• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR KONFLIK DALAM PENGEMBANGAN USAHA PERIKANAN TANGKAP DI PERAIRAN PROVINSI RIAU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "FAKTOR KONFLIK DALAM PENGEMBANGAN USAHA PERIKANAN TANGKAP DI PERAIRAN PROVINSI RIAU"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

6 FAKTOR KONFLIK DALAM PENGEMBANGAN USAHA PERIKANAN TANGKAP DI PERAIRAN PROVINSI RIAU 6.1 Pendahuluan

Konflik perikanan tangkap secara umum terkait dengan pemanfaatan sumber daya ikan yang sudah sulit untuk diperoleh. Hal ini dimaksudkan terkait dengan masalah produksi, yaitu semakin sedikitnya ikan yang dapat ditangakap oleh nelayan. Umumnya pihak-pihak yang terlibat dalam konflik adalah kelompok nelayan tradisional. Keragaman jenis konflik perikanan tangkap banyak disebabkan oleh perbedaan persepsi nelayan tentang pengelolaan sumber daya ikan. Potensi konflik perikanan salah satunya dapat disebabkan oleh prinsip hunting, nelayan yang harus selalu memburu dimana ikan berada, suatu persaingan yang mengakibatkan terkonsentrasinya unit penangkapan ikan pada tempat dan waktu yang sama.

Konflik yang terjadi antara nelayan tradisional dengan nelayan jaring batu ataupun nelayan trawl yang beroperasi di perairan Provinsi Riau merupakan peristiwa yang sering terjadi di wilayah Pantai Timur Sumatera. Konflik dengan nelayan tradisional disebabkan pengusaha perikanan jaring batu dan trawl menangkap pada jalur penangkapan nelayan tradisional, yaitu di bawah 3 mil laut dari garis pantai. Akibatnya, nelayan tradisional mengalami penurunan hasil tangkapan, sebagai akibat ketidakmampuan untuk bersaing dengan nelayan jaring batu ataupun nelayan trawl. Kondisi ini menyebabkan nelayan tradisional melakukan perlawanan dengan pembakaran dan penyanderaan terhadap kapal- kapal jaring batu dan trawl yang tertangkap.

Menyadari pentingnya mengetahui sifat konflik dalam pengembangan usaha perikanan tangkap, guna memberikan penyelesaian yang optimum, baik untuk konflik yang sedang terjadi maupun yang mungkin terjadi, diperlukan identifikasi menyeluruh tentang pihak-pihak yang memiliki kepentingan. Identifikasi ini perlu dilakukan guna menyusun resolusi penyelesaian konflik perikanan tangkap yang efektif. Pendekatan yang baik untuk menyusun rencana pengelolaan konflik adalah dengan mengajak pihak-pihak yang berkepentingan berpartisipasi dalam mengembangkan pemahaman yang sama terhadap suatu konflik, dinamikanya dan

(2)

132 pengaruhnya terhadap nelayan sehingga akan lebih mampu menginterpretasikan konflik yang ada.

Resolusi konflik yang efektif diharapkan memberikan dampak positif, karena tidak semua konflik yang terjadi berdampak negatif. Konflik yang memberikan dampak positif diperlukan dalam pengembangan ke arah yang lebih baik, yaitu dapat mempererat hubungan nelayan yang pada akhirnya tercipta alokasi sumber daya yang adil. Melalui resolusi konflik yang sesuai akan tercipta keadaan yang positif dalam pengembangan usaha perikanan tangkap yang bertanggung jawab dan berkelanjutan dan mendorong partisipasi nelayan sehingga tercipta keadilan antar kelompok nelayan yang dapat mengembangkan stabilitas sosial.

Upaya untuk penyelesaian konflik telah banyak dilakukan, tetapi hingga sejauh ini hasilnya masih kurang memuaskan. Kondisi ini disebabkan antara lain : 1) belum diketahuinya tipologi konflik perikanan tangkap di lokasi penelitian, 2) belum diketahuinya faktor penyebab konflik dan teknik resolusi yang sesuai, 3) kesepakatan yang dihasilkan belum mengikutsertakan semua pihak yang memiliki kepentingan dalam pemanfaatan sumber daya perikanan, dan 4) belum dilakukannya evaluasi terhadap kelembagaan yang menangani konflik

6.2 Tujuan penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

(1) Mengidentifikasi tipologi konflik perikanan tangkap di perairan Bengkalis (2) Menganalisis konflik yang terjadi dan faktor-faktor penyebabnya

(3) Melakukan evaluasi kelembagaan yang menangani konflik 6.3 Metodologi Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian statistik deskriptif. Guna menjelaskan penyebab terjadinya konflik, maka mengetahui tipologi konflik menjadi sangat penting. Dengan mengetahui tipologi konflik maka akan dapat dianalisis penyebab dan alternatif resolusi konflik.

Penelitian dilaksanakan di Selat Malaka perairan Bengkalis Provinsi Riau.

Pemilihan terhadap kabupaten ini karena memiliki potensi perikanan tangkap yang cukup besar, yaitu Selat Malaka, tetapi telah terjadi konflik pemanfaatan sumber daya yang telah terjadi lebih dari 30 tahun. Lokasi penelitian adalah wilayah Kecamatan

(3)

133 Bantan Kabupaten Bengkalis (Gambar 27). Kecamatan Bantan terdiri dari 9 (sembilan) desa dan 7 (tujuh) diantaranya adalah desa pesisir. Mengingat hampir seluruh desa pesisir yang ada di Kecamatan Bantan merupakan kawasan yang berkonflik, maka penelitian ini diarahkan pada desa-desa yang pernah dan sedang terlibat dalam konflik. Dari ke tujuh desa pesisir tersebut ditentukan 6 (enam) desa yang menjadi lokasi tempat penelitian yaitu Desa Jangkang, Desa Bantan Air, Desa Selat Baru, Desa Muntai, Desa Teluk Pambang dan Desa Kembung Luar.

Gambar 27 Lokasi penelitian konflik pemanfaatan sumber daya ikan di perairan Bengkalis.

Daerah penelitian dibagi menjadi dua kategori yaitu lokasi utama dan pendukung. Lokasi utama ditentukan berdasarkan pengamatan dan informasi awal dengan alasan lokasi prioritas merupakan lokasi dimana intensitas dan skala konfliknya tinggi bila dibandingkan dengan desa-desa lain yang juga mengalami konflik. Adapun desa-desa lokasi penelitian yang digolongkan lokasi utama/prioritas adalah Desa Selat Baru, Desa Bantan Air dan Desa Teluk Pambang, sedangkan desa pendukung adalah Desa Jangkang, Desa Muntai dan Desa Kembung Luar.

Legend :

Lokasi utama penelitian konflik Lokasi pendukung penelitian konflik

(4)

134 6.3.1 Metode pengumpulan data

Responden penelitian adalah stakeholder (pemangku kepentingan) utama yang berpengaruh atau mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung terhadap konflik dan resolusi konflik. Responden dipilih secara purposive dengan mempertimbangkan partisipasi yang bersangkutan dalam konflik dan resolusi konflik, yaitu masyarakat yang telah matang dalam mengambil keputusan dan dapat memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.

Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara, penyebaran kuesioner dan observasi langsung pada lokasi penelitian, berupa waktu terjadinya konflik, pihak- pihak yang terlibat dalam konflik, isu yang berkembang dalam masyarakat, latar belakang budaya, persepsi masyarakat terhadap pemanfaatan sumber daya, keberadaan tokoh dalam konflik dan kelembagaan yang menangani konflik. Data sekunder berupa peraturan-peraturan yang dikeluarkan berkenaan dengan konflik diperoleh dari berbagai sumber (instansi pemerintah, lembaga non pemerintah, media massa, internet) yang terkait dengan tujuan penelitian.

