• Tidak ada hasil yang ditemukan

IDENTIFIKASI KOMODITI PERTANIAN UNGGULAN DI KABUPATEN SEMARANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "IDENTIFIKASI KOMODITI PERTANIAN UNGGULAN DI KABUPATEN SEMARANG"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Untuk memenuhi sebagian persyaratan

Guna memperoleh derajat Sarjana Pertanian

Di Fakultas Pertanian

Universitas Sebelas Maret

Jurusan/Progran Studi : Sosial Ekonomi Pertanian/Agrobisnis

Oleh :

Paramita Hapsari

H0303026

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)

IDENTIFIKASI KOMODITI PERTANIAN UNGGULAN

DI KABUPATEN SEMARANG

yang dipersiapkan dan disusun oleh Paramita Hapsari

H0303026

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal : 15 Desember 2007 dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Susunan Dewan Penguji

Ketua Anggota I Anggota II

Ir. Ropingi, M.Si. Wiwit Rahayu, S.P., M.P. Ir. Agustono, M.Si

NIP 131 943 615 NIP 132 173 134 NIP 131 884 419

Surakarta, Desember 2007

Mengetahui, Universitas Sebelas Maret

Fakultas Pertanian Dekan

(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas karunia dan hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan (penyusunan) skripsi ini.

Skripsi ini disusun berdasarkan penelitian yang dilakukan di Kabupaten Semarang dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Dalam menyusun skripsi ini penulis banyak mendapatkan bantuan hingga terselesaikannya skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Suntoro, M.S. selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Bapak Ir. Ropingi, M.Si. selaku Pembimbing Utama Skripsi, yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama ini.

3. Ibu Wiwit Rahayu, S.P., M.P. selaku Pembimbing Pendamping Skripsi, atas saran, waktu, dan pikiran dalam mengarahkan penulis di dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Pemerintah Daerah Kabupaten Semarang, BPS, BAPPEDA, Bapak Kepala dan staf-staf Sub Dinas Pertanian di Kabupaten Semarang.

5. Mama Trihanah (Alm), yang memberikan spirit hidup.

6. Papa Sujatno, Mas Satriyo Untoro, ST dan Mbak Elisa Ariana, S.Psi tercinta atas doa, dukungan, dan restunya.

7. Keluarga Besar Eyang Sukadi Sunarti (Pakde, Bude, Om, Tante), saudara sepupu atas dukungan spiritual dan materialnya.

8. Nuke, Sari dan Sita yang selalu memberiku semangat untuk tetap berjuang di Solo terima kasih untuk persahabatan kita. Kalian semua adalah saudara-saudara terbaikku, terima kasih atas cinta, kasih sayang, dan doa kalian.

9. Teman-teman SMU 1 Salatiga (Tia, Ana, Ayun), Mbak Reni, Mbak Jay, Ida, Danas, Amin, Andi, Budi, Ryan, Bang Jay, Yudi, Yanuar atas semangat dan dukungannya.

(4)

11.Temen-temen kos kenanga Bu Pul, Bu Eko, Bu Joyo, Bu Amway, Bu Bret, Bu Andi, Mbak Retno, Monik semoga tetep tlaten dan tercapai impiannya. 12.Temen-temen kos ex Cahaya Asri (Mbak Fanny, Mbak Maya, Mbak Arma,

Mbak Susy, Ria, Fitri). Terima kasih buat semuanya.

13.Kakak-kakak angkatan dan Adek Agrobisnis semuanya atas saran, dukungan dan doanya.

14.Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini, terima kasih atas motivasi yang diberikan.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi perbaikan skripsi ini.

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.

Surakarta, Desember 2007

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN... ii

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR ISI... v

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

RINGKASAN ... xii

SUMMARY ... xiii

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Kegunaan Penelitian ... 6

II. LANDASAN TEORI ... 7

A. Penelitian Terdahulu ... 7

B. Tinjauan Pustaka ... 9

1. Pembangunan ... 9

2. Pembangunan Ekonomi ... 11

3. Otonomi Daerah ... 12

4. Perencanaan Pembangunan Daerah ... 13

5. Perencanaan Pembangunan Ekonomi Derah ... 15 6. Pembangunan Pertanian ... 16

7. Peran Pertanian Dalam Pembangunan ... 18

8. Teori Ekonomi Basis... 19

C. Kerangka Teori Pendekatan Masalah ... 22

D. Asumsi-asumsi ... 28

E. Definisi Operasional dan Konsep Pengukuran Variabel... 28

III. METODE PENELITIAN ... 30

A. Metode Dasar Penelitian ... 30

B. Metode Pengambilan Daerah Penelitian ... 30

C. Jenis dan Sumber Data... 31

D. Metode Analisis Data... 31

(6)

Halaman

2. Kuosien Spesialisasi... 32

3. Kuosien Lokalisasi ... 33

4. Penentuan Prioritas Komoditi Pertanian Unggulan ... 34

IV.KEADAAN UMUM KABUPATEN SEMARANG... 35

A. Keadaan Alam... 35

1. Letak Geografis dan Wilayah Administratif ... 35

2. Topografi... 35

3. Keadaan Iklim ... 37

4. Sumber Daya Alam ... 37

5. Penggunaan Lahan ... 38

B. Keadaan Penduduk... 39

1. Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, dan Kepadatan Penduduk per Kecamatan di Kabupaten Semarang Tahun 2005 ... 39

2. Laju Pertumbuhan Penduduk ... 40

3. Penduduk Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin... 42

C. Keadaan Perekonomian... 43

1. Laju Pertumbuhan Ekonomi……… 43

2. Pendapatan Perkapita……….. 44

3. Sarana Perekonomian……….. 45

D. Keadaan Sektor Pertanian ... 42

1. Sub Sektor Tanaman Bahan Makanan ... 43

2. Sub Sektor Perkebunan ... 48

3. Sub Sektor Peternakan ... 49

4. Sub Sektor Perikanan ... 50

5. Sub Sektor Kehutanan... 50

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 52

A. Identifikasi komoditi Pertanian Unggulan di Kabupaten Semarang.... 52

B. Tingkat Spesialisasi dan Lokalisasi Komoditi Pertanian di Kabupaten Semarang... 58

1. Kuosien Spesialisasi... 58

2. Kuosien Lokalisasi ... 64

C. Analisis Prioritas Pengembangan Komoditi Pertanian Unggulan ... 68

VI.KESIMPULAN DAN SARAN ... 73

A. Kesimpulan ... 73

B. Saran... 74

DAFTAR PUSTAKA... 75

(7)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 1. Penggunaan Lahan di Wilayah Kabupaten Semarang... 38 Tabel 2. Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, dan Kepadatan Penduduk

per Kecamatan di Kabupaten Semarang Tahun 2005... 40 Tabel 3. Perkembangan Jumlah Penduduk di Kabupaten Semarang

Tahun 2005... 40 Tabel 4. Laju Pertumbuhan Penduduk per Kecamatan di Kabupaten

Semarang Tahun 2005... 41 Tabel 5. Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis

Kelamin di Kabupaten Semarang Tahun 2004-2005... 42 Tabel 6. Pertumbuhan PDRB Kabupaten Semarang Tahun

2001-2005 Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000... 44 Tabel 7. PDRB Per Kapita Kabupaten Semarang Tahun 2001-2005

Berdasar Atas Harga Berlaku dan Harga Konstan Tahun 2000... 44 Tabel 8. Produksi Komoditi Sub Sektor Tanaman Bahan Makanan di

Kabupaten Semarang Tahun 2005... 46 Tabel 9. Produksi Komoditi Sub Sektor Perkebunan di Kabupaten

Semarang Tahun 2005... 48 Tabel 10. Produksi Komoditi Sub Sektor Peternakan di Kabupaten

Semarang Tahun 2005... 49 Tabel 11. Produksi Komoditi Sub Sektor Perikanan di Kabupaten

Semarang Tahun 2005... 50 Tabel 12. Produksi Komoditi Sub Sektor Kehutanan di Kabupaten

Semarang Tahun 2005... 50 Tabel 13. Komoditi Pertanian Unggulan Tiap Kecamatan di

(8)

Nomor Judul Halaman

Tabel 14. Kuosien Spesialisasi Tiap Komoditi Pertanian di Kabupaten

Semarang Tahun 2005... 59 Tabel 15. Nilai Kuosien Spesialisasi Pada Tiap Kecamatan di

Kabupaten Semarang Tahun 2005... 61 Tabel 16. Kuosien Lokalisasi Tiap Kecamatan di Kabupaten

Semarang Tahun 2005... 65 Tabel 17. Nilai Kuosien Lokalisasi Komoditi Pertanian di Kabupaten

Semarang Tahun 2005... 67 Tabel 18. Prioritas Komoditi Pertanian Unggulan untuk

Dikembangkan di Tiap Kecamatan di Kabupaten

Semarang... 69 Tabel 19. Komoditi Pertanian Unggulan yang Dapat Diprioritaskan

Untuk Dikembangkan di Kabupaten Semarang... 70 Tabel 20. Perbandingan Antara Komoditi Pertanian yang Diunggulkan

Pemerintah Daerah Kabupaten Semarang dengan Hasil

(9)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1

2

3

Kerangka Teori Pendekatan Masalah Untuk Menentukan Komoditi Pertanian Unggulan di Kabupaten Semarang... Kerangka Teori Pendekatan Masalah Untuk Menentukan Tingkat Spesialisasi dan Lokalisasi Komoditi Pertanian Unggulan di Kabupaten Semarang... Kerangka Teori Pendekatan Masalah Untuk Menentukan Prioritas Pengembangan Komoditi Pertanian Unggulan di Kabupaten Semarang...

