ANALISA YURIDIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI
INDONESIA DALAM MENANGGULANGI PRAKTEK BISNIS
BERKEDOK MULTI LEVEL MARKETING
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi dan Memenuhi Syarat-Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum
Oleh :
SUSFANI KESUMA MAHARANI 080200001
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
ANALISA YURIDIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI
INDONESIA DALAM MENANGGULANGI PRAKTEK BISNIS
BERKEDOK MULTI LEVEL MARKETING
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi dan Memenuhi Syarat-Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum
Oleh :
SUSFANI KESUMA MAHARANI 080200001
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
Disetujui Oleh
Ketua Departemen
DR. M. Hamdan, SH, M.H
NIP. 195703261986011001
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. DR. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum DR. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum
NIP. 195102061980021001 NIP. 1974040120021001
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karuniaNya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang
berjudul “Analisa Yuridis Penegakan Hukum Pidana di Indonesia dalam
Menanggulangi Praktek Bisnis Berkedok Multi Level Marketing”.
Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk melengkapi
persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
Dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, penulis telah banyak dibantu
dan dibimbing oleh berbagai pihak, maka dari itu pada kesempatan ini penulis
ingin menyampaikan rasa terima kasih sedalam-dalamnya kepada:
1. Prof. DR. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, Prof. DR. Budiman Ginting, SH, M.Hum
selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara, Bapak Syafruddin, SH, M.H.DFM selaku Pembantu Dekan II
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan Bapak Muhammad
Husni, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
2. DR. M. Hamdan, SH, MH selaku Ketua Departemen Hukum Pidana
dan Ibu Liza Erwina, SH, M.Hum selaku Sekretaris Departemen
Hukum Pidana yang telah mendukung penulis dalam pemilihan judul
dan penulisan skripsi ini sehingga penulisan skripsi ini dapat
3. Prof. DR. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing I
yang telah membimbing dan mendukung penulisan skripsi ini hingga
dapat terselesaikan.
4. DR. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing II
yang telah banyak meluangkan waktunya untuk membimbing dan
mendukung penulis hingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan.
5. Bapak Syamsul Rizal, SH, M.Hum selaku Dosen Wali penulis yang
telah banyak membantu dan membimbing penulis selama perkuliahan
di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
6. Segenap Dosen dan seluruh Civitas Akademik, juga seluruh staf
pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
7. Kedua Orangtua penulis yang tercinta, yaitu Ayahanda Marahansan
Hrp, SH dan Ibunda Sri Indrawati Kesuma, SH yang telah
membesarkan dan mendidik serta memberi kasih sayang dan doanya
sepanjang hari kepada penulis.
8. Kakak kandung penulis, Novie Andriani Kesuma, SS yang selalu
memberi kasih sayang dan perhatiannya kepada penulis.
9. Irsyah Hidayat Sitorus Pane yang selalu memberi perhatian,
kasih-sayang, dan dukungannya kepada penulis dalam keadaan apapun.
10. Diah Fardhanni (doni), W Muhammad Tri Yudha (yudha), Fahrur Rozi
(oji), M. Harry Yusuf (ucup), dan Muhammad Iqbal K (ibal) yang
11. Teman seperjuangan di FH USU yang sangat penulis sayangi Najla
Annisa FY (etek) dan Dinda Citra Gakusha Ginting (gakusha) yang
setia menemani dan mendukung penulis dalam keadaan apapun.
12. Taya Rizki Arini Hrp dan Adinda Sari Marito Tampubolon yang selalu
menjadi sahabat setia penulis.
13. Alesana, Bring Me The Horizon, Asking Alexandria, Hopes Die Last,
The Used, Pierce The Veil, The All-American Reject, Sleeping with
Sirens, etc, who always inspire when the writer feel down.
14. Seluruh teman-teman Stambuk 2008 dan senior Stambuk 2005-2007
yang tidak bisa disebutkan namanya satu-persatu, terima kasih banyak.
Akhir kata, penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat berguna bagi
para pembaca dan Ilmu Pengetahuan. Sekian dan terima kasih.
Medan, Maret 2012
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR DAFTAR ISI
ABSTRAKSI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang……….. 1
B. Perumusan Masalah………... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan……….. 5
D. Keaslian Penulisan……… 7
E. Tinjauan Kepustakaan………... 8
1. Multi Level Marketing...………...………… 8
2. Bisnis Berkedok Multi Level Marketing………. 8
3. Penegakan Hukum Pidana di Indonesia dalam Menanggulangi Praktek Bisnis Berkedok MLM………… 9
F. Metode Penelitian……… 11
1. Jenis Penelitian……….. 11
2. Sumber Data……….. 13
3. Alat Pengumpulan Data……… 14
4. Analisa Data……….. 14
G. Sistematika Penulisan……….. 15
BAB II LEGALITAS BISNIS MLM DI INDONESIA SERTA KAITANNYA TERHADAP BISNIS BERKEDOK MLM A. Sejarah Sistem Multi Level Marketing………... 17
B. Pengertian Multi Level Marketing……….. 21
C. Ruang Lingkup Sistem MLM………. 28
1. Perusahaan MLM……….. 28
2. Distributor Perusahaan MLM……… 30
3. Konsumen……….. 33
5. Komisi………... 37
D. Sejarah Skema Piramid dan Bisnis Berkedok MLM……….. 41
E. Skema Piramid dan Bisnis Berkedok MLM………... 49
F. Sistem Kerja Skema Piramid………...……… 58
G. Perspektif Hukum Sistem MLM………. 62
H. Legalitas Bisnis MLM di Indonesia Serta Kaitannya Terhadap
Bisnis Berkedok MLM……… 65
BAB III ANALISA YURIDIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA DALAM MENANGGULANGI PRAKTEK BISNIS BERKEDOK MLM
A. Hukum Pidana di Indonesia dalam Menanggulangi Praktek
Bisnis Berkedok MLM……… 70
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)………... 70
2. Ketentuan Undang-Undang Perbankan (UU No. 7/1992 jo.
UU No. 10/1998)………... 71
3. Ketentuan Undang-Undang Pasar Modal (UU No.
8/1995)……… 74
4. Ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UU
No. 8/1999)……… 76
B. Analisa Yuridis Penegakan Hukum Pidana di Indonesia dalam
Menangulangi Praktek Bisnis Berkedok MLM……..……… 78
1. Substansi Hukum……….. 79
2. Proses Penegakan Hukum………. 81
3. Budaya Hukum……….. 91
BAB IV KESIMPULAN & SARAN
A. Kesimpulan……….. 95
B. Saran……… 96
Susfani Kesuma Maharani*
Prof. DR. Syafruddin Kalo. SH, M.Hum** DR. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum***
Dunia bisnis di Indonesia saat ini berkembang dengan pesat. Bidang usaha atau jenis usaha mencakup bidang yang luas, baik barang maupun jasa. Salah satu variasi bisnis yang sedang berkembang adalah bisnis Multi Level Marketing (MLM). Perkembangan industri bisnis MLM di Indonesia memberi dampak positif bagi kemajuan perekenomian nasional. Masyarakat Indonesia yang memperoleh sumber penghidupan melalui industri ini sekurang-kurangnya berjumlah 4,5 juta jiwa. Prestasi ini namun sering kali kurang mendapat apresiasi yang positif di masyarakat karena maraknya praktek ilegal yang telah merugikan banyak orang dengan mengatasnamakan MLM sebagai kedok usahanya, sehingga mencoreng nama baik dari industri MLM itu sendiri.
Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah, pertama bagaimanakah legalitas bisnis MLM di Indonesia serta kaitannya terhadap bisnis berkedok MLM, kedua bagaimanakah penegakan hukum pidana di Indonesia dalam menanggulangi praktek bisnis berkedok MLM.
Metode penelitian dalam penulisan ini adalah penelitian hukum normatif yang tujuan pokoknya adalah hendak menguji apakah suatu postulat normatif tertentu memang dapat digunakan untuk memecahkan suatu masalah hukum tertentu in concreto. Alat pengumpulan data dalam penulisan ini studi kepustakaan (library research).
Jawaban dari permasalahan pertama adalah legalitas bisnis MLM di Indonesia meskipun telah diakui di dalam Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 32/M-DAG/PER/8/2008 tentang Kegiatan Usaha Perdagangan dengan Sistem Penjualan Langsung serta perubahannya pada Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 47/M-DAG/9/2009 dan Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 55/M-DAG/PER/10/2009 tentang Pendelegasian Wewenang Penerbitan Surat Izin Usaha Penjualan Langsung kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, ternyata tidak cukup mampu menghilangkan kesalahpahaman masyarakat terhadap industri bisnis MLM. Legalitas bisnis MLM di Indonesia agar dapat diakui masyarakat perlu didukung dengan penegakan hukum pidana dalam menanggulangi praktek bisnis berkedok MLM, serta peran aktif pemerintah dalam mengedukasi masyarakat tentang seluk-beluk dan bahaya bisnis berkedok MLM.
