i
DAFTAR ISI
ii
5
4.4 Sarana dan prasarana ... HASIL DAN PEMBAHASAN ...
iii
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Produksi perikanan tangkap perKecamatan di Kota Dumai.……… 2 2 Kriteria penilaian selektifitas alat tangkap berdasarkan Mesh Sizealat tangkap di perairan Kota Dumai Provinsi Riau... 26
3 Jumlah nelayan berdasarkan kategori usaha di perairan pesisir Kota Dumai...
31
4 Perahu/kapal berdasarkan jenis/ukuran di perairan pesisir Kota Dumai tahun 2000-2006...……….
32
5 Jumlah unit alat tangkap berdasarkan jenis alat tangkap di perairan pesisir Kota Dumai tahun 2000-2006………...
32
6 Produksi, upaya penangkapan dan produktifitas sondong di perairan Kota Dumai…………..………...
41
7 Produksi, upaya penangkapan dan produktifitas rawai tetap/dasar di perairan Kota Dumai………..……….
42
8 Produksi, upaya penangkapan dan produktifitas gombang di perairan Kota Dumai…………..……….
44
9 Modal usaha penangkapan ikan di perairan Kota Dumai………….. 45 10 Analisis usaha unit penangkapan di perairan Kota Dumai... 46 11 Nilai kriteria investasi unit penangkapan ikan di perairan Kota
Dumai……….. 47
12 Hasil skoring dan standarisasi setiap fungsi nilai aspek biologi unit penangkapan demersal di perairan Kota Dumai...
48
13 Hasil skoring dan standarisasi setiap fungsi nilai aspek teknis unit penangkapan demersal di perairan Kota Dumai...
49
14 Hasil skoring dan standarisasi setiap fungsi nilai aspek sosial unit penangkapan demersal di perairan Kota Dumai...
50
15 Hasil skoring dan standarisasi setiap fungsi nilai aspek ekonomi pada kriteria kelayakan usaha unit penangkapan demersal di perairan Kota Dumai...
iv
16 Hasil skoring dan standarisasi setiap fungsi nilai aspek ekonomi pada kriteria kelayakan investasi unit penangkapan demersal di perairan Kota Dumai...
51
17 Rangkuman penilaian standarisasi aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi unit penangkapan ikan demersal di perairan Kota Dumai...
v
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Diagram kerangka pemikiran penelitian ... 5 2 Diagram alir analisis sumberdaya ikan……..………..…... 19 3 Diagram alir analisis finansial... 24 4 Diagram alir analisis unit penangkapan ikan ...………... 27 5 Sondong (Scoopnet)... 33 6 Rawai tetap/dasar (Bottom Long line)... 34 7 Gombang (Portable Trap)………. 35 8 Perkembangan produksi ikan demersal di perairan Kota Dumai…….. 38 9 Perkembangan upaya penangkapan ikan demersal di perairan Kota
Dumai... 39
10 Hubungan upaya penangkapan terhadap produksi dengan pendekatan Schaefer...
39
11 Hubungan upaya penangkapan terhadap CPUE dengan pendekatan Schaefer...
40
12 Status produksi dan upaya penangkapan ikan demersal di perairan Kota Dumai...
40
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 2
Peta lokasi penelitian... Perhitungan hasil tangkapan (catch) dan upaya penangkapan (effort) masing-masing alat tangkap ikan demersal di perairan Kota Dumai Tahun 2000-2006 dengan Metode Surplus Produksi ...…...…...
67 68
3 Perhitungan nilai Fishing Power Indeks (FPI) masing-masing alat tangkap ikan demersal ………....
69
4 Perhitungan standarisasi upaya penangkapan alat tangkap ikan demersal ...
70
5 Perhitungan upaya penangkapan optimum, Maximum Sustainable Yield (MSY), CPUE optimum, tingkat pengupayaan (effort) dan tingkat pemanfaatan ikan demersal ………....
71
6 Perhitungan MSY dan fmsy ikan demersal di perairan Kota Dumai dalam unit upaya standar alat tangkap sondong (Scoopnet)...………
72
7 Perhitungan analisis anova untuk mengetahui intercept (a), dan slope (b) pada upaya penangkapan optimum dan Maximum Sustainable Yield ikan demersal ………....
73
8 Deskripsi dan analisis biaya unit penangkapan sondong (Scoopnet)...
74
9 Deskripsi dan analisis biaya unit penangkapan rawai dasar (Bottom long line)...
75
10 Deskripsi dan analisis biaya unit penangkapan gombang (Portable trap)...
76
11 Analisis aspek sosial pada unit penangkapan ikan di perairan Kota Dumai...
77
12 Perhitungan analisis kelayakan usaha unit penangkapan ikan ….... 78 13 Perhitungan proyeksi kelayakan finansial Unit Penangkapan
Sondong(Scoopnet)... 79
14 Perhitungan proyeksi kelayakan finansial unit penangkapan rawai dasar (Bottom long line)...
viii
15 Perhitungan proyeksi kelayakan finansial unit penangkapan gombang (Portable trap)...
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Provinsi Riau merupakan salah satu Provinsi di Indonesia yang mempunyai daratan dan lautan, serta memiliki pulau-pulau kecil yang terbentang di sepanjang Selat Malaka. Jika dilihat dari letaknya Provinsi Riau berada dijalur lintas perdagangan dunia dan bersebelahan dengan Negara tetangga Malaysia dan Singapura.
Kota Dumai merupakan salah satu kota di Provinsi Riau yang terletak di Pesisir pulau Sumatera. Sebagian besar masyarakat Pesisir Kota Dumai bermata pencaharian sebagai nelayan kecil/ tradisional, yang tersebar di empat kecamatan yakni Dumai Barat, Dumai Timur, Medang Kampai dan Sungai Sembilan. Adapun jumlah nelayan sampai dengan tahun 2007 tercatat 498 Rumah Tangga Perikanan (RTP) atau setara 1.156 jiwa (Data statistik Perikanan Kota Dumai tahun 2007). Di Perairan Kota Dumai nelayan dominan mengoperasikan beberapa unit penangkapan ikan demersal diantaranya, gombang (portable trap), sondong/tangguk (scoopnet), Rawai dasar (bottom long line), dari berbagai jenis alat tangkap tersebut perlu dilakukan suatu pengkajian tentang unit penangkapan yang paling tepat untuk dikembangkan di perairan Kota Dumai.
Dengan bergulirnya otonomi daerah maka seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Riau saat ini berbenah untuk mengembangkan dan menggali potensi masing-masing wilayah. Salah satu potensi yang dapat meningkatkan pendapatan asli daerah dan meningkatkan taraf hidup nelayan adalah pengembangan sektor perikanan dan kelautan. Pengembangan sektor perikanan dan kelautan merupakan jawaban yang tepat dalam menghadapi tantangan dimasa yang akan datang.
2
Teknologi perikanan tangkap yang berbasis sumberdaya sangat diperlukan dalam pengembangan perikanan tangkap secara optimal. Perlu adanya pengkajian yang mendalam untuk mendapatkan unit penangkapan ikan yang berbasis sumberdaya. Tujuan utama memilih unit penangkapan ikan yang berbasis sumberdaya dalam rangka pengembangan perikanan tangkap untuk pemberdayaan nelayan. Unit penangkapan ikan yang unggul ataupun layak dikembangkan yang memiliki kriteria :1) bila ditinjau dari segi biologi teknologi penangkapan yang akan dikembangkan tidak merusak atau mengganggu kelestarian sumberdaya, 2) secara teknis efektif digunakan, 3) dari segi sosial dapat diterima oleh masyarakat nelayan dan 4) secara ekonomi teknologi tersebut bersifat menguntungkan (Haluan dan Nurani 1993).
Terjadi penurunan produksi perikanan pada tahun 2004 - 2006 jika dibandingkan produksi pada tahun 2000 – 2003 (Tabel 1). Sehingga perlu adanya kajian yang mendalam tentang status pemanfaatan sumberdaya ikan, dengan harapan penelitian ini dapat memberikan informasi tentang pengembangan perikanan tangkap yang berbasis sumberdaya dengan menggunakan unit penangkapan ikan yang layak sehingga dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat nelayan.
Tabel 1 Produksi perikanan tangkap Perkecamatan di Kota Dumai Tahun
Kecamatan Produksi (ton)
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Dumai Barat 194.590 228.814 377.979 423.000 384.36 657.10 705.94 Dumai Timur 46.218 54.487 89.995 101.000 91.52 121.50 140.98
Bukit Kapur - - -
Medang Kampai 279.367 329.608 485.973 544.000 567.39 385.02 334.92 Sei. Sembilan 411.943 486.561 843.953 946.000 787.03 547.58 601.66 Jumlah 931.590 1.099.50 1.799.90 2.014.60 1.830.30 1.711.20 1.783.50 Sumber: Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan 2007
Pengetahuan akan potensi dan tingkat pemanfaatan dari sumberdaya perikanan di suatu perairan merupakan informasi penting untuk membuat suatu perencanaan pengembangan perikanan dan pengkajian sumberdaya diperlukan untuk menentukan besarnya upaya yang dapat dilakukan di suatu perairan sehingga kondisi lingkungan perairan tetap terjaga.
