POLA PEMANFAATAN IKAN DEMERSAL
LAUT-DALAM
FAYAKUN SATRIA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Karakteristik Sumberdaya, Peluang dan Pola Pemanfaatan Ikan Demersal Laut-Dalam adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Agustus 2009
Fayakun Satria
ABSTRACT
FAYAKUN SATRIA. Resources Characteristic, Opportunity and the Utilization Pattern Of Deep-Sea Demersal Fish. Under direction of JOHN HALUAN, EKO SRI WIYONO, and WUDIANTO.
Deep-sea demersal fish in the northwest of Simeulue (S4) and in the west of Banda Aceh (S5) was recently utilized by a commercial bottom trawler, F/V Koshin Maru No 01. Previously, an extensive survey was conducted by R/V Baruna Jaya IV in 2005. The data obtained from those vessels have been used to answer the question of how to utilize the deep sea demersal fish resources particularly in the western of Aceh waters. Specifically the objectives of this study were to describe community structure of demersal fish, potency of species to be commercially exploited and impact derived from the fishing practice. Data analyses involved were swept area method, biodiversity indeces, by-catch and discard, length of first maturity, break even point (BEP). A total of 11,436 kg (63,521 individuals of fish) were caught from 63 trawl stations. Using swept area method the densities were estimated as 0.31–2.69 ton/km2 in nortwest of Simeulue and 0.3 – 18.8 ton/km2 in west of Banda Aceh. There were 145 species of 62 family but only 3 species of 3 family have a relatively high densities and possible to utilized such as Hoplosthethus rubellopterus 18.8 ton/km2 within 600-700 m; Ostracoberyx dorygenys 3.7 ton/km2 within 400-500 m;
Diretmoides pauciradiatus 1.3 ton/km2 within 500-600 m in S5 and Beryx splendens 2.7 ton/km2 within 400-500 m ; Ostracoberyx dorygenys 2,6 ton/km2 within 400-500 m; Diretmoides pauciradiatus 1.3 ton/km2 within 500-600 m in S4. In term of current densities these stocks are promisable to be commercially exploited. There were required at least 9 ton/day for Rp10,000/kg of catch to reach the Break Even Point (BEP), or aternatively a higher price for a smaller catch. This assumption was apply if the resources were not decline. However during 3 months of fishing operation in the relatively similar fishing ground the catches were very high for the first trip but sharply decline for the next trip. The stocks seemed to be vulnerable to intensive fishing pressure. This warning should become a consideration to the managers to not release fishing permit within an area for more than 3 months, and the fishing should move to other fishing ground instead of intensively fishing in the same area for a quite long time. Furthermore, the catch were generally undersized except for Ostracoberyx dorygenys. Since
Ostracoberyx dorygenys has a considerably low price in the markets the fishermens tend to cacth Beryx splendens and Hoplosthethus rubellopterus. The larger size of Hoplostehtus rubellopterus tend to inhabit deeper area than 800 m. Therefore fishing targeted on this species should consider the depth of fishing gear that should not catch fish under the size of lm that mainly inhabit a shallower water.
FAYAKUN SATRIA. Karakteristik Sumberdaya, Peluang dan Pola Pemanfaatan Ikan Demersal Laut-Dalam.
Dibimbing oleh JOHN HALUAN, EKO SRI WIYONO, dan WUDIANTO.
Indonesia merupakan negara yang memiliki wilayah laut-dalam yang luas
dan memiliki potensi sumberdaya ikan demersal laut-dalam yang secara
komersial dapat dimanfaatkan. Dengan beroperasinya F/V Koshin Maru No 01
mulai bulan Januari sampai Mei 2008 Indonesia memasuki babak baru dalam
usaha perikanan tangkap, yaitu memanfaatkan sumberdaya ikan di wilayah
laut-dalam. Apakah jenis kegiatan ini membahayakan sumberdaya dan bagaimana respon sumber daya di wilayah perairan Indonesia terhadap tekanan penangkapan
dan apakah usaha ini menguntungkan. Penelitian ini dilakukan untuk menjawab
pertanyaan tersebut dengan menggunakan data-data yang diperoleh dari hasil
survei KR Baruna Jaya IV tahun 2005 dan kegiatan operasi penangkapan
F/V Koshin Maru No 01 di perairan barat Aceh pada tahun 2008.
Analisis sumberdaya ikan demersal laut-dalam di perairan barat Aceh dilakukan pada dua lokasi yaitu perairan barat laut Simeulue (S4) dan perairan
barat Banda Aceh (S5). Teknik sounding batimetri diterapkan untuk mengetahui
topografi dasar perairan, sedangkan penangkapan ikan dengan trawl dilakukan
untuk mengetahui struktur komunitas ikan, distribusi ikan, densitas dan
keanekaragaman ikan pada setiap kisaran kedalaman. Dari hasil swept area dan
nilai densitas dilanjutkan dengan identifikasi jenis ikan demersal laut-dalam yang berpeluang untuk dimanfaatkan secara komersial serta estimasi hasil tangkapan
sampingan dan ikan yang dibuang. Operasi penangkapan ikan dan pola
pemanfaatan sumberdaya ikan demersal laut-dalam diidentifikasi dari kegiatan operasi penangkapan F/V Koshin Maru No 01 di perairan barat Aceh yang
diintegrasikan dengan data biologi pada panjang pertama matang gonad dengan
ukuran ikan hasil tangkapan sehingga dapat diketahui dampak aktifitas
penangkapan terhadap sumberdaya ikan. Selanjutnya dibuat prediksi keuntungan
usaha penangkapan ikan demersal laut-dalam dengan menggunakan kurva Break Even Point (BEP) serta strategi pemanfaatannya.
Sumber daya ikan demersal laut-dalam di perairan sebelah barat laut
Keanekaragaman perairan sebelah barat laut Simeulue lebih tinggi bila
dibandingkan dengan perairan barat Banda Aceh. Pola penyebaran ikan di kedua
lokasi membentuk kelompok-kelompok. Kedalaman berpengaruh terhadap
densitas, jenis dan komposisi serta distribusi ikan demersal laut-dalam. Jenis ikan dengan densitas yang besar dan memiliki peluang untuk dimanfaatkan di lokasi
S4 adalah: Ostracoberyx dorygenys pada kisaran kedalaman 400-500 m,
Diretmoides pauciradiatus dan Beryx splendens pada kisaran kedalaman 500-600 m, dan di lokasi S5 adalah : Ostracoberyx dorygenys pada kisaran kedalaman 400-500 m, Hoplostethus rubellopterus pada kisaran kedalaman
600-800 m dan Diretmoides pauciradiatus pada kisaran kedalaman 500-700 m. Beberapa jenis ikan memberikan kontribusi yang cukup signifikan dari total
hasil penangkapan F/V Koshin Maru No 01. Di lokasi barat laut Simeulue (S4)
terdapat dua jenis ikan yang secara kuantitas cukup besar yaitu Beryx splendens
berkontribusi sebanyak 157,7 ton (55,8 %) dan Ostracoberyx dorygenys sebanyak
28,5 ton (10,1%). Di lokasi barat Banda Aceh (S5) Hoplostethus rubellopterus
merupakan ikan target utama yang mendominasi hasil tangkapan sekitar 507.3 ton
(95,2 %). Secara keseluruhan di kedua lokasi (S4 dan S5) ikan target dengan
potensi yang cuk up besar adalah Hoplostethus rubellopterus 62,2 % dan
Beryx splendens 19,9 % sedangkan ikan jenis lainnya 17,9 %.
Hoplostehus rubellopterus adalah jenis yang mendominasi hasil tangkapan 507 ton berharga Rp 12.187/kg sehingga memberikan hasil senilai sekitar Rp 6,1
milyar, sedangkan Beryx splendens berjumlah 162 ton berharga Rp 22.750/kg sehingga memberikan hasil senilai sekitar Rp 3,4 milyar. Total penjualan ikan
demersal laut-dalam dari barat Aceh seluruhnya bernilai sekitar Rp 10,7 milyar. Hasil penjualan ikan demersal laut-dalam dari perairan barat Aceh tersebut masih rendah bila dibandingkan dengan ikan demersal laut-dalam dari negara lain. Hal ini terjadi karena kesulitan menjaga mutu ikan pasca penangkapan dan apresiasi
pasar yang masih rendah.
