• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Faktor Predisposing Dan Reinforcing Terhadap Keterampilan Berkomunikasi Waria Dalam Menawarkan Kondom Di Kota Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Faktor Predisposing Dan Reinforcing Terhadap Keterampilan Berkomunikasi Waria Dalam Menawarkan Kondom Di Kota Medan"

Copied!
135
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH FAKTOR PREDISPOSING DAN REINFORCING TERHADAP KETERAMPILAN BERKOMUNIKASI WARIA

DALAM MENAWARKAN KONDOM DI KOTA MEDAN

T E S I S

Oleh

REHULINA GINTING 067012052 / IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

PENGARUH FAKTOR PREDISPOSING DAN REINFORCING TERHADAP KETERAMPILAN BERKOMUNIKASI WARIA

DALAM MENAWARKAN KONDOM DI KOTA MEDAN

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh

REHULINA GINTING 067012052 / IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

Judul Tesis : PENGARUH FAKTOR PREDISPOSING DAN REINFORCING TERHADAP KETERAMPILAN KOMUNIKASI WARIA DALAM

MENAWARKAN KONDOM DI KOTA MEDAN Nama Mahasiswa : Rehulina Ginting

Nomor Induk Mahasiswa : 067012052

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Menyetujui Komisi Pembimbing :

( Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si ) (dr. Irwan Fahri Rangkuti, Sp.KK )

Ketua Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si ) ( Dr. Drs Surya Utama, M.S )

(4)

Telah diuji

Pada Tanggal : 23 Desember 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si Anggota : 1. dr. Irwan Fahri Rangkuti, Sp.KK

(5)

PERNYATAAN

PENGARUH FAKTOR PREDISPOSING DAN REINFORCING TERHADAP KETERAMPILAN BERKOMUNIKASI WARIA

DALAM MENAWARKAN KONDOM DI KOTA MEDAN

T E S I S

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan orang lain untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu Perguruan Tinggi dan sepengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang perna ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Desember 2010

(6)

ABSTRAK

Salah satu kelompok yang tergolong memiliki risiko tinggi tertular HIV yang berkaitan dengan perilaku dan pekerjaannya adalah waria. Di Kota Medan, jumlah waria yang tercatat di Gerakan Sehat Masyarakat (GSM) Medan mencapai 1021 orang, di mana hanya 65% yang menggunakan kondom. Kondom merupakan salah satu mencegah penularan HIV/AIDS.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh faktor predisposing

(pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, dan sikap) dan reinforcing (petugas kesehatan, LSM dan Petugas KPA Kecamatan) terhadap keterampilan berkomunikasi waria dalam menawarkan kondom. Lokasi penelitian di Kota Medan dengan populasi 1021 waria. Sampel yang diambil berjumlah 91 orang. Data primer diperoleh dengan melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji regresi logistic.

Hasil penelitian menunjukkan variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap keterampilan berkomunikasi yaitu : pengetahuan dan sikap (variabel

predisposing) dan petugas KPA Kecamatan (variabel reinforcing).

Disarankan kepada pemerintah Kota Medan untuk melakukan berbagai pendekatan terhadap kelompok waria agar mereka memiliki keterampilan berkomunikasi untuk menyampaikan penggunaan kondom kepada pelanggannya, mengingat potensi penyebaran HIV/AIDS oleh kelompok ini cukup tinggi.

(7)

ABSTRACT

A group that is classified into high risk of HIV infection related to their behaviour and occupation is sissy. In Medan City, there is 1021 sissy noted by Community Health Movement, of 65% use condom. Condom is one of method to prevent HIV/AIDS.

The objective of this resea rch is to analyze the influence of predisposing factor (education, occupation, knowledge, and attitude) and reinforcing factor

(health workers, NGO, and KPA sub district workers) on waria’s communication

skill of condoms to consumer. The research took place in Medan with the population of 1021 sissy. The sample taker was 91 persons. Primary data were obtained by interview using a questionnaire. Data analysis were done by logistic regression test.

This research showed that the va riables which ha d influence significantly on the communication skill were : knowledge and attitude (predisposing va riable), KPA sub district workers (reinforcing variable).

It is suggested to Medan District Health Office to make some approacment to sissy group in order they have communication skill to communicate the using of condom to their klien, regarding the potential of HIV/AIDS distribution from this group high enough.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena

HidayahNyalah penulis dapat menyelesaikan tesis berjudul : “Pengaruh Faktor

Predisposing dan Reinforcing terhadap Keterampilan Berkomunikasi Waria dalam

Menawarkan Kondom di Kota Medan”.

Karya ini penulis persembahkan kepada suami tercinta Prof. Subhilhar dan

seluruh buah hati : OK. Ilham Abdullah S.Ked., OK Fachru Hidayat, Hafiza

Adlina, OK Nadhil Auzan, adalah sumber inspirasi dan pemberi dorongan terkuat

kepada penulis dalam menjalani seluruh liku kehidupan, walaupun mereka sering

terabaikan, untuk itu melalui tulisan ini penulis ucapkan terimakasih dan memohon

maaf atas segala kekhilafan.

Dalam penulisan tesis ini penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai

pihak. Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan rasa terimakasih kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H,

M.Sc(CTM), Sp.A(K) yang telah memberikan izin kepada penulis untuk

menempuh program pendidikan S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat di Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

2. Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Dr. Drs. Surya Utama, M.S, yang

telah membantu dan memberikan perhatian yang tulus, dengan kearifannya

(9)

3. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu

Kesehatan Masyarakat sekaligus sebagai Ketua Komisi Pembimbing yang

telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing penulis mulai

dari pembuatan proposal hingga selesainya penulisan tesis ini.

4. dr. Irwan Fahri Rangkuti, Sp.KK selaku anggota komisi pembimbing yang

telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing penulis mulai

dari pembuatan proposal hingga selesainya penulisan tesis ini.

5. Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M dan Drs. Alam Bakti Keloko, M.Kes

yang telah menyediakan waktu, menjadi tim penguji tesis ini.

6. Seluruh Staf Pengajar dan Staf Administrasi yang telah memberikan

pengajaran, bimbingan dan pengarahan serta bantuan selama pendidikan.

7. Kepada Lembaga Swadaya Masyarakat GSM yang telah banyak membantu

dan mendampingi penulis dalam penelitian dan pengumpulan data dilapangan.

8. Kepada Seluruh Staf Puskesmas Padang Bulan khususnya kepada Drg.

Sufania, Nelly, Dormina, Gerry dan Ana yang telah memberikan bantuan dan

dukungan moril kepada penulis hingga akhir penyelesaian tesis ini.

Sesungguhnya penulis telah maksimal dalam menyelaesaikan tesis ini dan

menyadari bahwa tesis ini masih sangat jauh dari sempurna, karenanya saran untuk

perbaikan sangat diharapkan. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Desember 2010

Penulis

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Rehulina Ginting, dilahirkan di Binjai, Sumatera Utara pada tanggal 7 Januari 1965, beragama Islam. Saat ini penulis bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS) menjabat sebagai Kepala Puskesmas Padang Bulan, Kota Medan. Penulis telah menikah dengan Prof. Subhilhar dan memiliki anak sebanyak 4 orang yakni OK. Ilham Abdullah S.Ked., OK Fachru Hidayat, Hafiza Adlina, OK Nadhil Auzan.

Penulis menamatkan Sekolah Dasar pada tahun 1976 di SD Bhayangkari Medan, pada tahun 1980 menamatkan Sekolah Menengah Pertama di SMP Prayatna Medan, tahun 1983 menamatkan Sekolah Menengah Atas di SMA St. Katolik Medan, tahun 1995 menamatkan program dokter di Fakultas Kedokteran USU.

