ABSTRACT
PERFORMANCE OF WHITE SHRIMP (Litopenaeus vannamei) AT
VARIOUS LEVELS OF THE STOCKING DENSITY IN BIOFLOC
SYSTEM ON THE NURSERY PHASE
BY
RINI LIAN AGUSTINA
White shrimp (Litopenaeus vannamei) is one of Indonesia's marine fisheries commodities that has high economic value. White shrimp farming is generally done with a high degree of density with intensive systems. The main factors that inhibit the increase in the number of shrimp production is a difficulty in maintaining water quality caused by the accumulation of ammonia and nitrite compounds that are toxic and high feed conversion. Biofloc technology application is expected to reduce waste (ammonia and nitrite) and to improve the efficiency of nutrient utilization. This technique of cultivation removes waste directly in the container of cultivation by maintaining adequated oxygen, microorganisms, and C / N ratio in a certain degree. Seed size 15 PL stocked at container capacity of 10 liters with 3 levels of density (10, 15, 20 fish / container). Parameters measured were growth rate, survival rate (SR) and water qualites (DO, temperature, pH, and ammonia). The results showed that the density of white shrimp with biofloc system affected survival rates, but no effect on the growth and biomass of white shrimp (Litopenaeus vannamei).
ABSTRAK
KERAGAAN UDANG PUTIH (LITOPENAEUS VANNAMEI) PADA BERBAGAI TINGKAT KEPADATAN PENEBARAN DENGAN
SISTEM BIOFLOK PADA FASE PENDEDERAN
OLEH
RINI LIAN AGUSTINA
Udang putih (Litopenaeus vannamei) merupakan salah satu komoditas perikanan yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Budidaya udang putih umumnya dilakukan dengan tingkat kepadatan yang tinggi dengan sistem intensif. Faktor utama yang menghambat dalam peningkatan jumlah produksi udang adalah kesulitan menjaga kualitas air yang disebabkan oleh akumulasi senyawa amonia dan nitrit yang bersifat toksik serta konversi pakan yang tinggi. Aplikasi teknologi bioflok diharapkan mampu menurunkan limbah (amonia dan nitrit) dan meningkatkan efisiensi pemanfaatan nutrient. Teknik ini memproses limbah budidaya secara langsung di dalam wadah budidaya dengan mempertahankan kecukupan oksigen, mikroorganisme, dan rasio C/N dalam tingkat tertentu. Benih berukuran PL 15 ditebar pada wadah berkapasitas 10 liter dengan 3 tingkat kepadatan (10, 15, 20 ekor/wadah). Parameter yang diamati adalah tingkat pertumbuhan, tingkat kelangsungan hidup (SR) dan kualitas air (DO, Suhu, pH, dan Ammonia). Hasil penelitian menunjukan bahwa kepadatan pemeliharaan udang dengan sistem bioflok berpengaruh terhadap tingkat kelangsungan hidup, akan tetapi tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan, dan biomassa udang putih (Litopenaeus vannamei).
Analisis Keragaan Udang Putih (Litopenaeus vannamei) Pada Berbagai Padat Penebaran Dengan Sistem Bioflok Pada Fase Pendederan
(Skripsi)
RINI LIAN AGUSTINA
JURUSAN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG
RIWAYAT HIDUP
Rini Lian Agustina dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 6 Agustus 1989,
sebagai anak pertama dari 2 bersaudara, dari pasangan Bapak Dulmiri Asmun dan
Ibu Hayani. Penulis mengawali pendidikan dari Taman Kanak- kanak di TK AL-
HIDAYAH Bandar Lampung pada tahun 1994.
Pada tahun 1995 penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Dasar (SD) Negeri 1
Kampung Sawah Lama (Kasala) Bandar Lampung. Kemudian penulis
melanjutkan pendidikan di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri 5
Bandar Lampung pada tahun 2001-2004 dan Sekolah Menengah Atas (SMA)
Negeri 12 Bandar Lampung pada tahun 2004 hingga lulus tahun 2007. Pada tahun
2008 penulis terdaftar sebagai mahasiswi Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas
Pertanian, Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa
Baru (SPMB).
Selama menjadi mahasiswi, penulis aktif dalam organisasi kampus, yaitu menjadi
pengurus Himpunan Mahasiswa Budidaya Perairan Unila (HIDRILA) periode
2009/2010. Penulis juga aktif mengikuti kegiatan yang berhubungan dengan
judul “Pembenihan Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis)”.
Penulis melaksanakan penelitian dan menyelesaikan tugas akhir untuk mencapai
SANWACANA
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan karunia-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”
ANALISIS KERAGAAN UDANG PUTIH (Litopenaeus vannamei) PADA
BERBAGAI PADAT PENEBARAN DENGAN SISTEM BIOFLOK PADA
FASE PENDEDERAN” Shalawat serta salam selalu tercurah kepada Nabi
Muhamad SAW yang selalu menjadi suri tauladan bagi kita.
Dengan terselesaikannya penelitian dan laporan skripsi ini, penulis mengucapkan
terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung penulis
selama proses pelaksanaan penelitian dan penyelesaian skripsi. Ucapan
terimakasih tersebut penulis berikan kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S., selaku Dekan Fakultas Pertanian
Universitas Lampung atas semua fasilitas yang telah diberikan kepada penulis.
2. Ibu Ir. Siti Hudaidah, M.Sc., selaku Pembimbing I dan Ketua Jurusan Budidaya
Perairan, atas semua waktu ekstra, motivasi, serta semua saran yang
membangun hingga selesainya penyusunan skripsi.
3. Bapak Supono .S.Pi., M.Si., selaku Pembimbing II, atas waktu, saran, koreksi
5. Seluruh Dosen dan karyawan (mas Bambang, mba nanda, bu ismini) Jurusan
Budidaya Perairan, Pertanian. Atas semua curahan ilmu serta dukungan moril
hingga terselesaikannya skripsi ini.
6. Ayahanda tercinta (Dulmiri Asmun) Ibunda tercinta (Hayani) serta Adikku
(Septia Kurnila Handu Binda) yang telah memberikan motivasi, semangat,
nasihat, curahan kasih sayang baik moril maupun materil, dan selalu
mendoakan yang terbaik untuk penulis.
7. Teman-teman se-perjuangan Icha, Nani, mb’ cory, Ajeng, Dahlia, Susi, Novita,
Nindri, Ani, Nurma, Fredi, Basis, Nasyir, Dedo, hendra, dan semua teman
angkatan 2008 yang tidak bisa disebutkan satu per satu namanya terima kasih
atas kebersamaan, dukungan, perhatian dan semangat yang diberikan
8. Seseorang yang kelak akan menjadi imam bagiku, terimakasih atas motivasi,
kasih sayang, dan do’anya.
9. Sahabat-sahabatku icha, ika, asa, yang selalu menemani bukan hanya di saat suka
duka, makasih buat waktu, buat nasihat- nasihat nya, bahkan semua perhatian
kalian ngak bisa diungkapin dengan kata-kata.
