• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI DESKRIPTIF PENDIDIKAN SEKSUAL DAN PERILAKU SEKSUAL PADA REMAJA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "STUDI DESKRIPTIF PENDIDIKAN SEKSUAL DAN PERILAKU SEKSUAL PADA REMAJA"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Oleh:

Anastasya Shely Prastiwi

201210230311139

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

(2)

Studi

Deskriptif

Pendidikan Seksual dan Perilaku Seksual pada Remaja

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Muhammadiyah Malang

sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Oleh:

Anastasya Shely Prastiwi

201210230311139

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

(3)

SKRIPSI

Dipersiapkan dan disusun oleh:

Anastasya Shely Prastiwi Nim: 201210230311139

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal, 03 Januari 2016

dan dinyatakan memenuhi syarat sebagai kelengkapan memperoleh gelar Sarjana (S1) Psikologi

Universitas Muhammadiyah Malang

SUSUNAN DEWAN PENGUJI

Ketua/ Pembimbing I Sekretaris/ Pembimbing II

Yuni Nurhamida, S.Psi., M.Si Susanti Prasetyaningrum, S.Psi, M.Psi

Anggota I Anggota II

M. Shohib, S.Psi. M.Si. Istiqomah, S.Psi. M.Si

Mengesahkan Dekan,

(4)

SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Anastasya Shely Prastiwi

NIM : 201210230311139

Fakultas/Jurusan : Psikologi

Perguruan Tinggi : Universitas Muhammadiyah Malang

Menyatakan bahwa skripsi/karya ilimiah yang berjudul:

Studi deskriptif pendidikan seksual dan perilaku seksual pada remaja

1. Adalah bukan karya orang lain baik itu sebagian maupun keseluruhan kecuali dalam bentuk kutipan yang digunakan dalam naskah ini dan telah disebutkan sumbernya.

2. Hasil tulisan skripsi/karya ilmiah dari penelitian yang saya lakukan merupakan hak bebas royalti non eksklusif, apabila digunakan sebagai sumber pustaka.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan apabila pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia mendapat sanksi sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

Malang, 28 Januari 2016

Mengetahui,

Ketua Program Studi Yang Menyatakan,

(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Studi Deskriptif Pendidikan Seksual Dan Perilaku Seksual Pada Remaja” yang merupakan syarat untuk memperoleh gelar sarjana psikologi di Universitas Muhammadiyah Malang. Tidak lupa pula senantiasa penulis kirimkan shalawat dan salam kepada baginda Rasulullah Muhammad SAW. Nabi yang telah mengisi sebagian besar masa hidupnya untuk kesejahteraan dan kemaslahatan umat manusia.

Penulis menyadari bahwa selama masa perkuliahan dan dalam proses penyusunan skripsi ini banyak pihak yang telah memberikan sumbangsih dalam bentuk apapun, baik itu berupa motivasi, bimbingan, dan petunjuk kepada penulis. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Dra. Tri Dayakisni, M.Si selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang.

2. Yuni Nurhamida, S.Psi., M.Si dan Susanti Prasetyaningrum, S.Psi, M.Psi selaku dosen pembimbing I dan II yang telah meluangkan banyak waktu untuk mencurahkan wawasannya, dan memberikan bimbingan serta motivasi kepada penulis.

3. Tri Muji Ingarianti, S.Psi., M.Psi selaku dosen wali yang senantiasa memberikan nasihat, dukungan, dan motivasi kepada penulis.

4. Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (BAKESBANGPOL) Kabupaten Pasuruan, yang telah memberikan izin penelitian, serta seluruh subjek yang bersedia membantu mengisi angket penelitian.

5. Ayahandaku tercinta (Akhmad Sultoni) dan Ibundaku tersayang (Heny Yusita) yang penuh kesabaran dan pengertian yang luar biasa telah mengiringi dan menyemangati setiap langkah penulis dengan kasih sayang, doa, dan restunya, tanpanya aku bukanlah siapa-siapa di dunia fana ini.

6. Adikku Cindy Novianti Putri tersayang, terima kasih tiada tara atas segala support yang telah diberikan selama ini dan semoga adikku tercinta dapat menggapaikan keberhasilan juga di kemudian hari.

7. Seluruh teman-teman seperjuangan Fakultas Psikologi UMM angkatan 2012 khususnya rekan-rekan kelas C yang tak bisa tersebutkan namanya satu persatu, terima kasih banyak kuucapkan.

8. Sahabatku tersayang (Bangun, Avi, Arip, Yayak) terima kasih telah menjadi sahabat setia yang selalu mendengarkan keluh kesahku dan selalu mensupport dalam segala hal.

9. Sahabat setiaku (lintang, mimin, azimah, rara) terima kasih telah menjadi teman, sahabat, saudara, dan keluarga ditanah rantau ini, semuanya sangat berkesan.

10.Teman-teman kos BCT123 yang bersama-sama dalam tempat tinggal yang telah dirasa suka duka kita lalui (chaca, mega, ckyar, indi, tatha, nisa, marita)

11.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, yang telah banyak memberikan bantuan dalam bentuk apapun kepada penulis.

(6)

Penulis menyadari bahwa tiada satupun karya manusia yang sempurna, sehingga kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini sangat diharapkan oleh penulis. Meski demikian, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi peneliti secara khusus, dan bagi pembaca pada umumnya.

Malang, 28 Januari 2016 Penulis,

(7)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... i

SURAT PERNYATAAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

ABSTRAK ... 1

PENDAHULUAN ... 2

LANDASAN TEORI ... 5

Pendidikan Seksual ... 5

Perilaku Seksual ... 8

Remaja ... 9

Pendidikan Seksual dan Perilaku Seksual Remaja ... 10

METODE PENELITIAN ... 11

Rancangan Penelitian ... 11

Subjek Penelitian ... 11

Variabel dan Instrumen Penelitian ... 12

Prosedur dan Analisa Data Penelitian ... 13

HASIL PENELITIAN ... 13

DISKUSI ... 17

SIMPULAN DAN IMPLIKASI ... 19

REFERENSI ... 20

(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Tahap Perkembangan Remaja ... 11

Tabel 2. Perilaku seksual berdasarkan status berpacaran ... 15

Tabel 3. Perilaku seksual berdasarkan kapan diberikannya pendidikan seksual ... 15

Tabel 4. Perilaku seksual berdasarkan metode yang digunakan dalam memberikan pendidikan seksual ... 15

Tabel 5. Perilaku seksual berdasarkan media yang digunakan dalam memberikan pendidikan seksual ... 16

Tabel 6. Perilaku seksual berdasarkan pemberian nasehat orangtua kepada anaknya ... 16

Tabel 7. Perilaku seksual berdasarkan kegiatan seminar yang diadakan disekolah ... 16

Tabel 8. Perilaku seksual berdasarkan siapa yang memberikan pendidikan seksual ... 16

Tabel 9. Perilaku seksual berdasarkan informasi yang sudah didapatkan remaja... 17

Tabel 10. Pendapat tentang perlunya pendidikan seksual ... 17

Tabel 11. Analisis anova media pendidikan seksual ... 17

Tabel 12. Analisis anova metode pendidikan seksual ... 18

Tabel 13. Analisis anova seminar yang dilakukan disekolah mengenai pendidikan seksual... 18

(9)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1

Skala Try Out Pendidikan Seksual dan Perilaku Seksual pada Remaja ... 25

LAMPIRAN 2

Analisis Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian ... 31

LAMPIRAN 3

Blue Print Skala Pendidikan Seksual dan Perilaku Seksual pada Remaja ... 36

LAMPIRAN 4

Tabulasi Data Penelitian ... 44

LAMPIRAN 5

Analisa Uji Beda dari SPSS ... 57

LAMPIRAN 6

(10)

STUDI DESKRIPTIF PENDIDIKAN SEKSUAL DAN PERILAKU

SEKSUAL PADA REMAJA

Anastasya Shely Prastiwi

Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang

anastshely@gmail.com

Perilaku seksual pada remaja kini cenderung meningkat, yang diduga salah satunya yaitu karena kurangnya pendidikan seksual yang remaja terima. Penelitian ini adalah penelitian eksploratif dengan desain deskriptif kuantitatif yang bertujuan untuk mengetahui gambaran pendidikan seksual yang sudah diterima oleh remaja dengan tingkat perilaku seksual remaja. Metode pengumpulan data penelitian ini menggunakan kuisioner pendidikan seksual dan skala perilaku seksual remaja. Subjek penelitian sebanyak 193 sampel dengan menggunakan teknik accidental sampling pada remaja SMA di salah satu sekolah di Kabupaten Pasuruan. Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu deskriptif kuantitatif dengan melihat besar prosentase. Hasil prosentase sebesar 34,2% menunjukkan bahwa perilaku seksual remaja tinggi pada tingkat perilaku intercourse, diikuti dengan 30,6% tidak/ belum melakukan perilaku seksual dan sisanya tersebar pada tingkatan necking 16,1%, petting 15%, dan kissing 4,1%. Hal ini menunjukkan pendidikan seksual saja tidak cukup untuk mencegah remaja melakukan premarital intercourse dan perilaku seksual lainnya.

