• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS STRATEGI HEDGING FILIPINA DI ERA DUTERTE DALAM UPAYA MENGAMANKAN KEPENTINGANNYA DI KAWASAN LAUT TIONGKOK SELATAN TAHUN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS STRATEGI HEDGING FILIPINA DI ERA DUTERTE DALAM UPAYA MENGAMANKAN KEPENTINGANNYA DI KAWASAN LAUT TIONGKOK SELATAN TAHUN"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS STRATEGI HEDGING FILIPINA DI ERA

DUTERTE DALAM UPAYA MENGAMANKAN

KEPENTINGANNYA DI KAWASAN LAUT

TIONGKOK SELATAN TAHUN 2017-2019

LAPORAN TUGAS AKHIR

Oleh:

MUHAMMAD FIRJATULLAH 106216010

FAKULTAS KOMUNIKASI DAN DIPLOMASI

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

UNIVERSITAS PERTAMINA

2020

(2)

ii

(3)
(4)

iv

ABSTRAK

Muhammad Firjatullah. 106216010. Analisis Strategi Hedging Filipina Di Era Duterte Dalam Upaya Mengamankan Kepentingannya di Kawasan Laut Tiongkok Selatan Tahun 2017-2019.

Kebijakan luar negeri terdiri dari tujuan dan tindakan yang dimaksudkan untuk memandu keputusan dan tindakan pemerintah terkait urusan eksternal yang memiliki hubungan dengan negara-negara asing untuk mencapai kepentingan nasional. Filipina merupakan salah satu negara yang memiliki fleksibilitas dalam menentukan kebijakan luar negeri, kepentingan nasionalmenjadi tujuan utama dalam melaksanakan kebijakan luar negeri. Dalam konflik Laut Tiongkok Selatan, Filipina memiliki kepentingan nasional untuk menjaga kedaulatan negara serta kepentingan ekonomi. Filipina melalui kebijakan luar negeri melakukan pendekatan kepada dua negara besar yaitu Amerika Serikat dan Tiongkok melalui instrumen dan cara pendekatan yang berbeda. Di dalam konflik Laut Tiongkok Selatan, sebagai negara kecil Filipina mampu menghadapi kesulitan sengketa wilayah dan persaingan dua negara besar melalui penerapan kebijakan luar negeri yang fleksibel. Dalam tulisan ini penulis akan menjelaskan mengenai bagaimana cara Filipina sebagai negara kecil mampu menghadapi sengketa wilayah dan persaingan antara Amerika Serikat dan Tiongkok di kawasan Laut Tiongkok Selatan melalui strategi hedging dan soft balancing.

(5)

v

ABSTRACT

Muhammad Firjatullah. 106216010. Analysis of Philippine Hedging Strategies in the Duterte Era in an Effort to Secure Its Interests in the South China Sea Region 2017-2019.

Foreign policy consists of goals and actions intended to guide government decisions and actions related to external affairs that have relations with foreign countries to achieve national interest. The Philippines is one country that has flexibility in determining foreign policy, national interest are the main goal in implementing foreign policy. In the South Tiongkok Sea conflict, the Philippines has a national interest in safeguarding state sovereignty and economic interests. Philippines through its foreign policy approached two major countries namely the United States and Tiongkok through different instruments and approaches. In the South Tiongkok Sea conflict, as a small country, the Philippines is able to face difficulties in territorial disputes and competition between two major countries through the application of flexible foreign policies. In this paper, the author will explain how the Philippines as a small country is able to deal with territorial disputes and competition between the United States and Tiongkok in the South Tiongkok Sea region through hedging strategies and soft balancing strategies.

(6)

vi KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan kuasanya-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tugas akhir dengan berjudul “Analisis Strategi Hedging Filipina Di Era Duterte Dalam Upaya Mengamankan Kepentingannya di Kawasan Laut Tiongkok Selatan Tahun 2017-2019”. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Sosial dari Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Diplomasi dan Komunikasi, Universitas Pertamina.

Penulisan skripsi mengenai topik kebijakan luar negeri di dasarkan kepada ketertarikan penulis dalam upaya mengetahui prilaku negara dalam melakukan hubungan dengan negara lain. Minat tersebut semakin menguat ketika penulis menempuh mata kuliah Kebijakan Luar Negeri Indonesia, serta mata kuliah Diplomasi dan Negosiasi. Terlebih pada saat menempuh pendidikan, isu Laut Tiongkok Selatan merupakan isu yang banyak di bahas serta dijadikan studi kasus. Hal tersebut membuat penulis semakin tertarik untuk membahas mengenai hubungan antar negara di Laut Tiongkok Selatan melalui kebijakan luar negeri masing-masing negara.

Dengan segala kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak terutama kepada Orang Tua, Bapak/Ibu Dosen Universitas Pertamina, dan juga teman-teman sehingga penyusunan tugas akhir dapat selesai tepat waktu. Penulis berharap penelitian ini dapat menjadi hal yang bermanfaat bagi perkembangan Ilmu Hubungan Internasional khususnya memperkaya wawasan terutama bagi mereka yang memiliki minat pada studi kebijakan luar negeri. Namun demikian, penulis memiliki kesadaran penuh bahwa masih adanya kekurangan kekeliruan, maupun kesalahan penulisan yang terdapat dalam penelitian ini. Penulis akan dengan senang hati dan sangat terbuka menerima kritik dan saran untuk memperkaya tulisan ini. Semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat untuk perkembangan ilmu pengetahuan.

Jakarta, 20 Januari 2020

(7)

vii UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillah, puji syukur penulis atas segala nikmat dan rahmat yang diberikan oleh Allah SWT, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam penulis sampaikan kepada Rasulullah Muhammad SAW atas segala suri tauladan yang diberikan kepada umat Islam. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Orang tua penulis, Bapak Hana S.Pd, M.M dan Ibu Enung Nely Komala, S.Pd, M.M yang selalu memberikan dukungan serta pengertian kepada penulis. Terima kasih untuk segala bentuk pengorbanan dan kasih sayang yang luar biasa. Terima kasih karena telah menjadi alasan terbesar penulis untuk selalu semangat selama menempuh masa perkuliahan dan selalu berusaha untuk menjadi lebih baik. Terima kasih telah menjadi tempat untuk ‘pulang’ ketika penulis merasa lelah dan sedih.

2. Dr. Ian Montratama selaku pembimbing skripsi serta dosen wali yang telah menyediakan waktu di tengah kesibukannya untuk memberikan bimbingan, arahan, serta nasihat dalam membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi. Terima kasih telah menjadi role model yang sangat baik, dengan selalu memberikan motivasi dan selalu mengingatkan untuk segera menyelesaikan skripsi sehingga penulis tidak merasa terlalu terbebani pada saat proses pengerjaan hingga akhirnya penulis berhasil menyelesaikan skripsi.

3. Ibu Frieska Haridha, M.A dan Ibu Naeli Fitria, M.A selaku penguji ahli, yang memberikan kritik dan masukan-masukan yang membangun bagi skripsi ini. 4. Kakak penulis, Muhammad Fikri Firdaus S.T. dan adik penulis, Firyal Fakhira

yang telah menjadi kedua saudara yang sangat baik, dan selalu mendukung segala aktivitas penulis.

5. Teman seperjuangan keluarga besar Hubungan Internasional angkatan 2016. 6. Diri sendiri yang telah berjuang dan berusaha hingga dapat mencapai cita-cita

untuk dapat menyelesaikan pendidikan sarjana. Sebagai seseorang yang tidak rajin dan tidak terlalu pintar, terima kasih karena telah menjadi seseorang yang mau belajar dan berusaha.

(8)

viii DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

ABSTRACT ... v

KATA PENGANTAR ... vi

UCAPAN TERIMA KASIH ... vii

DAFTAR SINGKATAN ... xi

BAB I ... 1

Pendahuluan ... 1

1.1Latar Belakang Permasalahan ... 1

1.2Pertanyaan Penelitian ... 7

1.3Studi Pustaka ... 7

1.4Kerangka Teori dan Konsep... 16

1.4.1 Kebijakan Luar Negeri ... 16

1.4.2 Kepentingan Nasional ... 17

1.4.3 Hedging ... 18

1.4.4 Soft-Balancing ... 18

1.4.5 The Strategic Triangle ... 19

1.4.6 Alur Pemikiran ... 20

1.5Metodologi Penelitian ... 20

1.6 Rencana Pembabakan Skripsi ... 21

1.7Tujuan dan Signifikansi Penelitian ... 22

BAB II ... 24

2.1 Dinamika Sengketa Laut Tiongkok Selatan ... 24

2.2 Respons Filipina terhadap Klaim Tiongkong di Laut Tiongkok Selatan ... 28

2.3 Kebijakan Luar Negeri Filipina terhadap Tiongkok ... 33

BAB III ... 37

3.1 Memahami Posisi Filipina dalam Dinamika Kawasan Laut Tiongkok Selatan ... 37

3.2 Posisi Tawar Filipina di Laut Tiongkok Selatan ... 45

3.2.1 Posisi Filipina Terhadap Amerika Serikat ... 46

3.2.2 Posisi Filipina Terhadap Tiongkok ... 48

3.3 Strategi Hedging di Laut Tiongkok Selatan ... 50

(9)

ix

3.3.2 Strategi Hedging Filipina Terhadap Tiongkok ... 56

BAB IV ... 61

4.1 Simpulan dan Saran ... 61

4.2 Saran ... 64

Daftar Pustaka ... 65

LEMBAR BIMBINGAN TUGAS AKHIR ... 69 BIODATA ... Error! Bookmark not defined.

