• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KRIMINOLOGIS TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN DENGAN ANAK DI DALAM RUMAH TANGGA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS KRIMINOLOGIS TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN DENGAN ANAK DI DALAM RUMAH TANGGA"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

ANALISIS KRIMINOLOGIS TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN DENGAN ANAK DI DALAM RUMAH TANGGA

Oleh Bernadeta

Kejahatan seksual merupakan suatu bentuk kejahatan yang sangat kejam yang terjadi pada anak, apalagi jika pelaku kejahatan seksual tersebut dilakukan oleh seorang ayah terhadap anak kandungnya sendiri yang pada hakikatnya ayah merupakan salah satu tempat berlindungnya seorang anak dari berbagai ancaman kejahatan apapun yang mengancamnya. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apa yang menjadi faktor penyebab dan bagaimana upaya penanggulangan

terhadap tindak pidana incest dengan korban anak.

Metode yang digunakan di dalam memecahkan permasalahan penelitian ini yaitu menggunakan pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Responden dalam penelitian ini ialah orang-orang yang dapat memberikan keterangan serta pendapat sesuai dengan fakta yang ada yaitu, Hakim pada Pengadilan Negeri Kalianda Lampung Selatan, Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Kalianda Lampung Selatan, Kasat Reskrim Polres Lampung Selatan, Psikolog pada Biro Psikologi Harmoni, Akademisi Hukum pada Universitas Lampung, Kepala Desa Sukapura Dusun Mukti Sari Kecamatan Sragi Lampung Selatan,

Pelaku tindak pidana incest, dan korban tindak pidana incest. Analisis terhadap

data yang diperoleh dilakukan dengan cara analisis deskriptif kualitatif.

(2)

Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Kuantitas dan kualitas incest menunjukkan suatu peningkatan yang mengkhawatirkan, maka sebaiknya dibuat suatu program pencegahan yang terarah dan terpadu untuk penanganan kasus-kasus kesusilaan

umumnya dan kasus incest khususnya, (2) Dalam proses persidangan lebih

diutamakan lagi perlindungan hukum bagi korban, karna dalam kenyataannya

masih banyak korban dari tindak pidana kesusilaan khususnya incest lebih

menderita lagi pada saat menjalani proses persidangan karna mendapatkan tekanan dari pertanyaan-pertanyaan yang cenderung memojokkan korban, (3) Diintensifkan lagi penyuluhan dan sosialisasi oleh aparat penegak hukum maupun pemerintah ke desa-desa agar dapat menambah pemahaman warga masyarakat akan dampak dari melakukan suatu tindak pidana.

(3)

ANALISIS KRIMINOLOGIS TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN DENGAN ANAK DI DALAM RUMAH TANGGA

Oleh

BERNADETA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)

ANALISIS KRIMINOLOGIS TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN DENGAN ANAK DI DALAM RUMAH TANGGA

(

Skripsi)

Oleh

Bernadeta

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)
(6)
(7)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah………. 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian………...7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian...8

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual………...9

E. Sistematika Penulisan………...14

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Kriminologi ...16

B. Tindak Pidana Kesusilaan………...19

C. Pengertian Persetubuhan Sedarah (Incest)………...23

D. Pengertian Anak………...25

E. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Kejahatan………....…...27

F. Upaya Penanggulangan Kejahatan………...29

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah...34

B. Sumber dan Jenis Data...35

C. Penentuan Responden………...36

D. Karakteristik Responden……….. 37

E. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data...39

(8)

Anak Di Dalam Rumah Tangga...41

B. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Anak Di

Dalam Rumah Tangga...50

V. PENUTUP

A. Simpulan...55

B. Saran...57

(9)

I.PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya

melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak juga memiliki

hak asasi manusia yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa di dunia. Anak

dalam masa pertumbuhan secara fisik dan mental membutuhkan perawatan,

perlindungan yang khusus, serta perlindungan hukum baik sebelum maupun

sesudah lahir.

Negara Republik Indonesia adalah Negara Hukum. Hal ini ditegaskan dalam

Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Norma ini bermakna bahwa di dalam Negara

Kesatuan Republik Indonesia, hukum merupakan urat nadi seluruh aspek

kehidupan. Hukum mempunyai posisi strategis dan dominan dalam kehidupan

masyarakat berbangsa dan bernegara.1 Keberadaan aturan baik yang bersifat

formal maupun non formal yang berlaku di masyarakat merupakan suatu

kebutuhan yang cukup mendasar. Karena adanya aturan yang melindungi

kepentingan-kepentingan individu maupun kelompok dari berbagai gangguan

akibat kejahatan yang dapat merugikan individu maupun kelompok dari

berbagai gangguan akibat kejahatan yang dapat merugikan individu maupun

kelompok tertentu.

1

(10)

Suatu kenyataan bahwa di dalam pergaulan hidup manusia, individu maupun

kelompok seringkali terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap

norma-norma perilaku terutama norma-norma hukum, dimana dalam pergaulan manusia

penyimpangan norma hukum ini disebut sebagai kejahatan. Sebagai perbuatan

yang menyimpang dari norma pergaulan dalam kehidupan bermasyarakat,

kejahatan adalah masalah sosial yang muncul di tengah-tengah masyarakat

dimana si pelaku dan korban masing-masing adalah anggota masyarakat juga.

Dewasa ini bangsa Indonesia banyak menghadapi berbagai macam bentuk

kejahatan seksual. Pelakunya tidak hanya laki-laki, akan tetapi tidak menutup

kemungkinan perempuan juga melakukan hal tersebut. Pelaku kejahatan

seksual juga tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa, namun juga dapat

dilakukan oleh anak-anak, begitu juga dengan para korbannya. Hal tersebut

tidak hanya terjadi kepada orang dewasa, melainkan kenyataan yang terlihat

sekarang bahwa sudah banyak anak-anak yang menjadi korban dari kejahatan

seksual yaitu baik laki-laki maupun perempuan. Meskipun pada umumnya

anak perempuan yang banyak menjadi korban dari kejahatan seksual yang

sudah sangat meresahkan ini.

Kejahatan seksual merupakan suatu bentuk kejahatan yang sangat kejam yang

terjadi pada anak, apalagi jika pelaku kejahatan seksual tersebut dilakukan

oleh seorang ayah terhadap anak kandungnya sendiri yang pada hakikatnya

ayah merupakan salah satu tempat berlindungnya seorang anak dari berbagai

(11)

Anak-anak membutuhkan perlindungan dan perawatan khusus termasuk

perlindungan hukum yang berbeda dari orang dewasa. Hal ini didasarkan pada

alasan fisik dan mental anak-anak yang belum dewasa. Anak perlu

mendapatkan suatu perlindungan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan

berkembang secara optimal baik fisik, mental, sosial dan berakhlak mulia.2

Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2002 Tentang Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18

(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Sedangkan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tidak

dujelaskan secara rinci mengenai masalah batasan anak, hanya menurut Pasal

45 dan Pasal 72 disebutkan batas usia orang yang belum dewasa adalah

sebelum umur 16 tahun.3

Adapun tujuan dari perlindungan anak yang diatur dalam Pasal 3

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yaitu bahwa :

“perlindungan anak bertujuan untuk menjamin sepenuhnya hak-hak anak

agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas berakhlak mulia dan sejahtera”.

Sebagai anggota masyarakat yang sadar akan hukum kita wajib membantu

aparat penegak hukum untuk mencegah dan mengatasi sebuah kejahatan,

terlebih kepada keluarga sendiri karna di dalam keluarga terdapat anak sebagai

sasaran kejahatan yang memiliki daya tarik tersendiri terhadap sebuah

kejahatan.

