STRATEGI FILIPINA DALAM MENGHADAPI KONFLIK
LAUT CHINA SELATAN
SKRIPSI
Disusun Oleh:
Deden Nur Ma’rif
20110510200
JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
i SKRIPSI
STRATEGI FILIPINA DALAM MENGHADAPI KONFLIK LAUT CHINA
SELATAN
Untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Strata-1 (S-1)
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program Studi Ilmu Hubungan Internasional
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Disusun Oleh:
Deden Nur Ma’rif
20110510200
JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
ii
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini berjudul:STRATEGI FILIPINA DALAM MENGHADAPI KONFLIK LAUT CHINA SELATAN
Deden Nur Ma’rif
20110510200
Skripsi ini telah dipertahankan dalam Ujian Pendadaran, dinyatakan LULUS dan disahkan di depan Tim Penguji Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Pada
Hari/Tanggal : Rabu, 21 Desember 2016
Jam : 08.00 WIB
Tempat : Ruang HI.B
Tim Penguji
Dr. Nur Azizah, M.Si. Ketua Penguji
Siti Muslikhati, S.IP., M.Si. Penguji I
iii
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi saya ini adalah asli dan belum pernah
diajukan untuk mendapatkan gelar akademik sarjana baik di Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta ataupun di Perguruan Tinggi lain.
Dalam skripsi ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau
dipublikasikan orang lain kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai
acuan dalam naskah dengan disebutkan nama dan dicantumkan dalam daftar pustaka.
Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari terdapat
ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik
sesuai dengan aturan yang berlaku di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Yogyakarta, 26 Desember 2016
iv
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kita semua bagi Allah SWT, karena atas rahmat dan
hidayah-Nya. Sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Strategi
Filipina dalam Menghadapi Konflik Laut China Selatan” dengan baik.
Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan skripsi ini banyak mengalami
kendala, namun berkat bantuan, bimbingan, kerjasama dari berbagai pihak dan berkah
dari Allah SWT sehingga kendala-kendala yang dihadapi tersebut dapat diatasi. Oleh
karena itu dengan keikhlasan dan kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Bambang Cipto, M.A. selaku Rektor Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta.
2. Bapak Dr. Ali Muhammad, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Politik.
3. Ibu Dr. Nur Azizah, M.Si. Selaku Ketua Program Studi Hubungan Internasional
dan Pembimbing Utama yang telah meluangkan waktu dalam memberikan
saran dan kritik selama proses penyelesaian skripsi.
4. Ibu Siti Muslikhati, S.IP., M.Si. selaku penguji I yang telah memberikan saran
v
5. Bapak Takdir Ali Mukti, S.Sos., M.Si. selaku Penguji II yang telah memberikan
masukan dan pengetahuan yang bermanfaat.
6. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Yogyakarta, 26 Desember 2016
vi
MOTTO
Dunia akan terasa tidak adil bagimu jika kau hanya berdiam diri saja
Aku mungkin bukan yang terbaik, tapi aku selalu berusaha untuk menjadi yang lebih baik.
Aja keminter mundhak keblinger, aja cidra mundhak cilaka
vii
HALAMAN PERSEMBAHAN
Allah SWT yang atas karunia dan hidayahnya hingga memberikan saya kekuatan
jiwa dan raga yang saya nikmati hingga saat ini.
Untuk kedua Orang Tua saya yang sangat saya hormati dan sayangi. Ayahanda
Yatirun dan Ibunda Rahayu Wilujeng. Saya ucapkan terima kasih yang tak terhingga, memang ungkapan terima kasih saja tidak cukup untuk menggambarkan kasih sayang, tenaga, dan pikiran yang selalu tercurahkan untuk saya. Meskipun seringkali tidak jarang saya mengecewakan bapak dan ibu, namun Bapak dan Ibu tetap selalu mensupport saya hingga saat ini. Sekali lagi, terima kasih tak terhingga untuk segala pengorbanan dan biaya hingga saya bisa kuliah di sini.
Untuk Keluarga besar di Madiun dan Sidoarjo yang selalu menerima saya dengan
hangat untuk singgah di tempat-tempat mereka dan support-supportnya kepada saya hingga saat ini.
Untuk sahabat-sahabatku yang dulu satu atap, Guruh P.W. dan M. Adiguno, yang
selalu menjalani manis pahit bersama. Tertawa bersama, dan selalu menghibur dan membantu saya ketika saya sedang mengalami kesulitan. Dan juga untuk Mami Heni dan Papi Pepi, yang dulu sering memasakkan kami makanan, sehingga kami masih bisa merasakan secuil kehangatan keluarga meskipun di tanah perantauan.
Untuk sahabat-sahabat seperjuanganku dalam menyelesaikan skripsi, terima kasih
viii Untuk Si kembar Hardi dan Hasbi yang selalu saya repotkan dengan pertanyaan
urusan kuliah dari awal kuliah hingga saat ini, terima kasih banyak saya ucapkan hingga saya bisa berkuliah dengan tenang. Dan juga terima kasih untuk teman diskusi, si Wahdana, Tristan, Hafiz, Arum, Indra, dll
Untuk teman-teman KKN Desa Srunggan, si Agung, Dhyandra, dan Mahfudin. Dan
tak lupa ketinggalan Pak Dukuh, Bu Dukuh, Mbak Esti, dan Mas Baru yang selalu menerima kami dengan hangat ketika kami singgah dan sowan berkali-kali ke Srunggan.
Dan untuk teman-teman seperjuangan kuliah di jurusan Hubungan Internasional
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
MOTTO ... vi
HALAMAN PERSEMBAHAN ... vii
DAFTAR ISI ... ix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Kerangka Berpikir ... 5
D. Hipotesa ... 25
E. Metode Pengumpulan Data ... 25
F. Ruang Lingkup Penelitian ... 26
G. Sistematika Penulisan ... 26
BAB II SEJARAH KONFLIK LAUT CHINA SELATAN ... 28
A. Dasar Tuntutan ... 30
B. Perkembangan Sengketa ... 37
BAB III KEPENTINGAN FILIPINA DI LAUT CHINA SELATAN ... 57
A. Bidang Ekonomi ... 61
B. Bidang keamanan ... 70
BAB IV STRATEGI FILIPINA ... 80
A. Cara Diplomasi ... 80
B. Penguatan Militer Internal ... 89
C. Bantuan Militer dari Negara Lain ... 101
D. Kerjasama Militer dengan Negara Lain ... 111
BAB V KESIMPULAN ... 119
ABSTRAK
Abstract
This article meant to shows the Philippines strategy to withstand the Chinese presssure in the South China Sea dispute. China's aggressive steps in claiming almost the entire territory in the South China Sea, known as the Nine-Dash Line, makes the Philippines worried, because such claims collide directly with Philippine’s territory. In order to
survive this dispute, the Philippines should plan a number of strategies, such as improving the situation of military defense, seek assistance from other countries, and take advantage of the international law with diplomacy.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Laut China Selatan menjadi fokus isu keamanan sepanjang dekade
90-an dalam hubung90-an Internasional di ASEAN paska per90-ang dingin. Kawas90-an ini
merupakan wilayah cekungan laut yang membatasi negara-negara besar dan
kecil seperti China, Vietnam, Philipina, Malaysia, Burma, dan Taiwan. Dalam
wilayah laut China selatan ini terdapat kepulauan Spratly dan kepulauan
Paracel. Pada berbagai kajian tentang kepulauan Spratly lebih mengemuka
karena melibatkan beberapa negara ASEAN sekaligus, sementara kepulauan
Paracel hanya melibatkan Vietnam dan China.1
Konflik Laut China Selatan tidak bisa dilepaskan dari
persoalan-persoalan akan sumber daya yang melimpah di Laut China Selatan, mulai dari
minyak, ikan, dan jalur transportasi yang strategis. Kandungan minyak dan gas
alam di kawasan ini membuat China bersikeras untuk mengklaim kawasan
Laut China Selatan ini. Menurut perkiraan China, kawasan laut China selatan
memiliki kandungan minyak tidak kurang dari 105 hingga 213 milyar barel.
Sementara perkiraan U.S. Geological Survey kandungan minyaknya tidak lebih
dari 28 milyar barel.2
2 Di samping itu, kawasan Laut China Selatan juga dikenal kaya dengan
ikan yang merupakan sumber gizi penduduk di sekitarnya. Ditinjau dari hasil
lautnya yang melimpah kawasan laut China Selatan diperkirakan mampu
menyediakan kebutuhan protein bagi satu milyar penduduk Asia, atau paling
tidak 500 juta penduduk kawasan pantai laut China Selatan. Selain itu,
Kawasan Laut China Selatan juga merupakan jalur strategis karena lebih dari
empat puluh ribu kapal melewati jalur ini tiap tahunnya. Kawasan ini
merupakan jalur utama kapal-kapal dari Timur Tengah yang mensuplai
kebutuhan minyak bumi Jepang. Sebaliknya Jepang juga membutuhkan
keamanan laut China Selatan karena merupan jalur utama bagi kapal-kapal
Jepang untuk ekspor barang-barang produksinya menuju Asia dan Eropa.