25

26

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

Lampiran 1. Nilai Produksi Komoditi Pertanian di Kabupaten Semarang Tahun 2005... 78 Lampiran 2. Nilai Location Quotient (LQ) Komoditi Pertanian di

Kabupaten Semarang Tahun 2005...

85 Lampiran 3. Kuosien Spesialisasi Komoditi Pertanian di Kecamatan

Kabupaten Semarang Tahun 2005...

92 Lampiran 4. Kuosien Lokalisasi Komoditi Pertanian di Kecamatan

Kabupaten Semarang Tahun 2005...

99 Lampiran 5. Peta Wilayah Kabupaten Semarang... 107 Lampiran 6. Surat Ijin Penelitian Fakultas Pertanian UNS Surakarta... 108 Lampiran 7. Surat Ijin Penelitian KESBANG dan LINMAS

(11)

RINGKASAN

Paramita Hapsari, 2007. “Identifikasi Komoditi Pertanian Unggulan di Kabupaten Semarang “. Dibawah bimbingan Ir. Ropingi, M.Si. dan Wiwit Rahayu, S.P., M.P. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Adanya otonomi daerah memungkinkan daerah dapat mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang dimilikinya secara optimal sehingga kebijakan pembangunan daerah akan lebih terarah. Salah satu potensi yang dimiliki Kabupaten Semarang adalah sektor pertanian sehingga diperlukan identifikasi komoditi pertanian unggulan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi komoditi pertanian yang menjadi komoditi unggulan di Kabupaten Semarang, mengetahui tingkat spesialisasi dan tingkat lokalisasi komoditi pertanian Kabupaten Semarang dan mengidentifikasi komoditi pertanian yang diprioritaskan untuk dikembangkan di Kabupaten Semarang.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dengan analisis data yang digunakan yaitu analisis Location Quotient (LQ), Kuosien Spesialisasi (KS) dan Kuosien Lokalisasi (Lo). Data yang digunakan adalah data jumlah produksi komoditi pertanian Kabupaten Semarang 2005, data jumlah produksi komoditi pertanian tiap kecamatan di Kabupaten Semarang tahun 2005 dan data harga rata-rata komoditi pertanian di tingkat produsen di Kabupaten Semarang tahun 2005.

(12)

SUMMARY

Paramita Hapsari. 2007. “Prime Agriculture Commodity Identification In Semarang Regency” . Under the guidance of Ir. Ropingi, M.Si and Wiwit Rahayu,S.P, M.P, Faculty of Agriculture, Sebelas Maret University.

Regional autonomy enables a region to actualize every best potential that they have, thus a regional development will be more directed. One of the potentials that Semarang Regency has is its agricutural sector thus it needs to identify a prime agriculture commodity. The aims of this research are to identify agriculture commodity which become a prime commodity in Semarang Regency, to know the level of agriculture commodity in Semarang Regency and to identify agriculture commodity which become priority to be developed in Semarang Regency.

The method used in this research are descriptive. To analyze the data used Location Quotient (LQ), Specialization Quotient (KS), Localization Quotient (Lo) and combination Location Quotient (LQ) and Specialization Quotient (KS). The data used in this research were data of agriculture commodity production number in Semarang Regency in 2005, data of agriculture commodity production number in every subdistrict in Semarang Regency in 2005 and data of agriculture commodity average price of producer level in Semarag Regency in 2005.

(13)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan adalah proses perubahan yang direncanakan dan merupakan rangkaian kegiatan yang berkesinambungan, berkelanjutan dan bertahap menuju ke tingkat yang lebih baik. Pembangunan nasional Indonesia bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Keberhasilan

pembangunan nasional pada dasarnya tergantung pada kualitas pembangunan daerah yang dilaksanakan. Pembangunan daerah diarahkan untuk memacu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya dalam rangka meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan rakyat.

Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumber daya yang ada dan membentuk suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut (Arsyad, 1999).

Penerapan UU RI No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU RI No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah telah merubah paradigma dalam penyelenggaraan pemerintahan dari pola sentralistik ke pola desentralistik. Perubahan ini memiliki arti yang sangat penting dalam pembangunan daerah yang menuntut daerah mampu melakukan aktivitas pembangunan mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan serta pengendalian dalam mengembangkan potensi yang dimiliki masing-masing daerah. Dengan diterapkannya Undang-Undang tersebut maka pemerintah di daerah mendapat kewenangan yang lebih besar dalam mengatur pemerintahannya sendiri termasuk di bidang pertanian.

Strategi pembangunan pertanian dalam kaitannya dengan pembangunan daerah harus lebih memperhatikan pembangunan sektor pertanian karena sektor pertanian selain menghasilkan bahan pangan bagi penduduk, sektor pertanian juga sebagai penyerap tenaga kerja dan sebagai pendukung

(14)

pengembangan sektor lain terutama sektor industri yaitu sebagai pemasok bahan baku bagi kegiatan industri.

Kabupaten Semarang merupakan bagian dari wilayah Indonesia yang terletak di Provinsi Jawa Tengah, dimana Kabupaten Semarang ini harus mempersiapkan diri untuk lebih mandiri dengan diberlakukannya otonomi daerah. Oleh karena itu, Kabupaten Semarang harus mempunyai kemampuan untuk menggali potensi-potensi daerah yang dimilikinya sehingga

pembangunan ekonomi daerahnya tidak ketinggalan dengan daerah lain. Sektor pertanian dalam perekonomian wilayah Kabupaten Semarang mampu memberikan sumbangan sebesar 14,90% terhadap total PDRB berdasarkan harga berlaku Kabupaten Semarang tahun 2005. Jika

dibandingkan dengan sektor lainnya, kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB Kabupaten Semarang menduduki peringkat ketiga setelah sektor industri pengolahan yaitu sebesar 43,88% dan sektor perdagangan, hotel dan restoran yaitu sebesar 20,83%. Kemudian untuk sektor yang lain berturut-turut adalah sektor jasa-jasa kontribusinya sebesar 8,52%, sektor bangunan

memberikan kontribusi sebesar 4,13%, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan kontribusinya sebesar 3,58%, sektor pengangkutan dan

komunikasi kontribusinya sebesar 2,73%, sektor listrik, gas dan air bersih memberikan kontribusi sebesar 1,33%, dan yang paling kecil kontribusinya

adalah sektor pertambangan dan penggalian yaitu sebesar 0,11% (BPS, 2005).

(15)

Kabupaten Semarang mempunyai luas wilayah 95.020,67 ha atau 2,92% dari luas Provinsi Jawa Tengah, yang terdiri dari 24.454,65 ha tanah sawah (25,73%) dan tanah kering 70.566,02 ha (74,27%). Wilayah Kabupaten Semarang memiliki topografi yang berupa pegunungan dan perbukitan,

diantaranya terdapat Gunung Telomoyo, Gunung Ungaran, Rawa Pening, Kali Tuntang sehingga Kabupaten Semarang memiliki agroklimat yang beragam. Keberagaman kondisi alam tersebut merupakan potensi wilayah dan sumber daya yang memungkinkan Kabupaten Semarang mampu memproduksi berbagai komoditi pertanian yang beraneka ragam.

Kabupaten Semarang memiliki agroklimat yang sesuai untuk

pengembangan berbagai macam komoditas pertanian didukung peluang pasar yang cukup luas. Komoditi tanaman pangan yang dihasilkan diantaranya padi, jagung, kacang tanah, ketela pohon. Kabupaten Semarang memiliki

keunggulan dalam produk sayur-sayuran dan buah-buahan. Beberapa komoditas yang menonjol seperti kelengkeng varietas batu dan kopyor yang cukup dikenal di Kota Semarang dan DKI Jakarta, salak lumut yang

merupakan hasil perkawinan antara salak pondoh dan salak lokal, serta buah waluh. Aneka sayuran seperti wortel, tomat, bawang daun, seledri, kentang, cabai, dan petsai yang dipasarkan di hampir seluruh kota di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Tak kalah populernya juga bunga-bungaan, bahkan khusus untuk bunga krisan diekspor ke Eropa dan Asia. Bunga-bunga lainnya juga menjadi komoditi yang layak jual, seperti bunga gladiol, sedap malam, dan aster (Anonim, 2002).

(16)

B. Perumusan Masalah

Adanya otonomi daerah memungkinkan daerah dapat

mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang dimilikinya secara optimal sehingga pemerintah daerah harus makin proaktif untuk mengoptimalkan potensi daerah dan memanfaatkan sumber daya alam yang ada.

Pelaksanaan pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur, maka Pemerintah Daerah Kabupaten Semarang dituntut untuk memberdayakan sumber daya yang dimiliki agar dapat memberikan manfaat terhadap keberlanjutan pembangunan daerah.

Kabupaten Semarang sebagai daerah otonom, di era otonomi ini pemerintahnya dituntut untuk lebih mengenal potensi dari daerahnya.Bagian timur wilayah Kabupaten Semarang merupakan dataran tinggi dan perbukitan. Di bagian barat wilayah Kabupaten Semarang berupa pegunungan, dengan puncaknya Gunung Ungaran (2.050 meter) di perbatasan dengan Kabupaten Kendal, serta Gunung Merbabu (3.141 meter) di bagian barat daya.Kondisi hidrologi Kabupaten Semarang terdiri dari perairan darat berupa sungai/kali dan danau/rawa diantaranya Kali Garang, Rawa Pening, Kali Tuntang dan Kali Senjoyo. Jenis tanah di wilayah Kabupaten Semarang antara lain tanah latosol, regosol, grumosol, aluvial, andosol dan podsolik yang merupakan jenis tanah yang subur. Kondisi wilayah Kabupaten Semarang tersebut mendukung kegiatan di sektor pertanian.