2

Komnas Ham. Anak-anak Indonesia Yang Teraniaya. Buletin Wacana, Edisi VII. 3

(12)

Masalah kejahatan merupakan bagian dari perubahan sosial dan bukan

termasuk hal yang baru di kehidupan modernisasi ini. Semakin banyaknya

jenis kejahatan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat menunjukkan bahwa

semakin banyak pula korban-korban berjatuhan dengan segala bentuk kerugian

dan penderitaan yang besar. Kerugian yang timbul dapat terjadi dalam

berbagai bentuk yaitu kerugian fisik dan nonfisik.4

Saat ini bentuk kejahatan yang sangat meresahkan masyarakat adalah

kejahatan incest (persetubuhan sedarah). Pada umumnya korban dari kejahatan

ini adalah anak-anak, tidak hanya perempuan melainkan anak laki-lakipun

tidak menutup kemungkinan untuk menjadi korban meskipun dalam

kenyataannya anak-anak perempuan yang banyak menjadi korban dari

kejahatan yang sangat keji ini. Kejahatan incest merupakan suatu kejahatan

seksual yang dilakukan oleh orang-orang yang dianggap sebagai pelindung

seperti ayah kandung, paman, kakek atau saudara. Banyaknya tindak kejahatan

incest yang terjadi di Negara ini yang sudah sangat meresahkan warga masyarakat. Salah satu diantara banyaknya kasus kejahatan ini adalah yang

terjadi di Desa Sukapura Kecamatan Sragi, Lampung Selatan.

Kasus atas nama terdakwa Wistomo Bin Suharjo, pada hari, tanggal dan bulan

yang sudah tidak dapat diingat secara pasti lagi antara Tahun 2007 sekira jam

23.20 WIB sampai dengan hari Selasa tanggal 10 April 2012 sekira jam 23.30

WIB atau setidak-tidaknya pada waktu dalam Tahun 2007 sampai dengan

bulan April 2012 bertempat di Desa Sukapura Kecamatan Sragi Kabupaten

Lampung Selatan atau setidak-tidaknya disuatu tempat tertentu yang masih

4

(13)

termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Kalianda, telah melakukan

beberapa perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa, sehingga harus

dipandang sebagai suatu perbuatan berlanjut yaitu dengan sengaja melakukan

tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak nya sendiri

melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Selama kurang

lebih 5 tahun terdakwa Wistomo bin Suharjo selalu memaksa anak

kandungnya atau yang disebut saksi korban untuk melakukan persetubuhan

dengannya. Jika saksi korban menolak atau berontak, terdakwa selalu

melakukan ancaman-ancaman yang membuat saksi korban merasa takut

sehingga saksi korban menuruti permintaan terdakwa. Selanjutnya kasus ini

terungkap pada hari Kamis tanggal 12 April 2012 saksi korban melaporkan

kejadian yang dialaminya ke Polsek Sragi sampai akhirnya terdakwa berhasil

ditangkap dan dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Perbuatan terdakwa

sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 81 ayat (2) UU RI Nomor

23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Kejahatan incest memiliki dampak yang tidak sederhana bagi korban, terlebih

kejahatan tersebut dilakukan oleh ayah kandung sendiri yang seharusnya

bertanggung jawab untuk menjaga, memelihara dan melindunginya dari

bentuk kejahatan apapun. Tekanan kekecewaan, konflik dan kekhawatiran

yang tidak teratasi, rasa takut yang berlebihan, panik, putus asa, perilaku yang

tidak terkendali, kecapaian psikis dan psichosis seperti tidak mengacuhkan

lingkungan sekitar, selalu dibayang-bayangi oleh hal-hal yang seolah-olah

mengancam dirinya serta timbul rasa depresi yang kuat pada diri korban.5

5

(14)

Kejahatan incest ini membuat suatu pemikiran tentang sejauh mana fungsi keluarga bagi kelangsungan hidup untuk anak-anak yang seharusnya

mendapatkan perlindungan dan kasih sayang di dalam sebuah keluarga.

Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang memberikan pengaruh

yang sangat besar bagi tumbuh kembangnya remaja.6Dengan kata lain, secara

ideal perkembangan remaja akan optimal apabila mereka bersama

keluarganya. Menurut Departemen Kesehatan RI : “Keluarga adalah unit

terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang

yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam

keadaan saling ketergantungan”.7

Kejahatan seksual terhadap anak merupakan persoalan serius yang harus

mendapatkan prioritas perhatian dari Negara untuk segera mengatasinya,

karena anak-anak yang menjadi korban telah di rendahkan harkat dan

martabatnya serta akan mengalami trauma psikologis yang berkepanjangan

selama hidupnya. Peranan Negara menjadi sangat penting karena Negara

memiliki kewajiban menjaga, melindungi dan memenuhi hak-hak anak.

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk mengkaji apa

sebenarnya yang menjadi faktor penyebab terjadinya tindak pidana

persetubuhan terhadap anak dan upaya-upaya apa yang harus dilakukan untuk

menanggulangi tindak pidana persetubuhan terhadap anak tersebut dengan

judul “Analisis Kriminologis Tindak Pidana Persetubuhan Dengan Anak

Di Dalam Rumah Tangga”.

6

Kristal Hati.Perkosaan Incest. Pada Hari Jumat Tanggal 31 Mei 201.http://raig-ner07.blog.friendster.com/ Pukul : 23:49.

7

(15)

B.Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dapat ditarik beberapa permasalahan

yang perlu dikemukakan. Adapun rumusan masalah yang dikemukakan

sebagai berikut :

a. Apakah yang menjadi faktor penyebab terjadinya tindak pidana

persetubuhan di dalam rumah tangga dengan anak sebagai korban ?

b. Bagaimanakah upaya-upaya yang harus dilakukan untuk menanggulangi

tindak pidana persetubuhan terhadap anak tersebut ?

1. Ruang Lingkup Penelitian

Agar tidak terjadi penyimpangan dalam pembahasan, maka dibatasi substansi

permasalahan dan lokasi penelitian. Adapun substansi permasalahan dibatasi

pada hukum pidana guna untuk melihat upaya Analisis Kriminologis Tindak

Pidana Persetubuhan Dengan Anak Di Dalam Rumah Tangga dengan lokasi

penelitian pada Kantor Pengadilan Negeri Kalianda, Kejaksaan Negeri

Kalianda dan Polres Lampung Selatan sehingga mengarah kepada pokok

(16)

C.Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang telah dikemukakan sebelumnya, maka yang

menjadi tujuan penelitian ini addalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui dan memahami faktor-faktor yang menyebabkan

terjadinya tindak pidana incest tersebut dengan anak sebagai korban.

b. Untuk mengetahui dan memahami upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk

mencegah dan menanggulangi tindak pidana incest dengan korban anak

tersebut.

2. Kegunaan Penelitian

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan pustaka

atau kajian pengembangan ilmu untuk dapat mengetahui apa saja yang

menjadi faktor penyebab terjadinya tindak pidana incest pada anak dan

bagaimana upaya penanggulangan yang tepat terhadap tindak pidana incest

tidak hanya bagi penulis akan tetapi juga bagi mahasiswa fakultas hukum pada

umumnya.

Secara Praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pihak

yang ingin melakukan penelitian lebih lanjut dan menjadi acuan bagi

masyarakat pada umumnya serta para penegak hukum pada khususnya dalam

mencegah dan menanggulangi terjadinya tindak pidana persetubuhan terhadap

(17)

D.Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah variable-variable yang merupakan karakteristik

daripada gejala-gejala tertentu yang dapat menjadi kerangka acuan untuk

mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap

relevan oleh peneliti.8

Ada dua teori yang penulis gunakan dalam kerangka teoritis ini yang akan

menjadi dasar untuk memecahkan permasalahan yang telah ditentukan

sebelumnya. Teori yang pertama yang digunakan adalah teori faktor-faktor

penyebab terjadinya suatu kejahatan dan yang kedua adalah teori

penanggulangan kejahatan. Melalui teori-teori tersebut, penulis akan dapat

menentukan dan menemukan jawaban atas permasalahan yang akan dibahas.

a. Teori Faktor Penyebab Terjadinya Kejahatan

Ada berbagai faktor penyebab terjadinya suatu tindak kejahatan. Sebagai

kenyataannya, bahwa manusia dalam pergaulan hidupnya sering terdapat

penyimpangan terhadap norma-norma, terutama norma hukum. Di dalam

pergaulan manusia bersama, penyimpangan hukum ini disebut sebagai

kejahatan atau pelanggaran. Kejahatan itu sendiri merupakan masalah sosial

yang berada di tengah-tengah masyarakat, dimana si pelaku dan korbannya

adalah anggota masyarakat.