(11)

DAFTAR ISI

2.4.3. Kelompok Masyarakat yang Beresiko Tinggi tertular HIV 15

2.4.4. Pencegahan AIDS ... 16

2.6.1. Pencegahan HIV/AIDS dengan Penggunaan Kondom 27

2.7. Faktor – Faktor yang mempengaruhi pemakain kondom ... 27

2.7.1. Faktor Pemudah ... 28

(12)

2.7.1.2. Pendidikan ... 29

4.2. Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Reinforcing Waria di Kota Medan ... 51

4.2.1. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan dan Jenis Pekerjaan Waria di Kota Medan ... 51

4.2.2. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan Waria di Kota Medan ... 52

(13)

4.3. Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Reinforcing

(LSM, Petugas Kesehatan, dan Petugas KPA

Kecamatan) Waria di Kota Medan ... 57

4.3.1. Distribusi Responden Berdasarkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ... 57

4.3.2. Distribusi Responden Berdasarkan Peranan Petugas Kesehatan ... 59

4.3.3. Distribusi Responden Berdasarkan Peranan Petugas KPA Kecamatan ... 60

4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Keterampilan Waria dalam Menawarkan Kondom di Kota Medan ... 62

4.5. Uji Bivariat ... 64

4.5.1. Uji Statistik Chi Square (X2) pada Variabel Predisposing (Pendidikan, Pekerjaan, Pengetahuan dan Sikap) terhadap Keterampilan Waria dalam Menawarkan Kondom di Kota Medan Tahun 2010 ... 64

4.5.2. Uji Statistik Chi Squa re (X2) pada Variabel Reinforcing (Peran Keluarga, Peran LSM, Peran Petugas Kesehatan dan Peran Stakeholder) terhadap Keterampilan Waria dalam Menawarkan Kondom di Kota Medan Tahun 2010 ... 67

4.6. Uji Multivariat ... 69

BAB 5. PEMBAHASAN ... 71

5.1. Pengaruh Variabel Predisposing ( Pendidikan, Pekerjaan, Pengetahuan, dan Sikap) terhadap Keterampilan Waria dalam Menawarkan Kondom di Kota Medan Tahun 2010 ... 71

5.1.1. Pendidikan ... 71

5.1.2. Pekerjaan ... 72

5.1.3. Pengetahuan ... 75

5.1.4. Sikap ... 78

5.2. Pengaruh Variabel Reinforcing (Peranan Keluarga, Peranan LSM, Peranan Petugas Kesehatan, Peranan Stakeholder) terhadap Keterampilan Waria dalam Menawarkan Kondom di Kota Medan Tahun 2010 ... 80

5.2.1. Peranan LSM ... 80

5.2.2. Peranan Petugas Kesehatan ... 81

(14)

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 84

6.1. Kesimpulan ... 84

6.2. Saran ... 85

DAFTAR PUSTAKA ... 86

(15)

DAFTAR TABEL

3.1. Aspek Pengukuran Variabel Bebas ... 46

3.2. Aspek Pengukuran Variabel Terikat ... 47

4.1. Data Waria di Kota Medan Berdasarkan Lokasi dan Jumlah

Outlet Kondom yang Tersedia ... 50

4.2. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan dan Jenis

Kelamin Waria di Kota Medan ... 52

4.3. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan

Waria di Kota Medan ... 53

4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Pengetahuan

Waria di Kota Medan ... 54

4.5. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Sikap Waria di

Kota Medan ... 55

4.6. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Sikap Waria di

Kota Medan ... 56

4.7. Distribusi Responden Berdasarkan Peranan Lembaga

Swadaya Masyarakat (LSM) ... 57

4.8. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Peranan LSM .. 58

4.9. Distribusi Responden Berdasarkan Peranan Petugas

Kesehatan ... 59

4.10. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Peranan Petugas

Kesehatan ... 60

4.11. Distribusi Responden Berdasarkan Peranan Petugas KPA

Kecamatan ... 61

4.12. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Peranan Petugas

KPA Kecamatan ... 62

Halaman

(16)

4.13. Distribusi Responden Berdasarkan Keterampilan Waria

dalam Menawarkan Kondom di Kota Medan ... 62

4.14. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Keterampilan

Berkomunikasi Waria ... 63

4.15. Hasil Uji Chi Square (X2) pada Variabel Predisposing

(Pendidikan, Pekerjaan, Pengetahuan dan Sikap) Terhadap Keterampilan Waria Dalam Menawarkan Kondom di Kota

Medan Tahun 2010 ... 64

4.16 Hasil Uji Chi Square (X2) pada Variabel Reinforcing (Peran LSM, Peran Petugas Kesehatan dan Petugas KPA Kecamatan) Terhadap Keterampilan Waria Dalam

Menawarkan Kondom di Kota Medan Tahun 2010 ... 67

4.17. Hasil Uji Regresi Logistik untuk Mengetahui Seberapa Besar Pengaruh Variabel Predisposing dan Reinforcing Terhadap Keterampilan Waria dalam Menawakan Kondom di Kota

(17)

DAFTAR GAMBAR

2.1 Kerangka Teori ... 39

2.2 Kerangka Konsep Penelitian ... 40

Halaman

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Surat Izin Penelitian dari Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara ... 88

2. Surat Keterangan / Izin Penelitian dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pemerintah Kota Medan ... 89

3. Surat Keterangan Selesai Penelitian dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pemerintah Kota Medan ... 90

4. Foto-foto Penelitian ... 91

5. Hasil Uji Validitas ... 93

6. Hasil Uji Reliabilitas ... 94

7. Kuesioner Pengaruh Faktor Predisposing dan Reinforcing terhadap Keterampilan Berkomunikasi Waria dalam Menawarkan Kondom di Kota Medan ... 95

8. Frequency Tabel dan Hasil Pengolahan Data dengan Menggunakan SPSS ... 103

Halaman

(19)

ABSTRAK

Salah satu kelompok yang tergolong memiliki risiko tinggi tertular HIV yang berkaitan dengan perilaku dan pekerjaannya adalah waria. Di Kota Medan, jumlah waria yang tercatat di Gerakan Sehat Masyarakat (GSM) Medan mencapai 1021 orang, di mana hanya 65% yang menggunakan kondom. Kondom merupakan salah satu mencegah penularan HIV/AIDS.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh faktor predisposing

(pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, dan sikap) dan reinforcing (petugas kesehatan, LSM dan Petugas KPA Kecamatan) terhadap keterampilan berkomunikasi waria dalam menawarkan kondom. Lokasi penelitian di Kota Medan dengan populasi 1021 waria. Sampel yang diambil berjumlah 91 orang. Data primer diperoleh dengan melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji regresi logistic.

Hasil penelitian menunjukkan variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap keterampilan berkomunikasi yaitu : pengetahuan dan sikap (variabel

predisposing) dan petugas KPA Kecamatan (variabel reinforcing).

Disarankan kepada pemerintah Kota Medan untuk melakukan berbagai pendekatan terhadap kelompok waria agar mereka memiliki keterampilan berkomunikasi untuk menyampaikan penggunaan kondom kepada pelanggannya, mengingat potensi penyebaran HIV/AIDS oleh kelompok ini cukup tinggi.

(20)

ABSTRACT

A group that is classified into high risk of HIV infection related to their behaviour and occupation is sissy. In Medan City, there is 1021 sissy noted by Community Health Movement, of 65% use condom. Condom is one of method to prevent HIV/AIDS.

The objective of this resea rch is to analyze the influence of predisposing factor (education, occupation, knowledge, and attitude) and reinforcing factor

(health workers, NGO, and KPA sub district workers) on waria’s communication

skill of condoms to consumer. The research took place in Medan with the population of 1021 sissy. The sample taker was 91 persons. Primary data were obtained by interview using a questionnaire. Data analysis were done by logistic regression test.

This research showed that the va riables which ha d influence significantly on the communication skill were : knowledge and attitude (predisposing va riable), KPA sub district workers (reinforcing variable).

It is suggested to Medan District Health Office to make some approacment to sissy group in order they have communication skill to communicate the using of condom to their klien, regarding the potential of HIV/AIDS distribution from this group high enough.

(21)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Waria merupakan salah satu kelompok risiko tinggi penyebar HIV/AIDS,

yang keberadaannya saat ini cukup mengkhawatirkan karena aktivitas yang melekat

dalam kesehari-harian mereka. Aktivitas seksual pada waria sebagai pekerja seksual

dianggap berisiko tinggi karena mereka mempunyai banyak pasangan seksual pria

dan kemungkinan besar pasangan mereka juga mempunyai banyak pasangan seksual

pria lainnya, baik pria yang sudah/belum menikah. Kelompok ini bahkan besar

kemungkinannya atau risikonya lebih tinggi tertular penyakit menular seksual

termasuk HIV dan Hepatitis B.

Kelompok waria dalam masyarakat merupakan kelompok yang eksklusif

karena mereka memiliki komunitas tersendiri dengan pola-pola kehidupan yang agak

berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Interaksi sosial dengan masyarakat pada

umumnya bersifat negatif, terutama pandangan masyarakat terhadap mereka. Bentuk

interaksi sosial yang negatif dari masyarakat bisa berupa cemohan, bahan tertawaan

dan ejekan, bahkan yang kasar waria dipukul dan dilempari terutama ketika

berpenampilan sebagai perempuan. Sikap ini berawal dari lingkungan keluarga, dan

lingkungan tempat tinggalnya dan menyebar ke masyarakat pada umumnya.

(22)

solidaritas senasib ini merupakan kegiatan mempertahankan eksistensi mereka dalam

berinteraksi sosial dengan lingkungan masyarakat yang mereka hadapi.

Bentuk-bentuk solidaritas itu bisa dilihat dalam aktivitas ekonomi mereka

yang kebanyakan bekerja di salon sebagai tukang cukur dan penata rias pengantin.

Dalam aktivitas olahraga misalnya, mereka melakukannya hanya dalam kelompoknya

saja tanpa bergabung dengan kelompok lain. Dalam aktivitas agama, mereka juga

membentuk kelompok ibadah yang eksklusif. Mereka pergi berombongan (5-10

orang) ke pesta, diskotik dan tempat-tempat ramai sambil mencari seks.

