• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERFORMANCE OF WHITE SHRIMP (Litopenaeus vannamei) AT VARIOUS LEVELS OF THE STOCKING DENSITY IN BIOFLOC SYSTEM ON THE NURSERY PHASE KERAGAAN UDANG PUTIH (LITOPENAEUS VANNAMEI) PADA BERBAGAI TINGKAT KEPADATAN PENEBARAN DENGAN SISTEM BIOFLOK PADA FASE PENDE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERFORMANCE OF WHITE SHRIMP (Litopenaeus vannamei) AT VARIOUS LEVELS OF THE STOCKING DENSITY IN BIOFLOC SYSTEM ON THE NURSERY PHASE KERAGAAN UDANG PUTIH (LITOPENAEUS VANNAMEI) PADA BERBAGAI TINGKAT KEPADATAN PENEBARAN DENGAN SISTEM BIOFLOK PADA FASE PENDE"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

PERFORMANCE OF WHITE SHRIMP (Litopenaeus vannamei) AT

VARIOUS LEVELS OF THE STOCKING DENSITY IN BIOFLOC

SYSTEM ON THE NURSERY PHASE

BY

RINI LIAN AGUSTINA

White shrimp (Litopenaeus vannamei) is one of Indonesia's marine fisheries commodities that has high economic value. White shrimp farming is generally done with a high degree of density with intensive systems. The main factors that inhibit the increase in the number of shrimp production is a difficulty in maintaining water quality caused by the accumulation of ammonia and nitrite compounds that are toxic and high feed conversion. Biofloc technology application is expected to reduce waste (ammonia and nitrite) and to improve the efficiency of nutrient utilization. This technique of cultivation removes waste directly in the container of cultivation by maintaining adequated oxygen, microorganisms, and C / N ratio in a certain degree. Seed size 15 PL stocked at container capacity of 10 liters with 3 levels of density (10, 15, 20 fish / container). Parameters measured were growth rate, survival rate (SR) and water qualites (DO, temperature, pH, and ammonia). The results showed that the density of white shrimp with biofloc system affected survival rates, but no effect on the growth and biomass of white shrimp (Litopenaeus vannamei).

(2)

ABSTRAK

KERAGAAN UDANG PUTIH (LITOPENAEUS VANNAMEI) PADA BERBAGAI TINGKAT KEPADATAN PENEBARAN DENGAN

SISTEM BIOFLOK PADA FASE PENDEDERAN

OLEH

RINI LIAN AGUSTINA

Udang putih (Litopenaeus vannamei) merupakan salah satu komoditas perikanan yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Budidaya udang putih umumnya dilakukan dengan tingkat kepadatan yang tinggi dengan sistem intensif. Faktor utama yang menghambat dalam peningkatan jumlah produksi udang adalah kesulitan menjaga kualitas air yang disebabkan oleh akumulasi senyawa amonia dan nitrit yang bersifat toksik serta konversi pakan yang tinggi. Aplikasi teknologi bioflok diharapkan mampu menurunkan limbah (amonia dan nitrit) dan meningkatkan efisiensi pemanfaatan nutrient. Teknik ini memproses limbah budidaya secara langsung di dalam wadah budidaya dengan mempertahankan kecukupan oksigen, mikroorganisme, dan rasio C/N dalam tingkat tertentu. Benih berukuran PL 15 ditebar pada wadah berkapasitas 10 liter dengan 3 tingkat kepadatan (10, 15, 20 ekor/wadah). Parameter yang diamati adalah tingkat pertumbuhan, tingkat kelangsungan hidup (SR) dan kualitas air (DO, Suhu, pH, dan Ammonia). Hasil penelitian menunjukan bahwa kepadatan pemeliharaan udang dengan sistem bioflok berpengaruh terhadap tingkat kelangsungan hidup, akan tetapi tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan, dan biomassa udang putih (Litopenaeus vannamei).

(3)
(4)

Analisis Keragaan Udang Putih (Litopenaeus vannamei) Pada Berbagai Padat Penebaran Dengan Sistem Bioflok Pada Fase Pendederan

(Skripsi)

RINI LIAN AGUSTINA

JURUSAN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)
(6)
(7)
(8)

RIWAYAT HIDUP

Rini Lian Agustina dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 6 Agustus 1989,

sebagai anak pertama dari 2 bersaudara, dari pasangan Bapak Dulmiri Asmun dan

Ibu Hayani. Penulis mengawali pendidikan dari Taman Kanak- kanak di TK AL-

HIDAYAH Bandar Lampung pada tahun 1994.

Pada tahun 1995 penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Dasar (SD) Negeri 1

Kampung Sawah Lama (Kasala) Bandar Lampung. Kemudian penulis

melanjutkan pendidikan di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri 5

Bandar Lampung pada tahun 2001-2004 dan Sekolah Menengah Atas (SMA)

Negeri 12 Bandar Lampung pada tahun 2004 hingga lulus tahun 2007. Pada tahun

2008 penulis terdaftar sebagai mahasiswi Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas

Pertanian, Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa

Baru (SPMB).

Selama menjadi mahasiswi, penulis aktif dalam organisasi kampus, yaitu menjadi

pengurus Himpunan Mahasiswa Budidaya Perairan Unila (HIDRILA) periode

2009/2010. Penulis juga aktif mengikuti kegiatan yang berhubungan dengan

(9)

judul “Pembenihan Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis)”.

Penulis melaksanakan penelitian dan menyelesaikan tugas akhir untuk mencapai

(10)

SANWACANA

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat

dan karunia-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”

ANALISIS KERAGAAN UDANG PUTIH (Litopenaeus vannamei) PADA

BERBAGAI PADAT PENEBARAN DENGAN SISTEM BIOFLOK PADA

FASE PENDEDERAN” Shalawat serta salam selalu tercurah kepada Nabi

Muhamad SAW yang selalu menjadi suri tauladan bagi kita.

Dengan terselesaikannya penelitian dan laporan skripsi ini, penulis mengucapkan

terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung penulis

selama proses pelaksanaan penelitian dan penyelesaian skripsi. Ucapan

terimakasih tersebut penulis berikan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S., selaku Dekan Fakultas Pertanian

Universitas Lampung atas semua fasilitas yang telah diberikan kepada penulis.

2. Ibu Ir. Siti Hudaidah, M.Sc., selaku Pembimbing I dan Ketua Jurusan Budidaya

Perairan, atas semua waktu ekstra, motivasi, serta semua saran yang

membangun hingga selesainya penyusunan skripsi.

3. Bapak Supono .S.Pi., M.Si., selaku Pembimbing II, atas waktu, saran, koreksi

(11)

5. Seluruh Dosen dan karyawan (mas Bambang, mba nanda, bu ismini) Jurusan

Budidaya Perairan, Pertanian. Atas semua curahan ilmu serta dukungan moril

hingga terselesaikannya skripsi ini.

6. Ayahanda tercinta (Dulmiri Asmun) Ibunda tercinta (Hayani) serta Adikku

(Septia Kurnila Handu Binda) yang telah memberikan motivasi, semangat,

nasihat, curahan kasih sayang baik moril maupun materil, dan selalu

mendoakan yang terbaik untuk penulis.

7. Teman-teman se-perjuangan Icha, Nani, mb’ cory, Ajeng, Dahlia, Susi, Novita,

Nindri, Ani, Nurma, Fredi, Basis, Nasyir, Dedo, hendra, dan semua teman

angkatan 2008 yang tidak bisa disebutkan satu per satu namanya terima kasih

atas kebersamaan, dukungan, perhatian dan semangat yang diberikan

8. Seseorang yang kelak akan menjadi imam bagiku, terimakasih atas motivasi,

kasih sayang, dan do’anya.

9. Sahabat-sahabatku icha, ika, asa, yang selalu menemani bukan hanya di saat suka

duka, makasih buat waktu, buat nasihat- nasihat nya, bahkan semua perhatian

kalian ngak bisa diungkapin dengan kata-kata.

