• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBEDAAN SIKAP GURU TERHADAP SISWA BERKEBUTUHAN KHUSUS DITINJAU DARI MENGIKUTI PELATIHAN DAN TIDAK MENGIKUTI PELATIHAN GURU INKLUSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERBEDAAN SIKAP GURU TERHADAP SISWA BERKEBUTUHAN KHUSUS DITINJAU DARI MENGIKUTI PELATIHAN DAN TIDAK MENGIKUTI PELATIHAN GURU INKLUSI"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN SIKAP GURU TERHADAP SISWA BERKEBUTUHAN

KHUSUS DITINJAU DARI MENGIKUTI PELATIHAN DAN TIDAK

MENGIKUTI PELATIHAN GURU INKLUSI

SKRIPSI

Oleh : Dewi Juliani 201110230311175

FAKULTAS PSIKOLOGI

(2)

PERBEDAAN SIKAP GURU TERHADAP SISWA BERKEBUTUHAN

KHUSUS DITINJAU DARI MENGIKUTI PELATIHAN DAN TIDAK

MENGIKUTI PELATIHAN GURU INKLUSI

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Muhammadiyah Malang Sebagai salah satu persyaratan untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Psikologi

Oleh : Dewi Juliani 201110230311175

FAKULTAS PSIKOLOGI

(3)

i

LEMBAR PENGESAHAN

1. Judul Skipsi : Perbedaan Sikap Guru Terhadap Siswa Berkebutuhan Khusus Ditinjau Dari yang Mengikuti Pelatihan dan Tidak Mengikuti Pelatihan

2. Nama Peneliti : Dewi Juliani

3. NIM : 201110230311175

4. Fakultas : Psikologi

5. Perguruan Tinggi : Universitas Muhammadiyah Malang 6. Waktu Penelitian : 10 Agustus – 18 September 2015

Skripsi ini telah diuji oleh dewan penguji pada tanggal 19 Januari 2016

DewanPenguji

Ketua Penguji : Ni’matuzahroh S.Psi., M.Si ( )

AnggotaPenguji : 1. Diana Savitri Hidayati, M.Psi ( )

2. Zainul Anwar, M.Psi ( )

3. M. Shohib, M.Si ( )

Pembimbing I Pembimbing II

Ni’matuzahroh S.Psi., M.Si Diana Savitri Hidayati, M.Psi

Malang, 7 April 2016 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang

(4)

ii

SURAT PERNYATAAN Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Dewi Juliani

NIM : 201110230311175

Fakultas/ Jurusan : Psikologi/ Psikologi

Perguruan Tinggi : Universitas Muhammadiyah Malang

Menyatakan bahwa skripsi / karya ilmiah yang berjudul : Perbedaan Sikap Guru Terhadap Siswa Berkebutuhan Khusus Ditinjau dari yang Mengikuti Pelatihan Dan Tidak Mengikuti Pelatihan Guru Inklusi.

1. Adalah bukan karya orang lain baik sebagian maupun keseluruhan kecuali dalam bentuk kutipan yang digunakan dalam naskah ini dan telah disebutkan sumbernya. 2. Hasil tulisan karya ilmiah / skripsi dari penelitian yang saya lakukan merupakan Hak

bebas Royalti non eksklusif, apabila digunakan sebagai sumber bebaspustaka.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya apabila pernyataan ini tidak benarmaka, saya bersedia mendapat sanksi sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

Malang, 7 April 2016

Mengetahui

Ketua Program Studi Yang menyatakan

(5)

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat Dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Perbedaan Sikap Guru Terhadap Siswa Berkebutuhan Khusus Ditinjau Dari yang Mengikuti Pelatihan dan yang Tidak Mengikuti Pelatihan Guru Inklusi”, sebagai sala satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana psikologi di Universitas Muhammadiyah Malang.

Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bimbingan dan petunjuk serta bantuan yang bermanfaat dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Yudi Suharsono, S.Psi, M.si selaku dosen wali yang telah mendukung dan memberi pengarahan sejak awal perkuliahan hingga selesainya skripsi ini.

2. Ni’matuzahroh, S.Psi, M.si dan Diana Savitri H, M.Psi selaku pembimbing I dan Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, arahan, dan motivasi yang sangat berguna, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

3. Bapak ( Syahroni ) dan Umi ( Sahunah ), Ayah ( Sumarwan Wirya ) dan Ibu ( Yeyet Nuryeti ) dan seluruh keluarga ( Yayan Nuryanah, Ahmad, Agung Agustriyadi, dan Imas ) yang selalu memberikan cinta dan kasih, dukungan, dan doa sehingga penulis memiliki motivasi dalan menyelesaikan skripsi ini.

