• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanggung jawaban Pidana Pilot (Kapten Terbang) atas Terjadinya Kecelakaan Pesawat Udara dari Perspektif Undang–Undang No.1 Tahun 2009

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pertanggung jawaban Pidana Pilot (Kapten Terbang) atas Terjadinya Kecelakaan Pesawat Udara dari Perspektif Undang–Undang No.1 Tahun 2009"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PILOT (KAPTEN TERBANG) ATAS TERJADINYA KECELAKAAN PESAWAT UDARA DARI

PERSPEKTIF UNDANG – UNDANG NO.1 TAHUN 2009

S K R I P S I

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas – Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

HANA FILIA EMNINTA GINTING

NIM : 070200075

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PILOT (KAPTEN TERBANG) ATAS TERJADINYA KECELAKAAN PESAWAT UDARA DARI

PERSPEKTIF UNDANG – UNDANG NO.1 TAHUN 2009

S K R I P S I :

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas – Tugas dan Memenuhi Syarat – Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

HANA FILIA EMNINTA GINTING

NIM : 070200075

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui oleh :

Ketua Departemen hukum Pidana

( Dr.M.Hamdan,SH.M.Hum )

NIP : 195703261986011001

Pembimbing I Pembimbing II

( Liza erwina,SH.M.Hum ) ( Rafiqoh,SH.M.Hum ) NIP: 196110241989032002 NIP: 197407252002122002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Dengan segala puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha

Esa atas segala kemurahan dan rahmatNya yang diberikan kepada saya, sehingga

saya dapat mengikuti perkuliahan dan dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini

tepat pada waktunya.

Skripsi ini disusun guna melengkapi dan memenuhi tugas dan syarat untuk

meraih gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara, dimana hal tersebut

merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa/I yang ingin menyelesaikan

perkuliahannya.

Adapun judul skripsi yang saya kemukakan “ Pertanggung jawaban Pidana

Pilot (Kapten Terbang) atas Terjadinya Kecelakaan Pesawat Udara dari Perspektif

Undang–Undang No.1 Tahun 2009”. Saya telah mencurahkan segenap hati,

pikiran dan kerja keras dalam penyusunan skripsi ini.

Di dalam penyusunan skripsi ini, saya mendapat bantuan dan bimbingan

dari berbagai pihak. Untuk itu saya mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak Prof.Dr.Runtung Sitepu,SH.M.Hum, selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof.Dr.Budiman Ginting,SH.M.Hum, selaku Pembantu Dekan

(4)

3. Bapak Dr.Hamdan,SH.M.Hum, selaku Ketua departemen Hukum

Pidana Fakultas Hukum USU.

4. Ibu Liza Erwina,SH,M.Hum, selaku dosen pembimbing I yang telah

banyak membimbing dan mengarahkan saya selama proses penulisan

skripsi

5. Ibu Rafiqoh,SH.M.Hum, selaku dosen pembimbing II saya yang juga

telah banyak membimbing dan mengarahkan saya selama proses

penulisan skripsi.

6. Seluruh dosen dan staff pengajar di Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara yang telah mendidik dan membimbing saya selama

menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara.

7. Kepada Orang tua saya, papa Drs.Masmur Ginting,Apt dan mama

Ir.Aslina br.Sembiring yang selalu mengingatkan untuk segera

menyelesaikan skripsi saya dan memberikan perhatian, semangat, dan

doanya. Terimakasih mama dan papa.

8. Kepada abang saya Andre Ido Prayogi Ginting,S.kom yang walaupun

jauh selalu mendukung dan mengingatkan saya dalam penyelesaian

(5)

9. Kepada nenek iting yang tidak bosan – bosan bertanya mengenai

perkembangan skripsi saya, dan selalu memberi saya semangat untuk

segera menyelesaikannya. Hana sayang iting.

10.Kepada sahabat terbaikku Dian Antasari br.Ginting yang selalu

mengingatkan saya ketika saya malas mengerjakan skripsi dan selalu

member semangat ketika saya putus asa, aku bahagia punya sahabat

seperti kamu.

11.Kepada adik sepupuku Albert Immanuel Nahum Bernauli Sitepu yang

setia menemani saya menyelesaikan skripsi di perpustakaan selama 2

jam lebih.

12.Dan semua orang yang telah membantu dan penyusunan dan

penyelesaian skripsi ini, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Akhir kata, saya menyadari bahwa skripsi ini tidak luput dari kekurangan dan

masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu saya mengharapkan saran dan

kritik yang membangun dan menyempurnakan skripsi ini. Dan semoga skripsi ini

dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, September 2011

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……….. i

DAFTAR ISI……….… iv

ABSTRAK……….… vi

BAB I : PENDAHULUAN……….….. 1

A. Latar belakang……….……….….… 1

B. Perumusan masalah..……….………..…. 6

C. Keaslian Penulisan……….……….…….…. 6

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian……….………….….….. 7

E. Tinjauan Kepustakaan……….…….…….…... 7

1. Pengertian Pidana dan Tindak Pidana…………..……...… 7

(7)

3.1. Pengertian Pilot (Kapten Terbang)…..……...….…….. 21

3.2. Tindak pidana penerbangan………22

3.3. Kecelakaan Pesawat Udara………..……….…… 24

F. Metode Penelitian……….…..….……… 30

G. Sistematika Penulisan……….……..…….…….. 31

BAB II : PERBUATAN – PERBUATAN YANG TERMASUK DALAM LINGKUP TINDAK PIDANA DI BIDANG PENERBANGAN MENURUT UU No.1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN………….. 33

A.Perkembangan Peraturan – Peraturan yang Berkaitan dengan Tindak Pidana Penerbangan sebelum lahirnya UU no.1 tahun 2009………...……. 33

B.Jenis Tindak Pidana Penerbangan dan Ketentuan Hukumnya menurut UU no.1 tahun 2009………...….. 54

BAB III : PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA PILOT ( KAPTEN TERBANG ) DALAM KECELAKAAN PESAWAT UDARA DITINJAU DARI UU No.1 TAHUN 2009………..….. 78

(8)

Dan Keamanan Pesawat Udara selama Penerbangan…….……. 78

B. Perbuatan Pilot (Kapten Terbang) yang Termasuk

Tindak Pidana dalam Kecelakaan Pesawat Udara………...…... 82

C. Pertanggung jawaban Pilot (Kapten Terbang)

Dalam kecelakaan Pesawat Udara………...…...….87

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN………..…………...105

A. Kesimpulan………...…………. 105

B. Sa

(9)

ABSTRAK

Judul skripsi ini adalah “ Pertanggungjawaban Pidana Pilot (Kapten Terbang) atas terjadinya Kecelakaan Pesawat Udara dari Prespektif Undang – Undang no.1 Tahun 2009”. Pilot adalah orang yang menjalankan atau mengoperasikan suatu mesin baik di darat maupun di udara. Misalnya : bus, sopir merupakan pilotnya, pesawat, kapten merupakan pilotnya. Sedangkan kepangkatan dalam dunia penerbangan (sipil) adalah: CAPTAIN yang merupakan komandan dari pesawat tersebut. Kapten terbang memilik tanggung jawab yang sangat penting dalam suatu penerbangan. Dia bertanggung jawab atas keamanan dan keselamatan penerbangan, mulai dari pintu pesawat ditutup sampai dengan para penumpang turun dari pesawat udara. Dalam dunia penerbangan tidak dapat dihindari hal-hal terburuk yang mungkin terjadi, seperti kecelakaan pesawat udara yang menyebabkan seseorang menderita kerugian harta benda atau karena kecelakaan tersebut matinya orang lain. Karena hal tersebut timbulah berbagai permasalahan bagi penulis, yaitu : mengenai kelaikudaraan dan pengoperasian pesawat udara serta keamanan dan keselamatan penerbangan, perbuatan pilot yang seperti apa yang dianggap merupakan suatu tindak pidana dalam suatu kecelakaan pesawat udara dan pertanggungjawaban pidana pilot dalam kecelakaan tersebut. Adapun metode penelitian dilakukan adalah metode penelitian hukum normatif dengan pengambilan data dan pengumpulan data yang dilakukan dengan mencari informasi berdasarkan dokumen-dokumen maupun arsip yang berkaitan dengan penelitian, dimana bertujuan untuk mengetahui mengenai pertanggung jawaban pidana pilot dalam suatu kecelakaan pesawat udara dan mengenai kemanan dan pengoperasian pesawat udara serta keamanan dan keselamatan selama penerbangan.