Kata kunci: Pendidikan seksual, perilaku seksual, remaja

Sexual behavior in adolescents now tends to increase, one of suposittion is the lack of sexual education that adolescents receive. This is the explorative research with descriptive quantitative design that aims to reveal the sexual education received by adolescents with the level of adolescent sexual behavior. The method of data collection is using a sexual education questionnaire and adolescent sexual behavior scale. 193 research subjects subjects by using accidental sampling technique to adolescent in one of the Senior High School in Pasuruan. Data analysis technique that used in this research is descriptive quantitative with counting the amount of percentage. A percentage of 34.2% showed that adolescents sexual behavior is high on the behavioral level intercourse, followed by 30.6% not/ do not perform sexual behavior and the rest scattered at the level of 16.1% necking, petting 15%, and kissing 4.1%. It shows sexual education alone is not enough to prevent adolescents do premarital intercourse and other sexual behavior.

(11)

Remaja merupakan generasi muda yang mempunyai peran yang sangat besar dalam menentukan masa depan bangsa. Akan tetapi kehidupan pertumbuhan social dan pola kehidupan masyarakat akan sangat mempengaruhi tingkah laku remaja seperti, kenakalan remaja, pergaulan bebas, kehamilan pranikah, dll. Semua ini akan menentukan kehidupan remaja yang akan datang.

Santrock (2007) remaja adalah masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Di masa ini remaja juga mengalami siklus emosional yang meledak-ledak. Hal ini terjadi karena emosi remaja masih stabil, sering menggebu-gebu, sangat bersemangat, namun mudah putus asa. Pada masa ini biasanya kaum remaja lebih menonjolkan diri untuk mendapatkan perhatian dari lingkungannya. Pada masa ini keluarga, teman, sekolah, dan lingkungan sangat berperan penting. Lingkungan tempat remaja tinggal dan berinteraksi, sedikit banyak akan memengaruhi dalam mengarahkan dan mengantarkan remaja dalam kehidupan yang sebenarnya, saat ini menginjak dewasa. Orangtua dan guru sebaiknya mendampingi masa transisi remaja ini. Karena akan menentukan kualitas hidup remaja di masa yang akan datang. Hal ini dapat dilakukan dengan cara aktif berinteraksi dengan remaja, seperti memberikan perhatian yang optimal, mendengarkan cerita, berusaha memenuhi kebutuhan remaja, hingga menjadi pemberi solusi yang baik pada saat remaja tengah mengalami masalah.

Laju perkembangan media massa dan elektronika yang semakin pesat tampaknya mempengaruhi pola perilaku remaja, khususnya perilaku seksual remaja. Kenyataan sehari-hari yang dapat dilihat misalnya tayangan film-film yang masih terkesan vulgar, maraknya VCD porno, maupun adegan-adegan „syur‟ yang begitu mudahnya diakses di internet. Rasa ingin tahu (curiousity) yang sangat besar dan kurangnya pengetahuan yang di dapat dari orangtua yang dikarenakan orang tua menganggap hal tersebut tabu untuk dibicarakan juga mempengaruhi pola perilaku remaja. Pada remaja informasi mengenai masalah seksual sudah seharusnya mulai diberikan agar remaja tidak mendapatkan informasi yang salah dan dari sumber yang tidak jelas. Pemberian informasi ini sangat penting dikarenakan remaja berada dalam potensi seksual yang aktif yang akan berkaitan dengan dorongan seksual yang dipengaruhi oleh hormon. Hal ini sangat berbahaya bagi perkembangan remaja bila tidak didukung dengan pengetahuan dan informasi yang tepat (Glevinno, 2008).

Remaja dalam perkembangannya memerlukan lingkungan adaptip yang menciptakan kondisi yang nyaman untuk bertanya dan membentuk karakter bertanggung jawab terhadap dirinya. Ada kesan pada remaja, seksual itu menyenangkan, puncak rasa kecintaan, yang serba membahagiakan sehingga tidak perlu ditakutkan. Berkembang pula opini seksual adalah sesuatu yang menarik dan perlu dicoba (sexpectation). Terlebih lagi ketika remaja tumbuh dalam lingkungan mal-adaptif, akan mendorong terciptanya perilaku amoral yang merusak masa depan remaja. Dampak pergaulan bebas mengantarkan pada kegiatan menyimpang seperti seks bebas, tindak kriminal termasuk aborsi, narkoba, serta berkembangnya penyakit menular seksual (PMS).

(12)

matang dengan lawan jenis. Pendidikan seksual yang tidak diberikan mengakibatkan tingginya kekerasan seksual pada anak yang dilakukan orang-orang terdekat anak termasuk keluarga. Fenomena ini menunjukkan pentingnya pemahaman akan pendidikan seksual pada anak usia dini.

Hasil penelitian Synoviate Reasrch (2004; dalam Eriza, 2011) melaporkan bahwa sekitar 65% informasi tentang seks mereka dapatkan dari teman dan juga 35% sisanya dari film porno. Ironisnya, hanya 5% remaja yang mendapatkan informasi tentang seksual dari orang tuanya. Para remaja juga mengaku mengetahui resiko terkena penyakit seksual 27%, tetapi hanya 24% dari remaja yang melakukan preventif untuk mencegah penyakit AIDS. Hasil penelitian Komisi Nasional Perlindungan Anak (2007, dalam Puspitasati; 2012) melaporkan bahwa 97,3% remaja pernah ciuman, petting dan oral seks 62,7% remaja SMP tidak perawan, 21,2% remaja SMU pernah aborsi, 97% pernah menonton film porno.

Data Depkes RI (2006) menunjukkan jumlah remaja umur 10-19 tahun di Indonesia sekitar 43 juta (19,61%) dari jumlah penduduk. Sekitar satu juta remaja pria (5%) dan 200 ribu wanita (1%) secara terbuka menyatakan bahwa mereka pernah melakukan hubungan seksual. Menurut Iskandar (1998) sebanyak 18% di Jakarta berhubungan seksual pertama dibawah 18 tahun dan usia termuda 13 tahun. Di Manado 56% remaja pria melakukan hubungan seksual pertama pada usia dibawah 16 tahun dan remaja pitri 33,3% (Utomo, 1998).

Pasuruan: Jum‟at 18 Juli 2014, pukul 09.00 WIB, di ruang Unit PPA Polres Pasuruan telah dilaksanakan pernikahan bernama Muhammad Yusuf Febriyanto (21) adapun perempuan yang di nikahinya yaitu bernama Mawar (16) warga wilayah Kec. Rembang Kab. Pasuruan. awalnya pelaku sering bertemu dengan Mawar di dalam toko milik orang tua Mawar yang selanjutnya antara Mawar dan pelaku telah menjalin hubungan cinta dan melakukan pacaran dengan cara sembunyi-sembunyi dihadapan kedua orang tua Mawar dan pada suatu hari di bulan Oktober 2013 , kedua orang sejoli tersebut dalam berpacaran telah melebihi batas dan terjadilah persetubuhan layaknya suami istri, dan kejadian tersebut dilakukan beberapa kali di bulan tersebut yang akibatnya Mawar mengalami kehamilan (humas.polri.go.id, 2014; dalam Azizah, 2015).

Dari paparan diatas masalah pendidikan seksual pada saat ini kurang diperhatikan orangtua sehingga mereka menyerahkan semua pendidikan anak kepada sekolah termasuk pendidikan seksual. Padahal yang bertanggungjawab akan pendidikan seksual pada anak usia dini adalah orang tua, sedangkan sekolah hanya sebagai pelengkap dan disekolah tidak ada kurikulum tentang pendidikan seksual sehingga pendidikan seksual pada anak usia dini kadang terabaikan. Pandangan yang kurang setuju dengan pendidikan seksual mengkhawatirkan bahwa pendidikan seksual yang diberikan kepada anak akan mendorong mereka melakukan hubungan seksual lebih dini. Sementara pandangan yang setuju pada pendidikan seksual beranggapan dengan semakin dini mereka mendapatkan informasi mereka akan lebih siap menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuhnya dan mampu menghindarkan diri dari kemungkinan yang bisa terjadi (Kusumawati, 2011).

(13)

terbentuk yang namanya sikap. Sikap inilah yang akan membentuk remaja dalam menentukan perilaku yang akan ia lakukan.

Dalam pendekatan psikososial tentang seksualitas lebih menekankan faktor psikologis (emosi, pikiran, dan kepribadian) dan faktor sosial yang sangat mempengaruhi pengetahuan remaja mengenai seksual. Ini sangat dipengaruhi oleh orang yang berada disekitar lingkungan remaja tersebut yaitu orangtua, guru, dan teman mereka. Perilaku seksual tidak hanya mempelajari apa yang dilakukan manusia tetapi juga memahami bagaimana dan mengapa manusia itu berperilaku (Helmi, 1998).