4. Dedy Rahamad Nurdiansyah, S.Pd yang selalu membantu selama penelitian, memberikan dukungan, doa, dan kasih sayang sehingga penulis memiliki motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Kepala sekolah dan Guru TK ( TK Anak Saleh, TK Lab UM, TK Harapan Bintang, dan TK Smart Kids WLC ) SD ( SDN Sumbersari I, SDN Sumbersari II, SDN Sumbersari III, SD Dinoyo 2, dan SD Brawijaya Smart School), SMP (SMP Sriwedari, SMPN I Atap Merjosari, SMP Negeri 18, SMP Muhammadiyah 2) dan SMA/SMK ( SMA Muhammadiyah 1 dan SMKN 2) yang telah memberikan izin dan bersedia menjadi subyek penelitian.

6. Shahnaz Zashinta L, S.Psi, Sterya Wahyu Putri, S.Kom, Eka Sari Oktavia, Azlina Ayu, S.Pd, Mashita N.A.T Gemilang, S.Pd dan seluruh penghuni Kost 67 selaku sahabat yang senantiasa mendukung dan memberikan motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

(6)

iv

8. Teman-teman angkatan 2011 Fakultas Psikologi khususnya kelas C yang selalu memberikan dukungan kepada penulis untuk menyelesaikam skripsi ini

9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah banyak memberikan banyak bantuan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari tiada satupun karya manusia yang sempurna, sehingga kritik dan saran demi perbaikan karya skripsi ini sangat penulis harapkan. Meski demikian, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi peneliti khususnya dan pembaca pada umumnya.

Malang, 7 April 2016 Penulis

(7)

v DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... i

SURAT PERNYATAAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

ABSTRAK ... 1

PENDAHULUAN ... 2

LANDASAN TEORI A. Sikap Guru Terhadap Siswa Berkebutuhan Khusus ... 5

B. Pelatihan Guru Inklusi ... 6

C. Pendidikan Inklusif ... 7

D. Siswa Berkebutuhan Khusus ... 8

E. Hipotesa ... 9

METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian ... 9

B. Subjek Penelitian ... 9

C. Variabel dan Instrument Penelitian ... 9

D. Validitas dan Realibilitas Instrumen ... 10

E. Prosedur Penelitian ... 10

HASIL PENELITIAN ... 11

DISKUSI ... 14

SIMPULAN DAN IMPLIKASI ... 17

(8)

vi

DAFTAR TABEL

Tabel 1

Uji Validitas dan Realibilitas Instrumen Penelitian ... 10

Tabel 2

Deskripsi Subyek Penelitian ... 11

Tabel 3

Deskripsi Sikap Guru Terhadap Siswa Berkebutuhan Khusus ... 11

Tabel 4

Hasil Analisa Uji Hasil Analisa Sikap Guru Terhadap Siswa Berkebutuhan Khusus

Ditinjau Independent Sample T-test Perberdaan Sikap Guru yang Mengikuti Pelatihan dan Tidak Mengikuti Pelatihan Guru Inklusi ... 12

Tabel 5

Hasil Analisa Sikap Guru Terhadap Siswa Berkebutuhan Khusus Ditinjau dari Jenis

Kelamin dari Aspek-aspek Sikap ... 13

Tabel 6

Hasil Analisa Sikap Guru Terhadap Siswa Berkebutuhan Khusus Ditinjau dari Jenis

Kelamin ... 13

Tabel 7

Hasil Analisa Sikap Guru Terhadap Siswa Berkebutuhan Khusus Ditinjau dari Usia ... 14

Tabel 8

(9)

vii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1

Blue Print Skala Sikap Guru Terhadap Siswa Berkebutuhan Khusus ... 20

Lampiran 2

Skala Penelitian ... 27

Lampiran 3

Uji Validitas dan Reliabilitas Skala ... 33

Lampiran 4

Uji Hipotesa ... 39

Lampiran 5

Input Data ... 41

Lampiran 6

(10)

1

PERBEDAAN SIKAP GURU TERHADAP SISWA BERKEBUTUHAN

KHUSUS DITINJAU DARI MENGIKUTI PELATIHAN DAN TIDAK

MENGIKUTI PELATIHAN GURU INKLUSI

Dewi Juliani

Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang

julianidede@gmail.com

Sikap Guru terhadap siswa berkebutuhan khusus merupakan salah satu faktor utama dalam menentukan keberhasilan sekolah inklusi, dan pelatihan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi sikap guru terhadap kesiapan dalam menerima siswa berkebutuhan khusus di kelas inklusi. Tujuan dari Penelitian ini adalah untuk mengetahui secara mendalam mengenai perbedaan sikap guru terhadap siswa berkebutuhan khusus yang ditinjau dari mengikuti pelatihan dan tidak mengikuti pelatihan guru inklusi. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif komperatif non-eksperimen dengan menggunakan skala sikap guru terhadap siswa berkebutuhan khusus. Jumlah subyek sebanyak 100 orang dengan menggunakan teknik non probability samplingdalam pengambilan sampelnya. Hasil penelitian menunjukan terdapat perbedaan yang signifikan antara sikap guru yang mengikuti pelatihan dan tidak mengikuti pelatihan guru inklusidengan nilai thitung sebesar 6,885 > ttabel (1,962) dengan nilai signifikansi 0,000. Hal tersebut dapat membuktikan bahwa pelatihan memberikan pengaruh yang positif terhadap sikap guru yang mengikuti pelatihan. Kata kunci: Sikap Guru, Pelatihan, Guru Inklusif

