HUBUNGAN PELAYANAN KLINIK INFEKSI MENULAR SEKSUAL DENGAN UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN
IMS PADA WANITA USIA SUBUR BERESIKO DI PUSKESMAS KUTA ALAM BANDA ACEH
TAHUN 2013
TESIS
Oleh
AGUSTINA 117032181 / IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
THE RELATIONSHIP OF THE SERVICE OF SEXUAL CONTAGIOUS INFECTION CLINIC ON THE PREVENTION AND THE
HANDLING OF IMS IN THE RISKY PRODUCTIVE- AGED WOMEN AT KUTA ALAM PUSKESMAS,
BANDA ACEH, IN 2013
THESIS
By
AGUSTINA 117032181/IKM
MAGISTER OF PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH
UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN
HUBUNGAN PELAYANAN KLINIK INFEKSI MENULAR SEKSUAL DENGAN UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN
IMS PADA WANITA USIA SUBUR BERESIKO DI PUSKESMAS KUTA ALAM BANDA ACEH
TAHUN 2013
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi Kesehatan Reproduksi pada Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara
Oleh AGUSTINA 117032181 / IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KSEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Judul Tesis : HUBUNGAN PELAYANAN KLINIK INFEKSI MENULAR SEKSUAL DENGAN UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN IMS PADA WANITA USIA SUBUR BERESIKO DI PUSKESMAS KUTA ALAM BANDA ACEH TAHUN 2013
Nama Mahasiswa : Agustina Nomor Induk Mahasiswa : 117032181
Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi : Kesehatan Reproduksi
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Drs. Heru Santosa, M.S, Ph.D) (dr. Yusniwarti Yusad, M.Si
Ketua Anggota
)
Dekan
(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)
Telah diuji
pada Tanggal : 22 Agustus 2013
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Drs. Heru Santosa, M.S, Ph.D Anggota : 1. dr. Yusniwarti Yusad, M.Si
PERNYATAAN
HUBUNGAN PELAYANAN KLINIK INFEKSI MENULAR SEKSUAL DENGAN UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN
IMS PADA WANITA USIA SUBUR BERESIKO DI PUSKESMAS KUTA ALAM BANDA ACEH
TAHUN 2013
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, September 2013
ABSTRAK
Infeksi Menular Seksual merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk di Indonesia. Dimana dari berbagai penelitian diketahui prevalensi IMS di Indonesia cukup tinggi. Data Profil Kesehatan Dinas Kesehatan Aceh tahun 2011 menunjukkan bahwa jumlah penderita infeksi menular seksual (IMS) sebanyak 379 orang sedangkan tahun 2012 sebanyak 74 orang. Data yang diperoleh di Puskesmas Kuta Alam Banda Aceh untuk tahun 2011 menunjukkan jumlah penderita IMS sebanyak 93 orang sedangkan tahun 2012 sebanyak 270 orang.
Jenis penelitian ini adalah Observasional dengan desain cross sectional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan pelayanan klinik IMS. Penelitian dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Kuta Alam Banda Aceh. Sampel penelitian sebanyak 63 orang dengan tehnik sampling secara consecutive sampling. Analisis data menggunakan analisis univariat, analisis bivariat dengan uji chi-square, dan analisis multivariat dengan uji regresi logistik ganda.
Hasil penelitian dengan uji regresi logistik variabel yang berhubungan dengan pencegahan dan penanggulangan IMS yaitu Layanan KIE (p=0,002), Petugas Kesehatan (p=0,048), dan Kesadaran/ minat masyarakat (p=0,003). Variabel yang paling tinggi pengaruhnya terhadap pencegahan dan penanggulangan IMS yaitu Kesadaran/minat masyarakat (Exp B =8,714), petugas kesehatan (Exp B=0,246), dan Layanan KIE (Exp B=0,084). Layanan KIE baik, petugas kesehatan baik, dan kesadaran/minat masyarakat baik mempunyai peluang pencegahan dan penanggulangan IMS baik sebesar 78,7%.
Saran bagi Kepala Puskesmas kuta Alam Banda Aceh agar lebih aktif melakukan kegiatan KIE ( konseling, Informasi dan Edukasi ) sehingga dapat memberikan pemahaman yang dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan IMS.
ABSTRACT
Sexual contagious disease (IMS) constitutes public health problem throughout the world, including in Indonesia. From various researches, it is known that the prevalence of IMS in Indonesia is very high. The Health profile data of Aceh Health Service in 2011 indicated that there were 379 IMS patients, and it decreased to 74 patients in 2012. The data obtained from Kuta Alam Puskesmas (Public Health Center), Banda Aceh, in 2011, indicated that there were 93 IMS patients, and it increased to 270 IMS patients in 2012.
The type of the research was observational with cross sectional design which was aimed to know the relationship of the service of IMS clinic. The research was conducted in the working area of Kuta Alam Puskesmas, Banda Aceh. The samples consisted of 63 respondents, using consecutive sampling technique. The data were analyzed by using univatriate analyisis, bivatriate analysis with chi square test, and multivatriate analysis with multiple logistic regression tests.
The result of the research with logistic regression test showed that the variables which relation the prevention and the handling of IMS were KIE service (p=0.002), Health workers (p=0.048), and the awareness/interest of the community (p=0.003). The variables which were dominantly correlated with the prevention and the handling of IMS were the awareness/interest of the community (Exp B=8.714), health workers (Exp B=0.246), and KIE service (Exp B=0.084). Good KIE service, good health workers, and good awareness/interest of the community had 78.7% of good opportunity to prevent and handle IMS.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas
berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis
ini dengan judul “Hubungan Pelayanan Klinik Infeksi Menular Seksual dengan Upaya Pencegahan dan Penanggulangan IMS pada Wanita Usia Subur Beresiko di Puskesmas Kuta Alam Banda Aceh Tahun 2013”.
Tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan
pendidikan Program S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Kesehatan
Reproduksi pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Dalam penulisan tesis ini, penulis mendapatkan bantuan, dorongan dan
bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan
terima kasih dan penghargaan kepada :
1. Prof. Dr . dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara.
2. Dr. Drs. Surya Utama, M.Si selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
untuk mengikuti pendidikan pada program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
3. Dr. Ir. Evawany Y Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu
Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera
Utara.
4. Drs. Heru Santosa, M.S, Ph.D, selaku dosen pembimbing I serta dr. Yusniwarti
Yuzad, MSi selaku dosen pembimbing II yang telah banyak memberi perhatian,
bimbingan dan dukungan dalam penyusunan tesis ini.
5. Prof. dr. Sorimuda Sarumpaet, M.P.H, selaku dosen penguji I serta Drs. Abdul
Jalil , M.Kes selaku dosen penguji II yang telah banyak memberikan arahan dan
masukan demi kesempurnaan penulisan tesis ini.
6. Seluruh dosen dan staf di lingkungan Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat
Studi Kesehatan Reproduksi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu yang sangat berarti selama penulis
mengikuti pendidikan.
7. Dr. Media Yulizar, M.P.H, Selaku Kepala Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh
yang telah memberikan mendukung kepada saya dalam melakukan penelitian ini.
8. Dr. Prita Amelia Siregar, selaku Kepala Puskesmas Kuta Alam Banda Aceh yang
telah mendukung saya dalam melakukan penelitian ini.
9. Dr. Ellya Noer, Selaku kepala Puskesmas Kota Sigli yang telah memberikan ijin
dalam melakukan uji kuesioner penelitian.
10.Bapak Drs. H. Zulkifkli Harun, S.H, M.S dan keluarga yang telah banyak
memberikan dukungan baik moril maupun material selama proses perkuliahan
11.Orang tuaku tercinta, Ayahanda H. Zainun Miga dan Ibunda Hj. Rosdiwati yang
telah memberikan kasih sayang selama ini.
12.Teristimewa buat suami tercinta Munadi, S.K.M beserta anak-anakku Salsabila
Fitri dan Muhammad Shafi Mubarak yang selalu memberi doa, kasih sayang,
motivasi dan berkorban baik moril maupun materil kepada penulis.
13.Rekan – rekan seperjuangan Mahasiswa Program Studi S2 Ilmu Kesehatan
Masyarakat Angkatan 2011 Minat studi Kesehatan Reproduksi.
Kiranya Allah SWT akan membalas semua kebaikan dan bantuan yang telah
penulis terima selama ini. Semoga Allah SWT melimpahkan berkat dan rahmat-Nya
bagi kita semua.
Akhirnya Penulis menyadari atas segala keterbatasan dan kekurangan, untuk
itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan
tesis ini dengan penuh harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagi semua pihak.
Medan, September 2013
Penulis
Agustina
RIWAYAT HIDUP
Agustina dilahirkan pada tanggal 26 Agustus 1980 di Lamme Aceh Besar.
Anak Kedua dari Tiga bersaudara, dari pasangan ayahanda H. Zainun Miga dan
ibunda Hj. Rosdiwati. Menikah dengan Munadi, S.K.M dan dikaruniai 1 (satu) putri
dan 1 (Satu) putra, yaitu Salsabila Fitri dan Muhammad Shafi Mubarak.
