• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembagian Harta Bersama Ditinjau Dari Persepektif Gender (Analisis Putusan Perkara Nomor 278/Pdt.G/2012/PA Rks)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pembagian Harta Bersama Ditinjau Dari Persepektif Gender (Analisis Putusan Perkara Nomor 278/Pdt.G/2012/PA Rks)"

Copied!
152
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBAGIAN HARTA BERSAMA DITINJAU

DARI PERSPEKTIF GENDER

(Analisis Putusan Perkara Nomor 278/Pdt.G/2012/PA Rks)

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S. Sy)

Oleh:

ABDUL KAHFI NIM. 1110044100001

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI SYARIAH DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

PEMBAGIAN HARTA BERSAMA DITINJAU

DARI PERSPEKTIF GENDER

(Analisis Putusan Perkara Nomor 278/Pdt.G/2012/PA Rks)

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S. Sy)

Oleh:

ABDUL KAHFI NIM. 111004410000104

Pembimbing

Dr. Mohammad Ali Wafa, S.Ag., M.Ag. NIP: 19730424 200212 1 007

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI SYARIAH DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(3)
(4)

ABSTRAK

ABDUL KAHFI. NIM. 1110044100001. “PEMBAGIAN HARTA BERSAMA DITINJAU DARI PERSPEKTIF GENDER (Analisis Putusan Perkara Nomor 278/Pdt.G/2012/PA Rks)” Program Studi Hukum Keluarga Islam, Konsentrasi Peradilan Agama, Fakultas Syari‟ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H./2015 M.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui ketentuan pembagian harta bersama menurut fuqaha, regulasi undang-undang tentang pembagian harta bersama, dan pembagian harta bersama ditinjau dari perspektif gender berdasarkan Putusan Perkara Nomor 278/Pdt. G/2012/PA Rks.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Yuridis Normatif. Sedangkan jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian Kualitatif.

Sumber data primer dalam penelitian ini adalah dokumen penetapan-penetapan atas pembagian harta bersama akibat perceraian di Pengadilan Agama Rangkasbitung serta sumber informasi dari para hakim yang menetapkan perkara tersebut. Sedangkan sumber data sekundernya adalah undang-undang perkawinan. Sedangkan teknik penulisannya berdasarkan Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas

Syari‟ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Berdasarkan hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya Hukum Islam tidak mengatur secara khusus tentang harta bersama dalam perkawinan. Sedangkan menurut ketentuan perundang-undangan di Indonesia bahwa pembagian harta bersama bagusnya dilakukan secara adil, sehingga tidak menimbulkan ketidakadilan antara mana yang merupakan hak suami dan hakistri.

Kata kunci: Harta Bersama, Gender, Putusan Pengadilan Agama.

(5)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Swt. atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehinga penulis dapat menyelesaikan

penulisdan skripsi ini. Sholawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Saw. yang telah membimbing manusia menuju jalan yang penuh

dengan ridha Allah Swt.

Skripsi ini berjudul “Pembagian Harta Bersama Ditinjau Dari

Perspektif Gender (Analisis Putusan Perkara Nomor 278/Pdt.G/2012/PA

Rks)Syibhul ‘Iddah Bagi Suami Dalam Perspektif Fiqih Islam dan

Kompilasi Hukum Islam di Indonesia“, ditulis sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy.), pada Fakultas Syariah dan Hukum

Program Studi Hukum Keluarga Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Penulisan skripsi ini terselesaikan berkat bantuan berbagai pihak. Oleh

karenanya, penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Kamarusdiana, S.Ag., M.H., dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag., Ketua dan

Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Dr. Mohammad Ali Wafa, S.Ag., M.Ag., dosen pembimbing yang telah

meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya selama membimbing penulis.

4. Bapak Prof. Dr. H. Abd. Wahab Muhaimin, L.C., M.A., dan Ibu Dra. Ipah

Farihah, M.H., selaku guru dan dosen penguji yang telah mengoreksi kesalahan

(6)

5. Segenap Dosen dan Staff pengajar pada lingkungan Program Studi Hukum

Keluarga Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah

memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama duduk di bangku

perkuliahan.

6. Doa dan harapan penulis panjatkan kepada keluarga tercinta, H. Jajang

Saefudin, Hj. Rokiyah, Abdul Basit SKM, Muhammad Mahdi Lc, Abdul

Matin, serta keluarga besar Almarhum H. Buckhary, H. Derin dan

Almarhumah Hj. Saedah, yang senantiasa memberikan dukungan sejak awal

perkuliahan sampai penulis dapat menyelesaikan skripsi.

7. Sahabat-sahabat seperjuangan penulis yaitu Fajrul Islamy, Nurul Hikmah, Eka

Dita, Irfan Zidny, Muhammad Faudzan, Rusdi Rizki Lubis,Arif Rahman

Hakim, Rifki Abdurrahman, M. Putera Fajar, Caryono, Ircham Mahaputra, M.

Zaky Ahla, M. Ulil Azmi, Syahbana Arif, Sopriyanto, Luthfi Hidayat, Erwin

Hikmatiar, Irfan Nurhasan, Zian Mufti, Wardhatul Jannah, Defi Uswatun

Hasanah, Neneng Khosyatillah, Inayah Maily, Khoirun Nisa, Sainah, Rena

Soraya, Syafa‟atuluzma, Arini Zidna, dan semua teman-teman Peradilan Agama Angkatan 2010 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang

menjadi teman seperjuangan sebelum maupun ketika di bangku perkuliahan.

Serta terimakasih teruntuk Opri Liani seseorang yang telah membuat saya

kembali bersemangat untuk menyelesaikan skripsi ini. Jika bukan karenanyalah

mungkin skripsi ini takan mungkin selesai.

Penulis berdo‟a semoga sumbangsih yang telah mereka berikan menjadi

(7)

Pada akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari

kesempurnaan, Oleh karena itu kritik dan saran membangun demi perbaikan dan

kesempurnaan skripsi ini sangat penulis harapkan. Penulis juga berharap semoga

skripsi ini bermanfaat adanya. Amin,

Ciputat, 28 M e i 2015 M. 10 Sya;ban 1436 H.

(8)

DAFTAR ISI

HALAM JUDUL ....... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ...... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumausan Masalah ... 10

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 11

D. Metode Penelitian ... 12

E. Study Review Terdahulu ... 18

F. Kerangka Teori ... 19

G. Sistematika Penulisan ... 21

BAB II : HARTA BESAMA DAN GENDER A. Harta Bersama ... 23

1. Pengertian harta Bersama ... 23

2. Historis Harta Bersama ... 27

B. Dasar Hukum Harta Bersama ... 31

(9)

D. Gender Menurut Hukum Islam ... 41

BAB III : PEMBAGIAN HARTA BERSAMA A. Harta Bersama Menurut Hukum Positif di Indsonesia ... 56

B. Harta Bersama Menurut Fiqih ... 68

C. Harta Bersama Menurut Kesetaraan Sosial ... 72

BAB IV : PEMBAGIAN HARTA BERSAMA MENURUT HUKUM ISLAM, REGULASI UNDANG-UNDANG DAN GENDER A. Profil Pengadilan Agama Rangkasbitung ... 79

B. Pembagian Harta Bersama Menurut Hukum Islam ... 81

C. Regulasi Undang-undang Tentang Pembagian Harta Bersama 88 D. Pembagian Harta Bersama Ditinjau dari Gender ... 93

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 103

B. Saran ... 104

DAFTAR PUSTAKA ... 106

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Harta bersama adalah kekayaan yang diperoleh selama masa

perkawinan diluar hadiah atau warisan. Maksudnya adalah, harta yang didapat

atas usaha mereka, atau sendiri-sendiri selama masa ikatan perkawinan. Dalam

istilah muamalat, dapat dikategorikan sebagai syirkah atau join antara suami

dan isteri. Dalam konteks konvesional, beban ekonomi keluarga adalah hasil

pencaharian suami, sedangkan isteri bertindak sebagai manajer yang mengatur

manajemen ekonomi rumah tangganya. Dalam pengertian yang lebih luas,

sejalan dengan tuntunan perkembangannya isteri juga dapat melakukan

pekerjaan yang dapat mendatangkan kekayaan. Jika antara suami-istri

masing-masing mendatangkan modal dan dikelola bersama, maka hal demikian

disebut dengan syirkah al-inan.1

Harta bersama seringkali kurang mendapat perhatian yang seksama dari

para ahli hukum, terutama prasktisi hukum yang semestinya harus

memperhatikan hal ini secara serius, karena masalah harta bersama merupakan

masalah yang sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan suami dan isteri

apabila mereka telah bercerai. Hal ini mungkin disebabkan karena munculnya

harta bersama ini biasanya apabila terjadi perceraian antara suami istri, atau

pada saat proses perceraian sedang berlangsung di Pengadilan Agama sehingga

1

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 200-201

(11)

timbul berbagai masalah hukum yang kadang-kadang dalam penyelesaiannya

menyimpang dari perundang-undangan yang berlaku.