Teacher attitude toward the student who has special needs one of the main factor in determine the successful of inclusion school, and training is one of the factor which influence teacher attitude toward the readiness in accepting the students with special needs into inclusion class. The purpose of this research is to know about the different teacher attitude towards students with special needs who are pointed from their inclusion teacher training participation and no inclusion teacher participation. This research used quantitative comparative non-experiment methodology by using scale teacher attitude towards the student with special needs. The total subject is 100 people by using non probability sampling technique in choosing the sample. The result of the research showed that there was a significant differentiation between teacher attitude who participated inclussion teacher training and did not participate inclusion teacher training with score thitung 6,885 > ttabel (1,962) with significance score 0,000. It could prove that training could give good influence to the teacher who participated in training.

(11)

2

Saat ini sekolah merupakan unit pelaksana pendidikan formal terdepan dengan berbagai keanekaragaman potensi anak didik yang juga memerlukan layanan pendidikan yang beragam. Pendidikan inklusi merupakan salah satu program baru di dunia pendidikan, dimana merupakan sistem pendidikan yang mengatur peserta dengan berkebutuhan khusus yang memiliki kecacatan fisik dan mental, maupun yang memiliki bakat istimewa dapat mengikuti pembelajaran yang sama dalam satu lingkup (Praptono, Budiyanto, Sujarwanto, Yusuf, Supena, Hartono, & Sayekti, 2013).

Sebagaimana sesuai dengan undang-undang anak berkebutuhan khusus yang dikenal dengan IDEA (Individual with Disabilities Education Act) yang menyatakan bahwa semua siswa yang mengalami kecacatan berhak mengikuti program pendidikan khusus yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan mereka serta siswa dengan berkebutuhan khusus sedapat mungkin dilibatkan dalam lingkungan akademik, aktivitas ekstrakurikuler, dan interaksi sosial yang sama dengan teman-temannya yang normal (Ormrod, 2009). Adanya sekolah inklusi tidak terlepas pula dari berbagai permasalahan di dalamnya. Permasalahan yang terjadi di sekolah inklusi antara lain (1) ketidaksiapan sekolah melakukan penyesuaian, (2) kurangnya pemberdayaan melalui peningkatan profesionalitas dan pembelajaran guru umum, (3) keterbatasan guru pembimbing khusus (GPK) yang memberikan program pendampingan pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus, (4) keterbatasan aksesbilitas bagi anak berkebutuhan khusus, dan (5) rendahnya dukungan warga sekolah dan masyarakat terhadap pendidikan siswa berkebutuhan khusus (Mudjito, Harizal, & Elfindri, 2012).

Sikap guru terhadap pendidikan inklusi adalah faktor utama dalam mendukung keberhasilan sekolah inklusi dan guru juga ikut bertanggung jawab dalam berjalannya sekolah inklusi. Tiwari (2014) mengungkapkan bahwa guru akan membentuk tutor sebaya yang bertujuan untuk menjadikan siswa reguler lebih peka terhadap teman sebayanya yang berkebutuhan khusus, sehingga siswa reguler dapat terbiasa dengan siswa berkebutuhan khusus. Selain itu guru merupakan bapak rohani bagi anak didiknya, dimana kebaikan rohani anak didiknya tergantung pada pembinaan dan bimbingan guru. Tugas dan tanggung jawab guru adalah meluruskan tingkah laku dan perbuatan anak didik yang kurang baik, yang dibawanya dari lingkungan keluarga dan masyarakat (Djamarah, 2000). Sikap guru terhadap anak berkebutuhan khusus di kelas inklusi dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti dalam penelitian studi kasus yang dilakukan oleh Elisa dan Wrastari (2013) yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi sikap guru terhadap anak berkebutuhan khusus adalah pengetahuan yang mencakup level pendidikan guru, pelatihan, dan kebutuhan belajar guru. Kemudian penelitian lain yang dilakukan oleh Samir (2013) yang menemukan bahwa jenis kelamin juga dapat mempengaruhi sikap seorang guru terhadap anak berkebutuhan khusus, disebutkan didalam hasil penelitiannya bahwa guru laki-laki cenderung memiliki sikap positif lebih besar dibanding dengan guru perempuan. Selain itu sikapguru dapat dipengaruhi pula oleh jenis kecacatan siswa berkebutuhan khusus dimana guru akan lebih positif ketika melihat penempatan pendidikan bagi siswa berkebutuhan khusus dalam bidang intelektual dan emosi di sekolah reguler, dan sikap guru menjadi negatif ketika melihat penempatan pendidikan bagi siswa berkebutuhan khusus dengan gangguan fisik yaitu tunanetra untuk berada di dalam sekolah reguler.