1.2 Rumusan Masalah
3
besar pula namun, terdapat beberapa tantangan antara lain, tingkat pendidikan yang rendah, keterampilan, tingkat kesejahteraan nelayan rendah serta unit penangkapan yang digunakan masih berskala kecil/tradisional.
Hasil produksi perikanan tangkap berdasarkan data Statistik Dinas Perikanan Kota Dumai diketahui bahwa produksi perikanan tangkap mengalami penurunan dibandingkan produksi hasil tangkapan pada tahun 2000 - 2004 sehingga perlu dilakukan pengkajian terhadap potensi sumberdaya ikan seperti tingkat pemanfaatan, upaya penangkapan (effort), dan potensi lestari maximum sustainable yield (MSY). Perlu adaya evaluasi unit penangkapan ikan berdasarkan pertimbangan dari berbagai aspek diantaranya biologi, teknis, sosial dan ekonomi dari unit penangkapan yang dominan digunakan oleh masyarakat nelayan di perairan Kota Dumai. Pengevaluasian tersebut berguna untuk menentukan unit penangkapan ikan yang berbasis sumberdaya dan dapat dikembangkan secara optimal.
Dengan mengkaji status potensi sumberdaya ikan dan unit penangkapan ikan yang layak guna/unggulan maka dapat diketahui strategi pengembangan perikanan yang baik dimasa yang akan datang, sehingga sumberdaya perikanan dapat dimanfaatkan secara optimal serta dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan nelyan.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1) Mengkaji status pemanfaatan sumberdaya ikan diperairan Kota Dumai Provinsi Riau.
2) Mengkaji unit penangkapan ikan yang layak dikembangkan dan berbasis sumberdaya berdasarkan parameter biologis, teknis, sosial, dan ekonomi sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
4
2) Sebagai bahan masukan bagi pemerintah daerah dalam membuat suatu perencanaan pengembangan perikanan tangkap di perairan Kota Dumai Provinsi Riau.
1.5 Kerangka Pemikiran
Kota Dumai merupakan salah satu kota yang terletak dipesisir pulau sumatera dan memiliki letak yang sangat strategis sebagai pusat perdagangan nasional maupun internasional dan bersebelahan dengan negara tetangga Malaysia dan Singapura, dengan bergulirnya otonomi daerah saat ini maka setiap daerah berusaha untuk mengembangkan potensi daerahnya masing-masing.
Sektor perikanan cukup besar andilnya dalam hal penyediaan pangan khususnya protein hewani yang berasal dari ikan, untuk mengantisipasi meningkatnya kebutuhan akan ikan, baik bagi pasar lokal maupun ekspor. Diharapkan pengembangan perikanan tangkap dapat mengimbangi jumlah kebutuhan akan pangan, serta dengan unit penangkapan yang tepat guna maka dapat meningkatkan taraf hidup nelayan.
Peluang pengembangan perikanan tangkap cukup besar namun tantangan yang dihadapi juga cukup besar antara lain tingkat pendidikan, keterampilan, taraf hidup dan kesejahtaraan nelayan masih rendah, alat tangkap masih secara sederhana (tradisional). Perencanaan yang baik bagi pengembangan perikanan yang berbasis sumberdaya demersal dapat berupa pembatasan unit penangkapan, pembatasan musim penangkapan atau perluasan daerah fishing ground sangat mendukung keberhasilan tujuan perikanan dimasa yang akan datang untuk tujuan ini diperlukan penelaahan perikanan tangkap secara rasional maka diperlukan data dan informasi mengenai besarnya potensi yang dapat dimanfaatkan, status pemanfaatan sumberdaya perikanan serta unit penangkapan ikan yang tepat dan unggul agar sumberdaya perikanan tetap lestari, hal ini akan dikaji lebih lanjut dalam tesis ini.
5
dikembangkan diperairan Kota Dumai Provinsi Riau serta dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat nelayan.
[image:35.612.132.527.188.518.2]Diagram kerangka pemikiran penelitian pengembangan perikanan tangkap berbasis sumberdaya demersal di Perairan Kota Dumai Provinsi Riau, dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Diagram kerangka pemikiran penelitian Kondisi Perikanan
Tangkap di Perairan Kota Dumai
Permasalahan - Pendidikan - SDM
- Produktifitas - Pendapatan
Potensi Perikanan Kota Dumai
Perikanan Demersal
Pengembangan Perikanan Tangkap unggulan Yang Berkelanjutan Di Perairan Kota Dumai Provinsi Riau
Unit Penangkapan Ikan Unggulan Seleksi
Aspek Biologi
Aspek Ekonomi Aspek
Sosial Aspek
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan
Pengelolaan perikanan menurut FAO (2002) adalah proses yang terpadu antara pengumpulan informasi, melakukan analisis, membuat perencanaan, melakukan konsultasi, pengambilan keputusan, menentukan alokasi sumberdaya serta perumusan dan pelaksanaan, bila diperlukan mengunakan penegakan hukum dari peraturan yang mengendalikan kegiatan perikanan dengan tujuan untuk menjamin kelangsungan produksi dari sumberdaya dan tercapainya tujuan perikanan lainnya. Pengelolaan perikanan bertujuan untuk menjamin hasil dari sumberdaya alam yang optimal bagi masyarakat setempat, daerah dan negara yang diperoleh dari pemanfaatan sumberdaya ikan secara berkelanjutan.
Dengan visi dan misi pembangunan kelautan dan perikanan Indonesia yang memiliki salah satu strategi pemanfaatan sumberdaya dan jasa lingkungan secara optimal, efisien, dan berkelanjutan (tingkat laju pembangunan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan disetiap kawasan harus disesuaikan dengan daya dukung lingkungan dan secara ekonomis menguntungkan) guna meningkatkan kemakmuran rakyat menuju terwujudnya bangsa Indonesia yang sejahtera, maju, dan mandiri. Pengembangan sistem informasi kelautan yang meliputi distribusi potensi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya kelautan, rehabilitasi dan penataan ruang wilayah pesisir sesuai karakteristik biofisik dan pertimbangan sosial, ekonomi dan budaya (Dahuri 2000).
7
benar tentang konservasi dan pengelolaan sumberdaya perikanan (Nikijuluw 2002).
Undang-undang No. 31 tahun 2004 tentang perikanan menyebutkan bahwa tujuan pengelolaan sumberdaya ikan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya nelayan dan sekaligus untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungannya. Hasil tangkapan nelayan akan sangat tergantung pada tingkat upaya penangkapan yaitu: (1) upaya penangkapan nominal, (2) upaya penangkapan efektif. Upaya penangkapan diukur berdasarkan jumlah nominalnya antara lain dengan satuan jumlah kapal, alat tangkap maupun trip penangkapan yang distandarisasikan dengan satuan baku. Sementara itu upaya penangkapan efektif diukur berdasarkan besarnya dampak yang ditimbulkan terhadap kelimpahan sediaan ikan atau laju kematian karena kegiatan penangkapan (Purwanto 1990).
Pengelolaan sumberdaya perikanan perlu dilakukan karena : (1) Perikanan merupakan sumberdaya hayati yang dapat diperbaharui (renewable), namun dapat mengalami kepunahan; (2) Sumberdaya ikan dikenal sebagai sumberdaya milik bersama yang rawan terhadap overfishing; (3) Pemanfaatan sumberdaya ikan dapat merupakan sumberdaya konflik; (4) Usaha penangkapan harus menguntungkan dan mampu memberi kehidupan yang layak bagi para nelayan dan pengusahaannya. (5) Kemampuan modal, teknologi dan akses informasi yang berbeda antar nelayan menimbulkan kesenjangan dan konflik; dan (6) Usaha penangkapan ikan dapat menimbulkan konflik dengan subsektor lainnya, khususnya dalam zona atau tata ruang pesisir dan laut. Maka pengembangan usaha perikanan harus ditinjau dari pendekatan Bio-Technico-Socio-Economic. Oleh karena itu ada 4 aspek yang harus dipenuhi oleh suatu jenis teknologi penangkapan ikan yang dapat dikembangkan, yaitu dari segi biologi tidak merusak atau mengganggu kelestarian sumberdaya; dari segi teknis efektif untuk digunakan; dari segi sosial diterima oleh masyarakat nelayan; dan dari segi ekonomi bersifat menguntungkan (Purbayanto 1991).
2.2 Potensi Sumberdaya
8
sekitar 6,1 juta ton ikan yang dapat ditangkap secara lestari sepanjang tahun. Pemanfaatan potensi ini sudah sekitar 60%. Persentase ini merupakan lampu kuning karena berdasarkan tanggung jawab komitmen internasional mengenai perikanan yang dibuat food and Agriculture Organization (FAO) dan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF), hanya sekitar 80% ikan yang boleh ditangkap. Itu berarti hanya tersisa ruang sekitar 20% penambahan produksi penangkapan ikan sepanjang tahun (Nikijuluw 2002).
Gejala over-eksploitasi dapat ditandai dengan menurunnya hasil tangkapan per satuan upaya, semakin kecil ukuran ikan yang ditangkap dan bergesernya daerah penangkapan ke daerah yang lebih jauh dari pantai (Gulland 1988).