Aktivitas-aktivitas tersebut merupakan bentuk-bentuk solidaritas untuk menjaga eksistensi dan

bentuk adaptasi sosial mereka dalam masyarakat.

Waria dikelompokkan menjadi dua yakni sebagai transvestisme maupun

sebagai transeksual. Waria yang dikenal sebagai transvestime pertama kali

diperkenalkan oleh seorang psikolog Magnus Hischfield pada tahun 1910, di mana

kelainan ini sering dihadapi oleh kaum pria dibandingkan dengan kaum wanita,

diperkirakan satu dari 37000 pria dan 1 dari 107000 wanita. Waria transeksual

(gender dysphoria syndrome), yaitu seseorang yang ingin menghilangkan ciri-ciri

kelaki-lakiannya karena merasa ketidaksesuaian antara fisik dan jiwanya atau

ketidakpuasan individu tersebut dengan gender yang mereka miliki (Benjamin, 1999).

Penderita HIV pertama kali ditemukan oleh Dr. Luc Montagnier dan

kawan-kawan dari Institut Pasteur Perancis pada Januari 1983. Virus itu diisolasi dari

kelenjar getah bening yang membengkak pada ODHA, sehingga virus ini pertama

(23)

Dr. Robert Gallo dari Lembaga Kanker Nasional (NIC) di Amerika Serikat juga

menyatakan bahwa dia menemukan virus baru dari seorang ODHA dengan

memberikan nama Human T-Lymphocytic Virus tipe III (HFLV III). Ilmuwan lain

yaitu J. Levy juga menemukan virus penyebab AIDS yang diberi nama Ralated Virus

disingkat ARV. Kemudian komisi Taksonomi Internasional sepakat untuk menyebut

nama virus penyebab AIDS ini Human Immunodeficiency Virus (HIV) pada Mei

1986.

Secara resmi penderita HIV/AIDS di Indonesia pertama kali dilaporkan pada

seorang turis di Bali tahun 1987. Makin lama kasus ini makin bertambah di mana

setiap satu orang positif yang terdeteksi berarti di masyarakat ada 100 orang yang

sudah terinfeksi HIV tetapi belum terdeteksi. Inilah yang dikenal sebagai fenonema

gunung es; bagian es yang muncul di permukaan air hanyalah sebagian saja

dibandingkan bagian es yang terletak di bawah permukaan air. Dengan kata lain

kasus-kasus HIV positif dan AIDS yang diketahui hanyalah sebagian kecil dari

kasus-kasus HIV positif dan AIDS yang sesungguhnya ada di masyarakat.

Penyebaran HIV/AIDS bukan semata-mata masalah kesehatan tetapi

mempunyai implikasi politik, sosial, etis, agama,dan hukum bahkan dampak secara

nyata, cepat atau lambat, menyentuh hampir semua aspek kehidupan Akhirnya, virus

itu dapat juga ditularkan melalui hubungan sex, jarum suntik dan air susu ibu; tidak

ada penyebaran virus melalui saliva, melalui kontak sosial, nyamuk, kolam berenang,

alat-alat makan, toilet, dan udara ruangan yang sudah terinfeksi oleh penderita.

(24)

Berdasarkan data penderita HIV/AIDS di Indonesia khususnya Sumatera

Utara adalah berjumlah 1017 kasus, dan berdasarkan jenis kelamin penderita adalah

laki-laki 784 jiwa, perempuan 147 jiwa, dan tidak diketahui 19 kasus. Khususnya di

kota Medan jumlah penderita HIV/AIDS sampai Juni 2007 berjumlah 773 kasus

(Dinkes ProvSU, 2007) .

Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Khan dan Hyder (1998) di

Pakistan bahwa pria yang melakukan hubungan seks dengan pria pada umur 14-16

tahun mempunyai partner 2 orang per tahunnya, umur 17-20 tahun sebanyak 5

pasangan, umur 21-35 tahun memiliki pasangan sebanyak 42 orang per tahunnya, dan

umur 35-45 sebanyak 35 pasangan dalam setahun. Perilaku seksual yang dilakukan

adalah dengan cara hubungan seksual dengan anal seks (lewat dubur) paling berisiko

menularkan HIV pada orang yang menerima penis, di mana epitel mukosa (selaput

lendir) pada anus relatif lebih tipis dan lebih mudah terluka dibandingkan dengan

epitel dinding vagina, sehingga HIV lebih gampang masuk ke dalam aliran darah.

Menurut Modan (1992), secara biologi semua waria melakukan hubungan

seksual secara anal selama kehidupan seksnya dibandingkan dengan wanita pekerja

seks yang hanya 10% yang melakukan seks anal, sehingga hampir 11% dari

transeksual ditemukan positif HIV dibandingkan wanita pekerja seksual, yakni hanya

1,1% dari jumlah keseluruhan. Selanjutnya penularan HIV lewat anal lebih besar

dibandingkan dengan lewat vagina. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh

(25)

adalah melalui hubungan homoseksual termasuk di dalamnya 70% heteroseksual

dengan wanita tuna susila sebesar 8%.

Risiko penularan IMS dan HIV/AIDS sebenarnya dapat dikurangi ataupun

dicegah dengan perubahan tingkah laku ke arah seks yang sehat dan tidak berisiko

yakni dengan pemakaian kondom dengan baik dan benar. Pada penelitian Lubis, dkk

(1992), pemakaian kondom oleh waria selama lima kali hubungan seks yang terakhir

sebanyak 65,9% tidak pernah pakai kondom, memakai sekali (7,8%), memakai

kondom dua kali (14,9%), memakai kondom tiga kali (1,4%) dan memakai kondom

lebih dari 3 kali (9,9%). Perubahan perilaku di kalangan waria memang sangat sulit

karena masih rendahnya pemakaian kondom dikalangan waria (9,9%). Berdasarkan

penelitian yang dilakukan Ridayanti terhadap 31 waria di Medan (2007) hanya 1

orang waria (3,3%) yang melakukan aktivitas seksual dengan menggunakan kondom.

Demikian juga Survey yang dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)

yaitu Gerakan Sehat Masyarakat (GSM) 2010. Bahwa waria yang ada di Kota Medan

berkisar 1021 waria, oleh karena itu telah menjaring sekitar 831 waria, yang

menggunakan kondom 690 waria (65%), waria tidak menggunakan kondom berkisar

35% tidak memakai kondom.

Berdasarkan masalah diatas peneliti merasa perlu melakukan penelitian

pengaruh faktor predisposing (pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, dan sikap) dan

reinforcing (petugas kesehatan, LSM, Petugas KPA Kecamatan) terhadap

keterampilan berkomunikasi Waria dalam menawarkan kondom di Kota Medan

(26)

1.2Permasalahan

Seperti yang telah diuraikan diatas bahwa waria mempunyai perilaku yang

berisiko tinggi untuk terinfeksi IMS dan HIV/AIDS karena melakukan hubungan

seksual berganti-ganti pasangan dengan pemakaian kondom yang sangat rendah serta

melakukan seks secara anal. Walaupun hampir sebagian besar waria telah diberikan

penyuluhan dan pelatihan di mana kondom merupakan salah satu alternatif dalam

pencegahan PMS dan HIV/AIDS tetap saja pemakaian kondom di kalangan waria

sangat rendah. Dengan melihat kondisi tersebut maka permasalahan penelitian ini

adalah bagaimana pengaruh faktor predisposing (pendidikan, pekerjaan,

pengetahuan, dan sikap) dan reinforcing (petugas kesehatan, LSM, Petugas KPA

Kecamatan) terhadap keterampilan berkomunikasi Waria dalam menawarkan

kondom di Kota Medan.

1.3Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh faktor predisposing

(pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, dan sikap) dan reinforcing (petugas kesehatan,

LSM, Petugas KPA Kecamatan) terhadap keterampilan berkomunikasi Waria

(27)

1.4 Hipotesis

Faktor predisposing (pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, dan sikap) dan

reinforcing (petugas kesehatan, LSM, Petugas KPA Kecamatan) berpengaruh

terhadap keterampilan berkomunikasi Waria dalam menawarkan kondom di Kota

Medan.

1.5Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan masukan bagi Komisi Penanggulangan AIDS Kota Medan dan

Pemerintah Kota Medan dalam upaya pencegahan dan penanggulangan

HIV/AIDS.

2. Sebagai sumber informasi bagi Dinas Kesehatan Kota Medan dan Provinsi

Sumatera Utara dalam perencanaan untuk pencegahan dan penanggulangan

HIV/AIDS.

(28)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Perilaku

2.1.1. Pengertian Perilaku

Perilaku yaitu suatu fungsi dari interaksi antara seseorang individu dengan

lingkungannya, baik yang diamati secara langsung ataupun yang diamati secara tidak

langsung.

