PENERAPAN PIDANA DENDA SEBAGAI ALTERNATIF
DARI PIDANA PERAMPASAN KEMERDEKAAN
JANGKA PENDEK
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH :
ACHIR NAULI GADING HARAHAP
080200120
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PENERAPAN PIDANA DENDA SEBAGAI ALTERNATIF DARI PIDANA PERAMPASAN KEMERDEKAAN JANGKA PENDEK
Skripsi
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH:
ACHIR NAULI GADING HARAHAP 080200120
Mengetahui:
Ketua Departemen Hukum Pidana
NIP. 19570326198601001 Dr. Hamdan, SH, MH.
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Abul Khair, SH, M.Hum Rafiqoh Lubis, SH,M.Hum NIP. 19610702198931001 NIP. 197407252002122002
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat
rahmat dan syafa’atnya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada
waktunya. Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi persyratan untuk mencapai
gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.
Adapun judul yang penulis angkat adalah “Penerapan Pidana Denda Sebagai
Alternatif dari Pidana Perampasan Kemerdekaan Jangka Pendek”.
Dalam menyelesaikan skripsi ini banyak tantangan dan hambatan yang
dihadapi, tetapi itu semua dapat diatasi berkat motivasi dan bantuan dari berbagai
pihak yang terkait, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan secara efektif dan
efisien sesuai dengan waktu yang direncanakan.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu menulis dalam
menyelesaikan penulisan skripsi ini baik moril maupun materiil. Kepada Yang
Terhormat:
1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
2. Prof. Dr.Budiman Ginting, SH, M.Hum., selaku Pembantu Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara
4. Muhammad Husni, SH, MH, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum
5. Dr. Hamdan, SH, M.H., selaku Ketua Departemen Keperdataan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
6. Abul Khair, SH, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I yang telah
memberikan saran dan petunjuk dalam membimbing penulisan skripsi ini.
7. Rafiqah Lubis, SH, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah
memberikan saran dan petunjuk dalam membimbing penulis selama
penulisan skripsi ini.
8. Seluruh pihak yang telah berjasa dalam membantu penyusunan skripsi ini.
9. Seluruh Civitas Akademika Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
yang telah memberikan ilmu terkhususnya ilmu di bidang hukum.
Penulis menyadari skripsi ini belum sempurna di saatu sisi karena
kesempurnaan hanya milik Allah SWT, oleh sebab itu besar harapan penulis
kepada semua pihak agar memberikan kritik dan saran yang konstruktif guna
menghasilkan sebuah karya ilmiah yang lebih baik dan sempurna, baik dari segi
materi maupun cara penulisannya di masa yang kan datang.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya,
semoga Allah SWT meridhoi kita semua. Dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi
pembaca dan perkembangan hukum di negara Indonesia.
Medan, Juni 2012
Hormat Saya
ABSTRAKSI
Abul Khair, SH, M.Hum. * Rafiqoh Lubis, SH, M.Hum. ** Achir Nauli Gading Harahap ***
Pidana perampasan kemerdekaan (penjara dan kurungan) jangka pendek masih dijadikan primadona dalam penetapan dan penjatuhan pidana.Padahal pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek telah banyak mendapat kritikan karena lebih banyak membawa efek negatif bagi terpidana. Perkembagan konsepsi baru dalam hukum pidana, yang menonjol adalah perkembangan mengenai sanksi alternatif (alternatif sanction), salah satunya adalah dari pidana hilang kemerdekaan jangka pendek ke pidana denda. Namun permasalahannya adalah bagaimana eksistensi pidana denda dalam hukum positif Indonesia saat ini. Selain itu, bagaimana peluang penerapan pidana denda sebagai alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek di masa mendatang.
Untuk itu dilakukan penelitian yuridis normatif melalui kajian terhadap peraturan perundang-undangan buku-buku dan data-data yang berkaitan dengan pidana denda dan pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek. Di samping itu untuk mendukung data data sekunder telah dilakukan suatu penelitian lapangan dengan cara mewawancarai para pihak yang terlibat dalam masalah ini.
Berdasarkan hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa Pidana denda eksis dalam hukum positif Indonesia. Pasal 10 KUHP menempatkan pidana denda di dalam kelompok pidana pokok sebagai urutan terakhir atau keempat, sesudah pidana mati, pidana penjara dan pidana kurungan.Pidana denda dikenakan sebagai sanksi kumulatif pemberatan pidana perampasan kemerdekaan (penjara/kurungan), alternatif pidana perampasan kemerdekaan, atau sebagai pidana denda tunggal.Namun pidana denda memiliki kelemahan-kelemahan yang mengakibatkan para penegak hukum enggan untuk menggunakannya dan lebih memilih pidana perampasan kemerdekaan. Pidana denda memiliki peluang untuk dijadikan sebagai solusi terhadap alternatif pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek. Dimana pidana denda dapat menciptakan hasil yang diinginkan oleh pembentuk undang-undang sesaui dengan tujuan pemidanaan yang diharapkan. Namun kritikan-kritikan terhadap kekurangan-keurangan pengaturan pidana denda yang ada dalam hukum positif Indonesia haruslah dibenahi terlebih dahulu. Agar kiranya dalam penerapan pidana denda khususnya terhadap perampasan kemerdekaan jangka pendek para penegak hukum memiki landasan hukum yang jelas dan terarah.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
ABSTRAKSI ... ii
DAFTAR ISI ... .iv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 7
D. Keaslian Penulisan ... 8
E. Tinjauan Pustaka ... 9
1.Pengertian Pemidanaan ... 9
2. Tujuan Pemidanaan ... 10
F. Metode Penelitian ... 25
G. Sistematika Penulisan ... 26
BAB II EKSISTENSI PIDANA DENDA DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA ... 29
A. Pidana Denda dalam KUHP Indonesia ... 29
B. Pidana Denda di Undang-Undang di Luar KUHP Indonesia ... 37
C. Pidana Denda dalam Rancangan KUHP Indonesia ... 67
BAB III PIDANA DENDA SEBAGAI ALTERNATIF PIDANA PERAMPASAN KEMERDEKAAN JANGKA PENDEK ... 96
B. Kelemahan dan Keuntungan Penerapan Pidana Denda Sebagai Alternatif
Pidana Perampasan Kemerdekaan Jangka Pendek ... 109
C. Peluang Penerapan Pidana Denda Sebagai Alternatif Pidana Perampasan Kemerdekaan Jangka Pendek di Masa Mendatang ... 119
BAB IV KESIMPULAN ... 143
A. Kesimpulan ... 143
B. Saran ... 144
ABSTRAKSI
Abul Khair, SH, M.Hum. * Rafiqoh Lubis, SH, M.Hum. ** Achir Nauli Gading Harahap ***
Pidana perampasan kemerdekaan (penjara dan kurungan) jangka pendek masih dijadikan primadona dalam penetapan dan penjatuhan pidana.Padahal pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek telah banyak mendapat kritikan karena lebih banyak membawa efek negatif bagi terpidana. Perkembagan konsepsi baru dalam hukum pidana, yang menonjol adalah perkembangan mengenai sanksi alternatif (alternatif sanction), salah satunya adalah dari pidana hilang kemerdekaan jangka pendek ke pidana denda. Namun permasalahannya adalah bagaimana eksistensi pidana denda dalam hukum positif Indonesia saat ini. Selain itu, bagaimana peluang penerapan pidana denda sebagai alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek di masa mendatang.
Untuk itu dilakukan penelitian yuridis normatif melalui kajian terhadap peraturan perundang-undangan buku-buku dan data-data yang berkaitan dengan pidana denda dan pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek. Di samping itu untuk mendukung data data sekunder telah dilakukan suatu penelitian lapangan dengan cara mewawancarai para pihak yang terlibat dalam masalah ini.
