PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA
PEMALSUAN MEREK PASCA BERLAKUNYA
UNDANG – UNDANG NOMOR 15 TAHUN
2001 TENTANG MEREK
TESIS
OLEH
ALIMUDDIN SINURAT 117005094 / HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA
PEMALSUAN MEREK PASCA BERLAKUNYA
UNDANG – UNDANG NOMOR 15 TAHUN
2001TENTANG MEREK
TESIS
OLEH
Diajuakn Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar
Magister Hukum Dalam Program Studi Ilmu Hukum
Universitas Sumatera Utara
ALIMUDDIN SINURAT
117005094/HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Judul Tesis : PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PEMALSUAN MEREK PASCA BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK
Nama Mahasiswa : ALIMUDDIN SINURAT NIM : 117005094
Program Studi : Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
Ketua
Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum
(Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H) (Dr.Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum)
Anggota Anggota
Ketua Program Studi Dekan
Telah diuji pada
Tanggal 29 November 2013
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum Anggota : 1. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH
2. Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum
ABSTRAK
Perlindungan hukum terhadap merek terdaftar bukan merupakan jaminan bahwa pihak lain tidak akan melakukan tindakan pemalsuan terhadap merek yang telah didaftarkan terlebih dahulu. Pengaturan tindak pidana pemalsuan merek pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek membawa implikasi di dalam penegakan hukum khususnya ketentuan Pasal 95 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek menentukan tindak pidana merek merupakan delik aduan.
Permasalahan yang yang menjadi fokus pembahasan dalam penelitian ini adalah pertama, bagaimana karakteristik tindak pidana pemalsuan merek yang terjadi pasca berlakunya UU No.15 Tahun 2001 tentang Merek? Kedua bagaimana penegakan hukum terhadap tindak pidana pemalsuan merek pasca berlakunya UU No.15 Tahun 2001 tentang Merek?
Jenis penelitian adalah yuridis normatif sedangkan sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis. Sebagai data dalam penelitian ini digunakan data sekunder. Bahan hukum primer meliputi: KUH Pidana, KUHAP dan UU No.15 Tahun 2001 tentang Merek, dan putusan-putusan pengadilan tentang tindak pidana pemalsuan merek.
Dismpulkan pertama, karakteristik tindak pidana pemalsuan merek yang terjadi pasca berlakunya UU No.15 Tahun 2001 tentang Merek mengkategorikan semua tindak pidana dalam sebagai tindak pidana pelanggaran. Ketentuannya lebih bersifat ke arah privat daripada sebagai hukum publik, karakter hukum pidana semakin tidak banyak ditonjolkan, diubahnya delik biasa menjadi delik aduan, dikuranginya sanksi pidana penjara dari 7 (tujuh) tahun menjadi maksimal 5 (lima) tahun, diubahnya kategori dari tindak pidana kejahatan menjadi tindak pidana pelanggaran, hingga akhirnya pelaku tindak pidana pemalsuan merek potensial terjadi di mana-mana. Penegakan hukumnya menimbulkan nuansa yang berbeda-beda, menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para pencari keadilan, antara satu putusan dengan putusan yang lain dalam kasus yang sama tetapi tidak sama jenis pidana dan sanksi yang diterapkan, bahkan pasal yang dikenakan berbeda. Penegakan hukumnya tidak membawa dampak efek jera kepada pelaku pemalsuan merek.
Disarankan pertama, agar delik aduan diubah menjadi delik biasa seperti yang telah diterapkan pada sebelumnya. Kedua, agar tindak pidana pemalsuan merek dimasukkan sebagai tindak pidana kejahatan bukan sebagai pelanggaran.
ABSTRACT
Legal protection for a registered brand does not guarantee that other party will not forge your brand which was registered earlier. The regulation of the criminal act of brand forgery after the enactment of Law No. 15/2001 on Brand has brought an implication in lawa enforcement especially for the provision of Article 95 of Law No. 15/2001 on Brand which determined that the criminal act of brand forgery as complain offense.
The research questions to be answered in this study were, first, what were the characteristics of the criminal act of brand forgered occurred after the enactment of Lawa No. 15/2001 on Brand?, and second, how was low enforcement agains the criminal act of brand forgery implemented after the enactment of Law No. 15/2001 on Brand?
The date used for this descriptive analytical normative juridicial study were the secondary data consisting of the primary legal materials including the Indonesian Criminal Codes, the Indonesian Civil Code and Law No. 15/2001 on brand and the court decisions related to the criminal act of brand forgery.
The result of this study showed that the characteristics of the criminal acts of brand forgery occurred after the enactment of Law No. 15/2001 on Brand was categorizing all of the criminal acts as criminal offense. The provision was more private in nature rather than public law, the character of criminal law was not increasingly much highlighted, ordinary offense was change into complaint offense, criminal sanction was reduced from 7 (seven) years into maximum 5 (five) years, category of criminal offense was changed into criminal act, that the criminal act of brand forgery has occurred everywhere. The law enforcement brought up different nuance, legal uncertatinty for the justice seekers, different kind of crime and criminal sanction was apllied for the court decision of the same cases and even the Article imposed was also different. The law enforcement did not bring any deterrent effect to the perpetrators of brand forgery.
It is suggested that, first, complain offense be converted into ordinary offense as previously applied; and second, the criminal act of brand forgery is categorized as criminal act not as criminal offense.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan tugas akhir perkuliahan dalam bentuk tesis pada Program Studi
Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.
Penulisan tesis ini berjudul “Penegakan Hukum Tindak Pidana Merek Pasca
Berlakunya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek”, merupakan
salah satu persyaratan yang harus penulis lengkapi dalam rangkaian studi di Program
Magister Ilmu Hukum di Universitas Sumatera Utara.
Penelitian dan penyusunan tesis ini dapat diselesaikan tidak semata-mata hasil
kerja penulis sendiri, melainkan juga berkat bimbingan dan dorongan dari berbagai
pihak yang telah membantu baik moril maupun materil. Pada kesempatan ini dengan
segala kerendahan hati dan penuh hormat penulis mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang sebesar besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM). Sp.A (K)., Rektor
Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada
penulis selama menjadi Mahasiswa pada Program Magister Ilmu Hukum
Universitas Sumatera Utara
2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum, Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, yang tidak pernah bosan memberikan motivasi dan
selalu mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan tesis sampai pada
akhirnya meja hijau. Sekaligus juga selaku Ketua Komisi Pembimbing dalam
penyelesaian tesis ini yang dengan penuh perhatian telah memberikan masukan
dan pendapatnya yang membangun dalam penyempurnaan penulisan tesis ini.
3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH., MH., Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum
Fakultas Hukum USU yang tidak pernah bosan memberikan motivasi dan selalu
mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan tesis sampai pada akhirnya
penyelesaian tesis ini yang dengan penuh perhatian telah memberikan masukan
dan pendapatnya yang membangun dalam penyempurnaan penulisan tesis ini.
4. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum, selaku Anggota Komisi Pembimbing
II juga penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan serta
memberikan koreksi dan masukan kepada penulis sampai dengan selesainya
penelitian dan penulisan Tesis ini.
5. Bapak Dr. Syafrudin , S. Hasibuan.,S.H, M.Hum., DCM selaku Penguji I yang
menguji dan mengarahkan dengan penuh perhatian dan kesabaran dalam
melaksanakan penelitian dan menyusun serta menyelesaikan penulisan Tesis ini.
6. Ibu Dr. T Keizerina Devi Anwar, S.H., M,Hum.MKN, selaku Anggota Penguji II
yang penuh perhatian dan kesabaran menguji dan mengarahkan serta memberikan
koreksi dan masukan kepada penulis sampai dengan selesainya penelitian dan
penulisan Tesis ini.
7. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Program Magister
Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum USU Seluruh Dosen Program Studi Magister
Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara beserta seluruh sahabat
seperjuangan teman-teman Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Fakultas
Hukum USU yang banyak memberikan dukungan dan bantuannya.
8. Seluruh Pegawai Adminstrasi Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara, antara lain Kak Juli, Kak Fitri, Ibu Ganti, Ibu
Niar, Bang Hendra, dan Bang Hendrik yang sangat membantu dalam dalam
melancarkan segala urusan berkenaan dengan administrasi dan informasi.