Sumberdaya ikan demersal laut-dalam di perairan barat Aceh yaitu
Hoplostethus rubellopterus dan Beryx splendens merupakan jenis sumberdaya ikan yang rentan terhadap tekanan penangkapan trawl. Upaya pemanfaatan perlu
dilakukan dengan sangat hati- hati. Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada
dilakukan di wilayah yang memiliki banyak coral, penangkapan Hoplosthethus
rubellopterus hendaknya dilakukan pada kedalaman lebih dari 800 m. Untuk memanfaatkan sumberdaya ikan demersal laut-dalam lainnya seperti Etelis carbunculus, Etelis corruscans, Epinephelus flavocaerulus di lokasi yang banyak coral dan antiphatarian serta memiliki topografi berbukit-bukit dengan perubahan
elevasi yang ekstrim dapat dilakukan dengan pancing (handline) atau rawai dasar (bottom long line) dengan jumlah upaya penangkapan yang dibatasi. Namun
tingkat upaya penangkapan yang boleh dilakukan dengan alat tangkap tersebut
perlu dikaji terlebih dahulu. Karakter sumberdaya ikan demersal laut-dalam di
perairan barat Aceh cepat mengalami penurunan stok, dalam waktu sekitar tiga
bulan operasi penangkapan di lokasi perairan barat Banda Aceh dan barat laut
Simeulue sudah menunjukan tren hasil tangkapan yang menurun tajam. Untuk itu
operasi penangkapan tidak dapat dilakukan terus menerus dalam satu lokasi
namun harus berpindah ke lokasi yang berbeda. Namun berapa luas wilayah yang
dapat dijadikan lokasi penangkapan, kapan operasi penangkapan dapat kembali ke
lokasi semula, dimana lokasi dan berapa luas wilayah yang perlu diproteksi masih
belum dapat dijawab dan perlu kajian lebih lanjut. Perlu dipersiapkan regulasi
penangkapan ikan laut-dalam untuk mengantisipasi upaya pemanfaatan
sumberdaya ikan demersal laut-dalam di Indonesia agar tetap lestari.
LAUT-DALAM
FAYAKUN SATRIA
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Departemen Teknologi Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor (IPB), tahun 2009
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber:
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Nama : Fayakun Satria
NIM : C461060101
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. John Haluan M.Sc Ketua
Dr. Eko Sri Wiyono SPi, M.Si Dr. Ir. Wudianto M.Sc
Anggota Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Teknologi Kelautan
Prof. Dr. Ir. John Haluan M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro M.S
Penguji luar komisi pada ujian tertutup ( 27 Juli 2009): 1. Dr. Ir. Tri Wiji Nurani M.Si
2. Dr. Ir. M. Fedi A Sondita M.Sc
Penguji luar komisi pada ujian terbuka ( 11 September 2009): 1. Dr. Ir. Budy Wiryawan M.Sc
Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2008 ini adalah Karakteristik
Sumberdaya, Peluang dan Pola Pemanfaatan Ikan Demersal Laut-Dalam.
Disertasi ini memuat tiga bab yang merupakan pengembangan dari naskah
artikel yang diajukan ke jurnal ilmiah. Bagian dari Bab 3 Sumberdaya Ikan
Demersal Laut-dalam telah diterbitkan sebagai Satria F, Haluan J, Wiyono ES, Wudianto. 2008. Biological Aspect, Density and Distribution of the Alfonsino
(Beryx Splendens ) in the Indian Ocean EEZ of Indonesia. Indonesian Fisheries
Research Journal IFRJ: December 2008 vol 14 no 2 :75-82. Disertasi ini dapat
terselesaikan karena mendapatkan banyak bantuan dan peran dari banyak pihak
oleh karena itu pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih
dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. John Haluan M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing,
Bapak Dr. Eko Sri Wiyono S.Pi, M.Si dan Bapak Dr. Ir. Wudianto M.Sc
selaku Anggota Komisi Pembimbing atas bimbingan serta dukungannya
hingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Indra Jaya M.Sc, selaku Dekan Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan pada Ujian Terbuka.
3. Bapak Prof. Dr. Ir. Mulyono Baskoro M.Sc. selaku wakil dekan yang
mewakili Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan pada Ujian Tertutup, atas
kritik dan saran untuk penyempurnaan disertasi.
4. Bapak Dr. Ir. M Alfiadi Sondita M.Sc dan Ibu Dr. Ir. Tri Wiji Nurani M.Si
selaku penguji luar pada Ujian Tertutup atas segala saran dan
masukkannya dalam upaya menyempurnakan disertasi ini.
5. Bapak Dr. Drs. Ali Suman Harahap dan Bapak Dr. Ir. Budy Wiryawan
M.Sc. Selaku penguji luar pada Ujian Terbuka atas segala saran dan
masukkannya dalam upaya menyempurnakan disertasi ini.
6. Ketua Program Studi Teknologi Kelautan (PS TKL) Prof. Dr. Ir. John
Haluan M.Sc. Para Dosen dan staf atas segala ilmu pengetahuan dan
tugas belajar dan beasiswa.
8. Kepala Balai Riset Perikanan Laut (BRPL) Muara Baru dan Kepala
Overseas Fishery Cooperation Foundation (OFCF) Japan yang telah memberikan kesempatan mengikuti operasi pena ngkapan ikan demersal
laut-dalam dan mengakses data KR Baruna Jaya IV.
9. Kawan-kawan di Balai Riset Perikanan Laut dan Pusat Riset Perikanan
Tangkap.
10.Kepala Balai Besar Pengembangan Penangkapan Ikan Semarang yang
telah memberikan ijin untuk mengikuti operasi kapal F/V Koshin Maru No
01.
11.Tim observer, Aris Budiarto S.Pi, Drs. Agus Purnomo, Agus Suharyadi
A.Pi. Sardi S.St dan Mijil S.St atas kebersamaan, kerjasama dan
bantuannya di atas kapal F/V Koshin Maru no 01.
12.Kawan-kawan di program PS TKL IPB.
13.Sanak saudara atas dukungan dan doa nya bagi penulis unutk dapat
menyelesaikan pendidikan dan disertasi S3 PS TKL IPB.
14.Semua pihak yang telah membantu dalam penelitian, penulisan dan
penyelesaian disertasi ini.
Akhirnya ungkapan terimakasih dan kasih sayang penulis sampaikan kepada
yang tercinta Ayah, Ibu, Istri , Putra-Putri dan seluruh keluarga atas segala
doa, bantuan dan kasih sayangnya. Semoga karya ini bermanfaat
Bogor, September 2009
Penulis dilahirkan di Surabaya pada tanggal 13 September 1970 sebagai
anak dari pasangan Syahrial Rifai dan Murtini. Pendidikan Diploma 3 ditempuh di
Akademi Usaha Perikanan (AUP), lulus tahun 1992. Setelah bekerja di atas kapal
purse seine sampai tahun 1995, penulis melanjutkan studi ke jenjang sarjana (S1)
ke Universitas Brawijaya Malang dan lulus pada tahun 1997. Skripsi yang ditulis
berjudul “Pengaruh penggunaan lampu bawah air (under water lamp) dengan reflektor dan perlakuan warna cahaya yang berbeda terhadap hasil tangkapan ikan
pada bagan tancap di perairan Probolinggo”. Pada tahun 1998 penulis bekerja di
Instalasi Penelitian Perikanan Laut Ancol (Inlitkanlut). Pada akhir tahun 2000
penulis mendapatkan beasiswa dan tugas belajar ke jenjang Master (S2) di James
Cook University Australia untuk bidang marine biology dan lulus pada bulan Mei tahun 2003. Thesis yang ditulis berjudul ”Reproductive Seasonality of the
Damselfish Chrysiptera rolandi on A Low Latitude Coral Reef”. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor di program Studi Teknologi Kelautan
(TKL) Institut Pertanian Bogor (IPB) diperoleh pada tahun 2006 dari beasiswa
APBN-BRKP Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP).
Penulis telah menikah dengan seorang istri Ir. RA. Yeni Widiawati Ph.D
dan dikaruniai tiga orang anak yaitu Fauzan Muzhaffar Akram, Hafiya
Nisatuzahra dan Zahi Hafiz Kalamulaziz.
Penulis bekerja sebagai pegawai negeri sipil (peneliti) di Balai Riset
Perikanan Laut, Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan dan
Perikanan sejak tahun 1998. Bidang penelitian yang menjadi tanggung jawab
peneliti ialah sumberdaya dan lingkungan.
NRP : C461060101 Program Studi : TKL
Lahir : Surabaya, 13 September 1970
Pendidikan :
SDN IV Manado à Lulus tahun 1983
SMPN I Manado à Lulus tahun 1986.
SMAN 38 Jakarta Selatan à Lulus tahun 1989
D3 AUP Jakarta à Lulus tahun 1992
S1 Universitas Brawijaya Malang à Lulus tahun 1997
S2 James Cook University à Lulus tahun 2003
Pekerjaan:
1. PT. Alsum Prakarsa à 1993-1995 (Swasta)
2. INLITKANLUT Ancol à 1997-1999 (PNS)
3. BRPL Muara Baru Jakarta à 2003–2005 (PNS)
4. PRPT Ancol Jakarta à 2005-2006 (PNS)
Kursus
1. Kursus Bahasa Arab dan Study Islam (D-2) di Ma’had Al-Ihsan Malang tahun 1996-1997.
2. English for academic Purposes course di LICOS JCU Townsville Australia tahun 2000 atas sponsor PAATP ADB.
3. Open Water (PADI) diving course di Townsville the Great Barrier Reef Australia tahun 2002 beasiswa PAATP ADB.
4. Fisheries management course di Chib a Jepang tahun 2003 schoolarship OFCF 5. Systematic Ichthyology course di Hakkodate Hokkaido Jepang tahun 2005 atas
sponsor OFCF.