Berdasarkan hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa Pidana denda eksis dalam hukum positif Indonesia. Pasal 10 KUHP menempatkan pidana denda di dalam kelompok pidana pokok sebagai urutan terakhir atau keempat, sesudah pidana mati, pidana penjara dan pidana kurungan.Pidana denda dikenakan sebagai sanksi kumulatif pemberatan pidana perampasan kemerdekaan (penjara/kurungan), alternatif pidana perampasan kemerdekaan, atau sebagai pidana denda tunggal.Namun pidana denda memiliki kelemahan-kelemahan yang mengakibatkan para penegak hukum enggan untuk menggunakannya dan lebih memilih pidana perampasan kemerdekaan. Pidana denda memiliki peluang untuk dijadikan sebagai solusi terhadap alternatif pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek. Dimana pidana denda dapat menciptakan hasil yang diinginkan oleh pembentuk undang-undang sesaui dengan tujuan pemidanaan yang diharapkan. Namun kritikan-kritikan terhadap kekurangan-keurangan pengaturan pidana denda yang ada dalam hukum positif Indonesia haruslah dibenahi terlebih dahulu. Agar kiranya dalam penerapan pidana denda khususnya terhadap perampasan kemerdekaan jangka pendek para penegak hukum memiki landasan hukum yang jelas dan terarah.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pidana perampasan kemerdekaan (penjara dan kurungan) masih dijadikan
primadona dalam penetapan dan penjatuhan pidana dalam kaitannya dengan
tujuan pemidanaan, terutama pencapaiaan efek jera bagi pelaku dan pencapain
pencegahan umum. Padahal perkembagan konsepsi baru dalam hukum pidana,
yang menonjol adalah perkembangan mengenai sanksi alternatif (alternatif
sanction), dari pidana hilang kemerdekaan ke pidana denda, terutama terhadap
tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara dibawah satu tahun.1
Studi awal penerapan konsep pemasyarakatan oleh Tim Peneliti MAPPI
FHUI, KRHN dan LBH Jakarta memberikan gambaran bahwa upaya pembinaan
yang dilakukan oleh Lapas (Lembaga Pemasyarakatan) tampaknya tidak
sepenuhnya berjalan dengan baik. Pelaksanaan sistem pemasyarakatan saat ini
masih belum didukung dengan perasarana dan sarana yang memadai sehingga
menimbulkan berbagai permasalahan. Pada umumnya permasalahan timbul Pidana perampasan kemerdekaan (penjara dan kurungan) jangka pendek
telah banyak mendapat kritikan. Kritik tersebut didasarkan dari fakta-fakta
dimana dampak buruk yang didapat oleh terpidana perampasan kemerdekaan
jangka pendek di lembaga pemasyarakatan terlalu besar dibandingkan dengan
manfaatnya.
1
karena adanya pengabaian terhadap asas-asas pelaksanaan sistem pemasyarakatan.
Tim peneliti mengemukakan lebih lanjut bahwa permasalahan yang sering
mengemuka adalah tidak adanya persamaan perlakukan kepada warga binaan
pemasyarakatan, seringkali terjadi pungli, adanya kesulitan warga binaan
pemasyarakatan untuk bertemu dengan pihak keluarganya, adanya kesan bahwa
Lapas merupakan ajang sekolah bagi pengembangan kemampuan kriminalitas
seseorang, minimnya standar pelayanan kesehatan yang diberikan, dan masih
banyak permasalahan lain yang harus diperhatikan untuk segera dibenahi.
Berbagai permasalahn yang timbul merupakan imbas dari kurangnya perhatian
negara dan masyarakat terhadap Lapas. Kurangnya anggaran dan sistem
perencanaan menambahkan kompleksnya permasalahan Lapas.2
Dari aspek kebijakan hukum pidana, fenomena penggunaan pidana
perampasan kemerdekaan (penjara) yang terkesan “boros”, sudah barang tentu
sangat bertentangan dengan kecenderungan yang sedang melanda dunia
internasional dewasa ini, yaitu untuk sejauh mungkin menghindari penjatuhan
pidana penjara dengan menerapkan kebijakan selektif dan limitatif,3
Dilain sisi pidana denda yang terdapat dalam Pasal 10 KUHP yang dapat
diterapkan sebagai pidana tunggal atau sebagai alternatif dalam KUHP, dalam
perkembangan prakteknya dipengaruhi oleh faktor-faktor yang menjadi sebagai
akibat semakin menguatnya kritik dan soroton tajam terhadap penggunaan pidana
penjara.
2
Tim Peneliti MaPPI FHUI, KRHN, dan LBH Jakarta, 2007, Menunggu Perubahan dari Balik Jeruji (Studi Awal Penerapan Konsep Pemasyarakatan), Partnership, Jakarta, 2007, hal. 4.
3
permasalahan antara lain inflasi mata uang yang tinggi yang mengakibatkan nilai
sanksi pidana denda yang terdapat dalam KUHP menjadi terlalu ringan.
Selain itu, peraturan perundang-undangan yang ada kurang memberikan
dorongan dilaksanakannya penjatuhan pidana denda sebagai pengganti atau
alternatif pidana penjara atau kurungan. Sebaliknya, faktor kemampuan
masyarakat juga menyebabkan belum berfungsinya pidana denda jika suatu
undang-undang memberikan ancaman pidana denda yang relatif tinggi. Demikian
pula pidana denda yang ditentukan sebagai ancaman kumulatif akan
mengakibatkan peran dan fungsi pidana denda sebagai pidana altenatif atau
pidana tunggal belum mempunyai tempat yang wajar dan memadai dalam
kerangka tujuan pemidanaan, terutama untuk tindak pidana yang diancam pidana
penjara jangka pendek dan tindak pidana yang bermotifkan atau terkait dengan
harta benda atau kekayaan.
Faktor-faktor di atas mengakibatkan keengganan para penegak hukum
untuk menerapkan pidana denda khususnya sebagai alternatif pidana perampasan
kemerdekaan jangka pendek dan cenderung memilih pidana penjara atau
kurungan daripada pidana denda.
Keengganan ini menjadikan putusan pidana tunggal seakan tabu dan asing
dimata para penegak hukum. Contoh yang paling disorot baru-baru ini adalah
Putusan Mahkamah Agung yang tertangga 21 Maret 2011 yang menolak
permohonan kasasi dari Kejaksaan Negeri Magetan atas perkara atas Putusan
Pengadilan Negeri Magetan Nomor : 42 / Pid.B / 2010 / PN.\\Mgt. tanggal 01
terbukti secara sah meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana : “Menjual
barang kena cukai yang tidak dilekati pita cukai ” dan melanggar Pasal 54 junto
Pasal 29 ayat (1) Undang- Undang No. 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas
Undang- Undang No. 11 Tahun 1995 tentang cukai ; dan Menjatuhkan pidana
terhadap Terdakwa Isnaini bin Sadimun oleh karena itu dengan pidana denda
sebesar Rp 1.300.000, - (satu juta tiga ratus ribu rupiah ) dan apabila Terdakwa
tidak membayar pidana denda tersebut, Terdakwa dipidana kurungan sebagai
pengganti denda selama 3 ( tiga ) bulan.4
Suatu perkembangan baru tetang jumlah pidana denda dalam KUHP
adalah dengan dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012
tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) telah merubah batasan pidana
denda dalam perkara-perkara tindak pidana ringan sebagaimana tercantum dalam
Dimana dalam kasus tersebut Jaksa Penuntut Umum berbendapat bahwa
Pengadilan Negeri telah salah dalam memberikan putusan tersebut dan Pengadilan
Tinggi telah salah membenarkan Putusan Pengadilan Negeri tersebut. Dimana
Hakim Pengadilan Negeri hanya menjatuhkan pidana denda tanpa adanya pidana
penjara. Padahal dalam Undang – Undang No. 39 Tahun 2007 tentang Perubahan
atas Undang Undang No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai ada kata (dan / atau) yang
berarti pidana denda dan penjara dapat dijatuhkan secara kumulatif dan juga
alternatif . Seolah jaksa penuntut umum tabu dan asing dengan putusan pidana
denda tunggal yang diterapkan oleh Hakim Pengadilan Negeri Magetan tersebut.
4
Pasal 364 KUH Pidana (pencurian ringan), 373 KUH Pidana (pengelapan ringan),
379 KUH Pidana (penipuan ringan), 384 KUH Pidana (keuntungan dari
penipuan), 407 KUH Pidana (perusakan ringan) dan pasal 482 KUH Pidana
(penadah ringan yang semula dibatasi minimal Rp 250,- (dua ratus lima puluh
rupiah) menjadi Rp 2.500.000) (dua juta lima ratus ribu rupiah).
Berdasarkan Perma ini, Hakim patut memperhatikan ketentuan-ketentuan
tentang penahanan sekaligus mengkualifikasikan kembali arti tindak pidana
ringan. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (2) Perma No. 2 Tahun
2012 yang pada pokoknya memerintahkan Ketua Pengadilan bila menerima
limpahan perkara pencurian, pengelapan, penipuan, perusakan dan penadah dari
Penuntut Umum dengan nilai barang atau uang dibawah Rp. 2.500.000 (dua juta
lima ratus ribu) segera menetapkan Hakim tunggal dan memeriksa perkara
tersebut dengan Acara Pemeriksaan Cepat. Dalam ayat selanjutnya, yakni Pasal 2
ayat (3), pada pokoknya Mahkamah Agung juga menetapkan bahwasanya
terhadap pelaku tidak perlu ada upaya penahanan dan bila selama pemeriksaan
ditahan supaya dibebaskan.
Melihat permasalahan perampasan kemerdekaan jangka pendek diatas,
wajar apabila pidana denda menjadi pusat perhatian. Baik digunakan sebagai
pengganti pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek maupun sebagai
pidana yang berdiri sendiri (independent sanction), karena selain merupakan salah
satu jenis sanksi pidana yang bersifat non-costodial, juga dianggap tidak
masukan berupa uang atau setidak-tidaknya menghemat biaya sosial dibandingkan
dengan jenis pidana denda.
Apalagi perkembangnya aliran modern dalam hukum pidana belakangan
ini lebih menitik beratkan (berorientasi) pada si pembuat (pelaku tindak pidana)
dimana menghendaki individualisasi pidana, artinya pemidanaan memperhatikan
sifat-sifat dan keadaan si pembuat.5 Sebagai konsekuensinya maka menuntut
pengembangan lebih banyak jenis-jenis sanksi pidana non-custodial dalam stelsel
pidana yang ada di dalam KUHP.