Pendidikan dimulai dari Sekolah Dasar tahun 1988 – 1993 di SDN Blang
Bintang, tahun 1994 – 1996 pendidikan di SMPN Blang Bintang, tahun 1997 – 1999
Pendidikan di SMAN 3 Banda Aceh, tahun 2000-2002 Pendidikan di Akademi
Kebidanan Politehnik kesehatan Kementrian Kesehatan Aceh, tahun 2003 – 2004
pendidikan di Diploma IV Bidan Pendidik FK USU Medan.
Tahun 2004 – sekarang bekerja sebagai pegawai swasta di Akademi
Kebidanan Yayasan Pendidikan Mona Banda Aceh. Penulis mengikuti pendidikan
lanjutan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Kesehatan
Reproduksi, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara sejak tahun
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
BAB 1. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 9
1.3. Tujuan Penelitian ... 9
1.4. Hipotesis ... 9
1.5. Manfaat Penelitian ... 9
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA... ... 11
2.1. Pelayanan ... 11
2.2. Peningkatan Sumberdaya Pelayanan ... 13
2.3. Infeksi Menular Seksual ... 14
2.3.1. Pengertian IMS ... 14
2.3.2. Jenis Penyakit IMS ... 14
2.4. Penanggulangan IMS ... 15
2.5. Klinik Infeksi Menular Seksual ... 17
2.5.1. Standar Minimum Klinik IMS ... 17
2.5.2. Staf Klinik IMS ... 19
2.5.3. Pengelolaan Klinik IMS ... 19
2.5.4. Strategi Pengendalian IMS... 20
2.5.5. Strategi Dasar Intervensi Khusus untuk Klinik IMS di Indonesia ... 22
2.6. Konseling IMS ... 23
2.7. Kebijakan Penanggulangan IMS, HIV/AIDS ... 24
2.8. Wanita Usia Subur ... 26
2.10. Landasan Teori ... 28
2.11. Kerangka Konsep ... 30
BAB 3. METODE PENELITIAN ... 31
3.1. Jenis Penelitian ... 31
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 31
3.3. Populasi dan Sampel ... 31
3.3.1 Populasi ... 31
3.3.2 Sampel ... 32
3.4. Metode Pengumpulan Data ... 34
3.5. Variabel dan Defenisi Operasional ... 40
3.6. Metode Pengukuran ... 42
3.7. Pengolahan dan Analisis Data ... 47
BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 49
4.1 Gambaran Umum lokasi Penelitian ... 49
4.2 Gambaran Pelayanan Klinik IMS terhadap Upaya Pencegahan dan Penanggulangan IMS... 50
4.3 Analisa Univariat ... 52
4.4 Analisa Bivariat ... 74
4.5 Analisa Multivariat ... 82
BAB 5. PEMBAHASAN ... 86
5.1 Karakteristik Responden ... 86
5.2 Pencegahan dan Penanggulangan IMS ... 87
5.3 Hubungan Pelayanan KIE dengan Pencegahan dan Penanggulangan IMS ... 88
5.4 Hubungan Sikap Petugas Kesehatan dengan Pencegahan dan Penanggulangan IMS ... 90
5.5 Hubungan Kesadaran/minat Masyarakat dengan Pencegahan dan Penanggulangan IMS... 92
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 95
6.1 Kesimpulan ... 95
DAFTAR PUSTAKA ... 97
DAFTAR TABEL
No. Judul Halaman
3.1 Hasil Uji Validitas dan Reliabelitas pada Instrumen Pelayanan KIE ... 35
3.2 Hasil Uji Validitas dan Reliabelitas pada Instrumen Promosi
Penggunaan Kondom ... 36
3.3 Hasil Uji Validitas dan Reliabelitas pada Instrumen Promosi Seks Aman 36
3.4 Hasil Uji Validitas dan Reliabelitas pada Instrumen
Pemeriksaan dan Pengobatan ... 37
3.5 Hasil Uji Validitas dan Reliabelitas pada Instrumen Petugas Kesehatan .. 37
3.6 Hasil Uji Validitas dan Reliabelitas pada Instrumen Fasilitas ... 38
3.7 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas pada Instrumen Kesadaran/ Minat
Masyarakat ... 39
3.8 Hasil Uji Validitas dan Reliabelitas pada Instrumen
Pencegahan dan Penanggulangan IMS ... 40
3.9 Aspek Pengukuran Variabel Bebas (Independent) ... 46
3.10 Aspek Pengukuran Variabel Terikat (Dependent) ... 47
4.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur
di Wilayah Kerja Puskesmas Kuta Alam Banda Aceh ... 52
4.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendidikan
di Wilayah Kerja Puskesmas Kuta Alam Banda Aceh ... 53
di Wilayah Kerja Puskesmas Kuta Alam Banda Aceh ... 53
4.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Perkawinan
di Wilayah Kerja Puskesmas Kuta Alam Banda Aceh ... 54
4.5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pelayanan KIE
di Wilayah Kerja Puskesmas Kuta Alam Banda Aceh ... 54
4.6 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kategori Pelayanan KIE
di Wilayah Kerja Puskesmas Kuta Alam Banda Aceh ... 57
4.7 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Promosi Kondom
di Wilayah Kerja Puskesmas Kuta Alam Banda Aceh ... 58
4.8 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kategori Promosi Kondom di Wilayah Kerja Puskesmas Kuta Alam Banda Aceh ... 59
4.9 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Promosi Seks Aman
di Wilayah Kerja Puskesmas Kuta Alam Banda Aceh ... 60
4.10 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kategori Promosi Seks
Aman di Wilayah Kerja Puskesmas Kuta Alam Banda Aceh ... 61
4.11 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pemeriksan dan
Pengobatan di Wilayah Kerja Puskesmas Kuta Alam Banda Aceh ... 62
4.12 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kategori Pemeriksan dan
Pengobatan di Wilayah Kerja Puskesmas Kuta Alam Banda Aceh ... 63
4.13 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Sikap Petugas Kesehatan
di Wilayah Kerja Puskesmas Kuta Alam Banda Aceh ... 64
4.14 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kategori Sikap Petugas
Kesehatan di Wilayah Kerja Puskesmas Kuta Alam Banda Aceh ... 66
4.15 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Fasilitas
4.16 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kategori Fasilitas
di Wilayah Kerja Puskesmas Kuta Alam Banda Aceh ... 68
4.17 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kesadaran/Minat
Masyarakat di Wilayah Kerja Puskesmas Kuta Alam Banda Aceh ... 69
4.18 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kategori Kesadaran/Minat Masyarakat di Wilayah Kerja Puskesmas Kuta Alam Banda Aceh ... 72
4.19 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pencegahan
dan Penanggulangan IMS di Wilayah Kerja Puskesmas Kuta Alam
Banda Aceh ... 72
4.20 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kategori Pencegahan dan Penanggulangan IMS di Wilayah Kerja Puskesmas Kuta Alam
Banda Aceh ... 74
4.21 Hubungan Pelayanan KIE dengan Pencegahan dan Penanggulangan
IMS ... 75
4.22 Hubungan Promosi Penggunaan Kondom dengan Pencegahan
dan Penanggulangan IMS ... 76
4.23 Hubungan Promosi Seks Aman dengan Pencegahan dan
Penanggulangan IMS ... 78
4.24 Hubungan Pemeriksaan dan Pengobatan dengan Pencegahan
dan Penanggulangan IMS ... 79
4.25 Hubungan Sikap Petugas Kesehatan dengan Pencegahan dan
Penanggulangan IMS ... 80
4.26 Hubungan Fasilitas dengan Pencegahan dan Penanggulangan IMS ... 81
4.27 Hubungan Kesadaran/Minat Masyarakat dengan Pencegahan
4.28 Hasil Analisis Multivariat Regresi Logistik Antar Layanan KIE, Sikap Petugas Kesehatan dan Kesadaran/Minat Masyarakat
dengan Pencegahan dan Penanggulangan IMS ... 83
DAFTAR GAMBAR
No. Judul Halaman
DAFTAR LAMPIRAN
No. Judul Halaman
1 Pernyataan Responden ... 100
2 Kuesioner Pengaruh Pelyanan linik Infeksi Menular Seksual terhadap Upaya Pencegahan dan Penanggulangan IMS pada Wanita Usia Subur Beresiko di Puskesmas Kuta Alam Banda Aceh... 101
3. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ... 107
4. Master Data ... 122
5. Hasil Uji Statistik Univariat ... 124
6. Hasil Uji Statistik Bivariat ... 128
7. Hasil uji Statistik Multivariat ... 142
8. Surat Permohonan Uji Kuesioner Penelitian ... 152
9. Surat Permohonan Izin Penelitian ... 153
10. Surat Selesai Uji kuesioner Penelitian ... 154
ABSTRAK
Infeksi Menular Seksual merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk di Indonesia. Dimana dari berbagai penelitian diketahui prevalensi IMS di Indonesia cukup tinggi. Data Profil Kesehatan Dinas Kesehatan Aceh tahun 2011 menunjukkan bahwa jumlah penderita infeksi menular seksual (IMS) sebanyak 379 orang sedangkan tahun 2012 sebanyak 74 orang. Data yang diperoleh di Puskesmas Kuta Alam Banda Aceh untuk tahun 2011 menunjukkan jumlah penderita IMS sebanyak 93 orang sedangkan tahun 2012 sebanyak 270 orang.