9. Kepada kedua Orang Tuaku, Ayahanda H. MA. Sinurat dan Ibunda Hajjah R.
Hutagalung, serta kedua mertua Alm R. Siregar dan Ibu Mertua Hajjah Rustini,
atas kasih sayang dan do’a yang tulus sepanjang waktu sehingga kami selalu
mendapatkan berkat-Nya dalam menjalani kehidupan ini.
10.Teristimewa kepada istriku tercinta dr. Rosmayanti Syafriani Sp.A, dengan
pengorbanan yang luar biasa telah memberikan do’a, dukungan, dan kesetiaan
(Tala) dan Thoriq Ilvan Sinurat (Thoriq), agar Suami dan Ayahnya dapat
menyelesaikan studi dengan baik.
11.Kepada rekan sejawat AKBP Surya Sofian Hadi selaku KA SPKT Polda Sumut
dan Kapolsek Tanjung Pura, Polres Stabat serta Ketua Pengadilan Negeri Medan
dan Kepala Kejaksaan Negeri Medan serta Staff, yang telah membantu
penulis dalam melaksanakan penelitian demikian juga dalam menyiapkan
dokumen-dokumen terkait penelitian guna penyelesaian penulisan tesis ini.
Demikianlah sebagai kata pengantar, mudah-mudahan Tesis ini dapat
memberikan kontribusi dan memberi manfaat bagi semua pihak dan menambah serta
memperkaya wawasan ilmu pengetahuan.
Akhir kata, mohon maaf atas ketidaksempurnaan substansi dalam penelitian
ini, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi perbaikan ke
depannya. Semoga penulis lebih giat lagi menambah wawasan ilmu pengetahuan di
masa-masa yang akan datang. Amin.
Medan, November 2013
Penulis
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. Identitas Pribadi
Nama Lengkap : Alimuddin Sinurat
Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 12 Mei 1967
Jenis Kelamin : Laki-Laki.
Agama : Islam
Status : Menikah.
Alamat : Perumahan Pamen Polri Dwikora No. 12
Jl. Amal Luhur Kapten Muslim (0812 6474 8178)
Pekerjaan : Kaur Gakkum Subbid Provos Bid Propam Polda Sumut
Hand Phon : 081264748178
II. Pendidikan Umum
1. SD Negeri 44 Yossudaro Medan (1975-1980)
2. SMP Negeri 9 Medan (1980-1983)
3. SMA Negeri 3 Medan (1983-1986)
4. Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Banda Aceh (1988-1994)
5. S-2 Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
(2011-2013)
III.Pendidikan Polisi
1. Sekolah Polisi Negara Seulawa Aceh (1988)
2. Sekolah Calon Perwira Polri Suka Bumi (Jawa Barat) (1996-1997)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... x
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 15
C. Tujuan Penelitian ... 16
D. Manfaat Penelitian ... 16
E. Keaslian Penelitian ... 16
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional ... 18
1. Kerangka Teori... 18
2. Landasan Konsepsional ... 27
G. Metode Penelitian ... 28
1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 28
2. Sumber Data ... 28
3. Teknik Pengumpulan Data ... 29
BAB II : KARAKTERISTIK TINDAK PIDANA PEMALSUAN MEREK YANG TERJADI PASCA BERLAKUNYA UU NO.15 TAHUN
2001 TENTANG MEREK ... 32
A. Sejarah Perundang-Undangan di Bidang Merek ... 32
B. Hak Kekayaan Intelektual ... 42
1. Istilah Hak Kekayaan Intelektual ... 42
2. Merek Sebagai Hak Kekayaan Intelektual ... 45
C. Kekuatan Hukum Merek Terdaftar ... 51
D. Karakteristik Tindak Pidana Pemalsuan Merek Pasca Berlakunya UU No.15 Tahun 2001 Tentang Merek ... 57
1. Delik Aduan ... 58
2. Pembuktian Persamaan Pada Pokoknya atau Keseluruhannya dengan Merek Terdaftar ... 65
3. Sanksi Tindak Pidana Pemalsuan Merek ... 71
BAB III : PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PEMALSUAN MEREK PASCA BERLAKUNYA UU NO.15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK ... 76
A. Analisis Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Merek Pasca Berlakunya UU No.15 Tahun 2001 Tentang Merek ... 76
1. Kasus Tindak Pidana Memperdagangkan Suku Cadang Mobil Merek Daihatsu (Putusan MA Tahun 2006) ... 80
3. Memperdagangkan Merek Penyedap Rasa (Vitsin) Milik PT.
Sasa Inti (Putusan MA Tahun 2008) ... 91
4. Kasus Tindak Pidana Pemalsuan Merek Pisau Serut (Putusan MA Tahun 2008) ... 96
5. Kasus Tindak Pidana Pemalsuan Merek Busi NGK di Pengadilan Negeri Medan ... 103
B. Kendala-Kendala Dalam Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Merek ... 108
BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN ... 126
A. Kesimpulan ... 126
B. Saran ... 127
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 : Pemenuhan Unsur Pelanggaran Pidana ... 108
Tabel 2 : Putusan Hakim ... 110
Tabel 3 : Karakteristik Putusan Hakim Pada Kelima Kasus Tindak Pidana
Pemalsuan Merek ... 111
Tabel 4 : Lanjutan Tabel 3 (Karakteristik Putusan Hakim Pada Kelima
ABSTRAK
Perlindungan hukum terhadap merek terdaftar bukan merupakan jaminan bahwa pihak lain tidak akan melakukan tindakan pemalsuan terhadap merek yang telah didaftarkan terlebih dahulu. Pengaturan tindak pidana pemalsuan merek pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek membawa implikasi di dalam penegakan hukum khususnya ketentuan Pasal 95 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek menentukan tindak pidana merek merupakan delik aduan.
Permasalahan yang yang menjadi fokus pembahasan dalam penelitian ini adalah pertama, bagaimana karakteristik tindak pidana pemalsuan merek yang terjadi pasca berlakunya UU No.15 Tahun 2001 tentang Merek? Kedua bagaimana penegakan hukum terhadap tindak pidana pemalsuan merek pasca berlakunya UU No.15 Tahun 2001 tentang Merek?
Jenis penelitian adalah yuridis normatif sedangkan sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis. Sebagai data dalam penelitian ini digunakan data sekunder. Bahan hukum primer meliputi: KUH Pidana, KUHAP dan UU No.15 Tahun 2001 tentang Merek, dan putusan-putusan pengadilan tentang tindak pidana pemalsuan merek.
Dismpulkan pertama, karakteristik tindak pidana pemalsuan merek yang terjadi pasca berlakunya UU No.15 Tahun 2001 tentang Merek mengkategorikan semua tindak pidana dalam sebagai tindak pidana pelanggaran. Ketentuannya lebih bersifat ke arah privat daripada sebagai hukum publik, karakter hukum pidana semakin tidak banyak ditonjolkan, diubahnya delik biasa menjadi delik aduan, dikuranginya sanksi pidana penjara dari 7 (tujuh) tahun menjadi maksimal 5 (lima) tahun, diubahnya kategori dari tindak pidana kejahatan menjadi tindak pidana pelanggaran, hingga akhirnya pelaku tindak pidana pemalsuan merek potensial terjadi di mana-mana. Penegakan hukumnya menimbulkan nuansa yang berbeda-beda, menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para pencari keadilan, antara satu putusan dengan putusan yang lain dalam kasus yang sama tetapi tidak sama jenis pidana dan sanksi yang diterapkan, bahkan pasal yang dikenakan berbeda. Penegakan hukumnya tidak membawa dampak efek jera kepada pelaku pemalsuan merek.
Disarankan pertama, agar delik aduan diubah menjadi delik biasa seperti yang telah diterapkan pada sebelumnya. Kedua, agar tindak pidana pemalsuan merek dimasukkan sebagai tindak pidana kejahatan bukan sebagai pelanggaran.
ABSTRACT
Legal protection for a registered brand does not guarantee that other party will not forge your brand which was registered earlier. The regulation of the criminal act of brand forgery after the enactment of Law No. 15/2001 on Brand has brought an implication in lawa enforcement especially for the provision of Article 95 of Law No. 15/2001 on Brand which determined that the criminal act of brand forgery as complain offense.
The research questions to be answered in this study were, first, what were the characteristics of the criminal act of brand forgered occurred after the enactment of Lawa No. 15/2001 on Brand?, and second, how was low enforcement agains the criminal act of brand forgery implemented after the enactment of Law No. 15/2001 on Brand?
The date used for this descriptive analytical normative juridicial study were the secondary data consisting of the primary legal materials including the Indonesian Criminal Codes, the Indonesian Civil Code and Law No. 15/2001 on brand and the court decisions related to the criminal act of brand forgery.