Secara yuridis formal, ketentuan tentang harta bersama sudah diatur

dalam pasal 35 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

perkawinan, dimana dijelaskan bahwa harta bersama adalah harta yang

diperoleh selama istri diikat dalam suatu ikatan perkawinan.2 Dalam praktek pengadilan, terdapat beberapa hal yang sejalan dengan perkembangan hukum

dan kondisi sosial yang berubah dalam masyarakat sesuai dengan

perkembangan kemajuan zaman. Perubahan dalam kehidupan masyarakat

terjadi dalam berbagai bentuk, baik dalam bidang komunikasi, informasi dan

hal-hal yang menyangkut ekonomi. Yang kesemuanya itu sangat

mempengaruhi tentang perolehan harta bersama dan juga pembagian apabila

terjadi sengketa di pengadilan. Dalam hal ini sangat diperlukan keterampilan

dan kejelian hakim dalam menganalisis masalah harta bersama ini dengan

penerapan prinsip-prinsip keadilan sesuai dengan kemajuan zaman, tanpa

mengorbankan ketentuan agama yang dianut.

Menurut M. Yahya Harahap bahwa sudut pandang hukum Islam

terhadap harta bersama ini adalah sejalan dengan yang dikemukakan oleh

Muhammad Syah bahwa perceraian bersama suami istri mestinya masuk dalam

Rub’ul Muamalah, tetapi secara khusus tidak dibicarakan. Hal ini mungkin

disebabkan karena pada umumnya pengarang kitab-kitab fikih adalah orang

Arab yang tidak mengenal adanya adat mengenai perceraian bersama suami

2

(12)

istri itu. Tetapi dibicarakan tentang perkongsian yang dalam Bahasa Arab

disebut dengan syarikat/syirkah. Oleh karena masalah penceraian bersama

suami istri adalah termasuk sirkah, maka untuk mengetahui hukumnya perlu

dibahas lebih dahulu tentang macam- macam syirkah sebagaimana telah

dibicarakan oleh para ulama dalam kitab fikih. Harta bersama dalam

perkawinan masuk dalam bentuk syirkah abdan dan mufawadlah.3

Para ahli hukum Islam berbeda pendapat tentang dasar hukum harta

bersama. Sebagian mereka mengatakan bahwa Agama Islam tidak mengatur

tentang harta bersama dalam Al-Qur‟an oleh karena itu terserah sepenuhnya kepada mereka untuk mengaturnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Hazairin,

Arwan Harjono dan Abdoerauf serta diikuti oleh murid-muridnya. Sebagian

pakar hukum Islam lain mengatakan bahwa suatu hal yang tidak mungkin jika

agama Islam tidak mengatur tentang harta bersama, sedangkan hal-hal lain

yang kecil saja diatur secara rinci oleh Agama Islam dan ditentukan kadar

hukumnya. Tidak satupun yang tertinggal semuanya termasuk dalam ruang

lingkup pembahasaan hukum Islam. Jika tidak disebutkan dalam Al-Qur‟an maka ketentuan itu pasti dalam Al-Hadits pendapat ini dikemukakan oleh T.

Jafizham.4

Di dalam kitab-kitab fikih bab khusus tentang pembahasan syarikat

yang sah dan yang tidak sah, Mazhab Syafi‟iyah membagi syarikat dalam 4 (empat) macam, yaitu :

3

M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), H. 270

4

T. Jafizham, Persentuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkawinan Islam,

(13)

1. Syarikat „Inan, yaitu dua orang yang berkongsi di dalam harta tertentu,

mislanya berserikat dalam membeli suatu barang dan keuntungannya untuk

mereka.

2. Syarikat Abdan, yaitu dua orang atau lebih berserikat masing-masing

mengerjakan suatu pekerjaan dengan tenaga dan hasilnya untuk mereka

bersama menurut perjanjian yang mereka buat. Misalnya, tukang kayu,

tukang batu, nelayan dan lain sebagainya.

3. Syirkat Mufawadlah, yaitu dua orang atau lebih melaksanakan suatu

pekerjaan dengan tenaganya yang masing-masing di antara mereka

mengeluarkan modal, menerima keuntungan dengan tenaga dan modalnya,

masing-masing melakukan tindakan meskipun tidak diketahui oleh pihak

lain.

4. Syarikat Wujuh, yaitu syarikat atas sesuatu tanpa pekerjaan ataupun harta

yaitu pemodalan dengan dasar kepercayaan pihak lain kepada mereka.5 Akan tetapi terdapat pembahasan tentang perabotan rumah tangga di

kalangan ulama mazhab. Menurut Maliki, istri wajib membeli perlengkapan

rumah yang menuntut kebiasaan ditanggung oleh istri, dengan mahar yang

diterimanya. Kalau dia tidak menerima mahar sama sekali, maka dia tidak

berkewajiban menyediakan perlengkapan rumah tangga kecuali dalam dua

kondisi. Pertama, manakala tradisi yang berlaku di daerahnya memang

mengaharuskan seorang istri menyediakan perlengkapan rumah tangga,

sekalipun dia tidak menerima mahar sama sekali. Kedua, manakala si suami

5

(14)

mensyaratkan (dalam akad) bahwa istrinyalah yang wajib menyediakan

perlengkapan rumah tangga dari uang pribadinya.6

Apabila terjadi perselisihan antara suami istri tentang suatu

perlengkapan rumah tangga, maka persoalannya harus diteliti terlebih dahulu

apakah perlengkapan itu khusus untuk laki-laki, khusus wanita, atau bisa

dipergunakan bersama. Dalam hal ini ada 3 (tiga) persoalan :

1. Kalau barang-barang itu hanya berguna bagi laki-laki pemilikannya

ditentukan berdasarkan pernyataan (klaim) suami disertai dengan sumpah,

kecuali terdapat bukti yang menyatakan bahwa peralatan tersebut betul-betul

milik istri. Ini merupakan pendapat Imamiyah dan Hanafi.

2. Kalau perlengkapan itu cocok untuk kaum wanita maka yang dipegangi

adalah klaim isteri disertai sumpah, kecuali terdapat bukti yang menyatakan

bahwa perlengkapan tersebut betul-betul milik suami. Inipun merupakan

pendapat Imamiyah dan Hanafi.

3. Bila barang-barang tersebut bisa dipergunakan bersama maka pemilikannya

dengan pihak yang bias menunjukan bukti. Kalau kedua pihak tidak bisa

menunjukan bukti maka masing-masing pihak diminta bersumpah, dan

barang-barang itu dibagi dua. Kalau salah seorang bersedia bersumpah

sedang yang seorang lagi tidak, maka barang-barang itu diberikan kepada

pihak yang bersumpah. Ini merupakan pendapat Imamiyah.

4. Adapun Abu Hanifah dan salah seorang pengikutnya, Muhammad,

berpendapat bahwa terhadap barang-barang yang bisa dipakai bersama,

6

(15)

maka yang dipegangi adalah klaim suami. Sedangkan Syafi‟i berpendapat bahwa apabila suami dan istri bersengketa tentang perabotan rumah tangga,

maka barang-barang itu milik mereka berdua, baik barang-barang itu hanya

bisa dipakai oleh salah satu pihak maupun yang bisa digunakan

bersama-sama.7

Dalam pasal 119 KUH Perdata dikemukakan bahwa mulai saat

perkawinan dilangsungkan, secara hukum berlakulah kesatuan bulat antara

harta kekayaan suami istri, sekedar mengenai itu dengan perjanjian kawin

tidak ada ketentuan lain. Kemudian dalam pasal 128 - 129 KUH Perdata,

dinyatakan bahwa apabila putusnya tali perkawinan atara suami istri, maka

harta bersama itu dibagi dua antara suami istri tanpa memikirkan dari pihak

mana barang-barang kekayaan itu diperoleh sebelumnya.

Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal

35-37 dikemukakan harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi

harta bersama. Masing masing suami istri berhak terhadap harta yang diperoleh

masing-masing selama para pihak tidak menentukan lain. Tentang harta

bersama ini, suami atau istri dapat bertindak untuk berbuat sesuatu atau tidak

berbuat sesuatu atas harta bersama itu atas persetujuan kedua belah pihak.

Dinyatakan pula bahwa suami istri mempunyai hak sepenuhnya untuk

melakukan perbuatan hukum mengenai harta bersama tersebut apabila

perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama tersebut diatur

menurut hukum masing-masing.

7

(16)

Menurut pasal 36 ayat 2 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan jo. Pasal 87 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam bahwa istri

mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta

pribadi masing-masing. Mereka bebas menetukan terhadap harta tersebut tanpa

ikut campur suami atau istri untuk menjualnya, dihibahkan atau mengagunkan.8

Berdasarkan hal tersebut di atas, dalam peraturan perundang-undangan

di Indonesia terdapat empat macam harta keluarga (gezimsgood) dalam

perkawinan, yaitu:

1. Harta yang diperoleh dari warisan, baik sebelum mereka menjadi suami istri

maupun setelah mereka melakukan perkawinan, harta ini di Jawa Tengah

disebut dengan barang gawaan, di Betawi disebut barang usaha, di Banten

disebut barang sulur, di Aceh disebut harta tuha.

2. Harta yang diperoleh dari keringat sendiri sebelum mereka menjadi suami

istri. Di Sumatera Selatan, harta milik suami disebut harta pembunjangan,

sedangkan harta milik istri disebut harta penantian.

3. Harta yang dihasilkan bersama oleh suami istri selama berlangsungnya

perkawinan. Di Aceh disebut harta seuhareukat, di Jawa disebut harta

gonogini, di Minangkabau disebut harta surang.

4. Harta yang didapat pengantin pada waktu pernikahan dilaksanakan, harta ini

menjadi milik suami-istri selama perkawinan.9

8

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 104-105

9

(17)

Pembagian harta bersama merupakan perkara yang muncul sebagai

akibat dari perceraian. Dalam persoalan ini para hakim pada dasarnya

menggunakan ketentuan KHI, dimana harta yang diperoleh dalam ikatan

perkawinan harus dibagi ketika pernikahan putus, baik karena perceraian

maupun salah satu pihak meninggal dunia. Persoalannya, seberapa besar

bagian untuk kedua pihak yang dianggap adil, hakim tak selalu punya

pandangan yang sama. Meskipun hukum materil seperti KHI sudah

memberikan aturan yang berspektif kesetaraaan hak dan kewajiban antara

laki-laki dan perempuan, dalam pelaksanaanya kerap muncul penafsiran yang

berbeda. Jika mengacu kepada KHI, perempuan mendapat setengah dari harta

yang diperoleh selama berumah tangga, walaupun ia tidak bekerja di wilayah

publik yang mengasilkan uang. Namun bukan tidak mungkin bila ada hakim

yang menerapkan dua banding satu, dengan asumsi lelaki bekerja lebih banyak

sehingga hasilnya pun lebih banyak. Dengan perhitungan seperti itu, satu

bagian bagi istri sudah dianggap merupakan penghargaan atas jerih payahnya

mengelola rumah tangga. Anggapan semacam ini tidak jarang dicarikan

justifikasinya dengan mengacu kepada konsep pembagian waris sebagaimana

diatur dalam Al-Qur‟an.10

Seringkali pihak istri dirugikan dan mengalami ketidak adilan dalam

pembagian harta bersama. Ketidak adilan ini terkait dengan masalah

pembakuan peran suami istri dalam Undag-Undang No.1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan (UUP) yang menyatakan bahwa suami adalah kepala keluarga dan

10

(18)

istri adalah ibu rumah tangga. UUP juga telah menetapkan istri sebatas

pengelola rumah tangga (domestik) dengan aturan yang mewajibkan istri

mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Dampaknya, banyak istri yang

tidak memiliki kesempatan bekerja dan mencari nafkah sendiri sehingga tidak

bisa mengelola keterampilan yang dimilikinya untuk memperoleh penghasilan.

Dalam hal ini, para istri mengalami ketergantungan ekonomi terhadap

suaminya. Bagaimana jika kemudian terjadi perceraian? Istri yang telah

“dirumahkan” tentu akan mengalami kesulitan untuk mandiri secara ekonomi.

Beban istripun semakin berat jika dalam perkawinan anak-anak menjadi

tanggungannya.

Ketidak adilan lainnya yang sering terjadi adalah beban ganda yang

memberatkan pihak istri. Kadang kala istri bekerja di luar rumash sebagai

pencari nafkah (bahkan sebagai pencari nafkah utama) dan juga dibebani

dengan pekerjaan rumah tangga sepulangnya ke rumah. Kebanyakan suami

yang merasa pekerjaan rumah tangga adalah urusan istri saja, umumnya

enggan melakukan pekerjaan rumah tangga meski istrinya sejak pagi bekerja di

luar rumah.

Seperti dalam kasus yang berada di Pengadilan Agama Rangkasbitung,

yang membagi harta bersama tersebut sama rata. Padahal dalam kasus tersebut

jelas sekali istri yang bekerja menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Saudi

Arabia selama 2 tahun sedangkan suami hanya di rumah saja. Bahkan sang

suami tidak melakukan urusan rumah tangga dan tidak pula mengurus anaknya.

(19)

menempati rumah yang selama ini menjadi tempat tinggalnya dengan istri dan

anak-anaknya. Sedangkan anaknya di urus oleh orangtua sang istri. Sehingga

sang istri meminta cerai kepada sang suami ke pihak Pengadilan Agama dan

meminta pembagian harta bersama secara adil. Akan tetapi, hakim dalam

memutuskan pembagian harta bersama tersebut membaginya dengan bagian

sama banyak (separuh untuk istri dan separuh lagi untuk suami), sehingga

muncul ketidak adilan gender dalam pembagian harta bersama tersebut.

Contoh lain yang kasuistik adalah kasus yang menimpa seorang

presenter Made Hughesia Dewi dengan Alfin, mantan suaminya. Gugatan

komulasi perceraian dengan harta yang diajukannya di Pengadilan Agama

Jakarta Selatan dikabulkan oleh hakim dengan pembagian harta bersama

adalah separuh-separuh.

Dengan demikian, adalah hal yang tidak adil bagi perempuan jika

aturan pembagian harta bersama hanya terbatas pada pembagian separoh dari

harta bersama karena tidak sedikit istri yang berkontribusi lebih besar dari pada

suami. Ketentuan pembagian harta bersama sebaiknya diatur scara profesiaonal

dan adil sesuai dengan kontribusi dan peran masing-masing.

Berangkat dari teori yang penulis paparkan di atas, penulis ingin

meneliti lebih jauh tentang pembagian harta bersama dan mengangkatnya ke

dalam karya tulis dengan judul: PEMBAGIAN HARTA BERSAMA

DITINJAU DARI PERSPEKTIF GENDER (ANALISIS PUTUSAN

(20)

B.Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan terarah dan lebih spesifik, maka perlu ditentukan

batasan masalah yang akan dibahas. Adapun masalah dalam penelitian ini

dibatasi seputar pembagian harta bersama ditinjau dari perspektif gender

yang dihubungkan dengan Putusan Perkara Nomor 278/Pdt. G/2012/PA

Rks.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dan pembatasan masalah di atas,

maka dalam penelitian ini pokok masalahnya dapat dirumuskan sebagai

berikut:

a. Bagaimanakah ketentuan pembagian harta bersama menurut fuqaha ?

b. Bagaimanakah regulasi undang-undang tentang pembagian harta

bersama ?

c. Bagaimanakah analisis pembagian harta bersama ditinjau dari perspektif

gender berdasarkan Putusan Perkara Nomor 278/Pdt. G/2012/PA Rks. ?

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Dengan melihat pokok permasalahan sebagaimana diuraikan di atas,

maka tujuan yang hendak dicapai dari penulisan ini adalah untuk

mengetahui :

(21)

d. Regulasi undang-undang tentang pembagian harta bersama.

e. Analisis pembagian harta bersama ditinjau dari perspektif gender

berdasarkan Putusan Perkara Nomor 278/Pdt. G/2012/PA Rks.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang akan didapatkan dalam penelitian diantaranya

adalah:

a. Bagi Penulis

1) Mengaplikasikan ilmu-ilmu yang diperoleh dan dapat memperluas

pengetahuan khususnya dalam bidang pernikahan.

