• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Nilai dan Distribusi Biodiversitas di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Hulu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Nilai dan Distribusi Biodiversitas di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Hulu"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

STUDI NILAI DAN DISTRIBUSI BIODIVERSITAS

DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CILIWUNG HULU

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Studi Nilai dan Distribusi Biodiversitas di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Hulu adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2014

(4)
(5)

ABSTRAK

SRY WAHYUNI. Studi Nilai dan Distribusi Biodiversitas di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Hulu. Dibimbing oleh SYARTINILIA.

Daerah aliran sungai (DAS) merupakan salah satu batas ekologis yang berperan penting terkait kestabilan lingkungan. DAS Ciliwung dikategorikan sebagai DAS Super Prioritas di Indonesia. DAS Ciliwung menyediakan jasa lanskap bagi daerah di sekitarnya, salah satu jasa lanskap tersebut berupa biodiversitas. Penelitian ini dilaksanakan di tiga kecamatan di Kabupaten Bogor yang termasuk ke dalam DAS Ciliwung Hulu, yaitu Kecamatan Ciawi, Megamendung, dan Cisarua. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis nilai dan distribusi biodiversitas dengan menggunakan indikator keberlanjutan biodiversitas. Keenam indikator (keberadaan spesies terancam, perubahan penutupan dan penggunaan lahan, intensitas penggunaan lahan pertanian organik, jumlah penduduk, pekerjaan penduduk, dan infrastruktur) tersebut dianalisis dengan menggunakan teknologi Sistem Informasi Geografi (SIG). Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa Kecamatan Cisarua dan Megamendung merupakan wilayah terluas pertama dan kedua yang memiliki area nilai biodiversitas tinggi, yaitu 4 022 ha dan 2 099 ha. Sementara itu, Kecamatan Ciawi tidak memiliki area nilai biodiversitas tinggi. Beberapa rekomendasi pengelolaan lanskap dihasilkan untuk mengelola biodiversitas di DAS Ciliwung Hulu.

Kata kunci: DAS Ciliwung, jasa lanskap, nilai biodiversitas, pengelolaan lanskap, SIG

ABSTRACT

SRY WAHYUNI. Study of Biodiversity Value and Distribution in The Upper Stream of Ciliwung Watershed. Supervised by SYARTINILIA.

Watershed is one of the ecological boundary that has important role related to landscape sustainability. Ciliwung Watershed is categorized as super-priority watershed in Indonesia and provides landscape services particularly mentioned in this study is biodiversity value. The study sites were located in three sub-districts in the upper stream of Ciliwung Watershed (Ciawi, Megamendung, Cisarua), Bogor District of West Java. The main objectives of this study were to analyze value and distribution of biodiversity using six indicators of landscape sustainability. The six indicators (presence of threatened species, land use and land cover change, land use intensity of organic agricultural, population, occupation, and infrastructure) were analyzed using geographical information system (GIS). Based on the result, it can be shown that Cisarua and Megamendung sub-district are the first and second largest area with high biodiversity value (4 022 ha and 2 099 ha). Meanwhile, Ciawi sub-district has no area with high biodiversity value. Finally, we propose six recomendations of landscape management for biodiversity sustainability in the upper stream of Ciliwung Watershed.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada

Departemen Arsitektur Lanskap

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

STUDI NILAI DAN DISTRIBUSI BIODIVERSITAS

DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CILIWUNG HULU

(8)
(9)

Judul Skripsi : Studi Nilai dan Distribusi Biodiversitas di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Hulu

Nama : Sry Wahyuni NIM : A44090059

Disetujui oleh

Dr Syartinilia, SP, MSi Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Bambang Sulistyantara, MAgr Ketua Departemen

(10)
(11)
(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan dengan baik. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari hingga Desember 2013 ini ialah Pengelolaan Lanskap, dengan judul “Studi Nilai dan Distribusi Biodiversitas di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Hulu” di bawah bimbingan Dr Syartinilia, SP, MSi.

Dalam penyusunan karya ilmiah ini penulis banyak mendapat bimbingan, motivasi, dan bantuan dari berbagai pihak. Sebagai ungkapan rasa syukur penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr Syartinilia, SP, MSi selaku dosen pembimbing skripsi sekaligus pembimbing akademik atas bimbingan, arahan, masukan, dukungan, nasehat, dan waktu serta ilmu yang sangat bermanfaat.

2. Bapak, Ibu, Kak Iis, Cia, dan Hani serta keluarga besar atas doa dan dukungan baik moril maupun materil yang tidak tergantikan.

3. Seluruh Dosen dan Staf Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, khususnya Departemen Arsitektur Lanskap atas ilmu dan pengalaman yang bermanfaat.

4. Sahabat-sahabat (Gabriella Natalingrum Nugrahanto, Herawaty Pare, Damaria Widasari, Amanda Fauziah, Mentari Ramadhan) atas bantuan, semangat, dukungan, doa, dan kebersamaannya selama ini.

5. Teman-teman seperjuangan, Nindy Aslinda, Ramandhini Puspitasari, Paraditio Bryan Prakoso, dan Muhammad Choiruddin Azis atas bantuan, semangat, dan dukungannya.

6. Keluarga dan teman-teman Arsitektur Lanskap Angkatan 46 atas bantuan, semangat, dukungan, dan kebersamaannya.

7. Semua pihak yang telah membantu kelancaran penelitian dan penulisan karya ilmiah ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari tentunya karya ilmiah ini masih memiliki banyak kekurangan dan kelemahan, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari para pembaca. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

(13)
(14)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR LAMPIRAN xii

PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 3

Kerangka Pikir Penelitian 3

TINJAUAN PUSTAKA

Daerah Aliran Sungai 4

Jasa Lanskap 5

Biodiversitas 6

METODOLOGI

Waktu dan Lokasi Penelitian 7

Alat dan Data Penelitian 7

Metode Penelitian 9

HASIL

Gambaran Situasional 15

Indikator Keberlanjutan Biodiversitas 23

PEMBAHASAN

Indikator Keberlanjutan Biodiversitas 38

Rekomendasi Pengelolaan 49

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan 51

Saran 51

DAFTAR PUSTAKA 52

LAMPIRAN 55

(15)

DAFTAR TABEL

1 Jenis, bentuk, sumber, dan kegunaan data 8

2 Deskripsi kelas penutupan lahan 12

3 Luas desa yang tercakup dalam lokasi penelitian 16

4 Luas area nilai biodiversitas 36

DAFTAR GAMBAR

1 Bagan kerangka pikir 3

2 Lokasi penelitian (Kecamatan Ciawi, Megamendung, dan Cisarua) 8

3 Bagan alur penelitian 10

4 Batas wilayah administrasi dan ekologis lokasi penelitian 15

5 Danau Telaga Warna 17

6 Bendungan Katulampa 17

7 Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor 21 8 Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kawasan Puncak 22

9 Peta indikator keberadaan spesies terancam 23

10 Perbandingan luas area indikator keberadaan spesies terancam 24 11 Beberapa flora berstatus terancam di lokasi penelitian 24 12 Beberapa fauna berstatus terancam di lokasi penelitian 25 13 Peta indikator perubahan penutupan dan penggunaan lahan (LUCC) 26 14 Perbandingan luas area indikator perubahan penutupan dan penggunaan

lahan (LUCC) 26

15 Peta indikator penggunaan lahan pertanian organik 27 16 Perbandingan luas area indikator penggunaan lahan pertanian organik 28 17 Lahan pertanian organik di Kecamatan Megamendung 28

18 Lahan pertanian organik di Kecamatan Cisarua 28

19 Pengembangan lahan pertanian organik mengikuti kontur lahan 29

20 Peta indikator jumlah penduduk 30

21 Perbandingan luas area indikator jumlah penduduk 30

22 Peta indikator pekerjaan penduduk 31

23 Perbandingan luas area indikator pekerjaan penduduk 32

24 Peta indikator infrastruktur 33

25 Perbandingan luas area indikator infrastruktur 33 26 Infrastruktur di sepanjang jalan utama Kawasan Puncak 34

27 Peta nilai dan distribusi biodiversitas 35

28 Perbandingan luas area nilai biodiversitas 36

29 Area nilai biodiversitas tinggi 37

30 Area nilai biodiversitas sedang 37

31 Area nilai biodiversitas rendah 37

32 Fragmentasi lahan 47

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Model maker fungsi penjumlahan dan perkalian peta biner keenam

indikator 55

2 Kualitas air Sungai Ciliwung bagian hulu (Stasiun Katulampa) 57 3 Debit rata-rata maksimum dan minimum Sungai Ciliwung di

Bendungan Katulampa 59

4 Objek wisata dan jumlah wisatawan di lokasi penelitian 60 5 Tingkat pendidikan penduduk di lokasi penelitian 61 6 Luas perubahan penutupan dan penggunaan lahan (LUCC) periode

