• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Anak di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Anak di Indonesia"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ANAK DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

NURUL BASHIROH 110200352

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ANAK DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

NURUL BASHIROH 110200352

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui oleh :

Ketua Departemen Hukum Pidana

Dr. M. Hamdan, S.H., M.H. NIP : 195703261986011001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Madiasa Ablisar, S.H., M.S. Alwan, S.H., M.Hum.

NIP. 196104081986011002 NIP.196005201998021001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahiim

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini guna penyelesaian studi untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Adapun judul dari skripsi ini adalah “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ANAK DI INDONESIA”.

Skripsi ini penulis persembahkan kepada kedua orang tua tercinta, Ibu Iswati dan Romo Eko Laksono Putro yang telah tulus ikhlas memberikan doa, dukungan, perhatian cinta dan kasih sayang yang tak terhingga. Terima kasih atas segenap waktu yang telah diluangkan untuk mengasuh, mendidik, membimbing, dan mengiringi penulis dengan alunan doa yang tiada henti agar penulis dapat menggapai cita-citanya. Pada kesempatan ini pula, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dan kepada pihak yang telah menjadi bagian penting selama penulis menjalani kehidupan perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU), yaitu :

1. Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum USU.

(4)

3. Bapak Syafruddin, S.H.,M.H.,DFM., selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum USU.

4. Bapak Dr. O.K. Saidin, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum USU.

5. Bapak Dr. M. Hamdan, S.H., M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU.

6. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU.

7. Bapak Dr. Madiasa Ablisar, S.H., M.S., selaku Dosen Penasehat Akademis dan Dosen Pembimbing I penulis yang penuh kesabaran membimbing penulis baik dalam studi maupun dalam penulisan skripsi ini.

8. Bapak Alwan, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II penulis yang penuh kesabaran membimbing penulis baik dalam studi maupun dalam penulisan skripsi ini.

9. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum USU yang telah mendidik dan memberikan bimbingan kepada penulis selama masa perkuliahan di Fakultas Hukum USU yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. 10. Pegawai Administrasi Fakultas Hukum USU yang telah banyak membantu dalam proses administrasi mulai dari penulis masuk kuliah hingga penulis menyelesaikan skripsi ini.

(5)

12. Kepada pria sekaligus sahabat teristimewa penulis, Aan Febriyanto. Terima kasih atas dukungan, perhatian, kasih sayang dan kesabaran kamu dalam menghadapi aku selama ini. Semoga kelak kamu menjadi pria hebat.

13. Sahabat-sahabat tersayang penulis, Yuristia Eka Erwanda, Rizky Novia Karolina, Charlene Fortuna Tania, Sabrina Amanda, Samitha Andimas Putri, Arnold Halomoan Sihombing, Jekson Pakpahan, Hengky P. Simanjuntak, Ashari Maulana Reza Siregar. Terima kasih atas kebersamaan, canda tawa dan dukungan kalian selama ini, semoga persahabatan kita berlangsung selama-lamanya.

14. Saudara terkasih penulis, Erika Wijayanti dan Muhammad Alfan, terima kasih atas doa, dukungan dan kebersamaan kita selama ini. 15. Teman-teman Stambuk 2011 Fakultas Hukum USU, khususnya

teman-teman terbaik penulis Hadi Astra Darmana Simangunsong, Dedy Syahputra Lubis, Pranto Situmorang, Rahmad Kharisman Nasution, Andana, Jhonny, Kardo, dan teman-teman lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Terima kasih atas dukungan dan canda tawa kalian.

16. Seluruh pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Medan, Mei 2015 Penulis

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAKSI... vii

BAB IPENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 7

E. Tinjauan Pustaka ... 8

1. Pengertian Pengaturan Hukum ... 8

2. Pengertian Pekerja Anak ... 12

3. Pengertian Eksploitasi... 14

4. Pengertian Perlindungan Hukum ... 15

F. Metode Penelitian ... 18

G. Sistematika Penulisan ... 20

(7)

1.1. Undang-Undang Nomor 20 tahun 1999 Tentang Ratifikasi Konvensi ILO Nomor 138 Mengenai Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja ... 21 1.2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 Tentang Ratifikasi Konvensi ILO Nomor 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segala Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Pada Anak... 23 1.3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia ... 26 1.4. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak ... 28 1.5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak... 28 1.6. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan ... 30 2. Keputusan Presiden

(8)

3. 1. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan

Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Bagi Anak ... 33

3. 2. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Anak ... 34

4. Peraturan Daerah Kabupaten 4. 1. Peraturan Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Zona Bebas Pekerja Anak di Kabupaten Kutai Kartanegara ... 35

4. 2. Peraturan Daerah Kabupaten Tulungagung Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Anak ... 37

B. Ketentuan pidana terhadap pelaku tindak pidana eksploitasi pekerja anak dalam instrumen hukum positif di Indonesia ... 38

1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ... 38

2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan... 39

BAB III PERLINDUNGAN TERHADAP PEKERJA ANAK DI INDONESIA A.Pekerja Anak sebagai korban eksploitasi... 45

1. Bentuk-bentuk eksploitasi pekerja anak ... 43

2. Faktor penyebab terjadinya eksploitasi pekerja anak ... 55

(9)

1. Upaya Penal ... 63 2. Upaya Non-penal ... 67 D.Hambatan pemerintah dalam menanggulangi eksploitasi pekerja

anak ... 70 BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

(10)

ABSTRAKSI

*)

Nurul Bashiroh

**)

Dr. Madiasa Ablisar, S.H., M.S.

***)

Alwan, S.H., M.Hum.

Skripsi ini berbicara tentang bagaimana pengaturan tindak pidana eksploitasi pekerja anak dalam pengaturan hukum positif di Indonesia, dimana kita tahu bahwa keberadaan pekerja anak yang semakin meluas dan semakin banyak pengusaha yang menggunakan tenaga pekerja anak karena dinilai dapat bekerja secara produktif seperti orang dewasa, tidak banyak tuntutan dan dapat dibayar dengan upah yang murah tanpa protes. Sehingga tak jarang hal tersebut membuka peluang bagi pengusaha untuk melakukan tindakan eksploitasi terhadap pekerja anak tersebut. Di dalam skripsi ini permasalahan yang dibahas adalah Pengaturan Hukum tentang Eksploitasi Pekerja Anak dan Perlindungan terhadap Pekerja Anak di Indonesia

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif. Yaitu norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat negara yang berwenang. Disamping itu, metode pengumpulan data yang digunakan adalah Library Research, yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan, antara lain buku-buku, pendapat para sarjana, dan lain-lain yang diperoleh dari internet.

Bahwa berdasarkan penelitian tersebut ditemukan bahwa terjadinya tindak pidana eksploitasi pekerja anak disebabkan oleh keberadaan pekerja anak itu sendiri. Keberadaan pekerja anak itu dapat ditinjau dari 2 (dua) sisi, yaitu penawaran (supply) dan permintaan (demand). Dimana secara umum keberadaan pekerja anak tersebut disebabkan oleh 2 (dua) faktor utama, yaitu kemiskinan dan gagalnya sistem pendidikan. Dalam upaya pencegahan tindak pidana eksploitasi pekerja anak, pemerintah mengadakan upaya penal dan non-penal. Yang mana upaya tersebut harus mendapatkan pengawasan dari pihak-pihak terkait agar tindakan eksploitasi pekerja anak di Indonesia dapat diberantas.