10. Teman-teman jurusan Budidaya Perairan dari angkatan 2004 hingga 2013 serta
semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas doa dan dukungan
kepada penulis.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan, kesalahan dan jauh dari
kesempurnaan dalam penyusunan skripsi ini. Besar harapan penulis kepada semua
selanjutnya dapat membuat skripsi yang lebih baik. Terimakasih, semoga laporan
ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Bandar Lampung, Juni 2014
Penulis
DAFTAR ISI
E. Potensi Bioflok Sebagai Pakan Alternatif ... 14
F. Kondisi yang Mendukung Pembentukan Bioflok ... 15
1. Aerasi dan Pengadukan (Pergerakan Air oleh Aerator) ... 15
2. Rasio C/N ... 16
G. Kelebihan dan Kekurangan Teknologi Bioflok ... 17
H. Sistem Budidaya tanpa Ganti Air ... 18
I. Bioflok dan Manajemen Kualitas Air ... 19
III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat ... 21
B.Alat dan Bahan ... 21
C. Perlatan yang Digunakan... 22
D. Desain Penelitian ... 22
E. Prosedur Penelitian ... 22
iv
2. Kultur Bakteri Heterotrof (Bacillus cereus) ... 23
3. Pembentukan Bioflok ... 23
F. Tahapan Pelaksanaan ... 24
1. Pemeliharaan Udang Putih dalam Sistem Bioflok ... 24
2. Pengukuran Kepadatan Bakteri ... 24
3. Pengukuran Kepadatan Bioflok ... 25
4. Pengukuran Ammonia (NH3) ... 25
G. Parameter yang Diamati ... 26
1. SGR (Spesific Growth Rate) ... 26
2. Tingkat Kelangsungan Hidup ... 27
3. Biomassa Udang Putih ... 27
4. Pengukuran Kualitas Air ... 27
H. Analisis Data ... 27
1. Keragaan Udang ... 27
2. Parameter Pendukung... 27
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
D. Tingkat Kelangsungan Hidup ... 35
E. Biomassa ... 37
V. KESIMPULAN A. Kesimpulan ... 40
B. Saran ... 40
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Morfologi Umum Udang Putih (Litopenaeus vannamei) ... 8 2. Kepadatan Bioflok yang Terbentuk selama 30 Hari Pemeliharaan
Udang Putih (L. vannamei) dengan Padat Tebar Berbeda ... 31 5. Laju Pertumbuhan Spesifik Udang Putih (L.vannamei) selama
30 Hari Pemeliharaan dengan Padat Tebar Berbeda ... 33 6. Tingkat Kelangsungan Hidup Udang Putih (L. vannamei) selama
30 Hari Pemeliharaan dengan Padat Tebar Berbeda ... 35 7. Biomassa Udang Putih (L. vannamei) selama 30 Hari Pemeliharaan
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1.Kepadatan Bioflok ... 49
2. Biomassa ... 50
3. Laju Pertumbuhan Spesifik (SGR) ... 52
4. Tingkat Kelangsungan Hidup (SR) ... 50
5. Analisis Ragam Biomassa ... 51
6. Analisis Ragam Laju Pertumbuhan Spesifik Udang ... 53
7. Analisis Ragam Tingkat Kelangsungan Hidup Udang ... 55
8. Data Kelarutan Oksigen ... 56
9. Data Suhu ... 57
10. Data pH ... 58
11. Data Ammonia ... 59
12. Dokumentasi Penelitian ... 60
13. Program Pakan ... 63
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Udang putih (Litopenaeus vannamei) merupakan salah satu komoditas
perikanan laut Indonesia yang memiliki nilai ekonomi tinggi baik di pasar
domestik maupun global. 77% diantaranya diproduksi Negara-negara asia
termasuk Indonesia (FAO, 2012). Faktor utama yang menghambat peningkatan
jumlah produksi udang adalah kesulitan menjaga kualitas air tetap optimal selama
pemeliharaan, yang disebabkan oleh akumulasi senyawa amonia dan nitrit yang
bersifat toksik serta konversi pakan yang tidak stabil (Ebeling et al., 2006;
Hargreaves, 1998). Untuk itu, perlu dikembangkan suatu sistem budidaya efektif
untuk memecahkan permasalahan melalui sistem budidaya berbasis teknologi
bioflok yang menggunakan komunitas mikroorganisme (mikroalga dan bakteri)
Teknologi bioflok merupakan teknologi alternatif dalam budidaya udang
yang sedang popular saat ini. Bioflok merupakan istilah umum dari istilah bahasa
baku “Activated Sludge” (Lumpur Aktif) yang diadopsi dari proses pengolahan
biologis air limbah (biological wastewater treatment ) (Aiyushirota, 2009).
Teknik ini mencoba memproses limbah budidaya secara langsung di dalam petak
budidaya dengan mempertahankan kecukupan oksigen, mikroorganisme, dan C/N
dalam tingkat tertentu. Salah satu bakteri yang dapat membentuk bioflok adalah
Konsep dasar bioflok adalah mengubah senyawa organik dan anorganik
yang mengandung unsur karbon (C), hidrogen (H), oksigen (O), Nitrogen (N) dan
sedikit fosfor menjadi massa sludge berupa bioflok menggunakan bakteri non
pathogen pembentuk flok (floc forming bacteria) yang mampu mensintesis
biopolimer polyhydroxy alkanoat (PHA) menjadi ikatan bioflok, memproduksi
enzim ekstraselular, memproduksi bakteriosin terhadap bakteri patogen.
Sistem bioflok (heterotrophic system) dalam budidaya perairan
menekankan pada penumbuhan bakteri heterotrof pada kolam untuk
menggantikan komunitas autotrofik yang didominasi oleh fitoplankton (McIntosh,
2000). Secara teoritis Ebeling et al. (2006) dan Mara (2004) menyatakan bahwa bakteri heterotrof merupakan mikroba yang mempunyai laju pertumbuhan 40 kali
lebih cepat daripada mikroba oleh bakteri nitrifikasi. Peningkatan jumlah bakteri
heterotrof dapat menurunkan ammonia-nitrogen total, nitrit dan nitrat dalam
media, baik pada skala laboratorium maupun skala lapang (Ekasari 2008; Hari et
al. 2004; De Schryver dan Verstraete 2009).
Menurut Stickney (2005) protein pakan yang dikonsumsi oleh organisme
akuatik yang dibudidayakan akan dikatabolisme menghasilkan (ekskresi) amoniak
yang merupakan limbah nitrogen utama dari metabolisme protein pada ikan dan
invertebrata akuatik. Pada waktu yang sama bakteri memineralisasi nitrogen
organik dalam pakan yang tidak termakan dan feses menjadi amoniak (Gross &
Boyd 2000). Akumulasi amoniak dapat mencemari media budidaya bahkan
mematikan organisme yang dipelihara. Menurut Ebeling et al. (2006)
ammonia-nitrogen dapat dikonversi menjadi biomassa mikroba (alga, bakteri nitrifikasi dan
3
Manfaat bioflok di perairan antara lain sebagai sumber pakan tambahan
untuk ikan atau udang, meningkatkan kesehatan, mengurangi nitrogen anorganik
(amoniak, nitrit dan nitrat) yang berpengaruh terhadap peningkatan kualitas air,
meningkatkan pertumbuhan, dan meningkatkan Survival Rate seta mengurangi
Feed Convertion Ratio (FCR).
Menurut Purnomo (2012) kandungan nutrisi bioflok 37-38% dapat
digunakan sebagai altrernatif sumber pakan alami berprotein tinggi bagi ikan
maupun udang. Salah satu organisme akuatik yang dapat memanfaatkan bioflok
adalah udang putih (Litopenaeus vannamei), yang memiliki karakter spesifik laju
pertumbuhan tinggi dan tahan ditebar dengan kepadatan tinggi (Adiwijaya, dkk.
2003). Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai analisis keragaan
udang putih (Litopenaeus vannamei) pada berbagai padat penebaran dengan
sistem bioflok pada fase pendederan
B. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah
1. Mempelajari pengaruh kepadatan penebaran yang berbeda terhadap
pertumbuhan udang putih dengan sistem bioflok pada fase pendederan
2. Mempelajari pengaruh kepadatan penebaran yang berbeda terhadap
tingkat kelangsungan hidup udang putih dengan sistem bioflok pada fase
pendederan
3. Mempelajari pengaruh kepadatan penebaran yang berbeda terhadap
C. Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terhadap
masyarakat umum tentang pengaruh aplikasi teknologi bioflok dalam budidaya
udang putih (Litopenaeus vannamei) pada berbagai padat penebaran pada fase
pendederan
D. Kerangka Pemikiran
Pemberian pakan buatan berprotein tinggi dalam kegiatan budidaya
menghasilkan limbah yang mengandung bahan-bahan organik seperti N dan NH3
yang dihasilkan dari sisa pakan dan feses. Pada budidaya udang adanya limbah
dalam jumlah tertentu akan menjadi toksik dan dapat merugikan udang. Amoniak
merupakan limbah yang sangat toksik bagi hampir seluruh hewan akuatik
sehingga keberadaanya dalam media pemeliharaan harus dikurangi. Salah satu
cara penanggulangan yang banyak digunakan saat ini adalah dengan teknologi
bioflok.