Pendidikan seksual bagi remaja yang sampai saat ini masih menjadi polemik antara yang pro dengan yang kontra. Terjadinya pro kontra tentang pendidikan seksual itu, karena belum ada keseragaman pandangan mengenai pendidikan seks itu sendiri. Bahkan jika pendidikan seksual itu ingin diaplikasikan sebaiknya kata seks dihilangkan dengan mengganti kata-kata dan bahasa yang lain, namun mengandung makna yang sama, sebab jika orang mendengar

penyebutan kata seks asosiasinya selalu mengarah kepada “kata kerjanya”, sehingga diperlukan sosialisasi mengenai batasan atau defenisi tentang pendidikan seks. Menyebut kata

“seks”, kesannya sesuatu yang sifatnya vulgar, porno dan seronok, sehingga kedengarannya

sangat menjurus kepada hubungan intim antar dua lawan jenis yang berbeda, persepsi seperti inilah yang menyebabkan kata seks menjadi tabu untuk dibicarakan di depan umum, apalagi didepan remaja. Padahal sesungguhnya pendidikan seks adalah salah-satu cara untuk mengurangi atau mencegah penyalahgunaan seks, khususnya untuk mencegah dampak-dampak negatif yang tidak diharapkan. Jika mereka dilarang untuk mengetahui hal-hal yang ingin mereka tau, contohnya permasalahan seksual, mereka akan mencari tau sendiri permasalahan tersebut. Dan menurut mereka yang pro terhadap pendidikan seksual, membiarkan anak mencari tau sendiri perihal permasalahan tanpa ada dampingan dari orang dewasa, dapat menjerumuskan mereka. Lebih lanjut, mereka yang kontra dengan pendidikan seksual pada anak beranggapan bahwa dengan memberikan pendidikan seksual pada anak, akan membuat anak merasa tertarik untuk melakukan kegiatan seksual yang belum pantas dilakukan. Padahal, laman voices.yahoo.com melansir bahwa pendidikan seksual yang diberikan pada anak dapat mencegah mereka dari melakukan hal-hal yang tidak diinginkan (Ratna, 2014).

Kohler dan Manhart (2008) dalam penelitiannya pada journal of Adolescent Health, berfokus pada remaja heteroseksual umur 15 sampai 19 tahun. Setelah meninjau hasil, para peneliti menimbang-nimbang mengenai populasi Amerika yang lebih baik, para peneliti menemukan bahwa 1 dari 4 remaja menerima pantangan yang membuat populasi menjadi tidak lebih baik yakni pendidikan. Sembilan persen khususnya orang miskin dan orang-orang di daerah pedesaan tidak pernah menerima pendidikan seks. Dua pertiga lainnya menerima instruksi komprehensif dengan diskusi mengena pengontrolan kelahiran.

(14)

pantang berbasis pendidikan seksual - sedikit mengurangi kemungkinan remaja telah melakukan hubungan vagina. Pendekatan tidak tampak untuk mengurangi kemungkinan kasus yang dilaporkan dari penyakit menular seksual, tapi sekali lagi hasilnya tidak signifikan secara statistik. Temuan mendukung pendidikan seksual yang komprehensif, kata Kohler. "Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa pantangan yang hanya mengenai minimnya pendidikan seksual menurunkan kemungkinan pernah berhubungan seksual atau hamil." Don Operario (2008), profesor pada Universitas Oxford di Inggris mengatakan bahwa kajian

tersebut memberikan „bukti lebih jauh‟, terhadap kegunaan pendidikan seksual komprehensif

dan ketidakefektifitas dari pendekatan penolakan hubungan seksual saja. Bagaimanapun, kajian tersebut tidak menunjukkan bagaimana pendidik harus mengimplementasikan pendidikan seksual komprehensif pada ruang kelas, demikian kata Operario, yang

mempelajari pendidikan seksual. „Kita memerlukan pemahaman lebih baik terhadap cara yang paling efektif untuk memberikan tipe pendidikan dalam rangka untuk memaksimalkan

pemahaman murid dan penerimaan komunitas‟, kata Operario.

Dalam seminar “Pendidikan Seks Di Negara Maju dan Berkembang” Benicia (2005) mengungkapkan bahwa sekolah-sekolah di Negara maju khususnya Amerika menunjukkan bahwa lebih dari 50% dari remaja Amerika kehilangan keperawanannya pada usia 17 tahun, di Jepang hampir 80% remaja kehilangan keperawanannya saat menginjak usia 18 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan seksual di sekolah hanya diterima baik sebanyak 7% dan 93% lainnya masih menganggap hal itu tabu untuk dibicarakan. Tetapi apakah mereka berpikir apakah karena tidak adanya pendidikan seksual disekolah atau informasi yang tepat sehingga membuat remaja melakukan hubungan seks diluar nikah?

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pendidikan seksual dengan tingkat perilaku seksual pada remaja. Sedangkan manfaat penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi secara teoritis, bermanfaat bagi ilmu psikologi sosial dan psikologi perkembangan, terkait untuk perubahan perilaku seksual pada remaja. Manfaat secara praktis, yang diharapkan mampu memberikan informasi mengenai keefektifan pemberian pendidikan seksual.

Pendidikan Seksual

Pendidikan seksual adalah suatu informasi mengenai seksualitas untuk memberikan sebuah pengetahuan tentang apa itu seksualitas secara keseluruhan mulai dari perbedaan jenis kelamin, pengenalan fungsi organ tubuh yang digunakan untuk menambah wawasan bagi orang yang membutuhkan pendidikan seksual (Sarwono, 2003 ; Sumiati, 2009).

Tujuan pendidikan seksual antara lain (Admin, 2008; dalam Darmasih, 2009) :

1. Memberikan pengertian yang memadai mengenai perubahan fisik,. mental dan proses kematangan emosional yang berkaitan dengan masalah seksual

2. Mengurangi ketakutan dan kecemasan sehubungan dengan perkembangan dan penyesuaian seksual (peran, tuntutan dan tanggung jawab)

3. Membentuk sikap dan memberikan pengertian terhadap seksual dan semua penyesuaian seksual (peran, tuntutan dan tanggung jawab)

4. Memberikan pengertian bahwa hubungan antara manusia dapat membawa kepuasan pada kedua individu dan kehidupan keluarga

(15)

6. Memberikan pengetahuan tentang kesalahan dan penyimpangan seksual agar individu dapat menjaga diri dan melawan eksploitasi yang dapat mengganggu kesehatan fisik dan mental

7. Untuk mengurangi prostitusi, ketakutan terhadap seksual yang tidak rasional dan eksplorasi seks yang berlebihan

8. Memberikan pengertian dan kondisi yang dapat membuat individu melakukan aktivitas seksual secara efektif dan kreatif dalam berbagai peran, misalnya sebagai istri atau suami, orang tua, anggota masyarakat.

Ada beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi dari pendidikan seks antara lain pengetahuan, sikap, peran orangtua, peran guru, dan akses informasi (Cahyo, 2008):

1. Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini tejadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba (Notoatmodjo, 2010). Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behaviour). Berdasarkan pengalaman ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Pengetahuan digunakan sebagai langkah awal untuk pencegahan adanya hal-hal yang negatif bagi anak terutama tentang seks. Menurut Green (2000) peningkatan pengetahuan tentang seks memerlukan peran serta dari orangtua sebagai faktor

reinforcing. Pengetahuan orangtua terutama ibu dalam pendidikan seks usia dini dapat mendorong ibu untuk menghindari kemungkinan hal-hal negatif tentang seksualitas.

2. Sikap

Sikap merupakan reaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek (Notoatmodjo, 2010). Sikap terhadap pendidikan seksual bersifat sosial dalam arti kita menyesuaikan dengan orang lain dan sikap menuntut perilaku sehingga dapat sesuai dengan yang dieskpresikan. Sikap masuk dalam ranah afektif (Bloom, 1985) yaitu kemampuan yang mengutamakan perasaan, emosi, dan reaksi-reaksi yang berbeda dengan penalaran. Kawasan afektif yaitu kawasan yang berkaitan aspek-aspek emosional, seperti perasaan, minat, sikap, kepatuhan terhadap moral dan sebagainya.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap menurut Azwar (2010) : a. Pengalaman pribadi

Apa yang telah dan sedang dialami seseorang akan ikut membantu dan mempengaruhi penghayatan terhadap stimulus sosial.

b. Pengaruh orang lain yang dianggap penting.

Pada umumya individu cenderung untuk memiliki sikap yang konformasi atau searah dengan orang lain yang dianggap penting.

c. Pengaruh kebudayaan.

Seseorang hidup dan dibesarkan dari suatu kebudayaan, dengan demikian kebudayaan yang diikutinya mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap orang tersebut.

d. Media massa.

(16)

e. Lembaga pendidikan dan lembaga agama.

Kedua lembaga ini meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam individu sehingga kedua lembaga ini merupakan suatu sistem yang mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap.

f. Pengaruh faktor emosional.

Suatu bentuk sikap merupakan pertanyaan yang didasari oleh emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego.

Interaksi sosial terjadi hubungan saling mempengaruhi diantaraindividu yang satu dengan yang lain, terjadi hubungan timbal balik yang mempengaruhi pola perilaku masing-masing individu sebagai anggota masyarakat. Lebih lanjut, interaksi sosial itu meliputi hubungan antara psikologis disekelilingnya

3. Peran orangtua

Keluarga merupakan lingkungan pendidikan pertama dan utama bagi anak. Keluarga berfungsi sebagai transmitter budaya atau mediator sosial budaya bagi anak (Yusuf, 2012). Menurut UU No.2 tahun 1989 Bab IV pasal 10 ayat 4 (Yusuf, 2012) pendidikan keluarga merupakan bagian dari jalur luar sekolah yang diselanggarakan dalam keluarga dan memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral dan ketrampilan. Semakin besar peran orangtua terhadap pemberian pendidikan seksual pada anak semakin baik untuk pengetahuan anak tentang seksualitas.

