DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Amiruddin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2006
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta :
PT Raja Grafindo Persada, 2013
Harsono, Boedi, Hukum Agraria di Indonesia : Himpunan
Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Jakarta : Djambatan, 2002
---, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan
Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta :
Djambatan, 2008
Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, Hak-hak Atas Tanah, Jakarta :
Kencana, 2007
Parlindungan, A.P., Pedoman Pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria
dan Tata Cara Pejabat Pembuat Akta Tanah, Bandung : CV.
Mandar Maju, 1991
---, Pendaftaran Tanah Indonesia (Berdasarkan P.P. No. 24
Tahun 1997 Dilengkapi dengan Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah (P.P. No. 37 Tahun 1998)), Bandung : CV.
Mandar Maju, 1999
Perangin, Effendi, Hukum Agraria di Indonesia : Sudut Telaah dari Sudut
Pandang Praktisi Hukum, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
Santoso, Urip, Hukum Agraria dan Hak-hak atas Tanah, Jakarta : Kencana
Prenada Media Group, 2007
Sihombing, Irene Eka, Segi-segi Hukum Tanah Nasional dalam Pengadaan
Tanah untuk Pembangunan, Jakarta : Universitas Trisakti, 2005
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, 1986
Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Penerbit Rajawali
Pers, 2006
Supriadi, Hukum Agraria, Jakarta : Sinar Grafika, 2007
Sutedi, Adrian, Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya, Jakarta :
Sinar Grafika, 2007
Zendrato, Mariati, Bahan Ajar Pendaftaran Tanah (Pemahaman Terhadap
Perlindungan Hukum dan Kepastian Hak Atas Tanah), Medan,
2016
B. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria
Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 1973 Tentang Pengawasan
Pemindahan Hak-Hak atas Tanah
Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988 Tentang Badan Pertanahan
Nasional
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Pelayanan Peralihan Hak
Guna Bangunan Tertentu di Wilayah Tertentu
C. Internet
http://adln.lib.unair.ac.id
http://irmadevita.com/2016/peralihan-hgb-karena-jual-beli-harus-selesai-dalam-8-hari-kerja/
http://m.detik.com/finance/properti/d-3149849/mau-urus-izin-hgb-sekarang-bisa-online-dan-selesai-2-hari
http://www.bpn.go.id/Berita/Siaran-Pers/kementerian-atrbpn-terbitkan-aturan-percepatan-layanan-peralihan-hgb-61949
BAB III
PERANAN PPAT DALAM PERALIHAN HAK GUNA BANGUNAN BESERTA AKIBAT HUKUMNYA
A. Tinjauan Umum Mengenai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
1. Pengertian PPAT
Sesuai dengan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun
1961, yang maka setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan Hak
atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan Hak atas
tanah sebagai tanggungan harus dibuktikan dengan sesuatu akta yang
dibuat oleh dan di hadapan Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria
(selanjutnya dalam Peraturan ini disebut Pejabat).
Akta tersebut bentuknya ditetapkan oleh Menteri Agraria. Untuk
diketahui, bahwa dengan berlakunya Keputusan Presiden Nomor 26
Tahun 1988, tanggal 19 Juli 1988, maka PPAT ini diangkat dan/atau
ditunjuk oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Kemudian setelah Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961,
tertanggal 23 Maret 1961, maka tentang Pendaftaran Tanah berjalan
berlaku ± 36 tahun Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1951 tersebut
dipandang tidak dapat lagi sepenuhnya mendukung tercapainya hasil
yang lebih nyata pada pembangunan nasional, sehingga perlu
penyempurnaan dan karenanya dengan keputusan Peraturan Pemerintah
klitisosnya Pasal 65 dinyatakan tidak berlaku sejak berlakunya Peraturan
Pemerintah ini.21
Berdasarkan Pasal 1 angka 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, bahwa “Pejabat Pembuat Akta
Tanah, selanjutnya disebut PPAT adalah pejabat umum yang diberi
kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tertentu”.
Dan juga berdasarkan Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah
Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan,
dan Hak Pakai Atas Tanah, bahwa “Pejabat Pembuat Akta Tanah,
selanjutnya disebut PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan
untuk membuat akta-akta tanah”.
Akhirnya dengan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998,
tertanggal 5 Maret 1998, tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat
Akta Tanah, sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini, semua peraturan
perundangan mengenai jabatan PPAT yang telah ada tetap berlakunya
sepanjang tidak bertentangan atau diubah atau diganti Peraturan
Pemerintah ini.
Perlu diketahui bahwa adanya Peraturan Pemerintah Nomor 37
Tahun 1998 pada hakekatnya merupakan suatu Peraturan Pemerintah
yang dikehendaki oleh Pasal 7 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997.
Sebagai pelaksanaan dari pada Peraturan Pemerintah Nomor 37
Tahun 1998 tentang jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah
Peraturan Pelaksanaan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1998, tertanggal 30 Maret 1998
tentang ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang
peraturan jabatan Pembuat Akta Tanah ditegaskan di dalam PP Nomor
37 Tahun 1998, khususnya dalam Pasal 1 ayat 1, ditentukan :
“Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang selanjutnya disebut PPAT adalah
Pejabat Umum yang diberi kewenangan untuk membuat Akta otentik
mengenai Hak Atas Tanah atau Hak milik atasSatuan Rumah Susun.”22 Dari uraian di atas, menunjukkan bahwa kedudukan Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah sebagai pejabat umum. Namun
dalam peraturan perundang-undangan tidak memberikan definisi apa
yang dimaksud dengan pejabat umum. Maksud “pejabat umum” itu
adalah orang yang diangkat oleh Instansi yang berwenang, dengan tugas
melayani masyarakat umum di bidang atau kegiatan tertentu.23 2. Keharusan untuk dibuatkan akta
Pada mulanya, dengan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10
Tahun 1961, maka setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak
atas tanah, menggadaikan tanah, atau meminjam uang dengan hak atas
tanah sebagai tanggungan, serta memberikan suatu hak baru atas tanah,
harus dibuktikan di hadapan seorang pejabat yang ditunjuk oleh Kepala
Badan Pertanahan Nasional.
Akta dimaksud bentuknya ditetapkan oleh Kepala Badan
Pertanahan Nasional. Bagaimana kenyataannya?
Pada kenyataannya bahwa dengan meningkatnya pembuatan
perjanjian-perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah secara
di bawah tanah atau tidak dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang
menurut peraturan perundangan yang berlaku, sehingga mengakibatkan
usaha-usaha untuk mengadakan pengawasan secara seksama oleh
pemerintah.
Karenanya maka tahun 1973, oleh Menteri Dalam Negeri telah
diterbitkan. Instruksi Menteri Dalam Negeri, dengan Nomor 27 Tahun
1973, tertanggal 22 Desember 1973, tentang Pengawasan Pemindahan
Hak-hak atas tanah, bersambung Surat Edaran Menteri Dalam Negeri
Nomor Ba 1/661/1174, tertanggal 9 Januari 1974.
Dengan Surat Menteri Dalam Negeri Nomor Ba 1/661/1174
dimaksud, maka setiap pemindahan hak yang tidak dibuktikan dengan
sesuatu akta, yang dibuat oleh / di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah,
tidak akan dapat didaftarkan haknya sehingga kepada pemilik yang baru
tidak diberikan tanda bukti hak / sertifikat. Hal ini adalah suatu kerugian
bagi pemilik tanah yang baru, karena ia tidak akan mempunyai Tanda
Bukti Hak yang kuat atas tanah yang dimilikinya itu.
3. Tugas dan wewenang PPAT
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998
Pasal 2 ayat (1), maka seorang PPAT, bertugas pokok melaksanakan
sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti
telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu, mengenai Hak atas tanah
pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh
perbuatan hukum itu.
Adapun perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 adalah sebagai
berikut :
a. Jual beli tanah-tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan, dan Hak
Pakai
b. Tukar menukar Hak atas Tanah
c. Hibah Hak atas Tanah
d. Pemasukan kedalam perusahaan (inbreng)
e. Pembagian hak bersama
f. Pemberian Hak Guna Bangunan, Hak Pakai Atas MIR
g. Pemberian Hak Tanggungan
h. Pemberian Kuasa Membebankan Hak Tanggungan24
Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, seorang PPAT
mempunyi kewenangan membuat akta otentik mengenai semua
perbuatan hukum tentang hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan
Rumah Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya.
