• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak otonomi daerah terhadap kemiskinan dan distribusi pendapatan Kabupaten dan Kota di Provinsi Banten

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dampak otonomi daerah terhadap kemiskinan dan distribusi pendapatan Kabupaten dan Kota di Provinsi Banten"

Copied!
166
0
0

Teks penuh

(1)

DAMPAK OTONOMI DAERAH TERHADAP KEMISKINAN

DAN DISTRIHUSI PENDAPATAN KABUPATEN DAN KOTA

D l PROVINSI BANTEN

Ane Ratna Intan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis bejudul Dampak Otonomi Daerah terhadap Kemiskinan dan Distribusi Penclapatan Kabupaten dan Kota di Provinsi Banten adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belurn diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2009

(3)

ABSTRACT

ANE RATNA INTAN. Effect of Decentralization to the Poverty and Income

Equity in Regency and City of Banten Province. Under direction of ERNAN

RUSTIADI, BAMBANG JUANDA

Separulion of Banten Province from West .Java Province was declared by National act. No. 23 Tahun 2000. Based on Decentralization Policy, Banten Province has its authority to arrange the regional finance which is earned to support regional development. This research is aimed to (I) identrhing the

finance didcrepancy (1995-2007); (2) analyzing the correlations

t

?tween public

expense and Decenrralizufion Policy about Poverty, und also income equity in Banten Province. (3a) analyzing the behavior of Regibnal Government about the budget arrangement in southern Banten (Lebak Regency) and northern Banten (Cilegon City), (3b)find qut the perception of the stakeholders about the positive and negative effect of Decentralization Policy in both region;

The results showed that ( I ) the finance discrepancy after decentralization

was getting bigger and so did the discrepancy of civil wealth; (2) Decentralization

had decreased poverty rate, and increased income discrepancy (30) some behavioral deviations offinance arrangements by the Government were existed, but at northern Banten, the principles of Good Governance worked well, especialiy when it was compared to southern Banten, (36) The positive effect of Decentralization Policy is the increasing of PAD, while the negative effect is the

increasing ofpollu~ion, this condition happened in both region (Cilegon city and

Lebak Regency)

(4)

RINGKASAN

ANE RATNA INTAN. Dampak Otonomi Daerah terhadap Kemiskinan dan Distribusi Pendapatan Kabupaten dan Kota di Provinsi Banten. Dibimbing oleh ERNAN RUSTIADI dan BAMBANG JUANDA

Kebijakan otonomi daerah di Indonesia yang dikuti dengan desentralisasi fiskal dilaksanakan dengan diberikannya kewenangan kepada daerah dalam mengelola sumber-surnber penerimaan daerah. Kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah (mengoreksi vertical imbalance) serta ketimpangan kemampuan antar daerah (mengoreksi horizontal imbalance). Koreksi vertical imbalance dilakukan melalui pengalokasian bagi hasil pajak dan sumberdaya alam, sedangkan koreksi horizontal imbalance dilakukan melalui pengalokasian dana transfer (DAU). Mekanisrne fungsi distribusi transfer ini ditujukkan sebagai pemerataan kemampuan keuangan wilayah yang akan merangsang pencapaian pemerataan pembangunan antar wilayah. Provinsi Banten dimekarkan dari Provinsi Jawa Barat berdasarkan Undang-undang No. 23 tahun 2000. Wilayah Provinsi Banten secara umum terbagi atas dua wilayah yakni wilayah Banten Selatan (Kabupaten Lebak, Kabupaten pandeglang) dan Banten Utara (Kabupaten Tangerang, Kabupaten Serang, Kota Tangerang dan Kota Cilegon. Sebelum dan sesudah desentralisasi di kedua wilayah tersebut masih te,dapat kesenjangan pembangunan antar wilayah. Instrument kebijilkan otonomi melalui mekanisme h g s i distribusi pemerataan kemampuan keuangan diharapkan akan mendorong pemerataan pembangunan antar wilayah.

Dalam RPJM Provinsi Banten tahun 2007-2012 sdah satu program prioritas yaitu penanggulangan kemiskinan, karena tujuan desentralisasi adalah agar pernerintah dapat merespon lebih cepat kebutuhan masyarakat temtama kebutuhan dasar penduduk miskin. Di wilayah Banten Selatan (Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang) tingkat kemiskinan relatif tinggi dibandingkan dengan Banten Utara (Kabupaten Tangerang, Kabupaten Serang, Kota Tangerang dan Kota Cilegon). Peran kebijakan pemerintah daerah dalam mengurangi kemiskinan dan peningkatan distribusi pendapatan adalah dalam fmgsi alokasi belanja publik seperti melalui belanja pendidikan, belania kesehatan, belanja infrastruktur, belanja pertantan dan lain-lain. Manfaat be~anja tersebut dapat secara langsung dirasakan oleh masyarakat sebagai kebutuhan dasar. Pennasalahan lain yang dapat rnenghambat tenvujudnya tujuan otonomi daerah adalah terjadinya penyimpangan perilaku pemeri ~tah daerah. Pengelolaan anggaranlkeuangan di daerah rawan menyimpang dan mengarah pada tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Di samping, itu ego-ego setiap daerah dengan dalih peningkatan potensi daerah sering menimbulkan dampak negatif bempa degradasi lingkungan.

(5)

kemiskinan dan distribusi pendapatan kabupaten rlan kota di Provinsi Banten; (3a) Menganalisis perilaku pemerintah daerah dalam melaksanakan prinsip- prinsip penyusunan anggaran untuk pengambilan keputusan alokasi anggaran di Banten Selatan (Kabupaten Lebak) dan Banten Utara (Kota Cilegon); dan (3b) mengetahui persepsi stakeholders terhadap prioritas dampak otonomi daerah baik dampak positif maupun damp^. negatif di Banten Selatan (Kabupaten Lebak) dan Banten Utara (Kota Cilegon).

Hasil Penelitian menunjukkan setelah diberlakukanya kebijakan otonomi daerah kesenjangan kemampuan keuangan cenderung semakin melebar. Hal ini terkait dengan fungsi distribusi transfer (DAU) yang belum optimal. Segi positif peran transfer (DAU) dari pusat adalah peningkatan kemandirian wilayah pasca terjadi krisis ekonomi, walaupun kenaikannya tidak signifikan.

Faktor yang berpengaruh terhadap penanggulangan kemiskinan adalah belanja pendidikan, belanja kesehatan, belanja permukiman, dan belanja infrastruktur. Alokasi belanja publik memberikan manfaat kepada masyarakat miskin sebagai kebutuhan dasar manusia. Secara keseluruhan di wilavah Provinsi Banten setelah berlakunya kebijakan otonomi daerah memperoleh dampak positif yaitu pengurangan kemiskinan. Namun secara spesifik hilayah Banten Utara lebih signifikan dalam p e n m a n kemiskinan dibandingkan Banten Selatan.

Alokasi belanja publik terhadap distribusi pendapatan berpengaruh signifikan terhadap distribusi pendapatan antara lair belanja pertanian, belanja pendidikan dan belanja infiastruktur. Secara keseluruhan di Provinsi Banten setelah berlakunya kebijakan otonomi daerah distribusi pendapatan antar golongan masyarakat cendemng semakin membaik. Namun secara spesifik wilayah Banten Selatan lebih signifikan meningkatkan distribusi pendapatan antar golongan masyarakat dibandingkan dengan Banten Utara.

Hasil kajian menunjukkan perilaku pemerintah daerah Banten Utara telah mengedepankan prinsip good governance temtama prinsip efsiensi, prinsip efektifitns, dan prinsip transparan dibandingkan dengan Banten Selatan. Prinsip cfisiensi dan crcktilitas yakni pcnyusunan alokasi anggaran sudah bcrdasarkan proses analisis belanja sesuai harga-harga yang benar (nilai-nilai ekonomi). Di samping itu dalam prinsip transparansi, pemerintah daerah sudah melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan alokasi APBD sehingga diharapkan akan terhindar perilaku pemerintah daerah yang mengarah pada

KKN.

Kajian atas persepsi di Kota Cilegon (Banten Utara) dan Kabupaten Lebak (Banten Selatan) menunjukkan bahwa kedua wilayah tersebut memiliki dampak positif dan dampak negatif yang sama. Dampak manfaat kebijakan otonomi daerah yang terbesar adalah faktor ekonomi yaitu peningkatan PAD sedangkan dampak kerugian d d kebijakan otonomi daerah yang faktor lingkungan yaitu pencemaran lingkungan.

(6)

pendapatan, maka perlu memperbaiki perilaku p ~ ~ ~ e r i n t a h daerah dalam pengelolaan anggaran berdasarkan pada prinsip-prinsip efisiensi, efektifitas, disiplin, transparansi dan sesuai prioritas kebutuhan. Di samping itu, pentingnya mempertimbangkan aspk lingkungan karena lingkungan adalah dampak kebijakan otonomi paling dirugikan berupa timbulnya degradasi lingkungan.

(7)

O Hak cipta milik IPB, Tahun 2009

Hak cipta dilindungi Undang

-

undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(8)

DAMPAK OTONOMI DAERAH TERHADAP KEMISKINAN

DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN KABUPATEN DAN KOTA

Dl PROVINSI BANTEN

Ane Ratna Intan

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

,

Magister Sains pada

Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Tesis : Dampak Otonomi Daerah terhadap Kemiskinan dan Distribusi Pendapatan Kabupaten dan Kota di Provinsi Banten

Nama : Ane Ratna Intan

NRP : H051060121

Program Studi : Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan ( PWD )

Menyetujui Komisi Pembimbing,

Dr. Ir. Barnbang Juanda. MS Anggota

Mengetahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasajana

Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangun

Wilayah dan Perdesaan

B .