Dalam menganalisis sumberdaya ikan, penentuan ukuran stok merupakan langkah penting dalam mempelajari berbagai stok terutama yang telah diusahakan. Hasil analisis akan sangat berguna bagi perencanaan pemanfaatan, pengembangan dan perumusan strategi pengelolaan. Untuk mengestimasi besarnya kelimpahan (biomassa) dan estimasi potensi dari suatu jenis atau kelompok jenis sumberdaya ikan dapat digunakan metode Surplus Produksi. Metode ini didasarkan pada asumsi bahwa CPUE (C/f) merupakan fungsi dari effort (f) baik bersifat linear (model Schaefer) maupun eksponensial (model Fox) (Widodo et al 1998).
Secara umum sumberdaya perikanan dapat dikelompokan kedalam empat kelompok yaitu sumberdaya ikan demersal, sumberdaya pelagis kecil, sumberdaya pelagis besar dan sumberdaya biota laut (Naamin, 1987). Sumberdaya ini apabila dalam eksploitasinya tidak memenuhi aturan atau melampaui produksi tahunan bersih, maka kehancuran sumberdaya menjadi tinggi. Hal ini berarti bahwa sumberdaya tersebut akan menipis atau terkuras dengan berjalannya waktu (Baskoro et al 2004).
Pada analisis CPUE Maunder (2001) menyatakan bahwa yang terpenting adalah CPUE dari semua tipe alat tangkap yang dioperasikan pada areal yang sama harus dibandingkan terhadap tipe alat tangkap standar.
9
berdasarkan pada asumsi bahwa tingkat pertumbuhan netto dari stok berhubungan dengan biomassanya (King 1995).
Penentuan potensi lestari (MSY) dan upaya optimum hanya dapat dilakukan jika parameter b pada persamaan Z = a + bX bernilai negatif, yang artinya penambahan effort akan menyebabkan penurunan produktivitas (CPUE). Jika diperoleh slope b bernilai positif maka tidak dapat ditentukan besarnya pendugaan stok maupun effort optimum, tetapi dapat disimpulkan bahwa jumlah effort masih dapat ditingkatkan untuk memperbesar produksi hasil tangkapan (Sparre and Venema 1992).
2.3 Pengembangan Perikanan Tangkap Berbasis Sumberdaya
Perikanan tangkap adalah kegiatan ekonomi dalam bidang perikanan atau pengumpulan hewan atau tanaman air yang hidup di laut atau perairan umum secara bebas. Hal tersebut menunjukan bahwa kegiatan perikanan bertujuan untuk mendapatkan keuntungan baik secara finansial maupun untuk memperoleh nilai tambah lainnya seperti penyerapan tenaga kerja, pemenuhan kebutuhan terhadap protein hewani, devisa serta pendapatan negara (Monintja 1994).
Pembangunan perikanan berkaitan erat dengan proses pemanfaatan sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya dana yang tersedia. Berdasarkan sifat sumberdaya alamnya, pengembangan usaha perikanan tangkap sangat tergantung pada ketersediaan sumberdaya perikanan di suatu perairan. Fluktuasi kegiatan usaha perikanan pada akhirnya mempengaruhi nelayan yang beroperasi di sekitar tersebut (Syafrin 1993).
10
pengelolaan perikanan adalah pemerintah, nelayan, dan stakeholders lain yang terkait, dengan manfaat menjamin agar sektor perikanan dapat memberikan manfaat yang optimal bagi para stakeholder baik generasi sekarang maupun yang akan datang, serta terciptanya perikanan yang bertanggung jawab.
Pengembangan perikanan tangkap yang didasari sumberdaya yang ada pada dasarnya bertujuan untuk memanfaatkan sumberdaya bagi pencapaian sasaran-sasaran pembangunan perikanan yang berkelanjutan, secara sistematis dan berencana berupaya mencegah terjadinya ekploitasi sumberdaya secara berlebihan serta berupaya menghambat menurunnya mutu dan rusaknya habitat/ ekosistem penting, akibat ulah manusia. Ekploitasi berlebih dan rusaknya habitat penting pada gilirannya dapat menurunkan kondisi sosial ekonomi masyaraka, yang dapat menjurus pada kemiskinan (Cholik dan Budiharjo 1993).
Pengembangan jenis teknologi penangkapan ikan di Indonesia perlu diarahkan agar dapat menunjang tujuan-tujuan pembangunan umum perikanan, syarat-syarat yang harus dipenuhi menurut Monintja (2003) yaitu :
(1) menyediakan kesempatan kerja yang banyak ;
(2) menjamin pendapatan yang memadai bagi para tenaga kerja atau nelayan; (3) menjamin jumlah produksi yang tinggi untuk menyediakan protein;
(4) mendapatkan jenis ikan komoditi ekspor atau jenis ikan yang bisa di ekspor; (5) tidak merusak kelestarian sumberdaya ikan.
Penerapan teknologi modern pada sarana dan teknik-teknik yang di pakai, termasuk alat penangkapan ikan, perahu atau kapal dan alat bantu lainnya yang di sesuaikan dengan kondisi masing-masing tempat. Namun tidak semua modernisasi dapat menghasilkan peningkatan produksi dan peningkatan pendapatan bersih (net income) nelayan. Oleh karena itu introduksi teknik-teknik penangkapan ikan yang baru harus di dahului dengan penelitian dan percobaan yang intensif dengan hasil yang meyakinkan (Wisudo et al 1994).
11
pengelolaan dan pengembangan tersebut juga harus mempertimbangkan aspek biologi, teknis, sosial, budaya dan ekonomi (Barus et al 1991).
Demikian pula menurut Suyendi (2007) pengembangan jenis teknologi penangkapan ikan di Indonesia perlu diarahkan agar dapat menunjang tujuan umum pembangunan perikanan. Apabila hal ini dapat disepakati, maka syarat-syarat pengembangan teknologi penangkapan ikan di Indonesia hendaklah memenuhi kriteri berikut:
(1) Menyediakan kesempatan kerja yang baik
(2) Menjamin pendapatan yang memadai bagi para tenaga kerja atau nelayan (3) Menjamin jumlah produksi yang tinggi untuk penyediaan protein hewani (4) Mendapatkan jenis ikan komoditi ekspor atau jenis ikan biasa diekspor (5) Tidak merusak kelestarian sumberdaya ikan
Pengembangan perikanan tangkap juga tidak dapat dipicu terus menerus tanpa melihat batas kemampuan sumberdaya yang ada ataupun daya dukungnya, upaya pengendalian sangat diperlukan dan diterapkan sehingga menjadi perikanan yang berkelanjutan, sehingga kelestarian sumberdaya dan kegiatan perikanan dapat berlangsung terus-menerus.
2.4 Teknologi Penangkapan Ikan Unggulan
Dengan teknologi penangkapan yang unggul dan berbasis sumberdaya diharapkan dapat menunjang kegiatan perikanan, sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia, menjaga kelangsungan serta dapat meningkatkan tarap hidup manusia sebagai pengguna teknologi.
Seleksi teknologi penangkapan ikan menurut Haluan dan Nurani (1988), dapat dilakukan melalui pengkajian-pengkajian aspek bio-technico-socio-economic- approach”, yaitu :
1) Dari segi biologi teknologi penangkapan yang akan dikembangkan tidak merusak atau mengganggu kelestarian sumberdaya.
2) Secara teknis teknologi yang digunakan efektif
3) Dari segi sosial dapat diterima masyarakat nelayan dan 4) Secara ekonomi bersifat menguntungkan
12
merusak kelestarian sumberdaya perikanan. Kelestarian sumberdaya perikanan akan senantiasa terjaga, seandainya penggunaan suatu teknologi penangkapan ikan memperhatikan kondisi biologi dari suatu sumberdaya perikanan. Teknologi penangkapan erat hubungannya dengan berbagai aspek atau faktor-faktor yang bersifat biologi yang berkaitan dengan hasil tangkapan ikan dan peluang pengembangan penangkapan secara keseluruhan (Baskoro 2002).
Nurani (1987) mengatakan aspek teknis merupakan aspek yang berhubungan dengan pengoperasian penangkapan ikan meliputi proses produksi, karakteristik produksi, sistem usaha dan lokasi dari unit produksi. Penggunaan teknologi penangkapan ikan dari segi teknis harus menggambarkan sebuah teknologi penangkapan ikan yang efektif. Efektivitas suatu unit penangkapan ikan dapat dikaitkan dengan tingginya produktivitas dari suatu unit penangkapan ikan. Analisis aspek sosial perikanan tangkap menurut Nurani (1987) meliputi penyerapan tenaga kerja per unit penangkapan atau jumlah tenaga kerja per unit penangkapan, penerimaan per unit penangkapan atau penerimaan nelayan yang diperoleh dari hasil per unit yaitu hasil bagi antara sistem bagi hasil dengan jumlah nelayan personil penangkapan, dan kemungkinan kepemilikan unit tangkap ikan untuk nelayan yang diperoleh dari penerimaan nelayan per tahun dibagi investasi dari setiap unit penangkapan.