2) Mengetahui kondisi yang terjadi di lapangan khusunya di dalam

lingkup Pengadilan Agama.

3) Membandingkan teori yang telah ada dengan permasalahan yang

sebenarnya terjadi di masyarakat.

b. Bagi Masyarakat

1) Memberikan informasi bagi semua kalangan masyarakat tentang

pembagian harta bersama dan akibat hukumnya..

2) Memberikan informasi tentang analisa keputusan hakim Pengadilan

Agama mengenai harta bersama akibat dari perceraian.

c. Bagi Institusi

1) Memberikan informasi bagi institusi mengenai apa saja dasar hakim

Pengadilan Agama dalam memutuskan perkara harta bersama akibat

(22)

d. Bagi Universitas

1) Menambah referensi bagi teman-teman dalam mempelajari hukum

perkawinan khususnya harta bersama dan akibat hukumnya.

2) Mengetahui kemampuan mahasiswa dalam menerapkan ilmu

pengetahuannya.

3) Memberikan gambaran tentang kesiapan dan kelayakkan mahasiswa

dalam menangani masalah dilapangan. Sebagai tambahan informasi

bagi pemerhati Hukum Islam khususnya yang berkaitan dengan harta

bersama dalam perkawinan.

4) Memperkaya khazanah ilmu pengetahuan.

D.Metode Penelitian

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Pendekatan yang digunakan penulis adalah pendekatan Yuridis

Normatif. Yaitu suatu pendekatan untuk menemukan apakah suatu

perbuatan hukum itu sesuai dengan perundangan-undangan yang berlaku

atau tidak. Karena dengan pendekatan ini bisa mengetahui semua hal

tentang pembagian harta bersama akibat perceraian di Pengadilan Agama.

Hal ini tidak bisa dijelaskan dengan angka-angka, akan tetapi hal ini bisa

terungkap dengan terjun langsung ke Pengadilan Agama, sehingga data

(23)

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian Kualitatif yaitu

penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan

prosedur analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya.11

2. Sumber Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber data sebagai

berikut :

a. Sumber primer, adalah data yang diperoleh langsung dari subyek

penelitian dengan menggunakan alat pengukuran atau alat pengambilan

data langsung pada subyek sebagai sumber informasi yang dicari. Dalam

penelitian ini, subyek penelitiannya adalah dokumen

penetapan-penetapan atas pembagian harta bersama akibat perceraian di Pengadilan

Agama Rangkasbitung serta sumber informasi dari para hakim yang

menetapkan perkara tersebut.

b. Sumber sekunder, adalah data-data yang berasal dari orang kedua atau

bukan data yang datang langsung, namun data-data ini mendukung

pembahasan dari penelitian ini. Adapun sumber data sekunder

diantaranya adalah:

1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

2) Undang-Undang No.4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman

3) PP No.9 Tahun tentang pelaksanaan UU No.1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan.

4) Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.

11

(24)

5) Kompilasi Hukum Islam di Indonesia

6) kitab dan buku-buku serta catatan lainnya yang ada keterkaitannya

dengan masalah isbat nikah.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis

dalam penelitian, karena tujuan utama pengumpulan data adalah guna

memperoleh data yang diperlukan. Teknik pengumpulan data yang

digunakan dalam skripsi ini yaitu dengan menggunakan teknik studi

dokumenter dan studi doktrinal. Adapun metode analisis data yang

digunakan adalah content analysis atau analisis isi. Adapun

langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:

a. Menganalisis terhadap berkas penetapan pembagian harta bersama

dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Rangkasbitung berdasarkan Putusan

Perkara Nomor 278/Pdt. G/2012/PA Rks.

b. Interview/wawancara yaitu pengumpulan data yang dilakukan penulis

dengan jalan mengadakan dialog langsung dengan responden yang telah

dipilih sebelumnya, yaitu hakim Pengadilan Agama Rangkasbitung yang

memutuskan perkara Perkara Nomor 278/Pdt. G/2012/PA Rks.

Menurut Moleong, analisa data merupakan tahap terpenting dari

sebuah penulisan. Sebab pada tahap ini data dapat dikerjakan dan

dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga menghasilkan sebuah pemahaman

yang benar-benar dapat digunakan untuk menjawab persoalan-persoalan

(25)

pengorganisasian dan pengurutan data ke dalam pola kategori dan suatu

uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan

hipotesis kerja seperti yang dirumuskan oleh data.12

Tehnik analisa pada tahap ini merupakan pengembangan dari metode

analitis kritis. Adapun tehnik analisa dari penulisan ini adalah content

analysis atau analisa isi, yakni pengolahan data dengan cara pemilahan

tersendiri berkaitan dengan pembahasan dari beberapa gagasan atau

pemikiran para tokoh yang kemudian dideskripsikan, dibahas dan dikritik.

Selanjutnya dikategorisasikan (dikelompokkan) dengan data yang sejenis,

dan dianalisa isinya secara kritis guna mendapatkan formulasi yang kongkrit

dan memadai, sehingga pada akhirnya dijadikan sebagai langkah dalam

mengambil kesimpulan sebagai jawaban dari rumusan masalah yang ada.13 Dengan menggunakan analisis isi yang mencakup prosedur ilmiah

berupa obyektifitas, sistematis, dan generalisasi. Maka, arah pembahasan

skripsi ini untuk menginterpretasikan, menganalisis isi buku (sebagai

landasan teoritis) dikaitkan dengan masalah-masalah kecerdasan spiritual

dan pendidikan yang masih aktual untuk dibahas, yang selanjutnya

dipaparkan secara objektif dan sistematis.

Melihat banyaknya metode yang dapat dipakai dalam pengkajian

suatu ilmu, maka penulis akan menggunakan beberapa metode yang yang

dianggap perlu dan relevan dengan pembahasan ini, antara lain :

12

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, h. 103. 13

(26)

a. Metode Dokumentasi

Metode dokumentasi yaitu mencari data mengenai variable yang

berupa catatan, transkip, buku-buku, dokumen, peraturan-peraturan,

notulen rapat, longer, majalah, catatan harian, agenda, dan sebagainya.

Metode dokumentasi ini digunakan untuk mendapatkan data berupa

tulisan yang sehubungan dengan obyek penelitian yang akan di bahas

dalam penelitian, serta digunakan sebagai metode penguat dari hasil

metode interview atau wawancara. Metode ini digunakan untuk

mengumpulkan data yang menyangkut pembahasan yang penulis kaji

atau teliti. Dalam hal ini, dokumentasi yang dijadikan acuan berupa arsip

atau dokumen salinan penetapan permohonan pembagian harta bersama

yang telah diputus Pengadilan Agama Rangkasbitung.

b. Metode Interview

Yaitu usaha mengumpulkan informasi dengan menggunakan

sejumlah pertanyaan secara lisan, untuk dijawab secara lisan pula.

Metode wawancara digunakan untuk memperoleh informasi tentang

hal-hal yang tidak dapat diperoleh lewat pengamatan. 14 Dengan menggunakan metode ini diharapkan dapat memperoleh jawaban secara

langsung, jujur, dan benar serta keterangan lengkap dari informan

sehubungan dengan obyek penelitian. Sehingga dapat diperoleh

informasi yang valid dengan bertanya langsung kepada informan. Dalam

14

(27)

hal ini informan adalah para hakim yang menetapkan permohonan

pembagian harta bersama di Pengadilan Agama Rangkasbitung.

c. Metode Deskriptif

Metode deskriptif ini digunakan untuk memecahkan serta

menjawab persoalan yang sedang dihadapi pada situasi sekarang,

dilakukan dengan menempuh langkah-langkah pengumpulan, klasifikasi,

analisa data, memuat kesimpulan dan laporan, dengan tujuan membuat

penggambaran tentang suatu keadaan secara obyektif dalam deskripsi

situasi untuk dibahasakan secara rinci.

d. Metode Deduksi

Metode ini merupakan akar pembahasan yang berangkat dari

realitas yang bersifat umum kepada sebuah pemaknaan yang bersifat

khusus.15 Metode ini digunakan untuk menguraikan suatu hipotesis atau asumsi yang bersifat umum kemudian digeneralisasikan pada asumsi

baru atau antitesis yang bersifat khusus.

e. Metode Induksi

Metode ini merupakan alur pembahasan yang berangkat dari

realita-realita yang bersifat khusus atau peristiwa-peristiwa yang konkret

kemudian dari realita- realita yang konkret itu ditarik secara general yang

bersifat umum. Berpikir induktif, adalah berpikir yang berangkat dari

fakta-fakta atau peristiwa yang bersifat khusus dan kongkrit, kemudian

ditarik pada generalisasi yang bersifat umum (general interpretatif).

