PEMBAGIAN HARTA BERSAMA DITINJAU
DARI PERSPEKTIF GENDER
(Analisis Putusan Perkara Nomor 278/Pdt.G/2012/PA Rks)
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S. Sy)
Oleh:
ABDUL KAHFI NIM. 1110044100001
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI SYARIAH DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
PEMBAGIAN HARTA BERSAMA DITINJAU
DARI PERSPEKTIF GENDER
(Analisis Putusan Perkara Nomor 278/Pdt.G/2012/PA Rks)
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S. Sy)
Oleh:
ABDUL KAHFI NIM. 111004410000104
Pembimbing
Dr. Mohammad Ali Wafa, S.Ag., M.Ag. NIP: 19730424 200212 1 007
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI SYARIAH DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
ABSTRAK
ABDUL KAHFI. NIM. 1110044100001. “PEMBAGIAN HARTA BERSAMA DITINJAU DARI PERSPEKTIF GENDER (Analisis Putusan Perkara Nomor 278/Pdt.G/2012/PA Rks)” Program Studi Hukum Keluarga Islam, Konsentrasi Peradilan Agama, Fakultas Syari‟ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H./2015 M.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui ketentuan pembagian harta bersama menurut fuqaha, regulasi undang-undang tentang pembagian harta bersama, dan pembagian harta bersama ditinjau dari perspektif gender berdasarkan Putusan Perkara Nomor 278/Pdt. G/2012/PA Rks.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Yuridis Normatif. Sedangkan jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian Kualitatif.
Sumber data primer dalam penelitian ini adalah dokumen penetapan-penetapan atas pembagian harta bersama akibat perceraian di Pengadilan Agama Rangkasbitung serta sumber informasi dari para hakim yang menetapkan perkara tersebut. Sedangkan sumber data sekundernya adalah undang-undang perkawinan. Sedangkan teknik penulisannya berdasarkan Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas
Syari‟ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Berdasarkan hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya Hukum Islam tidak mengatur secara khusus tentang harta bersama dalam perkawinan. Sedangkan menurut ketentuan perundang-undangan di Indonesia bahwa pembagian harta bersama bagusnya dilakukan secara adil, sehingga tidak menimbulkan ketidakadilan antara mana yang merupakan hak suami dan hakistri.
Kata kunci: Harta Bersama, Gender, Putusan Pengadilan Agama.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Swt. atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehinga penulis dapat menyelesaikan
penulisdan skripsi ini. Sholawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Saw. yang telah membimbing manusia menuju jalan yang penuh
dengan ridha Allah Swt.
Skripsi ini berjudul “Pembagian Harta Bersama Ditinjau Dari
Perspektif Gender (Analisis Putusan Perkara Nomor 278/Pdt.G/2012/PA
Rks)” Syibhul ‘Iddah Bagi Suami Dalam Perspektif Fiqih Islam dan
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia“, ditulis sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy.), pada Fakultas Syariah dan Hukum
Program Studi Hukum Keluarga Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Penulisan skripsi ini terselesaikan berkat bantuan berbagai pihak. Oleh
karenanya, penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Kamarusdiana, S.Ag., M.H., dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag., Ketua dan
Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Dr. Mohammad Ali Wafa, S.Ag., M.Ag., dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya selama membimbing penulis.
4. Bapak Prof. Dr. H. Abd. Wahab Muhaimin, L.C., M.A., dan Ibu Dra. Ipah
Farihah, M.H., selaku guru dan dosen penguji yang telah mengoreksi kesalahan
5. Segenap Dosen dan Staff pengajar pada lingkungan Program Studi Hukum
Keluarga Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama duduk di bangku
perkuliahan.
6. Doa dan harapan penulis panjatkan kepada keluarga tercinta, H. Jajang
Saefudin, Hj. Rokiyah, Abdul Basit SKM, Muhammad Mahdi Lc, Abdul
Matin, serta keluarga besar Almarhum H. Buckhary, H. Derin dan
Almarhumah Hj. Saedah, yang senantiasa memberikan dukungan sejak awal
perkuliahan sampai penulis dapat menyelesaikan skripsi.
7. Sahabat-sahabat seperjuangan penulis yaitu Fajrul Islamy, Nurul Hikmah, Eka
Dita, Irfan Zidny, Muhammad Faudzan, Rusdi Rizki Lubis,Arif Rahman
Hakim, Rifki Abdurrahman, M. Putera Fajar, Caryono, Ircham Mahaputra, M.
Zaky Ahla, M. Ulil Azmi, Syahbana Arif, Sopriyanto, Luthfi Hidayat, Erwin
Hikmatiar, Irfan Nurhasan, Zian Mufti, Wardhatul Jannah, Defi Uswatun
Hasanah, Neneng Khosyatillah, Inayah Maily, Khoirun Nisa, Sainah, Rena
Soraya, Syafa‟atuluzma, Arini Zidna, dan semua teman-teman Peradilan Agama Angkatan 2010 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang
menjadi teman seperjuangan sebelum maupun ketika di bangku perkuliahan.
Serta terimakasih teruntuk Opri Liani seseorang yang telah membuat saya
kembali bersemangat untuk menyelesaikan skripsi ini. Jika bukan karenanyalah
mungkin skripsi ini takan mungkin selesai.
Penulis berdo‟a semoga sumbangsih yang telah mereka berikan menjadi
Pada akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan, Oleh karena itu kritik dan saran membangun demi perbaikan dan
kesempurnaan skripsi ini sangat penulis harapkan. Penulis juga berharap semoga
skripsi ini bermanfaat adanya. Amin,
Ciputat, 28 M e i 2015 M. 10 Sya;ban 1436 H.
DAFTAR ISI
HALAM JUDUL ....... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
LEMBAR PERNYATAAN ...... iii
ABSTRAK ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... viii
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan Perumausan Masalah ... 10
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 11
D. Metode Penelitian ... 12
E. Study Review Terdahulu ... 18
F. Kerangka Teori ... 19
G. Sistematika Penulisan ... 21
BAB II : HARTA BESAMA DAN GENDER A. Harta Bersama ... 23
1. Pengertian harta Bersama ... 23
2. Historis Harta Bersama ... 27
B. Dasar Hukum Harta Bersama ... 31
D. Gender Menurut Hukum Islam ... 41
BAB III : PEMBAGIAN HARTA BERSAMA A. Harta Bersama Menurut Hukum Positif di Indsonesia ... 56
B. Harta Bersama Menurut Fiqih ... 68
C. Harta Bersama Menurut Kesetaraan Sosial ... 72
BAB IV : PEMBAGIAN HARTA BERSAMA MENURUT HUKUM ISLAM, REGULASI UNDANG-UNDANG DAN GENDER A. Profil Pengadilan Agama Rangkasbitung ... 79
B. Pembagian Harta Bersama Menurut Hukum Islam ... 81
C. Regulasi Undang-undang Tentang Pembagian Harta Bersama 88 D. Pembagian Harta Bersama Ditinjau dari Gender ... 93
BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 103
B. Saran ... 104
DAFTAR PUSTAKA ... 106
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Harta bersama adalah kekayaan yang diperoleh selama masa
perkawinan diluar hadiah atau warisan. Maksudnya adalah, harta yang didapat
atas usaha mereka, atau sendiri-sendiri selama masa ikatan perkawinan. Dalam
istilah muamalat, dapat dikategorikan sebagai syirkah atau join antara suami
dan isteri. Dalam konteks konvesional, beban ekonomi keluarga adalah hasil
pencaharian suami, sedangkan isteri bertindak sebagai manajer yang mengatur
manajemen ekonomi rumah tangganya. Dalam pengertian yang lebih luas,
sejalan dengan tuntunan perkembangannya isteri juga dapat melakukan
pekerjaan yang dapat mendatangkan kekayaan. Jika antara suami-istri
masing-masing mendatangkan modal dan dikelola bersama, maka hal demikian
disebut dengan syirkah al-inan.1
Harta bersama seringkali kurang mendapat perhatian yang seksama dari
para ahli hukum, terutama prasktisi hukum yang semestinya harus
memperhatikan hal ini secara serius, karena masalah harta bersama merupakan
masalah yang sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan suami dan isteri
apabila mereka telah bercerai. Hal ini mungkin disebabkan karena munculnya
harta bersama ini biasanya apabila terjadi perceraian antara suami istri, atau
pada saat proses perceraian sedang berlangsung di Pengadilan Agama sehingga
1
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 200-201
timbul berbagai masalah hukum yang kadang-kadang dalam penyelesaiannya
menyimpang dari perundang-undangan yang berlaku.