Pada umumnya perilaku manusia berbeda, karena dipengaruhi oleh

kemampuan yang tidak sama. Pada dasarnya kemampuan ini amat penting diketahui

untuk memahami mengapa seseorang berbuat dan berperilaku berbeda dengan yang

lain. Jadi dengan kata lain perilaku adalah apa yang dikerjakan oleh organisme yang

bersangkutan( Thoha, 1979)

Menurut Notoadmodjo (2003) seseorang yang menerima atau mengadopsi

perilaku baru dalam kehidupannya dalam 3 tahap, yaitu : pengetahun, sikap, praktek

atau tindakan (practice).

2.1.2 Pengetahuan

Pengetahuan merupakan Justified true believe. Artinya seseorang individu

membenarkan kebenaran atas kepercayaan berdasarkan observasinya mengenai

dunia. Jadi bila seseorang menciptakan pengetahuan, ia menciptakan pemahaman atas

(29)

kenyataan, dibandingkan sesuatu yang benar secara abstrak. Penciptaan pengetahuan

tidak hanya merupakan kompilasi dari fakta-fakta, namun suatu proses yang unik

pada manusia yang sulit disederhanakan atau ditiru. Penciptaan pengetahuan

melibatkan perasaan dan system kepercayaan (belief system) dimana perasaaan atau

system kepercayaan itu bisa tidak disadari. Misalnya, seorang waria mempunyai

pengetahuan mengenai kondom setelah dia dapat melihat atau memegang dan

menggunakan kondom tersebut.

Pengetahuan merupakan sesuatu yang eksplisit sekaligus dihayalkan.

Beberapa pengetahuan dapat dituliskan di atas kertas, diformulasikan dalam

bentuk-bentuk kalimat-kalimat, atau diekspresikan dalam bentuk-bentuk gambar. Untuk mengenali

nilai dari pengetahuan hayalan dan memahami bagaimana menggunakannya.

Misalnya, seorang waria dapat mengetahui mengenai kondom dengan memperoleh

gambaran dari seseorang tanpa harus dia melihat gambar atau bentuk kondom

tersebut.

Penciptaan pengetahuan secara efektif bergantung pada konteks yang

memungkinkan terjadinya penciptaan tersebut. Konteks yang dimaksud adalah ruang

bersama yang dapat memicu hubungan-hubungan yang muncul. Misalnya, seseorang

dianggap mengetahui tentang kondom dan kegunaannya setelah dia mendapat

penjelasan dari orang lain atau melihat orang lain menggunakannya atau mengetahui

(30)

2.1.3 Sikap

Sikap bisa diartikan sebagai suatu syarat untuk munculnya suatu tindakan.

Konsep itu kemudian berkembang semakin luas dan digunakan untuk

menggambarkan adanya suatu niat yang khusus atau umum, berkaitan dengan kontrol

terhadap respons pada keadaan tertentu (YOUNG, 1956). Adapun menurut Ancok

(1985) yang mengartikan sikap adalah suatu bentuk sikap positif atau negatif,

tergantung pada segi positif atau negatif dari komponen pengetahuan. Misalnya,

seorang waria akan mempunyai sikap positif atau tertarik menggunakan kondom

setelah dia mengetahui manfaat penggunaan kondom tersebut.

2.1.4 Tindakan

Terdapat hubungan yang erat antara sikap dan tindakan. Hal ini didukung oleh

pengertian sikap yang menyatakan bahwa sikap merupakan kecenderungan untuk

bertindak. Tindakan akan tampak lebih konsisten dengan sikap bila suatu sikap

individu dapat melakukan negosiasi dengan kelompok atau bagian dari anggotanya.

Menurut Notoatmojo (2003) terdapat beberapa tingkatan dari

tindakan/praktek, yaitu :

a. Persepsi, yaitu mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan

tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktek tingkat pertama.

b. Respons terpimpin, yaitu dapat melakukan sesuatu dengan urutan yang benar atau

(31)

c. Mekanisme, yaitu apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar

secara otomatis atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah

mencapai praktek tingkat tiga.

d. Adaptasi, yaitu suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik.

2.2 Perubahan Perilaku

Menurut Skinner (1999), prosedur pembentukan perilaku dalam operant

conditioning adalah sebagai berikut :

a. Melakukan identifikasi tentang hal-hal yang merupakan penguat atau reinfoncer

berupa hadiah-hadiah atau rewards bagi pelaku yang akan dibentuk.

b. Melakukan analisis untuk mengidentifikasikan komponen-komponen kecil yang

membentuk perilaku yang dikehendaki. Kemudian komponen-komponen tersebut

disusun dalam urutan yang tepat untuk menuju kepada terbentuknya perilaku

yang dibentuk.

c. Menggunakan secara urut komponen-komponen itu sebagai tujuan sementara.

d. Melakukan pembentukan perilaku dengan menggunakan urutan komponen yang

telah lama tersusun itu.

Menurut Green (2004) kesehatan sesorang dipengaruhi faktor perilaku dan

faktor non perilaku. Perilaku sendiri dipengaruhi oleh 3 domain utama, yaitu

pengetahuan, sikap, nilai, kepercayaan, factor demografis. Faktor Enabling terkait

dengan akses terhadap pelayanan dan informasi kesehatan. Faktor Enabling juga

(32)

kesehatan. Faktor reinforcing berasal dari kelompok atau individu yang dekat dengan

seseorang, termasuk keluarga, teman, guru, dan petugas kesehatan.

Secara lengkap 3 faktor utama yang mempengaruhi perubahan perilaku

tersebut dapat diterangkan sebagai berikut :

a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors)

Faktor-faktor ini mencakup : pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap

kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan

dengan kesehatan, sistem yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial

ekonomi, dan sebagainya. Contohnya : agar seorang waria mau menggunakan

kondom diperlukan pengetahuan dan kesadaran waria tersebut tentang kondom.

Disamping itu, kadang-kadang kepercayaan, tradisi, dan sistem nilai masyarakat juga

dapat mendorong atau menghambat waria untuk menggunakan kondom.

b. Faktor-faktor pemungkin (enabling factors)

Faktor-faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas

kesehatan bagi masyarakat, misalnya tempat pembelian kondom, tempat konsultasi,

tempat berobat, ketersediaan kondom/kemudahan mendapatkan kondom dan

sebagainya. Untuk perilaku sehat, masyarakat memerlukan sarana dan prasana

pendukung, misalnya penggunaan kondom. Waria yang mau menawarkan kondom

tidak hanya karena dia tahu dan sadar manfaat kondom saja, melainkan waria tersebut

dengan mudah harus dapat memperoleh kondom. Fasilitas ini pada hakikatnya

mendukung atau memungkinkan terwujudnya perilaku kesehatan, maka faktor –

(33)

c. Faktor-faktor Penguat (reinforcing factors)

Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat (toma),

tokoh agama (toga), sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan. Di

samping itu undang-undang juga diperlukan untuk memperkuat perilaku masyarakat

tersebut. Seperti perilaku menawarkan kondom terhadap pelanggan, serta kemudahan

memperoleh kondom, juga diperlukan peraturan atau perundang-undangan yang

mengharuskan waria menawarkan kondom kepada pelanggan, serta kemudahan

memperoleh kondom, juga diperlukan peraturan atau perundang-undangan yang

mengharuskan Waria menawarkan kondom kepada pelanggannya dan tidak boleh

melayani jika tidak mau memakai kondom.

Perilaku seseorang menurut World Health Organization/WHO (1984) adalah

karena adanya alasan pemikiran dan perasaan dalam bentuk pengetahuan, persepsi,

sikap, kepercayaan-kepercayaan dan penilaian-penilaian seseorang terhadap objek.

Pengetahuan dapat membuat keyakinan tertentu sehingga seseorang berperilaku

sesuai dengan keyakinan tersebut yaitu dapat diperoleh dari pengalaman

bemacam-macam sumber misalnya media massa, media cetak, media elektronik, buku petunjuk,

petugas kesehatan, media, poster, brosur, teman dan sebagainya.

2.3 Perilaku Seksual

Seksualitas merupakan suatu yang lebih luas dari pada hanya sekedar kata

seks yang merupakan kegiatan hubungan fisik seksual. Kondisi seksualitas yang sehat

(34)

paling dalam, akrab dan intim yang berasal dari lubuk hati yang paling dalam, dapat

berupa pengalaman, penerimaan dan ekspresi diri manusia (Salbiah, 2003).

Dalam kehidupan bisa terjadi perilaku seksual yang meyimpang seperti

homoseks, sodomi, dan pemaksaan seksual. Mereka berperilaku seperti itu karena

situasi dan kondisi yang mereka rasakan sebagai akibat kerasnya hidup.