2002-2009 62

(17)
(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Daerah aliran sungai (DAS) merupakan salah satu batas ekologi yang terdapat di suatu wilayah. DAS memiliki fungsi yang sangat penting terkait keseimbangan alam dan lingkungan. Ketika wilayah hulu mengalami gangguan atau kerusakan, maka akan berpengaruh langsung terhadap wilayah hilir. Peningkatan erosi dan sedimentasi, bencana banjir dan kekeringan, penurunan produktivitas lahan, serta percepatan degradasi lahan merupakan contoh dampak negatif yang terjadi akibat rusaknya wilayah hulu. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 328 tahun 2009 tentang Penetapan Daerah Aliran Sungai (DAS) Prioritas dalam Rangka Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2010-2014, DAS Ciliwung termasuk ke dalam 108 DAS Prioritas di Indonesia dan berada pada tingkat Prioritas I (Super Prioritas). DAS Ciliwung, terutama bagian hulu, mengalami penurunan kualitas akibat konversi lahan yang tidak terkendali. Meningkatnya konversi lahan terbuka hijau menjadi lahan terbangun untuk berbagai kebutuhan seperti perumahan, industri, pariwisata, dan infrastruktur lainnya dengan tidak berlandaskan pengetahuan tentang lingkungan mengakibatkan perubahan yang sangat drastis pada ekosistem di DAS Ciliwung, terutama wilayah hilir. Wilayah hilir DAS Ciliwung yang mencakup daerah Jakarta yang merupakan Ibukota negara Indonesia, memiliki banyak aset nasional dan juga sebagai pusat pemerintahan negara Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan suatu pengelolaan yang berkelanjutan terkait pemanfaatan sumber daya alam yang terdapat pada DAS tersebut untuk menjaga keberlanjutan dan kelestarian ekosistemnya.

Lanskap merupakan suatu bagian ruang pada muka bumi dengan sistem kompleks dalam bentuk aktivitas komponen biotik dan abiotik. Sementara lingkungan merupakan kombinasi antara komponen biotik dan abiotik. Terdapat persamaan antara lanskap dan lingkungan, yaitu adanya interaksi dan hubungan timbal balik antara komponen biotik dan abiotik yang menghasilkan suatu jasa dari proses ekologis komponen-komponen di dalamnya. Jasa lanskap belum mendapat apresiasi secara luas sementara fungsi-fungsinya semakin terganggu akibat perubahan penggunaan pada lanskap tersebut. DAS Ciliwung Hulu merupakan suatu ekosistem yang memberikan jasa lanskap khususnya berupa biodiversitas terhadap wilayah sekitarnya. Jasa lanskap yang diberikan berupa tata air, keanekaragaman hayati, penyerapan karbon, dan keindahan lanskap (RUPES 2009). Manfaat jasa lanskap ini dirasakan oleh masyarakat yang berada di DAS tersebut, baik di wilayah hulu, tengah maupun hilir. Dalam hal ini wilayah hulu bertindak sebagai penyedia jasa lanskap. Sedangkan wilayah hilir bertindak sebagai penerima jasa lanskap. Menurut Mansfield (1971), seharusnya penyedia jasa mendapatkan insentif dari penerima jasa.

(19)

2

(3) warisan, (4) pilihan, (5) konsumtif, dan (6) produktif (Bappenas 2004). Biodiversitas merupakan salah satu sumber daya akses terbuka yang banyak memberi manfaat kepada spesies lainnya terutama manusia (Mak 2004). Menurut Turner et al. (1999) dalam Nunes et al. (2003), biodiversitas memiliki empat level, yaitu gen, spesies, ekosistem, dan fungsi. Keanekaragaman genetik merupakan berbagai macam informasi genetik (struktur DNA) yang terkandung di dalam setiap makhluk hidup. Keanekaragaman spesies merupakan keragaman spesies yang hidup di bumi. Keanekaragaman ekosistem merupakan keragaman pada level komunitas, bioregion, lanskap, dan habitat. Keanekaragaman fungsi berkaitan dengan keragaman fungsi suatu ekosistem serta jasa-jasa ekologis yang dihasilkan melalui proses interaksi antara struktur (flora, fauna, air, udara, tanah, dan lainnya) dan proses ekosistem tersebut (dinamika perubahan energi antara makhluk hidup dengan sistem abiotik).

Keberadaan spesies yang terancam (threatened species) dapat digunakan sebagai indikator untuk menilai biodiversitas karena mampu menggambarkan kondisi biodiversitas secara keseluruhan yang terdapat pada suatu area tertentu (Williams et al. 2000 dalam Curry dan Humphries 2007). Keberadaan spesies terancam dijadikan sebagai indikator utama dalam menilai biodiversitas. Beberapa spesies terancam berperan sebagai spesies kunci di dalam suatu wilayah. Apabila terjadi kehilangan atau kepunahan spesies kunci tersebut, akan berdampak pada perubahan struktur dalam suatu wilayah (Leksono 2011). Menurut Verburg et al. (2011), indikator yang berpengaruh terhadap biodiversitas adalah penggunaan lahan, intensitas penggunaan lahan pertanian, dan tingkat pembangunan infrastruktur. Sedangkan menurut Nunes et al. (2003), indikator yang berpengaruh terhadap keberlanjutan biodiversitas adalah aktivitas dan jumlah manusia. Aktivitas manusia berpengaruh terhadap perubahan penutupan dan penggunaan lahan. Hal ini dapat dilihat dari infrastruktur yang terdapat di suatu kawasan atau wilayah dan penggunaan lahannya. Semakin banyak infrastruktur yang dibangun, semakin banyak jumlah manusia, semakin besar pemanfaatan lahan untuk memenuhi kebutuhan manusia, maka semakin mengancam keberlanjutan biodiversitas yang ada di kawasan atau wilayah tertentu. Oleh karena itu, diperlukan upaya pengelolaan yang berkelanjutan terhadap biodiversitas yang terdapat di suatu kawasan atau wilayah tersebut.

Untuk merealisasikan hal tersebut perlu dilakukan suatu studi terhadap nilai dan distribusi biodiversitas sebagai salah satu penyedia jasa lanskap. Hal ini dapat dilakukan dengan melihat kondisi penutupan lahan dan distribusi ruang terbuka hijau yang terdapat di DAS Ciliwung Hulu dengan memanfaatkan teknologi Sistem Informasi Geografi (SIG). Melalui kemampuan SIG untuk meng-overlay peta dalam studi biodiversitas, dapat diketahui nilai dan distribusi biodiversitas yang terdapat di suatu kawasan atau wilayah. Data analisis yang dihasilkan dapat digunakan sebagai dasar penyusunan rekomendasi pengelolaan biodiversitas di DAS Ciliwung Hulu tersebut agar keberlanjutan dan kelestariannya tetap terjaga.

Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. menganalisis nilai biodiversitas di DAS Ciliwung Hulu;

(20)

3 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai rekomendasi dan pertimbangan bagi berbagai pihak khususnya pengelola Kabupaten Bogor dalam membuat sistem pengelolaan biodiversitas di DAS Ciliwung Hulu sehingga dapat terjaga kelestarian dan keberlanjutannya.

Kerangka Pikir

Daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung Hulu memberikan jasa lanskap untuk lingkungan sekitarnya, salah satunya adalah biodiversitas. Terdapat enam indikator yang digunakan untuk menilai keberlanjutan biodiversitas. Studi nilai dan distribusi biodiversitas dapat digunakan untuk menghasilkan rekomendasi pengelolaan biodiversitas yang berkelanjutan di DAS Ciliwung Hulu tersebut. Berikut merupakan alur kerangka pikir pada penelitian ini (Gambar 1).

Gambar 1 Bagan kerangka pikir DAS Ciliwung Hulu

Jasa Lanskap

Carbon Stock Biodiversity Landscape

Beautification Water Resource

Empat Level Biodiversitas

Gen Spesies Ekosistem Fungsi

Nilai Biodiversitas Distribusi Biodiversitas

(21)

4

TINJAUAN PUSTAKA

Daerah Aliran Sungai

Daerah aliran sungai (DAS) dapat didefinisikan sebagai suatu wilayah yang dibatasi oleh batas alam, seperti punggung bukit-bukit atau gunung, maupun batas buatan, seperti jalan atau tanggul, dimana air hujan yang turun di wilayah tersebut memberi kontribusi aliran ke titik kontrol (Suripin 2002). DAS dipandang sebagai suatu sistem dimana semua komponen penyusunnya saling berinteraksi satu sama lain khususnya hubungan antara hulu dengan hilir. Terjadinya gangguan atau kerusakan salah satu komponen ekosistem, dapat menyebabkan gangguan pada keseluruhan sistem yang ada (Sutopo 2001). Ekosistem DAS merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan DAS. Fungsi suatu DAS merupakan fungsi gabungan yang dilakukan oleh seluruh faktor yang ada pada DAS tersebut, yaitu vegetasi, bentuk wilayah (topografi), tanah, dan manusia. Apabila salah satu dari faktor-faktor tersebut mengalami perubahan, maka akan berpengaruh terhadap ekosistem DAS tersebut (Suripin 2002).

DAS Ciliwung merupakan salah satu dari 108 DAS Prioritas di Indonesia dan tergolong ke dalam DAS Prioritas I (Super Prioritas). Menurut Suripin (2002), penetapan DAS prioritas ini berdasarkan pada beberapa kriteria sebagai berikut.