10. Teman-teman jurusan Budidaya Perairan dari angkatan 2004 hingga 2013 serta

semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas doa dan dukungan

kepada penulis.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan, kesalahan dan jauh dari

kesempurnaan dalam penyusunan skripsi ini. Besar harapan penulis kepada semua

(12)

selanjutnya dapat membuat skripsi yang lebih baik. Terimakasih, semoga laporan

ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, Juni 2014

Penulis

(13)

DAFTAR ISI

E. Potensi Bioflok Sebagai Pakan Alternatif ... 14

F. Kondisi yang Mendukung Pembentukan Bioflok ... 15

1. Aerasi dan Pengadukan (Pergerakan Air oleh Aerator) ... 15

2. Rasio C/N ... 16

G. Kelebihan dan Kekurangan Teknologi Bioflok ... 17

H. Sistem Budidaya tanpa Ganti Air ... 18

I. Bioflok dan Manajemen Kualitas Air ... 19

III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat ... 21

B.Alat dan Bahan ... 21

C. Perlatan yang Digunakan... 22

D. Desain Penelitian ... 22

E. Prosedur Penelitian ... 22

(14)

iv

2. Kultur Bakteri Heterotrof (Bacillus cereus) ... 23

3. Pembentukan Bioflok ... 23

F. Tahapan Pelaksanaan ... 24

1. Pemeliharaan Udang Putih dalam Sistem Bioflok ... 24

2. Pengukuran Kepadatan Bakteri ... 24

3. Pengukuran Kepadatan Bioflok ... 25

4. Pengukuran Ammonia (NH3) ... 25

G. Parameter yang Diamati ... 26

1. SGR (Spesific Growth Rate) ... 26

2. Tingkat Kelangsungan Hidup ... 27

3. Biomassa Udang Putih ... 27

4. Pengukuran Kualitas Air ... 27

H. Analisis Data ... 27

1. Keragaan Udang ... 27

2. Parameter Pendukung... 27

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

D. Tingkat Kelangsungan Hidup ... 35

E. Biomassa ... 37

V. KESIMPULAN A. Kesimpulan ... 40

B. Saran ... 40

(15)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

(16)

vi

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Morfologi Umum Udang Putih (Litopenaeus vannamei) ... 8 2. Kepadatan Bioflok yang Terbentuk selama 30 Hari Pemeliharaan

Udang Putih (L. vannamei) dengan Padat Tebar Berbeda ... 31 5. Laju Pertumbuhan Spesifik Udang Putih (L.vannamei) selama

30 Hari Pemeliharaan dengan Padat Tebar Berbeda ... 33 6. Tingkat Kelangsungan Hidup Udang Putih (L. vannamei) selama

30 Hari Pemeliharaan dengan Padat Tebar Berbeda ... 35 7. Biomassa Udang Putih (L. vannamei) selama 30 Hari Pemeliharaan

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1.Kepadatan Bioflok ... 49

2. Biomassa ... 50

3. Laju Pertumbuhan Spesifik (SGR) ... 52

4. Tingkat Kelangsungan Hidup (SR) ... 50

5. Analisis Ragam Biomassa ... 51

6. Analisis Ragam Laju Pertumbuhan Spesifik Udang ... 53

7. Analisis Ragam Tingkat Kelangsungan Hidup Udang ... 55

8. Data Kelarutan Oksigen ... 56

9. Data Suhu ... 57

10. Data pH ... 58

11. Data Ammonia ... 59

12. Dokumentasi Penelitian ... 60

13. Program Pakan ... 63

(18)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Udang putih (Litopenaeus vannamei) merupakan salah satu komoditas

perikanan laut Indonesia yang memiliki nilai ekonomi tinggi baik di pasar

domestik maupun global. 77% diantaranya diproduksi Negara-negara asia

termasuk Indonesia (FAO, 2012). Faktor utama yang menghambat peningkatan

jumlah produksi udang adalah kesulitan menjaga kualitas air tetap optimal selama

pemeliharaan, yang disebabkan oleh akumulasi senyawa amonia dan nitrit yang

bersifat toksik serta konversi pakan yang tidak stabil (Ebeling et al., 2006;

Hargreaves, 1998). Untuk itu, perlu dikembangkan suatu sistem budidaya efektif

untuk memecahkan permasalahan melalui sistem budidaya berbasis teknologi

bioflok yang menggunakan komunitas mikroorganisme (mikroalga dan bakteri)

Teknologi bioflok merupakan teknologi alternatif dalam budidaya udang

yang sedang popular saat ini. Bioflok merupakan istilah umum dari istilah bahasa

baku “Activated Sludge” (Lumpur Aktif) yang diadopsi dari proses pengolahan

biologis air limbah (biological wastewater treatment ) (Aiyushirota, 2009).

Teknik ini mencoba memproses limbah budidaya secara langsung di dalam petak

budidaya dengan mempertahankan kecukupan oksigen, mikroorganisme, dan C/N

dalam tingkat tertentu. Salah satu bakteri yang dapat membentuk bioflok adalah

(19)

Konsep dasar bioflok adalah mengubah senyawa organik dan anorganik

yang mengandung unsur karbon (C), hidrogen (H), oksigen (O), Nitrogen (N) dan

sedikit fosfor menjadi massa sludge berupa bioflok menggunakan bakteri non

pathogen pembentuk flok (floc forming bacteria) yang mampu mensintesis

biopolimer polyhydroxy alkanoat (PHA) menjadi ikatan bioflok, memproduksi

enzim ekstraselular, memproduksi bakteriosin terhadap bakteri patogen.

Sistem bioflok (heterotrophic system) dalam budidaya perairan

menekankan pada penumbuhan bakteri heterotrof pada kolam untuk

menggantikan komunitas autotrofik yang didominasi oleh fitoplankton (McIntosh,

2000). Secara teoritis Ebeling et al. (2006) dan Mara (2004) menyatakan bahwa bakteri heterotrof merupakan mikroba yang mempunyai laju pertumbuhan 40 kali

lebih cepat daripada mikroba oleh bakteri nitrifikasi. Peningkatan jumlah bakteri

heterotrof dapat menurunkan ammonia-nitrogen total, nitrit dan nitrat dalam

media, baik pada skala laboratorium maupun skala lapang (Ekasari 2008; Hari et

al. 2004; De Schryver dan Verstraete 2009).

Menurut Stickney (2005) protein pakan yang dikonsumsi oleh organisme

akuatik yang dibudidayakan akan dikatabolisme menghasilkan (ekskresi) amoniak

yang merupakan limbah nitrogen utama dari metabolisme protein pada ikan dan

invertebrata akuatik. Pada waktu yang sama bakteri memineralisasi nitrogen

organik dalam pakan yang tidak termakan dan feses menjadi amoniak (Gross &

Boyd 2000). Akumulasi amoniak dapat mencemari media budidaya bahkan

mematikan organisme yang dipelihara. Menurut Ebeling et al. (2006)

ammonia-nitrogen dapat dikonversi menjadi biomassa mikroba (alga, bakteri nitrifikasi dan

(20)

3

Manfaat bioflok di perairan antara lain sebagai sumber pakan tambahan

untuk ikan atau udang, meningkatkan kesehatan, mengurangi nitrogen anorganik

(amoniak, nitrit dan nitrat) yang berpengaruh terhadap peningkatan kualitas air,

meningkatkan pertumbuhan, dan meningkatkan Survival Rate seta mengurangi

Feed Convertion Ratio (FCR).

Menurut Purnomo (2012) kandungan nutrisi bioflok 37-38% dapat

digunakan sebagai altrernatif sumber pakan alami berprotein tinggi bagi ikan

maupun udang. Salah satu organisme akuatik yang dapat memanfaatkan bioflok

adalah udang putih (Litopenaeus vannamei), yang memiliki karakter spesifik laju

pertumbuhan tinggi dan tahan ditebar dengan kepadatan tinggi (Adiwijaya, dkk.

2003). Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai analisis keragaan

udang putih (Litopenaeus vannamei) pada berbagai padat penebaran dengan

sistem bioflok pada fase pendederan

B. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah

1. Mempelajari pengaruh kepadatan penebaran yang berbeda terhadap

pertumbuhan udang putih dengan sistem bioflok pada fase pendederan

2. Mempelajari pengaruh kepadatan penebaran yang berbeda terhadap

tingkat kelangsungan hidup udang putih dengan sistem bioflok pada fase

pendederan

3. Mempelajari pengaruh kepadatan penebaran yang berbeda terhadap

(21)

C. Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terhadap

masyarakat umum tentang pengaruh aplikasi teknologi bioflok dalam budidaya

udang putih (Litopenaeus vannamei) pada berbagai padat penebaran pada fase

pendederan

D. Kerangka Pemikiran

Pemberian pakan buatan berprotein tinggi dalam kegiatan budidaya

menghasilkan limbah yang mengandung bahan-bahan organik seperti N dan NH3

yang dihasilkan dari sisa pakan dan feses. Pada budidaya udang adanya limbah

dalam jumlah tertentu akan menjadi toksik dan dapat merugikan udang. Amoniak

merupakan limbah yang sangat toksik bagi hampir seluruh hewan akuatik

sehingga keberadaanya dalam media pemeliharaan harus dikurangi. Salah satu

cara penanggulangan yang banyak digunakan saat ini adalah dengan teknologi

bioflok.