Jenis penelitian ini adalah Observasional dengan desain cross sectional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan pelayanan klinik IMS. Penelitian dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Kuta Alam Banda Aceh. Sampel penelitian sebanyak 63 orang dengan tehnik sampling secara consecutive sampling. Analisis data menggunakan analisis univariat, analisis bivariat dengan uji chi-square, dan analisis multivariat dengan uji regresi logistik ganda.
Hasil penelitian dengan uji regresi logistik variabel yang berhubungan dengan pencegahan dan penanggulangan IMS yaitu Layanan KIE (p=0,002), Petugas Kesehatan (p=0,048), dan Kesadaran/ minat masyarakat (p=0,003). Variabel yang paling tinggi pengaruhnya terhadap pencegahan dan penanggulangan IMS yaitu Kesadaran/minat masyarakat (Exp B =8,714), petugas kesehatan (Exp B=0,246), dan Layanan KIE (Exp B=0,084). Layanan KIE baik, petugas kesehatan baik, dan kesadaran/minat masyarakat baik mempunyai peluang pencegahan dan penanggulangan IMS baik sebesar 78,7%.
Saran bagi Kepala Puskesmas kuta Alam Banda Aceh agar lebih aktif melakukan kegiatan KIE ( konseling, Informasi dan Edukasi ) sehingga dapat memberikan pemahaman yang dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan IMS.
ABSTRACT
Sexual contagious disease (IMS) constitutes public health problem throughout the world, including in Indonesia. From various researches, it is known that the prevalence of IMS in Indonesia is very high. The Health profile data of Aceh Health Service in 2011 indicated that there were 379 IMS patients, and it decreased to 74 patients in 2012. The data obtained from Kuta Alam Puskesmas (Public Health Center), Banda Aceh, in 2011, indicated that there were 93 IMS patients, and it increased to 270 IMS patients in 2012.
The type of the research was observational with cross sectional design which was aimed to know the relationship of the service of IMS clinic. The research was conducted in the working area of Kuta Alam Puskesmas, Banda Aceh. The samples consisted of 63 respondents, using consecutive sampling technique. The data were analyzed by using univatriate analyisis, bivatriate analysis with chi square test, and multivatriate analysis with multiple logistic regression tests.
The result of the research with logistic regression test showed that the variables which relation the prevention and the handling of IMS were KIE service (p=0.002), Health workers (p=0.048), and the awareness/interest of the community (p=0.003). The variables which were dominantly correlated with the prevention and the handling of IMS were the awareness/interest of the community (Exp B=8.714), health workers (Exp B=0.246), and KIE service (Exp B=0.084). Good KIE service, good health workers, and good awareness/interest of the community had 78.7% of good opportunity to prevent and handle IMS.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan masalah kesehatan masyarakat
yang cukup besar di dunia termasuk di Indonesia. Kebutuhan akan adanya program
penanggulangan IMS yang efektif semakin dirasakan semenjak dibuktikan bahwa
IMS merupakan faktor resiko independen untuk penularan HIV. Kemunculan IMS
seperti penyakit gonore, klamidia, sifilis dan chancroid ternyata dapat memperbesar
resiko penularan HIV melalui hubungan seksual (The United Nations High
Commissioner for Refugee, 2010).
IMS sering juga disebut Penyakit kelamin yaitu penyakit yang sebagian
besar ditularkan melalui hubungan seks atau hubungan kelamin. Sebelum dikenal
sebagai IMS, jenis penyakit ini sudah cukup lama dikenal dengan sebutan penyakit
kelamin (venereal disease) yang berasal dari kata venus ( dewi Cinta). Saat ini
penyakit kelamin yang dikenal baru sifilis ( syphilis) dan gonore (gonorrhea),
sedangkan istilah IMS baru dikenal setelah ditemukannya jenis penyakit kelamin
selain kedua jenis diatas. IMS dikenal pula dengan sebutan Penyakit Akibat
Hubungan Seksual (PHS) atau Sexually Transmitted Disease (STD) (Dirjen PP & PL
Kemenkes, 2013).
Pada dasarnya setiap orang yang sudah aktif secara seksual dapat tertular
yaitu orang yang suka berganti-ganti pasangan seksual. Orang yang mengidap IMS
memiliki resiko yang lebih besar untuk terinfeksi HIV yang ditularkan melalui
hubungan seks. Penderita IMS mempunyai resiko 2-9 kali lebih besar untuk tertular
HIV dibandingkan bukan penderita. Oleh karena itu program penanggulangan IMS
meliputi pengamatan penyakit, penemuan, pengobatan dan pencegahan ditingkatkan
disemua daerah ( KPA Nasional, 2007).
Menurut WHO (1999), memperkirakan 340 juta kasus baru Penyakit
menular seksual (Sifilis, Gonore, Klamidia dan Trikhomonas) terjadi setiap tahunnya
didunia. Di Negara-negara berkembang, komplikasi akibat infeksi menular seksual
diperingkat lima teratas kategori penyakit lain yang membutuhkan perawatan. Infeksi
dengan IMS dapat menyebabkan gejala akut, infeksi kronik, Infertilitas, Kehamilan
ektopik, kanker leher rahim dan kematian mendadak bayi dan orang dewasa.
( BKKBN, Depkes RI, USAID, 2012)
Semua jenis infeksi yang menyebabkan gangguan pada saluran reproduksi
perlu diperhatikan dalam memberikan asuhan kepada masyarakat, sehingga akan
sangat membantu dalam mewujudkan derajat kesehatan masyarakat. Dimana setiap
tahunnya ada sekitar 30.000 orang menderita infeksi menular seksual, sebagian besar
( 50% ) perempuan tidak menyadari dirinya terinfeksi (Yulifah, 2009).
Dari berbagai penelitian terbatas diketahui angka prevalensi IMS di
Indonesia cukup tinggi, misalnya penelitian pada 312 perempuan klien KB di Jakarta
Utara (1997): angka prevelensi 24,7% dengan infeksi klamidia yang tertinggi yaitu
599 perempuan hamil didapatkan infeksi virus Herpes simpleks sebesar 9,9%,
Klamidia 8,2%, Trikomonas 4,8%, Gonore 0,8% dan Sifilis 0,7%. Suatu survey di 3
Puskesmas di Surabaya (1999) pada 194 perempuan pengunjung KIA/KB diperoleh
proporsi tertinggi infeksi trikhomonas 6,2%, sifilis 4,6% dan klamidia 3,6% ( Depkes,
2007 ).
IMS dan HIV/AIDS dapat timbul pada semua orang yang berhubungan
kelamin dengan banyak pasangan atau bahkan dengan satu pasangan yang telah
berhubungan seksual dengan orang lain. Di Indonesia, dari bulan Oktober sampai
dengan Desember 2012 jumlah infeksi baru HIV yang dilaporkan sebanyak 6.139
kasus. Dimana persentase infeksi HIV tertinggi dilaporkan pada kelompok umur
25-49 tahun (61,6%), diikuti kelompok umur diatas 50 tahun (20,1%) dan kelompok
umur 20-24 tahun (12,5%) (Ditjen PP & PL Kemenkes, 2013).
Menurut Komisi Penanggulangan AIDS Untuk Propinsi Aceh/ KPAP Aceh,
jumlah orang yang hidup dengan HIV/AIDS serta IMS lain di propinsi Aceh
meningkat dan kejadian ini telah menyuarakan keprihatinan dari banyak pihak. Data
terakhir pada tahun 2009 menunjukkan bahwa 47 orang di Aceh telah terinfeksi oleh
HIV (Crurch World Service, 2009). Sedangkan data tahun 2012 menunjukkan bahwa
kasus HIV sebanyak 85 orang. Ada beberapa kondisi yang telah memberikan
kontribusi terhadap situasi tersebut seperti terbatasnya sumber informasi dan
pendidikan mengenai masalah-masalah tersebut (Ditjen PP & PL Kemenkes, 2013).
Upaya pencegahan dan penanggulangan IMS/HIV-AIDS ditingkat
pencegahan dan penanggulangan IMS dengan pendekatan sindrom. Saat ini masih
ditemui hambatan sosiobudaya yang sering mengakibatkan ketidaktuntasan dalam
pengobatannya, sehingga menyebabkan laju epidemi HIV meningkat terutama
melalui hubungan seksual (Depkes, RI, 2007).
Sejak pertama kali ditemukan (1987) sampai dengan Juni 2012, kasus
HIV/AIDS tersebar pada 498 kabupaten/kota diseluruh (33) provinsi di Indonesia.