6.3.2 Metode analisis data

Konflik pengelolaan sumber daya perikanan secara umum dikelompokkan menjadi empat kelompok/tipologi (Charles 1992), yaitu : 1) yurisdiksi perikanan, meliputi konflik dasar tentang siapa yang mempunyai sumber daya, siapa yang berhak mengontrol setiap akses ke sumber daya, bentuk optimal manajemen perikanan dan peran apa yang harus diambil oleh pemerintah dalam sistem perikanan; 2) mekanisme manajemen, meliputi isu-isu relatif jangka pendek yang muncul dalam pengembangan dan implementasi perencanaan manajemen perikanan, keterlibatan nelayan atau pemerintah dalam konflik pada saat eksploitasi dan proses konsultasi dan pengawasan perikanan; 3) alokasi internal, termasuk konflik yang muncul dalam sistem perikanan spesifik, antar kelompok dan alat tangkap yang berbeda, seperti antara nelayan, pengolah dan pihak-pihak lain; dan 4) alokasi eksternal, menyangkut konflik yang muncul antara pemain perikanan internal dan eksternal, seperti dengan kapal asing, pembudidaya, industri non perikanan dan lainnya.

Tahap selanjutnya adalah pengumpulan informasi yang dibutuhkan untuk menentukan teknik resolusi konflik yang akan digunakan. Hal ini penting karena setiap

(5)

135 teknik membutuhkan kondisi dan prasyarat yang berbeda-beda. Sebagai alat bantu untuk memahami teknik resolusi yang tepat dapat digunakan teknik resolusi konflik yang dikembangkan oleh Fisher et al. (2000). Faktor-faktor yang menjadi penyebab konflik dianalisis secara deskriptif berdasarkan temuan selama penelitian berlangsung dengan urutan :

1) Penahapan konflik yang bertujuan untuk melihat tahap-tahap dan siklus peningkatan dan penurunan konflik, disajikan dalam bentuk grafik yang menunjukkan intensitas konflik yang digambar dalam skala waktu tertentu.

2) Urutan kejadian digunakan untuk mengidentifikasi kejadian-kejadian mana yang paling penting bagi masing-masing pihak yang berkonflik.

3) Pemetaan konflik digunakan untuk lebih memahami situasi dengan baik, melihat hubungan di antara berbagai pihak secara lebih jelas, disajikan secara visual untuk menggambarkan hubungan berbagai pihak yang berkonflik,

4) Segitiga S-P-K (Sikap-Perilaku-Konteks) digunakan untuk mengidentifikasi ketiga faktor tersebut pada masing-masing pihak, menganalisis bagaimana faktor-faktor tersebut saling mempengaruhi dan menghubungkan faktor-faktor tersebut dengan berbagai kebutuhan dan ketakutan masing-masing pihak yang berkonflik.

5) Analogi bawang bombay digunakan untuk memahami berbagai kepentingan serta kebutuhan masing-masing pihak yang berkonflik, tujuan jangka panjangnya untuk meningkatkan komunikasi dan kepercayaan sampai tercipta kondisi dimana pihak yang berkonflik dapat mengungkapkan kebutuhan mereka yang nyata dan juga memahami, serta berusaha untuk saling memenuhi kebutuhan pihak lain

Evaluasi kelembagaan yang menangani konflik di analisis secara deskriptif kualitatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap fungsi dan keberadaan kelembagaan yang mempengaruhi terhadap intensitas dan upaya terhadap penanganan konflik.

(6)

136 6.4 Hasil Penelitian

6.4.1 Tipologi konflik

Hasil pengamatan di lokasi penelitian ditemukan tipologi konflik pemanfatan sumber daya ikan yang terjadi di perairan Bengkalis seperti yang disajikan pada Tabel 24.

Tabel 24 Tipologi Konflik perikanan tangkap di perairan Bengkalis berdasarkan pendekatan Charles (1992)

Ekses Penyebab utama Jenis konflik

Tipologi konflik (Charles

1992)

Pihak yang terlibat

Perkelahian Nelayan jaring batu mulai banyak beroperasi di perairan Bengkalis dengan teknologi yang berbeda

Konflik alat tangkap

Alokasi internal

Nelayan rawai vs nelayan jaring batu

pengerusakan alat

Nelayan rawai merasakan mulai adanya persaingan dalam usaha penangkapan dan mulai adanya friksi sosial

Konflik alat tangkap

Alokasi internal

Nelayan rawai vs nelayan jaring batu

Bentrokkan di laut,

penangkapan dan

pembakaran kapal jaring batu

Nelayan rawai merasa daerah penangkapan mulai sempit, karena nelayan jaring batu beroperasi di daerah penangkapan nelayan rawai

Konflik daerah penangkapan

Yurisdiksi Nelayan rawai vs nelayan jaring batu, Dinas perikanan, kepala desa, Camat Bantan, Kamla dan kepolisian Tuntutan ganti

rugi

Nelayan jaring batu tetap beroperasi (melanggar kesepakatan) di daerah penangkapan rawai

Konflik daerah penangkapan

Yurisdiksi Nelayan rawai vs nelayan jaring batu

Pembakaran, penyanderaan, pemanahan , penangkapan dan

penganiayaan ABK

Nelayan jaring batu melanggar kesepakatan yaitu beroperasi di wilayah nelayan rawai

Konflik daerah penangkapan

Yurisdiksi Nelayan rawai vs nelayan jaring batu, Kamla, kepolisian, Dinas perikanan

Pembakaran Nelayan tetap mengoperasikan alat jaring batu walupun telah ada SK Bupati, SK Gubernur

Konflik alat tangkap

Alokasi internal

Nelayan rawai vs nelayan jaring batu, kepolisian Penculikan Nelayan jaring batu membalas

perlakuan nelayan

Konflik alat tangkap

Alokasi internal

Nelayan rawai vs nelayan jaring batu, kepolisian Rawai karena merusak alat jaring

batu

jaring batu, aparat kepolisian Aksi massa Nelayan merasa perlu dukungan dari

otoritas tertinggi untuk penyelesaian konflik dan segera melarang pengoperasian jaring batu di perairan Bengkalis

Konflik alat tangkap

Alokasi internal

Nelayan rawai, Pemkab, Pemprov

(7)

137 6.4.2 Penahapan konflik

Konflik berkembang sesuai dengan intensitas dan skala serta lamanya periode konflik. Konflik yang terjadi antara nelayan rawai dengan nelayan jaring batu memiliki kedinamisan yang tinggi. Fisher et al. (2000) menyatakan bahwa konflik berubah setiap saat, melalui berbagai tahap aktivitas, intensitas, ketegangan dan kekerasan yang berbeda. Tahap-tahap ini penting sekali diketahui untuk menganalisis berbagai dinamika dan kejadian yang berkaitan dengan masing-masing tahap konflik. Analisis dasar terdiri dari lima tahap, yaitu prakonflik, konfrontasi, krisis, akibat dan pascakonflik. Berdasarkan pendapat ini, analisa penahapan konflik digambarkan kedalam grafik eskalasi konflik yang disajikan pada Gambar 28.

Informasi yang diperoleh selama penelitian, perkembangan konflik di perairan Bengkalis berdasarkan Fisher et al. (2000) dapat dikelompokkan ke dalam lima tahapan, yaitu (1) Prakonflik tahun 1970-1981; (2) Konfrontasi tahun 1983-1997; (3) Krisis 1998-1999 dan tahun 2002-2004; (4) Akibat tahun 2000- 2001; dan (5) Pasca konflik tahun 2005-sekarang.

(1) Kondisi prakonflik tahun 1970-1981, di mana ikan kurau telah dimanfaatkan oleh nelayan perairan Bengkalis dengan menggunakan alat tangkap rawai.

Pada masa ini, alat jaring batu mungkin saja telah beroperasi di perairan ini, Gambar 28 Grafik penahapan terjadinya konflik antara nelayan rawai dengan

nelayan jaring batu.

Krisis

Pasca konflik akibat

Prakonflik

krisis

akibat konfrontasi

Konfrontasi

(8)

138 tetapi karena sumber daya yang tersedia masih banyak, sehingga kehadiran alat jaring batu tidak dirasakan oleh nelayan rawai sebagai pesaing dalam usaha pemanfaatan sumber daya, walaupun pada tahun 1981 tercatat 40 unit jaring batu telah beroperasi di perairan ini.

Kegiatan usaha perikanan rawai di perairan Bengkalis dilakukan secara berkelompok mapun secara individu dengan ikatan sosial yang sangat erat di antara sesama pengguna alat tangkap yang sama atau dari wilayah yang sama. Kelompok nelayan perairan Bengkalis sangat peduli terhadap wilayah perairan tempat mereka melakukan penangkapan dan sangat tidak senang apabila ada nelayan pendatang dengan menggunakan alat tangkap yang dianggapnya merusak.

