Lampiran I
Sinopsis Harimau! Harimau!
Buyung dan keenam temannya adalah sekelompok pendamar yang sudah
terbiasa keluar masuk hutan rimba. Keenam temannya itu adalah Pak Haji, Wak
Katok, Sutan, Talib, Sanip,dan Pak Balam. Mereka bertujuh disenangi dan
dihormati orang-orang kampung karena mereka dikenal sebagai orang-orang sopan,
mau bergaul, mau bergotong royong, dan taat dalam agama. Dalam perjalanan kali
ini, semua hal juga berjalan seperti biasanya. Seperti biasa Wak Katok juga
membawa senapan yang terkadang dia percayakan kepada Buyung untuk merawat
dan mempergunakannya. Di tengah hutan mereka menginap di Pondok Wak Hitam
ini. Wak Hitam memiliki ilmu gaib dan senang tinggal berbulan-bulan di hutan atau
di ladangnya bersama Siti Rubiah, istri keempatnya yang cantik dan masih muda
belia. Mereka bertujuh tertarik akan keindahan tubuh Rubiah. Buyung anggota
rombongan yang paling muda dan satu-satunya yang masih bujangan, tergila-gila
akan kecantikan Rubiah. Dalam hatinya ia membandingkan kelebihan Rubiah dari
Zaitun, gadis pujaan hatinya di kampung.
Pada suatu hari Wak Katok berkesempatan mengintai Rubiah mandi di
sungai. Dalam perjalanan pulang ke pondok, dengan dalih memberi manik-manik,
ditariknya Rubiah masuk ke dalam belukar. Pada kesempatan lain, ketika hendak
pulang ke kampung, Buyung memeriksa perangkap kancil yang ia buat, ia pun
melihat Rubiah mandi di sungai dan kemudian menghampirinya. Rubiah pun
menceritakan penderitaan yang dialaminya selama menjadi istri Wak Hitam.
Buyung merasa jatuh hati dan merasa wajib melindungi dan menyelamatkan
Rubiah dari tangan Wak Hitam. Hati dan perasaan keduanya terpadu dan membeku.
Terjadilah perbuatan terlarang yang tidak dapat mereka kendalikan lagi.
Pada saat perjalanan pulang, Buyung, Wak Katok, dan Sutan berhasil
memburu seekor kijang betina. Ketika menguliti kijang tersebut, terdengar auman
seekor harimau. Harimau tersebut sebenarnya telah mengintai kijang itu lebih
dahulu dibanding mereka. Harimau ini menjadi marah karena mangsanya telah
mereka. Mereka sadar akan hal tersebut, mereka pun berusaha berhati-hati dan
mempercepat langkah mereka menuju desa. Namun karena kecerobohan, harimau
itu berhasil menerkam Pak Balam dan diseretnya ke hutan, namun dengan kerja
sama, mereka dapat menyelamatkan Pak Balam. Dalam kondisi yang sangat lemah
Pak Balam menceritakan mimpi buruknya yang berkaitan dengan perbuatan
dosanya. Ia juga menceritakan perbuatan dosa yang telah dilakukan Wak Katok.
Pak Balam menyuruh mereka semua untuk saling mengakui dosa masing-masing.
Ia berpendapat bahwa hanya dengan cara saling mengakui dosa masing-masing
mereka akan dapat keluar dari masalah yeng mereka hadapi. Namun anggota
kelompok yang lain tidak setuju dengan saran Pak Balam.
Ketika mereka meneruskan perjalanan pulang, harimau menerkam Talib.
Atas usaha teman-temannya, Talib yang telah luka parah dapat direbut dari
cengkraman harimau. Sebelum ia meninggal, Talib masih sempat mengaku bahwa
ia pernah melakukan dosa bersama Sanip. Karena kejadian itu, Pak Balam semakin
mendesak teman-temannya agar mengakui perbuatan dosa yang pernah mereka
lakukan. Sanip pun mulai mengakui dosa-dosanya. Di antara dosa tersebut, ada juga
perbuatan dosa yang ia lakukan bersama Sutan. Sutan marah dan jengkel kepada
Sanip.Di hari berikutnya, ketika Wak Katok, Buyung, dan Sanip pergi untuk
memburu harimau,Sutan dan Pak Haji mendapat tugas untuk menjaga Pak Balam.
Namun Sutan tidak sanggup lagi terus berada bersama dengan Pak Balam, yang
terus memaksa mereka untuk mengakui dosa. Sutan pun memutuskan untuk
menyusul rombongan Wak Katok. Tapi di tengah perjalanannya, Sutan pun mati
diterkam harimau yang kelaparan
Setelah semua kejadian ini, Wak Katok yang mereka anggap sebagai
pemimpin yang berani ternyata berubah menjadi seorang pengecut, ia berencana
menyelamatkan dirinya sendiri dan berniat mencelakakan Buyung, Sanip dan Pak
Haji. Namun mereka balik melawan, tapi pada saat perlawanan ini Pak Haji
ditembak mati oleh Wak Katok, dan dengan kerja sama Buyung dan Sanip berhasil
mengalahkan Wak Katok. Wak Katok diikat dan dijadikan umpan untuk
hendak memangsa Wak Katok, Buyung melepaskan bidikan tepat mengenai sasaran
dan harimau pun mati. Kini mengertilah Buyung maksud kata-kata Pak Haji bahwa
untuk keselamatan kita hendaklah dibunuh dahulu harimau yang ada di dalam diri
kita. Untuk membina kemanusiaan perlu kecintaan sesama manusia. Seorang diri
tidak dapat hidup sebagai manusia. Buyung menyadari bahwa ia harus mencintai
sesama manusia dan ia akan sungguh-sungguh mencintai Zaitun. Buyung merasa
lega bahwa ia terbebas dari hal-hal yang bersifat takhyul, mantera-mantera, jimat
yang penuh kepalsuan dari Wak Katok.
Lampiran II
Daftar Riwayat Hidup Mochtar Lubis
Mochtar Lubis lahir pada tanggal 7 Maret 1922 di Padang, Sumatera Barat, dan meninggal pada tanggal 2 Juli 2004 di Jakarta, pada umur 82 tahun. Mochtar Lubis adalah seorang jurnalis dan pengarang ternama asal Indonesia. Sejak zaman pendudukan Jepang, ia telah bekerja dalam lapangan penerangan. Ia turut mendirikan Kantor Berita ANTARA, kemudian mendirikan dan memimpin harian Indonesia Raya yang telah dilarang terbit. Ia mendirikan majalah sastra Horizon bersama-sama kawan-kawannya. Pada waktu pemerintahan rezim Soekarno, ia dijebloskan ke dalam penjara hampir sembilan tahun lamanya dan baru dibebaskan pada tahun 1966. Pemikirannya selama di penjara, ia tuangkan dalam buku Catatan Subversif (1980).
Mochtar Lubis pernah menjadi Presiden Press Foundation of Asia, anggota Dewan Pimpinan International Association for Cultural Freedom (organisasi CIA), dan anggota World Futures Studies Federation.Novelnya, Jalan Tak Ada Ujung (1952 diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh A.H. John menjadi A Road With No End, London, 1968), mendapat Hadiah Sastra BMKN1952; cerpennya Musim Gugur menggondol hadiah majalah Kisah tahun 1953; kumpulan cerpennya Perempuan (1956) mendapatkan Hadiah Sastra Nasional BMKN 1955-1956; novelnya, Harimau! Harimau! (1975), meraih hadiah Yayasan Buku Utama Departeman P & K; dan novelnya Maut dan Cinta (1977) meraih Hadiah Sastra Yayasan Jaya Raya tahun 1979. Selain itu, Mochtar juga menerima Anugerah Sastra Chairil Anwar (1992).
Claire Holt dengan judul Twilight in Jakarta, 1963),Judar Bersaudara (cerita anak, 1971), Penyamun dalam Rimba (cerita anak, 1972), Harimau! Harimau! (novel, 1975), Manusia Indonesia (1977),Berkelana dalam Rimba (cerita anak, 1980), Kuli Kontrak (kumpulan cerpen, 1982), Bromocorah (kumpulan cerpen, 1983).
Karya jurnalistiknya antara lain adalah:Perlawatan ke Amerika Serikat (1951), Perkenalan di Asia Tenggara (1951), Catatan Korea (1951), Indonesia di Mata Dunia (1955). Mochtar Lubis juga menjadi editor dari beberapa karya, yaitu:Pelangi: 70 Tahun Sutan Takdir Alisyahbana (1979),Bunga Rampai Korupsi (bersama James C. Scott, 1984), Hati Nurani Melawan Kezaliman: Surat-Surat Bung Hatta kepada Presiden Soekarno (1986). Selain itu, Mochtar Lubis juga menjadi penerjemah dari beberapa karya penulis asing, yaitu: Tiga Cerita dari Negeri Dollar (kumpulan cerpen, John Steinbeck, Upton Sinclair, dan John Russel, 1950), Orang Kaya (novel F. Scott Fitgerald, 1950), Yakin (karya Irwin Shaw, 1950), Kisah-kisah dari Eropa (kumpulan cerpen, 1952), Cerita dari Tiongkok (terjemahan bersama Beb Vuyk dan S. Mundingsari, 1953.