Sampai dengan tahun 2005 jumlah kasus HIV yang dilaporkan sebanyak 859 kasus,
tahun 2006 sebanyak 7.195 kasus, tahun 2007 sebanyak 6.048 kasus, tahun 2008
sebanyak 10.362 kasus, tahun 2009 sebanyak 9.793 kasus, tahun 2010 sebanyak
21.591 kasus, tahun 2011 sebanyak 21.031 kasus, dimana untuk Aceh sendiri terdapat
65 kasus HIV (Dirjen PP &PL, 2012).
Perkembangan epidemi HIV/AIDS telah menyebabkan penyakit tersebut
menjadi masalah global dan semakin nyata menjadi masalah kesehatan masyarakat di
Indonesia. Dalam rangka mempercepat upaya penanggulangan HIV dan AIDS di
Indonesia, sangatlah penting untuk memadukan upaya pencegahan dengan upaya
perawatan, dukungan serta pengobatan dimana keduanya merupakan komponen
penting dan saling melengkapi. Kurang disadarinya resiko penularan IMS, HIV/AIDS
oleh kelompok beresiko serta masih rendahnya kesadaran untuk mengetahui status
HIVnya yang ditunjukkan dengan masih cukup besar kasus AIDS yang ditemukan
pada stadium lanjut di rumah sakit. Keadaan ini menyebabkan tingginya kematian
pengendalian epidemik HIV dan AIDS (Komisi Penanggulangan AIDS, Family
Health International, 2009).
Berdasarkan profil kesehatan Dinkes Aceh tahun 2011 terdapat kasus
penyakit infeksi menular seksual sebanyak 379 kasus dan HIV/AIDS sebanyak 65
kasus. Data dari Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh menunjukkan kasus IMS pada
tahun 2011 sebanyak 91 orang dan tahun 2012 sebanyak 74 orang. Sedangkan data
dari Puskesmas Kuta Alam didapatkan untuk tahun 2011 dari 93 kasus IMS terdapat
penderita Sifilis 15 orang (16,13%), Gonore 48 orang (51,61%), Uretritis 2 orang
(2,15%), Servicitis 2 orang (2,15%), Suspec GO 19 orang (20,43%) dan lain-lain 7
orang (3,57%). Pada tahun 2012 dari 270 kasus IMS terdapat penderita Sifilis 62
orang (22,96%), Herpes genital 5 orang (1,85%), Urethritis 5 orang ( 1,85%),
Gonore 36 orang ( 13,3% ), Kandidiasis 16 orang ( 5,92%), Servicitis 44 orang
( 16,29%), Trikomoniasis 2 orang (0,74%), Suspec GO 54 orang (20%) dan lain-lain
46 orang ( 8,53%). Dari data dapat kita lihat pada kenyataannya terjadi peningkatan
dari jumlah kasus yang mengalami IMS tersebut ( Puskesmas Kuta Alam, 2012 ).
Sementara itu penelitian yang dilakukan oleh Aulia M, 2011, pada Rumah
Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh didapatkan kasus penyakit Infeksi
Menular Seksual pada tahun 2008-2010 berjumlah 113 kasus, 20 kasus pada 2008, 36
kasus pada 2009 dan 56 kasus pada 2010. IMS yang paling banyak dijumpai di
Rumah Ssakit Umum dr. Zainoel Abidin adalah Gonore (40,7%).
Menurut Widodo ( 2009 ) dalam Fitriana (2012), fenomena peningkatan dan
bahwa penyakit infeksi menular seksual yang sangat berpotensi meningkatkan risiko
penularan HIV melalui hubungan seksual sehingga sangat membutuhkan perhatian
dalam pencegahan dan penanggulangannya. Upaya tersebut tentunya harus didukung
dari tingkat pelayanan yang diberikan secara komprehensif.
Pemerintah pada saat ini sudah membuat program penanggulangan penyakit
menular seksual termasuk HIV/AIDS dikabupaten/kota, dimana untuk Puskesmas
Kuta Alam Banda Aceh hanya beberapa program saja yang sudah dilaksanakan,
diantaranya program Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) sebagai upaya
komunikasi perubahan perilaku (KPP) atau Behavior Change Communication (BCC),
Program kondom 100%, Program penanganan IMS, Konseling dan testing sukarela
(VCT).
Berdasarkan standar minimum klinik IMS, maka setiap klinik IMS harus
melakukan hal-hal seperti kegiatan pencegahan, target pelayanan bagi kelompok
beresiko, kelompok inti, kelompok penghubung, pelayanan yang efektif yaitu
pengobatan secepatnya bagi orang dengan gejala IMS, program penapisan, program
penatalaksanaan mitra seksual, system monitoring dan surveilen yang efektif
(Depkes, USAID, Family Health International,2007).
Dibentuknya klinik IMS didaerah, bukan berarti pemerintah melegalkan
keberadaan prostitusi, sehingga harus menfasilitasi pembentukan sebuah klinik. Akan
tetapi lebih didorong atas pesan moral pada individu. Setelah pesan moral dilakukan
dengan memberikan penyuluhan bahaya penyakit seks, pencegahan dan yang terakhir
fungsi sosialnya yaitu menyediakan tempat kesehatan secara khusus dan bukan
berbentuk klinik umum lagi. Ini dimaksudkan agar orang lebih mudah mengenali dan
terarah. Klinik IMS diharapkan mampu mencegah penularan penyakit PMS seperti
HIV/AIDS ( Raharjo dalam Mardin Purba, 2009).
Puskesmas Kuta Alam merupakan salah satu pelayanan kesehatan yang
dipilih di kota Banda Aceh sebagai wujud dalam membantu upaya pencegahan dan
penanggulangan penyakit menular seksual yang bekerja sama dengan Global Fund
untuk Aceh mulai dibentuk pada tahun 2010. Pelayanan yang diberikan diantaranya
konseling , terapi obat, sosialisasi kondom yang masih belum sepenuhnya terealisasi
sedangkan bagi pasien yang gejala kemungkinan HIV maka dilakukan rujukan
pemeriksaan lebih lanjut ke Rumah Sakit Pemerintah. Selain itu pelayanan IMS yang
diberikan diklinik IMS tersebut seminggu 2 kali yaitu setiap hari Selasa dan hari
Rabu yang dikarenakan fasilitas terbatas dengan kunjungan pasien umum lainnya.
Penapisan terhadap pasien IMS khususnya wanita usia subur beresiko masih
menghadapi kendala dilapangan bahwasanya pasangan mereka tidak membolehkan
melakukan pemeriksaan dan pengobatan secara terpadu. WUS beresiko tersebut juga
merasa takut diketahui oleh orang kalau ia mengalami penyakit infeksi menular
seksual dan adanya rasa malu dari wanita usia subur beresiko tersebut untuk
memperoleh pelayanan dan pengobatan tentang IMS. Terkadang mereka yang
mengalami penyakit tersebut akan melakukan pengobatan secara tradisional. Kondisi
demikian disebabkan oleh lingkungan dan kehidupan adat istiadat yang kental serta
pelayanan diklinik IMS tersebut belum dapat menjaring para WUS beresiko yang
mengalami IMS dalam melaksanakan upaya pencegahan dan penanggulangan IMS.
Meningkatnya angka kejadian penyakit Infeksi Menular seksual dikalangan
dewasa muda terutama wanita merupakan bukti bahwa wanita dalam hal ini sering
menjadi korban dari IMS. Karena jika seorang wanita terkena IMS, maka wanita
tersebut akan lebih tidak menunjukkan gejala jika dibandingkan dengan laki-laki.
Wanita dengan IMS tidak menunjukkan gejala apapun sehingga cendrung tidak akan
mengobati infeksinya karena tidak ada gejala penyakitnya seperti pada gejala
keputihan yang sering muncul pada wanita yang merupakan hal biasa, jika tidak
ditanggulangi dengan cepat akan memicu terjadinya servicitis atau peradangan
panggul. Biasanya WUS beresiko tersebut baru akan mengunjungi klinik atau
memeriksa jika kondisinya sudah tidak baik dan pengobatan tradisional tidak berhasil
menyembuhkan.
Menurut Raharjo (2005) dalam Mardin Purba, 2009, faktor-faktor yang
memperlambat upaya mengurangi resiko penyebaran IMS adalah kurangnya akses
penderita IMS kesarana pelayanan kesehatan, waktu buka klinik dan lokasi yang
tidak strategis, keterbatasan biaya dalam membeli kondom di apotik, toko lain atau
klinik, kurangnya rasa percaya diri, staf klinik yang memiliki sikap negative terhadap
kegiatan seks dan penggunaan alat kontrasepsi atau karena ada larangan .
Berdasarkan uraian tersebut diatas, peneliti mencoba untuk mengetahui
Hubungan Pelayanan Klinik IMS dengan Upaya Pencegahan dan Penanggulangan
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah “ Bagaimana Hubungan Pelayanan Klinik Infeksi Menular Seksual dengan
Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Infeksi Menular Seksual pada
Wanita Usia Subur Beresiko di Puskesmas Kuta Alam Banda Aceh Tahun 2013“.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Hubungan Pelayanan Klinik
IMS dengan Upaya pencegahan dan Penanggulangan IMS pada Wanita Usia Subur
Beresiko di Puskesmas Kuta Alam Banda Aceh Tahun 2013.
