(Skripsi)
Oleh
EFRIAL RULIANDI SILALAHI
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
Oleh
EFRIAL RULIANDI SILALAHI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Pendidikan Srata Satu (S-1)
Pada Bagian Hukum Tata Negara
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 28D ayat (4) disebutkan bahwa salah satu
hak warga negara adalah hak untuk mempergunakan suaranya sebagai Warga Negara
Indonesia. Pengaturan hak untuk memilih dan dipilih juga termuat dalam
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia1 dan Undang-undang
Nomor 12 Tahun 2005 tentangPengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant On Civil And Political Rights).2
Pemilihan Umum (pemilu) merupakan sarana berdemokrasi bagi warga negara dan
merupakan hak warga negara yang dijamin oleh konsitusi, yaitu hak atas kesempatan
yang sama dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana diatur dalam UUD 1945
yang berbunyi “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya”, dan “Setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, perlindungan, dan
1
Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia(TLNRI) Nomor 3886.
2
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum” serta
prinsip persamaan kesempatan (equal opportunity principle).
Pemilu secara langsung adalah sebuah ihtiar demokrasi dengan harapan mampu
mendekatkan partisipasi politik rakyat terhadap pilihan-pilihan akan pemimpin yang
dikehendaki. Pemilu secara langsung telah melengkapi prosedur demokrasi yang
seyogyanya dapat berjalan dengan akuntabilitas dan transparansi penyelenggaraan.
Sebagai tonggak baru berdemokrasi, memberikan optimisme akan terpilihnya
calon-calon yang sesuai dengan keinginan rakyatnya, karena disinilah rakyat secara
langsung memberikan pilihannya tanpa diwakili.
Juan J. Linzdan Alfred Stepan mengungkapkan bahwa konsolidasi demokrasi bukan
hanya mempersyaratkan dilangsungkannya pemilu yang bebas dan berjalannya
mekanisme pasar. Salah satu syaratnya ialah adanya masyarakat sipil yang otonom
dan diberikan jaminan-jaminan hukum untuk berorganisasi dan menyatakan
pendapat.3 Namun disisi yang lain ketika praktek demokrasi dilaksanakan acap kali
dijumpai kekecewaan-kekecewaan masyarakat. Salah satu contoh faktual adalah
banyaknya pemilih yang hilang hak memilihnya karena tidak terdaftar didalam Daftar
Pemilih Tetap (DPT).4 Hal ini senada dengan pendapat Harold Cold yang
menyatakan ….Indonesia’s political system still fell short of ideal democratic
3
Satya Arinanto,Hak Asasi Manusia Dalam Transisi Politik Di Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2008, hlm. 372.
4
Bhayu, Memilih Atau Tidak Memilih dalam Pemilihan Umum Adalah Hak Setiap Warga Negara,
standards but it progress towards democratization had been enormous.5 Dalam
konstalasi demikian, kemudian mengkonklusikan kekecewaan masyarakat terhadap
pelaksanaan pemilihan secara langsung sebagai sebuah persengketaan yang
memerlukan kepastian hukum. Sehingga payung hukum yang menjamin semua
persengketaan didalam pelaksanaan pemilihan umum yang dilaksanakan secara
langsung bisa diselesaikan dengan sebaik dan seadil mungkin menjadi kebutuhan
yang tidak bisa ditawar lagi.
Sebagaimana yang dikemukakan Kofi A. Annan, dalam Global Values The United
Nations and the Rule of Law in the 21stCentury, Institute Of Southeast Asian Studies,
Singapore, 2000:6 “Semua negara, tetapi khususnya negara kecil, memiliki sebuah perhatian dalam pemeliharaan ketertiban internasional yang berdasarkan sesuatu yang
lebih baik daripada peribahasa kejam yaitu ‘kekuatan adalah hak’. Pada kenyataannya
asas-asas umum dari hukum yang memberikan hak yang sama bagi yang lemah
maupun bagi orang yang berkuasa”.
Peranan lembaga yudikatif sangat diperlukan dalam menyelesaikan sengketa pemilu.
Karena salah satu tuntutan reformasi adalah terciptanya negara hukum yang
demokratis, menempatkan hukum pada posisi yang tertinggi yang harus dipatuhi
setiap warga negara. Jika ada permasalahan maka keputusan hukumlah yang menjadi
pedoman tertinggi yang harus dijalankan. Salah satu bentuk putusan hukum adalah
5
Satya Arinanto, Politik Hukum 3, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2001, hlm. 356
6
putusan pengadilan.7 Mahkamah Konstitusi menyatakan hak untuk memilih telah
ditetapkan sebagai hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara.8 Hak
konstitusional itu tidak boleh dihambat oleh berbagai ketentuan dan prosedur
administratif. Banyak kalangan mengungkapkan buruknya Daftar Pemilih Tetap
(DPT) yang dikeluarkan KPU. Diantaranya mengungkapkan adanya jutaan pemilih
yang namanya tidak tercantum dalam DPT sehingga potensial kehilangan hak pilih.9
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden10 Pasal 28 dan 111 ayat (1) yang menyebabkan seorang warga negara
kehilangan hak memilih ketika tidak mendaftar sebagai pemilih atau tidak tercantum
dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) adalah sangat tidak adil. Di satu sisi, memberikan
kewajiban untuk mendaftar semua warga yang telah berusia 17 tahun dan/atau sudah
pernah kawin kepada penyelenggara pemilu. Namun, disisi lain, bila penyelenggara
pemilu lalai mendaftar seorang warga negara yang telah memiliki hak memilih,
warga negara yang bersangkutan kehilangan hak memilihnya. Kesalahan atau
kelalaian penyelenggara pemilu ditimpakan akibatnya kepada warga negara.
Salah satu permasalahan negara dengan melakukan pengabaian hak politik warga
Moro-Moro oleh pemerintah daerah untuk ikut serta memilih pada Pemilihan Umum
Kepala Daerah (Pemilukada) di Kabupaten Mesuji. Pemerintah Pusat melalui Irjen
7
Refli Harun, Pemilu Pro(hak)Rakyat, Kompas, 1 Juli 2009. 8
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU/VII/2009 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap UUD Tahun 1945.
9
Refli Harun,Menegakkan Hak Pemilih, Kompas, 6 Juli 2009. 10
Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri pun lepas tangan atas persoalan
tersebut.11Sebuah kasus unik dan multi-koflik di hutan kawasan sehingga masyarakat
tidak dapat diberikan hak politiknya. Sedangkan peraturan KPU (Komisi Pemilihan
Umum) Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan
Pemberhentian Kepala Daerah menyatakan pengabaian hak pilih akan terjadi apabila
umur pemilih belum genap 17 tahun, bukan mengabaikan hak politk warga negara
yang tinggal di tanah register.
Dengan hilangnya hak memilih, secara tidak langsung negara telah melanggar
hak-hak asasi manusia berupa hak-hak untuk dipilih dan hak-hak untuk memilih…The government seemed ready to adopt some kind of human right policy, despite the fact that many
suspected the government’s sincerity.12
B. Rumusan Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan
a. Apakah yang dimaksud dengan hak politik menurut UUD Tahun 1945? b. Apakah yang dimaksud dengan hak politik warga Moro-Moro?
c. Bagaimana mekanisme penghilangan hak pilih?
11
Yusdiyanto,Hak Pilih Warga Moro-Moro Sebagai Constitusional Right,Lampung Post, 21 Maret 2011.
12
2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini yaitu Bidang Hukum Tata Negara khususnya mengenai Pemenuhan Hak Politik Warga Moro-Moro dalam penyelenggaraan Pemilukada Kabupaten Mesuji, Provinsi Lampung.
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan
a. Mengetahui hak politik menurut UUD Tahun 1945. b. Mengetahui hak-hak politik warga Moro-Moro. c. Mengetahui mekanisme penghilangan hak pilih.
