• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektivitas dan Perumusan Strategi Kebijakan Beras Nasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efektivitas dan Perumusan Strategi Kebijakan Beras Nasional"

Copied!
193
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh :

PURDIYANTI PRATIWI A14104107

PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN

(2)

Nasional. Di bawah bimbingan Muhammad Firdaus.

Beras adalah komoditas yang strategis secara ekonomi dan politis di Indonesia. Secara ekonomi, lebih dari 90 persen penduduk Indonesia menjadikan beras sebagai makanan pokoknya. Industri industri beras juga menjadi penggerak perekonomian dengan menyediakan lapangan pekerjaan bagi lebih dari 12.5 juta rumah tangga petani dan sebagai salah satu sumber penerimaan GDP pertanian. Secara politis, ketersedian beras akan mempengaruhi kondisi politik dan kestabilan keamanan negara. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya campur tangan pemerintah dalam menjaga kondisi perberasan nasional. Campur tangan pemerintah terhadap ekonomi beras dilakukan melalui berbagai kebijakan dan lembaga pemerintahan seperti Deptan, BULOG dan Depdag.

Tingginya konsumsi beras rata*rata penduduk (139,15kg/kap/th) membuat Indonesia menjadi salah satu negara beras tertinggi dunia (rataan konsumsi dunia 80*90kg/kap/th). Besarnya konsumsi sangat dipengaruhi jumlah penduduk, makin luasnya wilayah konsumsi dan gagalnya diversifikasi pangan. Periode 1996*1997 rasio ketergantungan impor beras mencapai 3,0 persen dan meningkat secara signifikan pada periode 1998*1999 hingga mencapai 11,7 persen (impor beras sebesar 4,8 juta ton). Pada waktu itu, rasio swasembada turun hingga mencapai 88 persen atau terendah sejak tahun 1990.

Upaya pemenuhan kebutuhan dapat dari produksi dalam negri maupun impor. Produksi dalam negri telah diupayakan melalui berbagai cara, namun produksi tetap stagnan. Sebenarnya impor dapat sangat membantu jika dalam jumlah dan waktu yang tepat terlebih karena harga beras dunia lebih rendah dari harga domestik. Namun pada tingkat berlebih, dapat mengganggu kemandirian pangan. Terlebih lagi, pasca ratifikasi WTO (1994), Indonesia wajib mematuhi semua kesepakatan yang tercantum didalamnya termasuk kesepakatan penurunan tarif impor antarnegara yang tertuang dalam (AoA* WTO). AoA*WTO terdiri atas tiga pilar utama yaitu 1) Akses Pasar (

); 2) Subsidi Domestik ( ); 3) Subsidi Ekspor (

yang dinilai disinsentif untuk negara berkembang karena terdistorsi kebijakan negara maju melalui berbagai subsidi dalam , dan

.

(3)

menggunakan Proses Hierarki Analitik (PHA). Pengolahan data menggunakan

dan .

Melalui Inpres No. 3 Tahun 2007 tentang Kebijakan Perberasan, pemerintah terus berusaha agar Ketahanan Pangan Nasional terjaga sesuai dengan amanat UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan. Kebijakan perberasan nasional meliputi kebijakan produksi, impor, harga dan distribusi. Kebijakan produksi dilaksanakan melalui intensifikasi dengan meningkatkan produktivitas dan Indeks Pertanaman. Sedangkan ekstensifikasi dilakukan dengan memperluas area panen terutama di luar Jawa. Program peningkatan produksi padi (P4) dimulai dengan Padi Sentra (1959), Bimas (1965), Insus (1979) dan P2BN (2007).

Kebijakan Impor dilakukan melalui penerapan tarif impor spesifik Rp 450/kg (30% ), hambatan nontarif, ! " (TRQ) dan

. Pengenaan tarif ini justru mendorong terjadinya penyelundupan ( # ) karena tingginya disparitas harga harga. Akhirnya tahun 2004 pemerintah mengeluarkan SK Menperindag No.9/MPP/Kep/1/2004 tentang importasi beras,

juga dengan mengembalikan Bulog sebagai (STE) yang

mengatur impor, harga dan distribusi beras melalui SK Mendag No.1109 Th 2007. Untuk melindungi petani, pemerintah mengeluarkan kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Tujuannya adalah memberikan jaminan harga bagi petani. Sedangkan untuk konsumen adalah pagu harga ( ), Operasi Pasar Murni dan Raskin. Kebijakan distribusi dilakukan dengan menunjuk Bulog untuk mengelola Cadangan Beras Pemerintah (CBP) sebesar 1*1,5 juta ton beras untuk menjaga ketersediaan pangan sepanjang tahun. CBP terdiri dari stok

operasi, dan .

Hasil analisis diagram ular menggunakan

menunjukkan bahwa kebijakan distribusi dinilai paling efektif dengan nilai total rata*rata indikator sebesar 2,4. Hal ini karena spesifiknya wilayah kerja Bulog, hanya mengelola CBP melalui pengadaan dalam negeri, koordinasi antarwilayah dan hak istimewanya sebagai STE sehingga stok CBP dan penyaluran Raskin terjaga. Kemudian diikuti dengan kebijakan harga dengan skor total rataan indikator sebesar 2,4. Meskipun nilainya sama dengan kebijakan distribusi, namun responden menilainya tidak efektif. Rasionalisasai HPP belum bisa menutup kenaikan biaya produksi sehingga pendapatan petani tetap rendah. Penerapan , OPM dan Raskin sebagai bentuk transfer pendapatan justru mendistorsi harga domestik, terlebih dengan kondisi pasar yang asimetris.

(4)

kesuksesan daripada kelemahan. Faktor Program P2BN dan G4PG memiliki bobot terbesar (0,073) dan Bulog kembali memonopoli impor dan menggendalikan harga sebesar 0,055 (terendah). Elemen kelemahan, bobot tertinggi adalah faktor tertinggalnya pengembangan infrastruktur produksi dan pascapanen (0,079) dan terendah adalah kegagalan program diversifikasi pangan (0,057). Analisis faktor eksternal diperoleh bobot rataan peluang adalah 0,527 dan bobot rataan ancaman 0,475. Pengembangan teknologi produksi, pascapanen dan pengolahan produk memiliki bobot tertinggi pada elemen peluang yaitu 0,120. Sedangkan bobot terendah (0,093) diberikan pada kesepakatan negara Kelompok G*33. Untuk elemen ancaman, perubahan iklim dan bencana alam mendapat bobot tertinggi (0,104) dan terendah untuk elemen ancaman adalah pada faktor berbagai bentuk subsidi pertanian oleh negara maju (0,088).

Berdasar analisis SWOT, diperoleh delapan strategi pengembangan perberasan. Berdasarkan analisis matriks QSP diperoleh bahwa strategi prioritasnya adalah mengkombinasikan kebijakaan protektif (pengenaan tarif dan nontarif) dengan kebijakan promotif melalui peningkatan produksi padi dengan # (TAS) sebesar 5,575. Sedangkan prioritas terakhir dengan TAS terendah diberikan pada strategi Reformasi Agraria dengan nilai 4,102.

Analisis menggunakan Proses Hierarki Analitik (PHA) bertujuan menentukan prioritas program peningkatan produksi padi. Ada empat faktor pertimbangan utama keberhasilan produksi yaitu: jumlah luas lahan, tingkat produktivitas, Indeks Pertanaman dan lembaga penunjang. Masing*masing faktor juga dipengaruhi oleh berbagai sub faktor pertimbangan utama. Analisis horizontal faktor pertimbangan utama menunjukkan bobot tertinggi diberikan pada faktor jumlah luas lahan (0,419); produktivitas (0,323); IP (0,163) dan lembaga penunjang (0,094) dengan Rasio Inkonsistensi 0.02. Sedangkan dari analisis vertikal diperoleh bahwa prioritas alternatif program adalah dengan membangun saluran irigasi berkoordinasi dengan Pemda terkait (bobot 0,387); mengadopsi teknologi baru sesuai dengan kondisi wilayah dan sumber daya lokal (bobot 0,351) dan terakhir adalah memperketat aturan alih fungsi lahan dan insentif bagi pemilik (0,262) dengan Rasio inkonsistensi 0,02.

(5)

Oleh:

PURDIYANTI PRATIWI A14104107

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN

(6)

Nama : Purdiyanti Pratiwi

NRP : A14104107

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Muhammad Firdaus, Ph.D NIP. 132 158 758

Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr NIP. 131 124 019

(7)

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “EFEKTIVITAS DAN PERUMUSAN STRATEGI KEBIJAKAN BERAS NASIONAL” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR<BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN< BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

Bogor, Mei 2008

(8)

Penulis bernama lengkap Purdiyanti Pratiwi, dilahirkan di Banjarnegara pada tanggal 20 November 1986. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Sukardi dan Marwati. Pada tahun 1998 penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Wanakarsa 2, Banjarnegara. Kemudian tahun 2001 penulis menyelesaikan pendidikan menengah pertama di SLTPN Wanadadi 1, Banjarnegara dan menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMAN 4 Jogjakarta pada tahun 2004.

Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) tahun 2004 sebagai mahasiswa program studi Manajemen Agribisnis, Departemen Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas pertanian. Pada tahun yang sama, penulis juga telah menjadi mahasiswa di Universitas Gajah Mada (UGM) di Jogjakarta.