1.4. Hipotesis
Ada Hubungan Pelayanan Klinik Infeksi Menular Seksual dengan Upaya
Pencegahan dan Penanggulangan Infeksi Menular Seksual pada Wanita Usia Subur
Beresiko di Puskesmas Kuta Alam Banda Aceh Tahun 2013.
1.5. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Diharapkan bagi lahan penelitian dapat meningkatkan Program pelayanan sesuai
dengan standar minimun klinik IMS .
2. Sebagai masukan bagi tenaga kesehatan agar memberikan advokasi dan
3. Memperkaya wawasan dan implementasi ilmu yang diperoleh dari perkuliahan
penanggulangan IMS.
4. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan bagi peneliti
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pelayanan
Pelayanan pada dasarnya adalah cara melayani, membantu, menyikapi,
mengurus, menyelesaikan keperluan kebutuhan seseorang atau sekelompok orang.
Dan kegiatan pelayanan pada dasarnya menyangkut pemenuhan suatu hak
( Kurniawan dalam Safitrah, 2012).
Upaya pelayanan kesehatan menurut Undang-undang kesehatan Nomor 36
tahun 2009 disebutkan bahwa setiap kegiatan dan/ atau serangkaian kegiatan yang
dilakukan secara terpadu,terintegrasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit,
peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan oleh
pemerintah dan/ atau masyarakat.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas pelayanan kesehatan menurut
Eneenderhealth (2003) dalam Safitrah, 2012, antara lain:
1. Adanya komitmen petugas kesehatan
2. Terpenuhinya kebutuhan akan supervisi yang memfasilitasi
3. Managemen, informasi , pelatihan dan pengembangan sarana pelayanan
4. Terpenuhinya kebutuhan akan bahan dan infrastruktur.
5. Terpenuhinya hak klien untuk mendapatkan informasi agar mendapatkan
pelayanan yang mengtamakan privasi dan menjaga kerahasiaan, pelayanan yang
sopan, ramah dan nyaman, dapat mengemukakan pendapat atau masalah secara
bebas dan hak untuk kelansungan pelayanan.
Menurut Azwar (2006) dalam Ridha, 2008, beberapa syarat pokok pelayanan
kesehatan yang baik, sebagai berikut:
1. Tersedia dan berkesinambungan (available)
Pelayanan kesehatan harus tersedia dimasyarakat serta bersifat
berkesinambungan artinya semua jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan
oleh masyarakat, tidak sulit ditemukan serta keberadaannya dalam masyarakat
ada pada setiap saat dibutuhkan
2. Dapat diterima dan wajar (acceptable)
Pelayanan kesehatan dapat diterima oleh masyarakat serta bersifat wajar, artinya
pelayanan kesehatan tersebut tidak bertentangan dengan keyakinan dan
kepercayaan masyarakat serta bersifat tidak wajar bukanlah pelayanan kesehatan
yang baik
3. Muda h dicapai (accessible)
Pelayanan kesehatan mudah dicapai oleh masyarakat terutama dari sudut lokasi.
Dengan demikian untuk mewujudkan pelayanan kesehatan yang baik maka
pengaturan distribusi sarana kesehatan menjadi sangat penting. Pelayanan
kesehatan yang selalu berkonsentrasi didaerah perkotaan saja dan sementara itu
pelayanan kesehatan ini mudah dijangkau dengan alat transportasi yang tersedia
maka fasilitas tersebut akan banyak dipergunakan.
4. Mudah dijangkau (affordable)
Pelayanan kesehatan yang mudah dijangkau oleh masyarakat, hal ini dapat dilihat
dari sudut biaya. Biaya pelayanan kesehatan yang diselenggarakan harus sesuai
dengan kemampuan ekonomi masyarakat. Pelayanan kesehatan yang mahal
hanya mungkin dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat saja bukanlah
pelayanan kesehatan yang baik
5. Bermutu (quality)
Pengertian pelayanan yang bermutu adalah pelayanan kesehatan yang
menunjukkan kepada tingkat kesempurnaan, disatu pihak dapat memuaskan para
pemakai jasa pelayanan, dan dipihak lain tata cara penyelenggaraannya sesuai
dengan kode etik serta standar yang telah ditetapkan.
2.2. Peningkatan Sumber Daya Pelayanan
Menurut J.B. Kristiadi dalam Safitrah, 2012, sasaran yang ingin diwujudkan
melalui pendidikan dan pelatihan bagi sumberdaya manusia adalah diarahkan pada
pengembangan dan peningkatan aspek-aspek yaitu:
1. Pengembangan dan kemampuan melaksanakan tugas dan peran sebagai petugas
sehingga dapat memenuhi standar yang telah ditentukan untuk suatu tugas dan
2. Meningkatkan motivasi, disiplin, kejujuran, etos kerja dan rasa tanggung jawab
yang dilandasi dengan semangat jiwa pengabdian
3. Perubahan sikap yang lebih mengarah pada perkembangan, keterbukaan, sikap
melanyani dan mengayomi masyarakat yang merupakan tugas dan
tanggungjawab pokoknya.
2.3. Infeksi Menular Seksual ( IMS ) 2.3.1. Pengertian IMS
Infeksi Menular Seksual ( IMS ) adalah infeksi yang sebagian besar menular
lewat hubungan seksual dengan pasangan yang sudah tertular. Hubungan seks ini
termasuk hubungan seks lewat liang senggama, lewat mulut ( oral ) atau lewat dubur
(Depkes RI, Depsos, BKKBN, 2005).
IMS juga sering disebut penyakit kelamin atau penyakit kotor. Namun itu
hanya menunjukkan pada penyakit yang ada di kelamin. Istilah IMS lebih luas
maknanya, karena menunjuk pada cara penularannya. Tanda-tandanya tidak selalu
ada di alat kelamin. Tanda-tandanya juga ada di alat penglihatan, , mulut, saluran
pencernaan, hati, otak dan bagian tubuh lainnya. Contohnya HIV/AIDS dan Hepatitis
B yang menular lewat hubungan seks, tetapi penyakitnya tidak bisa dilihat dari alat
kelaminnya. Artinya, alat kelaminnya masih tampak sehat meskipun orangnya
2.3.2. Jenis Penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS)
IMS ada banyak sekali jenisnya. Beberapa diantaranya yang paling penting
adalah Gonorrea (GO) atau kencing nanah, Klamidia, Herpes kelamin, Sifilis atau
raja singa, Jengger ayam, Hepatitis dan HIV/AIDS. Tidak semua IMS dapat diobati
seperti HIV/AIDS, Herpes, Jengger Ayam dan Hepatitis termasuk jenis-jenis IMS
yang tidak bisa disembuhkan. HIV/AIDS termasuk yang paling berbahaya, tidak bisa
disembuhkan dan merusak kekebalan tubuh manusia untuk melawan penyakit apaun.
Akibatnya orang menjadi sakit-sakitan dan banyak yang meninggal karenanya.
Sementara Herpes sering kambuh dan sangat nyeri kalau kambuh. Pada Herpes yang
diobati cuma gejala luarnya saja tetapi bibit penyakitnya akan tetap hidup didalam
tubuh selamanya. Hepatitis juga tidak bisa disembuhkan akan tetapi ada jenis
Hepatitis tertentu yang bisa dicegah dengan imunisasi (Lelyana, 2006).
2.4. Penanggulangan Infeksi Menular Seksual
Pemerintah pada saat ini sudah membuat program penanggulangan HIV/AIDS
dikabupaten/kota, dimana ada 6 (enam) program yang dilaksanakan yaitu (1) program
Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) sebagai upaya komunikasi perubahan
perilaku (KPP) atau Behavior Change Communication (BCC), (2) Program kondom
100%, (3) Program penanganan IMS, (4) Program Harm Reduction, (5) Program
Voluntary Conseling and Testing (VCT) yaitu jumlah dan mutu pelayanan dan
konseling dan testing sukarela, (6) Program perawatan, pengobatan dan dukungan
pemerintah dengan LSM yang sangat populer di seluruh Indonesia dan sampai saat
ini terus dikembangkan adalah program pelayanan klinik IMS dan VCT (KPA
Nasional, 2005).
Upaya pencegahan dan penanggulangan IMS di tingkat pelayanan dasar masih
ditujukan kepada kelompok resiko tinggi berupa upaya pencegahan dan
penanggulangan IMS dengan pendekatan sindrom. Saat ini ditemui hamabatan
sosiobudaya yang sering mengakibatkan ketidaktuntasan dalam pengobatannya.
Sehingga menimbulkan komplikasi IMS yang serius seperti kemandulan, keguguran
dan kecacatan janin (Depkes RI, Depsos, BKKBN, 2005).
Pedoman penatalaksanaan IMS yang diterbitkan oleh Dirjen PP & PL, 2012,
tentang kriteria yang digunakan dalam pemilihan obat untuk IMS yaitu angka
kesembuhan atau kemajuran tinggi ( sekurang-kurangnya 90 -95 % diwilayahnya ),
harga murah, toksisitas yang masih dapat diterima, diberikan dalam dosis tunggal,
cara pemberian peroral dan tidak merupakan kontra Indikasi pada ibu hamil, atau ibu
menyusui. Kebijaksanaan dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS sebagai berikut:
1. Meningkatkan kerjasama lintas program dan lintas sektor termasuk kerjasama
internasional dan meningkatkan peranserta masyarakat dalam
penanggulangan IMS dan HIV/AIDS.