Ekonomi Jepang yang bergantung pada komoditas ekspor berupa baran-barang
elektronik jelas membutuhkan stabilitas dan keamanan laut China Selatan.3
Konflik Laut China Selatan telah dimulai sejak akhir abad ke-19 ketika
Inggris mengklaim kepulauan Spratly, diikuti oleh China pada awal abad
ke-20 dan Perancis sekitar tahun 1930-an. Di saat berkecamuknya Perang Dunia
kedua Jepang mengusir Perancis dan menggunakan kepulauan Spratly sebagai
basis kapal selam. Dengan berakhirnya perang dunia kedua, Perancis kembali
mengklaim kawasan tersebut sebagai bagian dari kepentingan keamanan
nasionalnya. Sejak tahun 1970 klaim terhadap kawasan tersebut meningkat
pesat sejalan dengan perkembangan di bidang penemuan dan hukum
Internasional. Perkembangan pertamam menyangkut ditemukannya ladang
3 minyak yang diperkirakan cukup banyak di kawasan tersebut berdasarkan
survey geologi yang dilakukan para peneliti dari perusahaan Amerika dan
Inggris. Penemuan ini jelas membuat nilai pulau-pulau serta batu karang di
kawasan tersebut meroket. Perkembangan kedua, berkaitan dengan
ditetapkannya Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sepanjang 200 mil laut bagi
setiap negara berdasarkan ketentuan dari UNCLOS (United Nations
Conference on the Law of the Sea).4
Terbukanya peluang untuk memanfaatkan dan mengeksploitasi
kawasan Laut China Selatan dengan sendirinya mendorong negara-negara
yang garis pantainya berbatasan langsung dengan kawasan tersebut segera
melakukan klaim terhadap sebagian pulau, kepulauan, atau karang yang masuk
dalam kawasan negaranya sebagaimana ditentukan oleh hukum laut
internasional di atas. China, Vietnam, Philipina, Malaysia berlomba-lomba
mengklaim, mengirim pasukan untuk mengamankan pulau yang mereka klaim,
bahkan memberi konsesi pada perusahaan-perusahaan minyak asing,
khususnya Amerika dan Inggris, untuk melakukan eksplorasi minyak di
kawasan yang mereka klaim masing-masing. Persaingan dalam proses
pernyataan hak ini berkembang menjadi konflik militer5.
Filipina yang wilayahnya terkena imbas langsung dari klaim sepihak
China tersebut menjadi resah, karena klaim tersebut yang dinamakan nine-dash
Line mengakibatkan beberapa wilayah territorial Filipina menjadi hilang,
4 termasuk di dalamnya atol dan pulau-pulau kecil yang ada di kepulauan spratly
dan wilayah karang Scarborough. Tidak hanya itu, Filipina juga menuduh
China menyerang kapal-kapal nelayan Filipina, banyak kapal-kapal nelayan
Filipina yang melaut di kepulauan Spartly dan Scarborough Shoal dihadang
oleh kapal-kapal Coast Guard China. Kapal-kapal nelayan Filipina tersebut
dihadang dengan berbagai macam cara, seperti ditabrak, ditembak dengan
water canon, hingga pelucutan hasil dan alat-alat tangkap yang dimiliki oleh
nelayan Filipina. Hal ini menyebabkan nelayan-nelayan Filipina tidak berani
melaut ke wilayah tersebut.6
Beberapa konflik dan gesekan-gesekan militer pun terjadi antara China
dengan Filipina. Konflik aktual ini mulai dipicu 8 April saat pihak berwenang
Filipina memergoki 8 kapal penangkap ikan China di Karang Scarborough.
Ketika angkatan laut Filipina akan menangkap para nelayan tersebut, tindakan
ini dihalangi aksi kapal China lainnya. Kedua negara mengklaim kepemilikan
pulau kecil di Laut China Selatan itu, yang terletak sekitar 230 kilometer dari
Filipina dan lebih dari 1200 kilometer dari China.7 Klaim ini membuat Filipina
berang, berbagai cara dilakukan Filipina untuk menghentikan upaya China
untuk menguasai Laut China Selatan, terutama Pulau-pulau kecil yang masih
dalam territorial Filipina.
Dari jalur militer sendiri, Filipina merupakan negara di kawasan Laut
China Selatan yang kekuatan militernya paling lemah. Dalam daftar Global
6 http://www.antaranews.com/berita/478426/filipina-desak-china-tunjukkan-rasa-hormat-di-laut-china-selatan diakses pada tanggal 17 Juli 2015
5
Fire Power, Filipina berada dalam urutan ke 40, masih tertinggal dari negara tetangganya seperti Malaysia dan Vietnam. Dengan kekuatan militer yang bisa
dikatakan lemah. Filipina pun akan sangat dirugikan jika konflik militer
meletus di Laut China Selatan. Oleh karena itu, penguatan militer adalah salah
satu cara yang mungkin bisa meningkatkan kemampuan bertahan Filipina di
kawasan Laut China Selatan.
B.
Rumusan Masalah
Bagaimana Strategi Filipina dalam menghadapi China dalam Konflik Laut
China Selatan?
C.
Kerangka Berpikir
1) Konsep Diplomasi
Kata “diplomasi” diyakini berasal dari kata Yunani “diploun” yang
berarti “melipat”. Menurut Nicholson, pada masa kekaisaran Romawi semua
paspor, yang melewati jalan milik negara dan surat-surat jalan dicetak pada
piringan logam dobel, dilipat dan dijahit jadi satu dalam cara yang khas. Surat
jalan inilah yang disebut “diplomas”. Kemudian kata ini berkembang dan
mencakup pula dokumen-dokumen resmi yang bukan logam, khususnya yang
memberikan hak istimewa tertentu atau menyangkut perjanjian dengan suku
bangsa asing di luar bangsa Romawi. Karena perjanjian-perjanjian ini semakin
menumpuk, arsip kekaisaran menjadi beban bagi dengan dokumen-dokumen
kecil yang tak terhitung jumlahnya yang dilipat dan diberikan dalam cara
6 berhubungan dengan hubungan internasional, dikenal pada Zaman
Pertengahan sebagai diplomaticus atau diplomatique.
Definisi
Menurut The Oxford English Dictionary memberi konotasi sebagai
berikut “manajemen hubungan internasional melalui negosiasi yang mana
hubungan ini diselaraskan dan diatur oleh duta besar dan para wakil, bisnis atau
para diplomat”. Menurut Chamber’s Twentieth Century Dictionary, diplomasi
adalah seni berunding, khususnya tentang perjanjian di antara negara-negara.
Harold Nicholson, salah seorang pengkaji dan praktisi yang pandai
dalam hal diplomasi di abad ke-20 menegaskan bahwa dalam bahasa yang lebih
mutakhir kata diplomasi secara gegabah diambil untuk menunjukkan paling
tidak lima hal yang berbeda. Dari kelima hal tersebut empat hal yang pertama
menyangkut politik luar negeri, negosiasi, mekanisme pelaksanaan negosiasi
tersebut, dan suatu cabang dinas di luar negeri. Ia selanjutnya mengatakan
bahwa interpretasi kelima merupakan suatu kualitas abstrak pemberian, yang
dalam arti baik mencakup keahlian dalam pelaksanaan negosiasi internasional.
KM panikkar dalam bukunya The Principle and Practice of
Diplomacy menyatakan bahwa diplomasi, dalam hubungannya dengan politik
internasional adalah seni mengedepankan kepentigan suatu negara dalam
hubungannya dengan negara lain. Ivo D. Duchaek berpendapat bahwa
diplomasi biasanya didefinisikan sebagai praktek pelaksanaan politik luar
7 terkadang juga dihubungkan dengan perang. Oleh karena itulah Clausewitz,
seorang filosof Jerman, dalam pernyataanya yang terkenal mengatakan bahwa
perang merupakan kelanjutan diplomasi dengan melalui sarana lain.
Dalam mengkaji definisi-definisi yang telah disebutkan diatas,
beberapa hal tampak jelas. Pertama, jelas bahwa unsur pokok diplomasi adalah
negosisi. Kedua, negosiasi dilakukan untuk mengedepankan kepentingan
negara. Ketiga, tindakan-tindakan diplomatis diambil untuk menjaga dan
memajukan kepentingan nasional sejauh mungkin bisa dilaksanakan dengan
sarana damai. Oleh karena itu pemeliharaan perdamaian tanpa merusak
kepentingan nasional adalah tujuan utama diplomasi. Tetapi apabila cara damai
gagal untuk menjaga kepentingan nasional, kekuatan boleh digunakan.
Merupakan kenyataan umum bahwa terdapat keterkaitan erat antara diplomasi
dan perang. Jadi poin keempat bisa dinyatakan sebagai suatu teknik-teknik
diplomasi yang sering dipakai untuk menyiapkan perang dan bukan untuk
menghasilkan perdamaian. Kelima, diplomasi dihubungkan erat dengan tujuan
politik luar negeri suatu negara. Keenam, diplomasi modern dihubungkan erat
dengan system negara. Ketujuh, diplomasi juga tak bisa dipisahkan dari
perwakilan negara.