Dr. Ir. Bambang Juanda, MS

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah dengan judul Dampak Otonomi Daerah terhadap Kemiskinan dan Distribusi Pendapatan Kahupaten dan Kota di Provinsi Banten dapat diselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Eman Rustiadi, M. Agr selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Bambang Juanda, MS selaku Anggota Komisi Pembimbing serta Prof. Ir. Isang Gonarsyah, Ph.D yang telah banyak memberi arahan

dan

bimbingan yang bermanfaat bagi penulisan penelitian ini. Di samping itu, terima kasih juga penulis sampaikan kepada keluarga besar penulis dan rekan-rekan di Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) yang telah banyak memberikan bantuan dan dukungan selama ini.

Kepada dekan sekolah pascasarjana IPB, Bapak 'rof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS dan ketua Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Bapak Dr. Ir. Bambang Juanda, MS penulis ucapkan terima kasih atas kesediaannya menerima penulis untuk mengikuti pendidikan magister serta penulis juga menghaturkan terima kasih kepada para Dosen PS.PWD atas bekal ilmu yang telah diberikan pada penulis yang sangat berguna bagi penulis di masa yang akan datang.

(11)

Ibu Niken atas semangat dan dorongannya. Ucapan terima kasih juga kepada Aa Lili, yang selalu menjadi sahabat hatiku, terima kasih atas doa dan dorongan semangatnya.

Penulis sadar bahwa tesis ini masih jauh dari kesemkumaan. Oleh karena itu, segala kritik, saran, dan tanggapan sangat diharapkan dari para pembaca dan penulis akan menerima dengan baik.

Semoga tesis ini dapat bermanfaat.

Bogor, Agustus 2009

(12)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 8 September 1983 dari pasangan Bapak Drs.

H.

Mahmud Yusuf, MM, APU dan Ibu Eti Kobtiah. Penulis mempakan putri kesepuluh dari sepuluh bersaudara.
(13)

DAFTAR IS1

DAFTAR TABEL

...

x

...

DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR LAMPIRAN

...

xii I

.

PENDAHULUAN

...

.

.

...

1

1.1 Latar Belakang

...

1

...

1.2 Pemmusan Masalah 4

. .

1.3 Tujuan Penelltlan

...

6

...

1.4 Manfaat Penelitian 6

. .

...

1.5 Ruang Lingkup Penelltlan 7

11

.

TINJAUAN PUSTAKA

...

8

. .

...

2.1 Konsep Otonom~ W~layah 8

. . .

...

2.2 Desentrallsasl Flskal 9

...

2.3 Indikator Pembangunan 12

2.4 Disparitas Pembangunan Antar Wilayah

...

14 2.5 Konsep Kerniskinan dan Kesejahteraan

...

16

...

2.6 Distribusi I'cndapatan 22

...

2.7 Persepsi 23

...

2.8 Struktur Keuangan Negara dan APBD 24

...

2.9 Penelitian Terdahulu 30

111

.

METODOLOG1 PENELITIAN

...

3.1 Kerangka Pemikiran

...

3.2 Hipotesis

...

...

3.3 Definisi Operasional

..

...

3.4 Lokasi dan Waktu Penelitian

...

3.5 Metode Pengarnbilan Sampel

...

3.6 Metode Pengumpulan Data

...

3.7 Metode Analisis

....

;

...

(14)

3.7.2 Analisis Deskriptif Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah ... 3.7.3 Analisis Tingkat Kemiskinan dan Distribusi Pendapatan

...

3.7.3.1 Perhitungan Tingkat Kemiskinan

...

3.7.3.2 Perhitungan Tingkat Ketimpangan

...

...

3.7.4 Metode Ekonometrika: Metode Panel Data

...

3.7.4.1 Evaluasi Model Panel Data

...

3.7.5 Analisis Deskripti' "erilaku Pemerintah Daerah

...

3.7.6 Analytic Hierarchy Process (AHP)

IV GAMBARAN UMUM

...

56

...

4.1 Sejarah Singkat Banten 56

4.2 Kondisi Geografis dan Iklim

...

57 4.3 Kependudukan

...

58

...

4.4 Karakteristik Ekonomi 63

...

4.5 Struktur Keuangan KabupatenfKota di Provinsi Banr:n 64

...

V HASIL DAN PEMBAHASAN 70

5.1 Analisis Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal terhadap Kesenjangan Kemampuan Keuangan Antar Daerah di Provinsi Banten: Kajian

Indeks Williamson

...

70

5.2 Analisis Panel data: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan dan Distribusi Pendapatm di Provinsi Banten

...

85

5.2.1 Hasil Estimasi Peran Pengeluaran Sektor Pertmian. Sektor Pendidikan. Sektor Kesehatan. Sektor Permukiman. Dummy Banten UtaralSanten Selatnn

.

.

dan D u m m y Otonomi Daerah

terhadap Tingkat Kerniskinan

...

85

5.2.1.1 Indikator Kebaikan Model Panel Data

...

85 5.2.1.2 Interprestasi Model Panel Data: Faktor-Faktor yang

Mempengaruhi Kemiskinan

...

87

5.2.2 Hasil Estimasi Peran Pengeluaran Sektor Pertanian.

Sektor Pendidikan. Sektor Kesehatan. Sektor Permukiman. Dummy Banten UtaraIBanten Selatan dan Dummy Otonomi

...

Daerah terhadap Distribusi Pendapatan 90

(15)

5.2.2.2 Interprestasi Model Panel Data: Faktor-Faktor yang

Mempengaruhi Distribusi Pendapatan

...

92

...

5.3 Hasil Analisis Perilaku Pemerintah Daerah 95

. .

5.3.1 Dislplln Anggaran

...

97

. . . .

5.3.2 Pnorlt~sasl Anggaran

...

99 5.3.3 Efisiensi dan Efektifitas Anggaran

...

102

...

...

5.3.4 Partisipasi Masyarakat

.

.

105

5.3.5 Akuntabilitas dan ';ransparansi Anggaran

...

107 5.4 Dampak Berlakunya Otonomi Daerah di Kota Cilegon dan Kabupaten

Lebak: Penerapan Anuly~icl hierurchy Process l~vlanfaat dan Biaya)

...

108

5.4.1 Dampak Positif (Manfaat) Berlakunya Otonomi Daerah di Kota

...

Cilegon dan Kabupaten Lebak di Provinsi Banten 109

5.4.2 Dampak Negatif (Biaya) Berlakunya Kebijakan Otonomi Daerah

di Kota Cilegon dan Kabupaten Lebak Provinsi

Banten

...

1 1 1

VI KESIMPULAN DAN SARAN

...

118

6.1 Kesimpulan

...

118 6.1 Saran

...

119

...

DAFTAR PUSTAKA 121

(16)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Indikator-Indikator Pembangunan

...

...

13

Tabel 2. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia 1970-2007

...

2 1 Tabel 3 Pemetaan Format Anggaran Pemerintah KabupatentKota Berdasarkan Beberapa Peraturan

...

28

Tabel 4. Rincian Sebaran Kelompok Responden Perilaku Pemerintah Daerah Dalam Penyusunan Alokasi Anggaran

...

38

Tabel 5. Rincian Sebaran Kelompok Responden Persepsi Stakeholders Dalam Kebijakan Otonomi Daerah..

...

38

Tabel 6. Arahan dari Kineja Penelitian

...

40

Tabel

7.

Skala Banding Secara Berpasangan

...

48

Tabel 8. Nilai lndek Acak (RI)

...

50

Tabel 9. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Dampak Positif d:? Dampak Negatif Berlakunya Kebijakan Otonomi Daerah di Kabupaten Lebak (Banten Selatan) dan Kota Cilegon (Banten Utara) di Provinsi Banten

...

5 1 Tabel 10. Aktor yang Bertanggungjawab Dampak Positii dan Dampak Negatif Berlakunya Kebijakan Otonomi Daerah di Kabupaten Lebak (Banten Selatan) dan Kota Cilegon (Banten Utara) di Provinsi Banten

...

51

Tabel 11. Jumlah Penduduk KabupatedKota di Provinsi Banten (1995-2000)

....

59

Tabel 12. Jumlah Penduduk KabupatedKota di Provinsi Banten (2001-2007)

...

59

'I'abcl 13. 'l'ingkat I'arlisipusi Angkatan Kcrju ('I'I'AK) I'cnduduk bcrumur 15 Tahun Ke Atas

...

6 1 Tabel 14 Penduduk 15 Tahun Ke Atas yang Beke ja , Mencari Pekerjaan dan Bukan Angkatan Ke j a Kabupaten dan Kota di Provinsi Banten Tahun 2001

...

62

Tabel 15. Penduduk 15 Tahun Ke Atas yang Beke ja, Mencari Peke jaan dan Bukan Angkatan Kerja Kabupaten dan Kota di Provinsi Banten Tahun 2007

...

.... ...

62

Tabel 16. Produk Domestik Regional Bruto atas Harga Konstan 2000 pada Tahun 2005

...

63
(17)

Tabel 18. Diskripsi Fiskal Needs KabupatenKota di Provinsi Banten (Rp juta)

..