(10)

x DAFTAR GAMBAR

3.1 Bargain Filipina terhadap Amerika Serikat dan China ... 47 3.2 Strategi Hedging Filipina di kawasan Laut China Selatan ... 56

(11)

xi DAFTAR SINGKATAN

Lambang/Singkatan Arti Keterangan

AFP Armed Forces of the Philippines ASEAN Association of Southeast Asian

Nations

BBL Barel Unit

CNOOC Chinese National Offshore Oil Company

EDCA Enhanced Defense Cooperation Agreement

FDI Foreign Direct Investment HAM Hak Asasi Manusia

LTA Lighter-Than-Air

MDB Mutual Defense Board MDT Mutual Defence Treaty NSS National Security Strategy PCA Permanent Court of Arbitration PDB Produk Domestik Bruto

SEB Security Engagement Board SLOC Sea Lines of Communication SOF U.S. Special Operations Forces TARS Tethered Aerostat Radar System TcF Trillion Cubic Feet

UNCLOS United Nations Convention on the Law of the Sea

USGS The U.S. Geological Survey ZEE Zona Ekonomi Eksklusif

(12)
(13)

Universitas Pertamina - 1

BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang Permasalahan

Konflik di kawasan Laut Tiongkok Selatan telah menjadi isu yang sangat penting di dunia internasional dalam beberapa tahun terakhir. Munculnya klaim wilayah dari Tiongkok terkait kawasan Laut Tiongkok Selatan yang didasarkan kepada faktor sejarah menjadi pemicu terjadinya konflik di kawasan ini. Salah satu yang membuat isu ini menjadi semakin menarik adalah posisi Filipina yang berada di antara persaingan dua kekuatan besar yaitu Amerika Serikat dan Tiongkok dalam menunjukan eksistensinya di kawasan ini. Kawasan yang memiliki luas sekitar 3,5 juta kilometer persegi ini merupakan salah satu wilayah laut terbesar di dunia. Laut Tiongkok Selatan memiliki sumber daya yang melimpah, baik dari sektor energi maupun hasil laut seperti ikan. Selain itu wilayah ini merupakan jalur pelayaran dan perdagangan yang cukup vital karena menghubungkan Samudra Pasifik dan Samudra Hindia (Shicun, 2013).

Secara letak geografi, wilayah Laut Tiongkok Selatan membentang dari Selat Malaka di barat daya sampai ke Selat Taiwan di timur laut. Laut Tiongkok Selatan sangat kaya akan sumber daya alam dan memiliki posisi yang strategis untuk kepentingan geopolitik yang signifikan. Wilayah ini mencakup ratusan pulau kecil dan terumbu karang yang sebagian besar berada di Pulau Paracel dan Spratly. Pada dasarnya pulau-pulau di wilayah ini tidak cocok untuk dijadikan tempat tinggal ataupun untuk kegiatan lainnya, klaim dari beberapa negara yang berbatasan

(14)

2

dengan wilayah ini menyatakan kepemilikan pulau-pulau tersebut adalah untuk menguasai wilayah laut dan sumber daya yang ada di dalamnya.

Amerika Serikat memperkirakan Laut Tiongkok Selatan memiliki kekayaan sumber daya alam sekitar 11 miliar barel (bbl) cadangan minyak dan 190 triliun kaki kubik (Tcf) cadangan gas alam. Jumlah tersebut memiliki kemungkinan untuk bertambah, hal ini dikarenakan masih terdapat daerah di Laut Tiongkok Selatan yang masih belum dieksplorasi. Sementara The U.S. Geological Survey (USGS) memperkirakan Laut Tiongkok Selatan menyimpan 5 sampai 22 miliar barel (bbl) cadangan minyak dan 70 sampai 290 triliun kaki kubik (Tcf) cadangan gas alam. Pada bulan November 2012, Chinese National Offshore Oil Company (CNOOC) memperkirakan wilayah Laut Tiongkok Selatan menyimpan sekitar 125 miliar barel (bbl) cadangan minyak dan 500 triliun kaki kubik (Tcf) gas alam darai sumber daya yang belum ditemukan di wilayah ini (EIA, 2013)

Melihat potensi dan wilayah yang strategis, banyak negara memiliki kepentingan untuk menguasai wilayah Laut Tiongkok Selatan. Filipina menjadi salah satu negara yang menunjukan sikap tegasnya di dalam konflik Laut Tiongkok Selatan, di mana Filipina secara tegas menyatakan akan terus mempertahankan kedaulatan wilayah mereka dan menolak klaim dari Tiongkok. Filipina memiliki klaim terhadap beberapa pulau yang berada di pusat sengketa maritim saat ini di Laut Tiongkok Selatan seperti di antaranya adalah Scarborough Shoal, Second Thomas Shoal, Reed Bank, dan Kalayaan Island.

Klaim tersebut membuat Filipina memiliki sengketa maritim dengan sejumlah negara di wilayah tersebut. Pada tahun 2009, pemerintah Filipina

(15)

Universitas Pertamina - 3

memberlakukan undang-undang baru untuk mengubah klaim dasar terhadap wilayah kepulauan sebelumnya yang diatur di dalam undang-undang No. 9522. Undang-undang tersebut menetapkan garis pangkal kepulauan yang telah disesuaikan untuk memenuhi persyaratan teknis Pasal 47 UNCLOS (Rosen, 2014).

Sadar akan kepentingannya yang sangat besar di wilayah Laut Tiongkok Selatan membuat Filipina harus memiliki kebijakan yang tepat dalam menentukan sikap terhadap konflik wilayah tersebut. Terlebih terdapat dua negara besar yaitu Tiongkok dan Amerika Serikat yang berusaha meningkatkan pengaruhnya di wilayah tersebut. Filipina sendiri memiliki hubungan baik dengan pemerintah Amerika Serikat, hal ini ditunjukan dengan kerja sama yang telah dilakukan oleh kedua negara. Salah satunya adalah kerja sama terkait sengketa Laut Tiongkok Selatan.

Pemerintah Filipina menunjukan sikap serius terhadap sengketa yang terjadi di Laut Tiongkok Selatan, karena sengketa tersebut sudah mengancam kedaulatan wilayah Filipina. Langkah yang diambil oleh pemerintah Filipina adalah melakukan kerja sama untuk memperkuat pertahanannya. Filipina dan Amerika Serikat telah sepakat untuk melanjutkan kerja sama militer antar kedua negara. Kerja sama yang dilakukan ini ditunjukan untuk kepentingan nasional kedua negara (Albert, 2016).

Hubungan kerja sama keamanan Amerika Serikat dan Filipina didasarkan kepada perjanjian pertahanan yang telah di sepakati pada awal masa Perang Dingin, di mana Amerika Serikat dan Filipina telah melakukan latihan bersama dan membentuk pusat pelatihan militer untuk meningkatkan kesiapan Armed Forces of the Philippines (AFP) dalam menanggapi krisis kemanusiaan dan bencana. Selain

(16)

4

itu untuk memperkuat kerja sama Amerika Serikat membangun pangkalan militer sebagai bentuk dukungan untuk memperkuat pertahanan militer Filipina (Albert, 2016).

Dilakukannya kerja sama antara pemerintah Filipina dengan pemerintah Amerika Serikat ini terkait kepentingan masing-masing negara. Jika dilihat dari faktor eksternal Filipina, yang menjadi fokus utama adalah mengenai security dan

national attribute. Klaim Tiongkok terhadap wilayah di Laut Tiongkok Selatan tentu melanggar kedaulatan wilayah Filipina. Sengketa kepemilikan atau kedaulatan teritorial di Laut Tiongkok Selatan sesungguhnya merujuk pada kawasan laut dan daratan di dua gugusan Kepulauan Paracel dan Spratly. Tiongkok sendiri menyatakan klaim mereka terhadap wilayah ini berasal dari klaim 2000 tahun lalu, saat kawasan Paracel dan Spratly telah menjadi bagian dari bangsa Tiongkok. Menurut pemerintah Tiongkok, pada tahun 1947, pemerintah Tiongkok telah mengeluarkan peta yang merinci klaim kedaulatan Tiongkok atas wilayah Laut Tiongkok Selatan (Roza, Nainggolan, & Muhamad, 2013). Filipina merasa terancam dengan klaim yang dilakukan Tiongkok terlebih dengan kekuatan dan kemajuan militernya saat ini tentu tidak akan sebanding dengan kekuatan militer yang dimiliki Filipina.

Setelah langkah kerja sama yang dilakukan dengan Amerika Serikat selama bertahun-tahun dan menggandeng Amerika Serikat sebagai sekutu untuk menghadapi Tiongkok di dalam sengketa Laut Tiongkok Selatan, Filipina di bawah pemerintahan Presiden Rodrigo Duterte menyatakan sudah waktunya bagi Filipina untuk "mengucapkan selamat tinggal" kepada Amerika Serikat setelah kerjasana yang sudah terjalin sejak tahun 1951 dianggap tidak terlalu memberikan

(17)

Universitas Pertamina - 5

keuntungan terhadap Filipina. Pernyataan ini sejalan dengan rencana Filipina untuk melepaskan ketergantungan negaranya kepada Amerika Serikat.

Politik luar negeri Filipina selama ini dinilai terus didikte oleh berbagai rencana pihak Barat (Amerika Serikat), hal tersebut membuat pemerintah Filipina merasa harus segera melepaskan ketergantungan negaranya kepada Amerika Serikat. Filipina menegaskan akan membuat kebijakan luar negeri yang didasarkan kepada kepentingan negara. Pernyataan Rodrigo Duterte membawa dampak positif terhadap kelangsungan hubungan antara Filipina dan Tiongkok yang sempat memanas pada masa pemerintahan Benigno Aquino akibat sengketa Laut Tiongkok Selatan.