Aspek ekonomi merupakan aspek yang menjadi indikator kesejahteraan nelayan, Pertimbangan ekonomis menurut Sainsbury (1996) merupakan faktor utama dalam pemilihan metode dan alat tangkap ikan. Suatu metode harus mampu menangkap dan memberikan jumlah ikan yang cukup bagi pasar untuk memberikan keberlanjutan usaha. Aspek ekonomi yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan teknologi penangkapan ikan adalah besarnya modal investasi; besarnya modal kerja; proyeksi hasil tangkapan/pengembalian modal.
13
Soekartawi (1995) pendapatan adalah selisih antara penerimaan dengan semua biaya yang dikeluarkan selama melakukan usahanya. Untuk mencapai tingkat pendapatan nelayan yang tinggi dapat dilakukan dengan mengkombinasikan berbagai faktor, akan tetapi pada umumnya kemampuan nelayan sangat terbatas dalam mengkombinasikan berbagai faktor tersebut hal ini disebabkan :
(1) Penguasaan sumberdaya.
(2) Kemudahan untuk mendapatkan tenaga kerja manusia dan tenaga kerja mekanik.
(3) Kemampuan memperoleh modal usaha.
(4) Kemudahan memasarkan hasil produksi dengan harga yang wajar.
Kegiatan usaha merupakan suatu kegiatan yang dapat direncanakan dan dilaksanakan dalam suatu bentuk kesatuan dengan menggunakan sumber-sumber untuk mendapatkan manfaat. Sumber-sumber tersebut sebagian atau seluruhnya dapat dianggap sebagai bagian-bagian konsumsi yang dikorbankan dari penggunaan masa sekarang untuk memperoleh manfaat (Gitinger 1982).
3 METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian, pengolahan data hingga penulisan tesis dilaksanakan Pada bulan Juli hingga bulan November 2008. Lokasi penelitian di perairan Kota Dumai, Provinsi Riau (Lampiran 1).
3.2 Metode Penelitian
Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode survei yang bertujuan untuk mencari keterangan-keterangan secara faktual, baik tentang institusi sosial, ekonomi dari suatu kelompok ataupun suatu daerah.
Dalam penelitian ini dilakukan studi banding (comparative study) dari berbagai aspek terhadap unit-unit penangkapan dominan yang dioperasikan di perairan Kota Dumai, fungsinya untuk mengetahui unit penangkapan yang layak/unggul melalui beberapa aspek diantaranya biologi, teknis, ekonomi dan sosial antara unit penangkapan yang digunakan oleh pengusaha ataupun nelayan di perairan Kota Dumai Provinsi Riau.
3.3 Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini dilaksanakan dengan metode survei terhadap objek nelayan sebagai pelaku. Pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi langsung ke lokasi penelitian. Data primer diperoleh melalui pengukuran dan pengamatan langsung terhadap unit penangkapan ikan serta wawancara dengan menggunakan kuisioner (daftar pertanyaan yang telah disusun berdasarkan kebutuhan analisis dan tujuan penelitian) diantaranya data teknis alat tangkap, kapal.
15
Pengevaluasi perikanan tangkap dikumpulkan berdasarkan parameter-parameter yang mendukung diantaranya:
1) Aspek biologi, merupakan pengukuran terhadap sumberdaya ikan sebagai salah satu sampel dalam penelitian meliputi komposisi jenis hasil tangkapan, tingkat pemanfaatan, musim ikan dan musim penangkapan (bulan), selektivitas alat tangkap
2) Aspek teknis, merupakan pengukuran yang dilakukan pada kapal/perahu dan alat penangkapan ikan yang meliputi ukuran kapal dengan dimensi utama (Panjang = L, Lebar = B, dan dalam = D), spesifikasi mesin yang digunakan, jenis bahan bakar yang digunakan serta jumlah bahan bakar yang digunakan pertrip, ukuran alat penangkapan (panjang, lebar dan dalam), material alat penangkapan dan nelayan
3) Aspek sosial, merupakan pengukuran parameter sosial yang diarahkan kepada nelayan sebagai pelaku utama dalam kegiatan penangkapan ikan, meliputi jumlah nelayan yang terserap pada setiap unit penangkapan, dan respon nelayan terhadap unit alat tangkap
4) Aspek ekonomi, merupakan pengukuran parameter ekonomi untuk mengetahui manfaat ekonomi dari suatu usaha penangkapan ikan yang meliputi biaya investasi, biaya operasional, biaya perawatan, nilai produksi serta mengetahui kelayakan usaha penagkapan ikan (investasi).
3.4 Metode Analisis Data
16
3.4.1 Standarisasi unit penangkapan
Unit penangkapan yang dijadikan sebagai standar adalah unit penangkapan yang paling dominan menangkap jenis-jenis ikan tertentu di suatu daerah (mempunyai laju tangkapan rata-rata per CPUE terbesar pada periode waktu tertentu) dan memiliki nilai faktor daya tangkap (fishing power indeks) sama dengan satu. FPI dari masing-masing unit penangkapan lainnya dapat diketahui dengan cara membagi laju tangkapan rata-rata dari masing-masing unit penangkapan dengan laju tangkapan rata-rata dari unit penangkapan yang dijadikan standar. Berdasarkan rumus Gulland (1983), proses standarisasi adalah sebagai berikut :
FEs HTs
CPUEs=
CPUEs CPUEs FPIs=
FEi HTi
CPUEi=
CPUEi CPUEi FPIi=
Upaya standarisasi diperoleh dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (Gulland, 1983) yaitu :
SE =FPIixFEi
Dimana :
CPUEs : catch per unit effort atau jumlah hasil tangkapan per satuan upaya unit penangkapan standar pada tahun ke-I;
CPUEi : catch per unit effort atau jumlah hasil tangkapan per satuan upaya jenis penangkapan yang akan di standarisasi
HTs : Jumlah hasil tangkapan (catch) jenis unit penangkapan yang dijadikan standar pada tahun ke-i
HTi : Jumlah hasil tangkapan (catch) jenis unit penangkapan yang akan distandarisasi pada tahun ke-i
FEs : Jumlah upaya penangkapan (effort) jenis unit penangkapan ikan yang dijadikan standar pada tahun ke-i
FEi : Jumlah upaya penangkapan (effort) jenis unit penangkapan yang akan distandarisasi pada tahun ke-i
17
FPIi : fishing power indeks atau faktor daya tangkap jenis unit penangkapan yang akan distandarisasi pada bulan ke-i
SE : Upaya penangkapan (effort) hasil standarisasi pada tahun ke-i 3.4.2 Analisis kelimpahan sumberdaya ikan
Analisis kelimpahan sumberdaya ikan dilakukan dengan pengolahan data hasil tangkapan dan upaya penangkapan selama 10 tahun terakhir dengan menggunakan analisis Catch Per Unit Effort (CPUE), untuk mengetahui kelimpahan dan tingkat pemanfaatan yang didasari atas pembagian antara total hasil tangkapan (Catch) dengan upaya penangkapan (Effort). Menurut Sparre dan Venema, 1992), rumus yang digunakan adalah :
CPUE = Catch Effort Dimana :
Catch (C) = Total hasil tangkapan (kg)
Effort (F) = Total upaya penangkapan (trip)
Nilai CPUE dari total hasil tangkapan (C) dapat digunakan untuk pendugaan stok secara sederhana. Model yang digunakan untuk data yang cenderung linier yaitu model Schaefer.
1) Hubungan antara upaya penangkapan (f) dengan hasil tangkapan per satuan upaya penangkapan yaitu: (CPUE) = a-bf
Dimana : a = Intersep b = Slop
c = Hasil Tangkapan f = Upaya penangkapan
2) Hubungan antara upaya penangkapan (f) dengan hasil tangkapan (c) C = af-bf2
3) Upaya optimum diperoleh dengan cara menyamakan turunan pertama upaya penangkapan dengan nol (C=0), sehingga diperoleh rumus :
18
4) Produksi maksimum lestari (MSY) diperoleh dengan mensubstitusi nilai upaya optimum, sehingga diperoleh :
C maks = MSY = a2/4b 3.4.3 Analisis trend
Analisis trend (kecenderungan) terhadap hasil tangkapan perupaya penangkapan (CPUE) dilakukan untuk menyeleksi data yang akan dilakukan dalam pendugaan parameter biologi “Schaefer”. Trend menggambarkan sesuatu dalam jangka waktu yang lama. Trend digambarkan dalam garis lurus dari persamaan regresi. Menurut Umar (2005) menyatakan metode yang paling umum dan paling terkenal adalah metode kuadrat terkecil (least square). Metode surplus produksi Scaefer digunakan untuk melihat hubungan hasil tangkapan dengan upaya penangkapan. Hubungan fungsi tersebut menggunakan persamaannya dari Sparre and Venema (1999) yaitu:
Y = βo +β1 Xi + ε
Keterangan : Y = CPUEi Xi = kode tahun ke-i i = 0.1.2…n
19
tidak
[image:49.612.153.482.60.662.2]ya
Gambar 2. Diagram alir analisis sumberdaya ikan Mulai
Input :
Jumlah Catch (time series) Jumlah effort (time series)
Cukup
Hitung CPUE Analisis Model Schaefer
Analisis Trend
Output :
MSY EffortOptimum
20
3.4.4 Analisis finansial
Analisis finansial terhadap alat tangkap yang dioperasikan di perairan Kota Dumai dilakukan dengan menggunakan beberapa asumsi. Tujuannya yaitu untuk meminimalisir penyimpangan dari berbagai komponen analisis agar benefit dan cost dari usaha penangkapan tersebut pada masa kini dan akan datang tetap relevan dengan waktu sekarang (present time). Beberapa asumsi yang digunakan antara lain :
1. Harga setiap jenis ikan dan investasi perunit penangkapan merupakan harga rata-rata di lokasi studi.
2. Umur teknis (usaha penangkapan) ditetapkan selama 4-10 tahun berdasarkan umur ekonomis dari komponen utama unit penangkapan.