(12)

3

penelitian Zyoudi, Sartwai, dan Dodin (2011) lainnya yang menemukan bahwa sikap positif dan negatif siswa dalam menerima adanya kelas inklusi dipengaruhi oleh sikap positif guru terhadap inklusi yang berkaitan dengan pengetahuan mereka mengenai keterbatasan siswa dan penggunaan metode belajar untuk memenuhi kebutuhan belajar khusus.

Saat ini yang menjadi permasalahan dari program inklusi adalah ketidaksiapan sekolah melakukan penyesuaian terutama yang menyangkut pada ketersediaan sumber daya manusia yang belum memadai. Selain pemberdayaan guru umum, keterbatasan guru pembimbing khusus (GPK) dalam memberi pendampingan terhadap siswa berkebutuhan khusus masih sangatlah kurang. Disisi lain kenyataan di lapangan, seperti kasus di DKI Jakarta misalnya yang menunjukkan bahwa kinerja guru di sekolah inklusif masih belum sesuai dengan yang diharapkan. Berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi Direktorat Pembinaan Pendidikan khusus dan Layanan Khusus Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan Nasional tahun 2010 ditemukan bahwa kinerja guru inklusif pada sekolah masih rendah. Kinerja guru itu sendiri merupakan kemampuan yang didasari oleh pengetahuan, sikap, keterampilan, dan motivasi (Mudjito, Harizal, & Elfindri, 2012). Oleh karena itu pelatihan guru mengenai pendidikan inklusi sangatlah dibutuhkan untuk meningkatkan kinerja guru.

Menurut pengawas sekolah inklusi Dinas Pendidikan Kota Malang tahun 2015 mencatat jumlah pelajar difable mencapai lebih dari 1000 orang dari 93 lembaga pendidikan mulai jenjang TK hingga SMA baik itu sekolah swasta maupun negeri, sementara jumlah guru reguler yang mengikuti pelatihan hingga tahun 2015 baru mencapai 130 orang dari berbagai sekolah ( Diknas Malang Kota, 2015). Berdasarkan data tersebut dengan jumlah siswa berkebutuhan khusus yang semakin bertambah dan jumlah guru reguler yang mengikuti pelatihan tidak sebanding dengan jumlah siswa berkebutuhan khusus sehingga pelatihan masih menjadi kebutuhan utama keberhasilan sekolah inklusi terutama di Kota Malang.

Pelatihan guru mengenai siswa berkebutuhan khusus di sekolah inklusi merupakan salah satu kebutuhan yang dapat mendukung berjalannya sekolah inklusi, adanya pelatihan tentulah dapat meningkatkan kinerja guru di kelas inklusi. Penelitian yang dilakukan oleh Woodcock(2013) dengan adanya pelatihan terhadap guru secara komprehensif, kebutuhan siswa dengan kesulitan belajar spesifik dapat terpenuhi, karena padapenelitian ini menunjukan bahwa pelatihan cenderung mempengaruhi sikap guru terhadap siswa berkebutuhan khusus. Guru yang mengikuti pelatihan cenderung lebih memahami kebutuhan siswa berkebutuhan khusus dan bagaimana cara membimbing serta penanganan siswa berkebutuhan khusus di sekolah inklusi. Sehingga adanya pelatihan juga dapat mempersiapkan guru inklusi dimasa depan.

(13)

4

sampel yang diambil lebih banyak lagi, dan di generalisasikan berdasarkan daerah agar dapat melakukan perbandingan hasil antara umum dan khusus. Jadi sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini sebaiknya di bedakan antara guru pendidikan umum dan guru pendidikan khusus agar dapat melakukan perbandingan. Kemudian hasil penelitian yang sama yang dilakukan oleh Peebles dan Mendaglio (2014) dalam penelitiannya menemukan bahwa pelatihan inklusi memberikan efek yang menguntungkan pada sikap guru. Pelatihan juga memiliki sedikit efek pada persepsi guru tentang kesiapan mereka untuk mengajar dikelas inklusi, guru memiliki tanggung jawab untuk melihat segala sesuatu yang terjadi di dalam kelas untuk membantu proses perkembangan siswa. Penelitian yang dilakukan Peebles dan Mendalgio hanyalah berdasarkan studi kasus dengan wawancara dan observasi terhadap guru mengenai pendapat akan kesiapan mereka dalam mengajar di kelas inklusi.