Bioflok terbentuk dari adanya bakteri heterotrof yang mengasilmilasi total

amoniak (TAN) secara cepat dalam perairan dan dapat dikonversi menjadi protein

bakteri yang dapat tumbuh maksimal melalui peningkatan C/N dengan

menambahkan sumber karbon organik secara kontinyu seperti molase, tepung

terigu dan tepung tapioka (Avnimelech 1999; Ebeling et al., 2006; Hari et al.,

2004). Keseimbangan C/N yang optimal untuk pertumbuhan mikroba oleh

bakteri heterotrof yaitu 10-30 (Avnimelech, 1999: Montoya dan Velasco, 2000;

(22)

5

Bakteri heterotrof merupakan sumber protein tinggi untuk makanan jenis

ikan dan udang tertentu. Salah satu udang yang dapat memanfaatkan bioflok

sebagai pakan adalah udang putih (L. vannamei) yang berbasis akuakultur trophic

level. Sehingga, dengan aplikasi teknologi bioflok diharapkan dapat

meningkatkan efisiensi nitrogen dalam pakan dan dapat memperbaiki kualitas air .

E. Hipotesis

Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

H0 : Diduga tidak ada pengaruh padat tebar berbeda terhadap biomassa,

pertumbuhan, dan tingkat kelangsungan hidup udang putih (L.

(vannamei) dengan sistem bioflok pada fase pendederan

H1 : Diduga ada pengaruh padat tebar berbeda terhadap biomassa,

pertumbuhan, dan tingkat kelangsungan hidup udang putih (L.

(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.Udang Putih (L. vannamei)

1. Klasifikasi dan Morfologi Udang Putih (L. vannamei)

Menurut Haliman dan Dian (2006), klasifikasi udang putih (Litopenaeus

vannamei) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Sub kingdom : Metazoa

Filum : Arthropoda

Subfilum :Crustacea

Kelas : Malacostraca

Subkelas : Eumalacostraca

Superordo : Eucarida

Ordo : Decapodas

Subordo : Dendrobrachiata

Familia : Penaeidae

Sub genus : Litopenaeus

(24)

7

Haliman dan Adijaya (2004) menjelaskan bahwa udang putih memiliki

tubuh berbuku-buku dan aktivitas berganti kulit luar (eksoskeleton) secara

periodik (moulting). Bagian tubuh udang putih sudah mengalami modifikasi

sehingga dapat digunakan untuk keperluan makan, bergerak, dan membenamkan

diri kedalam lumpur (burrowing ), dan memiliki organ sensor, seperti pada

antenna dan antenula.

Kordi (2007) juga menjelaskan bahwa kepala udang putih terdiri dari antena,

antenula,dan 3 pasang maxilliped. Kepala udang putih juga dilengkapi dengan 3 pasang

maxilliped dan 5 pasang kaki berjalan (periopoda). Maxilliped sudah mengalami

modifikasi dan berfungsi sebagai organ untuk makan. Pada ujung peripoda

beruas-ruas yang berbentuk capit (dactylus). Dactylus ada pada kaki ke-1, ke-2,

dan ke-3. Abdomen terdiri dari 6 ruas. Pada bagian abdomen terdapat 5 pasang

(pleopoda) kaki renang dan sepasang uropods (ekor) yang membentuk kipas

bersama-sama telson (ekor) (Suyanto dan Mujiman, 2003).

Bentuk rostrum udang putih memanjang, langsing, dan pangkalnya

hamper berbentuk segitiga. Uropoda berwarna merah kecoklatan dengan

ujungnya kuning kemerah-merahan atau sedikit kebiruan, kulit tipis transparan.

Warna tubuhnya putih kekuningan terdapat bintik-bintik coklat dan hijau pada

ekor (Wayban dan Sweeney, 1991). Udang betina dewasa tekstur punggungnya

keras, ekor (telson) dan ekor kipas (uropoda) berwarna kebiru-biruan, sedangkan

pada udang jantan dewasa memiliki ptasma yang simetris. Spesies ini dapat

(25)

Gambar 1. Morfologi Umum Udang Putih (L. vannamei) (Haliman dan Dian,

2006)

Keterangan

1. Chepalothorax (bagian kepala)

2. Rostrum (cucuk kepala)

3. Mata

4. Antennula ( sungut kecil)

5. Prosartema

6. Antenna ( sungut besar)

7. Maxilliped ( lat bantu rahang)

8. Periopod (kaki jalan)

9. Pleopoda ( kaki renang)

10.Telson ( ujung ekor)

(26)

9

2. Aspek Biologis Udang Putih (L. vannamei)

Udang putih mempunyai kemampuan beradaptasi terhadap salinitas yang luas

dengan kisaran salinitas 0 sampai 50 ppt (Tizol et al., 2004). Temperatur juga

memiliki pengaruh yang besar pada pertumbuhan udang. Udang putih akan mati

jika terpapar pada air dengan suhu dibawah 150 C atau diatas 330C selama 24 jam

atau lebih. Stres subletal dapat terjadi pada 15-22 o C dan 30-330 C. Temperatur

yang cocok bagi pertumbuhan udang putih adalah 23-300C. Pengaruh temperatur

pada pertumbuhan udang putih adalah pada spesifitas tahap dan ukuran. Udang

muda dapat tumbuh dengan baik dalam air dengan temperatur hangat, tapi

semakin besar udang tersebut, maka temperatur optimum air akan menurun

(Wyban et al., 1991).

3. Daur Hidup Udang Putih (L. vannamei)

Siklus hidup udang putih dimulai dari udang dewasa yang melakukan

pemijahan hingga terjadi fertilisasi. Setelah 16-17 jam dari fertilisasi, telur

menetas menjadi larva (nauplius). Tahap naupli tersebut memakan kuning telur

yang tersimpan dalam tubuhnya danakan mengalami moulting, kemudian

metamorphosis menjadi zoea. Zoea akan mengalami metamorfosis menjadi

mysis. Mysis mulai terlihat seperti udang kecil memakan alga dan zooplankton.

Setelah 3 sampai 4 hari, mysis mengalami metamorfosis menjadi postlarva.

Tahap postlarva adalah tahap saat udang sudah mulai memiliki karakteristik

udang dewasa. Keseluruhan proses dari tahap nauplii sampai postlarva

membutuhkan waktu sekitar 12 hari. Kemudian post larva akan dilanjutkan

(27)

B. Gula Pasir atau Gula Tebu

Tebu (Saccharum officinarum L) merupakan salah satu tanaman yang

dapat ditanam di daerah beriklim tropis. Di Indonesia, perkebunan tebu

menempati luas areal ± 321 ribu hektar yang 64,74% diantaranya terdapat di pulau

Jawa. Perkebunan tersebut tersebar di Medan, Lampung, Semarang, Solo dan

Makassar. Dari seluruh perkebunan tebu yang ada di Indonesia, 50% diantaranya

adalah perkebunan rakyat, 30% perkebunan swasta dan hanya 20% perkebunan

Negara (Misran, 2005).

Tebu adalah tanaman yang ditanam untuk bahan baku gula. Tebu

termasuk jenis rumput-rumputan. Tanaman tebu dapat tumbuh hingga 3 meter di

kawasan yang mendukung. Umur tanaman sejak ditanam sampai bisa dipanen

mencapai kurang lebih 1 tahun. Tebu dapat dipanen dengan cara manual atau

menggunakan mesin-mesin pemotong tebu. Daun kemudian dipisahkan dari

batang-batang tebu, kemudian baru dibawa ke pabrik untuk diproses menjadi gula.

Tahapan-tahapan dalam proses pembuatan gula dimulai dari penanaman tebu,

proses ektrasi, pembersihan kotoran, penguapan, kritalisasi, afinasi, karbonasi,

penghilangan warna, dan sampai proses pengepakan sehingga sampai ketangan

(28)

11

Tabel 1.Komponen-komponen dalam batang tebu:

komponen jumlah (%)

Monosakarida 0,5-1,5

Sukrosa 11-19

Zat-zat organik 0,5-1,5

Zat-zat anorganik 0,15

Sabut 11-19

Air 65-75

Bahan-bahan lain 12

sumber: (Misran, 2005)

Menurut Purnomo (2012) ada beberapa sumber karbohidrat yang dapat

digunakan untuk pembentukan bioflok seperti tepung tapioka, molase, tepung

singkong dan salah satunya gula pasir, gula pasir merupakan golongan karbohidrat

dengan C,H dan O sebagai unsur pembentuknya. Gula pasir juga biasa disebut

sukrosa (C12H22O11) dan termasuk golongan disakarida yang berasa manis,

memiliki kandungan C sebesar 42.39% .