66 Tabel 19. Diskripsi Fiskal Needs KabupatenKota di Provinsi Banten (2004-2005)

(Rp juta)

...

69 Tabel 20. Hasil Uji Multikolinearitas antar Variabel Penjelas

...

86 Tabel 21. Hasil Estimasi Peran Pengeluaran Sektor Pertanian, Sektor Pendidikan,

Sektor Kesehatan, Sektor Permukiman, Infrastruktur

Terhadap Gini Ratio

...

87 Tabel 22. Hasil Uji Multikolinearitas antar Variabel Penjelas

...

91 Tabel 23. Hasil Estimasi Peran Pengeluaran Sektor Pertanian, Sektor Pendidikan,

Sektor Kesehatan, Sektor Permukiman, Infrastruktur Terhadap

Gini Ratio

...

92 Tabel 24. Pelslksanaan Prinsip Prioritas Jalam Penentuan Alokasi Angg ran

Belanja Daerah

...

...

101 Tabel 25. Pelaksanaan Prinsip Efisiensi dalam Penentuan Alokasi Anggaran

Belanja Daerah

... ...

103 Tabel 26. Pelaksanaan Prinsip Efektititas dalam Penentuan Alokasi Anggaran

Belanja Daerah

...

105 Tabel 27. Perilaku Pemerintah Daerah dalam Menciptakan Iklim yang Mendorong [image:17.550.19.486.25.749.2]
(18)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Presentase Penduduk Miskin Kabupaten dan Kota di Provinsi Banten 3

Gambar 2. Hubungan Desentralisasi dengan Kemiskinan

...

12 Garnbar 3. Pengukuran Gini Ratio dengan Menggunakan Kuma Lorentz

...

22 Gambar 4. Kerangka Pemikiran Dampak Otonomi Daerah terhadap Kemiskinan

dan Distribusi Pendapatm di Kabupaten dan Kota

. .

di Provlnsi Banten

...

34 Gambar 5 Kerangka Analitis Penelitian

...

35 Gambar 6. Peta Administrasi Provinsi Banten

...

37 Gambar 7. Hierarki Manfaat Positif Otonomi Daerah Wilayah Kab. Lebak dan

Kota Cilegon

...

54 Gambar 8. Hierarki Manfaat Positif Otonomi Daerah Wilayah Kab. Lebak dan

Kota Cilegon

...

55 Gambar 9. Kesenjangan Pendapatan Antar Wilayah (PDRB) d;:n Kesenjangan

Kemampuan Keuang .n (APBD) antar KabupatentKota di Provinsi

[image:18.559.32.483.89.781.2]

Banten (1995-2006)

...

70 Gambar 10. Pendapatan Per kapita Kabupaten dan Kota 1: Provinsi Banten

(1 995-2006)

...

71 Gambar 1 1. Penenmaan Perkapita Kabupaten dan Kota di Provinsi Banten

(1995-2006)

...

72 Gambar 12. Presentase Konstribusi SDOIDAU Terhadap Penenmaan Keuangan

APBD (1 995-2007)

...

74 Gambar 13. Presentase Kontribusi PAD Kabupaten dan Kota di Provinsi Banten

(1 995-2007)

...

76 Gambar 14. Presentase Konstribusi PAD Terhadap Total Penerimaan Berdasarkan

Koefisien Variasi (1995-2007)

...

78 Gambar 15. Presentase Kontribusi DBH Terhadap Penerirnaan APBD

(1995-2007)

....

...

... ...

..

...

.

... ...

79 Gambar 16. Presentase Kontribusi DBH Terhadap Penerimaan APBD Berdasarkan
(19)
[image:19.550.34.473.20.765.2]

Gambar 19

.

Tingkat Gini Ratio KabupatedKota di Provinsi Banten

...

84 Gambar 20

. Presentase Anggaran Belanja Sebelum Desentralisasi Fiskal

(1 995-2000) dan Sesudah Desentralisasi Fiskal(200 1-2006)

KabupatenIKota di Provinsi Banten

...

85 Gambar 21

. Dampak Manfaat Otonomi Daerah di Kota Cilegon

...

114 Gambar 22

. Dampak Biaya Otonomi Daerah di Kota Cilegon

...

11 5

...

Gambar 23

.

Dampak Manfaat Otonomi Daerah di Kota Lebak 116
(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1

.

Indeks Williamson Penerimaan APBD (1995-2006)

...

125

Lampiran 2

.

Indeks Williamson PDRB (1995-2006)

...

129

Lamipran 3

.

Deskripsi Fiskal Available KabupatentKota di Provinsi Banten

...

133

Lampiran 4

.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Distribusi Pendapatan

...

136

.

Lampiran 5

.

Faktor-Faktor yang M npengaruhi Kemiskinan

...

138

...

Lampiran 6

.

Hasil Analisis Panel Data pada Gini Ratio 140

...

.

Lampiran 7 Hasil Analisis Panel Data pada Kemiskinan 141 Lampiran 8

.

Gabungan Pendapat Responden terhadap Dampak Manfaat Kebijakan

...

Otonomi Daerah di Kota Cilegon 142 Lampiran 9

.

Gabungan Pendapat Responden terhadap Dampak Negatif Kebijakan Otonomi Daerah di Kota Cilegon

...

143

Lampiran 10

.

Gabungan Pendapat Responden terhadap nampak Manfaat Kebijakan Otonomi Daerah di Kabupaten Lebak

...

144 Lampiran 1 1

.

Gabungan Pendapat Responden terhadap Dampak Negatif Kebijakan

...

(21)

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan beberapa tahun belakangan ini menunjukkan bahwa masyarakat menuntut hasil pembangunan yang lebih merata dan mengharapkan agar potensi yang dimiliki daerah dimanfaatkan secara maksimal.

Era

reformasi memberikan peluang bagi pembahan paradigma pembangunan nasional dari "paradigma pertumbuhan" menuju "paradigma pemerataan pembangunan secara adil dan berimbang". Perubahan paradigma ini antara lain diwujudkan melalui kebijakan otonomi daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diatur dalam Undang-undang nomo: 22 tahun 1999 (jo. 32 tahun 2004) tentang pemerintahan daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun I999

60.

33 tahun

2004) tentang perimbangan keuangan antara pemerintahan pusat dan daerah.

Kedua undang-undang tsrsebut berlaku efektif mulai 1 januari 2001 sebagai proses awal bangkitnya semangat desentralisasi pada sistem pemerintahan di Indonesia.

Provinsi Banten merupakan hasil pemekaran dari Provinsi Jawa Barat berdasarkan Undang-undang Non 23 tahun 2003. Provinsi Banten dibagi dua wilayah yaitu Banten Selatan (kabupaten Lebak, Kabupaten pandeglang) dan Banten Utara (Kabupaten Tangerang, Kabupaten Serang, Kota Tangerang dan Kota Cilegon). Kedua wilayah tersebut diisukan sebelum dan sesudah desentralisasi masih mengalami kesenjangan pembangunan antar wilayah karena masing-masing Kabupateaota memiliki sumberdaya dan struktur keuangan yang berbeda.

(22)

mengalami perubahan; dan (3) skema bantuan pemerintah dalam bentuk transfer yakni Dana Alokasi Umum (DAU) yang sebelum desentralisasi rnerupakan Subsidi Dana Otonom (SDO).

Perubahan-perubahan tersebut di atas memungkinkan adanya efek ketimpangan dan pemerataan. Ketika pemerintah pusat mengeksplorasi sumberdaya alam maka yang tejadi adalah ketimpangan fiskal vertikal @usat dan daerah), maka untuk mengoreksi ketimpangan fiskal vertikal (pusat dan daerah) dilakukan melalui mei...nisme Dana Bagi Hasil (DBH). Efek sampingnya mekanisme Dana Bagi Hasil (DBH) adalah ketimpangan fiskal horizontal (antar daerah) maka distimulasi dengan mekanisme transfer yaitu Dana Alokasi Umum (DAU)

Menanggapi desentralisasi fiskal, pemerintah daerah dapat meresponnya dalam dua ha1 yaitu: (1) lebih memusatkan perhatian pada usaha memperbesar penerimaan melalui intensifikasi dan perluasan pajak, retribusi daerah serta memanfaatkan sumberdaya yang belum optimal melalui bagi hasil dan peningkatan dana transfer; d m (2) lebih berorientasi pada eLektifitas pengeluaran yaitu merencanakan, merumuskan dan melaksanakan kebijakan serta program pembangunan yang disesuaikan dengan kebutuhan sef-mpat.

Berlakunya kebijakan Otonomi daerah, pemerintah daerah hams lebih responsif terhadap kebutuhan penduduknya. Pada banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, jumlah penduduk miskin masih relatif tinggi oleh karenanya diharapkan akan menciptakan kebijakan yang lebih responsif terhadap kebutuhan penduduk miskin. Dalam RPJM Provinsi Banten tahun 2007-2012 salah satu program prioritas yaitu penanggulangan kemiskinan. Wilayah Banten Selatan (Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang) tingkat kemiskinan relatif tinggi dan berada di atas total persentase penduduk miskin Provinsi Banten dibandingkan dengan Banten Utara (Kabupaten Tangerang, Kabupaten Serang, Kota Tangerang dan Kota Cilegon).

