merupakan sisa dari proses pembakaran atau hasil oksidasi. Abu merupakan residu anorganik yang dihasilkan dengan cara mengabukan komponen-komponen organik dalam bahan pangan. Kadar abu digunakan sebagai parameter kualitas tepung dimana semakin tinggi kadar abu maka semakin buruk kualitas tepung.

Gambar 13 Kadar abu pada berbagai tingkatan energi dan berat sampel. (Histogram dengan bentuk yang sama dan diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut Uji Duncan pada taraf uji 5%).

Menurut SNI 3751:2009 mengenai standar mutu tepung terigu mensyaratkan standar mutu kadar abu maksimal 7.0. Hasil pengamatan yang dapat dilihat pada Gambar 13 menunjukkan bahwa baik pada perlakuan kontrol H+42

maupun yang diberi perlakuan dengan berbagai tingkatan energi terjadi peningkatan kadar abu. Besarnya jumlah kadar abu dipengaruhi oleh adanya sisa potongan-potongan tubuh T. castaneum yang terlepas pada saat perlakuan microwave dan juga adanya debu yang dihasilkan oleh T. castaneum itu sendiri. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Lis et al. (2011) yang menyatakan bahwa T. castaneum menghasilkan sejumlah besar debu.

Hasil anova menunjukkan bahwa perlakuan energi, berat sampel dan interaksi antara energi dan berat sampel berpengaruh signifikan pada taraf uji 5%. Sedangkan pada uji lanjut Duncan menunjukkan dimana pada perlakuan berat sampel 50 g dengan energi 23.76 kJ dan 24.00 kJ tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%. Tidak adanya perbedaan perlakuan pada berat sampel 50 g tersebut disebabkan oleh jumlah perbedaan energi yang diberikan tidak terlalu besar sehingga dihasilkan jumlah kadar abu yang hampir sama. Sedangkan pada berat sampel 100 g juga menunjukkan bahwa perlakuan kontrol H+42 dan perlakuan energi 36.00 kJ tidak

berbeda nyata pada taraf uji 5%. Hal ini sejalan dengan penelitian Fakude (2007) yang menyebutkan bahwa perlakuan microwave menyebabkan peningkatan serat kasar dan abu namun mengurangi kandungan lemak dan protein.

(39)

27

Karbohidrat

Pengukuran karbohidrat dilakukan by different dengan cara menghitung selisih 100% dari hasil prosentasi dari kadar air, protein, lemak, dan kadar abu. Hasil dari selisih dari analisis tersebut dinyatakan sebagai total karbohidrat SNI (2009).

Gambar 14 Kadar karbohidrat pada berbagai tingkatan energi dan berat sampel. (Histogram dengan bentuk yang sama dan diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut Uji Duncan pada taraf uji 5%).

Gambar 14 menunjukkan terjadinya penurunan kandungan karbohidrat pada sampel kontrol H+42 dengan berat sampel 50 g jika dibandingkan dengan

sampel kontrol Ho yang mengandung karbohidrat sebesar 72.42%. Penurunan ini

dipengaruhi oleh peningkatan persentase kadar air, lemak, dan abu akibat adanya aktivitas T. castaneum. Kadar karbohidrat tertinggi terjadi pada perlakuan energi 36.00 kJ baik pada berat sampel 50 g maupun 100 g yaitu 76.85% dan 75.76 %. Peningkatan karbohidrat pada perlakuan microwave dipengaruhi oleh peningkatan persentase kadar abu yang cukup besar dan diikuti penurunan kadar air, lemak, dan protein.

(40)

28

5. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Besarnya jumlah energi yang diberikan sangat mempengaruhi mortalitas T. castaneum. Dengan perlakuan energi microwave sebesar 23.76 kJ, 24.00 kJ, 31.68 kJ, 36.00 kJ baik pada sampel 50 g maupun 100 g memberikan pengaruh mortalitas T. castaneum 100%. Jumlah energi yang paling efektif diperoleh pada perlakuan energi 23.76 kJ karena tidak memberikan perubahan yang signifikan terhadap karakteristik warna dan amilografi tepung terigu. Hal ini ditunjukkan dengan penurunan tingkat kecerahan warna dan viskositas puncak dari 2543 cP (mPa.s) pada kontrol H0 menjadi 2174 cP (mPa.s) setelah penyimpanan. Sampel yang diberi

perlakuan energi microwave menunjukkan peningkatan suhu, abu dan karbohidrat sedangkan kadar air, lemak dan protein menurun setelah penyimpanan 42 hari.

Saran

(41)

29

DAFTAR PUSTAKA

[APTINDO] Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia. 2014. Overview Industri Tepung Terigu Nasional Indonesia [internet]. [Diacu: 23 Februari 2015]. http:www.aptindo.or.id.