Sifat sumber daya perikanan laut yang bersifat open acces memungkinkan semua pihak untuk melakukan eksploitasi tanpa terikat kuat pada aturan batas-batas wilayah. Pemanfaatan terhadap ikan kurau semakin mengalami peningkatan dikarenakan tingginya permintaan baik dari pasar lokal khususnya pasar dengan tujuan ekspor. Dengan demikian ketika permintaan tinggi terhadap sumber daya ikan tertentu akan meningkatkan nilai ekonomi ikan tersebut, sehingga terjadi persaingan beberapa jenis alat tangkap dengan tujuan penangkapan yang sama.

Tingginya permintaan akan ikan kurau dari pasar lokal dan luar negeri dengan harga yang sangat tinggi, menyebabkan perburuan terhadap ikan ini semakin meningkat. Adanya persaingan antara kedua kelompok nelayan untuk memperoleh objek yang sama di wilayah tangkap yang sama, merupakan salah satu faktor pemicu konflik antara nelayan rawai dan jaring batu. Perbedaan bentuk dan sifat alat tangkap membuat kedua alat tangkap memiliki laju tangkap yang berbeda pula, jaring batu dengan konstruksi yang mampu menyapu area tangkap yang lebih luas, memiliki laju tangkap yang lebih tinggi dibanding rawai, sehingga dalam setiap operasi penangkapan, jaring batu akan mendapatkan hasil tangkapan yang lebih banyak dibandingkan rawai.

(2) Periode tahun 1983-1997 (konfrontasi), semakin banyak nelayan jaring batu yang beroperasi di perairan Bengkalis untuk menangkap ikan kurau

(9)

139 membuat kenyamanan nelayan Kecamatan Bantan yang merasa sebagai pemilik dari perairan terganggu. Pada periode ini mulai terjadi pertikaian- pertikaian di laut sebagai bentuk penolakan nelayan rawai. Pertikaian- pertikaian tersebut bermula pada saat nelayan jaring batu menabrak nelayan rawai sehingga terjadi perkelahian. Nelayan rawai yang tidak senang mendapat perlakukan tersebut melaporkan kejadian ini kepada aparat hukum, tetapi mereka tidak mendapatkan perlindungan dari aparat. Sebaliknya, nelayan jaring batu justru menggunakan aparat hukum untuk melindungi usaha mereka dari nelayan rawai, keterlibatan aparat ini memang dapat membuat takut masyarakat yang melakukan perlawanan. Nelayan rawai mulai melakukan perlawanan, yaitu dengan memotong tali pelampung jaring batu.

Nelayan rawai memberikan peringatan kepada nelayan jaring batu baik lisan maupun secara tertulis, pada waktu yang bersamaan dibuat perjanjian dengan nelayan jaring batu untuk tidak beroperasi di perairan Tanjung Jati hingga Tanjung Sekodi, untuk mengurangi konflik yang menyebabkan kerugian terutama di pihak nelayan rawai, walaupun pada akhirnya nelayan jaring batu selalu melanggar kesepakatan yang telah dibuat. Langkah pengamanan untuk melindungi daerah penangkapnnya, nelayan rawai melakukan ronda laut. Dua unit kapal nelayan kurau berhasil ditangkap kemudian diserahkan pada Dinas Perikanan yang disaksikan oleh Camat Bantan dan Kepala Desa Teluk Pambang. Tanpa proses yang jelas, DPK mengembalikan kapal hasil tangkpan tersebt ke nelayan kurau, hal ini menimbulkan kecurigaan nelayan rawai kepada DPK.

(3) Periode tahun 1998-1999 (krisis), nelayan rawai mulai melakukan penangkapan dan pembakaran terhadap kapal-kapal jaring batu. Aksi ini dilakukan karena nelayan jaring batu yang sering melakukan pelanggaran- pelanggaran atas kesepakatan yang telah dibuat, selain itu adanya ketidakpuasan nelayan rawai terhadap aparat hukum, sehingga mereka memutuskan untuk melakukan pembalasan kepada nelayan jaring batu.

Keragaman dalam masyarakat dan kehadiran pihak luar serta adanya keterlibatan dari aparat yang berada di pihak nelayan jaring batu menyebabkan konflik yang pada awalnya bersifat laten berubah menjadi

(10)

140 terbuka. Situasi awal yang muncul adalah kecemburuan nelayan rawai terhadap nelayan jaring batu yang mampu memperoleh hasil tangkapan yang lebih banyak. perbedaan hasil tangkapan ini sesungguhnya disebabkan karena perbedaan teknologi penangkapan di mana nelayan rawai masih menggunakan teknologi sederhana. Nelayan jaring batu mulai melakukan penangkapan dan penculikan terhadap nelayan rawai dan tetap melibatkan aparat kepolisian untuk menangkap nelayan rawai. Pada periode ini dibuat kesepakatan wilayah pengoperasian antara rawai dan jaring batu, di mana nelayan jaring batu tidak boleh beroperasi di daerah penangkapan nelayan rawai. Konflik yang pada awalnya muncul karena perbedaan alat tangkap (alokasi internal) yang dioperasikan berubah menjadi perebutan daerah penangkapan (yurisdiksi).

(4) Tahun 2000 (akibat), konflik mereda untuk sementara, dimana dibuat kesepakatan, bahwa nelayan kurau tidak boleh beroperasi di daerah penangkapan nelayan rawai. Aksi penangkapan terhadap kapal jaring batu yang beroperasi di perairan Bengkalis tetap di lakukan oleh nelayan rawai.

(5) Tahun 2001-2004 (krisis), nelayan kurau telah melanggar lagi kesepakatan, karena tetap melakukan penangkapan di daerah penangkapan nelayan rawai, hal ini menimbulkan kemarahan nelayan rawai, sehingga aksi pembakaran terhadap kapal nelayan kurau yang tertangkap dibakar oleh nelayan rawai kembali terjadi. Tetapi, nelayan kurau melakukan perlawanan yaitu melakukan penyerangan balasan dengan menculik, melakukan penyanderaan pompong nelayan rawai yang tertangkap. Pada masa ini, perang semakin terbuka, aksi membakar dan penyerangan di laut, pemanahan dan saling sandera terhadap pihak lawan dilakukan oleh kedua belah pihak yang berkonflik. Kapal-kapal yang tertangkap dijadikan barang sitaan oleh nelayan rawai, selanjutnya kapal diserahkan ke KAMLA untuk diproses, namun masyarakat menganggap KAMLA tidak memproses secara jelas karena seminggu kemudian kapal hasil sitaan dikembalikan Kamla pada pemiliknya.

Perihal kejadian ini dilaporkan kepada Dinas Perikanan dan Kelautan Bengkalis serta Kepolisian Bengkalis. Atas permintaan aparat kepolisian dan

(11)

141 Dinas Perikanan dilakukan perundingan untuk penyelesaian kasus ini.

Nelayan rawai menuntut agar Kepolisian Bengkalis mengusut tuntas kasus pemanahan oleh nelayan jaring batu, di mana nelayan rawai menggangap nelayan jaring batu sudah mempersiapkan diri dengan senjata tajam yang bukan merupakan peralatan mencari ikan. Sementara itu nelayan jaring batu menuduh nelayan rawai melakukan penyerangan terlebih dahulu. Seperti biasa, setiap ada kasus dan setiap perundingan selalu tidak menyentuh akar masalah. Dalam perundingan tersebut terfokus pada upaya saling membebaskan sandera.

Upaya penangkapan jaring batu ini mendapat perlawanan dari nelayan jaring batu, namun karena adanya aparat kepolisian bersama nelayan Selat Baru, lalu nelayan jaring batu menyerahkan diri. Untuk meredam emosi nelayan Selat Baru dan nelayan dari desa lainnya yang tergabung dalam SNKB, dilakukan penahanan terhadap nelayan jaring batu beserta kapalnya sebagai barang bukti. Kejadian ini berbuntut aksi demo SNKB ke DPRD Bengkalis.