Dalam kasus sengketa wilayah di Laut China Selatan ini, Filipina
menempuh jalur diplomasi dengan dua cara, pertama dengan mengajukan
kasus ini ke pengadilan Arbitrasi Internasional. Manila mengajukan kasus itu
ke Pengadilan Arbitrasi Internasional untuk Hukum Laut (UNCLOS) karena
8 penyelesaian yang dirundingkan." Filipina mengklaim perairan itu berdasarkan
ketentuan konvensi PBB, yang ditandatangani oleh kedua negara, yang
memungkinkan negara-negara untuk menyatakan zona ekonomi eksklusif
sejauh 370 kilometer (200 mil laut) dari pantai. Pengajuan yang diajukan
Filipina ini menjadi menarik karena sebenarnya Manila tidak bisa mengajukan
sengketa wilayah kedaulatan mereka ke Mahkamah Internasional. Sebab,
untuk mengajukannya, dibutuhkan persetujuan dari Tiongkok. Sementara itu,
China jelas-jelas menolak. Namun, lewat prosedur perselisihan di bawah
UNCLOS, Filipina bisa mengajukannya meski tidak ada persetujuan dari
China. Proses di pengadilan arbitrase tersebut membutuhkan waktu lama. Dan
juga, China secara konsisten menentang setiap langkah Filipina untuk
membuat keluhannya menjadi internasional, sementara sering mengatakan
bahwa kedua negara harus bekerja sama satu persatu demi perdamaian dan
stabilitas di kawasan itu.
Yang kedua adalah membawa permasalah ini ke tingkat ASEAN.
Filipina menginginkan ASEAN secara serius berfokus kepada permasalahan
konflik Laut China Selatan ini, karena jika hal ini terus dibiarkan, maka akan
menggangu stabilitas kawasan ASEAN itu sendiri. Filipina menginginkan
adanya kesepakatan yang mengikat antara 10 negara ASEAN dengan China.
ASEAN sendiri sudah lama menghendaki yang dinamakan "Code of Conduct"
(Pedoman Tata Tertib) antara ASEAN dan China untuk membereskan konflik
seputar Laut China Selatan ini. Pedoman semacam ini sebenarnya sudah
9 ASEAN dan China tahun 2002. Tetapi karena deklarasi ini tidak bersifat
mengikat maka hingga kini deklarasi tersebut todak bisa diterapkan secara
optimal..
2)
Analisa SWOT
Fredi Rangkuti menjelaskan bahwa Analisa SWOT adalah identifikasi
berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi perusahaan.
Analisa ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan
(strength) dan peluang (opportunity), namun secara bersamaan dapat
meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (threats). Proses
pengambilan keputusan selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan,
strategi dan kebijakan perusahaan. Dengan demikian, perencanaan strategi
harus menganalisa faktor-faktor internal dan eksternal perusahaan (kekuatan,
kelemahan, peluang dan ancaman) dalam kondisi yang saat ini.8
Analisa SWOT membandingkan antara faktor eksternal peluang
(opportunity) dan ancaman (threats) dengan faktor internal kekuatan (strenght)
dan kelemahan (weakness).
Faktor Eksternal dan Internal
Untuk menganalisa secara lebih dalam tentang SWOT, maka perlu
dilihat faktor eksternal dan internal sebagai bagian penting dalam analisa
SWOT, yaitu:
10 Faktor eksternal
Faktor eksternal ini mempengaruhi terbentuknya opportunities and
threats (O dan T). Dimana faktor ini menyangkut dengan kondisi-kondisi yang terjadi di luar perusahaan yang mempengaruhi dalam pembuatan keputusan
perusahaan. Faktor ini mencakup lingkungan industri dan lingkungan bisnis
makro, ekonomi, politik, hukum, teknologi, kependudukan, dan sosial budaya.
Faktor internal
Faktor internal ini mempengaruhi terbentuknya strenghts and
weaknesses (S dan W). Dimana faktor ini menyangkut dengan kondisi yang terjadi dalam perusahaan, yang mana ini turut mempengaruhi terbentuknya
pembuatan keputusan (decision making) perusahaan. Faktor internal ini
meliputi semua macam manajemen fungsional : pemasaran, keuangan, operasi,
sumberdaya manusia, penelitian dan pengembangan, sistem informasi
manajemen dan budaya perusahaan (corporate culture).9
Matrik SWOT
Alat yang dipakai untuk menyusun faktor-faktor strategis perusahaan
adalah matrik SWOT. Matrik ini dapat mengambarkan secara jelas bagaimana
peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi perusahaan dapat disesuaikan
dengan kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya. Matrik ini dapat
menghasilkan 4 set kemungkinan alternatif analisa:
11
STRENGHT (S) WEAKNESS (W)
OPPORTUNITY (O) ANALISA SO
Analisa yang
menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang
ANALISA WO Analisa yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang
THREATS (T) ANALISA ST
Analisa yang
menggunakan kekuatan untuk mengatasi
ancaman
ANALISA WT Analisa yang meminimalkan kelemahan dan
menghindari ancaman
Analisa SO (Strength-Opportunities)
Analisa ini dibuat berdasarkan jalan pikiran perusahaan, yaitu dengan
memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan peluang
yang sebesar-besarnya
Analisa ST (Strenghts-Threats)
Adalah Analisa dalam menggunakan kekuatan yang dimiliki
perusahaan untuk mengatasi ancaman.
Analisa WO (Weknesses- Opportunities)
Analisa ini diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada
[image:23.595.114.511.117.322.2]12 Analisa WT (Weknesses- Threats)
Analisa ini berdasarkan pada kegiatan yang bersifat defensive dan
berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman.10
Kasus Filipina jika kita analisa dengan menggunakan Analisa SWOT
dapat dijabarkan secara berikut:
Strength
1) Kepulauan Spratly ada di ruang lingkup Zona Ekonomi Eksklusif Filipina
Keputusan Filipina untuk mengajukan kasus di perairan yang
disengketakan di Laut China Selatan dengan pengadilan internasional di bawah
Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) telah mendapat kritikan keras
dari China. Kementerian luar negeri China bersikeras bahwa "penyebab
langsung dari sengketa antara China dan Filipina adalah pendudukan ilegal
yang terakhir dari beberapa pulau dan terumbu karang di Laut Cina Selatan".11
Namun, harus digarisbawahi bahwa Filipina tidak meminta
pengadilan untuk memutuskan kedaulatan pulau-pulau dan karang di Laut Cina
Selatan. Sebaliknya, Filipina mempertanyakan China dalam mendeklarasikan
"garis sembilan-dash" China yang mengakibatkan menghilangnya zona
ekonomi eksklusif Filipina (ZEE) yang sesuai dengan UNCLOS. UNCLOS
memberikan 200 mil laut Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) membentang dari
garis pantai suatu negara. Sedangkan China dengan deklarasi “nine-Dash
10 Ibid
13 Line”-nya membatasi ZZE Filipina hingga 30 sampai 50 mil saja jauhnya dari
pantai wilayah kedaulatan Filipina. Pengajuan arbitrase oleh Filipina itu
menyatakan China melanggar UNCLOS – aturan penunjukan zona eksklusif
ekonomi sebuah negara, yaitu 370 kilometer dari garis pantainya. Pengajuan
arbitrase itu juga menyebut klaim China yang sudah berabad-abad terhadap
hampir seluruh wilayah Laut Cina Selatan adalah ilegal.12
2) Filipina menang dalam sidang di Permanent Court of Arbitration
Hasil keputusan Pengadilan Arbitrase (Permanent Court of Arbitration)
atas sengketa Laut China Selatan akhirnya dirilis pada tanggal 12 Juli 2016.
Salah satu dari hasil keputusan itu menyebutkan bahwa pengadilan menolk
klaim China atas hak ekonomi di wilayah yang selama ini ditandai dengan
Sembilan garis putus-putus atau nine-dash line. Keputudan Pengadilan yang
dikeluarkan di Den Haag itu menyatakan bahwa tak ada dasar hukum bagi
China untuk mengklaim hak berdasarkan sejarah terhadap sumber daya di
wilayah perairan yang termasuk di dalam nine-dash line.13
Mahkamah juga menyatakan bahwa reklamasi pulau yang dilakukan
China di perairan ini tidak memberi hak apa pun kepada pemerintah China.