Bioflok terbentuk dari adanya bakteri heterotrof yang mengasilmilasi total
amoniak (TAN) secara cepat dalam perairan dan dapat dikonversi menjadi protein
bakteri yang dapat tumbuh maksimal melalui peningkatan C/N dengan
menambahkan sumber karbon organik secara kontinyu seperti molase, tepung
terigu dan tepung tapioka (Avnimelech 1999; Ebeling et al., 2006; Hari et al.,
2004). Keseimbangan C/N yang optimal untuk pertumbuhan mikroba oleh
bakteri heterotrof yaitu 10-30 (Avnimelech, 1999: Montoya dan Velasco, 2000;
5
Bakteri heterotrof merupakan sumber protein tinggi untuk makanan jenis
ikan dan udang tertentu. Salah satu udang yang dapat memanfaatkan bioflok
sebagai pakan adalah udang putih (L. vannamei) yang berbasis akuakultur trophic
level. Sehingga, dengan aplikasi teknologi bioflok diharapkan dapat
meningkatkan efisiensi nitrogen dalam pakan dan dapat memperbaiki kualitas air .
E. Hipotesis
Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
H0 : Diduga tidak ada pengaruh padat tebar berbeda terhadap biomassa,
pertumbuhan, dan tingkat kelangsungan hidup udang putih (L.
(vannamei) dengan sistem bioflok pada fase pendederan
H1 : Diduga ada pengaruh padat tebar berbeda terhadap biomassa,
pertumbuhan, dan tingkat kelangsungan hidup udang putih (L.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A.Udang Putih (L. vannamei)
1. Klasifikasi dan Morfologi Udang Putih (L. vannamei)
Menurut Haliman dan Dian (2006), klasifikasi udang putih (Litopenaeus
vannamei) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Sub kingdom : Metazoa
Filum : Arthropoda
Subfilum :Crustacea
Kelas : Malacostraca
Subkelas : Eumalacostraca
Superordo : Eucarida
Ordo : Decapodas
Subordo : Dendrobrachiata
Familia : Penaeidae
Sub genus : Litopenaeus
7
Haliman dan Adijaya (2004) menjelaskan bahwa udang putih memiliki
tubuh berbuku-buku dan aktivitas berganti kulit luar (eksoskeleton) secara
periodik (moulting). Bagian tubuh udang putih sudah mengalami modifikasi
sehingga dapat digunakan untuk keperluan makan, bergerak, dan membenamkan
diri kedalam lumpur (burrowing ), dan memiliki organ sensor, seperti pada
antenna dan antenula.
Kordi (2007) juga menjelaskan bahwa kepala udang putih terdiri dari antena,
antenula,dan 3 pasang maxilliped. Kepala udang putih juga dilengkapi dengan 3 pasang
maxilliped dan 5 pasang kaki berjalan (periopoda). Maxilliped sudah mengalami
modifikasi dan berfungsi sebagai organ untuk makan. Pada ujung peripoda
beruas-ruas yang berbentuk capit (dactylus). Dactylus ada pada kaki ke-1, ke-2,
dan ke-3. Abdomen terdiri dari 6 ruas. Pada bagian abdomen terdapat 5 pasang
(pleopoda) kaki renang dan sepasang uropods (ekor) yang membentuk kipas
bersama-sama telson (ekor) (Suyanto dan Mujiman, 2003).
Bentuk rostrum udang putih memanjang, langsing, dan pangkalnya
hamper berbentuk segitiga. Uropoda berwarna merah kecoklatan dengan
ujungnya kuning kemerah-merahan atau sedikit kebiruan, kulit tipis transparan.
Warna tubuhnya putih kekuningan terdapat bintik-bintik coklat dan hijau pada
ekor (Wayban dan Sweeney, 1991). Udang betina dewasa tekstur punggungnya
keras, ekor (telson) dan ekor kipas (uropoda) berwarna kebiru-biruan, sedangkan
pada udang jantan dewasa memiliki ptasma yang simetris. Spesies ini dapat
Gambar 1. Morfologi Umum Udang Putih (L. vannamei) (Haliman dan Dian,
2006)
Keterangan
1. Chepalothorax (bagian kepala)
2. Rostrum (cucuk kepala)
3. Mata
4. Antennula ( sungut kecil)
5. Prosartema
6. Antenna ( sungut besar)
7. Maxilliped ( lat bantu rahang)
8. Periopod (kaki jalan)
9. Pleopoda ( kaki renang)
10.Telson ( ujung ekor)
9
2. Aspek Biologis Udang Putih (L. vannamei)
Udang putih mempunyai kemampuan beradaptasi terhadap salinitas yang luas
dengan kisaran salinitas 0 sampai 50 ppt (Tizol et al., 2004). Temperatur juga
memiliki pengaruh yang besar pada pertumbuhan udang. Udang putih akan mati
jika terpapar pada air dengan suhu dibawah 150 C atau diatas 330C selama 24 jam
atau lebih. Stres subletal dapat terjadi pada 15-22 o C dan 30-330 C. Temperatur
yang cocok bagi pertumbuhan udang putih adalah 23-300C. Pengaruh temperatur
pada pertumbuhan udang putih adalah pada spesifitas tahap dan ukuran. Udang
muda dapat tumbuh dengan baik dalam air dengan temperatur hangat, tapi
semakin besar udang tersebut, maka temperatur optimum air akan menurun
(Wyban et al., 1991).
3. Daur Hidup Udang Putih (L. vannamei)
Siklus hidup udang putih dimulai dari udang dewasa yang melakukan
pemijahan hingga terjadi fertilisasi. Setelah 16-17 jam dari fertilisasi, telur
menetas menjadi larva (nauplius). Tahap naupli tersebut memakan kuning telur
yang tersimpan dalam tubuhnya danakan mengalami moulting, kemudian
metamorphosis menjadi zoea. Zoea akan mengalami metamorfosis menjadi
mysis. Mysis mulai terlihat seperti udang kecil memakan alga dan zooplankton.
Setelah 3 sampai 4 hari, mysis mengalami metamorfosis menjadi postlarva.
Tahap postlarva adalah tahap saat udang sudah mulai memiliki karakteristik
udang dewasa. Keseluruhan proses dari tahap nauplii sampai postlarva
membutuhkan waktu sekitar 12 hari. Kemudian post larva akan dilanjutkan
B. Gula Pasir atau Gula Tebu
Tebu (Saccharum officinarum L) merupakan salah satu tanaman yang
dapat ditanam di daerah beriklim tropis. Di Indonesia, perkebunan tebu
menempati luas areal ± 321 ribu hektar yang 64,74% diantaranya terdapat di pulau
Jawa. Perkebunan tersebut tersebar di Medan, Lampung, Semarang, Solo dan
Makassar. Dari seluruh perkebunan tebu yang ada di Indonesia, 50% diantaranya
adalah perkebunan rakyat, 30% perkebunan swasta dan hanya 20% perkebunan
Negara (Misran, 2005).
Tebu adalah tanaman yang ditanam untuk bahan baku gula. Tebu
termasuk jenis rumput-rumputan. Tanaman tebu dapat tumbuh hingga 3 meter di
kawasan yang mendukung. Umur tanaman sejak ditanam sampai bisa dipanen
mencapai kurang lebih 1 tahun. Tebu dapat dipanen dengan cara manual atau
menggunakan mesin-mesin pemotong tebu. Daun kemudian dipisahkan dari
batang-batang tebu, kemudian baru dibawa ke pabrik untuk diproses menjadi gula.
Tahapan-tahapan dalam proses pembuatan gula dimulai dari penanaman tebu,
proses ektrasi, pembersihan kotoran, penguapan, kritalisasi, afinasi, karbonasi,
penghilangan warna, dan sampai proses pengepakan sehingga sampai ketangan
11
Tabel 1.Komponen-komponen dalam batang tebu:
komponen jumlah (%)
Monosakarida 0,5-1,5
Sukrosa 11-19
Zat-zat organik 0,5-1,5
Zat-zat anorganik 0,15
Sabut 11-19
Air 65-75
Bahan-bahan lain 12
sumber: (Misran, 2005)
Menurut Purnomo (2012) ada beberapa sumber karbohidrat yang dapat
digunakan untuk pembentukan bioflok seperti tepung tapioka, molase, tepung
singkong dan salah satunya gula pasir, gula pasir merupakan golongan karbohidrat
dengan C,H dan O sebagai unsur pembentuknya. Gula pasir juga biasa disebut
sukrosa (C12H22O11) dan termasuk golongan disakarida yang berasa manis,
memiliki kandungan C sebesar 42.39% .
