• Tidak ada hasil yang ditemukan

Terapi Rasional Emotif Tingkah Laku Pada Anak Dengan Fobia spesifik "Nasi"(Rational Emotive Behavior Therapy for a Child with Specific Phobia “Rice”)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Terapi Rasional Emotif Tingkah Laku Pada Anak Dengan Fobia spesifik "Nasi"(Rational Emotive Behavior Therapy for a Child with Specific Phobia “Rice”)"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

TERAPI RASIONAL EMOTIF TINGKAH LAKU

PADA ANAK DENGAN FOBIA SPESIFIK “NASI”

(Rational Emotive Behavior Therapy for a Child with

Specific Phobia “Rice”)

TESIS

NAZWA MANURUNG

097029022

MAGISTER PSIKOLOGI PROFESI

FAKULTAS PSIKOLOGI

(2)

TERAPI RASIONAL EMOTIF TINGKAH LAKU

PADA ANAK DENGAN FOBIA SPESIFIK “NASI”

(Rational Emotive Behavior Therapy for a Child with

Specific Phobia “Rice”)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Profesi Psikologi Dari Magister Psikologi Profesi Fakultas Psikologi

Universitas Sumatera Utara

NAZWA MANURUNG

097029022

MAGISTER PSIKOLOGI PROFESI

FAKULTAS PSIKOLOGI

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Tugas akhir ini diajukan oleh

Nama : Nazwa Manurung NIM : 097029022

Kekhususan : Psikologi Klinis Anak

Judul Tesis : Terapi Rasional Emotif Tingkah Laku Pada Anak Dengan Fobia spesifik ‘Nasi’

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada kekhususan Psikologi Klinis Anak Magister Psikologi Profesi Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, dihadapan para dewan penguji

DEWAN PENGUJI

Penguji I/ Pembimbing : Dra. Irna Minauli, M.Si, psikolog [ ]

Penguji II : Prof. Dr. Irmawati, psikolog [ ]

Medan, 20 April 2013

Koordinator Program Pasca Sarjana Dekan Fakultas Psikologi USU Fakultas Psikologi USU

(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sesungguh-sungguhnya bahwa tesis yang saya susun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi Psikologi dari Magister Psikologi Profesi Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara adalah hasil karya saya sendiri.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan tesis saya yang saya kutip dari hasil karya orang lain telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan dalam tesis ini, saya bersedia menerima sanksi lainnya dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, 20 April 2013

(5)

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT atas segala rahmat, karunia, dan izin-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan tepat waktu. Tesis ini merupakan karya tulis ilmiah sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Psikologi pada Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orangtua penulis. Terima kasih atas semua kasih sayang, cinta, perhatian, dorongan dan doa yang selalu diberikan. Kepada suadara dan keponakanku tercinta yang selalu sabar dan memberikan dukungan, kasih sayang dan cinta.

Pada kesempatan ini pula penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak atas berbagai bentuk bantuan dalam proses pengerjaan tesis ini, yaitu :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), Sp. A (K) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister. 2. Ibu Dr. Irmawati, psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas

Sumatera Utara dan dosen penguji yang telah bersedia meluangkan waktu untuk menguji, memberikan bimbingan, kritik, dan saran, serta kesabaran dalam proses pengerjaan tesis ini..

(6)

4. Ibu Dra. Irna Minauli, M.Si, psikolog, selaku dosen pembimbing utama yang telah bersedia meluangkan waktu, memberikan bimbingan, kritik, dan saran, serta kesabaran dalam proses pengerjaan tesis ini.

5. Ibu Eka Ervika, M.Si, psikolog; ibu Elvi Andriani, M.Si, psikolog dan ibu Desvi Yanti M, M.Si, psikolog yang telah banyak sekali memberikan ilmu dan pengalaman selama penulis kuliah di Magister Psikologi Profesi Universitas Sumatera Utara kekhususan klinis anak.

6. Seluruh Staf Pengajar Magister Psikologi Profesi yang telah memberikan ilmu dan pengalaman berharga selama penulis menuntut ilmu di kampus Psikologi Universitas Sumatera Utara.

7. Seluruh Staf Administrasi Magister Psikologi Profesi USU yang banyak membantu dalam proses administrasi dan pengurusan surat-surat pengambilan data.

8. Kepada Aan dan orang tuanya yang telah memberikan waktu, kesempatan dan bersedia menjadi subjek penelitian dalam penulisan tesis ini.

9. Teman-teman Klinis Anak, Alucyana, Dina, Ikhwanisifa, Lambok, Nurvica, Rina, Rizki, Sari Atika, Yuliana, teman-teman PIO dan KLD angkatan IV. Terima kasih atas dukungan dan semangatnya.

10.Terima kasih pula atas pihak-pihak yang mungkin tidak tersebutkan yang telah mendukung segala sesuatunya dalam proses pengerjaan tesis ini.

(7)

pembaca sekalian demi kesempurnaan karya ini. Demikianlah tesis ini dibuat, semoga dapat bermanfaat bagi kita semua.

(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

UCAPAN TERIMA KASIH ... v

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

ABSTRAK ... xiv

ABSTRACT ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Sistematika Penelitian ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 10

A. Fobia ... 10

1. Definisi fobia ... 10

(9)

3. Jenis fobia ... 11

4. Definisi specific phobia ... 11

5. Kriteria diagnostik specific phobia ... 12

6. Penyebab specific phobia ... 13

7. Specific phobia ‘nasi’ ... 14

B. Terapi Rasional Emotif Tingkah laku ... 15

1. Definisi terapi rasional emotif tingkah laku ... 15

2. Ciri-ciri terapi rasional emotif tingkah laku ... 17

3. Konsep dasar dalam terapi rasional emotif tingkah laku ... 18

4. Tahapan atau langkah-langkah terapi rasional emotif tingkah laku 19

5. Teknik-teknik terapi rasional emotif tingkah laku ... 20

BAB III METODE PENELITIAN ... 23

A. Metode Pengumpulan Data ... 24

1. Observasi ... 24

2. Wawancara ... 25

3. Pemeriksaan psikologis ... 25

B. Alat Bantu Penelitian ... 26

C. Subjek Penelitian ... 27

D. Prosedur Penelitian ... 28

1. Tahap persiapan ... 28

2. Tahap pelaksanaan ... 31

(10)

HASIL DAN INTERPRETASI ... 39

A. Tahap Persiapan ... 39

B. Tahap Pelaksanaan ... 40

C. Tahap Analisis Data ... 54

KESIMPULAN DAN SARAN ... 57

A. Kesimpulan ... 57

B. Saran ... 58

1. Saran metodologis ... 58

2. Saran praktis ... 59

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Lembar Observasi Checklist ... 29

Tabel 3.2. Prosedur Penelitian ... 38

Tabel 4.1. Lembar Observasi Sebelum Terapi ... 41

(12)

DAFTAR GAMBAR

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

(14)

ABSTRAK

Fobia spesifik “nasi” adalah ketakutan dan kecemasan yang bertahan, berlebihan dan tidak masuk akal terhadap suatu objek yaitu nasi, sehingga menimbulkan dorongan kuat untuk menghindar atau melarikan diri dari nasi tersebut. Subjek penelitian ini adalah anak usia 6 tahun yang mengalami specific phobia terhadap nasi. Terapi yang dilakukan adalah rational emotive behavior therapy (terapi rasional emotif tingkah laku). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan terapi rasional emotif tingkah laku dalam mengurangi perilaku fobia anak yang mengalami fobia spesifik “nasi”.

Terapi rasional emotif tingkah laku adalah terapi yang berusaha menghilangkan cara berfikir klien yang tidak logis dan irasional, dan menggantinya dengan sesuatu yang logis dan rasional dengan cara menyerang, menentang, mempertanyakan dan membahas keyakinan-keyakinan irasional klien (Corey, 2003).

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif untuk mengetahui bagaimana penerapan terapi rasional emotif tingkah laku dalam mengurangi perilaku fobia pada anak yang mengalami fobia spesifik terhadap nasi. Rancangan terapi yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas lima langkah sesuai dengan yang dikemukakan oleh Palmer (2011), yaitu langkah identifikasi masalah; pemahaman masalah; mengubah keyakinan irasional; memelihara keyakinan rasional; dan evaluasi.

Pada akhir terapi yaitu langkah kelima, subjek sudah dapat menunjukkan perilaku melihat, memegang dan memakan nasi. Namun hal ini berbeda dengan hasil yang diperoleh dari data observasi yang dilakukan seminggu sesudah terapi rasional emotif tingkah laku, yang menunjukkan perilaku fobia subjek seperti menangis, berdiri disudut ruangan dan lari menghindar ketika melihat nasi masih muncul.

Penerapan terapi rasional emotif tingkah laku dalam penelitian ini gagal mengubah perilaku anak yang mengalami fobia spesifik terhadap nasi. Hal ini dapat terjadi dikarenakan adanya kelemahan penelitian antara lain peneliti belum pernah mengikuti pelatihan terapis khususnya terapi rasional emotif tingkah laku dan peneliti juga tidak sabar menghadapi subjek. Selain itu subjek penelitian adalah anak usia 6 tahun yang memiliki kapasitas intelektual di bawah rata-rata, sehingga berkemungkinan sulit memahami proses terapi rasional emotif tingkah laku.