C. Bioflok

Aiyushirota ( 2009) menyatakan bahwa Bioflok adalah pemanfaatan

bakteri pembentuk flok (flocs forming bacteria) untuk pengolahan limbah. Tidak

semua bakteri dapat membentuk bioflok dalam air, bakteri pembentuk flok dipilih

dari genera bakteri yang non pathogen, seperti dari genera Bacillus hanya dua

spesies yang mampu membentuk bioflok. Salah satu ciri khas bakteri pembentuk

(29)

(PHA), terutama yang spesifik seperti poli β‐hidroksi butirat. Senyawa ini

diperlukan sebagai bahan polimer untuk pembentukan ikatan polimer antara

substansi substansi pembentuk bioflok (Aiyushirota, 2009).

Bioflok terdiri atas mikroorganisme (bakteri, ragi, fungi, protozoa,

fitoplankton) dan limbah. Komposisi organisme dalam flok akan mempengaruhi

struktur bioflok dan kandungan nutrisi bioflok (Izquierdoet al., 2006; Ju et al.,

2008) dengan ukuran bervariasi kisaran 100 - 1000 m (Azim dan Little., 2008;

de Schryver et al., 2008).

Bakteri yang mampu membentuk bioflok diantaranya:  Zooglea ramigera

Escherichia intermedia

Paracolobacterium aerogenoids

Bacillus subtilis

Bacillus cereus

Flavobacterium

Pseudomonas alcaligenes

Sphaerotillus natans

Tetrad dan Tricoda

D. Bakteri dalam Sistem Bioflok

Penggunaan bakteri dalam budidaya perairan telah banyak dilakukan

terutama dalam bentuk probiotik, baik untuk manajemen kualitas air maupun

sebagai campuran pakan. Beberapa penelitian tentang probiotik telah banyak

(30)

13

meningkatkan kelulushidupan udang (Moriarty, 1999). Far et al. (2009)

membuktikan bahwa Bacillus subtilis mampu menurunkan Vibrio dalam

pencernaan udang serta meningkatkan tingkat kelulusuhidupan dan biomassa.

Menurut Soundarapandian et al. (2010) dan Boonthai et al. (2011), probiotik

memegang peranan penting dalam pertumbuhan, tingkat kelulushidupan udang

dan resistensi terhadap penyakit dan meningkatkan kualitas air.

Bakteri selain mampu menekan pathogen melalui mekanisme kompetisi,

ternyata mampu menghasilkan senyawa yang menguntungkan untuk budidaya

perairan, yaitu Polyhydroxyalkanoat (PHA). Polyhydroxyalkanoat merupakan

polimer yang diproduksi oleh beberapa jenis bakteri, mudah terurai dalam air,

ramah lingkungan, dapat diproduksi dari sumber karbon organik, dan berfungsi

sebagai cadangan karbon dan energi (Santhanam dan Sasidharan, 2010, Shamala

et al., 2003),. Polyhydroxyalkanoat (PHA) tersusun dari 3 hydroxy fatty acid,

yaitu : PHB (poly3hydroxybutyrat, CH3), PHV (poly3hydroxyvalerate, C2H5),

PHHx (poly3hydroxyhexanoate, C3H7).

Dari ketiga polimer tersebut, PHB merupakan polimer yang paling

bermanfaat dalam budidaya perairan. Manfaat PHB antara lain sebagai cadangan

energi bagi ikan/udang, dapat terurai dalam pencernaan, meningkatkan asam

lemak, dan mampu meningkatkan pertumbuhan ikan dan udang (Schryver, 2010).

Berdasarkan beberapa penelitian menunjukkan bahwa polyhydroxybutyrate dapat

menghambat pathogen di usus dan sebagai antimikroba bagi vibrio, E. coli, dan

Salmonella (Boon et al., 2010). Beberapa jenis bakteri yang mampu

(31)

Bacillus cereus (Nair et al., 2008, Margono, 2011), Alcaligenes eutrophus

(Shimizu et al., 1993), Pseudomonas oleovarans (Santhanam dan Sasidharan,

2010).

Dalam sistem bioflok, bakteri berperan sangat dominan sebagai organisme

heterotof. Bakteri memanfaatkan bahan-bahan organik (karbon) sebagai sumber

energi untuk melangsungkan proses biologis dalam lingkungan budidaya. Bakteri

dipacu pertumbuhannya sedangkan fitoplankton ditekan. Agar pertumbuhannya

berjalan dengan baik, salah satunya dengan manipulasi media dan inokulasi jenis

bakteri tertentu. Hal ini berbeda dengan prinsip bioremediasi (probiotik) yang

hanya menambahkan bakteri yang menguntungkan tanpa manipulasi media

budidaya. Bakteri akan tumbuh dengan baik jika media budidaya mempunyai

rasio C/N sekitar 20. Penambahan sumber karbon dalam media budidaya akan

membantu meningkatkan rasio C/N karena limbah yang dihasilkan (sisa pakan,

feses, ekskresi) mengandung rasio C/N kurang dari 10. Selain sebagai penyusun

utama bioflok, bakteri juga menghasilkan polimer polyhydroxyalkanoat (PHA)

yang berfungsi sebagai pembentuk ikatan. (Avnimelech, 2009).

E. Potensi Bioflok Sebagai Pakan Alternatif

Bioflok mengandung nutrisi sangat tinggi (kandungan protein lebih dari

40%), merupakan serat organik yang kaya akan selulosa. Masing-masing

penyusun bioflok menyatu karena bakteri menghasilkan polimer

polyhydroxyalkanoat (PHA) yang dapat membentuk ikatan kompleks. Struktur

(32)

15

Bakteri mempunyai ukuran yang sangat kecil, yaitu kurang dari 5 mikron.

Ukuran yang sangat kecil ini tidak mampu dimanfaatkan oleh ikan atau udang.

Dalam bentuk bioflok, ukurannya mampu mencapai 500 mikron hingga 2 mm,

sehingga ukurannya cukup besar untuk dapat dimakan oleh ikan/udang. Menurut

Manser (2006), ukuran bioflok mencapai diameter 0,1-2 mm. Pemanfaatan

bioflok sebagai pakan udang telah dilakukan oleh Avnimelech (2007).

Keberadaan bioflok sebagai suplemen pakan telah meningkatkan efisiensi

pemanfaatan nutrien pakan secara keseluruhan, bioflok dapat dimanfaatkan baik

secara langsung maupun sebagai tepung untuk bahan baku pakan (Azim & Little,

2008; Ekasari, 2008; Kuhn et al., 2008; 2009). Bakteri heterotrofik mengubah

nutrient-nutrien tersebut menjadi biomass bakteri yang potensial sebagai bahan

pakan ikan/udang. Apabila hal ini dapat berlangsung dengan baik maka buangan

limbah budidaya ikan dapat berkurang secara drastis. Sistem heterotrof

mempunyai potensi untuk diterapkan dalam pemanfaatan limbah amonia pada

pemeliharaan ikan/udang (Gunadi &Hafsaridewi, 2007). Menurut Crab dkk.

(2007) komunitas bakteri yang terakumulasi didalam sistem akuakultur

heterotrofik akan membentuk flok (gumpalan) yang dapat dimanfaatkan sebagai

sumber pakan. Salah satu jenis organisme akuatik yang dapat memakan

komunitas mikrobial dalam bioflok adalah udang

F. Kondisi yang Mendukung Pembentukan Bioflok 1. Aerasi dan pengadukan (pergerakan air oleh aerator)

Oksigen jelas diperlukan untuk pengoksidasian bahan organik (COD/BOD),

kondisi optimum sekitar 4‐5 ppm oksigen terlarut. Pergerakan air harus

(33)

daerah yang memungkinkan bioflok jatuh dan mengendap relatif kecil. Suplai

oksigen harus cukup karena bakteri tersebut bersifat heterotrof sehingga

membutuhkan oksigen. Jika oksigen kurang maka tidak hanya menghambat

pertumbuhan bakteri tetapi juga berbahaya bagi kehidupan ikan/udang dalam

tambak (Maulina, 2009)

Muylder et al. (2010), menyatakan pembentukan bioflok harus memperhatikan

pengaturan aerasi secara intensif karena sangat dibutuhkan untuk proses asimilasi

dari sisa metabolisme udang oleh bakteri. Dalam pembentukan bioflok harus ada

penambahan starter yang mengandung karbon seperti gula, molase, tepung

tapioka, tepung terigu, dan sebagainya. Bakteri memanfaatkan bahan-bahan

organik (karbon) sebagai sumber energi untuk melangsungkan proses biologis

dalam lingkungan budidaya.

