Oleh:
TRIANA APRISIA
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN
Pada
Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Lampung
MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS LAMPUNG
IN THE METRO CITY
By.
TRIANA APRISIA
In order to realize the vision of Metro City to be Education City so Metro City
Government since 2010 has launched Hours of Learning Communities Program,
better known by the acronym JBM. But in its development, it has been 4 (four) years
running but Hours of Learning Communities Program does not going well.
The powerlessness of the program include visible most of the people still do
not know about the technical essence and Community Learning Program Hours
Metro City. Also due to budget problems are not yet clear, the agenda of Hours
Learning Communities Program has not been systematically compiled and then run
intensive, citizen participation is still minimal, and yet the formation of institutional
Hours Learning Communities at all levels of government and society.
The study was conducted to determine the performance/execution
(achievement) Hours of Learning Communities Program in Metro City in 2010-2011.
To measure progress (progress), which is associated with the goal of Hours of
Learning Communities Program. To identify implementation problems in it. To see
the effectiveness of Hours of Learning Communities Program, or see the difference
that the program achieved.
This study is a descriptive study with a qualitative approach. The focus of his
research on the activities of citizens of Metro City in the implementation of Hours
(display data) as well as drawing conclusions and verification (conclusion drawing /
verification).
From some of the problems that arise around the Clock Learning Communities
Program, it can be said that this program includes policies failed because could not
achieve its intended purpose. This indicates that the Hours of Learning Communities
Program as it does not contain the principle of good approach in formulation of
policies.
DI KOTA METRO
Oleh
TRIANA APRISIA
Dalam rangka mewujudkan Visi Kota Metro menjadi Kota Pendidikan maka
Pemerintah Kota Metro sejak tahun 2010 telah mencanangkan Program Jam Belajar
Masyarakat atau yang lebih dikenal dengan singkatan JBM. Namun pada
perkembangannya, sudah 4 (empat) tahun berjalan namun Program Jam Belajar
Masyarakat ini tidak berjalan dengan baik.
Ketidakberdayaan program ini antara lain terlihat sebagian besar masyarakat
masih belum tahu tentang esensi dan teknis Program Jam Belajar Masyarakat Kota
Metro. Juga disebabkan karena masalah alokasi anggaran yang belum jelas, agenda
Program Jam Belajar Masyarakat belum disusun secara sistematis dan kemudian
dijalankan secara intensif, partisipasi warga masih minim, dan belum terbentuknya
kelembagaan Jam Belajar Masyarakat di semua level Pemerintahan dan masyarakat.
Penelitian dilakukan untuk; (a) mengetahui capaian/pelaksanaan (achievement)
Program Jam Belajar Masyarakat di Kota Metro pada tahun 2010 – 2013. (b) Untuk
mengukur kemajuan (progress), yang terkait dengan tujuan Program Jam Belajar Masyarakat. (d) Untuk mengidentifikasi masalah pelaksanaan Program Jam Belajar
Masyarakat. (e) Serta untuk melihat efektivitas Program Jam Belajar Masyarakat
atau melihat perbedaan yang dicapai program tersebut.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Fokus penelitiannya pada
dokumentasi/pustaka.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Program Jam Belajar Masyarakat
(JBM) tidak berhasil mencapai tujuan yang sudah ditetapkan. Hal ini dilihat dari
berbagai ukuran yaitu belum maksimalnya publikasi dan sosialisasi program kepada
warga masyarakat, masih rendahnya partisipasi dan kesadaran warga masyarakat
dalam mendukung program Jam Belajar Masyarakat, belum teralokasikannya dana
penunjang baik dari pemerintah maupun swadaya masyarakat dan pihak swasta,
belum terbentuknya struktur kelembagaan sampai pada tingkat yang paling bawah,
yaitu RT/RW, serta belum adanya upaya penyiapan Sumber Daya Manusia yang
baik.
Dari beberapa permasalahan yang muncul seputar Program Jam Belajar
Masyarakat tersebut maka dapat dikatakan bahwa program ini termasuk kebijakan
belum berhasil dikarenakan tidak bisa mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Hal ini
mengindikasikan bahwa progran JBM tidak mengandung prinsip pendekatan yang
baik dalam penyusunan formulasi kebijakannya.
i
ii
B. Gambaran Umum Program Jam Belajar Masyarakat Kota Metro ... 106
2.Penetapan Waktu Jam Belajar Masyarakat ... 109
3.Penyebarluasan Program Jam Belajar Masyarakat ... 110
D. Pelaksanaan Jam Belajar Masyarakat ... 111
1.Pelaksanaan Jam Belajar Masyarakat ... 111
2.Tindak Lanjut ... 119
iii
2.Monitoring ... 135
F. MASALAH PROGRAM JAM BELAJAR MASYARAKAT DI KOTA METRO... 136
1.Isi Dokumen Kebijakan Jam Belajar Masyarakat Kota Metro . 136
2.Implementasi dan Problematika Program Jam Belajar Masyarakat ... 140
3.Pembentukan Kelembagaan Jam Belajar Masyarakat ... 152
4.Anggaran Penyelenggaraan Jam Belajar Masyarakat ... 157
G. ANALISIS PROGRAM JAM BELAJAR MASYARAKAT DI KOTA METRO ... 162
1.Karakteristik Keberhasilan Program Jam Belajar Masyarakat . 162
2.Kerangka Keberhasilan Program Jam Belajar Masyarakat ... 167
3.Menuju Kebijakan Ideal Dalam Program Jam Belajar Masyarakat ... 168
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 181
A. KESIMPULAN ... 183
B. SARAN ... 184
A. Latar Belakang Masalah
Dalam rangka mewujudkan Visi Kota Metro menjadi Kota Pendidikan
maka Pemerintah Kota Metro sejak tahun 2010 telah mencanangkan Program
Jam Belajar Masyarakat atau yang lebih dikenal dengan singkatan JBM.
Jam Belajar Masyarakat adalah suatu kegiatan untuk menciptakan
kondisi lingkungan yang ideal untuk mendorong proses pembelajaran anak
dan warga belajar yang berlangsung dalam suasana pembelajaran yang
kondusif guna mencapai prestasi secara optimal. (Dinas Pendidikan,
Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga Kota Metro, 2012:3).
Waktu pelaksanaan Jam Belajar Masyarakat di wilayah Kota Metro
minimal 2 (dua) jam setiap hari yakni antara pukul 18.00 sampai dengan
21.00 WIB. Sedangkan untuk penetapan waktu Jam Belajar Masyarakat di
masing-masing wilayah kecamatan diatur lebih lanjut oleh Camat dengan
memperhatikan situasi dan kondisi Kecamatan masing-masing.
Program ini juga bukan dimaknai bahwa seluruh masyarakat dalam
suatu Rukun Tetangga harus belajar pada jam tersebut namun masyarakat
diminta untuk menciptakan suasana efektif belajar dalam jangka waktu 2
(dua) jam dalam sehari. Dalam konteks keluarga, waktu jam belajar
masyarakat tidak harus jam malam seperti ditentukan di kebanyakan Program
dengan pertimbangan waktu yang tepat dan disepakati setiap anggota
keluarganya.
Pada intinya, Jam Belajar Masyarakat ini untuk mengontrol konsumsi
anak-anak pelajar dan mahasiswa terhadap gencarnya hiburan yang datang
dari berbagai media elektronik dan komunikasi saat ini. Anak-anak memang
sangat rentan terhadap pengaruh media. Apakah itu media televisi, internet
ataupun handphone. Bahkan orang tua juga berperan serta membuka peluang
anak terpengaruh televisi. Orang tua yang punya waktu sedikit untuk
anak-anaknya, anak yang sedang mengalami periode tak tenang (misalnya teror,
perceraian dan kematian orang tua), anak yang biasa terkurung dalam rumah,
anak yang sering menghabiskan waktunya sendirian di rumah, orang tua yang
kecanduan media, dan anak yang terjepit diantara orang tua yang berpisah
berpotensi besar terpengaruh. Dampaknya, anak-anak seperti itu akan punya
peluang untuk melampiaskan diri mengonsumsi media hiburan terlalu besar.