Keluarga:
1. Ir. RA Yeni Widiawati PhD . (Istri) 2. Fauzan Muzhaffar Akram (Putra) 3. Hafiya Nisatuzahra (Putri) 4. Zahi Hafiz Kalamulazis (Putra)
Orang tua:
1. Letkol Mar (Purn) H. Syahrial Rifai (67 th) 2. Murtini (59th)
3. RM. Bambang Darmodjo (76 th)
Halaman 1.7 Metodologi umum penelitian ... 2.6 Keanekaragaman Hayati (Biodiversitas) ... 2.7 Perairan Samudera Hindia: Topografi dasar perairan dan aliran
massa air ... 2.8 Pengelolaan Perikanan Demersal Laut-dalam di Samudera
Hindia ... 2.9 Dampak Penggunaan Trawl Dasar Laut-dalam Terhadap
3.3.1.1 Suhu ...
3.3.3 Jenis dan komposisi sumberdaya ikan demersal
laut-dalam ... 3.3.4 Pengaruh kedalaman pada distribusi dan densitas serta
struktur komunitas ikan demersal laut-dalam ...
4 POTENSI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN
4.3.2 Potensi (CPUA) sumberdaya ikan demersal laut-dalam
5 POLA PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN DEMERSAL
1 Beberapa Jenis ikan demersal laut dangkal (< 200 m) penting
Yang terdapat di Indonesia (Widodo et al. 1998) dari Dahuri (2003) ... 18
2 Jumlah famili dan jenis ikan demersal di perairan barat Aceh lokasi
S4 dan S5 ... 53
3 Kekayaan jenis (Species richness) dengan menggunakan indeks
Margalef di lokasi S4 dan S5 pada setiap kisaran kedalaman ... 56
4 Nilai Indeks keanekaragaman (H’), dominansi (C) dan kemerataan
(E) di perairan barat Aceh ... 57
5 Densitas (kg/km2) ikan demersal laut-dalam di perairan barat laut Simeulue (S4) dan barat Banda Aceh (S5) berdasarkan kisaran
kedalaman ………... 60
6 Perkiraan ukuran panjang Diretmoides pauciradiatus pada saat
matang gonad pertama (Udupa, 1986 dalam Badrudin et al. 2007) ... 68
7 Perkiraan ukuran panjang Beryx splendens pada saat matang gonad
pertama (Udupa, 1986 dalam Badrudin et al. 2007) ... 70
8 Perkiraan ukuran panjang Hoplostethus rubellopterus pada saat
matang gonad pertama (Udupa, 1986 dalam Badrudin et a. 2007) ……... 72
9 Perkiraan ukuran panjang Ostracoberyx dorygenys pada saat
matang gonad pertama (Udupa, 1986 dalam Badrudin et al. 2007) ……... 74
10 Peringkat penting ikan demersal diperairan barat Aceh dibuat berdasarkan nilai INP pada Area S4 (barat laut Simeulue) dan S5
(barat Banda Aceh) ………... 76
11 Peringkat penting ikan demersal laut-dalam di perairan barat laut Simeulue (S4) berdasarkan nilai INP pada setiap kisaran kedalaman ... 78
12 Peringkat penting ikan demersal laut-dalam di perairan barat Banda Aceh (S5) berdasarkan nilai INP pada setiap kisaran kedalaman ... 78
13 Peringkat penting ikan demersal di perairan barat Aceh dibuat berdasarkan nilai INP terkecil pada Area S4 (barat laut Simeulue)
dan S5 (barat Banda Aceh) ………... 79
14 Matriks similaritas kisaran kedalaman dan jumlah jenis ikan demersal di perairan barat laut Simeulue (S4) berdasarkan indeks
15 Hasil uji one way Anova di lokasi perairan barat laut Simeulue (S4) ... 81
16 Hasil uji post hoc di lokasi perairan barat laut Simeulue (S4) ... 81
17 Matriks similaritas kisaran kedalaman dan jumlah jenis ikan demersal
di perairan Barat Banda Aceh (S5) berdasarkan indeks Bray curtis ... 82
18 Hasil uji one way Anova di lokasi S5 ... 83
19 Hasil uji post hoc di lokasi S5 ... 83
20 Jenis dan komposisi ikan demersal laut-dalam yang
dimanfaatkan oleh F/V Koshin Maru 01 ... 100
21 Jenis ikan komersial demersal laut-dalam yang ditangkap oleh F/V Koshin Maru No 01 dan KR Baruna Jaya IV di perairan
barat Aceh ………. 102
22 CPUA (kg/km2) 10 jenis ikan demersal laut-dalam pada setiap kisaran kedalaman di lokasi barat laut Simeulue (S4) oleh KR
Baruna Jaya IV) ……… 105
23 CPUA (kg/km2) 10 jenis ikan demersal laut-dalam pada setiap kisaran kedalaman di lokasi dan Barat Banda Aceh (S5) oleh KR
Baruna Jaya IV ... 106
24 Estimasi jumlah ikan yang dibuang (discard) dari KR Baruna Jaya
IV tahun 2005 ………... 107
25 Estimasi jumlah jenis ikan yang dibuang dari KR Baruna Jaya
IV tahun 2005 ……… 108
26 Estimasi jumlah ikan yang dibuang (discard) dari F/V Koshin
Maru No 01 ... 108
27 Jumlah individu dan proporsi hasil tangkapan F/V Koshin Maru No 01 Hoplostethus rubellopterus pada ukuran panjang di bawah dan di atas nilai lm di kedua lokasi S4 dan S5 pada kedalaman
kurang dari 800 m dan lebih dari 800 m ... 119
28 Jumlah individu dan proporsi hasil tangkapan F/V Koshin Maru No 01 Beryx splendens pada ukuran panjang di bawah dan di atas nilai lm di kedua lokasi S4 dan S5 pada kedalaman kurang dari 400 m
29 Total estimasi hasil penangkapan ikan demersal laut-dalam
dari habitat gunung laut dari beberapa praktek perikanan komersial (TD=Trawl dasar (Bottom trawl), TP=Trawl Pertengahan
(Midwater trawl), R= Rawai (Bottom long line) ... 127
30 Harga dari setiap jenis ikan demersal laut-dalam F/V
Koshin Maru No 01 dari perairan barat Aceh dan dijual di Phuket
Thailand dalam produk beku (Bulk) Maret-Mei 2008 ... 131
31 Harga hasil tangkapan sampingan (HTS) Bycatch
F/V. Koshin Maru No 01 dari perairan barat Aceh dan dijual
di Phuket Thailand dalam produk beku (Bulk) Maret-Mei 2008 ... 132
32 Perkiraan biaya (dalam rupiah) dari pengoperasian kapal komersial trawl
1 Kerangka perumusan masalah dalam penelitian ... 7
2 Metode pengumpulan data dalam penelitian ... 9
3 Pembagian wilayah laut (sumber : FAO 2008) ………... 10
4 Ilustrasi topografi dan bagian-bagian dasar laut-dalam
(Sumber: FAO 2008) ………... 11
5 Pembagian wilayah laut secara vertikal (Tyler, 2003) ……… 12
6 Perkiraaan distribusi jumlah gunung-laut (seamount) besar
menurut letak lintang (Sumber: Kitcingman dan Lai 2004, diacu dalam
Clark et al. 2006) ……….. 13
7 Perkiraan jumlah gunung bawah laut dan kisaran kedalamannya yang mampu dieksploitasi oleh trawl dasar (Bottom trawl)
laut-dalam (Sumber Kitchingman dan Lai (2004) didalam
Clark et al. 2006) ………... 14
8 Perkiraan distribusi gunung dan kedalaman puncaknya di bawah laut di seluruh dunia (Sumber: Kitcingman dan Lai (2004)
didalam Clark et al. 2006 ……….... 15
9 Distribusi beberapa perikanan tangkap laut-dalam di dunia berada pada lokasi gunung bawah laut. Uk uran lingkaran menggambarkan jumlah tangkapan yang telah diperoleh. (BYX: Beryx splendens;
ORH: Hoplostethus atlanticus; RNG: Coryphaenoides ruspestris: SAB: Anoploma fimbria; OEO: Pseudocyttus maculatus; RED:
Sebastes spp; PTO: Dissostichus spp ; NOT: Notothenia spp; CDL; Epigonus telescopus; MAC: Mackerel Species
(Sumber: Clark et al. 2006) ………... 16
10 (A) Bagian-bagian alat tangkap trawl (BBPPI-PRPT, 2006) (B) Jaring
trawl dihela oleh kapal penangkap ikan ... 21
11 Topografi Samudera Hindia (Sumber:Tyler 2003) ... 25
12 Lokasi penelitian di Samudera Hindia perairan barat Aceh
Samudera Hindia ... 33
13 Konstruksi jaring trawl laut-dalam yang dipergunakan dalam survei
14 Konstruksi jaring trawl laut-dalam yang dipergunakan dalam survei
F/V Koshin maru No 01 ... 36
15 Profil menegak suhu di lokasi survei (sumber : OFCF dan BRKP 2006)... .... 44
16 Profil menegak salinitas di lokasi survei (sumber : OFCF dan
BRKP 2006) ... 44
17 Lintasan (track) batimetri barat laut Simeulue Aceh (S4) ... 47
18 Lintasan (track) batimetri barat Banda Aceh (S5) ... 47
19 Topografi dasar perairan barat laut Simeulue (S4) ... 48
20 Topografi dasar perairan barat Banda Aceh (S5) ... 49
21 Deskripsi susbtrat perairan sebelah barat laut Simeulue (S4): lumpur (L), tanah liat (Cy), batu (B), pasir (P), karang (K), coral
(C) dan go rgonian/antipatharian ( A) ... 51
22 Deskripsi susbtrat perairan barat Banda Aceh (S5): lumpur (L),
tanah liat (Cy) ………. 52
23 Kekayaan jenis ikan berdasarkan kedalaman di perairan barat Aceh
(Gabungan data jenis ikan lokasi S4 dan S5) ... 56
24 Kekayaan jenis ikan berdasarkan kedalaman di perairan barat laut
Simeulue (A) dan barat Banda Aceh (B) ... 57
25 Keanekaragaman (H’) ikan demersal laut-dalam di barat laut Simeulue
(S4) dan barat Banda Aceh ………... 58