Dalam kepustakaan ilmu kriminologi, ada tiga faktor yang menyebabkan

manusia melakukan kejahatan, tiga faktor tersebut adalah sebagai berikut :

8

(18)

a. Faktor pembawaan yang berkembang dengan sendirinya. Artinya sejak

awal melakukan perbuatan pidana.

b. Faktor lingkungan yaitu adalah lingkungan eksternal (sosial) yang

berpengaruh pada perkembangan psikologi. Karena dorongan lingkungan

sekitar, seseorang melakukan perbuatan pidana. 9

Menurut Bonger, bakat merupakan hal yang konstan atau tetap, dan

lingkungan adalah faktor variabelnya dan karena itu juga dapat disebutkan

sebagai penyebabnya. Pandangan bahwa ada hubungan langsung antara

keadaan ekonomi dengan kriminalitas biasanya mendasarkan pada

perbandingan masyarakat modern yang serba kompleks sebagai produk

kemajuan teknologi, mekanisasi, industrialisasi dan urbanisasi memunculkan

banyak masalah sosial. Usaha adaptasi atau penyesuaian diri terhadap

masyarakat modern sangat kompleks, hal tersebut menjadi tidak mudah.

Kesulitan mengadakan adaptasi menyebabkan banyak kebimbangan,

kebingungan, kecemasan dan konflik, baik konflik eksternal yang terbuka,

maupun konflik internal dalam batin sendiri yang tersembunyi dan tertutup

sifatnya. Sebagai dampaknya banyak orang yang kemudian mengembangkan

pola tingkah-laku menyimpang dari norma-norma umum, dengan jalan berbuat

semau sendiri demi keuntungan sendiri dan kepentingan pribadi, kemudian

mengganggu dan merugikan pihak lain.10

Pakar kriminologi Van S. Lambroso dengan teori Lambroso, yang

menyebutkan sebab-sebab kejahatan seorang hanya dapat ditemukan dalam

bentuk-bentuk fisik dan psikis serta ciri, sifat dari tubuh seseorang.

9

Moeljatno.Asas-Asas Hukum Pidana.Jakarta:Bina Aksara.2000. hlm. 36 10

(19)

sebab kejahatan menjadi faktor utama dalam proses terbentuknya tindak

pidana baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk mencari faktor

yang lebih esensial dari bentuk tindak pidana/kejahatan yang dilakukan secara

sempurna kedudukan ini dapat diartikan dengan faktor kejahatan yang timbul

secara ekstern (faktor luar) maupun intern (faktor dalam) dari pelaku tindak

pidana kejahatan seseorang.11

b. Teori Penanggulangan Kejahatan

Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan

bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya

mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare).12

Upaya penanggulangan secara garis besar terbagi atas dua kebijakan yaitu :

1) Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy).

2) Kebijakan di Luar Hukum Pidana (Non Penal Policy).

Marc Ancel menyatakan bahwa Penal Policy adalah suatu ilmu sekaligus seni

yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan

hukum positif yang dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman

tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan

yang menerapkan undang-undang dan juga kepada pengadilan yang

menerapkan undang-undang dan juga kepada penyelenggara atau pelaksana

putusan pengadilan.13 Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum

pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan

penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga

11

Ibid. http://fisipsosiologi.wordpress.com/mata-kuliah/sosiologi-kriminalitas. 12

Barda Nawawi Arief.Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana.Jakarta:Prenada Media Group.2010. hlm. 4.

13

(20)

merupakan bagian dari politik kriminal. Dengan kata lain, dilihat dari sudut

politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian

“Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Dengan Hukum Pidana”.

Upaya penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga

merupakan bagian dari usaha penegakkan hukum (khususnya penegakkan

hukum pidana). Disamping itu, usaha penanggulangan kejahatan lewat

pembuatan undang-undang (hukum) pidana pada hakikatnya juga merupakan

bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (social welfare). Oleh

karena itu, wajar apabila kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan

bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (social policy).14

Kebijakan penanggulangan kejahatan atau yang biasa dikenal dengan istilah

Criminal Policy” dapat meliputi ruang lingkup yang cukup luas. G. P

Hoefnagels mengemukakan bahwa upaya penanggulangan kejahatan dapat

ditempuh dengan :

a. Penerapan hukum pidana (criminal law application);

b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment);

c. Memerangi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan

pemidanaan lewat media massa (influencing views of society on crime

and punishment/ mass media).15

Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “nonpenal” lebih bersifat

tindakan pencegahan atau terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah

menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan.

Faktor-faktor kondusif itu antara lain, berpusat pada masalah-masalah atau

14

Ibid. hlm. 28. 15

(21)

kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan

kejahatan. Dengan demikian, dilihat dari sudut politik kriminal secara makro

dan global, maka upaya-upaya nonpenal menduduki posisi kunci dan strategis

dari keseluruhan upaya politik kriminal.16

2. Konseptual

Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara

konsep-konsep khusus yang ingin atau akan diteliti.17

Kerangka konseptual yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah :

a. Analisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa (perbuatan) untuk

mengetahui yang sebenarnya, sebab musabab, duduk perkara, dan

sebagainya.

b. Kriminologi adalah keseluruhan ilmu pengetahuan tentang perbuatan jahat

dan perilaku tercela yang menyangkut orang-orang yang terlibat dalam

perilaku jahat dan perbuatan tercela itu.18

c. Tindak Pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan

diancam dengan pidana, dimana pengertian perbuatan disini selain

perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang

oleh hukum) juga perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang

sebenarnya diharuskan oleh hukum).19

16 Ibid. 17

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Op cit. hlm. 132. 18

Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa. Kriminologi. Jakarta.:RajaGrafindo Persada.2011. hlm.12.

19

(22)

d. Persetubuhan Sedarah (incest) adalah persetubuhan antara anggota keluarga

sedarah dalam garis lurus atau samping sampai derajat ketiga.20

e. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,

termasuk yang masih dalam kandungan (Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak).

Sedangkan pengertian anak menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997

tentang Pengadilan Anak, Pasal 1 angka 1 yang dimaksud dengan anak adalah

orang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi

belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.

E.Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pemahaman dalam skripsi ini secara keseluruhan, maka

disajikan sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Pada bab ini berisikan tentang latar belakang, permasalahan dan ruang

lingkup, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis dan konseptual serta

sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini merupakan penghantar pemahaman terhadap dasar hukum

mengenai pengertian kriminologi, tinjauan umum tentang tindak pidana,

pengertian persetubuhan sedarah (incest), pengertian anak dan tindak pidana

kesusilaan.

20

Barda Nawawi Arif. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan

(23)

III. METODE PENELITIAN

Pada bab ini memuat metode yang digunakan dalam penulisan ini yang

menjelaskan mengenai langkah-langkah yang digunakan dalam pendekatan

masalah, sumber dan jenis data, prosedur pengumpulan data dan pengolahan

data serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini menguraikan mengenai karakteristik responden, faktor-faktor

penyebab terjadinya tindak pidana persetubuhan dengan anak di dalam rumah

tangga dan upaya-upaya yang dilakukan guna menanggulangi tindak pidana

persetubuhan sedarah (incest).

V. PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan terhadap permasalahan dalam penulisan ini dan

saran-saran dari penulis sebagai masukan bagi aparat penegak hukum dan

(24)

II.TINJAUAN PUSTAKA

A.Pengertian Kriminologi

Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang

kejahatan. Nama kriminologi yang ditemukan oleh P. Topinard (1830-1911)

seorang ahli antropologis Perancis, secara harfiah berasal dari kata “crimen

yang berarti kejahatan atau penjahat dan “logos” yang berarti ilmu

pengetahuan, maka kriminologi dapat berarti ilmu tentang kejahatan atau

penjahat.1

Sutherland merumuskan kriminologi sebagai keseluruhan ilmu pengetahuan

yang bertalian dengan perbuatan jahat sebagai gejala sosial (The Body of

Knowledge Regarding Crime as a social Phenomenon). Menurut Sutherland kriminologi mencakup proses pembuatan hukum, pelanggaran hukum, dan

reaksi atas pelanggaran hukum. Kriminologi olehnya dibagi menjadi tiga

cabang ilmu utama yaitu :

1. Sosiologi Hukum

Kejahatan itu adalah perbuatan yang oleh hukum dilarang dan diancam

dengan suatu sanksi.

