• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tujuan Hukum Adalah Ketertiban Perspekti

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tujuan Hukum Adalah Ketertiban Perspekti"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Papahit, Hans Teori Hukum S2 STIK Prof.Dr. Iza Fadri, Dr Zulkarnain Koto M.H.

TUJUAN HUKUM ADALAH KETERTIBAN DALAM MASYARAKAT TINJAUAN PERSPEKTIF HUKUM KEPOLISIAN

PENDAHULUAN

Glanville Williams mengatakan bahwa arti kata ‘hukum’ tergantung pada konteks kata tersebut digunakan, misalnya , ‘hukum adat awal’ dan ‘hukum kota’ yang konteks di mana kata ‘hukum’ memiliki dua makna yang berbeda dan tak terdamaikan. Thurman Arnold menyatakan adalah tidak mungkin untuk mendefinisikan kata ‘hukum’ namun perjuangan untuk mendefinisikan definisi tersebut seharusnya tidak pernah ditinggalkan. Tidaklah salah untuk berpandangan bahwa mendefinisikan kata "hukum" bukanlah kepentingan yang mendesak (misalnya: "mari lupakan tentang generalisasi definisi dan langsung pada contohnya").

Permasalahan yang mendasar dalam definisi hukum sesuai konteksnya adalah bagaimana menentukan hukum yang mana yang berlaku dalam konteks yang bersifat dinamis. Dilematis anggota Polri dalam menentukan “hukum” yang mana akan selalu terjadi dikarenakan masyarakat akan selalu bersifat dinamis, termasuk pula permasalahan hukumnya.

Undang-undang No.2 Tahun 2002 tahun 2002 tentang Polri dalam pasal 4 merumuskan tujuan Polri sebagai “Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi

(2)

kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.” Dikaitkan dengan definisi hukum yang dimaksud, maka konstruksi jawaban bukanlah sekadar mendefinisikan secara harafiah, namun melalui pendekatan ilmu dan teori-teori hukum.

ISTILAH HUKUM DAN “HUKUM” Menelusuri tafsir harafiah

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia daring, hukum diartikan

sebagai: 1. peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah; 2. undang-undang, peraturan, dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat; 3. patokan (kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa (alam dan sebagainya) yang

tertentu; 4. keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim (dalam pengadilan); vonis (http://kbbi.web.id/hukum).

Hukum Menurut Ilmu Hukum

Dalam kamus hukum terkenal Black’s Law Dictionary, hukum didefinisikan sebagai

a: (1) : a binding custom or practice of a community : a rule of conduct or action prescribed or formally recognized as binding or enforced by a controlling authority

(2) : the whole body of such customs, practices, or rules

(3) : common law : the laws that developed from English court decisions and customs and that form the basis of laws in the U.S.

b: (1) : the control brought about by the existence or enforcement of such law

(2) : the action of laws considered as a means of redressing wrongs; also : litigation

(3) : the agency of or an agent of established law

(3)

e : control, authority

Menelusuri Teori Hukum

Dalam filsafat hukum, terkait dengan pemaknaan hukum, maka terdapat dua pertanyaan utama yang akan dicoba dijawab ketika konsep maupun teori hukum dikemukakan. Pertanyaan yang pertama adalah “bagaimana hukum seharusnya?”, sedangkan pertanyaan kedua adalah “Apakah hukum itu?”. Dalam ‘TEORI HUKUM Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi’ (Tanya Dkk. :2013), makna hukum tidaklah tunggal, setiap ruang dan generasi memaknai hukum secara berbeda sesuai ‘sistem situasi’ ruang dan generasi itu.

Persamaan yang medasar adalah bahwa teori hukum dari waktu ke waktu tetap berusaha menjawab kedua jenis pertanyaan tersebut,

“bagaimana hukum seharusnya?”, dan “apakah hukum itu?”. Sebagai contoh, pada zaman klasik filsuf Ionia mencoba menjawab pertanyaan “apakah hukum itu” (hukum itu tatanan kekuatan), sedangkan Kaum Sofis mencoba menjawab pertanyaan “bagaimana hukum seharusnya” (hukum sebagai tatanan logos).