4. Peran guru

Sekolah adalah lingkungan pendidikan sekunder. Bagi anak yang sudah bersekolah, lingkungan yang setiap hari dimasukinya selain lingkungan rumah adalah sekolahnya, karena belum tentu anak-anak juga mendapat pelajaran seks dari orang tuanya. Bila para guru menghadapi anak yang terlalu kritis, ingin bertanya segala macam hingga kewalahan, tak perlu ragu mengatakan bahwa kita belum tahu, dan akan berusaha mencari tahu lebih lanjut. Disamping mengajarkan pendidikan seksual, sekolah juga harus memberikan dengan pendidikan moral. Misalnya, setelah mengetahui berbagai fungsi tubuhnya, terutama fungsi reproduksi, ajarkan agar anak tidak suka mengumbar bagian-bagian tertentu tubuhnya. Misalnya, ajarkan anak untuk berganti pakaian di kamar mandi atau di kamar tidurnya. Jadi, tidak boleh berlari-lari sambil telanjang.

5. Akses informasi

(17)

pengetahuan dan sikap dalam pendidikan seksual.

Media pembelajaran yaitu segala sesuatu yang dapat dipergunakan untuk menyalurkan pesan, merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan siswa, sehingga dapat terdorong terlibat dalam proses pembelajaran (Robertus, 2007). Menurut Sanjaya (2006) media pembelajaran dapat diklasifikasikan menjadi beberapa klasifikasi:

1. Media Auditif, yaitu media yang hanya dapat didengar saja, atau media yang hanya memiliki unsur suara, seperti radio dan rekaman suara.

2. Media Visual, yaitu media yang hanya dapat dilihat saja, tidak mengandung unsur suara. Yang termasuk ke dalam media ini adalah film slide, foto, tranparansi, lukisan, gambar, dan berbagai bentuk bahan yang dicetak seperti media grafis dan lain sebagainya.

3. Media Audiovisual, yaitu jenis media yang selain mengandung unsur suara juga mengandung unsur gambar yang bisa dilihat, misalnya rekaman video, berbagai ukuran film, slide suara, dan lain sebagainya. Kemampuan media ini dianggap lebih baik dan lebih menarik, sebab mengandung kedua unsur jenis media yang pertama dan kedua

Perilaku Seksual

Perilaku seksual adalah segala bentuk perilaku yang muncul akibat adanya dorongan seksual individu, dimana perilaku tersebut muncul karena bekerjanya hormon-horrnon seksual dan seharusnya dapat dikendalikan menurut norma yang berlaku di masyarakat (Faturochman, 1990; Koentjoco).

Menurut Sarwono (2007) bentuk tingkah laku seks yaitu: 1. Kissing

Ciuman yang dilakukan untuk menimbulkan rangsangan seksual, seperti di bibir disertai dengan rabaan pada bagian-bagian sensitif yang dapat menimbulkan rangsangan seksual. Berciuman dengan bibir tertutup merupakan ciuman yang umum dilakukan. Berciuman dengan mulut dan bibir terbuka, serta menggunakan lidah itulah yang disebut french kiss. Kadang ciuman ini juga dinamakan ciuman mendalam/ soul kiss.

2. Necking

Berciuman di sekitar leher ke bawah. Necking merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan ciuman disekitar leher dan pelukan yang lebih mendalam.

3. Petting

Perilaku menggesek-gesekkan bagian tubuh yang sensitif, seperti payudara dan organ kelamin. Merupakan langkah yang lebih mendalam dari necking. Ini termasuk merasakan dan mengusap-usap tubuh pasangan termasuk lengan, dada, buah dada, kaki, dan kadang-kadang daerah kemaluan, baik di dalam atau di luar pakaian.

4. Intercrouse

Bersatunya dua orang secara seksual yang dilakukan oleh pasangan pria dan wanita yang ditandai dengan penis pria yang ereksi masuk ke dalam vagina untuk mendapatkan kepuasan seksual.

(18)

Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual remaja menurut Santrock (2007) yang mengutip Bandura menyatakan bahwa faktor pribadi /kognitif, faktor perilaku dan faktor lingkungan dapat berintraksi secara timbalbalik. Dengan demikian dalam pandangan Bandura, lingkungan dapat memengaruhi perilaku seseorang, namun seseorang dapat bertindak untuk mengubah lingkungan. Menurut Suryoputro dkk (2006), faktor yang berpengaruh pada perilaku seksual antara lain adalah faktor personal termasuk variabel seperti pengetahuan, sikap seksual dan gender, kerentanan terhadap risiko kesehatan reproduksi, gaya hidup, harga diri, lokus kontrol, kegiatan sosial, self efficacy dan variabel demografi (seperti: umur pubertas, jenis kelamin, status religiusitas, suku dan perkawinan). Faktor lingkungan termasuk variabel seperti akses dan kontak dengan sumber, dukungan dan informasi, sosial budaya, nilai dan norma sebagai dukungan sosial.

Remaja

Remaja dalam ilmu psikologis juga diperkenalkan dengan istilah lain, seperti pubertiet, adolescence, dan youth. Dalam bahasa Indonesia sering pula dikaitkan pubertas dengan remaja. Remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa, berlangsung antara usia 12 sampai 21 tahun (Monks, et al. 2002; dalam Darmasih ,2009). Masa remaja disebut juga sebagai periode perubahan, tingkat perubahan dalam sikap, dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan perubahan fisik (Hurlock, 2004; dalam Darmasih, 2009).

Masa remaja mempunyai ciri tertentu yang membedakan dengan periode sebelumnya, Ciri-ciri remaja menurut Hurlock (2011), antara lain :

1. Masa remaja sebagai periode yang penting yaitu perubahan-perubahan yang dialami masa remaja akan memberikan dampak langsung pada individu yang bersangkutan dan akan memengaruhi perkembangan selanjutnya.

2. Masa remaja sebagai periode pelatihan. Disini berarti perkembangan masa kanak-kanak lagi dan belum dapat dianggap sebagai orang dewasa. Status remaja tidak jelas, keadaan ini memberi waktu padanya untuk mencoba gaya hidup yang berbeda dan menentukan pola perilaku, nilai dan sifat yang paling sesuai dengan dirinya.

3. Masa remaja sebagai periode perubahan, yaitu perubahan pada emosi perubahan tubuh, minat dan peran (menjadi dewasa yang mandiri), perubahan pada nilai-nilai yang dianut, serta keinginan akan kebebasan

4. Masa remaja sebagai masa mencari identitas diri yang dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya dan apa peranannya dalam masyarakat

5. Masa remaja sebagai masa yang menimbulkan ketakutan. Dikatakan demikian karena sulit diatur, cenderung berperilaku yang kurang baik. Hal ini yang membuat banyak orang tua menjadi takut.

6. Masa remaja adalah masa yang tidak realistik. Remaja cenderung memandang kehidupan dari kacamata berwarna merah jambu, melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana yang diinginkan dan bukan sebagaimana adanya terlebih dalam cita-cita.

(19)

Menurut Hurlock (2011) tahap perkembangannya, masa remaja dibagi menjadi tiga tahap

Mengacu pada kajian secara teoritis sebelumnya, dapat dilihat keterkaitan antara dua variabel yang ada yaitu pendidikan seksual dan perilaku seksual. Sarwono (2003) menyatakan bahwa,

“jika kita melihat fenomena remaja sekarang, sudah sangat perlu pendidikan seksual diajarkan sebagai salah satu muatan kurikulum di sekolah, mengingat pendidikan seks ini banyak hal-hal yang perlu diketahui oleh para remaja, bukan hanya kebutuhan biologis itu saja. Karena bilamana para remaja memandang seks hanya kebutuhan biologis saja yang penuh dengan cerita seribu macam kesenangan yang dapat membuat orang mabuk kepayang, tanpa mereka tahu bagaimana resiko hamil diluar nikah dan permasalahan lainnya, maka akibatnya pergaulan remaja semakin memprihatinkan dan pembuktian seperti ini sudah tidak terlalu

sulit di era informasi dewasa ini”. Lebih lanjut, World Health Organization (WHO) (dalam Zuhra, 2011) menerangkan, menurut study yang telah dilakukan. Pemberian pendidikan seksual pada anak tidak sama sekali membuat rasa ketertarikan anak melakukan hubungan seksual semakin tinggi. Mereka malah lebih dapat mengetahui mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak.

Survei oleh WHO (dalam Zuhra 2011) tentang pendidikan seksual membuktikan, pendidikan seksual bisa mengurangi atau mencegah perilaku hubungan seksual sembarangan yang berarti pula mengurangi tertularnya penyakit akibat hubungan seksual bebas. Pendidikan seksual yang benar harus memasukkan unsur-unsur nilai-nilai kultur dan agama diikutsertakan di dalamnya sehingga pendidikan akhlak dan moral juga. Pendidikan seksual di Indonesia masih menjadi kontroversi, masih banyak anggota masyarakat yang belum menyetujui pendidikan seksual di rumah maupun di sekolah. Dampaknya bisa kemana-mana, antara lain dalam memilih tontonan yang berbudaya barat yang digambarkan dalam film ataupun video sering kali menunjukan kehidupan seks bebas dikalangan remaja, itu bukan semata-mata karena ketagihan tetapi timbul karena adanya persepsi bahwa melakukan hubungan seksual sudah merupakan hal yang biasa.