C. Bioflok
Aiyushirota ( 2009) menyatakan bahwa Bioflok adalah pemanfaatan
bakteri pembentuk flok (flocs forming bacteria) untuk pengolahan limbah. Tidak
semua bakteri dapat membentuk bioflok dalam air, bakteri pembentuk flok dipilih
dari genera bakteri yang non pathogen, seperti dari genera Bacillus hanya dua
spesies yang mampu membentuk bioflok. Salah satu ciri khas bakteri pembentuk
(PHA), terutama yang spesifik seperti poli β‐hidroksi butirat. Senyawa ini
diperlukan sebagai bahan polimer untuk pembentukan ikatan polimer antara
substansi substansi pembentuk bioflok (Aiyushirota, 2009).
Bioflok terdiri atas mikroorganisme (bakteri, ragi, fungi, protozoa,
fitoplankton) dan limbah. Komposisi organisme dalam flok akan mempengaruhi
struktur bioflok dan kandungan nutrisi bioflok (Izquierdoet al., 2006; Ju et al.,
2008) dengan ukuran bervariasi kisaran 100 - 1000 m (Azim dan Little., 2008;
de Schryver et al., 2008).
Bakteri yang mampu membentuk bioflok diantaranya: Zooglea ramigera
Escherichia intermedia
Paracolobacterium aerogenoids
Bacillus subtilis
Bacillus cereus
Flavobacterium
Pseudomonas alcaligenes
Sphaerotillus natans
Tetrad dan Tricoda
D. Bakteri dalam Sistem Bioflok
Penggunaan bakteri dalam budidaya perairan telah banyak dilakukan
terutama dalam bentuk probiotik, baik untuk manajemen kualitas air maupun
sebagai campuran pakan. Beberapa penelitian tentang probiotik telah banyak
13
meningkatkan kelulushidupan udang (Moriarty, 1999). Far et al. (2009)
membuktikan bahwa Bacillus subtilis mampu menurunkan Vibrio dalam
pencernaan udang serta meningkatkan tingkat kelulusuhidupan dan biomassa.
Menurut Soundarapandian et al. (2010) dan Boonthai et al. (2011), probiotik
memegang peranan penting dalam pertumbuhan, tingkat kelulushidupan udang
dan resistensi terhadap penyakit dan meningkatkan kualitas air.
Bakteri selain mampu menekan pathogen melalui mekanisme kompetisi,
ternyata mampu menghasilkan senyawa yang menguntungkan untuk budidaya
perairan, yaitu Polyhydroxyalkanoat (PHA). Polyhydroxyalkanoat merupakan
polimer yang diproduksi oleh beberapa jenis bakteri, mudah terurai dalam air,
ramah lingkungan, dapat diproduksi dari sumber karbon organik, dan berfungsi
sebagai cadangan karbon dan energi (Santhanam dan Sasidharan, 2010, Shamala
et al., 2003),. Polyhydroxyalkanoat (PHA) tersusun dari 3 hydroxy fatty acid,
yaitu : PHB (poly3hydroxybutyrat, CH3), PHV (poly3hydroxyvalerate, C2H5),
PHHx (poly3hydroxyhexanoate, C3H7).
Dari ketiga polimer tersebut, PHB merupakan polimer yang paling
bermanfaat dalam budidaya perairan. Manfaat PHB antara lain sebagai cadangan
energi bagi ikan/udang, dapat terurai dalam pencernaan, meningkatkan asam
lemak, dan mampu meningkatkan pertumbuhan ikan dan udang (Schryver, 2010).
Berdasarkan beberapa penelitian menunjukkan bahwa polyhydroxybutyrate dapat
menghambat pathogen di usus dan sebagai antimikroba bagi vibrio, E. coli, dan
Salmonella (Boon et al., 2010). Beberapa jenis bakteri yang mampu
Bacillus cereus (Nair et al., 2008, Margono, 2011), Alcaligenes eutrophus
(Shimizu et al., 1993), Pseudomonas oleovarans (Santhanam dan Sasidharan,
2010).
Dalam sistem bioflok, bakteri berperan sangat dominan sebagai organisme
heterotof. Bakteri memanfaatkan bahan-bahan organik (karbon) sebagai sumber
energi untuk melangsungkan proses biologis dalam lingkungan budidaya. Bakteri
dipacu pertumbuhannya sedangkan fitoplankton ditekan. Agar pertumbuhannya
berjalan dengan baik, salah satunya dengan manipulasi media dan inokulasi jenis
bakteri tertentu. Hal ini berbeda dengan prinsip bioremediasi (probiotik) yang
hanya menambahkan bakteri yang menguntungkan tanpa manipulasi media
budidaya. Bakteri akan tumbuh dengan baik jika media budidaya mempunyai
rasio C/N sekitar 20. Penambahan sumber karbon dalam media budidaya akan
membantu meningkatkan rasio C/N karena limbah yang dihasilkan (sisa pakan,
feses, ekskresi) mengandung rasio C/N kurang dari 10. Selain sebagai penyusun
utama bioflok, bakteri juga menghasilkan polimer polyhydroxyalkanoat (PHA)
yang berfungsi sebagai pembentuk ikatan. (Avnimelech, 2009).
E. Potensi Bioflok Sebagai Pakan Alternatif
Bioflok mengandung nutrisi sangat tinggi (kandungan protein lebih dari
40%), merupakan serat organik yang kaya akan selulosa. Masing-masing
penyusun bioflok menyatu karena bakteri menghasilkan polimer
polyhydroxyalkanoat (PHA) yang dapat membentuk ikatan kompleks. Struktur
15
Bakteri mempunyai ukuran yang sangat kecil, yaitu kurang dari 5 mikron.
Ukuran yang sangat kecil ini tidak mampu dimanfaatkan oleh ikan atau udang.
Dalam bentuk bioflok, ukurannya mampu mencapai 500 mikron hingga 2 mm,
sehingga ukurannya cukup besar untuk dapat dimakan oleh ikan/udang. Menurut
Manser (2006), ukuran bioflok mencapai diameter 0,1-2 mm. Pemanfaatan
bioflok sebagai pakan udang telah dilakukan oleh Avnimelech (2007).
Keberadaan bioflok sebagai suplemen pakan telah meningkatkan efisiensi
pemanfaatan nutrien pakan secara keseluruhan, bioflok dapat dimanfaatkan baik
secara langsung maupun sebagai tepung untuk bahan baku pakan (Azim & Little,
2008; Ekasari, 2008; Kuhn et al., 2008; 2009). Bakteri heterotrofik mengubah
nutrient-nutrien tersebut menjadi biomass bakteri yang potensial sebagai bahan
pakan ikan/udang. Apabila hal ini dapat berlangsung dengan baik maka buangan
limbah budidaya ikan dapat berkurang secara drastis. Sistem heterotrof
mempunyai potensi untuk diterapkan dalam pemanfaatan limbah amonia pada
pemeliharaan ikan/udang (Gunadi &Hafsaridewi, 2007). Menurut Crab dkk.
(2007) komunitas bakteri yang terakumulasi didalam sistem akuakultur
heterotrofik akan membentuk flok (gumpalan) yang dapat dimanfaatkan sebagai
sumber pakan. Salah satu jenis organisme akuatik yang dapat memakan
komunitas mikrobial dalam bioflok adalah udang
F. Kondisi yang Mendukung Pembentukan Bioflok 1. Aerasi dan pengadukan (pergerakan air oleh aerator)
Oksigen jelas diperlukan untuk pengoksidasian bahan organik (COD/BOD),
kondisi optimum sekitar 4‐5 ppm oksigen terlarut. Pergerakan air harus
daerah yang memungkinkan bioflok jatuh dan mengendap relatif kecil. Suplai
oksigen harus cukup karena bakteri tersebut bersifat heterotrof sehingga
membutuhkan oksigen. Jika oksigen kurang maka tidak hanya menghambat
pertumbuhan bakteri tetapi juga berbahaya bagi kehidupan ikan/udang dalam
tambak (Maulina, 2009)
Muylder et al. (2010), menyatakan pembentukan bioflok harus memperhatikan
pengaturan aerasi secara intensif karena sangat dibutuhkan untuk proses asimilasi
dari sisa metabolisme udang oleh bakteri. Dalam pembentukan bioflok harus ada
penambahan starter yang mengandung karbon seperti gula, molase, tepung
tapioka, tepung terigu, dan sebagainya. Bakteri memanfaatkan bahan-bahan
organik (karbon) sebagai sumber energi untuk melangsungkan proses biologis
dalam lingkungan budidaya.