Mahkamah mengatakan bahwa China telah melakukan pelanggaran atas
hak-hak kedaulatan Filipina dan menegaskan bahwa China telah menyebabkan
kerusakan lingkungan di Laut China Selatan dengan membangun pulau-pulau
12 Ibid
14 buatan. Hakim di pengadilan ini mendasarkan putusan mereka pada Konvensi
PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) yang ditandatangani baik oleh
pemerintah China maupun Filipina.14 Meskipun putusan yang dihasilkan
Mahkamah Arbitrase mengikat, namun mahkamah itu tidak memiliki kekuatan
untuk melakukan pemaksaan. China telah memboikot mahkamah tersebut dan
berargumen bahwa institusi itu tidak memiliki yurisdiksi. Apapun putusan
mahkamah, Cina telah telah mengatakan tidak akan “menerima, mengakui,
atau melaksanakan”.15
Akan tetapi, putusan mahkamah justru menguntungkan Filipina, reputasi Cina
berisiko rusak dan dilihat sebagai negara yang mengabaikan hukum
internasional. Ketegangan juga diperkirakan meningkat antara Cina dan
Filipina, atau Amerika Serikat yang memiliki aset militer di Laut Cina
Selatan.16
Weakness
1) Kekuatan militer yang sangat jauh dibawah China
Dalam konflik Laut China Selatan ini, posisi kekuatan militer Filipina
adalah yang paling buncit. Dalam Global Firepower, Filipina menempati
urutan ke-40, jauh dibawah China, Malaysia, Thailand, dan Vietnam.17 Di
14 http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2016/07/160712_dunia_putusan_lautcinaselatan diakses tanggal 18 Agustus 2016
15 http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2016/07/160711_dunia_filipina_cina_mahkamah_ preview diakses tanggal 18 Agustus 2016
16 Ibid
15 lapangan, hal ini terlihat dari alutsista dan persenjataan yang telah uzur. Hal
inilah yang membuat China merasa di atas angina sehingga China leluasa untuk
bergerak di Laut China Selatan.
2) Kekuatan ekonomi yang lebih lemah daripada China.
Perbedaan kekuatan ekonomi sangat terlihat jika membandingkan
kekuatan ekonomi antara Filipina dan China. Dalam data yang dirilis oleh
World Bank, Jumlah GDP China pada tahun 2015 saja jumlahnya sudah berkali-kali lipat dari GDP Filipina pada tahun yang sama. Lebih jelasnya akan
dijelaskan oleh tabel dibawah ini.
No
Negara
Indikator
Filipina China
1 Population 100.7 million 1.371 billion
2 GDP $292.0 billion $10.87 trillion
3 GDP Growth 5.8% 6.9%
4 Inflation 1.4% 1.4%
Sumber Tabel: http://www.worldbank.org/en/country/philippines dan http://www.worldbank.org/en/country/china
3) Situasi Politik internal Filipina yang tidak stabil.
Filipina, terutama Filipina bagian selatan mempunyai sejarah panjang
tentang konflik dengan kelompok bersenjata, seperti separatis muslim,
[image:27.595.134.490.381.590.2]komunis, kelompok militant, dan grup kriminal. Hal ini menyebabkan
16 konsentrasi pasukan bersenjata Filipina lebih terfokus terhadap ancaman dalam
negeri (internal threat) dibandingkan ancaman eksternal, sehingga Filipina
yidak seluruhnya berfokus kepada keamanan di Laut China Selatan.
Daftar-daftar kelompok bersenjata di Filipina adalah sebagai berikut:
a) MNLF
Moro National Liberation Front (MNLF) adalah organisasi yang didirikan
oleh Nur Misuari pada tahun 1971, dengan tujuan untuk memisahkan diri
dari Filipina dan memerdekakan diri. Meskipun di wilayah Moro dan
sekitarnya sudah diberi otonomi khusus oleh Ms Aquino pada tahun 1989,
namun hubungan antara pemerintah Filipina dan MNLF masih
pasang-surut hingga sekarang.18
b) MILF
Moro Islamic Liberation Front dianggap sebagai kelompok pemberontakan
muslim terbesar di negara tersebut. Organisasi ini dibentuk pada tahun
1981 setelah pemimpinnya, Salamat Hasyim, memisahkan diri dari MNLF
pada tahun 1978. MILF sebagian besar berbasis di pulau-pulau terpencil di
Mindanao tengah sejak tahun 1997, kelompok ini telah memiliki
serangkaian pembicaraan damai dengan pemerintahan Filipina, yang
sebagian besar di mediasi oleh Malaysia dari tahun 2003 sampai
sekarang.19
17
c) Abu Sayyaf
Abu Sayyaf adalah kelompok terkecil dan paling radikal dari semua
kelompok separatis Islam di Filipina Selatan. Mereka lebih dikenal karena
sering melakukan penculikan demi tebusan dan juga menebarkan terror
dengan melakukan pengeboman untuk mencapai tujuan mereka. 20
Abu Sayyaf merupakan pecahan dari MNLF pada tahun 1991 pada tahun
1991 di bawah kepemimpinan Abdurajik Abubakar Janjalani. Diketahui
bahwa kelompok ini berafiliasi dengan Al Qaeda dan Jemaah Islamiyah,
dan kabar terbaru menyebutkan bahwa Abu sayaaf sekarang juga menjalin
hubungan dan berafiliasi dengan Islamic State (IS).21
d) New People’s Army
New People’s Army adalah sayap militer dari Partai Komunis Filipina
(CPP) yang didirikan pada tahun 1969 oleh Jose Maria Sison. CPP
dianggap sebagai salah satu pemberontakan komunis tertua di dunia yang
bertujuan untuk menggulingkan Pemerintah Filipina dengan menggunakan
taktik gerilya. Pemberontakan yang dilancarkan oleh NPA selama
bertahun-tahun dilaporkan menjadi salah satu yang paling mematikan di
Filipina. Beberapa kali Pemerintah Filipina dan CPP melakuakan
pembicaraan guna mencapai kesepakatan damai, namun hingga sekarang
kesepakatan damai tersebut belum tercapai.22
18
Oportunity
1) Peningkatan latihan militer bersama dengan negara-negara yang memiliki
kepentingan yang sama
Filipina akhir-akhir ini meningkatkan kerjasama militer dengan
Amerika Serikat, Filipina meminta Amerika Serikat untuk memperkuat
hubungan dengan Asia dan focus pada perkembangan terakhir di Laut China
Selatan. Menteri Luar Negeri Filipina, Del Rosario mengatakan hubungan
kerjasama ini berfokus pada aspek ekonomi dengan kombinasi aspek
keamanan dan pertahanan. Selain itu kerja sama ini dilakukan agar Amerika
Serikat memberi bantuan kepada Filipina yang saat ini sedang menghadapi
pengepungan yang dilakukan China di Laut China Selatan. Sebelumnya
Filipina dan Amerika Serikat mengadakan latihan militer bersama yang
melibatkan 6.000 tentara Filipina dan 6.500 tentara Amerika Serikat. Latihan
militer bersama ini menjadi tanda bahwa kerja sama militer antar dua negara
meningkat di banding tahun-tahun sebelumnya.23
2) Bantuan militer dari Amerika Serikat.
Pada tahun 2014 lalu, Filipina dan Amerika Serikat menandatangani
perjanjian dalam bidan militer yang bernama The Enhanced Defense
Cooperation Agreement (EDCA). The Enhanced Defence Cooperation
Agreement (EDCA) atau Perjanjian Peningkatan Kerjasama Pertahanan adalah
19 perjanjian antara Amerika Serikat dan Filipina yang dimaksudkan untuk
memperkuat hubungan Amerika Serikat dan Filipina di bidang pertahanan
militer. Perjanjian ini memungkinkan Amerika Serikat untuk mengirim
pasukannya ke Filipina, selain itu Amerika Serikat juga mempunyai akses
untuk membangun dan mengoperasikan fasilitas di pangkalan Filipina, namun
dengan beberapa persyaratan tertentu, salah satunya adalah Amerika Serikat
tidak diperbolehkan untuk membangun pangkalan militer permanen, dan
Amerika Serikat juga harus memberikan Filipina akses personil ke dalam kapal
dan pesawat milik Amerika Serikat.24
Selain itu, Filipina juga akan mendapatkan paket bantuan dana dari
Amerika Serikat yang terbesar dalam 15 tahun terakhir untuk membantu negara
tersebut untuk meningkatkan perlengkapan militernya, Rencananya Filipina
akan menerima 79 Juta US Dollar dalam bentuk bantuan militer tahunan,
jumlah ini naik disbanding bantuan tahun sebelumnya yang berjumlah 50 juta
US Dollar.25
3) Bantuan Soft-loan dari Pemerintah Jepang dalam bentuk kapal Coast Guard.
Pada tanggal 18 Agustus 2016 lalu, Filipina mendapat kiriman kapal
Coast Guard pertama dari Jepang. Kapal ini digunakan oleh Coast Guard
Filipina untuk membantu meningkatkan keamanan dan penegakan hokum
24 http://globalnation.inquirer.net/133741/filipinos-asked-who-do-you-want-on-your-side diakses pada tanggal 5 Juni 2015
20 maritime di Laut China Selatan di mana ketegangan telah meningkat karena
Filipina menghadapi sengketa territorial dengan China.26
China mengklaim hampir seluruh Laut China Selatan dimana
diperkirakan sekitar $5 Triliun perdaganan yang melintasi wilayah laut ini
setiap tahun. Brunei, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam juga memiliki
klaim di kawasan yang diyakini memiliki simpanan yang kaya miyak dan gas
tersebut.
