PENGATURAN DAN PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN
DI KOTA BANDAR LAMPUNG
Oleh :
RESIANA ARTIARA
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Hukum
Pada
Bagian Hukum Kenegaraan Fakultas Hukum Universitas Lampung
PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
PENGATURAN DAN PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN
DI KOTA BANDAR LAMPUNG
Resiana Artiara ABSTRAK
Administrasi Kependudukan di Indonesia menjadi salah satu hal yang sangat penting dalam pembangunan. Meningkatnya jumlah penduduk setiap tahun membuat pemerintah harus lebih teliti memberikan pelayanan Administrasi Kependudukan. Pertumbuhan penduduk yang sedemikian cepat dan pesat menimbulkan beragam permasalahan baik di bidang ekonomi, sosial, politik dan pembangunan, serta kesejahteraan Bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaturan dan penyelenggaraan administrasi kependudukan di Kota Bandar Lampung. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Data yang digunakan data primer dan sekunder, yang dikumpulkan melalui studi pustaka dan wawancara. Data tersebut diolah dengan cara seleksi, klasifikasi, dan sistematisasi kemudian dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan administrasi kependudukan di Kota Bandar Lampung sudah mengacu pada UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang pelaksanaannya diatur dalam PP No. 37 Tahun 2007 dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang pelaksanaannya diatur dalam PP No. 38 Tahun 2007. Belum ada Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Walikota (Perwali) yang mengatur mengenai teknis penyelenggaraan administrasi kependudukan yang ada hanya Perda Kota Bandar Lampung No.3 Tahun 2008 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kota Bandar Lampung dan Perwali No. 9 Tahun 2008 tentang Tugas, Fungsi, dan Tata Kerja Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Bandar Lampung. Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan pada bidang pendaftaran penduduk yang meliputi KK, KTP surat pindah, akta kelahiran dan akta kematian sudah berjalan baik.
DAFTAR ISI
Halaman
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 10
C. Tujuan dan Kegunaan ... 10
D. Kerangka Teori dan Konseptual ... 11
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penyelenggaraan Pemerintah Daerah ... 18
B. Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Penyelenggaran Pelayanan Administrasi Kependudukan ... 24
C. Harmonisasi Pengaturan Hukum... ... 30
III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 36
B. Sumber Data ... 36
C. Penentuan Populasi dan Sampel ... 38
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 38
E. Analisis Data ... 39
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran umum Kependudukan di Kota Bandar Lampung ... 40
B. Pengaturan Administrasi Kependudukan Di Kota Bandar Lampung 45
B. Saran ... 80
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pada hakikatnya berkewajiban memberikan
perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status hukum atas setiap
peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialami oleh penduduk
Indonesia yang berada di dalam dan/atau di luar Wilayah Negara Indonesia.
Administrasi Kependudukan di Indonesia menjadi salah satu hal yang sangat
penting dalam pembangunan. Meningkatnya jumlah penduduk setiap tahun
membuat pemerintah harus lebih teliti memberikan pelayanan Administrasi
Kependudukan. Pertumbuhan penduduk yang sedemikian cepat dan pesat
menimbulkan beragam permasalahan baik di bidang ekonomi, sosial, politik dan
pembangunan, serta kesejahteraan Bangsa Indonesia secara keseluruhan. Kondisi
demikian banyak menimbulkan permasalahan di bidang Administrasi
Kependudukan.
Administrasi Kependudukan merupakan serangkaian kegiatan penataan dan
penertiban dalam penertiban dokumen dan data kependudukan melalui
pendaftaran penduduk, pencatatan sipil, pengelolaan informasi penduduk serta
yang bermanfaat untuk memberikan kejelasan identitas dan status bagi penduduk
(individual dan kelompok), memberikan kepastian hukum, memberikan
perlindungan hukum dan kenyamanan bagi pemiliknya dan memberikan manfaat
bagi kepentingan administrasi serta pelayanan publik lainnya.
Administrasi Kependudukan diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan, yang dalam pelaksanaannya diatur dalam
Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2006. Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2006 disebutkan bahwa, administrasi kependudukan adalah rangkaian kegiatan
penataan dan penertiban dalam penerbitan dokumen dan data kependudukan
melalui pendaftaran penduduk, pencatatan sipil, pengelolaan informasi
administrasi kependudukan serta pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan publik
dan pembangunan sektor lain.
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 menyatakan bahwa, setiap
penduduk wajib melaporkan peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang
dialaminya kepada Instansi Pelaksana dengan memenuhi persyaratan yang
diperlukan dalam pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil.
Berdasarkan hak dan kewajiban yang dimiliki setiap penduduk, maka pemerintah
berkewajiban untuk melakukan dan memberikan pelayanan kependudukan.
Pengaturan tentang kewajiban Pemerintah dalam penyelenggaraan administrasi
kependudukan terdapat dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006
Pemerintah berkewajiban dan bertanggungjawab menyelenggarakan administrasi
kependudukan secara nasional, yang dilakukan oleh Menteri dengan kewenangan
meliputi:
a. Koordinasi antar instansi dalam urusan administrasi kependudukan;
b. Penetapan sistem, pedoman, dan standar pelaksanaan administrasi kependudukan;
c. Sosialisasi administrasi kependudukan;
d. Pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan urusan administrasi kependudukan;
e. Pengelolaan dan penyajian data kependudukan berskala nasional; dan f. Pencetakan, penerbitan, dan distribusi blanko dokumen kependudukan.
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 menyatakan bahwa;
Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban dan bertanggungjawab
menyelenggarakan urusan administrasi kependudukan, yang dilakukan oleh
Bupati/Walikota dengan kewenangan meliputi:
a. Koordinasi penyelenggaraan administrasi kependudukan;
b. Pembentukan instansi pelaksana yang tugas dan fungsinya di bidang administrasi kependudukan;
c. Pengaturan teknis penyelenggaraan administrasi kependudukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan;
d. Pembinaan dan sosialisasi penyelenggaraan administrasi kependudukan; e. Pelaksanaan kegiatan pelayanan masyarakat di bidang administrasi
kependudukan;
f. Penugasan kepada desa untuk menyelenggarakan sebagian urusan administrasi kependudukan berdasarkan asas tugas pembantuan;
g. Pengelolaan dan penyajian data kependudukan berskala Kabupaten/Kota; dan h. Koordinasi pengawasan atas penyelenggaraan administrasi kependudukan.
Pelayanan di bidang administrasi kependudukan meliputi pendataan
kependudukan dan catatan sipil yang menggunakan teknologi informasi dan
komunikasi pada mulanya dikenal dengan istilah Sistem Informasi Manajemen
Kependudukan (SIMDUK) ditahun 1996. Namun pada pelaksanaannya
mengelola data kependudukan. Berdasarkan hasil evaluasi terhadap SIMDUK,
maka Pemerintah Indonesia membuat Sistem Informasi Administrasi
Kependudukan (SIAK) sebagai sistem yang mengolah data kependudukan dan
catatan sipil di Indonesia. Kelebihan dari SIAK selain untuk mendata pendudukan
secara akurat tetapi juga dapat memberikan NIK yang secara otomatis dan tetap
untuk satu penduduk, sehingga dapat mengeliminasi terjadinya kepemilikan
identitas ganda.