Atas nama SNKB nelayan tradisional Kecamanan Bantan yang didukung oleh 9 (sembilan) desa yaitu Desa Teluk Lancar, Kembung Luar, Teluk Pambang, Muntai, Bantan Air, Bantan Tenggah, Selat Baru, Jangkang, Tanjung Sekodi mendesakkan beberapa tuntutan, diantaranya 1) meminta agar jaring batu dihapuskan/tidak dibenarkan beroperasi di perairan laut dari Tanjung Jati sampai Tanjung Sekodi; 2) meminta agar nelayan jaring batu yang telah ditahan di Polres Bengkalis agar dihukum karena telah banyak melakukan tindakan-tindakan mengancam dan meresahkan masyarakat nelayan rawai khususnya; 3) meminta agar kapal jaring batu yang telah ditahan di Polres sebanyak 2 unit diserahkan kepada SNKB untuk dijadikan kapal patroli.

(6) Periode 2005-sekarang (pascakonflik), pada periode ini, walaupun aksi penangkapan terhadap kapal jaring batu masih tetap dilakukan oleh nelayan rawai, tetapi kondisi tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Nelayan tetap memperjuangkan hak mereka untuk dapat melakukan aktivitas berusaha dalam kondisi yang aman. Nelayan rawai meminta dukungan dari semua pihak yang dianggap dapat menyelesaikan permasalahan mereka yang telah

(12)

142 lama dan menyebabkan banyak kerugian dipihak mereka. Tahun 2006 nelayan rawai didampingi oleh WALHI Riau meminta dukungan dari Gus Dur yang pada saat itu secara langsung menirimkan surat ke Presiden RI dan Gubernur Riau untuk penyelesaian konflik di perairan Bengkalis. Hasilnya dikeluarkan SK Gubernur no 17 tahun 2006. Namun hingga saat ini belum ada penyelesaian yang dapat diterima oleh kedua belah pihak yang berkonflik.

Eskalasi konflik yang ditunjukkan oleh Gambar 30, mengindikasikan bahwa usaha perikanan kurau masih memiliki peluang untuk dapat dijadikan sebagai prime mover dalam pengembangan usaha perikanan tangkap di perairan Provinsi Riau.

6.4.3 Urutan kejadian konflik

Konflik antara nelayan perairan Bengkalis (selanjutnya disebut sebagai

‘nelayan rawai’) dengan nelayan jaring batu di perairan Kecamatan Bantan sudah berlangsung hampir tiga dasawarsa. Hasil penelitian menunjukkan, konflik sering terjadi di perairan Teluk Pambang (Gambar 29), hal ini dikarenakan daerah penangkapan (fishing ground) ikan kurau adalah di perairan tersebut.

Konflik berkepanjangan ini berawal ketika pemburuan terhadap spesies ikan kurau di kawasan perairan Kecamatan Bantan mulai meningkat. Data lapangan menunjukkan bahwa perburuan terhadap spesies ikan kurau oleh nelayan rawai dimulai sejak tahun 1970-an. Pada masa tersebut nelayan rawai melakukan penangkapan ikan kurau dengan mengunakan sampan dayung yang dilengkapi layar dengan alat tangkap jaring insang permukaan dan rawai. Walaupun dengan mengunakan sampan dayung daerah tangkap (fishing ground) para nelayan belum berubah sampai saat ini.

Pertikaian antara nelayan rawai dan nelayan jaring batu sejak tahun 1983 tercatat sebanyak 38 kali, sebagian besar adalah penangkapan kapal jaring batu oleh nelayan tadisional. Konflik ini juga telah membuat sekitar 40 kapal jaring batu di bakar, dan mengakibatkan beberapa orang luka-luka (Suara Pembaharuan, 28 April 2004). Nelayan dan pemilik (pengusaha) jaring batu sebagian besar berasal dari Kecamatan Rangsang, Kecamatan Tebing Tinggi, Kecamatan Merbau, Kecamatan Bengkalis; Kabupaten Bengkalis dan Tanjung Balai Karimun;

(13)

143 Kabupaten Karimun yang merupakan usaha komersil skala ekspor yang didominasi oleh etnis Cina (Tionghoa). Memuncaknya konflik di perairan Bengkalis salah satunya disebabkan oleh semakin meningkatnya upaya penangkapan (Gambar 30) dan menurunnya produktivitas penangkapan nelayan terhadap ikan kurau (Gambar 31).

Gambar 29 Wilayah konflik dan pusat konflik antara nelayan rawai dengan nelayan jaring batu di perairan Bengkalis.

Ikan kurau saat ini merupakan target utama nelayan dengan harga ditingkat nelayan berkisar Rp. 25.000 – 60.000/kilogram dan bahkan pada kondisi tertentu dapat mencapai Rp. 80.000/kilogram. Berdasarkan data dari Koperasi Pantai Madani Desa Teluk Pambang, kelas harga ikan kurau berdasarkan bobot berat yaitu; a) berat

≤ 3 kg disebut kurau kecil/KK dengan harga Rp. 25.000/kg; b) berat 3,1 – 4,9 kg/ekor (kurau besar sedang/KBS) harga Rp. 40.000/kg; c) berat 5 – 12 kg/ekor (kurau besar/KB) harga Rp. 60.000/kg. Jika berat ikan kurau lebih dari 12 kg/ekor harganya disamakan dengan ikan kurau kelas KBS. Ukuran berat ikan kurau yang biasa tertangkap nelayan rawai berkisar antara 5 – 25 kg/ekor. Tingginya harga kurau juga merupakan indikator bahwa ikan kurau merupakan ikan dengan nilai ekonomis tinggi.

Legend:

Wilayah konflik nelayan rawai vs jaring batu Wilayah pusat konflik (Teluk Pambang) Pulau Bengkalis

(14)

144

Gambar 30 Upaya penangkapan alat tangkap jaring batu dan rawai.

Gambar 31 Produktivitas penangkapan alat tangkap rawai dan jaring batu.

Formulasi data lapangan terhadap latar belakang konflik ditampilkan dalam bentuk urutan kejadian untuk menunjukkan kronologi terjadinya konflik berdasarkan tahun, bulan dan tanggal sesuai dengan skalanya. Urutan kejadian konflik nelayan tradisional (rawai) Kecamatan Bantan dengan jaring batu dari tahun 1970-an sampai 2008 disajikan pada Tabel 26.

0 0,002 0,004 0,006 0,008 0,01 0,012 0,014

2002 2003 2004 2005 2006 2007

Tahun

produktivitas alat (ton/tahun)

jaring kurau rawai 0

200000 400000 600000 800000 1000000 1200000 1400000

2002 2003 2004 2005 2006 2007

Tahun

Upaya tangkap (trip)

jaring kurau rawai

(15)

145 Tabel 25 Kronologi terjadinya konflik nelayan rawai dan nelayan jaring batu

WAKTU KRONOLOGI KEJADIAN SKALA DAN INTENSITAS LOKASI KETERANGAN

1970 s/d 1980

Nelayan perairan Bengkalis menangkap ikan kurau dengan rawai mengunakan sampan dayung

Belum terindikasi adanya konflik Perairan Bengkalis

Nelayan kurau diduga telah beroperasi di peraairan Bengkalis, tetapi karena sumber daya kurau masih banyak, sehingga kehadiran mereka belum mengganggu nelayan rawai 1981 Pemburuan terhadap ikan kurau mulai

sering dilakukan oleh nelayan jaring batu dengan menggunakan kapal motor.

