PENGARUH FAKTOR PREDISPOSING DAN REINFORCING TERHADAP KETERAMPILAN BERKOMUNIKASI WARIA
DALAM MENAWARKAN KONDOM DI KOTA MEDAN
T E S I S
Oleh
REHULINA GINTING 067012052 / IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
PENGARUH FAKTOR PREDISPOSING DAN REINFORCING TERHADAP KETERAMPILAN BERKOMUNIKASI WARIA
DALAM MENAWARKAN KONDOM DI KOTA MEDAN
T E S I S
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan pada Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara
Oleh
REHULINA GINTING 067012052 / IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Judul Tesis : PENGARUH FAKTOR PREDISPOSING DAN REINFORCING TERHADAP KETERAMPILAN KOMUNIKASI WARIA DALAM
MENAWARKAN KONDOM DI KOTA MEDAN Nama Mahasiswa : Rehulina Ginting
Nomor Induk Mahasiswa : 067012052
Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
Menyetujui Komisi Pembimbing :
( Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si ) (dr. Irwan Fahri Rangkuti, Sp.KK )
Ketua Anggota
Ketua Program Studi Dekan
(Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si ) ( Dr. Drs Surya Utama, M.S )
Telah diuji
Pada Tanggal : 23 Desember 2010
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si Anggota : 1. dr. Irwan Fahri Rangkuti, Sp.KK
PERNYATAAN
PENGARUH FAKTOR PREDISPOSING DAN REINFORCING TERHADAP KETERAMPILAN BERKOMUNIKASI WARIA
DALAM MENAWARKAN KONDOM DI KOTA MEDAN
T E S I S
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan orang lain untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu Perguruan Tinggi dan sepengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang perna ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Desember 2010
ABSTRAK
Salah satu kelompok yang tergolong memiliki risiko tinggi tertular HIV yang berkaitan dengan perilaku dan pekerjaannya adalah waria. Di Kota Medan, jumlah waria yang tercatat di Gerakan Sehat Masyarakat (GSM) Medan mencapai 1021 orang, di mana hanya 65% yang menggunakan kondom. Kondom merupakan salah satu mencegah penularan HIV/AIDS.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh faktor predisposing
(pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, dan sikap) dan reinforcing (petugas kesehatan, LSM dan Petugas KPA Kecamatan) terhadap keterampilan berkomunikasi waria dalam menawarkan kondom. Lokasi penelitian di Kota Medan dengan populasi 1021 waria. Sampel yang diambil berjumlah 91 orang. Data primer diperoleh dengan melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji regresi logistic.
Hasil penelitian menunjukkan variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap keterampilan berkomunikasi yaitu : pengetahuan dan sikap (variabel
predisposing) dan petugas KPA Kecamatan (variabel reinforcing).
Disarankan kepada pemerintah Kota Medan untuk melakukan berbagai pendekatan terhadap kelompok waria agar mereka memiliki keterampilan berkomunikasi untuk menyampaikan penggunaan kondom kepada pelanggannya, mengingat potensi penyebaran HIV/AIDS oleh kelompok ini cukup tinggi.
ABSTRACT
A group that is classified into high risk of HIV infection related to their behaviour and occupation is sissy. In Medan City, there is 1021 sissy noted by Community Health Movement, of 65% use condom. Condom is one of method to prevent HIV/AIDS.
The objective of this resea rch is to analyze the influence of predisposing factor (education, occupation, knowledge, and attitude) and reinforcing factor
(health workers, NGO, and KPA sub district workers) on waria’s communication
skill of condoms to consumer. The research took place in Medan with the population of 1021 sissy. The sample taker was 91 persons. Primary data were obtained by interview using a questionnaire. Data analysis were done by logistic regression test.
This research showed that the va riables which ha d influence significantly on the communication skill were : knowledge and attitude (predisposing va riable), KPA sub district workers (reinforcing variable).
It is suggested to Medan District Health Office to make some approacment to sissy group in order they have communication skill to communicate the using of condom to their klien, regarding the potential of HIV/AIDS distribution from this group high enough.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
HidayahNyalah penulis dapat menyelesaikan tesis berjudul : “Pengaruh Faktor
Predisposing dan Reinforcing terhadap Keterampilan Berkomunikasi Waria dalam
Menawarkan Kondom di Kota Medan”.
Karya ini penulis persembahkan kepada suami tercinta Prof. Subhilhar dan
seluruh buah hati : OK. Ilham Abdullah S.Ked., OK Fachru Hidayat, Hafiza
Adlina, OK Nadhil Auzan, adalah sumber inspirasi dan pemberi dorongan terkuat
kepada penulis dalam menjalani seluruh liku kehidupan, walaupun mereka sering
terabaikan, untuk itu melalui tulisan ini penulis ucapkan terimakasih dan memohon
maaf atas segala kekhilafan.
Dalam penulisan tesis ini penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai
pihak. Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan rasa terimakasih kepada :
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H,
M.Sc(CTM), Sp.A(K) yang telah memberikan izin kepada penulis untuk
menempuh program pendidikan S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat di Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
2. Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Dr. Drs. Surya Utama, M.S, yang
telah membantu dan memberikan perhatian yang tulus, dengan kearifannya
3. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu
Kesehatan Masyarakat sekaligus sebagai Ketua Komisi Pembimbing yang
telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing penulis mulai
dari pembuatan proposal hingga selesainya penulisan tesis ini.
4. dr. Irwan Fahri Rangkuti, Sp.KK selaku anggota komisi pembimbing yang
telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing penulis mulai
dari pembuatan proposal hingga selesainya penulisan tesis ini.
5. Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M dan Drs. Alam Bakti Keloko, M.Kes
yang telah menyediakan waktu, menjadi tim penguji tesis ini.
6. Seluruh Staf Pengajar dan Staf Administrasi yang telah memberikan
pengajaran, bimbingan dan pengarahan serta bantuan selama pendidikan.
7. Kepada Lembaga Swadaya Masyarakat GSM yang telah banyak membantu
dan mendampingi penulis dalam penelitian dan pengumpulan data dilapangan.
8. Kepada Seluruh Staf Puskesmas Padang Bulan khususnya kepada Drg.
Sufania, Nelly, Dormina, Gerry dan Ana yang telah memberikan bantuan dan
dukungan moril kepada penulis hingga akhir penyelesaian tesis ini.
Sesungguhnya penulis telah maksimal dalam menyelaesaikan tesis ini dan
menyadari bahwa tesis ini masih sangat jauh dari sempurna, karenanya saran untuk
perbaikan sangat diharapkan. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Desember 2010
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Rehulina Ginting, dilahirkan di Binjai, Sumatera Utara pada tanggal 7 Januari 1965, beragama Islam. Saat ini penulis bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS) menjabat sebagai Kepala Puskesmas Padang Bulan, Kota Medan. Penulis telah menikah dengan Prof. Subhilhar dan memiliki anak sebanyak 4 orang yakni OK. Ilham Abdullah S.Ked., OK Fachru Hidayat, Hafiza Adlina, OK Nadhil Auzan.
Penulis menamatkan Sekolah Dasar pada tahun 1976 di SD Bhayangkari Medan, pada tahun 1980 menamatkan Sekolah Menengah Pertama di SMP Prayatna Medan, tahun 1983 menamatkan Sekolah Menengah Atas di SMA St. Katolik Medan, tahun 1995 menamatkan program dokter di Fakultas Kedokteran USU.