(15)

ABSTRACT

Specific phobia “rice” is an extreme and illogical persistent fear and worried to an object namely rice, which causing strong motivation to avoid or run away from rice. Subject in this research is a 6 years old boy with specific phobia of rice. This research using rational emotive behavior therapy. This research aims to determine the application of rational emotive behavior therapy to reducing the phobia’s behavior of children with specific phobia “rice”.

Rational emotive behavior therapy is therapies that attempt to eliminate the client’s way of thinking is illogical and irrasional and replace it with something that is logical and rational in an offensive way, oppose and discuss the client’s irrasional beliefs (Corey, 2003).

This research use a qualitative approach to determine how the application rational emotive behavior therapy in reducing child phobia who have specific phobia “rice”. Design therapy used in this research consists of five steps in accordance with the proposed by Palmer (2011), the problem identification step, understanding the problem, disputing, keep the faith rasional and evaluation. The end of therapy, in fifth step, subject was able to see, touch and eat the rice. But it is different from results obtained from observational data that take a week after rational emotive behavior therapy, indicating the subject’s phobia behavior such as crying, standing in the corner of room and run away when he saw the rice still emerging.

Application of rational emotive behavior therapy in this research fail to change the behavior of children who have specific phobia “nasi”. This can occur due to the weakness of research include researcher have not previously been therapist trained a specialy rational emotive behavior therapy and researcher also particularly impatience with subject. Subject is child 6 years old who have the intellectual capacity below average, so likely to be difficult to understand the process of rational emotive behavior therapy.

(16)

ABSTRAK

Fobia spesifik “nasi” adalah ketakutan dan kecemasan yang bertahan, berlebihan dan tidak masuk akal terhadap suatu objek yaitu nasi, sehingga menimbulkan dorongan kuat untuk menghindar atau melarikan diri dari nasi tersebut. Subjek penelitian ini adalah anak usia 6 tahun yang mengalami specific phobia terhadap nasi. Terapi yang dilakukan adalah rational emotive behavior therapy (terapi rasional emotif tingkah laku). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan terapi rasional emotif tingkah laku dalam mengurangi perilaku fobia anak yang mengalami fobia spesifik “nasi”.

Terapi rasional emotif tingkah laku adalah terapi yang berusaha menghilangkan cara berfikir klien yang tidak logis dan irasional, dan menggantinya dengan sesuatu yang logis dan rasional dengan cara menyerang, menentang, mempertanyakan dan membahas keyakinan-keyakinan irasional klien (Corey, 2003).

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif untuk mengetahui bagaimana penerapan terapi rasional emotif tingkah laku dalam mengurangi perilaku fobia pada anak yang mengalami fobia spesifik terhadap nasi. Rancangan terapi yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas lima langkah sesuai dengan yang dikemukakan oleh Palmer (2011), yaitu langkah identifikasi masalah; pemahaman masalah; mengubah keyakinan irasional; memelihara keyakinan rasional; dan evaluasi.

Pada akhir terapi yaitu langkah kelima, subjek sudah dapat menunjukkan perilaku melihat, memegang dan memakan nasi. Namun hal ini berbeda dengan hasil yang diperoleh dari data observasi yang dilakukan seminggu sesudah terapi rasional emotif tingkah laku, yang menunjukkan perilaku fobia subjek seperti menangis, berdiri disudut ruangan dan lari menghindar ketika melihat nasi masih muncul.

Penerapan terapi rasional emotif tingkah laku dalam penelitian ini gagal mengubah perilaku anak yang mengalami fobia spesifik terhadap nasi. Hal ini dapat terjadi dikarenakan adanya kelemahan penelitian antara lain peneliti belum pernah mengikuti pelatihan terapis khususnya terapi rasional emotif tingkah laku dan peneliti juga tidak sabar menghadapi subjek. Selain itu subjek penelitian adalah anak usia 6 tahun yang memiliki kapasitas intelektual di bawah rata-rata, sehingga berkemungkinan sulit memahami proses terapi rasional emotif tingkah laku.

(17)

ABSTRACT

Specific phobia “rice” is an extreme and illogical persistent fear and worried to an object namely rice, which causing strong motivation to avoid or run away from rice. Subject in this research is a 6 years old boy with specific phobia of rice. This research using rational emotive behavior therapy. This research aims to determine the application of rational emotive behavior therapy to reducing the phobia’s behavior of children with specific phobia “rice”.

Rational emotive behavior therapy is therapies that attempt to eliminate the client’s way of thinking is illogical and irrasional and replace it with something that is logical and rational in an offensive way, oppose and discuss the client’s irrasional beliefs (Corey, 2003).

This research use a qualitative approach to determine how the application rational emotive behavior therapy in reducing child phobia who have specific phobia “rice”. Design therapy used in this research consists of five steps in accordance with the proposed by Palmer (2011), the problem identification step, understanding the problem, disputing, keep the faith rasional and evaluation. The end of therapy, in fifth step, subject was able to see, touch and eat the rice. But it is different from results obtained from observational data that take a week after rational emotive behavior therapy, indicating the subject’s phobia behavior such as crying, standing in the corner of room and run away when he saw the rice still emerging.

Application of rational emotive behavior therapy in this research fail to change the behavior of children who have specific phobia “nasi”. This can occur due to the weakness of research include researcher have not previously been therapist trained a specialy rational emotive behavior therapy and researcher also particularly impatience with subject. Subject is child 6 years old who have the intellectual capacity below average, so likely to be difficult to understand the process of rational emotive behavior therapy.

(18)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Permasalahan

Hampir semua perasaan takut bermula dari masa kanak-kanak karena pada masa ini anak belum memiliki kemampuan berpikir yang baik. Hal ini membuat mereka sangat reseptif dalam mengembangkan rasa takut pada hal-hal yang tidak dikenalnya (Gunawan, 2006). Anak-anak pada umumnya memiliki berbagai macam ketakutan dan kekhawatiran yang biasanya disebut dengan kecemasan. Pengalaman yang tidak baik dapat menyebabkan anak menjadi panik dan sangat ketakutan. Ketakutan ini dapat semakin buruk dan menyebabkan ganggguan dalam fungsi kehidupan sehari-hari (Mortweet & Christophersen, 2002).

(19)

cenderung takut berpisah atau kehilangan orangtua. Pra remaja dan remaja takut ditolak oleh teman sebaya atau gagal di sekolah.

Menurut Martin & Pear (2003) ketakutan dan kecemasan pada sesuatu yang tidak rasional, yang berlebihan dan intens membuat seseorang tidak mampu melakukan apa-apa disebut dengan fobia. Menurut Nevid (2005), bahwa seseorang bisa saja mempunyai ketakutan terhadap suatu objek tertentu, tetapi hanya bila ketakutan itu mengganggu kehidupan sehari-hari atau menyebabkan distres emosional yang signifikan maka barulah dapat didiagnosis sebagai gangguan fobia.

Selaras dengan pernyataan Martin & Pear (2003), Smith (2011) juga mengatakan bahwa fobia adalah rasa takut yang intens dari sesuatu yang tidak atau sedikit menimbulkan bahaya aktual. Fobia atau ketakutan biasanya terhadap tempat yang tertutup, ketinggian, mengemudi di jalan raya, terbang, serangga, ular dan jarum. Namun, fobia dapat dikembangkan hampir pada semua benda atau situasi apapun. Fobia berkembang di masa kanak-kanak tetapi mereka juga dapat berkembang pada orang dewasa. Fobia termasuk dalam gangguan psikologis, apabila fobia tersebut secara signifikan mempengaruhi gaya hidup atau keberfungsian seseorang, atau menyebabkan distres yang signifikan (Nevid, 2005).

(20)

keluar dari lemari. Ia kaget dan berteriak, anaknya yang saat itu juga berada dalam ruangan yang sama ikut kaget dan menjadi sensitif terhadap kecoa. Proses kedua adalah activating event (peristiwa yang mengaktifkan), misalnya seekor kecoa terbang ke arah wajah seorang anak, ia menjadi kaget dan takut sehingga setiap kali melihat atau mendengar kata kecoa ia akan sangat takut.

Penyebab lain dari fobia adalah kejadian yang menakutkan pada masa kanak-kanak. Selain itu juga dapat disebabkan oleh orangtua atau caretaker yang meninggalkan anak sendiri pada usia yang masih sangat kecil. Pikiran yang sadar mungkin tidak mengingat kejadian ini, tapi pikiran yang tidak sadar mengingat hal ini. Memori ini dapat menyebabkan ketakutan pada beberapa orang. Selain itu para ahli juga menduga bahwa fobia dapat disebabkan oleh genetik dan juga orang yang mengalami trauma (Orr, 1999).

(21)

terlarang. Sesuai dengan Diagnostic and Statistical Manual (DSM) IV (dalam Martin & Pear, 2003), gangguan fobia biasanya dikarakteristikkan dengan ketakutan atau kecemasan yang dapat menyebabkan reaksi fisiologis seperti tangan basah, menggigil dan jantung yang berdebar, menghindar dari situasi yang dapat menyebabkan ketakutan muncul dan mempengaruhi perilaku individu dalam kehidupan sehari-hari, hal ini terjadi baik pada anak-anak maupun dewasa. Menurut Hostetler (2007) fobia pada anak-anak dapat menyebabkan respon fisik seperti nafas yang pendek, detak jantung yang cepat, menjerit, lari dan kabur. Anak-anak mungkin akan menjadi takut untuk meninggalkan rumah sehingga mempengaruhi perkembangan sosial dan akademik mereka. Fobia juga dapat mempengaruhi aktivitas keluarga, menghalangi mereka menikmati sesuatu seperti liburan atau pergi ke tempat-tempat lain.