Berdasarkan BPS (2005), sektor pertanian di Kabupaten Semarang terbagi menjadi lima sub sektor yaitu sub sektor tanaman bahan makanan, tanaman perkebunan, peternakan, kehutanan dan perikanan. Dalam

(17)

Berdasarkan data dari Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Semarang (2005), komoditi sub sektor tanaman bahan makanan yang dihasilkan yaitu padi sawah sebanyak 163.502 ton dengan rata-rata produksi 49,58 kw/ha, jagung sebanyak 57.124 ton dengan rata-rata produksi 43,25 kw/ha, ketela pohon sebanyak 37.641 ton dengan rata-rata produksi 179,67 kw/ha. Komoditi tanaman bahan makanan yang lain yaitu padi ladang, ketela rambat, kacang tanah dan kedelai. Selain itu, juga terdapat beberapa komoditi hortikultura yang telah berkembang yaitu kelengkeng, durian, nangka, alpukat, salak, pisang, sayuran dan tanaman hias. Komoditi dari sub sektor tanaman perkebunan yang diusahakan oleh rakyat seperti kelapa, cengkeh, jambu mete, kakao, kopi dan empon-empon (jahe, temulawak, kunir, kapulaga, kencur). Komoditi dari sub sektor kehutanan meliputi jati,

sengon,pinus, mahoni dan suren.

Data dari Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Semarang (2005) diketahui bahwa komoditi dari sub sektor peternakan dan hasil-hasilnya mencakup ayam, sapi, kambing, babi, domba dan itik. Sedangkan untuk komoditi dari sub sektor perikanan mencakup hasil produksi dari perairan umum (rawa, sungai) dan produksi perikanan darat (kolam, karamba dan mina padi). Komoditi pertanian yang dihasilkan Kabupaten Semarang tidak hanya

dihasilkan oleh satu kecamatan saja, akan tetapi tersebar di 17 kecamatan. Pada tahun 2005 sektor pertanian hanya mampu menduduki peringkat

ketiga dalam PDRB Kabupaten Semarang. Sebenarnya apabila potensi pertanian yang tersedia dapat dimanfaatkan secara optimal maka akan dapat memberikan hasil yang memuaskan dan pada akhirnya dapat memperbesar kontribusi pertanian terhadap PDRB Kabupaten Semarang, sehingga strategi pembangunan pertanian perlu diarahkan untuk optimalisasi dan

pengembangan potensi, dalam rangka mendukung ketahanan pangan masyarakat dan pengembangan agrobisnis yang bertumpu pada pengembangan produk pertanian unggulan.

(18)

Berdasarkan uraian tersebut di atas maka diperlukan suatu penelitian mengenai komoditi pertanian di Kabupaten Semarang dengan perumusan masalah sebagai berikut :

1. Komoditi pertanian apa saja yang menjadi komoditi unggulan di Kabupaten Semarang ?

2. Adakah tingkat spesialisasi dan lokalisasi komoditi pertanian di Kabupaten Semarang ?

3. Komoditi pertanian apa saja yang diprioritaskan untuk dikembangkan di Kabupaten Semarang ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian Identifikasi Komoditi Pertanian Unggulan Di Kabupaten Semarang adalah

1. Mengetahui komoditi pertanian yang menjadi komoditi unggulan di Kabupaten Semarang.

2. Mengetahui tingkat spesialisasi dan lokalisasi komoditi pertanian di Kabupaten Semarang.

3. Mengetahui komoditi pertanian yang diprioritaskan untuk dikembangkan di Kabupaten Semarang.

D. Kegunaan Penelitian

1. Bagi penulis, menambah pengetahuan yang berkaitan dengan topik penelitian yaitu mengenai identifikasi komoditi pertanian unggulan di Kabupaten Semarang.

2. Bagi penentu kebijakan, sebagai salah satu pertimbangan atau pedoman dalam mengambil kebijakan, khususnya dalam rangka pemetaan dan penentuan wilayah pengembangan komoditi pertanian unggulan di Kabupaten Semarang.

(19)

II.

LANDASAN TEORI

A. Penelitian Terdahulu

Setyaningrum (2006), dalam penelitiannya mengenai “Identifikasi Komoditi Pertanian Unggulan Di Kabupaten Boyolali” dengan menggunakan analisis Location Quotient (LQ) menyebutkan bahwa tiap-tiap kecamatan di Kabupaten Boyolali mempunyai komoditi pertanian unggulan yang berbeda-beda. Komoditi ayam buras merupakan komoditi yang menjadi unggulan di paling banyak kecamatan di Kabupaten Boyolali pada tahun 2004 yaitu di Kecamatan Boyolali, Teras, Sawit, Banyudono, Ngemplak, Simo, Karang Gede, Klego, Kemusu, Wonosegoro dan Juwangi. Berdasarkan analisis gabungan LQ, KS dan KL diperoleh hasil bahwa kecamatan yang merupakan wilayah basis komoditi pertanian unggulan di Kabupaten Boyolali adalah Kecamatan Selo, Sawit, Banyudono dan Musuk. Komoditi pertanian di Kabupaten Boyolali mempunyai kecenderungan memusat yaitu sebanyak 57 komoditi dan terjadi pemusatan kegiatan pertanian tertentu di seluruh

kecamatan. Komoditi pertanian yang diprioritaskan untuk dikembangkan di Kabupaten Boyolali adalah komoditi wortel, itik, babi dan sirih.

Muryani (2005), dalam penelitiannya mengenai “Identifikasi dan Kontribusi Sektor Pertanian Dalam Perekonomian Wilayah Kabupaten Semarang” dengan menggunakan metode analisis Location Quotient (LQ),

Dynamic Location Quotient (DLQ), gabungan LQ dan DLQ, hasil

penelitiannya menyimpulkan bahwa sektor perekonomian yang menjadi sektor basis (1999-2003) yaitu sektor industri, listrik, gas dan air bersih, lembaga keuangan, persewaan dan jasa perusahaan serta sektor jasa-jasa. Sedangkan sektor perekonomian yang dapat diharapkan basis di masa mendatang, proyeksi untuk lima tahun yang akan datang yaitu tahun (2004-2008) adalah sektor pertanian; listrik, gas dan air bersih, angkutan dan komunikasi; lembaga keuangan, persewaan dan jasa perusahaan serta sektor jasa-jasa. Sehingga sektor yang mengalami perubahan posisi yaitu sektor pertanian serta sektor

(20)

angkutan dan komunikasi yang mengalami perubahan posisi dari non basis menjadi basis serta sektor industri yang mengalami perubahan posisi dari basis menjadi non basis.

Sektor pertanian menjadi sektor non basis untuk tahun (1999-2003) dan bisa diharapkan berubah menjadi sektor basis untuk masa mendatang (2004-2008) sehingga sektor pertanian mengalami perubahan posisi dari non basis menjadi basis. Sub sektor pertanian yang non basis untuk tahun (1999-2003) adalah sub sektor perkebunan, peternakan serta kehutanan dan bisa diharapkan basis di masa mendatang (2004-2008). Sehingga sub sektor perkebunan, peternakan dan kehutanan mengalami perubahan posisi dari non basis menjadi basis. Sedangkan sub sektor tanaman pangan dan perikanan baik untuk tahun (1999-2003) maupun masa mendatang (2004-2008) menjadi sub sektor non basis yang berarti tidak mengalami perubahan posisi dan tetap menjadi sub sektor non basis.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Aryani (2005) berjudul “Identifikasi Komoditi Pertanian Unggulan di Kabupaten Sragen”, komoditi pertanian unggulan yang banyak diusahakan di 20 kecamatan di Kabupaten Sragen yaitu padi sawah, kacang tanah, ubi kayu, ubi jalar, cabai, kacang panjang, pepaya, pisang, mangga, jambu biji, kelapa, wijen, kapuk randu, sapi potong, kambing, domba, lele dumbo, gurami, belut. Komoditi yang mempunyai tingkat lokalisasi yang tinggi adalah nila hitam (0,94064), sapi perah (0,92907), ubi jalar (0,91618) dan nanas (0,90940). Berdasarkan gabungan analisis LQ, KS dan KL diperoleh hasil yang dapat digunakan untuk menentukan wilayah basis bagi komoditi pertanian unggulan di Kabupaten Sragen, yaitu Kecamatan Jenar untuk komoditi garut, Kecamatan Kalijambe untuk komoditi nanas. Berdasarkan analisis prioritas, komoditi pertanian di Kabupaten Sragen yang diprioritaskan untuk dikembangkan adalah komoditi garut, nanas dan sapi perah.

(21)

perhitungan dengan menggunakan pendekatan LQ diperoleh hasil bahwa di Kabupaten Boyolali pada periode tahun 1997-2001 sektor perekonomian yang termasuk ke dalam sektor basis adalah sektor pertanian, sektor perdagangan dan sektor keuangan. Rata-rata nilai LQ dari masing-masing sektor adalah 1,31; 1,15 dan 1,30. Dengan demikian ketiga sektor ekonomi tersebut disamping bisa memenuhi kebutuhan lokal (kebutuhan daerah Kabupaen Boyolali) juga memiliki potensi untuk melakukan ekspor ke daerah lain melalui perdagangan antar wilayah. Sub sektor pertanian di Kabupaten Boyolali yang tergolong ke dalam sub sektor basis pada periode 1997-2001 adalah sub sektor perkebunan dan sub sektor peternakan.

