• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGATURAN DAN PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DI KOTA BANDAR LAMPUNG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGATURAN DAN PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DI KOTA BANDAR LAMPUNG"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

PENGATURAN DAN PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

DI KOTA BANDAR LAMPUNG

Oleh :

RESIANA ARTIARA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Hukum

Pada

Bagian Hukum Kenegaraan Fakultas Hukum Universitas Lampung

PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

PENGATURAN DAN PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

DI KOTA BANDAR LAMPUNG

Resiana Artiara ABSTRAK

Administrasi Kependudukan di Indonesia menjadi salah satu hal yang sangat penting dalam pembangunan. Meningkatnya jumlah penduduk setiap tahun membuat pemerintah harus lebih teliti memberikan pelayanan Administrasi Kependudukan. Pertumbuhan penduduk yang sedemikian cepat dan pesat menimbulkan beragam permasalahan baik di bidang ekonomi, sosial, politik dan pembangunan, serta kesejahteraan Bangsa Indonesia secara keseluruhan.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaturan dan penyelenggaraan administrasi kependudukan di Kota Bandar Lampung. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Data yang digunakan data primer dan sekunder, yang dikumpulkan melalui studi pustaka dan wawancara. Data tersebut diolah dengan cara seleksi, klasifikasi, dan sistematisasi kemudian dianalisis secara kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan administrasi kependudukan di Kota Bandar Lampung sudah mengacu pada UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang pelaksanaannya diatur dalam PP No. 37 Tahun 2007 dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang pelaksanaannya diatur dalam PP No. 38 Tahun 2007. Belum ada Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Walikota (Perwali) yang mengatur mengenai teknis penyelenggaraan administrasi kependudukan yang ada hanya Perda Kota Bandar Lampung No.3 Tahun 2008 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kota Bandar Lampung dan Perwali No. 9 Tahun 2008 tentang Tugas, Fungsi, dan Tata Kerja Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Bandar Lampung. Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan pada bidang pendaftaran penduduk yang meliputi KK, KTP surat pindah, akta kelahiran dan akta kematian sudah berjalan baik.

(3)
(4)
(5)
(6)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 10

C. Tujuan dan Kegunaan ... 10

D. Kerangka Teori dan Konseptual ... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penyelenggaraan Pemerintah Daerah ... 18

B. Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Penyelenggaran Pelayanan Administrasi Kependudukan ... 24

C. Harmonisasi Pengaturan Hukum... ... 30

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 36

B. Sumber Data ... 36

C. Penentuan Populasi dan Sampel ... 38

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 38

E. Analisis Data ... 39

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran umum Kependudukan di Kota Bandar Lampung ... 40

B. Pengaturan Administrasi Kependudukan Di Kota Bandar Lampung 45

(7)

B. Saran ... 80

(8)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Republik

Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pada hakikatnya berkewajiban memberikan

perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status hukum atas setiap

peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialami oleh penduduk

Indonesia yang berada di dalam dan/atau di luar Wilayah Negara Indonesia.

Administrasi Kependudukan di Indonesia menjadi salah satu hal yang sangat

penting dalam pembangunan. Meningkatnya jumlah penduduk setiap tahun

membuat pemerintah harus lebih teliti memberikan pelayanan Administrasi

Kependudukan. Pertumbuhan penduduk yang sedemikian cepat dan pesat

menimbulkan beragam permasalahan baik di bidang ekonomi, sosial, politik dan

pembangunan, serta kesejahteraan Bangsa Indonesia secara keseluruhan. Kondisi

demikian banyak menimbulkan permasalahan di bidang Administrasi

Kependudukan.

Administrasi Kependudukan merupakan serangkaian kegiatan penataan dan

penertiban dalam penertiban dokumen dan data kependudukan melalui

pendaftaran penduduk, pencatatan sipil, pengelolaan informasi penduduk serta

(9)

yang bermanfaat untuk memberikan kejelasan identitas dan status bagi penduduk

(individual dan kelompok), memberikan kepastian hukum, memberikan

perlindungan hukum dan kenyamanan bagi pemiliknya dan memberikan manfaat

bagi kepentingan administrasi serta pelayanan publik lainnya.

Administrasi Kependudukan diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006

tentang Administrasi Kependudukan, yang dalam pelaksanaannya diatur dalam

Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2006. Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2006 disebutkan bahwa, administrasi kependudukan adalah rangkaian kegiatan

penataan dan penertiban dalam penerbitan dokumen dan data kependudukan

melalui pendaftaran penduduk, pencatatan sipil, pengelolaan informasi

administrasi kependudukan serta pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan publik

dan pembangunan sektor lain.

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 menyatakan bahwa, setiap

penduduk wajib melaporkan peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang

dialaminya kepada Instansi Pelaksana dengan memenuhi persyaratan yang

diperlukan dalam pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil.

Berdasarkan hak dan kewajiban yang dimiliki setiap penduduk, maka pemerintah

berkewajiban untuk melakukan dan memberikan pelayanan kependudukan.

Pengaturan tentang kewajiban Pemerintah dalam penyelenggaraan administrasi

kependudukan terdapat dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006

(10)

Pemerintah berkewajiban dan bertanggungjawab menyelenggarakan administrasi

kependudukan secara nasional, yang dilakukan oleh Menteri dengan kewenangan

meliputi:

a. Koordinasi antar instansi dalam urusan administrasi kependudukan;

b. Penetapan sistem, pedoman, dan standar pelaksanaan administrasi kependudukan;

c. Sosialisasi administrasi kependudukan;

d. Pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan urusan administrasi kependudukan;

e. Pengelolaan dan penyajian data kependudukan berskala nasional; dan f. Pencetakan, penerbitan, dan distribusi blanko dokumen kependudukan.

Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 menyatakan bahwa;

Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban dan bertanggungjawab

menyelenggarakan urusan administrasi kependudukan, yang dilakukan oleh

Bupati/Walikota dengan kewenangan meliputi:

a. Koordinasi penyelenggaraan administrasi kependudukan;

b. Pembentukan instansi pelaksana yang tugas dan fungsinya di bidang administrasi kependudukan;

c. Pengaturan teknis penyelenggaraan administrasi kependudukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan;

d. Pembinaan dan sosialisasi penyelenggaraan administrasi kependudukan; e. Pelaksanaan kegiatan pelayanan masyarakat di bidang administrasi

kependudukan;

f. Penugasan kepada desa untuk menyelenggarakan sebagian urusan administrasi kependudukan berdasarkan asas tugas pembantuan;

g. Pengelolaan dan penyajian data kependudukan berskala Kabupaten/Kota; dan h. Koordinasi pengawasan atas penyelenggaraan administrasi kependudukan.

Pelayanan di bidang administrasi kependudukan meliputi pendataan

kependudukan dan catatan sipil yang menggunakan teknologi informasi dan

komunikasi pada mulanya dikenal dengan istilah Sistem Informasi Manajemen

Kependudukan (SIMDUK) ditahun 1996. Namun pada pelaksanaannya

(11)

mengelola data kependudukan. Berdasarkan hasil evaluasi terhadap SIMDUK,

maka Pemerintah Indonesia membuat Sistem Informasi Administrasi

Kependudukan (SIAK) sebagai sistem yang mengolah data kependudukan dan

catatan sipil di Indonesia. Kelebihan dari SIAK selain untuk mendata pendudukan

secara akurat tetapi juga dapat memberikan NIK yang secara otomatis dan tetap

untuk satu penduduk, sehingga dapat mengeliminasi terjadinya kepemilikan

identitas ganda.

Berdasarkan Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006, SIAK

adalah sistem informasi yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi

untuk memfasilitasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan ditingkat

penyelenggara dan instansi pelaksana sebagai satu kesatuan.