DAFTAR ISI
2.4.3. Kelompok Masyarakat yang Beresiko Tinggi tertular HIV 15
2.4.4. Pencegahan AIDS ... 16
2.6.1. Pencegahan HIV/AIDS dengan Penggunaan Kondom 27
2.7. Faktor – Faktor yang mempengaruhi pemakain kondom ... 27
2.7.1. Faktor Pemudah ... 28
2.7.1.2. Pendidikan ... 29
4.2. Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Reinforcing Waria di Kota Medan ... 51
4.2.1. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan dan Jenis Pekerjaan Waria di Kota Medan ... 51
4.2.2. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan Waria di Kota Medan ... 52
4.3. Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Reinforcing
(LSM, Petugas Kesehatan, dan Petugas KPA
Kecamatan) Waria di Kota Medan ... 57
4.3.1. Distribusi Responden Berdasarkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ... 57
4.3.2. Distribusi Responden Berdasarkan Peranan Petugas Kesehatan ... 59
4.3.3. Distribusi Responden Berdasarkan Peranan Petugas KPA Kecamatan ... 60
4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Keterampilan Waria dalam Menawarkan Kondom di Kota Medan ... 62
4.5. Uji Bivariat ... 64
4.5.1. Uji Statistik Chi Square (X2) pada Variabel Predisposing (Pendidikan, Pekerjaan, Pengetahuan dan Sikap) terhadap Keterampilan Waria dalam Menawarkan Kondom di Kota Medan Tahun 2010 ... 64
4.5.2. Uji Statistik Chi Squa re (X2) pada Variabel Reinforcing (Peran Keluarga, Peran LSM, Peran Petugas Kesehatan dan Peran Stakeholder) terhadap Keterampilan Waria dalam Menawarkan Kondom di Kota Medan Tahun 2010 ... 67
4.6. Uji Multivariat ... 69
BAB 5. PEMBAHASAN ... 71
5.1. Pengaruh Variabel Predisposing ( Pendidikan, Pekerjaan, Pengetahuan, dan Sikap) terhadap Keterampilan Waria dalam Menawarkan Kondom di Kota Medan Tahun 2010 ... 71
5.1.1. Pendidikan ... 71
5.1.2. Pekerjaan ... 72
5.1.3. Pengetahuan ... 75
5.1.4. Sikap ... 78
5.2. Pengaruh Variabel Reinforcing (Peranan Keluarga, Peranan LSM, Peranan Petugas Kesehatan, Peranan Stakeholder) terhadap Keterampilan Waria dalam Menawarkan Kondom di Kota Medan Tahun 2010 ... 80
5.2.1. Peranan LSM ... 80
5.2.2. Peranan Petugas Kesehatan ... 81
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 84
6.1. Kesimpulan ... 84
6.2. Saran ... 85
DAFTAR PUSTAKA ... 86
DAFTAR TABEL
3.1. Aspek Pengukuran Variabel Bebas ... 46
3.2. Aspek Pengukuran Variabel Terikat ... 47
4.1. Data Waria di Kota Medan Berdasarkan Lokasi dan Jumlah
Outlet Kondom yang Tersedia ... 50
4.2. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan dan Jenis
Kelamin Waria di Kota Medan ... 52
4.3. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan
Waria di Kota Medan ... 53
4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Pengetahuan
Waria di Kota Medan ... 54
4.5. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Sikap Waria di
Kota Medan ... 55
4.6. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Sikap Waria di
Kota Medan ... 56
4.7. Distribusi Responden Berdasarkan Peranan Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) ... 57
4.8. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Peranan LSM .. 58
4.9. Distribusi Responden Berdasarkan Peranan Petugas
Kesehatan ... 59
4.10. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Peranan Petugas
Kesehatan ... 60
4.11. Distribusi Responden Berdasarkan Peranan Petugas KPA
Kecamatan ... 61
4.12. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Peranan Petugas
KPA Kecamatan ... 62
Halaman
4.13. Distribusi Responden Berdasarkan Keterampilan Waria
dalam Menawarkan Kondom di Kota Medan ... 62
4.14. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Keterampilan
Berkomunikasi Waria ... 63
4.15. Hasil Uji Chi Square (X2) pada Variabel Predisposing
(Pendidikan, Pekerjaan, Pengetahuan dan Sikap) Terhadap Keterampilan Waria Dalam Menawarkan Kondom di Kota
Medan Tahun 2010 ... 64
4.16 Hasil Uji Chi Square (X2) pada Variabel Reinforcing (Peran LSM, Peran Petugas Kesehatan dan Petugas KPA Kecamatan) Terhadap Keterampilan Waria Dalam
Menawarkan Kondom di Kota Medan Tahun 2010 ... 67
4.17. Hasil Uji Regresi Logistik untuk Mengetahui Seberapa Besar Pengaruh Variabel Predisposing dan Reinforcing Terhadap Keterampilan Waria dalam Menawakan Kondom di Kota
DAFTAR GAMBAR
2.1 Kerangka Teori ... 39
2.2 Kerangka Konsep Penelitian ... 40
Halaman
DAFTAR LAMPIRAN
1. Surat Izin Penelitian dari Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara ... 88
2. Surat Keterangan / Izin Penelitian dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pemerintah Kota Medan ... 89
3. Surat Keterangan Selesai Penelitian dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pemerintah Kota Medan ... 90
4. Foto-foto Penelitian ... 91
5. Hasil Uji Validitas ... 93
6. Hasil Uji Reliabilitas ... 94
7. Kuesioner Pengaruh Faktor Predisposing dan Reinforcing terhadap Keterampilan Berkomunikasi Waria dalam Menawarkan Kondom di Kota Medan ... 95
8. Frequency Tabel dan Hasil Pengolahan Data dengan Menggunakan SPSS ... 103
Halaman
ABSTRAK
Salah satu kelompok yang tergolong memiliki risiko tinggi tertular HIV yang berkaitan dengan perilaku dan pekerjaannya adalah waria. Di Kota Medan, jumlah waria yang tercatat di Gerakan Sehat Masyarakat (GSM) Medan mencapai 1021 orang, di mana hanya 65% yang menggunakan kondom. Kondom merupakan salah satu mencegah penularan HIV/AIDS.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh faktor predisposing
(pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, dan sikap) dan reinforcing (petugas kesehatan, LSM dan Petugas KPA Kecamatan) terhadap keterampilan berkomunikasi waria dalam menawarkan kondom. Lokasi penelitian di Kota Medan dengan populasi 1021 waria. Sampel yang diambil berjumlah 91 orang. Data primer diperoleh dengan melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji regresi logistic.
Hasil penelitian menunjukkan variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap keterampilan berkomunikasi yaitu : pengetahuan dan sikap (variabel
predisposing) dan petugas KPA Kecamatan (variabel reinforcing).
Disarankan kepada pemerintah Kota Medan untuk melakukan berbagai pendekatan terhadap kelompok waria agar mereka memiliki keterampilan berkomunikasi untuk menyampaikan penggunaan kondom kepada pelanggannya, mengingat potensi penyebaran HIV/AIDS oleh kelompok ini cukup tinggi.
ABSTRACT
A group that is classified into high risk of HIV infection related to their behaviour and occupation is sissy. In Medan City, there is 1021 sissy noted by Community Health Movement, of 65% use condom. Condom is one of method to prevent HIV/AIDS.
The objective of this resea rch is to analyze the influence of predisposing factor (education, occupation, knowledge, and attitude) and reinforcing factor
(health workers, NGO, and KPA sub district workers) on waria’s communication
skill of condoms to consumer. The research took place in Medan with the population of 1021 sissy. The sample taker was 91 persons. Primary data were obtained by interview using a questionnaire. Data analysis were done by logistic regression test.
This research showed that the va riables which ha d influence significantly on the communication skill were : knowledge and attitude (predisposing va riable), KPA sub district workers (reinforcing variable).
It is suggested to Medan District Health Office to make some approacment to sissy group in order they have communication skill to communicate the using of condom to their klien, regarding the potential of HIV/AIDS distribution from this group high enough.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Waria merupakan salah satu kelompok risiko tinggi penyebar HIV/AIDS,
yang keberadaannya saat ini cukup mengkhawatirkan karena aktivitas yang melekat
dalam kesehari-harian mereka. Aktivitas seksual pada waria sebagai pekerja seksual
dianggap berisiko tinggi karena mereka mempunyai banyak pasangan seksual pria
dan kemungkinan besar pasangan mereka juga mempunyai banyak pasangan seksual
pria lainnya, baik pria yang sudah/belum menikah. Kelompok ini bahkan besar
kemungkinannya atau risikonya lebih tinggi tertular penyakit menular seksual
termasuk HIV dan Hepatitis B.
Kelompok waria dalam masyarakat merupakan kelompok yang eksklusif
karena mereka memiliki komunitas tersendiri dengan pola-pola kehidupan yang agak
berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Interaksi sosial dengan masyarakat pada
umumnya bersifat negatif, terutama pandangan masyarakat terhadap mereka. Bentuk
interaksi sosial yang negatif dari masyarakat bisa berupa cemohan, bahan tertawaan
dan ejekan, bahkan yang kasar waria dipukul dan dilempari terutama ketika
berpenampilan sebagai perempuan. Sikap ini berawal dari lingkungan keluarga, dan
lingkungan tempat tinggalnya dan menyebar ke masyarakat pada umumnya.
solidaritas senasib ini merupakan kegiatan mempertahankan eksistensi mereka dalam
berinteraksi sosial dengan lingkungan masyarakat yang mereka hadapi.
Bentuk-bentuk solidaritas itu bisa dilihat dalam aktivitas ekonomi mereka
yang kebanyakan bekerja di salon sebagai tukang cukur dan penata rias pengantin.