Berdasarkan hasil pada penelitian sebelumnya dan saran dari dua penelitian tersebut, hal itulah yang menarik peneliti untuk melakukan penelitian secara lebih mendalam yaitu dengan mengukur perbedaan sikap guru terhadap siswa berkebutuhan khusus yang ditinjau dari mengikuti pelatihan dan tidak mengikuti pelatihan dengan menggunakan skala dengan sampel guru yang mengajar di kelas inklusi. Dan untuk di Indonesia sendiri, penelitian mengenai bagaimana pelatihan dapat mempengaruhi sikap guru terhadap siswa berkebutuhan khusus masih sangat kurang terutama dalam mengukur secara langsung terhadap perbedaan sikap mereka menggunakan alat ukur berupa skala. Dengan adanya penelitian ini, peneliti berharap dapat berkontribusi dalam memberikan informasi kepada pemerintah khususnya mengenai mengukur sejauh apa usaha pemerintah untuk meningkatkan kualitas guru dengan di adakannya pelatihan terhadap guru yang mengajar di kelas inklusi yang telah dilaksanakan selama berjalannya penerapan program inklusi di Indonesia.

Selain itu di Kota Malang masih tidak banyak guru yang mahami penerapan pendidikan inklusi, bahkan fakta dilapangan beberapa guru masih memandang kemampuan siswa berkebutuhan khusus rendah tanpa mencari tahu alasan mengapa siswa gagal dalam pemahaman materi. Hal tersebut terjadi dikarenakan masih kurangnya kemampuan dan kepekaan guru dalam mengidentifikasi gangguan pada anak dan kebutuhannya (MalangTimes,2015). Oleh karena itu pelatihan masih sangatlah dibutuhkan untuk membantu guru reguler terutama dalam menerima dan memenuhi kebutuhan siswa berkebutuhan khusus. Hal tersebutlah yang menarik peneliti untuk mengetahui dan mengukur sejauh apa pelatihan dapat mempengaruhi sikap guru terhadap siswa berkebutuhan khusus dengan menggunakan skala sikap guru terhadap siswa berkebutuhan khusus.

(14)

5

mendorong siswanya yang normal untuk lebih peduli dan memahami teman-teman mereka yang memiliki kecacatan, dengan demikian guru dapat melatih siswa-siswanya untuk membangun hubungan antarpribadi dengan baik dengan cara mengembangkan kesadaran anak didiknya akan kebergaman, serta membangun hubungan emosional yang baik. Sehingga sikap positif guru di dalam pendidikan inklusi terutama di kelas reguler sangatlah berperan penting terhadap berjalannya keefektifan lingkungan belajar siswa reguler dan siswa berkebutuhan khusus. Fenomena tersebutlah yang menarik peneliti untuk lebih menggali bagaimana perbedaan sikap guru terhadap siswa berkebutuhan khusus ditinjau dari mengikuti pelatihan dan tidak mengikuti pelatihan guru inklusi.

Dari beberapa hasil penelitian sebelumnya dapat ditarik rumusan masalah adakah perbedaan sikap guru terhadap siswa berkebutuhan khusus ditinjau dari guru yang sudah mengikuti pelatihan dan yang belum mengikuti pelatihan guru inklusi ?. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui secara mendalam mengenai perbedaan sikap guru terhadap siswa berkebutuhan khusus ditinjau dari mengikuti pelatihan siswa berkebutuhan khusus dan tidak mengikuti pelatihan guru inklusi. Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi berupa informasi–informasi terbaru dalam ranah psikologi pendidikan masa kini mengenai wawasan perbedaan sikap guru terhadap siswa berkebutuhan khusus ditinjau dari mengikuti pelatihan dan tidak mengikuti pelatihan guru inklusi.

Sikap Guru Terhadap Siswa Berkebutuhan khusus

Sikap dapat diartikan sebagai kecenderungan seseorang untuk bertindak bereaksi terhadap rangsangan. Sikap seseorang terhadap suatu perilaku dipengaruhi oleh keyakinan bahwa perilaku tersebut akan membawa kepada hasil yang diinginkan atau tidak diinginkan. Sikap juga dipandang sebagai suatu tingkatan afeksi positif maupun negatif, yang dapat berupa pandangan ataupun perasaan seseorang terhadap objek yang kemudian menyebabkan kecenderungan untuk bertindak. Sikap dibentuk oleh tiga komponen yang saling mempengaruhi yaitu (1) komponen kognitif yang tersusun atas dasar pengetahuan atau informasi yang dimiliki seseorang tentang obyek sikapnya. Pengetahuan inilah yang kemudian akan membentuk suatu keyakinan tertentu terhadap obyek sikap tersebut, (2) komponen afektif yaitu yang menyangkut kepada proses emosional subjektif seseorang terhadap obyek yang berhubungan dengan rasa senang (afek positif) dan tidak senang (afek negatif), (2) komponen konatif yang merupakan kecenderungan seseorang untuk bertingkah laku dengan obyek sikapnya. Dengan demikian sikap seseorang terhadap obyek merupakan manifestasi dari konstelasi ketiga komponen tersebut yang saling berinteraksi untuk memahami, merasakan dan berperilaku terhadap objek sikap dengan saling berinterelasi dan konsisten satu dengan lainnya. Selain itu sikap juga dapat terbentuk dari beberapa faktor yaitu (1) pengalaman pribadi, (2) pengaruh oranglain yang dianggap penting, (3) kebudayaan, (4) media massa, (5) lembaga pendidikan, (6) faktor emosional (Azwar, 1998; Dayaksini & Hudaniah, 2009; Walgito, 1991).