Keseluruhan upaya di atas pada dasarnya ingin mewujudkan sila ke-2
Pancasila yakni “Kemanusiaan yang adil dan beradab” adalah perwujudan nilai
kemanusiaan sebagai makhluk yang berbudaya, bermoral, dan beragama.
Penerapan teori tujuan pemidanaan yang integratif yang dapat memenuhi
fungsinya dalam rangka mengatasi kerusakan yang diakibatkan oleh tindak
pidana, pidana denda dapat mendekantkan pada kedua pandangan yakni
retributive view dan ultiraterian view yang diintegarasikan dengan konsep
kemanusiaan yang adil dan beradab untuk memenuhi humanitarian concerns
combined with a greater awareness of the destructive effects of imprisonment.
Lembaga pemasyarakatan (penjara) sedapat mungkin dijadikan tempat bagi
terdakwa yang melakukan tindak pidana berat (serious crime) dan tindak pidana
lainnya yang sangat membahayakan bagi masyarakat.
5
B. Perumusan Masalah
Masalah yang penulis angkat sehubungan dengan topik ataupun judul
penelitian ini, adalah :
1. Bagaimana eksistensi pidana denda dalam hukum positif Indonesia ?
2. Bagaimana peluang penerapan pidana denda sebagai alternatif dari pidana
perampasan kemerdekaan jangka pendek di masa mendatang ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan dari penelitian ini, adalah bertolak dari perumusan
masalah di atas, yaitu :
1) Untuk mengetahui eksistensi pidana denda dalam hukum positif Indonesia
baik yang ada dalam KUHP, Peraturan Perundang-Undangan Khusus di luar
KUHP, maupun dalam Rancangan KUHP Indonesia.
2) Untuk mengetahui peluang penerapan pidana denda sebagai alternatif dari
pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek di masa mendatang.
2. Manfaat Penulisan
Bertolak dari rumusan masalah dan tujuan penelitian sebagaimana
dikemukakan di atas, maka kegunaan dan manfaat penulisan yang diharapkan dari
penelitian ini, adalah :
1) Manfaat Teoritis, diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu
bahan bacaan di dalam menguraikan bagaimana eksistensi pidana denda
Perundang-Undangan Khusus di luar KUHP, maupun dalam Rancangan
KUHP Indonesia.
2) Manfaat Praktis, diharapkan dengan dikemukakannya tentang bagaimana
kelemahan, kelebihan dan peluang penerapan pidana denda sebagai alternatif
dari pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek di masa mendatang,
untuk selanjutnya dapat menjadi pertimbangan untuk menjadikan pidana
denda sebagai salah satu altenative dari pidana perampasan jangka pendek.
D. Keaslian Penulisan
Telah banyak tulisan tentang Pidana Denda terdahulu. Namum tentang
Penerapan Pidana Denda sebagai Alternatif dari Pidana Perampasan Kemerdekaan
Jangka Pendek yang penulis buat ini memang asli dibuat oleh penulis sendiri.
Dalam proses pembuatan skripsi ini penulis memulainya dengan
mengumpulkan bahan-bahan yang berkaitan dengan masalah Kebijakan Pidana,
Pemidanaan, Pidana Denda, Pidana Perampasan Kemerdekaan Jangka Pendek,
Lembaga Pemasyarakatan, kemudian penulis merangkai sendiri menjadi suatu
karya tulis ilmiah yang disebut dengan skrisi. Oleh karena itu penulis dapat
menyatakan bahwa skripsi ini adalah karya asli penulis sendiri.
Selain itu dalam pengajuan skripsi ini, penulis telah melewati pengujian
tentang kesamaan dan keaslian judul yang diangkat di Perpustakaan Fakultas
Hukum USU. Dengan demikian hal ini dapat mendukung tentang keaslian
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Pemidanaan
Menurut Sudarto, perkataan pemidanaan adalah sinonim dari perkataan
penghukuman. Tentang hal tersebut beliau berpendapat bahwa :6
Sedangkan “pemidanaan” atau pemberian/penjatuhan pidana oleh hakim,
merupakan pengertian “penghukuman” dalam arti sempit yang mencakup bidang
hukum pidana saja; dan maknanya sama dengan “sentence” atau “veroordeling”,
misalnya dalam pengertian “sentence conditionally” atau “voorwaardelijk
veeroordeeld” yang sama artinya dengan “dihukum bersyarat” atau “dipidana
bersyarat”. Dalam kesempatan lain Soedarto juga pernah mengatakan:
“Penghukuman itu berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata, oleh karena tulisan ini berkisar pada hukum pidana, maka istilah tersebut harus disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam arti pidana, yaitu kerap kali dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim. Penghukuman dalam hal ini mempunyai makna yang sama dengan
sentence atau veroordeling.”
7
a) Dalam arti umum ialah yang menyangkut pembentuk undang-undang, ialah yang menetapkan stelsel sanksi hukum pidana (pemberian pidana in abstracto);
Pemberian pidana itu mempunyai dua (2) arti :
b) Dalam arti konkrit, ialah yang menyangkut berbagai badan atau jawatan yang kesemuanya mendukung dan melaksanakan stelsel sanksi hukum Pidana itu.”
Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa timbulnya dualisme
istilah “pidana” dan “hukuman”, “pemidanaan” dan “penghukuman” adalah
berpangkal dari perbedaan dalam mengartikan kata “straf” (bahasa Belanda) ke
dalam Bahasa Indonesia yang oleh sementara kalangan ahli hukum ada yang
6
Ibid, hal. 71.
7
disinonimkan dengan istilah “pidana” dan ada pula yang menggunakan istilah
“hukuman”. Sehubungan dengan dualisme istilah tersebut dikemukakan oleh
Sudarto8
Perkataan penghukuman mempunyai pengertian lain yaitu suatu rangkaian
pembalasan atas perbuatan si pelanggar hukum.
bahwa istilah “pidana” lebih baik daripada “hukuman”.
9
2. Tujuan Pemidanaan
Penghukuman merupakan
tindakan untuk memberikan tindakan penderitaan terhadap pelaku kejahatan
sebanding atau lebih berat dari akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan kejahatan
tersebut, apakah penghukuman berupa hukuman penjara atau bersifat
penderitaan.
Untuk memahami pergeseran orientasi pemidanaan yang terjadi dalam
hukum pidana, berikut ini akan dikemukakan secara singkat berbagai aliran yang
berkembang dalam hukum pidana yang melandasi adanya pergeseran tersebut.
a) Aliran Klasik
Aliran ini merupakan reaksi terhadap kesewenang-wenangan penguasa
(ancient regime) pada abad ke-18 di Perancis yang banyak menimbulkan
ketidakpastian hukum, ketidaksamaan hukum dan ketidakadilan.
Adapun beberapa ciri khas yang terdapat pada aliran ini, di antaranya:10
1) Menghendaki hukum pidana tertulis yang tersusun sistematik dan
menjamin adanya kepastian hukum;
8
Roeslan Saleh, StelselPidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, 1987, hal. 27
9
Abdulsyani, Sosiologi Kriminal, Remadja Karya, Bandung, 1987, hal. 36.
10
2) Membatasi kebebasan hakim dalam menetapkan jenis pidana dan
ukuran pemidanaan, sehingga dikenal sistem definite sentence yang
sangat kaku/rigit;
3) Menganut pandangan indeterminisme yang berarti bahwa setiap
orang/individu bebas untuk menentukan apa yang akan dilakukan
(kebebasan kehendak manusia);
4) Perumusan undang-undang bersifat melawan hukum, merupakan
titik sentral. Tindakan/perbuatan disini bersifat absrak dan dilihat
secara yuridik belaka, terlepas dari pelakunya, sehingga
mengabaikan individualisasi dalam penerapan pidana.Karenanya
dapat disebut Hukum Pidana Tindakan (Daad-Strafrecht):
5) Berpatokan kepada justice model, sebab sangat memperhatikan
aspek keadilan bagi masyarakat, sehingga tidak menilai keadaan
diri pribadi pelaku;
6) Pidana bersifat pembalasan (punishment should fit the crime) dan
dilaksanakan dalam equal justice;
7) Dengan perhatian terhadap hak asasi manusia yang demikian,
aliran ini mengutamakan perlindungan/jaminan terhadap
kepentingan individu (yang sudah banyak dikorbankan).
b) Aliran Modern
Aliran ini timbul pada abad ke-19 dan dikenal sebagai Aliran Positif,
dan bermaksud untuk langsung mendekati dan mempengaruhi penjahat secara
positif sejauh ia masih dapat diperbaiki. Adapun beberapa ciri aliran ini ialah :11
1) Dipengaruhi oleh perkembangan ilmu-ilmu kemasyarakatan seperti
sosiolagi, antropologi dan kriminologi;
2) Mengakui bahwa perbuatan seseorang dipengaruhi watak dan
pribadinya, faktor faktor biologis maupun lingkungan
kemasyarakatannya (sosiologis);
3) Berpandangan determinisme karena manusia dipandang tidak
mempunyai kebebasan kehendak, tetapi dipengaruhi oleh watak dan
lingkungannya sehingga tidak dapat dipersalahkan atau
dipertanggungjawabkan;
4) Memberikan keleluasaan bagi hakim untuk menjatuhkan sanksi
pidana (indeterminate sentence), sebab bertolak dari pandangan
punishment should fit the criminal;
5) Menolak adanya pembalasan berdasarkan kesalahan yang subjektif.