SIAK menjadi penting karena selalu bersentuhan dengan setiap aktivitas

kehidupan di Indonesia. Diantaranya adalah saat pemilu legislatif, pemilu

presiden, pemilu kepala daerah, mengurus surat kendaraan, mengurus

surat-surat tanah, dan lain sebagainya.

Tujuan dari SIAK berdasarkan penjelasan umum antara lain sebagai berikut:

1. Terselenggaranya administrasi kependudukan dalam skala nasional yang terpadu dan tertib;

2. Terselenggaranya administrasi kependudukan yang bersifat universal, permanen, wajib, dan berkelanjutan;

3. Terpenuhinya hak penduduk di bidang administrasi kependudukan dengan pelayanan yang profesional; dan

(12)

Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 menjelaskan dokumen

kependudukan adalah dokumen resmi yang diterbitkan oleh instansi pelaksana

yang mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti autentik yang dihasilkan dari

pelayanan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil. Yang dimaksud dengan

data kependudukan adalah data perseorangan dan/atau data agregat yang

terstruktur sebagai hasil dari kegiatan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil.

Dokumen Kependudukan dalam Pasal 59 (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2006 meliputi:

a. Biodata Penduduk;

b. Kartu Keluarga (KK);

c. Kartu Tanda Penduduk (KTP);

d. Surat keterangan kependudukan; dan

e. Akta Pencatatan Sipil.

Pada dokumen kependudukan terdapat data-data kependudukan yang terdiri dari

data perseorangan dan/atau data agregat penduduk. Pasal 58 (2) Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2006 menjelaskan bahwa data perseorangan meliputi; nomor

KK, NIK, nama lengkap, jenis kelamin, tempat lahir, golongan darah,

agama/kepercayaan, status perkawinan, status hubungan dalam keluarga, cacat

fisik dan/atau mental, pendidikan terakhir, jenis pekerjaan, NIK ibu kandung,

nama ibu kandung, NIK ayah, nama ayah, alamat sebelumnya, alamat sekarang,

kepemilikan akta kelahiran/surat kenal lahir, nomor akta kelahiran/nomor surat

kenal lahir, kepemilikan akta perkawinan/buku nikah, nomor akta

(13)

akta perceraian/surat cerai, tanggal perceraian. Sedangkan data agregrat meliputi

himpunan data perseorangan yang berupa data kuantitatif dan data kualitatif.

Pendaftaran Penduduk dalam Pasal 1 angka 10 adalah pencatatan biodata

penduduk, pencatatan atas pelaporan peristiwa kependudukan dan pendataan

penduduk rentan administrasi kependudukan serta penerbitan dokumen

kependudukan berupa kartu identitas atau surat keterangan kependudukan.

Dokumen kependudukan dalam kaitannya dengan pendaftaran kependudukan

yaitu untuk dan/atau dalam hal proses pendaftaran kependudukan diperlukan

dokumen kependudukan.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan

memuat pengaturan dan pembentukan sistem yang rnencerminkan adanya

reformasi di bidang administrasi kependudukan. Salah satu hal penting adalah

pengaturan mengenai penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK).

Berdasarkan penjelasan umum yang dimaksud dengan NIK adalah nomor

identitas penduduk yang bersifat unik atau khas, tunggal dan melekat pada

seseorang yang terdaftar sebagai penduduk Indonesia. Setiap penduduk wajib

memiliki NIK. NIK berlaku seumur hidup dan selamanya, yang diberikan oleh

Pemerintah dan diterbitkan oleh instansi pelaksana kepada setiap penduduk

setelah dilakukan pencatatan biodata. NIK dicantumkan dalam setiap dokumen

kependudukan dan dijadikan dasar penerbitan paspor, surat izin mengemudi,

nomor pokok wajib pajak, polis asuransi, sertifikat hak atas tanah, dan penerbitan

(14)

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 menyatakan bahwa setiap

penduduk mempunyai hak untuk memperoleh:

a. Dokumen kependudukan;

b. Pelayanan yang sama dalam pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil; c. Perlindungan atas data pribadi;

d. Kepastian hukum atas kepemilikan dokumen;

e. Informasi mengenai data hasil pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil atas dirinya dan/atau keluarganya; dan

f. Ganti rugi dan pemulihan nama baik sebagai akibat kesalahan dalam pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil serta penyalahgunaan data pribadi oleh instansi pelaksana.

Pengaturan administrasi kependudukan hanya dapat terlaksana apabila didukung

oleh pelayanan yang professional dan peningkatan kesadaran penduduk, termasuk

Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri.

Pelayanan dalam bidang administrasi kependudukan bertujuan untuk memberikan

perlindungan, pengakuan, penentuan status pribadi dan status hukum setiap

peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialami oleh penduduk

Indonesia dan Warga Negara Indonesia yang berada diluar Wilayah Negara

Kesatuan Republik Indonesia, perlu dilakukan pengaturan tentang administrasi

kependudukan.

Pelaksanaan kewenangan penyelenggaraan ditingkat Kabupaten/Kota diatur

dalam Pasal 17 PP No. 37 Tahun 2007 sebagai berikut:

Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban dan bertanggung jawab

menyelenggarakan urusan administrasi kependudukan, yang dilakukan oleh

Bupati/Walikota dengan kewenangan meliputi:

a. Koordinasi penyelenggaraan administrasi kependudukan;

(15)

c. Pengaturan teknis penyelenggaraan administrasi kependudukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan;

d. Pembinaan dan sosialisasi penyelenggaraan administrasi kependudukan; e. Pelaksanaan kegiatan pelayanan masyarakat di bidang administrasi

kependudukan;

f. Penugasan kepada desa atau nama lain untuk menyelenggarakan sebagian urusan administrasi kependudukan berdasarkan asas tugas pembantuan; g. Pengelolaan dan penyajian data kependudukan berskala Kabupaten/Kota; dan h. Koordinasi pengawasan atas penyelenggaraan administrasi kependudukan.

Kewenangan penyelenggaran dan instansi pelaksana dalam konteks pelayanan

administrasi kependudukan di Kota Bandar Lampung, maka pemerintah yang

berkewajiban dan bertanggungjawab dalam menyelenggarakan urusan

administrasi kependudukan adalah Pemerintah Kabupaten/Kota yaitu

Bupati/Walikota dengan kewenangannya demikian berdasarkan Pasal 7 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tersebut.

Penyelenggaraaan kewenangan dan instansi pelaksana administrasi kependudukan

Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan pemerintah daerah maka dalam

pelaksanaannya, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tidak dapat dilepaskan

dari pemerintah daerah yang tunduk dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2004 tentang pemerintah daerah. Dimana dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004, dinyatakan bahwa pelayanan kependudukan dan catatan

sipil itu merupakan urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah

untuk Kabupaten/Kota merupakan urusan berskala Kabupaten/Kota yang dalam

pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam Pasal 7 ayat (2) huruf k PP No. 38

Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintahan

(16)

Dalam konteks otonomi daerah, maka administrasi kependudukan pelayanan yang

berkenaan dengan kependudukan itu menjadi kewenangan dari pemerintah daerah.

Dalam penyelenggaraan administrasi kependudukan yang dilaksanakan oleh

pemerintah daerah tunduk pada Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan dua rezim

hukum sektoral yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 yang

pelaksanaannya diatur dalam PP No. 37 Tahun 2007 dan rezim hukum pemerintah

daerah dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang pelaksanaannya diatur

dalam PP No. 38 Tahun 2007.