3. Biaya investasi dan penyusutan adalah nilai rata-rata dari beberapa unit penangkapan.
4. Penerimaan kas masing-masing unit penangkapan ikan di peroleh dari penjualan hasil tangkapan pertahun dan nilai penyusutan investasi pertahun. 5. Tingkat Opurtunnity Cost of Capital (OCC) yang digunakan merupakan
tingkat suku bunga kredit perbankkan di wilayah studi sebesar 17,5%.
6. Nilai produksi, investasi dan penerimaan pertahun masing-masing alat tangkap secara lengkap pada.
7. Modal bersumber dari pembiayaan agen (juragan). 8. Nilai sisa dari usaha perikanan tangkap nol.
3.4.4.1 Analisis kriteria usaha (1) Pendapatan usaha
Analisa pendapatan usaha menurut Sugiarto et al (2005) bertujuan untuk mengetahui komponen-komponen input dan output yang terlibat dalam usaha dan besarnya keuntungan yang diperoleh dari usaha yang dilakukan. Secara matematis dirumuskan sebagai berikut :
TC TR−
=
π
Keterangan :
21
Dengan kriteria usaha sebagai berikut : TR > TC usaha menguntungkan TR < TC usaha rugi
TR = TC usaha alam keadaan impas
(2) Imbangan penerimaan dan biaya (Revenue-Cost Ratio)
Tujuan dilakukan analisis imbangan penerimaan dan biaya adalah untuk mengetahui sejauh mana hasil yang diperoleh dari kegiatan usaha selama periode tertentu cukup menguntungkan (Sugiarto et al 2005). Imbangan penerimaan dan biaya secara matematis dirumuskan sebagai berikut :
) ( ) ( Re / TC TotalCost TR venue Total C R =
Dengan kriteria :
R/C > 1 usaha menguntungkan R/C < 1 usaha rugi
R/C = 1 usaha dalam keadaan impas
(3) Waktu pengembalian modal (Payback Period)
Payback Period menurut Umar (2001) adalah suatu analisis yang digunakan untuk mengetahui periode waktu yang diperlukan untuk menutup kembali investasi. Payback Period adalah rasio antara initial cashinvesment dengan cash flow dalam satuan waktu. Secara matematis dirumuskan sebagai berikut :
tahun x Keuntungan
Investasi
PP= 1
3.4.4.2 Analisis kriteria investasi
Analisis kelayakan usaha dilakukan dengan membandingkan semua penerimaan yang diperoleh dari investasi dengan semua pengeluaran yang harus dikeluarkan selama proses investasi dilaksanakan, analisis kelayakan usaha menurut Kadariah (1999) dapat menggunakan 3 (tiga) kriteria yaitu Net Present Value (NPV), Net Benefit – Cost Ratio dan Internal Rate of Return (IRR).
(1) Net present value (NPV)
22
Rumus persamaan tersebut menggunakan analisis NPV (Kadariah dkk 1999) yaitu sebagai berikut :
NPV =
(
)
( )
∑
− + − n t t i Ct Bt 1 1 Keterangan : 1= discount factor (1 + i)t
i = tingkat bunga
bt = benefit pada tahun ke - t (Rp) ct = cost pada tahun ke - t (Rp) n = umur ekonomis usaha (tahun) t = tahun ke 1, 2, 3, …., n
Kriterianya adalah:
Jika NPV nilai > 0, maka investasi layak Jika NPV nilai < 0, maka investasi tidak layak
Jika NPV nilai = 0, maka investasi tidak untung dan tidak mengalami kerugian (2) Net benefit-cost ratio (Net B/C)
Net B/C merupakan perbandingan antara NPV dari total benefit bersih terhadap total biaya bersih. Menurut Kadariah dkk (1999), Net B/C digunakan untuk ukuran efisiensi dalam penggunaan modal. Secara matematis dirumuskan sebagai berikut :
Net B/C =
(
)
(
)
(
)
(
)
( )
(
)
∑
∑
= = 〈 − − − 〉 − = − n t t n t t Ct Bt i Bt Ct Ct Bt i Ct Bt 1 0 0 1 0 1 Kriterianya adalah:Jika Net B/C nilai = 1 maka, investasi tidak untung dan tidak rugi
Jika Net B/C nilai < 1 maka, investasi tidak layak karena mengalami kerugian Jika Net B/C nilai > 1 maka, investasi layak karena memberikan keuntungan (3) Internal rate of return (IRR)
23
berlaku menunjukkan bahwa usaha layak untuk dilaksanakan (Kadariah dkk; 1999). IRR dapat dirumuskan sebagai berikut :
IRR =
i
1+ ⎢⎣⎡ ⎥⎦⎤− 2
1 1 NPV NPV
NPV
(
i
2-i
1) Keterangan:i
1 = tingkat suku bunga yang menghasilkan NPV positifi
2 = tingkat suku bunga yang menghasilkan NPV negatif NPV1 = NPV pada discount rate i1NPV2 = NPV pada discount rate i2 Kriterianya adalah :
IRR > i usaha layak untuk dikembangkan
24
tidak
[image:54.612.153.485.59.643.2]ya
Gambar 3. Diagram alir analisis finansial Input :
Biaya Produksi Pendapatan
Cukup
Hitung Analisis Kelayakan Usaha dan Investasi Keuntungan, R/C ratio, Payback Period dan
NVP, Net B/C, IRR
Output :
Nilai Keuntungan
Usaha Perikanan Tangkap
25
3.4.4.3 Metode skoring
Untuk menyeleksi jenis teknologi penangkapan ikan yang berkelanjutan dan layak dikembangkan, dilakukan dengan metode skoring (Mangkusubroto dan Trisnadi 1985). Metode ini dapat digunakan dalam menilai kriteria yang mempunyai satuan berbeda dengan memberi nilai dari yang terendah sampai yang tertinggi. Dalam menilai kriteria digunakan nilai tukar sehingga semua nilai mempunyai standar yang sama. Jenis alat tangkap yang mendapatkan nilai skor tertinggi dapat diartikan lebih baik dari yang lainnya, demikian pula sebaliknya. Selanjutnya disebutkan standarisasi dengan fungsi nilai dapat dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Vi (Xi) =
Xi - Xo X1 - Xo V (A) = ∑ Vi (Xi) Keterangan :
i : 1,2,3,…..,n
Xo : nilai terburuk pada kriteria X X1 : nilai terbaik pada kriteria X V(A) : fungsi nilai dari alternatif A
V(Xi): fungsi nilai dari alternatif i pada kriteria ke – i
Penentuan prioritas unit penangkapan di perairan Kota Dumai sebagai berikut:
1) Aspek biologi : selektifitas alat tangkap (X1), Komposisi hasil tangkapan yaitu jenis tangkapan yang dominan dan bernilai ekonomis penting (X2) dan musim ikan yaitu lama waktu musim ikan dalam satu tahun (bulan) (X3).
Pada alat tangkap rawai secara langsung dengan kategori sangat selektif. Sejalan dengan pernyataan Monintja (1987) bahwa alat tangkap pancing, rawai, pancing tonda, huhate pancing dasar sangat baik dikembangkan karena memiliki selektifitas tinggi.
26
Tabel 2 Kriteria Penilaian Selektifitas Alat Tangkap berdasarkan Mesh Size Alat Tangkap di Perairan Kota Dumai Provinsi Riau.
Mesh size (X) (cm) Kategori Penilaian Skor
X ≤ 1.8 cm Tidak selektif 1
1.8 < X ≤ 3.6 cm Kurang selektif 2 3.6 < X ≤ 5.4 cm Cukup selektif 3
X > 5.4 cm Selektif 4
2) Aspek teknis : penilaian kriteria teknis dari unit penangkapan yaitu produksi pertahun (X1), produksi pertrip (X2) dan produksi pertenaga kerja (X3).
3) Aspek sosial : respon nelayan terhadap penerimaan alat tangkap (X1), kemampuan investasi untuk pemilikan alat tangkap (X2), kemudahan pengoperasian (X3) dan kemudahan pengadaan alat tangkap (X4).