Berdasarkan Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006, SIAK
adalah sistem informasi yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi
untuk memfasilitasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan ditingkat
penyelenggara dan instansi pelaksana sebagai satu kesatuan.
SIAK menjadi penting karena selalu bersentuhan dengan setiap aktivitas
kehidupan di Indonesia. Diantaranya adalah saat pemilu legislatif, pemilu
presiden, pemilu kepala daerah, mengurus surat kendaraan, mengurus
surat-surat tanah, dan lain sebagainya.
Tujuan dari SIAK berdasarkan penjelasan umum antara lain sebagai berikut:
1. Terselenggaranya administrasi kependudukan dalam skala nasional yang terpadu dan tertib;
2. Terselenggaranya administrasi kependudukan yang bersifat universal, permanen, wajib, dan berkelanjutan;
3. Terpenuhinya hak penduduk di bidang administrasi kependudukan dengan pelayanan yang profesional; dan
Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 menjelaskan dokumen
kependudukan adalah dokumen resmi yang diterbitkan oleh instansi pelaksana
yang mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti autentik yang dihasilkan dari
pelayanan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil. Yang dimaksud dengan
data kependudukan adalah data perseorangan dan/atau data agregat yang
terstruktur sebagai hasil dari kegiatan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil.
Dokumen Kependudukan dalam Pasal 59 (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2006 meliputi:
a. Biodata Penduduk;
b. Kartu Keluarga (KK);
c. Kartu Tanda Penduduk (KTP);
d. Surat keterangan kependudukan; dan
e. Akta Pencatatan Sipil.
Pada dokumen kependudukan terdapat data-data kependudukan yang terdiri dari
data perseorangan dan/atau data agregat penduduk. Pasal 58 (2) Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2006 menjelaskan bahwa data perseorangan meliputi; nomor
KK, NIK, nama lengkap, jenis kelamin, tempat lahir, golongan darah,
agama/kepercayaan, status perkawinan, status hubungan dalam keluarga, cacat
fisik dan/atau mental, pendidikan terakhir, jenis pekerjaan, NIK ibu kandung,
nama ibu kandung, NIK ayah, nama ayah, alamat sebelumnya, alamat sekarang,
kepemilikan akta kelahiran/surat kenal lahir, nomor akta kelahiran/nomor surat
kenal lahir, kepemilikan akta perkawinan/buku nikah, nomor akta
akta perceraian/surat cerai, tanggal perceraian. Sedangkan data agregrat meliputi
himpunan data perseorangan yang berupa data kuantitatif dan data kualitatif.
Pendaftaran Penduduk dalam Pasal 1 angka 10 adalah pencatatan biodata
penduduk, pencatatan atas pelaporan peristiwa kependudukan dan pendataan
penduduk rentan administrasi kependudukan serta penerbitan dokumen
kependudukan berupa kartu identitas atau surat keterangan kependudukan.
Dokumen kependudukan dalam kaitannya dengan pendaftaran kependudukan
yaitu untuk dan/atau dalam hal proses pendaftaran kependudukan diperlukan
dokumen kependudukan.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
memuat pengaturan dan pembentukan sistem yang rnencerminkan adanya
reformasi di bidang administrasi kependudukan. Salah satu hal penting adalah
pengaturan mengenai penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK).
Berdasarkan penjelasan umum yang dimaksud dengan NIK adalah nomor
identitas penduduk yang bersifat unik atau khas, tunggal dan melekat pada
seseorang yang terdaftar sebagai penduduk Indonesia. Setiap penduduk wajib
memiliki NIK. NIK berlaku seumur hidup dan selamanya, yang diberikan oleh
Pemerintah dan diterbitkan oleh instansi pelaksana kepada setiap penduduk
setelah dilakukan pencatatan biodata. NIK dicantumkan dalam setiap dokumen
kependudukan dan dijadikan dasar penerbitan paspor, surat izin mengemudi,
nomor pokok wajib pajak, polis asuransi, sertifikat hak atas tanah, dan penerbitan
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 menyatakan bahwa setiap
penduduk mempunyai hak untuk memperoleh:
a. Dokumen kependudukan;
b. Pelayanan yang sama dalam pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil; c. Perlindungan atas data pribadi;
d. Kepastian hukum atas kepemilikan dokumen;
e. Informasi mengenai data hasil pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil atas dirinya dan/atau keluarganya; dan
f. Ganti rugi dan pemulihan nama baik sebagai akibat kesalahan dalam pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil serta penyalahgunaan data pribadi oleh instansi pelaksana.
Pengaturan administrasi kependudukan hanya dapat terlaksana apabila didukung
oleh pelayanan yang professional dan peningkatan kesadaran penduduk, termasuk
Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri.
Pelayanan dalam bidang administrasi kependudukan bertujuan untuk memberikan
perlindungan, pengakuan, penentuan status pribadi dan status hukum setiap
peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialami oleh penduduk
Indonesia dan Warga Negara Indonesia yang berada diluar Wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia, perlu dilakukan pengaturan tentang administrasi
kependudukan.
Pelaksanaan kewenangan penyelenggaraan ditingkat Kabupaten/Kota diatur
dalam Pasal 17 PP No. 37 Tahun 2007 sebagai berikut:
Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban dan bertanggung jawab
menyelenggarakan urusan administrasi kependudukan, yang dilakukan oleh
Bupati/Walikota dengan kewenangan meliputi:
a. Koordinasi penyelenggaraan administrasi kependudukan;
c. Pengaturan teknis penyelenggaraan administrasi kependudukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan;
d. Pembinaan dan sosialisasi penyelenggaraan administrasi kependudukan; e. Pelaksanaan kegiatan pelayanan masyarakat di bidang administrasi
kependudukan;
f. Penugasan kepada desa atau nama lain untuk menyelenggarakan sebagian urusan administrasi kependudukan berdasarkan asas tugas pembantuan; g. Pengelolaan dan penyajian data kependudukan berskala Kabupaten/Kota; dan h. Koordinasi pengawasan atas penyelenggaraan administrasi kependudukan.
Kewenangan penyelenggaran dan instansi pelaksana dalam konteks pelayanan
administrasi kependudukan di Kota Bandar Lampung, maka pemerintah yang
berkewajiban dan bertanggungjawab dalam menyelenggarakan urusan
administrasi kependudukan adalah Pemerintah Kabupaten/Kota yaitu
Bupati/Walikota dengan kewenangannya demikian berdasarkan Pasal 7 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tersebut.
Penyelenggaraaan kewenangan dan instansi pelaksana administrasi kependudukan
Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan pemerintah daerah maka dalam
pelaksanaannya, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tidak dapat dilepaskan
dari pemerintah daerah yang tunduk dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang pemerintah daerah. Dimana dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004, dinyatakan bahwa pelayanan kependudukan dan catatan
sipil itu merupakan urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah
untuk Kabupaten/Kota merupakan urusan berskala Kabupaten/Kota yang dalam
pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam Pasal 7 ayat (2) huruf k PP No. 38
Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintahan
Dalam konteks otonomi daerah, maka administrasi kependudukan pelayanan yang
berkenaan dengan kependudukan itu menjadi kewenangan dari pemerintah daerah.
Dalam penyelenggaraan administrasi kependudukan yang dilaksanakan oleh
pemerintah daerah tunduk pada Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan dua rezim
hukum sektoral yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 yang
pelaksanaannya diatur dalam PP No. 37 Tahun 2007 dan rezim hukum pemerintah
daerah dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang pelaksanaannya diatur
dalam PP No. 38 Tahun 2007.