1. DAS yang hidrologisnya kritis, ditandai oleh rendahnya persentase penutupan lahan, tingginya laju erosi tahunan, besarnya nisbah debit sungai maksimum dan debit minimum serta kandungan lumpur yang berlebihan.

2. Urgensi perlindungan investasi yang telah, sedang, atau akan dibangun bangunan vital dengan investasi besar di daerah hilirnya.

3. Daerah yang rawan terhadap banjir dan kekeringan.

4. Daerah perladangan berpindah dan/atau daerah dengan penggarapan tanah yang merusak tanah dan lingkungan.

5. Daerah dimana tingkat pendapatan penduduk rendah, tingkat kesadaran masyarakat terhadap pelestarian sumber daya alam masih rendah.

6. Daerah dengan tingkat kepadatan penduduk tinggi.

(22)

5 Jasa Lanskap

Jasa lanskap merupakan hasil dan implikasi dari dinamika bentangan alam yang diberi nilai oleh stakeholders dimana manfaatnya dapat dirasakan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam rangka membantu memelihara dan meningkatkan kualitas lingkungan serta kehidupan masyarakat (Munawir 2010). Terdapat empat jenis jasa lanskap yang dikenal masyarakat global, yaitu tata air, keanekaragaman hayati (biodiversitas), penyerapan karbon, dan keindahan lanskap. Penyedia jasa lanskap terdiri dari (1) perorangan, (2) kelompok masyarakat, (3) perkumpulan, (4) badan usaha, (5) pemerintah daerah, dan (6) pemerintah pusat, yang mengelola lahan yang menghasilkan jasa lanskap serta memiliki izin atau hak atas lahan tersebut dari instansi berwenang. Sementara itu, pemanfaat jasa lanskap terdiri dari (1) perorangan, (2) kelompok masyarakat, (3) perkumpulan, (4) badan usaha, (5) pemerintah daerah, dan (6) pemerintah pusat, yang memiliki segala bentuk usaha yang memanfaatkan potensi jasa lanskap dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokoknya (RUPES 2009). Menurut Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia No. 6 tahun 2006 tentang Pedoman Umum Standardisasi Kompetensi Personil dan Lembaga Jasa Lingkungan, terdapat suatu lembaga jasa lanskap yang memiliki tugas atau pekerjaan pelayanan jasa di bidang pengelolaan hidup.

Di beberapa negara, instrumen ekonomi telah banyak diaplikasikan di lapangan dan efektif dalam mengendalikan dampak lingkungan atas penggunaan sumber daya alam yang ada (Panayotou 1994 dalam Sutopo 2001). Salah satu instrumen ekonomi yang digunakan adalah pembayaran jasa lanskap (Payment for Environmental Services/PES). PES merupakan suatu transaksi sukarela atau mengikat secara hukum dimana sebuah jasa lanskap yang jelas dan dapat teridentifikasi dimanfaatkan oleh para pemanfaat yang diperoleh dari para penyedia jasa lanskap. Melalui PES, pemanfaat jasa lanskap dapat mencegah kerugian ekonomi terkait dengan perubahan lingkungan dan mendukung pelestarian lingkungan (ESCAP 2009). Hal ini dapat diterapkan di Indonesia, namun diperlukan sistem yang dapat diterima oleh semua pihak, baik pemberi jasa maupun penerima jasa. Selain itu, diperlukan juga peraturan perundang-undangan sehingga sistem ini mempunyai kepastian hukum untuk dilaksanakan.

(23)

6

Biodiversitas

Biodiversitas (keanekaragaman hayati) memiliki manfaat langsung maupun tidak langsung. Manfaat tidak langsung yang diperoleh berupa proses-proses lingkungan dan jasa ekosistem, pelindung keseimbangan siklus hidrologi dan tata air, penjaga kesuburan tanah melalui pasokan unsur hara dari sisa flora maupun fauna, pencegah erosi dan pengendali iklim mikro, serta nilai eksistensi keanekaraman hayati itu sendiri. Nilai eksistensi merupakan nilai yang dimiliki keanekaragaman hayati karena keberadaannya (Bappenas 2004). Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati, keanekaragaman hayati (biodiversitas) memiliki nilai intrinsik (bawaan) dan nilai ekologi, genetik, sosial, ekonomi, ilmiah, pendidikan, budaya, rekreasi, dan estetis bersama komponen-komponennya.

(24)

7

METODOLOGI

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai Desember 2013 yang meliputi tahap inventarisasi, analisis biodiversitas (nilai dan distribusi biodiversitas), dan sintesis berupa penyusunan rekomendasi pengelolaan biodiversitas. Studi biodiversitas ini dilaksanakan di tiga kecamatan yang terletak pada DAS Ciliwung Hulu, Kabupaten Bogor. Ketiga kecamatan tersebut adalah Kecamatan Ciawi, Megamendung, dan Cisarua (Gambar 2). Pemilihan ketiga kecamatan ini didasarkan atas alasan-alasan berikut:

1. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 114 tahun 1999 tentang Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur yang telah menetapkan Kecamatan Ciawi, Megamendung, dan Cisarua sebagai kecamatan yang diprioritaskan di Daerah Kabupaten Bogor dalam usaha rehabilitasi fungsi kawasan.

2. Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang telah menetapkan Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur sebagai kawasan tertentu yang memerlukan penanganan khusus dan merupakan kawasan yang mempunyai nilai strategis sebagai kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya bagi wilayah Daerah Provinsi Jawa Barat dan wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

3. Bahwa fungsi utama Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur untuk konservasi air dan tanah kurang berfungsi sebagaimana mestinya akibat perkembangan pembangunan yang pesat dan kurang terkendali, sehingga pemanfaatan ruangnya perlu ditertibkan kembali.

4. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati yang menyebutkan bahwa keanekaragaman hayati berperan penting untuk berlanjutnya proses evolusi serta terpeliharanya keseimbangan ekosistem dan sistem kehidupan biosfer, tindakan konservasi in-situ ekosistem dan habitat alami merupakan dasar untuk menjamin keberadaan dan keberlanjutannya.

Alat dan Data Penelitian

(25)

8

Gambar 2 Lokasi penelitian (Kecamatan Ciawi, Megamendung, Cisarua) Tabel 1 Jenis, bentuk, sumber, dan kegunaan data

Jenis Bentuk Sumber Kegunaan

Peta administrasi Vektor Bakosurtanal Penentuan wilayah fokus

penelitian (Kecamatan Ciawi, Megamendung, dan Cisarua)

Peta batas DAS Vektor BPDAS Penentuan wilayah fokus

penelitian (DAS Ciliwung Hulu)

INDIKATOR 1 Peta batas kawasan TNGGP

Vektor TNGGP Identifikasi keberadaan

spesies terancam Peta distribusi

flora-fauna (threatened

species)

Vektor TNGGP Identifikasi keberadaan

spesies terancam

Jenis dan status flora-fauna

(threatened species)

Deskriptif Studi pustaka Identifikasi keberadaan

(26)

9 Tabel 1 Jenis, bentuk, sumber, dan kegunaan data (lanjutan)

Jenis Bentuk Sumber Kegunaan

INDIKATOR 2

Survei lapang Identifikasi penggunaan lahan

pertanian organik

Statistik Studi pustaka Identifikasi jumlah penduduk

INDIKATOR 5

Vektor Binamarga Identifikasi infrastruktur

Keterangan:

Bakosurtanal = Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional

BPDAS = Balai Penelitian Daerah Aliran Sungai

Indikator 1 = Keberadaan spesies terancam

Indikator 2 = Perubahan penutupan dan penggunaan lahan (LUCC)

Indikator 3 = Penggunaan lahan pertanian organik

Indikator 4 = Jumlah penduduk

Indikator 5 = Pekerjaan penduduk

Indikator 6 = Infrastruktur

TNGGP = Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

Metode Penelitian

(27)

10

Gambar 3 Bagan alur penelitian Pengumpulan Data

Rekomendasi Pengelolaan Biodiversitas di DAS Ciliwung Hulu Overlay

(28)

11 Inventarisasi

Pada tahap inventarisasi, dilakukan berbagai kegiatan, yaitu pengumpulan data serta survei lapang. Data yang dikumpulkan berupa data spasial (raster dan vektor) dan non-spasial (deskriptif dan statistik). Pada kegiatan survei lapang dilakukan pengamatan secara langsung di lokasi penelitian, ground check, wawancara dengan pihak terkait dan melakukan dokumentasi keadaan lapang. Selain itu, juga dilakukan studi pustaka yang terkait untuk mendukung tujuan penelitian.