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan dkk. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Biyantari, Linda A. 2009. “AspekMoral dalam Novel Harimau! Harimau! Karya Mochtar Lubis : Tinjauan Semiotik” (Skripsi). Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Muhammadiyah Surakarta.(http://eprints.ums.ac.id/4443/1/A310050057.pdf). Diakses pada tanggal 26 April 2015.
Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Endraswara, Suwardi.2003. Metode Penelitian Sastra Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Medpress.
Faruk.1994. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ginting, Sempidi. 1984.“Manusia dan Eksistensinya dalam Maut dan Cinta dan Harimau-Harimau karya Mochtar Lubis”(Skripsi). Medan. Universitas Sumatera Utara.
Handayani, Anis. 2009. “Novel Pudarnya Pesona Cleopatra Karya Habiburrahman El Shirazy (Tinjauan Sosiologi Sastra)”(Skripsi). Surakarta. Fakultas Keguruan dan Pendidikan USM.(http://diglib.usm.ac.id/4247/1/1362708201002038.pdf. Diakses pada tanggal 25 April 2015.
Joyomartono, Mulyono dkk. 1990. Jiwa, Semangat, dan Nilai-Nilai Perjuangan Bangsa Indonesia. Semarang: IKIP Semarang Press.
Lubis, Mochtar. 1992. Harimau! Harimau!. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Masruroh, Wahdiyatul. 2013. “Tinjauan Sosiologis Pengarang Novela
“Adinda Kulihat Beribu-ribu Cahaya di Matamu” KaryaAyu Sutarto”(Skripsi). Jember: FakutasKeguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jember.(http://eprints.uj.ac.id/3345/1/A200302927.pdf). Diakses pada 27 April 2015.
Muslimin. 2011. “Modernisasi dalam Novel Belenggu Karya Armijn Pane
(http://repository.ung.ac.id/get/kms/3147/MODERNISASI_DALAM_N OVEL_BELENGGU_KARYA_ARMIJN_PANE_Sebuah_Kajian_Sosi ologi_Sastra.pdf). Diakses pada 27 April 2015.
Narwoko, J. Dwi dan Bagong Suyanto. 2004. Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Nurgiyanto, Burhan. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pradopo, Rachmat Joko dkk. 2001. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: PT. Hanindita Graha Widia.
Ratna, Nyoman Khuta.2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Semi, Atar. 1998. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.
Silalahi, Ervina. 2014. “Bentuk-Bentuk Diskriminasi dalam Kumpulan Puisi Esai Atas Nama Cinta karya Denny JA: Tinjauan Sosiologi Sastra (Skripsi). Medan: Fakultas Ilmu Budaya USU.
Soekanto, Soerjono.1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Susan, Novri.2010. Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-isu Konflik Kontemporer. Jakarta: PT Fajar Interpratama Offset.
Suyanto, Bagong dkk. 2011. Metode Penelitian Sosial: Berbagai Aternatif Pendekatan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Suatu penelitian ilmiah selalu dimulai dengan suatu hal yang ingin diketahui,
inilah yang disebut dengan masalah penelitian. Di dalam penelitian ilmiah ini, hal
yang paling diperlukan adalah data-data yang akurat dan terpercaya, untuk
membantu pembahasan dan pengambilan kesimpulan akhir dalam penelitian ilmiah
tersebut. Karena tanpa data yang terpercaya tersebut, maka kebenaran dari hasil
penelitian ilmiah itu akan menjadi diragukan kebenarannya. Oleh karena itu, yang
paling utama untuk dilakukan adalah melakukan penelitian secara langsung
terhadap objek yang telah ditentukan dengan menggunakan pendekatan atau
metode penelitian yang tepat agar dapat mengatasi dan menjawab permasalahan
yang telah ditentukan. Dalam penelitian ilmiah kali ini, metode penelitian yang
akan digunakan adalah metode penelitian kualitatif deskriptif, yaitu metode yang
membicarakan beberapa kamungkinan untuk memecahkan suatu masalah yang
aktual dengan cara mengunakan tahap mengumpulkan data, menyusun dan
mengklasifikasikan data yang telah terkumpul, menganalisis data, dan yang terakhir
menginterpretasikan semua data yang telah dianalisis.
Sumber data dari penelitian ini adalah:
Judul : Harimau! Harimau!
Pengarang : Mochtar Lubis
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia
Ukuran : 11x 17 cm
Cetakan : Terbitan Ulang Edisi Pertama
Tahun : 1992
Warna Sampul : Perpaduan warna hitam, putih, dan orange.
Gambar Sampul : Terdapat gambaran seorang manusia yang gelap
dengan memegang sebuah senapan, dan
dibelakangnya ada kepala harimau yang sedang
membuka mulutnya.
Desain Sampul : Ipong Purnama Sidhi
3.2 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang diterapkan dalam penelitian ini adalah
penelitian kepustakaan atau Library Research.Teknik penelitian kepustakaan adalah
suatu teknik penelitian yang semua sumber dan alat untuk untuk menganalisis
datanya bersumber dari buku-buku yang ada dalam koleksi perpustakaan. Hal ini
sesuai dengan pendapat Semi (1998:8), “Pada penelitian ini akan diperoleh data
dan informasi tentang objek penelitian melalui buku-buku”.
Pengumpulan data dengan cara penelitian kepustakaan terbagi atas dua, yaitu
heuristik dan hermeneutik. Heuristik merupakan langkah untuk menemukan makna
melalui pengkajian struktur bahasa dengan menginterpretasikan teks sastra secara
refrensial lewat tanda-tanda bahasa. Dan hasil dari pembacaan heuristik adalah
sinopsis cerita, pengucapan teknik cerita, dan juga gaya bahasa yang dipergunakan
Hermeneutik yaitu pembacaan bolak-balik atau pembacaan ulang untuk
mendapatkan konvensi cerita atau makna ceritanya. Pembacaan dapat dilakukan
dari awal hingga akhir cerita. Proses pembacaan ini adalah interpretasi tahap kedua
yang mempergunakan banyak kode di luar bahasa dan kemudian menggabungkan
keseluruhannya hingga pembaca dapat menganalisis secara struktural untuk
mengungkapkan makna utamanya.
Pengumpulan data melalui bahan pustaka menjadi bagian yang sangat penting
dalam suatu penelitian ketika peneliti memutuskan untuk menggunakan kajian
pustaka untuk menjawab rumusan masalahnya. Dan pendekatan studi pustaka
sangat umum dilakukan dalam penelitian kerena sangat mempermudah cara kerja
peneliti. Peneliti cukup mengumpulkan dan menganalisis yang tersedia dalam
pustaka, tidak perlu lagi untuk mencari data dengan cara turun langsung
kelapangan.
Teknik pengumpulan data yang juga akan dipakai dalam penelitian ini adalah
teknik simak dan catat, yaitu suatu teknik penelitian yang malakukan pembacaan
objek kajian penelitian terlebih dahulu, kemudian menyimak isi dan selanjutnya
melakukan pencatatan data-data yang sudah didapatkan sebagai bahan yang akan
diolah dalam penelitian. Oleh karena itu, pengumpulan data dalam penelitian ini
dimulai dengan cara membaca novel Harimau Harimau, yang berkedudukan
sebagai sumber data primer atau utama. Lalu selanjutnya menandai data-data yang
sesuai dengan permasalahan. Selanjutnya adalah mencatat data-data tersebut dan
3.3 Teknik Analisis Data
Analisis yang digunakan dalam menganalisis karya sastra adalah analisis
deskriptif. Menurut Nasir (dalam Tantawi 2014:66) metode deskriptif adalah
mendeskripsikan tentang situasi atau kejadian, gambaran, lukisan, secara sistematis,
faktual, akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena
dengan fenomena pada objek yang diteliti. Analisis data dikerjakan secara
menyeluruh. Analisis dilakukan dengan langkah-langkah berikut: (a) Peneliti
membaca data yang telah dikumpulkan untuk memahaminya secara keseluruhan,
(b) Peneliti akan mengindentifikasikan dan mengklasifikasikan seluruh data
berdasarkan butir-butir masalah yang telah dirumuskan, dan (c) Peneliti kembali
menafsirkan seluruh data untuk menemukan kepaduan dan hubungan antar data,
hingga akhirnya diperoleh pengetahuan tentang makna karya sastra. Data yang
telah didapatkan kemudiaan dipisahkan berdasarkan masalah-masalah yang telah
dirumuskan. Hasil yang diperoleh adalah berupa uraian penjelasan penelitian yang
BAB IV
NILAI-NILAI PERJUANGAN KELOMPOK PENDAMAR DAN MANFAATNYA
4.1 Nilai-Nilai Perjuangan dalam Novel Harimau Harimau
Nilai-nilai perjuangan biasanya akan ditunjukkan oleh seseorang ketika dia
mendapat suatu masalah di dalam kehidupannya. Orang tersebut akan melakukan
perjuangan dengan tujuan agar dapat lepas dari masalah itu dan dengan harapan
bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik lagi. Nilai-nilai perjuangan akan
mendorong lahirnya suatu sikap mental yang baru, dan yang selanjutnya
membimbing orang tersebut untuk melakukan suatu tindakan baru yang lebih baik
dalam upaya menghadapi dan menyelesaikan masalah kehidupan yang sedang
dihadapinya.