Perilaku seks tersebut dipengaruhi oleh kekurangmampuan untuk mengontrol

dorongan seksnya sehingga timbul keinginan untuk mencoba. Pada masa remaja

dorongan seksualitas muncul sangat tinggi untuk mencoba hubungan seks.

Kesederhanaan pola pikir seiring dengan rendahnya tingkat pendidikan yang

dimilikinya menyebabkan dia menuruti saja apa kata hatinya (Dharmo, 1999).

2.4 HIV/AIDS

2.4.1 Cara Penularan HIV/AIDS

Pada manusia, virus HIV paling banyak ditemukan pada darah, cairan sperma

dan cairan vagina. Virus ini juga bisa terdapat pada cairan tubuh lain, seperti cairan

ASI tetapi jumlahnya sangat sedikit. Sejumlah 75-85% penularan terjadi melalui

hubungan seks (5-10% diantaranya melalui hubungan homoseksual), 5-19% akibat

alat suntik yang tercemar ( terutama pada pemakai narkotika suntik), 3-5% melalui

transfuse darah yang tercemar. (Global Summary of the AIDS Evidemic, December

(35)

2.4.2 Perjalanan Infeksi HIV sampai AIDS

Pada saat seseorang terkena infeksi virus AIDS maka diperlukan waktu 5 – 10

tahun untuk sampai ke tahap AIDS. Setelah virus masuk ke dalam tubuh manusia,

maka selama 2 - 4 bulan keberadaan virus tersebut belum bisa terdeteksi dengan

pemeriksaan darah meskipun virusnya sendiri sudah ada dalam tubuh manusia. Maka

dalam kondisi ini yang bersangkutan sudah aktif menularkan virusnya ke orang lain

jika dia mengadakan hubungan seks atau menjadi donor darah.

Sejak masuknya virus dalam tubuh manusia maka virus ini akan menggerogoti

sel darah putih dan setelah 5 – 10 tahun maka kekebalan tubuh akan hancur dan

penderita masuk dalam tahap AIDS dimana terjadi infeksi seperti misalnya infeksi

jamur, virus-virus lain, kanker dan sebagainya. Penderita akan meninggal dalam

waktu 1 – 2 tahun kemudian karena infeksi tersebut.

2.4.3 Kelompok Masyarakat Yang Berisiko Tinggi Tertular HIV

Ada beberapa kelompok masyarakat yang memiliki resiko tinggi tertular dan

menularkan Virus HIV baik yang berkaitan dengan perilaku maupun pekerjaannya.

Kelompok itu adalah wanita pekerja seks (WPS) maupun pria pekerja seks (PPS)

serta pelanggan dan pasangan pelanggannya, waria yang bekerja sebagai pekerja seks

serta pelanggannya dan pasangan pelanggannya, pengguna narkotik suntik dan

pasangannya, janin yang dilahirkan dari ibu pengidap HIV, penerima transfuse darah

dan para petugas kesehatan yang tidak menerapkan perlindungan perorangan secara

umum (Universal Precaution=UP) dalam melaksanakan tugasnya. Kelompok resiko

(36)

dalam darahnya. Apabila ditemukan virus HIV setelah melalui prosedur konseling,

diupayakan agar tidak berkembang menjadi AIDS dan dihimbau untuk tidak

menularkan kepada pasangan seksualnya. Namun apabila belum ditemukan virus

HIV, maka upaya yang dilakukan adalah pencegahan agar tidak tertular.

2.4.4 Pencegahan AIDS

Pada prinsipnya, pencegahan dapat dilakukan dengan cara mencegah

penularan virus AIDS, karena penularan AIDS terbanyak adalah melalui hubungan

seksual. Penularan AIDS bisa dicegah dengan tidak berganti-ganti pasangan seksual,

atau jika terpaksa harus melakukan hubungan seksual dengan orang yang beresiko

tinggi diharuskan memakai kondom.

Secara ringkas, pencegahan dapat dilakukan dengan formula A-B-C-D-E, A

adalah abstinensia, artinya tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah. B

adalah be faithful, artinya jika sudah menikah hanya berhubungan seks dengan

pasangannya saja. C adalah Condom, artinya jika memang cara A dan B tidak bisa

dipatuhi maka harus digunakan alat pencegahan dengan menggunakan kondom, D

atau no drugs, artinya tidak menggunakan narkoba dan E untuk educative yang

berarti selalu mensterilkan peralatan yang dipakai.

2.4.5 Upaya Penanggulangan HIV/AIDS

Menurut Sasongko (2006), di dalam menyusun kebijaksanaan menghadapi

masalah AIDS perlu dipertimbangkan beberapa hal antara lain :

- Indonesia merupakan Negara terbuka sehinnga masuknya AIDS tidak bisa

(37)

- AIDS telah melanda sebagian besar Negara di dunia yang menjadi masalah

internasional

- Penanggulangan AIDS terpadu yang disebut Global Program on AIDS (GPA)

yang dicanangkan oleh WHO yang dibantu oleh badan-badan internasional

lainnya.

- Infeksi HIV mempunyai konsekuensi penting bagi perorangan keluarga sehingga

tidak memandang tingkat sosial, ekonomi dari suku bangsa.

- Dampak yang merugikan yang disebabkan oleh infeksi HIV

- Belum ada obat/vaksin yang efektif untuk melawan AIDS

- Masalah AIDS harus dilihat dalam kaitannya dengan prioritas masalah kesehatan

lainnya.

Agar penanggulangan dan menurunkan tingkat penularan HIV/AIDS,

diperlukan upaya perubahan perilaku yang dapat menjangkau sebagian besar

kelompok beresiko. Diharapkan agar upaya penanggulangan di masa datang dapat

secara serius didukung oleh semua komponen bangsa agar dampak buruk epidemik

HIV/AIDS dapat dicegah (KPAN, 2002).

Berkerja sama dengan berbagai pihak, baik organisasi donor, lembaga

swadaya masyarakat, serta pihak-pihak yang peduli dengan masalah epidemik

HIV/AIDS. Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) tidak perlu diperlakukan secara

diskriminatif, mereka masih dapat bekerja secara produktif dan juga terlibat secara

(38)

Secara umum, sasaran program penanggulangan HIV/AIDS adalah sebagai

berikut :

a. Masyarakat umum

b. Petugas kesehatan

c. Perorangan dan Lembaga – lembaga

d. Waria, WTS, Dan lain-lain

e. Para pengidap HIV/AIDS

2.5 Waria

Sejarah belum pernah mencatat dengan pasti kapan dan dimana kebudayaan

Waria mulai muncul. Mungkin kaum waria belum masuk ke dalam lingkungan

peradaban manusia normal. Budaya waria sendiri tidak lahir begitu saja akibat

modernisasi dimana banyak mengakibatkan kelainan-kelainan seksual, seperti

homoseks yang dianggap sebagai modernisasi dan sebagainya. Al-Qur’an menyebutkan adanya kaum nabi Luth yang disebut ”Liwath” yang artinya

”senggama melalui dubur” (Puspitosari dan Pujileksono, 2005 : 17).

Sejarah bangsa Yunani tercacat adanya kaum waria pada abad ke XVII yaitu

munculnya beberapa waria kelas elite seperti Raja Henry III dari Prancis, Abbe de

Choicy Duta Besar Prancis di Siam, serta Gubernur New York tahun 1702, Lord

Cornbury (Nadia, 2005 : 51).

Dukun pria di Turco-Mongol di Gurun Siberia pada umumnya berpakaian

(39)

semacam ini dapat juga dijumpai di negara Malaysia, kepulauan Sulawesi, Patagona,

kepulauan Aleut dan beberapa suku Indian di Amerika Serikat. Oman terkenal

dengan Xanith. Konon, Xanith diperbolehkan untuk melindungi kaum perempuan

dari berbagai bahaya dan pekerjaan sehari-hari. Menurut sejarah, di Oman pelacuran

perempuan sangat jarang dan seandainya ada harganya sangat mahal, Xanith

kemudian beralih fungsi sebagai pelacur dengan harga yang terjangkau oleh kelas

ekonomi bawah sekalipun. Busana yang dipakai Xanith mengandung dua fungsi yaitu

sebagai budaya dan sebagai daya tarik seksual ketika mereka berfungsi sebagai

pelacur. Berbagai catatan tersebut, tidak jelas apakah mereka benar-benar kaum waria

yang fenomena psikologisnya sebagaimana gejala transsexual atau sekedar gejala

transvestet.

Di Indonesia, budaya waria memang tidak secara khusus seperti di Oman,

Turco-Mongol, atau tempat-tempat lain (Nadia, 2005 : 53). Meskipun demikian, kita

dapat menemukannya, misalnya pada masyarakat Ponorogo Jawa Timur yang

berkecimpung dalam dunia seni Warok. Para Warok di daerah ini terkenal sangat

sakti yang menjadikan mereka kebal terhadap senjata tajam. Agar dapat menjalankan

ilmunya dengan sempurna maka ada berbagai pengorbanan dan persyaratan yang

harus dijalaninya.