2. Manfaat Penulisan
a. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan berguna sebagai sumbangsih pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan hukum khususnya di bidang Hukum Tata Negara yang berkaitan dengan pemenuhan hak politik warga Moro-Moro dalam penyelenggaraan pemilukada Kabupaten Mesuji, Provinsi Lampung.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hak Konstitusional
Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945 sebagai hukum yang tertinggi (The Supremacy of
Law) menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum yang salah satu elemen
dasarnya adalah pemenuhan, pengakuan dan penjaminan akan hak-hak dasar warga
negara. Dari berbagai literatur hukum tata negara maupun ilmu politik kajian tentang
ruang lingkup paham konstitusi (konstitusionalisme) terdiri dari; (a) anatomi
kekuasaan (kekuasaan politik) tunduk pada hukum, (b) jaminan dan perlindungan
hak-hak asasi manusia, (c) peradilan yang bebas dan mandiri, dan (d)
pertanggung-jawaban kepada rakyat (akuntabilitas publik) sebagai sendi utama dari asas
kedaulatan rakyat.13
Perubahan Kedua UUD Tahun 1945 pada tahun 2000 mengenai ketentuan hak asasi
manusia dan hak-hak warga negara dalam UUD Tahun 1945 telah mengalami
perubahan yang sangat mendasar. Ketentuan baru yang diadopsikan ke dalam UUD
13
Tahun 1945 setelah Perubahan Kedua termuat dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal
28J, ditambah beberapa ketentuan lainnya yang tersebar di beberapa pasal. Karena
itu, perumusan tentang hak-hak asasi manusia dalam konstitusi Republik Indonesia
sangat lengkap dan menjadikan UUD Tahun 1945 sebagai salah satu undang-undang
dasar yang paling lengkap memuat ketentuan yang memberikan perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia.
Pasal-pasal tentang hak asasi manusia itu sendiri, terutama yang termuat dalam Pasal
28A sampai dengan Pasal 28J, pada pokoknya berasal dari rumusan TAP MPR
Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia yang kemudian isinya menjadi
materi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Oleh
karena itu, untuk memahami konsepsi tentang hak-hak asasi manusia itu secara
lengkap dan historis, ketiga instrumen hukum UUD 1945, TAP MPR Nomor
XVII/MPR/1998 dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia tersebut
dapat dilihat dalam satu kontinum.14
Setelah Perubahan Kedua UUD, keseluruhan materi ketentuan hak-hak asasi manusia
dalam UUD Tahun 1945, yang apabila digabung dengan berbagai ketentuan yang
terdapat dalam undang-undang yang berkenaan dengan hak asasi manusia, dapat
kelompokkan dalam empat kelompok yang berisi 37 butir ketentuan. Diantara
keempat kelompok hak asasi manusia tersebut, terdapat hak asasi manusia yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apapun atau non-derogable rights, yaitu Hak untuk
hidup; Hak untuk tidak disiksa; Hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani; Hak
14
beragama; Hak untuk tidak diperbudak; Hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan
hukum; dan Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
Dalam upaya penegakan hak-hak konstitusional di Indonesia, dibutuhkan sarana dan
prasarana. Sarana dan prasarana penegakan hak-hak konstitusional tersebut
dikategorikan menjadi dua bagian yakni: Sarana yang berbentuk institusi atau
kelembagaan seperti lahirnya Lembaga advokasi tentang HAM yang dibentuk oleh
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM), Komisi Nasional HAM Perempuan dan institusi lainnya. Dan sarana
yang berbentuk peraturan atau undang-undang, seperti adanya beberapa pasal dalam
Konstitusi UUD 1945 yang memuat tentang HAM. Diantaranya UU Nomor 39 Tahun
1999, Keppres Nomor 50 Tahun 1993, Keppres Nomor 129 Tahun 1998, Keppres
Nomor 181 Tahun 1998 dan Inpres Nomor 26 Tahun 1996, kesemua perangkat
hukum tersebut merupakan sarana pendukung perlindungan HAM.
Perlindungan dan penegakan hak-hak konstitusional merupakan kewajiban semua
pihak, termasuk warga negara. Hak konstitusional tidak hanya mencakup mengenai
hak, tetapi terkait pula mengenai kewajiban, yaitu kewajiban untuk saling
menghormati dan menghargai hak konstitusional orang lain. Setiap hak konstitusional
seseorang akan menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk
menghormati hak asasi orang lain secara timbal balik. Sehingga terdapat pembatasan
dan larangan dalam pelaksanaan perlindungan hak asasi konstitusional Pembatasan
yang ditetapkan melalui undang-undang dimaksudkan untuk menjamin pengakuan
yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, ketertiban umum dan
kepentingan bangsa.
Secara garis besar, konstitusi memuat tiga hal, yaitu pengakuan hak konstitusional,
struktur ketatanegaraan yang mendasarkan dan pemisahan atau permbatasan
kekuasaan. Selain itu dalam konstitusi juga harus terdapat pasal mengenai perubahan
konstitusi. Hanc Marseveen sebagaimana dikutip oleh Soetandyo Wignyosoebroto
menyebutkan bahwa konstitusi harus dapat menjawab persoalan pokok, yaitu:15
1. Apakakah konstitusi merupakan hukum dasar suatu negara?
2. Apakah konstitusi merupakan sekumpulan aturan dasar yang menetapkan lembaga-lembaga penting negara?
3. Apakah konstitusi melakukan pengaturan kekuasaan dan hubungan keterkaitannya?
4. Apakah konstitusi mengatur hak-hak dasar dan kewajiban warga negara dan pemerintah?
5. Apakah konstitusi harus dapat membatasi dan mengatur kekuasaan negara dan lembaga-lembaganya. Konstitusi merupakan ideologi elit penguasa?
6. Serta apakah konstitusi menentukan hubungan materiil antara negara dengan masyarakat?
Menurut J.G Steenbeek bahwa konstitusi berisi tiga alasan yang menjadi hal pokok,
yaitu:16 Pertama, adanya jaminan terhadap hak asasi manusia dan warga negaranya.
Kedua, ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat
fundamental. Dan ketiga, adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan
yang juga bersifat fundamental, dan menurut Miriam Budiardjo bahwa setiap UUD
15
Soetandyo Wignyono,Hak-Hak Asasi Manusia Konstitusionalisme: Hubungan Antara Masyarakat dan Negara, dalam Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Jakarta, Elsam-HuMa. 2002. hlm. 47.
16
memuat ketentuan-ketentuan tentang:17 Pertama, organisasi negara, misalnya
pembagian kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif dan yudikatif; pembagian
kekuasaan antara pemerintah federal dan pemerintah negara bagian; prosedur
menyelesaikan masalah pelanggaran yurisdiksi oleh salah satu badan pemerintah dan
sebagainya. Kedua, memuat tentang hak asasi manusia. Ketiga, prosedur mengubah
UUD. Keempat, ada kalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari
UUD.
Hak Konstitusional (constitutional rights) dapat diartikan sebagai hak asasi manusia
yang telah tercantum dengan tegas dalam UUD Tahun 1945, sehingga juga telah
resmi menjadi hak konstitusional setiap warga negara. Perbedaan antara hak
konstitusional dengan hak legal, bahwa hak konstitusional adalah hak-hak yang
dijamin di dalam dan oleh UUD Tahun 1945, sedangkan hak-hak hukum(legal right)
timbul berdasarkan jaminan Undang-Undang dan Peraturan Perundang-undangan di
bawahnya(subordinate legislations).18
Secara tersurat UUD Tahun 1945 dan UU HAM19 memuat bahwa negara harus
memenuhi hak konstitusional setiap warga negaranya, khususnya berkaitan dengan
17
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 1998. hlm. 101.
18
Jimly Asshidiqie,Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid 2,Jakarta, Konstitusi Press, 2006, hlm. 134.
19
Pasal 2; Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.