2. Rasio C/N

Prinsip dari teknologi bioflok adalah menumbuhkan mikroorganisme terutama

bakteri heterotrof di air budidaya yang dimaksudkan untuk menyerap komponen

polutan, amoniak yang ada diperairan budidaya. Agar dapat terbentuk bioflok,

maka rasio C/N di air tambak budidaya udang pola intensif harus > 10:1

Avnimelech (1999) menyatakan bahwa mengontrol nitrogen anorganik dengan

cara memanipulasi rasio C/N merupakan metode pengendalian potensi untuk

sistem akuakultur. Kemampuan bakteri untuk dapat mengurangi nitrogen

anorganik dalam lingkungan budidaya dan memproduksi protein mikrobial

tergantung pada koefisien konversi mikroba, C/N rasio biomassa bakteri, serta

(34)

17

Berapa banyak karbon yang dibutuhkan oleh bakteri dapat diketahui berdasar

pada nilai C/N rasio bakteri (Willet dan Morrison, 2006). Jika C/N rasio bernilai

tinggi seperti pada perairan alami, maka nitrogen akan semakin cepat hilang

(Berard et al., 1995 dalam Beristain et al., 2005a). Pada lingkungan budidaya

pemberian pakan dengan kandungan protein tinggi akan menyebabkan terjadinya

penyuburan nitrogen. C/N rasio yang ditemukan pada kondisi tersebut sangat

rendah. Berikut merupakan nilai C/N rasio dari beberapa sistem menurut

Beristain et al., (2005) (Tabel 2) :

Tabel 2. C/N rasio berbagai sistem akuatik

No Sistem C/N Rasio

1 Laut 17 – 40 (rata-rata 6.99 – 27.63)

2 Danau 12.5 (rata-rata 6 – 30)

3 Kolam tanah pada tilapia 9.5 (rata-rata 7.1 – 10.55)

4 Sistem resirkulasi pada african catfish ± 2.3

G. Kelebihan dan Kekurangan Teknologi Bioflok

Beberapa kelebihan dan kekurangan dalam penerapan teknologi bioflok

(BFT). Suprapto (2007), menjelaskan bahwa teknologi bioflok memiliki

kelebihan dan kekurangan.

Kelebihan dari teknologi bioflok antara lain:

1. pH relatif stabil dan cenderung rendah sehingga kandungan amoniak (NH3)

relatif rendah.

2. Tidak tergantung dari sinar matahari, namun aktivitasnya menurun apabila

(35)

3. Tidak perlu ganti air (sedikit ganti air) sehingga “biosecurity” terjaga.

4. Limbah tambak (kotoran, alga, sisa pakan, ammonia), dapat didaur ulang dan

dijadikan makanan alami dengan protein tinggi, serta lebih ramah lingkungan.

Kekurangannya dari teknologi bioflok antara lain:

1. Tidak dapat diterapkan pada tambak yang bocor/rembes karena sedikit

pergantian air bahkan tidak ada pergantian air,

2. Memerlukan peralatan (kincir) cukup banyak sehingga kebutuhan listrik lebih

tinggi,

3. Aerasi harus hidup terus karena apabila aerasi kurang maka akan terjadi

pengendapan bahan organik sehingga resiko munculnya H2S tinggi.

H. Sistem Budidaya Tanpa Ganti Air

Sistem budidaya tanpa ganti air merupakan suatu sistem yang efisien

digunakan dalam kegiatan budidaya. Penerapan sistem tersebut dapat menekan

biaya produksi, tidak membutuhkan teknologi tinggi, dan dapat diterima

masyarakat umum (Vidali, 2001). Pada penerapan teknologi tersebut tidak

dilakukan pembuangan feses dan bakteri ke perairan alami, sehingga dapat

menghindari pencemaran perairan. Tanpa dilakukannya pergantian air, maka

berpindahnya organisme pathogen penyebab penyakit dari luar ke suatu wilayah

budidaya maupun sebaliknya dapat dicegah (Lopez et al., 2008). Penerapan

sistem budidaya tanpa ganti air tetap perlu diwaspadai mengingat penurunan

kualitas air sangat mudah terjadi dan dapat menganggu pertumbuhan serta

kesehatan organisme akuatik (Riche dan Garling, 2003). Penurunan kualitas air

(36)

19

ekskresi ikan/udang berupa urin dan feses. Urin dan feses yang dikeluarkan

tersebut mengandung amonia yang merupakan zat berbahaya bagi kesehatan

organisme akuatik (Ghufran, 2009). Amonia akan menjadi racun jika dibiarkan

tetap menumpuk dalam kolam pemeliharaan. Konsentrasi amonia yang tinggi

dalam kolam pemeliharaan mengakibatkan pertumbuhan udang menjadi lambat

dan mengalami kematian sehingga kelangsungan hidup menjadi rendah

(Hargreaves dan Tucker, 2004).

I. Bioflok dan Manajemen Kualitas Air

Kualitas air merupakan salah satu syarat keberhasilan budidaya. Salah

satu masalah utama dalam manajemen kualitas air adalah adanya akumulasi

amonia, Jumlah amonia diekskresikan oleh ikan/udang bervariasi tergantung

jumlah pakan dimasukkan ke dalam kolam atau sistem budidaya (Durborow et al.,

1997). Limbah budidaya yang mengandung nitrogen anorganik sangat besar

(75% dari pakan) merupakan penyebab utama dalam penurunan kualitas air

budidaya udang. Nitrogen anorganik dalam air berada dalam bentuk total

ammonia nitrogen (TAN), nitrit, dan nitrat. TAN dalam bentuk NH3 dan nitrit

berbahaya bagi udang, sedangkan dalam bentuk nitrat tidak berbahaya.

Penambahan sumber karbon akan mengikat nitrogen anorganik menjadi senyawa

organik (masa bakteri) yang mengandung protein tinggi. Avnimelech (1999)

membuktikan bahwa penambakan sumber karbon dengan rasio C/N 20 dapat

menurunkan TAN secara drastis dalam waktu dua jam.

Oksigen terlarut dan pH air pada sistem heterotrof relatif stabil, baik pada

(37)

didominasi oleh udang/ikan dan bakteri, sedangkan pada sistem autotrofik pada

waktu malam hari selain ikan dan bakteri, fitoplankton merupakan pengguna

oksigen yang sangat besar, apalagi jika kepadatan fitoplankton tinggi. pH air

media relatif stabil karena pengguna karbondioksida terbatas sehingga pH tidak

terlalu tinggi baik pada waktu siang maupun malam. Pada sistem autotrof, pH

siang hari akan mencapai puncaknya jika kepadatan fitoplankton tinggi, karena

karbondioksida digunakan oleh fitoplankton untuk melangsungkan aktivitas

fotosintesis (Boyd, 2002)

Sumber nitrogen dalam kolam budidaya udang sebagian besar berasal dari

sisa pakan, kotoran udang, dan hasil ekskresi melalui insang (Durborow et al.,

1997). Nitrogen anorganik dalam kolam budidaya udang dalam bentuk amoniak

nitrogen total (TAN) dan nitrit. T AN mempunyai dua bentuk yaitu amoniak yang

tidak terionisasi (NH3) dan dalam bentuk ion (NH4+). NH3 bersifat toksik pada

udang sedangkan NH4+ tidak bersifat toksik (Boyd, 2000, Durborow et al., 1997).

Keberadaan kedua bentuk TAN tersebut dipengaruhi oleh pH perairan. Semakin

tinggi pH perairan semakin tinggi perentase NH3 dalam kolam. TAN akan

dimanfaatkan oleh fitoplankton dan bakteri sebagai penyusun protein tubuh serta

(38)

21

III. METODOLOGI

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan selama 40 hari dari bulan Februari sampai dengan Maret

2013 bertempat di Laboratorium Budidaya Perairan Fakultas Pertanian

Universitas Lampung, Bandar Lampung

B. Alat dan Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian antara lain:

1. Bakteri Bacillus cereus, sebagai inokulan, didapat dari Universitas Brawijaya

dan bakteri ini sudah dikomersilkan

2. Benur Udang

Benur udang berasal dari BLK (Balai Laut Khatulistiwa) berukuran PL 15

pada fase Intermol.