Dalam aktivitas olahraga misalnya, mereka melakukannya hanya dalam kelompoknya
saja tanpa bergabung dengan kelompok lain. Dalam aktivitas agama, mereka juga
membentuk kelompok ibadah yang eksklusif. Mereka pergi berombongan (5-10
orang) ke pesta, diskotik dan tempat-tempat ramai sambil mencari seks.
Aktivitas-aktivitas tersebut merupakan bentuk-bentuk solidaritas untuk menjaga eksistensi dan
bentuk adaptasi sosial mereka dalam masyarakat.
Waria dikelompokkan menjadi dua yakni sebagai transvestisme maupun
sebagai transeksual. Waria yang dikenal sebagai transvestime pertama kali
diperkenalkan oleh seorang psikolog Magnus Hischfield pada tahun 1910, di mana
kelainan ini sering dihadapi oleh kaum pria dibandingkan dengan kaum wanita,
diperkirakan satu dari 37000 pria dan 1 dari 107000 wanita. Waria transeksual
(gender dysphoria syndrome), yaitu seseorang yang ingin menghilangkan ciri-ciri
kelaki-lakiannya karena merasa ketidaksesuaian antara fisik dan jiwanya atau
ketidakpuasan individu tersebut dengan gender yang mereka miliki (Benjamin, 1999).
Penderita HIV pertama kali ditemukan oleh Dr. Luc Montagnier dan
kawan-kawan dari Institut Pasteur Perancis pada Januari 1983. Virus itu diisolasi dari
kelenjar getah bening yang membengkak pada ODHA, sehingga virus ini pertama
Dr. Robert Gallo dari Lembaga Kanker Nasional (NIC) di Amerika Serikat juga
menyatakan bahwa dia menemukan virus baru dari seorang ODHA dengan
memberikan nama Human T-Lymphocytic Virus tipe III (HFLV III). Ilmuwan lain
yaitu J. Levy juga menemukan virus penyebab AIDS yang diberi nama Ralated Virus
disingkat ARV. Kemudian komisi Taksonomi Internasional sepakat untuk menyebut
nama virus penyebab AIDS ini Human Immunodeficiency Virus (HIV) pada Mei
1986.
Secara resmi penderita HIV/AIDS di Indonesia pertama kali dilaporkan pada
seorang turis di Bali tahun 1987. Makin lama kasus ini makin bertambah di mana
setiap satu orang positif yang terdeteksi berarti di masyarakat ada 100 orang yang
sudah terinfeksi HIV tetapi belum terdeteksi. Inilah yang dikenal sebagai fenonema
gunung es; bagian es yang muncul di permukaan air hanyalah sebagian saja
dibandingkan bagian es yang terletak di bawah permukaan air. Dengan kata lain
kasus-kasus HIV positif dan AIDS yang diketahui hanyalah sebagian kecil dari
kasus-kasus HIV positif dan AIDS yang sesungguhnya ada di masyarakat.
Penyebaran HIV/AIDS bukan semata-mata masalah kesehatan tetapi
mempunyai implikasi politik, sosial, etis, agama,dan hukum bahkan dampak secara
nyata, cepat atau lambat, menyentuh hampir semua aspek kehidupan Akhirnya, virus
itu dapat juga ditularkan melalui hubungan sex, jarum suntik dan air susu ibu; tidak
ada penyebaran virus melalui saliva, melalui kontak sosial, nyamuk, kolam berenang,
alat-alat makan, toilet, dan udara ruangan yang sudah terinfeksi oleh penderita.
Berdasarkan data penderita HIV/AIDS di Indonesia khususnya Sumatera
Utara adalah berjumlah 1017 kasus, dan berdasarkan jenis kelamin penderita adalah
laki-laki 784 jiwa, perempuan 147 jiwa, dan tidak diketahui 19 kasus. Khususnya di
kota Medan jumlah penderita HIV/AIDS sampai Juni 2007 berjumlah 773 kasus
(Dinkes ProvSU, 2007) .
Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Khan dan Hyder (1998) di
Pakistan bahwa pria yang melakukan hubungan seks dengan pria pada umur 14-16
tahun mempunyai partner 2 orang per tahunnya, umur 17-20 tahun sebanyak 5
pasangan, umur 21-35 tahun memiliki pasangan sebanyak 42 orang per tahunnya, dan
umur 35-45 sebanyak 35 pasangan dalam setahun. Perilaku seksual yang dilakukan
adalah dengan cara hubungan seksual dengan anal seks (lewat dubur) paling berisiko
menularkan HIV pada orang yang menerima penis, di mana epitel mukosa (selaput
lendir) pada anus relatif lebih tipis dan lebih mudah terluka dibandingkan dengan
epitel dinding vagina, sehingga HIV lebih gampang masuk ke dalam aliran darah.
Menurut Modan (1992), secara biologi semua waria melakukan hubungan
seksual secara anal selama kehidupan seksnya dibandingkan dengan wanita pekerja
seks yang hanya 10% yang melakukan seks anal, sehingga hampir 11% dari
transeksual ditemukan positif HIV dibandingkan wanita pekerja seksual, yakni hanya
1,1% dari jumlah keseluruhan. Selanjutnya penularan HIV lewat anal lebih besar
dibandingkan dengan lewat vagina. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
adalah melalui hubungan homoseksual termasuk di dalamnya 70% heteroseksual
dengan wanita tuna susila sebesar 8%.
Risiko penularan IMS dan HIV/AIDS sebenarnya dapat dikurangi ataupun
dicegah dengan perubahan tingkah laku ke arah seks yang sehat dan tidak berisiko
yakni dengan pemakaian kondom dengan baik dan benar. Pada penelitian Lubis, dkk
(1992), pemakaian kondom oleh waria selama lima kali hubungan seks yang terakhir
sebanyak 65,9% tidak pernah pakai kondom, memakai sekali (7,8%), memakai
kondom dua kali (14,9%), memakai kondom tiga kali (1,4%) dan memakai kondom
lebih dari 3 kali (9,9%). Perubahan perilaku di kalangan waria memang sangat sulit
karena masih rendahnya pemakaian kondom dikalangan waria (9,9%). Berdasarkan
penelitian yang dilakukan Ridayanti terhadap 31 waria di Medan (2007) hanya 1
orang waria (3,3%) yang melakukan aktivitas seksual dengan menggunakan kondom.
Demikian juga Survey yang dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
yaitu Gerakan Sehat Masyarakat (GSM) 2010. Bahwa waria yang ada di Kota Medan
berkisar 1021 waria, oleh karena itu telah menjaring sekitar 831 waria, yang
menggunakan kondom 690 waria (65%), waria tidak menggunakan kondom berkisar
35% tidak memakai kondom.
Berdasarkan masalah diatas peneliti merasa perlu melakukan penelitian
pengaruh faktor predisposing (pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, dan sikap) dan
reinforcing (petugas kesehatan, LSM, Petugas KPA Kecamatan) terhadap
keterampilan berkomunikasi Waria dalam menawarkan kondom di Kota Medan
1.2Permasalahan
Seperti yang telah diuraikan diatas bahwa waria mempunyai perilaku yang
berisiko tinggi untuk terinfeksi IMS dan HIV/AIDS karena melakukan hubungan
seksual berganti-ganti pasangan dengan pemakaian kondom yang sangat rendah serta
melakukan seks secara anal. Walaupun hampir sebagian besar waria telah diberikan
penyuluhan dan pelatihan di mana kondom merupakan salah satu alternatif dalam
pencegahan PMS dan HIV/AIDS tetap saja pemakaian kondom di kalangan waria
sangat rendah. Dengan melihat kondisi tersebut maka permasalahan penelitian ini
adalah bagaimana pengaruh faktor predisposing (pendidikan, pekerjaan,
pengetahuan, dan sikap) dan reinforcing (petugas kesehatan, LSM, Petugas KPA
Kecamatan) terhadap keterampilan berkomunikasi Waria dalam menawarkan
kondom di Kota Medan.
1.3Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh faktor predisposing
(pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, dan sikap) dan reinforcing (petugas kesehatan,
LSM, Petugas KPA Kecamatan) terhadap keterampilan berkomunikasi Waria
1.4 Hipotesis
Faktor predisposing (pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, dan sikap) dan
reinforcing (petugas kesehatan, LSM, Petugas KPA Kecamatan) berpengaruh
terhadap keterampilan berkomunikasi Waria dalam menawarkan kondom di Kota
Medan.
1.5Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan masukan bagi Komisi Penanggulangan AIDS Kota Medan dan
Pemerintah Kota Medan dalam upaya pencegahan dan penanggulangan
HIV/AIDS.