Kunjungan Rodrigo Duterte ke Beijing merupakan langkah kongkret upaya diplomasi untuk menjauh dari Amerika Serikat dan menjalin kemitraan dengan Tiongkok. Kerja sama yang dilakukan antara Filipina dan Tiongkok akan lebih ditekankan kepada sektor ekonomi. Pemerintah Tiongkok sendiri menyambut baik langkah kerja sama yang akan dilakukan dengan Filipina, dan Pemerintah Tiongkok sendiri berupaya untuk memperluas kerja sama ekonomi dengan Filipina dan mempererat hubungan komersial, serta meredakan ketegangan yang telah terjadi beberapa tahun belakangan. Dalam upaya memperluas kerja sama perdagangan, pemerintah Tiongkok akan mendorong perusahaan-perusahaan untuk berinvestasi dalam memperkuat pembangunan infrastruktur dan pelatihan sumber daya manusia di Filipina (Astiana, 2016).

Kebijakan luar negeri yang diambil oleh pemerintah Filipina dengan melakukan kejasama dengan pemerintah Tiongkok sangat bertolak belakang

(18)

6

dengan kebijakan luar negeri yang diambil sebelumnya. Hal ini menunjukan tidak ada kawan atau lawan yang abadi. Langkah yang diambil oleh pemerintah Filipina sangat berani dengan mengeluarkan kebijakan untuk menjaga jarak dengan Amerika Serikat yang telah sejak lama menjadi sekutu, dan mulai menjalin kerja sama dengan Tiongkok yang belum lama ini hubungan kedua negara sempat terjadi ketegangan karena sengketa wilayah di Laut Tiongkok Selatan (HO, 2015).

Faktor internal seperti struktur pemerintahan dan ekonomi menjadi dasar dari diambilnya kebijakan luar negeri ini. Keingingan pemerintah Filipina untuk keluar dari ketergantungan Amerika Serikat tentu harus menyiapkan power dan

support untuk menghindari ketidakstabilan yang dapat terjadi. Struktur pemerintah setelah terpilihnya Rodrigo Duterte sebagai Presiden Filipina membuat arah kebijakan negara menjadi lebih tegas, berani, dan fleksibel. Dalam waktu singkat pemerintah Filipina di bawah kepemimpinan Rodrigo Duterte merubah arah peta politik dari Amerika Serikat menjadi Tiongkok (HO, 2015).

Dari faktor ekonomi, selain dukungan investasi yang mampu dilakukan oleh pemerintah Tiongkok untuk membantu pembangunan Filipina, wilayah Laut Tiongkok Selatan sendiri merupakan wilayah yang memiliki banyak sumber daya alam dan memiliki nilai tinggi untuk perdagangan. Selain masalah politik, sumber daya alam yang terdapat di wilayah Laut Tiongkok Selatan sangat penting bagi negara-negara yang berbatasan langsung dengan wilayah tersebut. Dari perspektif ekonomi, salah satu potensi yang dapat dimaksimalkan adalah sumber daya perikanan dan cadangan potensial sumber daya minyak dan gas alamnya (HO, 2015).

(19)

Universitas Pertamina - 7

Filipina sendiri mulai sadar akan posisinya di wilayah Laut Tiongkok Selatan, Filipina berada di antara kepentingan dua negara besar. Filipina tidak bisa selamanya terus bergantung kepada Amerika Serikat untuk mengamankan kedaulatan negara. Maka dari itu, pemerintah Filipina mulai menetapkan kebijakan luar negeri yang fleksibel sehingga dapat memberikan keuntungan kepada negara dan dapat membantu pemerintah Filipina untuk mencapai kepentingan nasional.

Melihat dari latar belakang konflik serta aktor yang terlibat, menjadikan isu ini sangat menarik untuk di bahas. Filipina sebagai negara yang memiliki power

tidak terlalu kuat mampu memainkan perannya dengan baik melalui kebijakan luar negerinya diantara persaingan dua negara super power yaitu Tiongkok dan Amerika Serikat. Hubungan antara Filipina, Tiongkok, dan Amerika Serikat akan menjadi isu yang menarik untuk dibahas dilihat dari sudut pandang Filipina melalui konsep

The Strategic Triangle terkait bagaimana Filipina mampu memainkan perannya di dalam konflik di kawasan Laut Tiongkok Selatan.

1.2 Pertanyaan Penelitian

Bagaimana strategi hedging Filipinadalam mengamankan kepentingan nasionalnya di kawasan Laut Tiongkok Selatan?

1.3 Studi Pustaka

Terkait konsep dari Strategic Triangle, menurut Pauline Kerr dan Geoffrey Wiseman (2010) Strategic Triangle secara garis besar merupakan hubungan antar tiga negara yang memiliki ketergantungan satu sama lain dalam menjalankan kebijakan luar negerinya,tidak hanya dipengaruhi oleh kekuatan militer, tapi lebih dilihat dari bagaimana praktik diplomasi dilakukan. Negara yang memiliki

(20)

8

kebijakan luar negeri fleksibel sangat diuntungkan, karena dapat memaksimalkan hubungan bilateral dengan negara lain untuk mencapai kepentingan nasionaltanpa dibatasi oleh status kawan atau lawan. Kebijakan luar negeri yang fleksibel memungkinkan suatu negara untuk terlibat di dalam konflik dan kerja sama dengan negara lain (Kerr & Wiseman, 2012).

Sementara Lowell Dittmer (2015) menjelaskan di dalam Strategic Triangle, hubungan antar negara dipengaruhi oleh tujuan, kepentingan, serta situasi dan kondisi yang ada di dalam negaranya. Hubungan antar negara sangat dipengaruhi oleh tujuan dan kepentingan dalam mencapai kepentingan nasional(Dittmer, 2015).

Pauline Kerr, Geoffrey Wiseman, dan Lowell Dittmer pada intinya memiliki kesamaan dalam menjelaskan pola atau interaksi antar negara di dalam

Strategic Triangle secara umum, serta bagaimana proses interaksi itu terjadi. Namun terdapat hal lain yang dapat dianalisis di dalam hubungan interaksi antar negara di dalam Strategic Triangle, yaitu bagaimana posisi ketiga negara dalam menghadapi situasi dilematis dalam menentukan arah kebijakannya. Seperti yang dijelaskan oleh Christopher Hill (2013), kebijakan luar negeri akan menentukan kemampuan setiap negara untuk mengatasi situasi internasional (Hill, 2013). Oleh karena itu dalam konteks Strategic Triangle di kawasan Laut Tiongkok Selatan,

penulis akan membahas terkait posisi Filipina sebagai negara yang memiliki power

paling kecil terhadap Tiongkok dan Amerika Serikat.

Dalam menjelaskan hubungan Filipina, Amerika Serikat, dan Tiongkok di dalam konflik Laut Tiongkok Selatan, Richard Javad Heydarian (2017) menjelaskan bahwa hubungan segitiga antara Filipina, Amerika Serikat, dan

(21)

Universitas Pertamina - 9

Tiongkok merupakan penyeimbangan struktur dari kekuatan antar negara. Heydarian menjelaskan bagaimana Filipina melakukan upaya balancing yang berbeda pada masa pemerintahan Benigno Aquino dan Rodrigo Duterte. Di mana sebagai negara yang memiliki kekuatan relatif lebih kecil dibandingkan dua negara lainnya, Filipina harus memiliki langkah yang tepat dalam menentukan arah kebijakan untuk melakukan upaya balancing terhadap Amerika Serikat dan Tiongkok (Heydarian, 2017).

Pada masa pemerintahan Benigno Aquino, Filipina bergantung kepada kekuatan militer Amerika Serikat yang merupakan sekutu untuk memperkuat kekuatan militernya di kawasan Laut Tiongkok Selatan. Hal ini dilakukan sebagai responss dari meningkatnya kekuatan militer Tiongkok di kawasan Laut Tiongkok Selatan. Sementara pada masa pemerintahan Rodrigo Duterte, upaya balancing

yang dilakukan Filipina dengan menunjukan sikap yang lebih lunak terhadap Tiongkok. Duterte menganggap kerja sama militer dengan Amerika Serikat tidak terlalu memberikan keuntungan untuk Filipina, oleh karena itu Duterte lebih memilih untuk mendekat kepada Tiongkok yang dianggap lebih menguntungkan dari sektor ekonomi (Heydarian, 2017).

Renato Cruz De Castro (2016) menjelaskan bagaimana perubahan arah kebijakan Filipina terkait upaya untuk melakukan balancing terhadap Tiongkok dan Amerika Serikat. Pada tahun 2010 hingga 2016, Filipina di bawah pemerintahan Benigno Aquino berupaya untuk merespons klaim maritim Tiongkok yang luas di Laut Tiongkok Selatan. Presiden Aquino menantang Tiongkok dengan mengalihkan fokus Armed Forces of the Philippines (AFP) dari keamanan domestik ke pertahanan teritorial, serta memperkuat hubungan keamanan Filipina - Amerika

(22)

10

Serikat untuk memperoleh bantuan militer Amerika Serikat, yang merupakan bagian dari kesepakatan di bawah Mutual Defence Treaty (MDT) pada tahun 1951 (Castro, 2016).

Selain itu Benigno Aquino juga menguatkan strategi kemitraan dengan Jepang. Pada tahun 2014, Filipina menandatangani Enhanced Defense Cooperation Agreement (EDCA) dengan sekutu strategisnya Amerika Serikat. Kerja sama ini dirancang untuk membatasi pergerakan Tiongkok dengan memberikan ruang kepada pasukan Amerika Serikat di wilayah Filipina. Dengan memperkuat hubungan keamanan negara dengan Amerika Serikat dan Jepang, Filipina kembali terlibat dalam permainan geopolitik klasik di antara kekuatan-kekuatan besar di Asia Timur (Castro, 2016).