3. Media Bakteri

Media TSB (Trypticase Soy Broth), TSA (Trypticase Soy Agar), dan PCA

(Plate Count Agar) digunakan sebagai media dalam kultur bakteri

4. Sumber Karbon (C) dan sumber Nitrogen (N)

Glukosa digunakan sebagai sumber C dan pakan buatan (pellet) dengan

(39)

5. Reaksi Amoniak Standar

Reaksi amoniak standar digunakan untuk pengukuran TAN adalah:  MnSO4 0,003 N

Chlorat Solution

Sodium Phenate

C. Peralatan yang digunakan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini : wadah plastik bervolume 10 liter

sebanyak 9 buah, pH meter, DO meter, aerasi, tabung reaksi, cawan petri, gelas

ukur, tabung Erlenmeyer, jarum ose, spreader, hot stirrer, vortex, autoklaf,

inkubator, spektrofotometer, timbangan digital, mikropipet, pipet tetes, kertas

saring, corong, Imhoff Cone, alkohol 70%, aluminium foil, kapas, karet, dan

plastik tahan panas.

D. Desain penelitian

Rancangan yang digunakan dalam penelitian adalah rancangan acak lengkap,

terdiri dari 3 perlakuan (10, 15, 20, ekor/wadah) dan 3 kali ulangan. Data yang

didapat dianalisis dengan Chi-square (α=0.05).

E. Prosedur penelitian E.1 Persiapan wadah

Wadah yang digunakan berupa wadah plastik volume 10 liter sebanyak 9

buah. Wadah dibersihkan dan diisi air laut hingga penuh dan masing-masing

(40)

23

E.2 Kultur bakteri heterotof (Bacillus cereus)

 Media TSB ditimbang sebanyak 3 gram, dan dimasukkan ke dalam tabung

Erlenmeyer

 Ditambahkan air laut sebanyak 100 ml

 Erlenmeyer yang telah berisi larutan TSB kemudian dipanaskan sambil

terus diaduk dengan menggunakan hot stirrer hingga homogen

 Larutan TSB yang telah homogen dimasukkan ke dalam autoklaf dan

disterilisasi pada tekanan 121 atm selama 15-20 menit

 Setelah tekanan menunjukkan 0 atm, penutup autoklaf dibuka, larutan TSB

diangkat, didiamkan agar dingin

 Larutan TSB yang dimasukan ke dalam 10 tabung reaksi masing-masing 7

ml

 Biakan Bacillus cereus diinokulasikan dalam larutan TSB (disisakan 1

larutan TSB tanpa inokulasi dan digunakan sebagai kontrol)  Diinkubasi selama 24-48 jam

 Diukur kepadatan bakteri menggunakan spektrofotometer ( = 625 nm).

E.3 Pembentukan bioflok

Penimbangan bahan-bahan pembentuk bioflok terdiri dari

 Glukosa sebanyak 15,1 gram sebagai sumber karbon (sumber C)

 Pakan udang (pellet) dengan kandungan protein 38% sebanyak 5 gram

sebagai sumber N (Nitrogen)

 Sumber C dan N dimasukkan ke dalam wadah penelitian yang berisi air

(41)

 Campuran diaerasi

 Pada hari ke- 11, bioflok telah terbentuk

F. Tahapan pelaksanaan

F.1. Pemeliharaan udang putih (Litopenaeus vannamei) dalam sistem bioflok

1. Setelah terbentuk bioflok, oksigen terlarut (DO), pH, suhu, dan amoniak

diukur

2. Masing-masing wadah diisi udang putih (L.vannamei) PL 15 fase intermol

dengan padat tebar 10, 15, dan 20 ekor/wadah, dan dipelihara selama 30 hari

3. Udang diberi pakan dengan feeding rate (FR) 5% yang diikuti dengan

penambahan gula sebagai sumber karbon sehingga C/N 20,9

4. Pakan (pellet) dengan kandungan protein 38% diberikan 2 kali sehari.

5. Selama pemeliharaan ditambahkan bakteri Bacillus cereus pada hari ke 3 dan

15 untuk menstimulasi pertumbuhan bakteri heterotof

6. Pertumbuhan diukur pada awal tebar dan akhir pemeliharaan (hari ke-30)

Pengukuran DO, suhu, pH dilakukan setiap 3 hari, sedangkan amoniak diukur

setiap 5 hari.

F.2. Pegukuran kepadatan bakteri

Pengukuran kepadatan bakteri dalam media pemeliharaan dilakukan pada hari

ke 15 dan 31. Penghitungan kepadatan bakteri berdasarkan Filzahazny (2013).

1. Sampel air media pemeliharaan diambil sebanyak 7 ml dimasukkan ke dalam

(42)

25

2. Sampel air diencerkan dengan pengenceran 10-1, 10-2, 10-3, dan 10-4 dan

diplating ke dalam cawan petri, diinkubasi selama 24 jam

3. Dihitung jumlah koloni yang terbentuk

Total bakteri pada media pemeliharaan dihitung dengan menggunakan rumus:

Jumlah koloni bakteri (CFU/ml)

Keterangan:

N: Jumlah bakteri dalam cawan petri (koloni)

fp: faktor pengenceran

S :Jumlah sampel yang diambil dari suspensi bakteri (ml)

F.3.Pengukuran kepadatan bioflok

Pengukuran kepadatan bioflok dilakukan berdasarkan Filzahazny (2013).

1. Menyiapkan alat berupa“imhoff cone”

2. Mengambil flok yang terdapat dalam wadah pemeliharaan menggunakan

gelas ukur sebanyak 1 liter dan dimasukkan ke dalam “imhoff cone”

3. Mengendapkan flok, hingga 30 menit

4. Mengukur endapan flok melalui skala (ml/l) yang tertera pada “imhoff cone”

F.4. Pengukuran AMMONIA (NH3)

Pengukuran ammonia dilakukan dengan cara sebagai berikut:  Diambil sampel air dari setiap wadah pemeliharaan sebanyak 10 ml

 Disaring sampel air dengan menggunakan corong dan kertas saring tempatkan

ke dalam tabung reaksi

 Ditambahkan larutan 0,05 ml MnSO4 setara 1 tetes

(43)

 Ditambahkan larutan 0,6 ml phenol setara 12 tetes

 Ditempatkan pada magnetic stirrer agar larutan homogen

 Dibuat larutan blanko menggunakan akuades dan ditambahkan juga larutan

standar amoniak.

 Ditunggu ± 1 jam hingga larutan berubah warna

 Diamati dengan spektrofotometer ( = 625 nm)

 Penentuan nilai TAN disesuaikan dengan grafik standar berdasarkan rumus :

TAN= 0,357478 . A

 Ammonia dihitung berdasarkan koofisien nilai suhu dan pH

G. Parameter yang diamati

Pengukuran parameter utama, berupa spesific growth rate (SGR), tingkat

kelangsungan hidup (SR), biomassa dilakukan pada awal dan akhir penelitian.

G.1. SGR (Spesific Growth Rate)

Laju pertumbuhan spesifik atau SGR (Specific Growth Rate) diukur

berdasarkan rumus (Purnomo, 2012):

Keterangan :

SGR :Specific Growth Rate atau laju pertumbuhan berat tubuh (%/hari)

Wt :Berat tubuh akhir udang (gram)

Wo :Berat tubuh awal udang (gram)

(44)

27

G.2. Tingkat Kelangsungan Hidup

Kelangsungan hidup adalah perbandingan jumlah udang yang hidup dari

awal hingga akhir penelitian. Kelangsungan hidup dihitung dengan rumus

(Purnomo, 2012) :

Keterangan :

SR =Kelangsungan hidup (%)

Nt = Jumlah benih pada akhir pemeliharaan (ekor)

N0 = Jumlah benih pada awal pemeliharaan (ekor)

G.3. Biomassa udang putih (L. Vannamei)

Biomassa merupakan hasil perkalian berat rata-rata organisme dengan

populasi.

G.4. Pengukuran kualitas air

Parameter kualitas air yang diukur selama penelitian yaitu: DO, suhu, pH,

dan amoniak.