Pertanggungjawaban seseorang berdasarkan kesalahan harus diganti
dengan sifat berbahayanya si pelaku (etat dangereux);
6) Bentuk pertanggungjawaban kepada si pelaku lebih bersifat tindakan
untuk perlindungan masyarakat. Kalau toh pidana digunakan istilah
pidana, maka harus tetap diorientasikan pada sifat-sifat si pelaku.
Jadi aliran ini menghendaki adanya individualisasi pidana yang
bertujuan untuk mengadakan resosialisasi si pelaku.
11
Setelah Perang Dunia II Aliran Modern berkembang menjadi Aliran Social
Defence (Gerakan Perlindungan Masyarakat) dengan pelopor Filippo Gramatica
dan Marc Ancel. Selanjutnya aliran ini terbagi menjadi dua kelompok setelah
diadakan The Second International Social Defence pada tahun 1949, yaitu :12
Konsepsi ini dipelopori oleh Marc Ancel, dengan menamakan alirannya
“Defence Social Nouvelle” (New Social Defence) dengan pokok-pokok pemikiran
sebagai berikut :
a) Konsepsi Radikal (Ekstrim)
Tokohnya adalah Fillipo Gramatica; Salah satu tulisannya yang
mengandung kontraversi berjudul “La lotta contra pena” (The fight against
punishment). Ia berpandangan bahwa hukum perlindungan sosial harus
menggantikan hukum pidana yang ada sekarang, menghapus konsep
pertanggungjawaban pidana (kesalahan) dan menggantinya dengan pandangan
tentang anti sosial. Tujuan dari Hukum perlindungan sosial ialah
mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan
pemidanaan terhadap perbuatannya. Pada prinsipnya ia menolak konsepsi
mengenai pidana, penjahat dan pidana.
b) Konsepsi Moderat (Reformist)
13
12
Ibid, hal. 35-36.
13
Ibid, hal. 36 – 38.
(b) Kejahatan merupakan masalah kemanusiaan dan masalah sosial (a human and social problem) yang tidak begitu saja mudah dipaksa untuk dimasukkan ke dalam perumusan suatu perundang-undangan;
(c) Kebijaksanaan pidana bertolak pada konsepsi pertanggungjawaban pribadi (individual responsibility) yang menjadi kekuatan penggerak utama dari proses penyesuaian sosial. Pertanggungjawaban pribadi ini menekankan pada kewajiban moral individu ke arah timbulnya moralitas sosial.”
c) Aliran Neo Klasik
Pengaruh perkembangan kesadaran hukum masyarakat mengakibatkan
Aliran Klasik yang rigit mulai ditinggalkan dengan timbulnya Aliran Neo Klasik.
Aliran ini menitikberatkan pada pengimbalan/pembalasan terhadap kesalahan si
pelaku. Dalam pemidanaan memberikan kewenangan kepada hakim untuk
menetapkan pidana penjara antara minimum dan maksimum yang telah ditetapkan
(the indefinite sentence). Aliran Neo Klasik dipandang ileh pelbagai negara sangat
manusiawi dan menggambarkan perimbangan kepentingan secara proporsional.
Ciri-ciri pokok aliran ini adalah :14
1) Modifikasi doktrin kebebasan kehendak atas dasar usia, patologi dan
lingkungan;
2) Asas pengimbalan/pembalasan (vergelding) dari kesalahan si pelaku. Pidana
secara konkrit tidak dikenakan dengan maksud untuk mencapai suatu
hasil/tujuan yang bermanfaat melainkan setimpal dengana beratnya kesalahan
yang dilakukan. Oleh karena itu aliran ini disebut sebagai Daad-dader
Strafrecht;
3) Menggalakkan kesaksian ahli (expert testimony);
4) Pengembangan hal-hal yang meringankan dan memperberat pemidanaan;
14
5) Pengembangan twintrack-system / double track system / zweispurig keit/
“sistem dua-jalur”. yakni pidana dan tindakan;
6) Perpaduan antara Justice Model dan perlindungan terhadap hak-hak
terdakwa-terpidana termasuk pengembangan non-institusional treatment (Tokyo Rules)
dan dekriminalisasi serta depenalisasi.
Memang keberadaan aliran-aliran dalam ilmu hukum pidana itu tidak
bermaksud mencari dasar hukum atau pembenar dari pidana, tetapi harus diakui
bahwa pertentangan paham aliran-aliran tersebut telah mempunyai pengaruh
secara praktis, baik di dalam pemilihan dari sarana-sarana pemidanaan maupun di
dalam pengaturan dan penerapannya; atau menurut istilah Muladi dan Barda
Nawawi Arief,15
Sementara itu pada tataran teoritis mengenai pemidanaan Muladi dan
Barda Nawawi Arief menulis, bahwa secara tradisional teori-teori pemidanaan
pada umumnya dapat dibagi dalam dua kelompok, yakni :
bermaksud memperoleh suatu sistem hukum pidana yang praktis
dan bermanfaat.
16
Di samping pembagian secara tradisional teori-teori pemidanaan seperti
disebut di atas, ada teori ketiga yang disebut teori gabungan (verenegings
theorien)
a. Teori absolut atau teori pembalasan (retributive/vergeldings theorie);
b. Teori relatif atau teori tujuan (utilitarian/doeltheorien).
17
15
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hal.25
16
Ibid, hal. 9 – 10.
17 Ibid.
Selanjutnya di bawah ini akan dikemukakan beberapa prinsip-prinsip
dasar yang dikemukakan oleh teori-teori tentang pemidanaan tersebut, sebagai
a. Teori Absolut atau teori pembalasan (retributive/vergeldings theorie);
Teori ini berkembang pada akhir abad ke-18, dianut antara lain oleh
Immanuel Kant, Hegel, Herbart, Stahl, Leo Polak dan beberapa sarjana yang
mendasarkan teorinya pada filsafat Katolik dan sudah tentu yang para sarjana
Hukum Islam mendasarkan teorinya pada ajaran Kisas dalam Alquran. Teori
absolut mencari dasar pembenar pidana dengan memandang ke masa lampau,
yaitu memusatkan argumennya pada tindak pidana yang sudah dilakukan. Pidana
diberikan karena pelaku tindak pidana harus menerima pidana itu demi
kesalahannya. Pidana menjadi retribusi yang adil bagi kerugian yang sudah
diakibatkan. Demi alasan itu, pidana dibenarkan secara moral.18
Mengomentari pemikiran Kant tentang tuntutan keadilan yang sifatnya
absolut atau yang kemudian dikenal dengan “de Ethische Vergeldingstheorie”,
Yong Ohoitimur mengatakan, pandangan Kant tersebut berada dalam konteks
etika deontologis yang mempunyai landasan pada otonomi moral yang harus
dihargai. Pelanggaran-pelanggaran hukum yang muatannya identik dengan
penyimpangan imperative kategoris, menurut keyakinan Kant, merupakan
pelecehan terhadap martabat luhur manusia yang otonom. Itu berarti, setiap
tindakan yang memperlakukan orang lain sebagai sarana atau objek belaka,
misalnya untuk kepentingan diri atau kelompok sendiri secara eksklusif, dan atas
cara itu melanggart otonomi dan membatasi kebebasannya, patut dihukum demi
keadilan.19
18
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Bineka, Jakarta, 1994, hal. 31.
19
Yong Ohoitimur, Teori Tentang Hukuman Legal.,Pusat Pengembangan Etika Universitas Atma Jaya, Jakarta, 1997, hal. 8.
Tokoh lain Teori absolute, yaitu Hegel berpendapat bahwa hukum atau
keadilan merupakan kenyataan, maka apabila orang melakukan kejahatan atau
tindak pidana itu berarti ia menyangkal adanya hukum atau keeadilan, hal itu
dianggap tidak masuk akal. Dengan demikian keadaan menyangkal keadilan itu
harus dilenyapkan dengan ketidak adilan pula, yaitu dengan dijatuhkan pidana
karena pidana itu merupakan suatu ketidakadilan. Cara berpikir yang demikian ini
adalah dialektis sehingga teorinya dinamakan “de Dialectiche
Vergeldingstheorie”.20
Herbert mempunyai jalan pemikiran bahwa apabila orang yang melakukan
tindak pidana berarti ia menimbulkan rasa tidak puas kepada masyarakat. Dalam
hal terjadi tindak pidana maka masyarakat itu harus diberikan kepuasan dengan
cara menjatuhkan pidana sehingga rasa puas dapat dikembalikan lagi. Cara
berpikir demikian ini mempergunakan pokok pangkal aesthetica, maka teorinya
dinamakan “de Aesthitiche Vergeldingstheori”.21
Pertama, bahwa perbuatan yang tercela itu harus bertentangan dengan etika,
Kedua, bahwa pidana tidak boleh meperhatikan apa yang mungkin akan terjadi
(prevensi) melainkan hanya memperhatikan apa yang sudah terjadi; dan Ketiga,
bahwa penjahat tidak boleh dipidana secara tidak adil, berarti beratnya pidana
harus seimbang/tidak kurang tetapi juga tidak lebih dengan beratnya delik Teori pembalasan yang menarik perhatian adalah persyaratan yang
diajukan oleh Leo Polak bahwa pidana harus mempunyai tiga syarat, yaitu :
20
Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Yogyakarta,1994, hal. 28.