Jawaban dari permasalahan kedua adalah penegakan hukum pidana di Indonesia dalam menanggulangi praktek bisnis berkedok MLM masih tergolong lemah, baik karena lemahnya aturan hukum maupun proses penegakan hukum. Penanggulangan praktek bisnis berkedok MLM di Indonesia perlu diatur dalam Undang yang khusus, yaitu Undang Anti-Piramid atau Undang-Undang Anti-Money Game sebagai upaya pencegahan dan pemberantasan praktek bisnis berkedok MLM maupun praktek money game di Indonesia.
____________________________
*Mahasiswi Fakultas Hukum USU
Susfani Kesuma Maharani*
Prof. DR. Syafruddin Kalo. SH, M.Hum** DR. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum***
Dunia bisnis di Indonesia saat ini berkembang dengan pesat. Bidang usaha atau jenis usaha mencakup bidang yang luas, baik barang maupun jasa. Salah satu variasi bisnis yang sedang berkembang adalah bisnis Multi Level Marketing (MLM). Perkembangan industri bisnis MLM di Indonesia memberi dampak positif bagi kemajuan perekenomian nasional. Masyarakat Indonesia yang memperoleh sumber penghidupan melalui industri ini sekurang-kurangnya berjumlah 4,5 juta jiwa. Prestasi ini namun sering kali kurang mendapat apresiasi yang positif di masyarakat karena maraknya praktek ilegal yang telah merugikan banyak orang dengan mengatasnamakan MLM sebagai kedok usahanya, sehingga mencoreng nama baik dari industri MLM itu sendiri.
Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah, pertama bagaimanakah legalitas bisnis MLM di Indonesia serta kaitannya terhadap bisnis berkedok MLM, kedua bagaimanakah penegakan hukum pidana di Indonesia dalam menanggulangi praktek bisnis berkedok MLM.
Metode penelitian dalam penulisan ini adalah penelitian hukum normatif yang tujuan pokoknya adalah hendak menguji apakah suatu postulat normatif tertentu memang dapat digunakan untuk memecahkan suatu masalah hukum tertentu in concreto. Alat pengumpulan data dalam penulisan ini studi kepustakaan (library research).
Jawaban dari permasalahan pertama adalah legalitas bisnis MLM di Indonesia meskipun telah diakui di dalam Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 32/M-DAG/PER/8/2008 tentang Kegiatan Usaha Perdagangan dengan Sistem Penjualan Langsung serta perubahannya pada Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 47/M-DAG/9/2009 dan Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 55/M-DAG/PER/10/2009 tentang Pendelegasian Wewenang Penerbitan Surat Izin Usaha Penjualan Langsung kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, ternyata tidak cukup mampu menghilangkan kesalahpahaman masyarakat terhadap industri bisnis MLM. Legalitas bisnis MLM di Indonesia agar dapat diakui masyarakat perlu didukung dengan penegakan hukum pidana dalam menanggulangi praktek bisnis berkedok MLM, serta peran aktif pemerintah dalam mengedukasi masyarakat tentang seluk-beluk dan bahaya bisnis berkedok MLM.
Jawaban dari permasalahan kedua adalah penegakan hukum pidana di Indonesia dalam menanggulangi praktek bisnis berkedok MLM masih tergolong lemah, baik karena lemahnya aturan hukum maupun proses penegakan hukum. Penanggulangan praktek bisnis berkedok MLM di Indonesia perlu diatur dalam Undang yang khusus, yaitu Undang Anti-Piramid atau Undang-Undang Anti-Money Game sebagai upaya pencegahan dan pemberantasan praktek bisnis berkedok MLM maupun praktek money game di Indonesia.
____________________________
*Mahasiswi Fakultas Hukum USU
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehidupan manusia tidak terlepas dari berbagai macam kebutuhan.
Menurut sifatnya kebutuhan manusia digolongkan ke dalam tiga bagian, yaitu
kebutuhan primer sebagai kebutuhan dasar, kebutuhan sekunder sebagai
kebutuhan penunjang dari kebutuhan primer, dan kebutuhan tersier sebagai
kebutuhan pelengkap dari kebutuhan primer dan sekunder. Pemenuhan berbagai
kebutuhan tersebut memerlukan biaya yang relatif besar, sehingga seseorang
harus bekerja demi memperoleh penghasilan.1
Pesatnya kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK)
dewasa ini menciptakan persaingan yang semakin ketat di masyarakat dalam
upaya pencarian dan perolehan pekerjaan. Kemajuan IPTEK mendorong seleksi
alamiah yang mengarah kepada ‘yang terkuat yang bertahan’, sehingga
menimbulkan ketidakseimbangan antara laju pertambahan jumlah tenaga kerja
dengan lapangan pekerjaan yang tersedia. Upaya yang bisa dilakukan untuk
meminimalisir ketidakseimbangan tersebut hanyalah dengan menciptakan
lapangan kerja baru.2
Penciptaan lapangan kerja dewasa ini tidak hanya diupayakan oleh
pemerintah, tetapi juga telah banyak diupayakan oleh masyarakat. Salah satu
wujud sumbangsih masyarakat dapat dilihat melalui gagasan serta karya kreatif
1
Warsono, “Prinsip-Prinsip dan Praktek Keuangan Pribadi”, Jurnal Salam Volume 13 Nomor 2 Universitas Muhamadiyah Malang, 2010, hlm. 138-140.
2
pada industri Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Pertumbuhan UKM dewasa ini
menandai bangkitnya suatu kesadaran masyarakat untuk mampu mandiri dalam
berbisnis.3
Dunia bisnis di Indonesia saat ini berkembang dengan pesat. Bidang usaha
atau jenis bisnis mencakup bidang yang luas, baik barang maupun jasa. Salah satu
variasi bisnis yang sedang berkembang adalah bisnis Multi Level Marketing
(MLM). Saat ini terdapat lebih dari seratus perusahaan di Indonesia yang
berkecimpung dalam industri bisnis MLM. Pertumbuhannya pada tahun 2011
yang lalu diperkirakan mencapai 20%. Menurut Helmi Attamimi, Ketua Asosiasi
Penjualan Langsung Indonesia (APLI) menyatakan bahwa “Permohonan Surat
Izin Usaha Penjualan Langsung (izin khusus penyelenggaraan usaha MLM) di
BKPM selalu ada. Kita rapat di BKPM setiap minggu”.4
Bisnis MLM merupakan bisnis yang bergerak di sektor perdagangan
barang dan/atau jasa yang menggunakan sistem MLM sebagai strategi bisnisnya.
Adapun sistem MLM itu sendiri adalah metode yang digunakan sebuah induk
perusahaan dalam memasarkan produknya kepada konsumen melalui suatu
jaringan orang-orang bisnis yang independen.5
Perkembangan Industri bisnis MLM di Indonesia memberi dampak positif
bagi kemajuan perekonomian nasional. Masyarakat Indonesia yang memperoleh
sumber penghidupan melalui industri ini sekurang-kurangnya berjumlah 4,5 juta
3
Muhammad Fachrur Rozi, 2003, Budaya Industri Pemasaran Jaringan di Indonesia, Yogyakarta, Netbooks Press, hlm. x.
5
jiwa dan masih akan bertambah lagi. Prestasi ini sayangnya sering kali kurang
mendapat apresiasi yang positif di masyarakat. Kurangnya apresiasi tersebut
disebabkan karena maraknya praktek ilegal yang telah merugikan banyak orang
dengan mengatasnamakan MLM sebagai kedok usahanya, sehingga mencoreng
nama baik dari industri MLM itu sendiri.6
Bisnis berkedok MLM telah muncul di Indonesia sejak tahun 1998 dan
terus berkembang hingga saat ini, misalnya saja BMA (1998), New Era 21 (1999),
Higam Net (1999), Promail (2000), Goldquest (2000), Probest International
(2000), YAMI (2002), Golden Saving (2003), TV1 Express (2011), dll.
Masyarakat yang menjadi korban akibat dari praktek-praktek ilegal tersebut
diperkirakan sudah mencapai puluhan ribu jiwa dengan total kerugian mencapai
puluhan triliun rupiah.7 Para korban maupun masyarakat yang hanya mengetahui
berita-berita terungkapnya kasus penipuan berkedok MLM melalui media massa
umumnya tidak mengetahui perbedaan antara bisnis MLM dengan bisnis
berkedok MLM, sehingga cenderung menyamaratakan keduanya. Hal ini
sesungguhnya merupakan pemikiran yang salah. Kurangnya pengetahuan
masyarakat mengenai karakteristik bisnis MLM murni telah dimanfaatkan oleh
orang-orang yang tidak bertanggung jawab demi memperkaya diri sendiri.