Kata Kunci : Eksploitasi, Pekerja Anak, Hukum Positif di Indonesia

*)

Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara

**)

Pembimbing I, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara

***)

(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak merupakan generasi penerus cita-cita bangsa dan merupakan bagian terpenting dari proses pembangunan nasional sebagai investasi manusia yang seharusnya mendapatkan perlindungan baik dari pemerintah maupun masyarakat suatu negara. Namun, kondisi sosial ekonomi negara dan orang tua kadang menjadikan anak tidak dapat melakukan hal-hal sewajarnya. Tak jarang anak terpaksa bekerja demi membantu keluarganya dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Indonesia merupakan salah satu negara yang meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak-hak Anak, melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 36/0 tanggal 25 Agustus 1990. Dengan diratifikasinya konvensi tersebut, seharusnya secara hukum negara berkewajiban melindungi dan memenuhi hak-hak anak, baik sosial, politik, budaya dan ekonomi.1

Namun, pada kenyataannya negara masih belum mampu memenuhi kewajiban untuk memenuhi hak-hak anak. Salah satu permasalahan yang sampai saat ini masih kerap terjadi adalah keberadaan pekerja anak. Selain melanggar hak-hak anak, keberadaan pekerja anak ini juga dapat membawa dampak buruk kepada anak itu sendiri baik secara psikis maupun fisik, bahkan dikhawatirkan dapat mengganggu masa depan anak-anak yang seharusnya mendapatkan

1

(12)

kehidupan yang lebih baik.

Masalah pekerja anak di Indonesia sesungguhnya telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Keadaan tersebut setidaknya ditunjukkan dengan diterbitkannya ordinasi pada tanggal 17 Desember 1925 yang melarang anak di usia 12 tahun untuk bekerja. Setelah Indonesia merdeka, batasan usia tersebut berubah menjadi 14 tahun untuk bekerja di malam hari, sebagaimana yang tertulis pada Lembaran Negara No:8/1949. Pada tahun 1951 diterbitkan Undang-undang No. 12/1948 di seluruh Indonesia yang melarang anak-anak (14 tahun ke bawah) menjalankan pekerjaan macam apapun di perusahaan apa pun, kecuali pekerjaan yang dilakukan anak pelajar di sekolah pertukangan, dan pekerjaan oleh anak untuk orang tuanya. Akan tetapi, karena tidak dilengkapi peraturan pelaksanaannya, maka sulit memberlakukan sanksi terhadap perusahaan yang melanggar ketentuan tersebut.2

Pembenahan kondisi pekerja anak merupakan suatu kebutuhan terutama bagi bangsa Indonesia. Pekerja anak harus mendapat perhatian penuh pemerintah dan perlu dijadikan salah satu prioritas pembangunan.

Saat ini negara-negara maju semakin memperhatikan kesejahteraan dan kehidupan buruh. Sebelumnya, melimpahnya sumber daya, murahnya upah buruh, dan pemakaian buruh anak di sektor industri, mungkin dapat menjadi daya tarik investor. Namun, saat pada era ekonomi global ini, pemakaian buruh murah dan pekerja anak menjadi tidak patut dalam ketenagakerjaan

Meskipun banyak kekhawatiran yang muncul, permasalahan pekerja anak di Indonesia ternyata tidak dapat disikapi dengan pilihan boleh atau tidak. Seharusnya, anak-anak memang tidak perlu bekerja, akan tetapi ketika keadaan sosial-ekonomi memaksa mereka bekerja untuk membantu perekonomian keluarga maupun demi kelangsungan hidupnya sendiri.

Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh White (1994), bahwa untuk kasus Indonesia, pekerja anak sebaiknya tidak usah dilarang. Asalkan anak-anak tersebut masih mempunyai kesempatan untuk sekolah dan

2

(13)

pekerja anak mengerjakan pekerjaan yang masih dalam batas kemampuannya. Pernyataan ini sesungguhnya menyebutkan bahwa anak-anak sebaiknya dibolehkan bekerja, tetapi harus dilindungi dari eksploitasi pihak-pihak yang mempekerjakannya, dan menjaga hak-haknya agar senatiasa dipenuhi.3

Oleh karena itulah, sekalipun Indonesia telah meratifikasi Konvensi ILO 1973/138 yang menetapkan batas usia minimal untuk diperbolehkan bekerja, yaitu 15 tahun, pemerintah Indonesia tidak dapat memberlakukannya dengan tegas. Pemerintahan Indonesia lebih memilih kebijakan untuk mentolerir keberadaan pekerja anak dengan memberikan perlindungan terhadap mereka.

Akibatnya, Undang-Undang yang mengatur tentang ketenagakerjaan yaitu Undang-Undang No. 25 Tahun 1997 terkesan kontroversi. Hal ini dapat dilihat pada pasal 95 ayat 1 diatur mengenai larangan anak bekerja, tetapi pada pasal 96 ayat 1 disebutkan: “larangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 95 tidak berlaku bagi anak yang karena alasan tertentu terpaksa bekerja.” Hal ini sesungguhnya

merupakan cerminan ketidaktegasan pemerintah dalam menyikapi keberadaan pekerja anak.

Di Indonesia sendiri terdapat berbagai peraturan yang telah ditetapkan untuk melindungi pekerja anak, namun pada kenyataannya masih banyak pengusaha atau majikan yang memperlakukan pekerja anak dengan buruk, seperti: praktik eksploitasi, menempatkan anak-anak pada pekerjaan yang tidak sesuai dengan kondisi fisik anak-anak, dan bahkan berbahaya bagi keselamatan jiwanya.

Pada kenyataannya, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) dari tahun ke tahun pekerja anak di Indonesia sebagian besar berusia antara 13-14 tahun dan bekerja rata-rata selama 6-7 jam sehari yang tentunya telah melanggar batasan

3

(14)

waktu anak untuk dapat bekerja. Bahkan tak jarang kita lihat, pekerja anak tersebut bekerja di sektor berbahaya dan diperlakukan secara tidak manusiawi untuk ukuran anak-anak. Akibatnya, pekerja anak tersebut kehilangan kesempatan untuk tumbuh berkembang secara wajar dalam hal fisik, psikologis, sosial, dan pendidikan. Mereka dapat kehilangan masa dimana mereka seharusnya menikmati masa bermain, belajar, bergembira, dan mendapatkan kedamaian.

Oleh karena itu, dapat kita lihat bahwa permasalahan utama disini bukanlah anak yang bekerja, melainkan adanya potensi untuk mengeksploitasi pekerja anak yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu yang meperlakukan pekerja anak dengan buruk dan tidak semestinya.

Melihat keadaan tersebut, terlihat bahwa pendekatan hukum masih belum efektif untuk melindungi pekerja anak. Pemerintah juga melakukan upaya lain yang diharapkan selain dapat memenuhi hak-hak anak, juga diharapkan dapat mengurangi jumlah anak yang terjun ke dalam dunia kerja, yaitu program Wajib Belajar (Wajar). Akan tetapi, hak ini juga dinilai belum efektif melihat masih banyaknya anak-anak yang terjun ke dunia kerja.

Keadaan ini disebabkan karena pekerja anak biasanya datang dari kelompok masyarakat yang perekonomiannya masih tertinggal. Sehingga, keluarga demikian tidak mungkin atau kesulitan untuk melakukan investasi, baik yang berbentuk modal maupun investasi sosial sehingga anak-anak terpaksa berhenti pada tingkat pendidikan rendah atau tidak mengecap pendidikan sama sekali. Dan disertai pandangan bahwa anak merupakan faktor produksi, sehingga anak dipaksa atau terpaksa bekerja.