26 Dominansi (C) ikan demersal laut-dalam di barat laut simeulue (S4)
dan barat Banda Aceh ……… 58
27 Kemerataan (E) ikan demersal laut-dalam di barat laut Simeulue (S4)
dan barat Banda Aceh ……… 58
28 Total CPUA (kg/km2) pada setiap kisaran kedalaman di lokasi S4 (A)
dan S5 (B) ... 60
29 Rata-rata CPUA (kg/km2) pada setiap kisaran kedalaman di lokasi
S4 (A) dan S5 (B) ... 61
30 Distribusi CPUA (kg/km2) pada (A) lokasi barat laut Simeulue (S4)
31 Distribusi CPUA (kg/km2) pada (A) lokasi barat laut Simeulue (S4)
dan (B) lokasi barat Banda Aceh (S5) ... 62
32 Hubungan antara CPUA dan indeks keanekaragaman (H’) di
perairan barat laut Simeulue (S4) ………... 62
33 Hubungan nilai indeks keanekaragaman dengan kedalaman di
perairan barat laut Simeulue (S4) ………... 63
34 Hubungan nilai rata-rata CPUA dengan kedalaman di perairan
barat laut Simeulue (S4) ……….. 64
35 Hubungan antara CPUA dan indeks keanekaragaman (H’) di
perairan barat Banda Aceh (S5) ... 65
36 Hubungan nilai indeks keanekaragaman dengan kedalaman di
perairan barat Banda Aceh (S5) ……… 66
37 Hubungan nilai CPUA dengan kedalaman di perairan barat Banda
Aceh (S5) ... 66
38 Distribusi panjang FL (cm) Diretmoides pauciradiatus berdasarkan
kisaran kedalaman (A) di lokasi S4 dan (B) di lokasi S5 ... 67
39 Berat rata-rata gonad pada setiap tingkat kematangan gonad
Diretmoides pauciradiatus ……… 68
40 Distribusi panjang FL (cm) Beryx splendens berdasarkan kisaran
kedalaman ……… 69
41 Berat rata-rata gonad pada setiap tingkat kematangan gonad
Beryx splendens ... 71
42 Distribusi panjang FL (cm) Hoplostethus rubellopterus berdasarkan
kisaran kedalaman di lokasi S5 ... 71
43 Berat rata-rata gonad pada setiap tingkat kematangan gonad
Hoplostethus rubellopterus ... 73
44 Distribusi panjang TL (cm) Ostracoberyx dorygenys berdasarkan kisaran kedalaman di lokasi barat laut Simeulue S4 (A) dan barat
Banda Aceh S5 (B) ... 73
45 Berat rata-rata gonad pada setiap tingkat kematangan gonad
46 Dendogram klasifikasi hirarki berdasarkan similaritas jenis ikan demersal di barat laut Simeulue (S4) dengan kriteria agregasi
keterkaitan rata-rata (group-average link) ... 80
47 Dendogram klasifikasi hirarki berdasarkan similaritas jenis ikan demersal di perairan barat Banda Aceh (S5) dengan kriteria agregasi
keterkaitan rata rata (group-average link) ... 82
48 Distribusi kedalaman (m) ikan demersal laut-dalam di lokasi barat laut Simeulue (S4). Jenis ikan dari kiri ke kanan ke arah perairan yang Lebih dalam adalah : Ostracoberyx dorygenys (OD), Beryx splendens
(BS), Diretmoides pauciradiatus (DP), Hoplosthethus crassispinus
(HC), Hoplostethus rubellopterus (HR), Glyptophidium sp. (GL),
Caelorinchus divergens (CD), Lamprogrammus niger (LN),
Ophididae sp. (OP), Melanonus zugmayeri (MZ) ... 84
49 Distribusi kedalaman (m) ikan demersal laut-dalam di lokasi barat Banda Aceh (S5). Jenis ikan dari kiri ke kanan ke arah perairan yang lebih dalam adalah: Chlorophthalmus sp.1 (CHL), Ostracoberyx dorygenys (OD), Beryx splendens (BS), Benthodesmus tenuis (BT),
Muraenosox sp (MU), Hoplosthethus crassispinus (HC), Diretmoides pauciradiatus (DP), Hoplostethus rubellopterus (HR), Caelorinchus
divergens (CD), Nettastoma solitarium (NS) ... 85
50 Lokasi penangkapan ikan demersal laut-dalam F/V Koshin Maru
No 01 di perairan barat Aceh ……… 96
51 Lokasi Penangkapan ikan (fishing ground) F/V Koshin Maru 01
di perairan sebelah barat laut Simeulue (S4) ..………... 98
52 Lokasi Penangkapan ikan (fishing ground) F/V Koshin Maru 01
di perairan sebelah barat Banda Aceh (S5) ………... 98
53 Hasil tangkapan rata-rata harian F/V Koshin Maru No 01 di lokasi
barat laut Simeulue (S4) dan barat Banda Aceh (S5) ………... 99
54 Beberapa jenis dan persentase ikan demersal laut-dalam yang
dimasukan ke dalam palkah (retained catch) ………... 101
55 Lokasi stasiun penangkapan F/V Koshin Maru No 01 (merah) dan
KR Baruna Jaya IV di perairan barat Aceh (biru) ………. 103
56 Hasil tangkapan F/V Koshin Maru No 01 jenis Beryx splendens di
lokasi barat laut Simeulue (S4) ... 105
57 Hasil tangkapan F/V Koshin Maru No 01 jenis Hoplosthetus
58 (A). Jumlah individu dan ukuran panjang Hoplostethus rubellopterus
dari hasil tangkapan F/V Koshin Maru no 01 di lokasi barat Banda Aceh (S5) (B). Jumlah stasiun trawl pada setiap kisaran kedalaman
di lokasi barat Banda Aceh (S5) ... 119
59 (A) Jumlah individu dan ukuran panjang Beryx splendens dari hasil tangkapan F/V Koshin Maru no 01 di lokasi barat laut Simeulue (S4) (B). Jumlah stasiun trawl pada setiap
kisaran kedalaman di lokasi barat laut Simeulue (S4) ... 120
60 (A) Jumlah individu dan ukuran panjang Beryx splendens dari hasil tangkapan F/V Koshin Maru no 01 di lokasi barat Banda Aceh (S5) (B) Jumlah stasiun trawl pada setiap kisaran kedalaman di
lokasi barat Banda Aceh (S5) ... 121
61 Lokasi stasiun trawl F/V Koshin Maru No 01 pada trip 1, 2 dan 3
di barat laut Simeulue (S4) dan barat Banda Aceh (S5) ... 123
62 Jumlah individu dan ukuran panjang total (cm) Hoplostethus rubellopterus dari hasil tangkapan F/V Koshin Maru No 01 di
lokasi barat Banda Aceh (S5) ... 124
63 (A) Rata-rata tangkapan Hoplostethus rubellopterus pada trip 2 dan 3 lokasi barat Banda Aceh (S5) (B) Perbandingan jumlah individu
Hoplostethus rubellopterus pada trip 2 dan 3 lokasi barat Banda
Aceh (S5) ... 124
64 Rata-rata hasil tangkapan Beryx splendens pada trip 1, 2 dan 3 di
lokasi barat laut Simeulue (S4) ……….. 125
65 Rata-rata hasil tangkapan Beryx splendens pada trip 1, 2 dan 3 di
lokasi barat Banda Aceh (S5) ... 126
66 (A) Perbandingan jumlah individu dan ukuran panjang Beryx splendens dari setiap trip F/V Koshin Maru No 01 di lokasi S4 dan S5 (B) Perbandingan jumlah stasiun trawl dari setiap trip F/V
Koshin Maru No 01 di lokasi S4 dan S5. ... 126
67 Diagram alir penanganan ikan di atas kapal F/V Koshin Maru No 01 ... 129
68 Kurva BEP untuk operasi penangkapan ikan demersal laut-dalam di perairan barat Aceh Samudera Hindia dengan menggunakan F/V Koshin Maru No 01 1500 GT dengan skenario beli kapal. Kurva dihasilkan dari analisis statis dari biaya operasi dari satu
Halaman
1 Jenis dan komposisi hasil tangkapan ikan demersal laut-dalam
di perairan barat laut Simeule (S4)... 158
2 Jenis dan komposisi hasil tangkapan ikan demersal laut-dalam
di perairan barat Banda Aceh (S5)... 159
3 Jenis dan komposisi ikan mesopelagis laut-dalam... 160
4 Jenis dan komposisi udang, cephalopoda dan biota
laut-dalam lainnya………... 161
5 Wahana kapal/sarana penelitian... 162
6 Beberapa jenis ikan demersal laut dalam dengan densitas
yang cukup besar di perairan Barat Aceh... 163
7 Beberapa kegiatan penangkapan ikan demersal laut-dalam
1.1 Latar Belakang
Perikanan trawl dasar laut-dalam berkembang dengan cepat sebagai akibat dari mulai menurunnya stok ikan di laut-dangkal (< 200 m) dan permintaan konsumen terhadap ikan terus meningkat (FAO 2003). Langkah kebijakan yang
umum diambil oleh beberapa negara adalah mendorong usaha penangkapan ikan
dilakukan di perairan yang lebih jauh, umumnya dengan kedalaman perairan yang
lebih dalam. Perikanan trawl dasar laut-dalam dimulaipertama kali oleh USSR (dahulu Uni Soviet) pada akhir 1950-an di Samudera Pasifik dan awal 1970-an di
Samudera Atlantik, selanjutnya pada tahun 1970 perikanan orange roughy
(Hoplostethus atlanticus) mulai berkembang dengan pesat di New Zealand. Negara- negara lain mulai memanfaatkan sumberdaya ikan demersal laut-dalam
mulai tahun 1980 dan 1990-an (Morgan et al. 2005). Jenis ikan yang menjadi target utama penangkapan dengan menggunakan alat tangkap trawl dasar
laut-dalam antara lain adalah orange roughy (Hoplostethus atlanticus), alfonsino (Beryx splendens), oreos (Pseudocyttus maculatus), patagonian toothfish (Dissostichus spp.), pelagic amorhead (Pseudopentaceros wheeleri), redfish (Sebastes spp.), dan macroudrids (Coryphaenoides ruprestris) (FAO 2003).