The result of this study showed that the characteristics of the criminal acts of brand forgery occurred after the enactment of Law No. 15/2001 on Brand was categorizing all of the criminal acts as criminal offense. The provision was more private in nature rather than public law, the character of criminal law was not increasingly much highlighted, ordinary offense was change into complaint offense, criminal sanction was reduced from 7 (seven) years into maximum 5 (five) years, category of criminal offense was changed into criminal act, that the criminal act of brand forgery has occurred everywhere. The law enforcement brought up different nuance, legal uncertatinty for the justice seekers, different kind of crime and criminal sanction was apllied for the court decision of the same cases and even the Article imposed was also different. The law enforcement did not bring any deterrent effect to the perpetrators of brand forgery.
It is suggested that, first, complain offense be converted into ordinary offense as previously applied; and second, the criminal act of brand forgery is categorized as criminal act not as criminal offense.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Merek merupakan tanda yang dapat berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf,
angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki
daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.1
Merek telah lama dikenal manusia sejak zaman purba yang masih diartikan
berupa tanda-tanda sederhana untuk dapat membedakan kepemilikan.
Pengertian merek tersebut merupakan pengertian merek yang dimaksud secara yuridis
dalam Pasal 1 angka 1 UU No.15 Tahun 2001 tentang Merek (disingkat UU Merek).
2
Pentingnya merek sebagai tanda kepemilikan atas barang dan atau jasa dalam
lalu lintas perdagangan dan lebih penting dari itu terutama di bidang industri dan
perdagangan baik nasional maupun internasional.
Merek saat ini
digunakan sebagai tanda pembeda antara produk yang dihasilkan oleh seseorang atau
badan hukum dengan produk yang dihasilkan oleh pihak lain dengan cara didaftarkan
pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Dirjen HKI) yang berada di
bawah departemen yang dipimpin oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Dirjen HKI yang dimaksud khusus membidangi urusan Merek.
3
1
Pasal 1 angka 1 UU No.15 Tahun 2001 tentang Merek.
Dengan didaftarkannya suatu
2
Julius Rizaldi, Perlindungan Kemasan Produk Merek Terkenal Terhadap persaingan
Curang, (Bandung: Alumni, 2009), hal. 1.
3
merek pada lembaga pendaftaran merek yang berwenang, maka pemilik merek telah
memperoleh perlindungan hukum secara yuridis atas merek barang dan atau jasa yang
dmilikinya.
Persepsi terhadap merek merupakan gengsi bagi kalangan tertentu dan sudah
menjadi gaya hidup. Menggunakan merek barang-barang terkenal merupakan
kebanggan tersendiri bagi konsumen, jika barang-barang dan jasa tersebut merupakan
produk asli yang sulit didapat dan dijangkau oleh kebanyakan konsumen. Gengsi
seseorang terletak pada barang dan jasa yang digunakannya dengan alasan yang
sering muncul kerana kualitas, bonafiditas, atau investasi sehingga merek sudah
menjadi gaya hidup. Merek juga dapat membuat seseorang menjadi percaya diri atau
bahkan menentukan kelas sosialnya.
Pentingnya untuk melindungi kepemilikan atas merek karena merek barang
dan atau jasa tertentu dalam era perdagangan bebas saat ini dapat menembus lintas
batas antara negara.4
Para konsumen umumnya membeli produk tertentu (yang terlihat dari
mereknya) karena menurut para konsumen tersebut merek yang demikian memiliki
kualitas tinggi untuk dikonsumsi dikarenakan reputasi dari merek tersebut. Jika
sebuah perusahaan menggunakan merek perusahaan lain, maka para konsumen Dengan terbukanya era perdagangan bebas dewasa ini membuat
merek tertentu beredar di mana-mana bahkan dapat menjangkau seluruh pelosok
penjuru dunia khususnya untuk merek terkenal.
4
Sudargo Gautama dan Rizwanto Winata, Pembaharuan Hukum Merek Indonesia (Dalam
mungkin merasa tertipu karena telah membeli produk dengan kualitasnya yang
rendah.5
Publik cenderung mengaitkan suatu image, kualitas atau reputasi barang dan
jasa dengan merek tertentu di mana merek dapat menjadi kekayaan yang sangat
berharga secara komersial, dan karena adanya merek tersebut, dapat membuat
harga-harga suatu produk menjadi mahal bahkan lebih bernilai dibandingkan dengan
merek-merek perusahaan lainnya.
Didaftarkannya suatu merek secara yuridis pemilik merek memperoleh
perlindungan hukum atas merek yang didaftarkan tersebut. Perlindungan hukum
dimaksud meletakkan hak kepemilikan sah kepada pihak yang mendaftarkan merek
pada Dirjen HKI Kementerian Hukum dan HAM. Hal ini berarti negara memberikan
hak eksklusif kepada pemilik Merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek
(DUM) untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut
atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.6
Dalam perjanjian Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights
(TRIPs)7
5
Eddy Damian, Hak Kekayaan Intelektual (Suatu Pengantar), (Bandung: Alumni, 2003), hal. 131.
yang ditandatangani Indonesia sekalipun hak atas merek terdaftar memiliki
6
Pasal 3 UU Merek, menentukan “Hak atas Merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada pemilik Merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya”.
7
hak eksklusif untuk melarang pihak ketiga tanpa seizin dan sepengetahuan pemilik
merek terdaftar tersebut untuk memakai merek yang sama untuk barang dan atau jasa
yang telah didaftarkan terlebih dahulu.8
Namun perlu diketahui bahwa perlindungan hukum terhadap merek terdaftar
tersebut bukan merupakan jaminan bahwa pihak lain tidak akan melakukan tindakan
pemalsuan terhadap merek yang telah didaftarkan terlebih dahulu. Sebab adakalanya
jika terdapat cukup alasan-alasan, pendaftaran merek di Dirjen HKI dapat dihapus
atau dibatalkan karena alasan-alasan tertentu.
Tindakan pemalsuan atas merek jelas dapat mengurangi pemasukan bagi
pemilik merek terdaftar karena volume penjualan menurun atau bilamana penjualan
barang yang diproduksi si pemalsu merek tidak memadai, sehingga pada akhirrnya
nama baik merek itu akan tercemar. Begitu juga bagi konsumen akan kehilangan
jaminan (kepercayaan atau reputasi) atas kualitas barang yang dibelinya.9
Perbuatan pihak lain (pihak ketiga) yang menggunakan Merek yang sama
pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau
jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, menurut Pasal 94 ayat (2) UU
Merek adalah perbuatan yang dilarang dan termasuk jenis pelanggaran. UU Merek
hanya mengenal jenis perbuatan pelanggaran di bidang merek tetapi tidak mengenal
kejahatan di bidang merek.
8
Sudargo Gautama, Hak Merek Dagang Menurut Perjanjian TRIPs-GATT dan
Undang-Undang Merek RI, (Bandung: Citra Aditya Bakti: 1994), hal. 19.
9
Bahkan dalam Pasal 95 UU Merek dengan jelas ditentukan bahwa “Tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, dan Pasal
94 merupakan detik aduan”. Konsekuensi dari delik aduan berarti dalam
perkara-perkara merek khususnya menyangkut tindak pidana pemalsuan merek sifatnya hanya
menunggu adanya aduan dari pihak yang dirugikan. Dengan kata lain jika tidak ada
yang mengadu maka sekalipun telah terjadi pemalsuan merek, aparat penegak hukum
dapat saja mengabaikan atau membiarkan pelaku bebas tanpa diproses secara hukum.
Sehubungan dengan ketentuan pidana sebagaimana yang ditentukan dalam
Pasal 95 UU Merek yang menentukan, “Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, dan Pasal 94 merupakan detik aduan”, maka
terhadap beberapa Putusan Mahkamah Agung berikut ini terdapat penegakan hukum
merek yang dinilai kurang memberikan perlindungan hukum terhadap pihak pemilik
merek terdaftar karena mesti ada aduan dari pihak pemilik yang dirugikan. Beberapa
kasus tindak pidana merek tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kasus Tindak Pidana Memperdagangkan Suku Cadang Mobil Merek Daihatsu
(Putusan MA Tahun 2006)
Pengadilan Negeri Jakarta Barat mengeluarkan Putusan Nomor
1198/Pid.B/2004/PN.JKT.BAR, tanggal 28 Desember 2004 atas nama terdakwa
Oyong Liza Huslin alias Oyong diputus karena memperdagangkan barang yaitu
UU Merek.10
Kemudian terdakwa Oyong Liza Huslin mengajukan kasasi ke Mahkamah
Agung berdasarkan akta permohonan kasasi Nomor 1198/Pid.B/Akta/2005/PN.