Dari penjelasan diatas, maka penulis membedakan konteks

penggunaan istilah hukum dan “hukum” untuk mempermudah memahami tulisan ini. Hukum merupakan pemaknaan secara teoritis, yang berkenaan dengan konteks, sedangkan ‘hukum’ merupakan pemaknaan sebagai dogma hukum, hukum tertulis, hukum yang ditetapkan pemerintah untuk dipatuhi dan dilaksanakan.

(4)

pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.” Penjelasan pasal 4 UU No.2 tahun 2002 tentang Polri adalah : “Hak asasi manusia adalah hak dasar yang secara alamiah melekat pada setiap manusia dalam kehidupan masyarakat, meliputi bukan saja hak perseorangan melainkan juga hak masyarakat, bangsa dan negara yang secara utuh terdapat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta sesuai pula dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Declaration of Human Rights, 1948 dan konvensi internasional lainnya”. Dalam penjelasan pasal 4 UU No. 2 tahun 2002 tersebut, tidak ditemukan penjelasan mengenai ‘hukum’ mana yang dimaksud, hanya menjelaskan mengenai hak asasi manusia.

Keamanan Dalam Negeri

Secara singkat, ‘keamanan dalam negeri’ terwujud melalui adanya 4 (empat) kondisi dan 1 (satu) syarat. Keempat kondisi tersebut meliputi: 1. Terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat; 2. Tertib dan tegaknya (hukum?); 3. Terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat; serta 4.Terbinanya ketentraman masyarakat. Syarat dalam menciptakan kondisi tersebut adalah “menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia”.

Sebagai dampak tidak adanya penjelasan hukum mana yang dimaksud, maka kondisi kedua (tertib dan tegaknya hukum) merupakan pusat pembahasan dalam penulisan ini.

Dalam Undang-undang No.2 Tahun 2002 tahun 2002 tentang Polri, Pasal 2 menyebutkan “Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi

pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan (hukum?), perlindungan, pengayoman, dan

(5)

pasal 2 dan pasal 5, tidak ditemukan petunjuk yang memberikan gambaran mengenai ‘hukum?’ mana yang dimaksud.

Petunjuk mengenai ‘hukum?’ yang dimaksud ditemukan dalam upaya mencoba menemukan pengertian dari ‘daerah hukum. Dalam penjelasan pasal 6 Ayat (2), dijelaskan “Untuk melaksanakan peran dan fungsinya secara efektif dan efisien, wilayah Negara Republik Indonesia dibagi dalam daerah hukum menurut kepentingan pelaksanaan tugas dan wewenang Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperhatikan luas wilayah, keadaan penduduk, dan kemampuan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pembagian daerah hukum tersebut diusahakan serasi dengan pembagian wilayah administratif pemerintahan di daerah dan perangkat sistem

peradilan pidana terpadu”. Penjelasan ini bersesuaian dengan Pasal 2 ayat (2) PP No. 23 tahun 2007 tentang Daerah Hukum Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan “Untuk wilayah administrasi kepolisian, daerah hukumnya dibagi berdasarkan pemerintahan daerah dan perangkat sistem peradilan pidana terpadu”. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa (hukum?) yang dimaksud adalah hukum yang diterapkan dalam sistem peradilan pidana, yaitu hukum pidana sebagai “hukum” yang bersifat praktis dan normatif (ilmu hukum / dogmatis hukum). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hubungan antara Polri dan keamanan dalam negeri sebagaimana gambar berikut.

(6)

Dari gambar diatas dapat disimpulkan bahwa Polri adalah komponen utama untuk mewujudkan dalam negeri, namun terbinanya ketentraman masyarakat (peace) merupakan merupakan kondisi yang menjadi tugas pokok, fungsi, dan peran komponen lain diluar Polri.