Ashraf S, Saeed SMG, Sayeed SA, Ali R., 2012. Impact of microwave treatment on the functionality of cereals and legumes. Int. J. Agric. Biol. 14: 356–370. AACC. 2009. AACC International Approved Methods of Analysis (Method 32-40,

61 02.01), 11th edn, St. Paul MN: AACC International.

[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2006. Official Methods of Analytical of The Association of Official Analytical Chemist. New York: Chemist Inc.

Abdelsamad RME, Elhag EA, Eltayeb YM. 1987. Studies of the phenology of Tribolium castaneum (Herbst) (Coleoptera: Tenebrionidae) in the Sudan Gezira. J Stored Product 24(2):101-105.

[BALITSEREAL] Balai Penelitian Tanaman Serealia 2014. Foto Granula Pati Menjelaskan Kemampuan Elastisitas Tepung Terigu [internet]. [Diacu: 10 Maret 2015].http://balitsereal.litbang.pertanian. go.id.

[BARANTAN] Badan Karantina Pertanian. 2013. Standar Teknis Perlakuan Fumigasi Fosfin Formulasi Cair (Liquid Phosphine). Lampiran keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor: 1645/Kpts/KT.240/L/05/2013. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2006. Tepung Terigu Sebagai Bahan

Makanan. SNI 01-3751-2006 [internet]. [Diacu: 7 Februari 2015]. http://sisni.bsn.go.id.

Copeland L, Blazek J, Salman H, Tang MC. 2009. Form and Functionality of Starch. Food Hydrocolloid 23: 1527-1534. http://dx.doi.org/10.1016/ j.foodhyd.2008.09.016.

Copson DA. 1975. Microwave Heating. Connecticut: The AVI Publ. Co., Inc. Westport.

Cotton RT, Wilbur DA. 1974. Stored of Cereal Grains and Their Product. Minnesota: American Association of Cereal Chemist Inc. St. Paul.

Doblado-Maldonado AF, Pike OA, Sweley JC, Rose DJ. 2012. Key Issues and Challenges in Whole Wheat Flour Milling and Storage. Journal of Cereal Science 56 (2012) 119-126. doi:10.1016/j.jcs.2012.02.015.

Das I, Girish K, Narendra GS. 2013. Microwave Heating As an Alternative Quarantine Method for Disinfestation of Stored Food Grains [Rivew Article]. International Journal of Food Science. Volume 2013, Article ID 926468, 13 pages http://dx.doi.org/10.1155/2013/926468.

Dupont FM, Altenbach SB. 2003. Molecular and Biochemical Impacts of Environmental Factors on Wheat Grain Development and Protein Synthesis. Journal of Cereal Science. 38: 133-146.

El-Naggar SM, Mikhaiel AA. 2011. Disinfestation of Stored Wheat Gain and Flour Using Gamma Rays and Microwave Heating. Journal of Stored Products Research 47:191-196. doi:10.1016/j.jspr.2010.11.004.

(42)

30

Fakude MP. 2007. Eradication of Storage Insect Pests in Maize Using Microwave Energi and The Effects of The Latter on Grain Quality [Tesis]. South Africa (tZA): University of Pretoria.

Gomez A, Ferrero C, Calvelo A, Anon M C, Puppo MC. 2011. Effect of Mixing Time on Structural and Rheological Properties of Wheat Flour Dough for Breadmaking. International Journal of Food Properties. 14: 583-598.

Gasemzadeh S, Ali AP, Mohammad HS, Mustafa M. 2010. Effect of Microwave Radiation and Cold Storage on Tribolium Castaneum Herbst (Coleoptera: Tenebrionidae) and Sitophilus Oryzae L. (Coleoptera: Curculionidae). Journal of Plant Protection Research Vol. 50, No. 2.

Goesaert H, Brijs K, Veraverbeke WS, Courtin CM, Gebruers K, Delcour JA. 2005. Wheat Flour Constituents: How They Impact Bread Quality, and How to Impact Their Functionality. Trends in Food Science and Technology 16: 12-30

Gujral HS, Rosell, CM. 2004. Improvement of The Breadmaking Quality of Riceflour by Glucose Oxidase. Food Research International. 37: 75-81. Gauraf S. 2003. Digital Color Imaging Handbook. CRC Press. ISBN 084930900X. Hartulistiyoso, E. 2012. Penghematan Energi pada Proses Pengeringan dengan Gelombang Mikro. Prosiding Seminar Nasional PERTETA 2012. Malang 30 November - 2 Desember 2012.

Harahap IS. 1993. Penuntun Praktikum Ilmu Hama Gudang. Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan. Bogor: Fakultas Pertanian IPB.

Haines CP. 1991. Insects and Arachnids of Tropical Stored Products: Their Biology and Identification (A Training Manual) second edition. United Kingdom: The Natural Resources Institute (NRI).