Pengendalian jam belajar masyarakat bagi siswa dan mahasiswa adalah
hal yang menjadi persoalan ketika jam belajar banyak disita oleh berbagai
media hiburan semacam televisi atau media yang terkoneksi lewat internet
dan handphone. Media televisi adalah salah satu media hiburan yang hadir di
tengah-tengah keluarga sepanjang 24 jam. Kapan pun membuka channel
televisi pasti akan ditemukan stasiun yang tengah melek menawarkan siaran
program yang sangat variatif. Semacam ancaman dan tantangan bagi para
peserta didik, orangtua dan lembaga atau institusi pendidikan untuk
Tabel 1. Pemilik Televisi di Wilayah Kota Metro
Sumber: (Data Proyeksi Masing-masing Kecamatan di Kota Metro, 2013).
Dari tabel 1 tersebut menunjukkan bahwa jumlah pemilik pesawat
televisi cukup besar. Asumsinya hampir setiap keluarga dipastikan memiliki
televisi untuk menjadi media hiburan. Keberadaan media yang satu ini
menjadi dilematika tersendiri bagi upaya peningkatan motivasi belajar anak.
Karena tayangan-tayangan dari masing-masing stasiun televisi yang ada
kadang positif bagi perkembangan anak namun kadang juga ada yang justru
bisa merusak motivasi dan karakter anak-anak.
Untuk memantau proses JBM berjalan dengan baik, pihak Pemerintah
Kota Metro membentuk tim pemantau yang akan bekerja sama dengan lurah
dan ketua rukun tetangga (RT). Mereka akan memonitor apakah JBM
berjalan dengan baik atau tidak. Jika ternyata tidak berjalan, akan dilakukan
berbagai upaya dan pendekatan serta mencari solusi atas persoalan yang ada
sehingga pada akhirnya JBM dapat berjalan baik.
Program Jam Belajar Masyarakat ini sejalan dengan pelaksanaan
dan dikuatkan lagi dengan Keputusan Walikota Metro Nomor
144/KPTS/D-3/2009 tentang Jam Belajar Masyarakat. Melalui Program Jam Belajar
Masyarakat ini Pemerintah Kota Metro Meminta kepada seluruh masyarakat
untuk mendukung pelaksanaan Program Jam Belajar Masyarakat dengan cara
mematikan televisi pada pukul 18.00 – 21.00 untuk kepentingan belajar anak.
Pada perkembangan selanjutnya, efektivitas Program Jam Belajar
Masyarakat ini mulai mendapatkan sorotan dan kritikan. Program jam belajar
yang dicanangkan Pemerintah Kota Metro, masih dinilai sebagian kalangan,
sebatas formalitas belaka. Pasalnya, di lapangan pelaksanaanya masih kurang
optimal. (http://lampung.tribunnews.com/2011/06/21/
pencanangan-jam-belajar masih-formalitas).
Pihak DPRD Kota Metro pada tanggal 8 dan 9 Maret 2013 mengadakan
Rapat Dengar Pendapat (hearing) dengan Dinas Pendidikan, Kebudayaan dan
Pemuda Olahraga Kota Metro dimana salah satunya mengevaluasi
pelaksanaan Program Jam Belajar Masyarakat. Pihak legislatif menilai
program ini belum dilaksanakan secara efektif oleh masyarakat dan belum
didukung oleh kebijakan-kebijakan strategis dari pemerintah.
Dari hasil observasi di lapangan bahkan masih banyak anggota
masyarakat yang belum mengetahui adanya Program Jam Belajar Masyarakat
ini. Hal ini dikarenakan minimnya sosialisasi oleh pemerintah. Sehingga
informasi tentang program ini belum bisa menyentuh sampai ke tengah
masyarakat dengan baik. Belum banyak langkah-langkah pemerintah untuk
sebagian masyarakat menganggap program semacam itu hanya sekedar
seremonial untuk “pencitraan” semata. Komitmen pemerintah untuk
mencerdaskan masyarakat belum ditunjukkan dengan tanggung jawab yang
sungguh-sungguh. Padahal jika sosialisasi terus menerus dilakukan maka
secara perlahan perubahan mindset masyarakat tentang pentingnya Jam
Belajar Masyarakat mulai akan terbangun. Beragam bentuk kegiatan
sosialisasi bisa dikelompokkan berdasarkan: metode penyampaian,
segmentasi maupun medianya.
Melihat kondisi ini ada dua substansi penting yang menjadi bahan
informatif untuk dianalisis.
1. Program Jam Belajar Masyarakat di Kota Metro telah berlangsung selama
kurang lebih 4 (empat) tahun sejak pertama kali dicanangkan pada Tahun
2009.
2. Program Jam Belajar Masyarakat merupakan jenis program yang sangat
membutuhkan keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaannya karena
domain pengaturannya ada dalam level keluarga, lingkungan Rukun
Tetangga (RT), Lingkungan Kelurahan, dan masyarakat secara umum.
Program Jam Belajar Masyarakat Kota Metro ini merupakan kebijakan
Walikota Metro yang direpresentasikan oleh dua dokumen, yaitu:
1. Surat Keputusan Walikota Metro Nomor 144/KPTS/D-3/2009 tentang
Waktu Pelaksanaan Jam Belajar Masyarakat Kota Metro
Setelah mengkaji kedua landasan kebijakan Jam Belajar Masyarakat
tersebut dan kemudian dilengkapi dengan data hasil interview serta Focus
Group Discussion (FGD) bersama warga, maka ada beberapa masalah terkait
dengan rumusan dan pelaksanaan kebijakan tentang program Jam Belajar
Masyarakat di Kota Metro, yaitu:
1. Keberadaan rumusan formal dalam Surat Keputusan Walikota Metro No.
144/KPTS/D-3/2009. Dalam rumusan Surat Keputusan tersebut memuat
beberapa kekurangan dan kelemahan, yaitu:
a. Surat Keputusan Walikota Metro tentang Jam Belajar Masyarakat
terbuat terpisah dengan petunjuk teknis pelaksanaan Jam Belajar
Masyarakat yang telah disusun oleh tim Jam Belajar Masyarakat.
b. Anggaran pelaksanaan program Jam Belajar Masyarakat hanya
dibebankan pada APBD tahun anggaran 2009.
2. Sebagai implikasi dari permasalahan pertama maka munculnya persoalan
kedua yaitu legalitas atau dasar hukum dari Buku Petunjuk Pelaksanaan
Jam Belajar Masyarakat Kota Metro. Artinya Buku Petunjuk Pelaksanaan
Jam Belajar Masyarakat yang ada belum memiliki payung hukum yang
jelas dan bagaimana koneksitasnya dengan Surat Keputusan Walikota
tersebut.
Secara teoritis menurut Mazmanian, Daniel A dan Sabatier (Wahab,
1997:1-2), suatu implementasi kebijakan publik/program ditentukan juga oleh
karakteristik kebijakan publik. Karakteristik kebijakan meliputi: (1).
kebijakan akan mudah diimplementasikan karena implementor mudah
memahami dan menterjemahkan dalam tindakan nyata. (2). Suatu kebijakan
mesti memiliki kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada badan
pelaksana. (3). Kejelasan besarnya alokasi sumber daya finansial terhadap
kebijakan tersebut. Sumberdaya keuangan adalah faktor krusial untuk setiap
program sosial. (4). Kebijakan publik mensyaratkan kejelasan seberapa besar
adanya keterpautan dan dukungan antara berbagai institusi pelaksana.
Kegagalan program sering disebabkan kurangnya koordinasi vertikal dan
horizontal antar instansi yang terlibat dalam implementasi program. (5).
Kebijakan harus didukung oleh kejelasan tingkat komitmen aparat terhadap
tujuan kebijakan.
Karakteristik kebijakan publik Jam Belajar Masyarakat Kota Metro
belum menampilkan karakteristik kebijakan sebagaimana dijelaskan oleh
Mazmanian, Daniel A dan Sabatier di atas, seperti belum ada rincian
kejelasan isi secara menyeluruh, yaitu masalah keberlanjutan pendanaan dan
koneksitas antar kebijakan. Kemudian, kebijakan Jam Belajar Masyarakat
belum memiliki kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada badan
pelaksana. Selanjutnya, keterpautan dan dukungan antara berbagai institusi
pelaksana belum ada. Bahkan, dukungan komitmen aparat terhadap tujuan
kebijakan Jam Belajar Masyarakat pun masih rendah. Kenyataan ini yang
kemudian mendorong perlunya review terhadap kebijakan Jam Belajar
Masyarakat di Kota Metro agar menjadi kebijakan yang komprehensif dan
Dimensi paling inti dari kebijakan publik adalah proses kebijakan. Di
sini kebijakan publik dilihat sebagai sebuah proses kegiatan atau sebagai satu
kesatuan sistem yang bergerak dari satu bagian ke bagian lain secara
sinambung, saling menentukan dan saling membentuk. Dalam
bukunya Public Policy, Riant Nugroho (2009, 494-495) memberi makna
implementasi kebijakan sebagai “cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai
tujuannya. Tidak lebih dan tidak kurang”. Ditambahkan pula, bahwa untuk
mengimplementasikan kebijakan publik, ada dua pilihan langkah yang ada,
yaitu: langsung mengimplementasikan dalam bentuk program atau melalui
formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan publik tesebut.