Sampai saat ini sumberdaya perikanan demersal Indonesia yang telah
dimanfaatkan sebagian besar masih berasal dari wilayah laut-dangkal (< 200 m).
Wilayah tersebut meliputi Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Laut Jawa,
WPP Selat Malaka, WPP laut Cina Selatan dan WPP laut Arafura. Secara umum
seluruh WPP tersebut dilaporkan sedang mengalami tekanan usaha penangkapan
ikan yang tinggi dan beberapa diantaranya seperti Laut Jawa dan Laut Cina
Selatan telah dikategorikan sebagai wilayah yang mengalami kelebihan tangkap.
Kondisi ini mendorong Pemerintah Indonesia untuk mencari sumberdaya ikan di
wilayah perairan yang belum pernah dimanfaatkan sumberdaya ikannya. Perairan
laut-dalam (> 200 m) merupakan wilayah dengan sumberdaya ikan demersal yang
potensial dan belum dimanfaatkan (untapped resources). Upaya untuk
memanfaatkan sumberdaya ikan laut-dalam bagi pemerintah dan pengusaha
kemampuan teknologi dan keterampilan yang memadai. Selain itu yang tidak
kalah pentingnya adalah karakter pengusaha penangkapan Indonesia yang belum
berani menanamkan modalnya dalam usaha ini karena takut merugi. Selain itu
pemerintah dan pengusaha perikanan dalam negeri juga tidak mampu mencari dan
menciptakan pasar bagi sumberdaya ikan tersebut.
Di pihak lain Jepang sebagai negara yang dikenal paling banyak
mengkonsumsi ikan di dunia, melalui JDSTA (Japan Deep Sea Trawl
Association, telah melakukan usaha penangkapan ikan dengan menggunakan trawl
laut-dalam sejak tahun 1969. Saat ini JDSTA telah memiliki kelebihan kapital dalam usaha penangkapan ikan demersal laut-dalam dengan armada kapal tidak kurang dari 350 buah kapal trawler laut-dalam dan 7 unit kapal induk. Wilayah operasi kapal ikan trawler laut-dalam JDSTA meliputi perairan Afrika, Amerika
Selatan, Amerika Utara, Kutub Selatan, Laut Bearing, perairan New Zealand dan
selalu mencari lokasi fishing ground baru yang belum dieksplorasi (JDSTA 2007). Kebijakan perikanan tangkap laut-dalam saat ini semakin ketat seiring
dengan kesadaran bahwa lingkungan dan sumberdaya ikan laut-dalam mulai
menurun. Sebagai contoh, New Zealand sudah memberlakukan sistem
pembatasan kuota tangkapan (TAC) dan juga wilayah larangan untuk
penangkapan ikan laut-dalam (marine protected area). JDSTA yang kelebihan kapital mulai merasa terdesak dan selalu berusaha mencari sumberdaya ikan laut-dalam yang baru pada negara yang belum menerapkan kebijakan pelarangan operasi trawl laut-dalam.
Indonesia merupakan negara yang memiliki wilayah laut-dalam yang luas
dan memiliki potensi sumberdaya ikan demersal laut-dalam yang secara
komersial dapat dimanfaatkan. Pemerintah Indonesia juga sangat berkeinginan
untuk dapat mengembangkan sektor perikanan tangkapnya terutama di wilayah
yang belum dimanfaatkan (untapped resources) sebagai upaya untuk mendukung
program pemerintah yang ingin membuka lapangan kerja baru (projob),
mengentaskan kemiskinan (propoor) dan mendorong pertumbuhan ekonomi
yang mempertemukan antara Jepang dan Indonesia untuk bekerjasama mencoba
memanfaatkan sumberdaya ikan laut-dalam di wilayah Indonesia.
Indonesia memiliki beberapa wilayah laut dengan kedalaman lebih dari
200 m antara lain: laut-dalam Samudera Hindia, laut-dalam Samudera Pasifik, dan laut-dalam peripheral antara lain Laut Sulawesi, Laut Flores, Laut Banda, Laut Sawu, Laut Halmahera dan sebagian Selat Makassar. Sumberdaya ikan
laut-dalam khususnya ikan demersal pada wilayah laut dengan kedalaman lebih dari 200 m tersebut sampai saat ini masih belum dimanfaatkan.
Eksplorasi sumberdaya ikan laut-dalam di Indonesia telah dilakukan
beberapa kali dalam bingkai penelitian sumberdaya ikan laut-dalam di beberapa wilayah antara lain:
1) Survei perikanan dengan alat trawl pada bulan Agustus 1978 sampai
dengan Juli 1981 dalam proyek JETINDOFISH Joint Eastern Indian
Ocean Fisheries Survey. Dalam survei ini operasi trawl dasar dilakukan sampai kedalaman 380 m. Survei ini menghasilkan data dan informasi
dasar tentang keanekaragaman hayati sumber daya ikan di daerah barat
Sumatera sampai kedalaman 380 m. Informasi ini telah dilaporkan dalam
Baseline Studies of Biodiversity: The Fish Resources of Western Indonesia
(Pauly & Martosubroto 1996) dan Trawled fishes of southern Indonesia
and northern Australia (Kaiilola & Tarp 1984).
2) Pada tahun 1980 kapal riset DR. Fridtjof Nansen juga telah melakukan
survei eksplorasi mulai tanggal 6 sampai 30 Agustus 1980 di perairan utara
dan barat Sumatera sampai kedalaman 350 m. Eksplorasi KR DR Fridtjof
Nansen dilaksanakan dalam program investigasi sumber daya ikan di
Thailand, Malaysia dan Indonesia yang dibiayai oleh FAO dan NORAD
(Norwegian Agency for International Development) (Institute of Marine
Research Bergen 1980). Survei ini menghasilkan data dan informasi
mengenai kuantitas dan distribusi sumberdaya ikan, oseanografi dan
topografi dasar perairan sampai kedalaman 350 m terutama pada wilayah
laut teritorial di barat Sumatera.
3) Pada bulan Oktober-November tahun 1991 KAL Baruna Jaya I
di Karubar (Tim Survei Karubar 1991). Penelitian ini menghasilkan data
dan informasi sumber daya ikan demersal laut-dalam terutama udang
laut-dalam sampai kedalaman 500 m.
4) Pada tanggal 9-24 Desember tahun 2003 KR Umitakamaru dari Tokyo
University of Marine Science and Tehcnology melakukan
bottom trawl survey di Selatan Jawa sampai pada kedalaman 1.100 m (Purbayanto et al. 2003). Survei ini menghasilkan data dan informasi
pendahuluan sumberdaya ikan demersal laut-dalam di perairan sebelah selatan Jawa.
Kegiatan penelitian tersebut belum berlanjut kepada upaya menjual sumberdaya
tersebut ke pasar internasional sehingga belum diketahui berapa nilai ekonomi
yang dimiliki oleh jenis-jenis ikan demersal laut dalam di wilayah perairan
Indonesia. Pada bulan September-Oktober tahun 2004 dan bulan Mei- Agustus
2005 survei sumber daya ikan laut-dalam dilaksanakan dalam proyek
The Japan-Indonesia Deep Sea Fishery Resources Joint Exploration pada kedalaman 200-1.100 m (BRKP-OFCF 2006). Kegiatan ini merupakan cikal
bakal bagi upaya memanfaatkan sumberdaya ikan demersal laut-dalam sampai tahap pemasaran di pasar internasional pada tahun 2008-2009. Hasil kerjasama
tersebut kemudian ditindak lanjuti dengan penanda tanganan MoU untuk
melakukan kerjasama uji coba penangkapan sumberdaya ikan demersal
laut-dalam skala komersial antara JDSTA dan BBPPI pada akhir tahun 2007. Awal tahun 2008 Departemen Kelautan dan Perikanan secara resmi telah
mengijinkan percobaan penangkapan ikan demersal laut-dalam skala komersial dengan menggunakan satu unit trawler laut-dalam dari JDSTA yaitu F/V Koshin Maru No. 01 ukuran 1500 GT yang beroperasi di Samudera Hindia mulai dari
115 0 Bujur Timur ke arah barat ZEEI.