(20)

bersama. Sebelum anak mengenal lingkungan sosial yang luas, ia terlebih dahulu mengenal lingkungan keluarga yang diajarkan oleh orangtua. Allen & Kuperminc dkk (dalam Santrock, 2007) mengungkapkan kedekatan remaja dengan orangtua akan mampu memfasilitasi remaja dalam membentuk kepribadian dan kesejahteraan mereka seperti harga diri, penyesuaian emosi, dan kesehatan fisik. Kedekatan ini akan mampu menciptakan suatu sistem pengendalian diri pada remaja. Karena perilaku seksual remaja pada dekade ini sudah banyak tersorot dan tidak dapat dianggap tabu lagi. Remaja lebih bebas untuk mengekspresikan diri mereka terhadap hal apapun yang membuat mereka akan diperhatikan oleh orang lain termasuk dalam berbusana, musik, film, makanan ataupun dalam hal seksualitas. Remaja dan seksualitas hubungan yang tidak dapat dipisahkan lagi, ini dikarenakan remaja dalam tahapannya sedang dalam masa dimana mereka menunjukkan tanda seksual sekunder sampai dengan kematangan seksual. Kematangan organ seksual dan perubahan hormonal menyebabkan munculnya dorongan seksual dalam diri remaja yang ditunjukkan dalam perilaku seksual. Bentuk-bentuk perilaku seksual pada remaja yaitu berkencan, berciuman bibir, meraba/ diraba bagian sensitif dalam keadaan berpakaian/ tanpa berpakaian, menciun/ dicium bagian sensitif dalam keadaan berpakaian/ tanpa berpakaian, menempelkan alat kelamin dalam keadaan berpakaian, saling membuka baju, dan berhubungan seksual (Soetjining, 2008 ; Sarwono, 2010 ; dalam Puspitadesi, 2012).

Ada banyak faktor yang diakibatkan oleh perilaku remaja melakukan perilaku seksual, salah satunya yaitu faktor sikap orangtua dan pendidikan seksual yang diajarkan oleh orangtua kepada anaknya, serta nilai dan norma yang berlaku. Untuk itu faktor dari orangtua yang memberikan pendidikan seksual kepada remaja menjadikan peran penting dalam remaja melakukan perilaku seksual, karena untuk menjadikan pendidikan seksual sebagai pedoman mereka dalam perilaku yang akan mereka lakukan remaja memiliki beberapa tahapan yaitu kognitif, afeksi, dan konasi yang dapat membentuk perilaku remaja.

METODE PENELITIAN

Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif eksploratif dengan pendekatan kuantitatif. Penelitian deskriptif melakukan analisis hanya sampai taraf deskripsi yaitu menganalisa dan menyajikan data secara sistematik, sehingga dapat lebih mudah dipahami dan disimpulkan, sedangkan penelitian eksploratif adalah jenis penelitian yang bertujuan untuk menemukan sesuatu yang baru berupa pengelompokan suatu gejala dan fakta. Penelitian deskriptif eksploratif bertujuan untuk menggambarkan keadaan suatu fenomena (Arikunto, 2002). Fenomena yang digambarkan pada penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pendidikan seksual yang sudah diterima oleh remaja dengan tingkat perilaku seksual remaja.

Subjek Penelitian

(21)

dengan taraf kesalahan 10%. sampel diambil berdasarkan teknik nonprobability sampling;

accidental sampling, yaitu metode pengambilan sampel yang dilakukan berdasarka kebetulan (Sugiyono, 2014).

Variabel dan Instrumen Penelitian

Variable bebas dalam penelitian ini adalah pendidikan seksual dan variable terikatnya yaitu perilaku seksual. Pendidikan seksual adalah proses pembelajaran agar remaja secara aktif mengembangkan potensi dalam dirinya dan memberikan pengetahuan pada remaja mengenai seksualitas yang mencakup siapa yang memberikan pengetahuan, waktu pemberian pengetahun, metode pemberian pengetahuan, media yang digunakan untuk memberikan pengetahuan, isi dari pengetahuan, dan tidak mengukur dampak dari pendidikan seksual itu sendiri tetapi menyangkut dimensi secara luas (biologis, sosial, psikologis, dan kultural). Perilaku seksual sendiri diartikan sebagai tindakan remaja terhadap rangsangan seksual yang ditandai dengan frekuensi melakukan kissing, necking, petting, dan intercrouse baik dalam tindakan langsung dan nyata ataupun melalui media telekomunikasi yaitu telepon, sms, ataupun media sosial.

Pada penelitian ini data yang diperlukan adalah data mengenai pendidikan seksual dan perilaku seksual pada remaja. Data tersebut diungkap dengan menggunakan dua alat ukur. Alat ukur pertama yaitu berupa kuisioner pendidikan seksual, peneliti menyusun sendiri kuisioner pendidikan seksual yang mencakup mengenai siapa yang memberikan pendidikan seksual, waktu pemberian pendidikan seksual, metode pemberian pendidikan seksual, media yang digunakan untuk memberikan pendidikan seksual, isi dari pendidikan seksual, dan tidak mengukur dampak dari pendidikan seksual itu sendiri. Validitas dan reliabilitas dari kuisioner ini content validity yaitu profesional judgement oleh pembimbing I yang terdiri dari 9 item. Setelah melakukan tryout kuisioner ini disederhanakan pada pernyataan yang kurang dimengerti oleh responden.

Alat ukur yang kedua yaitu skala perilaku seksual yang disusun juga oleh peneliti berjumlah 35 item yang mengacu pada bentuk perilaku seksual (Sarwono, 2007) yaitu kissing, necking,

petting, dan intercrouse. Instrumen yang digunakan berupa skala guttman. Skala Guttman

yaitu skala yang menginginkan tipe jawaban tegas, seperti jawaban benar-salah, ya-tidak, pernah-tidak pernah, positif-negative, tinggi-rendah, baik-buruk, dan seterusnya. Pada skala Guttman, hanya ada dua interval, yaitu setuju dan tidak setuju, (Sugiyono, 2014). Dan pada skala ini peneliti menggunakan Ya dan Tidak. Skala perilaku seksual yang akan digunakan dalam penelitian ini terlebih dahulu melalui proses tryout untuk menguji validitas dan reliabilitas alat ukur tersebut.

Adapun hasil validitas dan reliabilitas dari skala perilaku seksual yang diujikan pada 100 subjek yang terdiri dari 35 item, yaitu sebanyak 34 item dinyatakan valid dan 1 item dinyatakan tidak valid (gugur) dengan indeks validitas antara 0,332 – 0,726 dan dengan reliabilitas sebesar 0,885. Item dapat dikatakan valid apabila r > 0,30 dan uji reliabilitas

diukur dengan menggunakan Cronbach‟s alpha, dikatakan reliabel apabila menunjukkan

(22)

Prosedur dan Analisis Data Penelitian

Penelitian ini terdiri dari tiga tahapan yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap analisa data. Pada tahap persiapan peneliti mempersiapkan alat ukur untuk mengukur pendidikan seksual dan perilaku seksual, yang pertama peneliti menyusun alat ukur untuk mengukur pendidikan seksual dan perilaku seksual pada remaja yang mengacu pada teori dan juga tujuan dari penelitian. Ketika alat ukur telah siap, maka peneliti melakukan preliminari terlebih dahulu sebelum melakukan try out (uji coba). Preliminary test ini dilakukan untuk melihat kesesuaian skala untuk melanjutkan ke tahap selanjutnya. Preliminary test ini dilakukan pada tanggal 29-30 November 2015 yang dilakukan dirumah peneliti dengan mendatangkan subjek yang berjumlah 8 orang. Hasil dari preliminary test pada kuisioner yaitu penambahan option pada kuisioner pendidikan seksual item nomor 4 dan 5 , lalu pada skala perilaku seksual juga ada perbaikan yaitu dari skala likert ke skala guttman yang akan didapatkan jawaban secara tegas Ya atau Tidak. Setelah melakukan revisi dari hasil

preliminary test peneliti melakukan try out (uji coba) kepada 100 subjek yang sesuai dengan kriteria subjek yang diinginkan oleh peneliti pada tanggal 14 Desember 2015. Setelah data terkumpul peneliti kemudian melakukan proses entry data dan menguji validitas dan reliabilitas pada skala perilaku seksual, sedangkan pada kuisioner pendidikan seksual content validity yaitu profesional judgement oleh pembimbing I.

Tahap selanjutnya adalah tahap pelaksanaan, pada tahap ini peneliti melakukan pengambilan data dengan membagikan kuisioner dan skala sekaligus kepada setiap subjek. Penyebaran skala mulai dilakukan pada tanggal 5 dan 6 Januari 2016. Proses ini dilakukan dari kelas ke kelas yang lainnya pada salah satu sekolah SMA di Kabupaten Pasuruan. Dalam proses penelitian ini skala yang disebar adalah sebanyak 250 eksempelar. Namun karena berbagai alasan diantaranya subjek yang tidak memenuhi kriteria, maka skala yang dapat dianalisa berjumlah 193 eksampelar. Setelah data terkumpul, peneliti kembali melakukan proses entry data dan analisa

Tahap yang terakhir yaitu proses entry data dan analisa data dengan menggunakan software

perhitungan statistik SPSS yaitu metode chi-square. Metode chi-square ini digunakan untuk menguji hubungan atau pengaruh dua variabel dan mengukur kuatnya hubungan antara variabel yang satu dengan variabel lainnya (Wijayanyo, 2010).

HASIL PENELITIAN

(23)

Berdasarkan tabel 2, dapat diketahui bahwa tingkat perilaku seksual remaja yang paling tinggi yaitu perilaku intercrouse dengan jumlah prosentase 34,2%, yang belum pernah melakukan perilaku seksual jumlah prosentasenya 30,6%, perilaku necking 16,1%, perilaku petting 15%, dan perilaku kissing 4,1%.