(23)

lebih responsif terhadap kebutuhan penduduk miskin. Jika kita secara khusus peduli dengan kemiskinan, maka secara tidak langsung memberikan dampak bagi peningkatan distribusi pendapatan antar golongan masyarakat sehingga akan tercipta peningkatan kesejahteraan.

I

1% m 1 m m m am I

+ - , - - I

_ !

--

15.82

32 15

-~

4.W 641

--

1035 12 39 551

1 I ~

17.69

- - - - - Sumber: BPS Berbagai Edisi

Gambar 1 Persentase penduduk Miskin Kabupaten dan Kota di Provinsi Banten.

Menurut Riyanto (2000), pembangunan wilayah di sarnping ditentukan oleh belanja publik (public expenditure) dengan tujuan peningkatan pelayanan kebutuhan dasar masyarakat miskin, juga ditentukan oleh beberapa variabel lain yaitu mekanisme pengelolaan keuangan yang mengedepankan prinsip-prinsip

good governance. Prinsip-prinsip tersebut antara lain prinsip efisiensi dan efektifitas yakni menyediakan barang dan jasa kebutuhan masyarakat sesuai dengan prioritas dan kebutuhan publik. Selain itu mekanisme transparansi dan pengawasan diharapkan dapat menciptakan pemerintahan yang terbuka dan akuntabilitas. Tanpa mekanisme transparansi dan pengawasan maka dimungkinkan sumberdaya hanya didistribusikan pada segelintir orang saja yang dekat dengan kekuasaan.

[image:23.556.83.479.159.424.2]
(24)

Mookhorjee (2000) desentralisasi dapat menolong orang miskin melalui keputusan pengeluaran publik (public expenditure) seperti pengeluaran pendidikan, kesehatan, infrastruktur. Sedangkan dari sisi kerugiannya yaitu banyak karakter di negara berkembang, para pejabatnya memiliki orientasi kcbijakan yang lebih mctncntingkan dirinya sendiri, malta keberadaan orang miskin tidak diakomodir dalam kebijakan pemerintah daerah. Sementara itu kerugian jangka panjang yakni ekploitasi terhadap sumberdaya yang tidak disertai konsep pembangunan berkelanjutan.

1.2 Perurnusan Masalah

Pelaksanaan otonomi daerah yang dikuti denz. n desentralisasi fiskal yaitu diberikannya kewenangan kepada daerah dalam mengelola sumber-sumber penerimaan daerah bertujuan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah (mengoreksi vertical imbalance)

serta ketimpangan kemampuan antar daerah (mengoreksi horizontal imbalance).

Koreksi ver~ical imbalance dilakukan melalui pengalokasian bagi hasil pajak dan sumberdaya alam, sedangkan koreksi horizontal imbalance dilakukan melalui pengalokasian dana transfer (DAU) artinya daerah yang memiliki sumber daya pajak maupun sumbcrdaya alam yang besar akan mendapatkan DAU yang kecil, sebaliknya wilayah yang tidak memiliki potensi pajak dan SDA akan mendapatkan DAU yang relatif besar. Sehingga mekanisme transfer dilaksanakan sebagai bentuk pemerataan pembangunan wilayah dan merangsang kemandirian wilayah.

Provinsi Banten merupakan hasil pemekaran dari Provinsi Jawa Barat, Masing-masing KabupatenIKota memiliki struktur aktivitas ekonomi yang berbeda-beda sehingga mendapatkan DAU, DAK serta dana bagi hasil yang berbeda-beda pula. Fenomena di atas perlu mendapat perhatian dan dikaji efektifitas kebijakan otonomi daerah dalam rangka mengoreksi kesenjangan kemarnpuan keuangan antar kabupaten1Kota (Horizontal imbalanca).

(25)

kemiskinan dan peningkatan distribusi pendapatan adalah kewenanganya dalam ha1 fungsi alokasi belanja d m distribusi belanja. Hal yang terpenting dari kedua fungsi tersebut adalah fungsi alokasi belanja publik, ha1 ini karena manfaatnya dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat sebagai kebutuhan dasarnya seperti belanja infrastmktur, belanja pendidikan, kesehatan, pertanian dan lain- lain. Maka perlunya kajian efektifitas belanja publik dalam rangka penanggulangan kerniskinan.

Salah satu pemasalahan yang dapat menghambat tenvujudnya cita-cita otonomi daerah adalah adanya penyimpangan perilaku pemerintah daerah. Pengelolaan anggaradkeuangan di daerah rawan menyimpang dan mengarah pada tindakan kompsi, kolusi, dan nepotisme. Di samping i t - ego-ego setiap daerah dengan dalih peningkatan potensi daerah, sering menimbulkan dampak negatif bempa degradasi lingkungan. Untuk lebih dapat memahami pemasalahan- pemasalahan tersebut di atas, maka diperlukan kajian perilaku profesionalisme aparatur pemerintah daerah dalam menyelenggarakan kepentingan publik berdasarkan prinsip-prinsip yang mengedepankan good governance. Di samping itu, perlunya mengkajian d m pak manfaat dan dampak negatif dari berlakunya kebijakan otonomi daerah.

Dilandasi oleh semua uraian di atas, penulis nengkaji dampak otonomi daerah dalam kerangka keuangan daerah (APBD). Dampak otonomi daerah ini dikhususkan mendalami dampak terhadap kemiskinan dan distribusi pendapatan di Kabupaten d m Kota di Provinsi Banten. Adapun beberapa pemasalahan yang akan didalami adalah scbagai bcrikut:

1 . Apnkah kcbijnknn dompnk otonomi dacrah dapat mengoreksi kesenjangan

kemampuan keuangan kabupaten dan kota di Provinsi Banten?, selain itu bagaimana dampak otonomi daerah terhadap kemiskinan dan distribusi pendapatan kabupaten dan kota di Provinsi Banten?

2 Bagaimana hubungan alokasi belanja publik terhadap Kemiskinan dan pemerataan pendapatan kabupaten dan Kota di Provinsi Banten?

(26)

b. Bagaimana persepsi stakeholders terhadap dampak otonomi daerah Banten Selatan dan Banten Utara?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Menganalisis dan mengidentifikasi kesenjangan kemampuan keuangan sebelurn dan sesudah otonomi daerah di kabupaten dan kota di Provinsi Banten dan mengevaluasi pelaksanaan otonomi daerah dari aspek kemiskinan dan distribusi pendapatan

2. Menganalisis hubungan faktor-faktor belanja publiklpembangunan maupun kebijakan otonomi terhadap kemiskinan d-n distribusi pendapatan kabupaten dan kota di Provinsi Banten

3. a. Menganalisis perilaku pemerintah daerah dalam melaksanakan prinsip- prinsip penyusunan anggaran untuk pengarnbilan keputusan alokasi anggaran di Banten Selatan (Kabupaten Lebak) dan Banten Utara (Kota Cilegon)

b. Mengetahui persepsi stakeholders terhadap prioritas dampak otonomi daerah baik dampak positif maupun dampak negatif di Banten Selatan (Kabupaten Lebak) dan Banten Utara (Kota Cilegon)

1.4 Manfaat Penelitian

(27)

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

1. Analisis dilakukan terhadap empat kabupaten dan dua kota yaitu Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Serang Kota Tangerang dan Kota Cilegon

(28)

BAB 11. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Otonomi Daerah

Dengan ditetapkannya Undang-undang No 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah setiap daerah di Indonesia baik provinsi, maupun kabupaten dan kota diberikan kewenangan dalam melaksanakan pemerintahannya, sehingga lebih leluasa mengatur dan melaksanakan kewenanganya atas prakarsa sendiri sesuai dengan kepentingan masyarakat setempat dan pote.. i setiap daerah. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka negara kesatuan republik Indonesia". Kewenangan yang diserahkan tersebut, mencakup semua kewenangan bidang pemerintahan, kecuali kewenangan politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal dan agama. Kewenangan pemerintah daerah dilaksanakan secara luas, utuh dan bulat meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi pada semua aspek pemerintahan.

Tambunan dalam Pakasi (2005) menyatakan bahbra salah satu aspek penting dari pelaksanaan otonomi daerah bahwa pihak daerah, baik kota maupun kabupaten, memiliki kewenangan yang luas dalam m~,ijalankan pemerintahan di tingkat daerah. Kewenangan ini mencakup baik dari sisi penerimaan maupun sisi pengeluaran. Dari sisi penerimaan, pihak daerah diberi keleluasaan dalam menggali herbagai potensi yang ada guna menyokong peningkatan pendapatan daerahnya. Sementara dari sisi pengcluuran, pihak daerah juga diberi keleluasaan dalam mengatur alokasi dana dalam membiayai jalannya pemerintahan maupun pembangunan daerah.

(29)

sentra ekonomi baru di daerahnya, sehingga pemeratarn hasil-hasil pembangunan dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat.

2.2 Desentralisasi Fiskal

Desentralisasi mencakup aspek-aspek politik, administratif, fiskal dan ekonomi. Desentralisasi administratif sendiri merupakan pelimpahan wewenang yang dimaksudkan untuk mendistribusikan kewenangan, tanggung jawab dan sumber-sumber keuangan untuk menyediakan pelayanan publik. Pelimpahan tanggung jawab tersebut terutama menyangkut perencanaan, pendanaan, dan pelimpahan manajemen fungsi-fungsi pemerintahan dari pemerintah pusat kepada aparatnya di daerah, tingkat pemerintahan yang lebih rendah, badan otoritas tertentu atau perusahaan.