2. Meningkatkan desentralisasi dengan pendekatan pelayanan kesehatan dasar.
3. Pencegahan adalah fokus utama dengan diintergrasikan perawatan, dukungan
4. Memperkuat aspek manajemen dan aspek hukum dan perundangan yang
berkaitan dengan upaya penanggulangan IMS dan HIV/AIDS termasuk aspek
perlindungan dan kerahasian dan aspek pencehagan deskriminasi/
stigmanisasi penderita IMS dan HIV/AIDS
5. Mengintegrasikan kegiatan penanggulangan IMS dan HIV/AIDS dengan
penyakit lainnya antara lain tuberkulosis.
2.5. Klinik Infeksi Menular Seksual
Pelayanan kesehatan yang dilaksanakan diklinik IMS mencakup:
(a) Melaksanakan kegiatan pencegahan seperti promosi kondom dan seks yang aman,
(b) Melaksanakan pelayanan yang ditargetkan untuk kelompok beresiko tinggi, (c)
Memberikan layanan pemeriksaan dan pengobatan bagi mereka yang telah tertular
IMS, (d) Melaksanakan kegiatan penapisan untuk IMS Asintomatic bagi semua
populasi yang beresiko secara rutin sedikitnya sekali setiap 3 ( tiga ) bulan, (e)
Memberikan layanan konsling, pemeriksaan, dan pengobatan bagi pasangan tetap klin
pekerja seks melalui sistem partner notification, (f) Menjalankan sistem monitoring
dan surveilens, (g) Memberikan layanan KIE tentang mitos penggunaan obat-obat
bebas untuk mencegah atau mengobati IMS (KPA Nasional, 2005 )
Maksud dan tujuan dari layanan IMS adalah untuk menjalankan fungsi kontrol
dan menekan penyebaran IMS pada PSK perempuan, Pria, Waria, pelanggan PSK,
2.5.1. Standar Minimum Klinik IMS
Berdasarkan Standar Operasional Prosedur (SOP) Klinik Sanitasi IMS yang
dikembangkan melalui kerjasama Depkes RI, Usaid dan Family Health International
(2007) menyebutkan bahwa struktur di dalam klinik IMS harus mempunyai fungsi
seperti hal berikut ini: (a) ruang tunggu dan registrasi, (b) ruang pemeriksaan, (c)
laboratorium untuk memfasilitasi secepatnya diagnosa dan pengobatan pada pasien,
sebaiknya ruang pemeriksaan dan laboratorium berdampingan tetapi dipisahkan
dengan sebuah horden atau sekat, (d) ruang pengobatan dan konseling. Setiap
bangunan klinik harus dipelihara dengan baik untuk mendapatkan lingkungan yang
nyaman, aman, dan hygienis. Setiap klinik harus memelihara peralatan kliniknya
dalam keadaan bekerja dengan baik. Setiap waktu kewaspadaan universal untuk
mencegah penularan infeksi melalui darah dan indikator lain untuk mengendalikan
infeksi harus diterapkan.
Standar minimum klinik IMS telah dikembangkan untuk memperbaiki
kualitas diagnosis dan pengobatan IMS secara keseluruhan. Dalam pelaksanaannya
setiap klinik IMS harus sesuai dengan hal-hal sebagai berikut: (a) Kegiatan
pencegahan seperti promosi kondom dan seks yang aman, (b) Pelayanan ditargetkan
untuk kelompok beresiko tinggi, (c) Kelompok inti misalnya pekerja seks, IDU, (d)
Kelompok “penghubung” pelanggan mereka, (e) Pelayanan yang efektif yaitu
pengobatan secepatnya bagi orang dengan gejala IMS, (f) Program penapisan dan
pengobatan secepatnya untuk IMS dan yang tanpa gejala pada kelompok resiko tinggi
monitoring dan surveilen yang efektif, (i) Jika sebagai model klinik untuk
klinik-klinik yang ada disekitarmya harus berusaha untuk melaksanakan pelayanan klinik-klinik
IMS yang sama, dengan memberikan pelatihan yang sesuai pada klinik-klinik
tersebut, (k) Bentuk pelayanan IMS dan promosi yang diberikan harus berdasarkan
pada pengetahuan dari kelompok sasaran dalam kebiasaannya mencari pengobatan
(Depkes, USAID, FHI 2007).
2.5.2. Staf Klinik IMS
Setiap klinik harus mempunyai staf yang ramah, client-oriented, tidak
menghakimi dan dapat menjaga konfidensialitas serta dapat melakukan fungsi-fungsi
berikut ini dengan baik: (1) administrasi klinik, registrasi pasien, pencatatan dan
pelaporan, (2) anamnesis kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual, pemeriksaan
fisik dan pengobatan, (3) Laboratorium berdasarkan tes diagnostik, (4) Konseling,
(5) Memilihara standar klinik untuk penatalaksanaan IMS (Depkes RI, USAID, FHI
2007).
2.5.3. Pengelolaan Klinik IMS
a. Pengelolaan Syndrom yang Disempurnakan (Enhanced Syndromic
Management). Semua klinik harus dapat menerapkan “Pengelolaan
Syndrom yang disempurnakan” untuk IMS yang mencakup: (a) anamnesis
kesehatan seksual yang baik, (b) pemeriksaan fisik yang benar dan adekuat
(termasuk spekulum dan pemeriksaan bimanual dari saluran reproduksi
laboratorium yang secepatnya, supaya hasil pemeriksaan tersedia sebelum
pasien meninggalkan klinik, (d) pengobatan segera, langsung dan tepat,
konseling dan tindak lanjutnya bagi setiap pasien.
b. Standar Pengobatan. Semua klinik harus mengelola IMS menurut “Prosedur Tetap Penatalaksanaan Penderita Penyakit Menular Seksual dengan
Pendekatan Sindrom dan Laboratorium’ yang diterbitkan oleh PPM&PLP
(2004), atau terbitan revisi lanjutannya.
c. Obat-obatan dan bahan habis pakai: Semua klinik harus tetap menjaga adanya pengadaan obat-obatan utama yang dibutuhkan untuk pengobatan
IMS yang tepat (seperti dalam ‘standar pengobatan’), atau memiliki akses
untuk obat-obatan ini melalui apotik setempat atau sumber lainnya.
Pengadaan obat-obatan ini di klinik harus dijaga dengan seksama untuk
memastikan adanya persediaan yang cukup dan berkesinambungan. Semua
obat-obatan dan bahan habis pakai harus disimpan dengan tepat dan tidak
melampui tanggal kadaluwarsanya. Semua klinik yang memberikan
pengobatan antibiotik, khususnya melalui injeksi. intramuskular, harus
mempunyai perlengkapan yang cukup dan siap untuk menangani reaksi
alergi atau anafilaktik.
d. Peralatan Klinik. Setiap klinik harus menjaga agar peralatan klinik dalam
2.5.4. Strategi Pengendalian IMS
Ada beberapa strategi yang telah menunjukkan dampaknya terhadap
penularan IMS di masyarakat jika hal ini diterapkan dengan tepat. Ini harus termasuk
penapisan dan pengobatan secepatnya dari kelompok berisiko tinggi. Orang yang
berisiko tinggi terkena IMS dan penularan infeksi berikutnya yang belum menerima
pelayanan harus dicapai dengan intervensi ini dan harus dimasukkan ke dalam model
pelayanan. Akses yang adekuat dalam memberikan pelayanan pada kelompok risiko
tinggi dan pasien lain diperoleh dengan memprioritaskan pelaksanaan jam buka klinik
yang tepat. Strategi untuk Perubahan Perilaku Berkesinambungan dapat menjelaskan
secara eksplisit unsur-unsur yang berhubungan dengan IMS (contoh pengenalan
gejala, pentingnya dapat pengobatan segera, pentingnya menyelesaikan pengobatan,
pentingnya pengobatan pasangan, interaksi antara IMS dan HIV, dll) harus
dikembangkan dan dilaksanakan (Depkes RI, USAID dan FHI, 2007).
Untuk memilih strategi mana yang akan diterapkan setiap klinik harus
melaksanakan pengkajian dan analisa dari kelompok sasaran yang akan dilayani. Ada
beberapa langkah-langkah yang dapat diikuti untuk melaksanakan hal tersebut: a.