Pasal 5 Ayat (3); Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.
hak politik warga negara dan secara lebih khusus lagi berkaitan dengan hak pilih
setiap warga negara dalam Pemilihan Umum. Makna tersebut menegaskan bahwa
segala bentuk produk hukum perundang-undangan yang mengatur hak-hak
konstitusional bagi warga negara, seharusnya membuka ruang yang seluas-luasnya
bagi setiap warga negara untuk dapat menggunakan hak pilihnya dalam Pemilihan
Umum, sebab pembatasan hak pilih warga negara merupakan salah satu bentuk
pelanggaran konstitusional.20
Menurut Jimly Assidiqie hak konstitusional yang diatur UUD Tahun 1945 dapat
terbagi ke dalam beberapa kelompok.21
1. Kelompok yang pertama adalah kelompok ketentuan yang menyangkut hak-hak sipil yaitu, Bahwa setiap orang berhak-hak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya; setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat kemanusiaan; setiap orang berhak untuk bebas dari segala bentuk perbudakan; setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya; setiap orang bebas untuk memiliki keyakinan, pikiran, dan hati nurani; setiap orang berhak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum; setiap orang berhak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan; setiap orang berhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut; setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah; setiap orang berhak atas status kewarganegaraan; setiap orang berhak untuk bertempat tinggal di wilayah negaranya, meninggalkan, dan kembali ke negaranya; setiap orang berhak memperoleh suaka politik; serta setiap orang berhak bebas dari segala
Pasal 40; Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak.
Pasal 41 Ayat (1); Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak serta untuk perkembangan pribadinya secara untuh.
Pasal 43 Ayat (1); Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam Pemilihan Umum berdasarkan persamaan hak melalui pemilihan umum yang langsung, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
20
Pasal 25 Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik 1966 (International Covenant Civil and Political Rights1966).
21
bentuk perlakuan diskriminatif dan berhak mendapatkan perlindungan hukum dari perlakuan yang bersifat diskriminatif tersebut.
2. Kedua, kelompok hak-hak politik, ekonomi, sosial dan budaya yaitu bahwa setiap warga negara berhak untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapatnya secara damai; setiap warga negara berhak untuk memilih dan dipilih dalam rangka lembaga perwakilan rakyat; setiap warga negara dapat diangkat untuk menduduki jabatan-jabatan publik; setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pekerjaan yang sah dan layak bagi kemanusiaan; setiap orang berhak untuk bekerja, mendapat imbalan, dan mendapat perlakuan yang layak dalam hubungan kerja yang berkeadilan; setiap orang berhak untuk mempunyai hak milik pribadi, setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak dan memungkinkan pengembangan dirinya sebagai manusia yang bermartabat; setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi; setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pendidikan dan pengajaran; setiap orang berhak mengembangkan dan memperoleh manfat dari ilmu pengetahuan teknologi, seni dan budaya untuk peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan umat manusia; Negara menjamin penghormatan atas identitas budaya dan hak-hak masyarakat lokal selaras dengan perkembangan zaman dan tingkat peradaban bangsa-bangsa; Negara mengakui setiap budaya sebagai bagian dari kebudayaan nasional; Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut kepercayaannya itu.
3. Ketiga, kelompok hak-hak khusus dan hak atas pembangunan yaitu bahwa1 setiap warga negara yang menyandang masalah sosial, termasuk kelompok masyarakat yang terasing dan yang hidup di lingkungan terpencil, berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan yang sama; Hak perempuan dijamin dan dilindungi untuk mendapat kesetaraan gender dalam kehidupan nasional; Hak khusus yang melepat pada diri perempuan yang dikarenakan oleh fungsi reproduksinya dijamin dan dilindungi oleh hukum; Setiap anak berhak atas kasih sayang, perhatian, dan perlindungan orangtua, keluarga, masyarakat dan negara untuk perkembangan fisik dan mental serta perkembangan pribadinya; Setiap warga negara berhak untuk berperan serta dalam pengelolaan dan turut menikmati manfaat yang diperoleh dari pengelolaan kekayaan alam; Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat; Serta kebijakan, perlakuan, atau tindakan khusus yang bersifat sementara dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan yang sah yang dimaksud untuk menyetarakan tingkat. Perkembangan kelompok tertentu yang pernah mengalami perlakuan diskriminatif dengan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, dan perlakuan khusus tersebut tidak termasuk dalam diskriminasi.
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-Undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan keadilan sesuai dengan nilai-nilai agama, moralitas, kesusilaan, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis; Negara bertanggungjawab atas perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak-hak asasi manusia; serta untuk menjamin pelaksanaan hak asasi manusia, dibentuk komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang bersifat independen dan tidak memihak yang pembentukan, susunan, dan kedudukannya diatur dengan undang-undang.
Hak-hak dan kebebasan tersebut ada yang tercantum dalam UUD Tahun 1945 dan
ada pula yang tercantum hanya dalam undang-undang tetapi memiliki kualitas yang
sama pentingnya secara konstitusional sehingga dapat disebut memiliki
“constitutional importance” yang sama dengan yang disebut eksplisit dalam UUD Tahun 194522. Sesuai dengan prinsip kontrak sosial (social contract), maka setiap
hak yang terkait dengan warga negara dengan sendiri bertimbal-balik dengan
kewajiban negara untuk memenuhinya.
B. Hak Memilih
Hak pilih warga negara dalam Pemilu adalah salah satu substansi terpenting dalam
perkembangan demokrasi, sebagai bukti adanya eksistensi dan kedaulatan yang
dimiliki rakyat dalam pemerintahan. Pemilihan Umum sebagai lembaga sekaligus
praktik politik menjadi sarana bagi perwujudan kedaulatan rakyat sekaligus sebagai
sarana artikulasi kepentingan warga negara untuk menentukan wakil-wakilnya.23
22
Ibid., hlm. 224. 23
Pemilu menjadi implementasi atas berdirinya tonggak pemerintahan yang
elemen-elemen di dalamnya dibangun oleh rakyat, sebagaimana yang disampaikan oleh
Presiden Amerika SerikatAbraham Lincoln.24 Lincoln menyatakan bahwa demokrasi
adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Konsep ini
menyimpulkan bahwa yang dibangun dalam sistem demokrasi menghasilkan suatu
pandangan akan tidak adanya jalan yang paling tepat untuk menunjukkan eksistensi
dan kedaulatan rakyat kecuali melalui ajang Pemilihan Umum.
Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, tujuan pemilihan umum adalah: (1)
memungkinkan terjadinya peralihan pemerintahan secara aman dan tertib; (2) untuk
melaksanakan kedaulatan rakyat; (3) dalam rangka melaksanakan hak-hak asasi
warga negara.25 Sedangkan menurut Jimly Asshiddiqie, tujuan penyelenggaraan
pemilihan umum ada 4 (empat), yaitu: (1) Untuk memungkinkan terjadinya peralihan
kepemimpinan pemerintahan secara tertib dan damai; (2) Untuk memungkinkan
terjadinya pergantian pejabat yang akan mewakili kepentingan rakyat di lembaga
perwakilan; (3) Untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat; (4) Untuk
melaksanakan prinsip hak-hak asasi warga negara.
Melalui Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada), rakyat dapat memilih siapa
yang menjadi pemimpin dan wakilnya dalam proses penyaluran aspirasi, yang
selanjutnya menentukan arah masa depan daerah otonom. Seperti yang pernah
24
Saripudin Bebyl,Tata Negara, Bandung, Gramedia Pustaka Utama, 2003. hlm. 32. 25
dikatakanGeorge Sorensenbahwa demokrasi berarti pemerintahan oleh rakyat.26Inti
dari demokrasi politik adalah kompetensi, partisipasi, serta kebebasan sipil politik.27
Karena itu, konsepsi demokrasi harus mendapatkan atribut tambahan dari waktu ke
waktu seperti “welfare democracy, people’s democracy, participatory democracy,
social democracydan sebagainya.28
Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung pada dasarnya
merupakan suatu proses politik bangsa menuju kehidupan yang lebih demokratik
(kedaulatan rakyat), transparan, dan bertanggungjawab. Selain itu, pemilihan kepala
daerah dan wakil kepala daerah secara langsung tersebut menandakan adanya
perubahan dalam demokratisasi lokal, yakni tidak sekedar distribusi kekuasaan antar
tingkat pemerintahan secara vertikal.
Hak memilih dan dipilih secara konstitusional masuk dalam hak warga negara yang
secara tersirat diatur dalam Pancasila pada sila keempat ”Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” dan UUD Tahun 1945 memuat pengakuan hak politik warga negara mulai Pasal 27 ayat (1) dan (2);
Pasal 28, Pasal 28D ayat (3), Pasal 28E ayat (3); Konkritisasi dari
ketentuan-ketentuan tersebut diatur lebih lanjut dalam peraturan perundangan dibawahnya.