Desentralisasi fiskal merupakan komponen utama dari desentralisasi. Apabila pemcrintah daerah melaksanakan fungsinya secara efektif dan mendapatkan kebebasan dalam pengambilan keputusan pengeluaran sektor publik, maka mereka harus mendapatkan dukungan sumber-sumber keuangan yang memadai baik berasal dari pendapatan asli daerah (PAD), bagi hasil pajak dan bukan pajak, pinjaman maupun subsidiantuan dari pemerintah pusat. Pelaksanaan desentalisasi fiskal akan berjalan dengan baik kalau didukung faktor- faktor berikut: (1) pemerintah pusat yang mampu melakukan pengawasan dan

enforcement; (2) sumberdaya manusia yang kuat pada Pemda guna menggantikan peran pemerintah pusat dan keseimbangan; dan (3) kejelasan dal; m pembagian tanggungjawab dan kewenangan dalam melakukan pu.igutan pajak dan retribusi (Davcy, 1988 dalam Sacfudin. 2005).

(30)

Semangat otonomi daerah yang disertai dengan desentralisasi fiskal didasari jvga dengan keinginan y lng kuat untuk meningkatkan pemerataan pendapatan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Saat in' telah terjadi ketimpangan pembangunan antar daerah khususnya antara daerah Jawa dan Iuar Jawa. Dengan adanya desentralisasi fisl,al diharapkan nantinya pemerintah daerah akan lebih efektif dan mampu untuk menenuhi pelayanan publik yang dibutuhkan. Pembangunan sarana dan perekonomian akan menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat sehingga pada akhimya meningkatkan pendapatan masyarakat (Pakasi, 2005).

Menurut (Tadjoeddin, 2000) dalam desentralisasi fiskal, transfer dana dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah mempakan ha1 yang tidak dapat dihindari. Pada dasarnya transfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dapat dibedakan atas bagi hasil pendapatan dan bantuan. Adapun tujuan transfer ini adalah pemerataan vertikal dan pemerataan horizontal, mengatasi efek pelayanan publik, mengarahkan prioritas dan melakukan eksperimen dengan ide- ide baru stabilitas dan kewajiban untuk menjaga tercapainya standar pelayanan minimum (SPM) di setiap daerah.

Pemerataan vertikal (Vertical bqlralization Transfer)

Pemerintah pusat menguasai sebagian besar sumber-sumber penen'maan (pajak) utama negara. Pemerintah daerah hanya benvenang utuk memungut pajak-pajak yang berbasis lokal dan mobilitas yang rendah dengan karakteristik besaran penerimaannya relatif kurang signifikan. Kondisi tersebut akhimya menimbulkan ketimpangan vertikal antara pemerintahan pusat dengan pemerintah daerah (Tadjoeddin, 2000).

Pemerataan Horizontal (Horizontal Equalizalion Transfer)

(31)

dengan intensitas kegiatan ekonomi yang tinggi atau rendah. Terdapat daerah- daerah dengan penduduk miskin, penduduk lanjut usia, anak-anak yang proporsinya tinggi. Adapula daerah yang infrastruktur masih belum memadai, sementara di lain pihak daerah yang jumlah penduduk terlalu besar memiliki infrastruktur yang lengkap, ini mencerminkan tinggi rendahnya kebutuhan fiskal suatu daerah. Dengan membandingkan antara kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal maka dapat dihitung adanya kesenjangan keuangan. Oleh karena itu dari masing-masing daerah ditutup oleh transfer pemerintah pusat. Menurut undang- undang NO. 25 Tahun 1999 ketentuan mengenai aturan alokasi DAU adalah DAU ditetapkan sekutang-kutangnya 25 persen dari penerimaan dalam negeri yang ditetapkan dalam APBN dan DAU untuk provinsi dan untuk kabupatenlkota ditetapkan masing-masing 10 persen dan 90 persen dari total DAU nasional (Sidik, 2002)

Faktor yang dapat rnenciptakan pelaksanan otonomi d a ~ ~ a h kondusif terhadap kebijakan penanggulangan kemiskinan yaitu dengan pemberian bantuan dalam bentuk block grant agar pemerintah daerah memiliki fleksibilitas yang tinggi dalam menggunakan dana tersebut termasuk penanggulangan kemiskinan. Hal tersebut penting dikemukakan karena dalam formula pembagian DAU mencakup variabel jumlah penduduk miskin, ini artinya agenda penanggulangan kemiskinan seharusnya secara otomatis menjadi agenda kebijakan semua pemerintah daerah (Sidik, 2002).

(32)

diperkirakan secara umum dengan DAU, kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasionaI (Sidik, 2002).

Transfer fiskal antara berbagai tingkat pemerintahan merupakan inti (core) dari suatu hubungan fiskal antar tingkat pemerintahan. Hal ini menunjukkan bahwa transfer fiskal memiliki peranan penting di dalam mendukung program desentralisasi. Hubungan antara desentralisasi eengan kemiskinan dijelaskan dengan kerangka konseptual yang dikemukakan oleh Braun dann Grote dalam Usman (2006) seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 2 di bawah ini.

[image:32.559.53.486.44.668.2]

Sumber: Usman (2006)

Gambar 2 Hubungan Desentralisasi dengan Kemiskinan.

b

2.3 Indikator Pembangunan

Menurut Rustiadi (2007), persoalan pembangunan di negara yang sedang berkembang tidak hanya menyangkut perlunya investasi pembangunan dalam mendorong petumbuhan ekonomi tetapi juga harus memperhatikan aspek distribusi dan pemerataan hasil pembangunan. Dengan demikian hasil pembangunan dapat dinikniati olch seluruh lapisan masyarakat secara adil dan proposional. Para pakar pembangunan di tahun 70-an mulai mxgkaji ulang indikator tingkat pencapaian pcrnbangunan dari tujuan yang tclah ditctapkan dari suatu wilayah sebagaimana disajikan pada TabeI I.

Participationlempower men1 Government

v

Ucscalrulisusi polilik. administrasi,liskdl

I'engurangan kerniskinan

A

----+

Public
(33)

Tabel 1 Indikator-Indikator Pembangunan

I I I 1

Kelompok

Pertumbuhan, produktivitas dan etisiensi

pemerataan, ~ ~ b ~ ~ i ~ b ~ ~ ~

dan keadilan (equity)

Indikator-indikator a. Pendapatan wilayah

(I) PDRB

(2) PDRB Perkapita (3) Pertumbuhan PDRB

b. Kelayakan Finansial dan Ekonomi ( I ) NVP

(2) BC Ratio (3) IRR

(4) BEP

c. Spesialisasi, Keunggulan Komparati dan kompetitif: LQ dan Shrffshare d. Produksi-produksi utama: migas

a. Distribusi Pendapatan: gini ratio b. Ketenagakerjaan : pengangguran

terbuka, pengangguran terselubung, setengah pengangguran

c. Kemiskinan: ood service ratio, %

konsumsi mafanan, garis

kemiskinan (pendapatan setara beras dll)

Keberlanjutan (susteinability)

I

1

2. Sumberdaya alanl

I

Degradasi

I

d. Regional balance: spatial balance, sentral balance dun capital balance

Dimensi lingkungan, diiensi ekonomi dan dimensi sosial.

Sumberdaya

3. Sumberdaya buatadsarana Skalogram, akh'sbilitas terhadap

dan pra. drana fasilitas

I

1. Sumberdaya Manusia

Pilihan antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan menurut Kuznet (1996) dalarn Rustiadi (2007) dinyatakan bahwa bagi negara yang pendapatannya rendah, bertumbuhnya perekonomian hams mengorbankan pemerataan (terjadi

frude off antara pertumbuhan dan pernerataan). Hal inilah yang telah memberi legitimasi pemerintah untuk memusatkan pengalokasian sumberdaya pada sektor- sektor atau wilayah yang berpotensi besar dalam menyumbang pertumbuhan ekonomi. Kasus di Indonesia strategi ini telah rnembuat ketimpangan

Pengetahuan, skill, etas kerja kompetensi, pendapatan, kesehatan, HDI dan IPM

Proses Pembangunan

Sumber: Rustiadi (2007).

4. Sumberdaya Sosial

Input. Implementasi,output, outcome, benejil, impact

Organisasi sosial. Aturan adat ibudaya

[image:33.559.49.486.87.567.2]
(34)

pembangunan wilayah yang lebib besar dan tidak adanya keterpaduan pembangunan wilayah (Hadi, 2001).

Paradigma pembangunan baru pembangunan diarahkan kepada te jadinya pemerataan, pertumbuhan dan keberlanjutan dalam pembangunan ekonomi. Paradigma baru ini dapat mengacu kepada apa yang disebut dalil kedua fundamental ekonomi kesejahteraan bahwa sebenarnya pemerintah dapat mernilih target pemerataan ekonomi yang diinginkan melalui transfer, perpajakan dan

subsidi (Rustiadi, 2007).

2.4 Disparitas Pembangunan antar Wilayah

Isu utama masalah pembangunan regional dewasa ini adalah disparitas yang meliputi (1) disparitas antar wrlayah (2) disparitas antar sektor ekonomi dan (3) disparitas antar golongan masyarakat/individu. Pernasalahan ini disebabkan antara lain oleh perencanaan pembangunan yang bersifat sentralistik, lop down,

&an scragam. Konscp p~mbangunan ekonomi lebih menekankan pertumbuhan dibandingkan redistribusi pendapatan yang adil, sesuai dengan keadaan budaya penguasa (rezim) yang selarna ini temyata menyisakan ketimpangan seperti di atas.