Namun di bawah pemerintahan Rodrigo Duterte, Filipina merubah agenda kebijakan luar negeri Presiden Aquino, dengan menyatakan bahwa Filipina akan menggunakan kebijakan luar negeri yang independen. Duterte melakukan upaya diplomatik untuk mendapatkan respons positif dari Tiongkok. Di bawah pemerintahannya, Duterte berupaya untuk mengesampingkan sengketa Laut Tiongkok Selatan dalam pertemuan ASEAN di Laos dalam upaya untuk mendapatkan konsesi diplomatik dan ekonomi dari Tiongkok. Duterte juga menyatakan bahwa ia ingin menjauhkan Filipina dari Amerika Serikat. Presiden Duterte sedang mengupayakan bantuan dari Tiongkok untuk pembangunan pusat rehabilitasi narkoba, pinjaman untuk pembangunan kereta api di Mindanao dan bantuan persenjata untuk AFP. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk membina hubungan ekonomi dan diplomatik yang lebih dekat dengan Tiongkok (Castro, 2016).

(23)

Universitas Pertamina - 11

Dalam tulisannya, Heydarian dan Castro menjelaskan hubungan Filipina, Amerika Serikat, dan Tiongkok terkait konflik di kawasan Laut Tiongkok Selatan, serta bagaimana perubahan arah kebijakan Filipina yang awalnya dekat dengan Amerika Serikat pada akhirnya mencoba untuk menjauh dari sekutunya tersebut dan memilih untuk mendekat kepada Tiongkok. Namun Heydarian dan Castro tidak menjelaskan bagaimana Filipina dapat memiliki bargaining position yang kuat terhadap Tiongkok dan Amerika Serikat terkait posisinya di kawasan Laut Tiongkok Selatan, sehingga Tiongkok dan Amerika Serikat ingin melakukan kerja sama dengan Filipina.

Meningkatnya kekuatan Tiongkok di kawasan Laut Tiongkok Selatan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap hubungan antara Amerika Serikat dengan Filipina yang merupakan negara sekutu di kawasan Asia Pasifik yang telah menjalin kerja sama di bidang militer sejak masa Perang Dingin. Di era modern, meningkatnya kekuatan Tiongkok di kawasan Laut Tiongkok Selatan memberikan ancaman terhadap status quo dari Amerika Serikat sebagai negara super power di Asia Pasifik. Renato Cruz De Castro (2009) menjelaskan peningkatan kekuatan Tiongkok di kawasan Laut Tiongkok Selatan memunculkan arah baru terhadap aliansi Amerika Serikat dan Filipina dari sekutu militer di masa Perang Dingin menjadi hedging terhadap perubahan dalam strategis regional yang dihasilkan oleh kemunculan ekonomi dan politik Tiongkok.

Amerika Serikat saat ini masih belum menganggap Tiongkok sebagai ancaman. Namun Amerika Serikat memandang Tiongkok sebagai negara yang memiliki potensi untuk menjadi ancaman keamanan karena klaimnya terhadap Laut Tiongkok Selatan dan modernisasi militer yang sedang dilakukan oleh Tiongkok.

(24)

12

Apabila Tiongkok mengambil sikap yang lebih agresif, maka hal tersebut akan berpotensi untuk mengancam status quo Amerika Serikat di kawasan tersebut, untuk menghindari potensi ancaman tersebut Amerika Serikat memperkuat hubungannya dengan Filipina dan akan memiliki hubungan keamanan yang lebih kohesif untuk membatasi potensi dari kekuatan Tiongkok (Castro, 2009).

Amerika Serikat telah memperdalam hubungan keamanannya dengan Filipina melalui penyediaan bantuan militer kepada Armed Forces of the Philippines (AFP) serta memberikan bantuan ekonomi kepada Filipina. Renato menjelaskan bahwa pendalaman aliansi dengan memperkuat hubungan Amerika Serikat dengan Filipina memiliki dua implikasi, yaitu Renato memastikan bahwa Amerika Serikat akan tetap menjadi satu-satunya sekutu strategis Filipina untuk masa mendatang, dan yang kedua, menurut Renato hubungan antara Amerika Serikat dan Filipina setelah masa Perang Dingin merupakan aliansi yang telah bertransformasi menjadi aliansi yang berupaya untuk melakukan hedging terhadap ancaman pertumbuhan kekuatan Tiongkok di kawasan Laut Tiongkok Selatan (Castro, 2009).

Terkait kebijakan Amerika Serikat, di jelaskan juga bahwa keputusan Amerika Serikat mulai merubah arah kebijakan luar negeri di kawasan Asia Pasifik di dilakukan karena melihat peningkatan kekuatan Tiongkok memiliki potensi untuk mengganggu kepentingannya di kawasan tersebut. Kebijakan luar negeri Amerika Serikat di kawasan tersebut di pengaruhi oleh faktor Amerika Serikat yang ingin mengantisipasi meningkatnya kekuatan Tiongkok yang berpotensi menjadi ancaman di kawasan Asia Pasifik. Oleh karena itu, langkah Amerika Serikat untuk terus menjalin kerja sama militer dengan Filipina dilakukan Amerika Serikat untuk

(25)

Universitas Pertamina - 13

melindungi kepentingannya di kawasan Asia Pasifik dari potensi ancaman Tiongkok (Adiong, 2008).

Jika dilihat dari sudut pandang Tiongkok terkait konflik di kawasan Laut Tiongkok Selatan, Peng Guangqian, Zhao Zhiyin, dan Luo Yong menjelaskan bahwa pemerintah Tiongkok mulai meningkatkan fokus terhadap sektor keamanan dan pertahanan negara melalui penguatan dan pengembangan kekuatan militer. Kebijakan pertahanan nasional Tiongkok sendiri bersifat defensif dan menempatkan perlindungan terhadap kedaulatan nasional, keamanan nasional, integritas teritorial, menjaga kepentingan pembangunan nasional, serta menjaga kepentingan masyarakat Tiongkok di atas segalanya.

Upaya Tiongkok untuk membangun pertahanan nasional melalui peningkatan kekuatan militer sebagai benteng utama pertahanan nasional. Strategi penguatan dan pengembangan Tiongkok dilakukan melalui modernisasi kekuatan militer. Meskipun saat ini Tiongkok sedang mengembangkan kekuatan militernya, namun hal tersebut tidak ditujukan untuk menjadikan Tiongkok sebagai negara yang agresif (Guanqian, Zhiyin, & Yong, 2010).

Peningkatan kekuatan militer sendiri pada dasarnya tidak ditujukan untuk menyerang ataupun mengganggu negara lain, namun hanya ditujukan untuk melindungi kedaulatan nasional, keamanan nasional, integritas regional, menjaga kepentingan pembangunan nasional, serta menjaga kepentingan masyarakat Tiongkok. Meski begitu, namun tetap saja peningkatan kekuatan Tiongkok dengan membangun kekuatan militer di kawasan Laut Tiongkok Selatan dianggap berbagai

(26)

14

pihak sebagai kebijakan yang agresif dan dianggap menggangu kepentingan serta kedaulatan negara lain (Guanqian, et al, 2010)

Melihat dari penjelasan Renato (2009) terkait meningkatnya hubungan antara Amerika Serikat dan Filipina dikarenakan ancaman dari meningkatnya kekuatan Tiongkok di kawasan Laut Tiongkok Selatan menunjukan bahwa ketika kekuatan Tiongkok di kawasan Laut Tiongkok Selatan menjadikan Tiongkok sebagai common enemy dari Amerika Serikat dan Filipina, hal ini dikarenakan peningkatan kekuatan tersebut akan memunculkan potensi ancaman terhadap kepentingan Amerika Serikat dan Filipina di kawasan Laut Tiongkok Selatan.

Meskipun Peng Guangqian (2010) telah menjelaskan bahwa peningkatan kekuatan Tiongkok tidak ditujukan untuk menjadikan Tiongkok sebagai negara yang agresif. Peningkatan kekuatan Tiongkok tidak ditujukan untuk menyerang ataupun mengganggu negara lain, namun tetap saja peningkatan kekuatan Tiongkok dengan membangun kekuatan militer di kawasan Laut Tiongkok Selatan dianggap berbagai pihak sebagai kebijakan yang agresif dan dianggap menggangu kepentingan serta kedaulatan negara lain.

Selain itu, gagasan dari Renato yang menyatakan bahwa dengan bantuan militer Amerika Serikat kepada Armed Forces of the Philippines (AFP) serta memberikan bantuan ekonomi akan memperkuat hubungan aliansi kedua negara serta pernyataannya terkait posisi Amerika Serikat yang akan menjadi satu-satunya sekutu untuk Filipina menjadi sangat keliru, karena menurut Richard Javad Heydarian (2017) setelah bergantinya pemerintahan Filipina dari Benigno Aquino kepada Rodrigo Duterte, Filipina justru malah berbalik arah dengan menjauhkan

(27)

Universitas Pertamina - 15

diri dari Amerika Serikat dan mendekatkan diri kepada Tiongkok karena dianggap lebih memberikan keuntungan ekonomi (Heydarian, 2017). Apa yang telah dijelaskan oleh Richard Javad Heydarian dan Renato Cruz De Castro tentu sangat bertentangan, oleh karena itu penulis akan mendalami alasan kenapa pada akhirnya Filipina memilih untuk mendekatkan diri kepada Tiongkok jika Amerika Serikat juga memberikan bantuan ekonomi.

Dalam konteks keamanan dan geopolitik regional, konflik yang terjadi di kawasan Laut Tiongkok Selatan dan persaingan antara Tiongkok dan Amerika Serikat tentu tidak dapat dipisahkan dari negara-negara ASEAN. Shannon Tow menjelaskan bahwa negara-negara Asia Tenggara lebih menyukai hubungan kerja sama bilateral dan mencari kekuatan eksternal untuk mencapai kepentingan keamanan mereka. Dinamika subregional yang berubah ini, mendorong upaya dari Tiongkok dan Amerika Serikat untuk memperkuat pengaruhnya di Asia Tenggara. Upaya Tiongkok untuk mendapatkan dukungan "konsep keamanan baru" dari negara-negara Asia Tenggara dan upaya Amerika Serikat untuk mengamankan akses tambahan dan perjanjian infrastruktur di sepanjang pesisir Asia Timur adalah ilustrasi kompetisi geopolitik antara Tiongkok dan Amerika Serikat (Tow, 2004).