Sesuai dengan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Peraturan Perundangan-perundangan
26
George Sorensen,Demokrasi dan Demokratisasi Proses dan Prospek dalam Sebuah Dunia yang Sedang Berubah,Yogyakarta, Pustaka Pelajar , 2003. hlm. 38.
27
Ibid., hlm. 39. 28
di Indonesia.29 UU tentang HAM turut memberikan pengakuan kepada warga negara
untuk ikut serta dalam pemerintahan dalam hal hak memilih dan dipilih. Pasal 25
Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Civil And
Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik)
menyebutkan: Kovenan mengakui dan melindungi hak setiap warganegara untuk
mengambil bagian dalam pelaksanaan urusan-urusan publik, hak memilih dan
dipilih, serta hak atas akses terhadap pelayanan publik.
Sinyalemen pemilihan kepala daerah ditinjau dari sudut pandang ketatanegaraan dan
pemerintah akan membuahkan suatu kondisi: pertama, pemilihan kepala daerah akan
menghasilkan pemerintahan daerah yang mempunyai legitimasi langsung dari
masyarakat, dimana Pemda mempunyai pertanggungjawaban publik dan akuntabilitas
yang tidak akan semena-mena menyeleweng; kedua, iklim menumbuhkan kondisi
daerah menemui momentumnya. Dalam arti bahwa peran kepala daerah yang
didukung penuh akan mampu membawa katalisator konstruktif bagi kemajuan
masyarakat; ketiga, pemilihan kepala daerah secara esensial akan mendukung
demokratisasi lokal, yaitu masa depan kehidupan masyarakat di daerah menjadi cerah
akibat terbukanya ruang publik melalaui partisipatif proaktif masyarakat.30
Untuk dapat memilih dalam pemilu, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut
Pada waktu pendaftaran, pemilih sudah genap 17 tahun atau sudah kawin; Pemilih
terdaftar sebagai pemilih; Pemilih nyata-nyata tidak terganggu jiwa/ingatannya;
29
LNRI Tahun 2004 Nomor 53, TLNRI Nomor 4389. 30
Pemilih tidak sedang menjalani hukuman pidana kurungan yang diancam hukuman 5
tahun atau lebih; serta Pemilih tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan
keputusan pengadilan. Sedangkan untuk dapat dipilih dalam pemilu, harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut: Warga Negara Republik Indonesia yang telah berusia
21 tahun keatas dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; Dapat berbahasa
Indonesia, cakap membaca dan menulis, berpendidikan serendah-rendahnya SLTA
atau berpengetahuan yang sederajat, dan berpengalaman dibidang kemasyarakatan;
Setia kepada Pancasila dan UUD Tahun 1945; Bukan bekas anggota organisasi
terlarang PKI, termasuk organisasi massanya atas organisasi terlarang lainnya; Tidak
sedang terganggu jiwa/ingatannya; Terdaftar dalam daftar calon; serta Bertempat
tinggal dalam wilayah RI yang dibuktikan dengan KTP atau keterangan dari
lurah/kepala desa tentang alamatnya yang tetap.31
UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu, PP No. 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan,
Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah dan Peraturan KPU No. 10 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyusunan Daftar
Pemilu menyebutkan Pemilih adalah Warga Negara Indonesia yang telah genap
berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah atau pernah kawin. Berdasarkan
Peraturan KPU, KPU Kabupaten/Kota menggunakan data kependudukan sebagai
bahan penyusunan daftar pemilih. Pasal 5 Peraturan KPU No. 10 Tahun 2008
memuat daftar pemilih yang dimaksud sekurang-kurangnya memuat nomor induk
31
kependudukan, nama, tanggal lahir, jenis kelamin, dan alamat Warga Negara
Indonesia yang mempunyai hak memilih.
Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan
mengisyaratkan KTP adalah identitas resmi Penduduk sebagai bukti diri yang
diterbitkan oleh Instansi Pelaksana yang berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Penduduk adalah Warga Negara Indonesia dan Orang Asing
yang bertempat tinggal di Indonesia sedangkan Warga Negara Indonesia adalah
orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan
undang-undang sebagai Warga Negara Indonesia.32
Pasal 25 ayat (1) menegaskan bahwa Instansi Pelaksana wajib melakukan pendataan
penduduk rentan administrasi kependudukan yang meliputi penduduk korban bencana
alam, penduduk korban bencana sosial, orang terlantar, dan komunitas terpencil.
Pasal 25 ayat (2) pendataan rentan administrasi kependudukan dapat dilakukan di
tempat sementara. Pasal 25 ayat (3) bahwa hasil pendataan digunakan sebagai dasar
penertiban surat keterangan kependudukan untuk penduduk rentan administrasi
kependudukan.
32
C. Sejarah Konflik Kawasan Hutan Register
Konflik pertanahan seringkali dikaitkan dengan isi dan tata-laksana hukum agraria
nasional yang dinilai tidak konsisten dalam pelaksanaannya, saling tumpang tindih,
dan penuh dengan conflict of interst baik antar masyarakat dengan negara,
masyarakat dengan pemilik modal, maupun antar departemen dalam pemerintahan.33
Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 (UUPA) adalah salah satu produk
terbaik sepanjang sejarah hukum di Indonesia. Undang-undang tersebut secara
eksplisit menyatakan keberpihakannya pada rakyat kecil. Landasan filosofi dan
semangat yang sangat jelas mencerminkan sistem masyarakat yang dicita-citakan.
Namun dalam kenyataannya undang-undang tersebut tidak dapat bekerja
sebagaimana yang diharapkan. Bahkan perjalanannya mengalami distorsi akibat
kebijakan baru pemerintah yang tidak sejalan dengan prinsip UUPA. Artinya, ada
faktor-faktor eksternal lain yang lebih kuat yang mempengaruhi pelaksanaan sebuah
undang-undang. Setidaknya ada 2 faktor yang sangat berpengaruh dalam
menciptakan konflik-konflik pertanahan selama ini. Kedua faktor tersebut adalah: (1)
Pilihan paradigma dan strategi pembangunan sosial-ekonomi. (2) Pilihan terhadap
sistem politik suatu negara. Hukum dalam perspektif ini merupakan variabel
dependen dari kedua faktor di atas. Jadi sangat keliru apabila upaya penyelesaian
sengketa pertanahan hanya didasarkan pada memperbaiki perangkat hukum yang ada.
33
Hukum adalah produk dari sebuah sistem politik dan sistem politik adalah produk
dari paradigma pembangunan sosial-ekonomi yang dipilih.34
Karakteristik konflik atau sengketa tanah sendiri merupakan konflik antar sektor
dengan dominasi masalah terletak antarsektor pertanian dan industri. Akibat konflik
tersebut keluarga petani tidak mempunyai tempat tinggal dan harus hidup
berpindah-pindah. Dari tahun ke tahun, ketimpangan struktur agraria akibat monopoli atas
sumber-sumber agraria telah menyebabkan kemerosotan dan keterbelakangan
kehidupan kaum tani Indonesia di semua aspek, mulai aspek sosial-ekonomi, politik,
dan budaya. Bahwa selama puluhan tahun telah terjadi proses penyempitan lahan
pertanian petani seiring dengan lepasnya penguasaan/pemilikan tanahnya lewat
berbagai cara yang mendorong pada proses pemiskinan petani.35
Wilayah konflik di kawasan hutan Register 45 meliputi,36Desa Talang Batu, meliputi
Dusun Talang Gunung, Pelita Jaya, dan Dusun Tanjung Harapan. Desa ini berdiri
tahun 1918 seluas 9.600 Ha. Desa ini tidak termasuk kawasan hutan register 45
sebagaimana dimaksud Besluit Residen Lampung Distric No. 249 pada 12 April
1940, karena merupakan lahan usaha masyarakat. Mayoritas masyarakat desa ini
sudah diusir sejak tahun 1987 sejak dilakukan penetapan tata batas penambahan areal
HTI menjadi 43.100 Ha. Terkait dengan itu, ada kebijakan Menteri Kehutanan yang
mengijinkan masyarakat untuk meng-enclave kawasan tersebut khusus untuk
prasarana umum dan pemukiman, tetapi tidak untuk perkebunan. Tetapi masyarakat
34
Ibid.,hlm. 6. 35
Ibid.,hlm. 7. 36
menolak dan tetap menuntut pengembalian lahan seluas 9.600 Ha yang dimasukkan
kedalam kawasan register 45 karena merupakan hak miliknya.