(10)

ABSTRAK

Judul skripsi ini adalah “ Pertanggungjawaban Pidana Pilot (Kapten Terbang) atas terjadinya Kecelakaan Pesawat Udara dari Prespektif Undang – Undang no.1 Tahun 2009”. Pilot adalah orang yang menjalankan atau mengoperasikan suatu mesin baik di darat maupun di udara. Misalnya : bus, sopir merupakan pilotnya, pesawat, kapten merupakan pilotnya. Sedangkan kepangkatan dalam dunia penerbangan (sipil) adalah: CAPTAIN yang merupakan komandan dari pesawat tersebut. Kapten terbang memilik tanggung jawab yang sangat penting dalam suatu penerbangan. Dia bertanggung jawab atas keamanan dan keselamatan penerbangan, mulai dari pintu pesawat ditutup sampai dengan para penumpang turun dari pesawat udara. Dalam dunia penerbangan tidak dapat dihindari hal-hal terburuk yang mungkin terjadi, seperti kecelakaan pesawat udara yang menyebabkan seseorang menderita kerugian harta benda atau karena kecelakaan tersebut matinya orang lain. Karena hal tersebut timbulah berbagai permasalahan bagi penulis, yaitu : mengenai kelaikudaraan dan pengoperasian pesawat udara serta keamanan dan keselamatan penerbangan, perbuatan pilot yang seperti apa yang dianggap merupakan suatu tindak pidana dalam suatu kecelakaan pesawat udara dan pertanggungjawaban pidana pilot dalam kecelakaan tersebut. Adapun metode penelitian dilakukan adalah metode penelitian hukum normatif dengan pengambilan data dan pengumpulan data yang dilakukan dengan mencari informasi berdasarkan dokumen-dokumen maupun arsip yang berkaitan dengan penelitian, dimana bertujuan untuk mengetahui mengenai pertanggung jawaban pidana pilot dalam suatu kecelakaan pesawat udara dan mengenai kemanan dan pengoperasian pesawat udara serta keamanan dan keselamatan selama penerbangan.

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Kecelakaan pesawat udara di Indonesia sudah sering terjadi dalam 10

tahun belakangan ini. Sampai pada suatu masa dimana kecelakaan pesawat udara

tersebut dapat terjadi 2-3 kali dalam setahun, dan yang paling banyak terjadi pada

tahun 20071. Hal ini sangat mencemaskan bagi masyarakat, betapa tidak bahwa

sebagian besar masyarakat Indonesia memilih jalur transportasi udara sebagai

alternatif pengakutan mereka dengan alasan cepat dan tidak memakan waktu lama

untuk perjalanan keluar kota maupun keluar negeri. Hal ini sangat

menguntungkan bagi perusahaan–perusahaan maskapai penerbangan baik milik

swasta ataupun milik pemerintah.

Dengan demikian terdapat persaingan yang cukup ketat dalam usaha

maskapai penerbangan ini, dan setiap maskapai mulai mematok harga

serendah-rendahnya untuk satu rute perjalanan baik dalam negeri maupun luar negeri.

Namun apakah dengan harga yang murah tersebut telah menjamin keamanan,

keselamatan dan kenyamanan dalam penerbangan tersebut? Hal ini tidak pernah

terlalu dipikirkan oleh masyarakat luas, yang penting bagi mereka adalah harga

ongkos pesawat yang relatif murah dengan pelayanan yang memuaskan menurut

      

1

Wordpress,daftar-kecelakaan-pesawat-terbang-di-indonesia,

(12)

mereka. Dan bagaimana pula dalam pemeliharaan dan penyedian suku cadang

pesawat? Kemudian dalam hal sumber daya manusianya (Human Resources) yang

terlibat langsung dalam penerbangan seperti pilot dan awak pesawat lainnya.

Apakah sudah memenuhi standard yang ditentukan? Dan apakah mereka juga

mendapatkan pelatihan yang rutin seperti yang sudah ditetapkan? Hal ini dapat

kita lihat dalam Pasal 34 Undang-Undang No.1 Tahun 2009 tentang penerbangan

yang memuat bahwa setiap pesawat udara yang dioperasikan wajib memenuhi

standart kelaikudaraan, yang dimana apabila telah memenuhi standar

kelaikudaraan tersebut diberi sertifikat kelaikudaraan setelah lulus pemeriksaan

dan pengujian kelaikudaraan. Dan diatur lebih lanjut dalam Pasal 39 bahwa setiap

orang yang melanggar ketentuan kelaikudaraan dikenakan sanksi administratif

berupa peringatan, pembekuan sertifikat dan/atau pencabutan sertifikat. Mengenai

pengoperasian pesawat udara diatur dalam Pasal 41 Undang–Undang No.1 Tahun

2009 dimana setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara untuk kegiatan

angkutan udara wajib memiliki sertifikat. Sertifikat tersebut yaitu sertifikat

operator pewasat udara (air operator certificat), yang diberikan kepada Badan

Hukum Indonesia yang mengoperasikan pesawat udara sipil untuk angkutan udara

niaga atau sertifikat pengoperasian pesawat udara (operating certificate), yang

diberikan kepada orang atau Badan Hukum Indonesia yang mengoperasikan

pesawat udara sipil untuk angkutan udara bukan niaga.

Hal-hal tersebut diatas sangat penting dalam mencegah terjadinya

kecelakaan pesawat udara. Dalam Undang–Undang Nomor 1 Tahun 2009

(13)

suatu perusahaan penerbangan dalam pengoperasian pesawat udara seperti

sertifikat kelayakan dan hal–hal lain yang menjamin keselamatan penerbangan.

Dengan memperhatikan tujuan penerbangan antara lain adalah aman dan selamat

maka jelaslah pemerintah harus mengupayakan situasi dan kondisi penerbangan

yang aman dan selamat tanpa adanya ancaman dari tindakan yang membahayakan

(unsafe acts) dan kondisi yang membahayakan (unsafe condition).

Dengan adanya hukum diharapkan dapat menciptakan keinginan

masyarakat untuk hidup aman dan selamat terhindar dari kecelakaan. Hukum yang

mengatur mengenai keselamatan ini telah dibuat sejak pertama kali pesaawat

dibuat yaitu menyangkut pengaturan rancang bangun, pembuatan, perakitan,

perawatan, penyimpanan pesawat udara termasuk komponen-komponen dan

suku cadangnya. Hukum juga menjangkau pengaturan mengenai personil yang

mengawakinya, dimana mereka harus mempunyai serifikat kecakapan. Walau

telah ada hukum yang mengaturnya kecelakaan pesawat tetap tidak dapat

dihindari.

Dalam kecelakaan pesawat udara ada tiga faktor yang punya kemungkinan

besar menjadi penyebab kecelakaan pesawat udara yaitu faktor manusia, faktor

materiil, dan faktor media. Faktor manusia adalah setiap orang atau tenaga yang

terlibat langsung dalam proses penerbangan (awak pesawat), seperti kapten

terbang (pilot), co-pilot, teknisi pesawat udara, tenaga ruang penerangan (briefing

office), tenaga operasi pengawas lalu lintas udara (Air Traffic Control-ATC).

Hubungan antara awak pesawat dengan pesawat udara dapat sangat erat sekali,

(14)

seonggok daging, demikian juga pesawat udara apabila tanpa awak pesawat

sebenarnya hanyalah akan merupakan sebuah pesawat saja. Dalam UU No.1

Tahun 2009 yang dimaksud dengan awak pesawat tidak dijelaskan secara

terperinci demikian juga dalam UU No.15 Tahun 1992 tidak ada penjelasan

mengenai yang dimaksud dengan awak pesawat, sedangkan dalam UU No.83

Tahun 1958 yang digantikan oleh undang-undang yang terbaru, pengertian

mengenai awak pesawat sangat lebih jelas disebutkan dalam ketentuan umum

Pasal 1 e yaitu awak pesawat udara adalah nahkoda serta mereka yang selama dan

bersangkutan dengan pengemudian selama penerbangan, menunaikan tugas di

dalam pesawat udara. Tetapi dalam penjelasan Pasal 18 UU No. 15 Tahun 1992

pengertian mengenai Personil Penerbangan dinyatakan secara jelas, tugasnya

secara langsung mempengaruhi keselamatan penerbangan.

Awak pesawat udara (Personil Penerbangan) menurut undang-undang ini

bukan hanya pilot tetapi semua mereka yang terlibat dalam kegiatan penerbangan

termasuk juru tehnik dan awak kabin. Pada penerbangan sipil komersil setiap

awak pesawat masing-masing mempunyai fungsi dan peran tertentu di dalam

pelaksanaan tugas penerbangan, dimana masing-masing mempunyai hak dan

kewajiban yang berbeda-beda tergantung peranannya di dalam pesawat udara.

Dalam pelaksanaan tugas tersebut dibutuhkan seseorang sebagai pimpinan yang

juga bertanggung jawab dalam penerbangan tersebut. Jabatan tersebut menurut

terminologi ICAO disebut Pilot In Command (PIC) atau Kapten Penerbang

menurut istilah yang digunakan dalam UU No.15 Tahun 1992. Dalam penjelasan

(15)

sebagai dasar hukum untuk mengambil tindakan pencegahan tindak pidana dan

menyelamatkan penerbangan. Faktor materiil atau faktor dari pesawat udara yang

dapat menjadi penyebab terjadinya kecelakaan pesawat udara adalah seperti

pesawat udara yang mengalami keletihan (fatigue). Kemudian yang dimaksud

dengan faktor media yang menjadi penyebab kecelakaan pesawat udara adalah

faktor cuaca,seperti angin yang datang secara tiba-tiba (wind shear), awan

berputar – putar yang biasa disebut awan Cumolonimbus (CB), topan, salju, awan

hitam2.