Secara yuridis formal, ketentuan tentang harta bersama sudah diatur
dalam pasal 35 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan, dimana dijelaskan bahwa harta bersama adalah harta yang
diperoleh selama istri diikat dalam suatu ikatan perkawinan.2 Dalam praktek pengadilan, terdapat beberapa hal yang sejalan dengan perkembangan hukum
dan kondisi sosial yang berubah dalam masyarakat sesuai dengan
perkembangan kemajuan zaman. Perubahan dalam kehidupan masyarakat
terjadi dalam berbagai bentuk, baik dalam bidang komunikasi, informasi dan
hal-hal yang menyangkut ekonomi. Yang kesemuanya itu sangat
mempengaruhi tentang perolehan harta bersama dan juga pembagian apabila
terjadi sengketa di pengadilan. Dalam hal ini sangat diperlukan keterampilan
dan kejelian hakim dalam menganalisis masalah harta bersama ini dengan
penerapan prinsip-prinsip keadilan sesuai dengan kemajuan zaman, tanpa
mengorbankan ketentuan agama yang dianut.
Menurut M. Yahya Harahap bahwa sudut pandang hukum Islam
terhadap harta bersama ini adalah sejalan dengan yang dikemukakan oleh
Muhammad Syah bahwa perceraian bersama suami istri mestinya masuk dalam
Rub’ul Muamalah, tetapi secara khusus tidak dibicarakan. Hal ini mungkin
disebabkan karena pada umumnya pengarang kitab-kitab fikih adalah orang
Arab yang tidak mengenal adanya adat mengenai perceraian bersama suami
2
istri itu. Tetapi dibicarakan tentang perkongsian yang dalam Bahasa Arab
disebut dengan syarikat/syirkah. Oleh karena masalah penceraian bersama
suami istri adalah termasuk sirkah, maka untuk mengetahui hukumnya perlu
dibahas lebih dahulu tentang macam- macam syirkah sebagaimana telah
dibicarakan oleh para ulama dalam kitab fikih. Harta bersama dalam
perkawinan masuk dalam bentuk syirkah abdan dan mufawadlah.3
Para ahli hukum Islam berbeda pendapat tentang dasar hukum harta
bersama. Sebagian mereka mengatakan bahwa Agama Islam tidak mengatur
tentang harta bersama dalam Al-Qur‟an oleh karena itu terserah sepenuhnya kepada mereka untuk mengaturnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Hazairin,
Arwan Harjono dan Abdoerauf serta diikuti oleh murid-muridnya. Sebagian
pakar hukum Islam lain mengatakan bahwa suatu hal yang tidak mungkin jika
agama Islam tidak mengatur tentang harta bersama, sedangkan hal-hal lain
yang kecil saja diatur secara rinci oleh Agama Islam dan ditentukan kadar
hukumnya. Tidak satupun yang tertinggal semuanya termasuk dalam ruang
lingkup pembahasaan hukum Islam. Jika tidak disebutkan dalam Al-Qur‟an maka ketentuan itu pasti dalam Al-Hadits pendapat ini dikemukakan oleh T.
Jafizham.4
Di dalam kitab-kitab fikih bab khusus tentang pembahasan syarikat
yang sah dan yang tidak sah, Mazhab Syafi‟iyah membagi syarikat dalam 4 (empat) macam, yaitu :
3
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), H. 270
4
T. Jafizham, Persentuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkawinan Islam,
1. Syarikat „Inan, yaitu dua orang yang berkongsi di dalam harta tertentu,
mislanya berserikat dalam membeli suatu barang dan keuntungannya untuk
mereka.
2. Syarikat Abdan, yaitu dua orang atau lebih berserikat masing-masing
mengerjakan suatu pekerjaan dengan tenaga dan hasilnya untuk mereka
bersama menurut perjanjian yang mereka buat. Misalnya, tukang kayu,
tukang batu, nelayan dan lain sebagainya.
3. Syirkat Mufawadlah, yaitu dua orang atau lebih melaksanakan suatu
pekerjaan dengan tenaganya yang masing-masing di antara mereka
mengeluarkan modal, menerima keuntungan dengan tenaga dan modalnya,
masing-masing melakukan tindakan meskipun tidak diketahui oleh pihak
lain.
4. Syarikat Wujuh, yaitu syarikat atas sesuatu tanpa pekerjaan ataupun harta
yaitu pemodalan dengan dasar kepercayaan pihak lain kepada mereka.5 Akan tetapi terdapat pembahasan tentang perabotan rumah tangga di
kalangan ulama mazhab. Menurut Maliki, istri wajib membeli perlengkapan
rumah yang menuntut kebiasaan ditanggung oleh istri, dengan mahar yang
diterimanya. Kalau dia tidak menerima mahar sama sekali, maka dia tidak
berkewajiban menyediakan perlengkapan rumah tangga kecuali dalam dua
kondisi. Pertama, manakala tradisi yang berlaku di daerahnya memang
mengaharuskan seorang istri menyediakan perlengkapan rumah tangga,
sekalipun dia tidak menerima mahar sama sekali. Kedua, manakala si suami
5
mensyaratkan (dalam akad) bahwa istrinyalah yang wajib menyediakan
perlengkapan rumah tangga dari uang pribadinya.6
Apabila terjadi perselisihan antara suami istri tentang suatu
perlengkapan rumah tangga, maka persoalannya harus diteliti terlebih dahulu
apakah perlengkapan itu khusus untuk laki-laki, khusus wanita, atau bisa
dipergunakan bersama. Dalam hal ini ada 3 (tiga) persoalan :
1. Kalau barang-barang itu hanya berguna bagi laki-laki pemilikannya
ditentukan berdasarkan pernyataan (klaim) suami disertai dengan sumpah,
kecuali terdapat bukti yang menyatakan bahwa peralatan tersebut betul-betul
milik istri. Ini merupakan pendapat Imamiyah dan Hanafi.
2. Kalau perlengkapan itu cocok untuk kaum wanita maka yang dipegangi
adalah klaim isteri disertai sumpah, kecuali terdapat bukti yang menyatakan
bahwa perlengkapan tersebut betul-betul milik suami. Inipun merupakan
pendapat Imamiyah dan Hanafi.
3. Bila barang-barang tersebut bisa dipergunakan bersama maka pemilikannya
dengan pihak yang bias menunjukan bukti. Kalau kedua pihak tidak bisa
menunjukan bukti maka masing-masing pihak diminta bersumpah, dan
barang-barang itu dibagi dua. Kalau salah seorang bersedia bersumpah
sedang yang seorang lagi tidak, maka barang-barang itu diberikan kepada
pihak yang bersumpah. Ini merupakan pendapat Imamiyah.
4. Adapun Abu Hanifah dan salah seorang pengikutnya, Muhammad,
berpendapat bahwa terhadap barang-barang yang bisa dipakai bersama,
6
maka yang dipegangi adalah klaim suami. Sedangkan Syafi‟i berpendapat bahwa apabila suami dan istri bersengketa tentang perabotan rumah tangga,
maka barang-barang itu milik mereka berdua, baik barang-barang itu hanya
bisa dipakai oleh salah satu pihak maupun yang bisa digunakan
bersama-sama.7
Dalam pasal 119 KUH Perdata dikemukakan bahwa mulai saat
perkawinan dilangsungkan, secara hukum berlakulah kesatuan bulat antara
harta kekayaan suami istri, sekedar mengenai itu dengan perjanjian kawin
tidak ada ketentuan lain. Kemudian dalam pasal 128 - 129 KUH Perdata,
dinyatakan bahwa apabila putusnya tali perkawinan atara suami istri, maka
harta bersama itu dibagi dua antara suami istri tanpa memikirkan dari pihak
mana barang-barang kekayaan itu diperoleh sebelumnya.
Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal
35-37 dikemukakan harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi
harta bersama. Masing masing suami istri berhak terhadap harta yang diperoleh
masing-masing selama para pihak tidak menentukan lain. Tentang harta
bersama ini, suami atau istri dapat bertindak untuk berbuat sesuatu atau tidak
berbuat sesuatu atas harta bersama itu atas persetujuan kedua belah pihak.
Dinyatakan pula bahwa suami istri mempunyai hak sepenuhnya untuk
melakukan perbuatan hukum mengenai harta bersama tersebut apabila
perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama tersebut diatur
menurut hukum masing-masing.
7
Menurut pasal 36 ayat 2 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan jo. Pasal 87 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam bahwa istri
mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta
pribadi masing-masing. Mereka bebas menetukan terhadap harta tersebut tanpa
ikut campur suami atau istri untuk menjualnya, dihibahkan atau mengagunkan.8
Berdasarkan hal tersebut di atas, dalam peraturan perundang-undangan
di Indonesia terdapat empat macam harta keluarga (gezimsgood) dalam
perkawinan, yaitu:
1. Harta yang diperoleh dari warisan, baik sebelum mereka menjadi suami istri
maupun setelah mereka melakukan perkawinan, harta ini di Jawa Tengah
disebut dengan barang gawaan, di Betawi disebut barang usaha, di Banten
disebut barang sulur, di Aceh disebut harta tuha.
2. Harta yang diperoleh dari keringat sendiri sebelum mereka menjadi suami
istri. Di Sumatera Selatan, harta milik suami disebut harta pembunjangan,
sedangkan harta milik istri disebut harta penantian.
3. Harta yang dihasilkan bersama oleh suami istri selama berlangsungnya
perkawinan. Di Aceh disebut harta seuhareukat, di Jawa disebut harta
gonogini, di Minangkabau disebut harta surang.
4. Harta yang didapat pengantin pada waktu pernikahan dilaksanakan, harta ini
menjadi milik suami-istri selama perkawinan.9
8
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 104-105
9
Pembagian harta bersama merupakan perkara yang muncul sebagai
akibat dari perceraian. Dalam persoalan ini para hakim pada dasarnya
menggunakan ketentuan KHI, dimana harta yang diperoleh dalam ikatan
perkawinan harus dibagi ketika pernikahan putus, baik karena perceraian
maupun salah satu pihak meninggal dunia. Persoalannya, seberapa besar
bagian untuk kedua pihak yang dianggap adil, hakim tak selalu punya
pandangan yang sama. Meskipun hukum materil seperti KHI sudah
memberikan aturan yang berspektif kesetaraaan hak dan kewajiban antara
laki-laki dan perempuan, dalam pelaksanaanya kerap muncul penafsiran yang
berbeda. Jika mengacu kepada KHI, perempuan mendapat setengah dari harta
yang diperoleh selama berumah tangga, walaupun ia tidak bekerja di wilayah
publik yang mengasilkan uang. Namun bukan tidak mungkin bila ada hakim
yang menerapkan dua banding satu, dengan asumsi lelaki bekerja lebih banyak
sehingga hasilnya pun lebih banyak. Dengan perhitungan seperti itu, satu
bagian bagi istri sudah dianggap merupakan penghargaan atas jerih payahnya
mengelola rumah tangga. Anggapan semacam ini tidak jarang dicarikan
justifikasinya dengan mengacu kepada konsep pembagian waris sebagaimana
diatur dalam Al-Qur‟an.10
Seringkali pihak istri dirugikan dan mengalami ketidak adilan dalam
pembagian harta bersama. Ketidak adilan ini terkait dengan masalah
pembakuan peran suami istri dalam Undag-Undang No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (UUP) yang menyatakan bahwa suami adalah kepala keluarga dan
10
istri adalah ibu rumah tangga. UUP juga telah menetapkan istri sebatas
pengelola rumah tangga (domestik) dengan aturan yang mewajibkan istri
mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Dampaknya, banyak istri yang
tidak memiliki kesempatan bekerja dan mencari nafkah sendiri sehingga tidak
bisa mengelola keterampilan yang dimilikinya untuk memperoleh penghasilan.
Dalam hal ini, para istri mengalami ketergantungan ekonomi terhadap
suaminya. Bagaimana jika kemudian terjadi perceraian? Istri yang telah
“dirumahkan” tentu akan mengalami kesulitan untuk mandiri secara ekonomi.
Beban istripun semakin berat jika dalam perkawinan anak-anak menjadi
tanggungannya.
Ketidak adilan lainnya yang sering terjadi adalah beban ganda yang
memberatkan pihak istri. Kadang kala istri bekerja di luar rumash sebagai
pencari nafkah (bahkan sebagai pencari nafkah utama) dan juga dibebani
dengan pekerjaan rumah tangga sepulangnya ke rumah. Kebanyakan suami
yang merasa pekerjaan rumah tangga adalah urusan istri saja, umumnya
enggan melakukan pekerjaan rumah tangga meski istrinya sejak pagi bekerja di
luar rumah.
Seperti dalam kasus yang berada di Pengadilan Agama Rangkasbitung,
yang membagi harta bersama tersebut sama rata. Padahal dalam kasus tersebut
jelas sekali istri yang bekerja menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Saudi
Arabia selama 2 tahun sedangkan suami hanya di rumah saja. Bahkan sang
suami tidak melakukan urusan rumah tangga dan tidak pula mengurus anaknya.
menempati rumah yang selama ini menjadi tempat tinggalnya dengan istri dan
anak-anaknya. Sedangkan anaknya di urus oleh orangtua sang istri. Sehingga
sang istri meminta cerai kepada sang suami ke pihak Pengadilan Agama dan
meminta pembagian harta bersama secara adil. Akan tetapi, hakim dalam
memutuskan pembagian harta bersama tersebut membaginya dengan bagian
sama banyak (separuh untuk istri dan separuh lagi untuk suami), sehingga
muncul ketidak adilan gender dalam pembagian harta bersama tersebut.
Contoh lain yang kasuistik adalah kasus yang menimpa seorang
presenter Made Hughesia Dewi dengan Alfin, mantan suaminya. Gugatan
komulasi perceraian dengan harta yang diajukannya di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan dikabulkan oleh hakim dengan pembagian harta bersama
adalah separuh-separuh.
Dengan demikian, adalah hal yang tidak adil bagi perempuan jika
aturan pembagian harta bersama hanya terbatas pada pembagian separoh dari
harta bersama karena tidak sedikit istri yang berkontribusi lebih besar dari pada
suami. Ketentuan pembagian harta bersama sebaiknya diatur scara profesiaonal
dan adil sesuai dengan kontribusi dan peran masing-masing.
Berangkat dari teori yang penulis paparkan di atas, penulis ingin
meneliti lebih jauh tentang pembagian harta bersama dan mengangkatnya ke
dalam karya tulis dengan judul: PEMBAGIAN HARTA BERSAMA
DITINJAU DARI PERSPEKTIF GENDER (ANALISIS PUTUSAN
B.Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan terarah dan lebih spesifik, maka perlu ditentukan
batasan masalah yang akan dibahas. Adapun masalah dalam penelitian ini
dibatasi seputar pembagian harta bersama ditinjau dari perspektif gender
yang dihubungkan dengan Putusan Perkara Nomor 278/Pdt. G/2012/PA
Rks.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan pembatasan masalah di atas,
maka dalam penelitian ini pokok masalahnya dapat dirumuskan sebagai
berikut:
a. Bagaimanakah ketentuan pembagian harta bersama menurut fuqaha ?
b. Bagaimanakah regulasi undang-undang tentang pembagian harta
bersama ?
c. Bagaimanakah analisis pembagian harta bersama ditinjau dari perspektif
gender berdasarkan Putusan Perkara Nomor 278/Pdt. G/2012/PA Rks. ?
C.Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Dengan melihat pokok permasalahan sebagaimana diuraikan di atas,
maka tujuan yang hendak dicapai dari penulisan ini adalah untuk
mengetahui :
d. Regulasi undang-undang tentang pembagian harta bersama.
e. Analisis pembagian harta bersama ditinjau dari perspektif gender
berdasarkan Putusan Perkara Nomor 278/Pdt. G/2012/PA Rks.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang akan didapatkan dalam penelitian diantaranya
adalah:
a. Bagi Penulis
1) Mengaplikasikan ilmu-ilmu yang diperoleh dan dapat memperluas
pengetahuan khususnya dalam bidang pernikahan.