2. Etiologi Kejahatan merupakan cabang ilmu kriminologi yang mencari

sebab musabab dari kejahatan.

1

(25)

3. Penology merupakan ilmu tentang hukuman, akan tetapi Sutherland

memasukkan hak-hak yang berhubungan dengan usaha pengendalian

kejahatan baik represif maupun preventif.2

Wood berpendirian bahwa istilah kriminologi meliputi keseluruhan

pengetahuan yang diperoleh berdasarkan teori atau pengalaman yang bertalian

dengan perbuatan jahat dan penjahat, termasuk di dalamnya reaksi dari

masyarakat terhadap perbuatan jahat dan para penjahat.3

Wolfgang, Savitz dan Johnston dalam The Sociology of Crime and

Delinquency memberikan definisi kriminologi sebagai kumpulan ilmu pengetahuan tentang kejahatan yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan

dan pengertian tentang gejala kejahatan dengan jalan mempelajari dan

menganalisa secara ilmiah keterangan-keterangan, keseragaman-keseragaman,

pola-pola dan faktor-faktor kausal yang berhubungan dengan kejahatan, pelaku

kejahatan serta reaksi masyarakat terhadap keduanya. Jadi menurutnya, objek

kriminologi meliputi :

a. Perbuatan yang disebut sebagai kejahatan;

b. Pelaku kejahatan dan;

c. Reaksi masyarakat yang ditujukan baik terhadap perbuatan maupun

terhadap pelakunya.

Ketiganya ini tidak dapat dipisah-pisahkan. Suatu perbuatan baru dapat

dikatakan sebagai kejahatan bila ia mendapat reaksi dari masyarakat.4

(26)

Para sarjana tersebut mengemukakan bahwa kriminologi bukan suatu ilmu

pengetahuan dalam arti “science”, karena syarat-syarat sebagai “science” tidak

dipenuhi, yaitu harus ada suatu stelling atau pro position (patokan-patokan,

dalil-dalil, pendirian tertentu) yang berlaku secara universal yang dijadikan

sebagai ukuran.5 Dengan kata lain, kriminologi adalah salah satu cabang ilmu

yang diajarkan dalam bidang ilmu hukum. Jika diklasifikasikan, kriminologi

merupakan bagian dari ilmu sosial, akan tetapi kriminologi tidak bisa

dipisahkan dengan bidang ilmu hukum, khsususnya hukum pidana.

Aliran kriminologi baru lahir dari pemikiran yang bertolak pada anggapan

bahwa perilaku menyimpang yang disebut sebagai kejahatan, harus dijelaskan

dengan melihat pada kondisi-kondisi struktural yang ada dalam masyarakat

dan menempatkan perilaku menyimpang dalam konteks ketidakmerataan

kekuasaan, kemakmuran dan otoritas serta kaitannya dengan

perubahan-perubahan ekonomi dan politik dalam masyarakat.6

Ukuran dari menyimpang atau tidaknya suatu perbuatan bukan ditentukan oleh

nila-nilai dan norma-norma yang dianggap sah oleh mereka yang duduk pada

posisi-posisi kekuasaan atau kewibawaan, melainkan oleh besar kecilnya

kerugian atau keparahan sosial (social injuries) yang ditimbulkan oleh

perbuatan tersebut dan dikaji dalam konteks ketidakmerataan kekuasaan dan

kemakmuran dalam masyarakat. Perilaku menyimpang sebagai proses sosial

dianggap terjadi sebagai reaksi terhadap kehidupan kelas seseorang.7

5

E.Y Kanter dan S.R Sianturi. 2002. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan

Penerapannya: Storia Grafika. Jakarta. hlm.35-36.

6

Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa. Op cit. hlm. 16. 7

(27)

Rumusan kejahatan dalam kriminologi semakin diperluas. Sasaran perhatian

terutama diarahkan kepada kejahatan-kejahatan yang secara politis, ekonomis

dan sosial amat merugikan yang berakibat jatuhnya korban-korban, bukan

hanya korban individual melainkan juga golongan-golomgan dalam

masyarakat.8

Kriminologi secara spesifik mempelajari kejahatan dari segala sudut pandang,

namun lebih khusus kejahatan yang diatur dalam Undang-Undang. Pelaku

kejahatan dibahas dari segi kenapa seseorang melakukan kejahatan (motif) dan

kategori pelaku kejahatan (tipe-tipe penjahat). Kemudian kriminologi juga

mempelajari reaksi masyarakat terhadap kejahatan sebagai salah satu upaya

kebijakan pencegahan dan pemberantasan kejahatan.9 Sebagai suatu ilmu

pengetahuan yang objek kajiannya adalah kejahatan, dimana kejahatan ini

adalah gejala sosial, maka kriminologi pada dasarnya adalah suatu disiplin

ilmu yang bersifat faktual, dalam hal ini kriminologi merupakan non legal

discipline.

B.Tindak Pidana Kesusilaan

Makna dari “kesusilaan” adalah tindakan yang berkenaan dengan moral yang

terdapat pada setiap diri manusia, maka dapatlah disimpulkan bahwa

pengertian delik kesusilaan adalah perbuatan yang melanggar hukum, dimana

perbuatan tersebut menyangkut etika yang ada dalam diri manusia yang telah

diatur dalam perundang-undangan.

8 Ibid. 9

(28)

Menurut kamus hukum, pengertian kesusilaan diartikan sebagai tingkah laku,

perbuatan percakapan bahwa sesuatu apapun yang berpautan dengan

norma-norma kesopanan yang harus/dilindungi oleh hukum demi terwujudnya tata

tertib dan tata susila dalam kehidupan bermasyarakat.10

Tidak pidana kesusilaan dalam KUHP dibedakan menjadi dua, yaitu tindak

pidana perkosaan untuk bersetubuh yang diatur dalam pasal 285 KUHP dan

tindak pidana perkosaan untuk berbuat cabul yang diatur dalam pasal 289-296

KUHP. Sedangkan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak tindak pidana

kesusilaan yang melibatkan anak didalamnya diatur dalam Pasal 82 dan Pasal

88 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Berkaitan dengan incest, kejahatan ini berhubungan dengan tindak pidana

kesusilaan yg diatur di dalam KUHP yaitu, tindak pidana melakukan tindakan

melanggar kesusilaan dengan anaknya sendiri, dengan anak tirinya, dengan

anak angkatnya atau dengan seseorang anak di bawah umur yang

pengawasannya dipercayakan kepada pelaku oleh undang-undang telah diatur

dalam Pasal 294 KUHP yaitu :

“Barangsiapa melakukan tindakan-tindakan melanggar kesusilaan dengan

anaknya sendiri, dengan anak tirinya, dengan anak asuhnya, dengan anak angkatnya yang belum dewasa atau dengan seseorang belum dewasa yang pengurusannya, pendidikan atau penjagaannya telah dipercayakan kepadanya, atau dengan seseorang pembantu atau seorang bawahannya yang belum dewasa, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya

tujuh tahun”.

10

(29)

Dipidana dengan pidana yang sama apabila :

1. Pegawai negeri yang melakukan tindakan-tindakan melanggar kesusilaan

dengan seseorang yang menurut jabatan merupakan seorang bawahannya

atau yang penjagaannya telah dipercayakan atau diserahkan kepadanya.