Meskipun demikan, dikaitkan dengan tujuan Polri untuk “mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan

ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya “hukum”, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia”, maka dalam mencapai tujuan diperlukan tindakan (action). Untuk mecapai kondisi tersebut, maka diperlukan perlu dilakukan kajian lebih mendalam mengenai perbedaan antara tugas dan tugas pokok.

Tertib dan Tegaknya “Hukum”

(7)

peran Polri yang hanya membahas mengenai ‘menegakkan “hukum”’ dan “penegakkan “hukum”’, apa yang terjadi dengan ‘tertibnya “hukum”’, dan ‘penertiban “hukum”’?

Sebagai langkah awal, pemahaman tentang ‘tertib “hukum”’ menjadi penting untuk dapat menggali lebih dalam tentang “tertib dan tegaknya “hukum”’. Pemahaman akan difokuskan kepada ‘tertib “hukum”’ tinimbang “tegaknya “hukum” dikarenakan istilah ‘tertib “hukum”’ tidak dapat

ditemukanpada pasal-pasal dalam UU No. 2 tahun 2002 tentang Polri. Secara harafiah, ‘tertib “hukum”’ berasal dari kata ‘tertib’ dan “hukum”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertiannya adalah : tertib/ter·tib/ a 1 teratur; menurut aturan; rapi; 2 sopan; dengan sepatutnya; 3 aturan; peraturan yang baik. Sebagai padanan dari ‘penegakkan’ maka perlu diketahui pula arti kata ‘penertiban’, yaitu : penertiban/pe·ner·tib·an/ n proses, cara, perbuatan menertibkan (http://kbbi.web.id/tertib), sedangkan penegakkan adalah: penegakan/pe·ne·gak·an/ n proses, cara, perbuatan menegakkan;

‘Tertib hukum’ dapat kita temukan dalam Tap MPRS No.XX/ MPR/ 1966. Tentang Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia Dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia. Dalam Tap MPRS No.XX/ MPR/ 1966, disebutkan sumber tertib hukum (sumber dari segala sumber hukum) adalah Pancasila dan diwujudkan kedalam: 1. Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945; 2. Dekrit Presiden 5 Juli 1959; 4. Undang- Undang Dasar Proklamasi; 4. Surat Perintah 11 Maret 1966. Tata urut hierarkhi perundang-undangan dalam berdasarkan Tap MPRS No.XX/ MPR/ 1966 adalah: 1. Undang-undang Dasar; 2. Ketetapan MPR; 3. Undang-Undang; 4. Peraturan Pemerintah; 5. Keputusan Presiden; 6.

Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya. Dalam perjalanannya, Tap MPRS No.XX/ MPR/ 1966 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh TAP MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum Dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan. TAP MPR No. III/MPR/2000 merumuskan tata urutan perundang-undangan sbb: 1. Undang-Undang Dasar 1945; 2. Ketetapan Majelis

(8)

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu); 5. Peraturan Pemerintah; 6. Keputusan Presiden; 7. Peraturan Daerah.

Istilah yang berkaitan dengan ‘tertib “hukum”’ kembali ditemukan pada UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dalam pasal 6 yang mengatur tentang asas-asas pembentukan perundang-undangan, salah satu asas adalah ketertiban dan kepastian hukum (ayat 1 huruf i). Dalam penjelasannya, Yang dimaksud dengan "asas ketertiban dan kepastian hukum" adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat menimbulkan

ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum. Dalam perspektif dogmatis, UU No. 12 tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan memaknai bahwa tertibnya “hukum” adalah mengenai keteraturan hukum dogmatis (peraturan

perundang-undangan) secara hierarkhi, atau yang dikenal sebagai lex superior derogat lex inferior, dan berlaku dalam konteks pembuatan peraturan perundang-undangan (dogmatis hukum) yang secara dogmatis menyatakan bahwa Polri tidak termasuk didalamnya.