Pada bulan Januari sampai Mei 2008 F/V Koshin Maru 01 telah
melakukan penangkapan ikan demersal laut-dalam skala komersial yang pertama kali di Indonesia. Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui berapa jumlah
tangkapan dan jenis ikan apa saja di wilayah perairan barat Aceh yang dapat dijual
Permasalahan yang umum dihadapi dalam melakukan pengelolaan
perikanan tangkap adalah eksekusi kegiatan eksploitasi sumberdaya ikan
dilakukan sebelum pengelola memahami dengan baik sifat dan karakater
sumberdayanya. Hal ini menyebabkan sumberdaya perikanan di beberapa
wilayah menjadi hancur dan mengalami kepunahan.
Hasil dari beberapa kegiatan eksplorasi perikanan demersal yang telah
dilaksanakan adalah mendapatkan informasi tentang jenis, komposisi, distribusi,
densitas, biomasa dan struktur komunitas ikan demersal sampai kedalaman
maksimum 350 m (Pauly & Martosubroto 1996); sedangkan dalam laporan akhir
kegiatan The Japan-Indonesia Deep Sea Fishery Resources Joint Exploration Project juga menginformasikan distribusi, densitas ikan dan udang sampai kedalaman 1.000 m (BRKP-OFCF 2006). Informasi mengenai distribusi, densitas
dan struktur komunitas fauna merupakan sentral pertanyaan dalam ilmu ekologi
dan sangat penting untuk diketahui untuk pengelolaan sumberdaya
(Begon & Harper 1996). Demikian pula analisis yang mendalam diperlukan
untuk dapat menggambarkan sifat dan karakter struktur komunitas. Sampai saat
ini belum ada informasi yang dapat menggambarkan struktur komunitas dan
faktor yang mempengaruhinya secara komprehensif sehingga pelaksanaan
eksploitasi sumber daya ikan demersal laut-dalam masih belum didasari oleh pengetahuan yang memadai untuk dapat mengelola sumberdaya secara
berkelanjutan.
Kebutuhan akan informasi struktur komunitas, besarnya stok yang
tersedia, biologi ikan target, serta peluang dan strategi pemanfaatan sumberdaya
ikan demersal di laut-dalam semakin dirasakan perlu untuk diketahui karena saat ini secara progresif para pengusaha penangkapan ikan laut-dalam mulai melihat dan mencoba kemungkinan pengusahaan penangkapan ikan demersal laut-dalam
skala komersial di wilayah laut Indonesia.
Dengan beroperasinya kapal komersial F/V Koshin Maru No 01 pada
bulan Januari sampai Mei 2008 Indonesia memasuki babak baru dalam usaha
perikanan tangkap yaitu mulai memanfaatkan sumberdaya di wilayah laut-dalam.
Apakah jenis kegiatan ini membahayakan sumberdaya dan bagaimana respon
apakah usaha ini menguntungkan. Penelitian ini akan mencoba menjawab
pertanyaan tersebut dengan menggunakan data yang diperoleh dari hasil survei
KR Baruna Jaya IV tahun 2005 dan kegiatan operasi penangkapan F/V Koshin
Maru No 01 di perairan barat Aceh pada tahun 2008.
1.2 Perumusan Masalah
Pada tahap awal untuk mengetahui kondisi dan potensi sumberdaya ikan
(SDI) demersal laut-dalam diperlukan survei pendahuluan yang didesain untuk mengetahui potensi sumber daya. Operasi penangkapan ikan secara komersial
perlu diamati untuk mengetahui aspek kelayakan usaha penangkapan ikan
demersal laut dalam. Usaha perikanan ini diharapkan dapat berlangsung lama dan berkelanjutan sehingga perlu dilakukan suatu kajian mengenai dampak
penangkapan ikan terhadap sumberdayanya. Berdasarkan rangkaian pengkajian
tersebut dapat dirumuskan suatu strategi didalam upaya pemanfaatan sumberdaya
Gambar 1. Kerangka perumusan masalah dalam penelitian
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini antara lain adalah:
1) Mendapatkan data dan informasi tentang sumberdaya ikan demersal
laut-dalam.
2) Menentukan potensi pemanfaatan sumberdaya ikan demersal
laut-dalam.
3) Menentukan pola pemanfaatan sumberdaya ikan demersal laut-dalam.
Batimetri dasar laut Jenis dan komposisi ikan Keanekaragaman jenis ikan Distribusi dan densitas ikan Struktur komunitas
Jenis ikan yang potensial untuk dimanfaatkan
Jenis ikan yang bernilai jual Penanganan ikan di atas kapal Penerimaan pasar terhadap produk Dimana produk dipasarkan
Berapa harga produk Berapa biaya operasional penangkapan
1.4 Hasil yang Diharapkan
Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Distribusi, densitas dan struktur komunitas ikan demersal laut-dalam. 2) Dampak pemanfaatan sumberdaya ikan demersal laut-dalam terhadap
sumberdaya ikan.
3) Pola pemanfaatan ikan demersal laut-dalam.
1.5 Manfaat dan Dampak Penelitian
Penelitian ini memberikan informasi tentang peluang pemanfaatan
sumberdaya ikan demersal laut-dalam. Informasi selanjutnya dapat digunakan oleh pengambil kebijakan sebagai dasar pengelolaan sumberdaya ikan laut-dalam
di Samudera Hindia secara efektif dan bertanggung jawab, dan sebagai informasi
bagi masyarakat nelayan dan industri perikanan pada umumnya.
1.6 Hipotesis
Hipotesis yang dapat diajukan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Jenis dan komposisi sumberdaya ikan demersal laut-dalam dipengaruhi olehstruktur fisik dasar perairan.
2) Kedalaman berpengaruh terhadap distribusi, densitas, keanekaragaman
dan ukuran ikan demersal laut-dalam.
3) Sumberdaya ikan demersal laut-dalam di lokasi penelitian layak
diusahakan secara komersial.
1.7 Metodologi Umum Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan memanfaatkan data hasil survei eksplorasi sumberdaya ikan laut-dalam dengan menggunakan trawl laut-dalam KR Baruna Jaya IV di Samudera Hindia khususnya pada wilayah perairan barat Aceh pada
tahun 2005. Kegiatan survei laut selanjutnya dilaksanakan pada bulan Januari
sampai Mei 2008 di wilayah 020 00’ - 050 30’ LU dan 930 00’ – 960 30’ BT
dengan kedalaman perairan antara 200-1.300 m pada perairan sebelah barat Aceh
Sumatera dengan menggunakan kapal F/V Koshin Maru No 01. Hasil dari
dipasarkan, cara penanganan ikan, kuantitas serta harga penjualannya pada tahun
2008. Secara singkat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini
disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Metode pengumpulan data dalam penelitian
DATA
KR. BARUNA JAYA IV F/V KOSHIN MARU NO 01
•
Oseanografi•
Batimetri•
Sumber daya ikandemersal laut-dalam
(struktur
komunitas,biologi ikan dominan)
•
Jenis ikan komersial•
Harga ikan•
Penanganan ikan di atas kapal•
Deskripsi substrat•
Pengaruh tekananpenangkapan terhadap sumberdaya ikan
LITERATUR/PUSTAKA
2 0 0 5
2.1 Pengertian Laut-dalam
Laut-dalam merupakan habitat terbesar di bumi. Wilayah laut dengan kedalaman diatas 4000 m menyelimuti bumi sampai 53 % wilayah laut atau 71 %
dari permukaan bumi (FAO 2003). Kemampuan penetrasi cahaya matahari pada
kedalaman 150 m hanya mencapai 1 % dari permukaan air dan dianggap sudah
tidak banyak membantu proses fotosintesis. Pada daerah tropis seperti Indonesia
diperkirakan hanya mencapai 100 m. Massa air di laut-dalam dapat dibagi
menjadi 4 wilayah kedalaman (FAO 2008) seperti yang disajikan pada Gambar 3
dan Gambar 4.
1) Mesopelagic (150-1.000 m);
2) Bathypelagic (1.000-3.000 m);
3) Abyssopelagic (3.000-6.000 m); dan
4) Hadal zone, di bawah 6.000 m (trenches).
Gambar 4 Ilustrasi topografi dan bagian-bagian dasar laut-dalam (Sumber: FAO 2008)
Menurut Laevastu et al. (1996) ekosistem laut dapat dibagi menjadi empat wilayah yaitu
1) Ekosistem yang mengatur kehidupan dan wilayah laut (plankton, benthos,
nekton ekosistem).
2) Ekosistem yang spesifik (pelagis, demersal dan perairan payau).
3) Ekosistem yang dibedakan secara geografis (Laut Utara, Kutub).
4) Kombinasi dari ketiga ekosistem (contoh Barent sea benthic ekosistem).