(15)

bahwa bagaimanapun hak anak harus dipenuhi. Jadi, bila keluarga (orang tua) sebagai „penjamin alamiah‟ (natural supporter) terhadap seluruh kebutuhan anak gagal atau tidak mampu memenuhi, maka masyarakat, bangsa dan negaralah yang harus mengambil alih. Akan tetapi, Negara Kesatuan Republik Indonesia pun tidak mempunyai kemampuan untuk mengambil alih semua tanggung jawab orang tua tersebut, karena keterbatasan sumber daya yang dimiliki.4

Untuk mengatasi permasalahan pekerja anak tersebut, hal yang perlu dilakukan adalah dengan mencari penyebab munculnya pekerja anak. Dengan ditemukannya faktor penyebab, diharapkan pemerintah dan masyarakat dapat melakukan upaya guna membenahinya, sehingga anak-anak tercegah untuk terjun ke dunia kerja, atau paling tidak dapat semakin memperkecil peluang anak-anak untuk terjun ke dunia kerja pada usia dini atau memberikan perlindungan yang cukup bagi anak-anak yang terlanjur terjun ke dunia kerja serta hal ini juga diharapkan akan membantu segenap pihak yang bekompeten guna mengambil langkah-langkah untuk paling tidak mengurangi keberadaan pekerja anak.

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, permasalahan besar yang dihadapi pekerja anak adalah berpotensinya terjadi eksploitasi yang dilakukan oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, permasalahan mengenai pekerja anak ini perlu dikaji lebih mendalam lagi untuk mengetahui bagaimana karakteristik pekerja anak yang berpotensi mengalami eksploitasi dan seberapa besar permasalahan tersebut di Indonesia. Mengingat banyak terjadinya tindakan eksploitasi, baik secara ekonomi maupun seksual yang terjadi terhadap pekerja anak. Dengan teridentifikasinya karakteristik pekerja anak yang mengalami eksploitasi, sesungguhnya merupakan pendekatan lain yang dapat dijadikan petunjuk oleh pemerintah atau masyarakat untuk membuat prioritas dalam

4

(16)

melakukan intervensi untuk dapat menghindari tindakan eksploitasi pekerja anak ini.

B.Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut, maka yang menjadi pokok permasalahan yang akan penulis bahas di bab selanjutnya adalah :

a. Bagaimana pengaturan hukum tentang eksploitasi pekerja anak di Indonesia?

b. Bagaimana perlindungan hukum terhadap pekerja anak di Indonesia? C.Tujuan dan Manfaat Penulisan

1.Tujuan

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui apa itu eksploitasi pekerja anak dan apa saja dampak yang ditimbulkan dari tindakan tersebut;

2. Untuk mengetahui pengaturan hukum positif di Indonesia terkait tindak pidana eksploitasi pekerja anak.

2. Manfaat

Sedangkan manfaat dari skripsi ini antara lain : a. Secara Teoretis

Diharapkan dapat mengembangkan wawasan dan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan melengkapi perbendaharaan dan koleksi ilmiah serta memiliki kontribusi pemikiran yang menyoroti dan membahas tentang tindak pidana eksploitasi terhadap pekerja anak di Indonesia.

b. Secara Praktis

(17)

yang turut membaca karya tulis ini tentang tindak pidana eksploitasi pekerja anak yang kerap terjadi di berbagai wilayah di Indonesia;

2. Agar pemerintah membentuk suatu rencana dan usaha nyata untuk dapat memberantas tindak pidana eksploitasi pekerja anak yang kerap terjadi di berbagai wilayah di Indonesia yang telah nyata-nyata melanggar hak asasi anak dan menurunkan nama baik Negara Kesatuan Republik Indonesia.

D. Keaslian Penulisan

Skripsi ini berjudul “Tinjauan Yuridis terhadap Tindak Pidana Eksploitasi Pekerja Anak di Indonesia”.

Berdasarkan penelusuran yang penulis lakukan di perpustakaan dan Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara itu dalam rangka membuktikan bahwa judul skripsi tersebut belum ada atau belum terdapat di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, maka telah terbukti bahwa skripsi ini benar-benar m erupakan hasil pemikiran dari penulis sendiri dan bukan berasal dari karya tulis orang lain.

Bila ternyata terdapat judul dan permasalahan yang sama sebelum skripsi ini dibuat, saya bertanggung jawab sepenuhnya.

E.Tinjauan Pustaka

1.Pengertian Pengaturan Hukum

(18)

dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan.5

Menurut Sudikno Mertokusumo, hukum adalah kumpulan peraturan atau kaedah yang mempunyai sisi yang bersifat umum dan normative, umum karena berlaku bagi setiap orang dan normatif karena menentukan apa yang seyogyanya dilakukan, apa yang tidak boleh dilakukan atau harus dilakukan serta menentukan bagaimana caranya melaksanakan kepatuhan pada kaedah-kaedah.6

Konsepsi mengenai peraturan hukum itu sendiri menurut A.V. Dicey terdiri dari 3 (tiga) elemen, yaitu :

1. Supremasi absolut hukum atas kekuasaan yang sewenang-wenang termasuk kekuasaan bebas yang luas yang dimiliki pemerintah.

2. Setiap warga negara adalah subyek hukum dari negara yang dilaksanakan di pengadilan umum.

3. Hak-hak tidak didasarkan pada pernyataan garis besar konstitusional melainkan pada keputusan yang sebenarnya dari pengadilan.

Dari pernyataan di atas dapat dijelaskan bahwa hukum sebagai sesuatu yang paling berkuasa di suatu negara dimana adanya supremasi hukum yang bersifat absolut di suatu pemerintahan. Segala sesuatu yang ada dalam hukum merupakan kekuasaan tertinggi dan mutlak yang harus ditaati oleh semua orang.

Dikatakan bahwa setiap warga negara adalah subyek hukum dari

5

J. C. T. Simonangkir, dkk, Kamus Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), Hal. 66

6

(19)

negara yang dilaksanakan di pengadilan umum, artinya setiap warga negara berhak melakukan perilaku hukum pada lingkup lalu lintas hukum. Subyek dari hukum pada dasarnya adalah manusia. Jadi pada hakekatnya hukum itu diciptakan untuk semua orang yang terkait di dalamnya.

Pada pernyataan ketiga dikatakan bahwa hak-hak tidak didasarkan pada pernyataan garis besar konstitusional melainkan pada keputusan yang sebenarnya dari pengadilan, artinya hukum tidak akan bias memberikan hak-haknya sebelum hakim di pengadilan mengeluarkan keputusannya. Jadi berdasarkan pernyataan ini terdapat hal yang saling mempengaruhi antara hukum dan negara.

Peraturan-peraturan yang terdapat dalam pengertian hukum ini sendiri sangat berkaitan dengan peristiwa hukum pidana yang mana hukum pidana merupakan keseluruhan dari peraturan-peraturan yang menentukan perbuatan apa yang dilarang dan termasuk ke dalam tindak pidana, serta menentukan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap pelakunya.7

Menurut Moeljatno, hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk:8

1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan dan yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.

7

http://id.m.wikipedia.org/wiki/hukum_pidana diakses pada 4 Juni 2015 pukul 8.15 WIB

8

(20)

2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancam.

3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

Istilah tindak pidana sendiri berasal dari istilah yang dikenal dalam bahasa Belanda yaitu “ strafbaar feit “. Stafbaar feit terdiri dari tiga kata, yakni straf, baar dan feit. Secara literlijk kata “straf” artinya pidana,

baar” artinya dapat atau boleh dan “feit” adalah perbuatan. Para ahli

hukum mengemukakan istilah yang berbeda beda dalam upayanya memberikan arti dari strafbaar feit.