Tabel 3. Perilaku seksual intercourse berdasarkan pendidikan seksual

Intercourse

Metode pemberian Mata pelajaran biologi 39 59,09%

Pengalaman teman 12 18,18%

Berdasarkan tabel 3, dapat diketahui bahwa perilaku intercourse banyak dilakukan ketka pemberian informasi pendidikan seksual dari teman sebaya dengan prosentase 30,32%, diberikan sejak SD dengan prosentase sebesar 51,51%, dengan metode dalam mata pelajaran biologi sebesar 59,09%, dan menggunakan media yaitu visual dengan prosentase sebesar 37,88%.

Tabel 4. Perilaku seksual petting berdasarkan pendidikan seksual

Petting

Metode pemberian Mata pelajaran biologi 17 58,62%

(24)

Nasehat orangtua 2 6,900%

Berdasarkan tabel 4, dapat diketahui bahwa perilaku petting banyak dilakukan ketka pemberian informasi pendidikan seksual dari teman sebaya dengan prosentase 37,93%, diberikan sejak SMP dengan prosentase sebesar 48,28%, dengan metode dalam mata pelajaran biologi sebesar 58,62%, dan menggunakan media yaitu audio (ceramah) dengan prosentase sebesar 51,72%.

Tabel 5. Perilaku seksual necking berdasarkan pendidikan seksual

Necking

Metode pemberian Mata pelajaran biologi 21 67,74%

Nasehat orangtua 5 16,13%

Berdasarkan tabel 5, dapat diketahui bahwa perilaku necking banyak dilakukan ketka pemberian informasi pendidikan seksual dari media massa dengan prosentase 35,48%, diberikan sejak SD dengan prosentase sebesar 54,84%, dengan metode dalam mata pelajaran biologi sebesar 67,74%, dan menggunakan media yaitu audio (ceramah) dengan prosentase sebesar 48,39%

Tabel 6. Perilaku seksual kissing berdasarkan pendidikan seksual

(25)

Orangtua 1 12,5%

Metode pemberian Mata pelajaran biologi 6 75,0% Mata pelajaran budi pekerti 1 12,5%

Berdasarkan tabel 6, dapat diketahui bahwa perilaku kissing banyak dilakukan ketka pemberian informasi pendidikan seksual dari media massa dengan prosentase 37,5%, diberikan sejak SD dengan prosentase sebesar 50%, dengan metode dalam mata pelajaran biologi sebesar 75%, dan menggunakan media yaitu audio (ceramah) dengan prosentase sebesar 50%.

Metode pemberian Mata pelajaran biologi 38 64,41%

(26)

Berdasarkan tabel 7, dapat diketahui bahwa yeng belum melakukan perilaku seksual (kissing, necking, petting, dan intercrouse) banyak dilakukan ketika pemberian informasi pendidikan seksual dari media massa dengan prosentase 40,68%, diberikan sejak SD dengan prosentase sebesar 54,24%, dengan metode dalam mata pelajaran biologi sebesar 38%, dan menggunakan media yaitu audio (ceramah) dengan prosentase sebesar 44,07%.

DISKUSI

Dari hasil penelitian yang dilakukan di salah satu SMA negeri di kabupaten Pasuruan, maka diperoleh data sebanyak 193 subjek yang berumur 15-18 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden laki-laki berjumlah 63 siswa (32,65%) dan responden perempuan berjumlah 130 siswa (67,35%). Berdasarkan status pacaran, responden yang mengaku pernah berpacaran berjumlah 122 siswa (63,21%), dan yang sedang berpacaran 71 siswa (36,79%). Ini juga terdapat hubungan dengan perilaku seksual remaja, dapat diketahui bahwa dari hasil penelitian perilaku seksual remaja sudah memasuki ranah intercourse yaitu sebesar 34,2%,

necking sebesar 16,1%, petting sebesar 15%, kissing sebesar 4,10%, dan yang belum melakukan perilaku seksual (kissing, necking, petting, dan intercourse) adalah sebesar 30,6%. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan seksual saja tidak cukup untuk mencegah remaja melakukan perilaku seksual atau premarital intercourse. Menurut Sarwono (2004, dalam Mutiara, W dkk.) salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perilaku seksual remaja yaitu adanya kecenderungan pergaulan yang makin bebas antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, biasanya seorang remaja akan mencari sosok yang mereka kagumi atau sukai seperti pacar. Pada masa remaja, ketakutan untuk kehilangan terhadap pasangan meningkat seiring dengan pengalaman dan kemandirian mereka yang belum matang. Dari ketakutan tersebut remaja berpasangan biasanya akan menuruti semua keinginan pasangannya yang mungkin mengatasnamakan cinta. Seharusnya remaja adalah periode peralihan ke masa dewasa, dimana mereka seyogianya mulai mempersiapkan diri menuju kehidupan dewasa , termasuk dalam aspek seksualnya (Sarwono, 2013).

Dari sumber informasi yang di dapatkan teman dan media massa mendapatkan prosentase yang dominan dalam penelitian ini. Pengaruh teman sebaya dalam pergaulan remaja sangat menentukan bagaimana remaja tersebut berperilaku dalam keseharian mereka. Remaja yang melakukan perilaku seks pranikah dapat termotivasi oleh pengaruh kelompok (teman sebaya) dalam upaya ingin menjadi bagian dari kelompoknya dengan mengikuti norma-norma yang telah dianut oleh kelompoknya (melakukan perilaku seks pranikah). Selain itu, didorong oleh rasa ingin tahu yang besar untuk mencoba segala hal yang belum diketahui. Pada masa remaja, kedekatan dengan peer-group sangat tinggi karena selain ikatan peer-group

(27)

melakukan perilaku seksual pranikah dibandingkan dengan remaja yang tidak memperoleh peran informasi seksualitas dari teman sebaya mereka.

Laju perkembangan media massa yang semakin pesat juga dapat mempengaruhi pola perilaku seksual remaja, seperti tayangan film-film yang masih terkesan vulgar, maraknya VCD porno, maupun adegan-adegan „syur‟ yang begitu mudahnya diakses di internet. Disini rasa ingin tahu (curiousity) yang sangat besar oleh remaja dan kurangnya pengetahuan yang di dapatkan akan mempengaruhi pola perilaku remaja untuk mengetahui lebih dalam tanpa adanya pendampingan oleh orang dewasa yang dapat menyebabkan remaja terjerumus ke dalam pengetahuan yang salah dan juga dapat melakukan aksi seksualitas. Dalam survey yang dilakukan oleh Hald (2011) terhadap 4.600 orang yang berusia 15-25 tahun tentang aktivitas seksual dan tayangan media yang mereka tonton. Mereka menemukan sebanyak 88% pria dan 45% wanita pernah menonton tayangan yang berbau seksualitas, baik melalui televisi, film, ataupun online dalam satu tahun terakhir. Studi ini memang belum dapat membuktikan seberapa besar peran media dalam mempengaruhi perilaku seksual, namun pada remaja yang menonton tayangan dengan konten seksualitas cenderung untuk melakukan seks lebih banyak dan bervariasi (Hald, 2011).

Berdasarkan penelitian mengenai pendidikan seksualitas di sekolah, Utomo, Donald, & Hull (2012) menunjukkan bahwa pendidikan seksualitas meskipun tidak diberikan dalam mata pelajaran khusus, namun telah diberikan secara terintegrasi dalam mata pelajaran Pendidikan jasmani, kesehatan, dan olahraga (Penjaskes), Biologi, Ilmu Pengetahuan Sosial, dan Pendidikan Agama. Meskipun pendidikan seksualitas tersebut telah diberikan di sekolah, Holzner dan Oetomo (2004) menyoroti kelemahan pendidikan seksualitas yang selama ini menggunakan wacana seks bagi kaum muda tidak sehat dan berbahaya. Dalam survei yang dilakukan di Karawang, Sukabumi dan Tasikmalaya juga menunjukkan bahwa 60% responden perempuan usia 15–24 tahun telah menerima pendidikan kesehatan reproduksi, namun mayoritas dari mereka (70%) menyatakan materi yang diberikan adalah bahaya dari seks. Pendidikan seksualitas semacam ini tidak memberdayakan kaum muda untuk memahami seksualitasnya dan menghindari perilaku seks yang beresiko bagi kesehatan reproduksi dan seksualnya. Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan bahwa metode pemberian pendidikan seksual yang paling tinggi untuk melakukan perilaku seksual yaitu ketika diberikan dalam mata pelajaran biologi yaitu berkisar lebih dari 58% dalam mempengaruhi perilaku seksual remaja. Padahal dalam kenyataannya pembelajaran biologi disekolah adalah pengenalan mengenai organ tubuh manusia, bagaimana cara menjaga organ tubuh, cara merawat organ tubuh, dan juga bahaya dari perilaku seks itu sendiri, tetapi disini menjadikan perilaku seksual remaja tinggi. Untuk itu diperlukannya evaluasi dalam pembelajaran biologi yang diberikan. Seperti konten atau isi pembelajaran yang diberikan, cara pembelajaran yang diberikan, dan juga kualitas dari pembelajaran itu sendiri.