JKT.BAR, dan No. 133/PID/2005/PT.DKI, yang dibuat oleh Panitera pada
Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada tanggal 27 Januari 2006. Pada tanggal 25 April
2007 Mahkamah Agung mengeluarkan Putusan Nomor 873 K/Pid/2006 yang
memutuskan terdakwa Oyong Liza Huslin alias Oyong telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “memperdagangkan suatu barang
yang diketahui atau patut diketahui merupakan hasil pelanggaran atas merek dagang”. Kemudian terdakwa Oyong Liza Huslin mengajukan banding ke
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang dalam Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta
Nomor 133/PID/2005/PT.DKI tanggal 14 September 2005 menguatkan Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor 1198/Pid.B/2004/PN.JKT.BAR.
Mahkamah Agung menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu
dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan dan menetapkan bahwa hukuman
tersebut tidak perlu dijalani, kecuali dikemudian hari ada perintah lain dengan
10
Terdakwa Oyong Liza Huslin alias Oyong diketahui telah memperdagangkan barang pada hari Kamis tanggal 4 Maret 2004 bertempat di Toko Kimberly Motor yang terletak di Duta Mas Blok E.III No. 44 Jakarta Barat. Padahal merek Daihatsu sudah terdaftar di Direktorat Merek Ditjen HAKI Dep.Keh dan HAM RI:
a. Atas nama Daihatsu Motor Co.Ltd berkedudukan di 1-1 Daihatsu Cho, Ikeda, Osaka, Japan, Nomor: 495197, tertanggal 5 Desember 2001, kelas 12 dan jenis barang mobil-mobil dan alat bagiannya.
b. Atas nama Daihatsu Motor Co.Ltd berkedudukan di 1-1 Daihatsu Cho, Ikeda, Osaka, Japan, Nomor: 410851, tertanggal 10 Maret 1998, kelas 7 dan jenis bagian untuk motor dan mesin kendaraan darat.
keputusan hakim, oleh kerena terpidana sebelum lewat masa percobaan 1 (satu) tahun
telah melakukan perbuatan yang dapat dihukum.
2. Kasus Tindak Pidana Pemalsuan Merek Lem CASTOL (Putusan MA Tahun
2007)
Terdakwa memalsukan merek lem CASTOL padahal berdasarkan data yang
ada pada Direktorat Jenderal HKI Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI,
merek CASTOL telah terdaftar pada Daftar Umum Merek dengan Nomor 524734
tanggal 3 Desember 2002 dan Daftar Nomor 524738 tanggal 3 Desember 2002 atas
nama Rachmat Basuki yang beralamat Jl. Dr. Sutomo No. 58 Surabaya.
Terdakwa Tarmono bin Brojo Utomo bersama-sama dengan Mingsan pada
hari dan tanggal yang tidak dapat dipastikan lagi, pada bulan Mei 2005 sampai
dengan bulan Oktober 2005 atau setidak-tidaknya pada waktu lain dalam tahun 2005
di Gudang 22 D Jl. Husen Sastranegara Kelurahan Jurumudi Kecamatan Benda Kota
Tangerang yang termasuk daerah hukum Pengadilan Negeri Tangerang, melakukan
tindka pidana pemalsuan dengan merk terdaftar milik pihak lain untuk barang
dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan atau diperdagangkan.
Putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor 514/Pid.B/2006/PN.TNG,
tanggal 9 Agustus 2006 memutuskan terdakwa Tarmono bin Brojo Utomo terbukti
dengan sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana
“pemalsuan merk terdaftar yang dilakukan secara bersama-sama”. Menghukum
terdakwa dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan pidana denda sebesar
diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan. Dalam putusan Pengadilan
Tinggi Banten Nomor 67/PID/2006/PT.BTN, tanggal 16 Oktober 2006 atas
permintaan banding yang diajukan oleh Penuntut Umum dan Terdakwa,
membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor
514/Pid.B/2006/PN.TNG, tanggal 9 Agustus 2006 tersebut. Pada tanggal 29 Oktober
2007, Mahkamah Agung mengeluarkan Putusan Nomor 112 K/Pid/2007
membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Banten Nomor 67/PID/2006/PT.BTN,
tanggal 16 Oktober 2006 yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Tangerang
Nomor 514/Pid.B/2006/PN.TNG, tanggal 09 Agustus 2006.
3. Memperdagangkan Merek Penyedap Rasa (Vitsin) Milik PT. Sasa Inti
(Putusan MA Tahun 2008)
Terdakwa Pengkuh Mintardja Sentosa alias Mensen pada bulan Juni 2005
dengan sengaja tanpa hak menggunakan merek yang sama pada pokoknya dengan
merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan atau jasa sejenis yang diproduksi
dan atau diperdagangkan.
PT. Sasa Inti telah melaporkan tentang adanya pemalsuan merek Sasa pada
tanggal 14 September 2005 kepada pihak Kepolisian. Pihak Kepolisian melakukan
razia atas penyedap rasa Sasa dengan menyita berupa 21 (dua puluh satu) pcs
penyedap rasa Sasa disita dari Toko Didin dan 4 (empat) pcs penyedap rasa Sasa
disita dari Toko Nur Hidayat yang masing-masing semuanya didistribusikan oleh
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor
1167/Pid.B/2006/PN.Jak.Sel., tanggal 4 Oktober 2006 menyatakan terdakwa Pengkuh
Mintardja Sentosa alias Mensen, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah telah
melakukan tindak pidana memperdagangkan barang yang diketahui hasil pelanggaran
Pasal 90, 91 dan 92 UU Merek dan menghukum terdakwa dengan pidana penjara
selama 10 (sepuluh) bulan.
Dalam Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 321/PID/2007/PT.DKI
tanggal 17 Desember 2007 yang menerima permintaan banding yang diajukan oleh
Penuntut Umum dan Terdakwa, menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan Nomor 1167/Pid.B/2006/ PN.Jak.Sel. tanggal 4 Oktober 2006. Kemudian
pihak terdakwa mengajukan kasasi yang dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor
941 K/PID.SUS/2008 memutuskan menolak permohonan kasasi dari pemohon
kasasi/terdakwa Pengkuh Mintardja Sentosa alias Mensen tersebut.
4. Kasus Tindak Pidana Pemalsuan Merek Pisau Serut (Putusan MA Tahun
2008)
Terdakwa Sigit Soegiarto bin Ong Ting Kang, selaku pimpinan CV. Kurnia
Abadi pada tahun 2001 sampai dengan tahun 2006 dengan sengaja dan tanpa hak
menggunakan merek yang sama pada pokoknya dengan merek terdaftar milik pihak
PT. Inax Internasional Corporation untuk barang dan atau jasa sejenis yang di
produksi dan atau di perdagangkan yaitu barang berupa pasah kayu/pisau serut.
Sertifikat yang dimiliki terdakwa adalah sertifikat merek cap Kelinci untuk
2001. Sedangkan merek Rabbit Brand, merek Kelinci, Plene Irone telah terdaftar
dengan Nomor Sertifikat Merek No.IDM 0000 15532 untuk jenis barang pisau serut
yang dipasarkan oleh PT. Inax Internasional Corporation yang dilindungi oleh Dirjen
Hak Kekayaan Intelektual Depkeh HAM.
Merek cap Kelinci milik terdakwa tidak memiliki tulisan ”Rabbit Brand” pada
mereknya sedangkan tulisan ”Rabbit Brand” tersebut dimiliki oleh PT. Inax
Internasional Corporation. Terdakwa merubah tulisan sendiri dengan menambahkan
tulisan ”Rabbit Brand: ke cap Kelinci tersebut dan terdakwa tidak memberitahukan
kepada Direktorat Merek Departemen Kehakiman dan HAM RI Dirjen HKI.
Dalam kasus ini Pengadilan Negeri Semarang Nomor
557/Pid/B/2007/PN.SMG., pada tanggal 19 Nopember 2007 menyatakan dalam
putusannya, terdakwa Sigit Soegiarto bin Ong Ting Kang tidak terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan pada
dakwaan primair dan subsidair. Para pihak tidak menempuh banding tetapi langsung
melakukan upaya kasasi yang dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 501
K/Pid.Sus/2008 mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi
Jaksa/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Sermarang dan membatalkan putusan
Pengadilan Negeri Semarang No. 557/Pid/B/2007/PN.SMG.tanggal 19 Nopember
2007.