Beberapa penelitian tersebut digunakan sebagai referensi karena sebagai tindak lanjut penelitian sebelumnya dalam kaitannya dengan menggali potensi sektor pertanian yang terdapat di Kabupaten Semarang khususnya komoditi pertanian unggulan dan lokasi penelitian yang berdekatan dengan Kabupaten Semarang. Selain itu adanya persamaan topik yaitu mengenai Identifikasi Komoditi Pertanian Unggulan dan persamaan metode analisis yang digunakan yaitu Location Quotient (LQ), Kuosien Spesialisasi (KS), Kuosien Lokalisasi (Lo) serta gabungan LQ, KS dan Lo.

B. Tinjauan Pustaka

1. Pembangunan

Pembangunan adalah suatu proses perbaikan yang

berkesinambungan atas suatu masyarakat atau suatu sistem sosial secara keseluruhan menuju kehidupan yang lebih baik atau lebih manusiawi.

(22)

perkembangan di semua masyarakat harus memiliki tiga tujuan inti yaitu : (Todaro, 2000).

a. Peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai macam barang kebutuhan hidup yang pokok seperti pangan, sandang, papan, kesehatan dan perlindungan keamanan.

b. Peningkatan standar hidup yang tidak hanya berupa peningkatan pendapatan, tetapi juga meliputi penambahan penyediaan lapangan kerja, perbaikan kualitas pendidikan, serta peningkatan perhatian atas nilai-nilai kultural dan kemanusiaan yang kesemuanya itu tidak hanya untuk memperbaiki kesejahteraan materiil melainkan juga menumbuhkan jati diri pribadi dan bangsa yang bersangkutan.

c. Perluasan pilihan-pillihan ekonomis dan sosial bagi setiap individu serta bangsa secara keseluruhan yakni dengan membebaskan mereka dari belitan sikap menghamba dan ketergantungan bukan hanya terhadap orang atau negara bangsa lain namun juga terhadap setiap kekuatan yang berpotensi merendahkan nilai-nilai kemanusiaan mereka.

Pembangunan adalah usaha yang secara sadar dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat. Usaha ini akan dapat

berlangsung terus-menerus dalam jangka panjang dan akan berhasil makin lama makin maju kalau sekurang-kurangnya dipenuhi sejumlah syarat pokok, diantaranya ada dua yang penting. Pertama, ada SDM yang cukup banyak dan mempunyai kemampuan dan semangat kerja yang cukup besar, yang menggerakkan secara terpadu dan serasi semua kegiatan guna mengolah dan memanfaatkan sumber daya lain dalam proses

pembangunan. Kedua, ada pasar yang cukup besar untuk menjual barang dan jasa yang dihasilkan dalam pembangunan (Suroto, 1992).

(23)

daya produksi diantara sektor-sektor kegiatan ekonomi, perubahan pada pola pembagian (distribusi) kekayaan dan pendapatan di antara berbagai golongan pelaku ekonomi, perubahan pada kerangka kelembagaan dalam kehidupan masyarakat secara menyeluruh (Djojohadikusumo, 1994).

2. Pembangunan Ekonomi

Pembangunan ekonomi ditujukan untuk membuat penghidupan masyarakat banyak negara yang bersangkutan makin makmur dan adil, keduanya dalam artian ekonomi. Istilah makin makmur diartikan sebagai keadaan pendapatan perkapita yang tahun demi tahun makin meningkat, sedangkan adil diartikan sebagai distribusi pendapatan yang makin merata. Disamping itu, pembangunan ekonomi juga sering ditujukan untuk

membuat struktur ekonomi negara yang bersangkutan makin seimbang antara sektor ekonomi yang satu dan yang lain, terutama antar sektor pertanian dan industri (Djojodipuro, 1994).

Menurut Arsyad (1999) pembangunan ekonomi pada umumnya didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan kenaikan

pendapatan riil perkapita penduduk suatu negara dalam jangka panjang yang disertai oleh perbaikan sistem kelembagaan. Dari definisi tersebut, pembangunan ekonomi mempunyai pengertian :

a. Pembangunan ekonomi sebagai suatu proses yang berarti perubahan yang terjadi terus-menerus yang didalamnya telah mengandung unsur-unsur kekuatan sendiri untuk investasi baru.

b. Usaha untuk menaikkan pendapatan perkapita.

c. Kenaikan pendapatan perkapita harus berlangsung dalam jangka panjang.

d. Perbaikan sistem kelembagaan di segala bidang (misalnya ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya).

3. Otonomi Daerah

(24)

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk memungkinkan daerah yang bersangkutan mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan

pembangunan (Kamaluddin, 1992).

Inti dari pelaksanaan otonomi daerah adalah upaya

memaksimalkan hasil yang akan dicapai sekaligus menghindari kerumitan dan hal-hal yang menghambat pelaksanaan otonomi daerah. Dengan demikian tuntutan masyarakat dapat diwujudkan secara nyata dengan penerapan otonomi daerah luas dan kelangsungan pelayanan umum tidak diabaikan serta memelihara kesinambungan fiskal secara nasional.

Melalui otonomi daerah diharapkan daerah akan lebih mandiri dalam menentukan seluruh kegiatannya dan pemerintah pusat diharapkan tidak terlalu aktif mengatur daerah. Pemerintah daerah diharapkan mampu memainkan peranannya dalam membuka peluang memajukan daerah dengan melakukan identifikasi potensi sumber-sumber pendapatannya dan mampu menetapkan belanja daerah secara ekonomi yang wajar, efisien, dan efektif termasuk kemampuan perangkat daerah dalam meningkatkan kinerja, mempertanggungjawabkan kepada pemerintah atasannya maupun kepada publik / masyarakat (Widjaja, 2004).

Diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU No. 22 Tahun 1999, dimaksudkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Dengan otonomi seluas-luasnya yang diberikan kepada daerah, diharapkan daerah mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan serta potensi keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (Anonim, 2004).

Tujuan utama penyelenggaraan otonomi daerah adalah

(25)

Pada dasarnya terkandung tiga misi utama pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yaitu : (Mardiasmo, 2002).

a. Meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat.

b. Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah. c. Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat (publik)

untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan.

4. Perencanaan Pembangunan Daerah

Perencanaan dianggap sebagai alat pembangunan karena

perencanaan memang merupakan alat strategis dalam menuntun jalannya pembangunan. Suatu perencanaan yang disusun secara tidak sistematis dan tidak memperhatikan aspirasi sasaran, maka pembangunan yang dihasilkan juga tidak seperti yang diharapkan. Di sisi lain, perencanaan juga

dipandang sebagai tolok ukur dari keberhasilan dan kegagalan dari

pembangunan, yang mengandung arti bahwa kegiatan pembangunan yang gagal bisa jadi karena perencanaan yang tidak baik dan begitu pula

sebaliknya.

Perencanaan pembangunan daerah dimaksudkan agar semua daerah dapat melaksanakan pembangunan secara proporsional dan merata sesuai dengan potensi yang ada di daerah tersebut. Manfaat perencanaan pembangunan daerah adalah untuk pemerataan pembangunan atau

perluasan dari pusat ke daerah. Bila perencanaan pembangunan daerah dan pembangunan daerah berkembang dengan baik maka diharapkan bahwa kemandirian daerah dapat tumbuh dan berkembang sendiri (mandiri) atas dasar kekuatan sendiri. Dengan demikian, maka kenaikan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut tidak terlalu bergantung dari pusat tetapi relatif cukup didorong dari daerah yang bersangkutan

(Soekartawi, 1990).

(26)

adanya tujuan pembangunan tertentu. Ciri-ciri dari suatu perencanaan pembangunan tersebut adalah :

a. Usaha yang dicerminkan dalam rencana untuk mencapai perkembangan sosial ekonomi yang mantap (steady social economic growth).

b. Usaha yang dicerminkan dalam rencana untuk meningkatkan pendapatan perkapita.

c. Usaha untuk mengadakan perubahan struktur ekonomi. d. Usaha perluasan kesempatan kerja.

e. Usaha pemerataan pembangunan sering disebut sebagai distributive justice.

f. Usaha pembinaan lembaga-lembaga ekonomi masyarakat yang menunjang kegiatan-kegiatan pembangunan.

g. Usaha secara terus-menerus menjaga stabilitas ekonomi.

(27)

5. Perencanaan Pembangunan Ekonomi Daerah

Pengertian perencanaan ekonomi adalah usaha secara sadar dari suatu pusat organisasi untuk mempengaruhi, mengarahkan serta dalam beberapa hal bahkan mengendalikan perubahan variabel-variabel ekonomi yang utama (misal GDP, konsumsi, investasi, tabungan, dll) dari suatu negara atau wilayah tertentu selama periode tertentu sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya (Arsyad, 1992).

Pembangunan ekonomi daerah adalah proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber daya yang ada dan

membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut. Masalah pokok pembangunan ekonomi daerah adalah pada penekanan terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan pada kekhasan daerah yang bersangkutan (endogenous development) dengan menggunakan potensi sumber daya manusia, kelembagaan dan sumber daya fisik secara lokal (daerah). Orientasi ini mengarahkan kepada pengambilan inisiatif-inisiatif yang berasal dari daerah tersebut dalam proses pembangunan untuk

menciptakan kesempatan kerja baru dan merangsang peningkatan kegiatan ekonomi.

Perencanaan pembangunan ekonomi daerah dapat dianggap sebagai perencanaan untuk memperbaiki penggunaan sumberdaya-sumberdaya publik yang tersedia di daerah tersebut dan untuk

(28)

6. Pembangunan Pertanian

Menurut Todaro (2000), suatu strategi ekonomi yang berlandaskan pada prioritas pertanian dan ketenagakerjaan paling tidak memerlukan tiga unsur pelengkap dasar, yakni :

a. Percepatan, pertumbuhan output melalui serangkaian penyesuaian teknologi, institusional dan insentif harga yang khusus dirancang untuk meningkatkan produktivitas petani kecil

b. Peningkatan permintaan domestik terhadap output pertanian yang didasarkan pada strategi pembangunan perkotaan yang berorientasikan pada upaya pembinaan ketenagakerjaan

c. Diversifikasi kegiatan pembangunan pedesaan padat karya non pertanian yang secara langsung dan tidak langsung akan menunjang dan ditunjang oleh masyarakat pertanian.