2) Mengetahui kondisi yang terjadi di lapangan khusunya di dalam
lingkup Pengadilan Agama.
3) Membandingkan teori yang telah ada dengan permasalahan yang
sebenarnya terjadi di masyarakat.
b. Bagi Masyarakat
1) Memberikan informasi bagi semua kalangan masyarakat tentang
pembagian harta bersama dan akibat hukumnya..
2) Memberikan informasi tentang analisa keputusan hakim Pengadilan
Agama mengenai harta bersama akibat dari perceraian.
c. Bagi Institusi
1) Memberikan informasi bagi institusi mengenai apa saja dasar hakim
Pengadilan Agama dalam memutuskan perkara harta bersama akibat
d. Bagi Universitas
1) Menambah referensi bagi teman-teman dalam mempelajari hukum
perkawinan khususnya harta bersama dan akibat hukumnya.
2) Mengetahui kemampuan mahasiswa dalam menerapkan ilmu
pengetahuannya.
3) Memberikan gambaran tentang kesiapan dan kelayakkan mahasiswa
dalam menangani masalah dilapangan. Sebagai tambahan informasi
bagi pemerhati Hukum Islam khususnya yang berkaitan dengan harta
bersama dalam perkawinan.
4) Memperkaya khazanah ilmu pengetahuan.
D.Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan yang digunakan penulis adalah pendekatan Yuridis
Normatif. Yaitu suatu pendekatan untuk menemukan apakah suatu
perbuatan hukum itu sesuai dengan perundangan-undangan yang berlaku
atau tidak. Karena dengan pendekatan ini bisa mengetahui semua hal
tentang pembagian harta bersama akibat perceraian di Pengadilan Agama.
Hal ini tidak bisa dijelaskan dengan angka-angka, akan tetapi hal ini bisa
terungkap dengan terjun langsung ke Pengadilan Agama, sehingga data
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian Kualitatif yaitu
penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan
prosedur analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya.11
2. Sumber Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber data sebagai
berikut :
a. Sumber primer, adalah data yang diperoleh langsung dari subyek
penelitian dengan menggunakan alat pengukuran atau alat pengambilan
data langsung pada subyek sebagai sumber informasi yang dicari. Dalam
penelitian ini, subyek penelitiannya adalah dokumen
penetapan-penetapan atas pembagian harta bersama akibat perceraian di Pengadilan
Agama Rangkasbitung serta sumber informasi dari para hakim yang
menetapkan perkara tersebut.
b. Sumber sekunder, adalah data-data yang berasal dari orang kedua atau
bukan data yang datang langsung, namun data-data ini mendukung
pembahasan dari penelitian ini. Adapun sumber data sekunder
diantaranya adalah:
1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
2) Undang-Undang No.4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman
3) PP No.9 Tahun tentang pelaksanaan UU No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
4) Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.
11
5) Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
6) kitab dan buku-buku serta catatan lainnya yang ada keterkaitannya
dengan masalah isbat nikah.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis
dalam penelitian, karena tujuan utama pengumpulan data adalah guna
memperoleh data yang diperlukan. Teknik pengumpulan data yang
digunakan dalam skripsi ini yaitu dengan menggunakan teknik studi
dokumenter dan studi doktrinal. Adapun metode analisis data yang
digunakan adalah content analysis atau analisis isi. Adapun
langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
a. Menganalisis terhadap berkas penetapan pembagian harta bersama
dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Rangkasbitung berdasarkan Putusan
Perkara Nomor 278/Pdt. G/2012/PA Rks.
b. Interview/wawancara yaitu pengumpulan data yang dilakukan penulis
dengan jalan mengadakan dialog langsung dengan responden yang telah
dipilih sebelumnya, yaitu hakim Pengadilan Agama Rangkasbitung yang
memutuskan perkara Perkara Nomor 278/Pdt. G/2012/PA Rks.
Menurut Moleong, analisa data merupakan tahap terpenting dari
sebuah penulisan. Sebab pada tahap ini data dapat dikerjakan dan
dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga menghasilkan sebuah pemahaman
yang benar-benar dapat digunakan untuk menjawab persoalan-persoalan
pengorganisasian dan pengurutan data ke dalam pola kategori dan suatu
uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan
hipotesis kerja seperti yang dirumuskan oleh data.12
Tehnik analisa pada tahap ini merupakan pengembangan dari metode
analitis kritis. Adapun tehnik analisa dari penulisan ini adalah content
analysis atau analisa isi, yakni pengolahan data dengan cara pemilahan
tersendiri berkaitan dengan pembahasan dari beberapa gagasan atau
pemikiran para tokoh yang kemudian dideskripsikan, dibahas dan dikritik.
Selanjutnya dikategorisasikan (dikelompokkan) dengan data yang sejenis,
dan dianalisa isinya secara kritis guna mendapatkan formulasi yang kongkrit
dan memadai, sehingga pada akhirnya dijadikan sebagai langkah dalam
mengambil kesimpulan sebagai jawaban dari rumusan masalah yang ada.13 Dengan menggunakan analisis isi yang mencakup prosedur ilmiah
berupa obyektifitas, sistematis, dan generalisasi. Maka, arah pembahasan
skripsi ini untuk menginterpretasikan, menganalisis isi buku (sebagai
landasan teoritis) dikaitkan dengan masalah-masalah kecerdasan spiritual
dan pendidikan yang masih aktual untuk dibahas, yang selanjutnya
dipaparkan secara objektif dan sistematis.
Melihat banyaknya metode yang dapat dipakai dalam pengkajian
suatu ilmu, maka penulis akan menggunakan beberapa metode yang yang
dianggap perlu dan relevan dengan pembahasan ini, antara lain :
12
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, h. 103. 13
a. Metode Dokumentasi
Metode dokumentasi yaitu mencari data mengenai variable yang
berupa catatan, transkip, buku-buku, dokumen, peraturan-peraturan,
notulen rapat, longer, majalah, catatan harian, agenda, dan sebagainya.
Metode dokumentasi ini digunakan untuk mendapatkan data berupa
tulisan yang sehubungan dengan obyek penelitian yang akan di bahas
dalam penelitian, serta digunakan sebagai metode penguat dari hasil
metode interview atau wawancara. Metode ini digunakan untuk
mengumpulkan data yang menyangkut pembahasan yang penulis kaji
atau teliti. Dalam hal ini, dokumentasi yang dijadikan acuan berupa arsip
atau dokumen salinan penetapan permohonan pembagian harta bersama
yang telah diputus Pengadilan Agama Rangkasbitung.
b. Metode Interview
Yaitu usaha mengumpulkan informasi dengan menggunakan
sejumlah pertanyaan secara lisan, untuk dijawab secara lisan pula.
Metode wawancara digunakan untuk memperoleh informasi tentang
hal-hal yang tidak dapat diperoleh lewat pengamatan. 14 Dengan menggunakan metode ini diharapkan dapat memperoleh jawaban secara
langsung, jujur, dan benar serta keterangan lengkap dari informan
sehubungan dengan obyek penelitian. Sehingga dapat diperoleh
informasi yang valid dengan bertanya langsung kepada informan. Dalam
14
hal ini informan adalah para hakim yang menetapkan permohonan
pembagian harta bersama di Pengadilan Agama Rangkasbitung.
c. Metode Deskriptif
Metode deskriptif ini digunakan untuk memecahkan serta
menjawab persoalan yang sedang dihadapi pada situasi sekarang,
dilakukan dengan menempuh langkah-langkah pengumpulan, klasifikasi,
analisa data, memuat kesimpulan dan laporan, dengan tujuan membuat
penggambaran tentang suatu keadaan secara obyektif dalam deskripsi
situasi untuk dibahasakan secara rinci.
d. Metode Deduksi
Metode ini merupakan akar pembahasan yang berangkat dari
realitas yang bersifat umum kepada sebuah pemaknaan yang bersifat
khusus.15 Metode ini digunakan untuk menguraikan suatu hipotesis atau asumsi yang bersifat umum kemudian digeneralisasikan pada asumsi
baru atau antitesis yang bersifat khusus.
e. Metode Induksi
Metode ini merupakan alur pembahasan yang berangkat dari
realita-realita yang bersifat khusus atau peristiwa-peristiwa yang konkret
kemudian dari realita- realita yang konkret itu ditarik secara general yang
bersifat umum. Berpikir induktif, adalah berpikir yang berangkat dari
fakta-fakta atau peristiwa yang bersifat khusus dan kongkrit, kemudian
ditarik pada generalisasi yang bersifat umum (general interpretatif).