Nilai-nilai perjuangan merupakan suatu nilai yang sudah melekat pada
masyarakat kita sejak dulu. Dari masa penjajahan, bangsa kita telah melakukan
perjuangan agar dapat bertahan hidup dan yang paling utama adalah agar dapat
mengusir penjajah dari negara kita ini, dan sampai sekarang ini, meskipun bangsa
kita telah merdeka, namun masalah kehidupan masih banyak sekali menghampiri
kehidupan kita sehari-hari. Karena memang selama kita masih hidup, maka masalah
hidup juga akan selalu menghampiri kita, dan itu berarti bahwa perjuangan akan
terus berlanjut dan nilai-nilai yang terdapat dalam perjuangan tersebut akan selalu
mengiringi langkah kehidupan kita. Secara sadar atau tidak sadar nilai ini akan
timbul atau lahir begitu saja ketika kita menghadapi suatu persoalan. Begitu juga
dengan para tokoh kelompok pendamar di dalam novel Harimau Harimau.
Balam, Sutan, Sanip, Talib. Jadi, nilai-nilai perjuangan yang akan diteliti adalah
nilai-nilai perjuangan yang ditunjukkan oleh kelompok pendamar dalam novel
Harimau Harimau karya Mochtar Lubis. Kelompok pendamar ini mendapatkan
suatu masalah yang sangat besar yang mengharuskan mereka untuk melakukan
suatu perjuangan.
Besarnya masalah kehidupan yang dialami oleh kelompok pendamar
membuat mereka harus melakukan perjuangan yang besar pula. Kelompok
pendamar menunjukkan nilai-nilai perjuangan dalam perbuatan dan usaha mereka
untuk melewati masalah kehidupan yang menghampiri mereka. Nilai-nilai
perjuangan yang terdapat dalam novel Harimau Harimau adalah :
4.1.1 Nilai Rela Berkorban
Dalam menjalani hidup ini, kita tidak akan selalu mendapatkan setiap hal
yang kita inginkan, pasti suatu saat akan ada masalah yang akan menghampiri kita
walaupun kita tidak pernah mengundangnya untuk hadir dalam kehidupan kita.
Memang seperti itulah yang dinamakan hidup, akan selalu penuh dengan tantangan
dan suatu hal yang baru. Suatu hal baru yang paling tidak pernah kita harapkan
untuk hadir dalam perjalanan hidup kita, bisa saja muncul tanpa pernah kita duga
dan tak pernah kita pikirkan atau perkirakan sama sekali.
Beragamnya masalah yang muncul dalam kehidupan ini sering kali menuntut
kita untuk berkorban untuk orang di sekitar kita. Ketika orang di sekitar kita
mendapat masalah, tidak jarang kita menjadi ikut terseret ke dalam pusaran masalah
tersebut, dan untuk membantu atau menyelamatkan orang tersebut kita harus
melakukan pengorbanan yang terkadang membahayakan hidup kita sendiri. Begitu
satu dari anggota kelompok mereka ada yang terkena masalah atau terancam
bahaya, maka anggota kelompok yang lain akan mencoba membantu, meskipun itu
mungkin akan mengorbankan kenyamanan atau bahkan keselamatan diri mereka
sendiri. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut.
”Berjalan mengusung Pak Balam tidak dapat mereka lakukan dengan cepat. Apalagi jalan yang mereka tempuh masih licin, dan mereka harus mendaki sejak meninggalkan sungai. Berapa kali yang lain terpaksa harus menbantu Talib dan Sutan, karena mereka berdua tak sanggup mengangkat usungan sambil mendaki tebing.” (Lubis,1992:117)
Kutipan di atas menerangkan bahwa anggota kelompok yang lain dengan bersusah
payah membawa dan menyelamatkan Pak Balam yang telah sekarat karena terkena
terkaman harimau. Anggota kelompok yang lain rela berkorban untuk melewati
jalanan yang sulit dan berbahaya bagi keselamatan diri mereka sendiri sambil
mengusung Pak Balam yang dalam kondisi penuh dengan luka cakaran dan gigitan
harimau.
Anggota kelompok pendamar bahkan menunjukkan nilai rela berkorban yang
lebih besar lagi ketika Talib terkena serangan harimau. Ketika Talib diseret oleh
harimau ke dalam hutan, anggota kelompok pendamar yang lainnya nekat
menyerbu masuk ke dalam hutan, mengejar harimau yang telah menyeret Talib.
Mereka dengan spontan melakukan tindakan tersebut karena mereka ingin
menyelamatkan Talib, padahal tindakan mereka tersebut dapat membahayakan diri
mereka sendiri, karena bisa saja harimau tersebut tiba-tiba menyerang balik salah
satu dari mereka yang datang mengejar. Tapi hal tersebut tak mereka pikirkan,
mereka dengan sepenuh hati rela menolong Talib. Hal itu tergambar jelas dalam
”Mereka melupakan bahaya terhadap terhadap diri mereka kini, penuh dengan semangat dan naluri yang terdapat dalam diri setiap manusia. Ingat pada nasib kawan mereka yang berada di dalam kekuasaan harimau, dan dengan parang terhunus mereka menyerbu ke dalam pohon-pohon yang tumbuh rapat.” (Lubis, 1992:121-122)
Nilai rela berkorban juga ditunjukkan oleh anggota kelompok pendamar
ketika salah satu anggota mereka (Pak Haji), hampir saja diserang oleh seekor ular
berbisa. Salah satu dari anggota kelompok pendamar tersebut (Buyung), secara
spontan segera melakukan tindakan yang sangat berbahaya bagi dirinya sendiri
untuk menyelamatkan Pak Haji yang akan diserang oleh ular berbisa tersebut.
Karena, jika saja tindakan pertolongannya tersebut gagal atau meleset, maka dia
yang akan terkena serangan ular tersebut. Hal itu tergambar dengan jelas dalam
kutipan berikut ini.
”Pertolongan diberikannya dengan cepat sekali, tanpa
mem-perhitungkan bahaya terhadap dirinya sendiri. Karena jika tebasan parang Buyung tidak tepat, maka dialah yang akan diserang ular berbisa.” (Lubis, 1992: 180)
Nilai rela berkorban memang terlihat jelas ditunjukkan oleh para anggota
kolompok pendamar. Ketika ada anggota kelompok mereka mendapat masalah atau
bahaya maka anggota yang lain akan segera melakukan tindakan pertolongan
semampu mereka. Mereka tidak terlalu peduli walaupun mungkin saja tindakan
pertolongan yang akan mereka lakukan bisa saja akan menyusahkan atau
membahayakan keselamatan diri mereka sendiri, mereka tetap rela melakukannya.
4.1.2 Nilai Persatuan
Nilai persatuan merupakan suatu nilai yang sangat perlu untuk dimiliki oleh
yang diakibatkan oleh perbedaan yang dimiliki anggota-anggota kelompok tersebut.
Oleh karena itu, nilai persatuan ini sangat penting untuk kita miliki, karena dapat
mempertahankan dan menjaga keutuhan kelompok agar tidak tercerai-berai.
Nilai persatuan juga dapat menuntun kita agar melewati setiap masalah
dengan cara bersama-sama. Jika kita melewati atau menghadapi suatu masalah
dengan cara bersama-sama, maka masalah tersebut akan menjadi terasa lebih ringan
dan akan menjadi lebih gampang untuk diselesaikan. Karena kita akan mempunyai
orang lain yang akan membantu kita untuk menghadapi masalah tersebut, dengan
kata lain kita akan mempunyai teman berbagi.
Kelompok pendamar dalam kelompok ini juga memperlihatkan nilai
persatuan dalam keseharian mereka saat melakukan pekerjaan mencari damar. Hal
tersebut dapat kita lihat dalam kutipan berikut ini.
”Mereka bertujuh selalu bersama-sama pergi mengumpulkan
damar,,,,” (Lubis, 1992: 5)
Dari kutipan di atas, kita dapat melihat bahwa ketujuh anggota kelompok pendamar
ini selalu pergi mencari damar bersama-sama. Karena jika suatu pekerjaan
dilakukan dan dijalani dengan bersama-sama, maka pekerjan itu akan menjadi
terasa lebih ringan, karena akan ada orang yang menemani dan siap membantu jika
kita menemui suatu rintangan dalam mengerjakan pekerjaan tersebut. Dengan
adanya orang lain bersama kita, maka kita akan menjadi lebih aman dan tenang
dalam mengerjakan pekerjaan tersebut.
Ketujuh anggota kelompok pendamar ini tidak hanya menunjukkan nilai
persatuan dalam melakukan pekerjaan mereka sehari-hari. Namun mereka juga
melakukan sembahyang. Mereka bertujuh selalu melakukan sembahyang dengan
bersama-sama pada saat menjalani hari-hari di tengah hutan. Hai itu dapat kita lihat
dalam dua kutipan berikut ini.
”….karena mereka terus sembahyang magrib bersama-sama…”
(Lubis, 1992: 77)
”Mereka sembahyang magrib bersama-sama dekat api
unggun.” (Lubis, 1992: 87)
Pada saat harimau buas mulai menyerang kelompok mereka, anggota
kelompok pendamar ini juga menunjukkan nilai persatuan dalam menghadapi
ancaman tersebut. Ketika Pak Balam diserang harimau di pinggir sungai dan ditarik
ke dalam hutan, para anggota kelompok pendamar yang lain segera mengambil
perlengkapan masing-masing dan bersatu menyerbu harimau untuk menyelamatkan
Pak Balam. Hal itu ditunjukkan dalam kutipan berikut ini.