(9)

Segala puji bagi Allah Yang Maha Kuasa atas anugerah, berkat dan kasih sayang*Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi penelitian yang berjudul “Efektivitas dan Perumusan Strategi Kebijakan Beras Nasional” dengan baik. Skripsi ini ditulis sebagai persyaratan menyelesaikan Program Sarjana pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perkembangan kebijakan perberasan, menganalisis efektivitas kebijakan perberasan yang telah berjalan, merumuskan strategi pengembangan kebijakan perberasan dan merumuskan program kebijakan peningkatan produksi padi nasional dalam upaya mewujudkan swasembada pangan.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan ini masih terdapat kekurangan dan jauh dari sempurna, karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun guna penyempurnaan skripsi ini. Namun dengan segala keterbatasan yang ada, skripsi ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak dalam usaha memajukan ekonomi perberasan di Indonesia.

Bogor, Mei 2008

(10)

petunjuk dan hidayah*Nya, skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak , Ibu, Adikku dan Kakakku serta penghargaan pada berbagai pihak yang telah membantu dalam persiapan, pelaksanaan dan penyusunan skripsi ini baik berupa bimbingan, dukungan dan masukan, terutama kepada:

1. Muhammad Firdaus, Ph.D selaku dosen pembimbing skripsi, atas semua masukan, bimbingan dan kesabarannya.

2. Ir. Lukman M Baga, MEc, selaku dosen pembimbing akademik. Terima kasih atas perhatian dan saran*saranya selama perkuliahan maupun saat penyusunan skripsi.

3. Dr. Ir. Ratna Winandi, MS selaku dosen penguji utama dan responden penelitian atas segala kritik dan saran dalam penyempurnaan skripsi ini. 4. Eva Yolynda A, SP, MM selaku dosen penguji komisi pendidikan atas

pelbagai perbaikan dalam penyempurnaan skripsi ini.

5. Yeka Hendra Fatika, SP dan Ibu Etriya, SP atas bimbingan, masukan, saran baik selama perkuliahan maupun selama penulisan skripsi serta bantuannya dalam menyebar kuesioner.

6. Keluarga besar Mbah Atmo dan Mbah Sambudi atas doa, kasih sayang dan perhatiannya selama ini.

7. Teman*teman di Nusakambangan dan teman*teman AGB 41, terima kasih atas dukungan, bantuan, persahabatan, perhatian dan kepedulianya.

8. Ir. Ning Pribadi, MS dan Dr. Kaman Nainggolan, MsC, Ir. Deshaliman, MM; Dr. M. Fahri, MS, Ibu Handewi P. Saliem, MS, Ir. Bubun Subroto, Prof. Dr. Andi Hasanuddin selaku responden dan seluruh staf Deptan dan staf Departemen Agribisnis atas bantuannya selama pengambilan data

(11)

Oleh :

PURDIYANTI PRATIWI A14104107

PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN

(12)

Nasional. Di bawah bimbingan Muhammad Firdaus.

Beras adalah komoditas yang strategis secara ekonomi dan politis di Indonesia. Secara ekonomi, lebih dari 90 persen penduduk Indonesia menjadikan beras sebagai makanan pokoknya. Industri industri beras juga menjadi penggerak perekonomian dengan menyediakan lapangan pekerjaan bagi lebih dari 12.5 juta rumah tangga petani dan sebagai salah satu sumber penerimaan GDP pertanian. Secara politis, ketersedian beras akan mempengaruhi kondisi politik dan kestabilan keamanan negara. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya campur tangan pemerintah dalam menjaga kondisi perberasan nasional. Campur tangan pemerintah terhadap ekonomi beras dilakukan melalui berbagai kebijakan dan lembaga pemerintahan seperti Deptan, BULOG dan Depdag.

Tingginya konsumsi beras rata*rata penduduk (139,15kg/kap/th) membuat Indonesia menjadi salah satu negara beras tertinggi dunia (rataan konsumsi dunia 80*90kg/kap/th). Besarnya konsumsi sangat dipengaruhi jumlah penduduk, makin luasnya wilayah konsumsi dan gagalnya diversifikasi pangan. Periode 1996*1997 rasio ketergantungan impor beras mencapai 3,0 persen dan meningkat secara signifikan pada periode 1998*1999 hingga mencapai 11,7 persen (impor beras sebesar 4,8 juta ton). Pada waktu itu, rasio swasembada turun hingga mencapai 88 persen atau terendah sejak tahun 1990.

Upaya pemenuhan kebutuhan dapat dari produksi dalam negri maupun impor. Produksi dalam negri telah diupayakan melalui berbagai cara, namun produksi tetap stagnan. Sebenarnya impor dapat sangat membantu jika dalam jumlah dan waktu yang tepat terlebih karena harga beras dunia lebih rendah dari harga domestik. Namun pada tingkat berlebih, dapat mengganggu kemandirian pangan. Terlebih lagi, pasca ratifikasi WTO (1994), Indonesia wajib mematuhi semua kesepakatan yang tercantum didalamnya termasuk kesepakatan penurunan tarif impor antarnegara yang tertuang dalam (AoA* WTO). AoA*WTO terdiri atas tiga pilar utama yaitu 1) Akses Pasar (

); 2) Subsidi Domestik ( ); 3) Subsidi Ekspor (

yang dinilai disinsentif untuk negara berkembang karena terdistorsi kebijakan negara maju melalui berbagai subsidi dalam , dan

.

(13)

menggunakan Proses Hierarki Analitik (PHA). Pengolahan data menggunakan

dan .

Melalui Inpres No. 3 Tahun 2007 tentang Kebijakan Perberasan, pemerintah terus berusaha agar Ketahanan Pangan Nasional terjaga sesuai dengan amanat UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan. Kebijakan perberasan nasional meliputi kebijakan produksi, impor, harga dan distribusi. Kebijakan produksi dilaksanakan melalui intensifikasi dengan meningkatkan produktivitas dan Indeks Pertanaman. Sedangkan ekstensifikasi dilakukan dengan memperluas area panen terutama di luar Jawa. Program peningkatan produksi padi (P4) dimulai dengan Padi Sentra (1959), Bimas (1965), Insus (1979) dan P2BN (2007).

Kebijakan Impor dilakukan melalui penerapan tarif impor spesifik Rp 450/kg (30% ), hambatan nontarif, ! " (TRQ) dan

. Pengenaan tarif ini justru mendorong terjadinya penyelundupan ( # ) karena tingginya disparitas harga harga. Akhirnya tahun 2004 pemerintah mengeluarkan SK Menperindag No.9/MPP/Kep/1/2004 tentang importasi beras,

juga dengan mengembalikan Bulog sebagai (STE) yang

mengatur impor, harga dan distribusi beras melalui SK Mendag No.1109 Th 2007. Untuk melindungi petani, pemerintah mengeluarkan kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Tujuannya adalah memberikan jaminan harga bagi petani. Sedangkan untuk konsumen adalah pagu harga ( ), Operasi Pasar Murni dan Raskin. Kebijakan distribusi dilakukan dengan menunjuk Bulog untuk mengelola Cadangan Beras Pemerintah (CBP) sebesar 1*1,5 juta ton beras untuk menjaga ketersediaan pangan sepanjang tahun. CBP terdiri dari stok

operasi, dan .

Hasil analisis diagram ular menggunakan

menunjukkan bahwa kebijakan distribusi dinilai paling efektif dengan nilai total rata*rata indikator sebesar 2,4. Hal ini karena spesifiknya wilayah kerja Bulog, hanya mengelola CBP melalui pengadaan dalam negeri, koordinasi antarwilayah dan hak istimewanya sebagai STE sehingga stok CBP dan penyaluran Raskin terjaga. Kemudian diikuti dengan kebijakan harga dengan skor total rataan indikator sebesar 2,4. Meskipun nilainya sama dengan kebijakan distribusi, namun responden menilainya tidak efektif. Rasionalisasai HPP belum bisa menutup kenaikan biaya produksi sehingga pendapatan petani tetap rendah. Penerapan , OPM dan Raskin sebagai bentuk transfer pendapatan justru mendistorsi harga domestik, terlebih dengan kondisi pasar yang asimetris.

(14)

kesuksesan daripada kelemahan. Faktor Program P2BN dan G4PG memiliki bobot terbesar (0,073) dan Bulog kembali memonopoli impor dan menggendalikan harga sebesar 0,055 (terendah). Elemen kelemahan, bobot tertinggi adalah faktor tertinggalnya pengembangan infrastruktur produksi dan pascapanen (0,079) dan terendah adalah kegagalan program diversifikasi pangan (0,057). Analisis faktor eksternal diperoleh bobot rataan peluang adalah 0,527 dan bobot rataan ancaman 0,475. Pengembangan teknologi produksi, pascapanen dan pengolahan produk memiliki bobot tertinggi pada elemen peluang yaitu 0,120. Sedangkan bobot terendah (0,093) diberikan pada kesepakatan negara Kelompok G*33. Untuk elemen ancaman, perubahan iklim dan bencana alam mendapat bobot tertinggi (0,104) dan terendah untuk elemen ancaman adalah pada faktor berbagai bentuk subsidi pertanian oleh negara maju (0,088).