15

(28)

Adapun teknik penulisan, penulis menggunakan standar acuan

BUKU PEDOMAN PENULISAN SKRIPSI yang diterbitkan oleh Fakultas

Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

E.Study Review Terdahulu

Dalam melakukan penulisan skripsi ini, penulis telah menemukan

beberapa skripsi yang membahas tentang Harta Bersama. Berikut skripsi yang

penulis temukan:

1. Persepsi Aktivitas Gender Indonesia Terhadap Sistem Pembagian Harta

Waris Dalam Hukum Islam. Maulana Hamzah (NIM : 106044101371).

Berisikan tentang Pengertian Persepsi dan Pengertian Gender.

2. Penyelesaian Perceraian dan Harta Bersama (Studi Kasus Pengadilan

Agama Jakarta Selatan). Ibnu Tamim (NIM : 207044100853). Berisikan

tentang Kedudukan Harta Bersama Akibat Perceraian, Penyelesaian

Perceraian Bersama Dengan Gugatan Harta Bersama dan Penentuan Statu

Harta Bersama Akibat Perceraian.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah bahwa

keduanya sama-sama membahas tentang pembagian harta bersama yang timbul

akibat perceraian. Sedang perbedaan penelitian ini dengan penelitian

sebelumnya adalah bahwa pada penelitian ini penulis lebih menitikberatkan

pada gender, dimana perempuan dan laki-laki memiliki posisi dan kedudukan

(29)

F. Kerangka Teori

Harta bersama adalah kekayaan yang diperoleh selama masa

perkawinan diluar hadiah atau warisan. Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan pasal 35-37 dikemukakan harta benda yang diperoleh

selama perkawinan menjadi harta bersama. Masing masing suami istri berhak

terhadap harta yang diperoleh masing-masing selama para pihak tidak

menentukan lain. Tentang harta bersama ini, suami atau istri dapat bertindak

untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu atas harta bersama itu atas

persetujuan kedua belah pihak. Dinyatakan pula bahwa suami istri mempunyai

hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bersama

tersebut apabila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama

tersebut diatur menurut hukum masing-masing.

Menurut pasal 36 ayat 2 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan jo. Pasa 87 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam bahwa istri

memepunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuiatan hukum terhadap

harta pribadi masing-masing. Mereka bebas menetukan terhadap harta tersebut

tanpa ikut campur suami atau istri untuk menjualnya, dihibahkan atau

mnegagunkan.16

Pembagian harta bersama merupakan perkara yang muncul sebagai

akibat dari perceraian dalam persoalan ini para hakim pada dasarnya

menggunakan ketentuan KHI, dimana harta yang diperoleh dalam ikatan

perkawinan harus dibagi ketika pernikahan putus, baik karena perceraian

16

(30)

maupun salah satu pihak meninggal dunia. Persoalannya, seberapa besar

bagian untuk kedua pihak yang dianggap adil, hakim tak selalu punya

pandangan yang sama. Meskipun hukum materil seperti KHI sudah

memberikan aturan yang berspektif kesetaraaan hak dan kewajiban antara

laki-laki dan perempuan, dalam pelaksanaanya kerap muncul penafsiran yang

berbeda. Jika mengacu kepada KHI, perempuan mendapat setengah dari harta

yang diperoleh selama berumah tangga, walaupun ia tidak bekerja di wilayah

publik yang mengasilkan uang. Namun bukan tidak mungkin bila ada hakim

yang menerapkan dua banding satu, dengan asumsi lelaki bekerja lebih banyak

sehingga hasilnya pun lebih banyak. Dengan perhitungan seperti itu, satu

bagian bagi istri sudah dianggap merupakan penghargaan atas jerih payahnya

mengelola rumah tangga. Anggapan semacam ini tidak jarang dicarikan

justifikasinya dengan mengacu kepada konsep pembagian waris sebagaimana

diatur dalam Al-Qur‟an.17

Kadang kala istri bekerja diluar rumah sebagai pencari nafkah (bahkan

sebagai pencari nafkah utama) dan jug dibebani dengan pekerjaan rumah

tangga sepulangnya ke rumah. Kebanyakan suami yang merasa pekerjaan

rumah tangga adalah urusan istri saja, umumnya enggan melakukan pekerjaan

rumah tangga meski istrinya sejak pagi bekerja diluar rumah.

Dengan demikian, adalah hal yang tidak adil bagi perempuan jika

aturan pembagian harta bersama hanya terbatas pada pembagian separoh dari

harta bersama karena tidak sedikit istri yang berkontribusi lebih besar dari pada

17

(31)

suami. Ketentuan pembagian harta bersama sebaiknya diatur secara

profesiaonal dan adil sesuai dengan kontribusi dan peran masing-masing.

G.Sistematika Penulisan

Skripsi ini terdiri dari lima (5) bab, dimana masing-masing bab

berisikan pembahasan yang berkesinambungan sebagai berikut;

Bab I, pendahuluan, meliputi pembahasan tentang: latar belakang

masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,

metode penelitian, study review terdahulu, kerangka teori, dan sistematika

penulisan.

Bab II, harta bersama, meliputi pembahasan tentang: pengertian harta

bersama, dasar hukum harta bersama, pengertian gender dan gender menurut

Hukum Islam.

Bab III, pembagian harta bersama, meliputi pembahasan tentang:

pembagian harta bersama menurut Undang-Undang, pembagian harta bersama

menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan pembagian harta bersama ditinjau

dari perspektif gender.

Bab IV, harta bersama menurut hukum Islam, regulasi undang-undang

dan gender, meliputi pembahasan tentang: harta bersama menurut Hukum

Islam, harta bersama menurut regulasi undang-undang dan harta bersama

menurut gender.

Bab V, penutup, meliputi pembahasan tentang kesimpulan dan

(32)

OUTLINE

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

B.Pembatasan dan Perumusan Masalah

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian

D.Metode Penelitian

E. Study Review Terdahulu

F. Kerangka Teori

G.Sistematika Penulisan.

BAB II HARTA BERSAMA

A.Pengertian Harta Bersama

B.Dasar Hukum Harta Bersama

C.Pengertian Persepsi

D.Pengertian Gender.

BAB III PEMBAGIAN HARTA BERSAMA

A.Pembagian Harta Bersama Menurut Undang-Undang,

B.Pembagian Harta Bersama Menurut Kompilasi Hukum Islam

(KHI)

C.Pembagian Harta Bersama Ditinjau Dari Perspektif Gender.

BAB IV ANALISIS PUTUSAN PERKARA NOMOR

(33)

A.Posisi Kasus dan Duduk Perkara

B.Pertimbangan dan Amar Putusan

C.Analisis Pembagian Harta Bersama Ditinjau Dari Perspektif

Gender Berdasarkan Putusan Perkara Nomor 278/Pdt.

G/2012/PA Rks.

BAB V PENUTUP

A.Kesimpulan

(34)

PEMBAGIAN HARTA BERSAMA DITINJAU DARI PERSPEKTIF GENDER

(ANALISIS PUTUSAN PERKARA NOMOR 278/Pdt.G/2012/PA Rks)

PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syari‟ah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S. Sy)

Oleh ABDUL KAHFI

1110044100001

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

(35)
(36)

BAB I I

HARTA BERSAM A DAN GENDER

A. Harta Bersama

1. Pengertian Harta Bersama

Sebelum sampai kepada pembicaraan harta benda perkawinan,

sebaiknya kita mengetahui terlebih dahulu arti perkawinan itu sendiri.

Karena pengertian perkawinan dalam tatanan hukum mempunyai akibat

langsung terhadap harta benda dalam perkawinan. Pasal 1 Undang-Undang

No. 1 Tahun 1974 menjelaskan bahwa: “perkawinan adalah ikatan lahir

batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Kompilasi hukum Islam di indonesia menyatakan: “perkawinan

menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau

miitsaaqon gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya

merupkan ibadah”.1

Perkawinan yang seperti dijelaskan di atas mempunyai tujuan untuk

memperoleh keturunan, mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah

mawaddah warahmah, juga untuk dapat bersama-sama hidup pada suatu

masyarakat dalam satu perikatan kekeluargaan. Guna keperluan hidup

bersama-sama inilah dibutuhkan suatu kekayaan duniawi yang dapat

dipergunakan oleh suami istri untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka

1

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, h. 114

(37)

sehari-harinya. Kekayaan duniawi inilah yang disebut “harta perkawinan”,

“harta keluarga” ataupun “harta bersama”.2

Harta bersama merupakan salah satu macam dari sekian banyak

harta yang dimiliki seseorang. Dalam kehidupan sehari-hari harta

mempunyai arti penting bagi seseorang karena dengan memiliki harta dia

dapat memenuhi kebutuhan hidup secara wajar dan memperoleh status

sosial yang baik dalam masyarakat. Arti penting tersebut tidak hanya dalam

segi kegunaan (aspek ekonomi) melainkan juga dari segi keteraturannya,

tetapi secara hukum orang mungkin belum banyak memahami aturan hukum

yang mengatur tentang harta, apalagi harta yang didapat oleh suami istri

dalam perkawinan.