Berdasarkan kategori-kategori di atas, habitat ikan demersal laut-dalam (deep sea)
masuk dalam lingkungan dan ekosistem yang spesifik. Tyler (2003) lebih jauh
menyatakan bahwa laut-dalam adalah ekosistem tunggal terbesar di dunia. Beberapa orang memiliki batasan yang agak berbeda tentang laut-dalam antara
lain :
o Wilayah dibawah 200 m,
o Wilayah percampuran dengan lapisan permukaan dan percampuran
temperatur.
Menurut Thistle (2003) laut-dalam dimulai dari permulaan shelf break dengan alasan bahwa wilayah ini merupakan Physiographic yang berbarengan dengan transisi dari fauna laut-dangkal ke fauna laut-dalam. Pada umumnya kedalaman shelf break adalah sekitar 200 m, sehingga laut-dalam dapat dikatakan mulai dari 200 m (Gambar 5).
Gambar 5 Pembagian wilayah laut secara vertikal (Tyler, 2003)
Dasar perairan laut-dalam umumnya ditutupi oleh sedimen, pada beberapa wilayah yang merupakan gunung dengan elevasi yang besar atau karang-karang
besar lapisan sedimennya tidaklah terlalu tebal. Tekanan air cukup tinggi yaitu
20 atm di shelf break sampai >1.000 atm di trenches. Suhu rendah, oksigen rendah, salinitas konstan sekitar 35 0/00, karakter laut-dalam tersebut biasanya
monoton dan stabil (Tyler 2003)
2.2 Gunung Laut (Seamount)
Gunung laut (seamount) adalah elevasi dasar laut namun belum mencapai permukaan air, berbentuk kerucut pada saat muda dan pada tahap pembentukan
selanjutnya akan menjadi lebih merata karena proses erosi, terkadang memiliki
topografi yang kompleks seperti palung, lembah dan bukit-bukit kecil (Clark et al.
banyak terdapat ikan dengan jumlah yang besar sehingga sering dijadikan target
daerah penangkapan bagi kapal-kapal ikan komersial (Clark & O’Driscoll 2003).
Sampai saat ini telah diidentifikasi banyak seamount didunia yang telah mengalami kerusakan akibat praktek penangkapan ikan dengan menggunakan
bottom trawl. Diseluruh dunia telah diidentifikasi terdapat sekitar 14.287 buah
seamount besar dan diperkirakan terdapat lebih dari 100.000 buah seamount yang tersebar diseluruh dunia. Jumlah seamount paling banyak terdapat di 300 N dan
300 S dan berkurang diatas 500 N dan di bawah 600 S (Clark & O’Driscoll 2003) (Gambar 6 dan Gambar 7).
Gambar 6 Perkiraaan distribusi jumlah gunung-laut (seamount) besar menurut letak lintang (Sumber: Kitcingman dan Lai 2004, diacu dalam Clark et al. (2006)).
New Zealand memiliki sekitar 800 buah seamount dengan ukuran
bervariasai antara 1 km2 sampai lebih dari 35.000 km2 dan didominasi dengan ukuran sekitar 100 km2, sudut elevasinya antara 20 sampai 500 dengan kedalaman antara 50 – 5.000 m dibawah permukaan air laut. Dari 800 gunung laut tersebut
pada tahun 1978-1979 hanya satu gunung saja yang ditrawl dalam kurun waktu 20
tahun, pada tahun 1999-2000 sekitar 248 buah gunung laut telah ditrawl.
Biasanya suatu gunung memiliki satu atau dua jenis ikan yang secara komersial
dapat diusahakan. Dari 248 buah gunung sekitar 111 buah gunung laut
didominasi oleh orange roughy, 81 buah gunung didominasi oleh oreo, 25 buah
Kisaran kedalaman dari operasi trawl dasar
laut-dalam (pada gunung bawah laut) (seamount)
250 m – 1500 m
4 gunung didominasi oleh bluenose, dan 5 gunung didominasi oleh rubyfish
(Clark & O’Driscoll 2003). Sampai saat ini kemampuan usaha penangkapan ikan
demersal laut-dalam berada pada kisaran kedalaman 250 – 1.500 m (Clark et al. 2006) (Gambar 7).
Nilai gradasi
Kedalaman (m) Kedalaman (m)
Gambar 8 Perkiraan distribusi gunung dan kedalaman puncaknya di bawah laut di seluruh dunia (Sumber: Kitcingman dan Lai 2004, diacu dalam Clark et al. (2006)).
Umumnya usaha penangkapan ikan laut-dalam di dunia berhubungan dengan
gunung bawah laut (seamount) (Gambar 9).
Gambar 9 Distribusi beberapa perikanan tangkap laut-dalam di dunia berada pada lokasi gunung bawah laut. Ukuran lingkaran menggambarkan jumlah tangkapan yang telah diperoleh. (BYX: Beryx splendens; ORH: Hoplostethus atlanticus; RNG: Coryphaenoides ruspestris: SAB: Anoploma fimbria; OEO: Pseudocyttus maculatus; RED: Sebastes spp; PTO: Dissostichus spp; NOT: Notothenia spp; CDL: Epigonus telescopus; MAC: Mackerel species (Sumber: Clark et al. 2006)
Sekitar 50 % wilayah gunung bawah laut di New Zealand telah terkena
pengaruh perusakan dari operasi penangkapan dengan bottom trawl. Isu
perlindungan biodiversitas dan produktivitas ekosistem membuat pemerintah New
Zealand pada Mei 2001 mengeluarkan peraturan proteksi penuh pada 19 buah gunung
bawah laut dari kegiatan operasi penangkapan ikan (Anon 2001, diacu dalam
Clark & O’Driscoll 2003). Praktek perikanan di wilayah laut-dalam di New Zealand
secara umum adalah operasi penangkapan yang dilakukan di wilayah gunung bawah
laut. Operasi penangkapan ikan di perairan New Zealand mendapatkan jumlah
tangkapan Hoplostethus atlanticus (orange roughy) yang besar pada awal
pengoperasian di tahun 1970-an, selanjutnya hasil tangkapan menurun dengan cepat
dan pada saat jumlah hasil tangkapan secara ekonomi sudah tidak menguntungkan
2.3 Ikan Demersal
Ikan demersal adalah jenis-jenis ikan yang hidup di dasar atau dekat dasar
perairan, bergerak relatif lambat, bermigrasi tidak terlampau jauh dan membentuk
gerombolan yang tidak terlampau besar (Kingsford & Christopher 1998).
Penangkapan ikan demersal tersebut dilakukan dengan menggunakan alat tangkap
yang bermacam- macam (multi gears) seperti pukat hela (trawl), pancing (hand line),
rawai (bottom long line), bubu (pots), dan pukat pantai (beach sine).
Potensi sumberdaya ikan demersal di Indonesia sebesar 1.365,09 x 103
ton/tahun dengan produksi sekitar 1.085,50 x 103 ton/tahun dan pemanfaatan sekitar
79,52 %. Sumberdaya ikan demersal di wilayah Samudera Hindia adalah
135,13 x 103 ton/tahun dan produksi 134,83 x 103 ton/tahun dengan pemanfaatan
sekitar 99,78 % (Dahuri 2003). Apabila harga ikan dihitung sekitar Rp 5.000/kg
dengan potensi sebesar 135.000 ton/tahun, maka dapat memberikan kontribusi
sekitar 675 milyar/tahun. Potensi perikanan demersal tersebut berasal dari
laut-dangkal dan wilayah teritorial Indonesia. Menurut Widodo et al. (1998), diacu
dalam Dahuri (2003) beberapa jenis ikan demersal dari laut-dangkal yang dikenal dan
umum diperjual belikan ada sekitar 23 jenis (Tabel 1).
Potensi sumberdaya ikan demersal laut-dalam di seluruh perairan Indonesia
diperkirakan sangat besar. Berdasarkan hasil penelitian tahun 1980 oleh
R/V Fridtjof Nansen dilaporkan bahwa hasil tangkapan ikan demersal pada
kedalaman 200-350 m didominasi oleh myctophidae, triglidae dan chlorophthalmidae
dengan total biomas hasil perhitungan metode swept area sebesar 65.000 ton dengan
kepadatan rata rata 2,6 ton/nm2 (Aglen et al. 1981). Pada tahun 2004 dan 2005,
penelitian bersama antara Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) dan OFCF
diketahui bahwa kepadatan biomassa ikan demersal laut-dalam di perairan Samudera
Hindia rata rata 3,1 ton/km2 (BRKP-OFCF 2006). Biomass untuk udang laut-dalam
di sebelah barat Sumatera diperkirakan sebesar 217 ton dengan potensi pemanfaatan
109 ton/tahun (Suman et al. 2006). Trichiurus lepturus terdistribusi terutama pada
kedalaman antara 200-500 m di selatan Jawa dengan perkiraan kepadatan stok sekitar
di perairan selatan Jawa dan barat Sumatera adalah 58.089 ton (BRKP-OFCF 2006).
Nilai ekonomi dari potensi tersebut belum dapat diketahui dengan pasti.