Analisis Biodiversitas

Metode analisis yang digunakan adalah analisis spasial dengan teknik overlay. Analisis ini dilakukan terhadap indikator yang berpengaruh pada keberlanjutan biodiversitas di suatu area atau wilayah. Keberadaan spesies yang terancam (threatened species) digunakan sebagai indikator untuk menilai biodiversitas. Keberadaan spesies terancam dijadikan sebagai indikator utama dalam menilai biodiversitas. Beberapa spesies terancam berperan sebagai spesies kunci di dalam suatu wilayah. Apabila terjadi kehilangan atau kepunahan spesies kunci tersebut, akan berdampak pada perubahan struktur dalam suatu wilayah (Leksono 2011). Menurut IUCN Red List Categories (2010), threatened species terbagi menjadi tiga, yaitu critically endangered (CR), endangered (EN), dan vulnarable (VU). Menurut Nunes et al. (2003) dan Verburg et al. (2011), indikator yang berpengaruh terhadap keberlanjutan biodiversitas adalah aktivitas dan jumlah penduduk yang berimplikasi pada perubahan penutupan dan penggunaan lahan, penggunaan lahan khususnya pertanian, pekerjaan penduduk, dan perkembangan pembangunan infrastruktur. Namun, pada indikator penggunaan lahan pertanian, yang menjadi fokus penelitian adalah lahan pertanian organik karena pertanian organik mampu meningkatkan biodiversitas di suatu wilayah (Liu et al. 2013).

Keenam indikator tersebut dispasialkan dalam bentuk peta biner yang terlebih dahulu dibagi menjadi grid-grid berukuran 100 m x 100 m. Dasar dari pemilihan ukuran grid ini adalah berdasarkan luasan desa terkecil yang ada di lokasi penelitian. Diperlukan klasifikasi ulang terhadap data spasial karena terdapat perbedaan satuan data dan skala pengukuran (Pereira et al. 1993). Langkah pertama dalam proses analisis biodiversitas ini adalah dengan melakukan pengodean ulang (recode) terhadap semua kriteria ke dalam kode biner, yaitu 0 atau 1. Kode 1 mengindikasikan adanya kriteria yang terpenuhi dan kode 0 mengindikasikan tidak adanya kriteria yang terpenuhi. Seluruh proses recode dilakukan dengan menggunakan program ERDAS Imagine 9.1.

1. Keberadaan Spesies Terancam (Threatened Species)

(29)

12

Konservasi Spesies Nasional. Jika di suatu area yang dispasialkan dalam grid terdapat flora maupun fauna dengan status terancam, maka akan diberi nilai 1. Sedangkan area yang tidak terdapat flora maupun fauna dengan status terancam akan diberi nilai 0.

2. Perubahan Penutupan dan Penggunaan Lahan (LUCC)

Dalam mendeteksi perubahan lahan di lokasi penelitian, digunakan metode Post Classification Comparison. Metode ini menggunakan fungsi perkalian antara nilai kelas penutupan lahan tahun 2002 dan 2009 yang telah di-recode terlebih dahulu. Proses tersebut menghasilkan image baru yang mengandung informasi berupa penutupan lahan yang mengalami perubahan ataupun yang tidak mengalami perubahan dalam kurun waktu tersebut.

Peta Perubahan Penutupan dan Penggunaan Lahan (LUCC) periode 2002-2009 yang digunakan diperoleh dari penelitian Ariyanty (2011) dengan ground check tahun 2013. Terdapat tujuh kelas penutupan lahan pada lokasi penelitian, yaitu hutan, perkebunan, semak belukar, sawah, ladang, permukiman, dan badan air. Deskripsi mengenai masing-masing kelas penutupan lahan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Deskripsi kelas penutupan lahan

No. Label kelas Deskripsi

1 Hutan Seluruh hamparan baik kering maupun basah yang

didominasi oleh pohon.

2 Perkebunan Seluruh kawasan kenampakan kebun dengan jenis

vegetasi teh.

3 Semak Belukar Seluruh kawasan yang terdiri dari campuran antara

vegetasi tinggi dan rendah yang tumbuh secara liar serta belum termanfaatkan.

4 Sawah Seluruh kawasan berupa pertanian lahan basah yang

ditanami padi.

5 Ladang Seluruh kawasan berupa pertanian lahan kering yang

ditanami non-padi seperti singkong, umbi-umbian, jagung, dan sayuran

6 Permukiman Seluruh kawasan permukiman padat (perumahan) atau

bangunan lainnya.

7 Badan Air Seluruh kawasan dengan kenampakan perairan,

termasuk sungai, danau, dan waduk.

Jika di suatu area yang dispasialkan dalam grid tidak terdapat perubahan lahan menjadi lahan terbangun (tetap ruang terbuka hijau), maka akan diberi nilai 1. Sedangkan area yang terdapat perubahan lahan menjadi lahan terbangun akan diberi nilai 0.

3. Penggunaan Lahan Pertanian Organik

(30)

13 mengenai daftar desa yang memiliki lahan pertanian organik diperoleh melalui wawancara dengan pihak Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) masing-masing kecamatan dan pihak UPT (Unit Pelaksana Teknis) Pertanian. Jika di suatu area yang dispasialkan dalam grid terdapat lahan pertanian organik, maka akan diberi nilai 1. Sedangkan area yang tidak terdapat lahan pertanian organik akan diberi nilai 0.

4. Jumlah Penduduk

Dalam kaitannya dengan biodiversitas, jumlah penduduk memiliki peran penting terhadap keberadaan dan keberlanjutan biodiversitas di suatu wilayah. Peningkatan jumlah penduduk di suatu wilayah dengan luasan yang relatif tetap dari waktu ke waktu, akan berimplikasi terhadap pemenuhan kebutuhan penduduk tersebut. Dalam memenuhi kebutuhannya, manusia cenderung memanfaatkan lingkungan semaksimal mungkin. Tekanan penduduk terhadap suatu wilayah dicerminkan oleh parameter kepadatan penduduk. Standar kepadatan penduduk di suatu wilayah mengacu pada formula tipologi kerentanan penduduk terhadap lahan (Paimin et al. 2012), yaitu:

a. Wilayah padat, memiliki kepadatan penduduk > 400 jiwa/km2. b. Wilayah sedang, memiliki kepadatan penduduk 250 - 400 jiwa/km2. c. Wilayah jarang, memiliki kepadatan penduduk < 250 jiwa/km2.

Dalam mendeteksi kepadatan penduduk di lokasi penelitian, diperlukan data jumlah penduduk yang diperoleh melalui studi pustaka. Jika di suatu area yang dispasialkan dalam grid termasuk dalam kategori wilayah dengan tingkat kepadatan penduduk sedang dan jarang, maka akan diberi nilai 1. Sedangkan area yang termasuk dalam kategori wilayah dengan tingkat kepadatan penduduk padat akan diberi nilai 0.

5. Pekerjaan Penduduk

Dalam kaitannya dengan biodiversitas, pekerjaan penduduk memiliki peran penting terhadap keberadaan dan keberlanjutan biodiversitas di suatu wilayah. Menurut Paimin et al. (2012), jenis pekerjaan di bidang pertanian memiliki skor lebih tinggi dibandingkan dengan jenis pekerjaan lainnya. Dalam mendeteksi jenis pekerjaan penduduk di lokasi penelitian, diperlukan data struktur ekonomi penduduk yang diperoleh melalui studi pustaka. Jika di suatu area yang dispasialkan dalam grid dominan penduduknya memiliki pekerjaan di sektor pertanian, maka akan diberi nilai 1. Sedangkan area yang penduduknya tidak dominan atau bahkan tidak terdapat penduduk yang memiliki pekerjaan di sektor pertanian akan diberi nilai 0.

6. Infrastruktur

(31)

14

Tahap selanjutnya adalah melakukan overlay peta biner yang dihasilkan dari keenam indikator keberlanjutan biodiversitas. Kemudian dilakukan penjumlahan nilai peta biner dengan menggunakan fungsi penjumlahan dan perkalian pada model maker (Lampiran 1). Seluruh proses overlay dilakukan dengan menggunakan program ERDAS Imagine 9.1. Dari hasil overlay keenam peta biner tersebut, diketahui nilai kumulatif dari seluruh indikator. Nilai kumulatif tersebut dibagi ke dalam 3 kategori, yaitu (1) rendah (terdapat 1-2 kriteria), (2) sedang (terdapat 3-4 kriteria), dan (3) tinggi (terdapat 5-6 kriteria). Metode ini pernah digunakan untuk mengidentifikasi area yang berpotensi sebagai area perlindungan di DAS Ciliwung Hulu oleh Syartinilia et al. pada tahun 2006. Namun, untuk indikator keberadaan spesies terancam, dijadikan sebagai indikator utama dalam menilai biodiversitas. Oleh karena itu, jika di suatu area yang dispasialkan dalam grid terdapat flora maupun fauna dengan status terancam, maka akan dikategorikan ke dalam nilai biodiversitas tinggi. Kategori nilai tersebut digunakan sebagai dasar penyusunan rekomendasi pengelolaan biodiversitas untuk jasa lanskap di DAS Ciliwung Hulu.

Sintesis

(32)

15

HASIL

Gambaran Situasional Aspek Bio-Fisik

1. Letak Geografis dan Administrasi

Lokasi penelitian terdiri dari tiga kecamatan yang terletak di DAS Ciliwung Hulu, yaitu Kecamatan Ciawi, Megamendung, dan Cisarua, Kabupaten Bogor. Lokasi ini berada pada koordinat 6o37’10”–6o46’15” LS dan 106o49’48”– 107o0’25” BT dengan luas wilayah adalah 14 324 ha (Tabel 3). Luas dan batas wilayah yang digunakan dalam penelitian ini adalah wilayah ekologis dengan jumlah desa yang tercakup sebanyak 25 desa. Terdapat perbedaan luas wilayah ekologis DAS Ciliwung Hulu dengan wilayah administrasi ketiga kecamatan (Gambar 4).