2. Rasio C/N
Prinsip dari teknologi bioflok adalah menumbuhkan mikroorganisme terutama
bakteri heterotrof di air budidaya yang dimaksudkan untuk menyerap komponen
polutan, amoniak yang ada diperairan budidaya. Agar dapat terbentuk bioflok,
maka rasio C/N di air tambak budidaya udang pola intensif harus > 10:1
Avnimelech (1999) menyatakan bahwa mengontrol nitrogen anorganik dengan
cara memanipulasi rasio C/N merupakan metode pengendalian potensi untuk
sistem akuakultur. Kemampuan bakteri untuk dapat mengurangi nitrogen
anorganik dalam lingkungan budidaya dan memproduksi protein mikrobial
tergantung pada koefisien konversi mikroba, C/N rasio biomassa bakteri, serta
17
Berapa banyak karbon yang dibutuhkan oleh bakteri dapat diketahui berdasar
pada nilai C/N rasio bakteri (Willet dan Morrison, 2006). Jika C/N rasio bernilai
tinggi seperti pada perairan alami, maka nitrogen akan semakin cepat hilang
(Berard et al., 1995 dalam Beristain et al., 2005a). Pada lingkungan budidaya
pemberian pakan dengan kandungan protein tinggi akan menyebabkan terjadinya
penyuburan nitrogen. C/N rasio yang ditemukan pada kondisi tersebut sangat
rendah. Berikut merupakan nilai C/N rasio dari beberapa sistem menurut
Beristain et al., (2005) (Tabel 2) :
Tabel 2. C/N rasio berbagai sistem akuatik
No Sistem C/N Rasio
1 Laut 17 – 40 (rata-rata 6.99 – 27.63)
2 Danau 12.5 (rata-rata 6 – 30)
3 Kolam tanah pada tilapia 9.5 (rata-rata 7.1 – 10.55)
4 Sistem resirkulasi pada african catfish ± 2.3
G. Kelebihan dan Kekurangan Teknologi Bioflok
Beberapa kelebihan dan kekurangan dalam penerapan teknologi bioflok
(BFT). Suprapto (2007), menjelaskan bahwa teknologi bioflok memiliki
kelebihan dan kekurangan.
Kelebihan dari teknologi bioflok antara lain:
1. pH relatif stabil dan cenderung rendah sehingga kandungan amoniak (NH3)
relatif rendah.
2. Tidak tergantung dari sinar matahari, namun aktivitasnya menurun apabila
3. Tidak perlu ganti air (sedikit ganti air) sehingga “biosecurity” terjaga.
4. Limbah tambak (kotoran, alga, sisa pakan, ammonia), dapat didaur ulang dan
dijadikan makanan alami dengan protein tinggi, serta lebih ramah lingkungan.
Kekurangannya dari teknologi bioflok antara lain:
1. Tidak dapat diterapkan pada tambak yang bocor/rembes karena sedikit
pergantian air bahkan tidak ada pergantian air,
2. Memerlukan peralatan (kincir) cukup banyak sehingga kebutuhan listrik lebih
tinggi,
3. Aerasi harus hidup terus karena apabila aerasi kurang maka akan terjadi
pengendapan bahan organik sehingga resiko munculnya H2S tinggi.
H. Sistem Budidaya Tanpa Ganti Air
Sistem budidaya tanpa ganti air merupakan suatu sistem yang efisien
digunakan dalam kegiatan budidaya. Penerapan sistem tersebut dapat menekan
biaya produksi, tidak membutuhkan teknologi tinggi, dan dapat diterima
masyarakat umum (Vidali, 2001). Pada penerapan teknologi tersebut tidak
dilakukan pembuangan feses dan bakteri ke perairan alami, sehingga dapat
menghindari pencemaran perairan. Tanpa dilakukannya pergantian air, maka
berpindahnya organisme pathogen penyebab penyakit dari luar ke suatu wilayah
budidaya maupun sebaliknya dapat dicegah (Lopez et al., 2008). Penerapan
sistem budidaya tanpa ganti air tetap perlu diwaspadai mengingat penurunan
kualitas air sangat mudah terjadi dan dapat menganggu pertumbuhan serta
kesehatan organisme akuatik (Riche dan Garling, 2003). Penurunan kualitas air
19
ekskresi ikan/udang berupa urin dan feses. Urin dan feses yang dikeluarkan
tersebut mengandung amonia yang merupakan zat berbahaya bagi kesehatan
organisme akuatik (Ghufran, 2009). Amonia akan menjadi racun jika dibiarkan
tetap menumpuk dalam kolam pemeliharaan. Konsentrasi amonia yang tinggi
dalam kolam pemeliharaan mengakibatkan pertumbuhan udang menjadi lambat
dan mengalami kematian sehingga kelangsungan hidup menjadi rendah
(Hargreaves dan Tucker, 2004).
I. Bioflok dan Manajemen Kualitas Air
Kualitas air merupakan salah satu syarat keberhasilan budidaya. Salah
satu masalah utama dalam manajemen kualitas air adalah adanya akumulasi
amonia, Jumlah amonia diekskresikan oleh ikan/udang bervariasi tergantung
jumlah pakan dimasukkan ke dalam kolam atau sistem budidaya (Durborow et al.,
1997). Limbah budidaya yang mengandung nitrogen anorganik sangat besar
(75% dari pakan) merupakan penyebab utama dalam penurunan kualitas air
budidaya udang. Nitrogen anorganik dalam air berada dalam bentuk total
ammonia nitrogen (TAN), nitrit, dan nitrat. TAN dalam bentuk NH3 dan nitrit
berbahaya bagi udang, sedangkan dalam bentuk nitrat tidak berbahaya.
Penambahan sumber karbon akan mengikat nitrogen anorganik menjadi senyawa
organik (masa bakteri) yang mengandung protein tinggi. Avnimelech (1999)
membuktikan bahwa penambakan sumber karbon dengan rasio C/N 20 dapat
menurunkan TAN secara drastis dalam waktu dua jam.
Oksigen terlarut dan pH air pada sistem heterotrof relatif stabil, baik pada
didominasi oleh udang/ikan dan bakteri, sedangkan pada sistem autotrofik pada
waktu malam hari selain ikan dan bakteri, fitoplankton merupakan pengguna
oksigen yang sangat besar, apalagi jika kepadatan fitoplankton tinggi. pH air
media relatif stabil karena pengguna karbondioksida terbatas sehingga pH tidak
terlalu tinggi baik pada waktu siang maupun malam. Pada sistem autotrof, pH
siang hari akan mencapai puncaknya jika kepadatan fitoplankton tinggi, karena
karbondioksida digunakan oleh fitoplankton untuk melangsungkan aktivitas
fotosintesis (Boyd, 2002)
Sumber nitrogen dalam kolam budidaya udang sebagian besar berasal dari
sisa pakan, kotoran udang, dan hasil ekskresi melalui insang (Durborow et al.,
1997). Nitrogen anorganik dalam kolam budidaya udang dalam bentuk amoniak
nitrogen total (TAN) dan nitrit. T AN mempunyai dua bentuk yaitu amoniak yang
tidak terionisasi (NH3) dan dalam bentuk ion (NH4+). NH3 bersifat toksik pada
udang sedangkan NH4+ tidak bersifat toksik (Boyd, 2000, Durborow et al., 1997).