Didasari dengan pengakuan “hukum” bahwa pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, maka semua peraturan perundang-undangan yang ada harus tunduk kepada Pancasila sebagai konsekuensi lex superior derogat lex inferior. “Hukum” mengakui bahwa nilai-nilai hukum dan keadilan yang terdapat pancasila tidaklah dilakukan melalui proses

pembentukkan peraturan perundang-undangan, tetapi sebagai groundnorm yang tercermin dari “…dengan didiorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas…yang berdasarkan

kepada…..keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

(9)

masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan nyata untuk tumbuh dan belajar hidup pada kemampuan aslinya; (http://kbbi.web.id/adil). Dengan demikian, konteks keadilan yang dimaksud berbeda dengan keadilan menurut hukum.

Berdasarkan tradisi common law, konsep negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V Dicey yang disebut The Rule of Law. Menurutnya,ada tiga ciri atau arti penting the rule of law, yaitu :

1. Supremasi hukum dari regular law untuk menentang pengaruh dari arbitrary power dan meniadakan kesewenang-wenangan,

prerogative atau discretionary authority yang luas dari pemerintah. 2. Persamaan di hadapan hukum dari semua golongan kepada ordinary

law of the land yang dilaksanakan oleh ordinary court. Tidak ada orang yang berada di atas hukum, baik pejabat maupun warganegara biasa berkewajiban menaati hukum yang sama.

3. Konstitusi adalah hasil dari the ordinary law of the land, bahwa hukum konstitusi bukanlah sumber tetapi merupakan konsekuensi dari hak-hak individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan.

(A.V.Dicey, An Introduction to Study of Law of the Constitution, Mac.Millan & Co, London, 1959, Hal.117; Philipus M Hadjon,Perlindungan Hukum Bagi Rakyat,Op.Cit.hal 80)

Senada dengan diatas, Eugen Ehrlich berusaha untuk membuat jelas perbedaan dan hubungan antara hukum positif dan bentuk lain dari hukum atau norma-norma sosial yang mengatur kehidupan sehari-hari, yang

umumnya mencegah konflik berkelanjutan ke proses hukum dan peradilan. Penelitian sosiologi hukum Kontemporer menekankan pada bagaimana hukum berkembang di luar yurisdiksi negara, yang dihasilkan melalui interaksi sosial di berbagai arena sosial, dan melibatkan berbagai pihak otoritas (sering bersaing atau bertentangan) dalam jaringan komunal. Ehrlich menyatakan bahwa : “Hukum, pertama-tama bukanlah sebuah konsep

(10)

Dikaitkan dengan UU No. 2 Tahun 2002 yang menyebutkan ‘tertib dan tegaknya “hukum”’ sebagai suatu kondisi yang ingin dicapai, dan

‘penegakkan” sebagai proses untuk mencapai, maka konteks kondisi tertib dalam ‘tertib dan tegaknya “hukum”’ lebih tepat dikaitkan dengan upaya yang dicapai melalui proses penertiban daripada dimaknai sebagai asas.

‘Penertiban “hukum”’ hanya dapat dilakukan ketika kondisi “hukum” dalam keadaan “tidak tertib”. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari hubungan sebab-akibat. Keadaan hukum yang tidak tertib tersebut dapat diartikan sebagai terjadinya tumpang tindih (overlap) antar peraturan

perundang-undangan. Berdasarkan penjelasan pasal 6 ayat 1 huruf i tentang asas ketertiban dan kepastian hukum: “bahwa setiap materi muatan

peraturan perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum”, maka “hukum” dalam keadaan tidak tertib apabila materi muatan peraturan perundang-undangan tidak dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum. Artinya tujuan utama dari “hukum” adalah ketertiban masyarakat yang ingin diwujudkan melalui kepastian hukum.