Gambar 4 Batas wilayah administrasi dan ekologis lokasi penelitian Selain itu, ketiga kecamatan ini terletak di kawasan Bopunjur (Bogor-Puncak-Cianjur) dan dibatasi oleh:

a. sebelah barat berbatasan dengan DAS Cisadane, b. sebelah timur berbatasan dengan Sub DAS Cikeas,

(33)

16

Tabel 3 Luas desa yang tercakup dalam lokasi penelitian

Kecamatan Desa Luas wilayah

(34)

17 terjadi pada bulan Januari. Selain itu, jumlah hari hujan rata-rata sebesar 232 hari/tahun.

3. Hidrologi

Lokasi penelitian ini berada pada DAS Ciliwung Hulu dengan sungai utama adalah Sungai Ciliwung yang mengalir dari arah selatan ke utara. Sumber mata air sungai ini berasal dari Danau Telaga Warna yang terletak pada ketinggian 1 433 m dpl dengan luas danau 1 ha dan area penyangga 5 ha. Kawasan Telaga Warna dijadikan sebagai objek wisata (Taman Wisata Alam) dan sebagai area penyangga (Cagar Alam). Kawasan ini dimiliki oleh negara dan dikelola oleh Kementerian Kehutanan.

Gambar 5 Danau Telaga Warna

Bagian hulu DAS Ciliwung memiliki enam Sub DAS, yaitu Cibogo, Ciesek, Cisarua, Cisukabirus, Ciseuseupan, dan Katulampa. Kondisi bagian hulu dapat dicirikan dengan adanya sungai pegunungan yang berarus deras dan variasi kelerengan yang tinggi. Sungai-sungai yang terdapat pada DAS Ciliwung Hulu umumnya dimanfaatkan untuk irigasi, industri, air baku domestik, dan penggelontoran. Kualitas air Sungai Ciliwung di bagian hulu yang diukur dari Stasiun Katulampa diketahui telah mengalami pencemaran. Berdasarkan Standar Baku Mutu Badan Air menurut SK Gubernur Jawa Barat Nomor 38 tahun 1991 Golongan B–C–D, dari 36 parameter (fisika, kimia, dan mikrobiologi), ditemukan sebanyak 19 parameter yang melebihi standar. Dan berdasarkan Standar Baku Mutu Badan Air menurut Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 Kelas III, dari 36 parameter (fisika, kimia, dan mikrobiologi), ditemukan sebanyak 22 parameter yang melebihi standar (Lampiran 2).

(35)

18

Intensitas curah hujan memiliki korelasi positif terhadap terjadinya peningkatan aliran limpasan (run off), yang dapat meningkatkan volume serta fluktuasi debit sungai. Debit rata-rata minimum dan maksimum Sungai Ciliwung bagian hulu diukur dari Bendungan Katulampa. Debit rata-rata terendah dan tertinggi yang terukur sebesar 1 265 liter/detik pada tahun 2006 dan 198 856 liter/detik pada tahun 2012 (Lampiran 3).

4. Kemiringan Lahan, Tanah, dan Geologi

Berdasarkan bentuk lerengnya, kemiringan lahan di lokasi penelitian memiliki variasi bentuk, yaitu datar, landai, agak curam, curam sampai dengan sangat curam dengan ketinggian antara 362–3 000 m dpl. Pada kawasan DAS Ciliwung Hulu dijumpai 4 ordo tanah, yaitu Entisol, Inceptisol, Ultisol, dan Andisol. Keempat ordo tanah ini dijabarkan menjadi lima jenis tanah, yaitu (1) Andosol Coklat Kekuningan, (2) Asosiasi Latosol Coklat Kemerahan dan Latosol Coklat, (3) Komplek Regosol Kelabu dan Litosol, (4) Latosol Coklat, dan (5) Latosol Coklat Kemerahan. Jenis tanah yang mendominasi adalah Latosol, Andosol, dan Regosol. Jenis tanah Latosol pada umumnya berbahan induk batuan vulkanik baik berupa tufa maupun beku. Jenis tanah ini merupakan hasil pelapukan lanjut, kandungan mineral primer (mudah lapuk) dan unsur hara rendah, pH rendah (4.5–5.5), kandungan bahan organik rendah, konsistensi gembur, struktur remah sampai gumpal, stabilitas agregat tinggi, tekstur liat tinggi. Jenis tanah Andosol berbahan induk vulkanik, kandungan bahan organik tinggi, pH 4.5–6.0, struktur remah, licin bila dipirid, dan tekstur sedang. Jenis tanah Regosol berbahan induk abu vulkan, tekstur kasar, kandungan bahan organik tinggi dan memiliki kadar fraksi pasir 60% atau lebih pada kedalaman 25–100 cm dari permukaan tanah mineral.

5. Penutupan Lahan

(36)

19 Aspek Sosial

Struktur ekonomi penduduk di lokasi penelitian ini tergolong sangat beragam dan terus mengalami pergeseran. Pergeseran struktur ekonomi penduduk ini terlihat nyata dari sektor pertanian ke sektor industri, perdagangan, dan jasa. Tingginya alih fungsi (konversi) dan kepemilikan lahan dapat mengindikasikan adanya kecenderungan bahwa kegiatan ekonomi berbasis lahan sulit dipertahankan. Semenjak timbulnya arus komersialisasi lahan, banyak penduduk yang berprofesi di sektor pertanian yang melepaskan sebagian atau seluruh lahan miliknya dan dijadikan lahan terbangun untuk kegiatan industri, perdagangan, dan jasa. Pada kondisi ini banyak penduduk yang beralih profesi ke sektor non-pertanian, seperti penjaga villa, buruh bangunan, supir angkutan umum, karyawan rumah makan, dan lainnya.

Sektor pariwisata memiliki peran cukup penting dalam meningkatkan ekonomi penduduk di lokasi penelitian. Sektor ini berkembang cukup baik, terlihat dari jumlah wisatawan pada tahun 2012 yang mencapai 2 306 375 wisatawan, yang terdiri dari 2 277 098 wisatawan nusantara dan 29 277 wisatawan mancanegara (Lampiran 4). Hal ini didukung oleh kondisi lokasi penelitian yang memiliki potensi pemandangan alam yang indah dan objek wisata yang cukup atraktif sehingga mampu menarik wisatawan datang ke wilayah ini.

Tingkat pendidikan penduduk di lokasi penelitian relatif rendah karena masih banyak penduduk yang belum sekolah-tidak tamat sekolah-tamat SD/sederajat. Berdasarkan data tahun 2012, di Kecamatan Ciawi jumlah penduduk yang belum sekolah-tidak tamat sekolah-tamat SD/sederajat mencapai 47.56% dari jumlah penduduknya dan di Kecamatan Cisarua mencapai 61.35% dari jumlah penduduknya. Sementara itu, yang mampu tamat hingga jenjang perguruan tinggi/sederajat hanya 1.59% dari jumlah penduduknya untuk Kecamatan Ciawi dan 0.33% dari jumlah penduduknya untuk Kecamatan Cisarua. Selain itu, selebihnya merupakan tamatan SLTP/sederajat, SLTA/sederajat, dan akademi/sederajat (Lampiran 5).

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR)

Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 19 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor tahun 2005-2025 (Gambar 7), RTRW merupakan hasil dari perencanaan tata ruang wilayah yang mencakup struktur dan pola ruang. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana serta sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial-ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional. Sedangkan pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan budidaya. Penyusunan RTRW merupakan upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 19 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor tahun 2005-2025, dijelaskan bahwa:

(37)

20

2. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.

3. Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.

4. Kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.

Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kawasan Puncak merupakan pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang untuk mengendalikan pertumbuhan kawasan terbangun. RDTR ini dapat berfungsi sebagai (1) dasar bagi kebijakan pemanfaatan ruang, (2) penyelaras strategi serta arahan kebijakan penataan ruang wilayah kabupaten dengan kebijakan penataaan ruang kawasan ke dalam struktur dan pola ruang kawasan perencanaan, (3) pedoman bagi pelaksanaan perencanaan, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang, (4) dasar pertimbangan dalam penyelarasan penataan ruang dengan kawasan lain yang berbatasan dengan kawasan perencanaan. Penyusunan RDTR ini diharapkan dapat membantu pemerintah daerah untuk tercapainya pemanfaatan ruang yang sesuai dengan arahan rencana tata ruangnya. Dalam RDTR Kawasan Puncak (Gambar 8), wilayah perencanaan dibagi ke dalam enam zona perencanaan yang disusun berdasarkan arahan RTRW kabupaten Bogor. Pembagian zona tersebut meliputi:

1. Zona I, berfungsi sebagai pusat kawasan di wilayah perencanaan yang berorientasi pada kegiatan perdagangan dan jasa (komersial modern), serta fungsi lainnya adalah kawasan permukiman kepadatan tinggi dan pelayanan umum.