H. Analisis Data H.1. Keragaan udang

Keragaan udang dianalisis dengan analisis chi- square ( αμ 0,05)

H.2. Parameter pendukung

(45)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Kepadatan penebaran yang berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap

pertumbuhan udang putih yang dipelihara dengan sistem bioflok pada

fase pendederan

2. Kepadatan penebaran yang berbeda berpengaruh nyata terhadap tingkat

kelangsungan hidup udang putih yang dipelihara dengan sistem bioflok

pada fase pendederan

3. Kepadatan penebaran yang berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap

biomassa udang putih yang dipelihara dengan sistem bioflok pada fase

pendederan

B. Saran

1. Berdasarkan hasil penelitian disarankan agar dilakukan penelitian

lanjutan mengenai kepadatan penebaran yang optimal terhadap

pertumbuhan, tingkat kelangsungan hidup, dan biomassa udang putih

(46)

DAFTAR PUSTAKA

Adiwidjaya D., Erik, Sutikno. Dan Dwi Sulistinarto. 2003. Produktifitas Pada Budidaya Udang Windu Sistim Tertutup: Peluang Usaha Untuk Mencari Nilai Tambah Bagi Petambak. BalaiBesar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara. Pertemuan PraLintas UPT Budidaya Air Payau dan Laut, Ditjen. Perikanan Budidaya, Jepara September 2003. 39 halaman..

Afrianto, E, dan Liviawaty, E. 2009. Pakan Ikan. (Pembuatan, Penyimpanan, Pengujian, Pengembangan). Kanisius.Yogyakarta.hal 20-31.

Ahmad, T. 1991. Pengelolaan Peubah Mutu Air yang Penting dalam Tambak Udang Intensif. Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai Maros.

Aiyushirota.2009.Konsep Budidaya Udang Sistem Bakteri Heterotrof dengan Bioflocs. Dikutif dari www.aiyushirota.com diakses pada 9 februari 2013.

Anonim, 1985.Pedoman Budidaya Tambak. Deptan. Direktorat Jendral Perikanan. Jakarta. Balai Budidaya Air Payau Jepara. 225 halaman .

Anonim. 1991. Petunjuk Teknis Budidaya Ikan Nila. Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian. 93 hal.

Anonim, 2004.Budidaya Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) yang Ramah Lingkungan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara.39 halaman.

Anonim. 2008. Potensi Udang. Hhtp://id.wikipedia.org/wiki/udng.

Anonimous, 1993.Pedoman Teknis Pembenihan Ikan Bandeng. Departemen Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Perikanan Jakarta. Hal. 37.

Anonimous, 2000.Petunjuk Teknis Budidaya Udang Windu. Dirjen Perikanan Tim MMC Daerah JawaTimur.PT. Aquatik Consultans dan Konsorsium.

(47)

Avnimelech, Y., 2005. Tilapia harvest microbial floes in active suspension research pond.Glob.Aquac. Advocate, October 2005.

Avnimcleeh,Y., 2007, Feeding with microbial flocs by tilapia in minimal discharge bio-flocs technology ponds.Aquaculture 264,140-147.

Avnimelech. 2009. Biofloc Technology: A Practical Guide Book. World Aquaculture Society: Louisiana, USA. 120p.

Azim, M.E., Little, D.C., Bron, .I.E., 2007. Microbial protein production in activated suspension tanks manipulating C/N ratio in feed and

implications for fish culture. Bioresource Technology 99, 3590-3599.

Azim, M.E., Little, D.C. 2008. The biofloc technology (BFT) in indoor tanks: Water quality, biofloc composition, and growth and welfare of Nile tilapia (Oreochromis niloticus). Aquaculture 283,29-35.

Beristain BT, Verdegem M, Avnimelech Y. 2005a. Microbial ecology and role in aquaculture ponds. Di dalam: Organic matter decomposition in simulated aquaculture ponds. PhD Thesis. Fish Culture and Fisheries Group.Wageningen Institute of Animal Science.Wageningen University. Netherlands

Beristain BT, Pilarcyzk B, Verdegem M, Verreth MCJ, Verreth JAJ. 2005b. Effect of C/N ratio and oxic conditions on organic matter decomposition in lab-scale intensive freshwater systems. Di dalam: Organic matter decomposition in simulated aquaculture ponds. PhD Thesis.Fish Culture and Fisheries Group. Wageningen Institute of Animal Science. Wageningen University. Netherlands

Boon, N., T. Defroit., W. de Wind., T. Van De Wiele, W. Verstraete. 2010. Hydroxybutyrate and Polyhydroxybutyrate as Components of Animal Feed or Feed Additives. Patent Application Publucation.April : 1-4.

Boyd, C.E. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture.Dv. In Aquaculture and Fish Science, Vol. 9. Elsevier Scientific.Pub. Comp.

Boyd, C.E. 1989. Water Quality Management and Aeration in Shrimp Farming. Fisheries and Allied Aquacultures Departement Series No.2.Alabama Agramicultural Experiment Station. Auburn University, Alabama.

(48)

43

Burford, M.A., Thompson, P.J., McIntosh, R.P., Bauman, R.H., Pearson, D.C., 2004.The contribution of flocculated material to shrimp (Litopenaeus vannamei) nutrition in a high-intensity, zeroexchange sistem.Aquaculture 232, 525-537.

Crab, R., Y. Avnimelech, T. Defoirdt, P. Bossier, and W. Verstraete. 2007. Nitrogen Removal Techniques in Aquaculture for Sustainable Production. Aquaculture, 270: 1-14.

Crab, R., Chielens, B., Wille, M., Bossier, P., Verstraete, W. 2009. The effect of different carbon sources on the nutritional value of bioflocs, a feed for Macrobrachiumrosenbergii post larvae. Aquaculture Research, in press.

Defoirdt, T., Halet, D., Vervaeren, H., Boon, N., Van de Wiele, T., Sorgeloos, P., Bossier, P., Verstraete, W., 2007.The bacterial storage compound of poly-b-hydrobutyrate protects Artemiafransiseana from pathogenic Vibrio campbellii. Environ. Microbiol. 9 (2), 445-452.

De Schryver P., Crab, R. Detroit, T. Boon, N., Verstrate, W. 2008. The Basic of Biofloc Technology: The Added Value For Aquaculture, 227: 125- 137.

De Schryver, P. and Verstraete, W. 2009. Nitrogen removal from aquaculture pond water by heterotrophic nitrogen assimilation in lab-scale sequencing batchreaktors. Bioresource Technology 100, 1162-1167.

Durborow, R.,David M., Martin W. 1997. Ammonia in Fish Ponds.Southern Regional Aquaculture Center, SRAC publication 463.

Ebeling J.M. Timmons MB, Bisogni JJ. 2006. Engineering Analysis Of The Stoichiometry Of Photoautotrophic, Autotrophic, And Heterotrophic Removal Of Ammonia-Nitrogen In Aquaculture Systems. Aquaculture257: 346-358.

Effendie, M. I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan pustaka nusantara. Bogor.163 hal.

Effendi, H. 2003.Telaah Kualitas Air Bagi Proses Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta

Ekasari. J. 2008. Bio-Flocs Technology: The Effect Of Different Carbon Source, SalinityAnd The Addition Of Probiotics On The Primary Nutritional Value Of The Bio-Flocs [Tesis]. Gent: Faculty Of Bioscience Engineering. Ghent University.[FAO] Food and Agricultural Organization. 2007. The State of World Fisheries.

Filzahazny.2013.”Perhitungan Mikroba, Blog Filzahazzny”.http://perhitungan- mikroba- filzahazny.blogspot.com.(4 Juni 2013).

(49)

Ghufran, 2009.Budidaya Perairan. Buku Kedua. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Gross A, dan C.E. Boyd. 2000. Nitrogen Transformations And Balance In Chanel Ctfish Ponds. Aquaculture Engineering 24: 1-14.

Gunadi dan Hafsari dewi, 2007. Pemanfaatan Limbah Budidaya Ikan Lele (Clarias gariepenus). Intensif Dengan Sistem Heterotrofik Untuk Pemeliharaan Ikan Nila. Laporan Akhir Kegiatan Riset 2007 Sukamandi: Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar. 18 Hal.

Hadie, W., Rejeki, S., & Hadie, L.E. 1995. Pengaruh pemotongan tangkai mata (ablasi) terhadap pertumbuhan yuwana udang galah (Macrobrachium rosenbergii). J. Pen. Perik. Indonesia. 1(1): 37-44.

Haliman, R. W Adijaya D.S. 2004.Udang Vannamei. Penebar Swadaya. Jakarta.

Haliman, R.W. dan Adijaya, D. 2005.Udang Vannamei. Penebar Swadaya. Jakarta

Haliman, R.W dan Dian A.S. 2006. Udang Vannamei. Penebar Swadaya. Jakarta

Hargreaves, J.A., 1998. Nitrogen biogeochemistry of aquaculture ponds. Aquaculture, 166, 181-212.

Hargreaves dan Tucker. 2004. Managing Ammonia in Fish Ponds. Southern Regional Aquaculture Center (SRAC) No. 4603.