Desa Labuhan Batin, Desa ini merupakan desa asli sejak tahun 1906 seluas 2.600 Ha,
dan tidak termasuk kawasan register 45, karena juga merupakan lahan usaha
masyarakat yang dikecualikan oleh Besluit Residen Lampung Distric No. 249 tahun
1940 dan SK Menteri Kehutanan No. 688/Kpts-II/1991. Hingga sekarang masyarakat
desa ini terus berjuang supaya tanahnya dikeluarkan dari kawasan register 45.
Masyarakat adat Sway Umbu, Simpang D, Masyarakat adat terusir dari kawasan ini,
dan menduduki kembali tanahnya di register 45 setelah reformasi dengan membawa
masyarakat penggarap. Masyarakat ini memberikan kuasa hukum kepada LSM
PEKAT untuk mewakili kepentingannya. Mengklaim tanahnya seluas 2.900 Ha dan
pernah membawa kasus sengketa tanah ke pengadilan negeri Menggala tetapi kalah
oleh pengadilan.
Masyarakat Moro-Moro Way Serdang, Masyarakat Moro – Moro masuk ke register
45 bersamaan dengan situasi krisis ekonomi 1997-1999. Mayoritas adalah masyarakat
transmigrasi dari etnis Jawa dan Bali yang terusir dari kawasan hutan Gunung Balak
Kabupaten Lampung Timur. Selama 14 tahun di register 45 mereka telah membentuk
lima daerah setingkat dusun yang menjadi pusat pemukiman warga di Moro-Moro,
yakni Moroseneng, Morodadi, Morodewe, Sukamakmur, dan Simpang Asahan. Dan
di daerah ini sudah berdiri sekolah TK, SD dan SMP yang dibiayai secara swadaya
Konflik antara warga Moro-Moro dengan PT Silva Inhutani selaku pemegang izin
pengelolaan lahan dari Kementerian Kehutanan, akibat kawasan hutan tanaman
industrinya dijadikan lahan garapan dan pemukiman warga.37 Tim Gabungan
Perlindungan Hutan Provinsi Lampung yang terdiri dari Polisi Daerah Lampung,
Kejaksaan Tinggi, TNI, Dinas Kehutanan dan Pemerintah Daerah Tulang Bawang
melakukan penggusuran di kawasan pemukiman Simpang D, Nanasan Kecamatan
Sungai Buaya.
Secara umum para penggarap yang berada di areal Register 45 terdiri dari tiga etnis,
yaitu Jawa, Bali serta Lampung. Sebagian dari penggarap berasal dari kawasan
transmigrasi. Pindah dan membuka areal garapan di Register 45 karena lahan di
daerah asal transmigrasi sudah tidak mencukupi. Dalam Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan, kawasan Register 45 tidak dapat lagi dikeluarkan
izin garapan kepada warga. Lahan alternatif yang dikehendaki warga Moro-Moro
sebagai tempat relokasi sulit diwujudkan, itu dikarenakan minimnya ketersediaan
kawasan hutan di Provinsi Lampung.
Peringatan penertiban kawasan register 45 sudah dilakukan sejak tahun 2006. Saat itu
pihak Kapolres Tulang Bawang melalui surat No.B/56/I/2006 meminta semua warga
untuk meninggalkan kawasan register 45. Sebelumnya pada 14 Desember 2005, PT.
Silva Inhutani telah melaporkan adanya perambah di kawasan hutan tanaman industri
tersebut. Pihak kepolisian memberikan tenggat waktu kepada warga hingga 18
37
Januari 2006. Kawasan pemukiman akan ditertibkan dan dikembalikan fungsinya
sebagai hutan industri PT.Silva. namun masyarakat menolak, dan tetap memilih
untuk tinggal dan bercocok tanam di kawasan tersebut.38
Pihak Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang (sebelum pemekaran menjadi
Kabupaten Mesuji) menggelar rapat koordinasi penertiban hutan tanaman industri.
Hasilnya Pemkab Tulang Bawang akan mengusulkan peninjauan kembali kepada
Kementerian Kehutanan perihal izin pengelolaan kawasan register 45 yang diklaim
PT.Silva nencapai luas 43.100 hektar itu.
Medio 1999, masyarakat Talang Batu, Talang Gunung dan Labuhan Batin Kecamatan
Way Serdang menuntut klaim lahan kepada Gubernur Lampung, warga tidak terima
kawasan ketiga kampong tersebut masuk ke dalam register 45 sungai buaya. Karena
bila merujuk pada Besluit Residen Lampung Distrik No.249, luas kawasan register 45
hanyalah 33.500 hektar. Selain itu kawasan perkampungan juga sudah dibangun
berbagai fasilitas umum seperti sekolah, dan tempat-tempat ibadah.
Tabel 1.1
Berbagai Fasilitas yang Dibangun Secara Swadaya oleh Masyarakat:
Sekolah Rumah Ibadah
Gapura Pasar Balai
Pertemuan
Lapangan OlahRaga
38
TK = 2
Sumber: PPMWS (Persatuan Petani Moro-Moro Way Serdang)
Akhir 2011, masyarakat penggarap di Desa Moro Dewe dan Moro Seneng menggelar
dialog dengan Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, Bupati Tulang Bawang dan
Kepolisian. Dalam pertemuan itu Bupati Tulang Bawang tidak melarang aktivitas
keinginannya untuk meninggalkan kawasan dengan syarat dicarikan alternatif tempat
untuk relokasi. Namun pengharapan itu tidak kunjung mendapat respon dari pihak
PT.Silva Inhutani maupun pemerintah.
Pada tanggal 18 Februari 2006, Kapolres Tulang Bawang kembali mengultimatum
masyarakat penggarap lahan register 45 untuk meninggalkan kawasan. Pihak
kepolisian mengancam akan melakukan pemaksaan dan mengancam siapa pun yang
tidak menaati penertiban.Menanggapi situasi itu, pihak Megowpak (dianggap sebagai
tetua adat) mengumpulkan warga di Simpang D Nanasan Kecamatan Way Serdang.
Namun hingga hari eksekusi penggusuran pada 20 Februari tiba, pihak Megowpak
yang diharapkan warga bisa memberikan arahan, justru tidak hadir. Dalam eksekusi
hari itu, pihak kepolisian dan keamanan PT.Silva berhasil merobohkan 74 rumah
warga. Pihak kepolisian juga mengumumkan setelah penggusuran di Nanasan, dua
bulan berikutnya penggusuran dilanjutkan ke wilayah Moro-Moro.
PT. Silva Inhutani Lampung sebagai pemegang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman
Industri pertama kali mendapat izin pengelolaan kawasan register pada tahun 1991
dengan luas lahan 32.600 hektar. Pada tahun 1994, PT. Silva berdasarkan
rekomendasi Gubernur Lampung dan Dirjen Pengusahaan Hutan mendapat perluasan
lahan 10.500 hektar sehingga luas lahan seluruhnya menjadi 43.100 hektar. PT. Silva
Inhutani diberi konsesi (izin hak pengolahan) selama 45 tahun.
PT. Silva saat itu mendapat izin pengolahan dari Kementerian Kehutanan melalui
bahwa PT. Silva berkewajiban melakukan penataan batas areal kerja
selambat-lambatnya dua tahun sejak izin dikeluarkan. PT. Silva diminta membuat Rencana
Karya Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) selambat-lambatnya 18 bulan,
membuat Rencana Kerja Tahunan, membangun sarana dan prasarana yang
diperlukan. PT. Silva juga harus melakukan penanaman sedikitnya sepersepuluh dari
luas lahan dalam waktu lima tahun. Namun sejak 1999, tepat setelah dua tahun SK
Menteri Kehutanan dikeluarkan, kegiatan operasional PT. Silva terhenti akibat krisis
moneter yang melanda Indonesia. Ternyata PT. Silva tidak sepenuhnya menjalankan
mandate konsesi. PT. Silva baru mengolah lahan sekitar 25 ribu hektar, yang
ditanami pohon Akasia dan Sonokeling. Sisa lahan itu umumnya tidak terawat
dengan baik, sebagian lain sudah dijadikan lahan perkebunan singkong dan
pemukiman warga.