Berdasarkan uraian tersebut di atas terdapat dua aspek penting yang harus

diharmonisasikan antara Undang Nomor 23 Tahun 2006 dan

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, yaitu berkenaan dengan kewenangan dan standar

pelayanan dalam administrasi kependudukan, karena Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang saling berkaitan.

Maka, untuk melakukan harmonisasi dilakukan melalui peraturan daerah yang

mengatur aspek kewenangan, prosedur dan substansi.

Sebagaimana telah dijelaskan dalam lampiran PP No. 38 Tahun 2007 huruf J,

dimana kewenangan administrasi kependudukan terbagi dalam lima sub bidang

yang mengatur kewenangan administrasi kependudukan pada pemerintahan

ditingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota masing-masing memiliki kewenangan di

bidang administrasi kependudukan. Kelima sub bidang tersebut meliputi:

1. Pendaftaran penduduk;

2. Pencatatan sipil;

(17)

4. Perkembangan kependudukan;

5. Perencanaan kependudukan.

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik lebih lanjut untuk melakukan

penelitian tesis yang berjudul Pengaturan dan Penyelenggaraan Administrasi

Kependudukan di Kota Bandar Lampung.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang tersebut maka terdapat permasalahan sebagai berikut:

a. Bagaimanakah pengaturan administrasi kependudukan di Kota Bandar

Lampung?

b. Bagaimanakah penyelenggaraan administrasi kependudukan dalam rangka

mewujudkan tertib administrasi di Kota Bandar Lampung?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini mencakup pengaturan dan penyelenggaraan

administrasi kependudukan di Kota Bandar Lampung. Dimana dalam

penyelenggaraannya difokuskan pada sub bidang pendaftaran penduduk yang

meliputi KK, KTP dan surat pindah dan bidang pencatatan sipil yang meliputi

akta kelahiran dan akta kematian.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka dalam penelitian ini

(18)

a. Untuk menganalisis pengaturan administrasi kependudukan di Kota Bandar

Lampung.

b. Untuk menganalisis penyelenggaraan administrasi kependudukan dalam

rangka mewujudkan tertib administrasi di Kota Bandar Lampung.

2. Kegunaan Penelitian

Berdasarkan tujuan-tujuan yang hendak dicapai, maka penelitian ini diharapkan

akan memberikan manfaat sebagai berikut:

a. Manfaat Teoritis

Dapat memperkaya konsep atau teori yang menyokong perkembangan ilmu

pengetahuan dalam bidang Hukum Kenegaraan khususnya mengenai

penyelenggaraan administrasi kependudukan.

b. Manfaat Praktis

Dapat memberikan masukan dalam pengambilan keputusan pada aspek

pemerintahan Kota Bandar Lampung dan institusi lain dalam menentukan

kebijakan yang berkaitan dengan penyelenggaraan administrasi

kependudukan.

D. Kerangka Teori dan Konseptual 1. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari

hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya untuk mengadakan

identifikasi terhadap dimensi yang dianggap relevan oleh peneliti.1

1

(19)

Teori Harmonisasi

Kusnu Goesniadhie tidak saja memberikan arti dari istilah harmonis secara lebih

lengkap, yaitu keselarasan, kecocokan, keserasian, keseimbangan, tetapi juga

menentukan unsur-unsur pengertian harmonisasi dan pemaknaannya, antara lain

terdiri dari:2

a. Adanya hal-hal ketegangan yang berlebihan;

b. Menyelaraskan kedua rencana dengan menggunakan bagian masing-masing

agar membentuk sistem;

c. Proses atau upaya untuk merealisasi keselarasan, kesesuaian, keserasian,

kecocokan, dan keseimbangan;

d. Kerja sama antara berbagai faktor yang sedemikian rupa, hingga faktor-faktor

tersebut menghasilkan kesatuan yang luhur.

Makna harmonisasi menurut Kusnu Goesniadhie, sebagai upaya maupun sebagai

proses, yaitu sebagai upaya atau proses yang hendak mengatasi batasan-batasan

perbedaan, hal-hal yang bertentangan, dan kejanggalan. Upaya atau proses untuk

merealisasikan keselarasan, keserasian, kecocokan dan keseimbangan, antara

berbagai faktor yang sedemikian rupa hingga faktor-faktor tersebut menghasilkan

kesatuan atau membentuk satu keseluruhan yang luhur sebagai bagian dari

sistem.3 Jadi istilah harmonisasi dapat diartikan sebagai proses atau upaya untuk

menyelaraskan, menyerasikan, atau menyesuaikan sesuatu yang dianggap tidak

atau kurang sesuai, kurang atau tidak pantas atau tidak serasi, sehingga

menghasilkan sesuatu yang baik atau harmonis di berbagai hal.

2

Goesniadhie S., Kusnu, Harmonisasi Hukum Dalam Perspektif Perundang-undangan, Lex Specialis Suatu Masalah, JPBooks, Surabaya, 2006., hlm. 62.

(20)

Teori Otonomi Daerah

Otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang

Pemerintahan Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat

setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, prinsip otonomi daerah

menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya, dalam arti daerah diberikan

kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang

menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Daerah

memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberikan pelayanan,

peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan

pada peningkatan kesejahteraan rakyat.4

Teori Kewenangan

a. Asas Legalitas

Menurut Ridwan HR, asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang

dijadikan sebagai dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan

kenegaraan disetiap negara hukum terutama bagi negara-negara hukum dalam

sistem kontinental.5

b. Kewenangan

Menurut Bagir Manan, wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan

kekuasaan. Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak

4

J. Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hlm 72

5

(21)

berbuat. Dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban.

Dalam kaitan dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian kekuasaan

untuk mengatur sendiri dan mengelola sendiri, sedangkan kewajiban secara

horizontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan

sebagaimana mestinya. Vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan

pemerintahan dalam satu tertib ikatan pemerintahan negara secara

keseluruhan.6

Menurut Ateng Syafrudin, unsur-unsur yang tercantum dalam kewenangan,

meliputi:

1. Adanya kekuasaan formal;

2. Kekuasaan diberikan oleh Undang-Undang.7

Wewenang pemerintah berasal dari peraturan perundang-undangan yang diperoleh

melalui tiga cara yaitu; atribusi, delegasi, dan mandat. Pada delegasi terjadilah

pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh badan atau jabatan Tata Usaha

Negara yang telah memperoleh wewenang pemerintahan secara atributif kepada

badan atau jabatan Tata Usaha Negara lainnya. Jadi suatu delegasi selalu

didahului oleh adanya suatu atribusi wewenang.8

Mengenai atribusi, delegasi dan mandat H.D. Van Wijk/Willem Konijnenbelt

memberikan definisi sebagai berikut:9

6

Ridwan HR, op.cit., hlm 100

7

Ateng Syafrudin, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV, Bandung: Universitas Parahyangan, 2000, hlm 22

8

Ridwan HR, op.cit, hlm 101

9

(22)

- Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat Undang-Undang kepada pemerintahan.

- Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya.

- Mandat adalah terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya.

Berdasarkan kerangka teori sebagaimana dijelaskan di atas, maka alur pikir

penelitian ini dapat dilihat dalam bagan 1, sebagai berikut:

Bagan 1. Alur Pikir Penelitian

Admininstrasi Kependudukan

UU No. 23 Tahun 2006 UU No. 32 Tahun 2004

Isu Hukum

Pengaturan

Peraturan Daerah

Kewenangan

Prosedur

Substansi

Penyelenggaraan administrasi kependudukan

(23)

Berdasarkan bagan 1 tersebut dapat dijelaskan bahwa, pengaturan administrasi

kependudukan dapat diselenggarakan dengan baik bila berpegang teguh pada

aturan hukum yang mengaturnya, sehingga dapat terjalin keharmonisan antara

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2006.