Mahkamah Agung menyatakan terdakwa Sigit Soegiarto bin Ong Ting Kang
pemalsuan merek denagn menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada terdakwa Sigit
Soegiarto bin Ong Ting Kang tersebut pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan.
5. Kasus Tindak Pidana Pemalsuan Merek Busi NGK di Pengadilan Negeri
Medan
Dalam Putusan Nomor 378/Pid.B/2010/PN.Mdn, tuntutan Jaksa Penuntut
Umum (JPU) mendalilkan tuntutannya atas ”desain industri dan tata letak sirkuit
terpadu” yang dibuktikan JPU adalah membandingkan Merek Busi NGK yang asli
dengan Merek Busi NGK (aquo) yang dipalsukan terdakwa. Merek busi NGK yang
asli menurut kesaksian dari pihak JPU berdasarkan desain tutup kepala besi terbuat
dari berbagai jenis, ring atau gasket yang tidak dapat dilepas, di metal sel terdapat
kode produksi yang menunjukkan tanggal, bulan dan tahun produksi, cetakan
dikeramik dicetak rapi dan simetris, warna tulisan hitam untuk yang standar
sedangkan warna tulisan biru untuk resistor (NGK R), ujung besi tempat terminal Nut
merekat sangat kuat.
Sedangkan Merek busi NGK yang dijadikan sebagai barang bukti dalam
persidangan (aquo) memiliki ”desain industri dan tata letak sirkuit terpadu” dengan
menggunakan tutup kepala besi yang terbuat dari plastik, ring atau gasket dapat
dilepas, di metal sel tidak terdapat kode yang menunjukkan tanggal, bulan dan tahun
produksi. Sehingga dengan mendasarkan ”desain industri dan tata letak sirkuit
terpadu” membedakan Merek busi NGK yang asli dan Merek busi NGK yang
Majelis Hakim dalam Putusan Nomor 378/Pid.B/2010/PN.Mdn memutuskan
terdakwa terbukti bersalah melanggar Pasal 94 UU Merek. Jika diperhatikan dalam
UU Merek sama sekali istilah ”desain industri dan tata letak sirkuit terpadu” tidak
dapat ditemukan melainkan ketentuan itu dapat ditemukan di dalam UU No.31 Tahun
2000 tentang Desain Industri (UUDI) dan UU No.32 Tahun 2000 tentang Desain Tata
Letak Sirkuit Terpadu (UUDLST).
JPU mendalilkan pembuktian dalam dakwaannya berdasarkan Pasal 94 UU
Merek sementara JPU juga mendalilkan dengan keterangan ahli yang dihadirkannya
dengan mendasarkan pada ”desain industri dan tata letak sirkuit terpadu”. Seharusnya
jika JPU mendalilkan dakwaannya berdasarkan ”desain industri dan tata letak sirkuit
terpadu” maka semestinya pasal yang dikenakan kepada terdakwa juga termasuk
ketentuan sebagaimana yang diatur dalam UUDI dan UUDLST bukan hanya
bersandar pada UU Merek saja.
Selanjutnya aspek hukum yang menarik dalam Putusan Nomor
378/Pid.B/2010/PN.Mdn adalah terkait dengan pembuktian unsur perbuatan melawan
hukum tindak pidana di bidang merek. Pada faktanya terdakwa sama sekali tidak
memiliki unsur niat (mens rea) untuk memalsukan Merek busi NGK melainkan
terdakwa sama sekali tidak mengetahui bahwa Merek tersebut adalah palsu yang
diperolehnya dari salah seorang sales yang ia tidak ketahui identitasnya.
Selanjutnya adalah masalah yang terkait dengan kewenangan yurisdiksi
mengadili dalam perkara pemalsuan Merek Busi NGK (aquo) di Pengadilan Negeri
perkara ini berada di luar yurisdiksi PN Medan bahkan locus delicti perkara juga
berada di luar PN Medan yakni di Tanjung Pura Kabupaten Langkat. Pasal 84 ayat
(2) KUHAP membenarkan untuk diadili oleh Pengadilan Negeri di tempat kediaman
sebahagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat, namun yang menjadi persoalan di
sini adalah Pengadilan Negeri yang mengadili adalah PN Medan tetapi hanya 1 (satu)
orang saksi yang bertempat tinggal di Kota Medan wilayah hukum PN Medan.
Berdasarkan beberapa contoh kasus tindak pidana merek sebagaimana di atas,
setelah berlakunya UU Merek tampak penegakan hukum terhadap merek kurang
memberikan perlindungan hukum terhadap pihak pemilik merek terdaftar terlebih
dahulu. Sebab dalam Pasal 95 UU Merek menentukan, tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, dan Pasal 94 merupakan delik
aduan.
EY Kanter dan SR Sianturi menegaskan, pelaku dari delik aduan hanya dapat
dituntut karena adanya aduan. Berbeda dengan delik biasa seperti contoh dalam delik
tindak pidana pencurian atau delik jabatan dan lain-lain. Dalam delik biasa pelakunya
dituntut oleh petugas tanpa harus menunggu aduan dari pihak tertentu dengan
perkataan lain tidak perlu ada aduan langsung aparat Kepolisian melakukan
penyelidikan dan penyidikan.11
Persoalan selanjutnya adalah bahwa delik aduan sering diselesaikan secara
”nepung tawari” atau ”berdamai” di luar daripada proses hukum pidana. Padahal pada
11
EY. Kanter dan SR. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,
prinsipnya unsur pidana khususnya kejahatan tidak dibenarkan dapat dilakukan secara
damai walaupun pihak pelaku telah meminta maaf atau telah membayar ganti rugi
namun unsur pidana tetap dijalankan sebab dalam hal ini ada pihak lain yang
dirugikan di sini yaitu Negara.12
Pengaturan delik aduan demikian dalam UU Merek sebenarnya dapat
menghambat penegakan hukum merek di Indonesia. Di mana pihak yang dirugikan
telah ada namun proses hukum tidak akan berjalan jika pihak yang dirugikan tersebut
tidak mengadukan perbuatan pelanggaran tersebut kepada aparat Kepolisian.
Sepanjang tidak ada yang dirugikan dalam hal ini, maka pihak aparat tidak dapat
disalahkan jika tidak menjalankan tugasnya.
Berdasarkan beberapa Putusan Mahkamah Agung di atas terdapat penegakan
hukum merek yang dinilai kurang memberikan perlindungan hukum terhadap pihak
pemilik merek terdaftar karena mesti ada aduan dari pihak pemilik yang dirugikan. Di
samping itu penjatuhan sanksi sebagaimana yang diancamkan bagi pelaku sesuai
dengan UU Merek kurang memberikan efek jera dan perlindungan terhadap merek
terdaftar sebab sanksi pidana yang ditentukan dalam Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92,
Pasal 93, dan Pasal 94 UU Merek paling maksiamal hanya 5 (lima) tahun penjara.
Tentu dengan sanksi demikian delik ini termasuk dalam kategori tindak pidana
pelanggaran bukan tindak pidana kejahatan sebagaimana yang dianut dalam KUH
Pidana (menganut pelanggaran < 5 tahun dan kejahatan > 5 tahun).
12
Hukum merek di Indonesia kurang berpihak kepada pelaku-pelaku bisnis
khususnya pelaku usaha yang memiliki merek terdaftar di Direktorat Merek Dirjen
HKI Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Keadilan akan pemberian
perlindungan hukum terhadap pemilik merek terdaftar masih terasa jauh dari yang
diharapkan di negara hukum seperti di Indonesia saat ini.
Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas terkait dengan pengaturan
delik tindak pidana pemalsuan merek dan persoalan-persoalan penegakan hukum
terhadap tindak pidana merek pada kasus-kasus di atas, maka dirasa penting untuk
dilakukan penelitian tentang, ”Sistim Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana
Pemalsuan Merek Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang
Merek” sebagai judul dalam tesis ini.
B. Perumusan Masalah
Permasalahan yang yang menjadi fokus pembahasan dalam penelitian ini
dirumuskan sebagaimana berikut:
1. Bagaimanakah karakteristik tindak pidana pemalsuan merek yang terjadi
pasca berlakunya UU No.15 Tahun 2001 tentang Merek?