2. Zona II, berfungsi sebagai kawasan permukiman kepadatan sedang dan fungsi lainnya adalah pelayanan umum.

3. Zona III, berfungsi sebagai kawasan permukiman kepadatan sedang dengan fungsi lainnya adalah perdagangan dan jasa skala lokal kawasan serta pelayanan umum.

4. Zona IV, berfungsi sebagai kawasan permukiman kepadatan rendah sampai sedang dengan fungsi lainnya adalah perdagangan dan jasa skala lokal kawasan serta pelayanan umum.

5. Zona V, berfungsi sebagai kawasan permukiman kepadatan rendah dengan fungsi lainnya adalah perdagangan dan jasa skala lokal kawasan serta pelayanan umum.

(38)

20 22

21

(39)

2

22

(40)

22

Indikator Keberlanjutan Biodiversitas Keberadaan Spesies Terancam (Threatened Species)

Dari 25 desa yang terdapat di lokasi penelitian, hanya 6 desa yang terdeteksi memiliki spesies terancam, yaitu Desa Sukaresmi, Sukagalih, Kuta, Citeko, Cibeureum, dan Tugu Selatan. Keenam desa tersebut terletak di Kecamatan Megamendung dan Cisarua. Berdasarkan Peta Indikator Keberadaan Spesies Terancam (Gambar 9), dapat diketahui bahwa luas area yang memiliki dan tidak memiliki spesies terancam mencapai 5 334 ha (37.24%) dari luas total dan 8 626 ha (60.22%) dari luas total. Luas area yang memiliki spesies terancam dari yang terbesar hingga terkecil di masing-masing kecamatan adalah 4 002 ha (27.94%) dari luas total untuk Kecamatan Cisarua, 1 332 ha (9,30%) dari luas total untuk Kecamatan Megamendung, dan 0 ha untuk Kecamatan Ciawi. Sementara itu, luas area yang tidak memiliki spesies terancam dari yang terbesar hingga terkecil di masing-masing kecamatan adalah 4 363 ha (30.46%) dari luas total untuk Kecamatan Cisarua, 3 797 ha (26.51%) dari luas total untuk Kecamatan Megamendung, dan 466 ha (3.25%) dari luas total untuk Kecamatan Ciawi.

Gambar 9 Peta indikator keberadaan spesies terancam

Area yang memiliki spesies terancam yang terluas terdapat di Desa Cibeureum (Kecamatan Cisarua), yaitu sebesar 2 555 ha (17.84%) dari luas total. Sementara itu, area yang tidak memiliki spesies terancam terdapat di Desa Banjar Waru, Ciawi, Bendungan, Pandansari (Kecamatan Ciawi); Desa Sukakarya, Sukamanah, Sukamaju, Sukamahi, Gadog, Cipayung Datar, Cipayung Girang, Megamendung (Kecamatan Megamendung); Desa Tugu Utara, Batu Layang, Cisarua, Kopo, Leuwimalang, Jogjogan, Cilember (Kecamatan Cisarua).

(41)

24

Gambar 10 Perbandingan luas area indikator keberadaan spesies terancam Beberapa jenis spesies yang memiliki status terancam yang berada di lokasi penelitian, yaitu:

a. Flora : Ormosia penangensis, Sphagnum gedeanum, Carex graffeana, Liparis biloburlata, Malaxis sagittata, Pachycentria varingiaefolia, Plathanthera blumeii, Corybas mucronatus, Castanopsis argentea, Nepenthes gymnamphora, Paphiopedilum javanicum, dan Alyxia reinwardtii (Gambar 11).

b. Fauna : Owa Jawa (Hylobates moloch), Surili Jawa (Presbytis comata), Macan Tutul (Panthera pardus), Anjing Hutan (Cuon alpinus), Trenggiling (Manis javanica), Elang Jawa (Spizatus bartelsi), Celepuk Gunung (Otus angelinae), Cerecet (Psaltria exilis), Alap-alap (Accipiter soloensis), Betet (Lanios scaeh), dan Raja Udang (Halcyon cyanoventris) (Gambar 12).

Sekitar 2 247.06 ha (36.71%) dari luas total area dengan nilai biodiversitas tinggi merupakan bagian dari kawasan TNGGP dan Telaga Warna. Dua resort lingkup wilayah Balai Besar TNGGP yang terdapat di lokasi penelitian, yaitu Resort Cisarua dan Mandalawangi memiliki luas masing-masing sebesar 1 738.59 ha (28.40%) dari luas total area nilai biodiversitas tinggi dan 16.01 ha (0.26%) dari luas total area nilai biodiversitas tinggi. Sementara itu, kawasan Telaga Warna yang terdapat di lokasi penelitian memiliki luas 492.46 ha (8.05%) dari luas total area nilai biodiversitas tinggi. Selain itu, sekitar 1 193 ha (19.49%) dari luas total area nilai biodiversitas tinggi merupakan kawasan perkebunan teh.

Gambar 11 Beberapa flora berstatus terancam di lokasi penelitian

(Sumber: www.mikskaar.com ; www.orchidspecies.com ; www.en.wikipedia.org)

(42)

25

Gambar 12 Beberapa fauna berstatus terancam di lokasi penelitian

(Sumber: www.azamku.com ; www.worldbirdinfo.net ; www.mangoverde.com ; www.en.wikipedia.org ; www.faridoeranggarut.blogspot.com)

Perubahan Penutupan dan Penggunaan Lahan (LUCC)

Dari 25 desa yang terdapat di lokasi penelitian, seluruhnya terdeteksi mengalami perubahan penutupan dan penggunaan lahan. Berdasarkan Peta Indikator Perubahan Penutupan dan Penggunaan Lahan (LUCC) (Gambar 13), dapat diketahui bahwa luas area yang mengalami perubahan lahan (ruang terbuka hijau-ruang terbangun) dan area yang tidak mengalami perubahan lahan (tetap ruang terbuka hijau) mencapai 2 635 ha (18.40%) dari luas total dan 11 325 ha (79.06%) dari luas total. Luas area yang tidak mengalami perubahan lahan dari yang terbesar hingga terkecil di masing-masing kecamatan adalah 6.838 ha (47.74%) dari luas total untuk Kecamatan Cisarua, 4 188 ha (29.24%) dari luas total untuk Kecamatan Megamendung, dan 299 ha (2.09%) dari luas total untuk Kecamatan Ciawi. Sementara itu, luas area yang mengalami perubahan lahan dari yang terbesar hingga terkecil di masing-masing kecamatan adalah 1 527 ha (10.66%) dari luas total untuk Kecamatan Cisarua, 941 ha (6.57%) dari luas total untuk Kecamatan Megamendung, dan 167 ha (1.17%) dari luas total untuk Kecamatan Ciawi. Sekitar 1 448 ha (54.96%) dari luas total area yang mengalami perubahan lahan menjadi ruang terbangun merupakan tipe penutupan lahan berupa ladang. Selain itu, sekitar 480 ha (18.22%) dan 160 ha (6.07%) lainnya merupakan sawah dan semak belukar (Lampiran 6).

(43)

26

Gambar 13 Peta indikator perubahan penutupan dan penggunaan lahan (LUCC) Area yang tidak mengalami perubahan lahan yang terluas terdapat di Desa Cibeureum (Kecamatan Cisarua), yaitu sebesar 2 555 ha (17.84%) dari luas total. Sementara itu, area yang tidak mengalami perubahan lahan yang terkecil terdapat di Desa Banjar Waru (Kecamatan Ciawi), yaitu sebesar 6 ha (0.04%) dari luas total. Perubahan lahan yang terluas terdapat di Desa Kopo (Kecamatan Cisarua), yaitu sebesar 287 ha (2%) dari luas total. Sementara itu, perubahan lahan yang terkecil terdapat di Desa Sukaresmi (Kecamatan Megamendung), yaitu sebesar 4 ha (0.03%) dari luas total.

(44)

27 Intensitas Penggunaan Lahan Pertanian Organik

Dari 25 desa yang terdapat di lokasi penelitian, hanya 4 desa yang memiliki lahan pertanian organik, yaitu Desa Cipayung Datar, Cibeureum, Tugu Selatan, dan Batu Layang. Keempat desa tersebut terletak di Kecamatan Megamendung dan Cisarua. Berdasarkan Peta Indikator Penggunaan Lahan Pertanian Organik (Gambar 15), dapat diketahui bahwa luas area yang terdapat dan tidak terdapat lahan pertanian organik mencapai 365 ha (2.55%) dari luas total dan 13 586 ha (94.85%) dari luas total. Luas area yang terdapat lahan pertanian organik dari yang terbesar hingga terkecil di masing-masing kecamatan adalah 218 ha (1.52%) dari luas total untuk Kecamatan Cisarua, 147 ha (1.03%) dari luas total untuk Kecamatan Megamendung, dan 0 ha untuk Kecamatan Ciawi. Sementara itu, luas area yang tidak terdapat lahan pertanian organik dari yang terbesar hingga terkecil di masing-masing kecamatan adalah 8 138 ha (56.81%) dari luas total untuk Kecamatan Cisarua, 4 982 ha (34.78%) dari luas total untuk Kecamatan Megamendung, dan 466 ha (3.25%) dari luas total untuk Kecamatan Ciawi.