Fobia atau ketakutan yang menetap dan berlebihan terhadap sesuatu objek atau situasi spesifik seperti ketakutan terhadap binatang, benda atau situasi tertentu disebut specific phobia (APA, 2000). Specific phobia sering bermula pada masa kanak-kanak. Banyak anak yang mengembangkan ketakutan terhadap objek atau situasi spesifik, tetapi hal ini akan berlalu; akan tetapi pada beberapa orang, ketakutan ini akan terus berlanjut menjadi fobia kronis yang signifikan secara klinis (Nevid, 2005).

(22)

kompetensi akademik. Karena itu sangat penting untuk menyembuhkan fobia pada anak-anak maupun orang dewasa secepatnya agar tidak menjadi lebih serius. Specific phobia adalah salah satu gangguan psikologis yang paling umum, sekitar 7-11% dari populasi umum (APA, 2000). Specific phobia cenderung berlangsung terus menerus selama bertahun-tahun atau selama beberapa dekade kecuali bila ditangani dengan baik, dan biasanya perempuan mempunyai kemungkinan dua kali lebih besar dibandingkan laki-laki untuk mengalami specific phobia (Nevid, 2005).

Specific phobia dapat dikembangkan hampir pada semua benda atau situasi apapun (Nevid, 2005). Ada beberapa penelitian mengenai specific phobia dengan objek fobia yang beragam, salah satunya adalah Nock (2002) yang meneliti fobia

seorang anak laki-laki terhadap makanan. Anak tersebut memenuhi kriteria

diagnostik specifik phobia dan setiap hendak makan anak tersebut muntah,

sehingga jika dibiarkan akan mengganggu kesehatan anak. Nock mencoba

beberapa treatment untuk mengurangi perilaku muntah anak tersebut.

Dalam penelitian ini yang menjadi benda atau objek fobia juga berupa

(23)

kecilnya kandungan lemak jenuh, kolesterol dan sodium, bahkan tidak ada sama sekali. Nasi juga merupakan sumber yang baik untuk zat Mangan yang dibutuhkan oleh tubuh, sehingga akan lebih baik jika fobia terhadap nasi ini segera ditangani karena dikhawatirkan akan sangat mempengaruhi kesehatan individu yang mengalami fobia terhadap nasi.

Menurut Satriana (2012) fobia dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan dengan berbagai cara, diantaranya dengan terapi obat-obatan dan psikoterapi. Terapi obat-obatan yang dilakukan untuk mengurangi fobia pada umumnya hampir sama dengan terapi obat-obatan untuk kecemasan. Pada umumnya dokter menyarankan penggunaan obat psikoleptik, yaitu benzodiazepines dalam dosis rendah. Jenis obat-obat ini adalah Diazepam, Klordiazepoksid, Lorazepam, Klobazam, Bromazepam, Oksazolam, Klorazepat, Alprazolam atau Prazepam

Pada penelitian ini, peneliti memilih menggunakan rational emotive behavior therapy (terapi rasional emotif tingkah laku) pada subjek penelitian yang mengalami specific phobia, yaitu ketakutan atau fobia terhadap nasi. Terapi rasional emotif tingkah laku adalah suatu pendekatan dalam membantu memecahkan masalah-masalah yang dikarenakan oleh pola pikir yang bermasalah (Ellis, 1997). Peneliti menggunakan terapi ini karena terapi rasional emotif tingkah laku, menggabungkan tiga teknik yaitu kognitif, emotif dan tingkah laku,

(24)

sehingga pemikiran-pemikiran irrasional subjek akan diubah menjadi pemikiran yang rasional dan juga mengubah emosi negatif subjek menjadi emosi yang positif dan keduanya akan terlihat dari perilaku yang ditunjukkan subjek (Ellis, 2007). Subjek yang berpikir irrasional mengenai objek fobianya, yaitu nasi, akan diubah menjadi rasional dan dapat mengendalikan emosinya saat berhadapan dengan objek fobianya yang terlihat dari perilaku yang subjek perlihatkan.

Selain menggabungkan tiga teknik (kognitif, emotif dan tingkah laku), terapi rasional emotif tingkah laku juga memiliki ciri terapisnya harus berperan lebih aktif dibanding subjek dalam upaya mengatasi masalah yang dihadapi subjek (Ellis, 1997). Hal ini juga menjadi salah satu alasan kenapa peneliti menggunakan terapi rasional emotif tingkah laku, mengingat yang menjadi subjek penelitian adalah anak-anak yang masih memerlukan bimbingan dan arahan.

B.Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana penerapan terapi rasional emotif tingkah laku terhadap anak yang mengalami specific phobia terhadap nasi.

(25)

C.Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan terapi rasional emotif tingkah laku dalam mengurangi perilaku fobia anak yang mengalami specific phobia terhadap nasi.

D.Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan bermanfaat secara teoritis, metodologis maupun praktis.

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan sumber informasi bagi disiplin psikologi di bidang psikologi klinis anak, khususnya mengenai konsep terapi rasional emotif tingkah laku dan teori specific phobia.

2. Secara metodologis, dalam penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan pengetahuan peneliti dalam melaksanakan penelitian studi kasus. 3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat membantu para psikolog dalam

(26)

E.Sistematika Penulisan

Penelitian ini akan terbagi atas beberapa bab, yaitu: Bab I Pendahuluan.

Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian baik secara teoritis, metodologis maupun secara praktis, dan sistematika penulisan. Bab II Tinjauan Pustaka.

Bab ini terdiri dari teori kepustakaan mengenai specific phobia dan terapi rasional emotif tingkah laku.

Bab III Metode penelitian.

Bab ini menguraikan tentang pendekatan kualitatif, subjek penelitian, alat bantu pengumpulan data, prosedur penelitian, dan metode analisis data.

Bab IV Hasil dan pembahasan.

Bab ini berisi analisi dan interpretasi data hasil penelitian serta pembahasan data-data hasil penelitian dengan teori yang relevan. Bab V Kesimpulan dan saran.

Bab ini berisi kesimpulan hasil penelitian yang telah dilaksanakan dan saran yang berisikan saran-saran praktis sesuai hasil dan masalah-masalah penelitian, dan saran-saran metodologis untuk pihak-pihak yang ingin membuat penelitian lanjutan.

(27)

TINJAUAN PUSTAKA

A.Fobia

1. Definisi Fobia

Marks (dalam Morris dkk, 1987) mengatakan bahwa fobia merupakan bentuk yang spesifik dari takut yang muncul di situasi tertentu, tidak bisa dijelaskan secara rasional, sulit untuk dikontrol dan biasanya situasi yang ditakutkan tersebut selalu dihindari. Fobia adalah rasa takut yang menetap terhadap objek atau situasi dan rasa takut ini tidak sebanding dengan ancamannya (Nevid, 2005). Selanjutnya Neale, dkk (2001) mengatakan bahwa fobia yaitu perasaan takut dan menghindar terhadap objek atau situasi yang realita atau kenyataannya tidak berbahaya.

Berdasarkan uraian di atas, fobia adalah rasa takut yang kuat dan tetap terhadap objek, situasi atau kejadian yang muncul pada situasi tertentu, tidak dapat dijelaskan secara rasional, sulit untuk dikontrol dan biasanya situasi yang ditakutkan tersebut selalu dihindari.

2. Ciri-ciri gangguan fobia

Berdasarkan DSM IV (dalam Martin & Pear, 2003), gangguan fobia memiliki ciri-ciri:

a. Ketakutan/kecemasan yang menghasilkan perubahan fisiologis seperti tangan berkeringat, pusing atau jantung berdebar.

(28)

3. Jenis Fobia

Ada dua jenis fobia menurut Gunawan (2006) yaitu:

a. Simple phobia/Specific phobia (fobia sederhana): fobia yang muncul karena satu pemicu saja. Misalnya fobia kucing, perasaan takut hanya terbatas pada kucing dan tidak pada binatang lain.

b. Complex phobia (fobia kompleks): fobia ini berhubungan dengan banyak penyebab, biasanya fobia ini bukan masalah utama dan merupakan symptom dari satu atau lebih masalah psikologis yang belum terselesaikan. Misalnya fobia berbicara di depan umum, masalah utama fobia ini sebenarnya adalah harga diri yang rendah, masalah ini mengakibatkan seseorang tidak percaya diri sehingga tidak berani atau takut berdiri di depan orang banyak.

4. Definisi specific phobia

Specific Phobia adalah kecemasan yang signifikan terhadap objek atau situasi yang menakutkan, dan sering menampilkan perilaku menghindar terhadap objek atau situasi tertentu (Miltenberger, 2004). Durand & Barlow (2005) mengatakan bahwa specific phobia adalah ketakutan yang tidak beralasan terhadap suatu objek atau situasi tertentu. Ketakutan ini bisa disebabkan oleh darah, luka, situasi (seperti di dalam pesawat, lift dan ruangan yang tertutup), hewan, dan lingkungan yang natural (seperti ketinggian dan air).