Keadaan ini berlangsung selama puluhan tahun di Indonesia, sehingga
menghilangkan legalitas bisnis MLM dalam pemahaman masyarakat.8
6
Edy Zaqeus (editor), “Jalan Panjang Menuju UU Anti Piramid Telah Dimulai”, INFO APLI Edisi XIV (Nov, 2002), hlm. 1.
tanggal 14 Oktober 2011.
Bisnis berkedok MLM di Indonesia hingga saat ini belum secara tegas
dilarang dalam suatu Undang-Undang yang khusus, sehingga penanggulangannya
tidak berjalan dengan efektif. Penanggulangannya hanya sebatas memidanakan
para pelaku apabila korban mengadukannya ke pihak yang berwenang, sama
sekali belum menyentuh sisi preventifnya. Disamping itu, sosialisasi pemerintah
dalam mengedukasi masyarakat tentang seluk-beluk dan bahaya bisnis berkedok
MLM juga sangat minim. Kedua hal inilah yang terus menjadi pemicu maraknya
praktek bisnis berkedok MLM di Indonesia.9
Maraknya bisnis berkedok MLM juga telah berpengaruh buruk bagi citra
industri bisnis MLM murni. Tidak sedikit di masyarakat yang sangat anti jika
mendengar kata MLM, meskipun demikian tidak dapat dipungkiri ada beberapa
usaha MLM yang diakui keabsahannya. Beberapa usaha MLM yang dikenal baik
seperti CNI, Amway, Oriflame, Sophie Martin, Prime & First New, Herbalife, dll
diyakini sebagai bisnis yang legal karena usahanya telah berlangsung selama
bertahun-tahun dan produk-produknya pun memang sangat diterima di
masyarakat, namun demikian nama baik yang telah dibangun dengan bersusah
payah selama bertahun-tahun tersebut dapat saja menurun dalam waktu singkat
akibat ulah praktek-praktek ilegal yang mengatasnamakan MLM sebagai kedok
usahanya.10
Maraknya praktek bisnis berkedok MLM di Indonesia harus segera
ditanggulangi dengan upaya-upaya yang lebih konkrit. Pemerintah dan DPR
9
Edy Zaqeus (editor), “Mengapa Orang ‘Mau Jadi Korban’ Money Game atau Skema Piramid?”, INFO APLI Edisi XXXIV (Okt-Des, 2006), hlm. 11.
sudah selayaknya segera menerbitkan Undang-Undang khusus sebagai upaya
pencegahan dan pemberantasan praktek bisnis berkedok MLM. Disamping itu,
peran aktif pemerintah dalam mengedukasi masyarakat tentang seluk-beluk dan
bahaya bisnis berkedok MLM juga sangat dibutuhkan. Jika hal ini tidak segera
direalisasikan, maka modus penipuan berkedok MLM akan selalu terjadi dan
menimbulkan banyak korban, selain itu nama baik industri bisnis MLM pun akan
ikut tercemar.
Berdasarkan gambaran diatas maka penulisan ini ditujukan untuk
membahas legalitas bisnis MLM di Indonesia serta kaitannya kaitannya terhadap
bisnis berkedok MLM, dan bagaimanakah penegakan hukum pidana di Indonesia
dalam menanggulangi praktek-praktek bisnis berkedok MLM.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan gambaran latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan
beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah legalitas bisnis Multi Level Marketing di Indonesia
serta kaitannya terhadap bisnis berkedok Multi Level Marketing?
2. Bagaimanakah penegakan hukum pidana di Indonesia dalam
menanggulangi praktek bisnis berkedok Multi Level Marketing?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Adapun tujuan dan manfaat penulisan ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui legalitas bisnis Multi Level Marketing di
Indonesia serta kaitannya dengan bisnis berkedok Multi Level
Marketing.
b. Untuk mengetahui penegakan hukum pidana di Indonesia dalam
menanggulangi praktek bisnis berkedok Multi Level Marketing.
2. Manfaat Penulisan
a. Manfaat Teoritis
1) Memberikan gambaran mengenai bisnis Multi Level Marketing
murni dan bisnis berkedok Multi Level Marketing.
2) Memberikan gambaran mengenai penegakan hukum pidana di
Indonesia dalam menanggulangi praktek bisnis berkedok Multi
Level Marketing.
3) Menambah wawasan dan khasanah bacaan bagi setiap orang
yang berkenan membaca tulisan ini.
b. Manfaat Praktis
1) Menumbuhkan sikap kritis bagi setiap orang dalam menyikapi
bisnis Multi Level Marketing dan bisnis berkedok Multi Level
Marketing.
2) Menumbuhkan kewaspadaan bagi setiap orang terhadap
jenis-jenis usaha yang menjanjikan keuntungan sebesar-besarnya
dalam waktu singkat namun tanpa usaha dan kerja keras.
3) Sebagai tugas akhir dari penulis dalam memperoleh gelar
D. Keaslian Penulisan
Sepanjang penelusuran di perpustakaan Fakultas Hukum USU, skripsi
dengan judul “Analisa Yuridis Penegakan Hukum Pidana di Indonesia dalam
Menanggulangi Praktek Bisnis Berkedok Multi Level Marketing” belum
pernah diteliti dalam bentuk skripsi di Departemen Hukum Pidana, namun di
Departemen Hukum Perdata skripsi yang pernah ditulis menyangkut Multi Level
Marketing telah ada penelitian sebelumnya.
Skripsi mengenai Multi Level Marketing dalam bidang hukum perdata di
Fakultas Hukum USU ditulis oleh Rika Sugesti Mandalani dengan judul
“Aspek-Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Transaksi Bisnis Multi Level Marketing (Studi Lapangan Pada Perusahaan Sophie Martin)”, dan
juga oleh Henny Sekartati dengan judul “Aspek-Aspek Hukum Perlindungan
Konsumen Dalam Transaksi Melalui Multi Level Marketing (Studi Lapangan Pada Perusahaan Elken)”. Kedua penulisan tersebut membahas
Multi Level Marketing dari segi Hukum Perlindungan Konsumen (UU No. 8
Tahun 1999).
Adapun penulisan dalam skripsi ini berbeda dari penulisan yang pernah
ditulis dalam skripsi sebelumnya. Penulisan skripsi ini membahas legalitas bisnis
MLM di Indonesia serta kaitannya terhadap praktek bisnis berkedok MLM dari
segi hukum pidana, serta menganalisa penegakan hukum pidana di Indonesia
E. Tinjauan Kepustakaan
Penulisan skripsi ini menggunakan beberapa bahan acuan yang berkaitan
dengan MLM, bisnis berkedok MLM, dan penegakan hukum pidana di Indonesia
dalam menanggulangi praktek bisnis berkedok MLM, yaitu sebagai berikut:
1. Multi Level Marketing
Multi Level Marketing adalah sistem melalui mana sebuah induk
perusahaan mendistribusikan barang dan/atau jasa lewat suatu jaringan
orang-orang bisnis yang independen.11 Multi Level Marketing disebut juga
Network Marketing atau pemasaran jaringan.12 Sistem ini memiliki
ciri-ciri khusus yang membedakannya dengan sistem pemasaran yang lain,
diantara ciri-ciri khusus tersebut adalah terdapatnya banyak jenjang atau
level, adanya penjualan produk secara langsung ke konsumen melalui
jaringan distributor independen, adanya sistem pengembangan jaringan,
adanya sistem pelatihan, serta adanya komisi atau bonus bagi setiap
distributor yang berprestasi dalam hal penjualan produk ke konsumen.13
2. Bisnis Berkedok Multi Level Marketing
Bisnis berkedok MLM dikenal pula dalam istilah money game atau
penggandaan uang. Konsep bisnis ini menggunakan Skema Piramid
(pyramid scheme) yang selalu diidentikkan dengan sistem MLM.14
11
David Roller, loc.cit. 12
Mark Yarnell & Rene Reid Yarnell, 1999, Tahun Pertama Anda Dalam Network Marketing, Jakarta, Penerbit Erlangga, hlm. xii.
13
Puspita Rachmawati, 2008, “Multi Level Marketing pada Perusahaan Tian Shi Solo ditinjau dari Hukum Islam”, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, hlm. 6.
14
MLM Leaders, 2007, The Secret Book Of MLM, Jakarta, Mic Publishing, hlm. 20.
dalam skema ini ditempatkan sedemikian rupa hingga terlihat seperti
bentuk piramid. Skema Piramid adalah sistem investasi palsu yang
membayarkan komisi kepada peserta lama dari dana peserta baru yang
direkrutnya, bukan dari laba yang riil. Skema ini ditakdirkan untuk runtuh
karena pendapatan jika ada, akan kurang untuk membayar keuntungan
para pesertanya. Keilegalan skema ini terletak pada timbulnya kerugian
peserta di level terbawah atas hilangnya sejumlah uang yang
diinvestasikan ke dalam bisnis tersebut.15
3. Penegakan Hukum Pidana di Indonesia dalam Menanggulangi Praktek
Bisnis Berkedok MLM
Menurut Andi Hamzah dalam Mohammad Ekaputra dan Abul Khair,
ahli hukum di Indonesia membedakan istilah hukuman dengan pidana
yang dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah straf. Istilah hukuman
adalah istilah umum yang dipergunakan untuk semua jenis sanksi baik
dalam ranah hukum perdata, administratif, disiplin dan pidana, sedangkan
istilah pidana diartikan secara sempit yaitu hanya sanksi yang berkaitan
dengan hukum pidana.16
2011.