2. Bagaimanakah penegakan hukum terhadap tindak pidana pemalsuan merek
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dalam rangka melakukan penelitian terhadap kedua permasalahan di
atas, adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dan memahami karakteristik tindak pidana pemalsuan
merek yang terjadi pasca berlakunya UU No.15 Tahun 2001 tentang Merek.
2. Untuk mengetahui dan memahami penegakan hukum terhadap tindak pidana
pemalsuan merek pasca berlakunya UU No.15 Tahun 2001 tentang Merek.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memberikan beberapa manfaat yang berguna baik manfaat
secara teoritis maupun secara praktis antara lain:
1. Secara teoritis penelitian ini bermanfaat pihak akademisi sebagai bahan kajian
penelitian dan pengkajian lebih lanjut dan bagi masyarakat umum khususnya
pelaku bisnis yang memiliki merek barang dan/atau jasa yang dimilikinya.
2. Secara praktis penelitian ini bermanfaat lembaga-lembaga aparatur penegak
hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, Advokat/Pengacara, dan
Lembaga Pemasyarakatan serta bermanfaat bagi lembaga Direktorat Jenderal
Hak Kekayaan Intelektual.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian ini memiliki keaslian dan tidak dilakukan plagiat dari hasil karya
judul dan permasalahan dari tesis-tesis yang ada baik di Perpustakaan Universitas
Sumatera Utara khususnya di Program Studi Magister Ilmu Hukum maupun
dilakukan penelusuran di situs-situs resmi perguruan tinggi lainnya melalui internet
dan diperoleh:
1. Penetapan Sementara Pengadilan Dalam Rangka Penegakan Hukum Merek di
Indonesia, oleh: Rahmad Parulian, NIM: 047005041. Fokus kajian dalam
penelitian ini masalah penetapan sementara pengadilan.
2. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Pelanggaran Hak Merek
Sebagai Kejahatan di Bidang Ekonomi, oleh Budiman Bostang Panjaitan,
NIM: 097005106. Fokus kajian dalam penelitian ini masalah kebijakan
hukum pidana (criminal policy) untuk menanggulangi kejahatan di bidang
merek.
Berdasarkan permasalahan kedua penelitain di atas bahwa tidak memiliki
kesamaan terhadap judul dan permasalahan dengan penelitian ini. Oleh sebab itu,
penelitian ini baru pertama kali dilakukan dan sesuai dengan asas-asas keilmuan yang
harus dijunjung tinggi antara lain kejujuran, rasional, objektif, terbuka, serta sesuai
dengan implikasi etis dari prosedur menemukan kebenaran ilmiah secara bertanggung
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori
Sebagai grand theory dalam penelitian ini digunakan adalah teori negara
hukum (rechstaat). Dalam teori negara hukum, negara melindungi hak asasi warga
negaranya sebagaimana negara hukum diakui dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang
menentukan “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Norma yang terkandung di
dalam konstitusi UUD 1945 ini mengandung asas persamaan di hadapan hukum bagi
setiap warga negara Indonesia untuk diakui hak-hak di hadapan hukum.
Hak asasi manusia setiap orang dilindungi yang dalam konsep negara hukum
(rechstaat) menjamin segala hak warga negara bersamaan kedudukannya di hadapan
hukum dan pemerintahan sekaligus menjadi salah satu ciri negara hukum.13 Ciri
negara hukum antara lain:14
a. Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasarkan
pada hukum atau peraturan perundang-undangan.
b. Adanya jaminan terhadap HAM warga negara.
c. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara.
d. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan.
Sebagai midle theory dalam penelitian ini digunakan adalah teori sistem
hukum (legal system theory) yang memandang hukum tersusun atas tiga komponen
13
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 ditegaskan: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya (amandemen kedua).
14
yaitu struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum.15
Ketiga elemen ini sekaligus sebagai faktor penentu penegakan hukum yang
tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya
penegakan hukum yang diharapkan. Lawrence M. Friedman memandang ketiganya
sebagai faktor penentu apakah suatu sistem hukum dapat berjalan dengan baik atau
tidak, menekankannya pada kinerja aparatur hukum serta sarana dan prasarana hukum
itu sendiri, substansi hukum, dan budaya hukum menyangkut perilaku.
Ketiga komponen ini
akan menentukan berjalannya suatu hukum dalam masyarakat. Jika salah satu elemen
dari tiga kompenen ini tidak bekerja dengan baik, akan mengganggu elemen lainnya
hingga pada gilirannya mengakibatkan terganggunya rangkaian dalam sistem.
16
Struktur hukum terdiri dari lembaga-lembaga dalam proses penegakan hukum.
Ruang lingkup struktur hukum (penegak hukum) sangat luas, mencakup mereka yang
secara langsung atau tidak langsung turut bertanggung jawab dalam penegakan
hukum. Namun dalam arti sempit, penegak hukum mencakup mereka yang bertugas
di lembaga Kehakiman, Kejaksaan, Kepolisian, Advokat, atau Lembaga
Kemasyarakatan.
17
Substansi hukum menyangkut produk hukum yang dihasilkan oleh orang yang
berada di dalam sistem hukum itu, produk yang dikeluarkan, aturan-aturan baru yang
disusun. Dalam hal ini undang-undang mempunyai peranan yang penting dalam
15
Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, (Jakarta: Tatanusa, 2001), hal. 9. 16
Lawrence M. Friedman, diterjemahkan oleh Wishnu Basuki, Loc. cit. 17
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), (Jakarta: Kencana,
mengarahkan masyarakat menuju ketertiban, kedamaian, dan keadilan. Sedangkan
budaya hukum merupakan bagian dari kekuatan-kekuatan sosial yang memberi
masukan, menjadi penggerak, dan selanjutnya memberi hasil.18
Budaya hukum sebagai perwujudan dari pemikiran masyarakat terhadap
hukum akan berubah sesuai dengan perubahan sikap, pandangan, nilai yang dihayati
masyarakat harus memperhatikan secara menyeluruh aspek-aspek kemasyarakatan
dari masyarakat yang bersangkutan dan proses perubahan serta perkembangan yang
terjadi didalamnya.
19
Struktur yang ketiga ini mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang
berlaku. Nilai-nilai ini merupakan konsepsi yang abstrak mengenai apa yang
dianggap baik sehingga diikuti dan apa yang dianggap buruk sehingga dihindari.
Nilai-nilai ini lazimnya merupakan pasangan nilai yang mencerminkan dua keadaan
yang ekstrim yang harus diserasikan.
Nilai-nilai budaya masyarakat berkaitan erat dengan hukum karena hukum
yang baik adalah hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat. Wujud yang lebih kongkrit dari nilai itu adalah dalam bentuk norma.
Dari norma-norma yang ada, maka norma hukum adalah norma yang paling kuat
karena dapat dipastikan pelaksanaanya oleh aparat penegak hukum.20
18
Lawrence M. Friedman, The Legal System, A Social Science Perspective, (New York: Russel Sage Foundation, 1975), hal. 6.
19
Lawrence. M. Friedmen, American Law, (New York: W.W. Norton and Company, 1984), hal. 7.
20
Berfungsinya hukum dalam praktik sehari-hari dapat dirasakan jika ketiga
elemen Sistem Peradilan Pidana (SPP) di atas berfungsi dengan baik dan menjunjung
tinggi norma hukum sebagaimana norma yang memperlakukan orang sama di setiap
proses hukum acara pidana. Pentingnya norma persamaan di hadapan hukum dalam
kerangka SPP yaitu prosedur pembuktian perbuatan pidana. Menurut Soeharto,
masing-masing kepentingan dan keinginan dapat berjalan secara harmonis tanpa perlu
saling tumpang tindih jika aparatur penegak hukum menerapkan asas persamaan di
hadapan hukum dengan sungguh-sungguh.21
Oleh sebab itu, sebagai aplied theory digunakan sehubungan dengan
permasalahan dalam penelitian ini adalah teori pembuktian. Membuktikan berarti
memberi kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu
(communis opinio). Hakim harus mengkonstatir peristiwa dan mengkualifisirnya
sehingga tujuan pembuktian adalah apa yang disebutkan dalam putusan hakim yang
didasarkan atas pembuktian tersebut.22
21
H. Soeharto, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, dan Korban Tindak Pidana
Terorisme Dalam Sistim Peradilan Pidana Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2007), hal. 12.