Ada tiga visi pemerintah dalam pembangunan pertanian (2005-2009) untuk menuju Indonesia sebagai negara agragris seutuhnya. Pertama adalah terwujudnya pertanian tangguh untuk pemantapan

ketahanan pangan, kedua peningkatan nilai tambah dan daya saing produk pertanian dan ketiga peningkatan kesejahteraan petani (Anonim, 2007).

Menurut Soekartawi (2001), agar sasaran pembangunan pertanian yang dimaksudkan untuk tetap mampu mempunyai kontribusi yang nyata dalam perekonomian Indonesia dapat dicapai, maka upaya-upaya yang perlu dikembangkan adalah sebagai berikut :

a. Tetap memperhatikan prinsip keunggulan komparatif

b. Terus meningkatkan keterampilan masyarakat setempat yang memadai dalam memantapkan jenis industri pengolahan hasil pertanian yang telah dikenal

c. Terus meningkatkan bahan baku yang berkesinambungan, dan

(29)

Menurut Cahyono (1983), dalam pembangunan pertanian terdapat tiga komponen dasar yang harus dibina yaitu petani, komoditi, hasil pertanian dan wilayah pembangunan dimana kegiatan pertanian

berlangsung. Pembinaan terhadap petani diarahkan sehingga menghasilkan peningkatan pendapatan petani. Pengembangan komoditi hasil pertanian diarahkan benar-benar berfungsi sebagai sektor yang menghasilkan bahan pangan, bahan ekspor dan bahan baku bagi industri. Pembinaan terhadap wilayah pertanian ditujukan agar dapat menunjang pembangunan wilayah seutuhnya dan tidak terjadi ketimpangan antar wilayah.

Upaya pembangunan pertanian ke depan yang sesuai dengan pengembangan wilayah dan otonomi daerah, diantaranya melalui

agrobisnis dalam artian dengan melakukan kajian pengembangan wilayah komoditas pertanian unggulan sehingga memberikan kontribusi yang jelas bagi daerah maupun bagi pelaku kegiatannya itu sendiri, disamping tetap membenahi kegiatan agroindustri yang lebih berpihak pada sektor pertanian dan peningkatan kegiatan usaha yang berskala kecil dan menengah serta lebih menekankan pada kegiatan yang berbasis pada sektorpertanian(Anugrah dan Deddy, 2003).

7. Peran Pertanian dalam Pembangunan

(30)

sedang berkembang dapat meningkat dengan adanya kemajuan pertanian karena proses pemupukan modal ditentukan elastisitas pasokan pangan, (5) pertanian memberikan sumbangan pada neraca pembayaran dengan meningkatkan penerimaan negara dari ekspor atau dengan menghasilkan produk-produk pertanian pengganti impor, (6) pertumbuhan dan

pemekaran pertanian sangat erat berhubungan dengan pertumbuhan pasar dalam negeri. Perekonomian agraris yang terus tumbuh dibarengi dengan distribusi pendapatan di sektor pertanian yang adil akan memperbesar permintaan total, mendorong permintaan akan produk-produk industri sehingga membantu proses industrialisasi (Norman, 1994).

Menurut Jhingan (1999), sumbangan atau jasa sektor pertanian pada pembangunan ekonomi terletak dalam hal :

a. Menyediakan surplus pangan yang semakin besar kepada penduduk yang kian meningkat.

b. Meningkatkan permintaan akan produk industri dan dengan demikian mendorong diperluasnya sektor sekunder dan tersier.

c. Menyediakan tambahan penghasilan devisa untuk impor barang-barang modal bagi pembangunan melalui ekspor hasil pertanian terus-menerus.

d. Meningkatkan pendapatan desa untuk dimobilisasi pemerintah. e. Memperbaiki kesejahteraan rakyat pedesaan.

8. Teori Ekonomi Basis

(31)

Teori ekonomi basis (Economic Base Theory) mendasarkan

pandangannya bahwa laju pertumbuhan ekonomi suatu wilayah ditentukan oleh besarnya ekspor dari wilayah tersebut. Di dalam pengertian ekonomi regional, ekspor adalah menjual produk dan jasa ke luar wilayah baik ke wilayah lain di dalam negara itu maupun ke luar negeri. Pada dasarnya semua kegiatan baik penghasil produk maupun penyedia jasa yang

mendatangkan uang dari luar wilayah karena kegiatannya adalah kegiatan basis. Lapangan kerja dan pendapatan di sektor basis adalah fungsi permintaan yang bersifat exogenous (tidak tergantung pada kekuatan intern / permintaan lokal). Sedangkan sektor non basis adalah untuk memenuhi kebutuhan konsumsi lokal maka permintaan akan sektor ini akan sangat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan masyarakat setempat dan oleh sebab itu kenaikannya sejalan dengan kenaikan pendapatan

masyarakat setempat. Dengan demikian sektor ini terikat terhadap kondisi ekonomi setempat dan tidak bisa berkembang melebihi pertumbuhan ekonomi wilayah. Atas dasar anggapan di atas maka satu-satunya sektor yang bisa meningkatkan perekonomian wilayah melebihi pertumbuhan alamiah adalah sektor basis (Tarigan, 2002).

Teori basis ekonomi terdapat banyak kekurangan, antara lain kekurangan yang bersifat teknis seperti unit pengukuran, metode

identifikasi dan pemilihan unit wilayah serta diabaikannya peranan impor. Walaupun memiliki kekurangan, teori basis ekonomi tetap relevan dalam analisa dan perencanaan regional serta bermanfaat dalam usaha memahami struktur ekonomi suatu wilayah. Teori ini memiliki keunggulan karena sangat sederhana dan mudah diterapkan serta bermanfaat dalam usaha memahami struktur ekonomi di suatu wilayah dan dampak yang diakibatkan oleh perubahan-perubahan dalam jangka pendek.

(32)

tetapi metode ini memerlukan biaya, waktu dan tenaga kerja yang banyak. Mengingat hal tersebut di atas, maka sebagian besar pakar ekonomi wilayah menggunakan metode pengukuran tidak langsung. Beberapa metode pengukuran tidak langsung, yaitu : (1) metode melalui pendekatan asumsi; (2) metode Location Quotient; (3) metode kombinasi (1) dan (2); dan (4) metode kebutuhan minimum (Budiharsono, 2001).

Menurut Budiharsono (2001), beberapa metode pengukuran tidak langsung tersebut adalah :

a. Metode pendekatan melalui asumsi, yaitu bahwa semua sektor industri primer dan manufaktur adalah sektor basis. Sedangkan sektor jasa adalah sektor non basis. Pada wilayah tertentu yang luasnya relatif kecil dan tertutup, maka metode ini cukup baik bila digunakan. Akan tetapi pada banyak kasus, dalam suatu kelompok industri bisa merupakan sektor basis juga merupakan sektor non basis.

b. Metode Location Quotient (LQ), merupakan perbandingan antara pangsa relatif pendapatan (tenaga kerja) sektor i pada tingkat wilayah terhadap pendapatan (tenaga kerja) total wilayah dengan pangsa relatif pendapatan (tenaga kerja) sektor i pada tingkat nasional terhadap pendapatan (tenaga kerja) nasional.

c. Metode kombinasi (1) dan (2), dimana menurut Hoyt, sektor basis adalah semua tenaga kerja dan pendapatan dari sektor (industri) ekstraktif (extractive industries), sedangkan sektor non basis adalah semua tenaga kerja dan pendapatan dari sumber khusus seperti politik, pendidikan, kelembagaan, tempat peristirahatan, kegiatan hiburan. d. Metode kebutuhan minimum, melibatkan penyeleksian sejumlah

(33)

sebagai ukuran kebutuhan minimum bagi industri tertentu. Persentase minimum ini digunakan sebagai batas, dan semua tenaga kerja di wilayah-wilayah lain yang lebih tinggi dari persentase ini dianggap sebagai tenaga kerja basis. Proses ini diulangi untuk setiap industri di wilayah yang bersangkutan untuk memperoleh tenaga kerja basis total. Menurut Glasson (1977), metode asumsi atau arbiter, dilakukan dengan cara membagi secara langsung kegiatan perekonomian ke dalam kategori ekspor dan non ekspor tanpa melakukan penelitian secara spesifik di tingkat lokal. Metode ini tidak memperhitungkan kenyataan bahwa dalam kegiatan ekonomi terdapat kegiatan ekonomi yang menghasilkan barang yang sebagian diekspor atau dijual secara lokal atau kedua-duanya.

Richardson (1991) menyatakan bahwa teknik LQ adalah teknik yang paling lazim digunakan dalam studi basis empirik. Asumsinya adalah bahwa suatu wilayah lebih spesialisasi dalam memproduksi barang tertentu, maka wilayah tersebut akan mengekspor barang sesuai dengan tingkat spesialisasinya.

Struktur perumusan LQ memberikan beberapa nilai yaitu LQ≤1 merupakan sektor non basis. LQ<1 menunjukkan sektor non basis karena tenaga kerja lokal kurang dari tenaga kerja yang diharapkan untuk suatu industri sehingga industri tersebut tidak dapat memenuhi permintaan lokal akan suatu barang atau jasa. LQ=1 menunjukkan tenaga kerja lokal tepat mencukupi permintaan tenaga kerja lokal untuk suatu barang atau jasa sehingga dianggap non basis karena tidak ada satupun barang atau jasa yang diekspor ke luar daerah. LQ>1 membuktikan bahwa tenaga kerja lokal lebih besar daripada tenaga kerja yang diharapkan dari suatu industri sehingga kelebihan tersebut diekspor ke luar daerah, oleh karena itu LQ>1 merupakan sektor basis (Florida State Unversity, 2002).