Menurut R.Tresna, peristiwa pidana itu adalah sesuatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan Undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman. Tidak ada persamaan pendapat dikalangan para ahli tentang syarat yang menjadikan perbuatan manusia itu sebagai peristiwa pidana, oleh karena itu R. Tresna menyatakan, dapat diambil sebagai patokan bahwa peristiwa pidana itu harus memenuhi syarat-syarat berikut ini :9

a. Harus ada suatu perbuatan manusia;

b. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan di dalam ketentuan hukum;

9

(21)

c. Harus terbukti adanya “dosa” pada orang yang berbuat, yaitu orangnya harus dapat dipertanggungjawabkannya;

d. Perbuatan itu harus berlawanan dengan hukum;

e. Terhadap perbuatan itu harus tersedia ancaman hukumannya dalam undang-undang.

Berdasarkan hal tersebut dapat diartikan bahwa perbuatan pidana atau tindak pidana senantiasa merupakan suatu perbuatan yang tidak sesuai atau melanggar suatu aturan hukum atau perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum yang disertai dengan sanksi pidana yang mana aturan tersebut ditujukan kepada orang yang melakukan atau orang yang menimbulkan peristiwa tersebut.

Dalam hal ini, maka setiap orang yang melanggar aturan-aturan hukum yang berlaku, dapat dikatakan bahwa orang tersebut merupakan pelaku perbuatan pidana atau pelaku tindak pidana. Akan tetapi, perlu diingat bahwa aturan larangan dan ancaman mempunyai hubungan yang erat, oleh karena itu antara peristiwa dengan orang yang menimbulkan peristiwa juga mempunyai hubungan yang erat pula.

(22)

perundang-undangan, biasanya ini lebih dikenal dalam bahasa latin sebagai Nullum delictum nulla poena sine praevia lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu), hal ini diungkapkan oleh Von Feurbach, seorang sarjana hukum pidana yang berasal dari Jerman.

Asas legalitas ini dimaksud mengandung 3 (tiga) pengertian, yaitu :10

a. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika hal itu belum dinyatakan dalam suatu aturan Undang-Undang terlebih dahulu.

b. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi.

c. Aturan-aturan hukum pidana tidak boleh berlaku surut. 2.Pengertian Pekerja Anak

Dalam upaya memahami pekerja anak, harus membedakan terlebih dahulu antara pekerja anak dan anak yang bekerja. Menurut Warsini, dkk anak yang bekerja adalah anak yang melakukan pekerjaan karena membantu orang tua, latihan keterampilan dan belajar bertanggung jawab, misalnya membantu mengerjakan tugas-tugas di rumah, membantu pekerjaan orang tua di lading dan lain-lain. Anak melakukan pekerjaan yang ringan dapat dikategorikan sebagai proses sosialisai dan perkembangan anak menuju dunia kerja. Indikator anak membantu melakukan pekerjaan ringan adalah :11

1. Anak membantu orang tua untuk melakukan pekerjaan ringan;

10

Moeljatno, Op.Cit, Hal 25

11

(23)

2. Adanya unsur pendidikan/pelatihan; 3. Anak tetap sekolah;

4. Dilakukan pada saat senggang dengan waktu yang relatif pendek;

5. Terjaga keselamatan dan kesehatannya.

Sedangkan, pekerja anak menurut Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 menyebutkan bahwa pekerja anak adalah anak-anak baik laki-laki maupun perempuan yang teribat dalam kegiatan ekonomi yang mengganggu atau menghambat proses tumbuh kembang dan membahayakan bagi kesehatan fisik dan mental anak. Anak-anak boleh dipekerjakan dengan syarat mendapat izin dari orang tua dan bekerja maksimal 3 jam sehari.”12

Menurut Warsini, disebut pekerja anak apabila memenuhi indikator antara lain :13

1. Anak bekerja setiap hari; 2. Anak tereksploitasi;

3. Anak bekerja pada waktu yang panjang; 4. Waktu sekolah terganggu/tidak sekolah.

Pekerja anak adalah sebuah istilah untuk memperkerjakan anak kecil Istilah pekerja anak dapat memiliki konotasi pengeksploitasian anak kecil atas tenaga mereka dengan gaji yang kecil tanpa mempertimbangkan perkembangan kepribadian mereka, keamanan, kesehatan dan prospek masa depan.14

3.Pengertian Eksploitasi Anak

12

Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

13

Loc.cit

14

(24)

Pengertian eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktit serupa perbudakan, penindakan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immaterial.15

Menurut pasal 66 ayat 3 Undang-Undang No. 23 tahun 2002, adapun yang dimaksud dengan eksploitasi anak oleh orang tua atau pihak lainnya, yaitu menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi ekonomi atau seksual terhadap anak.16

Berdasarkan laporan UNICEF “The state of The World’s Children 1997” UNICEF berkeyakinan bahwa pekerja anak adalah merupakan tindak eksploitasi apabila menyangkut :17

1. Pekerjaan penuh waktu (full time);

2. Terlalu banyak waktu yang dihabiskan untuk bekerja;

3. Pekerjaan menimbulkan tekanan fisik, sosial atau psikologis yang tidak patut terjadi;

4. Bekerja dan hidup di jalanan dalam kondisi buruk 5. Upah tidak mencukupi;

6. Tanggung jawab terlalu banyak;

15

http://www.kpai.go.id/artikel/temuan-dan-rekomendasi-kpai-tentang-perlindungan-anak-di-bidang-perdagangan-anak-trafficking-dan-eksploitasi-terhadap-anak/ diakses pada tanggal 1 April 2015, 05.54 WIB

16

Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

17The state of The World’s Children 1997,

(25)

7. Pekerjaan yang menghambat akses pendidikan;

8. Pekerjaan yang mengurangi harga diri dan martabat anak-anak, seperti perbudakan atau pekerjaan kontrak paksa dan eksploitasi seksual.

4.Pengertian Perlindungan Hukum

Menurut Hadjon, perlindungan hukum bagi rakyat meliputi 2 hal, yakni :18 1. Perlindungan hukum preventif, yakni bentuk perlindungan hukum

dimana kepada rakyat diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang defenitif.

2. Perlindungan hukum represif, yakni bentuk perlindungan hukum dimana lebih ditujukan dalam penyelesaian sengketa

Secara konseptual, perlindungan hukum yang diberikan bagi rakyat Indonesia merupakan implementasi atas prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila dan prinsip Negara Hukum yang berdasarkan Pancasila.

Perlindungan hukum ini berlaku terhadap siapa saja yang merupakan masyarakat Indonesia termasuk terhadap anak-anak. Adapun pengertian perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental dan sosial.

Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu

18

(26)

masyarakat, dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Kegiatan perlindungan anak membawa akibat hukum, baik dalam kaitannya dengan hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Hukum merupakan jaminan bagi kegiatan perlindungan anak.

Arif Gosita mengemukakan bahwa kepastian hukum perlu diusahakan demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan perlindungan anak.19

Perlindungan anak tidak boleh dilakukan secara berlebihan dan memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan maupun diri anak itu sendiri, sehingga usaha yang dilakukan tidak berakibat negatif. Perlindungan anak dilaksanakan rasional, bertanggung jawab dan bermanfaat yang mencerminkan suatu usaha yang efektif dan efisien.