Evaluasi pelaksanaan Program Jam Belajar Masyarakat di Kota Metro
ini penting untuk dilaksanakan mengingat program sejenis di beberapa daerah
di Indonesia cenderung kurang berjalan efektif. Ada beberapa fenomena yang
menggambarkan bahwa pelaksanaan program Jam Belajar Masyarakat di
Kota Metro kurang efektif pelaksanaannya, yaitu:
1. Pada waktu jam belajar masyarakat antara pukul 18.00-21.00 justru
banyak anggota keluarga yang tengah asyik menonton sinetron di televisi.
2. Saat yang sama juga masih banyak anak-anak pelajar yang menghabiskan
waktu bermain playstation, bermain gitar, dan sebagainya.
3. Dapat diungkapkan bahwa secara umum penentuan jam belajar bagi
masyarakat saat ini tinggal tulisan saja. Saat ini, susah didapati
memiliki nilai sangat berarti ini. (Hasil survei Maarif Institut, di
Operasional RoomPemkot, Rabu (11-1).-Lampung Post).
Bagi Kota Metro sendiri, Program Jam Belajar Masyarakat ini memiliki
arti yang strategis di bidang pendidikan, yaitu dalam rangka meningkatkan
mutu pendidikan dan kecerdasan masyarakat. Upaya serius Pemerintah Kota
Metro ini dapat dimaklumi karena melihat kondisi peningkatan pendidikan di
Kota Metro berdasarkan indikator pendidikannya cenderung berjalan lambat.
Hal ini bisa dicermati dari tabel Indikator Pendidikan Kota Metro di bawah
ini:
Tabel 2. Indikator Pendidikan Kota Metro
Uraian 2007 2008 2009
Angka Melek Huruf (Persen)
97,26 97,26 97,36
Rata-Rata Lama Sekolah (Tahun)
9,80 9,80 9,80
Sumber : (Kota Metro dalam Angka, 2009)
Menurut informasi tabel 2, memang dari segi melek huruf masyarakat
Kota Metro cenderung tinggi dan terus meningkat walaupun berjalan
perlahan. Namun, di sisi rata-rata lama sekolah di Kota Metro dapat dikatakan
masih rendah, yaitu rata-rata warga hanya menyelesaikan pendidikannya
selama 10 tahun yang artinya rata-rata masyarakat Kota Metro hanya
menyelesaikan pendidikan sampai pada tingkat SLTA.
Keberadaan Program Jam Belajar Masyarakat diharapkan dapat
147.050 jiwa jumlah penduduk Kota Metro yang berada di tingkatan
pendidikan dasar (SD) jumlahnya berkisar 20,32%. Jumlah ini cukup
potensial sebagai obyek untuk peningkatan motivasi belajar masyarakat.
Karena posisi level pendidikan di Sekolah Dasar merupakan dasar
pembentukan karakter dan budaya yang cukup kuat bagi perkembangan anak
pada fase-fase berikutnya. Jika dari kecil sudah terbentuk budaya belajar yang
positif dalam diri anak-anak maka ketika sudah menapaki usia remaja anak
akan memiliki karakter belajar yang lebih kuat lagi.
Adapun data penduduk Kota Metro berdasarkan tingkat pendidikannya
sebagaimana tersaji dalam data berikut:
Tabel 3. Tingkat Pendidikan Penduduk Kota Metro
Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan Lk Pr Jumlah
1. Tidak Punya Ijazah 15.35 16.02 15.68
2. Sekolah Dasar 19.52 21.15 20.32
3. SLTP Sederajat 17.32 21.67 19.46
4. SMU Sederajat 29.14 21.48 25.38
5. SMK Sederajat 7.00 6.08 6.55
6. D-1/D-2/D-3 2.79 6.07 4.40
7. D-4/S-1/S-3 8.88 7.53 8.21
Jumlah 100.00 100.00 100.00
Sumber: (Metro dalam Angka 2012)
Guna mendukung visi Kota Metro sebagai Kota Pendidikan dan agar
Program Jam Belajar Masyarakat (JBM) yang telah dilakukan tetap konsisten
penilaian oleh pihak eksternal untuk mengkaji berbagai aspek yang
berhubungan dengan Program Jam Belajar Masyarakat yang telah
dilaksanakan tersebut. Kemudian, melalui studi ini diharapkan juga dapat
ditemukan kelemahan-kelemahan, kemajuan-kemajuan, dan kemudian
disusun rekomendasi untuk perbaikan pelaksanaan Program Jam Belajar
Masyarakat Kota Metro di masa akan datang. Untuk itu diperlukan data dan
informasi sebanyak mungkin mengenai kondisi pelaksanaan Program Jam
Belajar Masyarakat di Kota Metro, khususnya di lingkungan Kelurahan di
Kota Metro setelah diberlakukan Program Jam Belajar Masyarakat.
B. Perumusan Masalah
Dari uraian diatas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
“Apakah Program Jam Belajar Masyarakat di Kota Metro sudah sesuai
dengan tujuan yang ditetapkan?”
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Untuk mengetahui capaian/pelaksanaan (achievement) Program Jam
Belajar Masyarakat di Kota Metro pada tahun 2010 – 2013.
2. Untuk mengukur kemajuan (progress), yang terkait dengan tujuan
Program Jam Belajar Masyarakat.
3. Untuk mengidentifikasi masalah pelaksanaan Program Jam Belajar
4. Untuk melihat efektivitas Program Jam Belajar Masyarakat atau melihat
perbedaan yang dicapai program tersebut.
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini berguna secara teoritis maupun praktis yaitu:
1. Secara Teoritis: Penelitian ini merupakan salah satu kajian terhadap
kebijakan publik (public policy) khususnya yang berkaitan dinamika
kebijakan, analisis kebijakan dan manajemen kebijakan.
2. Kegunaan Praktis: Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
pemikiran bagi Pemerintah Kota Metro dalam proses evaluasi Jam Belajar
A. Konsep Evaluasi 1. Pengertian Evaluasi
Terkadang tidak semua orang menyadari bahwa setiap saat selalu
melakukan pekerjaan evaluasi. Dalam beberapa kegiatan sehari-hari
jelas-jelas telah mengadakan pengukuran dan penilaian. Di dalam istilah
asingnya, pengukuran adalah measurement, sedang penilaian adalah
evaluation, inilah diperoleh kata Indonesia evaluasi yang berarti menilai
(tetapi dilakukan dengan mengukur terlebih dahulu).
Istilah evaluasi mempunyai arti yang berhubungan, masing-masing
menunjuk pada aplikasi beberapa skala nilai terhadap hasil kebijakan dan
program. Secara umum istilah evaluasi dapat disamakan dengan
“penaksiran (appraisal), pemberian angka (rating), dan penilaian
(assessment), kata-kata yang menyatakan usaha untuk menganalisis hasil
kebijakan dalam arti satuan nilainya”. (Dunn, 1998:608).
Lebih spesifik evaluasi adalah:
“Berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai atau manfaat
Definisi yang pertama dikembangkan oleh Ralp Tyler (1950) dalam
Suharsimi (2003:3), yang menyatakan bahwa “Evaluasi merupakan sebuah
proses pengumpulan data untuk menentukan sejauh mana, dalam hal apa,
dan bagian mana tujuan sudah tercapai. Jika belum, bagaimana yang
belum dan apa sebabnya. Definisi yang lebih luas dikemukakan oleh dua
orang ahli lain, yakni Cronbach dan Stufflebeam dalam Suharsimi
(2003:3), tambahan definisi tersebut adalah “Proses evaluasi bukan
sekedar mengukur sejauh mana tujuan tercapai, tetapi digunakan untuk
membuat keputusan.”
Menurut Hamid H. (2008:32) dalam Rusman (2009:93), bahwa
“Evaluasi kurikulum dan evaluasi pendidikan memiliki karakteristik yang
tak terpisahkan”. Demikian pula dengan evalusi yang diartikan oleh
berbagai pihak dengan berbagai pengertian. Hal tersebut disebabkan
filosofi keilmuan yang dianut seseorang berpengaruh terhadap metodologi
evaluasi dan pada gilirannya terhadap pengertian evaluasi.