Maka bagaimanakah jika kepastian hukum tidak dapat mewujudkan ketertiban masyarakat tetapi justru kontra produktif? Apa yang dapat

dilakukan Polri? Penjelasan Pasal 15 (1) huruf f menjelaskan bahwa “tindakan kepolisian adalah upaya paksa dan/atau tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab guna mewujudkan tertib dan tegaknya hukum serta terbinanya ketenteraman masyarakat. Pertanyaan besar mengenai apa hubungan Polri dengan “tertib dan tegaknya “hukum”’ serta terbinanya ketenteraman masyarakat dapat dijawab oleh penjelasan pasal 15 (1) huruf f, yaitu ketika Polri melakukan tindakan kepolisian (upaya paksa dan/atau tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab).

(11)

kepolisian, dikhawatirkan akan menimbulkan Gangguan Nyata yang

selanjutnya disingkat GN” dan “Gangguan Nyata yang selanjutnya disingkat GN adalah gangguan berupa kejahatan, pelanggaran hukum atau bencana yang dapat menimbulkan kerugian harta benda, jiwa - raga maupun

kehormatan”.

Dalam Peraturan Kapolri No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan

Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, ketentuan umum pada pasal 1 angka 2 menyebutkan: “Tindakan Kepolisian adalah upaya paksa dan / atau tindakan lain yang dilakukan secara bertanggung jawab menurut hukum yang berlaku untuk mencegah, menghambat, atau menghentikan tindakan pelaku kejahatan yang mengancam keselamatan, atau membahayakan jiwa raga harta benda atau kehormatan kesusilaan, guna mewujudkan tertib dan tegaknya hukum serta

terbinanya ketentraman masyarakat.”

Dari dua peraturan tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa tindakan kepolisian adalah tindakan yang dilakukan Polri untuk mencegah kerugian harta benda, jiwa-raga, maupun kehormatan.

Pembatasan pasal 15 (1) f adalah “kewenangan untuk melakukan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan”. Pemeriksaan khusus tersebut tidak dijelaskan batasannya, sehingga pemeriksaan khusus terhadap suatu peraturan perundang-undangan tidak dapat dipidana jika tujuannya adalah dalam rangka pencegahan kerugian jiwa-raga, harta benda, dan kehormatan.

Ketika polisi tersebut menggunakan kewenangannya yang diberikan oleh pasal 15 (1) f untuk melakukan pemeriksaan khusus terhadap peraturan perundang-undangan, Pasal 18 (1) menyatakan “Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri”. Yang dimaksud dengan "bertindak menurut penilaiannya sendiri" dalam bertindak harus mempertimbangkan manfaat serta resiko dari tindakannya dan betul-betul untuk kepentingan

(12)

Ketika kerugian harta benda, jiwa-raga, maupun kehormatan tidak dapat dicegah hanya melalui kepastian hukum (penerapan dogmatis hukum) seperti mencegah meninggalnya wanita dan bayi yang akan menghadapi persalinan dan tertahan oleh traffic light menunjukkan warna merah, maka tindakan seorang polisi untuk menghentikan “jalur hijau” untuk memberikan akses kepada wanita tersebut tergolong tindakan kepolisian untuk

mewujudkan ‘tertib dan tegaknya “hukum”’. “hukum” ditertibkan terlebih dahulu baru ditegakkan.

Dikaitkan dengan asas ’ketertiban dan penegakkan “hukum”’ sebagai “setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat

menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum”pembentukan peraturan perundang-undangan, maka ketika anggota tersebut mengabaikan “lampu merah” dan memerintahkan untuk meneruskan perjalanan, maka kepastian hukum telah berubah, bukan “hukum” (dogmatis) lagi yang diterapkan, tetapi polisi itu sendirilah telah melakukan pembentukan “hukum” baru yang bersifat sementara dan

menegakkannya untuk mewujudkan ‘tertib dan tegaknya “hukum”. Setelah “hukum” ditertibkan dan ditegakkan, ketuka polisi tersebut mengembalikan mekanisme lalu-lintas pada kendali traffic light, maka polisi tersebut

menyatakan “hukum” yang dibuatnya sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

(13)

sehingga hukum menjadi tertib (materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian “hukum”), saat situasi yang dapat mengancam keselamatan jiwa-raga, harta-benda dan kehormatan tadi sudah normal maka berdasarkan penilaiannya polisi tersebut kembali bertindak

menyatakan “hukum” yang telah dibuat dicabut dan dinyatakan tidak berlaku serta kembali undang-undang sebelumnya (pengaturan oleh traffic light).