Jepang memang tidak memiliki klaim di Selat Malaka tetapi Jepang
khawatir jika militer China menjangkau alur laut strategis yang banyak dilalui
kapal-kapal dagang jepang tersebut.27
Kapal ini mempunyai panjang 44 meter, dan akan digunakan oleh Coast
Guard Filipina untuk menjalankan tugas patrol dan penegakan hokum
maritime. Kapal ini juga akan digunakan untuk tugas kemanusiaan dan bantuan
penanganan bencana. Jepang akan mengirimkan Sembilan kapal Coast Guard
tambahan kepada Filipina dengan nilai 7,3 miliar Peso ($158 juta) dari
pinjaman lunak Japan International Cooperation Agency (JICA). Sebagai
tambahan, Jepang dan Filipina sedang dalam pembicaraan tentang penambahan
dua kapal Coast Guard berukuran besar senilai 10 miliar Peso ($215 juta) dan
menyewa empat pesawat patrol ringan TC-90.28
26 http://www.reuters.com/article/us-southchinasea-philippines-japan-idUSKCN10T11V Diakses pada tanggal 23 Juli 2015
21
Threat
1) Reklamasi China atas pulau-pulau kecil dan koral di LCS.
China semakin agresif dalam pergerakannya di Laut China Selatan.
Hal ini diperkuat dengan dibangunnya sejumlah reklamasi besar-besaran di
area konflik. Reklamasi ini diduga akan digunakan oleh China sebagai
pangkalan militernya untuk menjaga Laut China Selatan. Hal ini bisa dilihat
dari salah satu pulau reklamasi yang mempunyai landasan pesawat terbang
yang cukup untuk didarati pesawat pembom jarak jauh. Beberapa reklamasinya
ada di Fiery Cross Reef, Gaven-Riff, Johnson South Reef, dan Hughes-Riff
yang kesemuanya berada di kepulauan spartly dekat Filipina.29
2) Banyaknya Kapal Coast Guard China yang berpatroli di LCS.
Setelah putusan Majelis Arbitrase yang memutuskan bahwa tidak ada
dasar hokum bagi China untuk mengklaim Laut China Selatan berdasarkan
Sejarah dengan nine-dash line-nya. Namun pergerakan China di kawasan Laut
China Selatan masih agresif.
Hal ini dibuktikan dengan banyaknya kapal-kapal Coast Guard China,
dan memblokir akses nelayan-nelayan Filipina ke laut sekitar area Terumbu
Karang Scarborough. Nelayan-nelayan Filipina terutama dari kawasan
Zambales mengungkapkan bahwa mereka sering dicegah masuk ke kawasan
terumbu karang Scarborough oleh kapal-kapal Coast Guard China, Kapal-kapal
Coast Guard China tersebut bahkan menurunkan dua perahu karetnya dan
22 mengitari kapal nelayan Filipina seraya meneriakkan, “ini adalah penjaga pantai
China, kami sedang menjalankan penegakan hokum, segera tinggalkan daerah
ini segera.” Daripada mengambil resiko yang lebih jauh, kapal-kapal nelayan
Filipina banyak yang memutuskan untuk kembali ke Zambales tanpa membawa
hasil sama sekali.30
Untuk nelayan Filipina yang berada di Masinloc, Santa Cruz, dan kota
pelabuhan Zambales, Kapal-kapal China tersebut mencegah mereka ke daerah
sumber daya yang kaya ikan yang mengakibatkan kehidupan mereka terancam.
Terumbu karang Scarborough termasuk daerah yang kaya hasil laut. Nelayan
meng klaim mereka bias mengangkut hingga 10.000 ton ikan dan makanan laut
lainnya selama sekpedisi memancing. Namun kehadiran Kapal Coast Guard
China yang mulai hadir sekitar tahun 2012 tersebut mau-tidak mau membuat
mereka kehilangan kawasan kaya hasil laut tersebut.31
3) Pengaruh China di komunitas ASEAN
China masih menjadi negara yang sangat berpengaruh di negara-negara
Asia Tenggara. Sebagian anggota ASEAN masih menganggap Beijing sebagai
mitra yang menguntungkan meski sebagian lain menganggap negeri tirai
bambu itu sebagai bumerang. Ketidakberdayaan ASEAN di depan China
terlihat dengan adanya berbagai pandangan menyangkut sikap mereka terhadap
Beijing. Dalam kasus sengketa Laut China Selatan, China masih memiliki
30 http://cnnphilippines.com/news/2016/07/15/scarborough-shoal-filipino-fishermen-chinese-coast-guard.html1 diakses pada tanggal 25 Agustus 2016
23 kedekatan dengan beberapa anggota ASEAN. Selain itu, beberapa negara
ASEAN juga enggan berkonflik dengan China. Mereka menganggap China
bukanlah negara yang harus dimusuhi. Jadi ASEAN bisa dijadikan ajang bagi
China untuk menebarkan pengaruh.32
Namun di sisi lain Filipina dan Vietnam sangat menentang segala
tindakan klaim China di Laut China selatan, terutama dalam isu reklamasi
China terhadap pulau-pulau karang di Kepulauan Spratly. Filipina juga
menyerukan agar ASEAN membuat pernyataan bahwa aktivitas reklamasi agai
tindakan yang bermasalah. Namun tidak semua negara anggota menyetujui
ususl Filipina tersebut.33
Ketidaksetujuan tersebut dipaparkan oleh Menlu Malaysia selaku tuan
rumah KTT ASEAN tahun 2015, Menlu Malaysia Anifah Aman menyatakan
bahwa mereka menolak ide untuk ikut campur dan berkonflik dengan China.
ASEAN harus menghindari segala tindakan kontraproduktif yang membuat
aggota ASEAN semakin menjauh. Oleh karena itu, draft salinan pernyataan
terakhir pertemuan KTT ASEAN 2015 tersebut tidak menyinggung
ketegangan Laut China Selatan sama sekali, hal tersebut mirip dengan KTT
ASEAN 2012 di Kamboja lalu, yang tidak menghasilkan kesepakatan apapun
tentang isu Laut China Selatan.34 Ketidak kompakan inilah yang membuat Isu
LCS akan jauh dari kata selesai.
32 http://nasional.sindonews.com/read/994235/149/asean-tak-berdaya-hadapi-china-1430103333 diakses pada tanggal 13 Agustus 2016
25
D.
Hipotesa
Berdasarkan penjelasan dari kerangka berpikir, dapat ditarik
kesimpulan sementara (hipotesis) yaitu : strategi Filipina dalam menghadapi
China dalam konflik Laut China Selatan adalah Sebagai berikut:
Dengan strategi Diplomasi :
- Dengan mengajukan Arbitrasi ke Pengadilan Arbitrasi Internasional.
- Mendesak ASEAN untuk menetapkan Code of Conduct yang bersifat
mengikat antar anggota ASEAN.
Dengan strategi Militer :
- Dengan meningkatkan kekuatan militernya terutama dalam bidang
pertahanan (defensive), untuk meredam kekuatan China di Laut China
Selatan.
- Membentuk kerjasama/Aliansi bidang pertahanan dengan negara lain
agar bisa mengimbangi kekuatan China.
E.
Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data sekunder. Teknik
pengumpulan data ini menggunakan bahan-bahan pustaka seperti jurnal-jurnal,
buku-buku, literatur, artikel, dan surat kabar. Tambahan data-data bisa juga
26
F.
Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penulis memberikan batasan yang akan
diteliti. Penilitian ini dilakukan tahun 2010 hingga 2015 atau saat ini.
Dikarenakan pada tahun-tahun tersebut China semakin agresif dalam klaim
wilayah Laut China Selatan.
G.
Sistematika Penulisan
Dalam penyusunan skripsi ini terdapat 4 bab yang saling berhubungan.
Hubungan antar bab bersifat sistematis dan berkaitan antara bab satu dengan
bab yang lainnya, sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.
BAB I
Berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, landasan teori,
hipotesa, metode pengumpulan data, ruang lingkup penilitian, dan sistematika
penulisan.
BAB II
Bab ini akan menguraikan sejarah Konflik Laut China Selatan.
BAB III
Bab ini akan menjelaskan Kepentingan Filipina di Laut China Selatan.