Kewajiban PPAT, di samping tugas pokok ialah :
1. Menyelenggarakan suatu daftar dari akta-akta yang dibuatnya.
2. Menyimpan asli dari akta-akta yang dibuatnya.25
24Mariati Zendrato, Op.cit., Hal 40-41
Kewenangan seorang PPAT :
1. Untuk melaksanakan tugas sebagai dimaksud dalam Pasal 2
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, maka, seorang PPAT
mempunyai kewenangan membuat akta otentik mengenai semua
perbuatan Hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
mengenai Hak atas tanah dan hak milik rumah susun yang terletak di
dalam daerah kerja. (Pasal 3 ayat (1) PP Nomor 37/1998)
2. Pejabat Pembuat Akta Tanah hanya berwenang membuat akta tanah
atau hak milik rumah susun yang terletak di daerah kerja. (Pasal 4
ayat (1) PP Nomor 37/1998)26 4. Jenis Pejabat Pembuat Akta Tanah
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT dibedakan menjadi
4 (empat) macam, yaitu :
1. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum
yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta otentik
mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau
Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (Pasal 1 angka 1).
2. Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara (PPAT Sementara)
Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara (PPAT Sementara)
adalah pejabat Pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk
melaksanakan tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dengan
membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) (Pasal 1 angka 2).
3. Pejabat Pembuat Akta Tanah Khusus (PPAT Khusus)
Pejabat Pembuat Akta Tanah Khusus adalah pejabat Badan
Pertanahan Nasional yang ditunjuk karena jabatannya untuk
melaksanakan tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dengan
membuat akta PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan
program atau tugas pemerintah tertentu. Pejabat Pembuat Akta
Tanah Khusus (PPAT Khusus) hanya berwenang membuat akta
mengenai perbuatan hukum yang disebut secara khusus dalam
penunjukannya (Pasal 1 angka 3).
4. Pejabat Pembuat Akta Tanah Pengganti (PPAT Pengganti)
Pejabat Pembuat Akta Tanah Pengganti (PPAT Pengganti) yaitu
yang menggantikan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang
berhalangan sementara, misalnya karena cuti (Pasal 38 ayat (3)).
Yang dapat diangkat menjadi Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT), adalah :
1. Notaris,
2. Pegawai-pegawai dan bekas pegawai dalam lingkungan Direktorat
Jenderal Agraria yang dianggap mempunyai pengetahuan yang
cukup tentang peraturan pendaftaran tanah dan
peraturan-peraturan lainnya yang bersangkutan dengan persoalan peralihan hak
3. Para pegawai pamong praja yang pernah melakukan tugas seorang
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT),
4. Orang-orang lain yang telah lulus dalam ujian yang diadakan oleh
Direktorat Jenderal Agraria.27 5. Honorarium seorang PPAT
PPAT Khusus melaksanakan tugasnya tanpa memungut biaya.
Sesuai dengan Pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998,
menentukan bahwa :
1. Barang jasa (Honorarium) seorang PPAT dan PPAT 0.
2. PPAT dan PPAT Sementara wajib memberikan jasa tanpa
memungut biaya kepada seseorang yang tidak mampu.
3. Dalam melaksanakan tugasnya, PPAT dan PPAT Sementara dilarang
melakukan pungutan di luar ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat 1. Untuk sementara, termasuk uang jasa (Honorarium) saksi
tidak boleh melebihi 1% dari harga transaksi yang tercantum di
dalam akta.
6. Bentuk Akta
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998
khususnya dalam Pasal 21, ditentukan bahwa :
Ayat 1 :
“Bentuk Akta PPAT ditetapkan oleh Menteri.”
Ayat 2 :
“Semua jenis akta PPAT diberi nomor urut yang berulang, pada
permulaan tahun Tahwin.”
Untuk diketahui, bahwa untuk memenuhi syarat otentik suatu
akta, maka akta PPAT wajib ditentukan bentuknya oleh Menteri, dalam
hal ini Menteri Negara Agraria/Pertanahan.28 7. Daerah Kerja dan Formasi PPAT
Daerah kerja PPAT adalah suatu wilayah yang menunjukkan
kewenangan seorang PPAT untuk membuat akta mengenai hak atas tanah
dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalamnya.
Berdasarkan Pasal 12 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun
1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, bahwa
“Daerah Kerja PPAT adalah satu wilayah kerja Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kotamadya”.
Apabila suatu wilayah Kabupaten/Kotamadya dipecah menjadi
2 (dua) atau lebih wilayah Kabupaten/Kotamadya, maka Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT) dapat memilih satu wilayah kerjanya, dan jika dia
tidak memilih maka di tempat mana dia bertugas dan ada kantor
pertanahannya di situlah dianggap sebagai tempat kedudukannya dan
disamping itu diberi dia tenggang satu tahun untuk memilih sejak
diundangkannya Undang-undang pembentukan Kabupaten/Kotamadya
Daerah Tingkat II, dan jika dia tidak memilih salah satu dari daerah kerja
kerjanya dan atas daerah kerja lainnya setelah satu tahun tidak lagi
berwenang.29
Formasi PPAT adalah jumlah maksimum PPAT yang
diperbolehkan dalam satu satuan daerah kerja PPAT. Berdasarkan Pasal
14 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah, bahwa “formasi PPAT ditetapkan oleh
Menteri, apabila formasi PPAT untuk suatu daerah kerja PPAT sudah
terpenuhi, maka Menteri menetapkan wilayah tersebut tertutup untuk
pengangkatan PPAT”.
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dapat mengajukan
permohonan pindah ke daerah kerja lain. Pengangkatan PPAT baru atau
karena pindah daerah kerja, diajukan oleh yang bersangkutan kepada
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia, dilengkapi dengan rekomendasi dari Kepala Kantor Pertanahan
di tempat tujuan pindah, dan dari Daerah asal tempat tugasnya, melalui
Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia yang
bersangkutan.30
Sesuai dengan Pasal 2 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional, tertanggal 30 Maret 1994 Nomor 4 tahun
1999, maka ditentukan bahwa :
Ayat 1 :
29
A.P.Parlindungan, Pendaftaran Tanah Indonesia (Berdasarkan P.P. No. 24 Tahun 1997
Dilengkapi dengan Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (P.P. No. 37 Tahun 1998)),
Formasi PPAT ditetapkan oleh Menteri untuk setiap denah kerja
PPAT mempertimbangkan factor-faktor sebagai berikut :
a. Jumlah kecamatan di daerah yang bersangkutan.
b. Tingkat perkembangan ekonomi daerah yang bersangkutan.
c. Jumlah bidang tanah yang sudah bersertifikat di daerah yang
bersangkutan.
d. Frekuensi peralihan Hak di daerah yang bersangkutan dan program
mengenai pertumbuhannya.
e. Jumlah rata-rata akta PPAT di daerah kerja yang bersangkutan.
Ayat 2 :
Formasi PPAT ditetapkan secara periodik dan ditinjau kembali,
apabila terjadi perubahan pada faktor-faktor penentu sebagaimana
dimaksud ayat 1.
8. Pengangkatan dan Pemberhentian PPAT
a. Riwayat Pengangkatan Seorang PPAT
Pada mulanya khusus untuk pengangkatan dan pemberhentian
para Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagai dimaksud dalam pasal 19
Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 dilakukan oleh Menteri
Agraria dengan Peraturan Menteri Agraria Nomor 10 tahun 1961
tertanggal 7 September 1961.
Untuk kemudian pada tanggal 5 Maret 1998, diberlakukan
tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang khusus
pasal 5 ayat (1), ditentukan
“Pejabat Pembuat AktaTanah, diangkat dan diberhentikan oleh
Menteri.”
Pasal 5 ayat (2) ditentukan
“Pejabat Pembuat Akta Tanah diangkat untuk suatu Daerah
Kerja tertentu.”
b. Pengangkatan seorang PPAT
Sesuai dengan Pasal 4 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional, Nomor 4 Tahun 1999 tertanggal 30
Maret 1999, ditentukan bahwa :
Ayat 1 :
Untuk dapat diangkat sebagai PPAT, yang bersangkutan harus
lulus ujian PPAT, yang diselenggarakan oleh Badan Pertanahan
Nasional.
Ayat 2 :
Ujian sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diselenggarakan untuk
memenuhi formasi PPAT di Kabupaten atau Kotamadya tertentu yang
formasi PPAT belum terpenuhi.