2. Sebagai sumber informasi bagi Dinas Kesehatan Kota Medan dan Provinsi
Sumatera Utara dalam perencanaan untuk pencegahan dan penanggulangan
HIV/AIDS.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Perilaku
2.1.1. Pengertian Perilaku
Perilaku yaitu suatu fungsi dari interaksi antara seseorang individu dengan
lingkungannya, baik yang diamati secara langsung ataupun yang diamati secara tidak
langsung.
Pada umumnya perilaku manusia berbeda, karena dipengaruhi oleh
kemampuan yang tidak sama. Pada dasarnya kemampuan ini amat penting diketahui
untuk memahami mengapa seseorang berbuat dan berperilaku berbeda dengan yang
lain. Jadi dengan kata lain perilaku adalah apa yang dikerjakan oleh organisme yang
bersangkutan( Thoha, 1979)
Menurut Notoadmodjo (2003) seseorang yang menerima atau mengadopsi
perilaku baru dalam kehidupannya dalam 3 tahap, yaitu : pengetahun, sikap, praktek
atau tindakan (practice).
2.1.2 Pengetahuan
Pengetahuan merupakan Justified true believe. Artinya seseorang individu
membenarkan kebenaran atas kepercayaan berdasarkan observasinya mengenai
dunia. Jadi bila seseorang menciptakan pengetahuan, ia menciptakan pemahaman atas
kenyataan, dibandingkan sesuatu yang benar secara abstrak. Penciptaan pengetahuan
tidak hanya merupakan kompilasi dari fakta-fakta, namun suatu proses yang unik
pada manusia yang sulit disederhanakan atau ditiru. Penciptaan pengetahuan
melibatkan perasaan dan system kepercayaan (belief system) dimana perasaaan atau
system kepercayaan itu bisa tidak disadari. Misalnya, seorang waria mempunyai
pengetahuan mengenai kondom setelah dia dapat melihat atau memegang dan
menggunakan kondom tersebut.
Pengetahuan merupakan sesuatu yang eksplisit sekaligus dihayalkan.
Beberapa pengetahuan dapat dituliskan di atas kertas, diformulasikan dalam
bentuk-bentuk kalimat-kalimat, atau diekspresikan dalam bentuk-bentuk gambar. Untuk mengenali
nilai dari pengetahuan hayalan dan memahami bagaimana menggunakannya.
Misalnya, seorang waria dapat mengetahui mengenai kondom dengan memperoleh
gambaran dari seseorang tanpa harus dia melihat gambar atau bentuk kondom
tersebut.
Penciptaan pengetahuan secara efektif bergantung pada konteks yang
memungkinkan terjadinya penciptaan tersebut. Konteks yang dimaksud adalah ruang
bersama yang dapat memicu hubungan-hubungan yang muncul. Misalnya, seseorang
dianggap mengetahui tentang kondom dan kegunaannya setelah dia mendapat
penjelasan dari orang lain atau melihat orang lain menggunakannya atau mengetahui
2.1.3 Sikap
Sikap bisa diartikan sebagai suatu syarat untuk munculnya suatu tindakan.
Konsep itu kemudian berkembang semakin luas dan digunakan untuk
menggambarkan adanya suatu niat yang khusus atau umum, berkaitan dengan kontrol
terhadap respons pada keadaan tertentu (YOUNG, 1956). Adapun menurut Ancok
(1985) yang mengartikan sikap adalah suatu bentuk sikap positif atau negatif,
tergantung pada segi positif atau negatif dari komponen pengetahuan. Misalnya,
seorang waria akan mempunyai sikap positif atau tertarik menggunakan kondom
setelah dia mengetahui manfaat penggunaan kondom tersebut.
2.1.4 Tindakan
Terdapat hubungan yang erat antara sikap dan tindakan. Hal ini didukung oleh
pengertian sikap yang menyatakan bahwa sikap merupakan kecenderungan untuk
bertindak. Tindakan akan tampak lebih konsisten dengan sikap bila suatu sikap
individu dapat melakukan negosiasi dengan kelompok atau bagian dari anggotanya.
Menurut Notoatmojo (2003) terdapat beberapa tingkatan dari
tindakan/praktek, yaitu :
a. Persepsi, yaitu mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan
tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktek tingkat pertama.
b. Respons terpimpin, yaitu dapat melakukan sesuatu dengan urutan yang benar atau
c. Mekanisme, yaitu apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar
secara otomatis atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah
mencapai praktek tingkat tiga.
d. Adaptasi, yaitu suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik.
2.2 Perubahan Perilaku
Menurut Skinner (1999), prosedur pembentukan perilaku dalam operant
conditioning adalah sebagai berikut :
a. Melakukan identifikasi tentang hal-hal yang merupakan penguat atau reinfoncer
berupa hadiah-hadiah atau rewards bagi pelaku yang akan dibentuk.
b. Melakukan analisis untuk mengidentifikasikan komponen-komponen kecil yang
membentuk perilaku yang dikehendaki. Kemudian komponen-komponen tersebut
disusun dalam urutan yang tepat untuk menuju kepada terbentuknya perilaku
yang dibentuk.
c. Menggunakan secara urut komponen-komponen itu sebagai tujuan sementara.
d. Melakukan pembentukan perilaku dengan menggunakan urutan komponen yang
telah lama tersusun itu.
Menurut Green (2004) kesehatan sesorang dipengaruhi faktor perilaku dan
faktor non perilaku. Perilaku sendiri dipengaruhi oleh 3 domain utama, yaitu
pengetahuan, sikap, nilai, kepercayaan, factor demografis. Faktor Enabling terkait
dengan akses terhadap pelayanan dan informasi kesehatan. Faktor Enabling juga
kesehatan. Faktor reinforcing berasal dari kelompok atau individu yang dekat dengan
seseorang, termasuk keluarga, teman, guru, dan petugas kesehatan.
Secara lengkap 3 faktor utama yang mempengaruhi perubahan perilaku
tersebut dapat diterangkan sebagai berikut :
a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors)
Faktor-faktor ini mencakup : pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap
kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan
dengan kesehatan, sistem yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial
ekonomi, dan sebagainya. Contohnya : agar seorang waria mau menggunakan
kondom diperlukan pengetahuan dan kesadaran waria tersebut tentang kondom.
Disamping itu, kadang-kadang kepercayaan, tradisi, dan sistem nilai masyarakat juga
dapat mendorong atau menghambat waria untuk menggunakan kondom.
b. Faktor-faktor pemungkin (enabling factors)
Faktor-faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas
kesehatan bagi masyarakat, misalnya tempat pembelian kondom, tempat konsultasi,
tempat berobat, ketersediaan kondom/kemudahan mendapatkan kondom dan
sebagainya. Untuk perilaku sehat, masyarakat memerlukan sarana dan prasana
pendukung, misalnya penggunaan kondom. Waria yang mau menawarkan kondom
tidak hanya karena dia tahu dan sadar manfaat kondom saja, melainkan waria tersebut
dengan mudah harus dapat memperoleh kondom. Fasilitas ini pada hakikatnya
mendukung atau memungkinkan terwujudnya perilaku kesehatan, maka faktor –
c. Faktor-faktor Penguat (reinforcing factors)
Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat (toma),
tokoh agama (toga), sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan. Di
samping itu undang-undang juga diperlukan untuk memperkuat perilaku masyarakat
tersebut. Seperti perilaku menawarkan kondom terhadap pelanggan, serta kemudahan
memperoleh kondom, juga diperlukan peraturan atau perundang-undangan yang
mengharuskan waria menawarkan kondom kepada pelanggan, serta kemudahan
memperoleh kondom, juga diperlukan peraturan atau perundang-undangan yang
mengharuskan Waria menawarkan kondom kepada pelanggannya dan tidak boleh
melayani jika tidak mau memakai kondom.
Perilaku seseorang menurut World Health Organization/WHO (1984) adalah
karena adanya alasan pemikiran dan perasaan dalam bentuk pengetahuan, persepsi,
sikap, kepercayaan-kepercayaan dan penilaian-penilaian seseorang terhadap objek.
Pengetahuan dapat membuat keyakinan tertentu sehingga seseorang berperilaku
sesuai dengan keyakinan tersebut yaitu dapat diperoleh dari pengalaman
bemacam-macam sumber misalnya media massa, media cetak, media elektronik, buku petunjuk,
petugas kesehatan, media, poster, brosur, teman dan sebagainya.