27
tidak
[image:57.612.153.481.60.577.2]ya
Gambar 4. Diagram alir analisis unit penangkapan ikan Input :
Aspek Biologi, Teknis, Sosial dan Ekonomi
Cukup
Metode Skoring
Output :
Unit Penangkapan Ikan Unggulan
4
DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN
4.1 Kondisi Umum Kota Dumai
4.1.1 Letak geografis
Kota Dumai terletak di pesisir timur pulau Sumatera, Rupat. Secara geografis
Kota Dumai terletak pada posisi 1
°
27’ – 2
°
15’ Lintang Utara dan 101
°
0’ -101
°
50’
Bujur Timar yang berbatasan dengan wilyah:
-
Sebelah Utara dengan Selat Rupat
-
Sebelah Timur dengan Kecamatan Bukit Batu Kabupaten Bengkalis
-
Sebelah Selatan dengan Kecamatan Mandau dan Kecamatan Bukit Batu
Kabupaten Bengkalis
-
Sebelah Barat dengan Kecamatan Tanah Putih dan Kecamatan Bangko
Kabupaten Rokan Hilir.
Kota Dumai mempunyai luas wilayah 3.611 km
2yang meliputi daratan
2.308,60 km
2(63,93%) dan lautan 1.302,40 km
2(36,07%) atau setara 26.800 Ha
dengan garis pantai sepanjang 134 km, mangrove seluas 14.062,5 Ha dan kawasan
pasang surut seluas 8.968 Ha.
4.1.2 Keadaan topografi
Topografi wilayah Kota Dumai relatif datar dengan ketinggian dari permukaan
laut 1-4 m dan kemiringan kurang dari 3 %. Keadaan pantai disekitar muara sungai
landai, rawa dialiri oleh 15 sungai membentang dari barat dengan total panjang 222
km dari ± 115,5 km dapat dimanfaatkan untuk prasarana perhubungan laut dengan
menggunakan perahu-perahu kecil yang bermuara ke Selat Rupat. Sungai terpanjang
adalah Sungai Bulu Bala 40 km, Sungai Senepis 35 km dan Sungai Mesjid 29 km
dengan Kondisi kualitas air pada umumnya payau, asin dan berwarna keruh. Terdapat
danau seluas 25 Ha merupakan potensi untuk usaha budidaya.
4.1.3 Karakteristik oseanografi
Perairan pesisir Kota Dumai merupakan bagian dari Selat Rupat. Selat Rupat
terbentuk diantara daratan Pulau Sumatera dengan Pulau Rupat, sementara Pulau
29
Rupat berhubungan langsung dengan Selat Malaka, dengan demikian kondisi
oseanografi perairan Selat Rupat , khususnya perairan pesisir Kota Dumai banyak
dipengaruhi oleh kondisi perairan Selat Malaka.
1)
Pasang Surut
Pasang surut merupakan gerakan naik turunnya permukaan air laut sebagai
akibat adanya gaya tarik benda-benda angkasa, terutama bulan dan matahari terhadap
massa air di bumi. Bulan mempunyai peranan yang lebih besar dari pada matahari
dalam menentukan pasang surut (Bishop 1984).
Di Perairan Kota Dumai terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalam sehari
semalam. Hanya saja tinggi antara pasang yang satu berbeda dengan yang lainnya.
Menurut Nontji (1993), tipe pasang tersebut termasuk ke dalam tipe pasang surut
campuran condong keharian ganda.
Perbedaan tinggi pasang surut di perairan Kota Dumai mencapai 3,1 meter. Hal
ini terjadi pada saat pasang purnama, baik pada saat bulan purnama maupun pada saat
bulan baru. Pada saat ini pasang tinggi akan maksimum dan surut terendah akan
minimum. Sedangkan pada saat perbani, perbedaan pasang tertinggi dan surut
terendah hanya 0,7meter.
Dalam satu bulan terjadi dua kali pasang purnama dan dua kali pasang perbani.
Di mana tinggi pasang surut dari hari kehari berikutnya tidak sama. Adanya
perbedaan ini disebabkan oleh posisi bulan terhadap bumi berubah sesuai dengan
pergerakan bulan mengelilingi bumi. Untuk perairan Kota Dumai pasang tinggi dari
satu hari kehari berikutnya akan terlambat 50 menit (PKSPL UNRI 2002).
2)
Musim
Pada daerah yang berhubungan langsung dengan Selat Malaka, masyarakat
nelayan mengenal empat musim yaitu: musim utara, timur, selatan dan barat. Kondisi
oseanografi perairan sangat ditentukan oleh musim dimana pada musim utara, angin
berhembus sangat kuat disertai gelombang besar. Sementara pada musim timur juga
terjadi angin kencang dan gelombang besar namun tidak sebesar musim utara.
Sedangkan pada musim selatan dan barat gelombang dan angin relatif tenang
30
gelombang besar, namun kondisi ini tidak langsung mempengaruhi perairan pasisir
Kota Dumai karena terlindung oleh Pulau Rupat.
Bagian utara dan timur Selat Rupat berhubungan langsung dengan Selat
Malaka, maka pada musim-musim tersebut kondisi di Selat Malaka akan merambat
masuk ke perairan pesisir Kota Dumai melalui ujung utara dan timur Selat Rupat.
Sehingga pada beberapa bagian daerah pesisir terutama bagian timur dan utara
terjadi abrasi di Pantai akibat aksi gelombang besar yang merambat dari Selat
Malaka.
3)
Pola Arus
Arus yang terjadi di perairan pesisir kota Dumai merupakan arus yang
dibangkitkan oleh gerakan gelombang pasang surut yang merambat dari Selat Malaka
dan Selat Rupat. Dengan demikian arah arus yang terjadi akan mengikuti pola arus
yang terjadi di Selat Malaka dan Selat Rupat (PKSPL UNRI 2003).
Secara umum arus pasang di Selat Malaka akan bergerak dari arah barat laut ke
arah tenggara sedangkan pada saat surut arus akan bergerak dari arah tenggara
menuju barat laut. Sementara di Selat Rupat khususnya di perairan pesisir Kota
Dumai, pada saat air pasang, arus akan merambat dari arah utara menuju selatan.
Setelah itu arus akan berbelok ke arah timur dan bergabung kembali dengan arus di
Selat Malaka, yang mengalir ke arah tenggara dan sebagian masuk ke Selat
Bengkalis. Sebaliknya pada saat surut , arus akan bergerak dari arah timur menuju
barat kemudian berbelok ke utara dan keluar di Selat Malaka.
Kecepatan arus pada masing-masing tempat juga bervariasi, akan tetapi secara
umum kecepatan arus pada saat pasang lebih tinggi dibandingkan dengan saat surut.
Kecepatan arus maksimum 0,5 meter/detik (1,0 knot) terjadi pada saat pasang. Arus
yang paling lambat terjadi pada saat surut yaitu hanya 0,22 meter/detik (0,4 knot)
(PKSPL UNRI 2003).
4)
Gelombang
Tinggi gelombang di perairan pesisir Kota Dumai berkisar antara 0,05 hingga
0,35 meter. Pada musim utara gelombang yang cukup besar akan menerpa bagian
31
langsung dengan selat malaka yang merupakan parairan terbuka. Selama musim
tersebut gelombang dapat menyebabkan abrasi.
5)
Suhu dan Salinitas
Suhu dan Salinitas mempengaruhi densitas air (
ρ
). Semakin dalam perairan,
suhunya makin rendah dan salinitas makin meningkat, sehingga rapat air juga
meningkat (Raymont, 1996
dalam
PKSPL UNRI, 2003).
Suhu sangat berpengaruh terhadap kondisi arus di laut. Arus air akan bergerak
dari perairan bersuhu tinggi ke perairan yang bersuhu rendah, untuk menggantikan
massa air yag menguap. Suhu air permukaan di laut Dumai cukup tinggi 32°C - 34°C.
Pada lokasi pengukuran dua mil dari pantai, sedangkan salinitas perairan laut Kota
Dumai berkisar 14-27 ppt, di mana pada muara-muara sungai salinitasnya lebih
rendah yaitu 14-22 ppt.
4.2 Kondisi Perikanan Tangkap
Unit penangkapan ikan merupakan satu kesatuan teknis dalam suatu
pengoperasian alat tangkap dimana terdiri dari nelayan, perahu/kapal penangkap ikan
dan alat tangkap yang digunakan.
4.2.1 Nelayan
Nelayan adalah orang yang mata pencahariananya melakukan usaha
penangkapan ikan. Nurani (1987) mendefenisikan nelayan sebagai orang yang secara
aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan. Nelayan di pesisir
perairan Kota Dumai dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu: nelayan penuh, nelayan
[image:61.612.110.534.585.657.2]sambilan dan buruh nelayan (andon).
Tabel 3 Jumlah nelayan berdasarkan kategori usaha di Perairan Pesisir Kota Dumai
tahun 2000 – 2006
No Kategori Usaha Tahun
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
1 Nelayan Penuh 1.199 1.221 1.244 1.252 1.250 1.252 1.256 2 Nelayan Sambilan 346 352 364 367 369 365 368 3 Buruh Nelayan Andon 168 171 195 196 198 201 202
Jumlah 1.713 1.744 1.803 1.815 1.817 1.818 1.826
32
4.2.2 Perahu/kapal
Perahu /kapal yang beroperasi diperairan Kota Dumai, dapat berupa kapal
sarana transportasi orang atau barang maupun kapal unit penangkapan ikan yang
didominasi oleh perahu tidak bermotor ukuran sedang. Tahun 2005-2006 perahu
[image:62.612.108.539.230.333.2]kapal motor 0-5 GT mengalami peningkatan.