(28)

hubungan seksual keimanan/ agama yang harus ditanamkan dalam konsep diri remaja agar mereka mengetahui apa yan seharusnya dan tidak seharusnya mereka lakukan dalam agama dan juga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Pola pengasuhan orangtua kepada anak juga dapat mempengaruhi perilaku seksual pada anak, seperti yang dikemukakan

oleh Wulandari (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Hubungan pola asuh demokratis

dengan sikap terhadap perilaku seksual remaja” yang membuktikan bahwa ada hubungan

signifikan antara pola asuh demokratis dengan perilaku seksual remaja. Apabila pola asuh demokratis diterapkan dengan baik maka tingkat perilaku seksual remaja akan rendah. Penelitian lain tentang pola asuh dengan perilaku seksual remaja dilakukan oleh Setiyati

(2006) dengan judul “Hubungan pola asuh otoriter orang tua terhadap perilaku seksual remaja” yang membuktikan bahwa ada hubungan yang positif antara pola asuh otoriter orangtua dengan perilaku seksual remaja, yang berarti semakin otoriter pola asuh orangtua, maka perilaku seksual remaja akan semakin tinggi.

SIMPULAN DAN IMPLIKASI

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perilaku seksual remaja sekarang sudah menginjak pada perilaku intercourse yaitu perilaku seksual yang sudah selayaknya suami isteri (berhubungan badan) sebesar 34,2%. Hal ini sangat mengejutkan, karena meskipun mereka sudah mendapatkan pendidikan seksual dari orangtua dan juga disekolah perilaku seksual remaja ini sudah meninjak pada tahap tinggi. Dalam penelitian ini tidak ada pola yang konsisten dalam pemberian pendidikan seksual untuk mencegah/ mengurangi dari perilaku seksual remaja.

Implikasi dalam penelitian ini meliputi:

1. Bagi remaja, sangat perlu untuk mengetahui informasi mengenai seksualitas secara lebih luas dan dan tepat, tidak langsung percaya dari teman tetapi dari sumber yang jelas dan lebih memahami yaitu otoritas publik seperti guru, kyai, ustrad ataupun tokoh masyarakat. Mengetahui batasan interaksi fisik antara laki-laki dan perempuan juga harus diketahui oleh setiap remaja agar saling menghargai satu dengan yang lainnya.

2. Bagi orangtua, pendidikan seksualitas sudah seharusnya diberikan oleh orangtua yaitu sebagai pembelajaran pertama dan sumber utama bagi anak dirumah. Orangtua diharapkan membangun komunikasi yang baik antara orangtua dan anak agar anak dapat nyaman dan tidak segan untuk berbicara apa saja dengan orangtua mereka dengan perasaan saling percaya.

3. Bagi sekolah, mendesain kurikulum baru mengenai pendidikan seksual yang sudah terbukti menurunkan atau dapat mengurangi perilaku seksual pada anak dan remaja. 4. Bagi peneliti selanjutnya dapat melanjutkan penelitian ini dengan metode lain yaitu

(29)

REFERENSI

Arikunto, S. (2002). Prosedur suatu penelitian: pendekatan praktek. Edisi Revisi Kelima. Rineka Cipta. Jakarta

Azizah, Masniah. (2015). Perbedaan sikap terhadap perilaku seksual ditinjau dari gaya kelekatan romantik pada remaja. Skripsi. Fakultas Psikologi. Universitas Muhammadiyah Malang

Azwar, S. (2010). Sikap manusia teori dan pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Benicia, R. (2005). Pro dan kontra pendidikan seks. Diakses September 2015, dari http://jaringankomputer.org/pro-kontra-pendidikan-seks-sex-education/

Cahyo, K., Tri, P.K., & Ani, M. (2008). Faktor-faktor yang mempengaruhi praktik kesehatan reproduksi remaja di SMA Negeri 1 Purbalingga Kabupaten Purbalingga. Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia Vol. 3/ No. 2/ Agustus 2008

Darmasih, Ririn. (2009). Faktor yang mempengaruhi perilaku seks pranikah pada remaja DMA di Surakarta. Skripsi. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Darwisyah, Siti Rokhmawati. (2008). Tinjauan umum kesehatan reproduksi remaja. Diakses Januari 2016, dari http://www.kesrepro.info/?q=node/367

Depkes RI. (2006). Lebih 1,2 juta remaja Indonesia sudah lakukan seks pranikah. Diakses Mei 2015, dari http://karodalnet.blogspot.com/2008/08/lebih-12-juta-remaja-indonesia-sudah.html

Faturochman. (1990). Pendidikan seks, perlukah? (The Importance of Sex Education). Kedaulatan Rakyat, April 21st 1990

Glevinno, A. (2008). Remaja dan seks. Diakses Mei 2015, dari http://public.kompasiana.com/

Hald, Gert Marin. (2011). Sexual Addiction. Department of Publik Health University of

Copenhagen. Diakses Januari 2016, dari

http://publichealth.ku.dk/staff/?pure=en%2Fpublications%2Fsexualaddiction%280cdf5 987-8d88-456a-8412-dc4d2bcffbff%29.html

Helmi, A.F., & Ira, P. (1998). Efektifitas pendidikan seksual dini dalam meningkatkan pengetahuan perilaku seksual sehat. Jurnal Psikologi. ISSN: 0215-8884

Holzner BM, Oetomo D. (2004). Youth, sexuality and sex education messages in Indonesia: issues of desire and control. Reproductive Health Matters 2004; 12, 23: 40-49.

Koentjoro. (tanpa tahun). Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Seksual Manusia Indonesia Masa Kini. Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada

(30)

Kohler PK, Manhart LE, Lafferty WE. (2008). Abstinence-only and comprehensive sex education and the initiation of sexual activity and teen pregnancy. J Adolesc Health

42(4), 2008.

Madya, Retno Utari Widyaiswara. Taksonomi Bloom, apa dan bagaimana menggunakannya?. Pusdiklat KNKP

Maryatun. (2013). Peran teman sebaya terhadap perilaku seksual pra nikah pada remaja di SMA Muhammadiyah 3 Surakarta. Gaster Vol. 10 No. 1

Mutiara, W., Komariah, M., & Karwati. (tanpa tahun) Gambaran perilaku seksual dengan orientasi heteroseksual Mahasiswa kos di kecamatan jatinangor - sumedang.

Notoatmodjo. (2010). Pengantar pendidikan kesehatan dan ilmu perilaku Kesehatan. Yogyakarta : Andi Offset

Puspitadesi, D.I., Istar, Yuliadi., & Arista, A.N. (2012). Hubungan antara figur kelekatan orangtua dan kontrol diri dengan perilaku seksual remaja SMA Negeri 11 Yogyakarta.

Skripsi. Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebalas Maret

Puspitasari, Citra. (2012). Tingkat pengetahuan remaja perempuan dan laki-laki tentang seks bebas di kelas X MAN I Surakarta. Skripsi. Program Studi Diploma III Kebidanan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kusuma Husada Surakarta

Ratna. (2014). Pro kontra pemberian pendidikan seksual pada anak. Diakses Mei 2015, dari

http://www.vemale.com/relationship/intim/46842-pro-dan-kontra-pemberian-pendidikan-seksual-pada-anak.html

Robertus Angkowo dan A. Kosasih. (2007). Optimalisasi Media Pembelajaran. Jakarta: PT. Grasindo

Sanjaya, Wina. (2006). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standart Proses Pendidikan,. Jakarta: Kencana Prenada Media

Santrock, J.W. (2007). Psikologi Perkembangan. Edisi 5 Jilid 2. Jakarta: Erlangga

Sarwono. (2003). Psikologi Remaja. Jakarta: PT. Raja Gravido Persada

Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Kuantitatif kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta

Sumiati., Dinarti., Heni, N., & Ratna, A. (2009). Kesehatan jiwa remaja dan konseling. Jakarta: Trans Info Media.

Suwarni, L. (2009). Monitoring Parental dan Perilaku Teman Sebaya Terhadap Perilaku Seksual Remaja SMA Di Kota Pontianak. Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia, Vol.4 No.2 : 127-133

Suryoputro, A,. Ford, N.J., & Zahroh, S. (2006). Faktor-Faktor yang mempengaruhi perilaku seksual remaja di Jawa Tengah: Implikasinya terhadap kebijakan dan layanan kesehatan seksual dan reproduksi. Makara, Kesehatan. 10 (1), 29-40.

(31)

Setiyati, E, S. (2006). Hubungan pola asuh otoriter dengan perilaku seksual remaja.

Yogyakarta: UGM

Utomo I, McDonald P, Hull T. (2012). Improving Reproductive Health Education in the Indonesian National Curriculum. Gender and Reproductive Health Study Policy Brief No. 2. Canberra:Australian National University

Wijayanto, Andi. (2010). Statistika. http://andiwijayanto.blog.undip.ac.id/ (Online)

Wulandari. I. (2010). Hubungan pola asuh demokratis terhadap perilaku seksual remaja. http://digilib.uin-suka.ac.id (Online) Maret 2016

Yusuf, H.S. (2012). Psikologi perkembangan anak dan remaja. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya

Zainab, Syarifah. (2011). Hubungan antara Persepsi Tentang Syariat Islam dengan Perilaku Seksual Remaja Akhir di Kota Banda Aceh. Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang.