2.3 Perilaku Seksual
Seksualitas merupakan suatu yang lebih luas dari pada hanya sekedar kata
seks yang merupakan kegiatan hubungan fisik seksual. Kondisi seksualitas yang sehat
paling dalam, akrab dan intim yang berasal dari lubuk hati yang paling dalam, dapat
berupa pengalaman, penerimaan dan ekspresi diri manusia (Salbiah, 2003).
Dalam kehidupan bisa terjadi perilaku seksual yang meyimpang seperti
homoseks, sodomi, dan pemaksaan seksual. Mereka berperilaku seperti itu karena
situasi dan kondisi yang mereka rasakan sebagai akibat kerasnya hidup.
Perilaku seks tersebut dipengaruhi oleh kekurangmampuan untuk mengontrol
dorongan seksnya sehingga timbul keinginan untuk mencoba. Pada masa remaja
dorongan seksualitas muncul sangat tinggi untuk mencoba hubungan seks.
Kesederhanaan pola pikir seiring dengan rendahnya tingkat pendidikan yang
dimilikinya menyebabkan dia menuruti saja apa kata hatinya (Dharmo, 1999).
2.4 HIV/AIDS
2.4.1 Cara Penularan HIV/AIDS
Pada manusia, virus HIV paling banyak ditemukan pada darah, cairan sperma
dan cairan vagina. Virus ini juga bisa terdapat pada cairan tubuh lain, seperti cairan
ASI tetapi jumlahnya sangat sedikit. Sejumlah 75-85% penularan terjadi melalui
hubungan seks (5-10% diantaranya melalui hubungan homoseksual), 5-19% akibat
alat suntik yang tercemar ( terutama pada pemakai narkotika suntik), 3-5% melalui
transfuse darah yang tercemar. (Global Summary of the AIDS Evidemic, December
2.4.2 Perjalanan Infeksi HIV sampai AIDS
Pada saat seseorang terkena infeksi virus AIDS maka diperlukan waktu 5 – 10
tahun untuk sampai ke tahap AIDS. Setelah virus masuk ke dalam tubuh manusia,
maka selama 2 - 4 bulan keberadaan virus tersebut belum bisa terdeteksi dengan
pemeriksaan darah meskipun virusnya sendiri sudah ada dalam tubuh manusia. Maka
dalam kondisi ini yang bersangkutan sudah aktif menularkan virusnya ke orang lain
jika dia mengadakan hubungan seks atau menjadi donor darah.
Sejak masuknya virus dalam tubuh manusia maka virus ini akan menggerogoti
sel darah putih dan setelah 5 – 10 tahun maka kekebalan tubuh akan hancur dan
penderita masuk dalam tahap AIDS dimana terjadi infeksi seperti misalnya infeksi
jamur, virus-virus lain, kanker dan sebagainya. Penderita akan meninggal dalam
waktu 1 – 2 tahun kemudian karena infeksi tersebut.
2.4.3 Kelompok Masyarakat Yang Berisiko Tinggi Tertular HIV
Ada beberapa kelompok masyarakat yang memiliki resiko tinggi tertular dan
menularkan Virus HIV baik yang berkaitan dengan perilaku maupun pekerjaannya.
Kelompok itu adalah wanita pekerja seks (WPS) maupun pria pekerja seks (PPS)
serta pelanggan dan pasangan pelanggannya, waria yang bekerja sebagai pekerja seks
serta pelanggannya dan pasangan pelanggannya, pengguna narkotik suntik dan
pasangannya, janin yang dilahirkan dari ibu pengidap HIV, penerima transfuse darah
dan para petugas kesehatan yang tidak menerapkan perlindungan perorangan secara
umum (Universal Precaution=UP) dalam melaksanakan tugasnya. Kelompok resiko
dalam darahnya. Apabila ditemukan virus HIV setelah melalui prosedur konseling,
diupayakan agar tidak berkembang menjadi AIDS dan dihimbau untuk tidak
menularkan kepada pasangan seksualnya. Namun apabila belum ditemukan virus
HIV, maka upaya yang dilakukan adalah pencegahan agar tidak tertular.
2.4.4 Pencegahan AIDS
Pada prinsipnya, pencegahan dapat dilakukan dengan cara mencegah
penularan virus AIDS, karena penularan AIDS terbanyak adalah melalui hubungan
seksual. Penularan AIDS bisa dicegah dengan tidak berganti-ganti pasangan seksual,
atau jika terpaksa harus melakukan hubungan seksual dengan orang yang beresiko
tinggi diharuskan memakai kondom.
Secara ringkas, pencegahan dapat dilakukan dengan formula A-B-C-D-E, A
adalah abstinensia, artinya tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah. B
adalah be faithful, artinya jika sudah menikah hanya berhubungan seks dengan
pasangannya saja. C adalah Condom, artinya jika memang cara A dan B tidak bisa
dipatuhi maka harus digunakan alat pencegahan dengan menggunakan kondom, D
atau no drugs, artinya tidak menggunakan narkoba dan E untuk educative yang
berarti selalu mensterilkan peralatan yang dipakai.
2.4.5 Upaya Penanggulangan HIV/AIDS
Menurut Sasongko (2006), di dalam menyusun kebijaksanaan menghadapi
masalah AIDS perlu dipertimbangkan beberapa hal antara lain :
- Indonesia merupakan Negara terbuka sehinnga masuknya AIDS tidak bisa
- AIDS telah melanda sebagian besar Negara di dunia yang menjadi masalah
internasional
- Penanggulangan AIDS terpadu yang disebut Global Program on AIDS (GPA)
yang dicanangkan oleh WHO yang dibantu oleh badan-badan internasional
lainnya.
- Infeksi HIV mempunyai konsekuensi penting bagi perorangan keluarga sehingga
tidak memandang tingkat sosial, ekonomi dari suku bangsa.
- Dampak yang merugikan yang disebabkan oleh infeksi HIV
- Belum ada obat/vaksin yang efektif untuk melawan AIDS
- Masalah AIDS harus dilihat dalam kaitannya dengan prioritas masalah kesehatan
lainnya.
Agar penanggulangan dan menurunkan tingkat penularan HIV/AIDS,
diperlukan upaya perubahan perilaku yang dapat menjangkau sebagian besar
kelompok beresiko. Diharapkan agar upaya penanggulangan di masa datang dapat
secara serius didukung oleh semua komponen bangsa agar dampak buruk epidemik
HIV/AIDS dapat dicegah (KPAN, 2002).
Berkerja sama dengan berbagai pihak, baik organisasi donor, lembaga
swadaya masyarakat, serta pihak-pihak yang peduli dengan masalah epidemik
HIV/AIDS. Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) tidak perlu diperlakukan secara
diskriminatif, mereka masih dapat bekerja secara produktif dan juga terlibat secara
Secara umum, sasaran program penanggulangan HIV/AIDS adalah sebagai
berikut :
a. Masyarakat umum
b. Petugas kesehatan
c. Perorangan dan Lembaga – lembaga
d. Waria, WTS, Dan lain-lain
e. Para pengidap HIV/AIDS
2.5 Waria
Sejarah belum pernah mencatat dengan pasti kapan dan dimana kebudayaan
Waria mulai muncul. Mungkin kaum waria belum masuk ke dalam lingkungan
peradaban manusia normal. Budaya waria sendiri tidak lahir begitu saja akibat
modernisasi dimana banyak mengakibatkan kelainan-kelainan seksual, seperti
homoseks yang dianggap sebagai modernisasi dan sebagainya. Al-Qur’an menyebutkan adanya kaum nabi Luth yang disebut ”Liwath” yang artinya
”senggama melalui dubur” (Puspitosari dan Pujileksono, 2005 : 17).
Sejarah bangsa Yunani tercacat adanya kaum waria pada abad ke XVII yaitu
munculnya beberapa waria kelas elite seperti Raja Henry III dari Prancis, Abbe de
Choicy Duta Besar Prancis di Siam, serta Gubernur New York tahun 1702, Lord
Cornbury (Nadia, 2005 : 51).
Dukun pria di Turco-Mongol di Gurun Siberia pada umumnya berpakaian
semacam ini dapat juga dijumpai di negara Malaysia, kepulauan Sulawesi, Patagona,
kepulauan Aleut dan beberapa suku Indian di Amerika Serikat. Oman terkenal
dengan Xanith. Konon, Xanith diperbolehkan untuk melindungi kaum perempuan
dari berbagai bahaya dan pekerjaan sehari-hari. Menurut sejarah, di Oman pelacuran
perempuan sangat jarang dan seandainya ada harganya sangat mahal, Xanith
kemudian beralih fungsi sebagai pelacur dengan harga yang terjangkau oleh kelas
ekonomi bawah sekalipun. Busana yang dipakai Xanith mengandung dua fungsi yaitu
sebagai budaya dan sebagai daya tarik seksual ketika mereka berfungsi sebagai
pelacur. Berbagai catatan tersebut, tidak jelas apakah mereka benar-benar kaum waria
yang fenomena psikologisnya sebagaimana gejala transsexual atau sekedar gejala
transvestet.