Sementara itu dalam teorinya tentang bipolaritas regional, Ross berpendapat geopolitik yang berkaitan dengan hubungan Tiongkok-Amerika Serikat kontemporer menjelaskan bahwa Tiongkok adalah kekuatan kontinental yang dominan sedangkan Amerika Serikat adalah kekuatan maritim utama di wilayah Asia Pasifik. Selain itu Ross juga menegaskan bahwa hubungan antara Tiongkok dan Amerika Serikat akan menjadi hubungan kompetitif yang inheren (Tow, 2004).

(28)

16

Pada kesimpulannya, Shannon Tow dan Ross menjelaskan persaingan antara Tiongkok dan Amerika Serikat akan berpengaruh terhadap situasi regional di Asia Tenggara. Namun pada tulisan ini Shannon Tow hanya membahas mengenai tujuan dari geopolitik dari Tiongkok dan Amerika Serikat dan tidak membahas tujuan dari strategi geopolitik dilihat dari sudut pandang negara Asia Tenggara. Oleh karena itu penulis mendalami strategi geopolitik negara Asia Tenggara yang akan di spesifikan kepada strategi geopolitik Filipina dalam merespons persaingan Tiongkok dan Amerika Serikat di kawasan Laut Tiongkok Selatan.

Dari berbagai pembaruan yang akan dianalisa, secara garis besar penulis akan membahas terkait faktor apa yang membuat Filipina dapat memiliki bargaining position yang kuat terhadap Tiongkok dan Amerika Serikat di dalam konflik Laut Tiongkok Selatan. Selanjutnya akan dikaji alasan Tiongkok dan Amerika Serikat yang merupakan negara adidaya mau untuk melakukan kerja sama dengan Filipina yang bukan merupakan negara besar dan bagaimana Filipina sebagai negara yang memiliki kekuatan relatif lebih kecil memainkan perannya terhadap Tiongkok dan Amerika Serikat terkait konflik Laut Tiongkok Selatan.

1.4 Kerangka Teori dan Konsep 1.4.1 Kebijakan Luar Negeri

Pengambilan keputusan kebijakan luar negeri mengacu kepada pilihan yang dibuat oleh individu, kelompok, dan koalisi yang memengaruhi tindakan suatu negara di dunia internasional. Untuk mendapatkan dukungan publik terhadap kebijakan luar negeri yang akan di terapkan, para pemimpin negara perlu

(29)

Universitas Pertamina - 17

memasarkan kebijakan tersebut kepada publik. Pemasaran di dalam hubungan internasional berkaitan dengan pemasaran kebijakan luar negeri dan kebijakan keamanan nasional (Mintz, 2010).

Faktor yang memengaruhi pengambilan keputusan kebijakan luar negeri sendiri terdapat 3 faktor, yaitu: Internasional, domestik, dan budaya. Selain itu agar suatu kebijakan agar dapat diterima publik, pemerintah perlu untuk melakukan

framing, marketing, serta memanfaatkan media sebagai langkah awal untuk mengenalkan kebijakan tersebut dan membangun citra positif terkait kebijakan tersebut di masyarakat (Mintz, 2010). Kebijakan luar negeri akan dipengaruhi oleh situasi domestik negara seperti kultur, demografi, konstitusi, akan membedakan kepentingan nasional antara suatu negara dengan negara lainnya. Selain itu kebijakan luar negeri akan menentukan kemampuan setiap negara untuk mengatasi situasi internasional (Hill, 2013).

1.4.2 Kepentingan Nasional

Menurut Joseph Frankel, kepentingan nasional merupakan panduan negara dalam menentukan arah kebijakan negara. Terdapat beberapa sektor yang menjadi tujuan dari kepentingan nasional diantaranya adalah politik, keamanan, dan ekonomi. Kepentingan nasional sangat berpengaruh terhadap sikap dan kebijakan dari negara dalam menanggapi isu atau permasalahan tertentu (Frankel, 1970). Jika dilihat dari sudut pandang teori, Scott Burchill menjelaskan kepentingan nasional berdasarkan sudut pandang realisme berusaha untuk menggambarkan dan menjelaskan dunia politik internasional sebagaimana adanya, bukan seperti yang

(30)

18

kita inginkan. Dunia internasional dicirikan oleh konflik, kecurigaan, dan persaingan antara negara-bangsa (Burchill, 2005).

1.4.3 Hedging

Hedging didefinisikan sebagai upaya suatu negara untuk mengimbangi risiko dengan mengejar beberapa opsi kebijakan yang dimaksudkan untuk menghasilkan efek yang dapat melindungi negara dari ancaman pihak lain. Di ranah politik internasional, risiko dapat dikategorikan ke dalam tiga genre utama, yaitu keamanan, ekonomi dan politik. Risiko ini sangat berbahaya bagi negara-negara kecil, hal ini dikarenakan ketidakmampuan sumber daya yang dimiliki untuk mengatasi segala bentuk ancaman sehingga memungkinkan negara lain yang memiliki kekuatan lebih besar untuk masuk dan melakukan eksploitasi (Kuik, 2008). Pada dasarnya, hedging merupakan cara di mana suatu negara akan memilih untuk menerima, mengakomodasi atau menolak negara besar, serta cara di mana negara akan mendekati aktor lain untuk memperkuat posisinya (Kuik, 2008).

Konsep hedging akan digunakan untuk memahami upaya perimbangan kekuatan Filipina terhadap Tiongkok dan Amerika Serikat di kawasan Laut Tiongkok Selatan, serta kepentingan apa saja yang dapat di capai Filipina ketika melakukan hedging terhadap Tiongkok dan Amerika Serikat.

1.4.4 Soft-Balancing

Soft-balancing muncul ketika negara-negara mulai merasa dalam melakukan upaya balancing, kekuatan militer tidak lagi dapat menjamin tujuannya tercapai, terlebih pasca Perang Dingin aktor di dalam hubungan internasional menjadi multipolar dan tidak state-centric. Upaya balancing melalui cara institusionalis dan diplomatik dinilai lebih aman di bandingkan harus secara

(31)

Universitas Pertamina - 19

langsung dengan negara hegemon melalui persaingan kekuatan militer (Paul, 2012).

Konsep dari soft-balancing akan digunakan untuk memahami upaya Filipina dalam menyeimbangkan hubungannya dengan Tiongkok. Filipina di masa pemerintahan Duterte menggunakan cara diplomasi melalui kerja sama bilateral untuk mendapat keuntungan ekonomi, selain itu cara ini juga ditujukan untuk meredam agresivitas Tiongkok di kawasan Laut Tiongkok Selatan. Setelah kebijakan pemerintah Duterte untuk menarik diri dari kerja sama militer dengan Amerika Serikat, menunjukan sikap Filipina yang tidak lagi menantang kekuatan militer Tiongkok di kawasan Laut Tiongkok Selatan.

1.4.5 The Strategic Triangle

Konsep dari Strategic Triangle secara garis besar merupakan hubungan antar tiga negara yang memiliki ketergantungan satu sama lain dalam menjalankan kebijakan luar negerinya,tidak hanya dipengaruhi oleh kekuatan militer, tapi lebih dilihat dari bagaimana praktik diplomasi dilakukan. Negara yang memiliki kebijakan luar negeri fleksibel sangat diuntungkan, karena dapat memaksimalkan hubungan bilateral dengan negara lain untuk mencapai kepentingan nasional tanpa dibatasi oleh status kawan atau lawan. Kebijakan luar negeri yang fleksibel memungkinkan suatu negara untuk terlibat di dalam konflik dan kerja sama dengan negara lain (Kerr & Wiseman, 2012). Di dalam Strategic Triangle, hubungan antar negara sangat dipengaruhi oleh tujuan dan kepentingan dalam mencapai

(32)

20

Konsep strategic triangle dalam konteks Laut Tiongkok Selatan, akan digunakan untuk menjelaskan hubungan interdependensi antara Filipina, Tiongkok, dan Amerika Serikat dan memiliki kebijakan yang saling memengaruhi satu sama lain untuk memahami posisi Filipina di kawasan Laut Tiongkok Selatan, serta bagaimana Filipina memainkan perannya diantara dua kekuatan besar yaitu Tiongkok dan Amerika Serikat.

1.4.6 Alur Pemikiran

1.5 Metodologi Penelitian

Dalam meneliti topik ini, penulis akan menggunakan metode kualitatif

(33)

Universitas Pertamina - 21

hasil dari “regime of truth” atau “pengetahuan” dari pemikiran sejarawan untuk

menghasilkan suatu fakta kebenaran di mana sumber literatur baik primer ataupun sekunder didekonstruksi kebenarannya berdasarkan subjektivitas dari pemikiran sejarawan. Representasi historis secara tidak langsung memberikan arahan terhadap pemahaman masyarakat dalam melakukan suatu tindakan dengan cara-cara tertentu. Friedrich Nietzche menjelaskan bahwa tidak ada fakta yang bersifat absolut. Oleh karena itu, diperlukan adanya perkenalan terkait arti dari sesuatu sehingga bisa menjadi suatu fakta. Representasi sejarah merujuk kepada bagaimana suatu objek yang sedang diteliti atau dicari tahu tentang kebenarannya telah melewati beberapa kurun waktu tertentu (Dunn, 2008).

Sementara process tracing bertujuan untuk menganalisa terkait sebab akibat di dalam suatu kasus atau objek yang ingin di teliti menggunakan analisa empiris. Metode penelitian ini dapat digunakan untuk memperoleh pemahaman terkait hubungan dari penyebab dan hasil dalam populasi dari kasus-kasus yang sedang di teliti. Process tracing merupakan tata cara untuk mengetahui cara kerja dari perubahan sosial yang berlandaskan suatu mekanisme, serta membantu untuk melacak proses suatu peristiwa dengan metode yang spesifik dan berdasarkan teori. Process tracing dapat membantu menjelaskan hubungan sebab-akibat terkait dengan mengidentifikasi variabel independen dan dependennya (Checkel, 2014).