Penyebab disparitas pcmbangunan karena faktor alami, kondisi sosial budaya dan keputusan-keputusan kebijakan. Faktor alami meliputi kondisi agroklimat, sumberdaya alam, lokasi geografis, jarak pelabuan dengan pusat aktivitas ekonomi, wilayah potensial untuk pembangunan ekonomi. Sementara faktor sosial budaya meliputi tradisi, mobilitas ekonomi, inovasi dan kewirausahaan. Sedangkan keputusan kebijakan adalah sejauhmana kebijakan yang mendukung secara langsung atau tidak langsung terjadinya disparitas pembangunan.

(35)

faktor utama (Murty, 2000) yang menyebabkan terjadinya kesenjangan pembangunan antar wilayah antara lain:

1. Faktor geografis

Suatu wilayah atau daerah yang sangat luas akan te jadi variasi pada keadaan fisik alam berupa topografi, iklim, curah hujan, sumberdaya mineral dan variasi spasial laimya. Apabila faklor-faktor lainnya baik, dan ditunjang dengan kondisi geografis yang baik, maka wilayah tersebut akan berkembang dengan baik.

2. Faktor historis

Perkembangan masyarakat dalam suatu wilayah tergantung dari kegiatan atau budaya hidup yang telah dilakukan di masa lalu. Bentuk kelembagaan, budaya atau kehidupan perekonomian pada masa lalu merupakan penyebab yang cukup penting terutama yang terkait dengan sistem insentif terhadap kapasitas kerja.

3. Faktor politis

Tidak stabilnya suhu politik sangat mempengaruhi perkembangan dan pembangunan di suatu wilayah. Instabilitas politik akan menyebabkan orang ragu untuk untuk berusaha atau melakukan investasi sehingga kegiatan ekonomi suatu wilayah tidak akan berkembang. Bahkan pelarian modal ke luar wilayah untuk diinvestasikan ke wilayah yang lebih stabil.

4. Faktor kebijakan

Terjadinya kesenjangan antar wilayah bisa diakibatkan oleh kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah yang sentralistik hampir Ji semua sektor, dan lebih menekan petumbuhan dan membangunan pusat-pusat pembangunan di wilayah tertentu menyebabkan kesenjangan yang luar 1~1asa antar daerah.

5. Faktor administratif t

Kesenjangan wilayah dapat terjadi karena kemampuan pengelola administrasi. Wilayah yang dikelola dengan administrasi yang baik cenderung lebih maju. Wilayah yang ingin maju harus mempunyai administator yang jujur, terpelajar, terlatih, dengan sistem administrasi ymg efisien.

6. Faktor sosial

(36)

institusi dan perilaku yang kondusif untuk berkembang, perbedaan ini merupakan salah satu penyebab kesenjangan wilayah.

7. Faktor ekonomi

Faktor ekonomi yang menyebabkan kesenjangan antar wilayah yaitu:

a) Perbedaan kuantitas dan kualitas dari faktor produksi yang dimiliki seperti lahan, infrastruktur, tenaga kerja, modal, organisasi dan perusahaan.

b) Terkait akumulasi dari berbagai faktor. Salah satu lingkaran kemiskinan, kemudian kondisi masyarakat yang tertinggal, standar hidup rendah, efisiensi rendah, konsumsi rendah, tabungan rendah, investasi rendah dan penggangguran meningkat. Sebaliknya di wilayah yang maju, masyarakat maju, standar hidup tinggi, pendapatan semakin meningkat tabungan semakin banyak yang pada akhimya masyarakat semakin maiu.

c) Kekuatan pasar bebas telah mengakibatkan faktor-faktor ekonomi seperti tenaga ke rja modal, perbankan dan asuransi yang dalam ekonomi makin memberikan hasil yang lebih besar, cenderung terkonsentrasi di wilayah maju.

d) Terkait dengan distorsi pasar, kebijakan harga keterbatasan spesialisasi, keterbatasan keterampilan tenga kerja dan sebagainya.

2.5 Konsep Kemiskinan dan Kesejahteraan

Kemiskinan menjadi topik yang dibahas dan diperdebatkan di berbagai forum nasional maupun intemasional. Mengangkat kemiskinan menjadi prioritas pembangunan merupakan ha1 yang sangat tepat, pembangunan yang tidak dikaitkan dengan masalah kemiskinan akan membuka peluang munculnya pennasalahan-pennasalahan jangka pendek dan jangka panjang yang akan rnembahayakan proses dan keberlanjutan pembangunan itu sendiri. Sebelum kita membicarakan kemiskinan ada baiknya kita memahami apa itu kesejahteraan. Ada banyak definisi dan konsep yang berbeda tentaqg kesejahteraan, menurut (BPS,

(37)

(a) kependudukan, (b) tingkat kesehatan dan gizi masyarakat, (c) tingkat pendidikan (d) ketenagakejaan (e) taraf dan poIa konsumsi masyarakat

(0

keadaan perumahan dan lingkungan (g) keadaan sosial budaya.

Indikator utama yang digunakan untuk melihat derajat kesehatan masyarakat adalah angka kesakitan. Indikator kesejahteraan dari komponen pendidikan dilihat dari tingkat portisipasi sekolah, fasilitas sekolah, dan tingkat pendidikan yang ditamatkan. Indikator dari komponen perumahan dan lingkungan adalah kualitas rurnah tinggal yang ditentukan oleh kualitas bahan bangunan dan fasilitas dalam kehidupan sehari-hari. Pola pengeluaran rumah tangga didekati dari pengeluaran untuk makan dan pengeluaran untuk non makanan. Sehingga karakteristik sosial ekonomi atau tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih

spesifik disimpulkan berdasarkan:

1. Konsumsi/pengeluaran/per~~apatan

2. Kesehatan, pendidikan, perumahan dan permukiman

3. Sosial budaya, kesejahteraan rumah tangga.

Sedangkan menurut Menkokesra (2005) dalam Lumbessy (2005) bahwa faktor-faktor yang memperburuk kondisi kesejahteraan rakyat antara lain:

1. Tingkat pendapatan yang masih rendah 2. Pengangguran yang masih tinggi

3. Biaya hidup yang masih tinggi dan pemenuhsn kebutuhan hidup sehari-hari yang masih sulit dipenuhi oleh masyarakat lapisan bawab

4. Kurangnya penghayatan, pengamalan, pengembangan nilai keagamaan 5. Lambatnya pengembangan sumberdaya manusia

6. Lemahnya kapasitas dan kualitas sumberdaya manusia termasuk aparatur negara

7. Lemahnya daya dorong perekonomian

8. Tingginya kesenjangan antar daerah

9 . Menumnnya penyediaan infrastruktur

10. Lemahnya kelembangnun sosial baik formal maupun informal

(38)

Jadi dalam konsep kesejahteraan tersebut, kemiskinan berarti merupakan masalah yang bersifat multidimensi sehingga dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang. Menurut Sumodiningrat (1999) diklasifikasikan dalam lima kelas antara lain:

1. Kemiskinan absolut diartikan apabila tingkat pendapatan seseorang di bawah garis kemiskinan atau sejumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum

(basic

needs) seperti pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan.

2. Kemiskinan relatif adalah bila seseorang mempunyai penghasilan di atas garis kemiskinan, namun relatif lebih rendah dibandingkan dengan pendapatan masyarakat disekitamya.

3. Kemiskinan kultur mengacu ,nda sikap seseorang atau ma3yarakat yang disebabkan oleh faktor budaya tidak mau beru aha memperbaiki tingkat kehidupan meskipun ada usaha luar membantunya.

4. Kemiskinan kronis uisebabkan oleh beberapa ha1 yaitu: (1) kondisi sosial budaya yang mendorong sikap dan kebiasaan masyarakat yang tidak produktif; (2) keterbatasan sumberdaya dan keterisolasian; (3) rendahnya tingkat pendidikan; (4) terbatasnya lapangan pekejaan; dan (5)

ketidakberdayaan masyarakat dalam mengikuti ekonomi pasar.

5. Kemiskinan sementara terjadi akibat adanya pembahan siklus ekonomi dari kondisi normal menjadi krisis ekonomi, pembahan musiman seperti kemiskinan nelayan, pertanian tanaman pangan dan bencana suatu kebijakan tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan suatu masyarakat.

Menurut Suryawati (2005) Kemiskinan dalam dimensi ekonomi paling mudah untuk diamati, diukur, dan diperbandingkan. Ada beberapa metode pengukuran tingkat kemiskinan yang dikembangkan di Indo~~esia yaitu:

(39)

pedesaan dan perkotaan). Patokan kecukupan 2100 kalori ini berlaku untuk susunan umur, jenis kelamin, d m perkiraan tingkat kegiatan fisik, berat badan,

serta perkiraan status fisiologis penduduk.

2. Sayogyo: tingkat kemiskinan didasarkan jumlah rupiah pengeluaran rumah tangga yang disetarakan dengan jumlah kilogram konsumsi beras per orang per tahun dan dibagi wilayah pcrdcsaan dan perkotaan.

Daerah perdesaan:

a) Miskin: bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 320 kg nilai tukar beras per orang per tahun.

b) Miskin sekali: bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 240 kg nilai tukar beras per orang per tahun.

c) Paling miskin: bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 180 kg nilai tukar beras per orang pci tahun.