Ketidakpahaman mengenai ketentuan hukum yang mengatur tentang

harta bersama dapat menyulitkan untuk memfungsikan harta bersama

tersebut secara benar. Oleh karena itu, terlebih dahulu dikemukakan

beberapa pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan harta bersama.

Secara bahasa, harta bersama adalah dua kata yang terdiri dari kata

harta dan bersama. Menurut kamus besar bahasa Indonesia “harta dapat

berarti barang-barang (uang dan sebagainya) yang menjadi kekayaan dan

dapat berarti kekayaan berwujud dan tidak berwujud yang bernilai. Harta

bersama berarti harta yang dipergunakan (dimanfaatkan) bersama-sama”.3

2

Soerodjo Wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: PT. Toko Gunung Agung, 2005), h. 149

3

(38)

Sayuti Thalib dalam bukunya hukum kekeluargaan di Indonesia

mengatakan bahwa : “harta bersama adalah harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan diluar hadiah atau warisan”.4

Maksudnya adalah harta

yang didapat atas usaha mereka atau sendiri-sendiri selama masa

perkawinan. Pengertian tersebut sejalan dengan Bab VII tentang harta benda

dalam perkawinan pasal 35 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang secara

lengkap berbunyi sebagai berikut:

a. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta benda

bersama.

b. Harta bawaan dari masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah

dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak

menentukan lain.

Mengenai hal ini Kompilasi Hukum Islam memberikan gambaran

jelas tentang harta bersama, yang dijelaskan dalam pasal 1 huruf f : “Harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik

sendiri-sendiri atau bersama-sama suami istri selama dalam ikatan

perkawinan berlangsung, dan selanjutnya disebut harta bersama tanpa

mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun”.

Menurut Abdul Manan harta bersama adalah harta yang diperoleh

selama ikatan perkawinan berlangsung tanpa mempersoalkan terdaftar atas

nama siapapun.5

4

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta:UI Press, 2002), h. 56 5

(39)

Dalam yurisprudensi peradilan agama juga dijelaskan bahwa harta

bersama yaitu harta yang diperoleh dalam masa perkawinan dalam kaitan

dengan hukum perkawinan, baik penerimaan itu lewat perantara istri

maupun lewat perntara suami. Harta ini diperoleh sebagai hasil karya-karya

dari suami istri dalam kaitannya dengan perkawinan.6

Menurut hukum adat bahwa harta benda perkawinan itu adalah harta

benda yang dimiliki suami istri dalam ikatan perkawinan, baik yang

diperoleh sebelum perkawinan berlangsung (harta gawan/ harta bawaan)

maupun harta benda yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan, yang

hasil kerja masing-masing suami istri ataupun harta benda yang didapat dari

pemberian /hibah atau hadiah serta warisan. Jadi suatu asas yang sangat

umum berlakunya hukum adat di Indonesia adalah bahwa mengenai harta

kerabatnya sendiri yang berasal dari hibah atau warisan, maka harta itu tetap

menjadi miliknya salah satu suami atau istri yang kerabatnya menghibahkan

atau mewariskan harta itu kepadanya.

Memperhatikan beberapa pendapat dan analisis di atas bahwa harta

bersama adalah harta yang didapat atau diperoleh selama perkawinan.

Masalahnya adalah apakah semua harta yang didapat atau diperoleh selama

perkawinan dinamakan harta bersama ? Harta tersebut akan menjadi harta

bersama jika tidak ada perjanjian mengenai status harta tersebut sebelum

ada pada saat dilangsungkan perkawinan, kecuali harta yang didapat itu

diperoleh dari hadiah atau warisan, atau bawaan dari masing-masing suami

6

(40)

istri yang dimiliki sebelum dilangsungkan perkawinana sebagaimana

dijelaskan di atas seperti yang tercantum pada pasal 35 ayat (2)

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.

2. Historis Harta Bersama

Yahya Harahap menjelaskan, bahwa jika ditinjau sejarah

terbentuknya harta bersama, telah terjadi perkembangan hukum adat

terhadap harta bersama didasarkan pada syarat ikutsertanya istri secara fisik

dalam membantu pekerjaan suami. Jika istri tidak ikut secara fisik dan

membantu suami dalam mencari harta benda, maka hukum adat lama

menganggap tidak pernah terbentuk harta bersama dalam perkawinan.

Dalam perjalanan sejarah lebih lanjut, pendapat tersebut mendapat kritik

keras dari berbagai kalangan ahli hukum sejalan dengan berkembangnya

pandangan emansipasi wanita dan arus globalisasi di segala bidang.

Menanggapi kritik tersebut, terjadilah pergeseran konsepsi nilai-nilai hukum

baru, klimaksnya pada tahun 1950 mulai lahirlah produk pengadilan yang

mengesampingkan syarat istri harus aktif secara fisik mewujudkan harta

bersama. Syarat tersebut diubah dengan nilai baru seperti yang terdapat

dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 51 K/SIP./1956 tanggal 7

November 1956.7

Keberadaan harta bersama dalam perkawinan semata-mata ditujukan

untuk memenuhi kebutuhan suami dan istri secara bersama-sama beserta

anak-anak mereka, sehingga penggunaan harta bersama harus atas

7

(41)

persetujuan bersama suami dan istri, tidak boleh dikuasai secara sepihak dan

semena-mena. Oleh karena itu, apabila ada persangkaan atau terindikasi

adanya tindakan penyalahgunaan oleh salah satu pihak di antara suami atau

istri, dengan memindahtangankan kepada pihak lain, memboroskan atau

menggelapkan atas harta bersama tersebut, maka undang-undang

memberikan jaminan agar keutuhan harta bersama dalam perkawinan itu

tetap terlindungi dan terjaga melalui upaya “penyitaan” atas permohonan

yang diajukan pihak suami atau istri serta pihak yang berkepentingan

kepada pengadilan.

Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 mendefinisikan harta

bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan. Ini berarti bahwa

terbentuknya harta bersama dalam perkawinan ialah sejak tanggal terjadinya

perkawinan sampai perkawinan tersebut putus karena perceraian atau karena

mati. Berbeda dengan harta bawaan masing-masing suami atau isteri dan

harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan yang

disebut dengan harta pribadi yang sepenuhnya berada di bawah penguasaan

masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.8

Di dalam pasal 35 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974

maupun dalam pasal 86 ayat 1 Undang-Undang No. 7 Tahun 1985 maupun

pasal 85 KHI, terhadap harta suami istri yang berada dalam masa ikatan

perkawinan telah diberi nama “Harta bersama”. Dalam masyarakat Aceh dikenal dengan “Harta seharkat”. Dalam masyarakat Melayu dikenal dengan

8

(42)

nama ”Hartaserikat”. Dan dalam masyarakat Jawa-Madura dikenal dengan

“Harta gono-gini”. Sampai sekarang penggunaan nama-nama tersebut masih

mewarnai praktek peradilan.9

Sejak perkawinan dimulai, dengan sendirinya terjadi suatu

percampuran antara kekayaan suami dan kekayaan istri. Hal ini merupakan

ketentuan umum apabila tidak diadakan perjanjian apa-apa. Keadaan

demikian berlangsung seterusnya dan tidak dapat diubah lagi selama

perkawinan berlangsung. Jika seseorang ingin menyimpang dari ketentuan

tersebut maka ia harus melakukan perjanjian perkawinan.10Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan Vollmar bahwa akibat-akibat perkawinan

terhadap kekayaan dan penghasilan suami-istri tergantung dari ada atau

tidak adanya perjanjian perkawinan.11

Tentang harta bersama, suami atau istri dapat bertindak untuk

berbuat atau tidak berbuat sesuatu atas harta bersama tersebut melalui

persetujuan kedua belah pihak. Semua harta yang diperoleh selama dalam

ikatan perkawinan menjadi harta bersama baik harta tersebut diperoleh

secara tersendiri maupun diperoleh secara bersama-sama. Demikian juga

harta yang dibeli selama ikatan perkawinan berlangsung menjadi harta

bersama. Tidak menjadi suatu permasalahan apakah istri atau suami yang

9

M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,

(Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 272 10

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, h. 31 11

(43)

membeli, tidak menjadi masalah juga apakah istri atau suami mengetahui

pada saat pembelian itu atau atas nama siapa harta itu harus didaftarkan.12 Dalam hukum perkawinan Islam istri mempunyai hak nafkah yang

wajibdipenuhi oleh suami. Harta yang menjadi hak istri dalam perkawinan

tersebut adalah nafkah yang diperoleh dari suami untuk keperluan hidupnya.