Menilai banyaknya IMS, pada kelompok di mana klinik IMS tersebut akan
memberikan pelayanan. Setiap klinik harus membuat pemetaan kelompok sasaran
yang akan mereka layani dengan baik. Registrasi populasi harus dibuat untuk
kelompok ini. Dan harus diperbaharui secara teratur, setiap bulan b. Menganalisa
kesempatan untuk melakukan tindakan pencegahan pada kelompok ini.Strategi dan
masyarakat, jika diterapkan dengan tepat. Intervensi yang paling tepat untuk
pelayanan IMS adalah intervensi yang mempunyai sasaran untuk mengurangi waktu
infektivitas dari IMS. Kemampauan pelayanan IMS untuk menerapkan
masing-masing kegiatan intervensi ini akan tergantung pada sumber yang mereka miliki, dan
tingkat efisiensi serta pengorganisasian yang bisa mereka capai. c. Mengembangkan
kebijakan pencegahan dan menerapkan prosedur yang berdasar pada hasil penilaian
dan analisa. d. Menciptakan tujuan pencegahan, yang berdasar pada data yang
dikumpulkan oleh pelayanan IMS pada langkah penilaian, analisa dan pengembangan
kebijakan pencegahan. e. Mengevaluasi kemajuan dari tujuan pencegahan dengan
cara mengkaji keefektifan dan cakupannya secara teratur (Depkes RI, USAID dan
FHI, 2007).demiologi unt
2.5.5. Strategi Dasar Intervensi Khusus untuk Klinik IMS di Indonesia
a). Kurangi waktu infektifitas untuk mencegah penularan dan komplikasi lebih lanjut
melalui deteksi dini ( penemuan kasus ) dan pengobatan. Tindakan intervensi
yang dilakukan diantaranya: (a). Penemuan kasus secara aktif melalui penapisan,
pengawasan dan notifikasi pasangan, (b). Memperbaiki akses yang efektif pada
perawatan medis mencakup biaya, mutu, lokasi dan waktu, (c). Meningkatkan
kepekaan terhadap IMS dengan memperbaiki pengetahuan tentang gejala dan
kebiasaan untuk mencari perawatan kesehatan, (d). Enhanced Syndromic
management dari IMS misalnya memperpendek atau hilangkan waktu tunggu
b). Kurangi terkenanya infeksi dari orang yang rentan jika terpapar dengan
mengurangi efisiensi penularan perpaparan. Tindakan intervensi yang dilakukan
diantaranya: (a). tingkatkan penggunaan kondom, (b). Kurangi praktek seksual
yang beresiko misalnya hubungan seks melalui anal tanpa perlindungan, (c).
Kurangi faktor pendamping yang kritis misalnya obati IMS untuk mengurangi
HIV, (d). Promosi kebersihan alat genital misalnya mencuci sebelum dan
sesudah berhubungan seksual.
c). Kurangi paparan dari orang yang rentan terhadap orang yang terinfeksi melalui
modifikasi perilaku dari orang yang rentan, orang yang diketahui tekena infeksi
dan perilaku orang yang berpotensi untuk terkena infeksi. Tindakan intervensi
yang dilakukan antara lain: (a). Promosikan penundaan kegiatan seksual atau
mengurangi angka pertukaran pasangan, (b). Promosikan tes secara meluas
seperti konseling dan tes HIV secara sukarela, (c). Kembangkan dan promosikan
pesan media dengan target orang yang terkena atau berpotensi terkena infeksi
untuk melindungi pasangannya, (d). Promosikan kesehatan dan kebersihan alat
genital, (e). Kurangi paparan pada masyarakat yang melakukan seksual beresiko
sangat tinggi dan ciptakan upaya-upaya pencegahannya.( Depkes RI, USAID,
FHI 2007).
2.6. Konseling IMS
Memberikan konseling penderita IMS agak berbeda dengan penderita
konselor untuk meminta nasehat, disamping memiliki rasa takut dan cemas terhadap
penyakitnya juga mempunyai rasa bersalah yang sering menimbulkan kesulitan dalam
proses konseling tersebut ( Barakbah dalam Hesti, 2008 ).
Konseling penderita IMS sebaiknya diberikan kepada dokter yang
merawat/tenaga kesehatan lain yang ditunjuk yang benar-benar mengerti tentang
IMS.
Walaupun konseling dapat berbeda pada setiap kasus akan tetapi ada beberapa
hal yang harus diperhatikan pada setiap proses konseling: (1) Waktu harus cukup
leluasa, (2) Tempat yang menyenangkan dan tidak dapat didengar oleh orang lain,
(3) Sikap konselor membuat klien merasa “ diterima “, “ dipahami “, serta merasa
aman untuk beratnya dan mengemukakan pendapat, (4) Kemudahan klien untuk
mendapat pelayanan, (5) Kerahasiaan harus benar-benar dijaga, (6) Kegiatan
konseling dapat meliputi: (a) Memberi informasi yang dapat memberi penjelasan dan
pemahaman pada klien, (b) Dapat menjawab pertanyaan klien dengan jujur dan
terbuka, (c) Mampu menyadarkan klien untuk bererilaku aman, untuk tidak
menularkan kepada orang lain, (d) Mampu membuat klien sehingga sanggup
membuat keputusan bagi diri sendiri.
Tujuan konseling IMS adalah: Agar penderita patuh minum obat, Agar
kembali untuk follow up secara teratur sesuai dengan jadwal yang ditentukan,
meyakinkan pentingnya pemeriksaan mitra seksual serta turut berusaha agar mitra
tersebut bersedia diperiksa dan diobati, mengurangi resiko penularan melalui:(a)
abstinensia dari semua hubungan seks bila timbul simptom atau gejala kambuh, (c)
menggunakan kondom bila meragukan adanya resiko. Dan agar tanggap dan
memberikan respon cepat terhadap infeksi atau hal yang mencurigakan setelah
hubungan seks (Barakbah dalam Hesti, 2008).
2.7. Kebijakan Penanggulangan IMS, HIV/AIDS
Epidemi HIV yang mengancam kesehatan dan kehidupan generasi penerus
bangsa, yang secara langsung membahayakan perkembangan sosial dan ekonomi
serta keamanan negara. Oleh karena itu upaya pengendaliaannya harus dilakukan
sebagai upaya penting dan merupakan program yang dilakasnakan secara terkoordinir
dengan melibatkan berbagai pihak serta dengan memobilisasi sumberdaya yang
intensif dari seluruh lapisan masyarakat untuk mempercepat dan memperluas
jangkauan program. Upaya pengendalian yang dilaksanakan anatara lain:
a) Upaya pencegahan yang efektif termasuk penggunaan kondom 100% pada setiap
hubungan seks yang beresiko, semata-mata hanya untuk memutuskan rantai
penularan HIV
b) Upaya pengendalian HIV/AIDS diutamakan pada kelompok masyarakat
berperilaku resiko tinggi tetapi harus memperhatikan kelompok masyarakat yang
rawan, termasuk yang berkaitan dengan pekerjaannya dan kelompok marginal
terhadap penularan HIV/AIDS.
c) Pelaksanaan kegiatan program pengendalian IMS, HIV/AIDS menggunakan
d) Layanan kesehatan terkait IMS, HIV/AIDS tanpa diskriminasi dan menerapkan
prinsip keberpihakan kepada pasien dan masyarakat
e) Upaya pengendalian HIV/AIDS harus menghormati harkat dan martabat manusia
serta memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender
f) Upaya emaja dan masyarakat umum diselenggarakan melalui kegiatan
komunikasi, informasi dan edukasi guna mendorong kehidupan yang lebih sehat
g) Upaya pengendalian HIV/AIDS diselenggarakan oleh masyarakat, pemerintah
dan LSM berdasarkan prinsip kemitraan. Masyarakat dan LSM menjadi pelaku
utama sedangkan pemerintah berkewajiban mengarahkan , membimbing dan
menciptakan suasana yang mendukung terselenggaranya upaya pengendalian
HIV/AIDS
h) Upaya pengendalian HIV/AIDS diutamakan pada kelompok masyarakat
berprilaku resiko tinggi tetapi harus pula memperhatikan kelompok masyarakat
yang rentan termasuk yang berkaitan dengan pekerjaannya dan kelompok
marjinal terhadap penularan HIV/AIDS ( KPA, Fhi, 2009).
Menurut Raharjo (2005) dalam Mardin Purba, 2009, factor-faktor yang
memperlambat upaya mengurangi resiko penyebaran PMS adalah kurangnya akses
penderita IMS kesarana pelayanan kesehatan, waktu buka klinik dan lokasi yang
tidak strategis, keterbatasan biaya dalam membeli kondom di apotik, toko lain atau
klinik, kurangnya rasa percaya diri, staf klinik yang memiliki sikap negative terhadap
2.8. Wanita Usia Subur
Menurut teori perkembangan psikososial erikson, dikutip dari Whalley &
Wong’s (1999) tahap perkembangan manusia menurut umur dibagi dalam beberpa
tahapan dianataranya:
1. Adolescence/ Remaja (13-20 tahun)
Pada masa ini hubungan sosial utama bagi anak sudah beralih pada kelompok
sebaya dan kelompok luar yang seide dengannya.
2. Early adult hood/ dewasa awal (21-35 tahun)
Pada masa dewasa ini hubungan sosial utama seseorang sudah terfokus pada
partner dalam hubungan teman dan seks
3. Young and middle adult hood/ dewasa pertengahan (36-45 tahun)
Pada masa ini hubungan sosial seseorang terfokus pada pembagian tugas
antara bekerja dengan rumah tangga pada masa ini emosi sudah mulai stabil.