Tabel 4 Perahu/kapal berdasarkan jenis/ukuran di Perairan Pesisir Kota Dumai tahun
2000-2006
No Ukuran Perahu/ Tahun
Kapal motor 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
1 Perahu tanpa motor 463 486 533 538 544 546 546
2 Tanpa perahu 2 7 7 8 6 6 6
3 Kapal motor
- 0-5 GT 234 265 274 275 277 278 278
- 5-10 GT 14 15 16
Jumlah 699 758 814 821 841 843 846
Sumber: Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan tahun 2006
Perkembangan jumlah perahu/kapal motor pertanda adanya keinginan dari
nelayan untuk meningkatkan produksinya dengan cara melakukan pencarian daerah
penangkapan ikan (
fishing ground
) yang lebih jauh dengan waktu relatif cepat
melalui penggunaan jenis dan kekuatan mesin kapal yang berkekuatan besar.
4.2.3 Alat tangkap
Untuk dapat meningkatkan taraf hidup nelayan, salah satu hal penting adalah
dengan meningkatkan hasil tangkapan, cara yang paling tepat adalah dengan memilih
dan menggunakan alat tangkap yang berbasis sumberdaya demersal sehingga
keberadaan sumberdaya ikan demersal dapat terus lestari.
Unit penangkapan ikan demersal yang digunakan oleh nelayan pesisir Kota
Dumai didominasi oleh
sondong
(
scoop nets
)
,
gombang (
portable traps
)
,
rawai /dasar
(
bottom long line
)
.
Tabel 5 Jumlah unit alat tangkap berdasarkan jenis alat tangkap tahun 2005-2006
No Jenis Alat Tangkap 2005 2006
1 Sondong Scoop net 90 98
2 Rawai Tetap/Dasar 42 42
3 gombang Portable trap 54 54
[image:62.612.111.534.610.660.2]33
Adapun spesifikasi unit penangkapan ikan demersal yang dominan digunakan di
perairan Kota Dumai adalah:
1) Serok (
Lift Net
/
Scoop net
) Sondong
Serok adalah sejenis jaring yang biasanya berbentuk kerucut atau kantong,
untuk membuka mulut jaring dengan memakai bingkai yang bisa terbuat dari kayu
ataupun rotan, teknik penangkapan dari alat ini sangat sederhana, karena apabila
menggunakan perahu maka alat ini didorong kepermukaan air dengan menggunakan
[image:63.612.139.485.254.463.2]perahu (Sudiman, 2000).
Gambar 5 Sondong (
Lift Net
/
Scoop net
)
Nelayan perairan Kota Dumai menyebut alat serok ini dengan sebutan sondong
karena cara pengoperasiannya condong kehaluan kapal, untuk membuka mulut jaring
digunakan kayu yang disilangkan dan kantong diikatkan pada kayu, lalu kayu
didorong kehaluan sehingga mulut jaring berada dihaluan kapal dan ujung kantong
berada di bagian badan kapal, perahu yang digunakan terus bergerak sehingga alat
ini adalah alat tangkap yang aktif. sondong umumnya dioperasikan tidak mengenal
hari tetapi biasanya nelayan mulai berangkat dari jam 10.00 pagi, pengoperasian alat
ini dalam satu bulan rata 6 trip (satu trip empat hari) setting dalam satu hari
rata-rata dilakukan 2 kali, hauling dapat dilakukan 3-5 kali dengan melihat ujung kantong
apakah sudah terdapat udang, apabila hasil tangkap sudah masuk kebagian ujung
34
maka, kantong diikat kembali, lalu dimasukan kembali ke perairan. Yang menjadi
target tangkapan adalah berbagai jenis udang (
Penaeus
s
pp
).
2) Rawai Tetap/Dasar (
bottom
long line
)
Rawai merupakan alat penangkap ikan yang terdiri atas rangkaian tali temali
yang bercabang-cabang dan pada setiap ujung cabangnya diikatkan dengan sebuah
pancing dan diberi umpan. Pancing rawai terdiri atas tali utama, tali cabang, bendera,
pelampung, pemberat, mata pancing dan umpan.
Pancing rawai diklasifikasikan kedalam tiga bagian, yaitu berdasarkan letak
pemasangan diperairan, susunan mata pancing pada tali utama, dan jenis ikan yang
menjadi tujuan utama penangkapan. Berdasarkan letak pemasangan di perairan,
[image:64.612.138.484.373.582.2]terdiri atas rawai permukaan (
surface longline
) dan rawai pertengahan (
midwater
long line)
. Berdasarkan susunan mata pancing yaitu rawai mendatar (
horizontal long
line
) dan berdasarkan jenis ikan yang menjadi tujuan utama penangkapan yaitu rawai
tuna (
tuna long line
).
Gambar 6 Rawai tetap/dasar (Balai Penelitian Perikanan Laut, 2002)
Rawai yang dominan digunakan di perairan Kota Dumai adalah rawai
tetap/dasar. Operasi penangkapan per bulan rata-rata sebanyak 4 trip (satu trip empat
35
tangkapan yaitu ikan kakap (
Lates calcarifer
), pari (
Dasyatis
sp), dan senangin
(
Eleutheronema tetradactylum
).
3) Gombang (
portable trap
)
Trap adalah alat penangkap ikan yang dipasang secara tetap didalam air untuk
jangka waktu tertentu yang memudahkan ikan masuk dan mempersulit keluarnya.
Alat ini biasanya dibuat dari bahan alami, seperti bambu, kayu atau bahan buatan
lainnya seperti jaring.
Biasanya dipakai di perairan dangkal, perangkap ini terdiri dari kantong bulat
atau kerucut yang dibentuk memakai rangka bulat atau lainnya dan ditutup dengan
jaring. Alat ini dilengkapi dengan sayap atau penajur yang berfungsi menggiring ikan
kearah kantongnya. Bubu jaring dipasang di dasar perairan memakai jangkar,
[image:65.612.138.484.334.534.2]pemberat atau patok.
Gambar 7 Gombang (Balai Penelitian Perikanan Laut, 2000)
Gombang/bubu yang biasanya digunakan nelayan di perairan Kota Dumai
terbuat dari jaring berbentuk kerucut dengan ujung jaring bagian kantong mesh
sizenya semakin kecil. Gombang ini dilengkapi dengan penajur berfungsi untuk
menggiring ikan masuk kedalam kantong. Alat dipasang ketika air pasang. Hasil
36
(
Pseudosciena sp
). Nelayan yang mengoperasikan alat tangkap gombang biasanya 4
orang.
4.3 Sumberdaya ikan demersal
Sumberdaya demersal merupakan kelompok ikan yang tinggal didasar atau
dekat dasar perairan. Dibandingkan dengan ikan pelagis kecil, sumberdaya ikan
demersal memiliki aktifitas yang rendah dan membentuk
schooling
yang tidak terlalu
besar, karena sifat tersebut sumberdaya ikan demersal mempunyai daya tahan
terhadap tekanan penangkapan yang relatif rendah. Berdasarkan kategori nilai
ekonomisnya sumberdaya ikan demersal dibagi menjadi 3 kelompokan (Dwiponggo
1989):
1)
kelompok komersial utama:
terdiri dari ikan kerapu (
Epinephelus sp
),
bambangan (
lutjanus spp
), bawal putih (
Pampus spp
), kakap (
lates
carcarifer
), manyung (
Arius spp
), kuwe (
Carangoides spp
) dan nomei
(
Harpodon nemerus
).
2)
kelompok komersial kedua:
terdiri dari ikan gerot-gerot (
pomadasys spp
),
bawal hitam (
Formio niger
), kurisi (
Nemipterus spp
), layur (
Trichiurus
savala
), kurau (
Eletheronema tetredactylum
), ketang-ketang (
Drepane
punctata
) dan baronang (
Siganus spp
).
3)
Kelompok komersial ketiga:
terdiri dari ikan pepetek (
Leiognathidae
),
beloso (
Saurida spp
), kuniran (
Upeneus sulphureus
), mata merah
(
priacanthus spp
), kerong-kerong (
therapon spp
), gabus laut (
Rachycentron
sp
), besot (
Silago spp
) dan sidat (
Muraenesox sp
).
Perairan Kota Dumai topografi nya sangat potensial bagi penangkapan ikan
demersal karena Sebagian besar sumberdaya ini berada di perairan pantai dengan
kedalaman sampai 100 meter dan topografi dasar rata dan berlumpur/pasir yang
merupakan daerah potensial bagi penangkapan sumberdaya demersal (Dwiponggo
et
al
1989).
4.3.1 Sumberdaya udang dan biota laut non ikan lainnya
Udang memiliki peran yang sangat besar sebagai komoditas ekspor. Jenis udang
37
merguiensis
) dan udang dogol (
Metapenaeus ensis
). Sedangkan jenis udang lainnya
terdiri dari udang krosok (
Parapenaeopsis spp
) dan udang rebon (
Mycidacea
dan
Sergestidae
).dan beberapa jenis lainnya.