”Reaksi kawan-kawannya di sekeliling api unggun cukup cepat. Wak Katok segera mengambil senapan, yang muda-muda melompat menghunus parang panjang, dan segera berlari ke api mengambil sepotong kayu yang menyala, dan mereka
berlari ketempat Pak Balam.” (Lubis, 1992: 91)
Sebagai sekelompok orang yang telah bekerja bersama-sama mencari nafkah
di tengah hutan rimba yang penuh dengan bahaya yang dapat mengancam
keselamatan mereka kapan saja, para anggota kelompok pendamar ini memang
telah menunjukkan nilai persatuan dalam menjalani kehidupan mereka sehari-hari.
4.1.3 Nilai Harga-menghargai
Sikap menghargai sesama sangat penting untuk kita miliki di tengah-tengah
orang-orang yang ada di sekitar kita. Begitu juga dengan para anggota kelompok
pendamar ini. Di tengah-tengah perbedaan kemampuan dan perbedaan karakter
yang mereka miliki, mereka mampu saling menghargai.
Pernah suatu ketika Buyung tidak berhasil menembak rusa, dan mereka pun
tidak mendapatkan suatu hasil apa pun dalam perburuan yang telah mereka lakukan
seharian. Namun anggota kelompok yang lain tidak marah kepada Buyung karena
tembakannya telah meleset, namun mereka menghargai Buyung dan bahkan balik
menyemangati Buyung agar tidak merasa bersalah karena kegagalannya menembak
rusa. Hal itu dapat kita lihat dalam kutipan berikut ini
”Akan tetapi tembakannya tak kena. Rusa lari, dan meskipun mereka buru sepanjang hari, tak lagi dapat mereka temukan. Buyung menyesali dirinya tak putus-putusnya, akan tetapi Sanip enak saja berkata: ”Apa yang engkau susahkan Buyung, rusa itu akan beranak lagi, dan artinya akan lebih banyak rusa yang dapat engkau tembak di hutan.”” (Lubis, 1992: 18)
Para anggota kelompok pendamar mampu menghormati dan menghargai hak
orang lain, dan yang paling jelas terlihat dalam novel ini adalah para anggota
kelompok pendamar yang lebih muda sangat menghormati dan menghargai anggota
kelompok yang lebih tua dari mereka. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut
ini.
”Buyung pun merasa hormat pada Pak Haji yang tua.” (Lubis, 1992: 20)
Dari kutipan di atas, dapat kita lihat bahwa anggota kelompok yang paling muda
yang bernama Buyung, menghormati Pak Haji yang lebih tua dari dirinya. Dia tetap
unggul disbanding dengan Pak Haji. Misalnya dalam hal berburu, Buyung adalah
seorang pendamar yang rajin dan sekaligus seorang pemuda yang sangat terlatih
dan hebat dalam hal berburu di hutan, sedangkan Pak Haji hanya seorang pendamar
biasa yang tidak memiliki kehebatan dalam hal berburu di hutan, namun Buyung
tetap menghormati Pak Haji.
Dalam hal mengambil keputusan, para anggota kelompok ini juga saling
menghargai, walaupun terkadang keputusan yang diambil tidak sesuai dengan
keinginan semua anggota kelompok. Dalam mengambil keputusan terhadap suatu
masalah yang muncul, mereka akan saling berunding dan akan saling bertanya
pendapat. Hal itu dapat kita lihat pada kutipan berikut ini.
”Baru setelah Pak Haji mengulang pertanyaannya untuk kedua kalinya, Wak Katok mendengar suara Pak Haji, ”Bagaimana Wak Katok, bagaimana pikiran Wak Katok tentang kata Pak Balam? Menurut pikiran saya, belumlah tentu benar bahwa harimau yang menyerang..”” (Lubis, 1992: 106)
”Pak Haji mengatakan bahwa putusan terserah pada Wak Katok, karena Wak Katok yang membawa senapan dan Wak Katoklah yang ahli berburu.” (Lubis, 1992: 165)
Dari kutipan pertama di atas, dapat kita lihat jelas bahwa Pak Haji menanyakan
pendapat Wak Katok tentang kebenaran harimau apa yang telah menyerang mereka.
Pak Haji yang telah dianggap banyak mendapat pengalaman hidup karena telah
keliling dunia dan telah bertemu berbagai macam orang, ternyata tetap bertanya
kepada Wak Katok tentang kebenaran harimau apa yang telah menyerang mereka.
Dia tetap menghargai Wak Katok yang selama ini telah dianggap penduduk desa
sebagai dukun yang hebat dan sangat diseganai, padahal pada saat itu kebohongan
mengetahui dosa-dosa dan keburukan Wak Katok, namun Pak Haji masih tetap
menghargainya. Pada kutipan kedua di atas, dapat juga kita lihat bahwa Pak Haji
menyerahkan semua keputusan yang akan diambil kepada Wak Katok. Dia
menyerahkan keputusan kepada Wak Katok, karena dia menghargai bahwa Wak
Katok adalah seorang yang sangat berpengalaman dalam hal berburu. Jadi Pak Haji
menyerahkan pilihan kepada Wak Katok, apakah mereka akan memburu balik
harimau yang telah memburu mereka atau mereka akan melanjutkan perjalan
pulang saja dan meninggalkan harimau itu.
Begitu juga sebaliknya, Wak Katok juga sangat menghormati Pak Haji yang
telah terkenal mempunyai banyak pengalaman, begitu juga dengan anggota
kelompok pendamar yang lainnya, mereka juga sangat menghargai Pak Haji. Hal itu
dapat kita lihat dalam kutipan berikut ini.
”Membawa damar sambil mengusung Pak Balam rasanya tak
mungkin. ”Bagaimana yang baik Pak Haji, akan kita tinggalkan
keranjang……?”” (Lubis, 1992: 112)
”Pikiran Pak Haji mereka terima” (Lubis, 1992: 112)
Nilai harga-menghargai sesama juga tetap diperlihatkan oleh anggota
kelompok pendamar walaupun ada salah satu dari anggota mereka telah melakukan
kejahatan terhadap anggota kelompok yang lainnya. Pak Haji tetap menyuruh
Buyung dan Sanip untuk tetap menghargai dan menghormati Wak Katok. Padahal
saat ituWak Katok telah melakukan kejahatan kepada mereka, Wak Katok telah
mengusir Pak Haji, Buyung, Sanip dari pondok tempat mereka bermalam ke dalam
hutan yang gelap dan dihuni oleh harimau buas yang telah memburu mereka.
keselamatan nyawa mereka bertiga, dan bahkan pada akhirnya Wak Katoklah yang
menembak Pak Haji, dan peluru dari senapan Wak Katok itulah yang membuat Pak
Haji meninggal. Namun sebelum Pak Haji meninggal, dia berpesan kepada
teman-temannya agar menghargai orang lain, dan jangan pernah memaksakan suatu
kehendak kepada orang lain. Pak Haji juga menekankan dengan jelas dalam
pesannya agar mereka mau menghargai dan memaafkan kesalahanWak Katok,
padahal Wak Katok telah menembaknya. Hal itu dapat kita lihat dalam kutipan
berikut ini.
”… jangan paksakan Tuhanmu pada orang lain, seperti juga
jangan paksakan kemanusiaanmu pada orang lain. Manusia perlu manusia lain…manusia harus belajar hidup dengan kesalahan dan kekurangan manusia lain. Wak Katok jangan dibenci. Maafkan dia....….ingatlah hidup orang lain adalah hidup kalian juga…” (Lubis, 1992: 199)
Setelah mendengarkan pesan Pak Haji, Buyung dan Sanip menjadi tersadar
bahwa mereka harus tetap menghargai Wak Katok, walaupun telah melakukan
kejahatan kepada mereka. Nilai harga-menghargai kembali mereka tunjukkan
ketika mereka memindahkan Wak Katok yang sedang pingsan ke dalam pondok.
Sebenarnya bisa saja mereka membiarkan Wak Katok tergeletak pingsan di luar
pondok, namun mereka tetap peduli akan keadaan Wak Katok, dan mereka pun
memindahkannya masuk ke dalam pondok. Hal itu dapat kita lihat dalam kutipan
berikut ini.
4.2.9 Nilai Sabar dan Semangat Pantang Menyerah
Dalam menjalani kehidupan di tengah hutan, kelompok pendamar juga
memperlihatkan nilai sabar dan semangat pantang menyerah. Ketika ada suatu
kesusahan yang menghampiri perjalan mereka, maka para anggota kelompok
pendamar ini akan saling menguatkan agar mereka tetap sabar dan tetap semangat
dalam menghadapi masalah tersebut.
Sanip yang berkarakter periang dan ramah sering kali memberi semangat
kepada anggota pendamar yang lainnya agar tetap semangat. Pernah suatu kali,
ketika mereka melewati perjalan yang sulit dan hujan pun turun lebat, sehingga
perjalan semakin sulit. Mereka semua menjadi basah kuyup, namun pada saat itu
Sanip segera menyemangati teman-temannya. Hal itu dapat kita lihat dalam kutipan
berikut.
”…. mereka sedang menempuh hutan, dan turun hujan yang
lebat, hingga jalan menjadi licin dan badan mereka basah kuyup, maka Sanip dengan gembira akan berseru ”…jangan
susah hati, habis hujan datanglah terang!”” (Lubis, 1992: 17)
Sikap saling menyemangati juga ditunjukkan oleh kelompok pendamar dalam
kutipan berikut ini.