15
Adapun teknik penulisan, penulis menggunakan standar acuan
BUKU PEDOMAN PENULISAN SKRIPSI yang diterbitkan oleh Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
E.Study Review Terdahulu
Dalam melakukan penulisan skripsi ini, penulis telah menemukan
beberapa skripsi yang membahas tentang Harta Bersama. Berikut skripsi yang
penulis temukan:
1. Persepsi Aktivitas Gender Indonesia Terhadap Sistem Pembagian Harta
Waris Dalam Hukum Islam. Maulana Hamzah (NIM : 106044101371).
Berisikan tentang Pengertian Persepsi dan Pengertian Gender.
2. Penyelesaian Perceraian dan Harta Bersama (Studi Kasus Pengadilan
Agama Jakarta Selatan). Ibnu Tamim (NIM : 207044100853). Berisikan
tentang Kedudukan Harta Bersama Akibat Perceraian, Penyelesaian
Perceraian Bersama Dengan Gugatan Harta Bersama dan Penentuan Statu
Harta Bersama Akibat Perceraian.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah bahwa
keduanya sama-sama membahas tentang pembagian harta bersama yang timbul
akibat perceraian. Sedang perbedaan penelitian ini dengan penelitian
sebelumnya adalah bahwa pada penelitian ini penulis lebih menitikberatkan
pada gender, dimana perempuan dan laki-laki memiliki posisi dan kedudukan
F. Kerangka Teori
Harta bersama adalah kekayaan yang diperoleh selama masa
perkawinan diluar hadiah atau warisan. Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan pasal 35-37 dikemukakan harta benda yang diperoleh
selama perkawinan menjadi harta bersama. Masing masing suami istri berhak
terhadap harta yang diperoleh masing-masing selama para pihak tidak
menentukan lain. Tentang harta bersama ini, suami atau istri dapat bertindak
untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu atas harta bersama itu atas
persetujuan kedua belah pihak. Dinyatakan pula bahwa suami istri mempunyai
hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bersama
tersebut apabila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama
tersebut diatur menurut hukum masing-masing.
Menurut pasal 36 ayat 2 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan jo. Pasa 87 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam bahwa istri
memepunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuiatan hukum terhadap
harta pribadi masing-masing. Mereka bebas menetukan terhadap harta tersebut
tanpa ikut campur suami atau istri untuk menjualnya, dihibahkan atau
mnegagunkan.16
Pembagian harta bersama merupakan perkara yang muncul sebagai
akibat dari perceraian dalam persoalan ini para hakim pada dasarnya
menggunakan ketentuan KHI, dimana harta yang diperoleh dalam ikatan
perkawinan harus dibagi ketika pernikahan putus, baik karena perceraian
16
maupun salah satu pihak meninggal dunia. Persoalannya, seberapa besar
bagian untuk kedua pihak yang dianggap adil, hakim tak selalu punya
pandangan yang sama. Meskipun hukum materil seperti KHI sudah
memberikan aturan yang berspektif kesetaraaan hak dan kewajiban antara
laki-laki dan perempuan, dalam pelaksanaanya kerap muncul penafsiran yang
berbeda. Jika mengacu kepada KHI, perempuan mendapat setengah dari harta
yang diperoleh selama berumah tangga, walaupun ia tidak bekerja di wilayah
publik yang mengasilkan uang. Namun bukan tidak mungkin bila ada hakim
yang menerapkan dua banding satu, dengan asumsi lelaki bekerja lebih banyak
sehingga hasilnya pun lebih banyak. Dengan perhitungan seperti itu, satu
bagian bagi istri sudah dianggap merupakan penghargaan atas jerih payahnya
mengelola rumah tangga. Anggapan semacam ini tidak jarang dicarikan
justifikasinya dengan mengacu kepada konsep pembagian waris sebagaimana
diatur dalam Al-Qur‟an.17
Kadang kala istri bekerja diluar rumah sebagai pencari nafkah (bahkan
sebagai pencari nafkah utama) dan jug dibebani dengan pekerjaan rumah
tangga sepulangnya ke rumah. Kebanyakan suami yang merasa pekerjaan
rumah tangga adalah urusan istri saja, umumnya enggan melakukan pekerjaan
rumah tangga meski istrinya sejak pagi bekerja diluar rumah.
Dengan demikian, adalah hal yang tidak adil bagi perempuan jika
aturan pembagian harta bersama hanya terbatas pada pembagian separoh dari
harta bersama karena tidak sedikit istri yang berkontribusi lebih besar dari pada
17
suami. Ketentuan pembagian harta bersama sebaiknya diatur secara
profesiaonal dan adil sesuai dengan kontribusi dan peran masing-masing.
G.Sistematika Penulisan
Skripsi ini terdiri dari lima (5) bab, dimana masing-masing bab
berisikan pembahasan yang berkesinambungan sebagai berikut;
Bab I, pendahuluan, meliputi pembahasan tentang: latar belakang
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
metode penelitian, study review terdahulu, kerangka teori, dan sistematika
penulisan.
Bab II, harta bersama, meliputi pembahasan tentang: pengertian harta
bersama, dasar hukum harta bersama, pengertian gender dan gender menurut
Hukum Islam.
Bab III, pembagian harta bersama, meliputi pembahasan tentang:
pembagian harta bersama menurut Undang-Undang, pembagian harta bersama
menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan pembagian harta bersama ditinjau
dari perspektif gender.
Bab IV, harta bersama menurut hukum Islam, regulasi undang-undang
dan gender, meliputi pembahasan tentang: harta bersama menurut Hukum
Islam, harta bersama menurut regulasi undang-undang dan harta bersama
menurut gender.
Bab V, penutup, meliputi pembahasan tentang kesimpulan dan
OUTLINE
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
B.Pembatasan dan Perumusan Masalah
C.Tujuan dan Manfaat Penelitian
D.Metode Penelitian
E. Study Review Terdahulu
F. Kerangka Teori
G.Sistematika Penulisan.
BAB II HARTA BERSAMA
A.Pengertian Harta Bersama
B.Dasar Hukum Harta Bersama
C.Pengertian Persepsi
D.Pengertian Gender.
BAB III PEMBAGIAN HARTA BERSAMA
A.Pembagian Harta Bersama Menurut Undang-Undang,
B.Pembagian Harta Bersama Menurut Kompilasi Hukum Islam
(KHI)
C.Pembagian Harta Bersama Ditinjau Dari Perspektif Gender.
BAB IV ANALISIS PUTUSAN PERKARA NOMOR
A.Posisi Kasus dan Duduk Perkara
B.Pertimbangan dan Amar Putusan
C.Analisis Pembagian Harta Bersama Ditinjau Dari Perspektif
Gender Berdasarkan Putusan Perkara Nomor 278/Pdt.
G/2012/PA Rks.
BAB V PENUTUP
A.Kesimpulan
PEMBAGIAN HARTA BERSAMA DITINJAU DARI PERSPEKTIF GENDER
(ANALISIS PUTUSAN PERKARA NOMOR 278/Pdt.G/2012/PA Rks)
PROPOSAL SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syari‟ah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S. Sy)
Oleh ABDUL KAHFI
1110044100001
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
BAB I I
HARTA BERSAM A DAN GENDER
A. Harta Bersama
1. Pengertian Harta Bersama
Sebelum sampai kepada pembicaraan harta benda perkawinan,
sebaiknya kita mengetahui terlebih dahulu arti perkawinan itu sendiri.