Hidalgo A, Fongaro L, Brandolini A. 2014. Wheat Flour Ganulometry Determines Colour Perception. Food Research International 64: 363–370. Doi:10.1016/j.foodres. 2014.06.050

Khatkar BS. 2006. Effects of High Mr Glutenin Subunits on Dynamic Rheological Properties and Bread Making Qualities of Wheat Gluten. Journal of Food Science and Technology. 43: 382-387.

Kaasova J, Kadlec P, Bubnik Z, Hubackova B. Prihoda J. 2002. Chemical and Biochemical Changes During Microwave Treatment of Wheat. Czech J. Food Sci. 20: 74–78.

Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Revised and Translated by P.A van der Laan. Jakarta: PT. Ichtiar Baru – van Hoeve.

Lewicka K, Siemion P, Kurcok P. 2015. Chemical Modifications of Starch: Microwave Effect. International Journal of Polymer Science Volume 2015, Article ID 867697, 10 pages http://dx.doi.org/ 10.1155/ 2015/867697. Lis LB, Bakuła T, Baranowski M, A. Czarnewicz. 2011. The Carcinogenic Effects

of Benzokuinon Produced by The Flour Beetle. Polish Journal of Veterinary Sciences. Vol. 14, No. 1, 159-164.

Lu H, Zhou J, Xiong S, Zhao S. 2010. Effects of Low-Intensity Microwave Radiation on Tribolium castaneum Physiological and Biochemical Characteristics and Survival. J. of Insect Physiology 56: 1356.

(43)

31 Meda V, Orsat V, Raghavan V. 2005. Microwave Heating and The Dielectric Properties of Foods. Di dalam: Schubert H, Regier M, editor. The Microwave Processing of Foods. Cambridge (GB): Woodhead Publishing. hlm 61-75. Muchtadi T, Ayustaningwarno F. 2010. Teknologi Proses Pengolahan Pangan.

Bandung: Alfabeta.

Mohamed A, Duarte-Rayas P, Gordon SH, Xu J. 2004. Estimation of HRW Wheat Heat Damage by DSC, Capillary Zone Electrophoresis, Photoacoustic Spectroscopy and Rheometry. Food Chemistry. 87: 195-203. Doi: 10.101 6/j.foodchem.2003. 11.014

Nurbianto R. 2008. Pengaruh Perlakuan Oven Gelombang pada Berbagai Tingkatan Daya dan Waktu terhadap Mortalitas Tribolium castaneum herbst dan Kandungan Tepung Tapioka [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Nelson SO. 1996. Review and assessment of radio-frequency and microwaves

Energi for stored-grain insect Kontrol. Trans. ASAE. 39 (4): 1475–1484. Okky SD, Halid H, Sunjaya 2014. Serangan Tribolium Castaneum pada Beras di

Penyimpanan dan Pengaruhnya Terhadap Serangan Cendawan dan Susut Bobot.

Jurnal Fitopatologi Indonesia. ISSN: 0215-7950. 10 (4): 126–132. DOI: 10.14692/jfi.10.4.126

Paola T, Cristina SG, Jibin H, Peter RS. 2011. Distribution of Gluten Proteins in Bread Wheat (Triticum aestivum) Grain. Annals of Botany. 108: 23–35. doi:10.1093/aob/mcr098.

Prendeville HR, Stevens L. 2002. Microbe Inhibition by Tribolium Flour Beetles Varies with Beetle Species, Strain, Sex, and Microbial Group. J Chem Ecol. 28(6):1183– 1190.

Pretince RDM, Stark JR, Gidley MJ. 1λλ2. Granule Residues and ‘Ghosts’ Remaining after Heating A-Type Barley Starch Granule in Water. Carbohydrate Research 227:121- 130.

Resurreccion Jr FP, Luan D, Tang J, Liu F, Tang Z, Pedrow PD, Cavalieri R. 2015. Effect of Changes in Microwave Frequency on Heating Patterns of Foods in a Microwave Assisted Thermal Sterilization System. Journal of Food Engineering 150: 99–105. http://dx.doi.org/10.1016/j.jfoodeng. 2014.10.002. Sira EPP. 2000. Determination of The Correlation between Amylose and Phosphorus Content and Gelatinization Profile of Starches and Flours Obtained fron Edible Tropical Tubers Using Differential Scanning Calorimetry and Atomic Absorption Spectroscopy [Tesis]. Wisconsin (US). University of Wisconsin-Stout.

Sunjaya, Widayanti S. 2009. Pengenalan Serangga Hama Gudang. Di dalam: Prijono D, Dharmaputra OS, Widayanti S, editor. Modul Pengolahan Hama Gudang Terpadu. Bogor (ID): SEAMEO BIOTROP

Soucˇek P, Ivan G, Stopka P. 2000. Effect of The Microsomal System on Interconversions Between Hydroquinone, Benzoquinone, Oxygen Activation, and Lipid Peroxidation. Chem Biol Interact 126: 45-61.