Di Indonesia, budaya waria memang tidak secara khusus seperti di Oman,
Turco-Mongol, atau tempat-tempat lain (Nadia, 2005 : 53). Meskipun demikian, kita
dapat menemukannya, misalnya pada masyarakat Ponorogo Jawa Timur yang
berkecimpung dalam dunia seni Warok. Para Warok di daerah ini terkenal sangat
sakti yang menjadikan mereka kebal terhadap senjata tajam. Agar dapat menjalankan
ilmunya dengan sempurna maka ada berbagai pengorbanan dan persyaratan yang
harus dijalaninya.
Setiap Warok Ponorogo dapat dipastikan memiliki gemblakan (laki-laki usia
9-17) yang bertugas untuk membantu pekerjaan rumah hingga memberikan
kebutuhan seksual kepada sang Warok. Kebutuhan seksual ini membuat para Warok
Hal tersebut dilakukan karena adanya larangan untuk menggauli perempuan sebelum
ilmu yang dipelajari dapat dikuasai, dan setelah ilmu mereka mencapai tingkat
kematangan mereka pun diperbolehkan berhubungan seks dengan perempuan yang
dinikahinya. Perlakuan warok terhadap para gemblak inilah yang dapat
menjerumuskan perilaku seksual remaja tersebut menjadi seorang waria karena
warok seringkali memperlakukan gemblak-nya sebagai seorang perempuan baik
dalam perilaku, berpakaian dan dandanannya.
2.5.1 Jenis-Jenis Waria
Kemala Atmojo (Nadia, 2005 : 40) menyebutkan jenis-jenis waria sebagai
berikut :
a. Transsexual yang aseksual, yaitu seorang transsexual yang tidak berhasrat atau
tidak mempunyai gairah seksual yang kuat.
b. Transsexual homoseksual, yaitu seorang transsexual yang memiliki
kecenderungan tertarik pada jenis kelamin yang sama sebelum ia sampai ke tahap
transsexual murni.
c. Transsexual yang heteroseksual, yaitu seorang transsexual yang pernah menjalani
kehidupan heteroseksual sebelumnya. Misalnya pernah menikah.
Adapun penyebab dari waria (transsexual) ini masih menjadi perdebatan;
apakah disebabkan oleh kelainan secara biologis dimana didalamnya terdapat
kelainan secara hormonal dan kromosom atau disebabkan oleh lingkungan (nurture)
seperti trauma masa kecil, atau sering diperlakukan sebagai seorang perempuan dan
Beberapa teori tentang abnormalitas seksual menyatakan bahwa
keabnormalan itu timbul karena sugesti masa kecil. Seseorang akan mengalami atau
terjangkit abnormalitas seksual karena pengaruh luar, misalnya dorongan kelompok
tempat ia tinggal, pendidikan orangtua yang menjurus pada benih-benih timbulnya
penyimpangan seksual, dan pengaruh budaya yang diakibatkan oleh komunikasi
intens dalam lingkungan abnormalitas seksual.
Di dalam penelitian ini ketiga subyek penelitian termasuk transsexual
homoseksual, hal ini disebabkan karena waria (transsexual) sebagai subyek penelitian
memiliki kecenderungan tertarik pada jenis kelamin yang sama sebelum mereka
sampai ke tahap transsexual murni. Pada saat usia Sekolah Dasar (SD) mereka mulai
tertarik dengan jenis kelamin yang sama, namun mereka belum berani
mengaktualisasikan dirinya sebagai seorang waria. Dan setelah lulus Sekolah
Menengah Pertama (SMP) mereka mulai berani berdandan, bersosialisasi dan
mengaktualisasikan diri sebagai waria di tempat “cebongan” (tempat pelacuran) tanpa
sepengetahuan orangtua atau keluarga.
2.5.2. Ciri-Ciri Waria
Menurut Maslim (2003 : 111), ciri-ciri transsexual adalah :
a. Identitas transsexual harus sudah menetap selama minimal dua tahun, dan harus
bukan merupakan gejala dari gangguan jiwa lain seperti skizofrenia, atau berkaitan
b. Adanya hasrat untuk hidup dan diterima sebagai anggota dari kelompok lawan
jenisnya, biasanya disertai perasaan risih atau tidak serasi dengan anatomi
seksualnya.
c. Adanya keinginan untuk mendapatkan terapi hormonal dan pembedahan untuk
membuat tubuhnya semirip mungkin dengan jenis kelamin yang diinginkan.
Tanda-tanda untuk mengetahui adanya masalah identitas dan peran jenis
menurut Tjahjono (1995 : 98), yaitu :
a. Individu menampilkan identitas lawan jenisnya secara kontinyu.
b. Memiliki keinginan yang kuat berpakaian sesuai dengan lawan jenisnya.
c. Minat dan perilaku yang berlawanan dengan lawan jenisnya.
d. Penampilan fisik hampir menyerupai lawan jenis kelaminnya.
e. Perilaku individu yang terganggu peran jenisnya seringkali menyebabkan ditolak
di lingkungannya.
f. Bahasa tubuh dan nada suara seperti lawan jenisnya.
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri transsexual
adalah : (1) individu menampilkan identitas lawan jenisnya secara kontinyu minimal
dua tahun, (2) memiliki keinginan yang kuat untuk hidup dan diterima sebagai
anggota dari lawan jenisnya, (3) mempunyai keinginan yang kuat untuk berpakaian
dan berperilaku menyerupai lawan jenis kelaminnya.
2.5.3 Faktor Pendukung Terjadinya Waria
Puspitosari (2005 : 12) mengatakan bahwa faktor-faktor terjadinya transsexual
a. Disebabkan oleh faktor biologis yang dipengaruhi oleh hormon seksual dan
genetik seseorang. Hermaya (Nadia, 2005 : 29) berpendapat bahwa peta kelainan
seksual dari lensa biologi dapat dibagi ke dalam dua penggolongan besar yaitu :
1) Kelainan seksual akibat kromosom. Dari kelompok ini, seseorang ada yang
berfenotip pria dan yang berfenotip wanita. Dimana pria dapat kelebihan
kromosom X. bisa XXY, atau XXYY. Diduga, penyebab kelainan ini karena
tidak berpisahnya kromosom seks pada saat meiosis (pembelahan sel) yang
pertama dan kedua. Hal ini dikarenakan usia seorang ibu yang berpengaruh
terhadap proses reproduksi. Artinya bahwa semakin tua seorang ibu, maka
akan semakin tidak baik proses pembelahan sel tersebut dan, sebagai
akibatnya, semakin besar kemungkinan menimbulkan kelainan seks pada
anaknya.
2) Kelainan seksual yang bukan karena kromosom. Menurut Moertiko (Nadia,
2005 : 31) mengatakan bahwa dalam tinjauan medis, secara garis besar
kelainan perkembangan seksual telah dimulai sejak dalam kandungan ibu.
Kelompok ini dibagi menjadi empat jenis :
a) Pseudomale atau disebut sebagai pria tersamar. Ia mempunyai sel wanita
tetapi secara fisik ia adalah pria. Testisnya mengandung sedikit sperma
atau sama sekali mandul. Menginjak dewasa, payudaranya membesar
sedangkan kumis dan jenggotnya berkurang.
b) Pseudofemale atau disebut juga sebagai wanita tersamar. Tubuhnya
mengeluarkan hormon dalam embrio) alat seks yang dimiliki adalah
wanita. Ketika menginjak dewasa, kemaluan dan payudaranya tetap kecil
dan sering tidak bisa mengalami haid.
c) Female-pseudohermaprodite, penderita ini pada dasarnya memiliki
kromosom sebagai wanita (XX) tetapi perkembangan fisiknya cenderung
menjadi pria.
d) Male-pseudohermaprodite, penderita ini pada dasarnya memiliki
kromosom pria (XY) namun perkembangan fisiknya cenderung wanita.
b. Disebabkan oleh faktor psikologis, sosial budaya yang termasuk didalamnya pola
asuh lingkungan yang membesarkannya. Mempunyai pengalaman yang sangat
hebat dengan lawan jenis sehingga mereka berkhayal dan memuja lawan jenis
sebagai idola dan ingin menjadi seperti lawan jenis. Ibis (Nadia, 2005 : 27)
mengatakan bahwa faktor-faktor terjadinya abnormalitas seksual dapat
digolongkan ke dalam dua bagian yaitu :
1) Faktor internal, abnormalitas seksual yang disebabkan oleh dorongan seksual
yang abnormal dan abnormalitas seksual yang dilakukan dengan cara-cara
abnormal dalam pemuasaan dorongan seksual.