Usaha perlindungan anak tidak boleh mengakibatkan matinya inisiatif, kreatifitas, dan hal lain yang menyebabkan ketergantungan kepada orang lain dan berperilaku tidak terkendali, sehingga anak tidak memiliki kemampuan dan kemauan menggunakan hak-haknya dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya.

Menurut Soepomo dalam Asikin, perlindungan tenaga kerja dibagi menjadi 3 (tiga) macam, yaitu :20

1. Perlindungan ekonomis, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk penghasilan cukup, termasuk bila tenaga kerja tidak

19

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia (Bandung : PT Refika Aditama, 2008), Hal 33

20

(27)

mampu bekerja di luar kehendaknya.

2. Perlindungan sosial, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk jaminan kesehatan kerja, dan kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi.

3. Perlindungan teknis, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk keamanan dan keselamatan kerja.

Ketiga jenis perlindungan di atas mutlak harus dipahami dan dilaksanakan sebaik-baiknya oleh pengusaha sebagai pemberi kerja. Jika pengusaha melakukan pelanggaran, maka dikenakan sanksi. Berdasarkan objek perlindungan tenaga kerja Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur perlindungan khusus bagi pekerja/buruh perempuan, anak, dan penyandang cacat. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 menentukan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.21

Perlindungan anak dapat dilakukan secara langsung maupun secara tidak langsung. Secara langsung maksudnya kegiatan langsung ditujukan kepada anak yang menjadi sasaran penanganan langsung. Kegiatan seperti ini dapat berupa antara lain dengan cara melindungi anak dari berbagai ancaman dari luar dan dalam dirinya, mendidik, membina, mendampingi anak dengan berbagai cara, mencegah anank kelaparan dan mengusahakan kesehatannya dengan berbagai cara, menyediakan sarana pengembangan diri, dan sebagainya. Perlindungan anak secara tidak langsung yaitu kegiatan tidak langsung ditujukan kepada anak, tetapi orang lain yang melakukan/terlibat dalam usaha perlindungan anak. Usaha

21

(28)

perlindungan demikian misalnya dilakukan oleh orang tua atau yang terlibat dalam usaha-usaha perlindungan anak terhadap berbagai ancaman dari luar ataupun dari dalam diri anak, mereka yang bertugas mengasuh, membina, mendampingi anak dengan berbagai cara; mereka yang terlibat mencegah anak kelaparan, mengusahakan kesehatan, dan sebagainya dengan berbagai cara, mereka yang menyediakan sarana mengembangkan diri anak dan sebagainya.22 B.Metode Penelitian

1.Jenis dan Sumber Data

Adapun jenis penelitian ini adalah bersifat yuridis normatif. Sedangkan sumber data penelitian ini didapat melalui :

a. Bahan hukum primer, dalam penelitian ini dipakai segala peraturan perundang-undangan, seperti Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 Tentang Ratifikasi Konvensi ILO Nomor 138 Mengenai Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 Tentang Ratifikasi Konvensi ILO Nomor 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segala Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Pada Anak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Keputusan Presiden, seperti Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Ratifikasi Konvensi

22

(29)

hak Anak, Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2002 Tentang Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, Peraturan Daerah Provinsi, seperti Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 5 Tahun 5 Tahun 2004 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak, Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Anak, dan Peraturan Daerah Kabupaten, seperti Peraturan Kabupaten Kutai Kartanegara Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Zona Bebas Pekerja Anak di Kabupaten Kutai Kartanegara, Peraturan Daerah Kabupaten Tulungagung Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Anak, serta peraturan lain yang berkaitan dengan tindak pidana eksploitasi pekerja anak ini.

b. Bahan hukum sekunder, berupa buku-buku literatur dan tulisan-tulisan hukum lainnya yang relevan dengan rumusan masalah. 2.Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam skripsi ini untuk mengumpulkan data adalah Library Research, yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan, antara lain buku-buku, pendapat para sarjana, dan lain-lain yang diperoleh dari internet.

3.Analisis Data

(30)

studi kepustakaan yang dilakukan dengan mempelajari konsep hukum pidana yang mengatur tentang tindak pidana eksploitasi pekerja anak di Indonesia dalam literatur hukum pidana. Data tersebut kemudian dianalisa secara kualitatif untuk memperoleh jawaban permasalahan skripsi ini.

C. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini adalah :

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini membahas tentang Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG EKPLOISTASI

PEKERJA ANAK

Bab ini membahas tentang Pengaturan eksploitasi pekerja anak dalam peraturan perundang-undangan berdasarkan Undang-Undang, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, serta peraturandan membahas tentang ketentuan pidana terhadap pelaku tindak pidana eksploitasi pekerja anak dalam instrumen hukum positif di Indonesia

BAB III PERLINDUNGAN TERHADAP PEKERJA ANAK DI INDONESIA

(31)

pemerintah dalam menanggulangi eksploitasi pekerja anak.

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

(32)

BAB II

PENGATURAN HUKUM TENTANG EKPLOISTASI PEKERJA ANAK

A. Pengaturan Eksploitasi Pekerja Anak dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia

1. Undang-Undang

2.1Undang-Undang nomor 20 tahun 1999 Undang-Undang tentang Ratifikasi Konvensi ILO Nomor 138 Mengenai Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja Tahun 1973

Konvensi ILO Nomor 138 Mengenai Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja disetujui pada Konferensi Ketenagakerjaan Internasional ke-58 (lima puluh delapan) pada tanggal 26 Juni 1973 di Jenewa merupakan salah satu konvensi yang melindungi hak asasi anak. Konvensi ini mewajibkan setiap Negara anggota ILO yang telah meratifikasi, menetapkan batas usia minimum untuk diperbolehkan bekerja.

Pasal 1 Undang-Undang ini menyatakan,”Mengesahkan ILO Convention No.138 CONCERNING Minimum Age for Admission to

(33)

Indonesia meratifikasi konvensi ini melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999. Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Konvensi, Indonesia melampirkan pernyataan (declaration) yang menetapkan bahwa batasan usia minimum untuk diperbolehkan bekerja yang diberlakukan di wilayah Republik Indonesia adalah 15 (lima belas) tahun.

Menurut Abu Hurairah, dalam rangka perlindungan anak sebagai pekerja, konvensi ini memuat beberapa asas yang antara lain :23

a. Asas penghapusan kerja anak, dirumuskan dalam Pasal 1 yang mengamanatkan kepada setiap anggota untuk mengambil kebijakan secara nasional untuk menjamin penghapusan kebijakan anak sebagai pekerja secara efektif. Selain itu, setiap anggota diwajibkan untuk secara progresif menaikan usia minimum untuk diperbolehkan bekerja sampai pada suatu tingkat yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan fisik dan mental orang muda;

b. Asas perlindungan, dalam Pasal 2 dirumuskan bahwa usia minimum untuk diperbolehkan bekerja adalah 15 tahun ini diadopsi dari usia sekolah wajib. Pasal 2 juga menyatakan bahwa tidak seorang pun yang berada di bawah usia wajib diperbolehkan bekerja atau masuk bekerja dalam suatu jabatan jabatan pada wilayah Negara anggota ILO. Pasal ini juga memuat larangan untuk bekerja pada alat angkutan yang ada pada wilayah Negara tersebut. Pasal 3 konvensi ini merumuskan bahwa untuk jenis pekerjaan yang dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral muda, batasan umur tidak boleh kurang dari 18 tahun. Pasal 3 juga merumuskan bahwa jenis-jenis pekerjaan yang berbahaya harus ditetapkan oleh perundang-undangan nasional. Adapun pokok-pokok dari konvensi ini adalah :

1. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini

23

Emei Dwinanarhati Setiamandani, Juli 2012, Jurnal Reformai. Volume 2, Nomor 2,

(34)

wajib menetapkan kebijakakn nasional untuk menghapuskan praktek memperkerjakan anak dan meningkatkan usia minimum untuk diperbolehkan bekerja.