Dalam arti luas kecelakaan pesawat udara juga dapat disebabkan oleh

faktor manusia yang selain orang atau tenaga yang terlibat langsung dalam proses

penerbangan seperti penumpang, pelaku sabotase, pelaku kejahatan penerbangan,

teroris ataupun setiap orang sebagai penyebab kecelakaan seperti penumpang

gelap yang naik pesawat dengan cara naik di bagian dekat roda pesawat udara.

Dan apabila dilihat dari unsur kesalahannya ada yang bersifat disengaja atau

adanya unsur kesengajaan dan ada juga karena kealpaan3. Jadi jelaslah sekarang

bahwa kecelakaan pesawat udara dapat disebabkan oleh tiga faktor, yaitu faktor

manusia, faktor materiil, dan faktor media. Dalam hal kecelakaan pesawat udara

dengan segala faktor penyebabnya tidak lepas daripada pertanggungjawaban pilot

(kapten terbang) selaku orang yang bertanggungjawab penuh atas keamanan dan

keselamatan selama penerbangan. Dalam tulisan ini akan dibahas bagaimana

      

2

K. Martono, Hukum Udara, Angkutan Udara dan Hukum Angkasa, Hukum Laut

Internasional, Buku kedua, (Bandung : Mandar Maju, 1995),h.144 

3

Bambang Widarto, Aspek-aspek Hukum Pidana Dalam Kecelakaan Pesawat Udara. (Jakarta, 1998), http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=78341

(16)

undang-undang mengatur mengenai pertanggungjawaban seorang pilot (kapten

terbang) terhadap terjadinya suatu kecelakaan pesawat udara baik dalam UU

Penerbangan ataupun KUHP.

B. Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, dalam penulisan hukum ini,

penulis akan menganalisis permasalahan-permasalahan pokok berikut :

1. Perbuatan-perbuatan apakah yang termasuk dalam lingkup tindak pidana

di bidang penerbangan menurut UU No. 1 Tahun 2009 ?

2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana pilot dalam kecelakaan pesawat

udara ditinjau dari UU No.1 Tahun 2009?

C. Keaslian Penulisan

Adapun judul tulisan ini adalah pertanggungjawaban pidana pilot (kapten

terbang) atas terjadinya kecelakaan pesawat udara. Judul skripsi ini belum pernah

ditulis dan diteliti dalam bentuk yang sama, namun telah ada skripsi dengan

undang – undang yang sama dengan tulisan ini dengan judul dan tinjauan

permasalahan yang berbeda. Sehingga tulisan ini asli dalam hal tidak ada judul

yang sama. Dengan demikian isi keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan

secara ilmiah.

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah

(17)

a. Untuk mengetahui perbuatan-perbuatan yang termasuk

dalam lingkup tindak pidana penerbangan

b. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana pilot dalam

kecelakaan pesawat udara dan penyelesaian terhadap suatu

kecelakaan pesawat udara.

2. Manfaat Penelitian

Penelitian yang penulis lakukan memiliki manfaat antara lain :

a. Secara Teoritis

Guna mengembangkan khasanah ilmu pengetahuan hokum

pidana, khususnya mengenai pertanggungjawaban pidana

pilot dalam kecelakaan pesawat udara

b. Secara Praktis

1. Agar masyarakat mengetahui tindak pidana yang di

bidang penerbangan.

2. Dengan adanya penelitian ini maka penulis dapat

memberikan gambaran tentang pertanggungjawaban

pilot (kapten terbang) atas terjadinya kecelakaan

pesawat udara.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Pidana dan Tindak Pidana

Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang pada dasarnya dapat

(18)

kepada seseorang yang terbukti bersalah. Menurut Andi Hamzah 4, ahli hukum

Indonesia membedakan istilah hukuman dengan pidana, yang dalam bahasa

Belanda dikenal dengan istilah straf . Istilah Hukuman5 adalah istilah umum yang

dipergunakan untuk semua jenis sanksi baik dalam ranah hukum perdata,

administratif, disiplin dan pidana, sedangkan istilah pidana diartikan secara sempit

yaitu hanya sanksi yang berkaitan dengan hukum pidana. Menurut Satochid

Kartanegara6, bahwa hukuman (pidana) bersifat paksaan atau penderitaan, yang

oleh undang-undang hukum pidana diberikan kepada seseorang yang melanggar

suatu norma yang ditentukan oleh undang-undang hukum pidana, dan siksaan atau

penderitaan itu dengan keputusan hakim dijatuhkan terhadap diri orang yang

dipersalahkan itu. Pengertian pidana yang dikemukakan oleh para ahli yaitu :

menurut VAN HAMEL7 “een bijzonder leed, tegen den overtreder van een door

den staat gehandhaafd rechtsvoorschrift, op den enkelen grond van die

overtreding, van wege den staat als handhaver der openbare rechtsorde, door met

de rechtsbedeeling belaste gezag uit te spreken.”

(suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan

yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung

jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata

      

4

Andi Hamzah, asas-asas Hukum Pidana, ( Jakarta: Rineka Cipta, 2008 ),h.27 

5

Hukuman atau pidana yang dijatuhkan dan perbuatan-perbuatan apa yang diancam pidana, harus lebih dulu tercantum dalam undang-undang pidana. Suatu asas yang disebut dengan nullum crimen sine lege yang tercantum dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP. Letak perbedaan istilah hukuman dan pidana bahwa suatu pidana harus berdasarkan kepada ketentuan undang-undang (pidana), sedangkan hukuman lebih luas pengertiannya. Kedua istilah ini juga mempunyai persamaan, yaitu keduanya berlatarbelakang tata nilai (value), baik dan tidak baik, sopan dan tidak sopan,dst. Andi Hamzah dan Siti Rahayu, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di

Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo,1983),h.20 

6

Satochid Kartanegara, Kumpulan catatan kuliah Hukum Pidana II, disusun oleh mahasiswa PTIK angkatan V, Tahun 1954 – 1955,h.275-276 

7

(19)

karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus

ditegakkan oleh negara. Pidana (straf) pada dasarnya mengandung unsur atau

ciri-ciri sebagai berikut8 :

1. Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan

atau nestapa atau akibat-akibat lainnya yang tidak menyenangkan.

2. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang

mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang)

3. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak

pidana menurut undang-undang

Seseorang yang dikenakan pidana (hukuman) pasti karena melakukan suatu tindak

pidana. Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum

pidana Belanda yaitu “strafbaar feit”. Walaupun istilah ini terdapat dalam Wvs

Belanda demikian juga Wvs Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan

resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu. Istilah-istilah yang

pernah digunakan baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam

berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari strafbaar feit adalah :9

1. Tindak pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam

undangan pidana kita. Dalam hampir seluruh peraturan

perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana, seperti dalam UU No.19

Tahun 2002 tentang Hak Cipta, UU No.30 Tahun 2002 tentang

      

8

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana,(Bandung : Alumni,2005),h.4 

9

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 1, cetakan pertama, (Jakarta,PT. RajaGrafindo Persada,2002),h.67-68

(20)

pemberantasan Tindak Pidan Korupsi. Ahli hukum yang menggunakan

istilah ini seperti Wirjono Prodjodikoro.

2. Peristiwa pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum, misalnya

Mr.R.Tresna dalam bukunya “Azas-azas Hukum Pidana”, Mr.H.J Van

Schravendijk dalam bukum pembelajaran tentang Hukum Pidana

Indonesia, A. Zainal Abidin, dalam bukunya “Hukum Pidana”

3. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin “delictum” juga

digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan

stafbaar feit.

4. Pelanggaran pidana, dapat dijumpai dalam buku Pokok-Pokok Hukum

Pidana yang ditulis oleh Mr. M.H Tirtaamidjaja.

5. Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh Mr. Karni dalam

bukunya “Ringkasan tentang Hukum Pidana”

6. Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh pembentuk

Undang-undang dalam Undang - Undang No.12/Drt/1951 tentang Senjata Api dan

Bahan Peledak

7. Perbuatan pidana, digunakan oleh Moeljatno dalam berbagai tulisan

beliau, misalnya dalam buku Azas-azas Hukum Pidana.

Untuk dapat menghukum seseorang sekaligus memenuhi tuntutan keadilan

dan kemanusiaan, harus ada suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum

dan dapat dipersalahkan kepada pelakunya. Tambahan pada syarat-syarat ini

adalah bahwa pelaku yang bersangkutan harus merupakan seseorang yang dapat

(21)

pengertian tindak pidana dan pengertian ini ada dalam dirinya sendiri sudah

memadai. Meskipun dalam sistim hukum Belanda, kita dapat mengembangkan

penjelasan yang ada. Untuk itu tindak pidana sebaiknya dimengerti sebagai

perilaku manusia (gedragingen : yang mencakup dalam hal ini berbuat maupun

tidak berbuat) yang diperbuat dalam situasi dan kondisi yang dirumuskan

didalamnya, perilaku mana dilarang oleh undang-undang dan diancam dengan

sanksi pidana10.

Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana sebagai terjemahan

“strafbaar feit”, yang berarti perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang

dan diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut.11

Pompe merumuskan strafbaar feit sebagai suatu tindakan yang menurut rumusan

undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum. Lalu Vos

merumuskan strafbaar feit sebagai suatu kelakuan manusia yang diancam pidana

oleh aturan perundang-undangan. R.Tresna menyatakan bahwa strafbaar feit

adalah sesuatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan

dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya, terhadap

perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman.

1.1. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana

Perbuatan pidana adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang

yang menimbulkan peristiwa pidana aatu perbuatan yang melanggar hokum       

10

Jan Remmelink, HUKUM PIDANA Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana Indonesia, (Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama,2003),h.85 

11

(22)

pidana dan diancam dengan hukuman. Sistem KUHP Indonesia mengenal delik

sebagai berikut:

a. Kejahatan yang dimuat di dalam Buku Kedua

b. Pelanggaran yang dimuat di dalam Buku Ketiga

Pembagian jenis tindak pidana ini dapat didasarkan kepada berat/ringannya

ancaman, sifat, bentuk, dan cara perumusan suatu tindak pidana, cara melakukan

tindak pidana, dll. Tindak Pidana ini dibedakan atas kejahatan dan pelanggarang

dapat dilihat di dalam risalah penjelasan undang-undang pidana di negeri Belanda

(MvT), yang didukung pula oleh ilmu pengetahuan. Namun berbeda dengan

KUHP Indonesia membagi lagi kejahatan tersebut ke dalam kejahatan biasa dan

kejahatan ringan yang diatur dalam Pasal 302 (penganiayaan hewan ringan), Pasal

352 (penganiayaan ringan), Pasal 364 (pencurian ringan), Pasal 379 (penipuan

ringan), Pasal 384 (perbuatan curang yang ringan), Pasal 407 (perusakan atau

penghilangan barang yang ringan), dan Pasal 482 KUHP (penadahan ringan).

Jonkers menyebutkan, bahwa pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran

merupakan pembedaan kualitatif.

Pembedaan tindak pidana atas kejahatan dan pelanggaran itu didasarkan

kepada kejahatan itu adalah rechtsdelicten (delik hukum) merupakan perbuatan

yang tidak adil menurut filsafat, yaitu perbuatan yang tidak tergantung kepada

suatu ketentuan pidana, tetapi merupakan perbuatan yang dirasakan tidak adil

menurut keinsyafan (kesadaran) batin manusia dan juga merupakan perbuatan

yang dirasakan tidak adil menurut undang-undang (yaitu perbuatan yang tidak sah

(23)

wetsdelicten (delik undang-undang), merupakan perbuatan yang pada mulanya

menurut keinsyafan (kesadaran) batin manusia tidak dirasakan sebagai perbuatan

yang tidak adil, namun baru dirasakan sebagai perbuatan yang dapat dipidana

(dilarang) karena perbuatan itu diancam dengan pidana oleh undang-undang,

misalnya perbuatan yang melanggar ketentuan lalu lintas.

Selain perbedaan kualitatif sebagaimana telah disebutkan diatas, Jonkers

juga menyebutkan ada pendapat lain yang membedakan antara kejahatan dan

pelanggaran itu berdasarkan kriminologi, yaitu pelanggaran dipandang tidak

begitu berat jika dibandingkan dengan kejahatan. Perbedaan kuantitatif yang

membedakan antara kejahatan dengan pelanggaran dari segi kriminologi ini,

didasarkan kepada hal sebagai berikut :

1. Bahwa sanksi pelanggaran lebih ringan daripada sanksi kejahatan

2. Bahwa percobaan melakukan pelanggaran ( Pasal 54 KUHP ) dan

membantu melakukan pelanggaran ( Pasal 60 KUHP ) tidak dipidana.

Hazewinkel suringa dalam E.Y.Kanter dan S.R.Sianturi mengatakan, bahwa tidak

ada perbedaan kualitatif antara kejahatan dan pelanggaran, tetapi yang ada adalah

perbedaan kuantitaif, yaitu kejahatan pada umumnya diancam dengan pidana yang

lebih berat daripada pelanggarannya12.

Konsep KUHP baru tidak lagi membedakan tindak pidana dalam

kualifikasi berupa kejahatan dan pelanggaran. Kebijakan ini didasarkan pada

resolusi Seminar Hukum Nasional pada Tahun 2008 yang menghasilkan

rancangan undang-undang yang baru dengan beberapa perubahan dari rancangan

      

12

E.Y.Kanter dan S.R.Sianturi, Asas – Asas Hukum Pidana di Indonesia dan

(24)

undang-undang sebelumnya yaitu pada tahun 2005. Pembaharuan Hukum Pidana

materiil dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru ini tidak membedakan

lagi anatara tindak pidana berupa kejahatan dan tindak pidana pelanggaran. Untuk

keduanya ini dipakai istilah tindak pidana. Barda Nawawi Arief mengemukakan,

bahwa walaupun konsep tidak lagi mengenal pembagian kejahatan dan

pelanggaran sebagai suatu kualifikasi delik, namun dalam pola kerja konsep masih

diadakan pengklasifikasian bobot delik sebagai berikut :

1. Delik yang dipandang sangat ringan, yaitu delik yang hanya diancam

dengan pidana denda ringan secara tunggal.

2. Delik yang dipandang berat, yaitu delik yang pada dasarnya patut diancam

pidana penjara diatas 1 tahun s/d 7 tahun.

3. Delik yang dipandang sangat berat/sangat serius, yaitu delik yang diancam

dengan pidana penjara diatas 7 tahun atau diancam dengan pidana lebih

berat (yaitu, pidana mati atau penjara seumur hidup).

Selain pembedaan tindak pidana atas kejahatan dan pelanggaran sebagaimana

dapat dilihat di dalam KUHP, dikenal juga pembedaan/penggolongan tindak

pidana yang didasarkan kepada berbagai hal.

1. Cara merumuskan tindak pidana

a. Delik formil ( formele delicten)

Pada delik formil yang dirumuskan adalah tindakan yang dilarang

(beserta hal/keadaan lainnya) dengan tidak mempersoalkan akibat dari

(25)

b. Delik materiil (materiele delicten)

Pada delik materril untk dapat dikatakan telah terjadi suatu tindak

pidana, selain daripada tindakan yang terlarang itu dilakukan, masih

harus ada akibat yang timbul karena tindakan itu.

2. Bentuk Kesalahan

a. Delik dolus (dolus delicten), yaitu perbuatan yang dilarang dan

diancam dengan pidana yang dilakukan dengan sengaja.

b. Delik culpa (culpose delicten), yaitu perbuatan yang dilarang dan

diancam dengan pidana yang dilakukan dengan kealpaan, atau

nalatigheid atau onachtzammheid.

3. Perbedaan subjek

a. Delik Khusus (delicta propria), subjek dari delik khusus antara lain

disebut pegawai negeri, nakhoda, militer, laki-laki, wanita pedagang

dan lain sebagainya.

b. Delik umum (commune delicten), adalah tindak pidana (delik) yang

dapat dilakukan oleh setiap orang pada umumnya.

4. Berdasarkan kepada sumbernya

a. Tindak Pidana Umum

Tindak Pidana Umum adalah semua tindak pidana yang dimuat dalam

KUHP ( buku II dan buku III KUHP ) sebagai kodifikasi Hukum

Pidana materil.

(26)

Tindak Pidana Khusus adalah semua tindak pidana yang terdapat di

luar kodifikasi tersebut. Misalnya UU Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, UU tentang Pemberantasa Tindak Pidana Perdagangan

Orang, dan peraturan lainnya yang di dalamnya mengandung sanksi

berupa pidana.

2. Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut juga dengan teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada

pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang

terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang

terjadi atau tidak. Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak

pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam

Undang-Undang.

Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan

dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila :

1. Tindakan tersebut melawan hukum.

Yang dimaksud dengan suatu tindakan tersebut melawan hukum adalah

dimana tindakan tersebut bertentangan atau melawan undang-undang yang

ada,dalam hal ini adalah KUHP. Menurut Sudarto, suatu perbuatan dikatakan

melawan hukum jika perbuatan itu telah sesuai dengan rumusan delik

sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang.

2. Tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk

(27)

Tidak adanya alasan pembenar dalam perbuatan atau tindakan yang

dilakukannya membuat seseorang harus mempertanggungjawabkan

perbuatannya terhadap undang-undang ataupun hukum yang berlaku.