Setiap Warok Ponorogo dapat dipastikan memiliki gemblakan (laki-laki usia

9-17) yang bertugas untuk membantu pekerjaan rumah hingga memberikan

kebutuhan seksual kepada sang Warok. Kebutuhan seksual ini membuat para Warok

(40)

Hal tersebut dilakukan karena adanya larangan untuk menggauli perempuan sebelum

ilmu yang dipelajari dapat dikuasai, dan setelah ilmu mereka mencapai tingkat

kematangan mereka pun diperbolehkan berhubungan seks dengan perempuan yang

dinikahinya. Perlakuan warok terhadap para gemblak inilah yang dapat

menjerumuskan perilaku seksual remaja tersebut menjadi seorang waria karena

warok seringkali memperlakukan gemblak-nya sebagai seorang perempuan baik

dalam perilaku, berpakaian dan dandanannya.

2.5.1 Jenis-Jenis Waria

Kemala Atmojo (Nadia, 2005 : 40) menyebutkan jenis-jenis waria sebagai

berikut :

a. Transsexual yang aseksual, yaitu seorang transsexual yang tidak berhasrat atau

tidak mempunyai gairah seksual yang kuat.

b. Transsexual homoseksual, yaitu seorang transsexual yang memiliki

kecenderungan tertarik pada jenis kelamin yang sama sebelum ia sampai ke tahap

transsexual murni.

c. Transsexual yang heteroseksual, yaitu seorang transsexual yang pernah menjalani

kehidupan heteroseksual sebelumnya. Misalnya pernah menikah.

Adapun penyebab dari waria (transsexual) ini masih menjadi perdebatan;

apakah disebabkan oleh kelainan secara biologis dimana didalamnya terdapat

kelainan secara hormonal dan kromosom atau disebabkan oleh lingkungan (nurture)

seperti trauma masa kecil, atau sering diperlakukan sebagai seorang perempuan dan

(41)

Beberapa teori tentang abnormalitas seksual menyatakan bahwa

keabnormalan itu timbul karena sugesti masa kecil. Seseorang akan mengalami atau

terjangkit abnormalitas seksual karena pengaruh luar, misalnya dorongan kelompok

tempat ia tinggal, pendidikan orangtua yang menjurus pada benih-benih timbulnya

penyimpangan seksual, dan pengaruh budaya yang diakibatkan oleh komunikasi

intens dalam lingkungan abnormalitas seksual.

Di dalam penelitian ini ketiga subyek penelitian termasuk transsexual

homoseksual, hal ini disebabkan karena waria (transsexual) sebagai subyek penelitian

memiliki kecenderungan tertarik pada jenis kelamin yang sama sebelum mereka

sampai ke tahap transsexual murni. Pada saat usia Sekolah Dasar (SD) mereka mulai

tertarik dengan jenis kelamin yang sama, namun mereka belum berani

mengaktualisasikan dirinya sebagai seorang waria. Dan setelah lulus Sekolah

Menengah Pertama (SMP) mereka mulai berani berdandan, bersosialisasi dan

mengaktualisasikan diri sebagai waria di tempat “cebongan” (tempat pelacuran) tanpa

sepengetahuan orangtua atau keluarga.

2.5.2. Ciri-Ciri Waria

Menurut Maslim (2003 : 111), ciri-ciri transsexual adalah :

a. Identitas transsexual harus sudah menetap selama minimal dua tahun, dan harus

bukan merupakan gejala dari gangguan jiwa lain seperti skizofrenia, atau berkaitan

(42)

b. Adanya hasrat untuk hidup dan diterima sebagai anggota dari kelompok lawan

jenisnya, biasanya disertai perasaan risih atau tidak serasi dengan anatomi

seksualnya.

c. Adanya keinginan untuk mendapatkan terapi hormonal dan pembedahan untuk

membuat tubuhnya semirip mungkin dengan jenis kelamin yang diinginkan.

Tanda-tanda untuk mengetahui adanya masalah identitas dan peran jenis

menurut Tjahjono (1995 : 98), yaitu :

a. Individu menampilkan identitas lawan jenisnya secara kontinyu.

b. Memiliki keinginan yang kuat berpakaian sesuai dengan lawan jenisnya.

c. Minat dan perilaku yang berlawanan dengan lawan jenisnya.

d. Penampilan fisik hampir menyerupai lawan jenis kelaminnya.

e. Perilaku individu yang terganggu peran jenisnya seringkali menyebabkan ditolak

di lingkungannya.

f. Bahasa tubuh dan nada suara seperti lawan jenisnya.

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri transsexual

adalah : (1) individu menampilkan identitas lawan jenisnya secara kontinyu minimal

dua tahun, (2) memiliki keinginan yang kuat untuk hidup dan diterima sebagai

anggota dari lawan jenisnya, (3) mempunyai keinginan yang kuat untuk berpakaian

dan berperilaku menyerupai lawan jenis kelaminnya.

2.5.3 Faktor Pendukung Terjadinya Waria

Puspitosari (2005 : 12) mengatakan bahwa faktor-faktor terjadinya transsexual

(43)

a. Disebabkan oleh faktor biologis yang dipengaruhi oleh hormon seksual dan

genetik seseorang. Hermaya (Nadia, 2005 : 29) berpendapat bahwa peta kelainan

seksual dari lensa biologi dapat dibagi ke dalam dua penggolongan besar yaitu :

1) Kelainan seksual akibat kromosom. Dari kelompok ini, seseorang ada yang

berfenotip pria dan yang berfenotip wanita. Dimana pria dapat kelebihan

kromosom X. bisa XXY, atau XXYY. Diduga, penyebab kelainan ini karena

tidak berpisahnya kromosom seks pada saat meiosis (pembelahan sel) yang

pertama dan kedua. Hal ini dikarenakan usia seorang ibu yang berpengaruh

terhadap proses reproduksi. Artinya bahwa semakin tua seorang ibu, maka

akan semakin tidak baik proses pembelahan sel tersebut dan, sebagai

akibatnya, semakin besar kemungkinan menimbulkan kelainan seks pada

anaknya.

2) Kelainan seksual yang bukan karena kromosom. Menurut Moertiko (Nadia,

2005 : 31) mengatakan bahwa dalam tinjauan medis, secara garis besar

kelainan perkembangan seksual telah dimulai sejak dalam kandungan ibu.

Kelompok ini dibagi menjadi empat jenis :

a) Pseudomale atau disebut sebagai pria tersamar. Ia mempunyai sel wanita

tetapi secara fisik ia adalah pria. Testisnya mengandung sedikit sperma

atau sama sekali mandul. Menginjak dewasa, payudaranya membesar

sedangkan kumis dan jenggotnya berkurang.

b) Pseudofemale atau disebut juga sebagai wanita tersamar. Tubuhnya

(44)

mengeluarkan hormon dalam embrio) alat seks yang dimiliki adalah

wanita. Ketika menginjak dewasa, kemaluan dan payudaranya tetap kecil

dan sering tidak bisa mengalami haid.

c) Female-pseudohermaprodite, penderita ini pada dasarnya memiliki

kromosom sebagai wanita (XX) tetapi perkembangan fisiknya cenderung

menjadi pria.

d) Male-pseudohermaprodite, penderita ini pada dasarnya memiliki

kromosom pria (XY) namun perkembangan fisiknya cenderung wanita.

b. Disebabkan oleh faktor psikologis, sosial budaya yang termasuk didalamnya pola

asuh lingkungan yang membesarkannya. Mempunyai pengalaman yang sangat

hebat dengan lawan jenis sehingga mereka berkhayal dan memuja lawan jenis

sebagai idola dan ingin menjadi seperti lawan jenis. Ibis (Nadia, 2005 : 27)

mengatakan bahwa faktor-faktor terjadinya abnormalitas seksual dapat

digolongkan ke dalam dua bagian yaitu :

1) Faktor internal, abnormalitas seksual yang disebabkan oleh dorongan seksual

yang abnormal dan abnormalitas seksual yang dilakukan dengan cara-cara

abnormal dalam pemuasaan dorongan seksual.

2) Faktor eksternal (sosial), abnormalitas seksual yang disebabkan oleh adanya

pasangan seks yang abnormal. Kartono (1989 : 263) mengatakan bahwa sebab

utama pola tingkah laku relasi seksual yang abnormal yaitu adanya rasa tidak

(45)

2.6 Kondom dan Cara Pemakaian Kondom

Ahli anatomi Italia bernama Fallopius pada 1664 memperkenalkan

pelindung sejenis kondom yang terbuat dari kain linen. Kemudian pelindung dari

usus binatang mulai dipopulerkan pada abad 18 dan dinamakan “kondom”. Pada saat

itu kondom dimasyarakatkan sebagai alat untuk mencegah penyakit kelamin dan

mencegah bertambahnya anak haram. Dengan ditemukannya karet vulkanis pada

tahun 1844 produksi masal kondom dari latekspun dimulai (Hatcher, Stewart,

Trussel, et all) 1990 dalam Lembar Informasi IPM (1998).