(29)

dan persisten terhadap objek atau siuasi spesifik. Orang yang mengalami ketakuatan dan reaksi fisiologis yang tinggi bila bertemu dengan objek fobia akan menimbulkan dorongan kuat untuk menghindar atau melarikan diri dari situasi atau menghidari stimulus yang menakutkan.

Haugaard (2008) mengatakan bahwa specific phobia dikarakteristikkan dengan kecemasan yang sering terjadi karena disebabkan oleh benda atau situasi tertentu. Selanjutnya juga dikatakan bahwa ketakutan dan kecemasan ini tetap ada walaupun tidak berhubungan langsung dengan objek atau situasi yang ditakuti dan dapat mengganggu anak dalam hal akademis dan interaksi sosialnya.

Berdasarkan uraian di atas, specific phobia adalah ketakutan dan kecemasan yang bertahan, berlebihan dan tidak masuk akal terhadap suatu objek atau situasi tertentu, sehingga menimbulkan dorongan kuat untuk menghindar atau melarikan diri dari objek atau situasi tersebut, dan dapat mengganggu anak dalam hal akademis dan interaksi sosialnya.

5. Kriteria diagnostik specific phobia

Kriteria diagnostik specific phobia (dalam APA, 2000) adalah:

a. Ketakutan yang menyolok dan menetap yang berlebihan dan tidak dapat dijelaskan, disebabkan oleh objek atau situasi yang spesifik (seperti, terbang, ketinggian, hewan, disuntik, melihat darah).

(30)

c. Menyadari ketakutannya berlebihan dan tidak dapat dijelaskan. Catatan: pada anak mungkin tidak muncul.

d. Situasi fobik dihindari dengan kecemasan atau distres yang kuat.

e. Penghindaran, antisipasi kecemasan atau distres dalam situasi phobik bertentangan secara signifikan dengan rutinitas orang normal, fungsi pekerjaan (pendidikan) atau aktivitas/hubungan sosial, atau ditandai distres tentang fobia. f. Pada individu di bawah 18 tahun, terjadi sekurang-kurangnya 6 bulan.

g. Kecemasan, serangan panik atau menghindari fobia dihubungkan dengan objek atau situasi spesifik, tidak berkaitan dengan gangguan mental lain, seperti Obsessive-Compulsive Disorder (takut terkontaminasi ketidakbersihan seseorang), Posttraumatic Stress Disorder (menjauhi stimulus yang menimbulkan stres berat), Separation Anxiety Disorder (menghindari sekolah), Social Phobia (menghindari situasi sosial yang memalukan), Panic Disorder With Agoraphobia, atau Agoraphobia Without History of Panic Disorder.

6. Penyebab specific phobia

Menurut Durand & Barlow (2005), ada beberapa penyebab munculnya specific phobia yaitu:

a. Traumatic event

(31)

b. Information transmition

Seseorang dapat mengalami specific phobia karena sering mengingat sesuatu yang berbahaya. Misalnya seorang wanita mengalami fobia terhadap ular, padahal wanita tersebut belum pernah bertemu dengan ular. Tetapi, ia sering dibilang atau mendengar bahwa akan ada ular yang berbahaya di rumput yang tinggi. Hal ini membuat wanita tersebut menggunakan sepatu boot untuk menghindari bahaya, walaupun ia berjalan di jalan yang biasa.

c. Sosial dan Kultural

Faktor ini sangat kuat dapat mempengaruhi seseorang mengalami specific phobia. Dalam masyarakat tidak dapat diterima jika seorang laki-laki menunjukkan ketakutan dan phobia. Mayoritas specific phobia terjadi pada perempuan.

7. Specific phobia ‘nasi’

(32)

karena itu Nock mencoba beberapa treatment agar anak tidak mengalami fobia lagi terhadap makanannya.

Dalam penelitian ini yang menjadi benda atau objek fobia juga berupa makanan yaitu nasi. Nasi

Berdasarkan hal di atas, apabila seseorang mengalami fobia terhadap nasi, apalagi anak-anak, harus segera ditangani karena dikhawatirkan akan sangat mempengaruhi kesehatan dan tumbuh kembang anak tersebut.

merupakan sumber makanan pokok yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia, khususnya Indonesia bagian barat. Salah satu alasan mengapa nasi dijadikan makanan pokok, karena nasi mengandung banyak zat yang dibutuhkan oleh tubuh. Nasi banyak mengandung karbohidrat dan air, sehingga nasi putih menjadi sumber tenaga utama yang cepat karena nasi mudah diserap tubuh. Selain itu kandungan yang terdapat pada nasi adalah protein. Walaupun kandungannya kecil namun nasi tetap mengandung protein sekitar 2 gram per 100 gram nasi. Protein dibutuhkan untuk membangun dan memperbaiki sel-sel yang rusak. Keunggulan nasi adalah kecilnya kandungan lemak jenuh, kolesterol dan sodium, bahkan tidak ada sama sekali. Nasi juga merupakan sumber yang baik untuk zat Mangan yang dibutuhkan oleh tubuh.

B. Terapi Rasional Emotif Tingkah Laku 1. Definisi terapi rasional emotif tingkah laku

(33)

menggantinya dengan sesuatu yang logis dan rasional dengan cara menyerang, menentang, mempertanyakan dan membahas keyakinan-keyakinan irasional klien. Menurut Ellis (1997) terapi rasional emotif tingkah laku adalah terapi yang menekankan pada keterkaitan antara perasaan, tingkah laku dan pikiran. Oleh karena itu Ellis menjelaskan lebih lanjut unsur pokok dari terapi rasional emotif tingkah laku adalah asumsi bahwa berpikir, emosi dan tingkah laku bukan tiga proses yang terpisah. Pikiran dan emosi merupakan dua hal yang saling bertumpang tindih, dan dalam prakteknya kedua hal itu saling terkait. Emosi disebabkan dan dikendalikan oleh pikiran. Baik emosi dan pikiran tersebut ditunjukkan dengan tingkah laku. Pikiran-pikiran seseorang dapat menjadi emosi seseorang dan merasakan sesuatu dalam situasi tertentu dapat menjadi pemikiran seseorang. Atau dengan kata lain, pikiran mempengaruhi emosi dan sebaliknya emosi mempengaruhi pikiran. Pikiran seseorang dapat menjadi emosinya, dan emosi dalam keadaan tertentu dapat berubah menjadi pikiran (Froggatt, 2005). Menurut Thomson dan Rudolf (dalam Sunardi, 2008), tujuan utama dari terapi rasional emotif tingkah laku adalah membantu klien memahami kepercayaan irrasionalnya, dengan mendebatkannya dan selanjutnya merubahnya dengan pemikiran yang lebih positif dan rasional. Membantu anak menjadi evaluator atas dirinya sendiri, sehingga dapat belajar untuk hidup sehat, mengontrol diri, dan bertanggung jawab atas kehidupannya.

(34)

Strefflre (dalam Sunardi, 2008) tujuan terapi rasional emotif tingkah laku adalah sebagai berikut:

a. Memperbaiki dan mengubah segala pemikiran yang irasional dan tidak logis menjadi rasional dan logis agar klien dapat mengembangkan dirinya.

b. Menghilangkan gangguan emosional yang merusak.

c. Untuk membangun komitmen, toleransi, pemikiran ilmiah, pengambilan resiko dan penerimaan diri klien.

2. Ciri-ciri terapi rasional emotif tingkah laku

Ciri-ciri terapi rasional emotif tingkah laku dapat diuraikan sebagai berikut (dalam Ellis, 1997):

a) Dalam menelusuri masalah klien yang dibantu, konselor berperan lebih aktif dibandingkan klien. Maksudnya adalah peran konselor disini harus bersikap efektif dan memiliki kapasitas untuk memecahkan masalah yang dihadapi klien dan bersungguh-sungguh dalam mengatasi masalah yang dihadapi, artinya konselor harus melibatkan diri dan berusaha menolong kliennya supaya dapat berkembang sesuai dengan keinginan dan disesuaikan dengan potensi yang dimilikinya.

(35)

c) Tercipta dan terpeliharanya hubungan baik ini dipergunakan oleh konselor untuk membantu klien mengubah cara berfikirnya yang tidak rasional menjadi rasional.

d) Dalam proses hubungan konseling, konselor tidak banyak menelusuri masa lampau klien.

e) Diagnosis (rumusan masalah) yang di lakukan dalam konseling rasional emotif bertujuan untuk membuka ketidaklogisan cara berfikir klien. Dengan melihat permasalahan yang dihadapi klien dan faktor penyebabnya, yakni menyangkut cara pikir klien yang tidak rasional dalam menghadapi masalah, yang pada intinya menunjukkan bahwa cara berpikir yang tidak logis itu sebenarnya menjadi penyebab gangguan emosionalnya.

3. Konsep dasar dalam terapi rasional emotif tingkah laku

Menurut Ellis (2007) ada tiga hal yang terkait dengan perilaku, yaitu rumus A-B-C :

A (Activating experiences atau pengalaman-pengalaman pemicu): seperti kesulitan-kesulitan keluarga, kendala-kendala pekerjaan, trauma-trauma masa kecil, dan hal-hal lain yang kita anggap sebagai penyebab ketidakbahagiaan. B (Beliefs): yaitu keyakinan-keyakinan, terutama yang bersifat irasional dan

merusak diri sendiri yang merupakan sumber ketidakbahagiaan.