Dan dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang

yang mampu bertanggung jawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas

perbuatannya. Hal dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan

sebagaimana yang telah diancamkan tergantung dari soal apakah dalam

melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan. Berdasarkan hal tersebut

maka pertanggungjawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana, terdiri

atas tiga syarat yaitu :

a. Kemampuan bertanggungjawab atau dapat dipertanggungjawabkan dari

si pembuat.

b. Adanya perbuatan melawan hukum yaitu suatu sikap psikis si pelaku

yang berhubungan dengan kelakuannya yaitu : Disengaja dan Sikap

kurang hati-hati atau lalai

c. Tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan

pertanggungjawaban pidana bagi si pembuat.

Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan

yang buruk, adalah merupakan faktor akal (intelectual factor) yaitu dapat

membedakan perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Dan kemampuan

untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya

perbuatan tersebut adalah merupakan faktor perasaan (volitional factor) yaitu

(28)

diperbolehkan dan mana yang tidak. Sebagai konsekuensi dari dua hal tadi maka

tentunya orang yang tidak mampu menentukan kehendaknya menurut keinsyafan

tentang baik buruknya perbuatan, dia tidak mempunyai kesalahan kalau

melakukan tindak pidana, orang demikian itu tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Oleh karena kemampuan bertanggung jawab merupakan unsur kesalahan,

maka untuk membuktikan adanya unsur kesalahan tadi harus dibuktikan lagi.

Mengingat hal ini sukar untuk dibuktikan dan memerlukan waktu yang cukup

lama, maka unsur kemampuan bertanggung jawab dianggap diam-diam selalu ada

karena pada umumnya setiap orang normal batinnya dan mampu

bertanggungjawab, kecuali kalau ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa

terdakwa mungkin jiwanya tidak normal. Dalam hal ini, hakim memerintahkan

pemeriksaan yang khusus terhadap keadaan jiwa terdakwa sekalipun tidak diminta

oleh pihak terdakwa. Jika hasilnya masih meragukan hakim, itu berarti bahwa

kemampuan bertanggung jawab tidak berhenti, sehingga kesalahan tidak ada dan

pidana tidak dapat dijatuhkan berdasarkan asas tidak dipidana jika tidak ada

kesalahan.

Dalam KUHP masalah kemampuan bertanggung jawab ini terdapat dalam

Pasal 44 ayat 1 yang berbunyi : “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak

dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam

pertumbuhan atau terganggu karena cacat, tidak dipidana”. Kalau tidak

dipertanggungjawabkan itu disebabkan hal lain, misalnya jiwanya tidak normal

(29)

hakim akan menjalankan Pasal 44 KUHP, maka sebelumnya harus

memperhatikan apakah telah dipenuhi dua syarat sebagai berikut13 :

3. Syarat Psychiartris yaitu pada terdakwa harus ada kurang sempurna

akalnya atau sakit berubah akal, yaitu keadaan kegilaan (idiote), yang

mungkin ada sejak kelahiran atau karena suatu penyakit jiwa dan keadaan

ini harus terus menerus.

4. Syarat Psychologis ialah gangguan jiwa itu harus pada waktu si pelaku

melakukan perbuatan pidana, oleh sebab itu suatu gangguan jiwa yang

timbul sesudah peristiwa tersebut, dengan sendirinya tidak dapat menjadi

sebab terdakwa tidak dapat dikenai hukuman.

Untuk menentukan adanya pertanggung jawaban, seseorang pembuat dalam

melakukan suatu tindak pidana harus ada “sifat melawan hukum” dari tindak

pidana itu, yang merupakan sifat terpenting dari tindak pidana. Tentang sifat

melawan hukum apabila dihubungkan dengan keadaan psikis (jiwa) pembuat

terhadap tindak pidana yang dilakukannya dapat berupa “kesengajaan” (opzet)

atau karena “kelalaian” (culpa).

3.UU No.1 Tahun 2009 tentang Penerbangan

UU No.1 Tahun 2009 tentang penerbangan merupakan undang-undang

yang baru pengganti UU No.15 Tahun 1992. UU ini dibuat karena dianggap UU

No.15 Tahun 1992 tentang penerbangan sudah tidak sesuai lagi denagn kondisi,

perubahan lingkungan strategis, dan kebutuhan penyelenggaraan penerbangan saat

ini sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru. Perkembangan

      

13

Saifudiendjsh,pertanggungjawaban-pidana, 

(30)

lingkungan strategis nasional dan internasional menuntut penyelenggaraan

penerbangan yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sangat banyak perubahan yang terjadi dalam undang- undang ini, penambahan

bab dan pasal yang semakin banyak. Dalam undang-undang No.15 Tahun 1992

hanya terdiri dari 15 bab dan 76 pasal, sedangkan dalam undang-undang No.1

Tahun 2009 terdiri dari 24 bab dan 466 pasal. Dengan demikian terlihat banyak

terjadi perubahan yang cukup signifikan dalam undang-undang penerbangan yang

baru ini. Semakin banyak hal-hal yang diatur dalam dunia penerbangan, demikian

juga dengan tindak pidana yang mungkin terjadi selama dalam penerbangan baik

itu dilakukan oleh awak pesawat yang terdiri dari kapten terbang (pilot), co-pilot,

teknisi pesawat udara, tenaga ruang penerangan (briefing office), tenaga operasi

pengawas lalu lintas udara (Air Traffic Control-ATC), dan penumpang daripada

pesawat itu sendiri semakin baik diatur dalam undang-undang ini.

3.1. Pengertian Pilot (kapten terbang)

PILOT adalah seseorang yang menjalankan mesin baik itu

kendaraan darat laut dan udara, misalnya: supir bis adalah pilotnya;

sedangkan keneknya adalah kopilotnya. COPILOT adalah seseorang yang

membantu tugas seorang pilot dalam menjalankan mesin.

Sedangkan kepangkatan dalam dunia penerbangan (sipil) adalah:

CAPTAIN adalah komandan dari pesawat tersebut; Chief de Mission. FIRST

OFFICER adalah wakil dari Captain yang akan mengambil alih tugas

(31)

Officer yang menjalankan pesawat/mesin; maka dia adalah Pilot nya.

sedangkan Captain adalah Copilotnya. Demikian sebaliknya apabila Captain

yang terbang maka dia adalah pilotnya dan dia juga komandan pesawat

sedangkan first Officer adalah Copilotnya. Dalam UU No.15 Tahun 1992

tidak disebutkan secara jelas mengenai pengertian awak pesawat ataupun

kapten terbang, namun dalam UU No.83 Tahun 1958 disebutkan bahwa awak

pesawat adalah nakhoda serta mereka yang selama dan bersangkutan dengan

pengemudian selama penerbangan, menunaikan tugas di dalam pesawat udara

itu. Dan menurut UU No.1 Tahun 2009 dalam Pasa 1 ayat 11 dijelaskan

bahwa Kapten Terbang adalah penerbang yang ditugaskan oleh perusahaan

atau pemilik pesawat udara untuk memimpin penerbangan dan bertanggung

jawab penuh terhadap keselamatan penerbangan selama pengoperasian

pesawat udara sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan selanjutnya

dalam Pasal 1 ayat 12 dijelaskan yang dimaksud dengan personel

penerbangan adalah personel yang berlisensi atau bersertifikat yang diberi

tugas dan tangung jawab di bidang penerbangan.

3.2.Tindak Pidana Penerbangan

Tindak pidana penerbangan adalah tindak pidana yang dilakukan di

dalam bidang penerbangan sipil, baik dilakukan:

1. di dalam pesawat udara

2. terhadap pesawat udara

3. terhadap fasilitas penerbangan

(32)

1. Tindak pidana yang dilakukan di dalam pesawat udara

Pertama: Offences and Certain Other Acts Committed on Board Aircraft14

a. Tindak pidana yang dilakukan di dalam pesawat udara dalam penerbangan

b. Perbuatan tertentu lainnya yang melanggar disiplin dan tata tertib dalam

pesawat yang berada dalam penerbangan (in flight)

Kedua: Unlawful Seizure of Aircraft (hijacking)15

a. dengan melawan hukum, dengan kekerasan dan ancaman, atau dengan

cara intimidasi, merampas dan melakukan pengendalian pesawat

b. percobaan melakukan hijacking

c. membantu melakukan hijacking

Ketiga: Unlawful Acts against the Safety of Civil Aviation16

a. melakukan kekerasan terhadap orang di dalam pesawat selama

penerbangan yang dapat berakibat membahayakan keselamatan pesawat

b. merusak pesawat udara in service (dalam dinas) yang mengakibatkan

pesawat tidak mampu terbang atau membahayakan keselamatan

penerbangannya

c. meletakkan atau menyebabkan ditempatkannya suatu alat atau suatu zat

dalam pesawat in service, dengan cara apapun, yang dapat memusnahkan

pesawat, atau menyebabkan kerusakan yang membuat pesawat tidak

mampu terbang, atau menimbulkan kerusakan yang dapat membahayakan

keselamatan pesawat dalam penerbangannya

      

14

Pelanggaran dan hal lainnya yang berhubungan dengan dewan pesawat 

15

Melanggar hukum penyitaan pesawat (pembajakan) 