2. Untuk pekerjaan-pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamata, atau moral anak harus diupayakan tidak boleh kurang dari 18 (delapan belas) tahun, kecuali untuk pekerjaan ringan tidak boleh kurang dari 16 (enam belas) tahun.

3. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini wajib menetapkan usia minimum untuk diperbolehkan bekerja, aturan mengenai jam kerja, dan menetapkan hukuman atau sanksi guna menjamin pelaksanaannya. 4. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini

wajib melaporkan pelaksanaannya.

2.2Undang-Undang nomor 1 tahun 2000 Tentang Ratifikasi Konvensi ILO Nomor 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segala Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Pada Anak Tahun 1999

(35)

meningkatkan pelaksanaan hak-hak asasi manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Beberapa muatan asas yang berkaitan dengan perlindungan anak terhadap eksploitasi anak sebagai pekerja dalam konvensi ini adalah asas perlindungan, asas pencegahan, asas penerapan secara efektif dan asas kerja sama nasional. Konvensi ini juga memuat norma-norma yang berkaitan langsung dengan konsep perlindungan anak sebagai pekerja. Pasal 1 mewajibkan Negara anggota untuk mengambil tindakan segera dan efektif untuk menjamin pelarangandan penghapusan bentuk-bentuk terburuk kerja anak sebagai hal yang mendesak.

Pasal lain yang berkaitan dengan asas perlindungan anak sebagai pekerja adalah pasal 4, yang merumuskan bahwa untuk pekerjaan berbahaya harus diatur oleh peraturan atau Undang-Undang Nasional, juga mensyaratkan bahwa negara-negara peserta wajib untuk melakukan identifikasi tempat-tempat adanya bentuk-bentuk pekerjaan terburuk tersebut berada. Lebih lanjut pasal ini juga merumuskan adanya peninjauan berkala dan revisitentang jenis-jenis pekerjaan terburuk bagi anak. Untuk hal-hal yang berkaitan dengan penerapan secara efektif diatur dalam Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 7. Pada prinsipsinya Konvensi ILO No. 182 mencoba memeberikan rumusan perlindungan terhadap anak sehingga anak tidak dipekerjakan.24

Adapun pokok-pokok dari Konvensi ini adalah :

1. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini wajib mengambil tindakan segera dan efektif untuk menjamin pelarangan dan penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.

2. “Anak” berarti semua orang yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun.

3. Pengertian “bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak”

24

(36)

adalah:

a) Segala bentuk perbudakan atau praktek sejenis perbudakan, seperti penjualan dan perdagangan anak, kerja ijon (debt bondage), dan penghambaan serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pengerahan anak secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata;

b) Pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi, atau untuk pertunjukan-pertunjukan porno;

c) Pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan yang terlarang, khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional yang relevan; d) Pekerjaan yang sifat atau keadaan tempat pekerjaan

itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak-anak.

4. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini wajib menyusun program aksi untuk menghapus bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.

(37)

6. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini wajib melaporkan pelaksanaannya.

2.3Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Undang-undang ini merupakan wujud tanggung jawab bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), guna mengemban tanggung jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta sebagai instrument internasional lainnya mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia.

Hak-hak anak dalam Undang-undang ini dijelaskan dalam pasal 52, pasal 53, pasal 54, pasal 55, pasal 56, pasal 57, pasal 58, pasal 59, pasal 60, pasal 61, pasal 62, pasal 63, pasal 64, pasal 65, serta pasal 66.

Adapun pasal-pasal yang terkait dengan perlindungan anak dalam Undang-Undang ini adalah sebagai berikut :

1. Pasal 52

(1) setiap anak berhak atas perlindungan orang tua, keluarga masyarakat dan negara

(2) Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan.

(38)

(1) Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tuanya atau walinya, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak tersebut.

(2) Dalam hal orang tua atau pengasuh anak melakukan segala bentuk penyiksaan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan sosial termasuk pemerkosaan, atau pembunuhan terhadap anak yang seharusnya dilindungi, maka harus dikenakan pemberatan hukuman.

3. Pasal 64

“Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari

kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial dan mental spiritualnya.”

4. Pasal 65

“Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari

(39)

Undang-Undang ini mengatur secara rinci mengenai perlindungan atas hak-hak anak. Berdasarkan pasal-pasal tersebut di atas, tampak jelas bahwa setiap anak memiliki hak-hak yang harus dilindungi demi menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia terutama terhadap anak itu sendiri sebagai generasi penerus bangsa. Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan dari berbagai pihak agar mendapatkan perlindungan dari setiap perilaku buruk yang dapat merusak moral dan masa depan mereka yang mana setiap pihak bertanggungjawab atas hal ini, terutama pihak yang berada di sekitar anak-anak tersebut.

2.4Undang-Undang nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

Undang-undang ini bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan anak, yaitu merupakan suatu tatanan kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhandan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial.

(40)

2.5Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Undang-undang ini bertujuan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Dalam pasal 2 Undang-undang ini dijelaskan bahwa penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi :

a. Non diskriminasi;

b. Kepentingan yang terbaik bagi anak;

c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan

d. Penghargaan terhadap pendapat anak.

(41)

anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. 2.6Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Dalam Undang-Undang ini disebutkan dalam pasal 68 bahwa pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Namun, dalam Undang-Undang ini juga terdapat berbagai pengecualian. Diantaranya adalah anak tetap dapat bekerja akan tetapi harus memenuhi syarat tertentu.

Dalam Undang-Undang ini juga diatur mengenai ketentuan pidana dan sanksi administratif apabila terjadi pelanggaran ketentuan pasal-pasal yang mengatur tentang perlindungan anak sebagai pekerja. Salah satunya adalah pasal 185 yang menentukan pidana bagi siapapun yang melanggar ketentuan pasal 68 dengan ancaman pidana satu sampai empat tahun penjara dan/atau denda Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sampai Rp. 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).

(42)

2. Keputusan Presiden

2.1. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Ratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak Tahun 1989

Konvensi ini dibentuk untuk memberikan perawatan khusus kepada anak sebagaimana telah dinyatakan dalam Deklarasi Jenewa tentang Hak-hak Anak tahun 1924 dan dalam Deklarasi Hak-hak anak yang disetujui oleh Sidang Umum tanggal 20 November 1959 dan diakui dalam Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia, dalam perjanjian internasional mengenai hak-hak ekonomi, sosial dan budaya dan dalam ketentuan-ketentuan dan perangkat pedoman pelaksanaan yang relevan dari badan-badan khusus dan organisasi-organisasi internasional yang menangani kesejahteraan anak.

Pemerintah Republik Indonesia menandatangani Convention on The Right of The Child (Konvensi tentang Hak-hak Anak) di New York, Amerika Serikat pada tanggal 26 Januari 1990 sebagai hasil Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa yang diterima pada tanggal 20 November 1959.

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak Anak terdiri dari 54 pasal yang masing-masing menguraikan hak yang berbeda. Hak-hak ini dibagi menjadi 4 (empat) kategori, yaitu :25 1. Hak terhadap kelangsungan hidup (survival rights), mengakui hak

anak untuk hidup dan kebutuhan dasar untuk kelangsungan

25

(43)

hidupnya. Hal ini meliputi nutrisi, tempat tinggal, sebuah standar hidup yang memadai dan akses untuk perawatan kesehatan.