Hari, B., Madhusoodana, K.., Varghese, J.T., Schrama, J.W., Verdegem, M.C.J., 2004. Effects of carbohydrate addition on production in extensive shrimp culture sistems. Aquaculture 241, 179-194.

Herper,b. and Y Prugnin. 1984. Commercial Fish Farming, With The Special Reference To Fish Culture In Israel. Jhon Wiley and sons. New York

Izquierdo et al., 2006.Effect of Green Clear Water and Lipid Source on Survival, Growth and Biochemical Compositon of Pasific White Shrimp

Litopenaeus vannamei. Aquaculture Nutrition.12: 192- 202.

Jaya, Rusdi. 2011. Hubungan Parameter Kualitas Air Dalam Budidaya Ikan Nila. (Skripsi). Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan. Fakultas Pertanian Universitas Negeri Musamus. Merauke.

Ju, et al., 2008. Enhached Growth Effect on Shrimp (Litopenaeus vannamei) From the Inclusion of Whole Shrimp Floc or Floc Fractions to a Formulated Diet. Aquaculture Nutrition, 14: 533- 543.

(50)

45

Kuhn, D.D., Boardman, G.D., Craig, S.R., Flick Jr., G.J., McLean, E. 2008. Use of microbial flocs generated from tilapia effluent as a nutritional supplement for shrimp, Litopenaeus vannamei, in recirculating

aquaculture systems- Journal of the World Aquaculture Society 39,72-82.

Kuhn, D.D., Boardman, G.D., Lawrence, A.L., Marsh, L., Flick Jr., G.J.

2009.Microbial floc meal as a replacement ingredient for fish meal and soybean protein in shrimp feed. Aquaculture 296, 51-57.

Lesmana, D.S. 2004. Kualitas Air untuk Ikan Hias Air Tawar. Penebar Swadaya. Jakarta.

Lopez, Adams, Cato, dan Sweat. 2008. Economic Analysis of an intensive, Zero- water Exchange, Saltwater Shrimp Culture Demonstration Projectin Nicaragua. Document FE361, A Publication of the Department of Food and Resource Economics, Florida Cooperative Extension Service, Institute of Food and Agricultural Sciences, University of Florida.

Mara, D., 2004.Domestic waste water treatment in developing countries. Earthscan. UK. 293p.

Maulina,2009. Aplikasi Teknologi Bioflok Dalam Budidaya Udang Putih (Litopenaeus vannamei Boone) Tesis School of Life Science and Technology. ITB. Bandung.

McIntosh RP. 2000. Changing paradigms in shrimp farming : establishment of heterotrophic bacterial communities. Global Aquaculture Alliance : April 2000

McIntosh RP. 2001. Changing paradigms in shrimp farming : establishment of heterotrophic bacterial communities. Global Aquaculture Alliance

Merryanto, Y. 2000. Struktur Komunitas Ikan dan Asosiasinya dengan Padang Lamun di Perairan Teluk Awur Jepara. Program Pasca Sarjana, IPB. Bogor.

Misran, 2005.Industri Tebu Menuju Zero Waste Industry. Medan Program Studi Teknik Kimia. Fakultas Teknik Universitas Sumatra Utara. Hal 10.

Montoya, R. and M. Velasco. 2000. Role Of Bacteria On Nitritional And Management Strategis In Aquaculture System. The Advocated, April 2000. P. 35-36.

(51)

Muylder, E., Claessens L., Mekki H. 2010. Production of Shrimp (Litopenaeus vannamei) Without Marine Protein in a Bioflocs System. Aquafeed Magazine.

Otari,S.V. and J.S. Ghosh.2009. Production and Characterization of Polymer Polyhydroxybutyrate-co-polyhydroxyvalerut by Bacillus megaterium NCIM 2475. Current Research Journal of Biological Sciences 1 (2):23-26.

Poernomo, A.1990. Faktor Lingkungan Dominan Pada Budidaya Tambak Udang Intensif. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Purnomo, Panca, Dias. 2012. Pengaruh Penambahan Karbohidrat Pada Media Pemeliharaan Terhadap Produksi Budidaya Intensif Nila (Oreochromis niloticus). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro. Halaman 161-179.

Riche dan Garling. 2003. Feeding Tilapia in Intensive Recirculating System. North Central Regional Aquaculture Center.

Sahidir, I. 2011. Teknologi Bioflok: Teori dan Praktek. http/www.bioteknology- tambak-info.com. diakses 10 Maret 2011.

Santhanam, A. and S. Sasidharan. 2010. Microbial Production of Polyhydroxyalkanoates (PHA) fromAlcaligenssppAnd Pseudomonas oleovorans using different carbon. African Journal Biotechnology 9 (21):3144-3150.

Shirota, A. 2008. Concept Of Heterotrophic Bacteria System Using Bioflocsin Shrimp Aquaculture. Biotechnology Consulating and Trading.

Shimizu, H., Shinji Tamura, SuteakiShioya, Ken-ichiSuga. 1993. Kinetic Study of Poly-D(-)-3-hydroxy butyric acid (PHB) Production and its Molecular weight distribution control inafed-batch culture of Alcaligenseutrophs. Journal of Fermentation and Biotechnology 7(6):s 465-469

Soetedjo, H., 2011. Kiat Sukses Budidaya Lobster Air Tawar. Araska Press, Yogyakarta. 118 hal.

Stickney.R.R. 2005.Aquculture: An Introductory Text. USA: CABI Publishing.

Sumeru, S. U dan S. Anna. 1992. Pakan Udang Windu (Penaeus monodon). Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

(52)

47

Suryaningrum,Maharani, Fransiska. 2012. Aplikasi Teknologi Bioflok Pada Pemeliharaan Benih Ikan Nila (Oreochromis nilotics) (Tesis). Universitas terbuka. Jakarta.

Tacon, A.G.J. 1987. The Nutrition and Feeding of Farmed Fish and Shrimp—A Training Manual. 1. The Essential Nutriens. Food and Agriculture Organization of the United Nations, GCP/RLA/075/ITA, Brazil, 117 pp.

Tiensongrusme, B. 1990. Shrimp Culture Improvementin Indonesia. Bulletin Brackish water Aquaculture Development Center.

Unisa, Rema. 2000. Pengaruh padat penebaran terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup benih ikan lele dumbo dalam sistem resirkulasi dengan debit air 33LPM/M3. (skripsi). Institut Pertanian Bogor. Hal 6.

Van Wyk, P. and Avnimelech, Y. 2007. Management of nitrogen cycling and microbial populations in biofloc-based aquaculture sistems. Presented in World Aquaculture Society Meeting, San Antonio, Texas, USA. February 26 to March 2,2007.

Vidali, M. Bioremediation. An overview. 2001. IUPAC, Pure and Applied Chemistry 73: 116-1172.

Wardoyo, S.T.H. 1997. Pengelolaan Kualitas Air Tambak Udang. Makalah dalam Seminar Latihan Manajemen Tambak Udang dan Hatchery. Himpunan Mahasiswa Akuakultur Fakultas Perikanan. IPB. Bogor.

Gambar

Gambar 1. Morfologi Umum Udang Putih (L. vannamei) (Haliman dan Dian,
Tabel 1.Komponen-komponen dalam batang tebu:
Tabel 2.  C/N rasio berbagai sistem akuatik

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa tingkat kelangsungan hidup pascalarva udang vaname yang diberi keempat kandidat probiotik memiliki perbedaan yang signifikan

yang dianjurkan pada budidaya udang vaname untuk meningkatkan sistem imun, tingkat kelangsungan hidup udang dan menekan pertumbuhan bakteri .parahaemolyticus adalah

adalah untuk mengetahui tingkat ekoefisiensi kegiatan pembesaran udang vanname berbasis teknologi bioflok dan bagaimana pengelolaan yang tepat untuk mengurangi dampak negatif

Hasil penelitian menunjukan bahwa kualitas air tambak udang vannamei selama penelitian berada dalam kisaran toleransi untuk kelangsungan hidup udang vannamei dengan

Untuk mendorong peningkatan produksi perlu dilakukan penelitian pemupukan dan kepadatan berbeda terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan post larva udang vanname

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penggunaan bioflok yang dikombinasikan dengan probiotik terhadap sistem imun udang vaname (Litopenaeus vannamei) yang di uji tantang

Harefa (1996) menyatakan faktor yang paling mempengaruhi tingkat kelulusan hidup larva udang vannamei yaitu kualitas air pada media pemeliharaan dan kualitas

Kepadatan tebar yang berbeda menghasilkan panjang akhir benur udang vanamei yang berbeda pada masa pemeliharaan dua minggu dan empat minggu (p<0,05).. Panjang akhir