16

(33)

d. memusnahkan atau merusakkan fasilitas penerbangan atau mengganggu

pengoperasian fasilitas penerbangan, jika perbuatan tersebut dapat

membahayakan keselamatan pesawat dalam penerbangannya

e. memberikan informasi yang diketahui tidak benar, sehingga

membahayakan keselamatan pesawat dalam penerbangan

f. percobaan melakukan tindak pidana di atas

g. membantu melakukan tindak pidana tersebut atau membantu melakukan

percobaan

2. Tindak kekerasan di Internasional Airpot

Keempat: Unlawful Acts of Violence at Airports Serving International

Civil Aviation17

a. melakukan kekerasan terhad orang di internasional airport yang

menyebabkan cacat atau kematian

b. memusnahkan atau merusakkan fasilitas internasional atau mengganggu

pelayanan di airport, jika tindak pidana tsb membahayakan keselamatan

International airports

3.3.Kecelakaan Pesawat udara

Dalam dunia penerbangan ada 2 macam pengertian yaitu kecelakaan

(accident) dan peristiwa (incident). Yang dimaksud kecelakaan adalah suatu

peristiwa di luar dugaan dalam kaitan dengan pengoperasian pesawat terbang

yang berlangsung sejak penumpang naik (boarding) dengan maksud melakukan

penerbangan sampai waktu semua penumpang debarkasi. Peristiwa di luar dugaan

      

17

(34)

tersebut mengakibatkan orang meninggal dunia atau luka parah akibat benturan

pesawat terbang atau kontak langsung dengan bagian pesawat terbang atau

terkena hempasan langsung mesin jet atau pesawat terbang mengalami kerusakan

struktural yang berat atau pesawat terbang memerlukan perbaikan besar atau

penggantian komponen atau pesawat terbang hilang sama sekali. Sedangkan

incident adalah peristiwa selama penerbangan berkenaan dengan operasi pesawat

terbang yang dapat membahayakan keselamatan penerbangan. Dalam bahasa

Inggris istilah yang digunakan adalah accident. Dalam Black’s law Dictionary,

accident diartikan sebagai:

“An unintended and unforeseen injurious occurrence;something that does

not occur in the usual course of events or that could not be reasonably

anticipated”.18

Dari definisi di atas dapatlah diketahui bahwa kecelakaan adalah suatu kejadian

yang menyebabkan kecelakaan, dimana kejadian tersebut tidak diduga

sebelumnya atau tidak diharapkan, dimana kejadian tersebut terjadi tidak seperti

biasanya atau tidak dapat dapat diantisipasi.

Di dalam dunia penerbangan penyebab kecelakaan tidak pernah

disebabkan oleh faktor tunggal (single factor) yang berdiri sendiri. Suatu sebab

yang berdiri sendiri tidak mempunyai arti apa-apa, tetapi apabila kombinasi

berbagai faktor dapat menyebabkan kecelakaan pesawat terbang yang

mengakibatkan kematian orang. Yang dimaksud penyebab kecelakaan tersebut

adalah “sesuatu yang ada dan terjadi” pada manusia, materiil, dan media dan

      

18 

(35)

dimana sesuatu tersebut menimbulkan kecelakaan. Sesuatu itu kemudian oleh para

pemikir safety disebut sebagai tingkah laku / sikap dan keadaan / kondisi (unsafe

act and unsafe condition) yang dapat menimbulkan atau menyebabkan terjadinya

suatu kecelakaan. Dengan adanya pernyataan tersebut, maka manusia, materiil,

dan media bukan lagi disebut sebagai penyebab kecelakaan tetapi sebagai faktor

penyebab kecelakaan. Maka untuk selanjutnya manusia, materiil, dan media

adalah menjadi faktor penyebab kecelakaan dan unsafe act and unsafe condition

menjadi penyebab kecelakaan yang terkandung di dalam faktor penyebab tersebut.

Unsafe act and unsafe condition tersebut sampai saat ini masih menjadi pedoman

yang telah disepakati, diterima dan dipergunakan oleh masyarakat safety

internasional sebagai penyebab kecelakaan. Kecerobohan, ketidakpedulian, tidak

disiplin, dan etika kerja termasuk dalam bagian unsafe act, sedangkan cuaca buruk

sebagai unsafe condition. Tetapi dalam keadaan yang khusus seperti memaksakan

untuk melakukan pendaratan (landing) pada saat cuaca buruk dengan kemampuan

melihat, jarak pandang (visibilty) sangat terbatas adalah termasuk unsafe act19.

Menurut K. Martono terdapat berbagai faktor penyebab kecelakaan seperti

faktor manusia (man), pesawat terbang itu sendiri (machine), lingkungan

(environment), penggunaan pesawat udara (mission), dan pengelolaan

(management). Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka akan diuraikan

sebagai berikut :20

      

19

Widura Imam Mustopo

,

Faktor-faktor Psikologi yang mempengaruhi Perilaku Tidak Aman Penerbang ,http://psikologipenerbangan.blogspot.com/2011/06/faktor-faktor-psikologi-yang.html,(Jakarta : 2011)

20 

(36)

Faktor manusia. Dalam hal terjadi kecelakaan akibat faktor manusia, yang

biasanya dituduh adalah kapten penerbang, padahal sebenarnya tidak selalu

demikian karena manusia dalam hubungan ini adalah setiap orang atau tenaga

yang terlibat langsung dalam proses penerbangan. Mereka antara lain adalah

teknisi pesawat terbang, awak pesawat, tenaga ruang penerangan (briefing office),

tenaga pengawas lalu-lintas udara (ATC). Kapten penerbang selama menjalankan

tugasnya dapat terjadi “sudden incapicity”. sudden incapicity ini ditimbulkan oleh

berbagai penyakit, seperti penyakit serangan jantung. sudden incapicity inilah

yang menyebabkan kecelakaan. Disamping itu, mereka dapat juga mengalami

keletihan (fatigue). Kecelakaan yang disebabkan oleh manusia terjadi pada

tanggal 11 Januari 1983, dialami oleh DC-8 54F milik United Airlines Co., di

Detroit, Michigan, Amerika Serikat, karena kapten penerbang mengijinkan co

pilot yang belum mampu sebagai kapten penerbang melakukan tugas sebagai pilot

in command. Kecelakaan pesawat terbang kerena kesalahan ATC terjadi pada

tahun 1977 di Pulau Canary, jajahan Spanyol yaitu tabrakan antara pesawat

terbang B747 milik Pan Am dengan B747 milik KLM.

1. Pesawat terbang. Disamping manusia, pesawat terbang juga dapat keletihan

(fatigue), oleh karena itu setiap pesawat terbang sejak dari awal desain sampai

dengan pelaksanaan perawatan, penyimpanan dan pengoperasiannya harus

dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

2. Masalah lingkungan. Masalah lingkungan juga merupakan salah satu faktor

kecelakaan baik yang bersifat alamiah maupun perbuatan manusia. Faktor

(37)

shear), awan berputar yang biasa disebut cumulonimbus (CB), topan salju,

letusan gunung berapi. Hal ini terjadi pada saat meletusnya Gunung

Galunggung di Jawa Barat 24 Juni 1982 yang mengakibatkan pendaratan

darurat B747 milik British Airways yang terbang pada ketinggian 37.000 feet

dalam penerbangan dari Kuala Lumpur ke Australia. Menurut hasil penelitian

keempat mesinnya dimasuki debu Gunung Galunggung. Kasus yang sama

terjadi 3 minggu kemudian yang menimpa pesawat B747 milik Singapore

Airlines. Contoh lain kecelakaan DC-9 Garuda di Medan yang disebabkan

oleh awan tebal dan angin yang bertiup sangan keras.

3. Pengelolaan. Setiap penerbangan selalu diawasi oleh petugas pengawas

lalu-lintas udara (ATC) sejak lepas landas (take off) sampai saat pesawat terbang

sampai di bandara tujuan (landing). Pengawasan tersebut dilakukan secara

beruntun oleh aerodrome control service (ADC), approach control service

(APP), area control services (ACC). Masing-masing unit pengawas telah

ditetapkan batas-batas tanggung jawabnya.

Dalam membahas sebab-sebab terjadinya kecelakaan pesawat udara ada

pula yang berpendapat bahwa ada empat faktor yang punya kemungkinan besar

menjadi penyebeb terjadinya kecelakaan pesawat udara, yaitu :21

1. faktor manusia

2. faktor material

3. faktor media

4. faftor terorisme

      

21 

(38)

Dari pendapat itu faktor terorisme dimasukkan sebagai salah satu faktor

dari penyebab terjadinya kecelakaan pesawat udara, sedangkan dari pendapat K.

Martono terorisme tidak dimasukkan sebagai salah satu faktor penyebab

terjadinya kecelakaan pesawat udara. Adapun faktor manusia yang dikemukakan

dalam majalah Angkasa tersebut adalah faktor penyebab manusia dalam arti luas,

yaitu baik manusia dalam arti setiap orang yang tidak terlibat langsung dalam

proses penerbangan, termasuk pelaku sabotase dan teroris.