Ayat 3 :
Materi ujian PPAT terdiri dari :
- Hukum Tanah Nasional
- Pendaftaran Tanah
- Pembuatan Akta PPAT
c. Syarat untuk dapat diangkat menjadi seorang PPAT
Sesuai dengan pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun
1998, tertanggal 5 Maret 1998, ditentukan bahwa :
1. Berkewarganegaraan Indonesia
2. Berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun
3. Berkelakuan baik yang dinyatakan dengan Surat Keterangan yang
dibuat oleh Industri Kepolisian Setempat.
4. Belum pernah dihukum penjara, karena melakukan kejahatan
berdasarkan keputusan Pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan Hukum Tetap.
5. Sehat jasmani dan rohani
6. Lulusan Program Pendidikan Spesialis Notaris atau Program
Khusus PPAT yang diselenggarakan Lembaga Pendidikan Tinggi.
7. Lulus ujian yang diselenggarakan oleh Kantor Menteri Negara
Agraria/Badan Pertanahan Nasional.
d. PPAT dapat merangkap atau dilarang jabatan/Profesi
Seorang PPAT dapat merangkap jabatan sebagai Notaris,
Konsultan atau Penasihat Hukum. (Pasal 7 ayat 1 PP Nomor 37/1998)
Seorang PPAT merangkap jabatan atau profesi :
1. Pengacara atau advokat
2. Pegawai Negeri atau Pegawai Badan Usaha Milik Negara /
Daerah.
e. Pemberhentian seorang PPAT
Seorang PPAT berhenti menjabat sebagai Pejabat Pembuat Akta
Tanah, karena :
1. Meninggal dunia, atau
2. Telah mencapai usia 65 tahun
3. Diangkat dan mengangkat sumpah jabatan atau melaksanakan
tugas sebagai Notaris dengan tempat kedudukan di
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang lain dari pada
daerah kerjanya sebagai PPAT, atau
4. Diberhentikan oleh Menteri
5. (Periksa Pasal 8n ayat 1 PP Nomor 37 Tahun 1998).
6. Sedangkan di dalam pasal 8 ayat 2, ditentukan :
“PPAT sementara dan PPAT Khusus berhenti melaksanakan
tugas PPAT, apabila tidak lagi memegang jabatan sebagaimana,
dimaksud dalam pasal 5 ayat 3, huruf a dan b, atau diberhentikan
oleh Menteri.”
f. Pemberhentian dengan hormat dari Jabatan PPAT
Seorang PPAT diberhentikan dengan hormat dari jabatannya
karena :
1. Permintaan sendiri
2. Tidak lagi mampu menjalankan tugasnya, karena kesehatan badan,
atau kesehatan jiwanya setelah dinyatakan oleh team pemeriksa
kesehatan yang berwenang atas permintaan Menteri atau Pejabat
3. Melakukan pelanggaran ringan terhadap larangan atau kewajiban
sebagai PPAT
4. Diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil atau ABRI.
(Periksa Pasal 10 ayat 1, Peraturan Pemerintah Nomor 37/1998)
Sedangkan sesuai dengan Pasal 10 ayat 2, Peraturan Pemerintah
Nomor 37 tahun 1998, menentukan bahwa seorang PPAT
diperhatikan dengan tidak hormat dari jabatannya karena :
1. Melakukan pelanggaran berat, terhadap larangan atau kewajiban
sebagai PPAT.
2. Dijatuhi hukuman kurungan / penjara, karena melakukan
perbuatan pidana yang diancam dengan hukuman kurungan atau
penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan
putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum
tetap.
Untuk diketahui bahwa untuk PPAT, PPAT Sementara dan
PPAT Khusus yang berhenti dari jabatannya, kecuali karena
pemberhentian sementara, sebagaimana dimaksud dalam pasal 11
Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998, tertanggal 5 Maret 1998,
wajib menyerahkan protokol PPAT-nya kepada PPAT, PPAT
Sementara atau kepada Kepala Kantor Pertanahan
(Periksa Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 4 tahun 1999, tertanggal 30 Maret 1999, Khusus
pada Pasal 10 ayat (1)).31
9. Pengangkatan Sumpah Jabatan PPAT
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998,
tertanggal 5 Maret 1998, khususnya dalam pasal 15 ditentukan bahwa :
Ayat 1 :
“Sebelum menjalankanjabatannya, PPAT dan PPAT Sementara
wajib mengangkat sumpah jabatan PPAT di hadapan Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kotamadya di daerah kerja PPAT yang
bersangkutan.”
Ayat 2 :
“PPAT Khusus, sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf C
tidak perlu mengangkat sumpah jabatan PPAT.”
Ayat 3 :
“PPAT yang daerah kerjanya disesuaikan karena pemecahan
wilayah Kabupaten/Kotamadya sebagaimana dimaksud dalam pasal 13,
tidak pula mengangkat sumpah jabatan PPAT untuk melaksanakan
tugasnya di daerahkerjanya yang baru.”32
PPAT wajib mengangkat sumpah jabatan PPAT di hadapan
Kepala Pertanahan Kabupaten/Kotamadya di daerah kerja PPAT yang
bersangkutan, sebelum menjalankan jabatannya. PPAT yang daerah
kerjanya disesuaikan karena pemecahan wilayah Kabupaten/Kotamadya,
tidak perlu mengangkat sumpah jabatan PPAT untuk melaksanakan
tugasnya di daerah kerjanya yang baru.33
Kepala Kantor Pertanahan melaksanakan pengambilan sumpah
jabatan dalam waktu 1 (satu) bulan setelah diterimanya laporan tersebut.
Pengangkatan sumpah jabatan PPAT dilakukan sesuai dengan agama dan
keyakinan masing-masing dengan pengucapan kata-kata sumpah jabatan
sebagai berikut :
“Demi Allah Saya bersumpah”
“Bahwa Saya, untuk diangkat menjadi PPAT, akan setia, dan taat
sepenuhnya kepada Pancasila, UUD 1945, dan Pemerintah Republik
Indonesia”.
“Bahwa Saya, akan menaati peraturan perundang-undangan di bidang
pertanahan dan yang berkaitan dengan ke-PPAT-an serta peraturan
perundang-undanganlainnya”.
“Bahwa Saya, akan menjalankan jabatan Saya dengan jujur, tertib, cermat,
dan penuh kesadaran, bertanggung jawab serta tidak berpihak”.
“Bahwa Saya, akan selalu senantiasa menjunjung tinggi kehormatan
Negara, Pemerintah, dan martabat PPAT”.
“Bahwa Saya, akan merahasiakan isi akta-akta yang dibuat dihadapan
Saya dan protokol yang menjadi tanggung jawab Saya, yang menurut
sifatnya atau berdasarkan peraturan perundang-undangan harus
“Bahwa Saya, untuk diangkat dalam jabatan Saya sebagai PPAT secara
langsung atau tidak secara langsung dengan dalih atau alasan apapun juga,
tidak pernah memberikan atau berjanji untuk memberikan sesuatu kepada
siapapun juga, demikian juga tidak akan memberikan atau berjanji
memberikan sesuatu kepada siapapun juga”.34 10. Pelaksanaan PPAT
Setelah pelaksanaan pelantikan, dan pengambilan sumpah
jabatan, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) wajib melaksanakan
jabatannya secara nyata, yaitu sebagai berikut :
a. Menyampaikan alamat kantornya, contoh tandatangan, contoh paraf,
dan teraan cap/stempel jabatannya kepada Kepala Kantor Wilayah
Badan Pertanahan Nasional Provinsi, Bupati/Walikotamadya Kepala
Daerah Tingkat II, Ketua Pengadilan Negeri, dan Kepala Kantor
Pertanahan yang wilayahnya meliputi daerah kerja PPAT yang
bersangkutan dalam waktu 1 (satu) bulan setelah pengambilan sumpah
jabatan.
b. PPAT harus berkantor di satu kantor dalam daerah kerjanya,
sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pengangkatannya atau
penunjukan dari Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia atau pejabat yang ditunjuk.
c. Memasang papan nama dan menggunakan stempel yang bentuk dan
ukurannya ditetapkan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia.
d. Dalam hal PPAT juga merangkap jabatan sebagai Notaris, maka
kantor tempat melaksanakan tugas jabatan PPAT wajib di tempat yang
sama dengan kantor Notarisnya.
e. PPAT tidak dibenarkan membuka kantor cabang atau perwakilan atau
bentuk lainnya yang terletak di luar dan atau di dalam daerah kerjanya
dengan maksud menawarkan jasa kepada masyarakat.
f. Kantor PPAT harus dibuka setiap hari kerja kecuali pada hari libur
resmi, dengan jam kerja minimum sama dengan jam kerja Kantor
Pertanahan setempat.
g. PPAT dilarang meninggalkan kantornya lebih dari enam hari kerja
berturut-turut kecuali sedang menjalankan cuti.