Berdasar analisis SWOT, diperoleh delapan strategi pengembangan perberasan. Berdasarkan analisis matriks QSP diperoleh bahwa strategi prioritasnya adalah mengkombinasikan kebijakaan protektif (pengenaan tarif dan nontarif) dengan kebijakan promotif melalui peningkatan produksi padi dengan # (TAS) sebesar 5,575. Sedangkan prioritas terakhir dengan TAS terendah diberikan pada strategi Reformasi Agraria dengan nilai 4,102.

Analisis menggunakan Proses Hierarki Analitik (PHA) bertujuan menentukan prioritas program peningkatan produksi padi. Ada empat faktor pertimbangan utama keberhasilan produksi yaitu: jumlah luas lahan, tingkat produktivitas, Indeks Pertanaman dan lembaga penunjang. Masing*masing faktor juga dipengaruhi oleh berbagai sub faktor pertimbangan utama. Analisis horizontal faktor pertimbangan utama menunjukkan bobot tertinggi diberikan pada faktor jumlah luas lahan (0,419); produktivitas (0,323); IP (0,163) dan lembaga penunjang (0,094) dengan Rasio Inkonsistensi 0.02. Sedangkan dari analisis vertikal diperoleh bahwa prioritas alternatif program adalah dengan membangun saluran irigasi berkoordinasi dengan Pemda terkait (bobot 0,387); mengadopsi teknologi baru sesuai dengan kondisi wilayah dan sumber daya lokal (bobot 0,351) dan terakhir adalah memperketat aturan alih fungsi lahan dan insentif bagi pemilik (0,262) dengan Rasio inkonsistensi 0,02.

(15)

Oleh:

PURDIYANTI PRATIWI A14104107

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN

(16)

Nama : Purdiyanti Pratiwi

NRP : A14104107

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Muhammad Firdaus, Ph.D NIP. 132 158 758

Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr NIP. 131 124 019

(17)

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “EFEKTIVITAS DAN PERUMUSAN STRATEGI KEBIJAKAN BERAS NASIONAL” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR<BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN< BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

Bogor, Mei 2008

(18)

Penulis bernama lengkap Purdiyanti Pratiwi, dilahirkan di Banjarnegara pada tanggal 20 November 1986. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Sukardi dan Marwati. Pada tahun 1998 penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Wanakarsa 2, Banjarnegara. Kemudian tahun 2001 penulis menyelesaikan pendidikan menengah pertama di SLTPN Wanadadi 1, Banjarnegara dan menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMAN 4 Jogjakarta pada tahun 2004.

Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) tahun 2004 sebagai mahasiswa program studi Manajemen Agribisnis, Departemen Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas pertanian. Pada tahun yang sama, penulis juga telah menjadi mahasiswa di Universitas Gajah Mada (UGM) di Jogjakarta.

(19)

Segala puji bagi Allah Yang Maha Kuasa atas anugerah, berkat dan kasih sayang*Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi penelitian yang berjudul “Efektivitas dan Perumusan Strategi Kebijakan Beras Nasional” dengan baik. Skripsi ini ditulis sebagai persyaratan menyelesaikan Program Sarjana pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perkembangan kebijakan perberasan, menganalisis efektivitas kebijakan perberasan yang telah berjalan, merumuskan strategi pengembangan kebijakan perberasan dan merumuskan program kebijakan peningkatan produksi padi nasional dalam upaya mewujudkan swasembada pangan.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan ini masih terdapat kekurangan dan jauh dari sempurna, karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun guna penyempurnaan skripsi ini. Namun dengan segala keterbatasan yang ada, skripsi ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak dalam usaha memajukan ekonomi perberasan di Indonesia.

Bogor, Mei 2008

(20)

petunjuk dan hidayah*Nya, skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak , Ibu, Adikku dan Kakakku serta penghargaan pada berbagai pihak yang telah membantu dalam persiapan, pelaksanaan dan penyusunan skripsi ini baik berupa bimbingan, dukungan dan masukan, terutama kepada:

1. Muhammad Firdaus, Ph.D selaku dosen pembimbing skripsi, atas semua masukan, bimbingan dan kesabarannya.

2. Ir. Lukman M Baga, MEc, selaku dosen pembimbing akademik. Terima kasih atas perhatian dan saran*saranya selama perkuliahan maupun saat penyusunan skripsi.

3. Dr. Ir. Ratna Winandi, MS selaku dosen penguji utama dan responden penelitian atas segala kritik dan saran dalam penyempurnaan skripsi ini. 4. Eva Yolynda A, SP, MM selaku dosen penguji komisi pendidikan atas

pelbagai perbaikan dalam penyempurnaan skripsi ini.

5. Yeka Hendra Fatika, SP dan Ibu Etriya, SP atas bimbingan, masukan, saran baik selama perkuliahan maupun selama penulisan skripsi serta bantuannya dalam menyebar kuesioner.

6. Keluarga besar Mbah Atmo dan Mbah Sambudi atas doa, kasih sayang dan perhatiannya selama ini.

7. Teman*teman di Nusakambangan dan teman*teman AGB 41, terima kasih atas dukungan, bantuan, persahabatan, perhatian dan kepedulianya.

8. Ir. Ning Pribadi, MS dan Dr. Kaman Nainggolan, MsC, Ir. Deshaliman, MM; Dr. M. Fahri, MS, Ibu Handewi P. Saliem, MS, Ir. Bubun Subroto, Prof. Dr. Andi Hasanuddin selaku responden dan seluruh staf Deptan dan staf Departemen Agribisnis atas bantuannya selama pengambilan data

(21)

Halaman

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Produksi Beras ... 13

2.2. Konsumsi Beras ... 14

2.3. Konsep Ketahanan Pangan ... 15

2.4. Penelitian mengenai Permintaan dan Penawaran Beras ... 17

2.5. Penelitian Mengenai Kebijakan Impor ... 18

2.6. Penelitian Mengenai Kebijakan Harga ... 18

2.7. Penelitian Mengenai Kebijakan Distribsi ... 19

III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ... 20

3.1.1 Teori Permintaan dan Penawaran ... 20

3.1.2 Teori Perdagangan Internasional ... 21

3.1.3 Kebijakan Perdagangan Internasional ... 24

3.1.4.Perjanjian Perdagangan Internasional ... 28

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ... 31

IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 32

4.2. Jenis dan Sumber Data ... 32

4.3. Metode Penarikan Sampel ... 33

4.4. Metode Analisis dan Pengolahan Data ... 35

4.4.1 Pembobotan Faktor Internal dan Eksternal ... 36

4.4.2 Matriks SWOT ... 39

4.4.3 Matriks QSP ... 40

4.4.4 Diagram Ular ... 43

(22)

V. PERKEMBANGAN KEBIJAKAN BERAS NASIONAL

5.1. Kebijakan Produksi ... 52 5.2. Kebijakan Impor ... 56 5.3. Kebijakan Pengendalian Harga ... 57 5.4. Kebijakan Distribusi ... 60 VI. EFEKTIVITAS KEBIJAKAN BERAS DI INDONESIA

6.1. Indikator*Indikator Efektivitas Kebijakan ... 61 6.1.1. Kebijakan Produksi ... 63 6.1.2. Kebijakan Impor ... 72 6.1.3. Kebijakan Harga ... 74 6.1.4. Kebijakan Distribusi ... 78 6.2. Penilaian Efektivitas Kebijakan Beras Nasional ... 82 6.3. Dampak Kebijakan Perberasan Terhadap Kesejahteraan Petani ... 99 VII. PRIORITAS STRATEGI KEBIJAKAN PERBERASAN

7.1. Identifikasi Faktor Strategis Internal ... 106 7.1.1. Kekuatan ... 106 7.1.2. Kelemahan ... 112 7.2. Identifikasi Faktor Strategis Eksternal ... 117 7.2.1. Peluang ... 117 7.2.2. Ancaman ... 120 7.3. Pembobotan Faktor Internal dan Eksternal ... 125 7.3.1. Pembobotan Faktor Internal ... 125 7.3.2. Pembobotan Faktor Eksternal ... 127 7.4. Matriks SWOT ... 130 7.5. Analisis Matriks QSP (" # $ ) ... 135 VIII. PRIORITAS PROGRAM PENINGKATAN PRODUKSI PADI

8.1. Identifikasi Faktor dan Sub Faktor Pertimbangan Utama Penyusun

Program Peningkatan Produksi Padi ... 138 8.1.1. Luas Lahan ... 139 8.1.2. Tingkat Produktivitas ... 141 8.1.3. Indeks Pertanaman ... 144 8.1.4. Lembaga Penunjang ... 146 8.2. Analisis Model Pemilihan Alternatif Program Peningkatan Produksi ... 148 8.3. Analisis Hasil Pengolahan Horizontal ... 150 8.4. Analisis Hasil Pengolahan Vertikal ... 154 IX. KESIMPULAN DAN SARAN