Dalam KUHP ataupun penjelasan dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun

1976 tentang Perubahan dan Penambahan beberapa Pasal dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana Bertalian dengan Perluasan Berlakunya

Ketentuan Perundang-Undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan, dan

Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan, tidak pernah diberikan

penjelasan atau pengertian dari istilah celakanya pesawat udara, mencelakakan

pesawat udara, pesawat udara celaka, kecelakaan pesawat udara ataupun

hancurnya pesawat udara. Dari beberapa Pasal yang berkaitan dengan kecelakaan

pesawat udara sebagaimana yang terdapat dalam KUHP di atas, maka dapatlah

diklasifikasikan manusia sebagai faktor penyebab kecelakaan pesawat udara

adalah sebagai berikut22 :

1. Dari unsur kesalahan :

a. karena kealpaan seseorang

b. karena kesengajaan seseorang

2. Dari segi pekerjaan/profesi seseorang :

      

22

(39)

a. setiap orang yang bertugas dalam proses penerbangan

1. Pilot

2. Teknisi

3. Petugas ATC

4. orang yang bertugas mendukung penerbangan,dan lain-lain

b. Orang yang tidak termasuk dalam proses penerbangan

1. Penumpang

2. Pelaku sabotase

3. Teroris

F. Metode Penelitian

1. Jenis penelitian

Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif. Langkah

pertama dilakukan penelitian hukum normatif yang didasarkan pada bahan hukum

sekunder yaitu inventarisasi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan

penerbangan.

Selain itu dipergunakan juga bahan-bahan tulisan yang berkaitan dengan

persoalan ini. Penelitian bertujuan menemukan landasan hukum pidana khususnya

yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana pilot (kapten terbang) dalam

terjadinya kecelakaan pesawat udara.

2. Jenis data dan sumber data

Data yang dipergunakan dalam skripsi adalah data sekunder yang diperoleh

(40)

a. Bahan/hukum primer berupa peraturan perundang-undangan dan

buku-buku yang ada.

b. Bahan/hukum sekunder berupa bahan acuan lainnya yang berisikan

informasi yang mendukung skripsi ini, seperti tulisan-tulisan, situs

internet ataupun artikel-artikel yang ada di majalah-majalah.

c. Bahan hukum tertier.

3. Metode Pengumpulan Data

Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah daam penulisan skripsi , maka

penulisan menggunakan metode pengumpulan data dengan cara sudi

kepustakaan dan studi putusan kasus yang berkaitan dengan skripsi ini.

4. Analisis Data

Analisis yang digunakan dalam skripsi ini adalah analisis kualitatif, yaitu

data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya

dianalisa secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang dibahas.

G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini diuraikan dalam 4 bab, dan tiap-tiap bab terbagi atas beberapa

sub-sub bab, untuk mempermudah dalam memaparkan materi dari skripsi ini yang

dapat digambarkan sebagai berikut :

BAB I : Pendahuluan, bab ini merupakan gambaran umum yang berisi tentang

(41)

Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian, dan Sistematika

Penulisan.

BAB II : Perbuatan-perbuatan yang termasuk dalam lingkup tindak pidana

penerbangan. Dalam bab ini berisi tentang perkembangan

peraturan-peraturan yang berkaitan dengan tindak pidana penerbangan, dan jenis

tindak pidana penerbangan dan ketentuan hokumnya.

BAB III : Pertanggungjawaban pidana pilot (kapten terbang) dalam kecelakaan

pesawat udara. Dalam bab ini berisi tentang Kelaikudaraan dan

pengoperasian serta keselamatan dan keamanan pesawat udara selama

penerbangan, perbuatan pilot (kapten terbang) yang termasuk tindak

pidana dalam kecelakaan pesawat udara, Pertanggungjawaban pidana

pilot (kapten terbang) dalam kecelakaan pesawat udara.

BAB IV : Kesimpulan dan Saran. Merupakan bab penutup dari seluruh rangkaian

bab-bab sebelumnya, yang berisikan kesimpulan yang dibuat

(42)

BAB II

PERBUATAN-PERBUATAN YANG TERMASUK DALAM LINGKUP TINDAK PIDANA DI BIDANG PENERBANGAN MENURUT UU NO.1

TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN

A. Perkembangan Peraturan-Peraturan yang Berkaitan dengan Tindak Pidana Penerbangan sebelum Lahirnya UU No.1 Tahun 2009

Pengaturan tindak pidana penerbangan terdapat dalam beberapa Konvensi

Internasional seperti Konvensi Tokyo tahun 196323, Konvensi The Hague 197024,

Konvensi Montreal 197125, dan terakhir Konvensi Montreal 199126. Konvensi

Tokyo 1963 yang sering disebut dengan konvensi tentang pemabajakan udara

tersebut pada pokoknya mengatur yurisdiksi terhadap tindak pidana yang terjadi

di dalam pesawat udara, kewenangan kapten penerbang terhadap

tindakan-tindakan untuk mencegah penguasaan pesawat udara secara melawan hukum.

Menurut Bab II konvensi Tokyo 1963, Negara yang mempunyai yurisdiksi

terhadap tindak pidana yang dilakukan didalam pesawat udara adalah Negara

pendaftar pesawat udara. Di samping itu dalam konvensi tersebut juga diatur

kewajiban Negara untuk mengekstradisikan pembajak kepada Negara yang

mempunyai yurisdiksi terhadap tindak pidana tanpa memperhatikan apapun motif

      

23

Konvensi Tokyo 1963 tentang Convention on Offences and Certain Other Acts Commited on Board Aircraft ditandatangani di Tokyo tanggal 14 September 1963 

24

Konvensi The Hague 1970 tentang Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft,Signed at the Hague on December 1970 

25

Konvensi Montreal 1971 tentang Convention for the Suppression of Unlawful Acts Againts the Safety of Civil Aviation ditandatangani di Montreal tanggal 23 September 1971 

26

(43)

pembajakan udara. Dalam perkembangannya konvensi Tokyo 1963 masih belum

mampu menanggulangi tindakan pidana di dalam pesawat udara, khususnya yang

menyangkut pembajakan udara, karena sejak 1969 tingkat pembajakan secara

kuantitatif ataupun kualitatif semakin meningkat. Di berbagai kawasan dunia

pembajakan udara meningkat dengan tajam, sehingga pada tahun 1970

dikeluarkan konvensi The Hague 1970.

Konvensi The Hague 1970 yang dapat disebut sebagai penyempurna

Kovensi Tokyo 1963 tersebut pada prinsipnya mengatur agar setiap Negara

tempat pembajak ditemukan wajib mengadili dan memberi hukuman yang berat

kepada pelaku pembajakan. Dalam hal Negara tersebut tidak mau mengadili

pembajak, Negara tersebut wajib mengekstradisi pembajak kepada Negara yang

mempunyai yurisdiksi tindak pidana. Apabila Negara yang bersangkutan tidak

mempunyai perjanjian ekstradisi, maka konvensi The Hague 1970 dapat dipakai

sebagai dasar hukum ekstradisi pembajak.

Dalam konvensi The Hague diatur yurisdiksi terhadap tindak pidana yang

dilakukan dalam pesawat udara yang dioperasikan secara internasional

bersama-sama (International Join Operation) dengan semikian Negara tersebut wajib

menunjuk salah satu Negara yang mempunyai yurisdiksi terhadap tindak pidana

yang dilakukan dalam pesawat udara. Keberhasilan Kovensi Tokyo 1963 yang

disempurnakan dengan Konvensi The Hague 1970 mengakibatkan tidak ada

tempat bagi pembajakan udara, sehingga sasaran tindak pidana dialihkan pada

objek-objek fasilitas pendukung keselamatan penerbangan, seperti peralatan

(44)

bangunan-bangunan lain yang merupakan fasilitas pendukung. Dengan demikian

dikeluarkan Konvesi Montreal 1971, yang mengatur tindak pidana atau

perbuatan-perbuatan melanggar hukum yang membahayakan keselamatan penerbangan sipil.

Indonesia juga menyadari betapa pentingnya mencegah dan

menanggulangi ancaman pemabajakan udara yang merupakan salah satu tindak

pidana penerbangan sipil. Indonesia secara aktif ikut serta menegakkan dan

mematuhi konvensi internasional dengan meratifikasi Konvensi Tokyo 1963,

Konvensi The Hague 1970, dan Konvensi Montreal 1971. Selain meratifikasi

konvensi tersebut diatas untuk mencegah tindak pidana penerbangan, Indonesia

juga mengeluarkan UU No.4 Tahun 1976 yang memperluas berlakunya KUHP

terhadap tindak pidana penerbangan dan terakhir UU No.15 Tahun 1992 memberi

wewenang kepda kapten penerbang untuk mengambil tindakan-tindakan

pencegahan dan peberantasan tindak pidana yang dilakukan dalam pesawat udara.