2.9. Penelitian Terkait
1. Sumarlan, 2008, dengan judul Niat wanita Pekerja Seks (WPS) Gajah kumpul
terhadap Pemanfaatan Klinik IMS di Puskesmas Batagan Kabupaten Pati Jawa
Tengah. Dimana Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar responden
berpengetahuan serta bersikap baik terhadap klinik IMS, variabel yang
berhubungan signifikan dengan niat memnfaatkan klinik IMS, sikap terhadap
klinik dan dukungan mucikari. Meskipun sebagian besar hasilnya positif namun
penyakit, dukungan teman serta dukungan mucikari. Untuk mengurangi sikap
negatif tersebut maka perlu dilakukan penyuluhan dengan metode simulasi dan
curah pendapat agar WPS mengetahui tanda dan gejala penyakit dengan benar.
Adapun untuk mengatasi keluhan mahalnya biaya berobat keklinik IMS perlu
diusulkan biaya operasional kepemerintah agar para WPS mendapatkan pelayanan
klinik IMS secara gratis.
2. Liana, L, 2007, dengan judul Hubungan persepsi pelayanan klinik, Upaya
pencegahan, Pengobatan sendiri dan Riwayat IMS dengan kepatuhan pemeriksaan
skrining IMS pada WPS (studi di Resosialisasi Argorejo Semarang), dimana hasil
uji analisis menunjukkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara persepsi
pelayanan klinik (p=0,001), pengobatan sendiri (p=0,0001) dan riwayat IMS
(p=0,0001) dengan kepatuhan skrining. Sedangkan tidak terdapat hubungan antara
upaya pencegahan (p=0,059) dengan kepatuhan skrining. Sehingga diharapkan
bagi WPS agar meningkatkan upaya pencegahan primer khususnya konsistensi
pemakaian kondom dan mematuhi jadwal pemeriksaan skrining yang telah
ditentukan.bagi pelayanan kesehatan agar meningkatkan pemberian informasi
tentang IMS kepada WPS dan meningkatkan kualitas pelayanan melalui
peningkatan ketrampilan tenaga kesehatan dan pemilihan pengobatan awal yang
2.10. Landasan Teori
Sebagai acuan dalam menentukan variabel penelitian serta menyusunnya
dalam suatu kerangka konseptual maka keseluruhan teori-teori yang telah dipaparkan
di atas dirangkum dalam suatu landasan teori seperti diuraikan berikut.
Dewasa ini terjadinya peningkatan Penyakit Menular seksual pada masyarakat
menuntut dilakukannya program pelayananan dan penanganan secara konprehensif
dan terpadu. Klinik Infeksi Menular Seksual Puskesmas Kuta Alam Banda Aceh yang
merupak sebagai salah satu unit pelayanan dan penanggulangan masalah penyakit
Infeksi Menular seksual diharapkan mampu berperan aktif dalam memberikan
konstribusi dalam mengurangi jumlah penderita Infeksi Menular Seksual terutama
dikalangan wanita Usia Subur, dimana WUS berkonstribusi dalam meningkatkan
masalah kesehatan reproduksi sehingga akan sangat berpengaruh untuk kesehatannya
khususnya kesehatan reproduksi.
Penanganan pasien IMS yang dilakukan di sarana pelayanan kesehatan klinik
IMS puskesmas Kuta Alam Banda Aceh diantaranya dipengaruhi oleh petugas
kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan kepada klien maupun klien sebagai
pengguna pelayanan kesehatan.
Pelayanan kesehatan yang dilaksanakan diklinik IMS mencakup:
(a) Melaksanakan kegiatan pencegahan seperti promosi kondom dan seks yang aman,
(b) Melaksanakan pelayanan yang ditargetkan untuk kelompok beresiko tinggi, (c)
Memberikan layanan pemeriksaan dan pengobatan bagi mereka yang telah tertular
populasi yang beresiko secara rutin sedikitnya sekali setiap 3 ( tiga ) bulan, (e)
Memberikan layanan konsling, pemeriksaan, dan pengobatan bagi pasangan tetap klin
pekerja seks melalui sistem partner notification, (f) Menjalankan sistem monitoring
dan surveilens, (g) Memberikan layanan KIE tentang mitos penggunaan obat-obat
bebas untuk mencegah atau mengobati IMS (KPA Nasional, 2005 )
Menurut Raharjo (2005) dalam Mardin Purba, 2009, factor-faktor yang
memperlambat upaya mengurangi resiko penyebaran PMS adalah kurangnya akses
penderita IMS kesarana pelayanan kesehatan, waktu buka klinik dan lokasi yang
tidak strategis, keterbatasan biaya dalam membeli kondom di apotik, toko lain atau
klinik, kurangnya rasa percaya diri, staf klinik yang memiliki sikap negative terhadap
kegiatan seks dan penggunaan alat kontrasepsi atau karena ada larangan .
Menurut Barakbah dalam Hesti, 2008 , Konseling penderita IMS sebaiknya
diberikan kepada dokter yang merawat/tenaga kesehatan lain yang ditunjuk yang
benar-benar mengerti tentang IMS. Dimana ada beberapa hal yang harus diperhatikan
pada setiap proses konseling anatara lain: Waktu harus cukup leluasa, tempat yang
menyenangka dan tidak dapat didengar oleh orang lain, sikap konselor membuat
klien merasa “diterima”, “dipahami”, serta merasa aman untuk beratnya dan
mengemukakan pendapat, kemudahan klien untuk mendapat pelayanan, kerahasiaan
2.11. Kerangka Konsep Penelitian
Keberhasilan pelayanan klinik IMS sebagai upaya penanggulangan IMS
sesuai yang diuraikan oleh Raharjo (2005) dalam Mardin Purba, 2009 dan
Barakbah dalam Hesti, 2008 , KPA Nasional, 2005 diatas dapat dijelaskan secara
skematis sebagai berikut:
Variabel Independen Variabel Dependen
Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian
Pencegahan & Penanggulangan IMS
- Baik - Kurang baik
Pendukung Pelayanan IMS : - Sikap Petugas Kesehatan - Fasilitas
- Kesadaran/minat Masyarakat Pelayanan IMS:
-Layanan KIE
-Promosi penggunaan kondom
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah Observasional dengan metode
pengukuran secara cross-sectional. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi
dan wawancara dengan menggunakan kuesioner tanpa memberikan perlakuan dan
pengukuran terhadap subjek yang dilakukan dengan sekali pengukuran.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Kuta Alam Banda Aceh dengan
pertimbangan Puskesmas ini merupakan salah satu Puskesmas di Aceh khususnya
Banda Aceh yang mempunyai layanan klinik Infeksi Menular Seksual (IMS).
Penelitian dimulai dari persetujuan judul penelitian, survei pendahuluan, studi
kepustakaan, penelitian lapangan terhitung mulai bulan Desember 2012 sampai
dengan Juni 2013.
3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Wanita Usia Subur (WUS)
beresiko yang berusia 21-35 tahun ( pada usia ini hubungan sosial sudah fokus pada
hubungan seks/teman) yang telah kawin datang ke Klinik IMS di Puskesmas Kuta
3.3.2. Sampel
Sampel adalah Wanita Usia Subur beresiko yang berusia 21 – 35 tahun datang
berkunjung ke klinik IMS Kuta Alam Banda Aceh tahun 2013 karena pada usia
tersebut hubungan sosial utama seseorang sudah terfokus pada pasangan dalam
hubungan teman dan seks, sedangkan diatas 35 tahun hubungan sosial seseorang
lebih terfokus pada pembagian tugas antara bekerja dengan rumah tangga.
Teknik sampling dalam penelitian ini adalah Consecutive sampling yaitu
pemilihan sampel dengan menetapkan subjek yang memenuhi kriteria penelitian
dimasukkan dalam penelitian sampai kurun waktu tertentu, sehingga jumlah
responden dapat terpenuhi (Nursalam, 2008). Penentu kriteria sampling sangat
membantu penelitian untuk mengurangi bias hasil penelitian. Kriteria sampel dapat
dibedakan menjadi dua yaitu: inklusi dan eksklusi.
1. Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian dari suatu populasi
target yang terjangkau yang akan diteliti.
a. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah :
1) Wanita Usia Subur yang berumur 21-35 tahun yang sudah kawin
2) Bisa berkomunikasi dengan baik
3) Bersedia menjadi responden dan berkunjung ke klinik IMS
2. Kriteria eksklusi adalah menghilangkan atau mengeluarkan subjek yang memenuhi
kriteria inklusi dari studi karena berbagai sebab.
b. Kriteria Eksklusi dalam penelitian ini adalah :
2) Tidak bisa berkomunikasi dengan baik
3) Tidak bersedia jadi responden
4) Tidak berkunjung ke klinik IMS
Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus uji Hipotesis dengan
populasi tunggal sebagai berikut : (Lemeshow et al.,1997) dalam Notoatmodjo, 2010
2
Maka jumlah sampel minimal dalam penelitian ini adalah 63 WUS beresiko IMS