BAB IV
Bab ini akan menjelaskan tentang strategi Filipina dalam menghadapi
27 BAB V
28
BAB II
SEJARAH KONFLIK LAUT CHINA SELATAN
Menurut Biro Hidrografis Internasional (the International Hydrographic
Bureau) Laut China Selatan didefinisikan sebagai perairan yang memanjang dari barat daya kearah timur laut, berbatasan di sebelah selatan dengan 3 derajat lintang
selatan antara Sumatra dan Kalimantan, di sebelah utara dibatasi oleh Selat Taiwan
dari ujung utara Taiwan kearah pantai Fukien, China. Luas perairan meliputi sekitar
4.000.000 kilometer persegi.1
Dasar Laut China Selatan dari 1,7 juta km2 landas kontinen yang mempunyai
kedalaman kurang dari 200 meter, dan 2,3 juta km2 dari dasar laut lebih dalam dari
200 meter. Dasar laut yang termasuk landas kontinen terutama terdapat di bagian
barat dan selatan (Sunda Shelf), sementara bagian yang lebih dalam di beberapa
area mencapai lebih dari 5000 meter (South China Basin), ditandai dengan berbagai
kedangkalan dan pulau-pulau karang.2
Menurut definisi lain Laut China Selatan merupakan “laut setengah tertutup”
(semi-enclosed sea) yang berbatasan dengan China dan Taiwan di sebelah utara, di sebelah barat ke arah selatan berbatasan dengan Vietnam, Kamboja, Thailand, dan
Malaysia, di sebelah timur berbatasan dengan Filipina, dan di sebelah selatan
berbatasan dengan Indonesia dan Malaysia (Serawak dan Sabah). Pusat dari
kepulauan ini sekitar 400 km dari Malaysia Serawak, 600 km Saigon (Vietnam),
1 Asnani, Usman & Rizal Sukma. Konflik Laut China Selatan : Tantangan Bagi ASEAN. Jakarta: CSIS, 1997
29 700 km dari Manila, 1.100 km dari China (pulau Hainan) dan 1.600 km dari
Indonesia (Pulau Sumatra). Dengan luas wilayah perairan sekitar 3.000.000 km
persegi, di wilayah Laut China Selatan ini tersebar beberapa gugus kepulauan,
yaitu: (1) gugus kepulauan Pratas, (2) gugus kepulauan Paracel, dan (3) gugus
Kepulauan Spratly. Di kawasan ini juga terdapat gugusan karang Scarborough.3
Kawasan Laut China Selatan sepanjang dekade 90-an menjadi isu keamanan
yang paling sering di sorot. Kawasan ini merupakan wilayah cekungan laut yang
dibatasi oleh negara-negara besar dan kecil seperti China, Vietnam, Filipina,
Malaysia, Burma, dan Taiwan. Dalam wilayah Laut China Selatan ini terdapat
kepulauan Spratly dan kepulauan Paracel. Namun kajian konflik Laut China Selatan
di Kepulauan Spratly lebih mengemuka karena melibatkan beberapa negara
sekaligus. Konflik Laut China Selatan tidak bisa dilepaskan dari persoalan
kebutuhan akan sumber daya yang sangat penting seperti minyak bumi, sumber
daya ikan, hingga jalur transportasi kapal-kapal yang ramai. Minyak bumi menjadi
incaran utama China karena sejak awal decade 90-an hingga saat ini China telah
menjadi salah satu dari sepuluh negara importir terbesar di dunia. Predikat ini secara
otomatis China harus selalu berusaha untuk mendapatkan suplai minyak dari luar
negeri dalam jumlah yang cukup agar perekonomiannya tetap berjalan dan
berkembang. Kandungan Minyak bumi dan gas alam di kawasan ini membuat
keterlibatan China dalam konflik Laut China Selatan ini menjadi tak terelakkan.4
30
A.
Dasar Tuntutan
1) China
China mengemukakan tuntutannya berdasarkan catatan-catatan sejarah,
dokumen-dokumen kuno, peta-peta, dan penggunaan oleh nelayan-nelayannya
sejak 2000 tahun yang lalu. Bagi China, Kepulauan Spratly sudah merupakan
bagian dari China sejak jaman dinasti-dinasti Han, Yuan, dan Ming. Selain itu,
China merujuk pada perjanjian perbatasan antara China dan Perancis tahun 1887
31 (ketika Vietnam menjadi protektorat Perancis) di mana Kepulauan Paracel dan
Spratly diserahkan kepada China.5
Sampai pada paruh pertama abad ke-20, China berulang kali menegaskan
kedaulatannya atas Kepulauan Spratly dan tidak mendapat tantangan dari
negara-negara lainnya. Tetapi pada tahun 1930 Perancis menduduki salah satu Pulau
Spratly dan pada tahun 1931 mengirimkan nota kepada Kedutaan China di Paris,
menuntut kedaulatan Vietnam atas Kepulauan Spratly (dan Kepulauan Paracel)
yang kemudian diprotes oleh China. Tanpa menghiraukan protes ini, Perancis
menduduki pulau Spratly dan Itu Aba, serta tujuh pulau lainnya dan menyatakan
pulau-pulau itu sebagai bagian dari Kerajaan Vietnam dari tahun 1933 sampai tahun
1939.6
Jepang kemudian menggantikan Perancis menduduki pulau-pulau di Spratly
dari tahun 1939 sampai tahun 1945. Setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II
tahun 1945, Perancis kembali menduduki pulau-pulau Spratly pada tahun 1946.
China kembali memprotes tindakan Perancis dan sebulan kemudian mengirimkan
pejabat seniornya dengan kapal perang menduduki Spratly. Tahun 1947, China
menempatkan pulau-pulau Spratly di bawah jurisdiksinya sebagai bagian dari
Provinsi Guangdong. Klaim China terhadap Kepulauan Spratly baru dilontarkan
kembali pada tanggal 5 Agustus 1951, yaitu sebelum dialngsungkannya Konferensi
Perdamaian San Fransisco bulan September. Menlu China pada waktu itu , Zhou
32 Enlai, Menegaskan bahwa Kepulauan Spratly selalu merupakan bagian dari
wilayah China.7
Selain itu China telah mengemukakan tuntutannya atas pulau-pulau di Laut
China Selatan sebagai tuntutan sejarah berupa garis Sembilan yang terputus-putus
(nine dash-line), yang pada mulanya dibuat oleh pemerintahan Kuo Mintang pada
tahun 1947. Tetapi garis-garis terputus ini tidak mempunyai batas-batas yang jelas
karena tidak mempunyai koordinat dan definisi yang jelas. Tuntutan ini juga tidak
jelas menyatakan apakah yang dituntut itu dalam garis putus-putus tersebut
hanyalah pulau-pulau yang terletak di dalamnya ataukah juga selluruh laut yang
termasuk ke dalam Sembilan garis-garis terputus tersebut.8
2) Taiwan
Seperti China, Taiwan juga mengajukan tuntutanya berdasarkan sejarah.