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dilarang membuat akta
apabila PPAT sendiri, suami atau istrinya, keluarganya sedarah atau
semenda, dalam garis lurus tanpa pembatasan derajat dan dalam garis ke
samping sampai derajat kedua, menjadi pihak dalam perbuatan hukum
yang bersangkutan baik dengan cara bertindak sendiri maupun melalui
kuasa, atau menjadi kuasa dari pihak lain.35
11. Yang menandatangani Akta PPAT
Semua Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagai terurai
tersebut di atas, harus ditandatangani oleh semua pihak, oleh Pejabat
a. 1 helai (yang asli) bermaterai Rp 6.000,- khusus untuk Hypotheek,
akta asli harus bermaterai 1% dari uang jaminan (= Hypotheeksom)
untuk disimpan dalam protokol Pejabat.
b. 1 helai bermaterai Rp 6.000,- untuk keperluan Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kotamadya c.q. Seksi Pendaftaran Tanah.
c. 1 helai untuk keperluan lampiran izin (bila diperlukan izin).
d. 1 helai untuk yang berkepentingan.
12. Larangan membuat Akta PPAT
Seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah harus menolak membuat
Akta Peralihan Hak atau Pembebanan Hutang, dengan jaminan Hak atas
Tanah apabila :
a. Hak atas tanah dimaksud dalam keadaan sengketa.
b. Hak atas tanah dalam sitaan.
c. Hak atas tanah itu dikuasai Negara, tanah bekas kepunyaan orang
asing, apabila lewat 1 tahun sejak yang bersangkutan menjadi orang
asing.
d. Yang mengalihkan hak ternyata bukan pemiliknya atau kurunnya.
e. Yang menerima hak ternyata bukan berhak untuk memiliki hak atas
tanah itu. Misalnya :
• Orang asing kecuali untuk Hak Pakai.
• Badan Hukum untuk Hak Milik, kecuali Badan Hukum tertentu,
sebagai tersebut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun
1965.
g. Bidang tanah itu, ternyata terletak di luar wilayah kerja PPAT tersebut.
h. Apabila tanah-tanah dimaksud :
• Telah ada sertifikatnya, tetapi tidak dapat ditunjukkan kepada
Pejabat.
• Belum membayar biaya pendaftaran pada Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kotamadya c.q. Seksi Pendaftaran Tanah.
• Belum dicocokkan dengan Badan Tanah yang ada pada Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kotamadya c.q. Seksi Pendaftaran Tanah.
i. Di samping itu, seorang PPAT dilarang membuat akta, apabila PPAT
sendiri suami atau istrinya, keluarganya sedarah atau semenda, dalam
garis lurus tanpa pembatasan derajat dan dalam garis ke samping
derajat kedua menjadi pihak dalam perbuatan Hukum yang
bersangkutan, baik dengan cara bertindak sendiri maupun melalui
kuasa, atau menjadi kuasa dari pihak lain.
j. Untuk diketahui, bahwa sehubungan dengan adanya ketentuan bahwa
yang berwenang untuk membuat akta tanah, hanya para Pejabat
Pembuat Akta Tanah, maka dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10
Tahun 1961, dilarang siapa saja untuk membuat Akta Tanah, apabila
isi itu tidak ditunjuk oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional.
k. Demikian juga pada Kepala Desa dilarang untuk menguatkan
perjanjian yang dimaksud dalam Pasal 19 PP Nomor 10 Tahun 1961.
Apabila perjanjian itu tidak miliki aktanya oleh Pejabat Pembuat Akta,
khusus untuk Hak Milik, Hak Guna Bangunan, ataupu Hak Guna
13. Ketentuan Peralihan
Sesuai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun
1998, maka dengan Peraturan Pemerintah ini, semua peraturan
perundangan mengenai jabatan PPAT, yang telah ada tetap berlaku,
sepanjang tidak bertentangan atau diubah atau diganti berdasarkan
peraturan ini.36
B. Akibat Hukum
Sejak berlakunya Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran Tanah,
maka jual beli juga harus dilakukan para pihak di hadapan PPAT yang
bertugas membuat akta. Dengan dilakukannya jual beli dihadapan PPAT,
dipenuhi syarat terang (bukan perbuatan hukum yang gelap, yang dilakukan
secara sembunyi-sembunyi). Untuk dibuatkan akta jual beli tanah tersebut,
pihak yang memindahkan hak, harus memenuhi syarat yaitu berwenang
memindahkan hak tersebut, sedangkan pihak yang menerima harus memenuhi
syarat subjek dari tanah yang akan dibelinya itu, serta harus disaksikan oleh
sekurang-kurangnya dua orang saksi.
Adapun fungsi akta PPAT dalam jual beli, sesuai dengan pendapat
Mahkamah Agung dalam Putusannya No. 1363/K/Sip/1997 bahwa Pasal 19
PP No. 10 Tahun 1961 (sekarang PP No. 24 Tahun 1997) secara jelas
menentukan bahwa akta PPAT hanyalah suatu alat bukti dan tidak menyebut
bahwa akta itu adalah syarat mutlak tentang sah tidaknya suatu jual beli tanah.
Menurut Boedi Harsono, akta PPAT berfungsi sebagai alat pembuktian
mengenai benar sudah dilakukannya jual beli. Akan tetapi, dalam PP No. 24
Tahun 1997, disebutkan bahwa pendaftaran jual beli hanya boleh dilakukan
dengan akta PPAT sebagai buktinya, sedangkan tanpa akta PPAT seseorang
tidak akan memperoleh sertifikat, meskipun jual belinya sah menurut hukum.
Oleh karena itu, selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak tanggal
ditandatanganinya akta tersebut, PPAT wajib mendaftarkan ke Kantor
Pertanahan untuk memperkuat pembuktian terhadap pihak ketiga.37
Setelah pendaftaran tanah di Kantor Pertanahan, tidak begitu saja
persoalan di antara kedua belah pihak selesai, melainkan kemungkinan
pihak-pihak lain pun terkait di dalamnya, disebabkan semula adanya itikad tidak
baik dari salah satu pihak dalam transaksi jual beli tanah tersebut. Apabila
PPAT dituntut oleh pihak ketiga yang merasa dirugikan ataupun diminta
sebagai saksi di Pengadilan, maka hal tersebut hanya sebatas dimintakan
keterangan sehubungan dengan akta yang dibuatnya, disamping itu PPAT pun
dapat meminta perlindungan hukum/upaya pembelaan kepada IPPAT sebagai
suatu organisasi profesi dimana ia bernaung.
Dalam hal ini, posisi PPAT sebatas sebagai saksi dan PPAT tidak
bertanggunggugat atas ketidakbenaran materiil yang dikemukakan oleh para
pihak, apabila kesalahan disebabkan oleh para pihak. Tetapi apabila PPAT
terbukti bersalah, maka ia dapat dikenakan sanksi administratif maupun
sanksi pidana, juga tidak tertutup kemungkinan dituntut ganti rugi oleh pihak
yang dirugikan secara perdata.38
37
Adrian Sutedi, Op.cit., Hal 79-81 38
BAB IV
AKIBAT PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/KEPALA BADAN PERTANAHAN INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2016 ATAS PENUNJUKAN WILAYAH-WILAYAH TERTENTU
TERHADAP WILAYAH DI LUAR YANG DITETAPKAN
A. Peralihan Hak Guna Bangunan
Hak Guna Bangunan diatur dalam Pasal 35 s/d Pasal 40
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(selanjutnya disebut UUPA). Pengaturan lebih lanjut mengenai Hak Guna
Bangunan tersebut kemudian diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40
Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai
atas Tanah.
Pasal 35 ayat (3) Undang-Undang Pokok Agraria secara tegas
menyatakan bahwa Hak Guna Bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada
pihak lain. Hal ini juga disesuaikan dengan yang telah ditentukan dalam Pasal
36 ayat (2) UUPA yang menentukan bahwa :
“ Orang atau badan hukum yang mempunyai Hak Guna Bangunan dan tidak
lagi memenuhi syarat-syarat yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini dalam
jangka waktu 1 tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada
pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak
syarat-syarat tersebut. Jika Hak Guna Bangunan yang bersangkutan tidak
dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut, maka hak itu hapus
karena hukum, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain akan
diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah”.