16
Adapun tujuan dari pemidanaan (punishment) menurut Herbert L.
Packer dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief didasarkan pada dua tujuan
sebagai berikut:17
a. Untuk mencegah terjadinya kejahatan atau perbuatan yang tidak
dikehendaki atau perbuatan yang salah (the prevention of crime or
undesired conduct or offending conduct);
b. Untuk mengenakan penderitaan atau pembalasan kepada pelanggar
(the deserved infliction of suffering on evildoers or retribution for
perceived wrong doing).
Penegakan hukum pidana dalam menanggulangi praktek bisnis
berkedok MLM bertugas untuk mencegah (preventif), dan menentukan
sanksi (represif) terhadap setiap pelanggaran hukum yang mengakibatkan
kerugian finansial bagi para korban. Ketentuan tersebut ditujuka n untuk
mencegah sejak dini timbulnya praktek-praktek ilegal berkedok MLM
yang berpotensi menimbulkan banyak korban, serta memidanakan para
pelakunya apabila prakteknya telah dilakukan. Dengan adanya ketentuan
tersebut maka keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum dapat terjamin.
Pandangan tersebut namun masih jauh dari kenyataan, kejahatan bisnis
berkedok MLM di Indonesia hingga saat ini belum secara tegas dilarang
dalam suatu Undang-Undang yang khusus, sehingga pencegahan dan
pemberantasan prakteknya tidak berjalan dengan efektif. Pelaku bisnis
berkedok MLM hanya dapat dijerat dengan berpedoman pada
aturan-17
aturan positif dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
peninggalan Belanda yang dalam banyak hal sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan zaman. Aturan-aturan KUHP yang terkait dengan
kejahatan bisnis berkedok MLM adalah Pasal 374 KUHP tentang Tindak
Pidana Penggelapan dan/atau Pasal 378 tentang Tindak Pidana Penipuan.
Ketentuan di luar KUHP yang dapat digunakan untuk menjerat pelakunya
dengan pidana yang lebih berat adalah UU Perbankan (UU No. 7/1992 jo.
UU No. 10/1998), UU Pasar Modal (UU No. 8/1995), dan UU
Perlindungan Konsumen (UU No. 8/1999).18
1. Jenis Penelitian
F. Metode Penelitian
Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini
adalah sebagai berikut:
Penelitian yang digunakan dalam penulisan ini ialah penelitian hukum
normatif atau yang dikenal dengan doctrinal research. Penelitian doktrinal
menurut Soetandyo Wignjosoebroto terdiri dari:19
a. Penelitian yang berupa usaha inventarisasi hukum positif;
b. Penelitian yang berupa usaha penemuan asas-asas dan dasar
falsafah (dogma atau doktrin) hukum positif; dan
18
R. Serfianto D., Iswi Hariyani, Cita Yustisia, 2011, Multi Level Marketing Money Game & Skema Piramid, Jakarta, PT Elex Media Komputindo, hlm. 267-268.
19
c. Penelitian yang berupa usaha penemuan hukum in concreto yang
layak diterapkan untuk menyelesaikan suatu perkara hukum
tertentu.
Penulisan dalam skripsi ini tergolong ke dalam jenis penelitian
doktrinal pada poin c. Penelitian doktrinal tipe ketiga ini menurut Pollack
dikenal sebagai legal research yang tujuan pokoknya adalah hendak
menguji apakah suatu postulat normatif tertentu memang dapat digunakan
untuk memecahkan suatu masalah hukum tertentu in concreto.20
Dengan demikian Pasal 374 KUHP dan/atau Pasal 378 KUHP,
maupun UU Perbankan (UU No. 7/1992 jo. UU No. 10/1998), UU Pasar
Modal (UU No. 8/1995), dan UU Perlindungan Konsumen (UU No. Adapun penulisan dalam skripsi ini ditujukan untuk menganalisa
penegakan hukum pidana di Indonesia dalam menanggulangi praktek
bisnis berkedok MLM. Praktek bisnis berkedok MLM di Indonesia hingga
saat ini belum secara tegas dilarang dalam suatu Undang-Undang khusus,
oleh sebab itu untuk menjerat pelakunya masih dipedomani aturan umum
yang berlaku dalam KUHP, yaitu Pasal 374 tentang Tindak Pidana
Penggelapan dan/atau Pasal 378 tentang Tindak Pidana Penipuan.
Ketentuan di luar KUHP yang dapat digunakan untuk menjerat pelakunya
dengan pidana yang lebih berat adalah UU Perbankan (UU No. 7/1992 jo.
UU No. 10/1998), UU Pasar Modal (UU No. 8/1995), dan UU
Perlindungan Konsumen (UU No. 8/1999).
20
8/1999) merupakan norma-norma hukum in abstracto yang diperlukan
mutlak untuk berfungsi sebagai premisa mayor, sedangkan fakta-fakta
yang relevan dalam perkara in concreto (legal facts) yakni mengenai
bisnis berkedok MLM berfungsi sebagai premisa minor.
2. Sumber Data
Data yang digunakan dalam penulisan ini adalah data sekunder, yaitu
data yang diperoleh dari bahan-bahan yang sudah siap tersaji, langsung
dapat digunakan dan berasal dari peneliti-peneliti sebelumnya. Sumber
data diperoleh dari:21
a. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat
sebagai berikut:
1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP); UU Perbankan
(UU No. 7/1992 jo. UU No. 10/1998); UU Pasar Modal (UU
No. 8/1995); dan UU Perlindungan Konsumen (UU No.
8/1999).
2) Peraturan di bawah Undang-Undang yang terkait dengan
penyelenggaraan bisnis MLM, yaitu Peraturan Menteri
Perdagangan (Permendag) No. 32/M-DAG/PER/8/2008 tentang
Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Perdagangan dengan Sistem
Penjualan Langsung serta perubahannya pada Permendag No.
47/M-DAG/9/2009; dan Permendag No.
55/M-DAG/PER/10/2009 tentang Pendelegasian Wewenang
21
Penerbitan Surat Izin Usaha Penjualan Langsung kepada
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal.
b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer, seperti buku-buku
bacaan atau karya dari kalangan hukum yang menyangkut bisnis
MLM, bisnis berkedok MLM, teori-teori hukum pidana yang
terkait, berita maupun artikel yang berasal dari internet yang terkait
dengan penulisan ini.
c. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang, yaitu
bahan-bahan yang memberi petunjuk-petunjuk maupun penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum
atau ensiklopedia.
3. Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
studi kepustakaan (library research).
4. Analisa data
Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa
kualitatif, yaitu mengikhtisarkan hasil pengumpulan data sekunder
kategori atau tema tertentu sehingga dapat menjawab
permasalahan-permasalahan dalam penulisan ini.22
Bab III Pembahasan mengenai analisa yuridis penegakan hukum pidana di
Indonesia dalam menanggulangi praktek bisnis berkedok MLM
yang terdiri dari: hukum pidana di Indonesia dalam menanggulangi
praktek bisnis berkedok MLM, dan analisa yuridis penegakan
G. Sistematika Penulisan
Keseluruhan sistematika yang ada dalam penulisan skripsi ini merupakan
satu kesatuan yang saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya dan tidak
terpisahkan. Sistematika penulisan adalah sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan yang terdiri dari: latar belakang, perumusan masalah,
tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan
kepustakaan, Metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II Pembahasan mengenai legalitas bisnis MLM di Indonesia serta
kaitannya terhadap bisnis berkedok MLM yang terdiri dari: sejarah
sistem MLM, pengertian MLM, ruang lingkup sistem MLM,
sejarah skema piramid dan bisnis berkedok MLM, skema piramid
dan bisnis berkedok MLM, sistem kerja skema piramid, perspektif
hukum sistem MLM, dan legalitas bisnis MLM di Indonesia serta
kaitannya terhadap bisnis berkedok MLM.
22
hukum pidana di Indonesia dalam menanggulangi praktek bisnis
berkedok MLM.