Taiwan mengemukakan kepemilikan dan penggunaan wilayah itu oleh Bangsa
China sejak masa dinasti Han (mulai sekitar 206 Sm) di samping bukti-bukti dari
kekuasaan Dinasti Sung (960-1279) dan Yuan (1282). Pemerintahan China
Nasionalis telah mengajukan tuntutannya atas pulau-pulau kecil di Laut China
Selatan yang terletak di dalam nine dash-line dan yang tidak ada koordinatnya sejak
pendudukan Perancis pada tanggal 25 Juli 1933 sampai Jepang berhasil mengusir
Perancis dan menduduki Kepulauan Paracel dan Spratly pada tahun 1939. Setelah
33 Jepang kalah dalam Perang Dunia II, Pemerintah China Nasionalis mengambil-alih
kedua Kepulauan tersebut dan menempatkan pasukan di Pulau Itu Aba tahun 1945.9
3) Vietnam
Seperti halnya China, Vietnam mengajukan tuntutannya atas pulau-pulau
Spratly berdasarkan sejarah berabad-abad lalu . Klaim Vietnam atas pulau-pulau
Spratly juga berdasarkan perolehan Kaisar Gia Long tahun 1892 yang kemudian
menggabungkannya dengan Vietnam pada tahun 1832. Kaisar Minh Mang yang
memerintah Kerajaan Vietnam pada tahun 1834 juga telah mendirikan pagoda dan
tanda batu (stone tablet) di Pulau Spratly.10
Menurut Heinzig, dari sudut pandang sejarah, tuntutan Vietnam lebih lemah
daripada China karena negara ini mengalami kesulitan untuk membuktikan
kesinambungan penguasaan mereka atas negara dan wilayah sejak tahun 211 SM
akibat penjajahan China yang kemudian disambung dengan penjajahan Perancis
setelah sempat merdeka dalam jangka waktu yang sangat singkat. Tetapi Vietnam
mengemukakan bahwa banyak dokumen yang menunjukkan kepemilikan Vietnam
atas pulau-pulau Spratly yang telah dimusnahkan oleh China pada waktu negara ini
menjajah Vietnam.11
Setelah Perang Dunia II, Vietnam mengemukakan dasar tuntutannya dengan
merujuk pada Perjanjian Perdamaian San Fransisco 1951. Vietnam yang pada
waktu itu hadir dan menandatangani perjanjian ini telah menegaskan tuntutannya
34 atas Kepulauan Spratly seperti yang dinyatakan oleh PM Republik Vietnam, Tran
Van Huu bahwa Vietnam menegaskan hak Vietnam atas Kepulauan Spratly dan
Paracel, yang selalu menjadi mili Vietnam. Pada Tahun 1956, Vietnam
memasukkan Kepulauan Spratly ke dalam Provinsi Phuoc Tuy dengan suatu dekrit
tertanggal 22 Oktober 1956.12
4) Filipina
Filipina mulai memperhatikan pulau-pulau Spratly setelah mendapat
kemerdekaan dari Amerika Serikat dan mengajukan tuntutan kepemilikan dalam
sidang Majelis Umum PBB pada tahun 1946. Setelah merdeka, Menteri Luar
Negeri Filipina mengeluarkan pernyataan bahwa the new Southern Islands (istilah
Jepang untuk pulau-pulau di Laut China Selatan) diserahkan Jepang kepada
Filipina. Tetapi pada tahun 1956, Thimas Cloma, pemilik kapal ikan menemukan
dan menduduki sebagian pulau-pulau Spratly yang kemudian disebut Kepulauan
Kalayaan sebagai wilayah terra nullius (wilayah yang tidak dimiliki oleh negara
manapun). Dalam suratnya kepada Wakil Presiden dan Menteri Luar Negeri
Filipina, Carlos Garcia, Cloma menyatakan pendudukannya didasarkan pada
penemuan dan pendudukan (discovery and occupation) yang mencakup 33 pulau
yang sangat kecil, pulau Spratly dan pulau kecil Amboyna. Filipina juga kemudian
mendasarkan tuntutannya kepada doktrin kedekatan (proximity) dan kebutuhan
yang mendesak bagi pertahanannya.13
35 5) Malaysia
Tuntutan Malaysia baru dikemukakan pada tanggal 21 Desember 1979 pada
waktu dipublikasikannya peta landas Kontinen Malaysia. Malaysia menganggap
pulau-pulau yang berada di Landas Kontinen dan ZEE-nya, yaitu Terumbu
Layang-layang (Swallow Reef), Matanani (Mariveles Reef), dan Ubi (Dallas Reef) sebagai
wilayahnya. Malaysia juga menyatakan bahwa Inggris telah menguasai pulau-pulau
tersebut sebagai bagian dari Sabah dan Serawak pada abad ke-18. Menurut sumber
lain, di sampingpulau-pulau ini, pulau-pulau dan karang-karang Spratly lainnya
yang tercantum di dalam peta tersebut adalah Commodore Reef, Amboyna Cay,
Southwest Shoal, Ardasier Breakers, Gloucester Breakers, Barque Canada Reef,
Lizzie Weber Reef, Northeast Shoal, Glasglow Shoal dan North Viper Shoal.14
6) Brunei
Meskipun sampai saat ini tidak menduduki satu pulau pun, seperti Malaysia,
Brunei telah mengajukan tuntutan atas Louisa Reef sebagai wilayah yang berada di
landas Kontinen dan Zee-nya. Brunei telah mengajukan protes terhadap peta yang
dikeluarkan oleh Pemerintah Malaysia pada tahun 1979 yang memasukkan Louisa
reef yang disebut Terumbu Semarang Barat ke dalam wilayah kedaulatan
Malaysia.15
Berdasarkan tuntutan-tuntutan diatas, para penuntut merasa lebih berhak
menduduki atau memperluas pendudukan mereka atas pulau-pulau Spratly. Dalam
36 usaha memperkuat tuntutan mereka, negara-negara pantai tersebut makin
memperluas pendudukan atas pulau-pulau Spratly dengan tindakan yang lebih
nyata, misalnya menempatkan pasukan, mendirikan bangunan-bangunan, atau
menjadikan objek wisata di pulau-pulau yang telah dikuasai, terutama sejak
dasawarsa 1970-an.16
Sumber Gambar : UNCLOS via BBC Indonesia
37
B.
Perkembangan Sengketa
Cina mengklaim sebagian besar kawasan ini terbentang ratusan mil dari
selatan sampai timur di Propinsi Hainan. Beijing mengatakan hak mereka atas
kawasan itu bermula dari 2.000 tahun lalu dan kawasan Paracel dan Spratly
merupakan bagian dari bangsa Cina. Pada Tahun 1947, Cina mengeluarkan peta
yang merinci klaim kedaulatan negara itu. Peta itu menunjukkan dua rangkaian
pulau yang masuk dalam wilayah mereka. Klaim itu juga diangkat Taiwan, yang
masih dianggap Cina sebagai provinsinya yang membangkang. Vietnam
menyanggah klaim Cina dengan mengatakan Beijing tidak pernah mengklaim
kedaulatan atas kepulauan itu sampai tahun 1940-an dan mengatakan dua
kepulauah itu masuk dalam wilayah mereka. Selain itu Vietnam juga mengatakan
mereka menguasasi Paracel dan Spratly sejak abad ke-17, dan memiliki dokumen
sebagai bukti. Negara lain yang mengklaim adalah Filipina, yang mengangkat
kedekatan secara geografis ke kepualauan Spratly sebagai landasan klaim sebagian
kepulauan itu. Malaysia dan Brunei juga mengklaim sebagian kawasan di Laut Cina
Selatan itu yang menurut dua negara itu masuk dalam zone ekslusif ekonomi,
seperti yang ditetapkan dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982.
Brunei tidak mengklaim dua kepuluaan itu namun Malaysia menyatakan sejumlah
kecil kawasan di Spratly adalah milik mereka.17
Dari semua wilayah Laut China Selatan, kepulauan Spratly merupakan
wilayah yang sanngat potensial untuk berkembang menjadi wilayah konflik militer
38 di masa mendatang, tidak saja karena adanya tuntutan yang tumpang tindih yang
melibatkan keenam penuntutnya (China, Taowan, Malaysia, Vietnam, Filipina, dan
Brunei) tetapi juga karena kepentingan negara-negara besar seperti Jepang, AS, dan
Rusia di perairan Laut China selatan. Keenam negara tersebut mengajukan tuntutan
mereka atas kepulauan Spratly antara lain berdasarkan sejarah, penemuan,
pendudukan sementara atau berulang, dan pemeliharaan hubungan dengan salah
satu pulau sejak berabad-abad lalu. Dasar tuntutan ini menjadi makin rumit dengan
adanya pendudukan pulau-pulau Spratly oleh Perancis pada abad 19 dan 20, Jepang
pada abad 20. Kekalahan Jepang dan tercapainya Perjanjian Perdamaian Fransisco
tahun 1951 yang tidak menyebutkan penyerahan pulau-pulau yang ada di kepulauan
Spratly kepada negara-negara sekitarnya, telah menyebabkan China, Vietnam,
Filipina, dan Taiwan menuntut bahwa kepulauan Spratly dan Paracel adalah
wilayah mereka.18
Dari sejarah yang diuraikan sebelumnya, dapat kita lihat bahwa sejak abad
20, penguasaan kepulauan Spratly berpindah-pindah dari satu negara ke negara
lainnya. Dimulai dari tahun 1933-1939 diduduki oleh Perancis, di tahun 1939-1945
dikuasai oleh Jepang, dan di tahun 1945-1951 dikuasai sekutu sampai tercapainya
Perjanjian Damai San Fransisco. Tetapi perjanjian ini tidak menyebutkan tentang
status kepemilikan pulau-pulau yang ada di kepulauan Spratly. Hal ini
menyebabkan pada awal dasawarsa 1970-an beberapa negara pantai yang terlibat
sengketa mulai memperkuat tuntutan mereka dengan tindakan yang lebih nyata,
yaitu dengan menduduki dan mendirikan bangunan di pulau tersebut, menerbitkan
39 dokumen-dokumen sejarah yang berkaitan dengan dasar tuntutan, memberikan
konsesi minyak kepada perusahaan minyak asing, hingga penempatan pasukan
militer di wilayah tersebut. 19
Negara pertama yang memperkuat tuntutannya dengan mengirimkan pasukan
ke pulau-pulau Spratly adalah Vietnam Selatan yang dimulai pada tahun 1973.
Menjelang akhir tahun tersebut, Vietnam Selatan mengumumkan secara resmi
digabungkannya 11 pulau Spratly den provinsi Phuoc Tuy. Pada bulan Februari
1974, Vietnam menduduki 6 pulau Spratly , menyusul pendudukan China atas
kepulauan Paracel pada Januari 1974. Sumber lain mengungkapkan bahwa Vietnam
Selatan telah mengirimkan armada lautnya ke pulau-pulau Spratly tersebut lebih
awal, yaitu pada tahun 1956 dan tetap tinggal di pulau-pulau tersebut sampai Hanoi
menguasainya setelah Saigon jatuh pada tahun 1975. Setelah Vietnam bersatu pada
tahun 1976, Hanoi memperluas penguasaanya dengan menduduki tujuh pulau
Spratly lainnya, dan membangun instalasi militer paling sedikit di lima pulau.20
Filipina mengajukan tuntutan berdasarkan penemuan Cloma, pada tahun
1970-1971, dan telah menduduki tiga pulau, di antaranya Comodore Reef. Pada
bulan Februari 1974 Filipina menduduki lagi lima pulau, yaitu Nanshan, Flat, West
York, Northeast Cay, dan Thitu. Pada tahun 1978 Filipina menduduki dua pulau,
yaitu Lamkiam Cay dan Pulau Loalita. Pendudukan ini diperkuat dengan tindakan
yuridis, yaitu ketika pada tanggal 19 Juni 1978 Presiden Marcos menandatangani
Dekrit Presiden 1956 yang menuntut kepemilikan atas Kepulauan Kalayaan.