(36)

Ellis juga menambahkan D dan E untuk rumus ABC ini. Seorang terapis harus melawan (dispute; D) keyakinan-keyakinan irrasional itu agar kliennya bisa menikmati dampak-dampak (effects; E) psikologis positif dari keyakinan-keyakinan yang rasional.

4. Tahapan atau langkah-langkah terapi rasional emotif tingkah laku

Beberapa langkah yang dilakukan dalam terapi rasional emotif tingkah laku (Palmer, 2011) adalah sebagai berikut :

a. Langkah pertama: identifikasi masalah

Langkah ini untuk mengetahui masalah yang spesifik yang dialami subjek agar dapat dilakukan tindakan.

b. Langkah kedua: pemahaman masalah

Pada langkah ini, terapis dan klien harus sama-sama memahami masalah yang sedang dihadapi. Menentukan apa yang menjadi fokus permasalah yang dihadapi subjek.

c. Langkah ketiga: mengubah keyakinan irasional (disputing)

Langkah ini mengubah keyakinan yang menyebabkan gangguan, yaitu keyakinan yang irasional, agar keyakinan tersebut dapat berubah menjadi yang rasional.

d. Langkah keempat: memelihara perubahan positif

(37)

e. Langkah kelima: evaluasi

Pada langkah ini terapis dan subjek bersama-sama mengevaluasi sesi-sesi sebelumnya, apakah sudah berhasil mengubah keyakinan yang irasional menjadi rasional. Jika sudah berhasil terapis harus mempersiapkan subjek agar tidak tergantung pada proses terapi sehingga dapat mempertahankan hasil terapi dikehidupannya sehari-hari.

5. Teknik-teknik terapi rasional emotif tingkah laku

Terapi rasional emotif tingkah laku menggunakan berbagai teknik yang bersifat kognitif, afektif dan behavioristik yang disesuaikan dengan kondisi klien. Setiap terapis dapat mempergunakan gabungan-gabungan teknik sejauh penggabungan itu memungkinkan (dalam Ellis, 1997). Hal ini juga sesuai dengan yang diungkapkan oleh Sacks (2004) bahwa terapi rasional emotif tingkah laku dapat mengintegrasikan bermacam-macam teknik kognitif, emotif dan tingkah laku. Teknik-teknik tersebut diantaranya, yaitu :

1. Teknik-teknik Kognitif

Teknik-teknik kognitif adalah teknik yang digunakan untuk mengubah cara berfikir klien.

(38)

b. Teknik Persuasif - Meyakinkan klien untuk mengubah pandangannya karena pandangan yang ia kemukakan itu tidak benar. Terapis langsung mencoba meyakinkan, mengemukakan pelbagai argumentasi untuk menunjukkan apa yang dianggap oleh klien itu adalah tidak benar.

c. Teknik Konfrontasi – Terapis menyerang ketidaklogisan berfikir klien dan membawa klien ke arah berfikir yang lebih logis.

d. Teknik Pemberian Tugas - Terapis memberi tugas kepada klien untuk mencoba melakukan tindakan tertentu dalam situasi nyata. Misalnya, menugaskan klien bergaul dengan anggota masyarakat kalau mereka merasa dipencilkan dari pergaulan atau membaca buku untuk memperbaiki kekeliruan caranya berfikir.

2. Teknik-teknik Emotif

Teknik-teknik emotif adalah teknik yang digunakan untuk mengubah emosi klien. Teknik yang sering digunakan antara lain ialah:

a. Teknik Sosiodrama - Memberi peluang mengekspresikan pelbagai perasaan yang menekan klien itu melalui suasana yang didramatisasikan sehingga klien dapat secara bebas mengungkapkan dirinya sendiri secara lisan, tulisan atau melalui gerakan dramatis.

(39)

c. Teknik 'Assertive Training' - Digunakan untuk melatih, mendorong dan membiasakan klien dengan pola perilaku tertentu yang diinginkannya.

3. Teknik-teknik Behavioristik

Teknik ini khusus untuk mengubah tingkah laku yang tidak diinginkan. Teknik ini antara lain ialah:

a. Teknik Reinforcement - Mendorong klien ke arah perilaku yang diingini dengan jalan memberi pujian dan hukuman. Pujian pada perilaku yang betul dan hukuman pada perilaku negatif yang dikekalkan.

(40)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan unsur penting dalam penelitian ilmiah karena metode yang digunakan dalam penelitian dapat menentukan apakah penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan hasilnya (Hadi, 2000). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif dipandang lebih sesuai digunakan untuk mengetahui bagaimana penerapan terapi rasional emotif tingkah laku dalam mengurangi perilaku fobia pada anak yang mengalami fobia terhadap nasi. Hal ini disebabkan penggunaan metode kualitatif memungkinkan peneliti untuk mengetahui lebih jelas bagaimana proses dan hasil penerapan terapi rasional emotif tingkah laku untuk mengurangi masalah perilaku fobia anak terhadap nasi melalui cara deskripsi dalam bentuk kata-kata, bahasa, perilaku pada suatu konteks khusus yang alamiah dan memanfaatkan berbagai metode pengambilan data.

(41)

Bentuk penelitian kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus. Studi kasus merupakan penelitian yang memberikan laporan dan analisis detail dan menyeluruh pada satu atau lebih kasus.

A.Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada studi kasus, biasanya menggunakan data kualitatif serta menggunakan banyak metode dan sumber yang akan membantu peneliti memahami kasus dan menjawab perumusan masalah penelitian (Johnson & Christensen, 2004). Beberapa metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi dan wawancara, selain itu penelitian ini juga menggunakan data pemeriksaan psikologis sebagai sumber data tambahan.

1. Observasi

(42)

Dalam penelitian ini, observasi dilakukan selama proses pelaksanaan penelitian, dimulai dari sebelum terapi dengan bantuan lembar observasi checklist untuk melihat gambaran perilaku fobia subjek, dan ketika pelaksanaan terapi juga melakukan observasi terhadap reaksi-reaksi yang ditunjukkan subjek. Setelah terapi berakhir, peneliti mengambil data observasi kembali dengan menggunakan lembar observasi checklist untuk dapat membandingkan perilaku fobia subjek sebelum dan sesudah terapi.

2. Wawancara

Banister (dalam Poerwandari, 2001) mendefinisikan wawancara sebagai percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara semi-terstruktur (semi-structured) yaitu peneliti sebelumnya telah menetapkan daftar pertanyaan yang terdapat di dalam pedoman wawancara hanya saja urutan pertanyaan bisa saja tidak seperti dalam pedoman wawancara tetapi disesuaikan dengan situasi saat wawancara berlangsung (Gay & Airasian, 2003). Pedoman wawancara ini berisi “open-ended question” yaitu pertanyaan yang sifatnya terbuka tetapi tetap terarah pada tujuan penelitian (Poerwandari, 2001).

3. Pemeriksaan psikologis

(43)

adanya diagnosa gangguan yang dialami oleh subjek berdasarkan Diagnosis and Statistic Manual (DSM IV-TR).

B.Alat Bantu Penelitian

Dalam pengambilan data, penelitian ini menggunakan beberapa alat bantu yaitu lembar observasi, pedoman wawancara dan alat perekam yang dapat membantu peneliti untuk mengumpulkan data.

1. Lembar observasi, yang digunakan adalah lembar observasi checklist. Checklist digunakan untuk mengklasifikasikan dan mengukur frekuensi dan atau durasi dari perilaku selama periode observasi (Minauli, 2002). Checklist dalam penelitian ini berisikan perilaku-perilaku yang muncul jika dihadapkan pada objek fobia, seperti yang dikemukakan dalam APA (2000). Apabila subjek memperlihatkan salah satu atau lebih perilaku tertentu diberi tanda checklist (√) dan dilihat seberapa banyak frekuensinya selama observasi dilakukan. Lembar observasi ini digunakan untuk memperoleh data sebelum dan juga data sesudah terapi agar nantinya dapat dibandingkan sehingga diketahui apakah terapi berhasil atau tidak.

(44)

3. Alat perekam (tape recorder), digunakan agar hasil wawancara merupakan data yang akurat sesuai dengan yang disampaikan subjek dalam wawancara. Poerwandari (2001) menyatakan, sedapat mungkin wawancara perlu direkam dan dibuat transkripnya secara verbatim (kata demi kata), sehingga tidak bijaksana jika peneliti hanya mengandalkan ingatan. Untuk tujuan tersebut, perlu digunakan alat perekam (tape recorder) agar peneliti mudah mengulang kembali rekaman wawancara dan dapat menghubungi subjek kembali apabila ada hal yang masih belum lengkap atau belum jelas. Penggunaan alat perekam ini dilakukan dengan seizin subjek. Selain itu penggunaan tape recorder memungkinkan peneliti untuk lebih berkonsentrasi pada apa yang dikatakan oleh subjek, tape recorder dapat merekam nuansa suara dan bunyi serta aspek-aspek dari wawancara seperti tertawa, desahan, sarkasme secara tajam (Padgett, 1998).

C.Subjek Penelitian

(45)

juga sudah mencoba memberikan nasi dalam bentuk lontong, bubur atau yang lainnya tetapi anaknya tetap tidak mau makan.