Tujuan pembuktian ialah untuk memperoleh
kepastian bahwa suatu peristiwa atau fakta yang diajukan itu benar-benar terjadi guna
mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil. Hakim tidak dapat menjatuhkan
suatu putusan sebelum nyata baginya bahwa fakta atau peristiwa yang diajukan itu
22
benar terjadi, yakni dibuktikan kebenarannya sehingga nampak adanya hubungan
antara para pihak.23
Jenis-jenis pembuktian dalam teori pembuktian hukum pidana diuraikan
berikut ini. Teori pembuktian yang semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan
hakim (conviction in time). Sistem pembuktian ini menentukan salah tidaknya
seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim.24
Keyakinan tanpa alat bukti yang sah, sudah cukup membuktikan kesalahan terdakwa.
Seolah-olah sistem ini menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan
hakim semata-mata. Keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati
dalam sistem pembuktian ini.25
Teori pembuktian dengan keyakinan hakim dibatasi (conviction raisonee).
Jenis pembuktian ini di mana keyakinan hakim dibatasi artinya peran keyakinan
hakim harus didukung dengan alasan-alasan yang jelas. Hakim wajib menguraikan
dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan
terdakwa. Tegasnya, keyakinan hakim dalam sistem conviction raisonee, harus
dilandasi reasoning atau alasan-alasan, dan reasoning itu harus reasonable, yakni
berdasar alasan yang dapat diterima. Alasan-alasan tersebut harus logis dan
benar-23
A. Mukti Arto, Praktek-Praktek Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal. 140.
24
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Edisi Kedia, (Jakarta: Sinar Grafika,
1985), hal. 277. 25
benar dapat diterima akal, tidak semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa
uraian alasan yang masuk akal.26
Teori pembuktian menurut undang-undang secara positif (formele
bewijstheorie). Jenis pembuktian ini secara positif harus ditentukan dalam
undang-undang yang ada atau pembuktian alat-alat bukti harus didasarkan pada ketentuan
undang-undang melulu. Jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat
bukti yang disebutkan di dalam undang-undang, maka keyakinan hakim tidak
diperlukan sama sekali.
Jenis pembuktian ini sangat bertolak belakang dengan sistem pembuktian
menurut keyakinan hakim (conviction in time). Keyakinan hakim dalam formele
bewijstheorie tidak ikut berperan menentukan salah atau tidaknya terdakwa,
melainkan berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang
ditentukan undang-undang.
Penjatuhan hukuman terhadap seseorang, semata-mata tidak diletakkan di
bawah kewenangan hakim, tetapi di atas kewenangan undang-undang dengan asas
legalitas di Pasal 1 ayat (1) KUH Pidana, bahwa seorang terdakwa baru dapat
dihukum dan dipidana jika apa yang didakwakan kepadanya benar-benar terbukti
berdasar cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.27
Teori pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijk
stelsel). Jenis pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan
26
M. Yahya Harahap, Loc. cit. 27
kombinasi antara jenis pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan
sistem pembuktian menurut keyakinan hakim. Jenis pembuktian menurut
undang-undang secara negatif merupakan keseimbangan antara kedua sistem yang saling
bertolak belakang secara ekstrem.
Dikatakan seimbang karena menggabungkan secara terpadu jenis pembuktian
menurut keyakinan dengan jenis pembuktian menurut undang-undang secara positif.
Dari hasil penggabungan keduanya yang saling bertolak belakang itu, terwujudlah
suatu jenis pembuktian baru yaitu pembuktian menurut undang-undang secara negatif
yang memandang salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim
yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut
undang-undang.28
Hukum acara pidana Indonesia menganut teori pembuktian menurut
undang-undang secara positif (formele bewijstheorie). Hal ini tampak dalam ketentuan Pasal
183 KUHAP, yang menentukan ”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada
seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 183 KUHAP tersebut di atas jelas diketahui
bahwa ketentuan tersebut mengandung dua unsur penting yakni: sekurang-kurangnya
dua alat bukti yang sah dan memperoleh keyakinan hakim. Dengan demikian, model
pembuktian yang dianut dalam KUHAP adalah pembuktian menurut undang-undang
28
secara negatif (negatief wettelijk stelsel). Menggabungkan secara terpadu jenis
pembuktian menurut keyakinan dengan jenis pembuktian menurut undang-undang
secara positif.
Norma yang terkandung dalam pengaturan demikian adalah untuk
menyatakan salah atau tidak seorang terdakwa, tidak cukup berdasarkan keyakinan
hakim semata-mata atau hanya semata-mata didasarkan atas keterbuktian menurut
ketentuan dan cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan
undang-undang. Seorang terdakwa baru dapat dinyatakan bersalah jika kesalahan yang
didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan dengan alat-alat bukti yang
sah menurut undang-undang serta sekaligus keterbuktian kesalahan itu dibarengi
dengan keyakinan hakim. 29
Pasal 183 KUHAP memadukan unsur objektif dan subjektif dalam
menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Jika salah satu di antara dua unsur itu tidak
ada, tidak cukup mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa. Ditinjau dari segi cara
dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, kesalahan terdakwa
cukup terbukti, tetapi sekalipun sudah cukup terbukti, hakim tidak yakin akan
kesalahan terdakwa, dalam hal seperti ini terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah.
Sebaliknya, hakim benar-benar yakin terdakwa sungguh-sungguh bersalah melakukan
kejahatan yang didakwakan. Di antara kedua komponen tersebut harus saling
mendukung.
29
Pembuktian dalam hukum acara pidana dikenal dengan sistem negatif di mana
yang dicari oleh hakim adalah kebenaran yang materil, sedangkan dalam hukum
acara perdata berlaku sistem pembuktian positif di mana yang dicari oleh hakim
adalah kebenaran formil. Jenis pembuktian secara negatif ini benar-benar diakui
berlakunya secara eksplisit dalam Pasal 183 KUHAP.
Setelah diberlakukannya KUHAP maka masalah pembuktian diatur secara
tegas dalam kelompok sistem hukum pidana formil (hukum acara pidana). Sistem ini
mengatur suatu proses terjadi dan bekerjanya alat bukti untuk selanjutnya dilakukan
suatu persesuaian dengan perbuatan materiil yang dilakukan terdakwa, untuk pada
akhirnya ditarik kesimpulan mengenai terbukti atau tidaknya terdakwa melakukan
perbuatan pidana yang didakwakan kepadanya.30
Hakim dapat menjatuhkan suatu pidana kepada terdakwa berdasarkan
keyakinannya dengan alat bukti yang sah berdasarkan undang-undang dengan
didasari minimum 2 (dua) alat bukti yang sah. Tetapi dalam menjatuhkan putusan
tersebut, hakim harus benar-benar yakin bahwa terdakwa bersalah. Sehingga dengan
seminimal mungkin dapat menjamin tegaknya kebenaran sejati serta tegaknya
keadilan dan kepastian hukum.
Sehingga dapat dimengerti bahwa pembuktian merupakan suatu rangkaian
proses dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP) yang mempergunakan atau mengajukan
atau mempertahankan alat-alat bukti di muka persidangan sesuai dengan hukum acara
30
Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi (UU
yang berlaku (dalam hal tindak pidana pencucian uang berlaku hukum acara pidana)
sehingga mampu meyakinkan hakim terhadap kebenaran dari alat-alat bukti yang
menjadi dasar tuntutan, atau alat-alat bukti yang dipergunakan untuk menyanggah
tentang kebenaran alat-alat bukti yang telah dikemukakan oleh pihak lawan.
2. Landasan Konsepsional
Landasan konsepsional dalam penelitian ini digunakan untuk memperoleh
dasar konseptual, bertujuan untuk menghindari pemahaman dan penafsiran yang
berbeda serta memberikan pedoman dan arahan yang sama, antara lain:
a. Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf,
angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang
memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang
atau jasa.
b. Tindak pidana di bidang merek adalah perbuatan melawan hukum yang
termasuk semua tindak pidana yang diatur dalam UU Merek.
c. Tindak pidana pemalsuan merek adalah perbuatan yang dilakukan dengan
sengaja dan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada
”keseluruhannya” atau ”pada pokoknya” atau ”pada keseluruhan dengan
indikasi geografis” milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang
diproduksi dan/atau diperdagangkan.
d. Delik biasa adalah perbuatan pidana yang tanpa ada pihak yang dirugikan
dapat dilakukan proses hukum yang didasarkan pada terpenuhinya unsur delik
e. Delik aduan adalah perbuatan pidana yang didasarkan pada adanya aduan
(pihak yang dirugikan) kepada pihak aparat Kepolisian.
f. Penegakan hukum adalah proses pelibatan semua unsur penagak hukum dan
termasuk peran masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan pemalsuan
merek terdaftar.
g. Pembuktian adalah suatu rangkaian proses proses meyakinkan hakim tentang
kebenaran dalil-dalil dan alat-alat bukti yang dikemukakan dalam suatu
perkara.
G. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yaitu penelitian yang
mengacu pada teori-teori, doktrin-doktrin, norma-norma, asas-asas (prinsip-prinsip),
kaidah-kaidah yang terdapat dalam perundang-undangan di bidang merek dan
putusan-putusan pengadilan. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis
yaitu menggambarkan atau mendeskripsikan fakta-fakta dengan analitis dan
sistematis.31
2. Sumber Data
Sebagai data dalam penelitian ini digunakan data sekunder yang
meliputi:
31
a. Bahan hukum primer yaitu: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUH Pidana), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan
UU No.15 Tahun 2001 tentang Merek (UU Merek), Putusan Mahkamah
Agung mengeluarkan Putusan Nomor 873 K/Pid/2006 tentang Kasus Tindak
Pidana Memperdagangkan Suku Cadang Mobil Merek Daihatsu, Putusan
Mahkamah Agung mengeluarkan Putusan Nomor 112 K/Pid/2007 tentang
Kasus Tindak Pidana Pemalsuan Merek Lem CASTOL, Putusan Mahkamah
Agung Nomor 941 K/PID.SUS/2008 tentang Kasus Memperdagangkan
Merek Penyedap Rasa (Vitsin) Milik PT. Sasa Inti, Putusan Mahkamah
Agung Nomor 501 K/Pid.Sus/2008 tentang Kasus Tindak Pidana Pemalsuan
Merek Pisau Serut, dan Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor
378/Pid.B/2010/PN.Mdn tentang Kasus Tindak Pidana Pemalsuan Merek
Busi NGK di Pengadilan Negeri Medan.
b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan dan
ulasan-ulasan terhadap bahan hukum primer, yang terdiri dari: buku-buku, makalah,
majalah, jurnal ilmiah, bahkan dokumen pribadi atau pendapat dari para pakar
hukum yang relevan dengan objek penelitian ini.
c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk
dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder
yang dapat berupa Kamus Umum Bahasa Indonesia dan Kamus Bahasa
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi pustaka (library research)
di perpustakaan akademisi dan studi dokumen pada putusan-putusan pengadilan
terhadap bahan-bahan hukum tertulis yang relevan dengan objek yang ditelaah untuk
mendapatkan teori-teori, doktrin-doktrin, norma-norma, asas-asas (prinsip-prinsip),
kaidah-kaidah yang terdapat dalam perundang-undangan di bidang merek. Untuk
memperkuat argumentasi-argumentasi normatif di dalam penelitian ini dilakukan pula
wawancara kepada terpidana pemalsuan Merek Busi NGK (aquo), Advokat, Penyidik
Polisi, dan Masyarakat.
Baik terhadap bahan hukum primer, sekunder, maupun tertier, maupun hasil
wawancara atau bahan non hukum semuanya diperoleh melalui membaca referensi,
melihat, mendengar melalui seminar dan materi kuliah serta mendownload data
melalui internet. Data yang diperoleh akan dipilah-pilah guna memperoleh
pengumpulan data yang sesuai dengan teori-teori, doktrin-doktrin, norma-norma,
asas-asas (prinsip-prinsip), kaidah-kaidah yang terdapat dalam perundang-undangan
di bidang merek.32
4. Analisis Data
Analisis data dilakukan secara kualitatif yakni menganalisis data berdasarkan
kualitasnya bukan berdasarkan kuantitasnya (jumlahnya). Analisis data yang
dimaksud di sini yakni mengalaisis data berdasarkan teori-teori, asas-asas,
norma-32
norma, kaidah-kaidah, doktrin-doktrin yang terdapat di dalam pasal-pasal
perundang-undangan terpenting dan relevan dengan masalah tindak pidana pemalsuan merek.
Memberikan argumentasi-argumentasi atas hasil penelitian yang telah dilakukan,
penilaian benar atau salah atau apa dan bagaimana yang semestinya menurut asas,
norma-norma hukum, kaidah, dan doktrin.
Analisis data dihubungkan dengan kerangka teori yang digunakan dengan cara
menghubungkan kerangka teori tersebut dengan permasalahan yang diteliti melalui
analisis yang tajam dan mendalam. Data yang dianalisis diungkapkan secara deduktif
(penalaran logika dari umum ke khusus) dalam bentuk uraian secara sistematis
dengan menjelaskan hubungan antar berbagai jenis data sehingga permasalahan akan
BAB II
KARAKTERISTIK TINDAK PIDANA PEMALSUAN MEREK YANG TERJADI PASCA BERLAKUNYA UU NO. 15 TAHUN 2001
TENTANG MEREK
A. Sejarah Perundang-Undangan di Bidang Merek
Sejarah pengaturan mengenai merek di Indonesia sebelum berlakunya UU
No.15 Tahun 2001 tentang Merek, dikelompokkan dalam 5 (lima) periodisasi yakni:
pada masa berlakunya Reglement Industrielle Eigendom Kolonien tahun 1912, UU
No.21 Tahun 1961 tentang Merek, UU No.19 Tahun 1992 tentang Merek, UU No.14
Tahun 1997 tentang Merek, dan pada masa berlakunya UU No.15 Tahun 2001
tentang Merek saat ini.
Pada zaman Kolonial Belanda (Pemerintah Hindia Belanda) berkuasa di
Indonesia, merek diatur dalam Reglement Industrielle Eigendom Kolonien 1912
sebagai ketentuan merek tertua dan pertama kali berlaku di Indonesia. Reglement
Industrielle Eigendom Kolonien 1912 diartikan sebagai Pengaturan Hak Milik
Industri Kolonial 1912. Reglemen ini berlaku untuk Suriname dan Curacao.33
Reglement Industrielle Eigendom Kolonien 1912 mengikuti sistim
Undang-Undang Merek di Belanda yang menganut sistim deklaratif34 dan menganut prinsip
konkordansi.35
33
Julius Rizaldi, Op. cit., hal. 45.
Setelah Indonesia merdeka tahun 1945 hingga tahun 1961, reglemen
34
Ibid., hal. 46. Sistim deklaratif adalah hak khusus untuk memakai suatu merek barang dan atau jasa diberikan kepada orang pertama kali mendaftarkan dan menggunakan merek tersebut.
35
ini berlaku selama 16 (enam belas) tahun di Indonesia, tetapi sebelum tahun 1945,
reglemen ini sudah masuk dan berlaku seiring dengan mulai berkuasanya Belanda di
Indonesia masa itu.
Hebatnya Reglement Industrielle Eigendom Kolonien 1912 ini adalah tidak
terdapat pengaturan mengenai sanksi pidana terhadap pelanggaran merek. Reglemen
ini terdiri dari 27 (dua puluh tujuh) pasal dan proses pendaftarannya dilakukan oleh
suatu lembaga bernama Hulpbureau.36
Berlakunya UU No.21 Tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek
Perdagangan di Indonesia oleh karena Reglement Industrielle Eigendom Kolonien
1912 (Stbl. 1912 No.545) tidak membawa perubahan yang berarti. UU No.21 Tahun
1961 ini terdiri dari 24 (dua puluh empat) pasal dan tetap menggunakan sistim
deklaratif (first to use principle) yang terdapat pada Pasal 2 ayat (1) UU No.21 Tahun
1961 menentukan, “Hak khusus atas suatu merek dapat dimiliki oleh seseorang
(beberapa orang) apabila memiliki daya beda dan pertama kali memakai merek itu di
Indonesia”. Kalimat “pertama kali memakai” tersebut di atas mengandung prinsip
deklaratif.
Reglement Industrielle Eigendom Kolonien
1912 ini kemudian diganti dengan UU No.21 Tahun 1961 tentang Merek Perusahaan
dan Merek Perdagangan dan mulai berlaku sejak tanggal 11 Oktober 1961.
Hak khusus untuk memakai atau menggunakan diberikan kepada siapapun
dan hanya disyaratkan “daya beda” merupakan lingkup yang sangat luas. Hak khusus
36