Zulhaini dan Nasution. (2011). Pengaruh teman sebaya terhadap perilaku seks pranikah pada siswa kelas XI di SMA Negeri 6 Binjai. Intelektual Vol 6 No.1

(32)

LAMPIRAN 1

Skala

Try Out

(33)

*SEBELUM TRY OUT

BLUE PRINT

Kuisioner Pendidikan Seksual

Item Total Item

What 1, 8 2

Who 2 1

When 3 1

Where 7 1

Why 9 1

How 4, 5, 6 3

Total Item 9

BLUE PRINT

Skala Perilaku Seksual

Bentuk Perilaku Item Favorable Item Unfavorable Total Item

Kissing 3, 5, 21, 30 8, 16, 28 7

Necking 2, 9, 14, 17, 25 4, 12, 34 8

Petting 7, 15, 31 10, 18, 22 6

Intercrouse 20, 27, 33 24, 29, 32 6

Item netral 1, 6, 11, 13, 19, 23, 26, 35 - 8

(34)

Kuisioner (Pendidikan Seksual)

Dibawah ini terdapat pertanyaan mengenai pendidikan seksual sesuai dengan diri anda masing-masing. Pilihlah sesuai dengan kondisi anda sebenarnya.

1. Pernahkah anda mendapatkan informasi mengenai relasi antara laki-laki dan perempuan (seperti perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan, rasa malu ketika memperlihatkan alat kelamin kepada lawan jenis, organ reproduksi laki-laki dan perempuan)

a. Pernah b. Tidak Pernah

2. Jika pernah darimana sumber informasi yang anda peroleh?

(Beri angka dari 1-7 disamping pernyataan berdasarkan urutan yang paling banyak memberikan informasi)

4. Metode apa yang digunakan ketika anda mendapatkan informasi mengenai relasi antara laki-laki dan perempuan (pubertas)?

6. Apakah orangtua selalu menasehati anda dalam bergaul dengan lawan jenis? a. Ya

b. Tidak

7. Apakah disekolah anda pernah ada kegiatan seminar/ cemarah yang membahas mengenai relasi antara laki-laki dan perempuan?

(35)

8. Pernahkah anda mendapatkan informasi mengenai: (Boleh lebih diisi lebih dari satu)

a. Perubahan yang terjadi pada masa pubertas (misalnya: pada wanita pembesaran payudara, dan pada laki-laki pembesaran suara)

b. Batas yang boleh dan tidak boleh dilakukan antara laki-laki dan perempuan dalam agama

c. Hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan di depan umum (misalnya: tidak boleh menggunakan pakaian minim/ tipis saat berada di luar rumah)

d. Organ reproduksi dan fungsinya

e. Permasalahan seksual (misalnya: proses tubuh seperti proses terjadinya kehamilan dan kelahiran)

f. Kesehatan reproduksi/ Penyakit kelamin

g. Akibat melakukan hubungan seksual sebelum menikah

h. Batasan interaksi fisik yang tidak menimbulkan kehamilan atau penyakit menular seksual

9. Apakah relasi antara laki-laki dan perempuan harus diketahui oleh setiap remaja?

(Jika „IYA‟ pilih alasan dibawah ini)

a. Batasan interaksi fisik antara laki-laki dan perempuan b. Tidak terjadinya pelecehan antara laki-laki dan perempuan

(36)

SKALA (Perilaku Seksual Remaja)

Pernyataan-pernyataan dibawah ini menggambarkan tentang bagaimana pandangan dan perasaan anda dalam berhubungan secara emosional dengan orang yang anda cintai (jika sedang berpacaran), atau orang yang pernah anda cintai (jika pernah berpacaran)serta

bagaimana biasanya anda mengalami hubungan.Silahkan pilih yang sesuai dengan keadaan anda saat ini.

NO ITEM YA TIDAK

1 Saya sering keluar makan bersama dengan pasangan saya

2 Saya memeluk/ dipeluk pasangan saya dengan erat ketika sedang berboncengan

3 Saya menunjukkan rasa sayang kepada pasangan saya dengan menciumnya

4 Saya tidak mambahas masalah pelukan dan ciuman saat telponan dengan pasangan saya

5 Saya merasa senang ketika pasangan saya mencium saya

6 Pasangan saya suka memberi kejutan pada saya

7 Saat berkencan, terjadi raba-meraba di daerah sensitif diantara saya dan pasangan saya

8 Saya menjauh seandainya bibir saya akan berdekatan dengan bibir pasangan saya

9 Saya dan pasangan saya membahas saat-saat kami saling berpelukan melalui telepon dan chatting

10 Saya menangis ketakutan ketika diraba oleh pasangan saya dibagian sensitif

11 Ketika bersedih saya merasa nyaman untuk bersandar di bahu pasangan

12 Saya akan marah ketika pasangan saya mencoba mencium saya di leher

13 Saya sering berkunjung ke rumah pasangan saya

14 Jika lama tak berjumpa, saya dan pasangan saya berciuman di leher untuk melepas rasa rindu

15 Saat berduaan di tempat tertutup, pasangan saya mengelus tubuh bagian sensitif di dalam pakaian

16 Saya memalingkan wajah apabila dicium oleh pasangan saya

17 Saling berpelukan dengan pasangan saya adalah hal yang biasa

(37)

19 Saya dan pasangan saya saling mengungkapkan perasaan sayang termasuk di media sosial

20 Tidak ragu bagi saya untuk berhubungan seks dengan pasangan asal dapat mempererat hubungan

21 Berciuman adalah hal yang saya lakukan dengan pasangan saya ketika bertemu

22 Saya menghindar saat tidak sengaja menyentuh bagian sensitif pasangan saya

23 Pasangan saya memberikan saya hadiah saat saya ulang tahun

24 Saya akan segera memutuskan hubungan dengan pasangan saya ketika ia mengajak berhubungan seksual

25 Melalui telepon, saya dan pasangan saya membicarakan bagaimana jika sedang berciuman di leher

26 Saya merasa nyaman dan tenang saat bersama dengan pasangan saya

27 Pada saat tertentu saya melakukan hubungan seksual dengan pasangan saya

28 Saya mengalihkan pembicaraan di telepon saat pasangan saya mulai mengungkapkan keinginannya berciuman

29 Saya tidak membalas pesan dari pasangan saya saat ia mulai membicarakan topik seksual

30 Saya dan pasangan saya berkirim foto/ video orang berciuman karena ingin melakukan hal yang sama

31 Pasangan saya meraba daerah sensitif di luar pakaian

32 Saya menolak saat diajak tidur bersama pasangan saya

33 Saya merasa bangga apabila saya pernah melakukan hubungan seksual dengan pasangan saya

34 Saya tidak akan membiarkan pasangan saya memeluk saya meski dalam kondisi apapun

(38)

LAMPIRAN 2

(39)
(40)

ITEM_22 12,79 162,686 ,529 ,873

ITEM_23 13,57 182,206 ,000 ,880

ITEM_24 12,76 156,249 ,576 ,873

ITEM_25 13,41 175,316 ,355 ,877

ITEM_26 13,57 182,206 ,000 ,880

ITEM_27 13,20 160,308 ,699 ,869

ITEM_28 13,24 176,702 ,421 ,877

ITEM_29 12,59 162,656 ,376 ,881

ITEM_30 13,53 179,571 ,487 ,878

ITEM_31 13,14 163,402 ,656 ,870

ITEM_32 12,55 152,147 ,624 ,872

ITEM_33 13,43 172,412 ,492 ,875

ITEM_34 12,84 168,901 ,468 ,875

ITEM_35 13,57 182,206 ,000 ,880

Note:

(41)
(42)

ITEM_24 11,33 156,573 ,572 ,879

ITEM_25 11,98 175,299 ,367 ,883

ITEM_26 12,14 182,412 ,000 ,886

ITEM_27 11,78 160,609 ,695 ,875

ITEM_28 11,82 176,791 ,431 ,883

ITEM_29 11,16 162,509 ,384 ,887

ITEM_30 12,10 179,783 ,486 ,884

ITEM_31 11,71 163,608 ,655 ,876

ITEM_32 11,12 152,542 ,619 ,878

ITEM_33 12,00 172,784 ,483 ,881

ITEM_34 11,41 168,966 ,473 ,881

(43)

LAMPIRAN 3

Gambar

Tabel. 1 Masa Remaja Awal
Tabel 2. Tingkat perilaku seksual remaja
Tabel 4. Perilaku seksual petting berdasarkan pendidikan seksual
Tabel 6. Perilaku seksual kissing berdasarkan pendidikan seksual
+2

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian didapatkan terapi relaksasi otot progresif menurunkan tekanan darah sistole sebesar 10,60 mmHg dan diastole sebesar 4 mmHg, sedangkan terapi

Kemudian, menyatakan ketentuan Pasal 38 juncto Pasal 55 Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi atau Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

drop atau tidak digunakan. Soal yang valid adalah sebanyak 22 soal dan drop 8 soal dari. total 30 butir soal dengan tingkat

Waktu pemijahan pada ikan dapat diduga dengan melihat komposisi tingkat kematangan gonad ikan tersebut, waktu pemijahan ikan adalah bulan-bulan yang memiliki jumlah

Masa Pajak bulan Juli tahun 2013 Pada bulan Juli 2013 PT Pong Codan Indonesia membayar angsuran apartemen dengan angsuran sewa termasuk biaya perawatan, pemeliharaan,

Endang Sasanti, M.A.. Endang

[r]

Golongan jummhur ulama antara lain safiy‟iyyah dan Malikiyyah mengambilpendapat yang menyatakan bahwa sekalipun lafzh khash itu dilallahnya qath‟i namun mempunyai