Belum terindikasi adanya konflik Perairan Bengkalis

Tercatat sebanyak 40 unit kapal jairng kurau tela beroperasi di peraiarn Bengkalis. Saat ini belum terindikasi adanya persaingan usaha penangkapan ikan kurau

1983 Perkelahian nelayan jaring batu dengan nelayan rawai di laut.

 Kapal jaring batu menabrak sampan nelayan rawai

 Nelayan rawai mendapat

intimidasi aparat yang melindungi nelayan jaring batu

 Karena ketakutan masyarakat melarikan diri ke Malaysia

Teluk Pambang Maraknya perburuan terhadap ikan kurau oleh nelayan dari luar Pulau Bengkalis mulai mengganggu nelayan rawai

1984 Nelayan jaring batu leluasa beroperasi di perairan Bantan

Nelayan rawai berusaha menghindari perkelahian

Perairan Bantan Nelayan rawai tidak melakukan perlawanan, karena takut akan adanya aparat di kapal nelayan jaring batu

1985 Dinas perikanan melakukan penangkapan satu unit kapal motor jaring batu

Jaring batu beroperasi di daerah penangkapan nelayan rawai

Teluk Pambang  kapal jering kurau yang tertangakp diserahkan ke polisi untuk diproses

 alat rawai yang rusak di ganti oleh pengusaha jaring batu

1986 Penangkapan satu unit jaring batu oleh nelayan rawai dan dibawa ke pantai Desa Teluk Pambang

Kapal jaring batu menabrak rawai Teluk Pambang Nelayan rawai melaporkan kejadian ini ke aparat, tetapi tidak mendapat tanggapan.

(16)

146 Tabel 25 (lanjutan)

WAKTU KRONOLOGI KEJADIAN SKALA DAN INTENSITAS LOKASI KETERANGAN

1987 Bentrokan nelayan rawai dengan nelayan jaring batu

Kapal jaring batu menabrak rawai Teluk Pambang Melalui perundingan yang di fasilitasi oleh dinas, nelayan rawai mendapat ganti rugi Rp. 90.000

1988 -1990 Bentrokan di laut  Kapal jaring batu menabrak rawai

 Kapal jaring batu merusak rawai dan nelayan rawai membalas dengan memotong pelampung jaring batu

 Nelayan jaring batu melibatkan aparat KAMLA dalam pengopersian alatnya

Teluk Pambang Nelayan rawai mulai berani melakukan perlawanan, walaupun tidak secara terbuka, yaitu dengan memotong pelampung jaring batu. Akibatnya nelayan rawai diminta untuk membayar ganti rugi sebesar Rp 2.000.000

1991 Penangkapan jaring batu oleh nelayan rawai

Beroperasi di kawasan tangkap nelayan rawai

Teluk Pambang Jaring batu diberi peringatan secara lisan

1993 – 1994

Bentrokan di laut  Jaring batu menabrak dan merusak rawai

 Tindakan tersebut dibalas oleh nelayan rawai dengan mengiris tali jaring batu dan ditinggal lari.

Teluk Pambang Nelayan rawai mulai berani melakukan perlawanan

1995 Dinas Perikanan Bengkalis, Camat Bantan, Kades Desa Teluk Pambang melakukan patroli

Tiga unit kapal jaring batu ditangkap karena melanggar perjanjian yang telah dibuat sebelumnya

Teluk Pambang Perjanjian antara nelayan jaring batu dengan dinas dan institusi yang terlibat dalam patroli, yaitu nelayan jaring batutidak boleh beroperasi di wilayah Tanjung Jati sampai Tanjung Sekodi 1996 Bentrokan di laut Jaring batu menabrak rawai Teluk Pambang Nelayan jaring batu melakukan pelanggaran

perjanjian

(17)

147 Tabel 25 (lanjutan)

WAKTU KRONOLOGI KEJADIAN SKALA DAN INTENSITAS LOKASI KETERANGAN

1997 Nelayan rawai melakukan ronda laut Menangkap dua unit kapal jaring batu

Teluk Pambang Nelayan rawai secara bersama melakukan pengamanan siang dan malam di perairan Bengkalis

7 Juli 1998 Masyarakat menangkap jaring batu lalu di bawa ke pantai

Tiga unit jaring batu dibakar di pantai

Teluk Pambang Karena tidak ada kepastian peradilan dari aparat, masyarakat memilih untuk melakukan pembakaran unit jaring batu yang ditangkap 8 Juli 1999 Masyarakat Desa Teluk Pambang

mengadakan penangkapan kapal jaring batu yang beroperasi di perairan Teluk Pambang

Tiga unit kapal jaring batu di bawa ke pantai

Teluk Pambang Ronda laut terus dilakukan oleh nelayan rawai.

20 Juli 1999

Terjadi penangkapan kapal jaring batu di antara perairan Bantan Air dan Muntai

Jaring batu dibakar dan kapal ditarik ke pantai

Bantan Air Nelayan jaring batu tidak menghormati kesepakatan bersama

29 Jan 2000 Masyarakat Desa Teluk Pambang

melakukan penangkapan kapal jaring batu

Dua kapal jaring batu tertangkap dan dibawa ke pantai

Teluk Pambang Nelayan jaring batu tidak menghormati kesepakatan bersama

12 Feb 2000

Masyarakat Desa Selat Baru melakukan penangkapan

Satu kapal jaring batu di tahan masyarakat

Selat Baru Nelayan jaring batu tidak menghormati kesepakatan bersama

18 Mai 2000

Nelayan Desa Selat Baru dan Desa Teluk Pambang yang tergabung dalam SNKB melakukan penangkapan

Lima unit kapal jaring batu tertangkap

Teluk Pambang Nelayan jaring batu tidak menghormati kesepakatan bersama

9 Sep 2000 Nelayan yang tergabung dalam SNKB melakukan penangkapan kembali

Dua unit kapal jaring batu ditahan oleh SNKB

Jangkang Nelayan jaring batu tidak menghormati kesepakatan bersama

(18)

148 Tabel 25 (lanjutan)

WAKTU KRONOLOGI KEJADIAN SKALA DAN INTENSITAS LOKASI KETERANGAN

25 Feb 2001

SNKB melakukan penangkapan kapal jaring batu di perairan Teluk Pambang

Satu unit jaring batu ditahan Teluk Pambang Nelayan jaring batu tidak menghormati kesepakatan bersama

1 Juni 2001 SNKB melakukan penangkapan jaring batu di perairan Desa Teluk Pambang.

Tiga unit kapal jaring batu yang berasal dari Kec. Merbau berhasil ditangkap. Satu unit dibakar ditengah laut. Dan dua unit lainnya di bawa kepantai.

Teluk Pambang Nelayan jaring batu tidak menghormati kesepakatan bersama

29 Apr 2002

Pembakaran kapal jaring batu yang melakukan penangkapan ikan di perairan Jangkang di bawah 4 mil laut

2 unit kapal jaring batu dibakar oleh masyarakat Desa Jangkang

Jangkang Nelayan jaring batu tidak menghormati kesepakatan bersama

20 Okt 2002

SNKB kembali menagkap kapal jaring batu di perairan Teluk Pambang

Satu unit kapal jaring batu tertangkap dan dibawa kepantai.

Teluk Pambang Nelayan jaring batu tidak menghormati kesepakatan bersama

6 Jan 2003 Nelayan jaring batu melakukan penyerangan kepada nelayan rawai

Nelayan rawai mengalami luka dibagian kepala dengan 17 jahitan karena dipukul dengan besi oleh nelayan jaring batu

Teluk Pambang Tahun ini mulai terjadi bentrokan fisik dan merupakan puncak konflik

1 Mar 2003 Nelayan jaring batu melakukan penyanderaan pompong nelayan rawai

1 unit pompong nelayan rawai disandera oleh nelayan jaring batu

Teluk Pambang Konflik semakin terbuka

16 Juni 2003

Perang terbuka antara nelayan rawai dengan nelayan jaring batu

1 (satu) orang nelayan rawai cedera terkena panah, 3 (tiga) Orang nelayan rawai dan 1 (satu) unit pompong nelayan rawai disandera 6 (enam) orang nelayan dan 1 unit kapal jaring batu disandera oleh nelayan rawai

Teluk Pambang

(19)

149 Tabel 25 (lanjutan)

WAKTU KRONOLOGI KEJADIAN SKALA DAN INTENSITAS LOKASI KETERANGAN

3 Juli 2003 Penyanderaan nelayan Desa Kembung Luar oleh nelayan jaring batu

2 orang nelayan kembung luar beserta 1 unit pompong disandera oleh nelayan jaring batu

Teluk Pambang

Akhir 2003 Terjadi penangkapan kapal jaring batu di antara perairan Desa Jangkang dan Desa Selat Baru

2 unit kapal jaring batu di bakar Selat Baru

8 Jan 2004 Penangkapan jaring batu oleh masyarakat Desa Selat Baru

2 unit kapal jaring batu ditahan masyarakat

Selat Baru

Feb 2004 Penyandraan warga Teluk Pambang oleh nelayan jaring batu

1 orang warga yang pulang berdagang dari malaysia disandera selama 2 hari

Rangsang

Juli 2004 Penangkapan jaring batu yang beroperasi di bawah 4 mil oleh SNKB (dimotori oleh masyarakat Desa Selat Baru) bersama Aparat Kepolisian Bengkalis dan Sekcam Bantan

1 Unit jaring batu diamankan aparat, 1 orang pengusaha jaring batu (Jang Karim) di proses serta 1 orang nelayan Selat Baru di tahan (tuduhan penganiayaan)

Kejadian ini berbuntut Aksi demo Nelayan Rawai ke DPRD Bengkalis.