Menurut Morrison dalam Rusman (2009:94), dan Arikunto (2004:1)
“Evalusi adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang
bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk
menentukan alternative yang tepat dalam mengambil keputusan”. Menurut
Worthen dan Sanders (1979:1) “Evaluasi adalah mencari sesuatu yang
berharga (worth)”. Sesuatu yang berharga tersebut dapat berupa informasi
Evaluasi kebijakan mempunyai sejumlah karakteristik yang
membedakannya dari metode-metode analisis kebijakan lainnya. Menurut
Dunn (2003:608-609), evaluasi mempunyai sejumlah karakteristik yang
membedakannya dari metode-metode analisis kebijakan lainnya:
a. Fokus Nilai. Evaluasi dipusatkan pada penilaian menyangkut keperluan
atau nilai dari suatu kebijakan dan program. Evaluasi terutama
merupakan usaha untuk menentukan manfaat atau kegunaan sosial
kebijakan atau program, dan bukan sekedar usaha mengumpulkan
informasi mengenai hasil aksi kebijakan yang terantisipasi dan tidak
terantisipasi. Karena ketepatan tujuan dan sasaran kebijakan dapat
selalu dipertanyakan, evaluasi mencakup prosedur untuk mengevaluasi
tujuan-tujuan dan sasaran itu sendiri.
b. Interdependensi Fakta-Nilai. Tuntutan evaluasi tergantung baik “fakta”
maupun “nilai”. Untuk menyatakan bahwa kebijakan atau program
tertentu telah mencapai tingkat kinerja yang tertinggi (atau rendah)
diperlukan tidak hanya bahwa hasil-hasil kebijakan berharga bagi
sejumlah individu, kelompok atau sejumlah masyarakat; untuk
menyatakan demikian, harus didukung oleh bukti bahwa hasil-hasil
kebijakan secara aktual merupakan konsekuensi dari aksi-aksi yang
dilakukan untuk memecahkan masalah tertentu. Oleh karena itu,
pemantauan merupakan prasyarat bagi evaluasi.
c. Orientasi Masa Kini dan Masa Lampau. Tuntutan evaluatif, berbeda
masa lalu, ketimbang hasil di masa depan. Evaluasi bersifat retrospektif
dan setelah aksi-aksi dilakukan (ex post). Rekomendasi yang juga
mencakup premis-premis nilai, bersifat prospektif dan dibuat sebelum
aksi-aksi dilakukan (ex ante).
d. Dualitas Nilai. Nilai-nilai yang mendasari tuntutan evaluasi mempunyai
kualitas ganda, karena mereka dipandang sebagai tujuan sekaligus cara.
Evaluasi sama dengan rekomendasi sejauh mana berkenaan dengan
nilai yang ada (misalnya, kesehatan) dan dianggap sebagai intristik
(diperlukan bagi dirinya) ataupun eksentris (diperlukan karena hal itu
mempengaruhi pencapaian tujuan-tujuan lain). Nilai-nilai sering ditata
di dalam suatu hirarki yang merefleksikan kepentingan relatif dan
saling ketergantungan antar tujuan dan sasaran.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa
evaluasi lebih bersifat komprehensif yang di dalamnya meliputi
pengukuran. Di samping itu, evaluasi pada hakekatnya merupakan suatu
proses membuat keputusan tentang nilai suatu objek. Keputusan evaluasi
(value judgement) tidak hanya didasarkan kepada hasil pengukuran
(quantitative description), dapat pula didasarkan kepada hasil pengamatan
(qualitative description). Baik yang didasarkan kepada hasil pengukuran
(measurement) maupun bukan pengukuran (non-measurement) pada
akhirnya menghasilkan keputusan nilai tentang suatu program yang di
2. Pengertian Evaluasi Program
Evaluasi program adalah “suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan
dengan sengaja untuk melihat tingkat keberhasilan program”. Arikunto
(1999:290), sedangkan menurut Kirkpatrick (1996:3), bahwa “evaluasi
program merupakan sebuah proses untuk mengetahui apakah sebuah
program dapat direalisasikan atau tidak, dengan cara mengetahui
efektifitas masing-masing komponennya melalui rangkaian informasi yang
diperoleh evaluator”.
Apabila penulis membatasi pengertian tentang “program”, maka
program dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang direncanakan”. Dari
uraian tersebut dapat ditangkap bahwa suatu kegiatan perlu direncanakan
apabila kegiatan yang bersangkutan emang dipandang penting sehingga
apabila tidak direncanakan secara matang boleh jadi akan menjumpai
kesulitan atau hambatan.
Evaluasi merupakan tahapan penting dalam pelaksanaan suatu
program. Manfaat positif akan diperoleh apabila evaluasi dijalankan
dengan benar dan memperhatikan segenap aspek yang ada dalam suatu
program. Menurut Dunn (2003:609-611), mempunyai sejumlah fungsi
utama dalam analisis kebijakan, yakni:
1. Evaluasi memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan publik.
menanyakan kepantasan tujuan dan sasaran, analisis dapat menguji alternatif sumber nilai (misalnya, kelompok kepentingan dan pegawai negeri, kelompok-kelompok klien) maupun landasan mereka dalam berbagai bentuk rasionalitas (teknik, ekonomi, legal, sosial, subtantif).
3. Evaluasi memberi sumbangan pada aplikasi metode-metode analisis kebijakan lainnya, termasuk perumusan masalah dan rekomendasi. Informasi tentang tidak memadainya kinerja dapat member sumbangan pada perumusan ulang masalah kebijakan, sebagai contoh, dengan menunjukkan bahwa tujuan dan target perlu didefinisikan ulang. Evaluasi dapat pula menyumbang pada definisi alternatif kebijakan yang baru atau revisi kebijakan dengan menunjukkan bahwa alternatif kebijakan yang diunggulkan sebelumnya perlu dihapus dan diganti dengan yang lain.
Patton dan Sawicki (1991) mengklasifikasikan metoda
pendekatan yang dapat dilakukan dalam penelitian evaluasi menjadi 6
(enam) yaitu:
1. Before and after comparisons, metode ini mengkaji suatu objek penelitian dengan membandingkan antara kondisi sebelum dan kondisi sesudahnya suatu kebijakan atau program diimplementasikan.
2. With and without comparisons, metode ini mengkaji suatu objek penelitian dengan menggunakan pembandingan kondisi antara yang tidak mendapat dan yang mendapat kebijakan atau program, yang telah di modifikasi dengan memasukan perbandingan kriteria-kriteria yang relevan di tempat kejadian peristiwa (TKP) dengan program terhadap suatu TKP tanpa program.
3. Actual versus planed performance comparisons, metode ini mengkaji suatu objek penelitian dengan membandingkan kondisi yang ada (actual) dengan ketetapan-ketetapan perencanaan yang ada (planned). 4. Experimental (controlled) models, metode ini mengkaji suatu objek
penelitian dengan melakukan percobaan yang terkontrol/dikendalikan untuk mengetahui kondisi yang diteliti.
5. Quasi experimental models, metode ini mengkaji suatu objek penelitian
dengan melakukan percobaan tanpa melakukan
pengontrolan/pengendalian terhadap kondisi yang diteliti. Cost oriented models, metode ini mengkaji suatu objek penelitian yang hanya didasarkan pada penelitian biaya terhadap suatu rencana. (Arikunto, 2002: 14 ).
Fungsi utama evaluasi, pertama memberi informasi yang valid dan
kebutuhan, nilai dan kesempatan yang telah dicapai melalui tindakan
publik. Kedua, evaluasi memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik
terhadap nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target, nilai
diperjelas dengan mendefinisikan dan mengoperasikan tujuan dan target.
Nugroho (2004) mengatakan bahwa evaluasi akan memberikan informasi
yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan yaitu seberapa
jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan yang telah dicapai melalui tindakan
publik (Nugroho, 2004: 185).