(23)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi Tahun 1999*2007... 2 2. Jumlah Produksi, Konsumsi dan Impor Beras Periode 1995*2004 ... 5 3. Produksi Beras Dunia Tahun 2003*2007 ... 7 4. Ringkasan Jenis Data, Sumber Data dalam Penelitian ... 33 5. Pembobotan Faktor Internal ... 37 6. Pembobotan Faktor Eksternal ... 38 7. Penilaian Bobot Indikator Keberhasilan Beras Nasional ... 38 8. Matriks Perencanaan Strategi Kuantitatif (QSPM) ... 42 9. Nilai Skala Banding Berpasangan ... 47 10. Program Peningkatan Produksi Padi dan Paket Teknologi Anjuran ... 54 11. Konversi Lahan Sawah Selama Tahun 2000*2002 ... 64 12. Produksi Padi Beberapa Provinsi Sentra Beras Nasional (Ton) ... 69 13. Produksi Beras dan Tanaman Pangan Utama Lainnya (000 ton) ... 71 14. Harga Rata*Rata Beras di Tingkat Konsumen di Kota Besar ... 77 15. Nilai Rata*Rata Penilaian Indikator Kebijakan Perberasan... 83 16. Impor Beras dari Berbagai Sumber Periode 1996*2005 (Ton) ... 93 17. Perlindungan Impor Beras pada Berbagai Negara ... 95 18. Perkembangan Produksi dan Perdagangan Beras Dunia Periode

(24)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Keseimbangan dalam Perdagangan Internasional ... 23 2. Kerangka Pemikiran Operasional ... 29 3. Matriks SWOT ... 40 4. Contoh Quesioner ... 44 5. Skema Diagram Ular ... 45 6. Matriks Pendapat Individu ... 48 7. Matriks Pendapat Gabungan... 48 8. Perkembangan Luas Areal Tanam Padi Tahun 1978*2007 ... 65 9. Dampak Kumulatif Konversi Sawah Terhadap Masalah Pangan ... 66 10. Perkembangan Produktivitas Padi Tahun 1978*2007 ... 68 11. Perkembangan Jumlah Impor Beras Tahun 1986*2006 (ton) ... 73 12. Perkembangan Harga Pembelian Pemerintah Gabah Kering Panen dan Gabah

Kering Giling di Tingkat Petani Periode 2000*2007 ... 76 13. Realisasi Pengadaan Beras Dalam Negri oleh Bulog (ton) ... 79 14. Pola Distribusi Beras Dalam Negri Tahun 2004 ... 80 15. Perkembangan Realisasi Raskin Dari Tahun 2000*2007 ... 82 16. Penilaian Keberhasilan Kebijakan Beras Menurut Responden di Bidang

Keahlian Ekonomi Pertanian, Teknologi dan Budidaya Pertanian ... 84 17. Diagram Ular Kebijakan Beras Menurut Responden Peneliti dari Pusat

Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan dan Pusat Penelitian

(25)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Data Produksi, Luasan Panen dan Produktivitas Padi di Indonesia ... 164 2. Data Impor, Konsumsi dan Tarif Impor Beras ... 165 3. Data Perkembangan NTP Agregat di 14 Provinsi di Indonesia Tahun

1994*2006 (1993=100) ... 166 4. Harga Dasar Gabah dan Harga Rata*Rata Gabah di Tingkat Produsen

(26)

1.1. Latar Belakang

Beras merupakan komoditi strategis dan penting bagi rakyat Indonesia. Selain karena lebih dari 90 persen penduduk Indonesia menjadikan beras sebagai makanan pokoknya ( ), beras juga menjadi industri yang strategis bagi perkonomian nasional. Sawit (2005) menyatakan bahwa sumbangan industri beras terhadap GDP pertanian mencapai 28,8 persen pada tahun 2005, penyerapan tenaga kerja mencapai 28,79 persen dari total penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian ( % ) atau setara dengan 12,05 juta orang. Jumlah ini adalah jumlah terbesar dibandingkan industri lain di tanah air.

Selain bernilai strategis dari sisi ekonomi, beras juga penting sebagai instrumen untuk menjaga kestabilan keamanan pangan rakyat Indonesia. Sejarah telah membuktikan bahwa ketidakstabilan persediaan pangan khususnya beras telah memicu terjadinya kerusuhan dan tindak kriminal pada periode awal reformasi. Hal ini mengingatkan kita betapa pentingnya peran dan campur tangan pemerintah dalam menjaga ketersediaan beras sepanjang tahun, distribusi yang merata dan harga yang stabil. Karena itu beras diperlakukan sebagai komoditi yang strategis secara politis.

(27)

Perdagangan serta Badan Urusan Logistik (Bulog). Konsep ketahanan pangan tidak hanya meliputi ketersediaan pangan dalam jumlah cukup, tetapi juga mutu dan gizi yang seimbang, aman dikonsumsi serta dapat dijangkau oleh individu.

Kebijakan perberasan di Indonesia meliputi kebijakan produksi, distribusi, impor dan pengendalian harga domestik dalam rangka menjaga ketahanan pangan nasional. Kebijakan produksi pangan, terutama padi, telah dituangkan melalui Inpres No. 9 Tahun 2002 tentang dukungan dalam rangka meningkatkan produktivitas padi di Indonesia. Sebelumnya pemerintah juga telah mengeluarkan berbagai paket teknologi seperti Bimbingan Masal (Bimas) tahun 1965, Intensifikasi Khusus (Insus) tahun 1979 dan Supra Insus tahun 1987. Sehingga tahun 1984 Indonesia mencapai swasembada beras. Namun kondisi tersebut hanya berlangsung sementara karena setelah itu Indonesia harus mengimpor beras untuk memenuhi kebutuhannya.

Tabel 1. Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi dari Tahun1999<2007

Tahun

(28)

Dari Tabel 1 terlihat bahwa dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir telah terjadi peningkatan produksi padi, meskipun cenderung fluktuatif. Tingkat pertumbuhan produksi beras rata*rata sekitar 2,08 persen per tahun atau setara dengan satu juta ton beras. Penurunan produksi yang terjadi pada tahun 1999 sebesar 3,20 persen disebabkan oleh bencana El*Nino tahun 1998 sehingga berpengaruh terhadap jumlah panen tahun berikutnya. Penurunan produksi juga disebabkan oleh penurunan luas panen akibat konversi, pengunaan input yang kurang berkualitas, degradasi kualitas lahan, penurunan rendemen beras dan teknologi pascapanen yang kurang tepat. Penurunan rendemen padi menjadi determinan yang penting dalam produksi beras di Indonesia. Hal ini disebabkan karena setiap penurunan rendemen beras sebesar 1 persen, berarti produksi beras akan hilang sebesar 0,5 juta ton beras. Nilai ini menjadi penting untuk diperhatikan mengingat Indonesia merupakan beras dunia dengan jumlah penduduk yang besar.

(29)

Dilihat dari jumlah produksinya, Indonesia merupakan salah satu negara produsen padi terbesar di dunia dengan produksi beras mencapai 34 juta ton per tahun. Namun tingginya tingkat konsumsi beras nasional yang tidak diimbangi dengan peningkatan produksi yang memadai membuat Indonesia menjadi salah satu beras terbesar di dunia sejak tahun 1998. Kariyasa (2003) mencatat bahwa Indonesia mengimpor hampir 50 persen dari stok total beras dunia atau rata*rata sebesar 1,5 juta ton per tahun selama periode tahun 1990*99.

(30)

Tabel 2. Jumlah Produksi, Konsumsi dan Impor Beras Periode 1995<2006

1995 32333691 1807875 29315000 4826566

1996 32193949 2149753 31328000 3015702

1997 31107544 349681 27721000 3736225

1998 32045824 2895118 25330000 9610942

1999 31019116 4751398 25468000 10302514

2000 32696277 1355666 25572000 8479943

2001 31790280 644733 25714000 6721013

2002 32438507 1805380 25888000 8355887

2003 32846691 1428506 25985000 8290197

2004 33456854 236867 26247000 7446721

2005 34075735 189617 29251000 5014352

2006 34306610 438108 31627628 3117090

Sumber: BPS dari berbagai tahun.

*) Sisa Stok = Produksi Beras + Impor Beras – Konsumsi Total

Jumlah impor beras dalam kurun waktu 1995*1999 relatif lebih tinggi daripada periode 2000*2006. Pada periode 1996*1997 rasio ketergantungan impor beras mencapai 3,0 persen dan meningkat secara signifikan pada periode 1998* 1999 hingga mencapai 11,7 persen. Nilai ini setara dengan 15 persen total volume perdagangan beras di pasar dunia. Pada waktu itu, rasio swasembada turun hingga mencapai 88 persen atau terendah sejak tahun 19901. Pascakrisis jumlah impor beras ke Indonesia terus mengalami penurunan. Penurunan ini dipicu oleh kebijakan tarif impor beras spesifik ( # ) pada Januari tahun 2000. Selain pengenaan hambatan tarif, masuknya beras impor juga dikenai inspeksi fisik yang ketat ( ) untuk mengefektifkan adanya tarif impor. Pengenaan tarif impor sebesar Rp.430/kg terbukti mampu mengurangi jumlah beras impor (Tabel 2), meskipun pada sisi lain pengenaan tarif justru menimbulkan penyelundupan

1 Husein Sawit dan Lokollo (2007) dalam artikel Usulan Kebijakan Beras dari Bank Dunia: Resep

(31)

( # ) beras ke Indonesia akibat tingginya disparitas harga beras impor terhadap harga beras domestik. Akibat adanya berbagai kesulitan penerapan tarif, akhirnya pada Januari 2004 pemerintah mengeluarkan SK Menperindag No.9/MPP/Kep/1/2004 tentang larangan dan aturan importasi beras ke Indonesia.