Berdasarkan uraian tersebut di atas terdapat dua aspek penting yang harus
diharmonisasikan antara Undang Nomor 23 Tahun 2006 dan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, yaitu berkenaan dengan kewenangan dan standar
pelayanan dalam administrasi kependudukan, karena Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang saling berkaitan.
Maka, untuk melakukan harmonisasi dilakukan melalui peraturan daerah yang
mengatur aspek kewenangan, prosedur dan substansi.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam lampiran PP No. 38 Tahun 2007 huruf J,
dimana kewenangan administrasi kependudukan terbagi dalam lima sub bidang
yang mengatur kewenangan administrasi kependudukan pada pemerintahan
ditingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota masing-masing memiliki kewenangan di
bidang administrasi kependudukan. Kelima sub bidang tersebut meliputi:
1. Pendaftaran penduduk;
2. Pencatatan sipil;
4. Perkembangan kependudukan;
5. Perencanaan kependudukan.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik lebih lanjut untuk melakukan
penelitian tesis yang berjudul Pengaturan dan Penyelenggaraan Administrasi
Kependudukan di Kota Bandar Lampung.
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang tersebut maka terdapat permasalahan sebagai berikut:
a. Bagaimanakah pengaturan administrasi kependudukan di Kota Bandar
Lampung?
b. Bagaimanakah penyelenggaraan administrasi kependudukan dalam rangka
mewujudkan tertib administrasi di Kota Bandar Lampung?
2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini mencakup pengaturan dan penyelenggaraan
administrasi kependudukan di Kota Bandar Lampung. Dimana dalam
penyelenggaraannya difokuskan pada sub bidang pendaftaran penduduk yang
meliputi KK, KTP dan surat pindah dan bidang pencatatan sipil yang meliputi
akta kelahiran dan akta kematian.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka dalam penelitian ini
a. Untuk menganalisis pengaturan administrasi kependudukan di Kota Bandar
Lampung.
b. Untuk menganalisis penyelenggaraan administrasi kependudukan dalam
rangka mewujudkan tertib administrasi di Kota Bandar Lampung.
2. Kegunaan Penelitian
Berdasarkan tujuan-tujuan yang hendak dicapai, maka penelitian ini diharapkan
akan memberikan manfaat sebagai berikut:
a. Manfaat Teoritis
Dapat memperkaya konsep atau teori yang menyokong perkembangan ilmu
pengetahuan dalam bidang Hukum Kenegaraan khususnya mengenai
penyelenggaraan administrasi kependudukan.
b. Manfaat Praktis
Dapat memberikan masukan dalam pengambilan keputusan pada aspek
pemerintahan Kota Bandar Lampung dan institusi lain dalam menentukan
kebijakan yang berkaitan dengan penyelenggaraan administrasi
kependudukan.
D. Kerangka Teori dan Konseptual 1. Kerangka Teori
Kerangka teori adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari
hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya untuk mengadakan
identifikasi terhadap dimensi yang dianggap relevan oleh peneliti.1
1
Teori Harmonisasi
Kusnu Goesniadhie tidak saja memberikan arti dari istilah harmonis secara lebih
lengkap, yaitu keselarasan, kecocokan, keserasian, keseimbangan, tetapi juga
menentukan unsur-unsur pengertian harmonisasi dan pemaknaannya, antara lain
terdiri dari:2
a. Adanya hal-hal ketegangan yang berlebihan;
b. Menyelaraskan kedua rencana dengan menggunakan bagian masing-masing
agar membentuk sistem;
c. Proses atau upaya untuk merealisasi keselarasan, kesesuaian, keserasian,
kecocokan, dan keseimbangan;
d. Kerja sama antara berbagai faktor yang sedemikian rupa, hingga faktor-faktor
tersebut menghasilkan kesatuan yang luhur.
Makna harmonisasi menurut Kusnu Goesniadhie, sebagai upaya maupun sebagai
proses, yaitu sebagai upaya atau proses yang hendak mengatasi batasan-batasan
perbedaan, hal-hal yang bertentangan, dan kejanggalan. Upaya atau proses untuk
merealisasikan keselarasan, keserasian, kecocokan dan keseimbangan, antara
berbagai faktor yang sedemikian rupa hingga faktor-faktor tersebut menghasilkan
kesatuan atau membentuk satu keseluruhan yang luhur sebagai bagian dari
sistem.3 Jadi istilah harmonisasi dapat diartikan sebagai proses atau upaya untuk
menyelaraskan, menyerasikan, atau menyesuaikan sesuatu yang dianggap tidak
atau kurang sesuai, kurang atau tidak pantas atau tidak serasi, sehingga
menghasilkan sesuatu yang baik atau harmonis di berbagai hal.
2
Goesniadhie S., Kusnu, Harmonisasi Hukum Dalam Perspektif Perundang-undangan, Lex Specialis Suatu Masalah, JPBooks, Surabaya, 2006., hlm. 62.
Teori Otonomi Daerah
Otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, prinsip otonomi daerah
menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya, dalam arti daerah diberikan
kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang
menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Daerah
memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberikan pelayanan,
peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan
pada peningkatan kesejahteraan rakyat.4
Teori Kewenangan
a. Asas Legalitas
Menurut Ridwan HR, asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang
dijadikan sebagai dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan
kenegaraan disetiap negara hukum terutama bagi negara-negara hukum dalam
sistem kontinental.5
b. Kewenangan
Menurut Bagir Manan, wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan
kekuasaan. Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak
4
J. Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hlm 72
5
berbuat. Dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban.
Dalam kaitan dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian kekuasaan
untuk mengatur sendiri dan mengelola sendiri, sedangkan kewajiban secara
horizontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan
sebagaimana mestinya. Vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan
pemerintahan dalam satu tertib ikatan pemerintahan negara secara
keseluruhan.6
Menurut Ateng Syafrudin, unsur-unsur yang tercantum dalam kewenangan,
meliputi:
1. Adanya kekuasaan formal;
2. Kekuasaan diberikan oleh Undang-Undang.7
Wewenang pemerintah berasal dari peraturan perundang-undangan yang diperoleh
melalui tiga cara yaitu; atribusi, delegasi, dan mandat. Pada delegasi terjadilah
pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh badan atau jabatan Tata Usaha
Negara yang telah memperoleh wewenang pemerintahan secara atributif kepada
badan atau jabatan Tata Usaha Negara lainnya. Jadi suatu delegasi selalu
didahului oleh adanya suatu atribusi wewenang.8
Mengenai atribusi, delegasi dan mandat H.D. Van Wijk/Willem Konijnenbelt
memberikan definisi sebagai berikut:9
6
Ridwan HR, op.cit., hlm 100
7
Ateng Syafrudin, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV, Bandung: Universitas Parahyangan, 2000, hlm 22
8
Ridwan HR, op.cit, hlm 101
9
- Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat Undang-Undang kepada pemerintahan.
- Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya.
- Mandat adalah terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya.