2) Faktor eksternal (sosial), abnormalitas seksual yang disebabkan oleh adanya
pasangan seks yang abnormal. Kartono (1989 : 263) mengatakan bahwa sebab
utama pola tingkah laku relasi seksual yang abnormal yaitu adanya rasa tidak
2.6 Kondom dan Cara Pemakaian Kondom
Ahli anatomi Italia bernama Fallopius pada 1664 memperkenalkan
pelindung sejenis kondom yang terbuat dari kain linen. Kemudian pelindung dari
usus binatang mulai dipopulerkan pada abad 18 dan dinamakan “kondom”. Pada saat
itu kondom dimasyarakatkan sebagai alat untuk mencegah penyakit kelamin dan
mencegah bertambahnya anak haram. Dengan ditemukannya karet vulkanis pada
tahun 1844 produksi masal kondom dari latekspun dimulai (Hatcher, Stewart,
Trussel, et all) 1990 dalam Lembar Informasi IPM (1998).
Rajapitayakorn (1993) menyatakan ada orang yang merasa bahwa kondom
tidak efektif, 30-60% pria mengaku selalu menggunakan kondom, tetapi diantara
mereka yang menggunakan kondom belum tentu memakainya secara benar.
Pemakaian kondom yang salah bisa mengakibatkan kondom itu lepas atau robek.
Begitulah bila kita tidak memakainya secara konsisten, tentu saja kondom itu tidak
akan efektif.
Hasil dari penelitian kondom yang terus menerus oleh LARFP Counsil
memperkirakan adanya hubungan yang kuat antar lingkar penis dan terlepasnya
kondom, regangan kondom dan tip pemakainnya. Selanjutnya dikatakan pula ukuran
penis yang diukur oleh pasangannya yang menggunakan kit special termasuk
didalamnya cara-cara menggunakan kondom, dan adanya dua garis merah pada
kertas, dimana garis pertama mengukur panjang penis dan garis yang satunya lagi
Kegagalan pemakaian kondom tergantung pada karakteristik pemakai seperti
sejarah kegagalan dalam pemakaian kondom seperti robek atau terlepas, kurangnya
pengalaman pemakaian kondom, usia yang muda, pendidikan yang rendah,
pendapatan yang rendah dan ukuran penis yang besar (Spruyt, Steiner, Joanis et all,
1998).
Dalam mempromosikan kondom, kondom harus tersedia dengan baik, dan
untuk meningkatkan penggunaan kondom adalah dengan meningkatkan kualitas
kondom yang membuat hubungan menjadi lebih nikmat dan nyaman.
Selanjutnya ditemukan bahwa pasangan yang tidak menggunakan kondom
dalam melakukan hubungan seksual didapati jumlah kasus baru HIV dengan
pasangan yang menggunakan kondom. Penelitian pada 343 pasangan tetap pria yang
terinfeksi HIV, insiden HIV rata-rata 7,2/100 orang/tahun yang tidak menggunakan
kondom, dibandingkan dengan yang selalu menggunakan kondom rata-rata 1,1/100
orang/tahun (Finger, W,R. 1996)
Pada penelitian Lubis, dkk (1992), pemakaian kondom pada waria selama
lima kali hubungan seks yang terakhir, sebanyak 65,9% tidak pernah memakai
kondom, memakai sekali (7,8%), memakai kondom dua kali (14,8%), memakai
kondom tiga kali (1,4%) dan memakai kondom 4-5 kali (9,9%). Perubahan perilaku
di kalangan waria sangat sulit karena diketahui masih rendahnya pemakaian kondom
2.6.1. Pencegahan HIV/AIDS dengan pengunaan Kondom
. Kegiatan penanggulangan HIV adalah mengupayakan peningkatan
penggunaan kondom pada setiap kegiatan seks beresiko. Pengalaman dibanyak
Negara menunjukkan dengan semakin tinggi penggunaan kondom pada kegiatan
seks beresiko mampu mencegah penularan HIV, terlihat dengan semakin rendah
kasus penularan infeksi yang ditularkan secara seksual, termasuk HIV. Pengalaman
Negara Muangthai dan juga Kamboja menunjukkan bahwa keberhasilan penggunaan
kondom 100% perlu dilakukan dengan dukungan semua pihak. Bila peningkatan
pengunaan kondom tidak dapat dipertahan kan akan terjadi peningkatan laju
penularan HIV. Pengunaan kondom ini dipengaruhi juga terhadap tiga faktor, yaitu
kualitas, cara memakai dan melepaskanya karena ini tidak diikuti efektevitas
perlindungan tidak terjadi. (http//www.teryata org/hiv/report_on_hiv/HIVInd).
2.7. Faktor – Faktor yang Memengaruhi Pemakaian Kondom
Anderson (1974) menggambarkan model system kesehatan (health system
model) yang berupa kepercayaan kesehatan terdapat 3 kategori utama dalam
pelayanan kesehatan, yakni karakteristik predisposisi, karakteristik pendukung dan
karakteristik kebutuhan.
1. Karakteristik Predisposisi, digolongkan dalam 3 kelompok
a) Ciri-ciri demografi, seperti jenis kelamin dan umur
c) Manfaat kesehatan seperti keyakinan bahwa pelayanan kesehatan dapat
menolong proses kesembuhan penyakit.
2. Karakteristik pendukung (Enabling Characteristics)
Mencerminkan bahwa meskipun punya predisposisi untuk menggunakannya ia
tak akan bertindak menggunakannya, kecuali ia mampu menggunakannya.
3. Karakteristik Kebutuhan (need Characteristics)
Kebutuhan merupakan dasar dan stimulus langsung untuk menggunakan
pelayanan kesehatan, bilamana predisposisi dan enabling itu ada.
2.7.1 Faktor Pemudah 2.7.1.1 Umur
Sutrisna, B (1986) menyatakan bahwa umur adalah variable yang selalu
diperhatikan dalam penyidikan-penyidikan epidemologi. Angka-angka kesakitan
maupun kematian didalam semua keadaan menunjukan umur. Sedangkan beberapa
penelitian mengatakan bahwa usia mempengaruhi tingkat keaktifan seksual seseorang
(Patriani, 1998). Selanjutnya dikatakan bahwa usia mempengaruhi hubungan seks
dan umur termasuk dalam kelompok aktif seksual dimana frekuensinya lebih sering
daripada umur di atas 40 tahun. Sedangkan menurut Astawa (1985) umur merupakan
salah satu variable yang penting dalam mempengaruhi aktivitas seksualnya. Semakin
bertambah umur seseorang maka akan semakin matang dalam mengambil sikap
sehingga nantinya dapat mempengaruhi seseorang dalam berperilaku. Selanjutnya
sesuai dengan penelitian yang dilakukan pada pelaut di Bali variable umur
tingkat pengetahuan. Dimana semakin dewasa umur seseorang berarti semakin
banyak pengalaman dan semakin matang dalam menanggapi suatu masalah dalam hal
ini kaitannya dengan AIDS, dimana pelaut yang rata-rata pengetahuan paling tinggi
adalah umur 20 – 39 tahun dan pengetahuan yang paling rendah adalah umur dibawah
20 tahun.
Umur termasuk variabel yang penting dalam mempelajari dalam masalah
kesehatan karena ada kaitannya dengan kebiasaan hidup, misalnya : kebiasaan hidup
orang yang sudah dewasa dalam hal ini pola perilaku hubungan seks berbeda dengan
remaja ( Azwar, 1988)
Ditinjau dari umur dan distribusi umur penderita AIDS di Amerika Serikat,
Eropa Dan Afrika jauh berbeda, kelompok terbesar umur 30 – 39 tahun, menurun
pada kelompok yang lebih besar dan lebih kecil. Ini membuktikan bahwa trasmisi
utama. Dan infeksi terbesar terjadi pada kelompok seksual yang paling aktif yaitu 20
-30 tahun.
Hal tersebut sesuai dengan penelitan yang dilakukan oleh Utami, Dwi dan
Leibo (1998) pada gelandangan Yogyakarta bahwa frekuensi melakukan hubungan
seksual pada umur 25 – 45 tahun sebesar 76,2% dan menurun frekuensinya pada
umur yang lebih besar (46 – 56 tahun) sebesar 12,69% dan umur yang lebih kecil (13 – 24 tahun) sebesar 11,11%.