2. Konseptual

Menurut Soerjono Soekanto, kerangka konseptual merupakan kerangka yang

menggambarkan hubungan antar konsep-konsep khusus yang merupakan

kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang diinginkan atau

diteliti.10

a. Harmonisasi adalah upaya maupun sebagai proses, yaitu sebagai upaya atau

proses yang hendak mengatasi batasan-batasan perbedaan, hal-hal yang

bertentangan, dan kejanggalan.11

b. Pengaturan adalah proses, cara, perbuatan mengatur.12

c. Penyelenggara adalah Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah

Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab dan berwenang dalam urusan

administrasi kependudukan. (Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan)

e. Administrasi dalam arti luas merupakan proses kerjasama beberapa individu

dengan cara yang efisien dalam mencapai tujuan sebelumnya.13

10

Soerjono Soekanto, Penelitian hukum normative suatu tinjauan singkat, Rajawali, Jakarta, 1985, hlm 32

11

Kusnu Goesniadhie, Op.Cit, 2006, hlm. 62

12

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi KEdua, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Balai Pustaka, Jakarta, 1994.

13

(24)

f. Administrasi kependudukan adalah rangkaian kegiatan penataan dan

penertiban dalam penerbitan dokumen dan data kependudukan melalui

pendaftaran penduduk, pencatatan sipil, pengelolaan informasi administrasi

kependudukan serta pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan publik dan

pembangunan sektor lain. (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun

(25)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Penyelenggaraan Pemerintah Daerah

Pengertian “otonomi daerah” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

berarti bahwa hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan

mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku.15 Pengertian ini ternyata tidak berbeda dengan Pasal 1 huruf c UU

No. 32 Tahun 2004: “otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban

daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Pengertian itu tidak terlepas dari

pengertian otonomi yang dalam konteks politik dan pemerintahan mengandung

makna pemerintahan sendiri. Kata “otonomi” berasal dari kata “otonom” yang

mempunyai dua pengertian. Pertama, berdiri sendiri; dengan pemerintah sendiri;

dan daerah otonom. Kedua, kelompok sosial yang memiliki hak dan kekuasaan

menentukan arah tindakannya sendiri.16

R.D.H. Koesomahatmadja berpendapat bahwa dengan diberikannya “hak dan

kekuasaan” perundangan dan pemerintahan kepada daerah otonom seperti

Provinsi dan Kabupaten/Kota, maka daerah tersebut dengan inisiatifnya sendiri

dapat mengurus rumah tangga daerahnya. Untuk mengurus rumah tangga daerah

15

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2001, hlm 805

16Ibid

(26)

tersebut dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: Pertama, membuat

produk-produk hukum daerah yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar

maupun perundang-undangan lainnya. Kedua, menyelenggarakan

kepentingan-kepentingan umum.17

Pengertian otonomi menurut UU No. 32 Tahun 2004 dibedakan dengan

pengertian desentralisasi. Karena pada pengertian otonomi mengandung unsur

“kewenangan untuk mengatur” atau dengan kata lain terkandung juga pengertian

kemandirian.

Mengacu pada definisi normatif dalam UU No. 32 Tahun 2004, maka unsur

otonomi daerah adalah :

1. Hak;

2. Wewenang;

3. Kewajiban daerah otonom.

Desentralisasi dalam Pasal 1 angka 7 UU No. 32 Tahun 2004 dijelaskan bahwa

penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonomi

untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem NKRI.

Menurut Juli Panglima Siragih, terdapat perbedaan terhadap desentralisasi dan

otonomi daerah. Karena dalam desentralisasi harus ada pendistribusian wewenang

atau kekuasaan dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan

yang lebih rendah, sedangkan otonomi daerah berarti adanya kebebasan

menjalankan atau melaksanakan sesuatu oleh suatu unit politik atau bagian

17

(27)

wilayah/teritori dalam kaitannya dengan masyarakat politik atau negara. Dengan

desentralisasi maka akan berkurangnya sebagian atau seluruh wewenang pusat

karena diserahkan ke daerah, sedangkan daerah yang menerima penyerahan itu

bersifat otonom yaitu dapat menentukan caranya sendiri berdasarkan prakarsa

sendiri secara bebas.18

Koordinasi antara pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota, maka Pasal 2 ayat (1)

UU No. 32 Tahun 2004 mengatur bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia

dibagi atas daerah-daerah Provinsi dan daerah Provinsi dibagi atas Kabupaten dan

Kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah.” Kata “dibagi atas”

jelas menunjukkan antar tingkat pemerintahan itu sesungguhnya terdapat hierarki.

Penerapannya adalah pemerintah Provinsi mengawasi Kabupaten/Kota dengan

cara mengevaluasi peraturan daerah dan lain sebagainya.19

Salah satu kegiatan pemerintahan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah

adalah pelayanan pada bidang administrasi kependudukan. Penyelenggaraaan

kewenangan dan instansi pelaksana administrasi kependudukan Kabupaten/Kota

diatur dalam Pasal 14 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004, yang menyatakan bahwa

pelayanan kependudukan dan catatan sipil itu merupakan urusan wajib yang

menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk Kabupaten/Kota merupakan

urusan berskala Kabupaten/Kota. Yang dalam pelaksanaannya diatur lebih lanjut

dalam Pasal 7 ayat (2) huruf k PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan

18

Juli Panglima Siragih, Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah Dalam otonomi, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003, hlm 40

19

(28)

Pemerintahan Antara Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah

Kabupaten/Kota.

Tujuan otonomi daerah, berdasarkan Pasal 2 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004

adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing

daerah.

Prinsip otonomi daerah yang dianut oleh UU No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah adalah otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung

jawab. Dengan prinsip otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab, maka

memberikan kewenangan yang lebih banyak kepada daerah Kabupaten/Kota yang

didasarkan atas asas desentralisasi.

Kewenangan otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab sebagaimana dimaksud

dalam penjelasan umum UU No. 32 Tahun 2004 adalah:

a. Otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintah

yang mencakup kewenangan semua bidang kecuali kewenangan politik luar

negeri, pertahanan, keamanan, peradilan, moneter, fiskal, agama serta

kewenangan bidang lainnya, yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

Di samping itu keleluasaan otonomi daerah mencakup pula kewenangan yang

utuh dan bulat dalam penyelenggaraan mulai dari perencanaan, pelaksanaan,

pengawasan, pengadilan dan evaluasi.

b. Otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan

kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata dan diperlukan

(29)

c. Otonomi yang bertanggung jawab adalah merupakan perwujudan

pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan berkembang di

daerah.

Kewenangan yang diberikan kepada daerah dengan sistem yang luas didasarkan

pada satu pembagian yang berdasarkan pada tiga kriteria yaitu eksternalitas,

akuntabilitas, efisiensi.

Berdasarkan Pasal 11 UU No. 32 tahun 2004 disebutkan:

1) Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria

eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian

hubungan antar susunan pemerintahan.

2) Penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

merupakan pelaksanaan hubungan kewenangan antara Pemerintah dan

pemerintahan daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota atau antar pemerintahan.

Daerah yang saling terkait, tergantung, dan sinergis sebagai satu sistem

pemerintahan.

3) Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah, yang

diselenggarakan berdasarkan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan.

4) Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib yang berpedoman

pada standar pelayanan minimal dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan

(30)

Dengan sistem otonomi luas, UU No. 32 Tahun 2004 menentukan apa yang

menjadi kewenangan pusat, kewenangan provinsi, dan kewenangan daerah yang

diatur dalam Pasal 14 UU tersebut yang diterjemahkan kembali dalam PP No. 38

Tahun 2007.