Selat Baru

8 Agt 2004 Penangkapan jaring batu oleh SNKB I unit jaring batu ditahan dan ABK kapal jaring batu di aniaya nelayan Rawai. (dari keterangan SNKB, masyarakat melampiaskan emosinya karena penagkapan Jang Karim yang dianggap gembong jaring batu pada beberapa hari sebelunnya tidak mendapat sanksi apa-apa dari kepolisian)

Teluk Pambang

(20)

150 Tabel 25 (lanjutan)

WAKTU KRONOLOGI KEJADIAN SKALA DAN INTENSITAS LOKASI KETERANGAN

Okt 2005 Nelayan Kecamatan Bantan meminta bantuan ke DPRD Riau

DPRD Riau menyurati Danlanal, Guskanlamabar dan KASAL, untuk membantu penyelesaian masalah yang melibatkan kesatuan

Pekanbaru Belum ada tanggapan dari instansi terkait hingga saat ini

2006 Nelayan yang tergabung dalam SNKB dengan di dampingi oleh WALHI Riau meminta dukungan Gus Dur

- Jakarta Gus Dur saat itu juga langsung menyurati

Presiden RI dan Gubernur Riau

2006 Dikeluarkannya SK Gubernur Riau No 17 tahun 2006, tentang pelarangan

pengoperasian jaring batu di perairan Bengkalis hingga 12 mil laut

- Pekanbaru SK Gubernur ini keluar sebagai hasil dari

surat Gus Dur

15 Juni 2006

Nelayan jaring batu mengepung nelayan rawai dan membakar 1 buah pompong rawai

- terjadi perkelahian jarak dekat, 10 orang nelayan rawai terluka - Polisi menangkap beberapa orang

nelayan rawai yang dituduh membunuh nelayan jaring batu - satu unit kapal nelayan

berbendera Malaysia yang dibawa oleh nelayan Desa Kembung Luar dibakar dan ABK disandera oleh nelayan jaring batu

Teluk Pambang dan perairan Ransang Barat

Masyarakat dalam kondisi tegang, trauma dan ketakutan

16-18 Juni 2006

Nelayan Kecamatan Bantan melakuakn ronda baik di laut mapun di darat, terutama di malam hari

Berjaga-jaga, dikarenakan adannya isu penyerangan oleh nelayan jaring batu

Para ibu & anak-anak dievakuasi ke tempat yang lebih aman

Kecamatan Bantan

 Nelayan Kecamatan Bantan memperketat pengamanan di desa mereka

 nelayan yang terlibat langsung insiden 15 Juni banyak yang lari ke hutan

(21)

151 Tabel 25 (lanjutan)

WAKTU KRONOLOGI KEJADIAN SKALA DAN INTENSITAS LOKASI KETERANGAN

Juli 2006 Nelayan Kecamatan Bantan tidak melaut sejak insiden 15 Juni

Tidak ada jaminan keamanan melaut dari aparat kepolisian

Kecamatan Bantan

Nelayan berencana meminta suaka politiuk bagi 10 ribu jiwa ke Malaysia

16 Nov 2006

Terjadi penculikan di laut oleh nelayan jaring batu

4 orang nelayan rawai hilang di perairan Selat Malaka dan belum kembali hingga saat ini

Teluk Pambang Belum diketahui penyebabnya, tetapi disinyalir masih terkait dengan konflik yang terjadi

31 Maret – 2 April 2008

KOMNA HAM mendapat temuan di lokasi tentang dampak konflik terhadap nelayan dan keluarganya

KOMNAS HAM meminta Pemprov dan Pemkab mencari solusi untuk konflik yang terjadi

Pekanbaru  Banyak anak-anak nelayan yang putus sekolah, tingkat kesehatan yang menurun

 Himbauan untuk Polres Bengkalis agar bersikap independen dalam melakukan tugas pengawasan

 Himbauan untuk Pemkab Bengkalis untuk lebih serius menangani konflik yang terjadi di wilayahnya

April 2008 Nelayan yang tergabung dakam SNKB (1500 orang) melakukan aksi massa ke Kantor Bupati Bengkalis

Mendesak Pemkab Bengkalis dan Pemprov Riau untuk membuat Perda

dengan segera atas SK Gubernur No 17 tahun 2006

Kabupaten Bengkalis

Nelayan merasa belum ada kepastian hukum sebagai hasil dari perjuangan mereka selama ini

April 2008 - Dibentuknya mediasi dalam

penyelesaian konflik antara nelayan rawai dengan jaring batu

Teluk Pambang

Sumber: diolah dari data primer (wawancara) dan data sekunder (Yayasan Laksana Samudera; Co-fish Project, Harian Pagi Riau Pos, Mingguan SEBATI, Edisi 16/Tahun I/ 3-9 Juli 2003, WALHI Riau, Firdaus (2005) , website resmi Pemprov Riau, Riau Mandiri Online dan berbagai sumber)

(22)

152 6.4.4 Pemetaan konflik

Pemerintah dan atau pihak terkait lainnya perlu menyusun suatu langkah-langkah terencana dalam menangani konflik. Tiap konflik mempunyai kekhasan masing-masing, oleh karenanya perlu dilakukan pemetaan konflik terlebih dahulu. Fisher et al. (2000), menyatakan bahwa pemetaan konflik merupakan suatu cara untuk menggambarkan konflik secara grafis, menghubungkan pihak-pihak dengan masalah dan pihak lainnya.

Kegiatan ini dilakukan untuk lebih memahami konflik dengan baik dan melihat hubungan di antara berbagai pihak yang berkonflik secara lebih jelas sehingga metode pendekatan dan langkah-langkah penanganan konflik yang akan diterapkan dapat segera menghasilkan kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak.

Pelaku utama dalam konflik di peraian Bengkalis adalah nelayan Kecamatan Bantan (nelayan rawai) dan nelayan jaring batu yang dimodali tauke (pengusaha) dari berbagai daerah di Provinsi Riau maupun dari luar provinsi. Adanya perbedaan nilai, kepentingan, tingkat ketergantungan dan cara pandang dalam pemanfaatan sumber daya perikanan, menyebabkan masing-masing pihak melakukan usaha yang berbeda dalam memanfaatkan sumber daya perikanan (Gambar 32).

Perseteruan antara nelayan rawai dengan jaring batu telah menyebabkan hubungan yang tidak harmonis (konflik sekunder) antara nelayan rawai, Dinas Perikanan dan Kelautan (kabupaten dan provinsi) serta aparat hukum di laut. Konflik sekunder ini terjadi akibat ketidakpuasan nelayan rawai terhadap tindakan dinas perikanan dan aparat yang berpihak pada nelayan jaring batu, di mana seharusnya kelembagaan ini bersikap independent, sehingga muncul kecurigaan nelayan rawai terhadap pihak dinas perikanan dan aparat dalam memberikan respon terhadap kasus-kasus yang terjadi (Gambar 33).

Keberpihakan kelembagaan ini terlihat saat penyelesaian beberapa kasus yang ditangani oleh DPK dan aparat hukum di laut tanpa melalui proses hukum yang jelas, walaupun kerap kali kapal jaring batu yang ditangkap tidak dilengkapi IUP (Izin Usaha Perikanan) atau memiliki SPI (Surat Penangkapan Ikan) ganda.