Ketentuan ini selanjutnya dipertegas kembali dalam Pasal 34
Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996, yang menentukan :
Ayat (1) Hak Guna Bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Ayat (2) Peralihan Hak Guna Bangunan terjadi karena :
a. Jual-beli;
b. Tukar-menukar;
c. Penyertaan dalam modal;
d. Hibah;
e. Pewarisan.
Ayat (3) Peralihan Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) harus didaftarkan pada Kantor Pertanahan.
Ayat (4) Peralihan Hak Guna Bangunan karena jual-beli kecuali jual-beli
melalui lelang, tukar-menukar, penyertaan dalam modal, dan hibah
harus dilakukan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat
Akta Tanah.
Ayat (5) Jual-beli yang dilakukan melalui pelelangan dibuktikan dengan
Ayat (6) Peralihan Hak Guna Bangunan karena pewarisan harus dibuktikan
dengan surat wasiat atau surat keterangan waris yang dibuat oleh
instansi yang berwenang.
Ayat (7) Peralihan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan harus
dengan persetujuan tertulis dan pemegang Hak Pengelolaan.
Ayat (8) Peralihan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik harus dengan
persetujuan tertulis dan pemegang Hak Milik yang bersangkutan.
Maksud dari pasal tersebut adalah bahwa undang-undang secara
tegas membedakan syarat peralihan Hak Guna Bangunan atas tanah Negara
dengan Hak Guna Bangunan yang diberikan di atas tanah Hak Pengelolaan
atau di atas Hak Milik terhadap Hak Guna Bangunan yang diberikan di atas
Tanah Hak Milik, karena pemberian tersebut lahir dari perjanjian, maka
sebagai konsekuensi dari sifat perjanjian itu sendiri, yang menurut ketentuan
Pasal 1315 dan Pasal 1340 BW/Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya
berlaku di antara para pihak, yaitu Pemegang Hak Milik dan Pemegang Hak
Guna Bangunan di atas tanah tersebut, termasuk peralihannya.
Sebagaimana halnya peralihan Hak Milik dan Hak Guna Usaha,
peralihan Hak Guna Bangunan ini pun wajib didaftarkan. Ketentuan
mengenai pendaftaran peralihan Hak Guna Bangunan juga diatur dalam
ketentuan yang sama seperti halnya peralihan Hak Milik dan Hak Guna
Usaha, yaitu mulai dari Pasal 37 hingga Pasal 46 Peraturan Pemerintah No.
Dari rangkaian pasal-pasal tersebut di atas, ada beberapa hal yang
dapat disimpulkan :
a. Peralihan Hak Guna Bangunan, yang dilakukan dengan cara jual beli,
tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum
pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya
dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT
(Pejabat Pembuat Akta Tanah) yang berwenang.
Dengan demikian, berarti setiap peralihan Hak Guna Bangunan, yang
dilakukan dalam bentuk jual beli, tukar menukar atau hibah harus dibuat
dihadapan PPAT. Jual beli, tukar menukar, atau hibah ini, dalam konsepsi
hukum adat adalah suatu perbuatan hukum yang bersifat terang dan tunai.
Dengan terang dimaksudkan bahwa perbuatan hukum tersebut harus dibuat
di hadapan pejabat yang berwenang untuk menyaksikan dilaksanakan atau
dibuatnya perbuatan hukum tersebut. Tunai diartikan bahwa dengan
selesainya perbuatan hukum di hadapan PPAT, berarti pula selesainya
tindakan hukum yang dilakukan dengan segala akibat hukumnya.
Ini berarti perbuatan hukum tersebut tidak dapat dibatalkan kembali,
kecuali terdapat cacat cela secara substansi mengenai Hak Guna Bangunan
yang dialihkan tersebut, atau cacat mengenai kecakapan dan kewenangan
bertindak atas bidang tanah tersebut.
b. Dengan demikian berarti, agar peralihan Hak Guna Bangunan tersebut
dapat terselenggara secara benar, maka seorang PPAT yang akan membuat
peralihan Hak Guna Bangunan tersebut harus memastikan kebenaran
mengenai kecakapan dan kewenangan bertindak dari mereka yang akan
mengalihkan dan menerima pengalihan hak atas tanah tersebut.
PPAT harus memeriksa kebenaran dari dokumen-dokumen yang
berhubungan dengan Hak Guna Bangunan yang akan dialihkan tersebut.
Dalam hal surat tersebut tidak dapat diserahkan, atau tidak ada, maka
PPAT wajib menolak membuat akta pemindahan Hak Guna Bangunan
yang akan dialihkan tersebut.39
B. Pelayanan Peralihan Hak Guna Bangunan
Dalam rangka meningkatkan kemudahan berbisnis di Indonesia
yang berdasarkan survei Bank Dunia masih berada di peringkat 109 dari 180
negara, Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) memangkas waktu
mengurus izin Hak Guna Bangunan (HGB) menjadi hanya 2 hari dari
sebelumnya sekitar 30 hari. Ini khusus untuk HGB dengan luas di bawah
5.000 meter persegi (m2).
Izin HGB pun bisa diajukan secara online. Kemudahan ini diatur
dalam Peraturan Menteri ATR Nomor 8 Tahun 2016 (Permen ATR 8/2016)
yang baru ditandatangani Menteri ATR, Ferry Mursyidan Baldan.
“Berkaitan dengan tugas kami, kami sudah siapkan Permen ATR
Nomor 8 Tahun 2016 yang mempercepat proses HGB menjadi 2 hari, juga
menyiapkan online. Ini untuk HGB di bawah 5.000 m2, jadi mudah,” kata Ferry, usai Rapat Koordinasi di Kemenko Perekonomian, Jakarta, Rabu
(24/2/2016).
Ferry menjamin, HGB bisa diselesaikan dalam 2 hari. Apalagi
pihaknya telah menunjuk Kepala Kantor BPN sebagai PPAT (Pejabat
Pembuat Akta Tanah) Khusus agar proses perizinan HGB bisa lebih cepat.
“Prosesnya paling lama 2 hari dengan PPAT-nya, bahkan kami punya
ketentuan bisa menunjuk PPAT Khusus, yaitu Kepala Kantor. In case butuh
langkah cepat, fungsi itu ada di Kepala Kantor,” paparnya.
Kemudahan ini sebenarnya hanya disiapkan untuk Jakarta dan
Surabaya yang menjadi lokasi survei kemudahan berusaha oleh Bank Dunia.
Tetapi, agar pelayanan ini bisa dirasakan lebih luas, Ferry menambahkan
Bandung, Semarang, dan Yogyakarta untuk memperoleh kemudahan
perizinan HGB. Dengan demikian, perizinan HGB yang bisa diurus online
hanya 2 hari ini bisa dinikmati di 5 kota.
“Bukan hanya di Jakarta dan Surabaya, kami masukkan juga dalam
Permen itu Bandung, Semarang, dan Yogyakarta. Ini bukan hanya untuk
menjawab survei Bank Dunia, tapi juga supaya manfaat pelayanannya
dirasakan oleh masyarakat,” imbuh Ferry.
Dia menambahkan, masyarakat juga bisa mendapatkan informasi
pertanahan, mengecek sampai di mana berkas-berkas perizinan yang
diajukannya, hingga status dan nilai tanah secara online.
“Kita sudah mulai online dari pengecekan, status, informasi. Juga
berkaitan dengan peta, sebaran bidang tanah berdasarkan jenis haknya. Kita
juga beri informasi penyebaran titik transaksi jual beli tanah, dan informasi
Sebelumnya diberitakan, Jokowi mengaku merasa malu terkait
dengan kemudahan berbisnis di Indonesia hanya berada di peringkat ke 109.
Sementara Negara seperti Thailand di peringkat 49, Malaysia peringkat 18,
dan Singapura peringkat 1.40
Berdasarkan uraian di atas, untuk permasalahan pada Pasal 1
Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN RI Nomor 8 Tahun 2016, adalah bahwa
ruang lingkup Peraturan Menteri ini hanya mengatur pelayanan peralihan Hak
Guna Bangunan tertentu karena jual beli, di Wilayah tertentu, yang meliputi
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Kota Bandung, Kota Semarang,
Kota Yogyakarta, dan Kota Surabaya. Dan juga Peraturan Menteri tersebut
hanya berlaku pada Hak Guna Bangunan yang dialihkan kepada badan
hukum yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) yang 100% (seratus persen)
sahamnya berasal dari modal dalam negeri, dan luas tanahnya sampai dengan
5.000 m2 (lima ribu meter persegi). Lantas, bagaimana dengan Wilayah yang tidak tercantum pada Peraturan Menteri tersebut? Dan juga bagaimana
dengan ketentuan mengenai peralihan Hak Guna Bangunan yang tidak sesuai
dengan yang dimaksud dalam Peraturan Menteri tersebut?