Daerah perkotaan:

a) Miskin: bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 480 kg nilai tukar beras per orang per tahun.

b) Miskin sekali: bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 380 kg nilai tukar beras per orang per tahun.

c) Paling miskin: bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 270 kg nilai tukar beras per orang per tahun.

3. Bank Dunia: Bank Duria mengukur garis kemiskinan berdasarkan pada pendapatan seseorang kurang dari US$] per hari

4. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasicnal (BKKBN): mengukur kemiskinan berdasarkan kriteria Keluarga Pra Sejahtera (Pra KS) dan

(40)

anggota keluarga umur 10 sampai 60 tahun yang buta huruf, semua anak berumur antara 5 sampai 15 tahun bersekolah, satu dari anggota keluarga mempunyai penghasilan rutin atau tetap, dan tidak ada yang sakit selama tiga bulan.

Penetapan pengukuran dan kriteria kemiskinan secara nasional sangat sulit. Masih diperlukan kajian yang dapat mengakomodasikan permasalahan kemiskinan yang kompleks baik dari segi ekonomi, budaya, sosial, psikologik, dan geografik yang sangat bewariasi di Indonesia. Pengukuran kemiskinan sangat dipengaruhi oleh perspektif income poverfy yang menggunakan pendapatan sebagai satu satunya indikator garis kemiskinan.

Di bawah kepemimpinan ekonom asal Pakistan, Mahbub U1 Haq, pada tahun 1990-an UNDP memperken?lkan pendekatan Human Development yang diformulasikan dalam bentuk Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) dan Indeks Kemiskinan Manusia (Human Poverty Index). Dibandingkan dengan petldekatan yang dipakai Bank Dunia, pendekatan UNDP relatif lebih komprehensif karena bukan hanya mencakup dimensi ekonomi (pendapatan), melainkan juga pendidikan (angka melek huruf), dan kesehatan (angka harapan hidup). Pendekatan kemiskinan versi UNDP berporos pada paradigma pembangunan populis atau kerakyatan (popular development paradigm) yang memadukan konsep pemenuhan kebutuhan dasar dari Paul Streeten dan teori kapabilitas yang dikembangkan peraih Nobel ekonomi 1998, Amartya Sen (Suharto, 2000)

(41)

Tabel 2 Perkembangan Pendudul; Miskin di Indonesia Tahun 1970-2007 Tahun Junilah Cjuta jiwa) Persentase

1970 70,O 60,O

1976 54,2 40,4

1980 43,2 28,6

1984 35.0 21,6

1987 30.0 17,4

1990 27,2 15,l

1993 25.9 13,7

1996 3 4 3 17.5

2006 39.3 17.8

2007 37.2 16.6

Sumber: BPS berbagai edisi

Pada rentang tahun 1981 sampai dengan 2001 jumlah penduduk miskin di dunia tumn dari 1,5 milyar orang (40%) menjadi 1,l milyar orang (21%). Angka ini mempakan statistik Bank Dunia yang mengukur garis kemiskinan berdasarkan pendapatan seseorang kurang dari US$l per hari (sztara Rp8.500,OO per hari).

2.6 Distribusi Pendapatan

(42)

Menurut Todaro (2003), ketimpangan distribusi pendapatan dapat digambarkan oleh kurva lorenz. Kurva ini terletak dalam sebuah bujur sangkar yang sisi tegaknya melambangkan presentase kumulatif pendapatan nasional sedangkan sisi datamya melambangkan persentase kumulatif penduduk.

Kurva lorenz yang semakin dekat ke arah diagonal (semakin lurus) menyiratkan distribusi pendapatan nasional yang semakin merata. Sebagai contoh, titik tengah garis diagonal melambangkan 50 persen pendapatan yang tepat didistribusikan untuk 50% dari jumlah penduduk. Titik yang terletak pada posisi tiga perempat garis diagonal melambangkan 75 % pendapatan nasional yang didistribusikan kepada 75 persen dari jurnlah penduduk. Dengan kata lain, garis diagonal tersebut merupakan garis pemerataan sempurna. Sebaliknya jika kurva lorenz semakin jauh dari diagonal (semakin melengkung) maka mencermi~~kan keadaan yang semahin memburuk, distribusi pendal latan nasional makin timpang atau tidak merata (Todaro, 2003). C ambar 3 memperlihatkan pengukuran ratio gini dengan kadar kemerataan distribusi pendapatan nasional yang angka berkisar antara 0 hingga 1.

Persentase pendapatan Nasional

Persentase kumulatif penduduk nasional Gambar 3 Pengukuran gini ratio dengan menggunakan kurva Lorenz.

[image:42.559.74.478.26.794.2]
(43)

(semakin mendekati satu) mengisyaratkan distribusi semakin timpang atau senjang. Angka gini ratio dapat ditaksir secara visual langsung dari kuwa lorenz yaitu perbandingan luas a r u segitiga BCD. Semakin melengkung kuwa lorenz akan semakin luas area segitiga yang dibagi maka ratio gininya akan semakin besar, menyiratkan distribusi pendapatan semaki~~ timpang. Todaro (2003) memberikan batasan bahwa negara-negara yang ketimpanganya tinggi maka koefisien gini terletak antara 0,50 sampai 0,70, sedangkan untuk negara-negara yang ketimpangannya relatif rendah atau merata koefisien gininya terletak antara 0,20-0,35.

2.7 Persepsi

Persepsi pada hakikatnya adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap orang di dalam memahami informasi tentang lingkungannya baik melalui penglihatan, pendengaran, penglihatan, perasaan dan penciurnan. Kunci untuk memahami persepsi adalah terletak pada pengenalan bahan persepsi ini me~pzikan suatu penaksiran yang unik terhadap situasi dan bukannya suatu pencatatan yang benar terhadap situasi (Thoha, 1999)

Menurut Asngari (1984) persepsi adalah pemahaman atau pandangan seseorang tentang segala sesuatu yang ada disekitamya. Selanjutnya dikemukakan bahwa persepsi orang dipengaruhi oleh pandangan seseorang pada suatu keadaan, fakta atau tindakan. Karena itu individu perlu mengerti dengan jelas tugas dan tanggung jawab yang dipikulkan kepadanya.

Persepsi adalah pengalaman tentang objek dan hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi memberikan stimulasi inderawi (sensory stimuli). Hubungan sensa: i dan penepsi adalah jelas bahwa sensasi bagian dari persepsi. Wa.3upun begitu menafsirkan makna informasi inderawi tidak hanya melibatkan sensasi, tetapi juga atensi berhatian) ekspektasi (harapan), motivasi dan memori. Persepsi seperti juga sensasi ditentukan oleh faktor personal dan situasional (Rahmat, 2000).

Tentang faktor-faktor yang berpengaruh pada persepsi, Krech &

(44)

dalam rangsangan fisik d m proses neurofisikologi dan (2) variabel fungsional yaitu faktor-faktor yang terdapat dalam diri si pengamat seperti kebutuhan, suasana hati, pengalaman masa lalu d m sifat-sifat individual lainnya.

2.8 Struktur Keuangan Negara dan APBD

Salah satu pembahan mendasar dengan ditetapkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999 adalah pengelolaan keuangan daerah. Kedua UU tersebut telah memberikan kewenangan yang lebih luas kepada pemerintah daerah dalam menata sistem pengelolaan keuangan daerah. Kewenangan dimaksud adalah keleluasaan dalam mobilisasi sumber dana, menentukan arah, tujuan d: n target penggunaan anggaran. Selanjutnya, pada tahun 2003 telah diterbitkan satu undang-undang yang mengatur pengelolaan keuangan negara, yaitu UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Mulyana, 2006).

Selama ini pelaksanaan pengelolaan keuangan negara masih menggunakan ketentuan pemndang-undangan yang disusun pada masa Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda. Sebelum masa kemerdekaan ditetapkan pertama kali pada tahun

1864 dan mulai berlaku pada tahun 1867, Indische Bedrijvenwet (IBW) Stbl. 1927

No. 419 jo. Stbl. 1936 No. 445 dan Reglement voor hef Administratief Beheer

(RAB) Stbl. 1933 No. 381. Sementara itu, dalam pelaksanaan pemeriksaan

pertanggungjawaban keuangan negara digunakan Instructieen verdere bepalingen voor de Algemeene Rekenkamer (IAR) Stbl. 1933 No. 320. Peraturan perundang- undangan pra-kemerdekaan tidak dapat mengakomodasikan berbagai perkembangan yang tejadi dalam sistem kelembagaan negara dan pengelolaan keuangan pemerintahan negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, meskipun berbagai ketentuan tersebut secara formal masih tetap berlaku, namun secara materiil sebagian dari ketentuan dalarn peraturan perundang-undangan dimaksud tidak lagi dilaksanakan (Mulyana, 2006).

Pada awal kemerdekaan berdasarkan Aturan Peralihan Undang-Undang

(45)

dalam Lembaran Negara 1954 Nomor 6. Lembaran Negara 1955 Nomor 49, dan terakhir Undang-undang Nomor 9 Tahun 1968 (Mulyana, 2006)

Salah satu aspek penting dalam perwujudan otonomi daerah adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah. Dalam ha1 ini Pemerintah Daerah diberikan kewenangan yang cukup luas untuk bisa mengelola aspek tersebut demi kepentingan daerahnya masing-masing namun tetap dalam kerangka kepentingan nasional. Berkaitan dengan itu, otonomi daerah khususnya dalam aspek keuangan dijabarkan melalui beberapa aturan pelaksanaan sebagai berikut :

1. Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan

Pertanggungjawaban Keuangan Daerah.