Adapun definisi evaluasi program menurut para ahli yang lain yaitu,
menurut Arikunto (1999:290) (1) Evaluasi program adalah “suatu
rangkaian kegiatan yang dilakukan dengan sengaja untuk melihat
keberhasilan program”. (2) Evaluasi Program adalah “kegiatan yang
dimaksudkan untuk mengetahui seberapa tinggi tingkat keberhasilan dari
kegiatan yang direncanakan”, http://els.bappenas.go.id. (3) Evaluasi
program “merupakan alat bantu bagi pimpinan suatu organisasi dalam
membuat suatu keputusan dan sebagai suatu alat manajemen (management
tool)”, http://els.bappenas.go.id. (4) Evaluasi program adalah “langkah
awal dalam supervise,yaitu mengumpulkan data yang tepat agar
dilanjutkan dengan pemberian pembinaan yang tepat pula”
http://els.bappenas.go.id. (5) Evaluasi program merupakan “sebuah proses
untuk mengetahui apakah sebuah proses dapat direalisasikan atau tidak
rangkaian informasi yang diperoleh evaluator”. (Kirkpatrick, 1996:3)
http://els.bappenas.go.id.
Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan evaluasi program adalah kegiatan untuk mengumpulkan
informasi tentang bekerjanya sesuatu program pemerintah yang
selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternatif atau
pilihan yang tepat dalam mengambil sebuah keputusan. Dengan
melakukan evaluasi maka akan ditemukan fakta pelaksanaan kebijakan
publik dilapangan yang hasilnya bisa positif ataupun negatif. Sebuah
evaluasi yang dilakukan secara professional akan menghasilkan temuan
yang obyektif yaitu temuan apa adanya; baik data, analisis dan
kesimpulannya tidak dimanipulasi yang pada akhirnya akan memberikan
manfaat kepada perumus kebikan, pembuat kebijakan dan masyarakat.
3. Dimensi dan Tahapan Evaluasi Program
Menurut Beni Setiawan (1999:20) Direktorat Pemantauan dan
Evaluasi Bappenas, tujuan evaluasi program adalah agar dapat diketahui
dengan pasti apakah pencapaian hasil, kemajuan dan kendala yang
dijumpai dalam pelaksanaan program dapat dinilai dan dipelajari untuk
perbaikan pelaksanaan program di masa yang akan datang. Menurut Beni
Setiawan, (1999:20) dimensi utama evaluasi diarahkan kepada hasil,
manfaat, dan dampak dari program. Pada prinsipnya yang perlu dibuat
1. Indikator masukan (input)
2. Proses (Process)
3. Keluaran (output)
4. Indikator dampak (outcame)
Evaluasi merupakan cara untuk membuktikan keberhasilan atau
kegagalan pelaksanaan dari suatu program, oleh karena itu pengertian
evaluasi sering digunakan untuk menunjukkan tahapan siklus pengelolaan
program sebagaimana gambar.1 berikut:
Gambar 1 : Siklus Evaluasi Program
---
Ex- Ante Implementasi Ex-Post
Sumber: (Benni, 1999)
Program
Dampak
Kebutuhan
Hasil
Menurut Gambar 1, evaluasi program memiliki tiga tahapan yang
saling terkait dan bekerja dengan logika siklus. Ketiga tahapan evaluasi
program tersebut adalah sebagai berikut:
a. Evaluasi pada tahap perencanaan (EX-ANTE). Pada tahap perencanaan,
evaluasi sering digunakan untuk memilih dan menetukan priorotas dari
berbagai alternatif dan kemungkinan cara mencapai tujuan yang telah
dirumuskan sebelumnya.
b. Evaluasi pada tahap pelaksanaan (ON-GOING). Pada tahap
pelaksanaan , evaluasi digunakan untuk menentukan tingkat kemajuan
pelaksanaan program dibandingkan dengan rencana yang telah
ditentukan sebelumnya.
c. Evaluasi pada tahap Pasca Pelaksanaan (EX-POST) pada tahap pasca
pelaksanaan evaluasi ini diarahkan untuk melihat apakah pencapaian
(keluaran/hasil/dampak) program mampu mengatasi masalah
pembangunan yang ingin dipecahkan. Evaluasi ini dilakukan setelah
program berakhir untuk menilai relevansi (dampak dibandingkan
masukan), efektifitas (hasil dibandingkan keluaran), kemanfaatan
(dampak dibandingkan hasil), dan berkelanjutan (dampak dibandingkan
hasil dan keluaran) dari suatu program.
Hubungan ketiga tahapan tersebut sangat erat, selanjutnya terdapat
perbedaan metodologi dan evaluasi program yang berfokus kerangka
anggaran dengan yang berfokus pada kerangka regulasi. Evaluasi program
indikator kinerja program berdasarkan keluaran dan hasil dan studi
evaluasi program berdasarkan dampak yang timbul. Cara pertama
dilakukan melalui perbandingan indikator kinerja sasaran yang
direncanakan dengan realisasi, informasi yang relevan dan cukup harus
tersedia dengan mudah sebelum suatu indikator kinerja program dianggap
layak. Cara yang kedua dilaksanakan melalui pengumpulan data dan
informasi yang bersifat lebih mendalam (in depth evaluation) terhadap
hasil, manfaat dan dampak dari program yang telah selesai dilaksanakan.
Hal yang paling penting adalah mengenai informasi yang dihasilkan dan
bagaimana memperoleh informasi, dianalisis dan dilaporkan. Informasi
harus bersifat independen, obyektif, relevan dan dapat diandalkan.
4. Tujuan Evaluasi Program
Seperti disebutkan oleh Sudjana (2006:48), tujuan khusus evaluasi
program terdapat 6 (enam) hal, yaitu:
1. Memberikan masukan bagi perencana program.
2. Menyajikan masukan bagi pengambil keputusan yang berkaitan dengan
tindak lanjut, perluasan atau penghentian program.
3. Memberikan masukan bagi pengambil keputusan tentang modifikasi
atau perbaikan program.
4. Memberikan masukan yang berkenaan dengan faktor pendukung dan
5. Memberikan masukan untuk kegiatan motivasi dan pembinaan
(pengawasan, supervisi dan monitoring) bagi penyelenggara, pengelola
dan pelaksana program, dan;
6. Menyajikan data tentang landasan keilmuan bagi evaluasi program.
Tujuan evaluasi program menurut Beni Setiawan (1999:20) adalah
agar dapat diketahui dengan pasti apakah pencapaian hasil, kemajuan dan
kendala yang dijumpai dalam pelaksanaan program dapat dinilai dan
dipelajari untuk perbaikan pelaksanaan program di masa yang akan datang.
Sudjana, tujuan evaluasi adalah untuk melayani pembuat kebijakan dengan
menyajikan data yang diperlukan untuk pengambilan keputusan secara
bijaksana. Oleh karenanya evaluasi program dapat menyajikan 5 (lima)
jenis informasi dasar sebagai berikut:
1. Berbagai data yang dibutuhkan untuk menentukan apakah pelaksanaan
suatu program harus dlanjutkan
2. Indikator-indikator tentang program-program yang paling berhasil
berdasarkan jumlah biaya yang digunakan.
3. Informasi tentang unsur-unsur setiap program dan gabungan antar unsur
program yang paling efektif berdasarkan pembiayaan yang diberikan
sehingga efisiensi pelaksanaan program dapat tercapai.
4. Informasi untuk berbagai karakteristik sasaran program-program
pendidikan sehingga para pembuat keputusan dapat menetukan paling
kelompok, lembaga atau komunitas mana yang paling menerima
pengaruh dari pelayanan setiap program.
5. Informasi tentang metode-metode baru untuk memecahkan berbagai
permasalahan yang berkaitan dengan evaluasi pengaruh program.
5. Model Evaluasi Program
Model evaluasi adalah model desain evaluasi yang dibuat oleh para
ahli/pakar evaluasi yang biasanya dinamakan sama dengan pembuatnya.
Model ini dianggap standar. Disamping itu ahli evaluasi yang membagi
evaluasi sesuai dengan misi yang akan dibawakannya serat kepentingan
atau penekannya atau dapat juga disebut sesuai dengan paham yang dianut
yang disebut pendekatan atau approach. Ada banyak model evaluasi,
antara lain:
a. Model William N. Dunn
Mengikuti William N. Dunn (1999:608-610), istilah evaluasi
dapat disamakan dengan penaksiran (apparaisal), pemberian angka
(rating), dan penilaian (assessment). Evaluasi berkenaan dengan
produksi informasi mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan.