Maka, jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan di atas adalah, bagi
wilayah di luar yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri tersebut dan juga
peralihan Hak Guna Bangunan yang tidak sesuai dengan yang dimaksud
dalam Peraturan Menteri tersebut masihlah mengikuti peraturan lama yang
mengatur mengenai peralihan Hak Guna Bangunan yaitu Pasal 38
Undang-40Michael Agustinus,
“Mau Urus Izin HGB? Sekarang Bisa Online dan Selesai 2 Hari”, diakses
undang No. 5 Tahun 1960 yang diatur lebih lanjut dalam Pasal 34 Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, yang menyatakan bahwa peralihan Hak
Guna Bangunan harus didaftarkan pada kantor pertanahan setempat.
Untuk keperluan pendaftaran, berdasarkan Pasal 34 ayat 4 s/d 8
Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, dan Hak Pakai atas tanah, peralihan Hak Guna Bangunan harus
dibuktikan dengan bukti peralihan sebagai berikut :
1. Peralihan Hak Guna Bangunan karena tukar menukar, penyertaan modal,
jual-beli kecuali jual beli melalui lelang, dan hibah harus dilakukan
dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
2. Jual-beli yang dilakukan melalui pelelangan dibuktikan dengan Berita
Acara Pelelangan.
3. Pewarisan dibuktikan dengan surat wasiat atau surat keterangan waris
yang dibuat oleh instansi yang berwenang.
4. Peralihan Hak Guna Bangunan atas tanah pengelolaan harus dengan
persetujuan tertulis dari pemegang Hak Pengelolaan.
5. Peralihan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik harus dengan
persetujuan tertulis dari pemegang Hak Milik yang bersangkutan.
Berdasarkan Pasal 103 ayat (2) Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang
pendaftaran tanah, dalam rangka pendaftaran peralihan hak, maka
1. Surat permohonan pendaftaran peralihan hak yang ditandatangani oleh
penerima hak atau kuasanya.
2. Surat kuasa tertulis dari penerima hak apabila yang mengajukan
permohonan pendaftaran peralihan hak bukan penerima hak.
3. Akta tentang perbuatan hukum pemindahan hak yang bersangkutan yang
dibuat oleh PPAT yang pada waktu pembuatan akta masih menjabat dan
yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan.
4. Bukti identitas pihak yang mengalihkan hak.
5. Bukti identitas penerima hak.
6. Sertifikat hak atas tanah.
7. Izin pemindahan hak, terhadap pemindahan hak pakai atas tanah Negara
dan/atau apabila didalam sertifikatnya dicantumkan tanda yang
menyatakan bahwa hak tersebut hanya boleh dipindahtangankan apabila
telah memperoleh izin dari instansi yang berwenang.
8. Bukti pelunasan pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan.
9. Bukti pelunasan pembayaran PPH.
Ketentuan peralihan Hak Guna Bangunan di atas pada umumnya
dapat memakan waktu sekitar 30 hari sampai 1,5 bulan untuk dapat
menyelesaikan proses peralihan Hak Guna Bangunan tersebut dan
mendapatkan izin/sertifikat Hak Guna Bangunan.
Namun sekarang, untuk meningkatkan kemudahan berbisnis di
Indonesia dan untuk memajukan pembangunan, serta sebagai salah satu
Nomor 8 Tahun 2016 ini, sekarang semua proses peralihan Hak Guna
Bangunan harus dilakukan dengan cepat, tepat, dan cermat, yaitu dengan
uraian :
1. Pengecekan sertifikat dilakukan di Kantor Pertanahan dalam waktu
paling lama 1 (satu) hari kerja sejak diterimanya permohonan
pengecekan. (Pasal 3)
2. Pembayaran BPHTB dan PPh dilakukan pada instansi yang berwenang
dan dapat dilakukan oleh Pemohon dalam waktu paling lama 2 (dua) hari
kerja. (Pasal 4)
3. Pembuatan Akta Jual Beli dan penyampaiannya dilakukan dalam waktu
paling lama 2 (dua) hari kerja sejak diterimanya permohonan permbuatan
akta. PPAT yang tidak memenuhi ketentuan tersebut dikenakan sanksi.
Untuk percepatan pembuatan akta jual beli, dapat ditunjuk PPAT Khusus
yang ditunjuk oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional. (Pasal 5)
4. Pendaftaran peralihan hak dilakukan di kantor pertanahan setelah
pengecekan sertifikat, pembayaran BPHTB dan PPh, dan pembuatan
Akta Jual Beli. Pemohon yang melakukan peralihan hak wajib
menyerahkan bukti pembayaran pajak atau membuat surat pernyataan
bahwa telah membayarkan setoran pembayaran BPHTB dan PPh ke
kantor instansi yang berwenang. Jika surat pernyataan tidak benar, maka
permohonannya dinyatakan batal demi hukum. Namun, apabila surat
pernyataan benar, maka Kepala Kantor Pertanahan langsung melakukan
pembayaran BPHTB dan PPh. Pendaftaran peralihan hak dilakukan
dalam jangka waktu 2 (dua) hari kerja sejak diterimanya permohonan
pendaftaran peralihan hak. (Pasal 6)
5. Pembayaran PBB dilaksanakan secara bersamaan dengan pendaftaran
peralihan hak. Pembayaran PBB dapat dilakukan oleh Pemohon dalam
waktu paling lama 1 (satu) hari kerja. (Pasal 7)
6. Permohonan pelayanan pengecekan sertifikat dan pelayanan pendaftaran
peralihan hak diterima setelah memenuhi persyaratan permohonan.
Dalam hal persyaratan permohonan belum lengkap, maka petugas loket
menginformasikan secara tertulis kepada pemohon mengenai
berkas-berkas yang harus dilengkapi. Permohonan yang telah memenuhi
persyaratan, kepada pemohon diberikan tanda terima. (Pasal 8)
Maka, seluruh proses sejak permohonan, ditargetkan selesai hanya
dalam waktu 8 hari kerja. Seperti yang diulas di duajurai.co, Menteri Ferry
Mursyidan Baldan berjanji kemudahan untuk mengurus HGB ini ke depannya
akan bisa dinikmati oleh semua kota di seluruh Indonesia. “Tapi ini akan
berlaku untuk semua secara perlahan di semua kota. Akan ada direktori yang
menyebutkan kota yangsudah menggunakan proses digitalisasi,” ucapnya.
Beberapa kota di luar Jawa yang sedang disiapkan untuk
menggunakan perizinan HGB secara online dengan waktu pengurusan yang
singkat antara lain Lombok, Mataram, dan Gorontalo. “Lombok, Mataram,
Ulasan artikel di bpn.go.id, menjelaskan percepatan layanan
meliputi lima kegiatan yakni pengecekan sertifikat, pembayaran Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Penghasilan
(PPh), pembuatan Akta Jual Beli, pendaftaran peralihan hak, dan pembayaran
Pajak Bumi dan Bangunan (Pasal 2).
Pengecekan sertifikat di Kantor Pertanahan paling lama satu hari
sejak diterimanya permohonan (Pasal 3). Pembayaran BPHTB dan PPh
dilakukan pada instansi yang berwenang dapat dilakukan paling lama dua hari
kerja (Pasal 4).
Sementara untuk proses pembuatan akte jual beli dan
pendaftarannya yang dilakukan oleh PPAT diberi waktu paling lama 2 (dua)
hari kerja sejak diterimanya permohonan pembuatan akta. Jika tidak
memenuhi ketentuan, maka dapat ditunjuk Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT) Khusus (Pasal 5). Dalam hal PPAT tidak memenuhi jangka waktu
tersebut, maka akan ditindak secara khusus.
Lantas, bagaimana kalau ternyata berkas yang disampaikan tidak
lengkap atau bermasalah? Karena dalam Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN
RI Nomor 8 Tahun 2016 ini hanya menekankan pada kewajiban PPAT, dan
tidak memberikan ruang bagi kelalaian yang diakibatkan oleh para pihak
yang hendak bertransaksi.