(34)

C. Kerangka Teori Pendekatan Masalah

Otonomi memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah untuk mampu mengatur sehingga pembangunan daerah selaras dengan potensi dan kemampuan daerah yang dimiliki untuk

selanjutnya mampu menopang keberlanjutan pembangunan daerah. Oleh karena itu, perencanaan pembangunan dilaksanakan dengan mengacu pada kemampuan dan potensi daerah sendiri serta pada pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya manusia sehingga dapat mengurangi ketergantungan pada pemerintah pusat.

Kabupaten Semarang sebagai salah satu daerah otonom dituntut untuk mampu menetapkan kebijakan pembangunan yang tepat sasaran sesuai dengan potensi daerah. Salah satu potensi yang dimiliki Kabupaten Semarang adalah sektor pertanian. Sektor pertanian memiliki berbagai jenis komoditi yang dapat dikembangkan sehingga dapat mendukung kemajuan sektor tersebut. Komoditi pertanian yang dimiliki Kabupaten Semarang beragam sehingga perlu untuk dikembangkan terutama komoditi pertanian yang merupakan unggulan daerah.

Potensi sektor pertanian yang dimiliki Kabupaten Semarang, termasuk didalamnya merupakan potensi sektor pertanian di tingkat wilayah dengan ruang lingkup dibawahnya, dimana dalam hal ini adalah wilayah kecamatan. Wilayah kecamatan mempunyai perbedaan kemampuan dalam melaksanakan pembangunan pertanian, sehingga setiap kecamatan memilki potensi yang berbeda-beda dalam mengembangkan komoditi pertanian tertentu, yang dilihat dari nilai produksi yang dihitung dengan mengalikan jumlah produksi

komoditi dengan harga rata-rata komoditi yang dihasilkan.

Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengetahui komoditi pertanian unggulan, tingkat spesialisasi dan tingkat lokalisasi komoditi pertanian yaitu dengan menggunakan teori ekonomi basis. Menurut

(35)

basis atau non basis dapat digunakan beberapa metode yaitu metode pengukuran langsung dan metode pengukuran tidak langsung. Metode pengukuran langsung dapat dilakukan dengan survei langsung sedangkan metode pengukuran tidak langsung dapat dilakukan dengan : (1) metode pendekatan asumsi; (2) metode Location Quotient (LQ); (3) metode kombinasi (1) dan (2); dan (4) metode kebutuhan minimum.

Berdasarkan teori basis ekonomi maka seluruh kegiatan sektor pertanian dapat diklasifikasikan menjadi kegiatan basis dan kegiatan non basis. Kegiatan basis pertanian menghasilkan komoditi pertanian unggulan dan kegiatan non basis menghasilkan komoditi pertanian bukan unggulan.

Penentuan komoditi pertanian unggulan dan komoditi pertanian bukan unggulan menggunakan metode Location Quotient (LQ) dengan pendekatan perhitungan nilai produksi. Nilai produksi merupakan hasil perkalian antara jumlah produksi suatu komoditi pertanian dengan harga rata-rata suatu komoditi pertanian dalam satu tahun. Kriteria yang digunakan dalam metode LQ ini adalah apabila nilai LQ>1, menunjukkan komoditi unggulan yang artinya bahwa komoditi tersebut mampu memenuhi kebutuhan di dalam daerahnya sekaligus mampu mengekspor ke luar daerah. Sedangkan nilai LQ£1 adalah komoditi bukan unggulan, yang artinya bahwa komoditi tersebut hanya mampu memenuhi kebutuhan di dalam daerahnya (konsumsi pasar lokal) serta belum mampu mengekspor ke luar wilayah atau komoditi tersebut belum mampu memenuhi kebutuhan di dalam daerahnya sendiri.

(36)

penyebaran komoditi tertentu di suatu wilayah dalam hal ini apakah suatu komoditi pertanian memusat di suatu wilayah kecamatan tertentu.

Kriteria yang digunakan dalam metode KS dan Lo adalah apabila nilai KS mendekati satu atau KS³1 maka di tingkat kecamatan terdapat spesialisasi terhadap kegiatan pertanian atau di tingkat kabupaten terdapat spesialisasi terhadap komoditi pertanian tertentu. Apabila nilai KS mendekati 0 maka di tingkat kecamatan tidak terdapat spesialisasi kegiatan pertanian atau di tingkat kabupaten tidak terdapat spesialisasi terhadap komoditi pertanian tertentu. Jika nilai Lo mendekati satu atau Lo³1 maka di tingkat kecamatan terdapat

pemusatan terhadap kegiatan pertanian tertentu atau di tingkat kabupaten terdapat pemusatan terhadap komoditi pertanian tertentu. Apabila nilai Lo mendekati 0 maka di tingkat kecamatan tidak terdapat pemusatan terhadap kegiatan pertanian tertentu atau di tingkat kabupaten tidak terdapat pemusatan terhadap komoditi pertanian tertentu (komoditi pertanian tersebut menyebar di beberapa wilayah di Kabupaten Semarang).

Penentuan komoditi pertanian unggulan yang diprioritaskan untuk dikembangkan di Kabupaten Semarang, dengan melihat nilai LQ terbesar dari beberapa komoditi yang ada dalam suatu kecamatan lalu dilihat nilai kuosien spesialisasinya. Jika nilai kuosien spesialisasinya paling tinggi dari komoditi yang ada berarti komoditi tersebut memiliki keunggulan komparatif untuk diproduksi di kecamatan tersebut.

(37)

Gambar 1. Kerangka Teori Pendekatan Masalah Untuk Menentukan Komoditi Pertanian Unggulan di Kabupaten Semarang

Pembangunan Daerah Kabupaten Semarang

Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Semarang

Sektor Ekonomi Sektor Non Ekonomi

Sektor Pertanian Sektor Non Pertanian

Sub Sektor Pertanian

Metode Pengukuran Langsung Metode Pengukuran

Tidak Langsung

Teori Ekonomi Basis Komoditi Pertanian

Nilai Produksi (Jumlah Produksi x Harga Rata-Rata) selama 1 tahun

Metode Location Quotient

Metode Kebutuhan Minimum Metode Kombinasi

Identifikasi Komoditi Pertanian Unggulan LQ > 1 Komoditi Pertanian Unggulan

(38)

Gambar 2. Kerangka Teori Pendekatan Masalah Untuk Menentukan Tingkat Spesialisasi dan Lokalisasi Komoditi Pertanian di Kabupaten Semarang

Metode Pengukuran Langsung Metode Pengukuran

Tidak Langsung

Metode Location Quotient

Metode Kebutuhan Minimum Metode Kombinasi

Metode Pendekatan Asumsi * KS≥1 atau KS~1, Lo≥1 atau Lo~1, artinya komoditi pertanian i

merupakan komoditi pertanian unggulan yang terspesialisasi di kecamatan i dan keberadaannya memusat di suatu wilayah kecamatan. * KS~0, Lo~0, artinya komoditi

pertanian i merupakan komoditi pertanian yang tidak terspesialisasi di kecamatan i dan keberadaannya menyebar di wilayah kecamatan.

Kuosien Spesialisasi

Kuosien Lokalisasi Pembangunan Wilayah Kecamatan

Kabupaten Semarang

Pembangunan Daerah Kabupaten Semarang

Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Semarang

Sektor Ekonomi Sektor Non Ekonomi

Sektor Pertanian Sektor Non Pertanian

Sub Sektor Pertanian

Teori Ekonomi Basis Komoditi Pertanian

(39)

Gambar 3. Kerangka Teori Pendekatan Masalah Untuk Menentukan Prioritas Pengembangan Komoditi Pertanian Unggulan di Kabupaten Semarang Metode Pengukuran

Tidak Langsung

Pembangunan Daerah Kabupaten Semarang

Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Semarang

Sektor Ekonomi Sektor Non Ekonomi

Sektor Pertanian Sektor Non Pertanian

Sub Sektor Pertanian

Teori Ekonomi Basis Komoditi Pertanian

Nilai Produksi (Jumlah Produksi x Harga Rata-Rata) selama 1 tahun

Metode Pengukuran Langsung

Metode Location Quotient

Metode Kebutuhan Minimum Metode Kombinasi Metode Pendekatan Asumsi

Pembangunan Wilayah Kecamatan Kabupaten Semarang

Kuosien Spesialisasi

Nilai LQ Terbesar

Nilai Kuosien Spesialisasi Tertinggi

Prioritas Pengembangan Komoditi Pertanian

(40)

D. Asumsi-asumsi

1. Kebutuhan barang akan dipenuhi terlebih dahulu oleh produksi sendiri dan kekurangannya akan dibeli dari kecamatan lain yang berada di dalam wilayah Kabupaten Semarang maupun diluar Kabupaten Semarang. 2. Terdapat pola permintaan yang sama antara kecamatan dengan Kabupaten

Semarang.

3. Biaya produksi untuk masing-masing komoditi di setiap kecamatan di Kabupaten Semarang dianggap sama.

E. Definisi Operasional dan Konsep Pengukuran Variabel

1. Identifikasi adalah penentuan dan atau penetapan identitas. Dalam penelitian ini adalah penentuan dan atau penetapan identitas komoditi pertanian di Kabupaten Semarang.