Ditingkatan daerah sesuai Pasal 12 PP No. 38 Tahun 2007, dijelaskan bahwa:

1) Urusan pemerintahan wajib dan pilihan yang menjadi kewenangan

pemerintahan daerah sebagaimana dinyatakan dalam lampiran Peraturan

Pemerintah ini ditetapkan dalam peraturan daerah selambat-lambatnya 1

(satu) tahun setelah ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini.

2) Urusan pemerintahan wajib dan pilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

menjadi dasar penyusunan susunan organisasi dan tata kerja perangkat

daerah.

Dua urusan dalam Perda kewenangan daerah adalah urusan wajib dan pilihan.

Berdasarkan Pasal 7 PP No. 38 Tahun 2007 yang dimaksud urusan wajib adalah

urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah

Provinsi dan pemerintahan daerah Kabupaten/Kota, berkaitan dengan pelayanan

dasar. Sedangkan yang dimaksud urusan pilihan adalah urusan pemerintahan yang

secara nyata dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai

dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.

Salah satu yang menjadi urusan wajib bagi pemerintah adalah bidang administrasi

kependudukan dan catatan sipil. Sehingga mengimplikasikan dan merupakan

(31)

yang mengatur kewenangan untuk melakukan pelayanan di bidang

kependudukan.

B. Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Administrasi Kependudukan

Penduduk adalah Warga Negara Indonesia dan Orang Asing yang bertempat

tinggal di Indonesia, yang mana Warga Negara Indonesia adalah orang-orang

Bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan

Undang-Undang sebagai Warga Negara Indonesia. Sedangkan Orang Asing

adalah orang bukan Warga Negara Indonesia.

Kependudukan adalah hal ihwal yang berkaitan dengan jumlah, struktur,

umur, jenis kelamin, agama, kelahiran, perkawinan, kehamilan, kematian,

persebaran, mobilitas dan kualitas serta ketahanannya yang menyangkut

politik, ekonomi, sosial, dan budaya.20

Peristiwa Kependudukan, antara lain perubahan alamat, pindah datang untuk

menetap, tinggal terbatas, serta perubahan status orang asing tinggal terbatas

menjadi tinggal tetap dan peristiwa penting, antara lain kelahiran, lahir mati,

kematian, perkawinan, dan perceraian, termasuk pengangkatan, pengakuan, dan

pengesahan anak, serta perubahan status kewarganegaraan, ganti nama dan

peristiwa penting lainnya yang dialami oleh seseorang merupakan kejadian yang

harus dilaporkan karena membawa implikasi perubahan data identitas atau surat

keterangan kependudukan. Untuk itu, setiap peristiwa kependudukan dan

20

(32)

peristiwa penting memerlukan bukti yang sah untuk dilakukan pengadministrasian

dan pencatatan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang.

Dalam pemenuhan hak penduduk, terutama di bidang pencatatan sipil, masih

ditemukan penggolongan penduduk yang didasarkan pada perlakuan diskriminatif

yang membeda-bedakan suku, keturunan, dan agama sebagaimana diatur dalam

berbagai peraturan produk kolonial Belanda. Penggolongan penduduk dan

pelayanan diskriminatif yang demikian itu tidak sesuai dengan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kondisi tersebut

mengakibatkan pengadministrasian kependudukan mengalami kendala yang

mendasar sebab sumber data kependudukan belum terkoordinasi dan terintegrasi,

serta terbatasnya cakupan pelaporan yang belum terwujud dalam suatu sistem

administrasi kependudukan yang utuh dan optimal.

Administrasi kependudukan adalah rangkaian kegiatan penataan dan penertiban

dalam penerbitan dokumen dan data kependudukan melalui pendaftaran

penduduk, pencatatan sipil, pengelolaan informasi administrasi kependudukan

serta pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan publik dan pembangunan sektor

lain.

Berdasarkan penjelasan umum pada UU No. 23 Tahun 2006 penyelenggaraan

administrasi kependudukan bertujuan untuk:

1. Memberikan keabsahan identitas dan kepastian hukum atas dokumen

penduduk untuk setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang

(33)

2. Memberikan perlindungan status hak sipil penduduk;

3. Menyediakan data dan informasi kependudukan secara nasional mengenai

pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil pada berbagai tingkatan secara

akurat, lengkap, mutakhir, dan mudah diakses sehingga menjadi acuan bagi

perumusan kebijakan dan pembangunan pada umumnya;

4. Mewujudkan tertib administrasi kependudukan secara nasional dan terpadu;

dan

5. Menyediakan data penduduk yang menjadi rujukan dasar bagi sektor terkait

dalam penyelenggaraan setiap kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan

kemasyarakatan. Prinsip-prinsip tersebut di atas menjadi dasar terjaminnya

penyelenggaraan administrasi kependudukan sebagaimana yang dikehendaki

oleh Undang-Undang ini melalui penerapan Sistem Informasi Administrasi

Kependudukan.

Politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan

kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Dalam hal ini kebijakan tersebut dapat

berkaitan dengan pembentukan hukum, penerapan hukum dan penegakan hukum

tersebut dalam penyelenggaraan dan pelayanan administrasi kependudukan

ditingkat Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.

Hak dan kewajiban penduduk dalam administrasi kependudukan diatur dalam

Pasal 2 dan 3 UU No. 23 Tahun 2006, menyatakan bahwa, setiap penduduk

(34)

a. Dokumen kependudukan;

b. Pelayanan yang sama dalam pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil; c. Perlindungan atas data pribadi;

d. Kepastian hukum atas kepemilikan dokumen;

e. Informasi mengenai data hasil pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil atas dirinya dan/atau keluarganya; dan

f. Ganti rugi dan pemulihan nama baik sebagai akibat kesalahan dalam pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil serta penyalahgunaan data pribadi oleh instansi pelaksana.

Pasal 3 UU No. 23 Tahun 2006 menyatakan bahwa, setiap penduduk wajib

melaporkan peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialaminya

kepada instansi pelaksana dengan memenuhi persyaratan yang diperlukan dalam

pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil.

Berdasarkan hak dan kewajiban yang dimiliki setiap penduduk, maka pemerintah

berkewajiban untuk melakukan dan memberikan pelayanan kependudukan.

Penyelenggara yang berwenang membidangi administrasi kependudukan adalah

Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota yang

bertanggung jawab dan berwenang dalam urusan administrasi kependudukan.

Wewenang pemerintah berasal dari peraturan perundang-undangan yang diperoleh

melalui tiga cara yaitu; atribusi, delegasi, dan mandat. Pada delegasi terjadilah

pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh badan atau jabatan Tata Usaha

Negara yang telah memperoleh wewenang pemerintahan secara atributif kepada

badan atau jabatan Tata Usaha Negara lainnya. Jadi suatu delegasi selalu

didahului oleh adanya suatu atribusi wewenang.21

21

(35)

Mengenai atribusi, delegasi dan mandat H.D. Van Wijk/Willem Konijnenbelt

memberikan definisi sebagai berikut: 22

a. Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat Undang-Undang kepada pemerintahan.

b. Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya.

c. Mandat adalah terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya.

Berdasarkan teori yang telah dijelaskan tersebut, maka penyelenggaraan

administrasi kependudukan merupakan kewenangan pemerintah Kabupaten/Kota

yang merupakan kewenangan delegasi, yaitu pendelegasian dari UU No. 32

Tahun 2004 dan UU No. 23 Tahun 2006.