Dengan demikian, berdasarkan tujuan Polri, maka penerapan hukum yang dilakukan secara teoritis merupakan hukum progresif dari Prof. Satjipto Rahardjo. Rahardjo mengatakan hukum bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya (Tanya Dkk. :190). Para pelaku hukum dapat melakukan

perubahan (hukum) dengan melakukan pemaknaan kreatif. Peraturan yang buruk (tidak tertib) tidak harus menjadi penghalang untuk menghadirkan keadilan karena polisi dapat melakukan interpretasi secara baru

(pemeriksaan khusus dilanjutkan penilaian sendiri), setiap kali terhadap setiap peraturan (Satjipto Rahardjo).

Next question: 1. Apakah hukum kepolisian itu? Atau, 2. Bagaimanakan hukum kepolisian seharusnya?

REFERENSI

Tap MPRS No.XX/ MPR/ 1966. Tentang Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia Dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia

TAP MPR No. III/MPR/2000

UU No. 2 tahun 2002 tentang Polri

(14)

Arnold, Thurman. The Symbols of Government. 1935. Page 36.

Dicey, A.V. An Introduction to Study of Law of the Constitution, Mac.Millan & Co, London, 1959, Hal.117; Philipus M Hadjon,Perlindungan Hukum Bagi Rakyat,Op.Cit.hal 80

Lord Lloyd of Hampstead. Introduction to Jurisprudence. Third Edition. Stevens & Sons. London. 1972. Second Impression. 1975.

Tanya, Bernard. TEORI HUKUM Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi. Rev ed. Genta Publishing: 2013.

Williams, Glanville. International Law and the Controversy Concerning the Meaning of the Word "Law". Revised version published in Laslett (Editor), Philosophy, Politics and Society (1956) p. 134 et seq. The original was published in (1945) 22 BYBIL 146.

http://sergie-zainovsky.blogspot.com/2012/10/teori-hukum-progresif-menurut-satjipto.html

https://en.wikipedia.org/wiki/Law

https://en.wikipedia.org/wiki/Eugen_Ehrlich

Referensi

Dokumen terkait

Perencanaan sistem pembumian membutuhkan nilai tahanan jenis tanah dan batang elektroda yang digunakan agar dapat mengetahui nilai pembumian, diantaranya menggunakan alat ukur

Penelitian mengenai perencanaan arsitektur enterprise sistem informasi untuk perguruan tinggi menggunakan metode Zachman Framework (kerangka kerja Zachman) telah

Menimbang, bahwa selanjutnya Jaksa Penuntut Umum dan Terdakwa telah diberi kesempatan untuk mempelajari berkas perkara selama 7 (tujuh) harikerja terhitung sejak tanggal

Adalah pengembangan wawasan intelektual yang kreatif dan dinamis di berbagai bidang dalam sinaran dan terintegrasi dengan Islam,merupakan kata kunci yang harus

Effect of decayed incorporated shoot residue of white top and Syrian sage on germination (G), stem length (SL) per plant, shoot dry weight (SHDWt.), and root dry weight (RDWt.) per

[r]

Proses manajemen lalu-lintas dimulai dengan analisa kinerja ruas jalan dan simpang kondisi eksisting (2016) dan 5tahun kedepan (2022) sejak beroperasinya Superblock

Penampilan Karakter Agronomi Beberapa Galur Harapan Tanaman Kedelai ( Glycine max [L.] Merrill) Generasi F6 Hasil Persilangan Wilis x Mlg 2521..