(15)

6

Sikap guru terhadap siswa berkebutuhan khusus dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pengetahuan guru yang mencangkup level pendidikan guru, pelatihan, jenis kelamin, pengalaman mengajar. Sikap merupakan sebuah proses antara positif atau negatif yang disebabkan oleh suatu stimulus. Sikap positif dan negatif guru terhadap siswa berkebutuhan khusus juga dapat dipengaruhi oleh pengetahuan guru mengenai keterbatasan siswanya dan penggunaan metode belajar untuk memenuhi kebutuhan belajar siswa berkebutuhan khusus (Ilahi, 2013; Mudjito, Harizal, & Efendi, 2012; Elisa dan Wartasari, 2013; Samir, 2013; Zyoudi, Sartwai, & Dodin, 2009).

Seorang guru senantiasa dituntut untuk mengembangkan pribadi dan profesinya secara terus menerus. Ada empat aspek kompetensi utama yang harus dimiliki oleh seorang guru yang profesional yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi professional. Kompetensi pedagogik yang merupakan kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan sebagaimana potensi yang dimilikinya. Kompetensi Kepribadian adalah kemampuan kepribadian guru yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan beribawa, dapat menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. Kompeteni sosial adalah kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama guru, tenaga kependidikan, orangtua/walimurid, dan masyarakat sekitar. Kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan dan mampu membimbing peserta didik dalam memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan. Lebih lanjut berdasarkan Pedoman Umum sekolah Inklusif, Dit. PPL-LK bahwa kompetensi guru inklusif selain dilandasi oleh empat kompetensi utama sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya dua kemampuan utama lainnya yang secara khusus harus dimiliki oleh guru inklusif yaitu: (1) kemampuan umum (general ability) adalah kemampuan yang di perlukan untuk mendidik peserta didik pada umumnya (anak normal), (2) kemampuan dasar (basic ability) adalah kemampuan tambahan untuk guru di sekolah regular dalam mendidik peserta didik yang berkebutuhan khusus, yaitu : menciptakan inklim belajar yang kondusif, menyususn dan melaksanakan asesmen, dan menyusun pembelajaran dengan kurikulum modifikasi, melakukan penilaian, dan memberikan program remedi pengajaran. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek profesionalisme guru inklusif adalah kemampuan guru untuk mendidik peserta didik yang berkebutuhan khusus dengan dilandaskan empat kompetensi utama dan dua kompetensi khusus dengan bentuk (1) menyusun instrument asesmen pendidikan khusus (2) melaksanakan pendampingan untuk pendidikan kebutuhan khusus (3) memberikan bantuan layanan khusus (4) memberikan bimbingan secara berkesinambungan untuk anak berkebutuhan khusus (5) memberikan bantuan kepada siswa berkebutuhan khusus (Ilahi, 2013; Mudjito, Harizal, & Elfindri, 2012).

Pelatihan Guru Inklusi

(16)

7

mereka yang sedang atau akan melakukan pekerjaan tertentu untuk mencapai perilaku peran yang berhasil. Pelatihan guru mengenai siswa berkebutuhan khusus di sekolah inklusi merupakan salah satu kebutuhan yang dapat mendukung berjalannya sekolah inklusi, adanya pelatihan tentulah dapat meningkatkan kinerja guru di kelas inklusi, dengan adanya pelatihan terhadap guru secara komprehensif, kebutuhan siswa dengan kesulitan belajar spesifik dapat terpenuhi dan pelatihan juga cenderung mempengaruhi sikap guru terhadap siswa berkebutuhan khusus. Guru yang mengikuti pelatihan cenderung lebih memahami kebutuhan siswa berkebutuhan khusus dan bagaimana cara membimbing serta penanganan siswa berkebutuhan khusus di sekolah inklusi (Woodcock, 2013; Mudjito, Harizal, & Elfrindri, 2012; Woodcock, 2013; Miner, 1992; Sikula (dalam Munandar, 2001)).