Bab IV Penutup yang terdiri dari; kesimpulan seluruh tulisan atau
BAB II
LEGALITAS BISNIS MLM DI INDONESIA SERTA KAITANNYA TERHADAP BISNIS BERKEDOK MLM
A. Sejarah Sistem Multi Level Marketing
Penjualan langsung telah dikenal sejak manusia melakukan pertukaran
dalam bentuk natura (barter barang dengan barang) hingga manusia mengenal
uang sebagai alat pembayaran yang dapat diterima secara umum. Pertukaran
natura merupakan aktivitas ekonomi yang diterapkan dalam sistem ekonomi
pasar. Sistem ini sebagai bentuk pertukaran ekonomi yang mengiringi
pertumbuhan perusahaan telah berkembang pesat hingga menampilkan wajahnya
yang paling modern yaitu Multi Level Marketing (MLM).23
Sistem MLM berasal dari Amerika Serikat dan mulai diperkenalkan secara
ilmiah oleh dua orang Profesor Pemasaran dari Universitas Chicago, yaitu Karl
Ramburg dan Robert Metcalt pada tahun 1945.24
Menurut sejarahnya embrio atau cikal bakal sistem MLM berasal dari
sistem penjualan langsung (direct selling) yang dipopulerkan oleh
perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat pada abad ke-18. Perusahaan pada masa itu
menerapkan sistem penjualan langsung karena belum tersedia sarana seperti
televisi, radio, atau internet untuk mengiklankan sebuah produk. Perusahaan
umumnya mengirim tenaga penjual (sales) ke kota-kota untuk memasarkan
23
M. Fachrur Rozi, op.cit., hlm. 14-15. 24
produk secara langsung kepada konsumen dari rumah ke rumah (knock on doors
to market and sell products).25
Sistem penjualan langsung mulai dikembangkan oleh Henry Heinz di
perusahaan Heinz Company yang ia dirikan di Sharpsburg, Pennsylvania, AS pada
tahun 1869.26 Heinz membangun sebuah organisasi penjualan beranggotakan 400
orang salesman untuk menjual secara langsung berbagai produk sayuran seperti
kecap, saus, dan acar kepada orang-orang yang tidak membuatnya untuk
kebutuhan sendiri.27
Sistem penjualan langsung selanjutnya lebih dipopulerkan lagi oleh David
McConnel di perusahaan The California Perfume Company yang ia dirikan pada
tahun 1886 di New York. McConnel sampai tahun 1906 berhasil membangun
armada bisnisnya mencapai 10.000 sales representatives untuk memasarkan 117
jenis produk hingga ke mancanegara. Seiring dengan perkembangan usaha dan
semakin beragamnya produk yang dipasarkan, maka pada tahun 1939 The
California Perfume Company diganti namanya menjadi Avon The Company For
Women.28
Sistem penjualan langsung selanjutnya dikembangkan oleh Carl F
Rehnborg melalui perusahaan Nutrilite Products Company, Inc yang ia dirikan
pada tahun 1934 di California. Nutrilite menerapkan sistem bonus sebesar 2% dari
total volume penjualan kepada setiap penjual (distributor) yang berhasil merekrut,
melatih dan membantu penjual baru untuk menjual vitamin dan makanan
28
kesehatan Nutrilite kepada konsumen. Ini merupakan pertama kalinya vitamin dan
makanan kesehatan Nutrilite dijual melalui sistem Multi Level Marketing
(MLM).29
Pada tahun 1950-an Nutrilite mengalami persoalan internal dalam
manajemen perusahaan sehingga Forrest Shaklee memutuskan untuk keluar dari
keanggotaan distributor. Shaklee kemudian mendirikan Shaklee Corporation pada
tahun 1956 dengan meniru pola bisnis (MLM) yang diterapkan Nutrilite. Shaklee
adalah seorang ilmuwan dan ahli riset yang menyebabkannya mampu
mengembangkan Shaklee dengan memproduksi berbagai jenis makanan kesehatan
(nutrisi). Shaklee memiliki sekitar 200 item produk yang berhasil dipasarkan ke
beberapa negara di luar AS seperti Kanada, Meksiko, Filiphina, Malaysia,
Singapura dan Jepang.30
Richard DeVos dan Jay Van Andel, dua orang mantan distributor Nutrilite
yang lain mendirikan Amway Corporation di Ada, Michigan, California pada
tahun 1959. Produk awal yang mereka jual adalah LOC (Liquid Organic Cleaner),
yaitu cairan pembersih serbaguna (biodegradable) yang aman bagi lingkungan.
Amway sebagaimana halnya Shaklee menerapkan sistem penjualan langsung
dengan komisi berjenjang yang mereka pelajari selama menjadi distributor
Nutrilite.31
29
Jabbar Ibrahim, loc.cit. 30
Andrias Harefa, 2007, Menapaki Jalan DS-MLM, Yogyakarta, Gradien Books, hlm. 18. 31
Jabbar Ibrahim, op.cit., hlm. 17.
Sistem MLM tersebut kemudian membesarkan nama Amway, bahkan
melebihi popularitas Shaklee di mancanegara. Amway sampai tahun 1980 telah
dikenal di sebelas negara di luar AS, yaitu Kanada (1962), Australia (1971),
(1976), Perancis (1977), Belanda (1978), Jepang (1979) dan Switzerland (1980).32
Amway juga membeli perusahaan Nutrilite pada tahun 1972 dan membuatnya
menjadi salah satu lini produk yang diandalkan hingga kini. Kesuksesan Amway
kemudian mendorong tumbuhnya berbagai jenis perusahaan berbasis MLM di
seluruh dunia.33
Keberadaan MLM sendiri di Indonesia diawali dengan berdirinya Creative
Network International (CNI) pada tahun 1986 di Bandung dengan nama PT
Nusantara Sun-Chlorella Tama (NSCT). Perusahaan ini didirikan oleh keluarga
Wirawan Chondro, Ginawan Chondro, S. Abrian Natan, dan seorang sahabat
mereka dari Malaysia Yanki Regan. PT NSCT pada waktu itu mengadopsi sistem
MLM untuk mendistribusikan produk tunggal, yaitu makanan kesehatan Sun
Chlorela buatan Jepang. Seiring dengan perkembangan usaha dan semakin
banyaknya produk yang dipasarkan, maka pada tahun 1992 PT NSCT diganti
namanya menjadi PT Centranusa Insancemerlang. CNI tergolong cukup berhasil
dalam mengembangkan bisnisnya hingga ke mancanegara, seperti Malaysia,
Singapura, India, dan negeri leluhur MLM Amerika Serikat. Kesuksesan CNI
kemudian mendorong tumbuhnya berbagai jenis perusahaan berbasis MLM di
tanah air.34
Bisnis MLM di Indonesia kian tumbuh dan berkembang setelah adanya
krisis moneter dan ekonomi. Pemain yang terjun di dunia MLM memanfaatkan
momentum dan situasi krisis untuk menawarkan solusi bisnis bagi pemain asing
32
Amway, 2008, Pedoman Bisnis, Jakarta, PT Amindoway Jaya, hlm. 38. 33
Andrias Harefa, op.cit., hlm. 20. 34
maupun lokal seperti CNI, Amway, Avon, Tupperware, Sophie Martin, Oriflame,
Herbalife International, Prime & First New, Greenlite, DXN, dll.35
B. Pengertian Multi Level Marketing
Multi Level Marketing (MLM) jika ditinjau dari segi kata terdiri dari kata
multi, level, dan marketing. Multi berarti banyak, level berarti jenjang atau tingkat,
sedangkan marketing berarti pemasaran. Marketing dalam pengertiannya
mencakup beberapa aspek antara lain produk, harga, distribusi dan promosi,
sedangkan Multi Level dalam pengertiannya menyangkut peran organisasi
distributor secara berjenjang atau bertingkat. MLM oleh sebab itu dapat diartikan
sebagai metode pemasaran yang menggunakan organisasi distributor secara
berjenjang.36
Menurut Peter J. Clothier, MLM adalah suatu metode penjualan barang
secara langsung kepada pelanggan melalui jaringan yang dikembangkan oleh para
distributor lepas.37
Menurut David Roller, MLM adalah sistem melalui mana sebuah induk
perusahaan mendistribusikan barang dan/atau jasanya lewat suatu jaringan
orang-orang bisnis yang independen. Orang-orang-orang bisnis atau para wiraswastawan ini
kemudian mensponsori orang-orang lain lagi untuk membantu mendistribusikan
barang dan/atau jasa tersebut.38
35
Jabbar Ibrahim, loc.cit.
37
Peter J Clothier, 1994, Meraup Uang dengan MLM, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, hlm. 33.
38
MLM dalam Wikipedia (ensiklopedia bebas) bahasa Indonesia diartikan
sebagai sistem penjualan yang memanfaatkan
penyalur (distributor) secara langsung.39
MLM disebut juga sebagai pemasaran jaringan (network marketing) yang
berarti sistem pemasaran dengan menggunakan jaringan kerja. Istilah pemasaran
jaringan menunjuk pada metode dan mekanisme pemasarannya. Pemasaran
jaringan merupakan salah satu cara yang dapat dipilih perusahaan atau produsen
untuk memasarkan produknya kepada konsumen melalui pengembangan
tenaga-tenaga pemasarnya secara independen, tanpa campur tangan perusahaan.40
MLM dikenal pula sebagai bisnis penjualan langsung (direct selling),
karena pelaksanaan penjualan produk dilakukan secara langsung oleh wiraniaga
kepada konsumen, tidak melalui perantara, tidak melalui swalayan, kedai atau
warung, tetapi langsung kepada pembeli.41
Penjualan langsung (direct selling) merupakan istilah formal yang
digunakan di dunia internasional dalam penyelenggaraan kegiatan usaha MLM.