1.6 Rencana Pembabakan Skripsi

Pada bab pertama, penulis akan membahas mengenai latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tinjauan pustaka, kerangka teori dan konsep, kerangka pemikiran, metode penelitian, tujuan penelitian, signifikansi penelitian dan sistematika penulisan. Di bab kedua penulis akan membahas mengenai

(34)

22

hubungan trilateral antara Filipina, Amerika Serikat, dan Tiongkok di kawasan Laut Tiongkok Selatan. Secara lebih spesifik penulis akan membahas terkait bagaimana pola hubungan antara tiga negara dan bagaimana kebijakan suatu negara dapat memengaruhi negara lain.

Pada bab ketiga penulis akan membahas mengenai kebijakan luar negeri Filipina serta bagaimana Filipina dapat memainkan perannya dinatara Tiongkok dan Amerika Serikat untuk dapat mencapai kepentingan nasionalnya di kawasan Laut Tiongkok Selatan. Dan pada bab keempat akan berisi simpulan terkait hasil dari pembahasan penelitian yang akan menjawab pertanyaan penelitian dan saran untuk penelitian yang akan datang.

1.7 Tujuan dan Signifikansi Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan posisi Filipina di dalam sengketa kawasan Laut Tiongkok Selatan serta bagaimana hubungan bilateral antara Filipina, Tiongkok, dan Amerika Serikat di kawasan tersebut. Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui bagaimana stabilitas kawasan dapat memengaruhi hubungan antar negara, dan mengetahui faktor apa saja yang dapat memengaruhi negara dalam menetapkan kebijakan luar negerinya.

Penelitian ini akan berfokus kepada menjelaskan posisi Filipina di kawasan Laut Tiongkok Selatan, serta hubungan antara Filipina, Tiongkok, dan Amerika Serikat di kawasan Laut Tiongkok Selatan dari sudur pandang Filipina. Untuk menjelaskan Bagaimana Filipina mampu memainkan perannya diantara dua kekuatan besar yaitu Tiongkok dan Amerika Serikat dalam mencapai kepentingannya di kawasan Laut Tiongkok Selatan. Dari pembahasan tersebut

(35)

Universitas Pertamina - 23

diharapkan penelitian ini dapat memberikan pengetahuan atau informasi tambahan terkait bagaimana hubungan interdependensi antar negara di dalam satu wilayah, serta bagaimana negara menyikapi situasi tersebut melalui kebijakan luar negerinya.

(36)

Universitas Pertamina - 24 BAB II

2.1 Dinamika Sengketa Laut Tiongkok Selatan

Peta Nine Dash Line

Oleh: Forbes

Dinamika yang terjadi di kawasan Laut Tiongkok Selatan merupakan isu yang sangat menarik karena terdapat banyak aktor serta kepentingan di dalamnya. Tiongkok sebagai salah satu negara terkuat di kawasan ini dalam beberapa tahun terakhir telah mengeluarkan kebijakan yang sangat agresif dengan mengeluarkan klaim wilayah Laut Tiongkok Selatan. Mengingat banyaknya pihak yang memiliki kepentingan serta potensi besar yang dimiliki kawasan ini, tentu saja klaim tersebut menimbulkan penolakan keras dari berbagai pihak, termasuk di antaranya Filipina (Shicun, 2013). Penolakan tersebut dilakukan karena dianggap telah melanggar kedaulatan negara dan batas wilayah negara sesuai dengan yang telah diatur dalam hukum laut internasional (UNCLO

(37)

Universitas Pertamina - 25

Di bawah rezim UNCLOS terdapat kesepakatan yang mengatur mengenai batas wilayah laut, termasuk di dalamnya adalah ZEE dan landas kontinen. Aturan tersebut menjadi penting untuk negara, karena secara strategis UNCLOS dijadikan dasar untuk mendapatkan kedaulatan atas Laut Tiongkok Selatan. Namun yang masih menjadi permasalahan adalah sulitnya untuk menjalin kesepakatan antar negara dalam menentukan batas wilayah (Shicun, 2013). Hal tersebut menjadi penyebab potensi klaim yang tumpang tindih atas perairan di Laur Tiongkok Selatan, yang tentunya meningkatkan sengketa teritorial atas wilayah tersebut.

Ketika melihat dinamika yang terjadi di kawasan Laut Tiongkok Selatan, tidak dapat terlepas dari adanya pergeseran kekuasaan regional di kawasan ini. Kebangkitan Tiongkok sebagai kekuatan ekonomi, kekuatan militer utama serta pemain proaktif di berbagai lembaga dan forum multilateral, menggambarkan Tiongkok sebagai salah satu kekuatan terpenting untuk perubahan baik di tingkat regional maupun global (Fels & Vu, 2016). Hal tersebut telah merubah persepsi global terkait geopolitik dan geoekonomi di kawasan Laut Tiongkok Selatan, di mana tatanan regional yang dipimpin Amerika Serikat di Laut Tiongkok Selatan dapat ditantang dan diubah secara permanen oleh kepemimpinan Tiongkok yang terus menunjukan peningkatan kekuatan di berbagai sektor.

Laut Tiongkok Selatan merupakan wilayah yang sangat penting untuk Tiongkok. Selain karena memiliki kekayaan sumber daya alam energi dan ikan, Laut Tiongkok Selatan merupakan wilayah yang memiliki nilai ekonomi tinggi, di mana wilayah ini merupakan rute perdagangan global atau SLOC (Sea Lines of Communication). Sekitar dua pertiga dari rute Asia melewati kawasan Laut Tiongkok Selatan dan menjadikan wilayah ini sebagai bagian penting dari jalur

(38)

Universitas Pertamina - 26

perairan internasional. Laut Tiongkok Selatan yang menghubungkan Singapura dengan Asia Timur, telah memiliki nilai ekonomi dan volume barang yang sudah melampaui SLOC antara Rotterdam dan New York, yang merupakan SLOC utama di dunia selama lebih dari satu abad. Selain itu sekitar dua pertiga dari rute Asia melewati kawasan Laut Tiongkok Selatan (Fels & Vu, 2016).

Melihat potensi serta lokasi yang sangat strategis, membuat kawasan Laut Tiongkok Selatan dinilai sebagai landasan ekonomi maritim Laut Tiongkok Selatan yang penting untuk perkembangan ekonomi kawasan di masa mendatang. Maka menjadi hal yang sangat wajar jika negara-negara di dunia akan bersaing untuk berusaha memperebutkan wilayah Laut Tiongkok Selatan serta memperkuat pengaruhnya.

Dengan memasukan kawasan Laut Tiongkok Selatan sebagai wilayah Tiongkok yang berdaulat, Tiongkok pada dasarnya akan dapat memberikan tekanan strateis kepada negara-negara pesaingnya di kawasan tersebut, serta dapat memanfaatkan potensi energi yang sangat besar untuk dapat mengurangi ketergantungan Tiongkok terhadap transportasi energi berbasis kapal dari Timur Tengah dan Afrika yang secara strategis sangat rentan terhadap aset angkatan laut negara lain. Kebijakan maritim Tiongkok sendiri menekankan bahwa angkatan laut memiliki peran penting untuk dimainkan dalam melindungi kepentingan maritimnya serta mengubah Tiongkok menjadi kekuatan besar maritim dunia (Fels & Vu, 2016). Dengan kekuatan ekonomi serta militer yang dimiliki, serta potensi kawasan Laut Tiongkok Selatan yang sangat besar, tentu saja apabila Tiongkok berhasil menguasai wilayah ini akan semakin meningkatkan kekuatan Tiongkok di

(39)

Universitas Pertamina - 27

berbagai sektor dan pergeseran kekuasaan regional di kawasan ini akan segera terwujud.

Namun upaya Tiongkok untuk dapat menguasai wilayah di kawasan Laut Tiongkok Selatan tidak berjalan begitu saja, terdapat banyak pihak yang menentang klaim tersebut terutama dari negara-negara yang berbatasan langsung dengan Laut Tiongkok Selatan. Salah satu negara yang melakukan penolakan keras terhadap klaim tersebut adalah Filipina, sebagai negara yang berbatasan langsung dengan kawasan Laut Tiongkok Selatan, Filipina merasa dirugikan oleh klaim yang dilakukan Tiongkok karena telah mengancam kedaulatan negara. Oleh karena itu Filipina di bawah pemerintah Benigno Aquino mengeluarkan kebijakan untuk memperkuat pertahanan negara melalui AFP (Armed Forces of the Philippines) dengan meminta bantuan kepada Amerika Serikat sebagai upaya untuk melawan klaim Tiongkok terhadap wilayahnya serta mempertahankan kedaulatan negara.

Pada tahun 2010, Filipina mengeluarkan kebijakan untuk menantang klaim ekspansi maritim Tiongkok di kawasan Laut Tiongkok Selatan dengan mengalihkan fokus angkatan bersenjata Filipina AFP dari keamanan domestik menjadi pertahanan teritorial. Filipina juga berupaya memperkuat hubungan keamanan dengan Amerika Serikat untuk memperoleh bantuan militer serta mencari jaminan keamanan yang didasarkan kepada Mutual Defense Treaty (MDT) tahun 1951, serta mempromosikan kemitraan strategis dengan Jepang (Castro, 2016).