“verdiend leed”. Teori Leo Polak ini dikenal dengan “het leer der objectieve
betreurens-swaardigheid atau objectieveringstheorie.22
Teori ini memberikan dasar pemikiran bahwa dasar hukum dari pidana
adalah terletak pada tujuan pidana itu sendiri. Pidana itu mempunyai tujuantujuan
tertentu, maka harus dianggap di samping tujuan lainnya terdapat tujuan pokok
berupa mempertahankan ketertiban masyarakat.
b Teori relatif atau teori tujuan (utilitarian / doeltheorien).
Teori relatif ini bertentangan dengan teori pembalasan/retributif yang
memandang ke belakang, yaitu pada tindak pidana yang telah dilakukan, maka
teori relatif/utilitarian memusatkan perhatian pada konsekuensi-konsekuensi di
masa depan dari suatu pidana.
23
Tujuan pokok pidana yang hendak dicapai adalah pencegahan yang
ditujukan kepada khalayak ramai/kepada semua orang agar supaya tidak
melakukan pelanggaran terhadap ketertiban masyarakat. Menurut Vos, bentuk
teori prevensi umum yang paling lama berwujud pidana yang ada mengandung
sifat menjerakan/menakutkan dengan pelaksanaan di depan umum yang Dengan demikian, pidana
bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang
yang melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu
yang bermanfaat.
Mengenai cara mencapai tujuan pidana, di dalam teori relatif atau tujuan
ini ada beberapa aliran-aliran :
a) Prevensi umum (Generale preventie)
22 Ibid.
23
diharapkana menimbulkan suggestieve terhadap anggota masyarakat yang lainnya
agar tidak berani melakukan kejahatan lagi. Jadi anggota masyarakat lain dapat
ditakutkan, perlu diadakan pelaksanaan pidana yang menjerakan dengan
dilaksanakan di depan umum. Pelaksanaan yang demikian menurut teori ini
memandang pidana sebagai suatu yang terpaksa perlu “noodzakelijk” demi untuk
mempertahan ketertiban masyarakat.24
Selain aliran yang menakut-nakuti (afschrikkingstheorieen) di atas, dikenal
pula aliran/teori ‘tekanan (paksaan) psikologis’ (theori van de psychologische
dwang) yang dikembangkan oleh Anselm von Feurbach. Dasar pemikiran teori
ini, yaitu apabila setiap orang mengerti dan tahu bahwa melanggar peraturan
hukum itu diancam pidana, maka orang itu mengerti dan tahu juga akan dijatuhi
pidana atas kejahatan yang dilakukan. Dengan demikian tindak pidana dapat
dicegah dengan memberikan ancaman-ancaman pidana, agar di dalam jiwa orang
masing-masing telah mendapat tekanan atas ancaman-ancaman pidana.
Keberatan terhadap teori prevensi umum ini ialah dipergunakannya
penderitaan orang lain untuk maksud prevensi umum. Bahkan ada kemungkinan
orang yang tidak bersalah dipidana dengan maksud untuk prevensi umum
tersebut.
25
24 Ibid. 25
Dari teori itu Feurbach telah menurunkan 3 (tiga) buah asas dasar yang
berlaku tanpa kecuali, yaitu “nulla poena sine lege; nulla poena sine crimine dan
nullum crimen sine poena legali”.26
Penganut teori ini antara lain Van Hamel, dengan pendapatnya bahwa
tujuan pidana di samping mempertahankan ketertiban masyarakat (teori tujuan),
juga mempunyai tujuan kombinasi untuk menakutkan (afschrikking),
memperbaiki (verbetering) dan untuk tindak pidana tertentu harus membinasakan
(onschadelijkmaking).
(b) Prevensi khusus (Speciale preventie)
Aliran/teori prevensi khusus mempunyai tujuan agar pidana itu mencegah
si pelaku tindak pidana mengulangi lagi perbuatannya.
27
Bambang Poernomo, menguraikan lebih jauh tentang memperbaiki si
pembuat/pelaku (verbetering van de dader). Tujuan pidana menurut aliran ini
ialah untuk memperbaiki si pelaku tindak pidana agar menjadi manusia yang baik
dengan reclassering. Menjatuhkan pidana harus disertai pendidikan selama
menjalani pidana. Pendidikan yang diberikan terutama untuk disiplin dan selain
itu diberikan pendidikan keahlian seperti menjahit, pertukangan dan lain-lain,
sebagai bekal kemudian setekah selesai menjalankan pidana. Selain itu, dijelaskan
pula cara lain yaitu menyingkirkan penjahat (Onschadelijk maken van de
misdadiger). Adakalanya pelaku-pelaku tindak pidana tertentu karena keadaan
yang tidak dapat diperbaiki lagi dan mereka itu tidak mungkin lagi menerima
pidana dengan tujuan pertama, kedua, dan ketiga karena tidak ada manfaatnya,
26
D. Simons, Leerboek Van Het Nederlanches Strafrecht (Kitab Pelajaran Hukum Pidana) (diterjemahkan P.A.F. Lamintang), Pionir Jaya, Bandung, 1992, hal. 13.
27
maka pidana yang dijatuhkan harus bersifat menyingkirkan dari masyarakat
dengan menjatuhkan pidana seumur hidup atau pun dengan pidana mati.28
Keberatan-keberatan terhadap teori pembalasan dan teori relatif
telahmenimbulkan aliran ketiga yang mendasarkan pada jalan pemikiran bahwa,
Pidana hendaknya didasarkan atas tujuan unsur-unsur pembalasan dan
mempertahankan ketertiban masyarakat, yang diterapkan secara kombinasi
dengan menitik beratkan pada salah satu unsurnya tanpa menghilangkan unsure
yang lain, maupun pada semua unsur yang ada. c. Teori Gabungan (Verenigings theorieen)
29
Penulis yang pertama kali mengajukan teori ini adalah Pallegrino Rossi
(1787-1884). Teorinya disebut teori gabungan karena sekalipun ia tetap
menganggap pembalasan sebagai asas dari pidana dan bahwa beratnya pidana
tidak boleh melampaui suatu pembalasan yang adil, tetapi ia berpendirian bahwa
pidana mempunyai pelbagai pengaruh antara lain perbaikan sesuatu yang rusak
dalam masyarakat dan prevensi general.30
Muladi di dalam disertasi yang telah dibukukan dengan judul “Lembaga
Pidana Bersyarat” pada intinya menyatakan bahwa dalam konteks Indonesia maka
teori pemidanaan yang paling cocok digunakan dalam sistem hukum pidana
Indonesia adalah kombinasi tujuan pemidanaan yang didasarkan pada aspek
sosiologis, ideologis dan yuridis filosofis masyarakat Indonesia sendiri. Teori
28 Ibid.
29
Ibid, hal. 30-31.
30
pemidanaan ini disebut sebagai pemidanaan yang integratif (Kemanusiaan dalam
Sistem Pancasila).31
Tujuan pemidanaan yang demikian didasarkan pada asumsi dasar, bahwa
tindak pidana merupakan gangguan terhadap keseimbangan, keselarasan dan
keserasian dalam kehidupan masyarakat yang mengakibatkan kerusakan
individual dan sosial (individual and social damages) yang diakibatkan oleh
tindak pidana; dan untuk mewujudkan tujuan pemidanaan yang integratif
(kemanusiaan dalam Sistem Pancasila) seperangkat tujuan harus dipenuhi, dengan
catatan, bahwa tujuan manakah yang merupakan titik berat sifatnya kasuistis.
Adapun perangkat tujuan yang dimaksud adalah : (1) pencegahan (umumdan
khusus); (2) perlindungan masyarakat; (3) memelihara solidaritas masyarakat; (4)
pengimbalan/pengimbangan.
32
Pemikiran untuk mengkombinasikan beberapa tujuan pemidanaan
tercermin pula dalam pandangan Barda Nawawi Arief. Bertolak dari konsepsi
bahwa tujuan menetapkan suatu sanksi pidana tidak dapat dilepaskan dari tujuan
politik kriminal secara keseluruhan, yaitu perlindungan masyarakat (social
defence), maka menurut Barda Nawawi Arief, sangatlah tepat apabila ingin
mengetahui tujuan pemidanaan dengan melihat apa yang ingin dicapai pada
aspek-aspek perlindungan masyarakat. Ada empat (4) aspek social defences yang
menentukan tujuan dari pemidanaan, yaitu:
33
31
Muladi , Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, 1992, hal. 61.