2. Hak terhadap perlindungan (protection rights), mengharuskan anak-anak untuk dilindungi dari segala bentuk penyiksaan, penelantaran dan eksploitasi. Hal ini meliputi isu-isu seperti perlindungan khusus untuk anak-anak pengungsian, melindungi dari adanya pekerja anak, dan melindungi serta rehabilitasi untuk anak-anak yang menderita atas segala bentuk penyiksaan dan eksploitasi.

3. Hak untuk tumbuh kembang (development rights), secara garis besar merupakan apa yang dibutuhkan anak-anak untuk mencapai potensi mereka secara penuh atau menyeluruh, sebagai contoh pendidikan, waktu luang, hiburan, aktifitas budaya, akses untuk memperoleh informasi, dan kebebasan berpikir serta kesadaran dan agama.

(44)

2.2. Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 2002 Tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak

Keputusan Presiden ini dibuat dalam hal Indonesia telah mnegesahkan ILO Convention No. 182 Concerning the Prohibition and Immediate Action for the Ellimination of the Worst Forms of

Child Labour (Konvensi ILO Nomor 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak) dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 mengingat bekerja bagi anak terutama pada jenis pekerjaan-pekerjaan yang terburuk sangat membahayakan bagi anak dan akan menghambat anak untuk tumbuh dan berkembang secara wajar disamping sangat bertentangan pula denga Hak Asasi Anak dan nilai-nilai kemanusiaan yang diakui secara universal.

Dalam ketentuan Pasal 6 Konvensi ILO Nomor 182 tersebut mengamanatkan untuk menyusun dan melaksanakan Program Aksi Nasional untuk menghapus bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Keputusan Presiden ini dibuat untuk menetapkanRencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak.

3. Peraturan Daerah Provinsi

(45)

Peraturan Daerah ini dibuat menimbang bahwa di Provinsi Sumatera Utara masih terdapat bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak, dan oleh karenanya dipandang perlu untuk mencegah dan menghapus bentuk-bentuk pekerjaan terburuk tersebut.

Ruang lingkup bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak meliputi sektor kegiatan usaha : Perikanan, Perkebunan, Industri, Hiburan dan Pariwisata serta bidang-bidang usaha lain yang berpotensi menciptakan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Peraturan Daerah ini.

Pasal 6 Peraturan Daerah ini menyatakan bahwa setiap anak yang telah dipekerjakan dan atau bekerja di tempat-tempat terburuk bagi anak berhak mendapatkan rehabilitasi. Rehabilitasi ini berupa :

a. Pengembalian anak yang telah dipekerjakan kepada keluarga dan lingkungan sosialnya;

b. Pemberian kesempatan dan fasilitas belajar bagi anak yang masih dalam usia sekolah sesuai dengan jenjang pendidikannya;

c. Pemberian bekal pengetahuan dan keterampilan yang bernilai produktif sesuai dengan bakat dan minat;

d. Pemulihan kesehatan psikologi anak.

3. 2. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Anak

(46)

berbagai bentuk tindak kekerasan, eksploitasi dan keterlantaran. Penyelenggaran perlindungan anak menurut Peraturan Daerah ini harus berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak Anak.

Pasal 3 Peraturan Daerah ini menyatakan bahwa perlindungan anak menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secra optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekeranan, diskriminasi, keterlantaran demi terwujudnya anak Jawa Barat yang beriman dan bertaqwa, cerdas, berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.

4. Peraturan Daerah Kabupaten

4. 1. Peraturan Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Zona Bebas Pekerja Anak di Kabupaten Kutai Kartanegara

Peraturan Daerah ini dibuat dalam hal Indonesia telah mnegesahkan ILO Convention No. 182 Concerning the Prohibition and Immediate Action for the Ellimination of the Worst Forms of

(47)

Peraturan Daerah ini dibuat agar dapat menjaga pertumbuhan dan perkembangan anak-anak sehingga anak-anak dapat berkembang secara wajar baik fisik, mental, sosial dan intelektualnya.

Adapun Program Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara dalam hal mewujudkan Zona Bebas Pekerja Anak adalah :26

a. Bebas SPP untuk semua anak sekolah; b. Subsidi bagi sekolah swasta;

c. Peningkatan pelaksanaan Kejar Paket A dan B baik di desa maupun di kota;

d. Peningkatan sarana pendidikan; e. Pennyantunan anak terlantar;

f. Peningkatan kesadaran orang tua dan masyarakat tentang pekerja anak;

g. Rehabilitasi untuk bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; h. Pemerataan pembangunan;

i. Pemerataan kesempatan kerja; j. Pemerataan kesempatan berusaha;

k. Pemerataan semua sektor untuk memerangi bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.

Terdapat sanksi bagi setiap orang atau Badan yang memperkerjakan tenaga kerja anak dan tidak mematuhi Peraturan Daerah ini, yaitu sanksi pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau membayar denda paling banyak Rp. 5.000.000,00 (lima juta

26

(48)

rupiah) sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Peraturan Daerah ini. 4. 2. Peraturan Daerah Kabupaten Tulungagung Nomor 10 Tahun

2009 Tentang Perlindungan Anak

Peraturan Daerah ini dibuat menimbang bahwa setiap anak agar kelak mampu memikul tanggungjawab, maka anak perlu mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial dan berakhlak mulia, maka Pemerintah Daerah berkomitmen untuk melakukan upaya perlindungan anak termasuk pula pekerja anak guna mewujudkan kesejahteraan anak guna mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan penuh terhadap pemenuhan hak-haknya.

Bagian kelima Peraturan Daerah ini mengatur tentang perlindungan anak bagi pekerja anak. Pasal 12 menyatakan bahwa,”

Perlindungan bagi pekerja anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat martabat kemanusiaan, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.” Pasal 13 ayat (2) Peraturan Daerah ini menyatakan bahwa setiap pekerja anak berhak mendapat perlindungan dari perlakuan eksploitasi.

(49)

Terdapat berbagai ketentuan pidana terhadap pelaku tindak pidana eksploitasi pekerja anak dalam instrument hukum positif di Indonesia. Diantaranya tercantum dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, hal ini diatur dalam Pasal 78 dan Pasal 88, yaitu berisi sebagai berikut :

Pasal 78

“Setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak dalam

situasi darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alcohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 59, padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”

Pasal 88

“Setiap orang yang mengeksploitasi ekonoomi atau seksual anak

(50)

dipidana dengan pidan penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).”

Dalam Undang-Undang tersebut, terlihat bahwa Undang-Undang tersebut tidak mengatur secara lebih rinci mengenai tindak eksploitasi pekerja anak, hanya menjelaskan mengenai ketentuan pidana terhadap eksploitasi ekonomi dan/atau seksual.

2. Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak tidak mengatur secara lebih rinci mengenai tindak eksploitasi pekerja anak, namun hanya menjelaskan mengenai ketentuan pidana terhadap eksploitasi ekonomi dan/atau seksual. Pada kenyataannya, terdapat beberapa pembagian jenis-jenis pekerjaan yang dilakukan oleh anak itu sendiri. Hal ini diatur secara lebih rinci dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, yaitu sebagai berikut :

1. Pada Pekerjaan Ringan

Pengusaha yang mempekerjakan anak pada kategori pekerjaan ringan ini harus memenuhi persyaratan sebagaimana tercantum dalam pasal 69 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu :

a. Izin tertulis orang tua atau wali;

b. Perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali; c. Waktu kerja maksimal 3 (tiga) jam;

(51)

sekolah;

e. Keselamatan dan kesehatan kerja; f. Adanya hubungan kerja yang jelas; dan

g. Menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Pelanggaran terhadap norma tersebut merupakan tindak pidana kejahatan sebagaimana diatur dalam pasal 185 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, diancam dengan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat tahun) dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).