Disparitas harga beras terjadi karena harga beras di pasar dunia jauh lebih rendah daripada harga beras domestik. Jumlah beras impor yang masuk terlalu besar akan dapat merusak keseimbangan harga beras domestik yang akibatnya berpengaruh terhadap pendapatan petani padi dalam negeri. Karena itu untuk meningkatkan harga jual dan melindungi petani, pemerintah kemudian menggunakan kebijakan Harga Dasar Gabah (HDG) yang kemudian diganti menjadi Harga Pembelian Pemerintah ( ) sebagai instrumennya. Namun kebijakan ini ternyata juga memiliki dampak negatif bagi petani sendiri dan konsumen karena sebagian besar petani padi di Indonesia juga menjadi konsumen beras. Karena itu, jika terjadi peningkatan harga di tingkat produsen maka daya beli masyarakat (petani dan konsumen) akan menurun yang pada akhirnya akan menurunkan tingkat kesejahteraan petani.

Berdasarkan penelitian, disebutkan bahwa hubungan antara harga produksi pertanian di tingkat konsumen dan di tingkat petani bersifat asimetri (Simatupang, 1989)2. Itu artinya peningkatan harga beras di tingkat konsumen ditransmisikan tidak sempurna dan lambat ke petani. Sedangkan penurunan harga beras di tingkat konsumen ditransmisikan secara sempurna dan cepat ke petani. Begitu pun dengan perubahan harga gabah. Mekanisme ini terjadi akibat struktur pasar beras

2 Simatupang dalam Husein Sawit (2007), artikel Usulan Kebijakan Beras dari Bank Dunia: Resep

(32)

dunia yang bersifat oligopoli dan kurang efektifnya peranan Bulog sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap mekanisme distribusi dan impor beras.

1.2. Perumusan Masalah

Sebagai negara produsen terbesar ketiga di dunia (USDA,2007), Indonesia seharusnya mampu memenuhi kebutuhan konsumsi domestiknya. Mengingat beras merupakan bahan makanan pokok bagi hampir seluruh penduduk yang memenuhi lebih dari 52 persen total kebutuhan kalori per hari (Sawit, 2005). Adapun usaha pemenuhan kebutuhan konsumsi dapat ditempuh melalui dua cara yaitu melaui produk domestik dan impor.

Tabel 3. Produksi Beras Dunia Tahun 2003<2007 (juta ton)3

Sumber: USDA ( 2007), diolah

*) Perhitungan hingga bulan November tahun 2007

Pemenuhan dari produksi domestik telah dilakukan dengan berbagai cara dan melalui berbagai kebijakan, tetapi hasilnya masih kurang optimal. Produksi beras relatif stagnan meskipun pemerintah telah mendorong melalui mekanisme harga dasar sebagai insentif untuk memacu petani berproduksi dan meningkatkan pendapatan. Menurut Malian (2004), rendahnya pertumbuhan produksi juga

3 World Rice Production, Consumption and Stock. www.usda.gov. [20 November 2007]

Negara 2003 2004 2005 2006 2007*

China 112,462 125,363 126,414 127,800 129,500

India 88,530 83,130 91,790 92,760 92,000

Indonesia 35,024 34,830 34,959 33,300 34,000

Bangladesh 26,152 25,600 28,758 29,000 29,000

Vietnam 22,082 22,716 22,772 22,894 23,261

Thailand 18,011 17,360 18,200 18,250 18,400

Nyamnar 10,730 9,570 10,440 10,600 10,660

Lainnya 78,752 82,457 84,723 83,441 84,336

(33)

dipengaruhi berbagai faktor, antara lain: 1) Penurunan tingkat rendemen padi menjadi 63.2 persen pada tahun 2004 akibat penerapan teknologi yang tidak sesuai anjuran dan penggunaan (RMU) yang sudah tua. Malian mencatat bahwa dalam kurun waktu 50 tahun telah terjadi penurunan rendemen padi sebesar 7,5 persen karena pada tahun 50*an tingkat rendemen padi mencapai 70 persen. 2) Minimnya modal yang dimiliki oleh petani, sedangkan pascakrisis semua harga input seperti pupuk, pestisida dan biaya tenaga kerja mengalami peningkatan. Akibatnya produktivitas cenderung menurun. 3) Adanya kecenderungan lahan*lahan produktif di Indonesia, terutama di pulau jawa sudah pada tahap pelandaian ( # ). Ditambah lagi meningkatnya konversi lahan pertanian ke nonpertanian akibat pertumbuhan penduduk dan industrialisasi sehingga pemenuhan kebutuhan beras dari produksi dalam negeri kurang dapat diandalkan.

(34)

Selain dari dalam negeri, tantangan juga datang dari luar negeri. Pengenaan tarif impor mendapat tekanan dari negara*negara maju melalui kerangka kesepakatan*kesepakatan multilateral (misalnya: adanya

, WTO) dengan dalih melanggar kesepakatan perdagangan bebas yang telah disepakati sebelumnya. Meskipun menurut Sawit (2005), rendahnya harga beras impor di pasar internasional disebabkan karena terdistorsi berbagai kebijakan proteksi, subsidi ekspor dan subsidi domestik negara maju melalui , dan . Sehingga petani Indonesia tidak mampu bersaing di pasar beras dunia, karena harga yang terjadi di pasar tidak mencerminkan biaya produksi.

Tingginya volume impor juga secara langsung akan berpengaruh terhadap harga beras domestik. Sesuai dengan konsep permintaan dan penawaran, semakin banyak jumlah impor maka semakin rendah harga beras domestik. Pada kondisi ini diperlukan kebijakan pengendalian harga yang mampu melindungi kepentingan produsen dan konsumen secara adil. Mekanisme kebijakan harga melalui harga dasar yang selama ini dilakukan ternyata belum mampu memberikan insentif yang sesuai pada petani padi.

(35)

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah perkembangan hasil kebijakan beras yang pernah dilaksanakan di Indonesia?

2. Apakah pelaksanaan kebijakan beras yang sudah berjalan sudah mencapai sasaran yang diharapkan?

3. Bagaimanakah strategi dan program kebijakan untuk mengembangkan perberasan nasional?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kebijakan beras nasional. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mendeskripsikan perkembangan kebijakan beras nasional. 2. Mengevaluasi hasil kebijakan beras nasional yang sudah berjalan. 3. Merumuskan strategi dan program kebijakan perberasan nasional.

1.4. Kegunaan Penelitian

(36)

secara adil. Selain itu juga sebagai bahan masukan dalam pengambilan keputusan kebijakan perdagangan beras internasional agar tercapai perdagangan beras yang adil ( ) di pasar internasional.

Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan informasi bagi berbagai pihak yang terkait dalam industri beras untuk menyiapkan langkah* langkah yang dapat mengingkatkan produksi dan produktivitas padi agar kemandirian dan kecukupan pangan Indonesia segera tercapai. Sedangkan untuk para akademisi, semoga penelitian ini dapat menjadi bahan informasi, perbandingan dan referensi bagi penelitian*penelitian selanjutnya.

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini merupakan suatu kajian kritis mengenai efektivitas kebijakan beras yang ada di Indonesia. Kebijakan yang dianalisis meliputi kebijakan produksi beras nasional, kebijakan impor, kebijakan pengendalian harga dan kebijakan distribusi beras. Ruang lingkup yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala nasional.

(37)

untuk kebijakan distribusi meliputi mekanisme distribusi beras yang dilakukan Bulog dalam rangka menjamin ketahanan pangan rakyat dan keamanan stok pangan nasional.

(38)

2.1. Produksi Beras

Produksi adalah suatu proses mengubah input menjadi output melalui mekanisme sistem produksi baik berupa barang maupun jasa. Produksi beras berarti proses perubahan input produksi hingga menjadi beras yang siap dimanfaatkan oleh konsumen. Jumlah produksi beras di Indonesia sangat dipengaruhi oleh jumlah luasan panen dan tingkat produktivitas. Semakin luas areal panen dan semakin tinggi produktivitas maka semakin besar jumlah produksi. Selain kedua hal tersebut, produksi beras juga dipengaruhi oleh tingkat konversi dari gabah ke beras. Di Indonesia, tingkat konversi (rendemen) gabah sebesar 63,2 persen (BPS, 2007) dengan jumlah produksi beras berkisar antara 34 juta ton per tahun atau setara dengan 54 juta ton gabah kering giling (GKG). Nilai rendemen ini menjadi penting karena untuk setiap penurunan sebesar 1 persen, Indonesia akan kehilangan produksi beras sebesar 0,5 juta ton.

(39)

Perubahan cuaca dan iklim dapat berpengaruh negatif maupun positif terhadap produksi. Bila iklim mendukung, produksi padi pada suatu wilayah biasanya akan meningkat. Tetapi bila iklim sedang tidak bersahabat, produksi di wilayah tersebut akan menurun drastis. Selain itu padi juga merupakan salah satu produk pertanian yang sangat rentan terhadap kerusakan ( &. Karena itu jumlah penawaran dan permintaan beras di pasar internasional sangat berfluktuasi tergantung kondisi alam pada wilayah tersebut.