Namun apabila keperluan rumah tangga diperoleh karena usaha bersama

antara suami istri, maka dengan sendirinya harta tersebut menjadi harta

bersama. Besar atau kecilnya harta yang menjadi bagian masing-masing

tergantung pada banyak atau sedikitnya usaha yang mereka lakukan dalam

memenuhi kebutuhan rumah tangga. Apabila usahanya sama-sama besar

maka harta yang dimiliki dari perolehan tersebut seimbang. Akan tetapi

apabila suami lebih besar usahanya daripada istri maka hak suami harus

lebih besar daripada istri, begitu juga sebaliknya. Disamping berlakunya

ketentuan umum di atas dapat pula dimungkinkan adanya percampuran

harta kekayaan yang diperoleh suami istri dalam bentuk suatu perjanjian

atas usaha suami istri dengan cara suami dandengan cara bersama.13

B. Dasar Hukum Harta Bersama

Pada dasarnya tidak ada percampuran harta kekayaan dalam

perkawinan antara suami dan istri. Konsep harta bersama pada awalnya berasal

dari adatistiadat atau tradisi yang berkembang di Indonesia. Konsep ini

12

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 109 13

(44)

kemudian didukung oleh Hukum Islam dan hukum positif yang berlaku di

negara kita.14

Dasar hukum tentang harta bersama dapat ditelusuri melalui

Undang-Undang dan peraturan berikut:

1. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 35 ayat (1),

disebutkan bahwa yang dimaksud dengan harta bersama adalah “Harta

benda yang diperoleh selama masa perkawinan”. Artinya, harta kekayaan yang diperoleh sebelum terjadinya perkawinan tidak disebut sebagai harta

bersama.

2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 119, disebutkan bahwa “Sejak saat dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta

bersama antara suami istri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan

ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama itu, selama

perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu

persetujuan antara suami istri”

3. Kompilasi Hukum Islam pasal 85, disebutkan bahwa “Adanya harta bersama di dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta

milik masing-masing suami istri”. Di dalam pasal ini disebutkan adanya harta bersama dalam perkawinan, akan tetapi tidak menutup kemungkinan

adanya harta milik masing-masing suami-istri.

Hukum Islam mengakui adanya harta yang merupakan hak milik bagi

setiap orang, baik mengenai pengurusan dan penggunaannya maupun untuk

14

(45)

melakukan perbuatan-perbuatan hukum atas harta tersebut sepanjang tidak

bertentangan dengan syari‟at Islam. Disamping itu juga diberi kemungkinan

adanya suatu serikat kerja antara suami istri dalam mencari harta kekayaan.

Oleh karenanya apabila terjadi perceraian antara suami istri, harta kekayaan

tersebut dibagi menurut Hukum Islam dengan kaidah hukum “Tidak ada

kemudharatan dan tidak boleh memudharatkan”. Dari kaidah hukum ini jalan

terbaik untuk menyelesaikan harta bersama adalah dengan membagi harta

tersebut secara adil.15

Dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, masalah harta

bersama hanya diatur secara singkat dan umum dalam Bab VII terdiri dari

pasal 35 sampai pasal 37. Kemudian diperjelas oleh Kompilasi Hukum Islam

dalam Bab XIII mulai dari pasal 85 sampai pasal 97.

Dalam Al-Quran dan Sunnah serta berbagai kitab-kitab hukum fiqih,

harta bersama tidak diatur dan tidak ada pembahasannya. Seolah-olah harta

bersama kosong dan vakum dalam Hukum Islam. Ayat “lirrijaali” sangatlah

bersifat umum dan bukan menjadi acuan bagi suami istri saja melainkan untuk

semua pria dan wanita. Jika mereka berusaha dalam kehidupannya sehari-hari,

maka hasil usaha mereka merupakan harta pribadi dan dikuasai oleh pribadi

masing-masing.16 Ayat tersebut menjelaskan adanya persamaan antara kaum pria dan wanita.

15

Bahder Johan Nasution, Hukum Perdata Islam, (Bandung: CV Mandar Maju, 2001), h. 34

16

(46)

Kaum wanita disyariatkan untuk mendapat mata pencaharian

sebagaimana kaum pria. Keduanya dibimbing kepada karunia dan kebaikan

yang berupa harta dengan jalan beramal dan tidak merasa iri hati.17 Akan tetapi sebaliknya, dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Islam di Indonesia, sejak

dari dulu hukum adat mengenal adanya harta bersama dan diterapkan

terus-menerus sebagai hukum yang hidup. Dari hasil pengamatan, lembaga harta

bersama lebih besar mas{ahatnya daripada mudharatnya. Maka atas dasar

metodologi Istishlah, „urf serta kaidah al-‟adatu al-muhakkamah, Kompilasi

Hukum Islam melakukan pendekatan kompromistis terhadap hukum adat.18

„Urf ialah sesuatu yang telah sering dikenal oleh manusia dan telah

menjadi tradisinya, baik berupa ucapan atau perbuatan, atau dalam

meninggalkan sesuatu. „Urf juga disebut dengan adat. „Urf yang sifatnya baik harus dipelihara sebagai pembentukan hukum dalam lembaga peradilan. Maka

dari itu ulama berkata “adat itu adalah syari‟at yang dikukuhkan sebagai hukum” atau lebih dikenal dengan istilah al-‟adatu al-muhakkamah. Semua

ulama maz|hab mendasarkan hukumnya kepada kebiasaan penduduk dimana

ulama madzhab itu tinggal. Sebagai salah satu contoh dalam madzhab Syafi‟i

terdapat dua madzhab, madzhab qadim dan madzhab jadid. Hal tersebut

dikarenakan ketika imam al-Syafi‟i membukukan madzhab qadim beliau tinggal di Irak, namun ketika membukukan madzhab jadid beliau telah pindah

17

M Syaltut, Tafsir al-Quran Karim, jilid. 2, h. 335 18

Mahfud MD, Peradilan Agama dan KHI Dalam Tata Hukum Indonesia,

(47)

ke Mesir dimana kedua kota tersebut memiliki dua kebiasaan atau adat yang

berbeda.19

„Urf menurut penelitian adalah bukan merupakan dalil syara‟ yang berdiri sendiri. Pada dasarnya „urf berfungsi untuk memelihara maslahah sebagaimana maslahah dipelihara dalam pembentukan hukum. Terkadang „urf

dipakai juga dalam membuat penafsiran terhadap suatu nash, oleh karena itu

maka dikhususkanlah kata-kata yang sifatnya umum dan dibatasi dengan

mutlak. Bahkan terkadang qiyas ditinggalkan lantaran adanya „urf.20

Harta bersama merupakan masalah ijtihadiyyah dan di dalam

kitab-kitab fiqih belum ada pembahasannya, begitu pula nash-nya tidak ditemukan

dalam Al-Qur‟an dan sunnah. Padahal apa yang terjadi di lingkungan masyarakat Indonesia tentang harta bersama telah lama berkenbang dan

berlaku dalam kehidupan kehidupan mereka sehari-hari. Oleh karena itu

adanya ketentuan hukum tentang harta bersama dalam KHI banyak

dipengaruhi berbagai faktor yang berkembang dan berlaku dalam masyarakat.

Harta bersama diangkat menjadi Hukum Islam dalam KHI berdasarkan

dalil „urf serta sejalan dengan kaidah al-„adatu al-muhakkamah, yaitu bahwa

ketentuan adat bisa dijadikan sebagai hukum yang berlaku dalam hal ini adalah

harta bersama, maka haruslah dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Harta bersama tidak bertentangan dengan nash yang ada.