2. Komoditi adalah barang perdagangan atau barang keperluan. Dalam penelitian ini komoditi adalah produk yang dihasilkan oleh suatu usaha/kegiatan dengan menggunakan sumber daya yang tersedia di Kabupaten Semarang.

3. Komoditi pertanian adalah komoditi yang dihasilkan oleh suatu kegiatan di sektor pertanian di Kabupaten Semarang.

4. Komoditi pertanian unggulan adalah komoditi pertanian yang mempunyai kemampuan dalam memenuhi kebutuhan di daerahnya dan daerah lain (ekspor). Komoditi pertanian unggulan menurut analisis Location Quotient

(LQ) adalah komoditi yang mempunyai nilai LQ>1.

5. Komoditi pertanian bukan unggulan adalah komoditi pertanian yang tidak mempunyai kemampuan dalam memenuhi kebutuhan di daerahnya maupun yang hanya mampu memenuhi kebutuhan di daerahnya dan belum mampu mengekspor ke luar daerah di Kabupaten Semarang. Komoditi pertanian bukan unggulan menurut analisis Location Quotient (LQ) adalah komoditi yang mempunyai nilai LQ≤1.

(41)

komoditi pertanian di tingkat produsen dalam satu tahun yang dinyatakan dalam satuan rupiah (Rp) di Kabupaten Semarang.

7. Spesialisasi adalah pengkhususan diri pada suatu kegiatan. Dalam penelitian ini adalah pengkhususan suatu wilayah kecamatan untuk melaksanakan kegiatan pertanian maupun untuk memproduksi komoditi pertanian yang mempunyai keunggulan komparatif di Kabupaten Semarang. Spesialisasi diukur dengan menggunakan Kuosien Spesialisasi (Specialization Quotient)/KS. Apabila KS~1 atau KS≥1 maka terdapat spesialisasi terhadap kegiatan pertanian atau terdapat spesialisasi komoditi pertanian tertentu di suatu wilayah di Kabupaten Semarang. Apabila KS~0 maka tidak terdapat spesialisasi kegiatan pertanian maupun komoditi pertanian tertentu di suatu wilayah di Kabupaten Semarang.

8. Lokalisasi adalah tingkat penyebaran atau pemusatan. Dalam penelitian ini adalah tingkat penyebaran dan pemusatan kegiatan pertanian maupun komoditi pertanian pada setiap kecamatan di Kabupaten Semarang. Lokalisasi diukur dengan menggunakan Kuosien Lokalisasi (Localization Quotient)/Lo. Apabila Lo~1 atau Lo≥1 maka terjadi pemusatan terhadap kegiatan pertanian ataupun komoditi pertanian di suatu kecamatan di Kabupaten Semarang. Apabila Lo~0 maka tidak terjadi pemusatan terhadap kegiatan pertanian ataupun komoditi pertanian di suatu kecamatan di Kabupaten Semarang

9. Keunggulan komparatif merupakan kemampuan suatu daerah dalam memproduksi suatu komoditi yang dicirikan dengan adanya biaya produksi yang relatif lebih efisien dibanding daerah lain sehingga secara perbandingan lebih memberi keuntungan bagi daerah itu untuk dikembangkan.

(42)

III. METODE PENELITIAN

A. Metode Dasar Penelitian

Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif mempunyai ciri-ciri sebagai berikut (Surakhmad, 1994) :

1. Memusatkan diri pada pemecahan-pemecahan masalah yang ada pada masa sekarang, pada masalah-masalah aktual.

2. Data yang dikumpulkan mula-mula disusun, dijelaskan dan kemudian dianalisis

B. Metode Pengambilan Daerah Penelitian

Metode pengambilan daerah dilakukan secara purposive (sengaja), yaitu cara pengambilan daerah penelitian dengan mempertimbangkan alasan yang diteliti dari daerah penelitian tersebut (Singarimbun, 1995). Daerah penelitian yang diambil adalah Kabupaten Semarang.

Alasan diambilnya Kabupaten Semarang adalah Kabupaten Semarang memiliki komoditi pertanian yang beragam dan menonjol, seperti kelengkeng yang sebagian besar dihasilkan di Kecamatan Ambarawa. Berdasarkan data BPS Provinsi Jawa Tengah (2005) komoditi kelengkeng di Jawa Tengah hanya diproduksi oleh tiga kabupaten / kota yaitu Kabupaten Temanggung, Kabupaten Semarang dan Kota Salatiga. Produksi kelengkeng Kabupaten Semarang menempati urutan kedua dengan luas panen sebesar 8.736 pohon dan menghasilkan produksi sebesar 3.303 kuintal.

Kabupaten Semarang juga merupakan penghasil alpokat dan manggis, dimana produksinya menempati urutan pertama di Provinsi Jawa Tengah. Pada tahun 2004, produksi alpokat sebesar 20.475 kuintal dengan luas panen sebesar 28.782 pohon sedangkan produksi manggis sebesar 17.516 kuintal dengan luas panen sebesar 38.086 pohon.

Pada sub sektor peternakan, Kabupaten Semarang merupakan penghasil telur ayam kampung terbesar di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2004 yaitu sebesar 2.764.760 kg.

(43)

Kabupaten Semarang merupakan kota agropolitan pertama di Jawa Tengah karena adanya potensi agrobisnis yang dimiliki. Dengan adanya penobatan tersebut merupakan tantangan bagi Kabupaten Semarang untuk menghidupkan sektor agrobisnis. Informasi mengenai komoditi pertanian unggulan, spesialisasi dan lokalisasi komoditi pertanian diperlukan untuk menunjang pengembangan kawasan agropolitan di Kabupaten Semarang.

C. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data tersebut diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa

Tengah, BPS Kabupaten Semarang, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Semarang dan Dinas Pertanian Kabupaten Semarang.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah harga rata-rata satu tahun komoditi pertanian di tingkat produsen dan jumlah produksi komoditi pertanian Kabupaten Semarang tahun 2005, harga rata-rata satu tahun komoditi pertanian di tingkat produsen dan jumlah produksi komoditi pertanian tiap kecamatan di Kabupaten Semarang tahun 2005, Kabupaten Semarang Dalam Angka dan Properda Kabupaten Semarang.

D. Metode Analisis Data

1. Analisis Komoditi Pertanian Unggulan di Kabupaten Semarang

Pengidentifikasian komoditi pertanian unggulan pada masing-masing kecamatan di wilayah Kabupaten Semarang menggunakan metode Location Quotient (LQ) dengan rumus sebagai berikut

Kt Ki

kt ki LQ =

Dimana :

Ki = nilai produksi komoditi pertanian i tingkat kecamatan di Kabupaten Semarang

Kt = nilai produksi total komoditi pertanian tingkat kecamatan di Kabupaten Semarang

Ki = nilai produksi komoditi pertanian i di Kabupaten Semarang Kt = nilai produksi total komoditi pertanian di Kabupaten Semarang

(44)

2. Kuosien Spesialisasi

Kuosien Spesialisasi (KS) digunakan untuk mengetahui spesialisasi terhadap suatu kegiatan pertanian di suatu wilayah kecamatan dan spesialisasi terhadap komoditi pertanian tertentu di tingkat Kabupaten Semarang. Nilai KS diperoleh dengan rumus sebagai berikut :

KSi = (wi/wt) – (Wi/Wt)

Kuosien Spesialisasi terhadap komoditi i

w i

Nilai produksi komoditi pertanian i pada tingkat kecamatan di Kabupaten Semarang

w t

Nilai produksi total komoditi pertanian pada tingkat kecamatan di Kabupaten Semarang

W i

Nilai produksi komoditi pertanian i pada wilayah Kabupaten Semarang

W t

Nilai produksi total komoditi pertanian pada wilayah Kabupaten Semarang

K S

Kuosien Spesialisasi yang diperoleh dengan menjumlahkan KSi yang positif baik dari komoditi maupun wilayah di Kabupaten Semarang

(45)

komoditi pertanian diperoleh dengan menjumlahkan KSi positif dari suatu komoditi pertanian tertentu di seluruh kecamatan (Djojodipuro, 1992).

3. Kuosien Lokalisasi

Kuosien Lokalisasi digunakan untuk mengetahui tingkat penyebaran kegiatan pertanian di suatu wilayah kecamatan dan tingkat penyebaran komoditi pertanian tertentu ditingkat kabupaten. Untuk menghitung nilai Kuosien Lokalisasi (Lo) digunakan persamaan sebagai berikut :

Loi = (wi/Wi) – (wt/Wt)

Koefisien Lokalisasi komoditi pertanian i

w i

Nilai produksi komoditi pertanian i pada tingkat kecamatan di Kabupaten Semarang

w t

Nilai produksi total komoditi pertanian pada tingkat kecamatan di Kabupaten Semarang

W i

Nilai produksi komoditi pertanian i Kabupaten Semarang

W t

Nilai produksi total komoditi pertanian pada wilayah Kabupaten Semarang

L o

Kuosien Lokalisasi yang diperoleh dengan menjumlahkan nilai Loi yang positif baik dari komoditi maupun wilayah di Kabupaten Semarang

(46)

terhadap komoditi pertanian, sedangkan bila Lo~0 maka di tingkat kabupaten tidak terjadi pemusatan terhadap komoditi pertanian.

Lo tiap komoditi pertanian diperoleh dengan menjumlahkan Loi positif

dari suatu komoditi pertanian tertentu di seluruh kecamatan (Djojodipuro, 1992).