Rajapitayakorn (1993) menyatakan ada orang yang merasa bahwa kondom

tidak efektif, 30-60% pria mengaku selalu menggunakan kondom, tetapi diantara

mereka yang menggunakan kondom belum tentu memakainya secara benar.

Pemakaian kondom yang salah bisa mengakibatkan kondom itu lepas atau robek.

Begitulah bila kita tidak memakainya secara konsisten, tentu saja kondom itu tidak

akan efektif.

Hasil dari penelitian kondom yang terus menerus oleh LARFP Counsil

memperkirakan adanya hubungan yang kuat antar lingkar penis dan terlepasnya

kondom, regangan kondom dan tip pemakainnya. Selanjutnya dikatakan pula ukuran

penis yang diukur oleh pasangannya yang menggunakan kit special termasuk

didalamnya cara-cara menggunakan kondom, dan adanya dua garis merah pada

kertas, dimana garis pertama mengukur panjang penis dan garis yang satunya lagi

(46)

Kegagalan pemakaian kondom tergantung pada karakteristik pemakai seperti

sejarah kegagalan dalam pemakaian kondom seperti robek atau terlepas, kurangnya

pengalaman pemakaian kondom, usia yang muda, pendidikan yang rendah,

pendapatan yang rendah dan ukuran penis yang besar (Spruyt, Steiner, Joanis et all,

1998).

Dalam mempromosikan kondom, kondom harus tersedia dengan baik, dan

untuk meningkatkan penggunaan kondom adalah dengan meningkatkan kualitas

kondom yang membuat hubungan menjadi lebih nikmat dan nyaman.

Selanjutnya ditemukan bahwa pasangan yang tidak menggunakan kondom

dalam melakukan hubungan seksual didapati jumlah kasus baru HIV dengan

pasangan yang menggunakan kondom. Penelitian pada 343 pasangan tetap pria yang

terinfeksi HIV, insiden HIV rata-rata 7,2/100 orang/tahun yang tidak menggunakan

kondom, dibandingkan dengan yang selalu menggunakan kondom rata-rata 1,1/100

orang/tahun (Finger, W,R. 1996)

Pada penelitian Lubis, dkk (1992), pemakaian kondom pada waria selama

lima kali hubungan seks yang terakhir, sebanyak 65,9% tidak pernah memakai

kondom, memakai sekali (7,8%), memakai kondom dua kali (14,8%), memakai

kondom tiga kali (1,4%) dan memakai kondom 4-5 kali (9,9%). Perubahan perilaku

di kalangan waria sangat sulit karena diketahui masih rendahnya pemakaian kondom

(47)

2.6.1. Pencegahan HIV/AIDS dengan pengunaan Kondom

. Kegiatan penanggulangan HIV adalah mengupayakan peningkatan

penggunaan kondom pada setiap kegiatan seks beresiko. Pengalaman dibanyak

Negara menunjukkan dengan semakin tinggi penggunaan kondom pada kegiatan

seks beresiko mampu mencegah penularan HIV, terlihat dengan semakin rendah

kasus penularan infeksi yang ditularkan secara seksual, termasuk HIV. Pengalaman

Negara Muangthai dan juga Kamboja menunjukkan bahwa keberhasilan penggunaan

kondom 100% perlu dilakukan dengan dukungan semua pihak. Bila peningkatan

pengunaan kondom tidak dapat dipertahan kan akan terjadi peningkatan laju

penularan HIV. Pengunaan kondom ini dipengaruhi juga terhadap tiga faktor, yaitu

kualitas, cara memakai dan melepaskanya karena ini tidak diikuti efektevitas

perlindungan tidak terjadi. (http//www.teryata org/hiv/report_on_hiv/HIVInd).

2.7. Faktor – Faktor yang Memengaruhi Pemakaian Kondom

Anderson (1974) menggambarkan model system kesehatan (health system

model) yang berupa kepercayaan kesehatan terdapat 3 kategori utama dalam

pelayanan kesehatan, yakni karakteristik predisposisi, karakteristik pendukung dan

karakteristik kebutuhan.

1. Karakteristik Predisposisi, digolongkan dalam 3 kelompok

a) Ciri-ciri demografi, seperti jenis kelamin dan umur

(48)

c) Manfaat kesehatan seperti keyakinan bahwa pelayanan kesehatan dapat

menolong proses kesembuhan penyakit.

2. Karakteristik pendukung (Enabling Characteristics)

Mencerminkan bahwa meskipun punya predisposisi untuk menggunakannya ia

tak akan bertindak menggunakannya, kecuali ia mampu menggunakannya.

3. Karakteristik Kebutuhan (need Characteristics)

Kebutuhan merupakan dasar dan stimulus langsung untuk menggunakan

pelayanan kesehatan, bilamana predisposisi dan enabling itu ada.

2.7.1 Faktor Pemudah 2.7.1.1 Umur

Sutrisna, B (1986) menyatakan bahwa umur adalah variable yang selalu

diperhatikan dalam penyidikan-penyidikan epidemologi. Angka-angka kesakitan

maupun kematian didalam semua keadaan menunjukan umur. Sedangkan beberapa

penelitian mengatakan bahwa usia mempengaruhi tingkat keaktifan seksual seseorang

(Patriani, 1998). Selanjutnya dikatakan bahwa usia mempengaruhi hubungan seks

dan umur termasuk dalam kelompok aktif seksual dimana frekuensinya lebih sering

daripada umur di atas 40 tahun. Sedangkan menurut Astawa (1985) umur merupakan

salah satu variable yang penting dalam mempengaruhi aktivitas seksualnya. Semakin

bertambah umur seseorang maka akan semakin matang dalam mengambil sikap

sehingga nantinya dapat mempengaruhi seseorang dalam berperilaku. Selanjutnya

sesuai dengan penelitian yang dilakukan pada pelaut di Bali variable umur

(49)

tingkat pengetahuan. Dimana semakin dewasa umur seseorang berarti semakin

banyak pengalaman dan semakin matang dalam menanggapi suatu masalah dalam hal

ini kaitannya dengan AIDS, dimana pelaut yang rata-rata pengetahuan paling tinggi

adalah umur 20 – 39 tahun dan pengetahuan yang paling rendah adalah umur dibawah

20 tahun.

Umur termasuk variabel yang penting dalam mempelajari dalam masalah

kesehatan karena ada kaitannya dengan kebiasaan hidup, misalnya : kebiasaan hidup

orang yang sudah dewasa dalam hal ini pola perilaku hubungan seks berbeda dengan

remaja ( Azwar, 1988)

Ditinjau dari umur dan distribusi umur penderita AIDS di Amerika Serikat,

Eropa Dan Afrika jauh berbeda, kelompok terbesar umur 30 – 39 tahun, menurun

pada kelompok yang lebih besar dan lebih kecil. Ini membuktikan bahwa trasmisi

utama. Dan infeksi terbesar terjadi pada kelompok seksual yang paling aktif yaitu 20

-30 tahun.

Hal tersebut sesuai dengan penelitan yang dilakukan oleh Utami, Dwi dan

Leibo (1998) pada gelandangan Yogyakarta bahwa frekuensi melakukan hubungan

seksual pada umur 25 – 45 tahun sebesar 76,2% dan menurun frekuensinya pada

umur yang lebih besar (46 – 56 tahun) sebesar 12,69% dan umur yang lebih kecil (13 – 24 tahun) sebesar 11,11%.

2.7.1.2 .Pendidikan

Pendidikan merupakan kebutuhan dasar manusia yang sangat diperlukan

(50)

serta mengembangkan pengetahuan dan teknologi, sedangkan semakin meningkat

produktivitas, semakin meningkat kesejahteraan keluarga. Selanjutnya dikatakan

bahwa tingkat pendidikan merupakan salah satu factor yang dapat mempengaruhi

derajat kesehatan masyarakat. Semakin tinggi pendidikan seseorang secara teoritis

semakin positif dalam perilaku kesehatan mereka, termasuk juga dalam hal perilaku

seksualnya dalam hubungannya dalam penularan AIDS (Astawa, 1995).

Penelitian yang dilakukan oleh Olenik (1998) yang melakukan penelitian

pada pria di Mexico, Philipina dan Republik Dominica menganalisa bahwa

karakteristik peserta ditemukan bahwa tingkat pendidikan pria berhubungan dengan

kegagalan kondom. Dari penelitan-penelitian diketahui bahwa tingkat pendidikan pria

berhubungan dengan kegagalan kondom.

Dari penelitian – penelitian diketahui bahwa tingkat pendidikan formal para

PSK pada umumnya rendah 40% tidak lulus SD bahkan 1/3nya tergolong buta huruf,

yang merupakan kendala apabila hendak melakukan penyuluhan pada PSK.