2. Seorang pengurus, dokter, guru, pejabat, pengawas atau pembantu suatu

lembaga permasyarakatan, lembaga kerja Negara, lembaga pendidikan,

rumah yatim piatu, rumah sakit, rumah sakit jiwa atau lembaga-lembaga

kebajikan, yang melakukan tindakan-tindakan melanggar kesusilaan dengan

seseorang yang dimasukkan ke dalamnya.

Tindak pidana kesusilaan diatur dalam Buku II KUHP. Beberapa jenis delik

terhadap kesusilaan yang berkaitan dengan incest adalah :

a. Perzinaan

b. Pemerkosaan

c. Pencabulan

Berikut akan penulis kemukakan satu persatu mengenai jenis-jenis delik

terhadap kesusilaan :

a. Perzinaan

Kata “zina” dalam bahasa inggris disebut adultery pada kamus besar Bahasa

Indonesia, kata zina dibuat artinya sebegai berikut:

“Perbuatan bersenggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat

(30)

Perbuatan bersenggama seorang laki-laki yang terikat perkawinan dengan

seseorang perempuan yang bukan istrinya atau seseorang laki-laki yang bukan

suaminya.

b. Pemerkosaan

Pemerkosaan cenderung merupakan aktivitas yang berulang, bukan perbuatan

yang sekali sudah, dan biasanya direncanakan.

c. Pencabulan

Kejahatan kesusilaan dalam hal ini pencabulan berasal dari kata “cabul” yang

dalam kamus Bahasa Indonesia memuat artinya keji, kotor dan tidak senonoh

(melanggar kesopanan, kesusilaan).

Dasar hukum yang mengatur mengenai perbuatan cabul dalam KUHPidana

terdapat dalam Pasal 289, 290, 292, 293, 294, 295 dan 296.

Bab XIV buku kedua dan bab VI buku ketiga KUHP membagi dua jenis

tindak pidana yakni :

1) Tindak pidana melanggar kesusilaan (zedelijkheid). Untuk kejahatan

melanggar kesusilaan terdapat pada Pasal 281 sampai dengan Pasal 299.

Sedangkan untuk pelanggaran golongan pertama (kesusilaan) dirumuskan

dalam Pasal 532-535.

2) Tindak pidana melanggar kesopanan (zeden) artinya yang tidak

berhubungan dengan kesusilaan atau dengan masalah seksual. Untuk

(31)

luar hal yang berhubungan dengan masalah seksual) dirumuskan dalam

pasal 236 sampai dengan 547 KUHP.11

C.Pengertian Persetubuhan Sedarah (incest)

Pada dasarnya seorang manusia merupakan anggota dari kelompok masyarakat

yang memerlukan pertemuan biologis atau sosial. Setiap kelompok itu adalah

normative, artinya terpaut di dalamnya tumbuh norma-norma dari tingkah laku

sesuai dengan leadaan yang terbentuk dari aktivitas khusus dari kelompok,

dengan demikian menurut A Lacassagne teori lingkunganlah yang

memberikan kesempatan sebagai penyebab timbulnya suatu kejahatan. Salah

satu kejahatan yang paling keji dan sangat meresahkan masyarakat adalah

incest.

Incest adalah hubungan seksual antara dua orang saudara kandung atau yang

masih terkait hubungan darah.12 Sementara Barda Nawawi mengemukakan

bahwa incest adalah persetubuhan anggota keluarga sedarah dalam garis lurus

atau samping sampai derajat ketiga.13 Sedangkan Margaret Mead seperti yang

dikutip dalam majalah Intisari memaparkan bahwa incest adalah pelanggaran

yang dilakukan atas perbuatan seksual yang terlarang antara dua anggota

keluarga inti, seperti yang dilakukan oleh bapak dengan anak, sesama saudara

kandung, atau juga yang dilakukan oleh ibu dengan anaknya.14

11

Wirdjono Prodjodikur.Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia.Yogyakarta:Refika Aditama.2003.hlm. 111.

12

Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:Balai Pustaka. hlm. 435. 13

Barda Nawawi Arif. 2001. Log cit. 14

(32)

Singgih Wijaya sebagaimana dikutip majalah Inti Sari menegaskan bahwa

tindakan incest dapat dibedakan kepada beberapa kategori :

a. Praktek Pedophilic Incest yaitu dilakukan seorang ayah yang tidak matang

sikoseksualnya atau mengalami kesulitan seksual, oleh karena itu untuk

memenuhi seksualnya ia berhubungan dengan anak gadisnya.

b. Psychopathic incest adalah perilaku incest yang dilakukan seorang

penderita sakit jiwa (psycopat) yang menganggap kebanyakan orang

termasuk anaknya sendiri sebagai objek seksual. Karenanya, pelaku incest

semacam ini hamper tidak pernah menunjukkan rasa bersalah atas

perbuatannya bahkan cenderung nekat, tak segan melakukan melakukan

perkosaan terhadap orang lain yang bukan penghuni rumahnya seperti,

sepupuan atau terdapat hubungan saudara lainnya.

c. Family Generated incest yaitu seorang ayah yang pasif sementara sang istri terganggu kepribadiannya, akibatnya kehidupan pernikahan bagi mereka

hambar dan anak-anak menjadi sasaran seksual, si anak tersebut dijadikan

semacam budak nafsu ayahnya sendiri.15

Tindakan incest bukanlah masalah perempuan semata, tapi problema yang

harus dihadapi oleh seluruh masyarakat. Sedangkan dampak terjadinya incest

ini terhadap korban selain memojokkan kedudukan korban, juga si korban

menjadi rendah diri, pemalu, traumatis bahkan beban penderitaan korban tidak

akan sirna untuk selamanya sehingga tidak menutup kemungkinan beban yang

tidak dapat dipikul itu menyebabkan korban bunuh diri atau gila.16

15

Ibid.http://abrorblogg.blogspot.com/2009/06/perkosaan-incest.html.

16

(33)

Menurut Bonger salah satu hal yang menyebabkan terjadinya incest adalah

kemiskinan dan kesengsaraan, artinya pengaruh keadaan terhadap jiwa

manusia. Kesengsaraan merupakan hal yang membuat fikiran menjadi tumpul,

kebodohan dan ketidakberadaban. Karenanya Socrate juga menambahkan

bahwa pendidikan yang dilaksanakan di rumah dan di sekolah memang

peranan yang sangat penting dalam membentuk kepribadian seseorang.17

Berdasarkan apa yang dikemukakan diatas, jelas lah bahwa kejahatan incest

merupakan kejahatan yang tidak berperikemanusiaan, yang menimbulkan

dampak bagi korban untuk kehidupannya berupa penderitaan fisik, mental dan

sosial. Artinya tidak hanya korban secara langsung, tetapi juga orangtua atau

keluarga intinya juga mengalami dampak psikologis yang luar biasa.

Soerjono soekanto menegaskan bahwa korban incest melahirkan derita yang

tidak sederhana. Tekanan kekecewaan, konflik dan kekhawatiran yang tidak

teratasi, menimbulkan gejala neurosis seperti, rasa takut yang berlebihan,

panik, putus asa, perilaku tidak terkendali, kecapaiaan psikis dan psichosis,

seperti tidak mengacuhkan lingkungan sekitar, selalu dibayang-bayangi oleh

hal-hal yang seolah-olah mengancam dirinya, timbul rasa depresi yang kuat.18

D.Pengertian Anak

Definisi anak secara nasional didasarkan pada batasan usia anak menurut

hukum pidana, hukum perdata, hukum adat dan hukum islam. Secara

internasional defenisi anak tertuang dalam Konvensi Perserikatan

Bangsa-Bangsa mengenai Hak Anak atau United Nation Convention on The Right of

17

Ibid.http://abrorblogg.blogspot.com/2009/06/perkosaan-incest.html. 18

(34)

The Child tahun 1989, aturan Standar Minimum Perserikatan Bangsa-Bangsa

mengenai Pelaksanaan Peradilan Anak atau United Nation Standard Minimum

Rules for the Administration of Juvenile Justice (“The Beijing Rules”) Tahun

1985 dan Deklarasi Hak Asasi Manusia atau Universal Declaration of Human

Rights Tahun 1948.19

Berbagai peraturan yang ada terdapat perbedaan mengenai batasan atau

definisi usia anak, sebagai contoh :

1) Pasal 1 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak,

disebutkan bahwa anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah

mencapai umur 18 tahun dan belum pernah menikah.

2) Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak,

disebutkan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang

belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah menikah.

3) Pasal 1 butir 5 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia, disebutkan bahwa anak adalah setiap manusia yang berada

dibawah usia 18 Tahun dan belum pernah menikah termasuk yang masih

berada di dalam kandungan apabila hal tersebut adalah kepentingannya.

Ternyata terdapat beberapa variasi mengenai usia anak. Namun dalam

pengaturan hukum pidana terhadap berbagai bentuk kejahatan terhadap

anak-anak tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak.

19

(35)

Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa yang dimaksud dengan anak

adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak

yang masih dalam kandungan. Sedangkan yang dimaksud dengan

perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi

anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan

berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,

serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.20

Dengan demikan apabila ditinjau dari berbagai pengertian di atas, anak

diartikan sebagai orang yang belum dewasa, orang yang belum berusia 18

tahun dan belum menikah termasuk dalam kandungan.

E.Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Kejahatan

Secara sosiologis kejahatan merupakan suatu perilaku manusia yang

diciptakan oleh masyarakat. Walaupun masyarakat memiliki berbagai macam

perilaku yang berbeda-beda, akan tetapi ada di dalamnya bagian-bagian

tertentu yang memiliki pola yang sama. Keadaan ini dimungkinkan oleh

karena adanya sistem kaedah dalam masyarakat.21

Penelitian modern yang berusaha menjelaskan faktor-faktor kejahatan

biasanya dialamatkan pada Cesare Lombroso (1835-1909), seorang Italia yang

sering dianggap sebagai “the father of modern criminology”. Era Lombroso

juga menandai pendekatan baru dalam menjelaskan kejahatan, yaitu dari

20

Aziz Syamsuddi. Tindak Pidana Khusus.Jakarta:Sinar Grafika.2011.hlm. 107 21

(36)

mazhab klasik menuju mazhab positif. Para positivis pertama di abad 19

misalnya mencari faktor itu pada akal dan tubuh si penjahat.22

Para tokoh biologis dan psikologis tertarik pada perbedaan-perbedaan yang

terdapat pada individu. Para tokoh psikologis mempertimbangkan suatu variasi

dari kemungkinan cacat dalam kesadaran, ketidakmatangan emosi, sosialisasi

yang tidak memadai di masa kecil, kehilangan hubungan dengan ibu,

perkembangan moral yang lemah. Sementara itu tokoh-tokoh genetika

berargumen bahwa kecenderungan untuk melakukan tindakan kekerasan atau

agresifitas pada situasi tertentu kemungkinan dapat diwariskan. Sedangkan

menurut sarjana lainnya tertarik pada pengaruh hormone, ketidaknormalan

kromosom, kerusakan otak dan sebagainya terhadap tingkah laku kriminal.23

Warisan atau peninggalan positivism Lombroso terus dilanjutkan diperluas

oleh seorang tokoh brilian, lawyer, anggota parlemen, editor serta sarjana yang

terkemuka di Italia yaitu Enrico Ferri. Tidak seperti Lombroso yang memberi

perhatian pada faktor-faktor biologis, Ferri lebih memberi penekanan pada

kesaling-hubungan (interrelatedness) dari faktor-faktor sosial, ekonomi dan

politik yang mempengaruhi kejahatan.24

Ferri berpendapat bahwa kejahatan dapat dijelaskan melalui studi

pengaruh-pengaruh interaktif di antara faktor-faktor fisik (seperti ras, geografis, serta

temperatur), dan faktor-faktor sosial (seperti umur, jenis kelamin,

(37)

Dalam kongres PBB ke-8 diidentifikasikan faktor-faktor kondusif penyebab

kejahatan yang lebih luas dan terperinci (khusunya dalam masalah “Urban

Crime”), antara lain :

a. Kemiskinan, pengangguran, kebutahurufan (kebodohan) ketiadaan atau

kekurangan perumahan yang layak dan sistem pendidikan serta sistem latihan yang tidak cocok/serasi;

b. Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek

(harapan) karena proses integrasi sosial, juga karena memburuknya ketimpangan-ketimpangan sosial;

c. Mengendurnya ikatan sosial dan keluarga;

d. Keadaan-keadaan/kondisi yang menyulitkan bagi orang-orang yang

berimigrasi ke kota-kota atau ke Negara-negara lain;

e. Ruskanya atau hancurnya identitas budaya asli, yang bersamaan

dengan adanya rasisme dan diskriminasi menyebabkan

kerugian/kelemahan di bidang sosial, kesejahteraan dan dalam lingkungan pekerjaan;

f. Menurun atau mundurnya (kualitas) yang ada dalam lingkungan

perkotaan yang mendorong peningkatan kejahatan di masyarakat dan berkurangnya (tidak cukupnya) sarana-sarana dan pelayanan bagi tempat-tempat fasilitas lingkungan/bertetangga;

g. Kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masyarakat modern untuk

berintegrasi sebagaimana mestinya di dalam lingkungan

masyarakatnya, di lingkungan keluarga/familinya, tempat pekerjaannya atau di lingkungan sekolahnya;

h. Penyalahgunaan alcohol, obat bius, dan lain-lain yang pemakaiannya

juga diperluas karena faktor-faktor yang disebut di atas;

i. Meluasnya aktivitas kejahatan yang terorganisasi, khususnya

perdagangan obat bius dan penadahan barang-barang curian;

j. Dorongan-dorongan ide dan sikap (khususnya oleh mass media) yang

mengarah pada tindakan kekerasan, ketidaksamaan (hak) atau

sikap-sikap intoleransi.25

F. Upaya Penanggulangan Kejahatan

Secara garis besar upaya penanggulang terbagi menjadi dua bagian yaitu :

a. Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy).

b. Kebijakan di Luar Hukum Pidana (Non Penal Policy).

25

(38)

Kebijakan hukum pidana dapat juga disebut dengan istilah “politik hukum

pidana” yang sering dikenal dengan berbagai istilah antara lain “penal policy”,

“criminal law policy”, atau “strafrechtspolitiek”.

Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik

hukum maupun dari politik kriminal. Menurut Prof. Sudarto, “Politik Hukum”

adalah :

a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan

keadaan dan situasi pada suatu saat.

b. Kebijakan dari Negara melalui badan-badan yang berwenang untuk

menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bias

digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat

dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.26

Menurut A. Mulder “strafrechtspolitiek” ialah garis kebijakan untuk

menentukan:

a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau

diperbaharui.

b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana.

c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana

harus dilaksanakan.

Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada

hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi

kebijkan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik

26

(39)

kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan

penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana”.

Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga

merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan

hukum pidana). Oleh karena itu, sering pula dikatakan bahwa politik atau

kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan

hukum (law enforcement policy). Di samping itu, usaha penanggulangan

kejahatan lewat pembuatan undang-undang (hukum) pidana pada hakikatnya

juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (social

welfare).27

Kebijakan penanggulangan kejahatan atau yang biasa dikenal dengan istilah

“politik kriminal” dapat meliputi ruang lingkup yang cukup luas, mengingat

upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “non penal” lebih bersifat

tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya

adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan.

Dengan demikian, dilihat dari sudut politik kriminal secara makro dan global,

maka upaya-upaya nonpenal menduduki posisi kunci dan strategis dari

keseluruhan upaya politik kriminal.28

Salah satu jalur “nonpenal” untuk mengatasi masalah-masalah sosial adalah

lewat jalur “kebijakan sosial” (social policy). Kebijakan sosial pada dasarnya

adalah kebijakan atau upaya-upaya rasional untuk mencapai kesejahteraan

masyarakat. Jadi identik dengan kebijakan atau perencanaan pembangunan

nasional yang meliputi berbagai aspek yang cukup luas dari pembangunan.