2. Pada Pekerjaan Dalam Rangka Mengembangkan Bakat dan Minat Pengusaha yang mempekerjakan anak dalam kategori untuk mengembangkan bakat dan minta ini wajib memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam pasal 71 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : KEP-115/MEN/VII/2004 tentang Perlindungan bagi Anak yang Melakukan Pekerjaan untuk Mengembangkan Bakat dan Minat, diantaranya adalah :

a. Di bawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali; b. Waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari;

(52)

Pelanggaran terhadap norma tersebut merupakan tindak pidana pelanggaran sebagaimana diatur dalam Pasal 187 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, diancam dengan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). 3. Pada Pekerjaan-pekerjaan Terburuk untuk Anak

Setiap orang dilarang untuk mempekerjakan dan melibatkan pekeja anak pada pekerjaan-pekerjaan terburuk dalam bentuk apapun sebagaimana telah dicantumkan dalam beberapa peraturan perundang-undang di Indonesia mengenai bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak, diantaranya tercantum dalam pasal 74 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, diantaranya adalah :

a. Segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan dan sejenisnya; b. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan atau

menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno atau perjudian;

c. Segala pekerjaan yang menfaatkan, menyediakan atau melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; dan/atau;

(53)

keselamatan, atau moral anak.

Serta terdapat pula dalam lampiran Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : KEP-235/MEN/2003 tentang Jenis-jenis Pekerjaan yang Membahayakan Kesehatan, Keselamatan atau Moral Anak.

Hal tersebut disebabkan karena bentuk-bentuk pekerjaan terburuk tersebut dinilai dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, moral serta masa depan pekerja anak tersebut.

(54)

BAB III

PERLINDUNGAN TERHADAP PEKERJA ANAK DI INDONESIA A.Pekerja Anak sebagai Korban Eksploitasi

1. Bentuk-bentuk Eksploitasi Pekerja Anak

Pada dasarnya, anak tidak diperbolehkan untuk bekerja, namun pada kenyataannya keadaan sosial-ekonomi memaksa mereka untuk bekerja.

Meskipun Indonesia telah meratifikasi Konvensi ILO 1973/138 yang menetapkan usia minimum diperbolehkan bekerja, yaitu 15 tahun, pemerintah Indonesia tidak dapat memberlakukannya dengan tegas.27

Hal ini dapat dilihat dari Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu:

Pasal 68

“Pengusaha dilarang memperkerjakan anak.”

Namun, di pasal selanjutnya tertulis mengenai pengecualian larangan memperkerjakan anak, yaitu :

Pasal 69

27

(55)

“(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 68 dapat

dikecualikan bagi anak yang berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas tahun) untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosial.

(2) Pengusaha yang memperkerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan: a. Izin tertulis dari orang tua atau wali;

b. Perjanjian kerja antara pengussha dengan orang tua atau wali; c. Waktu kerja maksimum 3(tiga) jam;

d. Dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah; e. keselamatan dan kesehatan kerja;

f. adanya hubungan kerja yang jelas; dan

g. menerima upah sesuai dengan ketenntuan yang berlaku.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, b, f dan g dikecualikan bagi anak yang bekerja pada usaha keluarganya.”

Oleh karena itu, meskipun pada dasarnya anak tidak diperbolehkan untuk bekerja, dikarenakan kondisi dan kepentingan tertentu maka anak tersebut diperbolehkan untuk bekerja sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Bentuk pekerjaan tersebut antara lain :

(56)

Anak yang berusia 13 (tiga belas) sampai 15 (lima belas) tahun diperbolehkan untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan kesehatan fisik, mental dan sosial. (Pasal 68)

2. Pekerjaan dalam rangka bagian kurikulum pendidikan atau pelatihan Anak dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang dengan syarat :

a. Paling sedikit berusia 14 (empat belas) tahun;

b. Diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta bimbingan dan pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan;

c. Diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. (Pasal 70) 3. Pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minat

Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya. Dengan syarat :

a. Harus di bawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali; b. Waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari;

c. Kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik, mental sosial dan waktu sekolah. (Pasal 71)

(57)

Minat.

Adapun kriteria dari pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minat anak dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep. 115/Men/VII/2004 adalah sebagai berikut :28

a. Pekerjaan tersebut bisa dikerjakan anak sejak usia dini; b. Pekerjaan tersebut diminati anak;

c. Pekerjaan tersebut berdasarkan kemampuan anak;

d. Pekerjaan tersebut menambahkan kreativitas dan sesuai dengan dunia anak

Namun, permasalahannya sekarang ini adalah bahwa hal-hal yang telah dijabarkan di atas dapat memicu terjadinya eksploitasi pekerja anak dengan menempatkan pekerja anak di lingkungan pekerjaan yang berbahaya.

Unicef telah menetapkan beberapa kriteria pekerja anak yang eksploitatif, yaitu bila menyangkut :29

1. Kerja penuh waktu (full time) pada umur yang terlalu dini; 2. Terlalu banyak waktu yang digunakan untuk bekerja;

3. Pekerjaan yang menimbulkan tekanan fisik, sosial dan psikologis yang tak patut terjadi;

4. Upah yang tidak mencukupi;

5. Tanggung jawab yang terlalu banyak;

6. Pekerjaan yang menghambat akses pada pendidikan;

7. Pekerjaan yang menurangi martabat dan harga diri anak; seperti perbudakan atau pekerjaan kontrak paksa dan eksploitasi seksual; 8. Pekerjaan yang merusak perkembangan sosial serta psikologis

yang penuh.

Konvensi ILO Nomor 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak mengatur tentang bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Adapun

28

Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : KEP

Referensi

Dokumen terkait

WHO (2009) mencetuskan promosi global patient safety challenge dengan clean care is safecare , yang artinya adalah perawatan yang bersih maupun higienis adalah perawatan

Purworejo yang semula banyak masyarakat yang sering menyepelekan ibadah mahdhah shalat dan pu asa dengan adanya kajian da‟wah dan pendidikan madrasah maka

Jika dilihat dari tingkat ketuntasan belajar siswa diketahui bahwa Pemahaman Konsep yang menggambarkan kemampuan menyelesaikan masalah Memilih dan menerapkan aturan

 Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang ketidakefektifan kontrol nyeri masa lampau  Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan

1) Bagi peneliti, adanya penelitian ini diharapkan mampu menambah ilmu penulis dan wawasan penulis. Serta penulis mampu mengembangakan ilmu yang telah diperoleh

Rata-rata umur keseluruhan contoh adalah sebesar 38,04 tahun yang termasuk dalam kategori dewasa madya dan masih merupakan usia produktif; Rata-rata jumlah anggota keluarga adalah

tanggung jawabnya dan melakukan pemilihan rumah tangga sampel dan menyalinnya ke VSEN2007.DSRT. 6) Membagi tugas pencacahan untuk masing-masing pencacah dengan menggunakan daftar

Berbagai persoalan dalam proses pembelajaran banyak terjadi seperti tujuan pembelajaran yang akan dicapai, materi pembelajaran yang disampaikan, metode pembelajaran, bahan