Melihat itu, Kementerian Kehutanan melalui SK. No.9983/Kpts-II/2002 mencabut
izin pengolahan PT. Silva yang dinilai tidak layak membangun hutan tanaman
industri baik secara teknis maupun finansial. PT. Silva juga tidak pernah
menyerahkan rencana kerja tahunan sejak izin pengolahan diberikan pada 1999.
Kondisi ini pula yang dimanfaatkan warga pendatang untuk berinisiatif membuka
lahan yang dianggap tak berpemilik itu. Warga menganggap PT Silva tidak mampu
mengelola lahan dengan banyaknya lahan yang ditelantarkan. PT. Silva ternyata
kembali mengajukan permohonan izin pengolahan hutan industri kepada pihak
Kementerian Kehutanan. Permohonan itu mendapat balasan dari Menteri Kehutanan
kondisi permukiman warga sudah semakin banyak memenuhi kawasan Moro-Moro
dan Simpang D Nanasan Kecamatan Sungai Buaya.39
Riwayat areal Kawasan Hutan Register–45 di Kabupaten Mesuji (dahulu Kabupaten
Tulang Bawang) Provinsi Lampung, merupakan lahan hibah yang diberikan oleh
Bapak Bahusin kepada Pemerintah Belanda tahun 1940 seluas 33.500 Ha, sesuai
dengan Besluit Resident Lampung Distrik Nomor 249 tanggal 12 April 1940 yang
menyatakan bahwa di luar areal lahan yang dihibahkan seluas 33.500 Ha itu, terdapat
22 umbul yang tidak termasuk dihibahkan karena merupakan lahan usaha masyarakat.
Tahun 1986-1987 dilakukan Pengukuran Tata Batas kawasan hutan Register 45 oleh
Tim Tata Batas Tingkat II Lampung Utara untuk perluasan lahan HTI menjadi 43.100
ha (SK Menteri Kehutanan No. 785/KPTS-II/1993 pada tanggal 22 Nopember 1993),
sehingga masyarakat yang ada di Talang Batu, yang meliputi Dusun Talang Gunung,
Pelita Jaya dan Tanjung Harapan dipaksa meninggalkan dusun (digusur).40
Mulai dari sinilah terjadi konflik berkepanjangan antara masyarakat dengan pihak PT.
Silva Inhutani.41 Tahun 1991 keluar SK Menteri Kehutanan No. 688/Kpts-II/1991
yang memberikan ijin HPHTI kepada PT. Silva Inhutani seluas 33.500 Ha. SK
tersebut menegaskan bahwa terhadap kampung, tegalan dan lain-lain yang telah ada
sebelumnya tidak masuk sebagai areal HPHTI (Hak Pengusahaan Hutan Tanaman
39 Ibid. 40
Yusdiyanto, “Hak Pilih dan Memilih Warga Negara Sebagai Constitusional Right (Kajian Kasus Moro-Moro di Kabupaten Mesuji)” Jurnal Konstitusi, Pusat Kajian Konstitusi dan Perundang-Undangan Fakultas Hukum Universitas Lampung, Volume III Nomor 1, Juni, Lampung, 2011. hlm. 91.
41
Industri). Tahun 1997 PT. Silva Inhutani menambah perluasan lahan, sehingga keluar
lagi SK Menteri Kehutanan No. 93/Kpts-II/1997 yang menyatakan luas areal kawasan
hutan register – 45 menjadi 43.100 Ha. SK ini menegaskan juga bahwa: Apabila di
dalam areal HPHTI terdapat lahan yang telah menjadi tanah milik, perkampungan,
tegalan, persawahan, atau telah diduduki dan digarap oleh pihak ketiga, maka lahan
tersebut tidak termasuk dan dikeluarkan dari areal kerja dari HPHTI.
Tahun 1997 akibat krisis ekonomi masuklah penggarap/pendatang dan masyarakat
transmigrasi yang terusir dari kawasan Gunung Balak Kabupaten Lampung Timur,
setelah melihat adanya lahan terlantar di Register 45 (selanjutnya disebut masyarakat
Moro-Moro Way Serdang).42Tahun 2002 keluar Keputusan Menteri Kehutanan yang
mencabut ijin HPHTI PT. Silva Inhutani melalui SK Menhut No.9983/Kpts-II/2002,
karena PT.Silva Inhutani dinilai tidak layak dalam melaksanakan kegiatan
Pembangunan Hutan Tanaman Industri, baik dari segi teknis maupun finansial dan
tidak pernah menyerahkan Rencana Kerja Tahunan dan Rencana Kerja Lima
Tahunan sejak tahun 1999. Tahun 2004 Ijin HPHTI dipulihkan kembali melalui
gugatan pengadilan Tata Usaha Negara, yang kemudian dikukuhkan melalui SK
Menhut No.322/Menhut-II/2004, tetapi Pemberian Hak Pengusahaan HTI menjadi
seluas 42.762 Ha.43 PT.Silva Inhutani telah melakukan pelanggaran terhadap ijin
yang diberikan yaitu penyalahgunaan lahan untuk penanaman komoditas yang bukan
tanaman hutan industri melainkan tanaman semusim seperti nanas dan singkong.
42 Ibid. 43
Bahkan pernah memberikan hak pengelolaan hutan tersebut kepada pihak ketiga
secara tidak sah yaitu kepada PT. BGM dan PT. Kencana Acit Indo Perkasa.
Implikasi Konflik Pertanahan terhadap seluruh masyarakat yang tinggal di register 45
dianggap sebagai perambah, sehingga tidak diberikan dokumen yang terkait dengan
hak kependudukan seperti KTP, Akta Kelahiran, pencatatan perkawinan dan lain-lain,
yang berimplikasi pada tertutupnya akses masyarakat terhadap perolehan pelayanan
publik seperti hak untuk mendapatkan kesehatan, pendidikan, beras miskin (raskin),
Bantuan Langsung Tunai (BLT), dan hak politik. Hal ini bertentangan dengan UU
Administrasi Kependudukan dan UU HAM.44
BAB IV
PEMBAHASAN
1. Hak Politik Menurut UUD Tahun 1945
Undang-Undang Dasar sebagai constitusional right menyatakan bahwa Indonesia
adalah negara hukum yang salah satu elemen dasarnya adalah pemenuhan, pengakuan
dan penjaminan akan hak-hak dasar warga negara. Dari berbagai literatur hukum tata
negara maupun ilmu politik kajian tentang ruang lingkup paham konstitusi
(konstitusionalisme) terdiri dari: (a) anatomi kekuasaan (kekuasaan politik) tunduk
pada hukum, (b) jaminan dan perlindungan hak-hak asasi manusia, (c) peradilan yang
bebas dan mandiri, dan (d) pertanggungjawaban kepada rakyat (akuntabilitas publik)
sebagai sendi utama dari asas kedaulatan rakyat.52
Sri Soemantri menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar sebagai Konstitusi tertulis
merupakan sebuah dokumen formal yang berisi:53(1) Hasil perjuangan politik bangsa
di waktu yang lampau; (2) Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan
bangsa; (3) Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak mewujudkan, baik untuk
waktu sekarang maupun untuk masa yang akan dating, dan (4) Suatu keinginan,
dengan nama perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin.
52
Dahlan Thaib dkk,Teori dan…,Op.Cit.,hlm. 2. 53
Fenomena tersebut menjadikan konstitusi sebagai hukum yang tertinggi (supremacy
of law) yang harus ditaati oleh rakyat maupun oleh alat-alat kelengkapan negara,
siapakah yang akan menjamin bahwa ketentuan konstitusi atau Undang-Undang
Dasar benar-benar diselenggarakan menurut jiwa dan kata-kata dari naskah, baik oleh
badan eksekutif maupun badan pemerintah lainnya.54
TAP MPR-RI No.XVII/MPR/1998 tentang HAM, menyatakan Pembukaan UUD
Tahun 1945 telah mengamanatkan pengakuan, penghormatan, dan kehendak bagi
pelaksanaan HAM dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara. Bangsa Indonesia sebagai bagian masyarakat internasional patut
menghormati hak asasi manusia yang termaktub dalam Universal Declaration of
Human Rightsserta instrumen internasional lainnya mengenai hak asasi manusia.