Hal ini selain disebabkan karena faktor sejarah, juga karena perusahaan MLM
pada umumnya memiliki reputasi tergabung dalam Asosiasi Penjualan Langsung.
Asosiasi Penjualan Langsung tersebut misalnya APLI (Asosiasi Penjualan
Langsung Indonesia) yang sekaligus termasuk anggota Asosiasi Penjualan
Langsung dunia yaitu WFDSA (World Federation of Direct Selling
39
http://id.wikipedia.org/wiki/Pemasaran_berjenjang, diakses tanggal 21 September 2011. 40
M. Fachrur Rozi, op.cit., hlm. 11. 41
Association).42
Penjualan langsung (direct selling) adalah metode penjualan barang dan/atau jasa tertentu melalui jaringan pemasaran yang dikembangkan mitra usaha yang bekerja atas dasar komisi dan/atau bonus berdasarkan hasil penjualan kepada konsumen di luar lokasi eceran tetap.
Ketentuan mengenai penyelenggaraan penjualan langsung di
Indonesia diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia
(Permendag) No. 32/M-DAG/PER/8/2008. Adapun definisi dari penjualan
langsung berdasarkan Pasal 1 Angka 1 Permendag No. 32/M-DAG/PER/8/2008
adalah sebagai berikut:
Penjualan langsung (direct selling) menurut rumusan WFDSA, “is the
marketing and selling of products directly to consumers away from a fixed retail
location”, yang artinya adalah pemasaran dan penjualan produk (barang/jasa)
secara langsung kepada konsumen di tempat yang terpisah dari lokasi tetap
penjualan eceran.43
Penjualan langsung (direct selling) dalam arti luas dibagi ke dalam dua
jenis, yaitu:44
a. Penjualan langsung satu tingkat (single/unilevel), yaitu program
pemasaran barang dan/atau jasa dimana mitra usaha mendapatkan
komisi penjualan dan bonus penjualan dari hasil penjualan barang
dan/atau jasa yang dilakukannya sendiri;
b. Penjualan langsung lebih dari satu tingkat (multi-level), yaitu program
pemasaran barang dan/atau jasa dimana mitra usaha mendapatkan
42
Andrias Harefa, op.cit., hlm. 25. 43
http://www.wfdsa.org/about_dir_sell/?fa=whatisds, diakses tanggal 20 November 2011.
komisi penjualan dan bonus penjualan dari hasil penjualan barang
dan/atau jasa yang dilakukannya sendiri dan anggota jaringan di dalam
kelompoknya.
MLM oleh sebab itu tidak dapat dikatakan sebagai penjualan langsung
secara mutlak karena hanya merupakan salah satu cabang dari penjualan langsung.
Sistem MLM berbeda dengan sistem distribusi biasa pada pemasaran
konvensional. Adapun perbedaannya adalah sebagai berikut:
a. Pemasaran konvensional mendistribusikan produk-produknya secara
tidak langsung kepada konsumen, yaitu menjual produk secara tunai
atau secara kredit pada lembaga-lembaga perantara seperti toko grosir,
toko semi grosir, toko eceran, toko agen/sub-agen, swalayan dll. Hal
ini mengakibatkan perjalanan produk hingga sampai pada tangan
konsumen membutuhkan waktu yang tidak singkat. Pemasaran MLM
menghilangkan berbagai tingkat mekanisme dalam pemasaran
konvensional dengan memanfaatkan peran para distributor
independennya untuk memasarkan produk secara langsung kepada
konsumen.45
b. Proses perpindahan barang dari produsen ke saluran distribusi hingga
ke konsumen akhir dalam pemasaran konvensional menimbulkan
penambahan biaya, seperti anggaran periklanan yang digunakan
sebagai cara menaikkan omzet, melakukan berbagai macam promosi
misalnya memajang produk di dalam toko (display contest);
45
melakukan promosi dalam ruangan sebuah supermarket atau
minimarket (media store); membagi sample produk di tempat-tempat
tertentu, dsb. MLM menggunakan metode periklanan dari mulut ke
mulut (mouth to mouth) atau secara pribadi antara distributor dengan
konsumen.46
c. Biaya distribusi pemasaran konvensional yang total mencapai sekitar
60% dari harga jual, melalui pemasaran MLM dialihkan kepada
distributor independen dengan suatu sistem perjenjangan atau
pelevelan yang disesuaikan dengan pencapaian target atau omzet
distributor yang bersangkutan.47
d. Konsumen dalam pemasaran konvensional dirangsang untuk mencari
atau membeli produk. Hal yang sebaliknya dalam sistem MLM,
produk melalui distributor yang mencari konsumen.48
Sistem MLM juga berbeda dengan sistem waralaba (franchising),
meskipun dalam beberapa hal keduanya sering kali dipersamakan. Franchising
adalah sistem melalui mana seseorang (franchiser) mengembangkan produk yaitu
barang dan/atau jasa dengan memberikan lisensi atau hak jual (franchise) kepada
penerima hak jual (franchisee) yang telah membayar sejumlah harga dan adanya
pembagian tingkat prosentase tertentu dari seluruh hasil yang diperoleh.49
Franchising adalah konsep yang memungkinkan seseorang membeli sebuah
sistem usaha yang telah terbukti berhasil dan jika diterapkan kecenderungan
47
M Fachrur Rozi, op.cit., hlm 14. 48
http://imgv21.scribdassets.com/, op.cit. 49
berhasilnya tetap tinggi, atau dengan kata lain seorang franchisee mengikuti apa
yang telah dilakukan oleh pendiri (franchiser). Contoh usaha franchising yang
sudah mendunia seperti McDonald’s, Kentucky Fried Chicken, Pizza Hut,
Breadtalk, dll.50 Sistem MLM jika dipersamakan dengan franchising ada
benarnya dalam segi pembelian usaha baru oleh seseorang yang produk dan
sistemnya sudah ada atau telah disediakan produsen, namun demikian sistem
MLM tetap berbeda dengan sistem franchising. Adapun perbedaan dari kedua
sistem tersebut menurut David Roller adalah sebagai berikut:51
a. Seorang distributor MLM tidak mengeluarkan biaya atau modal yang
besar sebagaimana halnya seorang franchisee yang membeli hak
lisensi dari seorang franchiser;
b. Seorang distributor MLM tidak memerlukan suatu standar tertentu
sebagaimana halnya seorang franchisee yang harus memenuhi suatu
standar tertentu sesuai ketentuan dari franchiser, misalnya harus
berpengalaman dan berpengetahuan bisnis;
c. Seorang distributor MLM memiliki keleluasaan maksimum dalam
memutuskan bentuk manajemen bagi pemasaran produk perusahaan,
tidak seperti halnya seorang franchisee yang harus menaati semua
prosedur pelaksanaan baku yang amat dituntut oleh franchiser;
d. Seorang distributor MLM dapat secara bebas merekrut pihak lain
menjadi seorang distributor baru untuk membantunya dalam
memasarkan produk perusahaan, sedangkan seorang franchisee tidak
50
Pindi Kisata, 2005, Why Not MLM?, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, hlm. 4-5. 51
dapat menjual hak franchise-nya kepada pihak lain, sebab hanya
franchiser yang memegang hak penjualan lisensi, kecuali diperjanjikan
lain secara khusus.
Menurut Andrias Harefa, banyak alasan yang menyebabkan sistem MLM
dipilih oleh sebagian banyak perusahaan. Alasan-alasan tersebut antara lain adalah
sebagai berikut:52
a. Keyakinan bahwa sebuah produk yang baik dapat dipasarkan langsung
kepada konsumen tanpa melewati jalur distribusi yang rumit dan nyaris
tidak mengandalkan promosi kecuali mouth to mouth (getok-tular),
dengan cara ini banyak biaya bisa dihemat dan dialihkan menjadi
komisi penjualan bagi distributor independen. Perusahaan MLM
menolak cara-cara pemasaran yang ruwet dan boros. Mereka lebih
mengandalkan common sense (akal sehat) saja dengan cara quality talk
loudly dan mengesampingkan trik-trik membangun brand produk yang
overcompromise. Perusahaan MLM terkemuka (seperti CNI dan
Amway) dengan berani memberikan jaminan uang kembali (money
back guarantee) pada konsumen yang merasa tidak puas, berlaku
selama 30-90 hari sejak tanggal pembeliannya;
b. Keyakinan pada prinsip perkembangbiakan jaringan distributor melalui
kontak-kontak pribadi;
c. Keyakinan terhadap hak konsumen untuk mendapat informasi terbaik
melalui penjelasan langsung dari distributor yang juga berperan
52
sebagai konsumen produk yang dijualnya. Keyakinan ini membuat
perusahaan MLM yang baik tidak merasa perlu memasang iklan secara
besar-besaran untuk menciptakan brand image yang sering kali justru
menyesatkan konsumen;
d. Perusahaan MLM yang baik meletakkan etika bisnis sebagai panglima.