Berdasarkan kerangka teori sebagaimana dijelaskan di atas, maka alur pikir
penelitian ini dapat dilihat dalam bagan 1, sebagai berikut:
Bagan 1. Alur Pikir Penelitian
Admininstrasi Kependudukan
UU No. 23 Tahun 2006 UU No. 32 Tahun 2004
Isu Hukum
Pengaturan
Peraturan Daerah
Kewenangan
Prosedur
Substansi
Penyelenggaraan administrasi kependudukan
Berdasarkan bagan 1 tersebut dapat dijelaskan bahwa, pengaturan administrasi
kependudukan dapat diselenggarakan dengan baik bila berpegang teguh pada
aturan hukum yang mengaturnya, sehingga dapat terjalin keharmonisan antara
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2006.
2. Konseptual
Menurut Soerjono Soekanto, kerangka konseptual merupakan kerangka yang
menggambarkan hubungan antar konsep-konsep khusus yang merupakan
kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang diinginkan atau
diteliti.10
a. Harmonisasi adalah upaya maupun sebagai proses, yaitu sebagai upaya atau
proses yang hendak mengatasi batasan-batasan perbedaan, hal-hal yang
bertentangan, dan kejanggalan.11
b. Pengaturan adalah proses, cara, perbuatan mengatur.12
c. Penyelenggara adalah Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab dan berwenang dalam urusan
administrasi kependudukan. (Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan)
e. Administrasi dalam arti luas merupakan proses kerjasama beberapa individu
dengan cara yang efisien dalam mencapai tujuan sebelumnya.13
10
Soerjono Soekanto, Penelitian hukum normative suatu tinjauan singkat, Rajawali, Jakarta, 1985, hlm 32
11
Kusnu Goesniadhie, Op.Cit, 2006, hlm. 62
12
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi KEdua, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Balai Pustaka, Jakarta, 1994.
13
f. Administrasi kependudukan adalah rangkaian kegiatan penataan dan
penertiban dalam penerbitan dokumen dan data kependudukan melalui
pendaftaran penduduk, pencatatan sipil, pengelolaan informasi administrasi
kependudukan serta pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan publik dan
pembangunan sektor lain. (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Penyelenggaraan Pemerintah Daerah
Pengertian “otonomi daerah” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
berarti bahwa hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.15 Pengertian ini ternyata tidak berbeda dengan Pasal 1 huruf c UU
No. 32 Tahun 2004: “otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban
daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Pengertian itu tidak terlepas dari
pengertian otonomi yang dalam konteks politik dan pemerintahan mengandung
makna pemerintahan sendiri. Kata “otonomi” berasal dari kata “otonom” yang
mempunyai dua pengertian. Pertama, berdiri sendiri; dengan pemerintah sendiri;
dan daerah otonom. Kedua, kelompok sosial yang memiliki hak dan kekuasaan
menentukan arah tindakannya sendiri.16
R.D.H. Koesomahatmadja berpendapat bahwa dengan diberikannya “hak dan
kekuasaan” perundangan dan pemerintahan kepada daerah otonom seperti
Provinsi dan Kabupaten/Kota, maka daerah tersebut dengan inisiatifnya sendiri
dapat mengurus rumah tangga daerahnya. Untuk mengurus rumah tangga daerah
15
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2001, hlm 805
16Ibid
tersebut dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: Pertama, membuat
produk-produk hukum daerah yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
maupun perundang-undangan lainnya. Kedua, menyelenggarakan
kepentingan-kepentingan umum.17
Pengertian otonomi menurut UU No. 32 Tahun 2004 dibedakan dengan
pengertian desentralisasi. Karena pada pengertian otonomi mengandung unsur
“kewenangan untuk mengatur” atau dengan kata lain terkandung juga pengertian
kemandirian.
Mengacu pada definisi normatif dalam UU No. 32 Tahun 2004, maka unsur
otonomi daerah adalah :
1. Hak;
2. Wewenang;
3. Kewajiban daerah otonom.
Desentralisasi dalam Pasal 1 angka 7 UU No. 32 Tahun 2004 dijelaskan bahwa
penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonomi
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem NKRI.
Menurut Juli Panglima Siragih, terdapat perbedaan terhadap desentralisasi dan
otonomi daerah. Karena dalam desentralisasi harus ada pendistribusian wewenang
atau kekuasaan dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan
yang lebih rendah, sedangkan otonomi daerah berarti adanya kebebasan
menjalankan atau melaksanakan sesuatu oleh suatu unit politik atau bagian
17
wilayah/teritori dalam kaitannya dengan masyarakat politik atau negara. Dengan
desentralisasi maka akan berkurangnya sebagian atau seluruh wewenang pusat
karena diserahkan ke daerah, sedangkan daerah yang menerima penyerahan itu
bersifat otonom yaitu dapat menentukan caranya sendiri berdasarkan prakarsa
sendiri secara bebas.18
Koordinasi antara pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota, maka Pasal 2 ayat (1)
UU No. 32 Tahun 2004 mengatur bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia
dibagi atas daerah-daerah Provinsi dan daerah Provinsi dibagi atas Kabupaten dan
Kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah.” Kata “dibagi atas”
jelas menunjukkan antar tingkat pemerintahan itu sesungguhnya terdapat hierarki.
Penerapannya adalah pemerintah Provinsi mengawasi Kabupaten/Kota dengan
cara mengevaluasi peraturan daerah dan lain sebagainya.19
Salah satu kegiatan pemerintahan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah
adalah pelayanan pada bidang administrasi kependudukan. Penyelenggaraaan
kewenangan dan instansi pelaksana administrasi kependudukan Kabupaten/Kota
diatur dalam Pasal 14 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004, yang menyatakan bahwa
pelayanan kependudukan dan catatan sipil itu merupakan urusan wajib yang
menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk Kabupaten/Kota merupakan
urusan berskala Kabupaten/Kota. Yang dalam pelaksanaannya diatur lebih lanjut
dalam Pasal 7 ayat (2) huruf k PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
18
Juli Panglima Siragih, Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah Dalam otonomi, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003, hlm 40
19
Pemerintahan Antara Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota.
Tujuan otonomi daerah, berdasarkan Pasal 2 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004
adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing
daerah.
Prinsip otonomi daerah yang dianut oleh UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah adalah otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung
jawab. Dengan prinsip otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab, maka
memberikan kewenangan yang lebih banyak kepada daerah Kabupaten/Kota yang
didasarkan atas asas desentralisasi.
Kewenangan otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab sebagaimana dimaksud
dalam penjelasan umum UU No. 32 Tahun 2004 adalah:
a. Otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintah
yang mencakup kewenangan semua bidang kecuali kewenangan politik luar
negeri, pertahanan, keamanan, peradilan, moneter, fiskal, agama serta
kewenangan bidang lainnya, yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Di samping itu keleluasaan otonomi daerah mencakup pula kewenangan yang
utuh dan bulat dalam penyelenggaraan mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, pengadilan dan evaluasi.
b. Otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan
kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata dan diperlukan
c. Otonomi yang bertanggung jawab adalah merupakan perwujudan
pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan berkembang di
daerah.
Kewenangan yang diberikan kepada daerah dengan sistem yang luas didasarkan
pada satu pembagian yang berdasarkan pada tiga kriteria yaitu eksternalitas,
akuntabilitas, efisiensi.
Berdasarkan Pasal 11 UU No. 32 tahun 2004 disebutkan:
1) Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria
eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian
hubungan antar susunan pemerintahan.
2) Penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan pelaksanaan hubungan kewenangan antara Pemerintah dan
pemerintahan daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota atau antar pemerintahan.
Daerah yang saling terkait, tergantung, dan sinergis sebagai satu sistem
pemerintahan.
3) Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah, yang
diselenggarakan berdasarkan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan.
4) Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib yang berpedoman
pada standar pelayanan minimal dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan
Dengan sistem otonomi luas, UU No. 32 Tahun 2004 menentukan apa yang
menjadi kewenangan pusat, kewenangan provinsi, dan kewenangan daerah yang
diatur dalam Pasal 14 UU tersebut yang diterjemahkan kembali dalam PP No. 38
Tahun 2007.
Ditingkatan daerah sesuai Pasal 12 PP No. 38 Tahun 2007, dijelaskan bahwa:
1) Urusan pemerintahan wajib dan pilihan yang menjadi kewenangan
pemerintahan daerah sebagaimana dinyatakan dalam lampiran Peraturan
Pemerintah ini ditetapkan dalam peraturan daerah selambat-lambatnya 1
(satu) tahun setelah ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini.
2) Urusan pemerintahan wajib dan pilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menjadi dasar penyusunan susunan organisasi dan tata kerja perangkat
daerah.
Dua urusan dalam Perda kewenangan daerah adalah urusan wajib dan pilihan.
Berdasarkan Pasal 7 PP No. 38 Tahun 2007 yang dimaksud urusan wajib adalah
urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah
Provinsi dan pemerintahan daerah Kabupaten/Kota, berkaitan dengan pelayanan
dasar. Sedangkan yang dimaksud urusan pilihan adalah urusan pemerintahan yang
secara nyata dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai
dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
Salah satu yang menjadi urusan wajib bagi pemerintah adalah bidang administrasi
kependudukan dan catatan sipil. Sehingga mengimplikasikan dan merupakan
yang mengatur kewenangan untuk melakukan pelayanan di bidang
kependudukan.
B. Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Administrasi Kependudukan
Penduduk adalah Warga Negara Indonesia dan Orang Asing yang bertempat
tinggal di Indonesia, yang mana Warga Negara Indonesia adalah orang-orang
Bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan
Undang-Undang sebagai Warga Negara Indonesia. Sedangkan Orang Asing
adalah orang bukan Warga Negara Indonesia.
Kependudukan adalah hal ihwal yang berkaitan dengan jumlah, struktur,
umur, jenis kelamin, agama, kelahiran, perkawinan, kehamilan, kematian,
persebaran, mobilitas dan kualitas serta ketahanannya yang menyangkut
politik, ekonomi, sosial, dan budaya.20
Peristiwa Kependudukan, antara lain perubahan alamat, pindah datang untuk
menetap, tinggal terbatas, serta perubahan status orang asing tinggal terbatas
menjadi tinggal tetap dan peristiwa penting, antara lain kelahiran, lahir mati,
kematian, perkawinan, dan perceraian, termasuk pengangkatan, pengakuan, dan
pengesahan anak, serta perubahan status kewarganegaraan, ganti nama dan
peristiwa penting lainnya yang dialami oleh seseorang merupakan kejadian yang
harus dilaporkan karena membawa implikasi perubahan data identitas atau surat
keterangan kependudukan. Untuk itu, setiap peristiwa kependudukan dan
20
peristiwa penting memerlukan bukti yang sah untuk dilakukan pengadministrasian
dan pencatatan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang.
Dalam pemenuhan hak penduduk, terutama di bidang pencatatan sipil, masih
ditemukan penggolongan penduduk yang didasarkan pada perlakuan diskriminatif
yang membeda-bedakan suku, keturunan, dan agama sebagaimana diatur dalam
berbagai peraturan produk kolonial Belanda. Penggolongan penduduk dan
pelayanan diskriminatif yang demikian itu tidak sesuai dengan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kondisi tersebut
mengakibatkan pengadministrasian kependudukan mengalami kendala yang
mendasar sebab sumber data kependudukan belum terkoordinasi dan terintegrasi,
serta terbatasnya cakupan pelaporan yang belum terwujud dalam suatu sistem
administrasi kependudukan yang utuh dan optimal.
Administrasi kependudukan adalah rangkaian kegiatan penataan dan penertiban
dalam penerbitan dokumen dan data kependudukan melalui pendaftaran
penduduk, pencatatan sipil, pengelolaan informasi administrasi kependudukan
serta pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan publik dan pembangunan sektor
lain.
Berdasarkan penjelasan umum pada UU No. 23 Tahun 2006 penyelenggaraan
administrasi kependudukan bertujuan untuk:
1. Memberikan keabsahan identitas dan kepastian hukum atas dokumen
penduduk untuk setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang
2. Memberikan perlindungan status hak sipil penduduk;
3. Menyediakan data dan informasi kependudukan secara nasional mengenai
pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil pada berbagai tingkatan secara
akurat, lengkap, mutakhir, dan mudah diakses sehingga menjadi acuan bagi
perumusan kebijakan dan pembangunan pada umumnya;
4. Mewujudkan tertib administrasi kependudukan secara nasional dan terpadu;
dan
5. Menyediakan data penduduk yang menjadi rujukan dasar bagi sektor terkait
dalam penyelenggaraan setiap kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan
kemasyarakatan. Prinsip-prinsip tersebut di atas menjadi dasar terjaminnya
penyelenggaraan administrasi kependudukan sebagaimana yang dikehendaki
oleh Undang-Undang ini melalui penerapan Sistem Informasi Administrasi
Kependudukan.
Politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan
kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Dalam hal ini kebijakan tersebut dapat
berkaitan dengan pembentukan hukum, penerapan hukum dan penegakan hukum
tersebut dalam penyelenggaraan dan pelayanan administrasi kependudukan
ditingkat Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.
Hak dan kewajiban penduduk dalam administrasi kependudukan diatur dalam
Pasal 2 dan 3 UU No. 23 Tahun 2006, menyatakan bahwa, setiap penduduk
a. Dokumen kependudukan;
b. Pelayanan yang sama dalam pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil; c. Perlindungan atas data pribadi;
d. Kepastian hukum atas kepemilikan dokumen;
e. Informasi mengenai data hasil pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil atas dirinya dan/atau keluarganya; dan
f. Ganti rugi dan pemulihan nama baik sebagai akibat kesalahan dalam pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil serta penyalahgunaan data pribadi oleh instansi pelaksana.
Pasal 3 UU No. 23 Tahun 2006 menyatakan bahwa, setiap penduduk wajib
melaporkan peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialaminya
kepada instansi pelaksana dengan memenuhi persyaratan yang diperlukan dalam
pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil.
Berdasarkan hak dan kewajiban yang dimiliki setiap penduduk, maka pemerintah
berkewajiban untuk melakukan dan memberikan pelayanan kependudukan.
Penyelenggara yang berwenang membidangi administrasi kependudukan adalah
Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota yang
bertanggung jawab dan berwenang dalam urusan administrasi kependudukan.