HAM dan demokrasi memiliki kaitan yang sangat erat, demokrasi memberikan
pengakuan lahirnya keikutsertaan publik secara luas dalam pemerintahan, peran serta
publik mencerminkan adanya pengakuan kedaulatan. Aktualisasi peran publik dalam
ranah pemerintahan memungkinkan untuk terciptanya keberdayaan publik.
Perlindungan dan pemenuhan HAM melalui rezim yang demokratik berpotensi besar
mewujudkan kesejahteraan rakyat.55
Sejak lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 bangsa ini telah
menjunjung tinggi HAM. Sikap tersebut tampak dari Pancasila dan UUD Tahun
54
Ibid., hlm. 62. 55
1945, yang memuat beberapa ketentuan-ketentuan tentang penghormatan HAM
warga negara. Sehingga pada praktek penyelenggaraan negara, perlindungan atau
penjaminan terhadap HAM dan hak-hak warga negara (citizen’s rights) atau hak-hak
konstitusional warga negara (the citizen’s constitusional rights) dapat terlaksana.
Hak memberikan suara atau memilih (right to vote) merupakan hak dasar (basic
right) setiap individu atau warga negara yang harus dijamin pemenuhannya oleh
negara.
Hak politik warga negara mencakup hak untuk memilih dan dipilih, penjaminan hak
dipilih secara tersurat dalam UUD 1945 mulai Pasal 27 ayat (1) dan (2); Pasal 28,
Pasal 28D ayat (3); Pasal 28E ayat (3).56 Sementara hak memilih juga diatur dalam
Pasal 1 ayat (2); Pasal 2 ayat (1); Pasal 6A ayat (1); Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 22C
ayat (1) UUD 1945.57Perumusan pada pasal-pasal tersebut sangat jelas bahwa tidak
dibenarkan adanya diskriminasi mengenai ras, kekayaan, agama dan keturunan.
56
Pasal 27 ayat (1); Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Pasal 27 ayat (2); Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Pasal 28; Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 28D ayat (3); Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Pasal 28E ayat (3); Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
57
Pasal 1 ayat (2); Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
Pasal 2 ayat (1); Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.
Pasal 6A ayat (1); Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.
Pasal 19 ayat (1); Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui Pemilihan Umum.
Setiap warga negara mempunyai hak-hak yang sama dan implementasinya hak dan
kewajiban pun harus bersama-sama.58
Konkritisasi dari ketentuan-ketentuan tersebut diatur lebih lanjut dalam peraturan
perundang-undangan dibawahnya, sesuai ketentuan yang ada dalam Undang-Undang
tentang peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Undang-Undang tentang HAM yang secara nyata memberikan pengakuan terhadap
hak-hak warga negara yaitu: (a) Hak untuk hidup; (b) Hak berkeluarga dan
melanjutkan keturunan; (c) Hak mengembangkan diri; (d) Hak memperoleh keadilan;
(e) Hak atas kebebasan pribadi; (f) Hak atas rasa aman; (g) Hak atas kesejahteraan;
(h) Hak turut serta dalam pemerintahan; (i) Hak wanita; dan (j) Hak anak. Pada point
(h) secara nyata negara memberikan pengakuan kepada setiap warga negara untuk
ikut serta dalam pemerintahan baik dalam hal hak memilih dan dipilih.
UU HAM khusus Pasal 43: (1) Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih
dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan (2) Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan
dengan langsung atau dengan perantaraan wakil yang dipilihnya dengan bebas,
menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. (3) Setiap warga
negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan.
58
Menurut Ramdlon Naning, HAM dapat dibedakan dalam:
(1) hak-hak asasi pribadi (personal right); (2) hak-hak asasi ekonomi (property rights); (3) hak-hak asasi politik (political rights); (4) hak-hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan (right of legal equality); (5) hak-hak asasi sosial dan kebudayaan (social and culture rights); dan (6) hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama di muka hukum dalam tata cara peradilan dan perlindungan (procedural rights).59
Pasal 25 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International
Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak
Sipil dan Politik) menyebutkan bahwa negara Indonesia mengakui dan melindungi
hak setiap warga negara untuk mengambil bagian dalam pelaksanaan urusan-urusan
publik, hak memilih dan dipilih, serta hak atas akses terhadap pelayanan publik.
Pada tanggal 28 Oktober 2005, Indonesia meratifikasi International Covenant on
Civil and Political Right (ICCPR) atau Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil
dan Politik dengan disahkannya Undang-Undang tentang Ratifikasi Kovenan
Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Kovenan ini mengukuhkan
pokok-pokok hak asasi manusia di bidang sipil dan politik yang tercantum dalam Universal
Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) sehingga
menjadi ketentuan-ketentuan yang mengikat secara hukum dan penjabarannya
mencakup pokok-pokok lain yang terkait, Kovenan tersebut terdiri dari pembukaan
dan Pasal-Pasal yang mencakup 6 bab dan 53 Pasal.
59
ICCPR pada dasarnya memuat ketentuan mengenai pembatasan penggunaan
kewenangan oleh aparat represif negara, khususnya aparatur represif negara yang
menjadi Negara-Negara Pihak dalam ICCPR, Makanya hak-hak yang terhimpun
didalamnya juga sering disebut sebagai hak-hak negatif (negative rights). Artinya,
hak-hak dan kebebasan yang dijamin didalamnya akan dapat terpenuhi apabila peran
negara terbatasi atau terlihat minus. Tetapi apabila negara berperan intervensionis, tak
bisa dielakkan hak-hak dan kebebasan yang diatur di dalamnya akan dilanggar oleh
negara. Inilah yang membedakan dengan model legislasi Kovenan Internasional
Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (KIHESB) yang justru menuntut peran maksimal
negara. Negara justru melanggar hak-hak yang dijamin didalamnya apabila negara
tidak berperan secara aktif atau menunjukkan peran yang minus. KIHESB karena itu
sering disebut hak-hak positif (positive rights).60
Ifdhal Kasim dalam kata pengantar buku Hak Sipil dan Politik Esai-Esai Pilihan,
membuat dua klasifikasi terhadap hak-hak dan kebebasan dasar yang tercantum
dalam ICCPR. Klasifikasi yang pertama, adalah hak-hak dalam jenis non-derogable
rights, yaitu hak-hak yang bersifat absolut dan tidak boleh dikurangi pemenuhannya
oleh Negara-Negara Pihak, walaupun dalam keadaan darurat sekalipun. Hak-hak
yang termasuk dalam jenis ini adalah:
(1) hak atas hidup (rights to life); (2) hak bebas dari penyiksaan (rights to be free from torture); (3) hak bebas dari perbudakan (rights to be free from slavery); (4) hak bebas dari penahanan karena gagal memenuhi perjanjian (hutang); (5) hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut; (6) hak sebagai subyek hukum dan (7) hak atas
60
kebebasan berpikir, keyakinan dan agama. Negara-negara pihak yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak dalam jenis ini seringkali akan mendapat kecaman sebagai negara, yang telah melakukan pelanggaran serius hak asasi manusia (gross violation of human rights).
Kelompok kedua adalah hak-hak dalam jenis derogable, yakni hak-hak yang boleh
dikurangi atau dibatasi dalam pemenuhannya oleh Negara-Negara Pihak. Hak dan
kebebasan yang tergantung dalam jenis ini adalah:
(i) hak atas kebebasan berkumpul secara damai; (ii) hak atas kebebasan berserikat, termasuk membentuk dan menjadi anggota serikat buruh; (iii) hak atas kebebasan menyatakan pendapat atau berekspresi, termasuk kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi dari segala gagasan tanpa memperhatikan batas (baik melalui lisan maupun tulisan).