Keberadaan kedua bentuk TAN tersebut dipengaruhi oleh pH perairan. Semakin
tinggi pH perairan semakin tinggi perentase NH3 dalam kolam. TAN akan
dimanfaatkan oleh fitoplankton dan bakteri sebagai penyusun protein tubuh serta
21
III. METODOLOGI
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan selama 40 hari dari bulan Februari sampai dengan Maret
2013 bertempat di Laboratorium Budidaya Perairan Fakultas Pertanian
Universitas Lampung, Bandar Lampung
B. Alat dan Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian antara lain:
1. Bakteri Bacillus cereus, sebagai inokulan, didapat dari Universitas Brawijaya
dan bakteri ini sudah dikomersilkan
2. Benur Udang
Benur udang berasal dari BLK (Balai Laut Khatulistiwa) berukuran PL 15
pada fase Intermol.
3. Media Bakteri
Media TSB (Trypticase Soy Broth), TSA (Trypticase Soy Agar), dan PCA
(Plate Count Agar) digunakan sebagai media dalam kultur bakteri
4. Sumber Karbon (C) dan sumber Nitrogen (N)
Glukosa digunakan sebagai sumber C dan pakan buatan (pellet) dengan
5. Reaksi Amoniak Standar
Reaksi amoniak standar digunakan untuk pengukuran TAN adalah: MnSO4 0,003 N
Chlorat Solution
Sodium Phenate
C. Peralatan yang digunakan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini : wadah plastik bervolume 10 liter
sebanyak 9 buah, pH meter, DO meter, aerasi, tabung reaksi, cawan petri, gelas
ukur, tabung Erlenmeyer, jarum ose, spreader, hot stirrer, vortex, autoklaf,
inkubator, spektrofotometer, timbangan digital, mikropipet, pipet tetes, kertas
saring, corong, Imhoff Cone, alkohol 70%, aluminium foil, kapas, karet, dan
plastik tahan panas.
D. Desain penelitian
Rancangan yang digunakan dalam penelitian adalah rancangan acak lengkap,
terdiri dari 3 perlakuan (10, 15, 20, ekor/wadah) dan 3 kali ulangan. Data yang
didapat dianalisis dengan Chi-square (α=0.05).
E. Prosedur penelitian E.1 Persiapan wadah
Wadah yang digunakan berupa wadah plastik volume 10 liter sebanyak 9
buah. Wadah dibersihkan dan diisi air laut hingga penuh dan masing-masing
23
E.2 Kultur bakteri heterotof (Bacillus cereus)
Media TSB ditimbang sebanyak 3 gram, dan dimasukkan ke dalam tabung
Erlenmeyer
Ditambahkan air laut sebanyak 100 ml
Erlenmeyer yang telah berisi larutan TSB kemudian dipanaskan sambil
terus diaduk dengan menggunakan hot stirrer hingga homogen
Larutan TSB yang telah homogen dimasukkan ke dalam autoklaf dan
disterilisasi pada tekanan 121 atm selama 15-20 menit
Setelah tekanan menunjukkan 0 atm, penutup autoklaf dibuka, larutan TSB
diangkat, didiamkan agar dingin
Larutan TSB yang dimasukan ke dalam 10 tabung reaksi masing-masing 7
ml
Biakan Bacillus cereus diinokulasikan dalam larutan TSB (disisakan 1
larutan TSB tanpa inokulasi dan digunakan sebagai kontrol) Diinkubasi selama 24-48 jam
Diukur kepadatan bakteri menggunakan spektrofotometer ( = 625 nm).
E.3 Pembentukan bioflok
Penimbangan bahan-bahan pembentuk bioflok terdiri dari
Glukosa sebanyak 15,1 gram sebagai sumber karbon (sumber C)
Pakan udang (pellet) dengan kandungan protein 38% sebanyak 5 gram
sebagai sumber N (Nitrogen)
Sumber C dan N dimasukkan ke dalam wadah penelitian yang berisi air
Campuran diaerasi
Pada hari ke- 11, bioflok telah terbentuk
F. Tahapan pelaksanaan
F.1. Pemeliharaan udang putih (Litopenaeus vannamei) dalam sistem bioflok
1. Setelah terbentuk bioflok, oksigen terlarut (DO), pH, suhu, dan amoniak
diukur
2. Masing-masing wadah diisi udang putih (L.vannamei) PL 15 fase intermol
dengan padat tebar 10, 15, dan 20 ekor/wadah, dan dipelihara selama 30 hari
3. Udang diberi pakan dengan feeding rate (FR) 5% yang diikuti dengan
penambahan gula sebagai sumber karbon sehingga C/N 20,9
4. Pakan (pellet) dengan kandungan protein 38% diberikan 2 kali sehari.
5. Selama pemeliharaan ditambahkan bakteri Bacillus cereus pada hari ke 3 dan
15 untuk menstimulasi pertumbuhan bakteri heterotof
6. Pertumbuhan diukur pada awal tebar dan akhir pemeliharaan (hari ke-30)
Pengukuran DO, suhu, pH dilakukan setiap 3 hari, sedangkan amoniak diukur
setiap 5 hari.
F.2. Pegukuran kepadatan bakteri
Pengukuran kepadatan bakteri dalam media pemeliharaan dilakukan pada hari
ke 15 dan 31. Penghitungan kepadatan bakteri berdasarkan Filzahazny (2013).
1. Sampel air media pemeliharaan diambil sebanyak 7 ml dimasukkan ke dalam
25
2. Sampel air diencerkan dengan pengenceran 10-1, 10-2, 10-3, dan 10-4 dan
diplating ke dalam cawan petri, diinkubasi selama 24 jam
3. Dihitung jumlah koloni yang terbentuk
Total bakteri pada media pemeliharaan dihitung dengan menggunakan rumus:
Jumlah koloni bakteri (CFU/ml)
Keterangan:
N: Jumlah bakteri dalam cawan petri (koloni)
fp: faktor pengenceran
S :Jumlah sampel yang diambil dari suspensi bakteri (ml)
F.3.Pengukuran kepadatan bioflok
Pengukuran kepadatan bioflok dilakukan berdasarkan Filzahazny (2013).
1. Menyiapkan alat berupa“imhoff cone”
2. Mengambil flok yang terdapat dalam wadah pemeliharaan menggunakan
gelas ukur sebanyak 1 liter dan dimasukkan ke dalam “imhoff cone”
3. Mengendapkan flok, hingga 30 menit
4. Mengukur endapan flok melalui skala (ml/l) yang tertera pada “imhoff cone”
F.4. Pengukuran AMMONIA (NH3)
Pengukuran ammonia dilakukan dengan cara sebagai berikut: Diambil sampel air dari setiap wadah pemeliharaan sebanyak 10 ml
Disaring sampel air dengan menggunakan corong dan kertas saring tempatkan
ke dalam tabung reaksi
Ditambahkan larutan 0,05 ml MnSO4 setara 1 tetes
Ditambahkan larutan 0,6 ml phenol setara 12 tetes
Ditempatkan pada magnetic stirrer agar larutan homogen
Dibuat larutan blanko menggunakan akuades dan ditambahkan juga larutan
standar amoniak.
Ditunggu ± 1 jam hingga larutan berubah warna
Diamati dengan spektrofotometer ( = 625 nm)
Penentuan nilai TAN disesuaikan dengan grafik standar berdasarkan rumus :
TAN= 0,357478 . A
Ammonia dihitung berdasarkan koofisien nilai suhu dan pH
G. Parameter yang diamati
Pengukuran parameter utama, berupa spesific growth rate (SGR), tingkat
kelangsungan hidup (SR), biomassa dilakukan pada awal dan akhir penelitian.
G.1. SGR (Spesific Growth Rate)
Laju pertumbuhan spesifik atau SGR (Specific Growth Rate) diukur
berdasarkan rumus (Purnomo, 2012):
Keterangan :
SGR :Specific Growth Rate atau laju pertumbuhan berat tubuh (%/hari)
Wt :Berat tubuh akhir udang (gram)
Wo :Berat tubuh awal udang (gram)
27
G.2. Tingkat Kelangsungan Hidup
Kelangsungan hidup adalah perbandingan jumlah udang yang hidup dari
awal hingga akhir penelitian. Kelangsungan hidup dihitung dengan rumus
(Purnomo, 2012) :
Keterangan :
SR =Kelangsungan hidup (%)
Nt = Jumlah benih pada akhir pemeliharaan (ekor)
N0 = Jumlah benih pada awal pemeliharaan (ekor)
G.3. Biomassa udang putih (L. Vannamei)
Biomassa merupakan hasil perkalian berat rata-rata organisme dengan
populasi.