Mengenai kemungkinan penolakan karena adanya sengketa,
konflik, perkara ataupun masalah hukum lainnya, hanya diperuntukkan bagi
Pendaftaran peralihan hak baru bisa dilakukan setelah adanya
pengecekan sertifikat, pembayaran BPHTB dan PPh dan pembuatan Akta
Jual Beli. Untuk mempersingkat waktu, Kepala Kantor Pertanahan dapat
langsung memproses pendaftaran tanpa melakukan pengecekan pembayaran
BPHTB dan PPh (validasi). Sebagai gantinya, pemohon membuat surat
pernyataan bahwa pemohon telah melakukan pembayaran dan apabila
diketahui tidak benar, maka permohonannya dinyatakan batal. Pendaftaran
peralihan hak dilakukan dalam dua hari kerja sejak diterimanya permohonan.
Seluruh jangka waktu penyelesaian layanan terhitung sejak
penerimaan berkas lengkap dan pembayaran biaya telah lunas terbayar. Tidak
berlaku apabila diketahui adanya sengketa, konflik, perkara atau masalah
hukum lainnya. Jika dinyatakan lengkap. Pemohon akan diberi tanda terima.
Di zaman yang sudah serba online ini, Pasal 11 Peraturan Menteri
ATR/Kepala BPN RI Nomor 8 Tahun 2016 juga memfasilitasi pelayanan
pengecekan sertifikat dan pendaftaran peralihan hak pada kantor pertanahan
secara elektronik (online). Masyarakat bisa mendapatkan informasi
pertanahan, mengecek sampai di mana berkas-berkas perizinan yang
diajukannya, hingga status dan nilai tanah secara online.
Dari pengecekan status, informasi, juga berkaitan dengan peta,
transaksi jual beli tanah, dan informasi zona nilai tanah semuanya bisa dilihat
oleh masyarakat secara online.41
Dalam rangka membangun sistem pelayanan publik yang
berlandaskan pada prinsip keterbukaan serta memberikan kemudahan kepada
masyarakat dalam mengakses informasi, Badan Pertanahan Nasional RI
menyediakan layanan akses informasi pertanahan secara online.
Layanan informasi ini disediakan dalam berbagai bentuk media
informasi, yaitu KiosK atau anjungan informasi mandiri, website BPN RI,
SMS Informasi Pertanahan serta aplikasi BPN Go Mobile pada perangkat
berbasis android.
1. KiosK
KiosK merupakan anjungan informasi mandiri yaitu suatu media
informasi pertanahan yang tersedia di lobby atau ruang pelayanan Kantor
Pertanahan. Melalui KiosK, masyarakat dapat memperoleh berbagai
informasi secara mandiri dan gratis tanpa harus antri untuk bertemu
petugas di loket.
Informasi yang tersedia pada KiosK antara lain informasi jenis layanan
pertanahan beserta persyaratan, jangka waktu serta alur proses
penyelesaiannya, informasi biaya layanan serta simulasinya, informasi
bekas permohonan, informasi pegawai, informasi PPAT serta informasi
jadwal LARASITA.
41
Irma Devita, “Peralihan HGB Karena Jual Beli Harus Selesai Dalam 8 Hari Kerja”, diakses
Di samping itu, KiosK juga menyajikan informasi hasil layanan
pertanahan yang meliputi jumlah penerbitan setifikat, jumlah nilai jual
beli, jumlah nilai Hak Tanggungan, dan jumlah nilai BPHTB/PPh, serta
menjadi media bagi masyarakat atau pengguna layanan untuk
menyampaikan pengaduan.
2. Website
Media informasi online lainnya adalah website resmi BPN RI,
www.bpn.go.id. Melalui website ini disediakan berbagai fitur serta
informasi terkait dengan tugas pokok dan fungsi BPN RI. Terkait dengan
layanan pertanahan, tersedia 2 fitur layanan informasi yaitu informasi
tentang jenis layanan pertanahan beserta persyaratan, jangka waktu, alur
proses penyelesaiannya dan informasi biaya layanan beserta simulasinya,
serta informasi tentang berkas permohonan.
a. Informasi syarat, waktu, proses dan biaya layanan
Informasi ini menjelaskan tentang berbagai jenis layanan pertanahan
yang dilaksanakan oleh Kantor Pertanahan di seluruh Indonesia,
yang meliputi layanan pendaftaran tanah pertama kali (sertifikasi
tanah hak milik adat/tanah Negara), pemeliharaan data pendaftaran
tanah (perubahan subjek/pemegang hak maupun objek hak atas
tanah), pencatatan dan informasi pertanahan, pengukuran bidang
tanah serta layanan pengaturan dan penataan pertanahan.
Pada fitur ini, dapat diperoleh informasi mengenai persyaratan,
jangka waktu serta alur proses dari setiap layanan serta dapat
b. Informasi berkas permohonan
Layanan ini merupakan salah satu wujud komitmen BPN RI
menyelenggarakan layanan publik yang transparan dan akuntabel
serta menyediakan sistem layanan publik yang dapat diakses dengan
mudah, bebas biaya dan cepat.
Melalui fasilitas ini, masyarakat dapat memperoleh informasi status
penyelesaian berkasnya. Untuk melakukan pencarian berkas, pemilik
berkas harus mengisi form yang tersedia dengan benar dan memiliki
nomor PIN yang diberikan oleh Kantor Pertanahan untuk setiap
berkas permohonan. Nomor PIN ini dapat dilihat pada kuitansi
pembayaran berkas permohonan yang diberikan yang diberikan
kepada pemohon dan tercetak di bawag barcode.
Informasi yang bisa diperoleh adalah informasi tanggal masuk
berkas, jenis kegiatan, tanggal update berkas terakhir, status
permohonan (Selesai/Masih dalam Proses), nama pemilik, serta
nama dan alamat penerima berkas.
Dengan pelayanan ini, masyarakat diharapkan dapat mendapat
kemudahan dalam mendapatkan informasi status berkas
permohonannya cepat, mudah diakses tanpa mengabaikan akurasi
dan keamanan data.
3. Aplikasi BPN Go Mobile
Selain informasi melalui SMS Pertanahan “2409”, terdapat juga aplikasi
BPN Go Mobile yang tersedia pada perangkat komunikasi berbasis
Kantor Pertanahan Kota Surabaya II, untuk mempermudah masyarakat
mendapatkan informasi dengan cepat dan murah.
Melalui aplikasi BPN Go Mobile ini, masyarakat dapat memperoleh
informasi mengenai persyaratan dan biaya layanan pertanahan, jadwal
LARASITA serta informasi permohonan.42
42Badan Pert
anahan Nasional, “Layanan Informasi Online”, diakses dari
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Peralihan Hak atas tanah menurut Ketentuan Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 37 ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang menyebutkan :
“Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui
jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan
perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak
melalui lelang, hanya dapat didaftarkan, jika dibuktikan dengan akta yang
dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.” Maka, peralihan hak atas tanah ini
tidak lagi dilakukan di hadapan Kepala Adat ataupun Kepala Desa,
melainkan harus dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT) yang diangkat oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia berdasarkan syarat-syarat tertentu. Dan juga bahwa berdasarkan
UUPA, peralihan Hak Guna Bangunan diatur dalam Pasal 35 s/d Pasal 40
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA). Pengaturan lebih lanjut
mengenai Hak Guna Bangunan tersebut kemudian diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
2. Peranan PPAT dalam Peralihan Hak Guna Bangunan adalah merekam
segala perbuatan yang terjadi dalam peristiwa jual beli tanah untuk
memindahkan hak atas tanah dari satu pihak ke pihak lainnya dalam
bentuk akta jual beli tanah. Untuk dibuatkan akta jual beli tanah tersebut,
pihak yang memindahkan hak, harus memenuhi syarat yaitu berwenang
memindahkan hak tersebut, sedangkan pihak yang menerima harus
memenuhi syarat subjek dari tanah yang akan dibelinya itu, serta harus
disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi. Dan apabila PPAT
dituntut oleh pihak ketiga yang merasa dirugikan ataupun diminta sebagai
saksi di Pengadilan, maka hal tersebut hanya sebatas dimintakan
keterangan sehubungan dengan akta yang dibuatnya, disamping itu PPAT
pun dapat meminta perlindungan hukum/upaya pembelaan kepada IPPAT
sebagai suatu organisasi profesi dimana ia bernaung. Dalam hal ini, posisi
PPAT sebatas sebagai saksi dan PPAT tidak bertanggunggugat atas
ketidakbenaran materiil yang dikemukakan oleh para pihak, apabila
kesalahan disebabkan oleh para pihak. Tetapi apabila PPAT terbukti
bersalah, maka ia dapat dikenakan sanksi administratif maupun sanksi
pidana, juga tidak tertutup kemungkinan dituntut ganti rugi oleh pihak
yang dirugikan secara perdata.