2.2. Konsumsi Beras

Konsumsi adalah proses menghabiskan barang atau jasa untuk memuaskan keinginan (Lipsey, 1996). Konsumsi beras di Indonesia termasuk tertinggi di dunia yang mencapai 32 juta ton beras pada tahun 2006 dengan konsumsi per kapita sekitar 139,15 kg/tahun (BPS, 2007). Indonesia juga menjadi

beras dunia meskipun menjadi produsen beras terbesar ketiga dunia setelah China dan India dengan produksi sebesar 8 persen dari total produksi dunia pada tahun 20074.

Tingginya jumlah konsumsi dipengaruhi oleh tingginya jumlah penduduk Indonesia yang makanan pokoknya beras. Tercatat lebih dari 90 persen penduduk Indonesia mengkonsumsi beras. Jumlah ini semakin bertambah seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk. Selain jumlah penduduk, meningkatnya permintaan beras nasional dipengaruhi oleh beberapa faktor lain diantaranya meningkatnya pendapatan masyarakat, stabilnya harga beras di pasaran, berubahnya pola makanan pokok sebagian penduduk dari pangan nonberas

(40)

menjadi beras. Masyarakat Madura merubah pola konsumsinya dari jagung menjadi beras, masyarakat Papua dari umbi*umbian menjadi beras. Hal ini membuat semakin bertambahnya tingkat permintaan beras nasional. Selain itu, permintaan beras juga didorong dengan semakin berkembangnya industri yang memanfaatkan beras sebagai bahan bakunya.

2.3. Konsep Ketahanan Pangan

Undang*Undang Pangan No.7 Tahun 1996 memberikan definisi ketahanan pangan sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan secara cukup, baik dari jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Sementara USAID (1992) mendefinisikan ketahanan pangan sebagai satu kondisi dimana masyarakat pada satu yang bersamaan memiliki akses yang cukup baik secara fisik maupun ekonomi untuk memenuhi kebutuhan % dalam rangka untuk peningkatan kesehatan dan hidup yang lebih produktif. Perbedaan mendasar dari dua definisi ketahanan pangan tersebut yaitu pada UU No 7/1996 menekankan pada ketersediaan, rumah tangga dan kualitas (mutu) pangan. Sedangkan pada definisi USAID menekankan pada konsumsi, individu dan kualitas hidup5.

FAO (1997) mendefinisikan ketahanan pangan sebagai situasi di mana semua rumah tangga mempunyai akses baik fisik maupun ekonomi untuk memperoleh pangan bagi seluruh anggota keluarganya, dan di mana rumah tangga tidak beresiko mengalami kehilangan kedua akses tersebut. Hal ini berarti konsep ketahanan pangan mencakup ketersediaan yang memadai, stabilitas dan akses

5 Achmad Suryana dan Sudi Mardianto. 2003. Apa itu Ketahanan Pangan.

(41)

terhadap pangan*pangan utama. Determinan dari ketahanan pangan dengan demikian adalah daya beli atau pendapatan yang memadai untuk memenuhi biaya hidup (FAO, 1996).

Berdasarkan definisi ketahanan pangan dari FAO (1996) dan UU RI No. 7 tahun 1996 tentang Pangan, yang mengadopsi definisi dari FAO, ada 4 komponen yang harus dipenuhi untuk mencapai kondisi ketahanan pangan yaitu:

1. kecukupan ketersediaan pangan;

2. stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun.

3. aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan serta 4. kualitas/keamanan pangan

(42)

dilihat dari kemudahan rumahtangga memperoleh pangan, yang diukur dari pemilikan lahan serta cara rumah tangga untuk memperoleh pangan. Ukuran kualitas pangan seperti ini sangat sulit dilakukan karena melibatkan berbagai macam jenis makanan dengan kandungan gizi yang berbeda*beda., sehingga ukuran keamanan pangan hanya dilihat dari ada atau tidaknya bahan makanan yang mengandung protein hewani atau nabati yang dikonsumsi rumah tangga6.

2.4. Penelitian Mengenai Permintaan dan Penawaran Beras

Rini Andriana (2007) dalam penelitiannya menyatakan bahwa jumlah penawaran impor beras dunia terhadap Indonesia semakin meningkat seiring dengan meningkatnya produksi beras dunia. Peningkatan tersebut juga dipicu dengan dukungan pemerintah negara eksportir pada petani melalui pemberian insentif untuk meningkatkan produksi secara berkelanjutan. Selain itu dari segi harga, harga beras impor relatif lebih rendah dibanding dengan harga beras domestik. Dari sisi permintaan beras, yang dicerminkan dengan impor, jumlah impor beras Indonesia cenderung menurun karena adanya peningkatan produksi dalam negeri dan menurunnya konsumsi beras per kapita

Berbagai kebijakan perberasan sebenarnya telah ditetapkan oleh pemerintah untuk melindungi petani maupun konsumen beras. Kebijakan untuk melindungi petani seperti kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP), namun selama ini kebijakan tersebut belum berjalan secara efektif. Kebijakan untuk melindungi konsumen melalui Operasi Pasar Murni (OPM), Operasi Pasar Khusus (OPK) dan Raskin juga belum efektif karena tidak mampu menstabilkan harga.

(43)

Sedangkan untuk kebijakan impor relatif sudah lebih baik dari sebelumnya dengan diterapkannya tarif impor, pengaturan ijin, tatalaksana impor yang ditujukan untuk melindungi produsen dan konsumen beras di Indonesia.

2.5. Penelitian Mengenai Kebijakan Impor

Tahun 2005, Lubis meneliti tentang kebijakan impor beras dan kaitannya dengan diversifikasi pangan menggunakan data sekunder ( ) periode tahun 1978*2002. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Model Pendekatan Simulasi Kebijakan (ATPSM * $ %

) dengan analisis regresi berganda.

Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa jumlah impor beras dipengaruhi oleh harga di tingkat pedagang dan krisis yang terjadi. Pada kondisi ini, kebijakan yang paling efektif untuk mengurangi impor adalah '

( ' ). Jumlah konsumsi dipengaruhi jumlah penduduk, harga terigu, tingkat pendapatan dan harga beras di tingkat konsumen. Menurut Lubis, kombinasi kebijakan peningkatan produksi beras dan subtitusinya akan mengakibatkan bertambahnya variasi pangan pokok. Jika ini dilakukan dengan pengurangan impor melalui quota tarif akan menurunkan ketersediaan pangan dan mendorong diversifikasi pangan.

2.5. Penelitian Mengenai Kebijakan Harga

Pada tahun 2004, Ritonga meneliti keefektifan kebijakan harga dasar beras menggunakan model ekonometrika permintaan dan penawaran beras dalam bentuk persamaan simultan. Data yang digunakan adalah data sekunder (

(44)

mempengaruhi jumlah permintaan dan penawaran beras secara signifikan adalah harga gabah di tingkat petani, teknologi yang digunakan, sarana produksi, tingkat konversi lahan, harga beras eceran, pendapatan per kapita dan populasi penduduk.

Kebijakan peningkatan harga dasar memang meningkatkan pendapatan petani di satu pihak, namun di pihak lain kenaikan harga dasar akan diikuti dengan kenaikan harga beras eceran sehingga menurunkan kesejahteraan konsumen. Secara agregat kebijakan tersebut telah menurunkan agregasi kesejahteraan rakyat.

2.6. Penelitian Mengenai Distribusi Beras

Evy (2007) menyatakan bahwa adanya perbedaan jumlah permintaan dan penawaran beras antarwaktu dan wilayah sebagai proses mekanisme pasar telah mendorong perlunya distribusi yang baik antarwilayah. Hal ini juga terjadi di wilayah DKI Jakarta yang merupakan salah satu wilayah defisit beras. Untuk memenuhi kebutuhan penduduk, pemerintah daerah harus mendatangkan beras dari daerah sekitarnya seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan sebagian kecil dari luar Jawa. Tercatat pada tahun 2006 produksi padi lokal hanya 7.239 ton sedangkan kebutuhan beras setiap hari mencapai 3000 ton. Sehingga sepanjang tahun, DKI Jakarta mengalami defisit sekitar 1 juta ton beras. Untuk itu Pemda DKI membangun PIC untuk mengatur arus distribusi beras dari dan ke Jakarta.

(45)

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Teori Permintaan dan Penawaran

Permintaan adalah jumlah barang atau jasa yang rela dan mampu dibeli oleh konsumen selama periode tertentu (Pappas dan Hirschey, 1995). Sedangkan menurut Lipsey ) (1995), permintaan adalah hubungan menyeluruh antara kuantitas komoditas tertentu yang akan dibeli oleh konsumen selama periode waktu tertentu dengan harga tertentu. Faktor–faktor yang mempengaruhi jumlah permintaan suatu komoditas adalah harga komoditas itu sendiri, harga komoditas lain, tingkat pendapatan, selera dan jumlah penduduk. Faktor*faktor tersebut dapat digambarkan dalam sebuah fungsi, yaitu:

QD = f (Px, Py, I, S, Pop, ...) dimana:

QD = Jumlah komoditi yang diminta

Px = Harga komoditi X

Py = Harga komoditi Y

I = Pendapatan Pop = Jumlah populasi

(46)

faktor yang mempengaruhi penawaran dapat digambarkan dalam sebuah fungsi, yaitu:

QS = f (Px, Py, Pi, r, T, ...) dimana:

QS = Jumlah komoditi yang ditawarkan

Px = Harga komoditi X

Py = Harga komoditi Y

Pi = Harga input r = Biaya modal T = Pajak

Teori ini diharapkan mampu menjelaskan keterkaitan faktor*faktor yang mempengaruhi jumlah permintaan dan penawaran terhadap produksi dan konsumsi beras dalam negeri.