27

Ibid. hlm. 28. 28

(40)

Salah satu aspek kebijakan sosial yang kiranya patut mendapat perhatian ialah

penggarapan masalah kesehatan jiwa masyarakat (social hygiene), baik secara

individual sebagai anggota masyarakat maupun kesehatan/kesejahteraan

keluarga , serta masyarakat luas pada umumnya.29

Upaya-upaya nonpenal dapat ditempuh dengan menyehatkan masyarakat lewat

kebijakan sosial dan dengan menggali berbagai potensi yang ada di dalam

masyarakat itu sendiri, dapat pula upaya nonpenal itu digali dari berbagai

sumber lainnya yang juga mempunyai potensi efek-preventif. Beberapa

pendapat dan hasil penelitian berikut ini patut kiranya mendapat perhatian :

a. Rubin menyatakan, bahwa pemidanaan (apapun hakikatnya, apakah

dimaksudkan untuk menghukum atau untuk memperbaiki) sedikit atau tidak

mempunyai pengaruh terhadap masalah kejahatan.

b. Schultz menyatakan, bahwa naik turunnya kejahatan di suatu Negara

tidaklah berhubungn dengan perubahan-perubahan di dalam hukumnya atau

kecenderungan-kecenderungan dalam putusan-putusan pengadilan, tetapi

berhubungan dengan bekerjanya atau berfungsinya perubahan-perubahan

kultural yang besar dalam kehidupan masyarakat.

c. Johannes Andenaes menyatakan bahwa bekerjanya hukum pidana

selamanya harus dilihat dari keseluruhan konteks kulturalnya, ada yang

saling pengaruh antara hukum dengan faktor-faktor lain membentuk sikap

dan tindakan-tindakan kita.

d. Menurut S. R. Brody, dari sembilan penelitian (mengenai pemidanaan)

yang diamaati olehnya, lima di antaranya menyatakan bahwa lamanya

29

(41)

waktu yang dijalani di dalam penjara tampaknya tidak berpengaruh pada

adanya penghukuman kembali (reconvition).

Beberapa pendapat dan hasil penelitian di atas cukup beralasan kiranya untuk

terus-menerus menggali, memanfaatkan dan mengembangkan upaya-upaya

nonpenal untuk menanggulangi kekurangan dan keterbatasan sarana penal.30

30

(42)

III. METODE PENELITIAN

Metode merupakan salah satu bentuk atau cara yang dipergunakan dalam

pelaksanaan suatu penelitian untuk dapat membantu mengolah dan

menyimpulkan data-data yang dapat memecahkan suatu permasalahan.1

A.Pendekatan Masalah

Metode yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah pendekatan

secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif

dilakukan dengan cara menelaah atau mempelajari keterkaitan asas-asas

hukum, teori-teori, konsep-konsep, dan peraturan yang berhubungan dengan

permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.2 Penelitian yuridis empiris

dilakukan dengan mengadakan penelitian langsung di lapangan, yaitu melihat

secara langsung mengenai faktor-faktor penyebab tindak pidana persetubuhan

sedarah dan upaya penanggulangan terhadap tindak pidana persetubuhan

sedarah di wilayah Kalianda Lampung Selatan yang meliputi Hakim

Pengadilan Negeri Kalianda, Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri

Kalianda, Tokoh Masyarakat Setempat (Ketua RT), Pelaku/Korban, Psikolog,

serta Akademisi Hukum Universitas Lampung.

1

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Op cit. hlm 5. 2

(43)

B.Sumber dan Jenis Data

Sumber data dalam penelitian ini berasal dari data lapangan dan data

kepustakaan. Jenis data yang dilihat dari sumbernya, dapat dibedakan antara

data yang diperoleh langsung dari masyarakat dan data yang diperoleh dari

bahan pustaka.3

Jenis data pada penulisan skripsi ini menggunakan dua sumber data, yaitu :

a. Data Primer

Data primer, yaitu bersandar pada data yang diperoleh langsung di lapangan

dengan cara mencari dan mengumpulkan keterangan-keterangan yang

sebenarnya di lokasi. Cara yang penulis lakukan untuk memperoleh data

primer dalam skripsi ini adalah dengan cara melakukan wawancara dengan

pihak-pihak yang menguasai permasalahan.

Data primer merupakan data yang diperoleh dari studi lapangan yang berkaitan

dengan pokok penulisan. Penulis akan mengkaji dan meneliti sumber data

yang diperoleh dari hasil penelitian di wilayah Kalianda Lampung Selatan

yang meliputi Hakim Pengadilan Negeri Kalianda, Jaksa Penuntut Umum pada

Kejaksaan Negeri Kalianda, Pelaku/Korban, Psikolog, serta Akademisi

Hukum Universitas Lampung.

3

(44)

b. Data Sekunder

Data sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui studi kepustakaan yang

terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum

tersier.4

Data sekunder diperoleh penulis dari studi kepustakaan yang penulis lakukan

diperpustakaan Universitas Lampung. Dalam hal kepustakaan ini penulis

mengambil atau menggunakan bahan-bahan berupa sumber data yang

dipergunakan tersebut guna memperoleh jawaban akurat dan relevan dengan

permasalahan yang akan dibahas.

C.Penentuan Responden

Responden dalam penelitian adalah orang yang diminta memberikan

keterangan tentang suatu fakta/pendapat. Keterangan tersebut dapat

disampaikan dalam bentuk tulisan, yaitu ketika mengisi angket/lisan ketika

menjawab wawancara.5 Responden dalam penelitian skripsi ini adalah Hakim

Pengadilan Negeri Kalianda, Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri

Kalianda, Tokoh Masyarakat Setempat (Ketua RT), Pelaku/Korban, Psikolog,

serta Akademisi Hukum Universitas Lampung.

Sesuai dengan metode yang telah ditentukan, maka responden yang akan

diteliti dalam pembahasan masalah ini adalah sebagai berikut :

4

Ibid. Hlm. 52. 5

(45)

1. Hakim Pengadilan Negeri Kalianda : 1 Orang

2. JPU Kejaksaan Negeri Kalianda : 1 Orang

3. Kasat Reskrim Polres Lamsel : 1 Orang

4. Kepala Desa Sukapura : 1 Orang

5. Psikolog Biro Psikologi Harmoni : 1 Orang

6. Pelaku Tindak Pidana Incest : 1 Orang

7. Korban Tindak Pidana Incest : 1 orang

8. Dosen Bagian Hukum Pidana UNILA : 1 Orang

Jumlah : 8 Orang

D. Karakteristik Responden

1. Responden di Pengadilan Negeri Kalianda Lampung Selatan

Nama : Happy Try Sulistiyono, S.H

NIP : 198105122006041006

Jabatan : Hakim Pengadilan Negeri Kalianda

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Status : Pegawai Negeri Sipil

2. Responden di Kejaksaan Negeri Kalianda Lampung Selatan

Nama : Fransisca, S.H

NIP : 198111162007032001

Jabatan : Jaksa Fungsional

Jenis Kelamin : Perempuan

(46)

3. Responden di Kepolisian Resort Lampung Selatan

Nama : Feria Kurniawan, S.IK

NRP : 83021079

Jabatan : Kasat Reskrim

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Status : Kasat Reskrim POLRI

4. Responden di Biro Psikologi Harmoni Bandar Lampung

Nama : Wulan Irodatiah R, S.Psi

Jabatan : Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung

Jennis Kelamin : Laki-Laki

Status : Pegawai Negeri Sipil

6. Responden Pada Tokoh Masyarakat Dusun Mukti Sari Desa Sukapura Kecamatan Sragi Lampung Selatan

Nama : Samingan

Jabatan : Kepala Desa

(47)

7. Responden Pada Pelaku Tindak Pidana Incest

Nama : Wistomo

Pendidikan : SMA (Tamat)

Umur : 42 Tahun

Agama : Islam

Jenis Kelamin : Laki-Laki

8. Responden Pada Korban Tindak Pidana Incest

Nama : Reni Octaviani

Pendidikan : Pelajar

Umur : 16 Tahun

Agama : Islam

Jenis Kelamin : Perempuan

E.Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

Untuk memperoleh data yang diperlukan, maka harus dilakukan serangkaian

kegiatan penelitian. Skripsi ini dalam penyusunannya penulis menggunakan

dua metode penelitian yaitu :

1. Prosedur Pengumpulan Data

a. Studi dokumen atau bahan pustaka

Buku atau literatur yang digunakan dalam penelitian yang berhubungan

dengan masalah yang akan dibahas sehingga penulis mendapatkan informasi

yang diperlukan. Dalam hal ini penelitian kepustakaan merupakan alas untuk

(48)

b. Studi Lapangan

Studi ini dilakukan untuk memperoleh data primer dengan menggunakan

teknik wawancara langsung dengan responden yang telah direncanakan

sebelumnya. Wawancara dilaksanakan secara langsung dan terbuka dengan

mengadakan suatu tanya-jawab untuk mendapatkan keterangan atau jawaban

yang bebas sehingga data yang diperoleh sesuai dengan yang diharapkan.