Keyakinan bahwa jiwa perusahaan bukan pada ilmu pemasaran tetapi
lebih kepada prinsip-prinsip, nilai-nilai, motivasi yang menggerakkan
the man behind the marketing science.
C. Ruang Lingkup Sistem MLM
Ruang lingkup sistem MLM mencakup unsur produsen atau perusahaan,
distributor, konsumen, sistem kerja, dan komisi. Unsur-unsur ini akan dibahas
satu persatu dalam uraian dibawah ini:
1. Perusahaan MLM
Perusahaan MLM adalah unit kegiatan yang melakukan aktivitas
pengolahan faktor-faktor produksi guna menghasilkan produk yaitu barang
dan/atau jasa yang ditujukan kepada konsumen melalui mekanisme
pemasaran MLM. Produk tersebut harus jelas keberadaannya, sebab inti
dari sistem MLM adalah penjualan barang dan/atau jasa secara langsung
kepada konsumen.53
Produk-produk yang diperdagangkan dalam perusahaan MLM meliputi
berbagai jenis, mulai dari produk suplemen kesehatan, peralatan
kesehatan, peralatan rumah-tangga, produk perawatan tubuh, kosmetik,
53
sampai kebutuhan non primer seperti fashion, souvenir, peralatan
konveksi, pembuatan website, dll. Perusahaan MLM bisa saja hanya
memperdagangkan satu jenis produk, namun bisa pula memperdagangkan
lebih dari satu jenis produk. Hal ini tergantung dari kebijakan perusahaan
MLM itu sendiri.54
Produk yang diperdagangkan dalam perusahaan MLM umumnya
memiliki nilai dan manfaat tertentu yang khas. Hal inilah yang menjadi
daya saing terhadap produk-produk sejenis yang diperdagangkan oleh
perusahaan-perusahaan non-MLM. Nilai atau manfaat tersebut dapat
dikategorikan sebagai berikut:55
a. Nilai jual, produk yang diperjualbelikan harus unik dan menarik
sehingga membuat orang yang mendengarkan atau melihat menjadi
tertarik. Produk MLM yang baik adalah produk yang tidak terlalu
banyak memiliki subsitusi (produk pengganti) di pasaran;
b. Nilai manfaat, jika perusahaan memperdagangkan suatu produk
barang maka barang tersebut harus memberi manfaat bagi
penggunanya, dan begitu pula bila perusahaan bergerak di bidang
jasa maka jasa tersebut harus memberi manfaat bagi penggunanya;
c. Nilai ekonomis, harga dari produk harus sesuai dengan fungsi dan
manfaatnya sehingga nilai yang dibayarkan oleh konsumen setara
dengan manfaat yang diperoleh dari produk tersebut, atau dengan
kata lain harga produk tersebut harus bersifat realistis.
54
http://ridlo.info/network-marketing/produk-mlm.html, diakses tanggal 21 November 2011.
55
Perusahaan MLM dalam operasinya harus memiliki standar peraturan
atau tata tertib yang jelas seperti kode etik untuk mengatur para distributor
perusahaan dalam menjalankan pemasaran. Kode etik merupakan kontrak
lengkap (perjanjian) yang mengikat antara perusahaan dengan para
distributornya. Kode etik tersebut berisi keterangan-keterangan mengenai
perusahaan, kedudukan hak, kewajiban, fasilitas, dan pengaturan sanksi
apabila salah satu pihak yang terikat melakukan pelanggaran (wan
prestasi). Kode etik juga berfungsi sebagai acuan bagi distributor
perusahaan maupun calon distributor untuk memberi informasi mengenai
rencana dasar pemasaran perusahaan (marketing plan/business plan).56
Istilah marketing plan atau business plan dalam perusahaan MLM
mencakup keterangan hal mengenai visi dan misi perusahaan, kedudukan
hierarkhi posisi distributor, rancangan sistem pembagian pendapatan dari
perusahaan yang meliputi keuntungan, penghargaan, prosedur dan
persentase yang akan dibagikan melalui sistem jaringan.57
2. Distributor Perusahaan MLM
Distributor dalam perusahaan MLM adalah orang-perorangan yang
bersedia bergabung menjadi mitra usaha dengan cara mendaftarkan diri
melalui perjanjian tertulis antara perusahaan dengan dirinya sebagai
pribadi, kemudian dengan itu ia disetujui dan diakui keanggotaannya oleh
suatu perusahaan MLM.58
56
http://www.greenlite.co.id/ethic-code, diakses tanggal 21 November 2011. 57
MLM Leaders, op.cit., hlm. 195. 58
Distributor perusahaan MLM sering disebut sebagai agen resmi atau
sales yang bertugas melakukan penjualan produk secara langsung kepada
konsumen. Istilah agen resmi atau sales sesungguhnya kurang tepat untuk
dipergunakan, sebab kedua istilah tersebut secara luas dapat diartikan
sebagai pegawai tetap, pegawai lepas, pegawai harian, atau honorer yang
mempunyai ikatan jam kerja dengan suatu perusahaan. Distributor
perusahaan MLM lebih tepat disebut sebagai mitra usaha, sebab kerja
sama yang dijalin antara keduanya bersifat lebih independen (sukarela).
Seorang distributor MLM tidak memperoleh penghasilan berkala berupa
gaji atau upah sebagaimana yang diperoleh pekerja, pegawai atau
karyawan dari suatu perusahaan, akan tetapi ia memperoleh penghasilan
dalam bentuk komisi berupa imbalan yang berkaitan dengan omzet
penjualan. Dengan demikian distributor MLM dapat dikatakan sebagai
pengusaha yang mandiri.59
Distributor perusahaan MLM dapat memiliki tiga segi peranan. yaitu:
a. Menjual produk perusahaan secara langsung kepada konsumen;
b. Mengembangkan pemasaran dengan cara membangun jaringan
distributor, yaitu merekrut orang lain untuk menjadi distributor
baru dalam perusahaan;
c. Sebagai konsumen perusahaan, yaitu pengguna produk perusahaan
dengan tujuan untuk pemakaian pribadi dan tidak bermaksud untuk
memperjualbelikan produk tersebut kepada orang lain.
Setiap distributor dalam perusahaan MLM tergabung dalam organisasi
distributor yang membentuk jaringan kerja atau satuan networking
tertentu. Hubungan yang dimiliki antara masing-masing distributor dalam
satuan networking yang sama adalah sebagai berikut:60
a. upline, yaitu distributor yang menjadi sponsor bagi distributor lain;
b. downline, yaitu orang yang disponsori oleh distributor lain, atau
orang yang direkrut oleh distributor yang sudah lebih dahulu
terdaftar menjadi distributor perusahaan.
Setiap distributor dalam networking-nya memiliki kesempatan atau
peluang yang sama untuk mengembangkan karirnya berdasarkan sistem
peringkat (ranking) yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Jenjang
peringkat tersebut bervariasi, namun umumnya berkisar antara 7-8
peringkat dari peringkat terendah misalnya distributor biasa, distributor
langsung, dst sampai ke peringkat tertinggi misalnya Diamond Distributor,
President’s Team, Crown Agency Manager, dll. Kemungkinan untuk
sampai ke posisi puncak relatif lebih terbuka sebab jumlahnya tidak harus
satu sebagaimana halnya presiden direktur pada perusahaan-perusahaan
non-MLM.61
Masing-masing distributor untuk setiap peringkat berhak mendapatkan
prosentase potongan harga tertentu seperti komisi, bonus atau rabat dari
total penjualan yang dilakukan kelompoknya, juga berbagai hadiah atau
60
MLM Leaders, op.cit., hlm. 196-203. 61
penghargaan lain, seperti pin penghargaan, kesempatan bertamasya ke
mancanegara, mendapat rumah, mobil mewah, dsb.62
3. Konsumen
Konsumen dalam konteks MLM adalah masyarakat pengguna atau
pembeli produk perusahaan MLM yang bertujuan untuk mengkonsumsi
produk secara pribadi.63
Konsumen dalam konteks MLM dapat berarti 2 (dua), pertama orang
yang membeli dan menggunakan produk melalui penjualan langsung yang
dilakukan oleh seorang distributor perusahaan MLM, kedua distributor
secara pribadi berhak menjadi konsumen bagi perusahaan MLM yang
bersangkutan. Konsumen non-distributor maupun konsumen distributor
dapat dilihat dalam satu kesatuan, sebab tujuannya sama-sama
mengkonsumsi produk secara pribadi.64
Pemakaian produk memberi dampak positif bagi seorang distributor,
misalnya memudahkan dirinya untuk memberi kesaksian pada calon
pelanggan yang berminat dengan produk tersebut ataupun calon anggota
baru yang ingin direkrut. Disamping itu, pemakaian produk bisa saja
memang ditujukan untuk keperluan pribadi distributor.65
62 Ibid.
November 2011.