2.7.1.2 .Pendidikan
Pendidikan merupakan kebutuhan dasar manusia yang sangat diperlukan
serta mengembangkan pengetahuan dan teknologi, sedangkan semakin meningkat
produktivitas, semakin meningkat kesejahteraan keluarga. Selanjutnya dikatakan
bahwa tingkat pendidikan merupakan salah satu factor yang dapat mempengaruhi
derajat kesehatan masyarakat. Semakin tinggi pendidikan seseorang secara teoritis
semakin positif dalam perilaku kesehatan mereka, termasuk juga dalam hal perilaku
seksualnya dalam hubungannya dalam penularan AIDS (Astawa, 1995).
Penelitian yang dilakukan oleh Olenik (1998) yang melakukan penelitian
pada pria di Mexico, Philipina dan Republik Dominica menganalisa bahwa
karakteristik peserta ditemukan bahwa tingkat pendidikan pria berhubungan dengan
kegagalan kondom. Dari penelitan-penelitian diketahui bahwa tingkat pendidikan pria
berhubungan dengan kegagalan kondom.
Dari penelitian – penelitian diketahui bahwa tingkat pendidikan formal para
PSK pada umumnya rendah 40% tidak lulus SD bahkan 1/3nya tergolong buta huruf,
yang merupakan kendala apabila hendak melakukan penyuluhan pada PSK.
2.7.1.3 Pendapatan dan Pekerjaan
Sutrisna (1986), yang sering dilakukan ialah melihat hubungan antara tingkat
penghasilan dengan tingkat pemanfaatan pelayanan kesehatan maupun pencegahan
secara popular keadaan keluarga baik perorangan maupun keluarga lebih dikenal
dengan sebutan status ekonomi keluarga yang berperan di dalam pengambilan
keputusan bertindak utama terhadap tindakan yang berkaitan dengan keuangan
keluarga. Karena status ekonomi yang rendah di desa kebanyakan penduduk pindah
perkotaan untuk jangka waktu yang lama dan secara pelan-pelan manjadi bagian dari
penghuni lingkungan kumuh perkotaan.
Status pekerjaan sebagian penduduk perkotaan dapat dikategorikan sebagai
“sector formal:”, seperti : pegawai kantoran, pegawai negeri, dsb. Dan sebagian lagi
yang lebih besar bekerja disektor informal (pedagang asongan, pencari kerja,
gelandangan, petani, nelayan, pengrajin, pelacur dsb) yang sifatnya tidak tetap dan
berpindah-pindah dari satu lokasi ke lokasi lainnya. (Iskandar, M, dkk, 1996)
Tingginya angka Pelacuran di Indramayu, menemukan bahwa factor
kemiskinan merupakan penyebab utama (46%), kemudian tingkat pendidikan (28%)
(Wibowo, dkk, 1989 dalam Hull, T, dkk, 1997), pelacur adalah sekelompok
perempuan yang melakukan aktivitas hubungan seksual secara berulang-ulang diluar
perkawinan yang sah untuk mendapatkan uang, materi atau jasa bagi kalangsungan
hidup. Kebanyakan mereka menawarkan pelayanan seksual kepada laki-laki, hanya
sedikit yang melakukannya kepada perempuan.
Selanjutnya Emma Goldman, dalam Husein (1997) bahwa seorang aktivis
abad 19 yang mengatakan mengapa anda buang-buang waktu untuk beberapa shilling
dengan menjadi tukang cuci piring, bekerja seminggu, delapan belas jam sehari,
sementara wanita bisa mendapat bayaran yang lebih tinggi dengan menjual tubuh
mereka. Jika dilihat dari definisinya maka Pekerja Seks komersial adalah seorang
yang bekerja menjaul jasa melayani nafsu seksual dari pasangannnya (pelanggan)
Menurut Browfield, 1992 dalam Iskandar, M, 1996 menyatakan bahwa
setiap laki-laki di Surabaya yang seksual aktif bisa dicurigai menjadi klien industry
seks sebagian besar klien adalah orang Indonesia, baik yang datang maupun yang
menetap di Surabaya, walaupun sejumlah pendatang asing turut ambil bagian dalam
pelayanan industri seks ini.
Sedangkan klien waria bisa dijumpai di berbagai sosio ekonomi, tetapi
mempunyai cirri-ciri yang berbeda. Banyak remaja pria memakai pekerja seks waria
dikarenakan :
a. Karena larangan agama untuk melakukan hubungan seksual di luar pernikahan
membuat waria menarik bagi mereka yang tidak mau menggunakan industri seks.
b. Karena klien pendapatan yang rendah hanya berminat pada harga yang murah,
dan waria sering memberikan pelayanan secara Cuma-Cuma terhadap klien yang
dianggap menarik.
c. Untuk klien yang heteroseksual, waria menyediakan pelayanan seks oral/anal
sambil berperilaku seperti wanita kepad pasangannya. Serta untuk
mendapatkannya murah karena tidak perlu mengeluarkan uang ekstra untuk
menyewa penginapan.
Sanjay (1996) & Elifsa (1994) dalam Cathy & Emilia (1997) menyatakan
bahwa adanya hubungan diskriminasi jender, akses legal dan social, diskrominasi
pekerjaan dengan menjadi pekerja seks, sebanyak 37% dari sempel melaporkan
pekerjaan karena jender yang dimilikinya sekarang. Karena hal tersebut sehingga
memaksa untuk tidak mempunyai pilihan dan akhirnya menjadi pekerja seks
2.7.1.4 Tingkat Pengetahuan
Sumantri (1984) menyatakan bahwa pengetahuan adalah segenap apa ayng
diketahui manusia tentang objek tertentu. Termasuk ilmu pengetahuan yang ada pada
manusia, bertujuan menjawab permasalahan yang dihadapi sehari-hari untuk
mempermudah manusia itu sendiri. Pengetahuan diibaratkan merupakan suatu alat
yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang dihadapi, tatapi
penggunaannya tergantung manusia itu sendiri.
Dalam kaitannya dengan berbagai penelitian kesehatan Reproduksi,
khususnya tentang PMS, HIV/AIDS maka studi Lubis (1991/1992) menyatakan
bahwa pada waria di Jakarta adanya kecendrungan yang cukup membaik dalam
persepsi bahwa AIDS merupakan penyakit yang mematikan yaitu pada tahun 1991
64,5% waria menyatakan tidak tahu ada resiko tertular pada dirinya, sedangkan pada
tahun 1992 telah menurunkan banyak menjadi 18,0% dan resiko pada temennya
menurun 70,4% menjadi 20,1%.
Sehingga sebaliknya persepsi akan adanya tertular AIDS menjadi meningkat
dari hanya 29,1% menjadi 49,3% pada dirinya dan 23,8% menjadi 36,6% pada
temennya. Yang masih mengganggap tidak ada resiko tertular AIDS ternyata menjadi
naik menjadi 6,4% menjadi 32,5% menjadi 43,7% untuk temannya. Hal terakhir ini
mungkin dijawab oleh waria berusia atau waria yang mempunyai partner seks satu
2.7.1.5 Sikap
Menurut Suyatinah (2000) yang mengutip pendapat Soemadi Suryobroto
bahwa perilaku dipengaruhi oleh lingkungan, elementaristik, peranan reaksi,
mekanisme terbentuknya hasil belajar, sehingga sikap seseorang tergantung pada
lingkungan dan hasil belajar orang tersebut. Makin banyak seseorang belajar tentang
kondom maka makin banyak pengetahuan tentang kondom dan hal ini membuat sikap
positif tentang menawarkan kondom akan terbentuk.
2.7.2 Faktor Penguat 2.7.2.1 Petugas Kesehatan
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kenderwis (2008) menunjukkan bahwa
andil petugas kesehatan tidak memberikan kontribusi dalam peningkatan nilai tawar
kondom oleh PSK. Hal ini bertentangan dengan pendapat Green (2004), bahwa
perilaku dipengaruhi oleh factor yang berasal dari kelompok atau individu yang dekat
dengan seseorang termasuk petugas kesehatan.
2.7.2.2 LSM
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dapat memberikan pengaruh terhadap
kemampuan tawar PSK dalam penggunaan kondom kepada pelanggannya. Hal ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Djauzi (2006) yang menyatakan bahwa
LSM sangat besar perannya dalam penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia terutama
dalam memberikan penyuluhan kepada PSK dan pelanggannya agar mau