Pada akhir April 2014, Filipina menandatangani Enhanced Defense Cooperation Agreement (EDCA) 2014 dengan Amerika Serikat. Perjanjian ini

(40)

Universitas Pertamina - 28

memungkinkan Amerika Serikat untuk mengirim pasukan ke wilayah Filipina dalam waktu yang lama serta memungkinkan Amerika Serikat untuk membangun serta mengoperasikan fasilitas di pangkalan Filipina. Perjanjian tersebut dirancang untuk membatasi agresivitas Tiongkok di kawasan Laut Tiongkok Selatan.Dengan memperkuat hubungan keamanan negara dengan Amerika Serikat dan Jepang, Filipina kembali terlibat dalam permainan geopolitik klasik di antara kekuatan-kekuatan besar di Asia Timur sebagai respons dari revolusi kebijakan luar negeri Filipina dalam menantang langkah ekspansionis Tiongkok di kawasan Laut Tiongkok Selatan (Castro, 2016).

2.2 Respons Filipina terhadap Klaim Tiongkong di Laut Tiongkok Selatan

Kedekatan hubungan antara Filipina dan Amerika Serikat didasarkan kepada kesepakatan pertahanan bersama yang ditandatangani pada tahun 1951. Filipina yang merupakan salah satu kekuatan militer terlemah di antara negara-negara di kawasan wilayahnya sangat bergantung kepada Amerika Serikat dalam menjaga keamanan serta pertahanan negara. Armed Forces of the Philippines yang merupakan angkatan bersenjata Filipina dinilai tidak memiliki kekuatan yang cukup baik dari pasukan ataupun alutista yang dimiliki dalam menangani segala bentuk ancaman baik itu dari dalam ataupun luar negara. Dalam upaya penguatan kekuatan militer, ketergantungan Filipina terhadap bantuan dari Amerika Serikat membuat hubungan kedua negara menjadi dekat (Lum, 2012).

Filipina di bawah pemerintahan Aquino menjanjikan reformasi administrasi pertahanan, pengawasan yang lebih besar terhadap pengadaan alutista untuk pertahanan, serta meningkatkan anggaran untuk AFP lebih dari 80% menjadi $ 2,4 miliar pada tahun 2011. Selain itu pemerintah Aquino juga berencana untuk

(41)

Universitas Pertamina - 29

membangun gudang persenjataan militer serta sistem senjata dengan bantuan dari Amerika Serikat. Bantuan ini merupakan agenda yang dimiliki kedua negara dalam upaya pengembangan kemampuan jangka panjang AFP yang bertujuan untuk pengembangan kemampuan dalam melindungi perbatasan laut serta klaim teritorial Filipina di Laut Tiongkok Selatan (Lum, 2012).

Meningkatnya intensitas hubungan antara Filipina dan Amerika Serikat dipengaruhi oleh situasi di kawasan Laut Tiongkok Selatan yang semakin tidak kondusif dan mengancam kedaulatan negara. Filipina harus berhadapan dengan sikap Tiongkok yang dianggap mengancam kedaulatan negara setelah mengeluarkan klaim terhadap kawasan Laut Tiongkok Selatan termasuk di dalamnya terdapat beberapa wilayah yang secara garis batas ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) merupakan wilayah Filipina. Pemerintah Tiongkok bersikeras bahwa mereka memiliki kedaulatan yang mutlak atas wilayah Laut Tiongkok Selatan dan menolak semua tuduhan pelanggaran dari pemerintah Filipina.

Sikap agresif dan pernyataan yang arogan Tiongkok terhadap pernyataan diplomatik Filipina pada paruh pertama tahun 2011 meningkatkan pertikaian maritim di kawasan Laut Tiongkok Selatan serta mendorong pemerintahan Aquino untuk mempercepat pengembangan pertahanan teritorial AFP. Di mana pertahanan teritorial tersebut ditujukan untuk membentuk program perlindungan perbatasan secara komprehensif. Pengembangan pertahanan teritorial AFP akan di fokuskan kepada kemampuan pengawasan, pencegahan, dan patroli perbatasan yang membentang dari perairan teritorial sampai garis batas ZEE (Castro, 2016).

(42)

Universitas Pertamina - 30

Untuk dapat mencapai tujuan ini, dibutuhkan peningkatan kemampuan AFP dengan memprioritaskan kebutuhan serta restrukturisasi pasukan secara bertahap untuk pertahanan teritorial. AFP sendiri diproyeksikan sebagai pencegah utama terhadap ganguan asing atau agresi eksternal, dan kegiatan ilegal yang mengancam kedaulatan negara. Dari perspektif pemerintahan Aquino, modernisasi senjata harus dilakukan untuk mengembangkan postur pertahanan yang kredibel dan tidak ditujukan untuk kemampuan proyeksi kekuatan atau tujuan perang langsung. Namun meskipun terdapat urgensi untuk meningkatkan kemampuan AFP dan melakukan reformasi pertahanan, pemerintah Filipina sangat dibatasi oleh sumber daya finansial yang dinilai tidak mampu mendukung tercapainya program tersebut (Castro, 2016).

Dalam upaya mengataasi keterbatasan sumber daya finansial, Filipina menjalin perjanjian degan Amerika Serikat pada tahun 2012. Perjanjian tersebut akan memfasilitasi penyebaran pasukan dan peralatan persenjataan Amerika Serikat untuk masuk ke wilayah Filipina. Dilakukannya perjanjian tersebut didasarkan karena meningkatnya ketegangan antara Filipina dan Tiongkok karena sengketa wilayah di Laut Tiongkok Selatan. Dengan kekuatan angkatan lautnya yang kecil dan usang dan angkatan udara yang hampir tidak ada, Filipina mengandalkan bantuan dari Amerika Serikat untuk melakukan modernisasi kemampuan militer dan pertahanan melalui kunjungan rutin jangka pendek oleh pasukan Amerika Serikat yang akan melakukan pelatihan bersama dan operasi tanggap bencana serta kemanusiaan dengan AFP (Castro, 2016).

Filipina dan Amerika Serikat menandatangani Enhanced Defense Cooperation Agreement (EDCA) pada tanggal 28 April 2014. EDCA sendiri

(43)

Universitas Pertamina - 31

dianggap sebagai perjanjian eksekutif yang hanya memperbarui dan meningkatkan

Mutual Defense Treaty tahun 1951 dengan menyediakan kerangka kerja di mana Filipina dan AS dapat mengembangkan kemampuan individu dan kolektif mereka di sektor pertahanan, melalui penyebaran rotasi pasukan Amerika Serikat di pangkalan-pangkalan Filipina. Dengan dilakukannya penyebaran tersebut dinilai dapat memperluas kesempatan untuk pelatihan dan dukungan dalam upaya modernisasi jangka panjang militer Filipina. Perjanjian tersebut memungkinkan pasukan Amerika Serikat untuk mengakses dan menggunakan area yang ditunjuk di fasilitas yang dimiliki dan dikendalikan oleh AFP. Pasukan militer Amerika Serikat juga dapat membangun atau meningkatkan infrastruktur di lokasi-lokasi yang disepakati, dan berbagi fasilitas tersebut dengan AFP. Selain itu, setiap konstruksi dan kegiatan lain di dalam pangkalan-pangkalan Filipina memerlukan persetujuan dari negara tuan rumah melalui MDB dan Security Engagement Board

(SEB) (Castro, 2016).

Penandatanganan EDCA ini menyampaikan sinyal diplomatik yang kuat kepada Tiongkok, di mana pihaknya harus memperhitungkan kehadiran militer Amerika Serikat di wilayah Filipina dalam upaya menyelesaikan sengketa wilayah di Laut Tiongkok Selatan. Kehadiran militer Amerika Serikat di wilayahnya akan memperkuat tekad Filipina untuk menegakkan klaim teritorialnya terhadap Tiongkok dalam sengketa Laut Tiongkok Selatan, serta menguji tekad, kredibilitas, serta komitmen Amerika Serikat terhadap Filipina. Negosiasi dengan Filipina mengenai kehadiran militer Amerika Serikat juga mengirim pesan kepada negara-negara lainnya yang terlibat dalam sengketa Laut Tiongkok Selatan, seperti Vietnam dan bahkan Malaysia, mengenai prospek untuk memperkuat hubungan

(44)

Universitas Pertamina - 32

militer mereka dengan pihak atau negara lain seperti Amerika Serikat (Castro, 2016).

Kebijakan luar negeri Filipina di bawah pemerintahan Aquino yang mendekatkan diri kepada sekutunya yaitu Amerika Serikat didasarkan untuk mengantisipasi kebijakan agresif Tiongkok di kawasan Laut Tiongkok Selatan yang dinilai mengancam kedaulatan wilayah Filipina. Kebijakan Tiongkok yang mengklaim wilayah Laut Tiongkok Selatan sebagai bagian dari wilayahnya sangat memengaruhi kebijakan reformasi militer yang dilakukan oleh pemerintah Aquino dengan meminta bantuan kepada Amerika Serikat, yang pada akhirnya membuat hubungan kedua negara menjadi semakin dekat.

Pendekatan yang dilakukan Amerika Serikat sendiri didasarkan kepada prinsip untuk keamanan maritim, termasuk di dalamnya menjamin kebebasan navigasi dan penerbangan serta pemanfaatan laut internasional yang sah secara hukum. Selain itu Amerika Serikat juga mengedepankan penggunaan proses diplomatik kolaboratif dalam upaya mengatasi perselisihan. Sementara bantuan militer yang diberikan Amerika Serikat kepada Filipina ditujukan untuk membantu AFP dalam melakukan transisi dari fokus kepada ancaman domestik menjadi fokus kepada ancaman ke luar, serta membantu negara untuk membangun keamanan dan kesadaran keamanan yang kredibel dalam domain maritim (Lum, 2012).