32 Ibid. 33
1) Aspek social defence berupa perlindungan masyarakat terhadap kejahatan (perbuatan jahat), maka pemidanaan bertujuan untuk menanggulangi kejahatan;
2) Jika aspek social defence berupa perlindungan terhadap pelaku (orang jahat) yang ingin dicapai, maka tujuan pemidanaan adalah perbaikan si pelaku (merubah tingkah laku);
3) Apabila aspek social defence berupa perlindungan terhadap sanksi/reaksi yang hendak dicapai, maka tujuan pemidanaan adalah mengatur atau membatasi kesewenang-wenangan penguasa dan warga masyarakat;
4) apabila aspek social defence berupa keseimbangan kepentingan / nilai yang terganggu yang ingin dicapai, maka tujuan pemidanaan tidak lain untuk memelihara atau memulihkan masyarakat.
Satu hal yang patut dicatat berkaitan dengan perkembangan teori
pemidanaan tersebut adalah adanya pergeseran orientasi pemidanaan dari prinsip
“menghukum” yang cenderung mengabaikan aspek hak asasi manusaia ke arah
gagasan/ide “pembinaan” (treatment) yang lebih menghargai dan menjunjung
tinggi hak asasi manusia.
Menanggapi adanya pergeseran (perkembangan) tentang tujuan
pemidanaan tersebut Stanley E. Grupp menyatakan, bahwa kelayakan suatu teori
pemidanaan tergantung pada anggapan-anggapan seseorang terhadap hakekat
manusia; informasi yang diterima seseorang sebagai ilmu pengetahuan yang
bermanfaat; macam dan luas pengetahuan yang dirasakan seseorang mungkin
dicapai; penilaian terhadap persyaratapersyaratan untuk menerapkan teori tertentu,
dan kemungkinan-kemungkinan yang benar-benar dapat dilakukan untuk
menekan persyaratan-persyaratan tersebut.34
Keengganan untuk memahami, apalagi mendalami aliran-aliran hukum
pidana dan teori-teori pidana dan pemidanaan di kalangan para pemegang
34
kebijakan legislatif, hakim dan mereka yang terlibat dalam criminal justice
system, terlebih kalangan akademisi, niscaya akan menjadikan hukum hukum
pidana itu sendiri mengalami stagnasi dalam mengantisipasi perkembangan
kehidupan masyarakat. Meskipun hukum pidana itu bersifat normatif sistematis,
keberadaannya tak dapat melepaskan diri dari fenomena perubahan dan
perkembangan masyarakatnya. Selain itu studi ilmu hukum positif tanpa filsafat
(hukum) akan menjadi tidak berisi dan tidak lengkap.35
Teori pidana mana yang dianut, sudah pasti akan membawa hasil yang
berbeda. Namun yang terpenting , ketiadaan tujuan pemidanaan yang dinyatakan
secara tegas dan formal dalam hukum pidana materiil/substantive potensial
menciptakan fragmentasi penerapan hukum pidana, karena persepsi
masing-masing tahap pemidanaan (tahap legislatif, tahap yudikatif dan tahap
eksekutif/administratif) akan menjadi subjektif; dan hal ini erat kaitannya dengan
latar belakang sosial yang bersangkutan. Yang berpandangan pembalasan merasa
mendapat legitimasi dari undang-undang yang sudah ketinggalan Dari uraian di atas, tersimpul pendapat bahwa pandangan, pengetahuan
serta nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat sangat menentukan di dalam
memilih serta merumuskan hakekat pidana dan pemidanaan. Dengan demikian
maka timbul suatu pertanyaan sejauh mana aliran-alian dalam hukum pidana dan
teori-teori pemidanaan berpengaruh pada kebijakan legilatif dalam menetapkan
tujuan pemidanaan yang hendak digariskan di dalam sistem
operasionalisasi/fungsionalisasi hukum pidana?
35
jaman.sedangkan mereka yang berpandangan maju akan bertindak ragu-ragu
karena tidak memiliki legalitas formal.
F. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum yaitu dengan
pengumpulan data yang berkaitan dengan permasalahan yang kemudian
mengadakan analisa terhadap masalah yang dihadapi tersebut.
1. Jenis penelitian
Penulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Penelitian
hukum normatif, dilakukan melalui kajian terhadap peraturan
perundang-undangan buku-buku dan data-data yang berkaitan dengan pidana denda dan
pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek.
2. Jenis Data dan Sumber Data
Adapun jenis data dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini
antara lain :
a. Bahan hukum primer, yang diperoleh dari peraturan
perundang-undangan, yang bersifat mengikat dan disahkan oleh pihak yang
berwenang.
b. Bahan hukum sekunder, bahan hukum yang menunjang bahan
hukum primer seperti buku-buku dan literarur-literatur yang
berkaitan dengan persoalan yang dikaji.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk
dengan kata lain bahan hukum tambahan seperti kamus bahasa
Indonesia.
3. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini, adalah :
a)Library Research, yaitu penelitian kepustakaan seperti melakukan
inventarisasi terhadap peraturan perundang-undangan dan dokumen
serta literatur yang berkaitan dengan persoalan yang dikaji.
b)Field Research, yaitu penelitian lapangan, yang dilakukan melalui
wawancara terhadap responden. (Hakim Pengadilan Negeri Stabat,
Pejabat Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tanjung Gusta, dan Dosen
Fakultas Hukum USU).
4. Analisis Data
Analisa data dalam penulisan ini digunakan data kualitatif, yaitu suatu
analisis data secara jelas serta diuraikan dalam bentuk kalimat sehingga diperoleh
gambaran yang jelas yang berhubungan dengan skripsi ini dalam hal ini.
G. Sistematika Penulisan
Secara sistematik, organisasi penelitian dan penulisan skripsi ini,
dirumuskan sebagai berikut :
Bab I, yang berjudul PENDAHULUAN, terdiri atas sub-sub bab yang datangnya
dari penulis, terhadap topik dan atau pokok persoalan yang akan diteliti
dan dibahas. Sub-sub bab yang dimaksud adalah : Latar Belakang
Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode penelitian dan terakhir
Sistematika Penulisan.
Bab II, yang berjudul EKSISTENSI PIDANA DENDA DALAM HUKUM
POSITIF DI INDONESIA, yang berisikan mengenai bab-bab
pembahasan, yang merupakan pokok permasalahan yang dibahas dalam
skripsi dan terorganisir dalam beberapa bab yang tersusun secara logis,
yang terdiri atas sub-sub bab : Pidana Denda di Dalam KUHP Indonesia,
Pidana Denda di Undang-Undang di Luar KUHP Indonesia dan terakhir
Pengaturan Pidana Denda dalam Rancangan KUHP Indonesia.
Bab III, yang berjudul PIDANA DENDA SEBAGAI ALTERNATIF PIDANA
PERAMPASAN JANGKA PENDEK DI MASA MENDATANG, yang
berisikan uraian-uaraian mengenai pokok permasalahan yang menitik
beratkan kepada bagaimana peluang penerapan pidana denda sebagai
alternatif dari pidana perampasan jangka pendek yang didasrkan dari
permasalahan penerapan pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek
dan kelemahan maupun keuntungan penerapan pidana denda. Terdiri dari
sub-sub bab : Permasalahan Penerapan Pidana Perampasan Kemerdekaan
Jangka Pendek di Indonesia, Kelemahan dan Keuntungan Penerapan
Pidana Denda Sebagai Alternatif Pidana Perampasan Jangka Pendek di
Indonesia dan terakhir Peluang Penerapan Pidana Denda Sebagai
Bab IV, yang berjudul KESIMPULAN DAN SARAN, yang berisikan
kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian terhadap
permasalahan-permasalahan yang ada dan saran-saran penulis dari hasil
penelitian untuk perbaikan hukum kedepan khususnya yang berhubungan
dengan pidana denda dan pidana perampasan kemerdekaan. Terdiri dari
BAB II
EKSISTENSI PIDANA DENDA DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA
A. Pidana Denda di Dalam KUHP Indonesia
Pasal 10 KUHP menempatkan pidana denda di dalam kelompok pidana
pokok sebagai urutan trakhir atau keempat, sesudah pidana mati, pidana penjara
dan pidana kurungan.
Mulai Pasal 104 sampai Pasal 488 untuk kejahatan (buku II),
perumusannya pidananya adalah pidana penjara tunggal, pidana penjara dengan
alternatif denda, pidana kurungan tunggal, pidana kurungan dengan alternatif
denda, dan pidana denda yang diancamkan secara tunggal.