Gambar 15 Peta indikator penggunaan lahan pertanian organik

(45)

28

Gambar 16 Perbandingan luas area indikator penggunaan lahan pertanian organik Sekitar 218 ha (59.73%) dari luas total lahan pertanian organik yang ada di lokasi penelitian merupakan lahan pertanian organik yang terletak di Kecamatan Cisarua. Sementara itu, sekitar 147 ha (40.27%) lainnya merupakan lahan pertanian organik yang terletak di Kecamatan Megamendung. Pengembangan lahan pertanian pada kedua kecamatan tersebut relatif menyesuaikan dengan kontur lahan.

Gambar 17 Lahan pertanian organik di Kecamatan Megamendung

(46)

29

Gambar 19 Pengembangan lahan pertanian organik mengikuti kontur lahan Jumlah Penduduk

(47)

30

Gambar 20 Peta indikator jumlah penduduk

Area dengan tingkat kepadatan penduduk sedang-jarang yang terluas terdapat di Desa Cibeureum (Kecamatan Cisarua), yaitu sebesar 2 555 ha (17.84%) dari luas total. Sementara itu, area dengan tingkat kepadatan penduduk sedang-jarang yang terkecil terdapat di Desa Banjar Waru (Kecamatan Ciawi), yaitu sebesar 6 ha (0.04%) dari luas total. Area dengan tingkat kepadatan penduduk padat yang terluas terdapat di Desa Kopo (Kecamatan Cisarua), yaitu sebesar 287 ha (2%) dari luas total. Sementara itu, area dengan tingkat kepadatan penduduk padat yang terkecil terdapat di Desa Sukaresmi (Kecamatan Megamendung), yaitu sebesar 4 ha (0.03%) dari luas total.

(48)

31 Pekerjaan Penduduk

Dari 25 desa yang terdapat di lokasi penelitian, hanya 8 desa yang pekerjaan penduduknya dominan di sektor pertanian, yaitu Desa Sukagalih, Sukakarya, Sukamanah, Sukamaju, Sukamahi, Megamendung, Cibeureum, dan Cilember. Kedelapan desa tersebut terletak di Kecamatan Megamendung dan Cisarua. Berdasarkan Peta Indikator Pekerjaan Penduduk (Gambar 22), dapat diketahui bahwa luas area dengan pekerjaan penduduk dominan dan tidak dominan di sektor pertanian mencapai 6 277 ha (43.82%) dari luas total dan 7 683 ha (53.64%) dari luas total. Luas area yang pekerjaan penduduknya dominan di sektor pertanian dari yang terbesar hingga terkecil di masing-masing kecamatan adalah 3 182 ha (22.21%) dari luas total untuk Kecamatan Megamendung, 3 095 ha (21.61%) dari luas total untuk Kecamatan Cisarua, dan 0 ha untuk Kecamatan Ciawi. Sementara itu, luas area yang pekerjaan penduduknya tidak dominan di sektor pertanian dari yang terbesar hingga terkecil adalah 5 270 ha (36.79%) dari luas total untuk Kecamatan Cisarua, 1 947 ha (13.59%) dari luas total untuk Kecamatan Megamendung, dan 466 ha (3.25%) dari luas total untuk Kecamatan Ciawi.

Gambar 22 Peta indikator pekerjaan penduduk

(49)

32

Gambar 23 Perbandingan luas area indikator pekerjaan penduduk

Di Kecamatan Ciawi, tiga struktur ekonomi utama penduduknya bergerak di sektor perdagangan dan jasa (43.57% dari total penduduk), industri (16.71% dari total penduduk), dan pertanian (11.81% dari total penduduk). Di Kecamatan Megamendung, tiga struktur ekonomi utama penduduknya bergerak di sektor pertanian (51.00% dari total penduduk), perdagangan dan jasa (18.60% dari total penduduk), dan PNS-TNI-Polri (14.08% dari total penduduk). Di Kecamatan Cisarua, tiga struktur ekonomi utama penduduknya bergerak di sektor angkutan (35.60% dari total penduduk), pertanian (20.42% dari total penduduk), dan buruh bangunan (15.31% dari total penduduk) (Lampiran 8).

Infrastruktur

(50)

33

Gambar 24 Peta indikator infrastruktur

Area yang tidak memiliki infrastruktur yang terluas terdapat di Desa Cibeureum (Kecamatan Cisarua), yaitu sebesar 2 281 ha (15.92%) dari luas total. Sementara itu, area yang tidak memiliki infrastruktur yang terkecil terdapat di Desa Banjar Waru (Kecamatan Ciawi), yaitu sebesar 0 ha. Area yang memiliki infrastruktur yang terluas terdapat di Desa Kopo (Kecamatan Cisarua), yaitu sebesar 733 ha (5.12%) dari luas total. Sementara itu, area yang memiliki infrastruktur yang terkecil terdapat di Banjar Waru (Kecamatan Ciawi), yaitu sebesar 12 ha (0.08%) dari luas total.

(51)

34

Dilihat dari luas lahan yang memiliki infrastruktur, Kecamatan Megamendung merupakan wilayah terluas yang memiliki lahan dengan infrastruktur, yaitu mencapai 72.25% dari luas wilayah. Sementara itu, Kecamatan Ciawi merupakan wilayah terluas kedua yang memiliki infrastruktur, yaitu mencapai 72.04% dari luas wilayahnya. Selain itu, luas lahan yang memiliki infrastruktur di Kecamatan Cisarua hanya sebesar 40.37% dari luas wilayahnya.

Gambar 26 Infrastruktur di sepanjang jalan utama Kawasan Puncak Nilai dan Distribusi Biodiversitas

(52)

35

Gambar 27 Peta nilai dan distribusi biodiversitas

(53)

36

Gambar 28 Grafik perbandingan luas area nilai biodiversitas Tabel 4 Luas area nilai biodiversitas

No. Desa Area (ha)

Rendah Sedang Tinggi

1 Banjar Waru 6 6 0

2 Ciawi 18 8 0

3 Bendungan 39 143 0

4 Pandansari 104 142 0

5 Sukaresmi 4 0 100

6 Sukagalih 123 0 572

7 Kuta 145 0 660

8 Sukakarya 70 250 9

9 Sukamanah 88 191 15

10 Sukamaju 122 193 8

11 Sukamahi 64 143 5

12 Gadog 77 172 0

13 Cipayung Datar 130 412 0

14 Cipayung Girang 65 182 0

15 Megamendung 53 546 730

16 Citeko 174 0 581

17 Cibeureum 209 0 2 555

18 Tugu Selatan 188 0 866

19 Tugu Utara 256 1 199 0

20 Batu Layang 101 170 0

21 Cisarua 129 166 0

22 Kopo 287 477 0

23 Leuwimalang 75 170 0

24 Jogjogan 56 375 0

25 Cilember 52 259 20

(54)

37 Berdasarkan hasil identifikasi nilai biodiversitas, sekitar 65.71% dari luas total area nilai biodiversitas tinggi terletak di Kecamatan Cisarua. Sementara itu, sekitar 34.29% lainnya terletak di Kecamatan Megamendung (Gambar 29). Selain itu, sekitar 54.11% dari luas total luas total area nilai biodiversitas sedang terletak di Kecamatan Cisarua. Sementara itu, sekitar 40.14% dan 5.75% lainnya terletak di Kecamatan Megamendung dan Ciawi (Gambar 30). Sekitar 57.95% dari luas total area nilai biodiversitas rendah terletak di Kecamatan Cisarua. Selain itu, sekitar 35.71% dan 6.34% lainnya terletak di Kecamatan Megamendung dan Ciawi (Gambar 31).

Gambar 29 Area nilai biodiversitas tinggi

Gambar 30 Area nilai biodiversitas sedang

(55)

38

PEMBAHASAN

Indikator Keberlanjutan Biodiversitas Keberadaan Spesies Terancam (Threatened Species)

Pada lokasi penelitian, spesies yang berstatus terancam berada di kawasan konservasi in-situ, di antaranya Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), Cagar Alam (CA) Telaga Warna, dan Taman Wisata Alam (TWA) Telaga Warna. Pada kawasan TNGGP terdapat lebih dari 1 000 jenis flora dimana sekitar 900 jenis merupakan tumbuhan berbunga (spermatophyta), 250 jenis tumbuhan paku, lebih dari 123 jenis lumut, dan berbagai jenis ganggang, sphagnum, jamur, serta tumbuhan thallophyta lainnya. Selain kekayaan jenis flora dalam bentuk tumbuhan dewasa, kawasan ini juga memiliki kekayaan jenis berupa bank biji yang tersimpan di dalam tanah. Di samping kekayaan flora, kawasan TNGGP juga kaya akan beragam jenis fauna, mulai dari jenis primata, mamalia, burung, hingga bermacam satwa kecil. TNGGP merupakan kawasan yang memiliki jenis burung tertinggi di Pulau Jawa, yaitu sekitar 53% atau 260 jenis dari 460 jenis. Sebanyak 21 jenis burung merupakan jenis burung endemik di Pulau Jawa, 58 jenis berstatus dilindungi, 2 jenis berstatus agak jarang dijumpai, 34 jenis berstatus jarang dijumpai, dan 1 jenis berstatus sangat jarang dijumpai. Selain itu, terdapat 3 jenis burung yang berstatus endemik sekaligus jarang ditemukan dan dilindungi. Kawasan Telaga Warna memiliki beragam flora yang menjadi potensi. Selain itu, kawasan ini juga memiliki fauna yang tergolong endemik dan langka.