Pelatihan (training) dapat disebut juga suatu proses memperbaiki keterampilan kerja karyawan untuk membantu pencapaian tujuan perusahaan. Pelatihan digunakan digunakan sebagai dasar peningkatan dan perpindahan pekerjaan. Manfaat dari pelatihan adalah dapat meningkatkan kepuasan pelanggan atas bertambahnya pengetahuan mereka. Pelatihan guru inklusi adalah proses pembelajaran yang berfungsi sebagai cara memperbaiki dan meningkatkan kinerja guru. Kinerja guru meliputi pengetahuan, sikap, dan keterampilan guru dalam mengajar dan menerima siswa dengan kecacatan khusus dalam satu ruang lingkup bersama siswa reguler. Pelatihan guru inklusi yang diselenggarakan berupa diklat yang dilakukan oleh pemerintah dan lembaga pendidikan untuk meningkatkan kompetensi guru secara khusus yang meliputi pengetahuan, sikap, keterampilan, dan motivasi terhadap program inklusi dan siswa berkebutuhan khusus di dalamnya. Diklat yang dilaksanakan tidak hanya berupa sosialisasi yang memiliki batasan waktu pertemuan relatif singkat yaitu satu hari yang berupa seminar mengenai program inklusi dan siswa berkebutuhan khusus yang ada di dalamnya tetapi berupa pelatihan yang bertujuan meningkatkan kompetensi utama yang harus dimiliki oleh seorang guru inklusi, tidak hanya mengenai cara bagaimana (1) menyusun instrumen asesmen pendidikan khusus, (2) memberikan bantuan kepada siswa yang berkebutuhan khusus, (3) menciptakan iklim belajar yang kondusif, (4) menyusun pembelajaran dengan kurikulum modifikasi, (5) melakukan penilaian, dan (6) memberikan program remedi pengajaran (Mudjito, Harizal, & Elfrindri, 2012; Bangun, 2012).

Pendidikan Inklusif

(17)

8

implementasi.Tujuan dari adanya konsep pendidikan inklusif itu sendiri yaitu (1) memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan ysng bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya dan (2) mewujudkan penyelengaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik. Konsep pendidikan inklusif itu sendiri adalah konsep pendidikan yang merepsentasikan keseluruhan aspek yang berkaitan dengan keterbukaan dalam menerima anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh hak dasar mereka sebagai warga negara (Praptono, Budiyanto, Sujarwanto, Yusuf, Supena, Hartono, & Sayekti, 2013; Ilahi, 2013).

Siswa Berkebutuhan Khusus

Siswa berkebutuhan khusus adalah mereka yang memiliki kebutuhan khusus sementara atau permanen sehingga membutuhkan pelayanan pendidikan yang lebih intens. Kebutuhan tersebut dapat disebabkan oleh adanya kelainan atau memang bawaan dari lahir dan kerena adanya masalah tekanan ekonomi, politik, sosial, emosi, dan perilaku yang menyimpang. Konsep anak berkebutuhan khusus dapat dikategorikan dalam dua kelompok besar, yaitu anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementara (temporer) adalah anak yang memiliki hambatab belajar dan hambatan perkembangan yang disebabkan oleh faktor-faktor eksternal, yang masih dapat dilakukan penyembuhan dan anak berkebutuhan khusus yang bersifat menetap (permanen) adalah anak yang memiliki hambatan belajar dan perkembangan yang diakibatkan karena kecacatan atau bawaan sejak lahir. Yang termasuk dalam kategori siswa yang membutuhkan layanan khusus adalah (1) tunanetra adalah anak yang memiliki hambatan dalam penglihatan yang dapat diklasifikasikan kedalam dua golongan yaitu buta total (blind) dan low vision, (2) tunarungu adalah anak yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik permanen maupun tidak permanen, (3) tungrahita adalah anak yang memiliki intelegensi yang signifikan berada dibawah rata-rata dan disertai dengan ketidakmampuan dalam adaptasi perilaku yang muncul dalam perkembangan yang diklasifikasikan menurut tingkatan IQ, (4) tunadaksa adalah anak yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh neuro-muskular dan strukutur tulang yang bersifat bawaan, sakit atau akibat kecelakaan, (5) tunalaras adalah anak yang mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol sosial yang dapat disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal, (6) kesulitan belajar adalah anak yang mengalami gangguan pada satu atau lebih kemampuan dasar psikologis yang mencangkup pemahaman dan penggunaan bahasa, berbicara, dan menulis yang dapat mempengaruhi kemapuan berfikir, membaca, berhitung, berbicara yang disebabkan oleh gangguan persepso, brain injury, disfungsi minimal otak, dislexia, dan afasia (Ilahi, 2013; Mudjito, Harizal, & Elfindri, 2012).

(18)

9 Hipotesa

Ada perbedaan sikap guru terhadap siswa berkebutuhan khusus ditinjau dari mengikuti pelatihan dan tidak mengikuti pelatihan.