Wewenang pemerintah berasal dari peraturan perundang-undangan yang diperoleh
melalui tiga cara yaitu; atribusi, delegasi, dan mandat. Pada delegasi terjadilah
pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh badan atau jabatan Tata Usaha
Negara yang telah memperoleh wewenang pemerintahan secara atributif kepada
badan atau jabatan Tata Usaha Negara lainnya. Jadi suatu delegasi selalu
didahului oleh adanya suatu atribusi wewenang.21
21
Mengenai atribusi, delegasi dan mandat H.D. Van Wijk/Willem Konijnenbelt
memberikan definisi sebagai berikut: 22
a. Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat Undang-Undang kepada pemerintahan.
b. Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya.
c. Mandat adalah terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya.
Berdasarkan teori yang telah dijelaskan tersebut, maka penyelenggaraan
administrasi kependudukan merupakan kewenangan pemerintah Kabupaten/Kota
yang merupakan kewenangan delegasi, yaitu pendelegasian dari UU No. 32
Tahun 2004 dan UU No. 23 Tahun 2006.
Karena penyelenggaraan administrasi kependudukan merupakan kewenangan
wajib yang menjadi urusan pemerintah daerah, maka wajib menyelenggarakan
pelayanan administrasi kependudukan. Dalam otonomi daerah pelayanan itu
didasarkan pada Standar Pelayanan Minimal, yang akan berorientasi pada
kepuasan masyarakat terhadap pelayanan yang diselenggarakan oleh pemerintah
daerah.
Baik buruknya pelayanan akan ditentukan oleh peraturan-peraturan yang akan
menjamin kepastian hukum dan keadilan dalam penyelenggaraan pelayanan
administrasi kependudukan.
Pelayanan administrasi kependudukan meliputi beberapa aspek sebagai berikut:
22
a. Pendaftaran penduduk yang meliputi pencatatan biodata penduduk,
pencatatan atas pelaporan peristiwa kependudukan dan pendataan penduduk
rentan administrasi kependudukan serta penerbitan dokumen kependudukan
berupa kartu identitas atau surat keterangan kependudukan.
b. Peristiwa kependudukan meliputi kejadian yang dialami penduduk yang harus
dilaporkan karena membawa akibat terhadap penerbitan atau perubahan kartu
keluarga, kartu tanda penduduk dan/atau surat keterangan kependudukan
lainnya meliputi pindah datang, perubahan alamat, serta status tinggal terbatas
menjadi tinggal tetap.
c. Peristiwa penting yang meliputi kejadian yang dialami oleh seseorang
meliputi kelahiran, kematian, lahir mati, perkawinan, perceraian, pengakuan
anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama dan perubahan
status kewarganegaraan.
d. Pencatatan sipil meliputi pencatatan peristiwa penting yang dialami oleh
seseorang dalam register pencatatan sipil pada instansi pelaksana.
Proses pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil tunduk pada 2 rezim hukum
yaitu UU No. 23 Tahun 2006 dan UU No. 32 Tahun 2004. Dalam pelaksanaan
dua rezim hukum tersebut perlu ada harmonisasi karena dalam pelaksanaan
pendaftaran penduduk di sebuah daerah khususnya disini adalah Kabupaten/Kota
serta Provinsi itu ada pembagian kewenangan sebagaimana diatur dalam PP No.
37 Tahun 2007 dan PP No. 38 Tahun 2007. Di lain pihak hal tersebut juga perlu
antara daerah satu dengan lainnya berbeda. Sehubungan dengan itu maka
pemerintah pusat menetapkan Standar Pelayanan Minimal (SPM).
C. Harmonisasi Pengaturan Hukum
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto menyimpulkan terdapat 9 (sembilan)
macam arti hukum, yaitu:23
a. Hukum sebagai ilmu pengetahuan, yaitu pengetahuan yang tersusun secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran;
b. Hukum sebagai disiplin, yaitu sistem ajaran tentang kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi;
c. Hukum sebagai kaidah, yaitu pedoman atau patokan sikap tindak atau perilaku yang pantas atau diharapkan;
d. Hukum sebagai tata hukum, yaitu struktur dan proses perangkat kaidah-kaidah hukum yang berlaku pada waktu dan tempat tertentu serta berbentuk tertulis;
e. Hukum sebagai petugas, yaitu pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yang berhubungan erat dengan penegak hukum (law enforcement officer); f. Hukum sebagai keputusan penguasa, yaitu hasil proses diskresi yang
menyangkut decision making not strictly governed by legal rules, but rather with a significant element of personal judgement. Dimaksud dengan diskresi menurut Roscoe Pound (1960) adalah an authority conferred by law to act in certain conditions or situations in according with an official’s or an
official agency’s own considered judgment and conscience. It as an idea of
morals, belonging to the twilight zone between law and morals;
g. Hukum sebagai proses pemerintah, yaitu proses hubungan timbal balik antara unsur-unsur pokok dari sistem kenegaraan;
h. Hukum sebagai sikap tindak atau perilaku, yaitu perilaku yang diulang-ulang dengan cara yang sama yang bertujuan untuk mencapai kedamaian; i. Hukum sebagai jalinan nilai-nilai, yaitu jalinan dari konsepsi abstrak
tentang apa yang dianggap baik dan buruk.
Menurut H. Muchsin unsur-unsur hukum terdiri dari, yaitu:24
a. Peraturan mengenai tingkah laku manusia; b. Peraturan itu dibuat oleh badan berwenang;
c. Peraturan itu bersifat memaksa, walaupun tidak dapat dipaksakan;
d. Peraturan itu disertai sanksi yang tegas dan dapat dirasakan oleh yang bersangkutan.
23
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum, Alumni, Bandung, hlm 10-11
24
Pengertian hukum sebagai tata aturan (order), yaitu suatu sistem aturan-aturan
(rules) tentang perilaku manusia. Dengan demikian hukum tidak menunjukkan
pada suatu aturan tunggal (rule), tetapi seperangkat aturan yang memiliki satu
kesatuan sehingga dipahami sebagai suatu sistem. Konsekuensinya tidak mungkin
memahami hukum jika hanya memperhatikan satu aturan saja. Tujuan dari sistem
hukum adalah mendorong manusia dengan teknik tertentu agar bertindak dengan
cara yang ditentukan dalam aturan, namun pernyataan bahwa “tata aturan
masyarakat tertentu yang memiliki karakter hukum adalah suatu tata hukum”.25
Sistem hukum dalam konteks harmonisasi hukum memiliki arti penting terutama
jika dilihat dari sudut kegunaan kajian. Pencermatan terhadap sistem hukum akan
mengantarkan pada pemahaman secara komprehensif segala sesuatu mengenai
tata hukum suatu negara. Pemahaman komprehensif tersebut, antara lain meliputi;
keadaan nyata budaya hukum yang tercermin dari perilaku hukum anggota
masyarakat, dapat diinventarisasi nilai-nilai yang hidup dan dipertahankan oleh
masyarakat, dengan demikian dalam membentuk kerangka hukum nasional akan
mudah dilakukan melalui harmonisasi hukum.26
Jadi sistem hukum nasional adalah sistem hukum yang tersusun secara hirarkhis
dan berintikan cita hukum Pancasila yang dioperasionalkan ke dalam kenyataan
melalui asas hukum nasional pada proses pembentukan hukum positif melalui
peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi.27 Dengan demikian,
25
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Translated by Anders Wedbeg, New York: Rusell and Rusell, 1996, hlm 4-5
26
I Gede A.B. Wiranata, Reorientasi Terhadap Tanah Sebagai Objek Investasi, Disertasi, Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2007, hlm 67
27
harmonisasi peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan
administrasi kependudukan merupakan bagian dari sistem hukum, pengkajiannya
ditujukan dalam kerangka pembangunan sistem hukum nasional, yaitu hukum
yang tersusun secara sistematis dan hirarkhi yang berintikan cita hukum Pancasila.