Kawasan TNGGP dan Telaga Warna memiliki beragam jenis ekosistem. Secara umum, kawasan TNGGP memiliki tiga jenis ekosistem menurut ketinggiannya, yaitu (1) ekosistem hutan pegunungan bawah, (2) ekosistem hutan pegunungan atas, dan (3) ekosistem sub-alpin. Selain ketiga ekosistem utama tersebut, terdapat lima jenis ekosistem khas yang tidak dipengaruhi oleh ketinggian, yaitu (1) ekosistem rawa, (2) ekosistem kawah, (3) ekosistem alun-alun, (4) ekosistem danau, dan (5) ekosistem hutan tanaman. Sementara itu, pada kawasan Telaga Warna terdapat tiga jenis ekosistem, yaitu (1) ekosistem hutan hujan tropis pegunungan, (2) ekosistem rawa pegunungan, dan (3) ekosistem danau.

(56)

39 019 m dpl dan dicirikan oleh keanekaragaman flora yang lebih rendah dibandingkan ekosistem hutan pegunungan bawah, dengan strata tajuk sederhana dan pendek yang disusun oleh jenis pohon-pohon kecil, serta susunan strata bawah yang tidak terlalu rapat.

Kawasan perkebunan teh yang terdapat di lokasi penelitian merupakan area yang termasuk ke dalam area nilai biodiversitas tinggi. Kawasan ini memiliki peran penting terkait keberlangsungan spesies terancam yang ada di kawasan TNGGP maupun Telaga Warna. Beberapa jenis fauna seperti Elang Jawa (Spizatus bartelsi) yang berhabitat di hutan primer yang ada di kawasan TNGGP dan Telaga Warna akan mencari makan di hutan sekunder yang berada di sekitar kawasan perkebunan teh. Selain itu, kawasan perkebunan teh ini juga berfungsi sebagai penyangga (buffer zone) bagi kawasan TNGGP dan Telaga Warna. Gangguan yang datang dari luar habitat spesies terancam tersebut akan diminimalisir atau bahkan dinetralisir oleh kawasan penyangga ini, sehingga efek yang ditimbulkannya tidak akan mengancam keberlanjutannya.

Perubahan Penutupan dan Penggunaan Lahan (LUCC)

Berdasarkan Peta Perubahan Penutupan dan Penggunaan Lahan periode 2002-2009, dapat diketahui bahwa selama kurun waktu tersebut sebagian besar lahan di lokasi penelitian mengalami perubahan (Lampiran 8). Perubahan lahan dari ruang terbuka hijau menjadi tipe penutupan lahan lainnya tetapi masih berupa ruang terbuka hijau seperti perubahan semak belukar menjadi ladang, tidak terlalu berdampak negatif bagi keberlanjutan biodiversitas. Perubahan lahan tersebut memang memberikan perubahan bagi biodiversitas asli yang ada di kawasan tersebut, tetapi secara keseluruhan tidak berdampak signifikan karena dengan tipe penutupan lahan terbuka yang berbeda akan tetap memberikan kontribusi biodiversitas yang berbeda sesuai dengan ekosistem yang dimilikinya. Sementara itu, perubahan lahan menjadi ruang terbangun memiliki dampak negatif bagi keberlanjutan biodiversitas yang ada di dalamnya, seperti perubahan kawasan hutan menjadi kawasan permukiman yang mengakibatkan hilangnya biodiversitas yang ada di ekosistem pada kawasan hutan. Selain itu, perubahan lahan menjadi ruang terbangun ini juga dapat mengakibatkan terfragmentasinya habitat satwa tertentu.

(57)

40

Sistem kepemilikan dan pengelolaan yang jelas menjadi salah satu faktor yang dapat menekan terjadinya perubahan lahan. Kawasan perkebunan teh Gunung Mas yang merupakan kawasan agrowisata yang terdapat di lokasi penelitian terbagi menjadi 2 kepemilikan, baik dari pihak pemerintah maupun swasta, yaitu PT Perkebunan Nusantara VIII Bogor/PTPN VIII dan Toyota (Paparia Warna). Kawasan lindung seperti TNGGP dan CA-TWA Telaga Warna yang dimiliki dan dan dikelola oleh negara, relatif aman dari ancaman konversi lahan. Selain itu, adanya peraturan dan perundang-undangan terkait perlindungan suatu area atau kawasan tertentu juga menjadi salah satu faktor penting yang dapat menekan terjadinya perubahan lahan.

Penggunaan Lahan Pertanian Organik

Kegiatan pertanian yang ada di lokasi penelitian berkaitan erat dengan pengoptimalan lahan untuk kepentingan ekonomi dan pemenuhan kebutuhan pangan sehari-hari. Menurut Sulaeman (2008), pertanian organik merupakan sistem produksi pertanian yang holistik dan terpadu, yang mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas agro-ekosistem secara alami, sehingga mampu menghasilkan pangan dan serat yang cukup, berkualitas, dan berkelanjutan. Dalam praktiknya, pertanian organik dilakukan dengan beberapa cara, yaitu (1) menghindari penggunaan benih atau bibit hasil rekayasa genetika, (2) menghindari penggunaan pestisida kimia sintetis, (3) mengendalikan gulma, hama, dan penyakit dengan cara mekanis, biologis, dan rotasi tanaman, (4) menghindari penggunaan zat pengatur tumbuh dan pupuk kimia sintetis, (5) meningkatkan kesuburan dan produktivitas tanah dengan cara menambahkan residu tanaman, pupuk kandang, dan batuan mineral alami, serta penanaman legum dan rotasi tanaman, dan (6) menghindari penggunaan hormon tumbuh dan bahan aditif sintetis dalam makanan ternak. Sistem pertanian organik ini memiliki beberapa keuntungan, yaitu (1) dihasilkannya makanan yang cukup, aman, dan bergizi sehingga meningkatkan kesehatan masyarakat, (2) terciptanya lingkungan kerja yang aman dan sehat bagi petani, (3) minimalnya semua bentuk polusi yang dihasilkan dari kegiatan pertanian, (4) meningkat dan terjaganya produktivitas lahan pertanian dalam jangka panjang, dan (5) terpeliharanya kelestarian sumber daya alam dan lingkungan.

Pada lahan pertanian organik di lokasi penelitian, sebagian besar komoditas yang ditanam adalah sayur-sayuran, seperti wortel, bayam, selada, caisim, bawang daun, terung, dan kembang kol. Selebihnya merupakan tanaman buah, herba, dan rimpang. Terdapat beberapa perbedaan komoditas yang ditanam di lahan pertanian organik di Kecamatan Megamendung dan Cisarua. Hal ini disebabkan oleh perbedaan ketinggian yang menyebabkan berbedanya kondisi lingkungan tumbuh optimal bagi tanaman tertentu, seperti wortel yang hanya ditemukan di lahan pertanian organik yang terdapat di Kecamatan Cisarua. Seluruh benih dan bibit yang digunakan merupakan varietas lokal dan umumnya dikembangkan dari lahan pertanian tersebut. Hal ini memiliki peran positif dalam menjaga keberlanjutan agrobiodiversitas dan lingkungan di sekitarnya.

Gambar

Gambar 1  Bagan kerangka pikir
Gambar 2  Lokasi penelitian (Kecamatan Ciawi, Megamendung, Cisarua)
Tabel 1  Jenis, bentuk, sumber, dan kegunaan data (lanjutan)
Gambar 3  Bagan alur penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Diharapkan pihak Kantor Pelayanan Pajak Pratama Malang Utara dapat mempertahankan serta meningkatkan kinerja terhadap pelayanan, karena variabel pelayanan mempunyai

ie ye atau ikat celup pada dasarnya mempunyai pengertian yang sama yaitu menghias kain dengan cara diikat atau dalam bahasa &lt;a)a dijumput sedikit, dengan tali atau

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penilaian kemampuan literasi anak yang ditsimulasi menggunakan teknologi multimedia dilakukan dengan teknik pengamatan, hasil karya penugasan,

Rancang bangun sistem monitoring informasi bus pada terminal bus berbasis internet of things dengan Arduino Uno dan NodeMCU ini menggunakan RFID reader berbasis

PROSES PENYEMBUHAN LUKA BAKAR PADA MENCIT PUTIH JANTAN 55-59 MENGGUNAKAN MEMBRAN PEMBALUT DARI PATI BENGKUANG.. (Pachyrrhizus erosus (L) Urban) Yufri Aldi, Dedi Nofiandi,

Kerjasama yang telah dilakukan PS Fisika berkaitan dengan instansi dalam negeri yaitu pembinaan Olimpiade Sain Nasinal (OSN) dengan pihak Dikpora Bali, memberikan

[r]

Berpengaruh tidak nyata jumlah setek mikro disebabkan oleh media tanam yang belum terolah dengan sempurna dan daya serap akar untuk penyerapan unsur hara yang