40 Menurut dekrit ini pulau-pulau yang dituntut Filipina sama dengan tuntutan Cloma,
tetapi Pulau Spratly dan Pulau Amboyna tidak termasuk didalamnya. Kedua pulau
ini diduduki Vietnam sebagai bagian dari wilayahnya. Malaysia juga menuntut
gugusan karang Laksamana (Commodore Reef) yang diduduki Filipina sebagai
bagian dari wilayahnya. Tuntutan-tuntutan ini tidak diikuti dengan penempatan
pasukan dan kekuatan militer.21
Sementara itu, China setelah menguasai Kepulauan Paracel tahun 1974, tidak
melangkah lebih jauh menduduki pulau-pulau Spratly. Menurut salah satu sumber,
China sebenarnya mencoba untuk menguasai Pulau Spratly, etapi tidak berhasil
karena dapat diusir oleh pasukan Vietnam Selatan di pulau tersebut. Tindakan
negara-negara pantai yang memperkuat tuntutannya di atas, erat kaitannya dengan
krisis minyak di dunia pada 1973, yang menyadarkan negara-negara pantai akam
potensi minyak yang terkandung di lepas pantai atau dasar laut Kepulauan Spratly.
Misalnya, tindakan China yang menduduki Kepulauan Paracel tahun 1974
menimbulkan kekhawatiran negara-negara pantai lainnya bahwa China akan
bertindak lebih jauh menduduki Kepulauan Spratly. Oleh karena itu, negara-negara
pantai lainnya berusaha untuk mempertahankan dan memperkuat tuntutan
mereka.22
Pada dasawarsa 1980-an, negara-negara penuntut lainnya tampak tidak
melakukan hal-hal yang menimbulkan ketegangan di kawasan Laut China Selatan.
Tetapi pada akhir dasawarsa 1980-an timbul perkembangan yang mengkhawatirkan
41 di perairan Laut China Selatan sehubungan dengan tindakan negara-negara pantai
yang memperkuat tuntutan mereka. Kekhawatiran ini muncul ketika terjadi
peningkatan kegiatan angkatan laut China di perairan Laut China Selatan pada
tahun 1986 yang berlanjut pada tahun 1987. China mulai dengan latihan-latihan
armada laut dan amfibi modern untuk menunjukkan bahwa China mempunyai
kemampuan melakukan pertempuran dan pantai daratan.23
Perkembangan tersebut telah memancing reaksi dari negara-negara pantai
lainnya. Malaysia, misalnya pada bulan November 1986 menempatkan pasukannya
di pulau Matanani dan Ubi. Beberapa bulan kemudian pada bulan April 1987,
Vietnam menduduki sebuah pulau baru yang disebut Barque Canada Reef (Thu Yen
Chin). Pada tahun itu, ketika China membangun pangkalan tetap yang pertama di
Fiery Cross Reef (youphu), Vietnam menduduki empat pulau lainnya. Tindakan ini
dibalas lagi oleh China dengan menduduki empat pulau lainnya. Tindakan ini
dibalas lagi oleh China dengan menduduki beberapa pulau lainnya untuk
melindungi pangkalan tersebut. Puncak dari perkembangan ini adalah terjadinya
bentrokan senjata antara angkatan Laut China dan Vietnam pada Maret 1988.
Walaupun sulit untuk mengetahui siapa yang sebenarnya terlebih dahulu membuka
tembakan, banyak pengamat percaya bahwa China telah melakukan provokasi
terhadap Vietnam sehingga insiden itu terjadi. China telah melakukan hal ini
dengan perhitungan bahwa Uni Soviet tidak akan membantu Vietnam sehubungan
dengan membaiknya hubungan China dengan Soviet. Tindakan China ini juga
disebabkan oleh peningkatan kemampuan angkatan lautnya yang antara lain
42 bertujuan untuk mendukung dan merealisir tuntutannya atas pulau-pulau Spratly.
Saat itu China mempunyai kekuatan kapal selam terbesar ketiga di dunia setelah
Amerika Serikat dan Uni Soviet. Kekuatan kapal selamnya tahun 1987-1988
mencapai 117 buah. Dari seluruh kemampuan Angkatan Lautnya, China telah
mendapatkan armada laut selatannya yang berjumlah 600 kapal yang berpangkal di
Zhanjiang. Pada tahun 1977-1978, China hanya menempatkan 200 kapal di bagian
selatan ini.24
Pada bulan Mei 1988 timbul ketegangan antara Malaysia dan Filipina.
Angkatan Laut Malaysia telah menangkap 49 awak kapal ikan Filipina karena
dituduh menangkap ikan di perairan wilayahnya di lepas pantai Serawak 120 mil
barat laut kota Kinabalu. Awak kapal Filipina menyangkal tuduhan ini dan
mengemukakan bahwa mereka menangkap ikan di perairan wilayahnya sesuia
dekrit Presiden tahun 1956 yang menyatakan kelompok kepulauan Kalayaan adalah
bagian dari wilayah Filipina. Masalah ini dapat diselesaikan dengan damai antara
kedua negara dengan dilepasnya awak kapal ikan yang tertangkap. Walaupun
demikian, peristiwa ini disusul dengan peningkatan pasukan kedua negara di
pulau-pulau yang dianggap wilayah mereka yang menunjukkan bahwa mereka siap
mempertahankan tuntutan mereka masing-masing.
Pada tahun 1989 negara-negara pantai terus merealisir tuntutan mereka.
Misalnya, China mengirimkan armada khusus untuk menduduki lima pulau Spratly,
yaitu Fiery Cross Reef, Cuateron Reef, Gaven Reef, Gac Ma Reef, dan Subi Reef.
43 Vietnam telah menduduki sebagian besar pulau-pulau Spratly, yaitu Amboyna Cay,
Owen Soal, Ladd Reef, Rifleman Bank, Spratly, Central London Reef, Pearson
Reef, Nam Yit, Sand Cay, Union Bank (atoll), Southwest Cay, dan Barque Canada
Reef. Taiwan masih tetap menduduki satu pulau yaitu Itu Aba. Filipina menduduki
Commodore Reef, Pannata, Thitu, North East Cay, Loaita, Nanshan, West York,
dan Flat. Malaysia menduduki Swallow Reef, Mariveles Reef, dan Dallas Reef.
Brunei pada tahun tersebut tidak menduduki satu pulau pun.25
Sengketa kawasan di Laut China Selatan pada awal dasawarsa 1990-an
kembali menghangat. Negara-negara pantai yang berbatasan langsung dengan Laut
china Selatan telah mengadakan tindakan-tindakan lebih lanjut dalam merealisir
dan mempertahankan tuntutannya atas Kepulauan Spratly. Pada bulan November
1990, Angkatan Udara Filipina mengadakan latihan militer di pulau-pulau yang
disebutnya Kepulauan Kalayaan untuk menguji kesiapan negara mempertahankan
wilayahnya. Peristiwa ini disusul oleh peringatan China terhadap Vietnam untuk
menarik mundur pasukannya dari pulau-pulau dan karang-karang dari pulau
Nansha yang didudukinya secara tidak sah. Peringatan ini merupakan tanggapan
terhadap pernyataan tuntutan Menteri Luar Negeri Vietnam yang mengemukakan
bahwa kepulauan Spratly dan Paracel adalah milik Vietnam.26
Pada tahun 1991, timbul kembali serangkaian pernyataan-pernyataan dan
tindakan-tindakan dalam usaha mempertahankan tuntutan atas Kepulauan Spratly
dari salah satu pihak yang ditanggapi dan diprotes oleh pihak lainnya. Misalnya
44
China, seperti yang diberitakan oleh surat kabarnya China Youth News telah
memutuskan untuk menggunakan kapal selam di Laut China Selatan untuk
memperkuat kemampuan tempurnya di sekitar Kepulauan Spratly. Rencana China
itu sempat mengundang reaksi keras dari Vietnam dan Malaysia. Vietnam
mengutuk rencana China tersebut sebagai violation against Southeast Asian
countries’ will. Tanpa menyebut nama China Langsung, Wakil Perdana Menteri
Malaysia, Ghafar Baba, memperingatkan bahwa negara-negara Asia diharap tidak
mengadakan latihan militer di wilayah yang dipersengketakan. China menanggapii
pernyataan ini dengan mengemukakan pendapat bahwa kedaulatan Beijing
terhadap Kepulauan Spratly tidak dapat diperdebatkan. Dengan kata lain
pernyataan ini menegaskan bahwa Kepulauan Spratly adalah wilayah kedaulatan
China.27
Sementara it