Evaluasi memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai
kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai, dan kesempatan
telah dapat dicapai melalui tindakan publik; evaluasi memberi
sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang
mendasari pemilihan tujuan dan target; dan evaluasi member
lainnya, termasuk perumusan masalah dan rekomendasi. Jadi, meskipun
berkenaan dengan keseluruhan proses kebijakan, evaluasi kebijakan
lebih berkenaan pada kinerja dan kebijakan, khususnya pada
implementasi kebijakan publik. Evaluasi pada “perumusan” dilakukan
pada sisi post tindakan, yaitu lebih pada “proses” perumusan daripada muatan kebijakan yang biasanya “hanya” menilai apakah prosesnya
sudah sesuai dengan prosedur yang telah disepakati.
Tabel 4. Tipe Evaluasi menurut Dunn
Tipe Kriteria Pertanyaan Ilustrasi
Efektivitas Apakah hasil yang diinginkan telah dicapai? Unit Pelayanan Efisiensi Seberapa banyak usaha diperlukan untuk
mencapai hasil yang diinginkan
Unit biaya, Manfaat bersih, Ratio Cost Benefit
Kecukupan Seberapa jauh pencapaian hasil yang diinginkan memecahkan masalah?
Biaya tetap. Efektivitas tetap Perataan Apakah biaya manfaat didistribusikan dengan
merata kepada kelompok-kelompok yang berbeda?
Kriteria Pareto, Kriteria Kaldor Hicks, Kriteria Rawls.
Responsivitas Apakah hasil kebijakan memuaskan kebutuhan, preferensi, atau nilai-nilai kelompok tertentu?
Konsistensi dengan survey warga Negara
Ketepatan Apakah hasil (tujuan) yang diinginkan benar-benar berguna atau bernilai
Program publik harus merata dan efisien
Evaluasi implementasi kebijakan dibagi tiga menurut timing
evaluasi, yaitu sebelum dilaksanakan, pada waktu dilaksanakan, dan
setelah dilaksanakan. Evaluasi pada waktu pelaksanaan biasanya
disebut evaluasi proses. Evaluasi setelah kebijakan juga disebut sebagai
evaluasi konsekuensi (output) kebijakan dan/atau evaluasi
Secara spesifik Dunn (1999:612-634) mengembangkan tiga pendekatan
evaluasi implementasi kebijakan, yaitu evaluasi semu, evaluasi formal,
dan evaluasi keputusan teoritis.
Tabel 5. Pendekatan-pendekatan dalam evaluasi kebijakan versi Dunn
Pendekatan Tujuan Asumsi Bentuk-Bentuk Utama
Teknik
Evaluasi semu Menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi valid tentang hasil kebijakan publik
Ukuran manfaat atau nilai terbukti dengan sendirinya atau tidak controversial. valid mengenai hasil kebijakan secara formal diumumkan sebagai valid mengenai hasil kebijakan yang secara eksplisit diinginkan oleh berbagai pelaku kebijakan
Tujuan dan sasaran dari berbagai pelaku yang diumumkan
b. Model Sudjana
Sudjana, (2006:51) berpendapat bahwa model evaluasi terdapat
enam model, yaitu:
1) Model evaluasi terfokus pada pengambilan keputusan (jenis inilah
yang terbanyak digunakan).
2) Model evaluasi terhadap unsur-unsur program.
3) Model evaluasi terhadap jenis/tipe kegiatan program.
4) Model evaluasi terhadap proses pelaksanaan program.
5) Model evaluasi terhadap pencapaian tujuan program.
6) Model evaluasi terhadap hasil dan pengaruh program.
Kegunaan utama model ini adalah untuk mengkaji sejauhmana
suatu Lembaga Penyelenggara dan Pengelola Pelayanan Program
kepada masyarakat telah berhasil dilaksanakan misinya. Dalam konteks
ini maka evaluasi pengaruh diawali dengan mempelajari misi-misi yang
mengidentifikasi hasil-hasil utam program yang ingin dicapai dan/atau
hasil-hasil program yang tidak tercapai, model ini pada awalnya
dikembangkan untuk mengevaluasi proyek-proyek pengembangan
Sumber Daya Manusia yang terdiri atas:
1) Pemantauan proyek untuk mengetahui efisiensi proyek-proyek
tertentu.
2) Evaluasi tentang keberhasilan atau kegagalan sementara suatu
3) Evaluasi yang mengkaji tujuan-tujuan jangka panjang suatu program
dengan melihat keberhasilan dan kegagalan program dalam jangka
panjang tersebut.
Sudjana (2000: 55) memaknai bahwa tujuan evaluasi adalah
untuk melayani pembuat kebijakan dengan menyajikan data yang
diperlukan untuk mengambil keputusan secara bijaksana. Oleh
karenanya evaluasi program dapat menyajikan 5 (lima) jenis informasi
sebagai berikut:
1) Berbagai data yang dibutuhkan untuk menentukan apakah
pelaksanaan suatu program harus dilanjutkan.
2) Indikator-indikator tentang program-program yang paling berhasil
berdasarkan jumlah biaya yang digunakan.
3) Informasi tentang unsur-unsur setiap program dan gabungan antar
unsur program yang paling efektif berdasarkan pembiayaan yang
diberikan sehingga efisiensi pelaksanaan program dapat tercapai.
4) Informasi untuk berbagai karakteristik sasaran program-program
sehingga para pembuat keputusan dapat menentukan tentang
individu, kelompok, lembaga atau komunitas mana yang paling
menerima pengaruh dari pelayanan setiap program.
5) Informasi tentang metode-metode baru untuk memecahkan berbagai
c. Model Ernest R. House
Ernest R House (1980) membuat taksonomi evaluasi yang cukup
berbeda, yang membagi evaluasi menjadi :
1) Model sistem, dengan indikator utama adalah efisiensi.
2) Model perilaku, dengan indikator utama adalah keefektifan dan
keterjagaan kualitas.
3) Model formulasi keputusan, dengan indikator utama adalah
keefektifan dan keterjagaan kualitas.
4) Model tujuan-bebas (goal free), dengan indikator utama adalah
pilihan pengguna dan manfaat sosial.
5) Model kekritisan seni (art criticism) dengan indikator utama adalah
standart yang semakin baik dan kesadaran yang semakin meningkat.
6) Model review professional, dengan indikator utama adalah
penerimaan professional.
7) Model kuasi-legal (quasi-legal), dengan indikator utama adalah
resolusi.
8) Model studi kasus, dengan indikator utama adalah pemahaman atas
diversitas.
Ada pula pemilahan evaluasi sesuai dengan teknik evaluasinya,
yaitu:
1) Evaluasi komparatif, yaitu membandingkan implementasi kebijakan
(proses dan hasilnya) dengan implementasi kebijakan yang sama
2) Evaluasi historikal, yaitu membuat evaluasi kebijakan berdasarkan
rentang sejarah munculnya kebijakan-kebijakan tersebut.
3) Evaluasi laboratorium atau eksperimental, yaitu evaluasi namun
menggunakan eksperimen yang diletakkan dalam sejarah
laboratorium.
4) Evaluasi ad hock, yaitu evaluasi yang dilakukan secara mendadak
dalam waktu segera untuk mendapatkan gambar pada saat itu (snap
shot).
d. Model Wibawa
Menurut Wibawa, dkk (1993: 10-11), evaluasi kebijakan publik
memiliki empat fungsi, yaitu:
1) Eksplanasi.
Melalui evaluasi dapat dipotret realitas pelaksanaan program dan
dapat dibuat suatu generalisasi tentang pola-pola hubungan antar
berbagai dimensi realitas yang diamatinya. Dari evaluasi ini,
evaluator dapat mengidentifikasikan masalah, kondisi, dam aktor
yang mendukung keberhasilan atau kegagalan kebijakan.
2) Kepatuhan.
Melalui evaluasi dapat diketahuinapakah tindakan yang dilakukan
oleh para pelaku, baik birokrasi maupun pelaku lainnya, sesuai
3) Audit.
Melalui evaluasi dapat diketahui, apakah output benar-benar sampai
ke tangan kelompok sasaran kebijakan, atau justru ada kebocoran
atau penyimpangan.
4) Akunting.
Dengan evaluasi dapat diketahui apa akibat sosial ekonomi dari
kebijakan tersebut.
e. Model Riant Nugroho
Menurut Riant Nugroho (2011) pemahaman tentang evaluasi
kebijakan biasanya bermakna sebagai evaluasi implementasi kebijakan
dan atau evaluasi kinerja atau hasil kebijakan.