3.1.2. Teori Perdagangan Internasional

Teori perdagangan internasional digunakan untuk menganalisa dasar terjadinya perdagangan internasional dan keuntungannya. Terdapat dua kelompok teori mengenai perdagangan internasional yaitu teori klasik dan teori modern. Teori klasik terdiri dari Teori Keunggulan Absolut dari Adam Smith dan Teori Keunggulan Komparatif dari David Ricardo. Sedangkan teori modern salah satunya adalah Teori Faktor Proporsi dari Hecksher*Ohlin (Hady, 2001).

1. Teori Keunggulan Absolut

(47)

keunggulan absolut terhadap jenis barang tersebut. Inti dari teori ini adalah adanya efisiensi penggunaan input, seperti tenaga kerja, akan sangat menentukan keunggulan suatu negara dalam perdagangan. Sehingga bila hanya satu negara yang memiliki keunggulan absolut untuk dua jenis produk, tidak akan terjadi perdagangan yang saling menguntungkan (Tambunan dalam Hady, 2003).

2. Teori Keunggulan Komparatif

Kelemahan pada teori Adam Smith kemudian diperbaiki oleh David Ricardo dengan Teori Keunggulan Komparatif. Pada teori ini, meskipun suatu negara kurang efisien dalam memproduksi dua jenis produk, namun negara tersebut masih dapat melakukan perdagangan internasional yang menguntungkan pada produk yang memiliki biaya relatif lebih kecil dibanding produk lainnya.

Menurut David Ricardo, perdagangan antarnegara akan terjadi bila masing*masing negara memiliki biaya relatif yang terkecil untuk jenis barang yang berbeda. Perbedaan relatif harga*harga atas berbagai komoditi antara dua negara merupakan pencerminan keunggulan komparatif yang menjadi dasar hubungan dagang agar dapat saling menguntungkan (Salvatore,1997).

3. Teori Hecksher<Ohlin (H<O)

(48)

memiliki modal yang lebih banyak dari Indonesia. Struktur ini terbukti mampu menciptakan perdagangan yang saling menguntungkan (Hady, 2001).

Pada dasarnya perdagangan antar negara dapat terjadi karena adanya perbedaan jumlah permintaan dan penawaran suatu komoditas. Kelebihan penawaran ( %) suatu negara dapat menjadi permintaan impor negara lain yang mengalami kekurangan ( ). Selain jumlah permintaan dan penawaran domestik, ekspor juga dipengaruhi oleh faktor*faktor lain seperti harga komoditas itu sendiri, harga barang subtitusi, dan berbagai hambatan perdagangan (Salvatore, 1997).

Px/Py Px/Py Px/Py SB

PB Ekspor SA S* EB

P* E*

PA EA D* Impor DA

X X X

0 0 0

Pasar Negara A Pasar Internasional Pasar Negara B Gambar 1. Keseimbangan dalam Perdagangan Internasional

Sumber: Salvatore, 1997

Gambar di atas menunjukkan proses terjadinya perdagangan internasional antara negara A dan B. DA dan SA adalah tingkat permintaan dan penawaran di

Negara A dengan harga pada titik PA, sedangkan DB dan SB pada negara B dengan

harga pada titik PB. Di negara A terjadi kelebihan penawaran suatu komoditas

(49)

Perdagangan kedua negara terjadi di pasar internasional dicerminkan pada kondisi D* dan S* dengan tingkat harga P*. Harga pada tingkat P* lebih tinggi daripada harga di pasar negara A yaitu sebesar P**PA, sedangkan harga di negara

B lebih tinggi dari pasar internasional sebesar PB – P*. Karena itu negara B akan

memenuhi kelebihan permintaan dengan cara mengimpor dari negara A melalui perdagangan internasional.

3.1.3. Kebijakan Perdagangan Internasional

Kesepakatan perdagangan bebas ( ) dalam kerangka kerjasama internasional seharusnya dapat meningkatkan keuntungan setiap negara yang terlibat didalamnya. World Trade Organization (WTO) sebagai organisasi perdagangan internasional seharusnya mampu menciptakan mekanisme yang adil dalam perdagangan sehingga tidak ada negara yang dirugikan akibat terjadinya distorsi pasar melalui berbagai mekanisme hambatan.

Distorsi pasar terjadi akibat masih banyaknya negara yang menerapkan berbagai jenis hambatan terutama negara*negara maju dengan dalih pengenaan kebijakan perdagangan ( %) atau kebijakan komersil (

%). Hambatan ini berlaku terutama pada perdagangan produk*produk pertanian. Hambatan perdagangan terdiri dari hambatan tarif dan hambatan nontarif.

1. Hambatan Tarif ( )

(50)

negara lain. Pengenaan tarif impor akan berdampak pada penurunan konsumsi domestik dan mendorong kenaikan produksi domestik. Berkurangnya volume impor akan meningkatkan penerimaan dalam bentuk pajak serta terjadinya redistribusi pendapatan dari konsumen ke produsen. Sedangkan tarif ekspor adalah pajak yang dikenakan pada suatu komoditi yang akan diekspor.

Menurut Handono ) (2004), berdasarkan tujuannya, penetapan tarif terdiri atas:

a. Tarif Proteksi, yaitu pengenaan tarif bea masuk yang tinggi untuk mencegah atau membatasi impor atas barang tertentu.

b. Tarif Revenue, yaitu pengenaan tarif bea masuk yang bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara.

Karena itu Hamdy (2000) menyebutkan bahwa fungsi adanya bea masuk adalah untuk mengatur perlindungan kepentingan ekonomi dalam negri (fungsi ), sebagai sumber penerimaan negara (fungsi ) dan fungsi pemerataan distribusi pendapatan nasional.

Menurut Kariyasa (2003), ada tiga jenis tarif yang diberlakukan di Indonesia dilihat dari cara penghitunganya, yaitu:

• Tarif # ( # ) adalah pajak yang dikenakan berdasarkan angka persentase tertentu dari nilai barang*barang yang diimpor. Misalnya, Indonesia mengenakan tarif 25 persen atas nilai impor beras dari Thailand. • Tarif Spesifik ( ) adalah pajak yang dikenakan sebagai beban tetap

(51)

2. Hambatan Nontarif ( )

Biasanya hambatan nontarif merupakan wujud campur tangan pemerintah dalam memproteksi industri domestiknya. Berikut adalah bentuk*bentuk restriksi perdagangan internasional:

Kuota Impor (Quota Impor)

Kindleberger dan Lindert dalam Sawit (1978) menyatakan bahwa quota adalah

“ ' % ( % % ”.

Melalui quota dilakukan pembatasan jumlah impor terhadap suatu komoditi. Biasanya pemerintah memberikan lisensi terhadap kelompok tertentu untuk mengimpor yang jumlahnya sudah dibatasi. Menurut Irawan (2004), terdapat beberapa alasan diberlakukanya quota impor di suatu negara.

a. Sebagai jaminan terhadap kemungkinan naiknya pengeluaran impor akibat persaingan perdagangan luar negri yang memburuk.

b. Quota memberikan kekuatan dan fleksibilitas administrasi pada pemerintah. Jika dilihat dari sisi ekonomi, penerapan quota tidak memberikan nilai tambah kepada pemerintah karena tidak mempengaruhi penerimaan negara. Sehingga penerapan kebijakan ini lebih bersifat protektif terhadap pihak tertentu.

• Subsidi Ekspor dan Impor

Subsidi ini dapat berupa pengurangan biaya ekspor/impor maupun berbagai kemudahan lain seperti kemudahan administrasi, pemberian modal dan pembangunan infrastruktur.

Persyaratan*persyaratan Kesehatan

(52)

mengangkat isu kesehatan manusia untuk menjatuhkan harga komoditas pertanian yang akan masuk ke negara tersebut.

Pajak Perbatasan

Pajak perbatasan adalah pajak tidak langsung yang dikenakan kepada pengekspor (di luar tarif) untuk meringankan kewajiban pajak bagi importir domestik.

adalah ekspor dari suatu komoditas yang harganya jauh di bawah harga pasar, harga luar negeri lebih rendah daripada harga dalam negeri. dibagi menjadi tiga yaitu: terus*menerus, predator dan sporadis.

Pembukaan perdagangan internasional beberapa komoditi pertanian oleh pemerintah melalui impor merupakan salah satu bentuk liberalisasi perdagangan. Sejarah telah mencatat bahwa setelah tahun 1998 pemerintah Indonesia telah melakukan liberalisasi berbagai produk pertanian termasuk beras yang notabene produk terpenting pertanian nasional. Peranan Bulog sebagai

(STE) dicabut, tarif impor beras dibebaskan hingga 0 persen dan pencabutan berbagai kebijakan subsidi serta liberalisasi tataniaga pupuk. Terlebih lagi jika ini dikaitkan dengan berbagai perjanjian internasional yang ikut disepakati pemerintah Indonesia seperti ratifikasi

(WTO) yang bertujuan untuk mereduksi berbagai hambatan perdagangan antarnegara dalam rangka liberalisasi pasar.