D.Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian dibagi menjadi tiga bagian, yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan penelitian dan tahap analisis data.

1. Tahap persiapan

Tahapan persiapan penelitian dilakukan untuk mempersiapkan hal-hal yang dibutuhkan selama penelitian.

1.a. Mempelajari teori

Mempelajari teori yang berkaitan dengan terapi rasional emotif tingkah laku dan specific phobia, untuk memahami hubungan antara terapi rasional emotif tingkah laku dan specific phobia.

1.b. Melakukan pemeriksaan psikologis

Pemeriksaan psikologis dilakukan terhadap subjek guna memastikan karakteristik gangguan dan diagnosa yang dialami subjek.

1.c. Menyusun rancangan terapi

Sebelum terapi dilakukan terlebih dahulu peneliti membuat rancangan terapi. Rancangan terapi disusun berdasarkan langkah-langkah terapi rasional emotif tingkah laku yang dikemukakan oleh Palmer (2011), yaitu :

(46)

- Langkah ketiga, mengubah keyakinan irasional. - Langkah keempat, memelihara perubahan positif. - Langkah kelima, evaluasi.

1.d. Menyusun lembar observasi.

Untuk mengetahui hasil terapi berjalan sesuai dengan tujuan penelitian yaitu dapat mengurangi perilaku fobia subjek terhadap nasi, maka peneliti membuat lembar observasi yang berbentuk checklist untuk mengetahui gambaran perilaku fobia subjek sebelum dan sesudah terapi. Berikut adalah lembar observasi checklist yang digunakan dalam penelitian ini :

Tabel 3.1. Lembar Observasi Checklist

NO Perilaku Senin Selasa Rabu Kamis Jumat Sabtu Minggu Jlh 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 Menangis

2 Berteriak

3 Lari menghindar 4 Memukul 5 Berguling

dilantai 6 Badan dingin 7 Memeluk

orangtua 8 Menggenggam

orangtua 9 Menunjukkan

wajah seperti ingin muntah 10 Berdiri di

belakang pintu, lemari dan sudut ruangan

11 Berteriak memanggil ibu

(47)

1.e. Menyusun pedoman wawancara.

Agar pelaksanaan terapi yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan pada masing-masing langkah terapi, maka sebelum melaksanakan terapi, peneliti terlebih dahulu menyusun pedoman wawancara berdasarkan tujuan terapi. Adapun pedoman wawancara yang digunakan adalah sebagai berikut :

Langkah 1 : 1. Mengapa subjek tidak mau makan nasi?

Langkah 2 : 2. Apa yang subjek lakukan jika didepan subjek ada nasi? 3. Menurut subjek apa beda nasi dan ulat?

Langkah 3 : 4. Apa itu nasi?

5. Menurut subjek makan nasi baik atau tidak? Langkah 4 : 6. Apa saja manfaat dari nasi?

7. Menurut subjek bagaimana kalau orang tidak makan nasi? Langkah 5 : 8. Apakah subjek mau makan nasi?

1.f. Informed consent

(48)

2. Tahap pelaksanaanpenelitian 2.a. Melakukan observasi sebelum terapi

Sebelum terapi rasional emotif tingkah laku dilaksanakan, terlebih dahulu peneliti melakukan observasi partisipan, yang bertujuan untuk memperoleh gambaran bagaimana perilaku fobia yang ditunjukkan subjek penelitian. Observasi dilakukan dengan bantuan lembar observasi berbentuk checklist yang berisi perilaku-perilaku fobia. Observasi dilakukan dalam setting alamiah yaitu di rumah subjek pada jam-jam makan, pagi, siang dan malam hari.

2.b. Terapi

Pada penelitian ini, intervensi yang digunakan untuk menjawab masalah penelitian adalah terapi rasional emotif tingkah laku dengan menggabungkan teknik kognitif, teknik emotifdan teknik perilaku.

Terapi rasional emotif tingkah laku yang dilakukan dalam penelitian ini sesuai dengan rancangan terapi yang terdiri dari 5 langkah berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Palmer (2011) yaitu:

2.b.1. Langkah 1. Identifikasi Masalah Tujuan:

• Subjek memahami tentang rasa takutnya terhadap nasi.

• Subjek memahami mengapa hal tersebut dapat terjadi.

• Subjek mengetahui hubungan antara pikiran, perasaan dan tingkah laku.

(49)

Kegiatan:

• Memberikan informasi mengenai fungsi dan manfaat nasi.

• Menjelaskan hubungan antara pikiran, perasaan dan tingkah laku.

• Menjelaskan dampak positif dan negatif perilaku fobia terhadap nasi. Metode:

• Observasi

• Wawancara/Tanya jawab Teknik:

• Sosiodrama (peneliti berperan sebagai guru dan subjek berperan sebagai murid)

• Pengajaran

Perkiraan waktu : ± 1 jam

2.b.2. Langkah 2. Pemahaman Masalah Tujuan:

• Subjek menggunakan pengetahuan yang ia dapatkan pada sesi sebelumnya untuk memahami masalahnya sendiri.

• Menemukan pemikiran dan perasaan yang mendasari perilaku subjek fobia terhadap nasi. Sehingga subjek menyadari bahwa perilaku yang muncul adalah produk dari pemikiran dan perasaan subjek sendiri.

Kegiatan:

(50)

• Bermain peran, dimana subjek diminta menjadi seorang dokter yang meminta pasiennya untuk makan agar kembali sehat. Subjek diminta menjelaskan manfaat makanan dan akibat jika tidak makan.

Metode:

• Observasi

• Wawancara/Tanya jawab Teknik:

• Pengajaran

• Sosiodrama (subjek berperan sebagai dokter dan peneliti berperan sebagai pasien)

Perkiraan waktu : ± 1 jam

2.b.3. Langkah 3. Mengubah keyakinan irasional Tujuan:

• Subjek mampu mengidentifikasi pemikirannya yang bermasalah dan menantang pemikiran tersebut. Mengembangkan pemikiran yang lebih positif atau rasional.

Kegiatan:

• Mengubah (disputing) pemikiran irasional.

• Mengembangkan pemikiran yang rasional.

(51)

Positive reinforcement yang diberikan berupa benda kesenangan subjek, seperti makanan kesukaannya.

Metode:

• Observasi

• Wawancara/Tanya jawab Teknik:

• Sosiodrama (peneliti berperan sebagai penjual nasi dan subjek berperan sebagai pembeli)

• Pemberian positive reinforcement Perkiraan waktu : ± 1 jam

2.b.4. Langkah 4. Memelihara kepercayaan rasional Tujuan:

• Evaluasi keberhasilan disputing pada sesi sebelumnya. Mengontrol pemikiran subjek yang mulai berubah menjadi rasional.

• Mengevaluasi pemberian positive reinforcement. Kegiatan:

• Mendiskusikan hasil disputing pada sesi sebelumnya. Melakukan disputing pada pemikiran subjek yang masih irasional.

• Mengevaluasi pemikiran dan mengembangkan atau merevisi pemikiran tersebut.

(52)

diberikan pada subjek ketika subjek mampu menunjukkan perilaku yang diharapkan, seperti mau memegang atau memakan nasi.

Metode:

• Observasi

• Wawancara/Tanya jawab Teknik:

• Sosiodrama (peneliti berperan sebagai ibu dan subjek berperan sebagai anak)

• Pemberian positive reinforcement Perkiraan waktu : ± 1 jam

2.b.5. Langkah 5. Evaluasi Tujuan:

• Mengevaluasi pola pikir subjek serta mengevaluasi apakah perilaku fobia terhadap nasi berkurang.

• Mempersiapkan subjek penelitian pada berakhirnya intervensi, agar subjek tidak tergantung pada sesi terapi dan dapat mengatasi dengan bantuan diri sendiri jika masalah lama kembali berulang.

Kegiatan:

• Mendiskusikan pengetahuan subjek setelah mendapatkan terapi.

(53)

• Melihat perilaku subjek saat berhadapan dengan nasi setelah terapi untuk mengetahui adakah pengurangan perilaku fobia subjek.

Metode:

• Observasi

• Wawancara/Tanya jawab Teknik:

• Diskusi

• Sosiodrama (peneliti berperan sebagai ibu dan subjek berperan sebagai anak)

• Pemberian positive reinforcement Perkiraan waktu : ± 1 jam

2.c. Melakukan observasi setelah terapi

Peneliti melakukan observasi partisipan setelah proses terapi selesai dilakukan. Observasi dilakukan dengan bantuan lembar observasi berbentuk checklist yang sama seperti observasi sebelum terapi.

3. Tahap analisis data

Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 3.a. Menganalisa dan menginterpretasi data observasi.

(54)

3.b. Menganalisa dan menginterpretasi data wawancara/tanya jawab dan observasi ketika terapi.

(55)

Tabel 3.2. Prosedur Penelitian

Tahap Kegiatan Metode Alat Bantu Persiapan a. Mempelajari teori terapi

rasional emotif tingkah laku dan specific phobia.

b. Melakukan pemeriksaan psikologis.

c. Menyusun rancangan terapi d. Menyusun lembar observasi

berdasarkan perilaku fobia. e. Menyusun pedoman wawancara

berdasarkan tujuan terapi. f. Membuat informed consent.