Symons SJ, Dexter JE. 1991. Computer Analysis of Fluorescence for the Measurement of Flour Refinement as Determined by Flour Ash Content, Flour Grade Color, and Tristimulus Color Measurements. Cereal Chemistry, 68: 454–460.

(44)

32

Techawipharat J. 2007. Effect of Hydrocolloids on Physicals and Rheological Properties of Rice Starch. [Tesis]. Bangkok (TH): Faculty of Graduate Studies Mahidol University.

[USDA] United Stated Department of agriculture 2006. Beetle Wrangling Tips (An Introduction to The Care and Handling of Tribolium castaneum) [internet]. [Diacu: 23 Februari 2015]. http:bru.gmprc. ksu.edu.

Vadivambal R, Jayas DS, White NDG. 2007. Wheat disinfestation using microwave energi. Journal of Stored Products Research. 43: 508–514. doi:10.1016/j.jspr.2007.01.007

Wieser H, Bushuk W, MacRitchie F. 2006. The polymeric glutenins. Di dalam: W. Wrigley, F. Bekes, & W. Bushuk, editor. Gliadin and glutenin: The uniquebalance of wheat quality. St. Paul Minnesota (US): American Association of Cereal Chemists, Inc. pages 213-240.

(45)

33

LAMPIRAN

Lampiran 1 Hasil uji ANOVA dan Duncan terhadap pada Suhu Tepung Terigu Analisis Sidik ragam Suhu tepung terigu terhadap perlakuan microwave

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 60747.881a 11 5522.535 327.731 .000

Intercept 114913.090 1 114913.090 6819.442 .000

Energi 58884.214 5 11776.843 698.889 .000

Berat_sampel 1129.072 1 1129.072 67.004 .000

Energi * Berat_sampel 734.595 5 146.919 8.719 .000

Error 404.419 24 16.851

Total 176065.391 36

Corrected Total 61152.301 35

a. R Squared = .993 (Adjusted R Squared = .990)

Uji lanjut Duncan Suhu tepung terigu terhadap perlakuan microwave

Interaksi

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.

(46)

34

Lampiran 2 Hasil uji ANOVA dan Duncan terhadap Kadar air Tepung Terigu selama perlakuan microwave

Analisis Sidik Ragam Kadar air Tepung Terigu selama perlakuan microwave

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 84.920a 11 7.720 247.643 .000

Intercept 5057.414 1 5057.414 162231.951 .000

Energi 77.080 5 15.416 494.518 .000

Corrected Total 85.669 35

a. R Squared = .991 (Adjusted R Squared = .987)

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.

Gambar

Tabel 1. Syarat mutu tepung terigu sebagai bahan makanan SNI 3751:2009
Gambar 2  Siklus metamorfosis T. castaneum (Herbst.)
Gambar 5 Kurva kekentalan (BU) hasil pengukuran brabender (Techawipharat,
Tabel 2 Pengaruh perlakuan energi microwave terhadap mortalitas T. castaneum setelah penyimpanan 42 hari
+7

Referensi

Dokumen terkait

Aldi berean, Gobernu Kontseiluak prezioen egonkortasunaren gaineko gorako presioen aurrean beharrezko edozein neurri ezartzeko xedapen iraunkorra burutu zuen,

Variabel human relations yang terdiri dari komunikasi, kesadaran diri, penerimaan diri, motivasi, kepercayaan, keterbukaan diri dan penyelesaian konflik secara

Terpaan iklan TVC Bukalapak dapat diukur berdasarkan empat indikator diantaranya adalah kemampuan menyebutkan storyline iklan TVC Bukalapak, kemampuan menyebutkan

Strategi adaptasi isi rumah nelayan ini selari dengan kajian kemiskinan yang mendapati bahawa bentuk optimalisasi tenaga kerja merupakan cara yang umum dilakukan oleh komuniti

Hal tersebut menunjukkan bahwa keanekaragaman rendah dimana hanya dapat ditemukan sebanyak 2 spesies yaitu Macrotermes gilvus Hagen (mayor) dengan jumlah 46

Dark chocolate bar dengan penambahan minyak atsiri kencur (Kaempferia galanga L.) diharapkan dapat menjadi produk olahan cokelat khas Indonesia (signature Indonesia chocolate bar)

tertutup kepada pemilik dan karyawan Anugerah Agung Furniture dengan hasil..

STRES KERJA DITINJAU DARI PERILAKU OLAHRAGA SKRIPSI QOYYIMAH LUTFIANTI 10.40.0214 FAKULTAS PSIKOLOGI.. UNIVERSITAS