64
http://www.apli.or.id/website/index.php?view=article&catid=36%3Awawancara& amp;id=104%3Asaatnya-mlm-menggali-dan-mengedepankan-value, diakses tanggal 21 September 2011.
65
Konsumen non-distributor hanya dapat membeli produk MLM melalui
distributor perusahaan, sebab produk tersebut tidak dapat dibeli di
tempat-tempat umum seperti toko, pasar swalayan, department store, salon,
bengkel, apotek, dll.66 Konsumen non-distributor umumnya mengetahui
suatu produk MLM dari distributor perusahaan yang dikenalnya sendiri
sebagai teman, rekomendasi, kerabat atau anggota keluarga yang
mempresentasikan produk tersebut kepada dirinya. Presentasi ini
memberikannya pengetahuan mengenai produk dari suatu perusahaan
MLM, dan apabila ia tertarik dengan produk tersebut, ia dapat langsung
memesan serta mendapatkan produk yang dimaksud dari distributor yang
mempresentasikannya.67
Konsumen non-distributor tidak dapat membeli atau memesan
langsung produk MLM dari perusahaan yang bersangkutan, dengan
maksud untuk mendapatkan harga yang lebih murah dari harga yang
ditawarkan oleh seorang distributor. Perusahaan MLM hanya menjual
produk melalui distributor yang menjadi anggota atau mitra usahanya.68
Alasan inilah yang terkadang menyebabkan seseorang bergabung dalam
suatu perusahaan MLM, yaitu untuk mendapat potongan harga dari
produk-produk yang dikonsumsinya sendiri.69
66
Ibid., hlm. 4. 67
Amway, op.cit., hlm. 5. 68
Amway, 2008, Panduan Pemesanan dan Pengembalian Produk, Jakarta, PT. Amindoway Jaya, hlm. 6.
69
4. Sistem Kerja
Perusahaan MLM dibangun berdasarkan konsep kemitraan sehingga
sistem MLM baru dapat berjalan apabila terdapat mitra usaha. Kemitraan
dalam sebuah perusahaan MLM diawali dari kemitraan diantara pendiri
perusahaan MLM itu sendiri. Artinya, distributor yang pertama kali
bergabung sebagai mitra usaha disponsori langsung oleh pendiri
perusahaan.70 Distributor inilah yang nantinya mengembangkan jaringan
dan melahirkan distributor-distributor baru melalui perekrutan yang
dilakukan oleh dirinya sendiri maupun anggotanya. Pengembangan
jaringan tersebut selanjutnya akan membentuk satuan networking diantara
organisasi distributor.71
Langkah pertama yang dilakukan oleh setiap mitra usaha dalam sistem
MLM adalah bergabung dengan cara mengisi formulir pendaftaran yang
telah disediakan oleh perusahaan. Calon distributor harus menuliskan
keterangan mengenai siapa sponsornya di dalam formulir pendaftaran
tersebut. Hal ini berguna untuk menentukan keberadaan dirinya dalam
suatu jaringan kerja (networking).72
Setiap mitra usaha pada saat awal bergabung di suatu perusahaan
MLM akan dikenakan biaya pendaftaran (administrasi). Biaya pendaftaran
ini nilainya relatif kecil dan umumnya dapat dijangkau oleh semua orang.
Biaya tersebut dikenakan untuk memperoleh apa yang biasanya disebut
starter kit, starter pack, sales kit atau business pack. Starter kit adalah
70
Amway (Buku I), op.cit., hlm. 14. 71
Andrias Harefa, op.cit., hlm. 192-198. 72
peralatan yang disediakan oleh perusahaan MLM bagi setiap
distributornya sebagai peralatan untuk menawarkan produk kepada
konsumen. Starter kit biasanya berisi sekumpulan brosur/katalog produk
dan daftar harga, rancangan bisnis (marketing plan), kaset audio video
tentang company profile perusahaan, produk dan kisah-kisah orang yang
sukses dari perusahaan tersebut.73
Distributor berbekal starter kit menawarkan produk dengan cara
mempresentasikan serta menjelaskan produk kepada konsumen yang
umumnya adalah orang-orang yang dikenalnya sendiri. Jika distributor
tersebut kemudian berhasil menawarkan suatu produk kepada seseorang,
maka langkah berikutnya adalah memesan langsung produk yang
dimaksud melalui upline-nya atau perusahaan yang bersangkutan.
Selanjutnya ketika produk yang dipesan telah disediakan, maka distributor
tadi bertanggungjawab untuk mengambil dan menyerahkannya langsung
kepada si pembeli (konsumen).74
Distributor perusahaan MLM disamping menjual produk secara eceran
(langsung) kepada konsumen, ia juga dapat membangun jaringannya
dengan cara merekrut orang lain untuk menjadi distributor baru
perusahaan. Distributor yang baru direkrut tersebut disebut sebagai
downline, dan downline ini kemudian dapat merekrut orang lain lagi untuk
menjadi distributor baru perusahaan.75
73
MLM Leaders, op.cit., hlm. 202. 74
Andrias Harefa, op.cit., hlm. 11. 75
Sistem kerja MLM juga meliputi sistem pelatihan (support system)
berupa pengajaran materi serta motivasi yang bertujuan untuk
memudahkan setiap distributor dalam menjalani sistem.76 Pelatihan
biasanya dilakukan oleh pembangun jaringan (network builder/achiever)
yang telah berhasil mencetak prestasi tertentu.77
Hal yang paling mendasar dan perlu digarisbawahi dalam sistem
MLM, bahwa kegiatan penjualan produk adalah yang utama, sebab omzet
perusahaan dan komisi para distributor bergantung pada banyaknya
penjualan produk yang berhasil dilakukan para distributor ke konsumen
akhir. Kegiatan perekrutan atau pembangunan jaringan adalah ciri khas
dari sistem MLM, namun hal ini tidak lain ditujukan untuk memasarkan
produk kepada konsumen.78
5. Komisi
Kesimpulannya, antara perusahaan sebagai
unit penghasil dan penyedia produk dengan organisasi distributor dan
konsumen akhir merupakan subsistem yang saling berhubungan dan tidak
dapat dipisahkan dalam proses kerja sistem MLM untuk mencapai tujuan
dari masing-masing subsistem tersebut.
Komisi dalam sistem MLM berkaitan dengan penghasilan yang
diperoleh mitra usaha atas jasanya dalam penjualan produk perusahaan
kepada konsumen akhir. Besarnya komisi seorang distributor ditentukan
dari target penjualan yang dilakukannya sendiri dan yang dilakukan oleh
76
Mark Yarnell & Rene Reid Yarnell, op.cit., hlm. 207. 77
Andrias Harefa, op.cit., hlm. 194. 78
jaringannya. Komisi tersebut berupa potongan harga, bonus, atau insentif
yang ditetapkan perusahaan secara berjenjang sesuai dengan nilai
penjualan (biasanya disebut volume point, business point, volume grup)
yang diberitahukan kepada setiap mitra usaha sejak mereka mendaftar
menjadi anggota.79
Keuntungan eceran adalah keuntungan dasar yang dapat diperoleh oleh
mitra usaha melalui perbedaan antara harga distributor dengan harga
eceran yang ditujukan pada konsumen. Masing-masing dari harga tersebut
ditetapkan oleh perusahaan. Ilustrasinya, misalkan harga distributor yang
ditetapkan suatu perusahaan MLM untuk produk XYZ adalah Rp 100 ribu,
sedangkan harga konsumennya Rp 120 ribu, maka seorang distributor
akan mendapat keuntungan eceran sebesar Rp 20 ribu dari hasil penjualan
langsung produk XYZ ke konsumen.
Disamping itu, perusahaan juga akan memberikan diskon apabila
seorang distributor membeli produk dalam jumlah tertentu, misalkan
produk XYZ seharga Rp 100 ribu tadi jika dibeli sebanyak 5 buah akan
diberi diskon sebesar 3%, dengan demikian distributor akan memperoleh
diskon sebesar 3% x Rp 500 ribu = Rp 15 ribu, sehingga total keuntungan
yang diperolehnya dari penjualan langsung 5 buah produk XYZ ke
konsumen adalah keuntungan eceran ditambah diskon, yaitu (Rp 20 ribu x
5) + Rp 15 ribu = Rp 115 ribu.80
79
Andrias Harefa, op.cit., hlm. 3. 80