Tabel 1 Beberapa jenis ikan demersal laut-dangkal (< 200 m) penting yang terdapat di Indonesia (Widodo et al. 1998, diacu dalam Dahuri (2003)
Profil dasar perairan di Samudera Hindia dapat dibedakan menjadi dua yaitu
relatif rata dan bergunung gunung (Wudianto & Satria 2007), hal ini dipercaya akan
mempengaruhi jenis dan kepadatan sumberdaya. Dilaporkan bahwa komunitas ikan
laut-dalam di sebelah barat Sumatera didominasi oleh Diaphus sp.1,
Caelorinchus divergens, Neoscopelus macrolepidatus, Diretmoides pauciradiatus,
Bajacalifornia erimoensis dan Hoplosthethus crassispinus (Badrudin et al. 2006).
Namun demikian informasi tentang karakteristik populasi, dan hubungannya dengan
faktor lingkungan belum dapat digambarkan dengan jelas.
No Nama
1Baronang Siganus spp. Rabit
fish
4Beloso Saurida spp. Goatfishe
s
5Biji
nangka
Upeneus spp. Goatfishe
s
6Cucut Caharhinus spp. Sharks
7Ekor kuning Caesio spp. Yellow
tail/Fussilier
8Gulamah,Tigawaj
a
Scianidae Coackers,drums
9Gerot-gerot Pomadasys spp. Grunters/sweetlip
s
10Ikan
lidah
Cynoglossus sp. Tongue
soles
11Ikan merah, Lutjanus spp. Red snappers
12Ikan Nomei Harpodon nehereus Bombay
duck
13Ikan Peperek Leioghnathus spp. Ponyfishe
s
14Ikan
sebelah
Psettodidae Indian
halibuts
15Kakap putih Lates calcacifer Barramundi
breams
16Kerapu Epinephelus spp. Groupers
17Kurisi Nemipterus spp. Threadfins
breams
18Kuro,senangi
n
Polynemus spp. Threadfin s
19Layur Trichiurus spp. Hairtail
s
20Lencam Lethrinus spp. Emperors
21Manyun
g
2.4 Alat Tangkap Ikan Demersal laut-dalam
Alat penangkapan ikan yang dipergunakan untuk menangkap ikan demersal
laut-dalam antara lain adalah trawl, jaring insang (gill net), bubu, pancing tangan
(hand line) dan rawai (tottom long line). Dari beberapa alat pe nangkapan ikan
tersebut trawl merupakan alat penangkapan ikan yang banyak dipergunakan untuk
menangkap ikan demersal laut-dalam, pada tahun 2001 terdapat sekitar 300 unit
kapal trawler laut-dalam yang beroperasi di seluruh dunia (FAO 2007).
Trawl merupakan alat penangkapan ikan/udang yang berbentuk kerucut terbuat
dari jaring dengan ukuran mata jaring yang berbeda (mesh size), mempunyai sepasang
sayap (wing) yang ujungnya mempunyai kantong (codend). Bagian bagian dari trawl
terdiri dari dua buah sayap (win g), mulut kantong (dengan atau tanpa square net),
badan jaring (body) serta dilengkapi dengan pembuka mulut jaring (papan otterboard
atau beam).
Alat tangkap trawl memiliki beberapa aspek teknis yang utama, meliputi :
1) Komponen Jaring (trawl) :
• Jaring (weebing) yang terbagi dalam bagian : sayap, badan dan kantong.
• Tali- temali : tali ris atas (head rope) dan tali ris bawah (ground rope).
• Pelampung dan pemberat jaring.
2) Kelengkapan Jaring
• Papan rentang (otter board) atau palang/gawang rentang (beam).
• Tali slambar (warp rope).
• Rantai pengejut yang terletak di bagian tali ris bawah dan berfungsi juga
sebagai pemberat jaring.
3) Metoda Pengoperasian
• Pukat tarik dihela (towing) oleh satu kapal atau dua kapal dengan posisi
pengoperasian di sisi lambung, di buritan kapal atau dioperasikan dengan
menggunakan outrigger atau tanpa outrigger.
• Untuk menarik dan menaikkan alat ke atas dek kapal digunakan mesin
bantu penangkapan (fishing deck machinery) yang berupa alat penggulung
4) Sarana Apung
• Ukuran tonage kapal (GT) dan tenaga penggerak kapal (daya mesin/DK)
diselaraskan sesuai dengan ukuran dari alat tangkap yang dioperasikan.
5) Sasaran Tangkap
• Hasil tangkapan utama berupa udang atau ikan ekonomis penting.
• Hasil tangkapan sampingan.
Gambar 10 (A) Bagian-bagian alat tangkap trawl (PRPT-BBPPI 2006) (B) Jaring trawl dihela oleh kapal penangkap ikan
Tra w l 4 p a ne l Tra w l 2 p a ne l
Keterangan :
1. Panjang Tali Ris Atas / Head Rope 2. Panjang Tali Ris Bawah / Ground Rope ( m )
3. Setengah Keliling Lingkar Badan / keliling mulut jaring 4. Panjang Total
5. Panjang Sayap Atas 6. Panjang Sayap Bawah 7. Panjang Square 8. Panjang Badan 9. Panjang Kantong (A)
(B)
2.5 Struktur Komunitas
Struktur komunitas memiliki keterkaitan yang erat dengan pertanyaan yang
umum dalam bidang ekologi yaitu bagaimanakah distribusi dan kelimpahan suatu
organisme di dalam suatu wilayah atau area dan merupakan kesatuan dan interaksi
dari seluruh organisme (Kingsford & Christopher 1998; Begon & Harper 1996).
Tidak ada satupun organisme atau populasi dapat hidup sendiri di alam, selalu saja
merupakan bagian dari komunitas dan beberapa populasi ya ng hidup bersama di suatu
tempat (Krebs 1985). Secara sederhana komunitas didefenisikan sebagai suatu
kumpulan populasi makhluk hidup di suatu area atau habitat tertentu (Krebs 1985).
Struktur komunitas dapat dihubungkan kepada struktur fisik seperti kondisi fisik
lingkungan (suhu, salinitas) maupun biologi seperti (komposisi jenis, distribusi) dari
komunitas tersebut (Krebs 1985).
Menurut Krebs (1985) beberapa elemen komunitas adalah:
1) Species diversity (jenis apa fauna yang hidup dalam suatu komunitas: nama
maupun jumlahnya).
2) Growth form and structure (menentukan bentuk pertumbuhan dan stratifikasi
secara vertikal dari suatu komunitas).
3) Dominance (pengamatan dalam suatu komunitas tidak semua jenis memiliki
peran yang sama. Hanya beberapa jenis yang berpengaruh baik secara jumlah,
aktivitas maupun ukuran).
4) Relative abundance (pengukuran proporsi kelimpahan relatif dari beberapa
jenis yang berbeda dari suatu komunitas).
5) Trophic structure (rantai makanan).
Komposisi jenis ikan bervariasi antara tipe habitat dan wilayah geografis yang
berbeda (Sondita 2000). Perubahan fauna ikan laut-dalam di bagian barat Australia
ternyata disamping dipengaruhi oleh kedalaman juga dipengaruhi oleh posisi
geografis (lintang) (William et al. 2001). Distribusi fauna dapat dipengaruhi oleh
perubahan kedalaman (Farina et al. 1997; Fujita et al. 1995; Bianchi 1992).
kandungan oksigen, dan meningkatkan tekanan (Thistle 2003). Suhu dan salinitas
juga merupakan variabel lingkungan yang berpengaruh terhadap keberadaan fauna
(Fujita et al. 1995). Faktor lingkungan tersebut dapat menyebabkan zonasi
keberadaan fauna. Menurut Wei (2006) mengutip pendapat Powell et al. (2003)
bahwa zonasi komunitas ikan dapat dibagi dalam empat kelompok kedalaman yaitu:
outer shelf (188-216 m), upper slope (315-785 m), mid slope (689-1.369 m), dan
deep (1.533-3.075 m).
2.6 Keanekaragaman Hayati (Biodiversitas)
Biodiversitas mengacu pada macam dan kelimpahan spesies, komposisi
genetiknya, dan komunitas, ekosistem dan bentang alam di mana mereka berada.
Secara umum biodiversitas secara biologi dapat didefenisikan sebagai “variasi dan
kelimpahan jenis biota dalam satuan unit tertentu”, untuk menyatakannya digunakan
dua istilah yaitu species richness and species evenness (Krebs 1985).
Pada penelitian ini keanekaragaman akan difokuskan pada ”Diversitas
ekosistem (biogeografik)” dimana diversitas spesies ditentukan tidak hanya oleh
jumlah spesies di dalam komunitas biologi, misalnya kekayaan spesies (species
richness), tetapi juga oleh kelimpahan relatif individu (relative abundance) dalam
komunitas. Kelimpahan spesies merupakan jumlah individu per spesies dan
kelimpahan relatif mengacu pada kemerataan distribusi individu di antara spesies
dalam suatu komunitas. Dua komunitas mungkin sama-sama kaya dalam spesies,
tetapi berbeda dalam kelimpahan relatif, misalnya dua komunitas mungkin
masing-masing mengandung 10 spesies dan 500 individu, tetapi pada komunitas yang
pertama semua spesies sama-sama umum (misal, 50 individual untuk setiap spesies),
sementara pada komunias yang kedua satu spesies secara signifikan jumlahnya lebih
banyak daripada empat spesies yang lain. Maka komunitas pertama dikatakan
memiliki kelimpahan relatif yang lebih tinggi daripada komunitas kedua. Komponen
diversitas spesies ini merespons berbeda pada kondisi habitat yang berbeda. Suatu