”Pada suatu kali mereka mengumpulkan damar amat banyak. Beban damar yang harus mereka pikul pulang amat berat, dan Sanip berseru gembira: ”Aduh, ini dua kali lebih banyak dari
yang biasa kita bawa pulang. Untung besar kita!”” (Lubis,
1992: 19)
Perjalan hidup mencari nafkah di tengah hutan sangat membutuhkan sikap
sabar dan sikap semangat pantang menyerah. Karena kesabaran dan semangat
pantang menyerah sangat mempengaruhi hasil yang akan didapatkan pada saat
terutama pada saat berburu, sikap sabar sangat dibutuhkan. Para anggota kelompok
pendamar juga menunjukkan nilai sabar dan semangat pantang menyerah ketika
berburu rusa. Mereka sabar dan pantang menyerah ketika mengikuti jejak rusa, dan
ketika rusa tersebut sudah terlihat, maka mereka akan tenang dan sabar menunggu
saat yang tepat untuk menembak rusa tersebut. Karena jika mereka terlalu
buru-buru dan salah perhitungan untuk menembak rusa tersebut, maka bisa jadi mereka
akan gagal dan tidak akan mendapatkan hasil apa-apa. Kesabaran itu terlihat jelas
dalam kutipan berikut ini.
”Dua ratus meter terlalu jauh untuk senapan lantak tua Wak Katok. Karena itu mereka menunggu. Apalagi udara masih terlalu gelap untuk dapat menembak sejauh itu.” (Lubis, 1992: 82)
Dari kutipan di atas, terlihat jelas bahwa kelompok pendamar dengan sabar
menunggu saat yang tepat untuk menembak rusa tersebut, karena pada saat itu
mereka sadar bahwa jerak antara mereka dengan rusa masih terlalu jauh dan
penglihatan mereka untuk menembak juga masih terhalang oleh kabut.
Nilai semangat pantang menyerah juga semakin ditunjukkan oleh para
anggota kelompok mendamar ketika mereka diburu oleh harimau yang sangat buas.
Mereka menyadari bahwa mereka harus berjuang untuk dapat selamat dari bahaya
yang menghampiri mereka. Semangat untuk tidak menyerah dan terus berjuang
untuk selamat keluar dengan sendirinya dari dalam jiwa mereka. Hal itu dapat di
lihat dari kutipan berikut ini.
”Akan tetapi dalam bawah sadar mereka nafsu hidup tetap
hendak mati diserang harimau yang ganas dan zalim. Bawah sadar mereka berteriak menyuruh mereka berjuang, berkelahi, bertarung untuk mempertahankan hak hidupnya.” (Lubis, 1992: 127)
Rasa semangat itu semakin kuat ketika mereka mulai menyadari bahwa sebenarnya
mereka dapat menentukan dan memperjuangkan keselamatan nasib mereka sendiri,
dan mereka juga mulai menyadari bahwa seharusnya merekalah yang memburu
harimau tersebut dan bukan harimau tersebut yang memburu mereka. Hal itu
terlihat jelas dalam kutipan berikut ini.
”Merekalah yang memberi putusan,yang mengambil putusan, yang berbuat, mereka yang memburu. Rasa manusia mereka kembali jadi kukuh dan menyala.” (Lubis, 1992: 138)
Setelah sepakat mengambil keputusan untuk memburu harimau tersebut,
sikap sabar dan semangat pantang mereka semakin tertantang. Mereka mulai
mengikuti jejak harimau tersebut dengan penuh kesabaran dan semangat pantang
menyerah. Mereka memulai pencarian mereka dengan sangat hati-hati dan sabar.
Meskipun pencarian jejak yang mereka lakukan sangat melelahkan, memerlukan
waktu yang panjang dan penuh dengan bahaya, namun mereka tetap semangat
melakukannya dan tetap sabar mengikuti jejak-jejak tersebut selangkah demi
selangkah. Hal itu terlihat dalam kutipan berikut.
”Wak Katok, Buyung, dan Sanip telah dua jam mengikuti jejak harimau dari tempat harimau menyerang Talib.” (Lubis, 1992: 143)
Perburuan mereka tidak gampang, dan itu semakin menguji kesabaran dan
semangat mereka. Mereka sadar akan hal itu, mereka juga tetap sabar dan mencoba
mereka terlalu memaksakan atau terlalu terburu-buru, maka hal yang buruk bisa
akan menimpa mereka. Oleh karena itu, ketika melakukan perburuan terhadap
harimau tersebut, mereka tetap menyempatkan untuk tetap makan dan beristirahat
sebentar. Karena mereka sadar bahwa tidak akan ada untungnya jika terlalu
memaksakan keadaan pencarian tanpa mempersiapkan tenaga dalam tubuh mereka.
Mereka sadar, bahwa dalam perburuan ini mereka bisa sewaktu-waktu akan
bertemu dengan harimau tersebut, dan mereka membutukan tenaga untuk melawan
harimau tersebut. Jadi mereka tetap memutuskan untuk sabar, dan tetap makan dan
istirahat, itu mereka lakukan untuk kebaikan dan persiapan untuk ke depannya. Hal
itu terlihat itu terlihat jelas dalam kutipan berikut.
”.…mereka tak melihat jejak harimau timbul di seberang
sungai. ”Akan perlu waktu untuk mencari jejaknya kembali,” kata Wak Katok, dan dia melihat ke langit mencari matahari yang terlindung di balik daun-daun kayu. “Lebih baik kita makan dahulu. Telah tengah hari…”” (Lubis, 1992: 144)
Nilai sabar dan semangat pentang menyerah semakin mereka tunjukkan
ketika mereka memutuskan untuk menunggu dan akan menyergap harimau di suatu
tempat yang telah mereka anggap tepat untuk menunggu kedatangan harimau
tersebut. Mereka sabar menunggu dan tetap tenang menunggu kedatangan harimau
yang telah mereka buru dari pagi. Hal itu terlihat dalam kutipan-kutipan berikut ini.
”Soalnya kini ialah menunggu. Menunggu dengan sabar. Yang mereka perlukan ialah waktu.” (Lubis, 1992:146)
”Lama mereka menunggu.” (Lubis 1992: 152)
Dalam penantian ini, kesabaran kelompok pendamar semakin di uji. Nyamuk
menyerang mereka dalam penantian panjang ini, dan membuat penantian mereka
darah mereka dengan bebas, mereka harus tetap tenang dan berusaha untuk tidak
bergerak sama sekali. Mereka hanya bisa menguatkan hati mereka dan bersabar,
dan mereka tidak akan menyerah, karena mereka sadar bahwa hal yang mereka
harus lakukan untuk saat itu hanyalah menunggu dengan sabar dan tidak berisik
sedikitpun. Nilai kesabaran dalam menunggu itu mereka tunjukkan dalam kutipan
berikut ini.
”Kadang-kadang Buyung merasa seakan hendak melompat dan
memekik, dan memukul nyamuk di tangan, kaki, dan tengkuknya dengan keras, demikian rasanya tekanan di dalam dirinya mendesak-desak menyuruhnya berbuat sesuatu. Akan tetapi Buyung pun menginsyafi, bahwa kini keselamatan mereka tergantung dari kekuatan hati mereka menunggu, dan
menunggu, dan menunggu.” (Lubis,1992:153)
Penantian mereka berlangsung sangat lama, harimau yang ditunggu-tunggu tidak
muncul juga. Mereka semakin menyadari bahwa sebenarnya harimau yang sedang
mereka buru dalah harimau yang pandai berburu pula. Mereka sadar, bahwa
sesungguhnya sekarang mereka saling memburu. Jadi mereka harus tetap sabar
dalam menantikan kedatangan harimau tersebut. Mereka tidak boleh lengah sedikit
pun, karena harimau tersebut juga pintar dalam hal berburu mangsa. Mereka tidak
akan menyerah walaupun dalam penantian ini mereka tersiksa oleh gigitan nyamuk.
Walaupun badan mereka telah penuh gatal karena bekas gigitan nyamuk, namun
mereka akn tetap tenang, sabar, dan akan terus menunggu kedatangan harimau
tersebut. Semangat dan kesabaran mereka tersebut terlihat dalam kutipan berikut.
”Akan tetapi kerena sadar, bahwa untuk dapat hidup terus
Setelah perburuan di hari pertama gagal, mereka melanjutkan perburuan
tersebut di hari berikutnya. Mereka bertekad untuk membalas dan menuntut bela
atas kematian kawan-kawan mereka yang telah diserang oleh harimau. Mereka
memulai perburuan lagi, namun untuk kali ini, pemimpin mereka (Wak Katok)
ternyata tidak terlalu berniat untuk memburu harimau buas tersebut. Wak Katok
mencoba mengulur-ulur waktu agar lama sampai ke tempat tujuan mereka. Dengan
menggunakan alasan untuk mempercepat waktu, Wak Katok mengajak mereka
untuk memotong jalan dengan cara masuk dan melalui hutan gelap yang belum
pernah lewati sekalipun. Di dalam hutan gelap tersebut perjalan menjadi sangat
sulit. Mereka harus membuka jalan baru di tengah semak-semak belukar yang
berduri. Namun mereka tetap mencoba untuk bersabar dan tetap semangat. Mereka
mencoba menguatkan hati mereka, walupun perjalanan itu sudah sangat
melelahkan. Hal itu terlihat dalam kutipan berikut.