Karena pengertian perkawinan dalam tatanan hukum mempunyai akibat
langsung terhadap harta benda dalam perkawinan. Pasal 1 Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 menjelaskan bahwa: “perkawinan adalah ikatan lahir
batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Kompilasi hukum Islam di indonesia menyatakan: “perkawinan
menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau
miitsaaqon gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupkan ibadah”.1
Perkawinan yang seperti dijelaskan di atas mempunyai tujuan untuk
memperoleh keturunan, mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah
mawaddah warahmah, juga untuk dapat bersama-sama hidup pada suatu
masyarakat dalam satu perikatan kekeluargaan. Guna keperluan hidup
bersama-sama inilah dibutuhkan suatu kekayaan duniawi yang dapat
dipergunakan oleh suami istri untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka
1
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, h. 114
sehari-harinya. Kekayaan duniawi inilah yang disebut “harta perkawinan”,
“harta keluarga” ataupun “harta bersama”.2
Harta bersama merupakan salah satu macam dari sekian banyak
harta yang dimiliki seseorang. Dalam kehidupan sehari-hari harta
mempunyai arti penting bagi seseorang karena dengan memiliki harta dia
dapat memenuhi kebutuhan hidup secara wajar dan memperoleh status
sosial yang baik dalam masyarakat. Arti penting tersebut tidak hanya dalam
segi kegunaan (aspek ekonomi) melainkan juga dari segi keteraturannya,
tetapi secara hukum orang mungkin belum banyak memahami aturan hukum
yang mengatur tentang harta, apalagi harta yang didapat oleh suami istri
dalam perkawinan.
Ketidakpahaman mengenai ketentuan hukum yang mengatur tentang
harta bersama dapat menyulitkan untuk memfungsikan harta bersama
tersebut secara benar. Oleh karena itu, terlebih dahulu dikemukakan
beberapa pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan harta bersama.
Secara bahasa, harta bersama adalah dua kata yang terdiri dari kata
harta dan bersama. Menurut kamus besar bahasa Indonesia “harta dapat
berarti barang-barang (uang dan sebagainya) yang menjadi kekayaan dan
dapat berarti kekayaan berwujud dan tidak berwujud yang bernilai. Harta
bersama berarti harta yang dipergunakan (dimanfaatkan) bersama-sama”.3
2
Soerodjo Wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: PT. Toko Gunung Agung, 2005), h. 149
3
Sayuti Thalib dalam bukunya hukum kekeluargaan di Indonesia
mengatakan bahwa : “harta bersama adalah harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan diluar hadiah atau warisan”.4
Maksudnya adalah harta
yang didapat atas usaha mereka atau sendiri-sendiri selama masa
perkawinan. Pengertian tersebut sejalan dengan Bab VII tentang harta benda
dalam perkawinan pasal 35 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang secara
lengkap berbunyi sebagai berikut:
a. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta benda
bersama.
b. Harta bawaan dari masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah
dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak
menentukan lain.
Mengenai hal ini Kompilasi Hukum Islam memberikan gambaran
jelas tentang harta bersama, yang dijelaskan dalam pasal 1 huruf f : “Harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik
sendiri-sendiri atau bersama-sama suami istri selama dalam ikatan
perkawinan berlangsung, dan selanjutnya disebut harta bersama tanpa
mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun”.
Menurut Abdul Manan harta bersama adalah harta yang diperoleh
selama ikatan perkawinan berlangsung tanpa mempersoalkan terdaftar atas
nama siapapun.5
4
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta:UI Press, 2002), h. 56 5
Dalam yurisprudensi peradilan agama juga dijelaskan bahwa harta
bersama yaitu harta yang diperoleh dalam masa perkawinan dalam kaitan
dengan hukum perkawinan, baik penerimaan itu lewat perantara istri
maupun lewat perntara suami. Harta ini diperoleh sebagai hasil karya-karya
dari suami istri dalam kaitannya dengan perkawinan.6
Menurut hukum adat bahwa harta benda perkawinan itu adalah harta
benda yang dimiliki suami istri dalam ikatan perkawinan, baik yang
diperoleh sebelum perkawinan berlangsung (harta gawan/ harta bawaan)
maupun harta benda yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan, yang
hasil kerja masing-masing suami istri ataupun harta benda yang didapat dari
pemberian /hibah atau hadiah serta warisan. Jadi suatu asas yang sangat
umum berlakunya hukum adat di Indonesia adalah bahwa mengenai harta
kerabatnya sendiri yang berasal dari hibah atau warisan, maka harta itu tetap
menjadi miliknya salah satu suami atau istri yang kerabatnya menghibahkan
atau mewariskan harta itu kepadanya.
Memperhatikan beberapa pendapat dan analisis di atas bahwa harta
bersama adalah harta yang didapat atau diperoleh selama perkawinan.
Masalahnya adalah apakah semua harta yang didapat atau diperoleh selama
perkawinan dinamakan harta bersama ? Harta tersebut akan menjadi harta
bersama jika tidak ada perjanjian mengenai status harta tersebut sebelum
ada pada saat dilangsungkan perkawinan, kecuali harta yang didapat itu
diperoleh dari hadiah atau warisan, atau bawaan dari masing-masing suami
6
istri yang dimiliki sebelum dilangsungkan perkawinana sebagaimana
dijelaskan di atas seperti yang tercantum pada pasal 35 ayat (2)
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
2. Historis Harta Bersama
Yahya Harahap menjelaskan, bahwa jika ditinjau sejarah
terbentuknya harta bersama, telah terjadi perkembangan hukum adat
terhadap harta bersama didasarkan pada syarat ikutsertanya istri secara fisik
dalam membantu pekerjaan suami. Jika istri tidak ikut secara fisik dan
membantu suami dalam mencari harta benda, maka hukum adat lama
menganggap tidak pernah terbentuk harta bersama dalam perkawinan.
Dalam perjalanan sejarah lebih lanjut, pendapat tersebut mendapat kritik
keras dari berbagai kalangan ahli hukum sejalan dengan berkembangnya
pandangan emansipasi wanita dan arus globalisasi di segala bidang.
Menanggapi kritik tersebut, terjadilah pergeseran konsepsi nilai-nilai hukum
baru, klimaksnya pada tahun 1950 mulai lahirlah produk pengadilan yang
mengesampingkan syarat istri harus aktif secara fisik mewujudkan harta
bersama. Syarat tersebut diubah dengan nilai baru seperti yang terdapat
dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 51 K/SIP./1956 tanggal 7
November 1956.7
Keberadaan harta bersama dalam perkawinan semata-mata ditujukan
untuk memenuhi kebutuhan suami dan istri secara bersama-sama beserta
anak-anak mereka, sehingga penggunaan harta bersama harus atas
7
persetujuan bersama suami dan istri, tidak boleh dikuasai secara sepihak dan
semena-mena. Oleh karena itu, apabila ada persangkaan atau terindikasi
adanya tindakan penyalahgunaan oleh salah satu pihak di antara suami atau
istri, dengan memindahtangankan kepada pihak lain, memboroskan atau
menggelapkan atas harta bersama tersebut, maka undang-undang
memberikan jaminan agar keutuhan harta bersama dalam perkawinan itu
tetap terlindungi dan terjaga melalui upaya “penyitaan” atas permohonan
yang diajukan pihak suami atau istri serta pihak yang berkepentingan
kepada pengadilan.
Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 mendefinisikan harta
bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan. Ini berarti bahwa
terbentuknya harta bersama dalam perkawinan ialah sejak tanggal terjadinya
perkawinan sampai perkawinan tersebut putus karena perceraian atau karena
mati. Berbeda dengan harta bawaan masing-masing suami atau isteri dan
harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan yang
disebut dengan harta pribadi yang sepenuhnya berada di bawah penguasaan
masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.8
Di dalam pasal 35 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
maupun dalam pasal 86 ayat 1 Undang-Undang No. 7 Tahun 1985 maupun
pasal 85 KHI, terhadap harta suami istri yang berada dalam masa ikatan
perkawinan telah diberi nama “Harta bersama”. Dalam masyarakat Aceh dikenal dengan “Harta seharkat”. Dalam masyarakat Melayu dikenal dengan
8
nama ”Hartaserikat”. Dan dalam masyarakat Jawa-Madura dikenal dengan
“Harta gono-gini”. Sampai sekarang penggunaan nama-nama tersebut masih
mewarnai praktek peradilan.9
Sejak perkawinan dimulai, dengan sendirinya terjadi suatu
percampuran antara kekayaan suami dan kekayaan istri. Hal ini merupakan
ketentuan umum apabila tidak diadakan perjanjian apa-apa. Keadaan
demikian berlangsung seterusnya dan tidak dapat diubah lagi selama
perkawinan berlangsung. Jika seseorang ingin menyimpang dari ketentuan
tersebut maka ia harus melakukan perjanjian perkawinan.10Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan Vollmar bahwa akibat-akibat perkawinan
terhadap kekayaan dan penghasilan suami-istri tergantung dari ada atau
tidak adanya perjanjian perkawinan.11
Tentang harta bersama, suami atau istri dapat bertindak untuk
berbuat atau tidak berbuat sesuatu atas harta bersama tersebut melalui
persetujuan kedua belah pihak. Semua harta yang diperoleh selama dalam
ikatan perkawinan menjadi harta bersama baik harta tersebut diperoleh
secara tersendiri maupun diperoleh secara bersama-sama. Demikian juga
harta yang dibeli selama ikatan perkawinan berlangsung menjadi harta
bersama. Tidak menjadi suatu permasalahan apakah istri atau suami yang
9
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 272 10
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, h. 31 11
membeli, tidak menjadi masalah juga apakah istri atau suami mengetahui
pada saat pembelian itu atau atas nama siapa harta itu harus didaftarkan.12 Dalam hukum perkawinan Islam istri mempunyai hak nafkah yang
wajibdipenuhi oleh suami. Harta yang menjadi hak istri dalam perkawinan
tersebut adalah nafkah yang diperoleh dari suami untuk keperluan hidupnya.
Namun apabila keperluan rumah tangga diperoleh karena usaha bersama
antara suami istri, maka dengan sendirinya harta tersebut menjadi harta
bersama. Besar atau kecilnya harta yang menjadi bagian masing-masing
tergantung pada banyak atau sedikitnya usaha yang mereka lakukan dalam
memenuhi kebutuhan rumah tangga. Apabila usahanya sama-sama besar
maka harta yang dimiliki dari perolehan tersebut seimbang. Akan tetapi
apabila suami lebih besar usahanya daripada istri maka hak suami harus
lebih besar daripada istri, begitu juga sebaliknya. Disamping berlakunya
ketentuan umum di atas dapat pula dimungkinkan adanya percampuran
harta kekayaan yang diperoleh suami istri dalam bentuk suatu perjanjian
atas usaha suami istri dengan cara suami dandengan cara bersama.13
B. Dasar Hukum Harta Bersama
Pada dasarnya tidak ada percampuran harta kekayaan dalam
perkawinan antara suami dan istri. Konsep harta bersama pada awalnya berasal
dari adatistiadat atau tradisi yang berkembang di Indonesia. Konsep ini
12
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 109 13
kemudian didukung oleh Hukum Islam dan hukum positif yang berlaku di
negara kita.14
Dasar hukum tentang harta bersama dapat ditelusuri melalui
Undang-Undang dan peraturan berikut:
1. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 35 ayat (1),
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan harta bersama adalah “Harta
benda yang diperoleh selama masa perkawinan”. Artinya, harta kekayaan yang diperoleh sebelum terjadinya perkawinan tidak disebut sebagai harta
bersama.
2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 119, disebutkan bahwa “Sejak saat dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta
bersama antara suami istri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan
ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama itu, selama
perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu
persetujuan antara suami istri”
3. Kompilasi Hukum Islam pasal 85, disebutkan bahwa “Adanya harta bersama di dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta
milik masing-masing suami istri”. Di dalam pasal ini disebutkan adanya harta bersama dalam perkawinan, akan tetapi tidak menutup kemungkinan
adanya harta milik masing-masing suami-istri.
Hukum Islam mengakui adanya harta yang merupakan hak milik bagi
setiap orang, baik mengenai pengurusan dan penggunaannya maupun untuk
14
melakukan perbuatan-perbuatan hukum atas harta tersebut sepanjang tidak
bertentangan dengan syari‟at Islam. Disamping itu juga diberi kemungkinan
adanya suatu serikat kerja antara suami istri dalam mencari harta kekayaan.
Oleh karenanya apabila terjadi perceraian antara suami istri, harta kekayaan
tersebut dibagi menurut Hukum Islam dengan kaidah hukum “Tidak ada
kemudharatan dan tidak boleh memudharatkan”. Dari kaidah hukum ini jalan
terbaik untuk menyelesaikan harta bersama adalah dengan membagi harta
tersebut secara adil.15
Dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, masalah harta
bersama hanya diatur secara singkat dan umum dalam Bab VII terdiri dari
pasal 35 sampai pasal 37. Kemudian diperjelas oleh Kompilasi Hukum Islam
dalam Bab XIII mulai dari pasal 85 sampai pasal 97.
Dalam Al-Quran dan Sunnah serta berbagai kitab-kitab hukum fiqih,
harta bersama tidak diatur dan tidak ada pembahasannya. Seolah-olah harta
bersama kosong dan vakum dalam Hukum Islam. Ayat “lirrijaali” sangatlah
bersifat umum dan bukan menjadi acuan bagi suami istri saja melainkan untuk
semua pria dan wanita. Jika mereka berusaha dalam kehidupannya sehari-hari,
maka hasil usaha mereka merupakan harta pribadi dan dikuasai oleh pribadi
masing-masing.16 Ayat tersebut menjelaskan adanya persamaan antara kaum pria dan wanita.
15
Bahder Johan Nasution, Hukum Perdata Islam, (Bandung: CV Mandar Maju, 2001), h. 34
16
Kaum wanita disyariatkan untuk mendapat mata pencaharian
sebagaimana kaum pria. Keduanya dibimbing kepada karunia dan kebaikan
yang berupa harta dengan jalan beramal dan tidak merasa iri hati.17 Akan tetapi sebaliknya, dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Islam di Indonesia, sejak
dari dulu hukum adat mengenal adanya harta bersama dan diterapkan
terus-menerus sebagai hukum yang hidup. Dari hasil pengamatan, lembaga harta
bersama lebih besar mas{ahatnya daripada mudharatnya. Maka atas dasar
metodologi Istishlah, „urf serta kaidah al-‟adatu al-muhakkamah, Kompilasi
Hukum Islam melakukan pendekatan kompromistis terhadap hukum adat.18
„Urf ialah sesuatu yang telah sering dikenal oleh manusia dan telah
menjadi tradisinya, baik berupa ucapan atau perbuatan, atau dalam
meninggalkan sesuatu. „Urf juga disebut dengan adat. „Urf yang sifatnya baik harus dipelihara sebagai pembentukan hukum dalam lembaga peradilan. Maka
dari itu ulama berkata “adat itu adalah syari‟at yang dikukuhkan sebagai hukum” atau lebih dikenal dengan istilah al-‟adatu al-muhakkamah. Semua
ulama maz|hab mendasarkan hukumnya kepada kebiasaan penduduk dimana
ulama madzhab itu tinggal. Sebagai salah satu contoh dalam madzhab Syafi‟i
terdapat dua madzhab, madzhab qadim dan madzhab jadid. Hal tersebut
dikarenakan ketika imam al-Syafi‟i membukukan madzhab qadim beliau tinggal di Irak, namun ketika membukukan madzhab jadid beliau telah pindah
17
M Syaltut, Tafsir al-Quran Karim, jilid. 2, h. 335 18
Mahfud MD, Peradilan Agama dan KHI Dalam Tata Hukum Indonesia,
ke Mesir dimana kedua kota tersebut memiliki dua kebiasaan atau adat yang
berbeda.19
„Urf menurut penelitian adalah bukan merupakan dalil syara‟ yang berdiri sendiri. Pada dasarnya „urf berfungsi untuk memelihara maslahah sebagaimana maslahah dipelihara dalam pembentukan hukum. Terkadang „urf
dipakai juga dalam membuat penafsiran terhadap suatu nash, oleh karena itu
maka dikhususkanlah kata-kata yang sifatnya umum dan dibatasi dengan
mutlak. Bahkan terkadang qiyas ditinggalkan lantaran adanya „urf.20
Harta bersama merupakan masalah ijtihadiyyah dan di dalam
kitab-kitab fiqih belum ada pembahasannya, begitu pula nash-nya tidak ditemukan
dalam Al-Qur‟an dan sunnah. Padahal apa yang terjadi di lingkungan masyarakat Indonesia tentang harta bersama telah lama berkenbang dan
berlaku dalam kehidupan kehidupan mereka sehari-hari. Oleh karena itu
adanya ketentuan hukum tentang harta bersama dalam KHI banyak
dipengaruhi berbagai faktor yang berkembang dan berlaku dalam masyarakat.