4. Penentuan Prioritas Pengembangan Komoditi Pertanian Unggulan

(47)

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

Keadaan Alam

1. Letak Geografis dan Wilayah Administratif

Kabupaten Semarang adalah salah satu kabupaten di Jawa Tengah. Kabupaten Semarang secara geografis berada pada 110o 14’ 54,75” – 110o 39’ 3” Bujur Timur dan 7o 3’ 57” – 7o 30’ Lintang Selatan. Batas-batas administrasi Kabupaten Semarang adalah :

Sebelah Utara : Kota Semarang dan Kabupaten Demak

Sebelah Timur : Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Grobogan Sebelah Selatan : Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Magelang Sebelah Barat : Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Kendal Di tengah-tengah wilayah Kabupaten Semarang terdapat Kota Salatiga.

Kabupaten Semarang mempunyai posisi yang sangat strategis karena dilintasi oleh jalur utama transportasi Jawa Tengah yaitu Semarang-Solo dan Semarang-Yogyakarta (konsep Joglosemar). Kabupaten Semarang yang beribukota di Ungaran merupakan penyangga Kota Semarang sebagai ibu kota Provinsi Jawa Tengah dan merupakan pintu gerbang dari arah Selatan.

Kabupaten Semarang dengan luas wilayah 95.020,67 Ha atau sekitar 2,92 persen dari luas Provinsi Jawa Tengah terbagi menjadi 17 kecamatan dengan 208 desa, 27 kelurahan, 1.553 rukun warga (RW) dan 6.307 rukun tetangga (RT). Kabupaten Semarang terdiri dari 17 kecamatan, antara lain Kecamatan Getasan, Tengaran, Susukan, Kaliwungu, Suruh, Pabelan, Tuntang, Banyubiru, Jambu, Sumowono, Ambarawa, Bawen, Bringin, Bancak, Pringapus, Bergas, dan Ungaran. 2. Topografi

(48)

terletak di desa Batur Kecamatan Getasan dengan ketinggian 1.450 meter di atas permukaan laut dengan rata-rata ketinggian 607 meter di atas permukaan laut. Dengan adanya kondisi topografi yang beragam maka Kabupaten Semarang memiliki potensi untuk budidaya berbagai jenis tanaman.

Letak geografis Kabupaten Semarang dikelilingi oleh pegunungan dan sungai diantaranya :

a. Gunung Ungaran, letaknya meliputi wilayah Kecamatan Ungaran, Kecamatan Bawen, Kecamatan Ambarawa dan Kecamatan Sumowono.

b. Gunung Telomoyo, letaknya meliputi wilayah Kecamatan Banyubiru, Kecamatan Getasan.

c. Gunung Merbabu, letaknya meliputi wilayah Kecamatan Getasan dan Kecamatan Tengaran.

d. Pegunungan Sewakul terletak di wilayah Kecamatan Ungaran.

e. Pegunungan Kalong terletak di wilayah Kecamatan Ungaran.

f. Pegunungan Pasokan, Kredo, Tengis terletak di Wilayah Kecamatan Kecamatan Pabelan.

g. Pegunungan Ngebleng dan Gunung Tumpeng terletak di wilayah Kecamatan Suruh.

h. Pegunungan Rong terletak di wilayah Kecamatan Tuntang.

i. Pegunungan Sodong terletak di wilayah Kecamatan Tengaran.

j. Pegunungan Pungkruk terletak di Kecamatan Bringin.

k. Pegunungan Mergi terletak di wilayah Kecamatan Bergas.

Perairan darat berupa sungai/kali dan danau/rawa di Kabupaten Semarang diantaranya :

a. Kali garang, yang melalui sebagian wilayah Kecamatan Ungaran dan Kecamatan Bergas.

(49)

c. Kali Tuntang, yang melalui sebagian dari wilayah Kecamatan Bringin, Kecamatan Tuntang, Kecamatan Pringapus dan Kecamatan Bawen.

d. Kali Senjoyo, melalui sebagian wilayah Kecamatan Tuntang, Kecamatan Pabelan, Kecamatan Bringin, Kecamatan Tengaran dan Kecamatan Getasan.

3. Keadaan Iklim

Iklim di Kabupaten Semarang menurut klasifikasi Smith dan Ferguson termasuk tipe B (basah) atau menurut klasifikasi Oldeman termasuk tipe C2 yaitu dengan 6 bulan basah, 3 bulan lembab dan 3 bulan kering.Suhu udara berkisar antara 23 - 26 derajat Celcius dan kelembaban udara berkisar 80 - 81%. Rata-rata curah hujan 1.979 mm dan banyaknya hari hujan adalah 104 hari per tahun. Curah hujan tertinggi selama tahun 2005 terdapat di Kecamatan Getasan sebanyak 4.610 mm3, sedangkan untuk hari hujan terbanyak terdapat di Kecamatan Bawen sebanyak 207 hari.

4. Sumber Daya Alam

Dalam upaya pemanfaatan potensi sumber daya alam yang tersebar di wilayah Kabupaten Semarang, perlu memperhatikan kondisi daya dukung lingkungan guna menjamin kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan daerah.

Luas Kabupaten Semarang 95.020,67 hektar, terdiri dari jenis tanah latosol seluas 40 persen dari luas wilayah yang ada, regosol 20 persen, grumosol 16 persen, aluvial 16 persen, dan andosol dan podsolik 8 persen.

Dilihat dari keadaan terjadinya tanah-tanah di wilayah Kabupaten Semarang dapat digolongkan menjadi beberapa jenis tanah:

a. Grumosol terdapat di sekitar Rawa Pening

(50)

c. Latosol kuning terdapat di Kecamatan Ungaran.

d. Regosol coklat terdapat di Kecamatan Ungaran, Kecamatan Ambarawa, Kecamatan Sumowono dan Kecamatan Jambu.

e. Aluvial kelabu terdapat di Kecamatan Susukan dan Kecamatan Bringin.

f. Aluvial kuning terdapat di Kecamatan Tuntang dan Kecamatan Banyubiru.

g. Aluvial coklat kuning terdapat di Kecamatan Getasan dan Kecamatan Susukan.

h. Podsolit terdapat di Kecamatan Bringin, Kecamatan Suruh, Kecamatan Susukan, Kecamatan Getasan, Kecamatan Ungaran.

i. Asosiasi latosol regosol terdapat di Kecamatan Getasan.

j. Asosiasi aluvial glei terdapat di Kecamatan Bringin, Kecamatan Suruh dan Kecamatan Susukan.

5. Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan di Kabupaten Semarang relatif beragam seperti terlihat pada Tabel 1 berikut:

Tabel 1. Penggunaan Lahan di Wilayah Kabupaten Semarang

Penggunaan Lahan Luas (Ha) Persentase (%)

Lahan Sawah 24.454,65 25,73

a. Pengairan Teknis b. Pengairan Semi Teknis c. Pengairan Sederhana

Lahan Bukan Sawah 70.566,02 74,27

a. Pekarangan dan Bangunan b. Tegal

h. Lain-lain (sungai, jalan)

19.704,00

Jumlah 95.020,67 100,00

(51)

Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa penggunaan lahan di Kabupaten Semarang terdiri dari lahan sawah seluas 24.454,65 hektar (25,73%) dan lahan bukan sawah seluas 70.566,02 hektar (74,27%). Lahan sawah yang diusahakan sebagian besar merupakan lahan berpengairan sederhana sebesar 8.912,67 hektar (9,38%) dan sawah yang berpengairan tadah hujan sebesar 6.013 hektar (6,33%). Sedangkan lahan bukan sawah

paling besar penggunaannya adalah untuk tegalan yaitu seluas 28.416,75 hektar (29,91%). Hal ini sesuai dengan karakteristik Kabupaten

Semarang dimana sebagian besar lahannya merupakan lahan kering sehingga lahan sawah di Kabupaten Semarang sebagian besar adalah lahan sawah beririgasi sederhana dan tadah hujan.

Aspek Demografi

1. Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, dan Kepadatan Penduduk per Kecamatan di Kabupaten Semarang Tahun 2005

Gambar

Gambar 1.  Kerangka Teori Pendekatan Masalah Untuk Menentukan Komoditi
Gambar 2.  Kerangka Teori Pendekatan Masalah Untuk Menentukan Tingkat
Gambar 3. Kerangka Teori Pendekatan Masalah Untuk Menentukan Prioritas Pengembangan Komoditi Pertanian Unggulan di Kabupaten Semarang
Tabel 2. Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, dan Kepadatan Penduduk per Kecamatan di Kabupaten Semarang Tahun 2005
+7

Referensi

Dokumen terkait

22 Saya puas dengan nilai yang diberikan guru karena guru menggunakan standar nilai sesuai dengan yang sudah dicantumkan dalam RPP.. SL SR JR

Kata sifat dalam pembentukan kata benda majemuk dasar bertingkat merupakan kata sifat murni atau kata sifat yang belum mengalami perubahan dan berkedudukan

Nordin bin Ahmad, Dak~ah Dan Orang Asli Di Semenanjung Malaysia; Kajian Khusus Terhadap Rumpun Temuan Di Selangor, Tesis Sarjana, Sahagian Pengajian Usuluddin,

Model antrian yang digunakan (M/M/2):(FCFS/~/~) yaitu jumlah kedatangan berdistribusi poisson, waktu pelayanan berdistribusi eksponensial, dengan jumlah fasilitas

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Desain Kreatif pada Tiket Taman Wisata Keluarga &amp; Restoran The Le Hu Garden sangat efektif dalam membantu promosi karena merupakan

Berdasarkan data DISDUKCAPIL Kabupaten Aceh Jaya tahun 2013, penduduk Kabupaten Aceh Jaya berjumlah 84.928 jiwa yang terdiri dari 43.723 jiwa laki-laki dan 41.205 jiwa

Listwise deletion based on all variables in

Dalam prinsip pembelajaran etika menjadi prinsip utama. Interaksi edukatif antara pendidik dan peserta didik harus selalu dijaga. Menurut ibnu Jamaah dalam abdul Majid disebutkan