”….mereka menguatkan hati untuk cepat dapat ke luar dari hutan gelap. Di banyak tempat mereka terpaksa berjalan membungkuk, belukar lebat dan rapat sekali.” (Lubis, 1992: 178)
Ternyata dalam perjalan panjang di hutan gelap ini, Wak Katok sengaja membuat
mereka tersesat, dan membuat mereka hanya berjalan berputar-putar saja di dalam
hutan gelap tersebut. Namun pada akhirnya anggota lain menyadari bahwa mereka
sebenarnya telah tersesat. Tapi ternyata Wak Katok sang pemimpin palsu, pandai
membuat alasan agar dia tidak disalahkan oleh anggota yang lain karena mereka
telah tersesat di bawah tuntunannya. Wak Katok kembali menipu mereka dengan
alasan baru. Namun anggota kelompok yang lain tetap memilih untuk bersabar dan
mereka telah sadar bahwa perjuangan mereka dan perjalanan mereka dari tadi
ternyata sia-sia saja dan tidak berguna. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut
ini.
”Dengan enggan Buyung menahan dirinya. Kembali mengikuti jalan yang telah mereka tempuh dari pagi…..” (Lubis, 1992: 183)
Permasalahan yang utama dalam novel ini adalah nafsu keserakahan dan
dosa-dosa yang dimiliki oleh setiap anggota kelompok pendamar tersebut. Setiap
mereka ternyata mempunyai suatu masalah atau dosa yang telah mereka simpan
selama ini. Sehingga terasa bahwa semua yang mereka tunjukkan selama ini
hanyalah suatu kepalsuan dan mereka semua ternyata memaki topeng, mereka
menyembunyikan wajah mereka yang sebenarnya dibalik topeng mereka.
Salah satu kepalsuan atau kebohongan yang membawa dampak besar bagi
permasalahan mereka adalah kepalsuan yang dimiliki oleh seseorang yang selama
ini telah mereka anggap sebagai pemimpin mereka, yaitu Wak Katok. Ternyata
semua ilmu-ilmu yang dimiliki oleh Wak Katok selama ini ternyata palsu. Semua
mantra dan jimat-jimat yang telah dimilikinya selama ini ternyata palsu. Dia
hanyalah seorang pembohong besar dan sangat licik. Padahal semua anggota
kelompok pendamar dan bahkan semua penduduk kampunya telah percaya pada
kehebatannya dan bahkan sangat takut dan segan kepadanya.
Setelah semua kebohongan Wak Katok mulai terungkap di depan mata
teman-temannya, kelicikan dan nafsu jahat yang dia miliki selama ini menjadi
semakin tidak terkendali. Dia berniat membahayakan dan bahkan telah berniat
marah kepada semua teman-temannya, karena mereka telah mengetahui dosa-dosa
yang pernah dilakukannya selama ini. Dia meresa sangat benci kepada Pak Balam,
karena Pak Balamlah yang telah membeberkan semua dosa yang telah disimpannya
dengan rapi selama ini. Wak Katok berniat membunuh semua teman-temannya agar
mereka tidak dapat menceritakan dosa yang telah dilakukannya selama ini kepada
orang lain di desa. Wak Katok tidak ingin semua penduduk desa yang selama ini
telah menakuti dan mengagung-agungkanya menjadi berbalik menghina dan tidak
menghormatinya lagi. Dia tidak sanggup hidup tanpa penghormatan dari penduduk
desanya. Jadi dia tidak akan membiarkan dosa-dosanya diketahui oleh penduduk
desanya.
Emosi dan nafsu kejahatan Wak Katok semakin tidak dapat dibendungnya,
semua sifat aslinya mulai terlihat, topengnya mulai terbuka. Dia pun mulai
mengancam teman-temannya agar mereka juga mengakui dan membeberkan
dosa-dosa yang mereka miliki masing-masing. Wak Katok mengancam akan menembak
Buyung dan Pak Haji jika mereka tidak mau mengakui dosa-dosa mereka. Namun
Pak Haji tetap menghadapi emosi Wak Katok dengan sabar. Hal itu dapat kita lihat
dalam kutipan berikut.
”Tetapi Pak Haji menguatkan hatinya, ”Dengarlah kataku dahulu,” katanya dengan tenang dan sabar.” (Lubis, 1992: 188)
Dari kutipan di atas dapat kita lihat bahwa Pak Haji tetap menunjukkan nilai-nilai
kesabaran ketika menghadapi seorang pemimpin palsu dan penuh kejahatan seperti
pelan-pelan kapada Wak Katok yang pada saat itu tengah mengancam akan
menembaknya dengan senapan.
4.2.10 Nilai Kerja Sama
Nilai kerja sama sangat penting untuk kita miliki di tengah-tengah kehidupan
kita bermasyarakat. Kita harus mampu bekerja sama dengan orang yang ada
disekitar kita. Apalagi jika kita mempunyai ikatan dengan suatu kelompok, entah
itu kelompok kerja atau yang lainnya. Kita harus mau dan mampu bekerja sama
dengan anggota kelompok kita yang lain. Hal itu sangat perlu dilakukan agar
kelompok tersebut dapat menghasilkan hasil kerja yang terbaik.
Nilai kerja sama sangat penting untuk diterapkan di dalam suatu kelompok,
karena jika setiap anggota kelompok dapat bekerja sama, maka setiap pekerjaan
akan terasa menjadi semakin gampang dan dapat diselesaikan dengan cepat. Karena
nilai kerja sama mengajarkan kita untuk saling membantu dalam mengerjakan
sesuatu. Begitu juga dengan kelompok pendamar dalam novel ini. Mereka telah
terbiasa bekerja sama dan saling membantu dalam mencari damar di tengah hutan
rimba. Hal itu dapat kita lihat dalam kutipan berikut.
”…. mereka merasa lebih aman dan lebih dapat bantu
-membantu melakukan pekerjaan.” (Lubis, 1992: 5)
Kutipan di atas menjelaskan bahwa ketika mereka mencari damar secara
berkelompok, maka mereka akan merasa aman dan mereka dapat bekerja sama
dalam melakukan pekerjaan ini. Tidak hanya terbiasa bekerja sama dalam
menjalani pekerjaan mencari damar di tengah hutan, namun anggota kelompok
Contohnya adalah ketika ada penduduk yang ingin membangun rumah. Maka
mereka akan ikut membantu dan ikut bekerja sama dalam membangun rumah
tersebut. Hal tersebut dapat kita lihat dalam kutipan berikut.
”…. mereka ikut bekerja bersama-sama ketika ada orang
membangun rumah...” (Lubis, 1992: 6)
Nilai kerja sama memang telah tertanam dalam kehidupan para anggota
kelompok pendamar ini. Apalagi pekerjaan mereka ini termasuk pekerjaan yang
berat dan berbahaya. Oleh karena itu mereka sudah terbiasa dalam menjalani
pekerjaan ini. Pada saat di tengah hutan pun mereka akan bekerja sama pada saat
mencari damar. Buyung bekerja sama dengan Talib. Ketika mereka mandapatkan
damar yang banyak, dan membutuhkan keranjang yang lebih banyak lagi untuk
menampung damar tersebut, maka saling berbagi tugas. Buyung bertugas untuk
mengambil keranjang tambahan ke pondok Wak Hitam, sedangkan Talib bertugas
untuk melanjutkan pekerjaan mencari damar. Mereka bekerja sama untuk dapat
menghasilkan hasil yang maksimal. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut.
”Dia terkejut ketika mendengar suara Talib.. mereka berdua bekerja sama mengumpulkan damar.” (Lubis, 1992: 51)
Tidak hanya dalam mencari damar, namun mereka juga akan bekerja sama untuk
mempersiapkan hal-hal yang mereka butuhkan bersama. Seperti dalam
mempersiapkan makanan sehari-hari dan membuat pondok bermalam. Mereka
semua akan bekerja sama untuk mengerjakannya. Hal itu dapat kita lihat dalam
kutipan-kutipan berikut.
”….sedang Sanip dan Talib bergegas masak makanan pagi..” (Lubis, 1992: 85)
”Mereka tiba di sana jam setengah lima petang. Dengan cepat
mereka membuat pondok bermalam……….Anak-anak muda,
seperti Buyung, Sanip, Talib, dan Sutan mengumpulkan kayu api banyak-banyak. Mereka bermaksud hendak memasang api unggun, mungkin sampai pagi.” (Lubis, 1992: 87)
Sama juga halnya ketika mereka akan berburu rusa. Mereka akan bekerja sama
untuk mencari jejak dan mengejar rusa tersebut. Hal itu dapat kita lihat dalam
kutipan-kutipan berikut.
”….kami dibawa Wak Katok berburu rusa…,…tetapi ketika kami melihatnya dan kutembak….” (Lubis, 1992: 70)
”… Mereka bertiga akan pergi berburu rusa..” (Lubis, 1992: 80)
Jika perburuan mereka berhasil, maka mereka juga akan bekerja sama untuk
mengolah hasil buruan tersebut. Hal itu dapat kita lihat dalam kutipan-kutipan
berikut ini.