Karena penyelenggaraan administrasi kependudukan merupakan kewenangan

wajib yang menjadi urusan pemerintah daerah, maka wajib menyelenggarakan

pelayanan administrasi kependudukan. Dalam otonomi daerah pelayanan itu

didasarkan pada Standar Pelayanan Minimal, yang akan berorientasi pada

kepuasan masyarakat terhadap pelayanan yang diselenggarakan oleh pemerintah

daerah.

Baik buruknya pelayanan akan ditentukan oleh peraturan-peraturan yang akan

menjamin kepastian hukum dan keadilan dalam penyelenggaraan pelayanan

administrasi kependudukan.

Pelayanan administrasi kependudukan meliputi beberapa aspek sebagai berikut:

22

(36)

a. Pendaftaran penduduk yang meliputi pencatatan biodata penduduk,

pencatatan atas pelaporan peristiwa kependudukan dan pendataan penduduk

rentan administrasi kependudukan serta penerbitan dokumen kependudukan

berupa kartu identitas atau surat keterangan kependudukan.

b. Peristiwa kependudukan meliputi kejadian yang dialami penduduk yang harus

dilaporkan karena membawa akibat terhadap penerbitan atau perubahan kartu

keluarga, kartu tanda penduduk dan/atau surat keterangan kependudukan

lainnya meliputi pindah datang, perubahan alamat, serta status tinggal terbatas

menjadi tinggal tetap.

c. Peristiwa penting yang meliputi kejadian yang dialami oleh seseorang

meliputi kelahiran, kematian, lahir mati, perkawinan, perceraian, pengakuan

anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama dan perubahan

status kewarganegaraan.

d. Pencatatan sipil meliputi pencatatan peristiwa penting yang dialami oleh

seseorang dalam register pencatatan sipil pada instansi pelaksana.

Proses pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil tunduk pada 2 rezim hukum

yaitu UU No. 23 Tahun 2006 dan UU No. 32 Tahun 2004. Dalam pelaksanaan

dua rezim hukum tersebut perlu ada harmonisasi karena dalam pelaksanaan

pendaftaran penduduk di sebuah daerah khususnya disini adalah Kabupaten/Kota

serta Provinsi itu ada pembagian kewenangan sebagaimana diatur dalam PP No.

37 Tahun 2007 dan PP No. 38 Tahun 2007. Di lain pihak hal tersebut juga perlu

(37)

antara daerah satu dengan lainnya berbeda. Sehubungan dengan itu maka

pemerintah pusat menetapkan Standar Pelayanan Minimal (SPM).

C. Harmonisasi Pengaturan Hukum

Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto menyimpulkan terdapat 9 (sembilan)

macam arti hukum, yaitu:23

a. Hukum sebagai ilmu pengetahuan, yaitu pengetahuan yang tersusun secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran;

b. Hukum sebagai disiplin, yaitu sistem ajaran tentang kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi;

c. Hukum sebagai kaidah, yaitu pedoman atau patokan sikap tindak atau perilaku yang pantas atau diharapkan;

d. Hukum sebagai tata hukum, yaitu struktur dan proses perangkat kaidah-kaidah hukum yang berlaku pada waktu dan tempat tertentu serta berbentuk tertulis;

e. Hukum sebagai petugas, yaitu pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yang berhubungan erat dengan penegak hukum (law enforcement officer); f. Hukum sebagai keputusan penguasa, yaitu hasil proses diskresi yang

menyangkut decision making not strictly governed by legal rules, but rather with a significant element of personal judgement. Dimaksud dengan diskresi menurut Roscoe Pound (1960) adalah an authority conferred by law to act in certain conditions or situations in according with an official’s or an

official agency’s own considered judgment and conscience. It as an idea of

morals, belonging to the twilight zone between law and morals;

g. Hukum sebagai proses pemerintah, yaitu proses hubungan timbal balik antara unsur-unsur pokok dari sistem kenegaraan;

h. Hukum sebagai sikap tindak atau perilaku, yaitu perilaku yang diulang-ulang dengan cara yang sama yang bertujuan untuk mencapai kedamaian; i. Hukum sebagai jalinan nilai-nilai, yaitu jalinan dari konsepsi abstrak

tentang apa yang dianggap baik dan buruk.

Menurut H. Muchsin unsur-unsur hukum terdiri dari, yaitu:24

a. Peraturan mengenai tingkah laku manusia; b. Peraturan itu dibuat oleh badan berwenang;

c. Peraturan itu bersifat memaksa, walaupun tidak dapat dipaksakan;

d. Peraturan itu disertai sanksi yang tegas dan dapat dirasakan oleh yang bersangkutan.

23

Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum, Alumni, Bandung, hlm 10-11

24

(38)

Pengertian hukum sebagai tata aturan (order), yaitu suatu sistem aturan-aturan

(rules) tentang perilaku manusia. Dengan demikian hukum tidak menunjukkan

pada suatu aturan tunggal (rule), tetapi seperangkat aturan yang memiliki satu

kesatuan sehingga dipahami sebagai suatu sistem. Konsekuensinya tidak mungkin

memahami hukum jika hanya memperhatikan satu aturan saja. Tujuan dari sistem

hukum adalah mendorong manusia dengan teknik tertentu agar bertindak dengan

cara yang ditentukan dalam aturan, namun pernyataan bahwa “tata aturan

masyarakat tertentu yang memiliki karakter hukum adalah suatu tata hukum”.25

Sistem hukum dalam konteks harmonisasi hukum memiliki arti penting terutama

jika dilihat dari sudut kegunaan kajian. Pencermatan terhadap sistem hukum akan

mengantarkan pada pemahaman secara komprehensif segala sesuatu mengenai

tata hukum suatu negara. Pemahaman komprehensif tersebut, antara lain meliputi;

keadaan nyata budaya hukum yang tercermin dari perilaku hukum anggota

masyarakat, dapat diinventarisasi nilai-nilai yang hidup dan dipertahankan oleh

masyarakat, dengan demikian dalam membentuk kerangka hukum nasional akan

mudah dilakukan melalui harmonisasi hukum.26

Jadi sistem hukum nasional adalah sistem hukum yang tersusun secara hirarkhis

dan berintikan cita hukum Pancasila yang dioperasionalkan ke dalam kenyataan

melalui asas hukum nasional pada proses pembentukan hukum positif melalui

peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi.27 Dengan demikian,

25

Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Translated by Anders Wedbeg, New York: Rusell and Rusell, 1996, hlm 4-5

26

I Gede A.B. Wiranata, Reorientasi Terhadap Tanah Sebagai Objek Investasi, Disertasi, Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2007, hlm 67

27

(39)

harmonisasi peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan

administrasi kependudukan merupakan bagian dari sistem hukum, pengkajiannya

ditujukan dalam kerangka pembangunan sistem hukum nasional, yaitu hukum

yang tersusun secara sistematis dan hirarkhi yang berintikan cita hukum Pancasila.

Istilah harmonisasi dalam kajian ini berasal dari kata harmoni (bahasa Yunani

harmonia), yaitu terikat secara serasi dan sesuai. Ditinjau dari aspek filsafat,

harmoni diartikan kerja sama antara berbagai faktor yang sedemikian rupa

sehingga faktor-faktor tersebut menghasilkan kesatuan yang luhur, misalnya

antara jasad seorang manusia hendaknya harus ada harmoni, kalau tidak belum

dapat disebut pribadi.28

Di sisi lain, istilah harmoni diartikan juga sebagai pola, seperti di bidang

sosiologi, yaitu usaha untuk mempertemukan berbagai pertentangan dalam

masyarakat, diterapkan dalam hubungan-hubungan sosial ekonomi untuk

menunjukkan pemikiran bahwa kebijakan sosial ekonomi yang paling sempurna

hanya dapat tercapai dengan meningkatkan permusyawaratan antara berbagai

anggota masyarakat, istilah ini disebut juga pola integrasi.29

Kusnu Goesniadhie tidak saja memberikan arti dari istilah harmonis secara lebih

lengkap, yaitu keselarasan, kecocokan, keserasian, keseimbangan, tetapi juga

menentukan unsur-unsur pengertian harmonisasi dan pemaknaannya, antara lain

terdiri dari:30

a. Adanya hal-hal ketegangan yang berlebihan;

28

Hassan Shaddly, dkk, Ensiklopedi Indonesia, Ichtisar Baru-Van Hoeve, Jakarta, hlm. 1262.