G.4. Pengukuran kualitas air
Parameter kualitas air yang diukur selama penelitian yaitu: DO, suhu, pH,
dan amoniak.
H. Analisis Data H.1. Keragaan udang
Keragaan udang dianalisis dengan analisis chi- square ( αμ 0,05)
H.2. Parameter pendukung
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Kepadatan penebaran yang berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap
pertumbuhan udang putih yang dipelihara dengan sistem bioflok pada
fase pendederan
2. Kepadatan penebaran yang berbeda berpengaruh nyata terhadap tingkat
kelangsungan hidup udang putih yang dipelihara dengan sistem bioflok
pada fase pendederan
3. Kepadatan penebaran yang berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap
biomassa udang putih yang dipelihara dengan sistem bioflok pada fase
pendederan
B. Saran
1. Berdasarkan hasil penelitian disarankan agar dilakukan penelitian
lanjutan mengenai kepadatan penebaran yang optimal terhadap
pertumbuhan, tingkat kelangsungan hidup, dan biomassa udang putih
DAFTAR PUSTAKA
Adiwidjaya D., Erik, Sutikno. Dan Dwi Sulistinarto. 2003. Produktifitas Pada Budidaya Udang Windu Sistim Tertutup: Peluang Usaha Untuk Mencari Nilai Tambah Bagi Petambak. BalaiBesar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara. Pertemuan PraLintas UPT Budidaya Air Payau dan Laut, Ditjen. Perikanan Budidaya, Jepara September 2003. 39 halaman..
Afrianto, E, dan Liviawaty, E. 2009. Pakan Ikan. (Pembuatan, Penyimpanan, Pengujian, Pengembangan). Kanisius.Yogyakarta.hal 20-31.
Ahmad, T. 1991. Pengelolaan Peubah Mutu Air yang Penting dalam Tambak Udang Intensif. Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai Maros.
Aiyushirota.2009.Konsep Budidaya Udang Sistem Bakteri Heterotrof dengan Bioflocs. Dikutif dari www.aiyushirota.com diakses pada 9 februari 2013.
Anonim, 1985.Pedoman Budidaya Tambak. Deptan. Direktorat Jendral Perikanan. Jakarta. Balai Budidaya Air Payau Jepara. 225 halaman .
Anonim. 1991. Petunjuk Teknis Budidaya Ikan Nila. Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian. 93 hal.
Anonim, 2004.Budidaya Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) yang Ramah Lingkungan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara.39 halaman.
Anonim. 2008. Potensi Udang. Hhtp://id.wikipedia.org/wiki/udng.
Anonimous, 1993.Pedoman Teknis Pembenihan Ikan Bandeng. Departemen Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Perikanan Jakarta. Hal. 37.
Anonimous, 2000.Petunjuk Teknis Budidaya Udang Windu. Dirjen Perikanan Tim MMC Daerah JawaTimur.PT. Aquatik Consultans dan Konsorsium.
Avnimelech, Y., 2005. Tilapia harvest microbial floes in active suspension research pond.Glob.Aquac. Advocate, October 2005.
Avnimcleeh,Y., 2007, Feeding with microbial flocs by tilapia in minimal discharge bio-flocs technology ponds.Aquaculture 264,140-147.
Avnimelech. 2009. Biofloc Technology: A Practical Guide Book. World Aquaculture Society: Louisiana, USA. 120p.
Azim, M.E., Little, D.C., Bron, .I.E., 2007. Microbial protein production in activated suspension tanks manipulating C/N ratio in feed and
implications for fish culture. Bioresource Technology 99, 3590-3599.
Azim, M.E., Little, D.C. 2008. The biofloc technology (BFT) in indoor tanks: Water quality, biofloc composition, and growth and welfare of Nile tilapia (Oreochromis niloticus). Aquaculture 283,29-35.
Beristain BT, Verdegem M, Avnimelech Y. 2005a. Microbial ecology and role in aquaculture ponds. Di dalam: Organic matter decomposition in simulated aquaculture ponds. PhD Thesis. Fish Culture and Fisheries Group.Wageningen Institute of Animal Science.Wageningen University. Netherlands
Beristain BT, Pilarcyzk B, Verdegem M, Verreth MCJ, Verreth JAJ. 2005b. Effect of C/N ratio and oxic conditions on organic matter decomposition in lab-scale intensive freshwater systems. Di dalam: Organic matter decomposition in simulated aquaculture ponds. PhD Thesis.Fish Culture and Fisheries Group. Wageningen Institute of Animal Science. Wageningen University. Netherlands
Boon, N., T. Defroit., W. de Wind., T. Van De Wiele, W. Verstraete. 2010. Hydroxybutyrate and Polyhydroxybutyrate as Components of Animal Feed or Feed Additives. Patent Application Publucation.April : 1-4.
Boyd, C.E. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture.Dv. In Aquaculture and Fish Science, Vol. 9. Elsevier Scientific.Pub. Comp.
Boyd, C.E. 1989. Water Quality Management and Aeration in Shrimp Farming. Fisheries and Allied Aquacultures Departement Series No.2.Alabama Agramicultural Experiment Station. Auburn University, Alabama.
43
Burford, M.A., Thompson, P.J., McIntosh, R.P., Bauman, R.H., Pearson, D.C., 2004.The contribution of flocculated material to shrimp (Litopenaeus vannamei) nutrition in a high-intensity, zeroexchange sistem.Aquaculture 232, 525-537.
Crab, R., Y. Avnimelech, T. Defoirdt, P. Bossier, and W. Verstraete. 2007. Nitrogen Removal Techniques in Aquaculture for Sustainable Production. Aquaculture, 270: 1-14.
Crab, R., Chielens, B., Wille, M., Bossier, P., Verstraete, W. 2009. The effect of different carbon sources on the nutritional value of bioflocs, a feed for Macrobrachiumrosenbergii post larvae. Aquaculture Research, in press.
Defoirdt, T., Halet, D., Vervaeren, H., Boon, N., Van de Wiele, T., Sorgeloos, P., Bossier, P., Verstraete, W., 2007.The bacterial storage compound of poly-b-hydrobutyrate protects Artemiafransiseana from pathogenic Vibrio campbellii. Environ. Microbiol. 9 (2), 445-452.
De Schryver P., Crab, R. Detroit, T. Boon, N., Verstrate, W. 2008. The Basic of Biofloc Technology: The Added Value For Aquaculture, 227: 125- 137.
De Schryver, P. and Verstraete, W. 2009. Nitrogen removal from aquaculture pond water by heterotrophic nitrogen assimilation in lab-scale sequencing batchreaktors. Bioresource Technology 100, 1162-1167.
Durborow, R.,David M., Martin W. 1997. Ammonia in Fish Ponds.Southern Regional Aquaculture Center, SRAC publication 463.
Ebeling J.M. Timmons MB, Bisogni JJ. 2006. Engineering Analysis Of The Stoichiometry Of Photoautotrophic, Autotrophic, And Heterotrophic Removal Of Ammonia-Nitrogen In Aquaculture Systems. Aquaculture257: 346-358.
Effendie, M. I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan pustaka nusantara. Bogor.163 hal.
Effendi, H. 2003.Telaah Kualitas Air Bagi Proses Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta
Ekasari. J. 2008. Bio-Flocs Technology: The Effect Of Different Carbon Source, SalinityAnd The Addition Of Probiotics On The Primary Nutritional Value Of The Bio-Flocs [Tesis]. Gent: Faculty Of Bioscience Engineering. Ghent University.[FAO] Food and Agricultural Organization. 2007. The State of World Fisheries.
Filzahazny.2013.”Perhitungan Mikroba, Blog Filzahazzny”.http://perhitungan- mikroba- filzahazny.blogspot.com.(4 Juni 2013).
Ghufran, 2009.Budidaya Perairan. Buku Kedua. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Gross A, dan C.E. Boyd. 2000. Nitrogen Transformations And Balance In Chanel Ctfish Ponds. Aquaculture Engineering 24: 1-14.