(23)

153

= Konflik/perselisihan utama

= keberpihakan/aliansi

= hubungan kerja

= Konflik sekunder/situasional

Nelayan

rawai hukum di laut Penegak

Lembaga Non Pemerintah Eksportir

perikanan Pedagang

pengumpul

Nelayan kurau

Pedagang pengumpul

Dinas Perikanan Provinsi Riau

Dinas Perikanan Kabupaten

Bengkalis

Penegak hukum di laut

Lembaga Non Pemerintah

Dinas Perikanan Kabupaten

Bengkalis Dinas

Perikanan Provinsi Riau

Eksportir perikanan Kelembagaan

Mediator

Keterangan :

Gambar 32 Peta konflik para stakeholder dalam pemanfaatan sumber daya di perairan Kabupaten Bengkalis.

(24)

154 Nelayan Rawai

Nelayan jaring batu Diskan Provinsi

Riau &Kabupaten Bengkalis

Pemerintah Kabupaten Bengkalis

Eksportir /permintaan

pasar

 Hubungan kerja,

 perizinan dan pengawasan

Penegak hukum di

laut

Lembaga Non Pemerintah

= Konflik/perselisihan

= keberpihakan/aliansi

= hubungan kerja/relasi

= Konflik sekunder/situasional

Pedagang pengumpul

Gambar 33 Peta konflik nelayan di perairan Bengkalis pada saat krisis.

PTN/Akade misi

(25)

155 Nelayan rawai dalam upaya memperjuangkan hak mereka memilih untuk melakukan aliansi dengan pihak luar, dalam hal ini dengan lembaga non pemerintah seperti Yayasan Laksana Samudera, WALHI Riau, Yayasan Riau Mandiri dan lainnya.

Aliansi ini melakukan sebuah “program diskusi komunitas” yang dilaksanakan Laksana Samudera bersama Yayasan Riau Mandiri yang membahas berbagai permasalahan- permasalahan yang ada di masyarakat. Diskusi komunitas yang dilakukan pada 11 Juli 1999 di Desa Teluk Pambang ini diikuti oleh nelayan dari 7 desa Kecamatan Bantan (Kembung Luar, Teluk Pambang, Muntai, Bantan Air, Selat Baru dan Jangkang), dihadiri oleh Ketua Bappeda Kabupaten Bengkalis, Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Bengkalis menghasilkan sebuah kesepakatan tentang wilayah tangkap dan aturan penangkapan yang mereka sebut sebagai ”Kesepakatan 7 Desa” (Lampiran 11 ).

6.4.5 Segitiga S-P-K (Sikap-Perilaku-Konteks)

Analisis ini didasarkan pada prinsip bahwa konflik memiliki tiga lembaga utama yaitu : konteks atau situasi, perilaku mereka yang terlibat dan sikapnya (Fisher et al.

2000). Ketiga prinsip ini ditunjukkan secara jelas pada Gambar 34 dan 35 sebagai sebuah segitiga sama sisi. Selanjutnya dikatakan bahwa ketiga faktor tersebut saling mempengaruhi, oleh karena itu tanda panahnya dua arah di setiap sudut.

Pemahaman pada motivasi nelayan rawai dan nelayan jaring batu ditelusuri untuk menggali sumber penyebab konflik jaring batu. Analisis SPK antara nelayan rawai dan nelayan jaring batu menunjukkan bebarapa perbedaan dan persamaan, yang bila dikelompokkan akan menjadi penjelasan bagi beberapa sumber penyebab konflik.

(26)

156 B. Perilaku

C. Konteks Kebutuhan :

Keamanan berusaha dan ketersediaan sumber daya ikan

 menegur dan mengusir nelayan jaring batu yang beroperasi di Kecamatan Bantan

 melaporkan ke aparat tentang pengoparasian jaring batu

 melakukan penyanderaan dan pembakaran terhadap kapal-kapal jaring batu

 membentuk asosiasi dengan pihak yang dapat memberikan solusi

A. Sikap

 situasi yang tidak aman untuk melakukan pemanfaatan sumber daya ikan di wilayah sendiri

 belum optimalnya hukum dalam penyelesaian masalah

 sumber daya ikan dapat habis jika tidak di jaga dengan benar

Pandangan nelayan rawai terhadap nelayan jaring batu :

jaring batu penyebab berkurangnya hasil tangkapan

nelayan jaring batu menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan

jaring batu beroperasi di wilayah nelayan rawai

nelayan jaring batu di lindungi oleh aparat

Pandangan nelayan rawai terhadap diri sendiri :

menyadari pentingnya menjaga kelestarian sumber daya kurau

mengetahui cara memanfaatkan SDI yang tidak merusak

merasa sebagai pihak yang dirugikan

tidak memiliki modal

Gambar 34 Segitiga SPK (Sikap – Perilaku – Konteks) nelayan rawai di Kecamatan Bantan terhadap nelayan jaring batu.

(27)

157 C. Konteks

B. Perilaku

Kebutuhan : Keamanan berusaha dan

ketersediaan sumber daya ikan A. Sikap

Pandangan nelayan jaring batu terhadap nelayan rawai :

Nelayan rawai tidak memiliki modal dan keahlian dalam pengoperasian jaring batu

Nelayan rawai tidak memiliki hak untuk membatasi wilayah tangkap

Nelayan rawai tidak bisa diajak untuk bermusyawarah/kompromi

Nelayan rawai memiliki emosional yang tinggi

 Mengabaikan teguran-teguran yang dilakukan oleh nelayan rawai

 Melakukan aksi perlawanan terhadap nelayan rawai

 Berlindung kepada aparat

 Tetap melakukan penangkapan ikan kurau

 Perairan laut bersifat milik bersama di mana setiap orang boleh memanfaatkannya

 Sumber daya ikan merupakan potensi alam yang tidak akan habis

 Kepastian hukum dalam berusaha

Gambar 35 Segitiga SPK (Sikap – Perilaku – Konteks) nelayan jaring batu terhadap nelayan rawai di Kecamatan Bantan.

Pandangan nelayan jaring batu terhadap diri sendiri :

Memiliki modal yang besar

Memiliki alat penangkapan yang lebih modern

Mendapat dukungan dari aparat

Pengoperasian jaring batu tidak menyebabkan kerugian dan kerusakan

Bisa diajak untuk berkompromi

(28)

158 6.4.6 Analogi bawang bombay

Perbedaan idiologi dan prinsip dalam pemanfaatan sumber daya perikanan antara nelayan Kecamatan Bantan dengan nelayan jaring batu yang mengartikulasikan sumber daya perikanan secara berbeda dan memperlakukan dengan cara berbeda pula. Nelayan rawai menerapkan pemanfaatan sumber daya perikanan berbasis lokal yang bersifat konservasi, nelayan jaring batu mengaktualisasikan kepentingannya berdasarkan aspek ekonomi dan modal, yang bersifat ekploitatif.

Analisis terhadap kebutuhan-kepentingan-posisi yang diharapkan dari pihak nelayan rawai Kecamatan Bantan dan nelayan jaring batu dilakukan dengan menggunakan analogi bawang bombay yang disajikan pada Gambar 36.

Gambar 36 Analisis analogi “Bawang Bombay” konflik nelayan rawai Kecamatan Bantan dengan nelayan jaring batu.

Kepercayaan yang berkembang dalam masyarakat nelayan perairan Bengkalis bahwa laut sebagai sumber kehidupan bagi mereka, dengan latar belakang kepercayaan seperti ini maka perlakuan mereka terhadap laut berbeda, Pengusaha jaring batu

 Jaring batu adalah usaha yang sah dan memiliki izin usaha

 Pengoperasian jaring batu tidak

melanggar/merugikan siapa pun

 Memperoleh hasil tangkapan yang melimpah

 Memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya

 Keamanan dalam berusaha dan berinvestasi

 Keberlanjutan izin usaha

 Kepastian hukum

Wilayah konflik Nelayan rawai

 Pengoperasian jaring batu dapat merugikan nelayan lokal

 Pelarangan

pengoperasian jaring batu di Kecamatan bantan

 Memperoleh hasil tangkapan melimpah sepanjang tahun

 Kelestarian SDI

 Keberlanjutan dalam berusaha

 Keadilan dan keamanan dalam pemanfaatan SDI

 Kepastian hukum

Posisi Kepentingan

Kebutuhan

(29)

159 termasuk masalah yang berhubungan dengan berkembang atau tidaknya hak penguasaan laut tersebut.