Keseluruhan pasal dan ayat ancaman pidana yang dirumusan dalam KUHP
diperoleh kompisisi yang dituangkan dalam Tabel 1 sebagai berikut :
Tabel 1
Perbandingan Jumlah Pidana Penjara ; Penjara atau Denda ; dan Pidana Denda (Buku II KUHP) 36
4) 9 bulan = membujuk tentara agar melarikan diri (236); perkelahian satu lawan satu (184); 5) 1 tahun 4 bulan =
8) Seumur hidup atau 20 tahun (sangat berat)
Dilihat dari prosentase penentuan pidana antara pidana penjara, alternatif
penjara dan denda, serta denda tunggal, yang ditentukan dalam buku II (dari
Pasal 104 sampai Pasal 488), dapat dilihat dari table 2 dibawah ini :
Tabel 2
Prosentase Pidana Penjara, Penjara atau Denda, dan Denda Tunggal (Buku II) 37
Penentuan Pidana Prosentase
Pidana penjara tunggal = 296 Pasal 68, 67 % Alternatif pidana penjara atau denda = 133 Pasal 30, 85 %
Pidana denda tunggal 0,45 %
Dilihat dari persentase penentuan pidana antara pidana kurungan, alternatif
kurungan dan denda, serta denda tunggal, yang ditentukan dalam buku III, dapat
dilihat dalam tabel 5 di bawah ini (Pasal 489 sampai Pasal 596) :
37
Tabel 3
Persentase Pidana Kurungan atau Denda, dan Denda Tunggal (Buku III) 38
Penetuan Pidana Prosentase
Pidana kurungan tunggal = 6 Pasal
Alternatif pidana kurungan atau denda = 34 Pasal Pidana denda tunggal = 40 Pasal
7,5 % 42,5 % 50 %
Jika diperbandingkan dengan jumlah yang ditentukan dalam Buku II dan
Buku III mengenai bobot jenis pidana penjara dan denda (juga kurungan) tampak
secara signifikan bahwa pidana penjara diutamakan untuk menghukum pelaku
tindak pidana kejahatan. Jumlah 465 Pasal , yang dimulai dari Pasal 104 sampai
Pasal 569 menunjukkan bahwa terdapat 296 Pasal ancaman penjara tunggal, 6
Pasal kurungan tunggal (pelanggaran), 2 Pasal denda tunggal (untuk kejahatan),
40 Pasal pidana denda tunggal (pelanggaran), 133 Pasal altenatif pidana penjara
atau denda, dan 34 altenatif pidana kurungan atau denda. Dari keseluruhan jumlah
di atas dapat dilihat bahwa pidana penjara, termasuk pidana penjara yang
dialtenatifkan dengan pidana denda, masih dominan, yakni berjumlah 296 penjara
tunggal dan 133 alternatif penjara atau denda. Yang terakhir ini tergantung
pertimbangan hakim apakah akan dijaratuhkan pidana penjara atau pidana denda.
Dari dominasi penentuan pidana penjara di atas, Barda Nawawi Arief,
dalam Disertasinya berangkat dari pernyataan mengenai efektivitas pidana penjara
itu sendiri. Dikatakan oleh Barda Nawawi Arif sebagai berikut : 39
“Seberapa jauhkah pidana penjara benar-benar memperbaiki si pelaku tindak pidana dan dengan demikian dapat mencegahnya untuk melakukan tindak pidana lagi ? jadi soalnya terletak pada masalah efektivitas pidana penjara itu sendiri. Inilah yang sering dijadikan salah satu tolak ukur pula
38 Ibid. 39
untuk memberikan dasar pembenaran pada satu sanksi pidana dilihat sebagai suatu sarana yang rasional dari politik kriminal. Dengan demikian, ukuran rasionalitas diletakkan pada keberhasilan suatu sarana dalam mencapai tujuannya. Apabila dikatakan bahwa tujuan politik kriminal adalah untuk mencegah atau mengulangi terjadinya kejahatan itu. Jadi ukuran rasional tidak diletakkan pada adanya persesuaian antara sarana itu dengan tujuan, tetapi diletakkan pada keberhasilan atau efektivitas sarana dalam mencapai tujuan. Menentukan dasar pembenaran pidana penjara dilihat sudut efektivitasnya ini merupakan suatu pendekatan pragmatis yang memang memang perlu dipertimbangkan dalam setiap langkah kebijakan. Namun persoalannya, seberapa jauhkan efektivitas pidana penjara itu dapat dibuktikan dan dengan demikian dapat dijadikan sebagai tolok ukur untuk memberikan dasar pembenaran. Apabila efektivitas dititikberatkan pada aspek perlindungan masyarakat, maka suatu pidana dikatakan efektif apabila pidana itu sejauh mungkin dapat dicegah atau mengurangi terjadinya kejahatan. Jadi kriteria efektivitas dilihat dari seberapa jauh frekuensi kejahatan itu dapat ditekan, baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Apabila ukuran efektivitas pidana dilihat dari dari aspek perbaikan pada pelaku, maka suatu pidana efektif apabila pidana itu sebanyak mungkin dapat mengubah si pelaku menjadi orang yang baik. Jadi kriteria efektivitas dilihat terutama dari aspek prevensi spesialisnya. Dalam hal demikian, menjadi pentinglah perbandingan antara jumlah yang tidak mengulangi lagi perbuatan jahatnya (residivis) dengan jumlah yang menguangi lagi. Jadi ada tidaknya residivis merupakan indikator yang menonjol untuk mengukur efektivitas pidana”.
Jadi dalam hal ini pidana denda diancamkan, dan sering kali sebagai
altenatif dengan pidana kurungan terhadap hampir semua “pelanggaran”
(overtredingen) yang tercantum dalam Buku III KUHP. Terhadap semua
kejahatan ringan, pidana denda itu diancamkan sebagai alternatif dengan pidana
penjara. Demikian juga terhadap bagian terbesar kejahatan-kejahatan yang tidak
dilakukan dengan sengaja. Alternatif lain adalah dengan pidana kurungan. Pidana
denda itu jarang sekali diancamkan terhadap kejahatan-kejahatan yang lain.40
40
Menurut Niniek Suparni perbedaan antara kurungan dan denda yang
ditentukan baik sebagai kejahatan maupun pelanggaran dapat diuraikan sebagai
berikut :41
a. Pidana kurungan
1) Untuk kejahatan, maksimum ancaman pidana kurungan yang paling rendah adalah satu bulan dan yang paling tinggi satu tahun empat bulan, sedangkan untuk pelanggaran, maksimum yang paling rendah adalah tiga hari dan yang paling tinggi hanya satu tahun;
2) Untuk kejahatan, ancaman pidana kurungan yang paling banyak diancamkan secara berturut-turut adalah maksimum satu tahun (37,15%), enam bulan (22,86%), dan tiga bulan (17, 14%), sedangkan untuk pelanggaran yang paling banyak diancamkan adalah maksimum tiga bulan ke bawah, yakni berkisar antara tiga hari sampai tiga bulan. Hanya ada dua tindak pidana pelanggaran yang masing-masing diancam dengan pidana kurungan maksimum enam bulan dan satu tahun.
b. Pidana denda
1) Untuk kejahatan, maksimumnya berkisar antara Rp. 900,- (dulu 60 Gulden) dan Rp. 150.000,- (dulu 10.000 Gulden), sedangkan untuk pelanggaran berkisar antara maksimum Rp. 225 (dulu 15 Gulden) dan Rp. 75.000,- (dulu 5.000 Gulden);
2) Maksimum ancaman pidana denda yang paling banyak diancamkan untuk kejahatan adalah denda sebesar Rp. 4.500,- (dulu 300 Gulden), sedangkan untuk pelanggaran yang paling banyak adalah pidana denda sebesar Rp. 375,- (dulu 25 Gulden) dan Rp. 4.500,- (dulu 300 Gulden);
3) Dalam hal pidana denda diancamkan secara tunggal untuk tindak pidana kejahatan, maksimum mencapai Rp. 150.000,- (dulu 10.000 Gulden), sedangkan untuk pelanggaran maksimumnya hanya Rp. 75.000,- (dulu 5.000 Gulden).
Pengaturan pidana denda dalam KUHP ditentukan dalam Pasal 10 jo.
Pasal 30. Pasal 30 mengatur mengenai pola pidana denda. Ditentukan bahwa
banyaknya pidana denda sekurang-kurangnya Rp. 3,75 sebagai ketentuan
minimum umum.42
41
Suhariyono AR, Op. Cit., hal. 174.
42
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, Penerbit Politea, Bogor, hal. 10 – 18.
Jika dijatuhkan pidana denda, dan pidana denda tidak dibayar, maka
diganti dengan pidana kurungan. Lamanya pidana kurungan pengganti tersebut
sekurang-kurangnya satu hari dan paling lama 6 bulan. Dalam putusan hakim,
lamanya pidana kurungan pengganti ditetapkan sebagai berikut:
a. Jika pidana dendanya Rp. 7,50,- atau kurang, dihitung satu hari;
b. Jika lebih dari Rp. 7,50,- tiap-tiap Rp. 7,50,- dihitung paling banyak
satu hari, demikian pula sisanya yang tidak cukup Rp. 7,50,-
Lebih lanjut ditentukan bahwa jika ada pidana denda disebababkan karena
perbarengan atau pengulangan, atau karena ketentuan Pasal 52, maka pidana
kurungan pengganti paling lama 8 bulan. Pidana kurungan pengganti sekali-kali
tidak boleh lebih dari 8 bulan. Terpidana dapat menjalani pidana kurungan
pengganti tanpa menunggu batas waktu pembayaran denda. Pada dasarnya,
terpidana dapat mengurangi pidana kurungannya dengan membayar dendanya.