Gunadi dan Hafsari dewi, 2007. Pemanfaatan Limbah Budidaya Ikan Lele (Clarias gariepenus). Intensif Dengan Sistem Heterotrofik Untuk Pemeliharaan Ikan Nila. Laporan Akhir Kegiatan Riset 2007 Sukamandi: Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar. 18 Hal.
Hadie, W., Rejeki, S., & Hadie, L.E. 1995. Pengaruh pemotongan tangkai mata (ablasi) terhadap pertumbuhan yuwana udang galah (Macrobrachium rosenbergii). J. Pen. Perik. Indonesia. 1(1): 37-44.
Haliman, R. W Adijaya D.S. 2004.Udang Vannamei. Penebar Swadaya. Jakarta.
Haliman, R.W. dan Adijaya, D. 2005.Udang Vannamei. Penebar Swadaya. Jakarta
Haliman, R.W dan Dian A.S. 2006. Udang Vannamei. Penebar Swadaya. Jakarta
Hargreaves, J.A., 1998. Nitrogen biogeochemistry of aquaculture ponds. Aquaculture, 166, 181-212.
Hargreaves dan Tucker. 2004. Managing Ammonia in Fish Ponds. Southern Regional Aquaculture Center (SRAC) No. 4603.
Hari, B., Madhusoodana, K.., Varghese, J.T., Schrama, J.W., Verdegem, M.C.J., 2004. Effects of carbohydrate addition on production in extensive shrimp culture sistems. Aquaculture 241, 179-194.
Herper,b. and Y Prugnin. 1984. Commercial Fish Farming, With The Special Reference To Fish Culture In Israel. Jhon Wiley and sons. New York
Izquierdo et al., 2006.Effect of Green Clear Water and Lipid Source on Survival, Growth and Biochemical Compositon of Pasific White Shrimp
Litopenaeus vannamei. Aquaculture Nutrition.12: 192- 202.
Jaya, Rusdi. 2011. Hubungan Parameter Kualitas Air Dalam Budidaya Ikan Nila. (Skripsi). Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan. Fakultas Pertanian Universitas Negeri Musamus. Merauke.
Ju, et al., 2008. Enhached Growth Effect on Shrimp (Litopenaeus vannamei) From the Inclusion of Whole Shrimp Floc or Floc Fractions to a Formulated Diet. Aquaculture Nutrition, 14: 533- 543.
45
Kuhn, D.D., Boardman, G.D., Craig, S.R., Flick Jr., G.J., McLean, E. 2008. Use of microbial flocs generated from tilapia effluent as a nutritional supplement for shrimp, Litopenaeus vannamei, in recirculating
aquaculture systems- Journal of the World Aquaculture Society 39,72-82.
Kuhn, D.D., Boardman, G.D., Lawrence, A.L., Marsh, L., Flick Jr., G.J.
2009.Microbial floc meal as a replacement ingredient for fish meal and soybean protein in shrimp feed. Aquaculture 296, 51-57.
Lesmana, D.S. 2004. Kualitas Air untuk Ikan Hias Air Tawar. Penebar Swadaya. Jakarta.
Lopez, Adams, Cato, dan Sweat. 2008. Economic Analysis of an intensive, Zero- water Exchange, Saltwater Shrimp Culture Demonstration Projectin Nicaragua. Document FE361, A Publication of the Department of Food and Resource Economics, Florida Cooperative Extension Service, Institute of Food and Agricultural Sciences, University of Florida.
Mara, D., 2004.Domestic waste water treatment in developing countries. Earthscan. UK. 293p.
Maulina,2009. Aplikasi Teknologi Bioflok Dalam Budidaya Udang Putih (Litopenaeus vannamei Boone) Tesis School of Life Science and Technology. ITB. Bandung.
McIntosh RP. 2000. Changing paradigms in shrimp farming : establishment of heterotrophic bacterial communities. Global Aquaculture Alliance : April 2000
McIntosh RP. 2001. Changing paradigms in shrimp farming : establishment of heterotrophic bacterial communities. Global Aquaculture Alliance
Merryanto, Y. 2000. Struktur Komunitas Ikan dan Asosiasinya dengan Padang Lamun di Perairan Teluk Awur Jepara. Program Pasca Sarjana, IPB. Bogor.
Misran, 2005.Industri Tebu Menuju Zero Waste Industry. Medan Program Studi Teknik Kimia. Fakultas Teknik Universitas Sumatra Utara. Hal 10.
Montoya, R. and M. Velasco. 2000. Role Of Bacteria On Nitritional And Management Strategis In Aquaculture System. The Advocated, April 2000. P. 35-36.
Muylder, E., Claessens L., Mekki H. 2010. Production of Shrimp (Litopenaeus vannamei) Without Marine Protein in a Bioflocs System. Aquafeed Magazine.
Otari,S.V. and J.S. Ghosh.2009. Production and Characterization of Polymer Polyhydroxybutyrate-co-polyhydroxyvalerut by Bacillus megaterium NCIM 2475. Current Research Journal of Biological Sciences 1 (2):23-26.
Poernomo, A.1990. Faktor Lingkungan Dominan Pada Budidaya Tambak Udang Intensif. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Purnomo, Panca, Dias. 2012. Pengaruh Penambahan Karbohidrat Pada Media Pemeliharaan Terhadap Produksi Budidaya Intensif Nila (Oreochromis niloticus). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro. Halaman 161-179.
Riche dan Garling. 2003. Feeding Tilapia in Intensive Recirculating System. North Central Regional Aquaculture Center.
Sahidir, I. 2011. Teknologi Bioflok: Teori dan Praktek. http/www.bioteknology- tambak-info.com. diakses 10 Maret 2011.
Santhanam, A. and S. Sasidharan. 2010. Microbial Production of Polyhydroxyalkanoates (PHA) fromAlcaligenssppAnd Pseudomonas oleovorans using different carbon. African Journal Biotechnology 9 (21):3144-3150.
Shirota, A. 2008. Concept Of Heterotrophic Bacteria System Using Bioflocsin Shrimp Aquaculture. Biotechnology Consulating and Trading.
Shimizu, H., Shinji Tamura, SuteakiShioya, Ken-ichiSuga. 1993. Kinetic Study of Poly-D(-)-3-hydroxy butyric acid (PHB) Production and its Molecular weight distribution control inafed-batch culture of Alcaligenseutrophs. Journal of Fermentation and Biotechnology 7(6):s 465-469
Soetedjo, H., 2011. Kiat Sukses Budidaya Lobster Air Tawar. Araska Press, Yogyakarta. 118 hal.
Stickney.R.R. 2005.Aquculture: An Introductory Text. USA: CABI Publishing.
Sumeru, S. U dan S. Anna. 1992. Pakan Udang Windu (Penaeus monodon). Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
47
Suryaningrum,Maharani, Fransiska. 2012. Aplikasi Teknologi Bioflok Pada Pemeliharaan Benih Ikan Nila (Oreochromis nilotics) (Tesis). Universitas terbuka. Jakarta.
Tacon, A.G.J. 1987. The Nutrition and Feeding of Farmed Fish and Shrimp—A Training Manual. 1. The Essential Nutriens. Food and Agriculture Organization of the United Nations, GCP/RLA/075/ITA, Brazil, 117 pp.
Tiensongrusme, B. 1990. Shrimp Culture Improvementin Indonesia. Bulletin Brackish water Aquaculture Development Center.
Unisa, Rema. 2000. Pengaruh padat penebaran terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup benih ikan lele dumbo dalam sistem resirkulasi dengan debit air 33LPM/M3. (skripsi). Institut Pertanian Bogor. Hal 6.
Van Wyk, P. and Avnimelech, Y. 2007. Management of nitrogen cycling and microbial populations in biofloc-based aquaculture sistems. Presented in World Aquaculture Society Meeting, San Antonio, Texas, USA. February 26 to March 2,2007.
Vidali, M. Bioremediation. An overview. 2001. IUPAC, Pure and Applied Chemistry 73: 116-1172.
Wardoyo, S.T.H. 1997. Pengelolaan Kualitas Air Tambak Udang. Makalah dalam Seminar Latihan Manajemen Tambak Udang dan Hatchery. Himpunan Mahasiswa Akuakultur Fakultas Perikanan. IPB. Bogor.