Konsepsi yang berlanjut pada eksploitasi sumber daya perikanan yang dianut oleh nelayan jaring batu telah melanggar tatanan sosial yang berlaku di wilayah nelayan rawai. Nelayan rawai menganggap alat tangkap jaring batu merupakan alat tangkap yang berpotensi mengancam kelestarian sumber daya perikanan. Potensi negatif ini terbukti ketika jaring batu bebas beroperasi tanpa perlawanan, dapat dipastikan nelayan tradisional khususnya rawai tidak mendapatkan ikan selama beberapa hari. Nelayan jaring batu merupakan nelayan buruh yang dimodali oleh para pengusaha perikanan tangkap yang berorientasi pada jumlah hasil tangkapan yang mengacu pada prinsip-prinsip ekonomi yang mengandalkan teknologi.

6.4.7 Upaya penanganan konflik

Berbagai upaya penanganan telah dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat konflik di perairan Bengkalis, tetapi penanganan yang dilakukan selama ini belum mengarah pada pokok-pokok masalah yang menjadi faktor pendorong terjadinya konflik. Belum sesuainya penyelesaian yang dilakukan membuat konflik berlangsung dalam waktu yang lama, sehingga konflik meningkat baik intensitas maupun skalanya. Upaya penanganan terhadap konflik ini masih bersifat meredam atau meminimalisir terjadinya konfrontasi.

Upaya-upaya penanganan yang dilakukan oleh nelayan tradisional Bantan telah dilakukan pada awal munculnya konflik. Namun penanganan ini belum dilakukan secara bersama-sama dan masih terpisah pada masing-masing desa yang terlibat dalam konflik. Nelayan rawai Kecamatan Bantan berusaha melakukan penyelesaian konflik yang muncul. Upaya penyelesaian yang telah dilakukan oleh nelayan Kecamatan Bantan mulai dari memberikana peringatan kepada nelayan jaring batu, melaporkan kepada pihak berwenang, penangkapan yang dilanjutkan dengan perundingan, sampai pada aksi perlawanan atau konfrontasi yang berujung pada tindakan kekerasan dan pembakaran (Gambar 37). Ketidakpuasan nelayan rawai terhadap aparat membuat nelayan rawai menempuh jalur hukum untuk penyelesaian konflik yang terus berlanjut. Hal ini terpaksa dilakukan karena tidak adanya kepastian keamanan bagi nelayan rawai dalam melakukan usaha penangkapan

(30)

160 di wilayah mereka. Jalur hukum yang ditempuh oleh nelayan rawai mendapat respon positif dari pihak-pihak yang sangat memperhatikan nasib nelayan Kecamatan Bantan perairan Bengkalis, diantaranya adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

Gambar 37 Upaya penanganan konflik oleh nelayan rawai Kecamatan Bantan perairan Bengkalis.

6.5 Evaluasi Kelembagaan yang Menangani Konflik

Lembaga yang berperan dalam penanganan konflik akan saling berinteraksi satu sama lain melalui aktivitasnya. Interaksi setiap lembaga tentu akan menghasilkan adanya aktivitas yang sinergi, tumpang tindih bahkan antagonis. Hal tersebut semakin nyata karena dari lembaga-lembagaa tersebut ada yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta dan nelayan, bahkan ada yang kombinasi dari ketiganya.

Memperhatikan hal tersebut serta mengacu kepada pengertian kelembagaan, maka untuk menghasilkan sinergitas kinerja dari lembaga yang menangani konflik di perairan Bengkalis khususnya dan Provinsi Riau pada umumnya, diperlukan kelembagaan yang dapat mengatur keterpaduan semua

Sikap Aksi/Tindakan

menghindari konflik memberikan peringatan dan negosiasi

pendekatan ke

pemerintah dan aparat hukum (mediasi)

pelaporan

Menunjukkan sikap perlawanan/konfrontasi

Melakukan penangkapan, pembakaran dan

penyanderaan

pengendalian diri pemberian sanksi, denda, penyitaan

proses hukum

tidak ada

ada

(31)

161 lembaga penanganan konflik dalam pengembangan usaha perikanan tangkap yang terdiri dari lembaga pemerintah, lembaga swasta dan lembaga masyarakat. Guna mendukung penanganan konflik dalam pengembangan usaha perikanan tangkap di perairan Provinsi Riau agar berjalan secara sinergis, maka lembaga yang diperlukan adalah sebagai berikut:

(1) Lembaga pemerintah, yang terdiri dari: 1) Dinas Perikanan pada setiap Kabupaten/Kota Provinsi Riau, 2) Unit Pelakasana Teknis (UPT) Pelabuhan Perikanan, 3) Unit Perekayasaan Teknologi, dan 4) Unit Pelatihan dan Penyuluhan.

(2) Lembaga swasta, yaitu asosiasi/organisasi pengusaha unit penangkapan ikan (kapal, alat penangkap ikan, mesin kapal, perlengkapan dan alat bantu penangkapan ikan), asosiasi/organisasi pengolah dan pemasaran hasil perikanan.

(3) Lembaga masyarakat terdiri dari buruh nelayan, tokoh masyarakat, lembaga non pemerintah (LSM) dan kelompok pengawas pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan tangkap.

6.5.1 Peran kelembagaan pemerintah dalam penanganan konflik

Kabupaten Bengkalis secara administratif telah memiliki institusi formal yang mengelola perikanan seperti dinas perikanan dan kelautan kabupaten, demikian juga dengan peraturan formal dan informal yang berkaitan dengan pengelolaan atau pemanfaatan sumber daya alam. Keberadan peraturan-peraturan tersebut baik peraturan formal dan informal belum dibarengi dengan implementasi secara optimal, permasalahan tetap pada kepatuhan terhadap aturan-aturan tersebut.

Dinas Perikanan sebagai institusi yang berwenang terlihat sangat jelas peranannya dalam konflik yang terjadi. Selama konflik berlangsung pemerintah melalui Dinas Perikanan Kabupaten Bengkalis selalu ikut dalam menyelesaikan konflik karena desakan masyarakat yang semua bermuara pada pemerintah.

Upaya-upaya penyelesaian konflik yang dilakukan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bengkalis di antaranya, adalah :

Gambar

Gambar  27    Lokasi  penelitian  konflik  pemanfaatan  sumber  daya  ikan  di  perairan Bengkalis
Tabel   24   Tipologi  Konflik  perikanan  tangkap  di  perairan  Bengkalis  berdasarkan pendekatan Charles (1992)
Gambar  29    Wilayah  konflik  dan  pusat  konflik  antara  nelayan  rawai  dengan  nelayan jaring batu di perairan Bengkalis
Gambar  30  Upaya penangkapan alat tangkap jaring batu dan rawai.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Yaitu transfer depo yang berfungsi sebagai tempat pertemuan kendaraan pengumpul yang sudah terisi penuh dengan sampah dengan kendaraan pengangkut, dimana transfer depo ini

Ciri khas produk busana muslim di Sakinah Bordir diutara- kan oleh Ibu Lilik Suhariyati,S.Pd terletak pada desain hiasan serta penggunaan perpaduan warna antara desain

Kesimpulan dari penelitian ini adalah beberapa latihan pada buku Planet yang dapat dijadikan sebagai pelengkap yaitu keterampilan mendengarkan dengan jenis latihan Übungen,

Melalui pembelajaran multikultural, subyek belajar dapat mencapai kesuksesan dalam mengurangi prasangka dan diskriminasi. Dengan kata lain, sekolah mempunyai variabel yang

Judul Tesis ini adalah Strategi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah Ugama Radin Mas Singapura. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh

Hasil penelitian yang dilakukan prosentase tertinggi intensitas nyeri disminorea sebelum dilakukan stimulasi kutaneus (slow stroke back massage) Pada Siswi Kelas VII MTS

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Bupati tentang Tata Cara Pelaksanaan Imbal jasa Penjaminan

Aplikasi berasal dari kata application yang artinya penerapan, lamaran, penggunaan. Secara istilah aplikasi adalah: program siap pakai yang direka untuk melaksanakan