Pembayaran sebagian dari pidana denda, baik sebelum maupun sesudah mulai
menjalani pidana kurungan pengganti, membebaskan terpidana dari sebagian
pidana kurungan yang seimbang dengan bagian yang dibayarnya.
Mengenai pidana denda oleh pembuat undang-undang tidak ditentukan
suatu batas maksimum yang umum. Dalam tiap-tiap pasal dalam KUHP yang
bersangkutan ditentukan batas maksimum (yang khusus) pidana denda yang dapat
ditetapkan oleh Hakim.
Pidana kurungan pengganti dilaksanakan pada waktu dijatuhkan pidana
denda yang oleh hakim diputus yang sekaligus ditentukan pula berapa hari pidana
dibayar. Pidana pengganti ini disebut pula kurungan subside yang lamanya
minimum satu hari dan maksimum 6 bulan. Waktu 6 bulan dapat dilampaui
sampai 8 bulan dalam hal gabungan peristiwa pidana, pengulangan (residif), dan
karena Pasal 52 di atas.
Cara penghitungan pidana pengganti adalah putusan denda Rp. 7,50,- atau
kurang dihitung sama dengan 1 hari kurungan, sedangkan putusan lebih dari Rp.
7,50,- adalah setiap Rp. 7,50,- dan kelebihannya tidak lebih dari 1 hari. Setiap
pidana denda Rp. 10,- yang dijatuhkan, misalnya, maka pidana yang dijatuhkan
tidak dapat ditentukan kurungan pengganti denda lebih lama dari pada 2 hari.
Karena jumlah-jumlah pidana denda baik dalam KUHP maupun dalam
ketentuan-ketentuan pidana lainnya yang dikeluarkan sebelum tanggal 17 Agustus
1945 adalah tidak sesuai lagi dengan sifat tindak pidana yang dilakukan,
berhubung ancaman pidana denda itu sekarang menjadi terlalu ringan jika
dibandingkan dengan nilai mata uang pada waktu kini, sehingga jumlah-jumlah
itu perlu di perbesar/dipertinggi. Maka telah diundangkan Peratutan pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 18 Tahun 1960, yang dalam Pasal 1 ayat (1)
nya menentukan bahwa :43
43
Niniek Suparni, Op. Cit., hal. 51.
Jadi, denda tertinggi yang disebut dalam KUHP dalam Pasal 403 yaitu
Rp.1000,- sekarang menjadi Rp. 15.000,-
Ayat (2) menentukan bahwa :44
44 Ibid.
“Ketentuan dalam ayat (1) tidak berlaku terhadap jumlah pidana denda dalam ketentuan-ketentuan tindak pidana yang telah dimasukkan dalam tindak pidana ekonomi”.
Seperti disinggung di awal bahwa berbeda dengan halnya batas maksimum
umum pidana denda, maka KUHP menentukan satu batas minimum yang umum
pidana denda, yaitu 25 sen (Pasal 30 ayat (1) ). Mengingat Peraturan Pengganti
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1960, maka batas minimum yang umum denda
itu sekarang menjadi : 15 x 25 sen = Rp 3,75 (tiga rupiah tujuh puluh lima sen).
Pidana denda sebagai alternatif pidana perampasan kemerdekaan jangka
pendek yang merupakana jenis pidana pokok yang paling jarang dijatuhkan oleh
para Hakim, khususnya dalam peraktek peradilan di Indonesia.
Sejak 1960 sampai sekarang, belum ada ketentuan yang menyesuaikan
mengenai ukuran harga barang yang telah meningkat dalam perekonomian di
Indonesia. Hal inilah yang kemudian dijadikan alasan bagi penegak hukum untuk
menerapkan pidana hilang kemerdekaan, dibandingkan dengan pemberian pidana
denda.
Untuk kejahatan, maksimumnya berkisar antara Rp. 900,- sampai dengan
Rp. 150.000,-, Maksimum ancaman pidana denda sebesar Rp. 150.000,- untuk
kejahatan itu pun hanya terdapat dalam dua Pasal saja, yaitu dalam Pasal 251
Untuk pelanggaran, denda maksimum berkisar antara Rp. 225,- sampai
dengan Rp. 75.000,-. Namun yang terbanyak hanya terdapat untuk dua jenis
pelanggaran saja yaitu yang terdapat dalam Pasal 568 dan Pasal 569 KUHP.
Sementara itu dalam perkembangan di luar KUHP, terdapat
kecenderungan untuk meningkatkan jumlah ancaman pidana denda.
Namum demikian di sisi lainnya kebijakan-kebijakan meningkatkan
jumlah pidana denda tersebut tidaklah dibarengi dengan kebijakan lain yang
berhubungan dengan pelaksanaan pidana denda, di mana untuk pelaksanaannya
adalah tetap terikat pada ketentuan umum dalam Pasal 30 dan Pasal 31 KUHP.
Menurut ketentuan yang tedapat dalam Pasal 30 KUHP, tidak ada
ketentuan batas waktu yang pasti kapan denda itu harus dibayar. Di samping itu
tidak ada pula ketentuan mengenai tindakan tindakan lain yang dapat menjamin
agar terpidana dapat dipaksa untuk membayar dendanya, misalnya dengan jalan
merampas atau menyita harta benda atau kekayaan terpidana.
Menurut sistem KUHP, alternatif yang dimungkinkan dalam hal terpidana
tidak mau membayar denda tersebut, hanyalah dengan mengenakan kurungan
pengganti. Padalah kurungan pengganti yang dimaksudkan dalam Pasal 30 KUHP
hanya berkisar antara 6 (enam) bulan atau dapat menjadi paling lama 8 (delapan)
bulan.
B. Pidana Denda di Undang-Undang di Luar KUHP Indonesia
Sebagaimana dipahami, undang-undang di luar KUHP pada dasarnya
hanya melengkapi perbuatan atau tindak pidana yang di dalam KUHP belum
hal ini merupakan pembuka jalan bagi pembentuk undang –udang di luar KUHP
untuk menyimpangi atau mengecualikan dari hal-hal yang secara umum diatur di
dalam Buku I KUHP, termasuk pengaturan mengenai pidana denda.
Pasal 103 KUHP menyebutkan bahwa ketentuan ketentuan dalam Bab I
sampai dengan Bab VIII juga berlaku bagi perbuatan perbuatan yang oleh
ketentuan perundang-undangan yang lain diancam dengan pidana, kecuali apabila
oleh undang-undang ditentukan lain. R. Soesilo memberikan komentar atas Pasal
103 tersebut hanya berkisar pada beberapa istilah yang ada dalam KUHP berlaku
pula dalam undang-undang lain mengatur ketentuan pidana.45
45
R. Soesilo, Op.Cit., hlm. 84.
Dari komentar di atas, tidak disinggungkan mengenai kemungkinan bahwa
KUHP khususnya mengenai pidana dan pemidanaan – dapat dijadikan pedoman
dalam penentuan pidana bagi pembentukan undang-undang di luar KUHP. Andi
Hamzah, dalam bukunya “Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana
Nasional dan Internasional”, mengatakan bahwa :46
46
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 1-3.
Pembentukan undang-undang di luar KUHP dalam menentukan ancaman
pidana denda berdasarkan Pasal 103 di atas pada dasarnya diberi kebebasan untuk
menetapkan jumlah ancaman pidana denda. Selain jumlah ancaman, pembentuk
undang-udang di luar KUHP juga bebas menentukan apakah pidana denda sebagai
alternatif atau sebagai pemberatan dengan perumusan kumulatif atau ditentukan
secara alternatif dan/ atau kumulatif untuk memberikan lebih kebebasan kepada
hakim dalam menjatuhkan pidana, walaupun hal ini menyimpang dari KUHP itu
sendiri yang hanya menganut faham penentuan pidana alternatif untuk penjara
atau denda atau kurungan denda.
Berangkat dari Undang-Undang Nomor 22 tahun 1946 tentang Pencatatan
Nikah, Talak dan Rujuk dan diikuti oleh undang-undang berikutnya sampai
dengan undang-udang hasil pembahasan DPR-RI dan Pemerintah masa sekarang
(2012), penentuan pidana dalam undang-undang di luar KUHP berkembang dan
beragam tanpa adanya kriteria, pola, atau standar penentuan pidana dalam
undang-undang di luar KUHP, terutama pidana denda yang jumlahnya maksimum
beragam.
Mardjono Reksodiputro menyatakan bahwa :47
“sebenarnya dalam RKUHP ada beberapa Pasal yang penting untuk menjadi pedoman dalam perumusan ketentuan pidana, yaitu a.l. tentang stelsel (sistem) pemidanaan, jenis-jenis, adanya double-track system
(tindakan, maatregel), dirumuskannya tujuan pemidanaan, serta pedoman pemidanaan (sentencing guideline). Kriminalisasi terdiri dari kriminalisasi primer dan kriminalisasi skunder. Kriminalisasi primer ditentukan oleh pembuat undang-undang dan kriminalisasi skunder oleh penegak hukum dalam sistem peradilan pidana.”
47