Namun setelah bergantinya pemerintahan Filipina dari Aquino ke Rodrigo Duterte, Filipina merubah agenda kebijakan luar negerinya dan menyatakan bahwa Filipina akan mengejar kebijakan luar negeri yang independen. Di bawah pemerintahan Duterte, Filipina mengambil langkah awal dengan melancarkan

(45)

Universitas Pertamina - 33

pendekatan diplomatik yang ditujukan untuk meningkatkan hubungan baik serta mendapat konsesi diplomatik dan ekonomi dari Tiongkok. Pendekatan diplomatik tersebut dilakukan pada saat pertemuan puncak ASEAN di Laos, di mana pada pertemuan tersebut Filipina mengesampingkan isu sengketa di kawasan Laut Tiongkok Selatan. Kebijakan luar negeri pemerintah Duterte diarahkan untuk menghidupkan kembali hubungan dengan Tiongkok sebagai upaya untuk medapat bantuan proyek infrastruktur dan investasi besar di Filipina (Castro, 2016)

Presiden Duterte menyatakan bahwa ia ingin menjauhkan Filipina dari Amerika Serikat, suatu langkah yang tidak hanya akan mengubah keseimbangan strategis kawasan tetapi juga menandai kepergian dramatis dari kebijakan lama Filipina dalam menjaga hubungan keamanan yang erat dengan satu-satunya sekutu strategis. Duterte menyatakan bahwa Filipina akan berhenti bergabung dengan Angkatan Laut Amerika Serikat yang berpatroli di Laut Tiongkok Selatan untuk menjaga hubungan Filipina dengan Tiongkok serta menginginkan U.S. Special Operations Forces (SOF) yang mendukung AFP dalam operasi kontra terorisme di Mindanao untuk menarik diri dari pulau tersebut. Kebijakan yang dikeluarkan oleh Duterte ini telah mengikis pengaruh Filipina di ASEAN terkait masalah Laut Tiongkok Selatan serta menyebabkan gangguan dalam hubungan keamanan antara Filipina dan Amerika Serikat (Castro, 2016).

2.3 Kebijakan Luar Negeri Filipina terhadap Tiongkok

Sejak terpilihnya Rodrigo Duterte menjadi Presiden, kebijakan luar negeri Filipina mengalami perubahan yang signifikan. Salah satu perubahan besar yang dilakukan adalah merubah arah kebijakan luar negeri dari Amerika Serikat menjadi

(46)

Universitas Pertamina - 34

Tiongkok. Kebijakan ini dinilai sebagai langkah yang mengikuti kebijakan keamanan nasional Filipina pada masa pemerintahan mantan Presiden Gloria Macapagal Arroyo melakukan upaya strategi hedging yang condong ke Tiongkok. Kebijakan tersebut telah memperjelas bahwa di bawah pemerintahan Duterte, Filipina diperkirakan akan melakukan strategi hedging kepada Tiongkok. Selain itu kebijakan ini ditujukan untuk membina hubungan ekonomi dan diplomatik yang lebih dekat dengan Tiongkok serta berupaya untuk menjauhkan Filipina dari Amerika Serikat (Baviera, 2016).

Di bawah pemerintahan Duterte, hubungan antara Filipina dengan Amerika Serikat mulai merenggang. Amerika Serikat yang merupakan sekutu Filipina sering mengkritik kebijakan yang diterapkan oleh Duterte yang dianggap melanggar HAM (Hak Asasi Manusia) khususnya terhadap kebijakannya dalam memberantas narkoba yang dianggap kontroversial. Duterte sendiri telah mendeklarasikan perubahan kebijakan luar negeri Filipina yang independen dan akan menjauh dari Amerika Serikat sebagai langkah tegas dalam perubahan radikal lintasan kebijakan luar negeri Filipina dan akan membuka aliansi dengan Tiongkok. Selain itu Filipina akan lebih terbuka untuk melakukan bisnis, aliansi perdagangan dan kerja sama ekonomi lainnya dengan negara manapun (Heydarian, 2017).

Selama masa kampanye sebelum menjadi Presiden, Rodrigo Duterte sangat kritis terhadap kebijakan Aquino terhadap sengketa Laut Tiongkok Selatan yang sangat kontra terhadap Tiongkok. Duterte menyatakan bahwa ia bersedia untuk melakukan pembicaraan bilateral dengan Tiongkok mengenai sengketa Laut Filipina Barat serta Laut Tiongkok Selatan. Duterte juga membahas kemungkinan dilakukannya eksplorasi bersama sumber daya alam di kawasan Laut Tiongkok

(47)

Universitas Pertamina - 35

Selatan, serta menyatakan keinginannya untuk melakukan kerja sama dengan Tiongkok dalam proyek membangun jalur kereta api di pulau Mindanao yang bermasalah (Castro, 2016).

Filipina di bawah pemerintahan Duterte akan lebih terbuka untuk melibatkan Tiongkok dalam negosiasi bilateral, dengan tujuan untuk mengejar pengembangan sumber daya bersama di Laut Tiongkok Selatan. Selain itu Filipina mulai menghiraukan sengketa kedaulatan jika Tiongkok juga berhenti bersikeras pada klaim kedaulatannya. Terbukanya pintu kerja sama dari Filipina untuk Tiongkok merupakan dampak dari kebijakan Duterte yang mulai ingin menjauhkan negaranya dari Amerika Serikat. Duterte ragu terhadap komitmen Amerika Serikat dalam upaya membantu Filipina terkait konflik Laut Tiongkok Selatan (Castro, 2016).

Sebelum pelantikannya pada tanggal 30 Juni 2016, Duterte menyatakan bahwa ia ingin hubungan yang lebih dekat dengan Tiongkok dan tidak akan melanjutkan program modernisasi militer yang dimulai oleh pendahulunya. Berdasarkan pernyataan tersebut para pengamat berpikir bahwa Presiden Duterte akan mengikuti kebijakan keamanan nasional Filipina pada masa pemerintahan Gloria Macapagal Arroyo yang cenderung dekat dengan Tiongkok dan mengabaikan pertahanan teritorial, serta berfokus kepada upaya menetralkan tantangan keamanan domestik seperti terorisme dan pemberontakan (Castro, 2016).

Dalam sengketa Laut Tiongkok Selatan, Filipina sebenarnya memiliki posisi yang sangat menguntungkan. Hal ini dikarenakan setelah menunggu selama tiga tahun, Permanent Court of Arbitration (PCA) memberikan putusannya atas

(48)

Universitas Pertamina - 36

sengketa maritim antara Filipina dan Tiongkok pada 12 Juli 2016. PCA dengan suara bulat memutuskan memenangkan Filipina atas hampir semua klaim Tiongkok karena dianggap bertentangan dengan hukum internasional. Tiongkok sendiri dinyatakan bersalah karena telah merusak lingkungan laut dengan membangun pulau-pulau buatan, mencegah nelayan Filipina untuk masuk ke wilayah Laut Tiongkok Selatan secara illegal, serta melakukan eksplorasi minyak di wilayah ZEE Filipina (Castro, 2016). Terlepas dari kemenangannya tersebut, pemerintah Duterte menanggapi keputusan tersebut dengan reaksi yang tenang dan sangat berhati-hati.

Meskipun hasil keputusan PCA tersebut mendapat reaksi domestik yang sangat positif, Menteri Luar Negeri Filipina Perfecto Yasay hanya mengatakan bahwa ia menyambut keputusan tersebut dan meminta masyarakat Filipina untuk menahan diri. Filipina juga menarik mosi negara untuk memasukkan keputusan PCA dalam ASEAN Joint Communique. Langkah tersebut dilakukan sebagai upaya untuk memenuhi janji pemerintah Duterte untuk tidak memamerkan keputusan yang menguntungkan atas Tiongkok. Filipina juga (Castro, 2016).

Langkah dan kebijakan yang diambil oleh pemerintahan Duterte merupakan sinyal kepada Tiongkok bahwa mereka bersedia untuk memenuhi agenda politik riilnya di Laut Tiongkok Selatan. Hal tersebut juga menjadi bukti kongkrit dari upaya hedging yang dilakukan oleh Filipina untuk memperbaiki hubungannya dengan Tiongkok yang sempat memanas akibat perselisihan di Laut Tiongkok Selatan, serta memperkuat kerja sama kedua negara khususnya di bidang ekonomi.

Gambar

Gambar 3.2 Strategi Hedging Filipina di kawasan Laut Tiongkok Selatan  Oleh: Penulis Hedging Peningkatan Kekuatan Militer  Peningkatan Ekonomi Amerika Serikat China Kepentingan Militer

Referensi

Dokumen terkait

Metode interview yang digunakan adalah metode interview terstrukur, yaitu wawancara yang dilaksanakan secara terencana dengan berpedoman pada daftar pertanyaan

Selain itu, pembelajaran di luarkelas (Outdoor Learning) lebih menantang bagi siswa dan menjembatani antara teori di dalam buku dan kenyataan yang ada di

Dari hasil data penelitian yang dilakukan terbukti bahwa proses perencanaan pembangunan dalam Program Dana Desa serta peran masyarakat yang seharusnya sangat dibutuhkan

Dari latar belakang di atas maka dapat dibuat suatu kesederhanaan pertanyaan permasalahan yaitu : (1) Elemen-elemen lingkungan apa saja yang layak divitalkan kembali pada

Prinsip kerja dari aplikasi OCR adalah sebagai berikut: (1) memasukkan dokumen berisi teks (teks cetakan mesin) ke dalam alat optik (scanner) sehingga didapat sebuah file citra;

Pada metode ini sampel diuji berapa gen antimikroba yang diletakkan pada parit yang dibuat dengan cara memotong media agar dalam cawan petri pada bagian tenaga secara

Masyarakat di pulau ini tetap mempertahankan keberadaan pohon-pohon besar di sepanjang aliran mata air tersebut sebab mereka yakin bahwa pohon besar tersebut mampu

Informasi yang dibutuhkan untuk melakukan penjadwalan produksi pada PT Muliamakmur Elektrikatama meliputi: proyek yang diterima dan yang akan dijadwalkan, rincian produk yang