Gambar 2 : Dimensi Kebijakan Publik sebagai Fokus Evaluasi Kebijakan
Dari proses kebijakan pada gambar 2, terlihat bahwa selalu ada
sisi evaluasi kebijakan dari setiap kebijakan publik. Sesungguhnya,
evaluasi kebijakan publik memiliki 3 (tiga) lingkup makna yaitu,
evaluasi perumusan kebijakan, evaluasi implementasi kebijakan dan
evaluasi lingkungan kebijakan. Karena ketiga komponen tersebutlah Perumusan Kebijakan Implementasi Kebijakan
yang menentukan apakah kebijakan akan berhasil guna atau tidak.
Namun demikian konsep dalam konsep “evaluasi” sendiri selalu terkait
dengan konsep “kinerja” sehingga evaluasi kebijakan publik pada
ketiga wilayah itu bermakna “kegiatan pasca”.
Oleh karena itu, evaluasi kebijakan publik berkenaan tidak hanya
dengan hanya implementasinya melainkan berkenaan dengan
perumusan, implementasi dan lingkungan kebijakan publik.
Riant Nugroho dalam bukunya Public Policy (2011) mengikuti
pernyataan Sofian Effendi yang mengatakan bahwa tujuan evaluasi
implementasi kebijakan publik adalah untuk mengetahui variasi dalam
indikator-indikator kinerja yang digunakan untuk menjawab tiga
pertanyaan pokok, yaitu:
1) Bagaimana kinerja implementai kebijakan publik? Jawabannya
berkenaan dengan kinerja implementasi publik (variasi dari
outcome) terhadap variabel independen tertentu.
2) Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan variasi itu? Jawabannya
berkenaan dengan faktor kebijakan itu sendiri, organisasi
implementasi kebijakan, lingkungan implementasi kebijakan yang
mempengaruhi variasi outcome implementasi kebijakan.
3) Bagaimana strategi meningkatkan kinerja implemtasi kebijakan
publik? Pertanyaan ini berkenaan dengan “tugas” pengevaluasi untuk
variable-variabel yang bersifat natural atau variabel lain yang tidak
bisa diubah tidak dapat memasukkan sebagai variabel evaluasi.
Namun demikian ada beberapa hal yang dapat dipergunakan
sebagai panduan pokok, yaitu:
1) Terdapat perbedaan tipis antara evaluasi kebijakan dan analisis
kebijakan. Namun demikian, terdapat satu perbedaan pokok, yaitu
analisis kebijakan biasanya diperuntukkan bagi lingkungan
pengambil kebijakan untuk tujuan formulasi atau penyempurnaan
kebijakan, sementara evaluasi dapat dilakukan oleh internal ataupun
eksternal pengambil kebijakan.
2) Evaluasi kebijakan yang baik harus mempunyai beberapa syarat
pokok, yaitu:
a) Tujuannya menemukan hal-hal yang strategis untuk
meningkatkan kinerja kebijakan.
b) Yang bersangkutan harus mampu mengambil jarak dari pembuat
kebijakan, pelaksana kebijakan, dan target kebijakan.
c) Prosedur evaluasi harus dapat dipertanggungjawabkan secara
metodologi.
3) Evaluator haruslah individu atau lembaga yang mempunyai karakter
professional, dalam arti menguasai kecakapan keilmuan,
metodologi, dan dalam beretika.
4) Evaluasi dilaksanakan tidak dalam suasana permusuhan atau
Dari kelima model evaluasi sebagaimana telah disebutkan
sebelumnya maka peneliti akan menggunakan model evaluasi William N
Dunn dan Riant Nugroho dengan alasan sebagai berikut:
1. Bahwa evaluasi implementasi kebijakan dibagi menjadi tiga menurut
timing evaluasi, yaitu sebelum dilaksanakan, pada waktu dilaksanakan,
dan setelah dilaksanakan.
2. William N Dunn juga mengutarakan bentuk-bentuk utama evaluasi
berupa pemeriksaan sosial.
3. Menyebut dengan jelas evaluasi pelaksanaan program dalam konteks
kesesuaian hasil dengan tujuan.
4. Riant Nugroho menyebutkan bahwa evaluasi kebijakan bermakna
mengevaluasi elemen-elemen utama dalam kebijakan yaitu evaluasi
perumusan kebijakan, evaluasi implementasi kebijakan dan evaluasi
lingkungan kebijakan. Ketiga elemen ini saling terkait dengan evaluasi
kebijakan dan hasil akhirnya akan menentukan kinerja kebijakan.
B. Konsepsi Kebijakan Publik 1. Pengertian Kebijakan
Sebelum dibahas lebih jauh mengenai konsep kebijakan publik, kita
perlu mengkaji terlebih dahulu mengenai konsep kebijakan atau dalam
bahasa inggris sering kita dengar dengan istilah policy. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, kebijakan diartikan sebagai rangkaian konsep dan
asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu
organisasi, dsb); pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip dan garis pedoman
untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran. Carl J Federick
sebagaimana dikutip Leo Agustino (2008: 7) mendefinisikan kebijakan
sebagai serangkaian tindakan/kegiatan yang diusulkan seseorang,
kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dimana
terdapat hambatan-hambatan (kesulitan-kesulitan) dan
kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijaksanaan tersebut dalam
rangka mencapai tujuan tertentu. Pendapat ini juga menunjukan bahwa ide
kebijakan melibatkan perilaku yang memiliki maksud dan tujuan
merupakan bagian yang penting dari definisi kebijakan, karena
bagaimanapun kebijakan harus menunjukan apa yang sesungguhnya
dikerjakan daripada apa yang diusulkan dalam beberapa kegiatan pada
suatu masalah.
Solichin Abdul Wahab mengemukakan bahwa istilah kebijakan
sendiri masih terjadi silang pendapat dan merupakan ajang perdebatan para
ahli. Maka untuk memahami istilah kebijakan, Solichin Abdul Wahab
(2008: 40-50) memberikan beberapa pedoman sebagai berikut:
a. Kebijakan harus dibedakan dari keputusan.
b. Kebijakan sebenarnya tidak serta merta dapat dibedakan dari
administrasi.
c. Kebijakan mencakup perilaku dan harapan-harapan.
d. Kebijakan mencakup ketiadaan tindakan ataupun adanya tindakan.
f. Setiap kebijakan memiliki tujuan atau sasaran tertentu baik eksplisit
maupun implisit.
g. Kebijakan muncul dari suatu proses yang berlangsung sepanjang waktu.
h. Kebijakan meliputi hubungan-hubungan yang bersifat antar organisasi
dan yang bersifat intra organisasi.
i. Kebijakan publik meski tidak ekslusif menyangkut peran kunci
lembaga-lembaga pemerintah.
j. Kebijakan itu dirumuskan atau didefinisikan secara subyektif.
Menurut Budi Winarno (2007 : 15), istilah kebijakan (policy term)
mungkin digunakan secara luas seperti pada “kebijakan luar negeri
Indonesia” , “kebijakan ekonomi Jepang”, dan atau mungkin juga dipakai
untuk menjadi sesuatu yang lebih khusus, seperti misalnya jika kita
mengatakan kebijakan pemerintah tentang debirokartisasi dan deregulasi.
Namun baik Solihin Abdul Wahab maupun Budi Winarno sepakat bahwa
istilah kebijakan ini penggunaanya sering dipertukarkan dengan istilah lain
seperti tujuan (goals) program, keputusan, undang-undang,
ketentuan-ketentuan, standar, proposal dan grand design (Suharno :2009 : 11).
Irfan Islamy sebagaimana dikutip Suandi (2010: 12) kebijakan harus
dibedakan dengan kebijaksanaan. Policy diterjemahkan dengan kebijakan
yang berbeda artinya dengan wisdom yang artinya kebijaksanaan.
Pengertian kebijaksanaan memerlukan pertimbangan pertimbangan lebih
jauh lagi, sedangkan kebijakan mencakup aturan-aturan yang ada
mengungkapkan bahwa kebijakan adalah “ a purposive course of action
followed by an actor or set of actors in dealing with a problem or matter of concern” (Serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang
diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna
memecahkan suatu masalah tertentu).
Konsep kebijakan yang ditawarkan oleh Anderson ini menurut Budi
Winarno (2007: 18) dianggap lebih tepat karena memusatkan perhatian
pada apa yang sebenarnya dilakukan dan bukan pada apa yang diusulkan
atau dimaksudkan. Selain itu konsep ini juga membedakan secara tegas
antara kebijakan (policy) dengan keputusan (decision) yang mengandung
arti pemilihan diantara berbagai alternatif yang ada.