(53)

Namun untuk mencapai manfaat liberalisasi perdagangan secara optimal diperlukan Undang*undang yang mengatur persaingan yang sehat dan melarang praktek monopoli. Selain itu, setiap negara yang terlibat harus memiliki kemampuan sumber daya yang sama sehingga tidak ada negara yang akan dirugikan.

Meskipun terdapat sebagian pihak yang mendukung dilakukannya liberalisasi perdagangan pada komoditi pertanian Indonesia, namun ada juga sebagian pihak yang tidak setuju karena liberalisasi menimbulkan dampak negatif bagi pertanian Indonesia. Hal ini disebabkan daya saing produk pertanian Indonesia belum sebanding dengan negara importir sehingga hanya akan merugikan petani kecil. Selain itu berbagai jenis proteksi yang dilakukan negara maju terhadap sektor pertanian melalui kebijakan harga ( ), subsidi

langsung ( % ) dan bantuan pasokan ( % )

telah menyebabkan distorsi perdagangan internasional produk pertanian dunia. Rendahnya harga dunia hanya menyebabkan harga di negara pengimpor menjadi tidak kompetitif sehingga kondisi persaingan menjadi tidak sehat.

3.1.4. Perjanjian Perdagangan Internasional

Pasca penandatangan ratifikasi pembentukan World Trade Organization (WTO) melalui UU No.7 Tahun 1994, Indonesia berkewajiban mematuhi semua perjanjian yang ada didalamnya termasuk Perjanjian Pertanian (

(54)

( ); 3) Subsidi Ekspor ( )7. Di samping itu terdapat perlakuan khusus dan berbeda untuk komoditi tertentu, sehingga keberadannya perlu dimanfaatkan dalam pembangunan pertanian Indonesia.

Sejak awal banyak negara berkembang yang meragukan akan manfaat AoA*WTO karena adanya berbagai kelemahan dan bersifat disinsentif bagi kebijakan pertanian negara berkembang seperti Indonesia. Kelemahannya antara lain: 1) Sulitnya akses pasar negara berkembang ke negara maju karena sejak awal tingkat tarifnya jauh lebih tinggi. 2) Banyaknya subsidi ekspor dan subsidi domestik yang dilakukan negara maju untuk mendorong ekspor dari surplus produksi yang tidak bisa dilakukan negara berkembang. 3) Tidak fleksibelnya pengenaan tarif bagi negara berkembang untuk menyesuaikan dengan perkembangan keadaan pada negara itu dalam menghadapi liberalisasi.

Perundingan mengenai liberalisasi sebenarnya telah dimulai pasca penandatanganan Putaran Uruguay tahun 1986. Tujuanya adalah untuk mencegah meningkatnya proteksionisme negara maju. Hasil perundingan itu antara lain kesepakatan dilaksanakannya liberalisasi perdagangan dan setiap negara harus menyusun tingkat tarif yang akan diterapkan dan melakukan konversi hambatan nontarif ke dalam ekuivalen tarif. Hasil kesepakatan tersebut kemudian di terapkan melalui: 1) Pengurangan hambatan pasar dengan cara penurunan tarif rata*rata 36 persen untuk setiap jenis tarif di negara maju selama enam tahun, sedangkan di negara berkembang hanya 24 persen selama sepuluh tahun. Selain itu negara berkembang wajib memberikan minimum akses 5 persen dari konsumsi domestiknya untuk kuota impor. 2) Adanya pengurangan subsidi domestik,

(55)

dimana negara maju wajib mengurangi subsidinya sebesar 20 persen tanpa batas waktu dan negara berkembang sebesar 13,3 persen dalam 10 tahun. 3) Pengurangan subsidi ekspor harus dilakukan sebesar 36 persen dalam enam tahun untuk negara maju, sedangkan negara berkembang sebesar 20 persen dalam 10 tahun (Malian, 2004). Perubahan kebijakan juga terjadi di Indonesia terutama mengenai liberalisasi perdagangan pasca kesepakatan Putaran Uruguay yang di tetapkan melalui AoA.

(56)

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional

Gambar 2. Kerangka Pemikiran Operasional Konsumsi beras per kapita Indonesia tinggi

Pemerintah mengeluarkan kebijakan perberasan - Kebijakan Produksi

* Kebijakan Harga * Kebijakan Distribusi * Kebijakan Impor

Analisis kuantitatif Analisis deskriptif

Indikator keberhasilan kebijakan Analisis lingkungan internal

dan eksternal

SWOT

QSPM

Prioritas program kebijakan produksi

Diagram ular

Evaluasi hasil kebijakan beras

Prioritas strategi kebijakan pengembangan beras

AHP

(57)

4.1. Lokasi Pengambilan dan Waktu Analisis Data

Penelitian mengenai efektivitas kebijakan perberasan dilakukan di Indonesia. Pengambilan data dilakukan di Jakarta dan Bogor. Lokasi dipilih secara sengaja ( # ) dengan pertimbangan kedekatan dengan narasumber dan instansi yang memiliki otoritas pengambilan kebijakan perberasan nasional seperti Badan Ketahanan Pangan, Direktorat Budidaya Serealia, Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian dan Kebijakan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Badan Pusat Logistik dan Institut Pertanian Bogor. Waktu analisis data mulai bulan Februari hingga April 2008.

4.2. Jenis

dan Sumber Data

(58)

dan negara*negara Asia lain di pasar internasional. Data*data ini diinterpretasikan baik melalui analisis deskriptif maupun secara grafis.

Tabel 4. Ringkasan Jenis Data, Sumber Data dalam Penelitian

Tujuan Jenis Data Sumber Data menggunakan teknik % . Menurut Natzir (2003), teknik ini juga dinamakan + karena pengambilan sampel dari populasi dilakukan berdasarkan atas pertimbangan pribadi yang ditentukan oleh peneliti. Sampel dalam penelitian ini terbagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok pengambil kebijakan dan kelompok ahli perberasan independen yang terkait dengan perberasan Indonesia.

(59)

responden penelitian. Pakar tersebut adalah Kepala Bidang Program dan Evaluasi, Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSE*KP); Kepala Pusat Distribusi Pangan, Badan Ketahanan Pangan DEPTAN; Kepala Sub Bidang Padi Irigasi dan Rawa, Direktorat Budidaya Serealia; dan Kepala Sub Divisi Pengamatan Harga dan Pasar, BULOG melalui wawancara dan pengisian kuesioner. Wawancara juga dilakukan dengan Kepala Badan Ketahanan Pangan, DEPTAN dan beberapa peneliti yang termasuk dalam kelompok responden kedua. Kelompok ahli independen adalah pihak diluar otoritas dengan berbagai bidang keahlian yang terkait secara tidak langsung dengan kebijakan perberasan. Responden adalah ahli ekonomi pertanian, ahli budidaya pertanian, ahli teknologi pertanian, peneliti perberasan dan kebijakan pertanian serta para akademisi di Institut Pertanian Bogor yang telah memenuhi syarat tertentu sebagai calon responden. Jumlah responden independen adalah 50 responden yang telah dipilih sebelumnya. Pertimbangan pemilihan responden adalah min berpendidikan S2 atau

pakar perberasan untuk mengurangi bias pemahaman mengenai kebijakan beras. Responden dari bidang Ekonomi Pertanian sebanyak 15 orang, 9 orang diantaranya berpendidikan S3; 5 orang S1; 1 orang S1. Pengecualian ini terjadi

karena meskipun responden berpendidikan S1 namun beliau adalah pakar

perberasan dan menjadi anggota Komisi Pengawas Kebijakan Beras, Deptan. Responden bidang Teknologi Pertanian sebanyak 5 orang, seluruhnya S3

(seluruhnya Profesor). Bidang Budidaya Pertanian sebanyak 7 orang, seluruhnya berpendidikan S3 (2 orang adalah Profesor). Para peneliti terdiri atas peneliti dari

Gambar

Tabel 2. Jumlah Produksi, Konsumsi dan Impor Beras Periode 1995<2006
Gambar 1. Keseimbangan dalam Perdagangan Internasional
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Operasional
Tabel 4. Ringkasan Jenis Data, Sumber Data dalam Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan nilai rasio konversi pakan paling tinggi terdapat pada pakan B (2,11) hal ini dikarenakan pada pakan B memiliki kandungan protein yang paling rendah

Although this study is still in the form an opinion paper; I then dream to conduct a related research specially investigating the probability of using ARALISH

2 tahun 1992 tentang usaha Perasuransian (“UU Asuransi”), Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung

Pada usia dini terjadi pertumbuhan dan perkembangan yang paling pesat pada otak manusia dalam menerima berbagai masukan dari lingkungan sekitar (Chamidah, 2009).Hasil penelitian di

7) Tidak menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemborosan dan hidup mewah. perilaku siswa dalam pengamalan ini siswa tidak boros dengan menabung

Hasil analisis menunjukkan bahwa pengalaman auditor, independensi berpengaruh positif terhadap kualitas hasil pemeriksaan dan integritas tidak berpengaruh terhadap kualitas

Selain itu, pembelajaran ilmu pengetahuan alam (IPA) juga diajarkan hanya sebatas teori saja tidak dibarengi dengan kegiatan observasi, eksperimen yang

Pada Proses ini dilakukan bebarapa tahapan penelitian antara lain, tahap pemilihan cover parent, tahap pemilihan data child (child image dan teks), tahap enkripsi child teks,