Dalam Al-Qur‟an maupun sunnah tidak ada satupun nash yang melarang atau memperbolehkan harta bersama. Padahal kenyataan yang

19

Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, terjemahan Tolhah Mansoer. h. 135

20

(48)

berlaku dalam masyarakat Indonesia adalah bahwa harta bersama telah lama

dipraktekkan. Bahkan manfaatnya dapat dirasakan begitu besar dalam

kehidupan mereka. Sehingga ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di

Indonesia dalam hal ini KHI menjadikan harta bersama sebagai hukum yang

berlaku di Indonesia melalui proses ijtihadiyyah.

2. Harta bersama harus senantiasa berlaku.

Harta bersama haruslah menjadi lembaga yang telah lama

berkembang dan senantiasa berlaku dalam kehidupan masyarakat. Dalam

kehidupan masyarakat Indonesia yang mempunyai semboyan Bhineka

Tunggal Ika, harta bersama merupakan lembaga yang penerapannya hampir

berlaku di seluruh Indonesia. Tidak hanya pada zaman yang lalu, akan tetapi

harta bersama tetap ditaati dan terpelihara penerapannya hingga saat ini.

3. Harta bersama merupakan adat yang sifatnya berlaku umum.

Hal ini dapat dilihat dari penerapan harta bersama yang berlaku

hampir menyeluruh dan menjadi suatu kebiasaan di Indonesia, sekalipun

dalam penyebutannya di setiap adat mempunyai penyebutan yang

berbeda-beda.21

Ahmad Zaki Yamani mengisyaratkan bahwa syari‟at adalah mahluk

atau lembaga yang tumbuh dan berkembang dari kebutuhan masyarakat dengan

berbagai lingkungan. Mahluk atau lembaga itu terkadang berwujud sempurna

dan siap menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat,

21

(49)

tetapi ia tidak tetap demikian jika tidak terus-menerus tumbuh dan

berkembang.22

Pertumbuhan dan perkembangan Hukum Islam tidak semata-mata

bersumber dari kebutuhan yang diakibatkan dinamika sosial, budaya, ilmu dan

teknologi, tetapi pertumbuhan dan pengembangannya dapat didukung melalui

pendekatan kompromistis dengan hukum adat setempat. Yang paling penting

untuk diperhatikan dalam pendekatan kompromistis antara Hukum Islam

dengan hukum adat adalah hukum yang lahir dari perpaduan kompromistis itu

berada dalam kerangka maslahah mursalah. Dengan demikian, ketentuan

hukum adat ini sudah selayaknya diambil berdasarkan „urf sebagai landasan

dalam Hukum Islam yang akan diterapkan di Indonesia.23

Al-Qur‟an dan Hadis| tidak memberikan ketentuan yang jelas bahwa harta benda yang diperoleh suami selama berlangsungnya perkawinan

sepenuhnya menjadi hak suami. Al-Qur‟an juga tidak menerangkan secara jelas bahwa harta yang diperoleh suami dalam perkawinan, maka secara tidak

langsung istri juga berhak terhadap harta tersebut. Atas dasar itulah, maka bisa

dikatakan bahwa masalah harta bersama ini tidak secara jelas disinggung dalam

rujukan Hukum Islam, baik itu berdasarkan Al-Qur‟an maupun hadis. Atau dengan kata lain, masalah ini merupakan wilayah yang belum terpikirkan

(ghairu mufakkar fiih) dalam Hukum Islam karena memang belum disinggung

secara jelas dalam sumber-sumber atau teks-teks keislaman. Yang bisa kita

22

Ahmad Zaki Yamani, Syariat Islam Yang Kekal dan Persoalan Masa Kini, (Jakarta: Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan Yayasan Bhineka Tunggal Ika, 2008), h. 16

23

M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,

(50)

lakukan adalah berijtihad. Dalam ajaran Islam, ijtihad itu diperbolehkan

asalkan berkenaan dengan hukum-hukum yang belum ditemukan dasar

hukumnya. Masalah harta bersama merupakan wilayah keduniawian yang

belum tersentuh Hukum Islam klasik. Hukum Islam Kontemporer tentang

masalah ini diteropong melalui pendekatan ijtihad, yaitu bahwa harta benda

yang diperoleh oleh suami istri secara bersamasama selama masa perkawinan

merupakan harta bersama.24

Jika kita pelajari pandangan-pandangan Hukum Islam di atas, kita bisa

melihat kecenderungan dengan tidak dibedakannya antara harta bersama

dengan harta bawaan dan harta perolehan. Harta bawaan dan harta perolehan

tetap menjadi hak milik masing-masing suami istri. Hukum Islam cenderung

mengeneralisasikan masalah ini. Artinya, Hukum Islam pada umumnya tidak

menjelaskan perbedaan antara harta bersama itu sendiri dengan yang bukan

harta bersama. Adapula kecenderungan lain, yaitu bahwa harta milik suami dan

harta milik istri yang tidak bercampur (tidak disebut harta bersama) dalam

pandangan Hukum Islam lebih dimaksudkan sebagai harta bawaan dan harta

perolehan.

C. Pengertian Gender

Kata „„gender‟‟ telah digunakan di Amerika Serikat sekitar tahun 1960. Hal ini sebagai bentuk perjuangan secara radikal, konservatif, sekuler maupun

agama untuk menyuarakan eksistensi perempuan dimana hal tersebut

24

(51)

melahirkan kesetaraan gender80.25 Namun pada mulanya gender adalah suatu

klasifikasi gramatikal untuk benda-benda menurut jenis kelaminya terutama

dalam bahasa-bahasa Eropa, kemudian Ivan Illich sebagimana dikutip oleh

Ruhainah menggunakanya untuk membedakan segala sesuatu di dalam

masyarakat vernacular seperti bahasa, tingkah laku, pikiran, makanan, ruang

dan waktu, harta milik, tahu, alat-alat produksi, dan lain-lainya.26

Istilah gender di Indonesia lazim digunakan dengan memakai ejaan

„„jender‟‟, diartikan dengan interpretasi mental dan cultural terhadap perbedaan

kelamin, yakni laki-laki dan perempuan.27

Walaupun kata „„gender‟‟ telah digunakan sejak tahun 1960, namun pengertian yang tepat mengenai kata

„„gender‟‟ tidak ada dalam bahasa Indonesia. Kata „„gender‟‟ berasal dari

bahasa Inggris gender yang diberi arti „„jenis kelamin‟‟.28

Senada dengan definisi di atas adalah definisi yang mengatakan bahwa

gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang bukan didasari

pada faktor biologis dan jenis kelamin sebagai kodrat tuhan yang secara

permanen memang berbeda. Gender adalah behavorial differences antara

laki-laki dan perempuan yang socially constructed, yaitu perbedaan yang diciptakan

melalui proses sosial dan budaya yang panjang.29

25

Rasyidah Dkk, Potret kesetaraan Gender di Kampus, (Aceh: PSW Ar-Raniry, 2008), h. 11

26Siti Ruhainah Dzuhayatin “Gender dalam Perspektif Islam” dalam Mansour Fakih (ed), Membincang Feminisme Diskursus Gender perspektif Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), h. 231

27

Tim Penyusun, Buku III: Pengantar Tehnik Analisa Gender, (Jakarta: Kantor Menteri Negara Urusan Perempuan, 2002), h. 2

28

John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gra

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu contoh konsep integrasi yang akan diimplementasikan dalam penelitian ini adalah mengambil konsep layanan pada penggunaan Web Service atau dapat disebut WS pada

Dalam penelitian tanaman, penggunaan paling umum untuk menilai pengaruh faktor lingkungan yang tidak dapat dikendalikan pada respon tanaman adalah dengan mengulangi

Gedung Rawat Inap Kelas 1 RSUD Sidoarjo yang semula 3 lantai akan direncanakan ulang menjadi 12 lantai dan dimodifikasi dari struktur awal berupa struktur

Apabila penanda ini dihilangkan berarti topik merupakan informasi yang kurang penting sebagai unsur kesatuan yang suplementer (pelengkap). Bila penanda referensial ini digunakan

Selain itu daging dari ayam petelur medium cokelat lebih sedikit daripada telur putih.. Selain itu daging dari ayam petelur medium akan lebih laku dijual sebagai

Arti Timur Tengah menjadi jauh lebih besar dengan adanya minyak tersebut, karena seperti diketahui minyak adalah bahan bakar utama dan paling diperlukan dalam

Observasi adalah metode pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengamati langsung dengan cara melihat dan mengambil suatu data yang dibutuhkan ditempat