4.4 Sarana dan prasarana
Di kota dumai Sarana dan prasarana yang digunakan sebagai tempat pemasaran
hasil-hasil produksi seperti tempat pangkalan pendaratan ikan sudah ada tetapi belum
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil Penelitian
5.1.1 Kelimpahan sumberdaya demersal
Analisis kelimpahan sumberdaya ikan demersal dilakukan dengan metode Schaefer dengan menggunakan data sekunder selama kurun waktu tujuh tahun (2000-2006).
[image:68.612.164.453.331.508.2]Produksi ikan demersal tahun 2000-2003 terjadi peningkatan dari 576,2 ton sampai 1.410,6 ton, produksi meningkat sebesar 834,4 ton pada tahun 2003. Pada tahun 2004 produksi menurun dari tahun 2003 sebesar 129,4 ton sehingga produksi pada tahun 2004 menjadi 1.281,2 ton, kemudian pada tahun 2005 turun kembali dan tahun berikutnya produksi naik kembali, namun perkembangan produksi secara umum menunjukan trend meningkat (Gambar 8).
Gambar 8 Perkembangan produksi ikan demersal di Perairan Kota Dumai
39
Gambar 9 Perkembangan upaya penangkapan ikan demersal di perairan Kota Dumai
Berdasarkan hasil analisis dengan model Schaefer diperoleh nilai produksi optimum lestari (CMSY) ikan demersal sebesar 1.265 ton dan upaya penangkapan
optimum (fMSY) sebesar 9.542 trip (Lampiran 6). Produksi ikan demersal tahun
2006 sebesar 1.142,8 ton dengan upaya penangkapan 11.108,17 trip. Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan demersal sebesar 90,33 %, sedangkan upaya penangkapan berada pada tingkat 116,41 % terhadap upaya optimum (fMSY).
Hubungan jumlah effort terhadap produksi (Gambar 10) dan hubungan effort terhadap CPUE dengan pendekatan Schaefer (Gambar 11).
[image:69.612.163.467.480.654.2]40
Gambar 11 Hubungan upaya penangkapan terhadap CPUE dengan pendekatan (Schaefer)
Adapun hubungan secara keseluruhan antara upaya, produksi, tingkat pemanfaatan dan pengupayaan MSY dan fMSY ikan demersal dapat dilihat pada
kurva (Gambar 12).
[image:70.612.164.471.78.269.2]
Gambar 12 Status Produksi dan upaya penangkapan ikan demersal Kota Dumai
Produksi penangkapan pada tahun 2006 belum mencapai batas optimum lestari. Pada tahun 2002 (1.247,4 ton), 2003 (1.410,6 ton) produksi telah mencapai batas optimum lestari, Sedangkan periode tahun 2005 sebesar (1.094,2 ton) namun upaya penangkapan sebesar 11.251,58 trip telah melebihi upaya optimum lestari. 2006 2002 2000 2003 2001 2004 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600
0 5000 10000 15000 20000
PR O D U K SI ( T O N ) EFFORT 2005
Fopt = 9.542
[image:70.612.139.494.366.568.2]41
5.1.2 Produktifitas unit penangkapan 5.1.2.1 Sondong (Scoopnet)
[image:71.612.136.501.176.311.2]Perkembangan produksi dan upaya unit penangkapan sondong selama periode tahun 2000-2006 dapat dilihat pada (Tabel 6).
Tabel 6 Produksi, upaya dan produktifitas unit penangkapan sondong Tahun Produksi (ton) Upaya (trip) Produktifitas (ton/trip)
2000 308,2 2085 0,1478
2001 355,9 1979 0,1798
2002 610,4 3218 0,1897
2003 673,6 2268 0,2970
2004 757,2 5285 0,1433
2005 615 6324 0,0972
2006 639,6 6217 0,1029
Jumlah 3959,9 27376 1,1577
Rata-rata 565,7 3910,8571 0,1654
Sumber: Diolah dari Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan, 2007
Produksi hasil tangkapan dari unit penangkapan sondong cenderung meningkat sepanjang tahun dalam kisaran 308,2 ton hingga Produksi tertinggi diperoleh pada tahun 2004 sebesar 757,2 ton, namun pada tahun 2005-2006 produksi menurun, hal ini bisa terjadi karena meningkatnya jumlah alat tangkap sondong (Tabel 6). Produksi unit penangkapan sondong cenderung meningkat.
0 100 200 300 400 500 600 700 800
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
TAHUN P R O DUKS I ( T O N
Gambar 13 Perkembangan produksi unit sondong (scoopnet)
[image:71.612.165.453.427.605.2]42
pada tahun 2005 sebesar 6.324 trip. Trend upaya penangkapan selama kurun waktu 2000-2006 cenderung meningkat (Gambar 14).
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
[image:72.612.168.451.121.295.2]TAHUN UP AY A ( T RI P )
Gambar 14 Perkembangan upaya penangkapan unit sondong 5.1.2.2 Rawai tetap/dasar
Perkembangan produksi dan upaya unit penangkapan rawai tetap/dasar tahun 2000-2006, secara umum meningkat. Data produksi, upaya dan produktifitas (Tabel 7).
Tabel 7 Produksi, upaya dan produktifitas unit penangkapan rawai tetap/dasar Tahun Produksi (ton) Upaya (trip) Produktifitas (ton/trip)
2000 93,9 950 0,0988
2001 215 1112 0,1933
2002 124,2 1344 0,0924
2003 139 1116 0,1246
2004 126,2 1993 0,0633
2005 219 2234 0,0980
2006 266,7 2545 0,1048
Jumlah 1184 11294 0,7753
Rata-rata 169,14286 1613,4286 0,1108
Sumber: Diolah dari Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan, 2007
[image:72.612.138.482.423.560.2]43 0 50 100 150 200 250 300
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
[image:73.612.166.450.81.259.2]TAHUN PR O D U K SI ( T O N )
Gambar 15 Perkembangan produksi penangkapan unit rawai tetap/dasar Upaya penangkapan pada unit rawai tetap/dasar secara umum menunjukan trend meningkat (Gambar 17). Pada tahun 2003 merupakan tahun dengan tingkat upaya terendah yaitu sebesar 1.116 trip. Namun pada tahun 2004-2006 upaya penangkapan pada unit rawai tetap/dasar mengalami peningkatan hingga 2545 trip (Gambar 16).
0 500 1000 1500 2000 2500 3000
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
TAHUN UP AY A ( T RI P )
[image:73.612.164.451.388.553.2]44
5.1.2.3 Gombang (Portable trap)
[image:74.612.137.483.176.311.2]Perkembangan produksi dan upaya unit penangkapan gombang tahun 2000-2006, secara umum meningkat mencapai produksi tertinggi sebesar 598 ton. Data produksi, upaya dan produktifitas (Tabel 8).
Tabel 8 Produksi, upaya dan produktifitas unit penangkapan gombang Tahun Produksi (ton) Upaya (trip) Produktivitas (to/trip)
2000 174,1 1496 0,1164
2001 103 1276 0,0807
2002 512,8 3115 0,1646
2003 598 3655 0,1636
2004 397,8 2780 0,1431
2005 260,2 1398 0,1861
2006 236,5 1653 0,1431
Jumlah 2282,4 15373 0,9976
Rata-rata 326,05714 2196,1429 0,1425
Sumber: Diolah dari Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan, 2007
Pada tahun 2004-2006 produksi perikanan tangkap unit gombang mengalami penurunan hingga mencapai 236,5 ton (Tabel 8), namun penangkapan secara umum menunjukan trend meningkat (Gambar 17).
[image:74.612.165.453.403.591.2]45 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
[image:75.612.165.454.81.268.2]TAHUN UP AY A ( T RI P )
Gambar 18 Perkembangan upaya penangkapan unit gombang
Trip penangkapan tahun 2003 merupakan upaya penangkapan tertinggi dengan kisaran sebesar 3655 trip, namun pada tahun 2004-2006 upaya penangkapan menurun hingga hampir mendekati upaya terendah yang terjadi pada tahun 2000.
5.1.3 Kriteria usaha
Berdasarkan asumsi yang dibuat maka dilakukan kriteria penilaian terhadap masing-masing unit penangkapan ikan yang ada di perairan Kota Dumai diantaranya: sondong, rawai tetap/dasar, dan gombang.
5.1.3.1 Pendapatan usaha
Dana investasi diperlukan untuk pengembangan suatu usaha. Pada investasi ini unit penangkapan yang dibutuhkan diantaranya jenis perahu, alat tangkap dan mesin. Rincian besarnya modal investasi suatu usaha penangkapan ikan di perairan Kota Dumai (Tabel 9).
Tabel 9 Modal usaha penangkapan ikan di perairan Kota Dumai
No Unit alat tangkap Jenis/Jumlah Investasi (Rp) Jumlah Kapal Mesin Alat tangkap
1 Sondong 10.000.000,- 6.000.000,- 2.000.000,- 18.000.000,- 2 Rawai tetap/dasar 10.000.000,- 4.000.000,- 2.000.000,- 16.000.000,- 3 Gombang 10.000.000,- 4.000.000,- 2.000.000,- 16.000.000,- Sumber: Data Primer diolah (2008)
[image:75.612.139.509.567.634.2]46
total biaya, penerimaan, keuntungan, R/C Ratio, Payba