Buku, jurnal dan internet

Pelaksanaan a. Melakukan observasi sebelum terapi.

b. Terapi.

b.1.Langkah pertama, Identifikasi masalah

b.2.Langkah kedua, Pemahaman masalah

b.3.Langkah ketiga, Mengubah kepercayaan irasional

b.4.Langkah keempat, Memelihara kepercayaan

rasional

b.5.Langkah kelima, Evaluasi c. Melakukan observasi seminggu

setelah terapi. jawab di dalam teknik

sosiodrama

- Observasi partisipan

- Lembar observasi checklist

- Pedoman

wawancara dan tape recorder

- Lembar observasi checklist

Analisis Data

a. Menganalisa dan

menginterpretasi data observasi. b. Menganalisa dan

menginterpretasi data

wawancara dan observasi ketika terapi.

- Lembar observasi checklist

(56)

BAB IV

HASIL DAN INTERPRETASI

Bab ini akan menguraikan keseluruhan hasil penelitian penerapan terapi rasional emotif tingkah laku dalam mengurangi perilaku fobia anak yang mengalami specific phobia terhadap nasi berdasarkan tahapan penelitian, sebagai berikut :

A.Tahap Persiapan

Pada tahap ini peneliti melakukan pemeriksaan psikologis sebagai proses screening guna memastikan gangguan yang dialami subjek berdasarkan DSM IV-TR. Pemeriksaan psikologis ini terdiri dari tes intelegensi dan juga tes kepribadian. Hasil dari pemeriksaan psikologis diperoleh bahwa kapasitas intelektual subjek di bawah rata-rata (dull normal) sehingga membuat subjek sedikit lamban dan kurang berkonsentrasi dalam belajar. Menurut ibunya, subjek di rumah memang tidak pernah belajar, ia hanya menghabiskan waktunya dengan bermain.

(57)

Subjek adalah anak terkecil dikeluarganya sehingga subjek lebih manja pada kedua orangtuanya dan bersikap kekanak-kanakan.

Subjek adalah seorang anak berusia 6 tahun dengan tubuh kurus bahkan terlalu kurus untuk anak seusianya yaitu dengan berat badan 14 kg dengan tinggi badan 100 cm. Subjek tidak mau makan nasi, ia hanya makan ayam goreng, mie dan roti sebagai pengganti nasi ditambah segelas susu setiap makan. Saat subjek berusia 8 bulan, ia mengalami sakit panas (demam), ketika ia disuapi nasi tim oleh ibunya, ia memuntahkan nasi tim tersebut. Sejak itu subjek hanya mengkonsumsi air susu ibu (ASI) sampai usianya 4 tahun. Ketika subjek berhenti mengkonsumsi ASI, ibunya sering mencoba agar subjek mau makan nasi, tetapi hingga sekarang subjek tidak mau makan nasi.

Subjek pernah disuruh makan nasi oleh ibunya, ketika berusia 4 tahun, subjek menjerit dan menangis serta meronta agar lepas dari pegangan ibunya. Berdasarkan hasil pemeriksaan psikologis di atas, dapat disimpulkan bahwa subjek memenuhi kriteria diagnostik dari specific phobia berdasarkan DSM IV-TR.

B.Tahap Pelaksanaan

1. Hasil observasi sebelum terapi

(58)

Tujuan observasi sebelum terapi dalam penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran yang pasti tentang berapa kali subjek menunjukkan perilaku fobianya terhadap nasi.

Tabel 4.1. Lembar Observasi Sebelum Terapi

NO Perilaku 21 Juni 22 Juni 23 Juni 24 Juni 25 Juni 26 Juni 27 Juni Jlh 8 Menggenggam

orangtua 9 Menunjukkan

wajah seperti

(59)

Gambar 4.1. Grafik Perilaku Fobia Sebelum Terapi

Keterangan: 1 = Berteriak

2 = Berteriak memanggil ibu 3 = Menangis

4 = Berdiri di sudut ruangan 5 = Lari menghindar

2. Hasil terapi 2.a. Langkah I

Setelah peneliti menyampaikan informasi mengenai apa itu nasi, fungsi dan manfaatnya; peneliti mempertanyakan mengapa subjek tidak suka nasi. Subjek lama tidak menjawab, ia hanya diam saja. Setelah dua kali peneliti bertanya, subjek berusaha mengalihkan pembicaraan. Peneliti kembali ke topik dan menanyakan kembali mengapa subjek tidak suka nasi, akhirnya subjek mau menjawab, menurutnya nasi mengerikan seperti ulat. Subjek mengatakan nasi

0 2 4 6

1 2 3 4

Frekuensi

8 10 12 14 16 18 20

5 22

(60)

seperti ulat karena bentuk dan warnanya yang hampir sama. Hal ini merupakan kepercayaan irasional yang dimiliki subjek.

“nasi ga enak...nasi tu...ulat.” (S.W1/b.101-102/hal.5)

“ya...kayak ulat. Kecil-kecil putih, ih...” (S.W1/b.104/hal.5)

Peneliti menanyakan perasaan subjek kalau ia melihat nasi, subjek hanya diam. Setelah pertanyaan diperjelas oleh peneliti, subjek mengatakan dengan pelan dan menunduk kalau ia merasa ‘ngeri’ melihat nasi, jijik. Ini merupakan kepercayaan irasional yang dipercaya subjek.

“...ngeri...jijik.” (S.W1/b.110/hal.5)

Kalau subjek dihadapkan dengan nasi, biasanya subjek berusaha menghindar dengan lari ketempat lain. Peneliti berusaha menjelaskan perbedaan nasi dan ulat yang dimaksud subjek, peneliti menyakinkan subjek kalau nasi dan ulat itu adalah dua hal yang berbeda, walaupun memiliki bentuk dan warna yang hampir sama.

b.2. Langkah II

Pada langkah ini subjek masih ingat perbedaan nasi dan ulat yang ia dapat dari sesi sebelumnya. Walaupun awalnya ketika ditanya subjek hanya diam saja, tapi akhirnya ia menjawab kalau ulat dapat bergerak sedangkan nasi tidak dapat bergerak. Hal ini diharapkan dapat mengubah kepercayaan irasional subjek.

“...kalau ulat bergerak, nasi ga...” (S.W2/b.14/hal.7)

(61)

mau makan, subjek kembali menjelaskan kalau tidak makan nanti bisa bertambah sakit.

“nanti sebelum makan obatnya harus makan ya!” (S.W2/b.53-54/hal.8)

“kamu...harus makan dulu, baru bisa makan obat biar cepat sembuh.” (S.W2/b.57-58/hal.8)

“kalau tidak minum obat nanti tambah sakit....jadi...harus makan trus minum obat.”(S.W2/b.60-61/hal.8)

Dengan mengetahui manfaat makan nasi ketika sakit diharapkan dapat mengubah kepercayaan irasional subjek. Saat peneliti bertanya mengapa subjek tidak mau makan nasi, subjek hanya diam saja; tetapi ketika peneliti bertanya kalau tidak makan nasi itu baik atau tidak, subjek menggelengkan kepalanya. Ketika peneliti bertanya lebih lanjut subjek menjawab dengan suara pelan kalau tidak makan nasi itu tidak baik.

“...ga baik (dengan suara pelan)” (S.W2/b.68/hal.8)

(62)

makan nasi itu tidak apa-apa, peneliti mencontohkan kakak dan sepupu subjek yang mau makan nasi, mereka tidak mengalami hal buruk.

b.3. Langkah III

(63)

“kalau....nasi tidak bisa bergerak...kalau...ulat...bergerak.” (S.W4/b.35-36/hal.12)

Peneliti menunjukkan sebutir nasi di atas meja yang berjarak kurang lebih satu setengah meter dari tempat subjek duduk, dan memintanya untuk memperhatikan nasi tersebut, apakah nasi tersebut bergerak atau tidak. Setelah beberapa saat melihat nasi tersebut subjek mengatakan kalau nasi itu tidak bergerak.

“...ga bergerak...” (S.W4/b.42/hal.12)

Pada langkah ketiga ini, subjek masih terlihat ragu-ragu untuk mengubah kepercayaan irasionalnya, maka peneliti memutuskan untuk menambah satu pertemuan lagi. Pertemuan selanjutnya, peneliti kembali menghidangkan nasi dihadapan subjek. Kali ini subjek tidak lari, tetapi duduk menyandar dan melihat piring-piring yang ada dihadapannya satu persatu. Setelah menunggu beberapa saat, peneliti meminta subjek untuk makan. Subjek terlihat ragu-ragu dan setelah beberapa lama, subjek hanya memegang ayam goreng dan memakannya sedikit. Peneliti bertanya pada subjek kenapa hanya memakan ayam goreng dan tidak makan dengan nasi. Subjek tidak menjawab pertanyaan peneliti, ia hanya diam saja, sehingga peneliti menjelaskan kembali dampak positif dan negatif dari makan nasi serta perbedaan nasi dan ulat. Setelah mengingatkan subjek, peneliti bertanya apakah Aan masih merasa nasi adalah ulat. Subjek hanya diam dan bilang ‘ngeri’ dengan suara lirih, hal ini merupakan kepercayaan irasional subjek.

“(diam sesaat) ngeri...(suara lirih)” (S.W5/b.20/hal.13)

(64)

Pada langkah ini, subjek masih mengingat bahwa nasi itu sangat bermanfaat untuk kesehatan tubuhnya dan nasi itu berbeda dengan ulat. Dengan mengingat materi ini diharapkan dapat mengubah kepercayaan irasional subjek.