Richard Rose sebagaimana dikutip Budi Winarno (2007: 17) juga
menyarankan bahwa kebijakan hendaknya dipahami sebagai serangkaian
kegiatan yang sedikit banyak berhubungan beserta
konsekuensi-konsekuensi bagi mereka yang bersangkutan daripada sebagai keputusan
yang berdiri sendiri. Pendapat kedua ahli tersebut setidaknya dapat
menjelaskan bahwa mempertukarkan istilah kebijakan dengan keputusan
adalah keliru, karena pada dasarnya kebijakan dipahami sebagai arah atau
pola kegiatan dan bukan sekadar suatu keputusan untuk melakukan
sesuatu.
Berdasarkan pendapat berbagai ahli tersebut di atas maka dapat
disimpulkan bahwa kebijakan adalah tindakan-tindakan atau kegiatan yang
atau pemerintah yang di dalamnya terdapat unsur keputusan berupa upaya
pemilihan diantara berbagai alternatif yang ada guna mencapai maksud dan
tujuan tertentu.
2. Pengertian Kebijakan Publik
Lingkup dari studi kebijakan publik sangat luas karena mencakup
berbagai bidang dan sektor seperti ekonomi, politik, sosial, budaya,
hukum, dan sebagainya. Disamping itu dilihat dari hirarkirnya kebijakan
publik dapat bersifat nasional, regional maupun lokal seperti
undang--undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri,
peraturan pemerintah daerah/provinsi, keputusan gubernur, peraturan
daerah kabupaten/kota, dan keputusan bupati/walikota.
Secara terminologi pengertian kebijakan publik (public policy) itu
ternyata banyak sekali, tergantung dari sudut mana kita mengartikannya.
Easton memberikan definisi kebijakan publik sebagai the authoritative
allocation of values for the whole society atau sebagai pengalokasian
nilainilai secara paksa kepada seluruh anggota masyarakat. Laswell dan
Kaplan juga mengartikan kebijakan publik sebagai a projected program
of goal, value, and practice atau sesuatu program pencapaian tujuan,
nilai-nilai dalam praktek-praktek yang terarah.
Pada dasarnya meskipun tidak tertulis menurut Riant Nugroho
(2011:11-15) dalam memahami kebijakan publik ada dua jenis aliran atau
pemahaman, yaitu Kontinentalis dan Anglo-Saxonis. Pemahaman
bahkan kadang mempersamakan antara kebijakan publik dan hukum,
utamanya hukum publik ataupun hukum tata negara, sehingga kita
melihatnya sebagai proses interaksi di antara institusi-institusi negara.
Pemahaman anglo-saxon memahami bahwa kebijakan publik adalah turunan
dari politik-demokrasi sehingga melihatnya sebagai sebuah produk interaksi
antara negara dan publik.
Masih menurut Riant Nugroho (2008), bagaimana dengan Indonesia?
Kondisi objektif di Indonesia adalah dalam praktik administrasi publik, dan
kebijakan publik identik dengan hukum. Kondisi ini dapat disimak dalam
praktik pengembangan kualitas kebijakan di tingkat nasional (DPR,
Departemen, dan lain-lain) maupun Daerah (DPRD, Pemda). Oleh karena itu,
agenda yang paling utama adalah melakukan pengembangan kapasitas untuk
legal drafting. Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir pengamatan,
agenda untuk legal drafting mencapai 80% atau lebih, sementara agenda
untuk membangun kapasistas untuk mengembangkan kebijakan publik yang
bukan dalam makna hukum atau legal drafting, 20% atau kurang.
Pemahaman ini, sebagaimana dikemukakan di depan, tidak terpisahkan
dari perjalanan historis negara Indonesia, yang mewarisi sistem administrasi
publik Belanda. Bahkan, para founding fathers Indonesia, mulai dari
Soekarno, Hatta, Syahrir, hingga Djuanda, adalah intelektual dengan basis
pengetahuan pendidikan Belanda.
Administrasi publik dalam konteks kepemerintahan yang baik
menyangkut negara dan seluruh aktor atau lembaga-lembaga yang terkait
Kepemerintahan Global
pemahaman tentang administrasi publik dapat digambarkan dalam empat
tingkatan pokok yang dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 3 : Lima Jenjang Administrasi Publik
Hal ini dikutip dari Riant Nugroho (2011:88) bahwa dari gambar
tersebut, administrasi publik dapat didefinisikan menjadi lima tingkatan
pengelompokan, yaitu birokrasi, pemerintahan, negara, dan governance yang
lingkupnya adalah keseluruhan sistem politik dan global governance. Model
ini dikembangkan dari model pemahaman administrasi publik David Bresnik,
guru besar administrasi publik pada City University, New York, yang
menyebutkan sebagai setting of an administrative game yang terdiri atas (dari
yang paling terdalam hingga terluar): bureau, agency, superagency, political
executive, political system (legislative, judicial, public opinion), dan social
system (Bresnick, 1982).
Governance
Negara
Pemerintahan
Kebijakan publik menurut Riant Nugroho (2011:68) adalah keputusan
otoritas Negara yang bertujuan mengatur kehidupan bersama. Dimana tujuan
kebijakan publik dapat dibedakan dari sisi sumber daya atau risorsis, yaitu
antara kebijakan publik yang bertujuan men-distribusi sumber daya Negara
dan yang bertujuan menyerap sumber daya Negara.
Riant Nugroho (2011:52-54) menyatakan satu hal yang perlu dicatat,
beberapa ilmuwan sosial di Indonesia menggunakan istilah kebijaksanaan
sebagai kata ganti policy. Perlu ditekankan, kebijaksanaan bukanlah kebijakan,
karena (ke)bijaksana(an) adalah salah satu dari ciri kebijakan publik yang
unggul. Kebijakan publik dalam kepustakaan internasional disebut public
policy. Dimana pelajaran ini mengajarkan kepada kita, kehidupan bersama
harus diatur. Bukan sekedar diatur, melainkan diatur oleh peraturan yang
berlaku untuk semuanya dan berlaku mengikat semuanya. Setiap pelanggar
akan diberi sanksi sesuai dengan bobot pelanggaran yang dilakukannya, dan
sanksi dijatuhkan di depan masyarakat oleh lembaga yang mempunyai tugas
menjatuhkan sanksi.
Aturan tersebut yang secara sederhana kita pahami sebagai kebijakan
publik. Jadi, apakah kebijakan adalah hukum? Benar, tetapi tidak hanya itu.
Sebelum mendefinisikan, mari kita lihat apa pendapat para pakar tentang
kebijakan publik.
Sedangkan Riant Nugroho (2008:55) merumuskan definisi kebijakan
publik secara sederhana yakni “kebijakan publik adalah keputusan yang
dibuat negara, khususnya pemerintah, sebagai strategi untuk merealisasikan
mengantar masyarakat pada masa awal, memasuki masyarakat pada masa
transisi, untuk menuju pada masyarakat yang dicita-citakan.”
Dengan demikian, kebijakan publik adalah sebuah fakta strategis
daripada fakta politis ataupun teknis. Sebagai sebuah strategi, dalam kebijakan
publik sudah terangkum preferensi-preferensi politis dari para aktor yang
terlibat dalam proses kebijakan, khususnya pada proses perumusan. Sebagai
sebuah strategi, kebijakan publik tidak saja bersifat positif, namum juga negatif,
dalam arti pilihan keputusan selalu bersifat menerima salah satu dan menolak
yang lain. Meskipun terdapat ruang bagi win-win dan sebuah tuntutan dapat
diakomodasi, pada akhirnya ruang bagi win-win sangat terbatas sehingga
kebijakan publik lebih banya pada ranah zero-sum-game, yaitu menerima yang
ini, dan menolak yang itu.
Pressman dan Widavsky sebagaimana dikutip Budi Winarno (2002:
17) mendefinisikan kebijakan publik sebagai hipotesis yang mengandung
kondisi-kondisi awal dan akibat-akibat yang bias diramalkan. Kebijakan
publik itu harus dibedakan dengan bentuk-bentuk kebijakan yang lain
misalnya kebijakan swasta. Hal ini dipengaruhi oleh keterlibatan
faktor-faktor bukan pemerintah. Robert Eyestone sebagaimana dikutip Leo
Agustino (2008 : 6) mendefinisikan kebijakan publik sebagai “hubungan
antara unit pemerintah dengan lingkungannya”. Banyak pihak
beranggapan bahwa definisi tersebut masih terlalu luas untuk dipahami,
karena apa yang dimaksud dengan kebijakan publik dapat mencakup