”…ketika mereka telah tiba membawa rusa di tempat bermalam dan rusa telah digantungkan kepada sebuah cabang pohon yang kuat, dan Wak Katok baru saja selesai mengulitinya.” (Lubis, 1992: 84)
”Mereka pun dengan cepat memotong-motong daging rusa,
sedang Sanip dan Talib bergegas masak makanan pagi” (Lubis, 1992: 85)
Dari beberapa kutipan di atas, memang telah terlihat dengan jelas nilai kerja
sama dalam kehidupan kelompok pendamar ini. Nilai kerja sama juga mereka
terapkan dengan baik ketika sang harimau buas datang menyerang mereka. Hal itu
terjadi ketika Pak Balam diserang dan diseret oleh harimau ke dalam hutan yang
menemukan Pak Balam dalam kondisi yang penuh dengan luka, mereka pun segera
berbagi tugas dan bekerja sama. Wak Katok yang membawa senapan bertugas
menyiapkan senapan kembali, an anggota kelompok yang lain segera bekerja sama
untuk mengangkat Pak Balam ke pondok mereka. Hal itu dapat kita lihat dalam
kutipan berikut.
”Buyung, Sanip, Talib, Pak Haji, dan Sutan cepat mengangkatnya. Wak Katok telah mengisi senapannya kembali, dan dengan Wak Katok berjalan di belakang, mereka cepat-cepat membawa Pak Balam ke tempat api unggun.” (Lubis, 1992: 92)
Setelah Pak Balam diserang, maka anggota kelompok yang lain memutuskan untuk
menghadapi harimau itu bersama-sama. Mereka sepakat untuk bekerja sama
menghadapi harimau buas tersebut. Hal tersebut dapat kita lihat dalam kutipan
berikut.
”….seperti mereka juga selalu berusaha untuk melupakan
dosa-dosanya sendiri. ”Nah,” kata Wak Katok, ”harimau biasa dapat
kita hadapi bersama”” (Lubis, 1992: 111)
Mereka juga bekerja sama dalam merawat dan membawa Pak Balam yang
dalam kondisi penuh luka cakar dan gigitan harimau. Pak Balam tidak sanggup lagi
untuk berjalan sendiri, oleh karena itu anggota kelompok yang lain bekerja sama
untuk mengusungnya dan juga tetap bekerja sama dalam melakukan pekerjaan yang
lainnya. Hal itu dapat kita lihat di dalam kutipan berikut ini.
”Talib dan Buyung segera membuat usungan setelah mereka makan. Pak Haji, Wak Katok dan Sutan mengemasi perbekalan makanan dan daging rusa ke dalam dua buah keranjang, yang akan mereka pikul berganti-ganti, sambil berganti-ganti pula
Kesepakatan mereka untuk bekerja sama dalam menghadapi harimau tersebut
mereka tepati. Ketika harimau kembali datang menyerang, mereka segera bekerja
sama untuk menghadapi harimau buas tersebut. Mereka langsung mengambil
bagian masing-masing dan bersama-sama menghadapi harimau tersebut, padahal
sebenarnya pada saat itu sedang terjadi perselisihan di antara mereka.
Pada saat itu Wak Katok sedang memaksa Buyung dan Pak Haji untuk
menceritakan dosa mereka masing-masing. Pak Haji mau mengikuti kemauan Wak
Katok tersebut dan menceritakan semua dosanya, namun Buyung menolak untuk
menceritakan dosa-dosanya. Wak Katok terus memaksanya dengan cara
mengancam akan menembaknya jika dia tidak mau menceritakan semua dosanya.
Wak Katok telah mengacungkan mulut senapannya ke arah Buyung dan terus
memaksanya, pada saat itulah harimau datang menyerang. Mereka yang sedang
terlibat dalam perselisihan segera melupakan perselisihan mereka. Mereka segera
bersama-sama bersiap menghadapi harimau tersebut, dan ketika senapan Wak
Katok tidak dapat meletus karena bubuk mesiunya basah, mereka yang sadar akan
hal tersebut segera bersama-sama mencoba untuk menyerang dan menakut-nakuti
harimau tersebut dengan cara melemparkan kayu bakar yang menyala ke arah
harimau tersebut. Mereka segera berbagi tugas dan mengambil bagian
masing-masing dalam menyerang harimau ini, ada yang bertugas untuk melemparkan kayu
bakar yang menyala ke arah harimau dan ada juga yang bertugas untuk
menambahkan kayu bakar yang baru ke dalam api unggun untuk persiapan
berikutnya. Hal itu terlihat dalam kutipan berikut.
melompat melontarkan sebuah kayu besar yang terbakar menyala ke arah kedua mata yang bersinar hijau, disusul oleh lemparan Pak Haji dan Sanip,…….”Cepat Wak Katok, tukar mesiu baru!” kata Buyung, dan dia berlari kembali ke api unggun, menyiapkan sebuah kayu yang menyala di tangannya, sambil berseru pada Sanip, supaya melemparkan kayu lebih banyak lagi ke atas api.” (Lubis, 1992: 191)
Nilai kerja sama juga masih ditunjukkan oleh para anggota kelompok
pendamar yang tersisa ketika mereka menghadapi kejahatan pemimpin mereka.
Pada saat itu Wak Katok yang telah dianggap sebagai pemimpin kelompok,
mengusir Pak Haji, Buyung, dan Sanip dari pondok tempat mereka menginap. Wak
Katok mengusir mereka masuk ke dalam hutan yang gelap dan meninggalkan
cahaya terang api unggun. Namun mereka tidak mau pergi begitu saja ke dalam
hutan yang gelap karena di sana ada harimau buas yang menunggu mereka. Mereka
bertiga memutuskan untuk melawan kejahatan Wak Katok, mereka bersembunyi di
balik gelap malam. Mereka mengintai Wak Katok dari jauh, dari luar jangkaun
cahaya terang yang dihasilkan api unggun. Mereka bertiga menunggu Wak Katok
dalam keadan tidak waspada, mereka akan segera menyerang ketika mereka
mendapatkan kesempatan. Kesempatan yang mereka tunggu-tunggu pun tiba.
Mereka bekerja sama menyerang Wak Katok, mereka menyerang Wak Katok dari
tiga arah yang berbeda. Hal itu dapat kita lihat dalam kutipan berikut.
”Buyung memberi isyarat, bunyi burung hantu, dan melompat menyerbu hendak menyergap Wak Katok. Sanip dan Pak Haji datang menyerang dari jurusan yang lain.” (Lubis, 1992: 196)
Setelah Buyung dan Sanip berhasil mengalahkan Wak Katok dan
mengikatnya, mereka melanjutkan memburu harimau tersebut. Mereka
keluar. Setelah menunggu beberapa lama, harimau itupun keluar. Dengan
ketenangan perkiraan yang baik, akhirnya Buyung pun berhasil membunuh harimau
buas tersebut. Mereka pun segera bekerja sama untuk menguliti harimau tersebut
dan selanjutnya bekerja sama membuat pondok untuk tempat mereka bermalam.
Nilai kerja sama itu dapat kita lihat dalam kutipan berikut.
”Mari kita kuliti dia cepat, dan kita memasang pondok di tepi
sungai,” kata Buyung, ” kita bermalam saja di sini malam ini.””
(Lubis 1992: 210)
Nilai kerja sama tetap ditunjukkan oleh anggota kelompok pendamar yang
tersisa sampai akhir cerita novel ini. Mereka juga menyelesaikan masalah-masalah
yang mereka hadapi dengan cara bekerja sama.
4.2.11 Nilai Keberanian
Nilai keberanian merupakan suatu nilai yang sangat perlu untuk dimiliki oleh
seseorang ketika dia menghadapi dan hendak menyelesaikan masalah tersebut.
Namun sifat berani harus dibarengi dengan pemikiran yang matang dan sifat
bijaksana, tidak boleh hanya modal berani saja, segala sesuatu kemungkinan yang
terjadi harus dipikirkan.
Nilai keberanian dibutuhkan untuk mengambil suatu tindakan baru pada saat
kita sedang berada dalam suatu masalah. Suatu tindakan baru yang dapat merubah
keadaan dan membawa kita lepas dari masalah yang menghampiri kehidupan kita.
Kita harus berani untuk membuat dan mengambil suatu keputusan atau tindakan
yang baru meskipun tindakan baru ini akan membutuhkan perjuang yang lebih
Kehidupan mencari damar di tengah hutan membutuhkan keberaniaan, karena
pekerjaan ini dekat dengan bahaya yang selalu siap mengancam kapan saja. Para
anggota kelompok pendamar yang sudah terbiasa keluar masuk hutan, sudah
terbiasa dengan berbagai macam bahaya yang dapat menghampiri ketika berada di
tengah hutan. Baik itu bahaya yang berasal dari hewan buas ataupun bahaya yang
disebabkan oleh sulitnya medan perjalanan yang biasa mereka tempuh ketika
mencari damar di tengah hutan.
Dalam menjalani kehidupan sehari-hari, para anggota kelompok pendamar
sudah terbiasa menunjukkan nilai keberanian dalam tindakan atau pekerjaan
mereka sehari-hari. Hal itu dapat kita lihat dalam kutipan berikut.
”….Talib tanpa ragu-ragu menyerang babi dengan tombaknya,
dan menyelamatkan pemburu itu.” (Lubis, 1992: 20)
Kutipan di atas menjelaskan bahwa Talib (salah satu anggota kelompok pendamar)
dengan berani menyerang seekor babi hutan yang tengah mengamuk dan
menyerang seorang pemburu yang pada saat itu sedang mengepung babi hutan
tersebut. Talib tanpa ragu-ragu menyerang babi hutan tersebut dengan tombaknya,
dan dia pun dapat menyelamatkan pemburu yang pada saat itu sedang berada dalam
bahaya serangan babi hutan yang sedang mengamuk.