29Ibid. 30

(40)

b. Menyelaraskan kedua rencana dengan menggunakan bagian masing-masing

agar membentuk sistem;

c. Proses atau upaya untuk merealisasi keselarasan, kesesuaian, keserasian,

kecocokan, dan keseimbangan;

d. Kerja sama antara berbagai faktor yang sedemikian rupa, hingga faktor-faktor

tersebut menghasilkan kesatuan yang luhur.

Makna harmonisasi menurut Kusnu Goesniadhie, sebagai upaya maupun sebagai

proses, yaitu sebagai upaya atau proses yang hendak mengatasi batasan-batasan

perbedaan, hal-hal yang bertentangan, dan kejanggalan. Upaya atau proses untuk

merealisasikan keselarasan, keserasian, kecocokan dan keseimbangan, antara

berbagai faktor yang sedemikian rupa hingga faktor-faktor tersebut menghasilkan

kesatuan atau membentuk satu keseluruhan yang luhur sebagai bagian dari

sistem.31

Jadi istilah harmonisasi dapat diartikan sebagai proses atau upaya untuk

menyelaraskan, menyerasikan, atau menyesuaikan sesuatu yang dianggap tidak

atau kurang sesuai, kurang atau tidak pantas atau tidak serasi, sehingga

menghasilkan sesuatu yang baik atau harmonis di berbagai hal.

Oleh karena itu, yang dimaksud harmonisasi perundang-undangan adalah upaya

atau proses untuk merealisasi keselarasan dan keserasian asas dan sistem hukum

sehingga menghasilkan peraturan yang harmonis. Dengan kata lain

pengharmonisan merupakan upaya untuk menyelaraskan, menyesuaikan,

menetapkan dan membulatkan konsepsi suatu peraturan perundang-undangan lain

(41)

baik yang lebih tinggi (superior), sederajat, maupun yang lebih rendah (inferior)

dan lain-lain selain peraturan perundang-undangan, sehingga tersusun secara

sistematis, tidak saling bertentangan atau tumpang tindih (overlaping). Hal ini

merupakan konsekuensi dari adanya hirarki peraturan perundang-undangan.

Dengan dilakukan harmonisasi akan tergambar dengan jelas dalam pemikiran atau

pengertian bahwa suatu peraturan perundang-undangan merupakan bagian integral

yang utuh dari keseluruhan sistem peraturan perundang-undangan.

Pengertian harmonisasi hukum, sering pula diidentikkan dengan pengertian

sinkronisasi hukum. Sinkronisasi berasal dari kata sinkron yang berarti terjadi

atau berlaku pada waktu yang sama secara serentak, sedangkan sinkronisasi

diartikan sebagai “penyerentakan”, “keserentakan” atau “penyesuaian”. Secara

literal dikenal dengan istilah “koherensi”, “konsistensi” dan “comptabiliti”.

Pranqois Rigaux mendefinisikan coherence is a state of peace of the mind, of

logical mind which is disturbed when two competing concept or rules or two

different meaning of the same concepts are conflicting.32

Menurut Josef M. Monteiro koherensi adalah ketenangan pikiran dari suatu

pikiran logis yang diganggu oleh dua konsep atau dua aturan atau dua makna dari

konsep yang sama berbenturan (bertentangan), namun demikian, terdapat

perbedaan pendapat mengenai koherensi dan konsistensi dalam sistem hukum.

Jika koherensi diibaratkan sebagai himpunan ketetapan maka konsistensi

merupakan suatu kondisi yang penting bagi koherensi dan sistem hukum yang

koheren juga merupakan suatu sistem yang konsisten. Hal ini disebabkan tuntutan

32

(42)

sifat sistematik dari aturan hukum menjadi konsisten sebagai kondisi yang

diperlukan koherensi.33

Pengertian antara harmonisasi dan sinkronisasi, secara hakiki terdapat perbedaan.

Pengertian harmonisasi lebih luas dari pengertian sinkronisasi. Sinkronisasi hanya

merupakan bagian dari kegiatan harmonisasi hukum. Dalam harmonisasi terdapat

berbagai elemen yang didalamnya terkandung koheransi, konsistensi dan

korespondensi, masing-masing elemen ini dalam teori menjadi dasar untuk

mengungkapkan sesuatu adanya hubungan harmonis satu sama lain.34

33

Josef M. Monteiro, Sinkronisasi Pengaturan Kewenangan Pengelolaan Sumber Daya Alam Kelautan, Jurnal Hukum Pro Justitia, April 2008, Volume 26 No. 2, hlm. 135.

(43)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah secara yuridis normatif

dan yuridis empiris.

Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan cara mempelajari buku-buku,

bahan-bahan bacaan literatur peraturan perundang-undangan yang menunjang dan

sebagai penelaahan hukum terhadap kaidah yang dianggap sesuai dengan

penelitian hukum tertulis. Penelitian normatif dilakukan terhadap hal-hal bersifat

teoritis peraturan hukum, dasar hukum dan konsep-konsep hukum.

Pendekatan yuridis empiris adalah menelaah hukum terhadap objek penelitian

sebagai pola perilaku yang nyata dalam masyarakat yang ditujukan kepada

penerapan hukum yang berkaitan dengan harmonisasi pengaturan

penyelenggaraan administrasi kependudukan di Kota Bandar Lampung.

B. Sumber Data

Sumber data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data lapangan dan

data kumulatif. Sedangkan jenis data meliputi:

1. Data Primer adalah data yang diperoleh langsung dari objek penelitian

(44)

ini yang dilakukan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Bandar

Lampung.

2. Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan terhadap

bahan-bahan hukum yang terdiri dari:

a. Bahan hukum primer yaitu antara lain:

1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan.

2) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

3) Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan

Undang-Undang No. 23 Tahun 2006.

4) Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan

Pemerintahan Antara Pemerintahan Daerah Provinsi dan

Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.

5) Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung No. 3 Tahun 2008 tentang

Struktur Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kota Bandar

Lampung.

6) Peraturan Walikota Bandar Lampung No. 9 Tahun 2008 tentang

Tugas, Fungsi, dan Tata Kerja Dinas Kependudukan dan Catatan

Sipil Kota Bandar Lampung.

b. Bahan hukum sekunder yaitu meliputi buku-buku, literatur dan

karya ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan.

c. Bahan hukum tersier antara lain meliputi surat kabar, Kamus Besar

(45)

C. Penentuan Populasi dan Sampel

Populasi adalah keseluruhan dari objek pengamatan atau objek penelitian.34 Dalam

hubungannya dengan penelitian ini, maka dalam populasi yang diambil adalah

Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Bandar Lampung.

Dari populasi tersebut ditentukan sampel yang akan diteliti dengan menggunakan

purposive sampling, yaitu sampel yang disesuaikan dengan tujuan yang ingin

dicapai dan dianggap telah mewakili terhadap permasalahan yang hendak

digambarkan dan dicapai. Responden yang akan dijadikan sampel sejumlah 1

(satu) orang penduduk Kota Bandar Lampung.