2. Pengolahan Data

Data yang diperoleh dari data primer maupun data sekunder kemudian

dilakukan metode sebagai berikut :

1. Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang

diperoleh atau dikumpulkan. Editing dapat dilakukan pada tahap

pengumpulan data atau setelah data terkumpul.

2. Sistematisasi yaitu klasifikasi atau pengelompokkan data yang telah

diperoleh dan telah diediting kemudian dilakukan penyusunan dan

penempatan data pada setiap pokok pembahasan secara sistematis.

F. Analisis Data

Tujuan analisis data adalah menyederhanakan data ke dalam bentuk yang lebih

mudah di baca dan di interpretasikan. Data yang telah di olah kemudian di

analisis yang di lakukan secara deskriptif kualitatif yaitu dengan

menginterpretasikan data dalam bentuk kalimat secara sistematika berdasarkan

(49)

memudahkan untuk menarik kesimpulan dan menjawab permasalahan dalam

penelitian ini.6

6

(50)

V. PENUTUP

A.Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka penulis dapat mengambil

kesimpulan :

1. Faktor-faktor yang menjadi penyebab seseorang melakukan tindak pidana

persetubuhan sedarah (incest) berdasarkan faktor pebawaan yang berkebang

dengan sendirinya yaitu :

a) Adanya perilaku seksual yang menyimpang ;

Penyimpangan seksual pada akhirnya menuntun seseorang tersebut

kepada tingkah laku kompulsif dan patologis. Hal ini disebabkan

oleh multifaktoral, yang mencakup gejala-gejala di luar dan di

dalam pribadi yang berkaitan.

b) Ketaatan dalam menjalankan perintah agama yang rendah ;

Kurangnya pemahaman tentang nilai-nilai aqidah di dalam agama

juga mempengaruhi seseorang untuk melakukan suatu kejahatan.

Agama merupakan petunjuk bagi umat manusia untuk mendapat

kesejahteraan hidup di dunia maupun di akhirat. Sehingga, faktor ini

merupakan salah satu faktor yang mendukung seseorang melakukan

(51)

Kemudian faktor-faktor selanjutnya yang menjadi penyebab seseorang

melakukan tindak pidana persetubuhan sedarah (incest) berdasarkan faktor

lingkungan eksternal (sosial) yaitu :

a) Keadaan keluarga yang tidak harmonis ;

Kondisi keluarga yang tidak harmonis adalah faktor penyebab

timbulnya hasrat seseorang untuk melakukan suatu tindak kejahatan.

Hal ini berdampak sangat besar karna merupakan kongkretiasi dalam

mengendurnya ikatan sosial dan keluarga sebagai pemicu seseorang

untuk berbuat kejahatan.

b) Rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan

Faktor berikut ini juga merupakan faktor yang memicu seseornag untuk

melakukan suatu tindak kejahatan. Karna faktor inilah kemampuan

berfikir seseorang tidak berkembang, tidak dapat berfikir secara logis

dan tidak memikirkan dampak yang akan terjadi kedepannya.

2. Upaya penanggulangan yang dilakukan dalam menanggulangi tindak

pidana incest antara lain :

a) Upaya yang bersifat preventif, yakni upaya yang sifatnya lebih

mencegah suatu tindak kejahatan. Upaya tersebut antara lain seperti

memaksimalkan peran media massa untuk memberikan pemberitaan

yang sifatnya dapat membantu mencegah terjadinya kriminalitas

seksual khususnya terhadap wanita dan anak. Upaya ini tidak hanya

melibatkan pihak kepolisian dan rekan-rekan jurnalis saja, akan

tetapi mengajak semua lapisan individu dan masyarakat serta

(52)

terjadi lagi suatu tindak kejahatan asusila terhadap anak-anak dan

individu yang lainnya.

b) Upaya yang bersifat represif, yakni upaya yang dilakukan setelah

terjadinya suatu kejahatan. Upaya ini merupakan suatu bentuk

upaya yang menitikberatkan pada suatu penindasan, pemberantasan

dan penumpasan untuk memberikan efek jera bagi para pelaku

tindak kejahatan. Upaya penanggulangan ini melibatkan para aparat

penegak hukum yakni Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan.

B.Saran

1. Kuantitas dan kualitas incest menunjukkan suatu peningkatan yang

mengkhawatirkan, maka sebaiknya dibuat suatu program pencegahan yang

terarah dan terpadu untuk penanganan kasus-kasus kesusilaan umumnya

dan kasus incest khususnya.

2. Dalam proses persidangan lebih diutamakan lagi perlindungan hukum bagi

korban, karna dalam kenyataannya masih banyak korban dari tindak pidana

kesusilaan khususnya incest lebih menderita lagi pada saat menjalani proses

persidangan karna mendapatkan tekanan dari pertanyaan-pertanyaan yang

cenderung memojokkan korban.

3. Diintensifkan lagi penyuluhan dan sosialisasi oleh aparat penegak hukum

maupun pemerintah ke desa-desa agar dapat menambah pemahaman warga

(53)

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

A. S. Alam, dan Amir, Ilyas. 2010. Pengantar Kriminologi, Makassar: Pustaka

Refleksi Books.

Arief, Barda Nawawi. 2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan

Penanggulangan Kejahatan. Jakarta: Citra Aditya Bakti.

_______. 2010. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Jakarta: Prenada

Media Group.

Chainur arrasjid. 1998. Pengantar Psikologi Kriminal. Medan. Fakultas Hukum

USU.

Effendy, Marwan. 2005. Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya dari Persfektif

Hukum. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Hartono. J.H. 2004. Metodelogi Penelitian. BPFE. Yogyakarta.

Kanter, E.Y dan Sianturi, S.R. 2002. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan

Penerapannya. Jakarta: Storia Grafika.

Marlina. Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Bandung: Refika Aditama.

Moeljatno. 2000. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara.

Narwawi, Dadang. 1991. Perlindungan Korban Perkosaan. Solo.

Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka

Cipta.

Prasetyo, Teguh. 2011. Hukum Pidana. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Prodjodikuro, Wirdjono. 2003. Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

terhadap hasil heading kaki sejajar dan 4) untuk mengetahu hasil yang signifikan, antara kelentukan togok, kekuatan otot leher dan kekuatan otot perut terhadap hasil heading

Oleh karena itu berdasarkan hal yang tertera di atas maka penulis menarik kesimpulan untuk mengambil masalah keperawatan dengan harga diri rendah pada Sdr.P di ruang

Penggunaan media konvensional dalam mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi membuat siswa kurang tertarik dalam pelajaran, sehingga berpengaruh dalam hasil

[r]

Telah dilakukan penelitian yang bertujuan untuk menentukan sebaran batuan yang mengandung bijih besi menggunakan metode geomagnet di Desa Pringgabaya Utara

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan alternatif pengolahan gliserol sebagai hasil samping industri biodiesel menjadi produk yang memiliki nilai jual lebih

Bagian A merupakan modus latihan dengan komponen F0 adalah layer input yang berfungsi melakukan normalisasi sampel training sehingga diperoleh gelombang pulsa yang sama panjang,