Harta bersama diangkat menjadi Hukum Islam dalam KHI berdasarkan
dalil „urf serta sejalan dengan kaidah al-„adatu al-muhakkamah, yaitu bahwa
ketentuan adat bisa dijadikan sebagai hukum yang berlaku dalam hal ini adalah
harta bersama, maka haruslah dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Harta bersama tidak bertentangan dengan nash yang ada.
Dalam Al-Qur‟an maupun sunnah tidak ada satupun nash yang melarang atau memperbolehkan harta bersama. Padahal kenyataan yang
19
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, terjemahan Tolhah Mansoer. h. 135
20
berlaku dalam masyarakat Indonesia adalah bahwa harta bersama telah lama
dipraktekkan. Bahkan manfaatnya dapat dirasakan begitu besar dalam
kehidupan mereka. Sehingga ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di
Indonesia dalam hal ini KHI menjadikan harta bersama sebagai hukum yang
berlaku di Indonesia melalui proses ijtihadiyyah.
2. Harta bersama harus senantiasa berlaku.
Harta bersama haruslah menjadi lembaga yang telah lama
berkembang dan senantiasa berlaku dalam kehidupan masyarakat. Dalam
kehidupan masyarakat Indonesia yang mempunyai semboyan Bhineka
Tunggal Ika, harta bersama merupakan lembaga yang penerapannya hampir
berlaku di seluruh Indonesia. Tidak hanya pada zaman yang lalu, akan tetapi
harta bersama tetap ditaati dan terpelihara penerapannya hingga saat ini.
3. Harta bersama merupakan adat yang sifatnya berlaku umum.
Hal ini dapat dilihat dari penerapan harta bersama yang berlaku
hampir menyeluruh dan menjadi suatu kebiasaan di Indonesia, sekalipun
dalam penyebutannya di setiap adat mempunyai penyebutan yang
berbeda-beda.21
Ahmad Zaki Yamani mengisyaratkan bahwa syari‟at adalah mahluk
atau lembaga yang tumbuh dan berkembang dari kebutuhan masyarakat dengan
berbagai lingkungan. Mahluk atau lembaga itu terkadang berwujud sempurna
dan siap menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat,
21
tetapi ia tidak tetap demikian jika tidak terus-menerus tumbuh dan
berkembang.22
Pertumbuhan dan perkembangan Hukum Islam tidak semata-mata
bersumber dari kebutuhan yang diakibatkan dinamika sosial, budaya, ilmu dan
teknologi, tetapi pertumbuhan dan pengembangannya dapat didukung melalui
pendekatan kompromistis dengan hukum adat setempat. Yang paling penting
untuk diperhatikan dalam pendekatan kompromistis antara Hukum Islam
dengan hukum adat adalah hukum yang lahir dari perpaduan kompromistis itu
berada dalam kerangka maslahah mursalah. Dengan demikian, ketentuan
hukum adat ini sudah selayaknya diambil berdasarkan „urf sebagai landasan
dalam Hukum Islam yang akan diterapkan di Indonesia.23
Al-Qur‟an dan Hadis| tidak memberikan ketentuan yang jelas bahwa harta benda yang diperoleh suami selama berlangsungnya perkawinan
sepenuhnya menjadi hak suami. Al-Qur‟an juga tidak menerangkan secara jelas bahwa harta yang diperoleh suami dalam perkawinan, maka secara tidak
langsung istri juga berhak terhadap harta tersebut. Atas dasar itulah, maka bisa
dikatakan bahwa masalah harta bersama ini tidak secara jelas disinggung dalam
rujukan Hukum Islam, baik itu berdasarkan Al-Qur‟an maupun hadis. Atau dengan kata lain, masalah ini merupakan wilayah yang belum terpikirkan
(ghairu mufakkar fiih) dalam Hukum Islam karena memang belum disinggung
secara jelas dalam sumber-sumber atau teks-teks keislaman. Yang bisa kita
22
Ahmad Zaki Yamani, Syariat Islam Yang Kekal dan Persoalan Masa Kini, (Jakarta: Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan Yayasan Bhineka Tunggal Ika, 2008), h. 16
23
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,
lakukan adalah berijtihad. Dalam ajaran Islam, ijtihad itu diperbolehkan
asalkan berkenaan dengan hukum-hukum yang belum ditemukan dasar
hukumnya. Masalah harta bersama merupakan wilayah keduniawian yang
belum tersentuh Hukum Islam klasik. Hukum Islam Kontemporer tentang
masalah ini diteropong melalui pendekatan ijtihad, yaitu bahwa harta benda
yang diperoleh oleh suami istri secara bersamasama selama masa perkawinan
merupakan harta bersama.24
Jika kita pelajari pandangan-pandangan Hukum Islam di atas, kita bisa
melihat kecenderungan dengan tidak dibedakannya antara harta bersama
dengan harta bawaan dan harta perolehan. Harta bawaan dan harta perolehan
tetap menjadi hak milik masing-masing suami istri. Hukum Islam cenderung
mengeneralisasikan masalah ini. Artinya, Hukum Islam pada umumnya tidak
menjelaskan perbedaan antara harta bersama itu sendiri dengan yang bukan
harta bersama. Adapula kecenderungan lain, yaitu bahwa harta milik suami dan
harta milik istri yang tidak bercampur (tidak disebut harta bersama) dalam
pandangan Hukum Islam lebih dimaksudkan sebagai harta bawaan dan harta
perolehan.
C. Pengertian Gender
Kata „„gender‟‟ telah digunakan di Amerika Serikat sekitar tahun 1960. Hal ini sebagai bentuk perjuangan secara radikal, konservatif, sekuler maupun
agama untuk menyuarakan eksistensi perempuan dimana hal tersebut
24
melahirkan kesetaraan gender80.25 Namun pada mulanya gender adalah suatu
klasifikasi gramatikal untuk benda-benda menurut jenis kelaminya terutama
dalam bahasa-bahasa Eropa, kemudian Ivan Illich sebagimana dikutip oleh
Ruhainah menggunakanya untuk membedakan segala sesuatu di dalam
masyarakat vernacular seperti bahasa, tingkah laku, pikiran, makanan, ruang
dan waktu, harta milik, tahu, alat-alat produksi, dan lain-lainya.26
Istilah gender di Indonesia lazim digunakan dengan memakai ejaan
„„jender‟‟, diartikan dengan interpretasi mental dan cultural terhadap perbedaan
kelamin, yakni laki-laki dan perempuan.27
Walaupun kata „„gender‟‟ telah digunakan sejak tahun 1960, namun pengertian yang tepat mengenai kata
„„gender‟‟ tidak ada dalam bahasa Indonesia. Kata „„gender‟‟ berasal dari
bahasa Inggris gender yang diberi arti „„jenis kelamin‟‟.28
Senada dengan definisi di atas adalah definisi yang mengatakan bahwa
gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang bukan didasari
pada faktor biologis dan jenis kelamin sebagai kodrat tuhan yang secara
permanen memang berbeda. Gender adalah behavorial differences antara
laki-laki dan perempuan yang socially constructed, yaitu perbedaan yang diciptakan
melalui proses sosial dan budaya yang panjang.29
25
Rasyidah Dkk, Potret kesetaraan Gender di Kampus, (Aceh: PSW Ar-Raniry, 2008), h. 11
26Siti Ruhainah Dzuhayatin “Gender dalam Perspektif Islam” dalam Mansour Fakih (ed), Membincang Feminisme Diskursus Gender perspektif Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), h. 231
27
Tim Penyusun, Buku III: Pengantar Tehnik Analisa Gender, (Jakarta: Kantor Menteri Negara Urusan Perempuan, 2002), h. 2
28
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gra