2.7.1.3 Pendapatan dan Pekerjaan

Sutrisna (1986), yang sering dilakukan ialah melihat hubungan antara tingkat

penghasilan dengan tingkat pemanfaatan pelayanan kesehatan maupun pencegahan

secara popular keadaan keluarga baik perorangan maupun keluarga lebih dikenal

dengan sebutan status ekonomi keluarga yang berperan di dalam pengambilan

keputusan bertindak utama terhadap tindakan yang berkaitan dengan keuangan

keluarga. Karena status ekonomi yang rendah di desa kebanyakan penduduk pindah

(51)

perkotaan untuk jangka waktu yang lama dan secara pelan-pelan manjadi bagian dari

penghuni lingkungan kumuh perkotaan.

Status pekerjaan sebagian penduduk perkotaan dapat dikategorikan sebagai

“sector formal:”, seperti : pegawai kantoran, pegawai negeri, dsb. Dan sebagian lagi

yang lebih besar bekerja disektor informal (pedagang asongan, pencari kerja,

gelandangan, petani, nelayan, pengrajin, pelacur dsb) yang sifatnya tidak tetap dan

berpindah-pindah dari satu lokasi ke lokasi lainnya. (Iskandar, M, dkk, 1996)

Tingginya angka Pelacuran di Indramayu, menemukan bahwa factor

kemiskinan merupakan penyebab utama (46%), kemudian tingkat pendidikan (28%)

(Wibowo, dkk, 1989 dalam Hull, T, dkk, 1997), pelacur adalah sekelompok

perempuan yang melakukan aktivitas hubungan seksual secara berulang-ulang diluar

perkawinan yang sah untuk mendapatkan uang, materi atau jasa bagi kalangsungan

hidup. Kebanyakan mereka menawarkan pelayanan seksual kepada laki-laki, hanya

sedikit yang melakukannya kepada perempuan.

Selanjutnya Emma Goldman, dalam Husein (1997) bahwa seorang aktivis

abad 19 yang mengatakan mengapa anda buang-buang waktu untuk beberapa shilling

dengan menjadi tukang cuci piring, bekerja seminggu, delapan belas jam sehari,

sementara wanita bisa mendapat bayaran yang lebih tinggi dengan menjual tubuh

mereka. Jika dilihat dari definisinya maka Pekerja Seks komersial adalah seorang

yang bekerja menjaul jasa melayani nafsu seksual dari pasangannnya (pelanggan)

(52)

Menurut Browfield, 1992 dalam Iskandar, M, 1996 menyatakan bahwa

setiap laki-laki di Surabaya yang seksual aktif bisa dicurigai menjadi klien industry

seks sebagian besar klien adalah orang Indonesia, baik yang datang maupun yang

menetap di Surabaya, walaupun sejumlah pendatang asing turut ambil bagian dalam

pelayanan industri seks ini.

Sedangkan klien waria bisa dijumpai di berbagai sosio ekonomi, tetapi

mempunyai cirri-ciri yang berbeda. Banyak remaja pria memakai pekerja seks waria

dikarenakan :

a. Karena larangan agama untuk melakukan hubungan seksual di luar pernikahan

membuat waria menarik bagi mereka yang tidak mau menggunakan industri seks.

b. Karena klien pendapatan yang rendah hanya berminat pada harga yang murah,

dan waria sering memberikan pelayanan secara Cuma-Cuma terhadap klien yang

dianggap menarik.

c. Untuk klien yang heteroseksual, waria menyediakan pelayanan seks oral/anal

sambil berperilaku seperti wanita kepad pasangannya. Serta untuk

mendapatkannya murah karena tidak perlu mengeluarkan uang ekstra untuk

menyewa penginapan.

Sanjay (1996) & Elifsa (1994) dalam Cathy & Emilia (1997) menyatakan

bahwa adanya hubungan diskriminasi jender, akses legal dan social, diskrominasi

pekerjaan dengan menjadi pekerja seks, sebanyak 37% dari sempel melaporkan

(53)

pekerjaan karena jender yang dimilikinya sekarang. Karena hal tersebut sehingga

memaksa untuk tidak mempunyai pilihan dan akhirnya menjadi pekerja seks

2.7.1.4 Tingkat Pengetahuan

Sumantri (1984) menyatakan bahwa pengetahuan adalah segenap apa ayng

diketahui manusia tentang objek tertentu. Termasuk ilmu pengetahuan yang ada pada

manusia, bertujuan menjawab permasalahan yang dihadapi sehari-hari untuk

mempermudah manusia itu sendiri. Pengetahuan diibaratkan merupakan suatu alat

yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang dihadapi, tatapi

penggunaannya tergantung manusia itu sendiri.

Dalam kaitannya dengan berbagai penelitian kesehatan Reproduksi,

khususnya tentang PMS, HIV/AIDS maka studi Lubis (1991/1992) menyatakan

bahwa pada waria di Jakarta adanya kecendrungan yang cukup membaik dalam

persepsi bahwa AIDS merupakan penyakit yang mematikan yaitu pada tahun 1991

64,5% waria menyatakan tidak tahu ada resiko tertular pada dirinya, sedangkan pada

tahun 1992 telah menurunkan banyak menjadi 18,0% dan resiko pada temennya

menurun 70,4% menjadi 20,1%.

Sehingga sebaliknya persepsi akan adanya tertular AIDS menjadi meningkat

dari hanya 29,1% menjadi 49,3% pada dirinya dan 23,8% menjadi 36,6% pada

temennya. Yang masih mengganggap tidak ada resiko tertular AIDS ternyata menjadi

naik menjadi 6,4% menjadi 32,5% menjadi 43,7% untuk temannya. Hal terakhir ini

mungkin dijawab oleh waria berusia atau waria yang mempunyai partner seks satu

(54)

2.7.1.5 Sikap

Menurut Suyatinah (2000) yang mengutip pendapat Soemadi Suryobroto

bahwa perilaku dipengaruhi oleh lingkungan, elementaristik, peranan reaksi,

mekanisme terbentuknya hasil belajar, sehingga sikap seseorang tergantung pada

lingkungan dan hasil belajar orang tersebut. Makin banyak seseorang belajar tentang

kondom maka makin banyak pengetahuan tentang kondom dan hal ini membuat sikap

positif tentang menawarkan kondom akan terbentuk.

2.7.2 Faktor Penguat 2.7.2.1 Petugas Kesehatan

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kenderwis (2008) menunjukkan bahwa

andil petugas kesehatan tidak memberikan kontribusi dalam peningkatan nilai tawar

kondom oleh PSK. Hal ini bertentangan dengan pendapat Green (2004), bahwa

perilaku dipengaruhi oleh factor yang berasal dari kelompok atau individu yang dekat

dengan seseorang termasuk petugas kesehatan.

2.7.2.2 LSM

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dapat memberikan pengaruh terhadap

kemampuan tawar PSK dalam penggunaan kondom kepada pelanggannya. Hal ini

sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Djauzi (2006) yang menyatakan bahwa

LSM sangat besar perannya dalam penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia terutama

dalam memberikan penyuluhan kepada PSK dan pelanggannya agar mau

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Teori
Gambar 2.2 Kerangka Konsep
Tabel 3.1. Aspek Pengukuran Variabel Bebas
Tabel 3.2. Aspek Pengukuran Variabel Bebas
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kata dasar, kata turunan (kata jadian), kata ulang, gabungan kata-kata ganti, kata depan, kata si dan sang, partikel, penulisan unsur serapan, tanda baca, dan

Berdasarkan kajian teori dan kerangka berfikir yang telah dijabarkan di atas, dapat diajukan hipotesis tindakan sebagai berikut: “Pembelajaran IPS dengan

Pengerjaan dari suatu produk yang syarat dengan makna dan melekat dengan budaya masyarakat dibutuhkan kajian ilmu multidisiplin untuk mencapai validitas hasil darai

Campuran ekstrak buah Piper aduncum dan daun Tephrosia vogelii pada nisbah konsentrasi 1:1, 2:1, dan 1:2 lebih beracun daripada ekstrak tunggalnya dan bersifat

Hasil dari penelitian menunjukkan sebagian besar responden mengalami mengalami retardasi mental ringan 16 (55,2 %), dan hampir setengah responden mengalami

Metode : Desain penelitian ini menggunakan rancangan eksperimen semu ( Quasi eksperimen ) rancangan pretest-posttest dengan kelompok control ( Pretest- posttest with control

Mengingat bahwa penelitian ini menemukan bahwa tingginya derajat persistensi inflasi di Provinsi Papua Barat antara lain diakibatkan oleh tingginya derajat

(Cahill 2007, Honkanen, Poikolainen & Karlsson 2017) Tässä tutkimuksessa olosuhteet kanssatutkijuudelle eivät täyttyneet. Meillä ei ollut mahdollista tavata