Negara-negara pihak dalam ICCPR diperbolehkan mengurangi atau mengadakan
penyimpangan atas kewajiban dalam memenuhi hak-hak tersebut. Tetapi
penyimpangan itu hanya dapat dilakukan apabila sebanding dengan ancaman yang
dihadapi dan tidak bersifat diskriminatif, yaitu demi (i) menjaga keamanan nasional
atau ketertiban umum atau kesehatan atau moralitas umum; dan (ii) menghormati hak
atau kebebasan orang lain. Rosalyn Higgins menyebut ketentuan ini sebagai
ketentuan “clawback”, yang memberikan suatu keleluasaan kepada negara yang
dapat disalahgunakan oleh negara. Untuk menghindari hal ini ICCPR menggariskan
bahwa hak-hak tersebut tidak boleh dibatasi melebihi dari yang ditetapkan oleh
kovenan ini. Selain diharuskan menyampaikan alasan-alasan mengapa pembatasan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 juncto Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2008 tentang pemerintahan daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005
tentang pemilihan, pengesahan, pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah dan
wakil kepala daerah dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2008
tentang tata cara penyusunan daftar pemilih untuk pemilihan umum anggota dewan
perwakilan rakyat, dewan perwakilan daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah
menyebutkan bahwa seorang warga negara memiliki hak memilih apabila warga
negara Indonesia yang telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau
sudah pernah kawin. Selanjutnya diatur bahwa daftar pemilih sebagaimana dimaksud
sekurang-kurangnya memuat nomor induk kependudukan, nama, tanggal lahir, jenis
kelamin, dan alamat warga negara Indonesia yang mempunyai hak memilih.
Menurut Rosjidi Ranggawidjaja, pembatasan tersebut dapat dikategorikan sebagai
persyaratan prosedural. Apapun persyaratan yang ditetapkan akan merupakan suatu
pembatasan terhadap hak memilih warga negara.61 Dan pada akhirnya ini akan
dijadikan alasan untuk melakukan constitusional review terhadap undang-undang,
karena sudah sangat jelas bahwa hak memilih dan dipilih seorang warga negara yang
dijamin dalam UUD dan harus dilindungi dan diberikan oleh negara. Namun dalam
Undang-Undang Pemilu dan peraturan pelaksana dibawahnya memberikan batasan
umur, prosedural sampai administrasi.
61
UUD 1945 Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2), negara dapat pembatasan atas dasar
pertimbangan moral, nilai agama, keamanan, ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis.62
Selanjutnya Undang-Undang tentang administrasi kependudukan mengatakan KTP,
adalah identitas resmi penduduk sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh instansi
pelaksana yang berlaku di seluruh wilayah NKRI. Penduduk adalah warga negara
Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia. Pendefenisian ini
memberikan rumusan bahwa setiap orang yang bertempat tinggal di wilayah NKRI
wajib diberikan identitas kependudukan oleh negara, sesuai dengan asas ius solli dan
ius sanguinis.63
2. Hak Politik Warga Moro-Moro
Hak politik pada hakekatnya mempunyai sifat melindungi individu dari
penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak penguasa. Karena itu, dalam mendukung
pelaksanaannya peranan pemerintah perlu diatur melalui perundang-undangan, agar
campur tangannya dalam kehidupan warga masyarakat melampaui batas-batas
tertentu. Hak-hak politik biasanya ditetapkan dan diakui sepenuhnya oleh konstitusi
62
Pasal 28J ayat (1); Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Pasal 28J ayat (2); Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan perimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
63
berdasarkan keanggotaan sebagai warga negara. Artinya, hak-hak ini tidak berlaku
kecuali bagi warga negara setempat, bukan warga asing.
Penegasan konstitusi hak politik warga negara, tertuang dalam UUD Tahun 1945
Pasal 27 ayat (1)dinyatakan bahwa, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya
di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan
itu dengan tidak ada kecualinya”. Pasal ini menjelaskan bahwa setiap warga negara,
yaitu orang Indonesia asli maupun bangsa lain yang disahkan Undang-Undang
sebagai warga negara, mempunyai kedudukan yang sama di mata hukum dan
pemerintahan. Setiap warga negara juga berhak untuk memperoleh kesempatan yang
sama dalam pemerintahan (Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28D ayat (3)).
Penegasan konstitusi hak politik warga negara, tertuang dalam Undang Undang
tentang HAM khusus Pasal 43:
(1) Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan perantaraan wakil yang dipilihnya dengan bebas, menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
(3) Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan.
Penegasan konstitusi hak politik warga negara, tertuang dalam kovenan hak sipil dan
kesempatan, tanpa pembedaan apapun” sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2
dan tanpa pembatasan yang tidak layak, untuk:
(a) Ikut serta dalam pelaksanaan urusan pemerintahan, baik secara langsung ataupun melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas;
(b) Memilih dan dipilih pada pemilihan umum berkala yang murni, dan dengan hak pilih yang universal dan sama, serta dilakukan melalui pemungutan suara secara rahasia untuk menjamin kebebasan menyatakan keinginan dari para pemilih;
(c) Memperoleh akses pada pelayanan umum di negaranya atas dasar persamaan dalam arti umum.
Hak-hak asasi manusia, oleh PBB dalam sidang umumnya Diisana Chaillot Paris,
pada tanggal 10 Desember 1984. dalam Piagam HAM tersebut telah berhasil
ditetapkan secara rinci beberapa hak politik sebagai berikut: hak untuk mempunyai
dan menyatakan pendapat tanpa mengalami gangguan (pasal 19), hak atas kebebasan
berkumpul dan berserikat secara tenang (pasal 20 ayat 1), hak untuk ikut serta dalam
pemerintahan negara (pasal 21 ayat 1), hak untuk ikut serta dalam pemilu yang
dilakukan secara periode, serentak, wajar, bebas, dan rahasia (pasal 21 ayat 3) dan
lain-lain.
Menurut piagam PBB dan perjanjian hak-hak sipil dan politik serta defenisi hak
politik dapat di klasifikasikan menjadi tujuh macam hak politik, yaitu :
a. hak untuk memiliki dan menyatakan pendapat dengan tenang b. hak untuk berserikat dan berkumpul
c. hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan negara d. hak untuk ikut serta dalam pemilu
e. hak kebebasan menentukan status politik f. hak untuk memilih dan dipilih
Soepomo menyatakan bahwa negara harus menjaga supaya tidak ada warga negara
yang memiliki kewarganegaraan ganda (dwikewarganegaraan atau dubbele
onderdaanschap) dan juga yang tidak mempunyai kewarganegaraan (staatloosheid).
Hal ini harus diatur dengan sistem dan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Untuk itu, Soepomo mengajukan dasar kewarganegaraan Indonesia, yaitu: (1) Ius
Sanguinis (prinsip keturunan) dan (2) Ius Soli (prinsip teritiorial).64 Isi kedudukan
sebagai warga negara adalah (1) hanya warga negara mempunyai hak-hak politik,
misalnya hak memilih dan dipilih dan (2) hanya warga negara mempunyai hak
diangkat menjadi jabatan negara. Pada dasarnya status suatu kewarganegaraan
seseorang memiliki dua aspek, yaitu: (1) aspek hukum, dimama kewarganegaraan
merupakan suatu status hukum kewarganegaraan, suatu kompleks hak dan kewajiban,
khususnya dibidang hukum publik yang dimiliki oleh warga negara dan yang tidak
dimiliki oleh orang asing.
Asal Konflik bermula saat masyarakat melakukan Perambahan di kawasan hutan
Register 45 Sungai Buaya di empat lokasi yaitu; Moro-moro, Simpang ‘D’, Talang
Gunung dan Pelita Jaya. Khusus mengenai Moro-Moro masyarakat masuk dikawasan
tersebut sejak tahun 1997, kondisi sekarang di Moro-moro ± 2.000 KK, Rumah
Permanen dan Semi Permanen, ada Rumah Ibadah (Masjid, Gereja dan Pura),
Sekolah Dasar, infrastruktur jalan, kebun karet, sawit, singkong dan padi.65
64
Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku VIII Warga Negara dan Penduduk, Hak Asasi Manusia dan Agama, Jakarta, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. 2010. hlm. 14.
65