A.1. Undang-Undang No.83 Tahun 1958 tentang Penerbangan

Undang-Undang ini terdiri dari 8 (delapan) BAB dan 28 (dua puluh

delapan) pasal yang mengatur mengenai penerbangan dan segala tindakan yang

diancamkan hukuman pidana dalam penerbangan.

1. Pasal 13 ayat 1

“ Pesawat udara yang tidak mempunyai surat tanda kelaikan yang

syah, dan awak pesawat udara atau siapapun yang tidak

mempunyai surat tanda kecakapan yang sah tidak boleh

(45)

Pasal in menyatakan bahwa seseorang yang tidak memiliki surat

tanda kelaikan yang sah tidak dapat melakukan penerbangan, surat

tanda kelaikan yang sah adalah surat atau tanda sertifikasi yang

menyatakan seseorang telah pantas dan layak melakukan

penerbangan udara sipil, apabila hal tersebut dilakukan maka akan

dikenakan hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan atau

hukuman denda sebanyak-banyak nya sepuluh ribu rupiah.

Undang-Undang penerbangan pertama yang berlaku Indonesia ini tidak

menguraikan dan mengatur secara jelas mengenai tindak pidana yang

memungkinkan terjadi dalam suatu penerbangan. Undang-Undang kebanyakan

mengatur hal-hal yang membahayakan dalam penerbangan dan hal-hal yang

dilarang dalam dunia penerbangan, yang dimana apabila melanggar

ketentuan-ketentuan atau pasal-pasal yang mengatur hal tersebut dalam undang-undang

No.83 Tahun 1958 akan dikenakan sanksi pidana berupa hukuman kurungan

dibawah satu tahun ataupun dikenakan denda. Dengan ancaman hukuman seperti

tersebut dalam ketentuan pidana undang-undang No.83 Tahun 1958, ancaman

hukuman tersebut termasuk ancaman hukuman dalam tindak pidana ringan.

A.2. UU No.4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa

Pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Bertalian dengan

Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana,

Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana

(46)

Selain undang-undang penerbangan No.83 Tahun 1958 dengan perubahan

menjadi undang-undang No.15 Tahun 1992 tentang penerbangan yang mengatur

mengenai tindak pidana dalam penerbangan, ada juga undang-undang yang lain

yang berkaitan dengan hal tersebut yaitu undang-undang No.4 Tahun 1976

sebagai perubahan dan penambahan beberapa pasal dalam kitab undang-undang

hukum pidana bertalian dengan dengan perluasan berlakunya ketentuan

perundang-undangan pidana kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap

sarana/prasarana penerbangan. Dalam KUHP melalui Undang-Undang Nomor 4

Tahun 1976 diatur suatu tindakan karena kealpaan yang menyebabkan tanda atau

alat untuk pengaman penerbangan hancur, rusak, terambil atau pindah atau tidak

dapat bekerja atau menyebabkan kekeliruan terpasangnya tanda atau alat untuk

pengamanan penerbangan sehingga mengakibatkan celakanya pesawat udara,

yang diatur dalam Pasal 479 a sampai dengan d KUHP.

Pasal 479 a dan b KUHP mengatur tentang tindak pidana yang berkaitan

dengan pengrusakan bangunan untuk pengamanan lalu-lintas udara. Perbedaan

dari kedua pasal tersebut adalah kalau Pasal 479a KUHP dilakukan dengan

sengaja, maka dalam Pasal 479 b KUHP terjadi karene alpanya seseorang. Yang

dimaksud bangunan adalah fasilitas penerbangan yang digunakan untuk

pengamanan dan pengaturan lalu-lintas udara seperti : terminal, menara,dll.

Dalam Pasal 479 c dan d KUHP diatur mengenai tindak pidana yang berkaitan

dengan penghancuran alat atau alat untuk pengamanan penerbangan. Beda dari

kedua pasal tersebut adalah Pasal 479 c dilakukan secara sengaja dam melawan

(47)

tanda atau alat dalam ayat tersebut adalah fasilitas penerbangan yang digunakan

oleh atau bagi pesawat udara untuk lepas landas (take off) dan mendarat (landing)

dengan aman seperti:27

1. tanda atau alat landasan (runway-marking) termasuk garis di tengah

landasan (runway-counterline-marking).

2. tanda penunjuk/koordinat landasan (runway-designation-marking).

3. tanda ujung landasan (runway-thereshold-marking).

4. tanda adanya rintangan landasan (obstacle-marking), termasuk lampu tanda

gedung stasiun udara dan lain sebagainya.

Dalam Pasal 479 e sampai dengan g diatur mengenai kejahatan yang

mengakibatkan hancurnya pesawat udara dan apabila Kecelakaan dalam arti luas

dapat pula disebabkan adanya faktor kesengajaan. Dalam kecelakaan pesawat

udara yang terjadi karena faktor kesengajaan, sehingga mengakibatkan luka berat

atau matinya orang lain atau membahayakan nyawa orang lain diatur dalam Pasal

479 f KUHP, yang berbunyi sebagai berikut :

Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum mencelakakan,

menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak pesawat udara,

dipidana :

a. dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun, jika

karena perbuatan itu timbul bahaya bagi nyawa orang lain.

      

27

(48)

b. dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara untuk

selama-lamanya dua puluh tahun, jika karena perbuatan itu

mengakibatkan matinya orang.

Perbuatan yang dilarang dalam pasal ini adalah mencelakakan, menghancurkan,

membuat tidak dapat dipakai atau merusak pesawat udara. Adapun unsur

kesengajaan adalah “dengan sengaja”. Dengan demikian, tindakan sabotase adalah

suatu tindakan yang dapat dijangkau dengan menggunakan Pasal 479 f KUHP.

Kemungkinan-kemungkinan bahwa sabotase merupakan sebab kecelakaan

pesawat udara merupakan sebab suatu kecelakaan yang sekali-kali tidak boleh

diabaikan. Sabotase dapat berbentuk macam-macam kemungkinan, antara lain :

1. adanya bahan peledak

2. pengotoran terhadap sistim bahan bakar

3. pengotoran terhadap sistim pelumas

4. pengubahan terhadap salah satu komponen vital dari pesawat

5. keadaan baut yang tidak dikencangkan sebagaimana mestinya

6. pengikat-pengikat pipa yang sengaja dilonggarkan

7. dan hal-hal lainnya yang dengan sengaja dilanggar

Selanjutnya, juga diatur tindak pidana dalam kecelakaan pesawat udara yang

bermotifkan tanggungan asuransi, hal tersebut diatur dalam Pasal 479 h KUHP

yang berbunyi sebagai berikut:

1. Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang

lain dengan melawan hukum, atas kerugian penganggung asuransi

(49)

atau membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara, yang

dipertanggungkan terhadap bahaya tersebut diatas atau yang

dipertanggungkan muatannya maupun upah yang akan diterima untuk

pengangkutan muatannya, ataupun untuk kepentingan muatan tersebut

telah diterima uang tanggungan, dipidana dengan pidana penjara

selama-lamanya sembilan tahun.

2. Apabila yang dimaksud pada ayat (1) pasal ini adalah pesawat udara

dalam penerbangan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima

belas tahun.

3. Barang siapa dengan maksud untik menguntungkan diri sendiri atau

orang lain dengan melawan hukum atas kerugian penanggung asuransi,

menyebabkan penumpang pesawat udara yang dipertanggungkan terhadap

bahaya, mendapat kecelakaan, dipidana :

a. dengan pidana penjara selama-lamanya sepuluh tahun, jika karena

perbuatan itu menyebabkan luka-luka.

b. dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun, jika

karena perbuatan itu mengakibatkan matinya orang.

Selain pasal-pasal di atas diatur pula Pasal 479 k ayat (1) huruf d suatu ketentuan

pemberatan pidana terhadap perbuatan perampasan atau penguasaan pesawat

udara dalam penerbangan secara melawan hukum (Pasal 479 i KUHP) dan

perampasan atau penguasaan pengendalian pesawat udara dalam penerbangan

dengan kekerasan atau ancaman kekerasan (Pasal 479 j KUHP) yang

Referensi

Dokumen terkait

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, adalah jenis penelitian hukum yuridis normatif, dengan terjadinya konflik norma dalam beberapa pasal dalam aturan

menggunakan pendekatan penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris. Adapun sumber data dari penelitian ini bersumber dari bahan data primer dan data sekunder serta metode

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah metode penelitian yuridis normatif dengan bersumber pada data sekunder dan data primer berupa wawancara

Adapun Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan mengkaji

Teknik Pengumpulan Data 1 Data Sekunder Penelitian Hukum normatif yang mempergunakan data sekunder sebagai sumbernya tata cara pengambilan sampling tidak perlu dilakukan, karena

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) yaitu pengumpulan data yang dilakukan dengan cara menghimpun

Metode penelitian yang dilakukan pendekatan Yuridis Normatif dan Yuridis Sosiologis dengan sifat penelitian deskriptif analitis yang lokasi penelitian di Lembaga Pemasyarakatan

hukum normatif dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan analitis (analytical approach), yaitu dengan cara mencari makna disparitas