“...e...nasi itu bagus buat badan kita, biar ga cepet sakit.” (S.W6/b.2-3/hal.14)

“Kalau nasi....ga bergerak, kalau...ulat bergerak.” (S.W6/b.5/hal.14)

Selanjutnya peneliti menanyakan hal apa yang membuat subjek tetap tidak mau memakan nasi, subjek hanya diam saja dan menunduk. Peneliti meyakinkan kembali kalau subjek sudah mengetahui perbedaan nasi dan ulat. Jadi seharusnya subjek memakan nasi agar subjek sehat dan berat badannya bertambah. Peneliti juga menjelaskan dampak negatif jika subjek tetap tidak mau makan nasi.

Pada langkah ini subjek kembali dihadapkan dengan nasi. Subjek ragu-ragu ketika harus memegang nasi, awalnya ia memegang lauk yang ada di meja, lalu menarik tangannya kembali. Setelah menunggu beberapa saat, tangan subjek sama sekali tidak bergerak. Peneliti mengingatkan kalau nasi tidak bergerak dan sudah bersih serta dimasak. Subjek hanya terlihat diam dan tidak bergerak sambil melihat kakak dan sepupunya yang sedang asyik makan.

(65)

“e...duduk ja...lihat...nasinya...” (S.W7/b.8/hal.15)

Peneliti menanyakan kembali manfaat makan nasi dan menanyakan subjek apakah ia akan makan nasi seperti peneliti, kakak, ibu atau ayahnya. Subjek diam lalu seperti mau menjawab tapi kemudian diam lagi. Peneliti berusaha menanyakan lebih lanjut dan setelah beberapa saat subjek menjawab dengan suara lirih kalau ia akan makan nasi. Peneliti berpura-pura tidak mendengar dan meminta subjek mengulang jawabannya dengan suara yang lebih keras.

“e...iya...nanti makan...makan nasi...(suara pelan)” (S.W7/b.21-22/hal.15)

“iya...nanti makan nasi.” (S.W7/b.24/hal.15)

Subjek mau berjanji untuk memakan nasi memperlihatkan adanya keinginan subjek untuk mengubah kepercayaan irasionalnya menjadi rasional. Peneliti berusaha menyakinkan subjek dan memintanya menemani peneliti untuk makan. Setelah mengajak lima kali, peneliti berhasil mengajak subjek ke meja makan. Ketika nasi diletakkan di meja, subjek langsung memalingkan wajahnya membelakangi meja. Peneliti berusaha mengajak subjek untuk melihat meja karena sebelumnya subjek juga sudah pernah berhasil melakukannya. Subjek melihat meja setelah beberapa saat dirayu oleh peneliti, tetapi hanya sebentar lalu subjek kembali memalingkan wajahnya.

(66)

saat subjek hanya memegang ayam goreng dan bilang kalau ia hanya makan ayam saja.

Peneliti berusaha menyakinkan subjek kalau memakan nasi tidak akan terjadi apa-apa sama seperti subjek makan ayam goreng. Peneliti juga menyakinkan kalau tidak akan terjadi apa-apa dengan mencontohkan kakak dan sepupunya yang sedang makan nasi. Peneliti meminta subjek memegang sebutir nasi tetapi subjek hanya diam dan tidak bergeming.

Cukup lama menunggu subjek memegang sebutir nasi yang ada ditangan peneliti, tetapi akhirnya walau dengan keraguan subjek memegang nasi tersebut. Subjek memegang nasi tersebut sebentar saja lalu meletakkannya kembali dengan wajah sedikit pucat. Peneliti menanyakan apakah nasinya bergerak saat subjek sentuh, subjek menjawab tidak. Perilaku subjek ini menunjukkan bahwa subjek mau mengubah kepercayaan irasionalnya menjadi rasional. Peneliti menjelaskan pada subjek kalau nasi dipegang sebentar ataupun lama sama saja, ia tidak akan bergerak.

“....ga (sambil menggeleng)” (S.W7/b.88/hal.17)

Untuk lebih memantapkan perubahan kepercayaan irasional subjek menjadi rasional, peneliti memutuskan menambah satu pertemuan lagi pada langkah keempat ini. Pada langkah ini peneliti berfokus pada mempertahankan perilaku subjek yang sudah mau memegang nasi pada sesi sebelumnya. Peneliti meminta subjek untuk makan nasi tetapi ia bilang kalau ia tidak lapar, peneliti berusaha meyakinkan kalau tidak akan terjadi apa-apa kalau subjek makan nasi.

(67)

Ketika peneliti melihat subjek seperti ragu-ragu memegang nasi, peneliti mengingatkan apa yang bisa subjek dapatkan kalau ia mau makan nasi. Subjek langsung minta agar ia boleh main game. Setelah mendapat persetujuan dari peneliti akhirnya subjek mau memegang nasi yang ada ditangan peneliti. Setelah subjek memegang nasi peneliti memintanya untuk memakan nasi tersebut. Subjek hanya diam saja dan memandang beberapa butir nasi yang ia pegang. Peneliti berusaha menyakinkan subjek dan mengingatkan kembali pentingnya nasi buat tubuh subjek. Cukup lama peneliti merayu dan meminta subjek untuk makan nasi yang ia pegang. Akhirnya subjek mengatakan kalau ia mau makan tetapi dia diperbolehkan main handphone ayahnya. Peneliti mengatakan kalau subjek boleh memainkan handphone ayahnya setelah ia memakan nasi yang ia pegang. Subjek masih terlihat ragu, tetapi setelah melihat peneliti, kakak dan sepupunya makan, subjek mulai memasukkan nasi yang ia pegang ke mulutnya. Subjek makan dengan wajah yang seperti menahan rasa tidak suka. Perilaku subjek yang mau melihat, memegang dan memakan nasi merupakan konsekuensi dari perubahan kepercayaan irasionalnya menjadi rasional.

Peneliti menanyakan pendapat subjek setelah nasi didalam mulutnya ditelan, apa yang ia rasakan. Subjek menjawab tidak enak, nasinya tidak enak.

“nasi...tidak enak, nasinya ga enak.”(S.W8/b.52/hal.19)

(68)

Dikarenakan tujuan dari langkah kelima ini ada dua yaitu evaluasi dan mempersiapkan subjek berakhirnya terapi, maka peneliti membagi langkah ini menjadi dua pertemuan.

Pada pertemuan pertama peneliti bertanya, apakah ia sudah memahami manfaat nasi dan apa perbedaan nasi dengan ulat dengan baik. Subjek mengatakan bahwa ia ingat manfaat nasi dan bedanya dengan ulat. Peneliti juga menanyakan apakah subjek masih merasa ‘ngeri’ saat melihat nasi. Subjek hanya diam menunduk dan setelah peneliti menanyakannya kembali, subjek menjawab kalau ia sudah tidak ‘ngeri’ lagi melihat nasi. Dengan mengetahui manfaat nasi, beda nasi dengan ulat dan tidak merasa ‘ngeri’ saat melihat nasi diharapkan kepercayaan irasional subjek berubah menjadi rasional. Peneliti juga menanyakan pada subjek apakah ia bersedia untuk terus makan nasi seperti kakak, ayah dan juga ibunya. Setelah peneliti bertanya untuk yang kedua kalinya barulah subjek menjawab kalau ia bersedia melakukannya.

“manfaat nasi...buat kita sehat,...cepat besar. Nasi ga bergerak, kalau ulat bergerak.”(S.W9/b.5-6/hal.20)

“ga...nasi ga ngeri.”(S.W9/b.10/hal.20)

“...ya....mau makan...nasi.”(S.W9/b.15/hal.20)

Gambar

Tabel 3.1. Lembar Observasi Checklist
Tabel 3.2. Prosedur Penelitian
Tabel 4.1. Lembar Observasi Sebelum Terapi
Gambar 4.1. Grafik Perilaku Fobia Sebelum Terapi
+4

Referensi

Dokumen terkait

Tugas akhir dengan judul “ pembuatan film animasi edukasi MENJAGA LINGKUNGAN KITA dengan Adobe Flash CS 3” dibuat dengan tujuan membuat film animasi yang mampu di terima

Dalam data yang diperoleh berdasarkan senarai kata benda ini, pengkaji hanya menemui satu sahaja fonem konsonan /d/ dalam subdialek Pasir Mas dan kedudukan fonem ini

Tujuan dari penelitian ini adalah (1) Untuk mengetahui tingkat religiusitas siswa SMK Muhammadiyah 2 Malang (2) Untuk mengetahui kesejahteraan psikologis (psychological

Siswa menghafal terlebih dahulu materi “Lembaga Pemerintahan Pusat” , supaya dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada pada sebuah kertas dalam amplop

Berdasarkan hasil yang dicapai pada siklus I dan siklus II dengan menggunakan metode talking stick untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran

Dengan mengetahui algoritma kriptografi yang akan diserang serta waktu yang dibutuhkan untuk menjalankan satu operasi (operasi penjumlahan, atau perkalian misalnya) maka

displacement method). Metode kekakuan memerlukan gaya pengekang {restraint action) akibat beban pada elemen struktur untuk menentukan beban titik kumpul ekfvalen.. Tegangan/gaya