3. Akibat Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 atas penunjukan
wilayah-wilayah tertentu terhadap wilayah-wilayah di luar yang ditetapkan adalah bahwa
wilayah di luar yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri tersebut di atas,
Guna Bangunan yaitu Pasal 38 Undang-undang No. 5 Tahun 1960 yang
diatur lebih lanjut dalam Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun
1996 yang mengatur mengenai peralihan Hak Guna Bangunan yang pada
umumnya dapat memakan waktu sekitar 30 hari sampai 1,5 bulan untuk
dapat menyelesaikan proses peralihan Hak Guna Bangunan tersebut dan
mendapatkan izin/sertifikat Hak Guna Bangunan.
B. Saran
1. Pemerintah dapat mengembangkan sistem pelayanan peralihan Hak Guna
Bangunan berdasarkan Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN RI Nomor 8
Tahun 2016 secara lebih luas lagi, melebihi Jakarta, Bandung, Semarang,
Yogyakarta, dan Surabaya untuk memudahkan masyarakat Indonesia
dalam berinvestasi, dan berbisnis, serta untuk memajukan pembangunan
di Indonesia.
2. PPAT harus dapat memenuhi ketentuan untuk menyelesaikan proses
pembuatan Akta Jual Beli dan pendaftarannya secara tepat waktu agar
Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN RI Nomor 8 Tahun 2016 yang
dikeluarkan, dapat berjalan efektif dan untuk menghindarkan PPAT dari
sanksi yang akan dikenakan apabila tidak memenuhi ketentuan tersebut.
3. PPAT harus menolak pembuatan Akta Jual Beli apabila diketahui surat
pernyataan telah melakukan pembayaran BPHTB dan PPh dari pemohon
adalah tidak benar, dan juga apabila diketahui adanya sengketa, konflik,
perkara, atau masalah hukum lainnya, maka permohonan pendaftaran
BAB II
PERALIHAN HAK ATAS TANAH MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997
A. Tinjauan Umum Mengenai Peralihan Hak Atas Tanah
Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi
yang disebut permukaan bumi. Tanah yang dimaksudkan di sini bukan
mengatur tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu
aspeknya yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang disebut hak.
Tanah sebagai bagian dari bumi disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1)
UUPA yaitu atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud
dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi
yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh
orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta
badan-badan hukum.11
Pengertian peralihan hak atas tanah adalah beralihnya atau
berpindahnya hak kepemilikan sebidang tanah atau beberapa bidang tanah
dari pemilik semula kepada pemilik yang baru karena sesuatu atau perbuatan
hukum tertentu. Perbuatan hukum pemindahan hak bertujuan untuk
memindahkan hak atas tanah kepada pihak lain untuk selama-lamanya (dalam
hal ini subjek hukumnya memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas
tanah).12
Peralihan hak atas tanah bisa terjadi karena pewarisan tanpa wasiat
dan perbuatan hukum pemindahan hak, yakni akan diterangkan sebagai
berikut :
a. Pewarisan tanpa wasiat
Menurut hukum perdata, jika pemegang sesuatu hak atas tanah
meninggal, maka hak tersebut karena hukum beralih kepada ahli
warisnya.
b. Pemindahan hak
Berbeda dengan beralihnya hak atas tanah karena pewarisan tanpa wasiat
yang terjadi karena peristiwa hukum dengan meninggalnya pemegang
hak, dalam perbuatan hukum pemindahan hak, hak atas tanah yang
bersangkutan sengaja dialihkan kepada pihak lain. Bentuk pemindahan
haknya dapat berupa :
• Pewarisan dari ayah atau ibu kepada anak atau dari kakek-nenek
kepada cucu atau dari adik kepada kakak atau sebaliknya kakak
kepada adiknya dan lain sebagainya.
• Hibah yaitu pemberian dari seseorang kepada orang lain.
• Jual beli yaitu tanah tersebut dijual kepada pihak lain. Acara jual beli
banyak tergantung dari status subjek yang ingin menguasai tanah dan
status tanah yang tersedia misalnya apabila yang memerlukan tanah
merupakan suatu Badan Hukum Indonesia sedangkan tanah yang
tersedia berstatus Hak Milik maka secara acara Jual Beli tidak bisa
dilaksanakan karena akan mengakibatkan jual belinya batal demi
hukum, karena Badan Hukum Indonesia tidak dapat menguasai tanah
Hak Milik. Namun kenyataannya dalam praktek, cara peralihan hak
dengan jual beli adalah yang paling banyak ditempuh.
• Tukar menukar antara bidang tanah yang satu dengan bidang tanah
yang lain, dalam tukar menukar ini bisa ada unsur uang dengan suatu
pembayaran yang merupakan kompensasi kelebihan atas nilai/harga
tanah yang satu dengan yang lainnya, bisa juga tanpa ada unsur uang
karena nilai tanah yang satu dengan yang lainnya sama.
• Pembagian hak bersama bisa terjadi karena hak yang ada terdaftar
atas nama beberapa orang sehingga untuk lebih memperoleh
kepastian hukum, para pihak melakukan pembagian atas bidang
tanah yang mereka miliki bersama-sama.
• Pemasukan dalam perseroan yang menyebabkan hak atas tanahnya
berubah menjadi atas nama perseroan dimana seseorang tersebut
menyerahkan tanahnya sebagai setoran modal dalam perseroan
tersebut.
• Pelepasan hak, dilakukan karena calon pemegang hak yang akan
menerima peralihan hak atas tanah tersebut adalah bukan orang atau
pihak yang merupakan subjek hukum yang dapat menerima
peralihan hak atas tanah yang akan dialihkan tersebut, sebagai
contoh, tanah yang akan dialihkan kepad suatu Badan Hukum
dilakukan karena Badan Hukum Indonesia bukanlah subjek hukum
yang dapat menerima peralihan hak atas tanah dengan status hak
milik.
• Lelang, umumnya dilakukan jika tanah yang akan dialihkan tersebut
susah untuk menemukan calon pembeli atau tanah tersebut
merupakan jaminan pada bank yang sudah dieksekusi lalu mau dijual.
• Peralihan karena penggabungan atau peleburan perseroan yang
menyebabkan ikut beralihnya hak atas tanah yang merupakan asset
perseroan yang diambil alih tersebut.
Jual beli, tukar menukar, hibah, dan pemasukan dalam perusahaan,
demikian juga pelaksanaan hibah wasiat, dilakukan oleh para pihak di
hadapan PPAT, yang bertugas untuk membuat aktanya, dengan
demikian perbuatan hukum yang bersangkutan di hadapan PPAT
terpenuhi. Untuk memperoleh surat bukti yang lebih kuat dan lebih luas
daya pembuktiannya, pemindahan haknya didaftarkan pada Kantor
Pertanahan setempat, letak tanah tersebut berada, dengan tujuan :
• Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum
kepada pemegang hak yang terdaftar haknya, agar dengan mudah
dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang
bersangkutan.
• Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang
berkepentingan termasuk Pemerintah, agar dengan mudah dapat
hukum mengenai bidang-bidang tanah tertentu dan Satuan Rumah
Susun yang terdaftar.
• Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
Peralihan hak atas tanah dapat hapus dikarenakan sebagai berikut :
a. Berakhirnya jangka waktu yang bersangkutan sebagaimana ditetapkan
dalam sertifikat haknya menjadi hapus.
b. Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang karena tidak dipenuhinya oleh
pemegang hak yang bersangkutan kewajiban-kewajiban tertentu atau
dilanggarnya suatu larangan, tidak dipenuhinya syarat-syarat atas
kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam perjanjian-perjanjian
pemberian pemegang hak dan putusan pengadilan.
c. Bila subjek hak tidak lagi memenuhi syarat atau tidak dipenuhinya suatu
kewajiban dalam waktu satu tahun pemindahan / peralihan hak milik atas
tanah tidak dilepaskan atau tidak dialihkan, maka hapus karena hukum.
d. Dil