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Dalam pelaksanaan pengumpulan data digunakan cara dengan studi kepustakaan

dan studi lapangan, yaitu sebagai berikut:

a. Studi Pustaka

Studi pustaka digunakan untuk memperoleh data sekunder melalui

serangkaian studi kepustakaan dengan cara membaca, menelaah, mencatat

dan mengutip buku-buku dan beberapa ketentuan-ketentuan serta literatur lain

yang berhubungan dengan pokok permasalahan yang akan diteliti atau

dibahas.

b. Studi Lapangan

Untuk memperoleh data primer, dilakukan dengan penelitian lapangan

dengan melakukan wawancara menggunakan daftar pertanyaan secara

34

(46)

terbuka sebagai pedoman terhadap pihak yang berhubungan dengan

permasalahan yang akan diteliti atau dibahas.

2. Prosedur Pengolahan Data

Dalam melaksanakan pengolahan data yang telah diperoleh maka penulis

melakukan kegiatan antara lain:

a. Seleksi, yaitu memeriksa kembali mengenai, kelengkapan, kejelasan dan

kebenaran data yang telah diterima serta relevasinya sebagai peneliti.

b. Klasifikasi, yaitu mengklasifikasikan jawaban para responden menurut

jenisnya. Klasifikasi ini dilakukan dengan kode tertentu agar memudahkan

dalam menganalisis data.

c. Sistematika, yaitu menyusun data sesuai dengan bidang telaah atau pokok

bahasan dengan makna memudahkan dalam menganalis data.

E. Analisis Data

Data yang telah diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif yaitu dilakukan

dengan menggambarkan data yang dihasilkan dalam bentuk uraian kalimat atau

penjelasan. Dari analisis data tersebut dilanjutkan dengan menarik kesimpulan

secara deduktif, yaitu suatu cara berfikir yang didasarkan pada fakta-fakta yang

bersifat umum, kemudian dilanjutkan dengan pengambilan kesimpulan yang

bersifat khusus yang merupakan jawaban dari permasalahan berdasarkan hasil

(47)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan sebagai

berikut:

1. Pengaturan administrasi kependudukan di Kota Bandar Lampung sudah

mengacu pada UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan

yang pelaksanaannya diatur dalam PP No. 37 Tahun 2007 dan UU No. 32

Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang pelaksanaannya diatur dalam

PP No. 38 Tahun 2007. Belum ada Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan

Walikota (Perwali) yang mengatur mengenai teknis penyelenggaraan

administrasi kependudukan yang ada hanya Perda Kota Bandar Lampung

No.3 Tahun 2008 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah

Kota Bandar Lampung dan Perwali No. 9 Tahun 2008 tentang Tugas, Fungsi,

dan Tata Kerja Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Bandar

Lampung.

2. Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan pada bidang pendaftaran

penduduk yang meliputi KK, KTP surat pindah, akta kelahiran dan akta

(48)

B. Saran

Berdasarkan dari hasil kesimpulan tersebut, diberikan saran yang ditujukan

kepada Pemerintah:

1. Pemerintah Daerah hendaknya membuat Peraturan Daerah yang mengatur

mengenai penyelenggaraan administrasi kependudukan di Kota Bandar

Lampung, yang memuat tentang persyaratan pembuatan dokumen

kependudukan, alur prosedur pembuatan dokumen kependudukan, serta

pemahaman akan pentingnya memiliki dokumen kependudukan.

2. Kepada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil sebagai Dinas yang

menerbitkan dokumen-dokumen kependudukan agar kiranya dapat

memberikan sosialisasi kepada penduduk Kota Bandar Lampung akan

pentingnya memiliki dokumen kependudukan seperti KK, KTP dan Akta

(49)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Dewi, Irra Chrisyanti. 2011. Pengantar Ilmu Administrasi, PT Prestasi Pustakaraya. Jakarta.

Djajaatmadja, Bambang Iriana. 2007. Harmonisasi Hukum Pengelolaan Sumber Daya Kelautan Dalam Rangka Desentralisasi. Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI. Jakarta.

Goesniadhie S., Kusnu, 2006. Harmonisasi Hukum Dalam Perspektif Perundang-undangan, Lex Specialis Suatu Masalah, JPBooks, Surabaya.

HR, Ridwan. 2013. Hukum Administrasi Negara. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Kaloh, DR J. 2007. Mencari Bentuk Otonomi Daerah. PT Rineka Cipta. Jakarta

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua. 1994. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Balai Pustaka. Jakarta.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga. 2001. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Balai Pustaka, Jakarta,

Kelsen, Hans. 1996. General Theory of Law and State. Translated by Anders Wedbeg. New York.

Koesomahatmadja, R.D.H. 1979. Pengantar Ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia. Penerbit Bina Cipta. Bandung.

Mantra, Ida Bagoes. 2000. Demografi Umum. Pustaka Pelajar. Jakarta.

Monteiro, Josef M. 2008. Sinkronisasi Pengaturan Kewenangan Pengelolaan Sumber Daya Alam Kelautan, Jurnal Hukum Pro Justitia.

(50)

Riaux, Franqois. 1992. The Meaning of Concept of Coherence in Law, Coherence and Conflict in Law, Seri Rechtsfilosofie Rechtstheori.

Sidharta, Bernard Arief. 1999. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum. Mandar Maju. Bandung.

Siragih, Juli Panglima. 2003. Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah Dalam Otonomi. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1985. Penelitian Hukum Normative Suatu Tinjauan Singkat. Rajawali. Jakarta.

Syafrudin, Ateng. 2000. Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bertanggung Jawab. Jurnal Pro Justisia Edisi IV Universitas Parahyangan. Bandung.

Wiranata A.B, I Gede. 2007. Reorientasi Terhadap Tanah Sebagai Objek Investasi. Disertasi Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Yuswanto. 2012. Hukum Desentralisasi Keuangan. Penerbit Raja Grafindo Persada. Jakarta.

B. Undang-Undang dan Peraturan Lainnya

Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah

Undang-Undang No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan

Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.23 Tahun 2006

Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.

Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung No.3 Tahun 2008 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kota Bandar Lampung

(51)

Referensi

Dokumen terkait

hakim tidak menemukan hukum dalam hukum tertulis untuk dasar pertimbangan maka hakim dapat melakukan penemuan hukum ( rechtsvinding ). Hasil analisis penulis dari 5 putusan

PEMBATALAN MEREK CAP KAKI TIGA DIKARENAKAN MENYERUPAI LAMBANG/SIMBOL/EMBLEM/MATA UANG SUATU NEGARA (Studi Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 582 K/PDT.Sus-HaKI/2013..

Adanya kecenderungan hasil tanaman pakchoy yang lebih baik pada kedua perlakuan bahan amelioran (pukan sapi dan tankos kelapa sawit) karena kedua bahan tersebut

Sistem Kredit Semester atau disingkat SKS adalah suatu sistem penyelenggaraan pendidikan dengan menggunakan satuan kredit semester atau disingkat SKS untuk

Menimbang, bahwa mengenai pertimbangan hukum bersifat Yuridis Formal (tidak menyangkut pokok perkara) Pengadilan Tinggi menilai putusan dalam eksepsi Hakim Tingkat

Beberapa penelitian yang telah dilakukan dalam tiga tahun terakhir antara lain Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Melalui Pendekatan Problem Based Learning Berbasis Kemandirian

Hasil penelitian menunjukkan kebermaknaan hidup subjek 1 didapatkannya setelah memiliki anak, subjek menjadi lebih bersemangat dalam hidup karena memiliki harapan untuk

Perlunya Metode Parsial POSPAC dalam penelitian ini adalah meningkatkan produktivitas total perusahaan yang berdasarkan dari aspek produksi, aspek organisasi, aspek