3. Peraturan Pemerintah Nomor 106 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah dalam rangka Pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.

4. Peraturan Pemerintah Nomor 107 Tahun 2000 tentang Pinjaman Daerah. 5. Peraturan Pemerintah Nomor 108 Tahun 2000 tentang Tata Cara

Pertanggungjawaban Kepala Daerah.

6. Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan Daerah.

7. Peraturan Pemerintah nomor 110 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD.

Pada awal tahun 1980-an dikeluarkan Permendagri Nomor 9001099 tentang Manual Administrasi Keuangan Daerah (MAKUDA), Permendagri Nomor 020-595 tentang Manual Administrasi Barang Daeral~, dan Permendagri Nomor 970 tentang Manual Administrasi Pendapatm Daerah. Kelemahan paling mendasar sistem administrasi keuangan daerah adalah masih iiterapkannya pembukuan tunggal (singleentry bookkeeping) dan 1 zrbasis kas (cash basis).

(46)

Perubahan format yang berbasis Manual Administrasi Keuangan Daerah (Makuda 1981) (format lama) diganti dengan format yang berbasis Kinerja dengan berdasarkan Kepmendagri 29 Tahun 2032. Perundangan Kepmendagri 29 Tahun 2009 tersebut tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Pembahan struktur anggaran belanja dalam APBD berdasarkan (MAKUDA 1981) berbeda dengan struktur belanja dalam APBD tahun Anggaran 2003-2006 (kepemendagri No 29 Tahun 2002). Perbedaan tersebut karena adanya perubahan sistem pencatatan dari

" Single Entry" ke " Double Entry" (dari sistem tunggal ke sistem berpasangan)

yang berbasis kinerja dan prt stasi (Mulyana, 2006)

Struktur keuangan daerah Berdasarkan Kepmendagri 29 Tahun 2002 merupakan satu kesatuan yang terdiri dari (a). PerAuapatan Daerah, (b). Belanja Daerah, dan (c). Pembiayaan. Dalam ha1 ini, yang dimaksud dengan satu kesatuan adalah dokumen APBD yang merupakan rangkuman seluruh jenis pendapatan, jenis belanja dan sumber-sumber pembiayaannya. Pendapatan daerah dirinci menurut kelompok pendapatan dan jenis pendapatan. Kelompok pendapatan meliputi Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, dan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah dan menurut jenis pendapatan misalnya Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Dana Alokasi Umurn dan Dana Alokasi Khusus (Mulyana, 2006).

Sementara itu, belanja dirinci menurut organisasi, fungsi dan jenis belanja. yang dimaksud dengan belanja menurut organisasi adalah suatu kesatuan pengguna anggaran seperti DPRD dan Sekretariat DPRD, Kepala Daerah dan

Wakil Kepala Daerah, Sekretariat Daerah, serta Dinas Daerah dan Lembaga Teknis Daerah lainnya. Fungsi belanja misalnya pendidikan, kesehatan, dan fungsi-fungsi lainnya. Jenis belanja maksudnya adalah belanja pegawai, belanja barang, belanja pemeliharaan, belanja perjalanan dinas dan belanja modal/pembangunan (Mulyana, 2006)

(47)

penerimaan dari penjualan asset daerah yang dipisahkan. Sumber pembiayaan yang merupakan pengeluaran yaitu pembayaran hutang pokok. Sedangkan selisih lebih pendapatan daerah terhadap belanja daerah disebut surplus anggaran. Sedangkan selisih kurang Pendapatan Daerah terhadap Belanja Daerah disebut defisit anggaran (Mulyana, 2006).

Anggaran untuk membiayai pengeluaran yang sifatnya tidak terduga disediakan dalam bagian anggaran ?engeluaran tidak terduga. Pengeluaran yang dibebankan pada pengeluaran tidak terduga adalah untuk penanganan bencana alam, bencana sosial, dan pengeluaran tidak terduga lainnya, yang sangat diperlukan dalam ranpka penyelenggaraan kewenangan pemerintah daerah (Mulyana, 2006)

Belanja Aparatur Daerah adalab. bagian belanja berupa : Belanja Administrasi Umum, Belanja Operasi dan Pemeliharaan, serta Belanja ModdPernbangunan yang dialokasikan pada atau digunakan untuk membiayai kegiatan yang hasil (outcome), manfaat (benefit), dan dampaknya (impact) tidak secara langsung dinikmati oleh masyarakat. Sedangkan Belanja Pelayanan Publik adalah bagian belanja berupa : Belanja Administrasi Umum, Belanja Operasi dan Pemeliharaan, serta Belanja Modal/Pembangunan yang dialokasikan pada atau digunakan untuk membiayai kegiatan yang hasil (outcome), manfaat (benefit), dan dampaknya (impact) secara langsung dinikmati oleh masyarakat (publik) (Mulyana, 2006).

Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 tersebut berjalan hanya sampai 4 tahun dan direvisi kembali dengan PP 58 Tahun 2005 tentang pengelofaan keuangan yang ketentuan lebih lanjutnya dijelaskan oleh Permendagri No 13

(48)

Tabel 3 Pemetaan Format Anggaran Pemerintah KabupatenKota Berdasarkan Beberapa Peratwan

M A K U D A 1981 Kepmendagri NO 29iZ002 Permendaeri Nol3I2006 -

Aparalur- Pengeluaran

Rutin Pcngeluaran Staf Adm umum Staf Belanja Pcngcluaran Star

tidak

Publik-adm Pengeluaran staf Langsung

umum

... - .. - ... - ... -. ... -. ... -. .... -. ... - ... - ... - ...

Rutin Pemhayarnn Pembayaran Bunga

Hut.angd~?~~~cga. .aa.aa.aaaa....a.a.a..aa.a..aaaaa..aaaa.aaaa..aaaa..aa.aaaaa.aaa.a...a.a...a..a...aa.aa...a.... .a...a... ...

Rulin Subsidi

Pengeluaran yang tidak termasuk dalam pengeluaran lainya

.. .

llibah

Rutin Pcnsiun dan Santunan Bantuan Sosial

Rutin Subsidi IBantuan Dana Bagi hasil Pembagian pendapalun

untuk pemerintah daerah

Keuangan Untuk dan Bantuan atau desa

Pemcrintah diTingka' Keuangan

yidng icbih rcndnh Bantuan Kcuangan

untuk pemcrinlah daereh atau desa

Rutin Pen~cluaran - tdk Pengcluaran tak Pengeluamn Tnk

re!dug_a ...g_a.g_a.g_a...g_a...

..-Te!d%!

.~._.-.g_a.g_a.g_a.g_a.g_a.g_a.g_a.. l_'erdue

Aparatur- Pengcluaran

Rutin Barang &jasa Operasional Staf Belanja Belanja Barang dan

Opcrasional & &pernwatan 1.angsung Jasd

Publik- Pcngeli~aran

Pemeliharaan Operasional Staf

Biava nerialanan

. . -

[image:48.556.84.530.201.772.2]

Dinus &perawalan

...

Aparalur-

Operasional Barang & Jasa Pengeluaran Staf

&perawatan Biaya perjalanan Dinas

Operasional dan pcrawatan Lain-lain I'ublik-

0pcr;aionul I3nra11g & Jasa &pcrawulan LIiaya pcrjalanull

Dines

Opernsional dan perawntan Loin-lain

Aparatur Belanja Modal Belanja Modal

Publik Belanja Modal

(49)

2.9 Penelitian Terdahulu

Berdasarkan hasil pe

Gambar

Tabel 18. Diskripsi Fiskal Needs KabupatenKota di Provinsi Banten (Rp juta) .. 66
Gambar 1. Presentase Penduduk Miskin Kabupaten dan Kota di Provinsi Banten
Gambar 19 . Tingkat Gini Ratio KabupatedKota di Provinsi Banten ....................
Gambar 1 Persentase penduduk Miskin Kabupaten dan Kota di Provinsi Banten.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu hal yang dibutuhkan pengguna komputer untuk dapat menyimpan suatu data yang dianggap penting dan membatasi akses informasi serta resources hanya untuk pemakai yang

Maka di sini penulis memandang perlunya sistem dengan dukungan bahasa pemograman WML (Wireless Murkup Language) dan juga database yang berbasiskan client server, sehingga situs

Pelaksanaan penambahan penyertaan modal Negara ke dalam modal saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Semen Kupang sebagaimana dimaksud dalam Pasal

Kedudukan PPNS dalam sistem peradilan pidana dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan bahwa penyidik adalah pejabat polisi negara

Dana Bagi Hasil Pajak – Pusat __________ Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam- Pusat Dana Alokasi Umum __________________ Dana Alokasi Khusus _________________ Dana Otonomi

19 tahun 2015 tentang Pedoman penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan kepemimpinan tingkat III, (4) Pelaksanaan diklat yang efektif dan sukses yang dilakukan oleh

Secara khusus, dalam kaitan dengan fokus kegiatan ini, yang menjadi pertanyaan adalah, apa implikasi keduanya terhadap dinamika pluralisme agama di Indonesia3.

Dalam tugas akhir ini akan dibuat suatu aplikasi program yang merupakan bagian sistem pembelian, penjualan dan persediaan pada RUDI AGENCY, penulis melakukan