Istilah harmonisasi dalam kajian ini berasal dari kata harmoni (bahasa Yunani
harmonia), yaitu terikat secara serasi dan sesuai. Ditinjau dari aspek filsafat,
harmoni diartikan kerja sama antara berbagai faktor yang sedemikian rupa
sehingga faktor-faktor tersebut menghasilkan kesatuan yang luhur, misalnya
antara jasad seorang manusia hendaknya harus ada harmoni, kalau tidak belum
dapat disebut pribadi.28
Di sisi lain, istilah harmoni diartikan juga sebagai pola, seperti di bidang
sosiologi, yaitu usaha untuk mempertemukan berbagai pertentangan dalam
masyarakat, diterapkan dalam hubungan-hubungan sosial ekonomi untuk
menunjukkan pemikiran bahwa kebijakan sosial ekonomi yang paling sempurna
hanya dapat tercapai dengan meningkatkan permusyawaratan antara berbagai
anggota masyarakat, istilah ini disebut juga pola integrasi.29
Kusnu Goesniadhie tidak saja memberikan arti dari istilah harmonis secara lebih
lengkap, yaitu keselarasan, kecocokan, keserasian, keseimbangan, tetapi juga
menentukan unsur-unsur pengertian harmonisasi dan pemaknaannya, antara lain
terdiri dari:30
a. Adanya hal-hal ketegangan yang berlebihan;
28
Hassan Shaddly, dkk, Ensiklopedi Indonesia, Ichtisar Baru-Van Hoeve, Jakarta, hlm. 1262.
29Ibid. 30
b. Menyelaraskan kedua rencana dengan menggunakan bagian masing-masing
agar membentuk sistem;
c. Proses atau upaya untuk merealisasi keselarasan, kesesuaian, keserasian,
kecocokan, dan keseimbangan;
d. Kerja sama antara berbagai faktor yang sedemikian rupa, hingga faktor-faktor
tersebut menghasilkan kesatuan yang luhur.
Makna harmonisasi menurut Kusnu Goesniadhie, sebagai upaya maupun sebagai
proses, yaitu sebagai upaya atau proses yang hendak mengatasi batasan-batasan
perbedaan, hal-hal yang bertentangan, dan kejanggalan. Upaya atau proses untuk
merealisasikan keselarasan, keserasian, kecocokan dan keseimbangan, antara
berbagai faktor yang sedemikian rupa hingga faktor-faktor tersebut menghasilkan
kesatuan atau membentuk satu keseluruhan yang luhur sebagai bagian dari
sistem.31
Jadi istilah harmonisasi dapat diartikan sebagai proses atau upaya untuk
menyelaraskan, menyerasikan, atau menyesuaikan sesuatu yang dianggap tidak
atau kurang sesuai, kurang atau tidak pantas atau tidak serasi, sehingga
menghasilkan sesuatu yang baik atau harmonis di berbagai hal.
Oleh karena itu, yang dimaksud harmonisasi perundang-undangan adalah upaya
atau proses untuk merealisasi keselarasan dan keserasian asas dan sistem hukum
sehingga menghasilkan peraturan yang harmonis. Dengan kata lain
pengharmonisan merupakan upaya untuk menyelaraskan, menyesuaikan,
menetapkan dan membulatkan konsepsi suatu peraturan perundang-undangan lain
baik yang lebih tinggi (superior), sederajat, maupun yang lebih rendah (inferior)
dan lain-lain selain peraturan perundang-undangan, sehingga tersusun secara
sistematis, tidak saling bertentangan atau tumpang tindih (overlaping). Hal ini
merupakan konsekuensi dari adanya hirarki peraturan perundang-undangan.
Dengan dilakukan harmonisasi akan tergambar dengan jelas dalam pemikiran atau
pengertian bahwa suatu peraturan perundang-undangan merupakan bagian integral
yang utuh dari keseluruhan sistem peraturan perundang-undangan.
Pengertian harmonisasi hukum, sering pula diidentikkan dengan pengertian
sinkronisasi hukum. Sinkronisasi berasal dari kata sinkron yang berarti terjadi
atau berlaku pada waktu yang sama secara serentak, sedangkan sinkronisasi
diartikan sebagai “penyerentakan”, “keserentakan” atau “penyesuaian”. Secara
literal dikenal dengan istilah “koherensi”, “konsistensi” dan “comptabiliti”.
Pranqois Rigaux mendefinisikan coherence is a state of peace of the mind, of
logical mind which is disturbed when two competing concept or rules or two
different meaning of the same concepts are conflicting.32
Menurut Josef M. Monteiro koherensi adalah ketenangan pikiran dari suatu
pikiran logis yang diganggu oleh dua konsep atau dua aturan atau dua makna dari
konsep yang sama berbenturan (bertentangan), namun demikian, terdapat
perbedaan pendapat mengenai koherensi dan konsistensi dalam sistem hukum.
Jika koherensi diibaratkan sebagai himpunan ketetapan maka konsistensi
merupakan suatu kondisi yang penting bagi koherensi dan sistem hukum yang
koheren juga merupakan suatu sistem yang konsisten. Hal ini disebabkan tuntutan
32
sifat sistematik dari aturan hukum menjadi konsisten sebagai kondisi yang
diperlukan koherensi.33
Pengertian antara harmonisasi dan sinkronisasi, secara hakiki terdapat perbedaan.
Pengertian harmonisasi lebih luas dari pengertian sinkronisasi. Sinkronisasi hanya
merupakan bagian dari kegiatan harmonisasi hukum. Dalam harmonisasi terdapat
berbagai elemen yang didalamnya terkandung koheransi, konsistensi dan
korespondensi, masing-masing elemen ini dalam teori menjadi dasar untuk
mengungkapkan sesuatu adanya hubungan harmonis satu sama lain.34
33
Josef M. Monteiro, Sinkronisasi Pengaturan Kewenangan Pengelolaan Sumber Daya Alam Kelautan, Jurnal Hukum Pro Justitia, April 2008, Volume 26 No. 2, hlm. 135.
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah secara yuridis normatif
dan yuridis empiris.
Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan cara mempelajari buku-buku,
bahan-bahan bacaan literatur peraturan perundang-undangan yang menunjang dan
sebagai penelaahan hukum terhadap kaidah yang dianggap sesuai dengan
penelitian hukum tertulis. Penelitian normatif dilakukan terhadap hal-hal bersifat
teoritis peraturan hukum, dasar hukum dan konsep-konsep hukum.
Pendekatan yuridis empiris adalah menelaah hukum terhadap objek penelitian
sebagai pola perilaku yang nyata dalam masyarakat yang ditujukan kepada
penerapan hukum yang berkaitan dengan harmonisasi pengaturan
penyelenggaraan administrasi kependudukan di Kota Bandar Lampung.
B. Sumber Data
Sumber data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data lapangan dan
data kumulatif. Sedangkan jenis data meliputi:
1. Data Primer adalah data yang diperoleh langsung dari objek penelitian
ini yang dilakukan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Bandar
Lampung.
2. Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan terhadap
bahan-bahan hukum yang terdiri dari:
a. Bahan hukum primer yaitu antara lain:
1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan.
2) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
3) Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang No. 23 Tahun 2006.
4) Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara Pemerintahan Daerah Provinsi dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
5) Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung No. 3 Tahun 2008 tentang
Struktur Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kota Bandar
Lampung.
6) Peraturan Walikota Bandar Lampung No. 9 Tahun 2008 tentang
Tugas, Fungsi, dan Tata Kerja Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil Kota Bandar Lampung.
b. Bahan hukum sekunder yaitu meliputi buku-buku, literatur dan
karya ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan.
c. Bahan hukum tersier antara lain meliputi surat kabar, Kamus Besar
C. Penentuan Populasi dan Sampel
Populasi adalah keseluruhan dari objek pengamatan atau objek penelitian.34 Dalam
hubungannya dengan penelitian ini, maka dalam populasi yang diambil adalah
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Bandar Lampung.
Dari populasi tersebut ditentukan sampel yang akan diteliti dengan menggunakan
purposive sampling, yaitu sampel yang disesuaikan dengan tujuan yang ingin
dicapai dan dianggap telah mewakili terhadap permasalahan yang hendak
digambarkan dan dicapai. Responden yang akan dijadikan sampel sejumlah 1
(satu) orang penduduk Kota Bandar Lampung.
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
1. Prosedur Pengumpulan Data
Dalam pelaksanaan pengumpulan data digunakan cara dengan studi kepustakaan
dan studi lapangan, yaitu sebagai berikut:
a. Studi Pustaka
Studi pustaka digunakan untuk memperoleh data sekunder melalui
serangkaian studi kepustakaan dengan cara membaca, menelaah, mencatat
dan mengutip buku-buku dan beberapa ketentuan-ketentuan serta literatur lain
yang berhubungan dengan pokok permasalahan yang akan diteliti atau
dibahas.
b. Studi Lapangan
Untuk memperoleh data primer, dilakukan dengan penelitian lapangan
dengan melakukan wawancara menggunakan daftar pertanyaan secara
34
terbuka sebagai pedoman terhadap pihak yang berhubungan dengan
permasalahan yang akan diteliti atau dibahas.
2. Prosedur Pengolahan Data
Dalam melaksanakan pengolahan data yang telah diperoleh maka penulis
melakukan kegiatan antara lain:
a. Seleksi, yaitu memeriksa kembali mengenai, kelengkapan, kejelasan dan
kebenaran data yang telah diterima serta relevasinya sebagai peneliti.
b. Klasifikasi, yaitu mengklasifikasikan jawaban para responden menurut
jenisnya. Klasifikasi ini dilakukan dengan kode tertentu agar memudahkan
dalam menganalisis data.
c. Sistematika, yaitu menyusun data sesuai dengan bidang telaah atau pokok
bahasan dengan makna memudahkan dalam menganalis data.
E. Analisis Data
Data yang telah diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif yaitu dilakukan
dengan menggambarkan data yang dihasilkan dalam bentuk uraian kalimat atau
penjelasan. Dari analisis data tersebut dilanjutkan dengan menarik kesimpulan
secara deduktif, yaitu suatu cara berfikir yang didasarkan pada fakta-fakta yang
bersifat umum, kemudian dilanjutkan dengan pengambilan kesimpulan yang
bersifat khusus yang merupakan jawaban dari permasalahan berdasarkan hasil
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Pengaturan administrasi kependudukan di Kota Bandar Lampung sudah
mengacu pada UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
yang pelaksanaannya diatur dalam PP No. 37 Tahun 2007 dan UU No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang pelaksanaannya diatur dalam
PP No. 38 Tahun 2007. Belum ada Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan
Walikota (Perwali) yang mengatur mengenai teknis penyelenggaraan
administrasi kependudukan yang ada hanya Perda Kota Bandar Lampung
No.3 Tahun 2008 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah
Kota Bandar Lampung dan Perwali No. 9 Tahun 2008 tentang Tugas, Fungsi,
dan Tata Kerja Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Bandar
Lampung.
2. Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan pada bidang pendaftaran
penduduk yang meliputi KK, KTP surat pindah, akta kelahiran dan akta
B. Saran
Berdasarkan dari hasil kesimpulan tersebut, diberikan saran yang ditujukan
kepada Pemerintah:
1. Pemerintah Daerah hendaknya membuat Peraturan Daerah yang mengatur
mengenai penyelenggaraan administrasi kependudukan di Kota Bandar
Lampung, yang memuat tentang persyaratan pembuatan dokumen
kependudukan, alur prosedur pembuatan dokumen kependudukan, serta
pemahaman akan pentingnya memiliki dokumen kependudukan.
2. Kepada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil sebagai Dinas yang
menerbitkan dokumen-dokumen kependudukan agar kiranya dapat
memberikan sosialisasi kepada penduduk Kota Bandar Lampung akan
pentingnya memiliki dokumen kependudukan seperti KK, KTP dan Akta
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Dewi, Irra Chrisyanti. 2011. Pengantar Ilmu Administrasi, PT Prestasi Pustakaraya. Jakarta.
Djajaatmadja, Bambang Iriana. 2007. Harmonisasi Hukum Pengelolaan Sumber Daya Kelautan Dalam Rangka Desentralisasi. Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI. Jakarta.
Goesniadhie S., Kusnu, 2006. Harmonisasi Hukum Dalam Perspektif Perundang-undangan, Lex Specialis Suatu Masalah, JPBooks, Surabaya.
HR, Ridwan. 2013. Hukum Administrasi Negara. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Kaloh, DR J. 2007. Mencari Bentuk Otonomi Daerah. PT Rineka Cipta. Jakarta
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua. 1994. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Balai Pustaka. Jakarta.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga. 2001. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Balai Pustaka, Jakarta,
Kelsen, Hans. 1996. General Theory of Law and State. Translated by Anders Wedbeg. New York.
Koesomahatmadja, R.D.H. 1979. Pengantar Ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia. Penerbit Bina Cipta. Bandung.
Mantra, Ida Bagoes. 2000. Demografi Umum. Pustaka Pelajar. Jakarta.
Monteiro, Josef M. 2008. Sinkronisasi Pengaturan Kewenangan Pengelolaan Sumber Daya Alam Kelautan, Jurnal Hukum Pro Justitia.
Riaux, Franqois. 1992. The Meaning of Concept of Coherence in Law, Coherence and Conflict in Law, Seri Rechtsfilosofie Rechtstheori.
Sidharta, Bernard Arief. 1999. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum. Mandar Maju. Bandung.
Siragih, Juli Panglima. 2003. Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah Dalam Otonomi. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Soekanto, Soerjono. 1985. Penelitian Hukum Normative Suatu Tinjauan Singkat. Rajawali. Jakarta.
Syafrudin, Ateng. 2000. Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bertanggung Jawab. Jurnal Pro Justisia Edisi IV Universitas Parahyangan. Bandung.
Wiranata A.B, I Gede. 2007. Reorientasi Terhadap Tanah Sebagai Objek Investasi. Disertasi Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Yuswanto. 2012. Hukum Desentralisasi Keuangan. Penerbit Raja Grafindo Persada. Jakarta.
B. Undang-Undang dan Peraturan Lainnya
Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
Undang-Undang No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.23 Tahun 2006
Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung No.3 Tahun 2008 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kota Bandar Lampung