Ketika Pak Balam diserang oleh harimau, anggota kelompok pendamar yang
lain segera mengeluarkan respon yang cepat. Mereka langsung mengambil
tindakan. Mereka mengambil senjata masing-masing dan dengan berani mereka
semua berlari untuk menyelamatkan Pak Balam yang telah diterkam dan diseret
oleh harimau ke dalam hutan yang gelap. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut
”Reaksi kawan-kawannya di sekeliling api unggun cukup cepat. Wak Katok segera mengambil senapan, yang muda-muda melompat menghunus parang panjang dan segera berlari….., dan mereka terus berlari ke tempat Pak Balam….. Wak Katok berlari di depan dengan senapannya, disusul segera oleh Buyung dan yang lain.” (Lubis, 1992: 91)
Begitu juga ketika talib diserang oleh sang harimau, mereka juga langsung
melakukan tindakan pertolongan dengan cepat. Meskipun mereka telah melihat
dengan jelas besarnya jejak yang ditinggalkan sang harimau, yang menandakan
bahwa harimau tersebut sangatlah besar, namun tanpa berpikir panjang dan
ragu-ragu, mereka langsung berani mengejar harimau tersebut dan hendak
menyelamatkan Talib. Nilai keberanian tersebut dapat kita lihat dalam kutipan
berikut.
”Mereka melihat besarnya jejak itu. Akan tetapi tanpa berpikir panjang mereka berlari ke dalam hutan mengikuti jejak dan darah…,..dengan pedang terhunus mereka menyerbu ke dalam pohon-pohon yang tumbuh rapat…….pemandangannya sungguh mengerikan hati. Tetapi saat itu bukan saat untuk
merasa takut lagi.” (Lubis,1992:121-122)
Kutipan di atas juga menggambarkan bahwa para anggota kelompok pendamar
dengan berani menyerbu harimau yang sedang berada di dalam pohon-pohon hutan
yang tumbuh rapat. Hal itu berbahaya bagi mereka, karena bisa saja harimau
tersebut balik menyerang mereka. Namun demi menyelamatkan nyawa Talib, maka
mereka pun dengan gagah berani menyerbu sang harimau.
Pada saat Pak Balam dan Talib telah menjadi korban serangan sang harimau
buas, keberanian anggota kelompok pendamar tidak menjadi luntur dan hilang.
Buyung yang merupakan anggota kelompok pendamar yang paling muda di antara
memburu harimau buas tersebut, Buyung ingin menuntut bela dari kematian
temannya. Hal itu dapat kita lihat dalam kutipan berikut.
”Buyung mengusulkan agar mencoba memburu harimau.” (Lubis, 1922: 137)
Ketika percobaan pertama mereka untuk memburu harimau gagal dan bahkan Sutan
pun telah ikut menjadi korban ketiga dari kebuasan harimau tersebut, namun
Buyung dengan berani tetap mengusulkan agar mereka tetap melanjutkan
perburuan terhadap harimau buas tersebut. Hal itu dapat kita lihat dalam kutipan
berikut.
”…..tiba-tiba buyung tak dapat menahan dirinya. ”Wak Katok,
katanya, ”mari sekarang kita buru harimau itu sampai dapat. Hatiku panas sekali. Pak Balam, Talib, dan Sutan harus dituntut bela.”” (Lubis, 1992: 164)
Nilai keberanian juga tetap ditunjukkan oleh anggota kelompok pendamar
yang tersisa ketika mereka diancam oleh orang yang selama ini sangat mereka
segani dan takuti dan bahkan telah mereka anggap sebagai pemimpin kelompok
mereka. Mereka berani untuk untuk melawan Wak Katok. Bahkan ketika Wak
Katok mengancam akan membunuh mereka dengan ilmu-ilmu gaib, mereka dengan
berani berkata bahwa semua ilmu Wak Katik hanyalah takhyul dan mereka tidak
percaya lagi, padahal selama ini mereka sangat takut dengan ilmu-ilmu Wak Katok.
Tapi karena mereka percaya dengan adanya Tuhan, maka mereka pun tidak takut
lagi dengan ancaman Wak Katok. Hal itu dapat kita lihat dalam kutipan berikut.
mantera dan jimat dan sihir Wak Katok. Takhyul yang palsu saja.”” (Lubis, 1992: 203)
Walaupun anggota kelompok mereka hanya tinggal bertiga, dan yang satu
adalah pengecut dan pembohong. Namun mereka dengan berani memutuskan
untuk tetap lanjut memburu harimau tersebut. Nilai keberanian itu dapat kita lihat
dalam kutipan berikut ini.
”Ke mana kita?” tanya Wak Katok. ”Memburu harimau,” kata Buyung” (Lubis, 1992: 203)
Sikap beranilah yang membuat kelompok ini dapat mengalahkan masalah
yang datang menghadang perjalanan mereka. Mereka dengan berani menyelesaikan
satu-persatu masalah yang ada.
4.2.12 Nilai Kerja Keras
Kerja keras merupakan salah satu cara untuk dapat menyelesaikan masalah
atau mencapai suatu hal yang kita inginkan. Kerja keras dapat membawa kita ke
dalam suatu keberhasilan. Nilai kerja keras perlu untuk kita tanamkan dalam
menjalani kehidupan kita sehari-hari. Sesulit atau sebesar apapun masalah yang
datang menghadang langkah kita, jika kita sabar dan mau bekerja keras, maka
masalah tersebut akan dapat kita selesaikan.
Mencari damar di tengah hutan merupakan suatu pekerjaan yang sulit dan
membutuhkan kerja keras. Para anggota kelompok pendamar sudah terbiasa bekerja
keras dalam menjalani perkerjaan mereka ini. Mencari damar membutuhkan kerja
keras karena harus melewati perjalanan yang panjang dan sulit. Nilai keras itu
”Mendaki dan menuruni gunung, membawa beban damar atau
rotan yang berat,..” (Lubis, 1992: 3)
Nilai kerja keras tidak hanya ditunjukkan oleh anggota kelompok pendamar
yang muda-muda saja, namun oleh yang tua juga. Pak Haji yang Rakhmad yang
merupakan anggota kelompok pendamar yang paling tua juga masih kuat dalam
bekerja keras. Meskipun usianya sudah tidak lagi muda, namun dalam hal bekerja
keras Pak Haji tidak kalah dari anggota kelompok pendamar yang masih muda.
Nilai kerja keras itu dapat dilihat dalam kutipan berikut.
”Meskipun rambutnya sudah putih, tetapi masih lebat. Dia masih kuat mendukung beban damar menandingi siapa pun juga di antara mereka.” (Lubis, 1992: 20)
Setelah mereka menyadari bahwa mereka telah berurusan dengan seekor
harimau, maka mereka semakin menunjukkan kerja keras mereka. Mereka semakin
bekerja keras karena mereka takut jika harimau tersebut akan mengikuti perjalan
mereka. Kini mereka menyadari bahwa mereka tidak dapat lagi berjalan pelan
seperti biasanya, mereka harus mempercepat langkah mereka, agar harimau tidak
menemukan mereka. Setelah selesai makan pun mereka memutuskan untuk segera
melanjutkan perjalanan tenpa istirahat seperti biasanya. Mereka mencoba untuk
berjalan lebih cepat lagi dari biasanya. Hal ini menuntut mereka untuk lebih bekerja
keras lagi, karena mereka harus berjalan dengan cepat dan buru-buru tanpa istirahat
seperti biasanya, padahal mereka sedang membawa beban yang berat dan melalui
jalan yang lumayan sulit. Nilai kerja keras yang ditunjukkan oleh kelompok
pendamar itu dapat kita lihat dalam kutipan-kutipan berikut.
”Mereka tak lama berhenti di sana, akan tetapi segera setelah makan lalu meneruskan perjalanan.” (Lubis, 1992: 87)
Perjalanan mereka menjadi sulit setelah Pak Balam diserang oleh harimau,
karena mereka harus mengusung Pak Balam yang pada saat itu sedang berada
dalam keadaan penuh luka bekas gigitan dan cakaran harimau. Mereka berusaha
berjalan dengan cepat dengan tetap waspada terhadap kemungkinan harimau akan
menyerang mereka kembali. Hal ini menuntut mereka untuk semakin bekerja keras,
karena mereka juga harus mengusung Pak Balam. Mereka harus saling membantu
untuk mengusung Pak Balam, karena mereka harus melewati medan perjalanan
yang sangat sulit. Apalagi pada saat itu jalan yang mereka lalui masih licin,
ditambah lagi mereka harus berjalanan mendaki tebing. Nilai kerja keras tersebut
dapat kita lihat dalam kutipan berikut.
”Berjalan mengusung Pak Balam tidak dapat mereka lakukan dengan cepat. Apalagi jalan yang mererka tempuh masih licin, dan mereka harus mendaki sejak meninggalkan sungai. Beberapa kali yang lain terpaksa harus membantu Talib dan Sutan, karena mereka berdua tak sanggup mengangkat usungan sambil mendaki tebing.,..…mereka berjalan dengan bersusah payah hingga tengah hari..” (Lubis, 1992: 117)
Perjalanan mereka semakin sulit setelah T