METODE PENELITIAN

Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif komperatif dimana peneliti akan menganalisa suatu permasalahan yang bersifat membandingkan yaitu perbedaan sikap guru terhadap siswa berkebutuhan khusus ditinjau dari mengikuti pelatihan dan tidak mengikuti pelatihan guru inklusi.

Subjek Penelitian

Penelitian ini akan menyelidiki tentang perbedaan sikap guru terhadap siswa berkebutuhan khusus ditinjau dari mengikuti pelatihan dan tidak mengikuti pelatihan guru inklusi. Populasi dari penelitian ini adalah seluruh guru TK, SD, SMP, dan SMA/SMK di kota Malang yang mengajar di kelas inklusi . Adapun karakteristik subyek adalah guru yang mengajar di kelas inklusi. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah non probability sampling, yaitu purposive sampling dengan menetapkan karakteristik sampel yaitu guru reguler yang mengajar di kelas inklusi yang mengikuti pelatihan dan tidak mengikuti pelatihan.Berdasarkan tekhnik ini didapatkan subyek penelitian sebanyak 100 guru yang terdiri dari 46 guru yang mengikuti pelatihan dan 54 guru yang tidak mengikuti pelatihan.

Variabel dan Instrumen Penelitian

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah mengikuti pelatihan dan tidak mengikuti pelatihan guru inklusi. Pelatihan guru inklusi adalah proses pembelajaran yang berguna untuk memperbaiki kinerja guru yang meliputi pengetahuan, sikap, keterampilan, dan motivasi dalam menghasilkan suatu pembaruan. Pelatihan guru inklusi yang diselenggarakan berupa diklat yang dilakukan oleh pemerintah dan lembaga pendidikan untuk meningkatkan kompetensi guru secara khusus yang meliputi pengetahuan, sikap, keterampilan, dan motivasi terhadap program inklusi dan siswa berkebutuhan khusus di dalamnya.Sedangkan guru yang tidak mengikuti pelatihan siswa berkebutuhan khusus adalah mereka yang belum berkesempatan untuk mengikuti perbaikan akan kinerja mereka. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah sikap guru terhadap siswa berkebutuhan khusus. Sikap guru terhadap siswa berkebutuhan khusus adalah sikap positif dan sikap negatif guru terhadap siswa berkebutuhan khusus di kelas reguler, yang akan diungkap melalui skala sikap guru terhadap siswa berkebutuhan khusus.

(19)

10

terhadap siswa berkebutuhan khusus terdiri dari 6 aspek berdasarkan Pedoman Umum Sekolah Inklusif Dit. PPK-LK 2010(dalamMudjito, Harizal, & Elfindri, 2012) yaitu (1) Kompetensi Pedagogik, (2) Kompetensi kepribadian, (3) Kompetensi profesional, (4) Kompetensi Sosial, (5) Kemampuan Umum, dan (6) Kemampuan Dasar.Skala ini terdiri dari 60 item dengan tipe klasifikasi skala likert 5 point dengan rentang 1 (sangat setuju) hingga 5 (sangat tidak setuju).

Tabel 1. Indeks Validitas dan Realibilitas Instrumen

Skala Indeks Validitas Indeks Realibilitas

Skala Sikap Guru 0,599-0,785 0,976

Berdasarkan tabel 1 di atas maka dapat dijelaskan bahwa hasil uji validitas skala sikap guru terhadap siswa berkebutuhan khusus memiliki indeks validitas 0,599-0,785 Sedangkan hasil uji realibilitas 0,976.Hal ini dapat disimpulkan bahwa instrumen penelitian ini realiabel jika dibandingkan dengan syarat cronbach alpha yaitu 0,6.

Prosedur Analisa Data

(20)

11

HASIL PENELITIAN

Subjek dalam penelitian ini adalah guru TK, SD, SMP, dan SMA/SMK yang mengajar dikelas inklusi yang mengikuti pelatihan dan tidak mengikuti pelatihan guru inklusi. Dalam proses pengambilan data yang dilakukan pada guru yang mengajar di kelas inklusi tersebut didapatkan karakteristik sebagai berikut:

Tabel 2. Deskripsi Subyek Penelitian

Kategori Mengikuti Pelatihan Tidak Mengikuti Pelatihan Jenis Kelamin

Berdasarkan tabel 2 diatas dapat dilihat bahwa subjek penelitian baik yang mengikuti pelatihan maupun yang tidak mengikuti pelatihan sebagian besar berjenis kelamin perempuan yaitu untuk perempuan yang mengikuti pelatihan sebanyak 29 orang dan yang tidak mengikuti pelatihan sebanyak 32 orang. Sedangkan untuk laki –laki yang mengikuti pelatihan sebanyak 17 orang dan yang tidak mengikuti pelatihan sebanyak 22 orang. Untuk usia guru yang mengikuti pelatihan maupun yang mengikuti pelatihan pelatihan sebagian besar berusia 25-35 tahun. Sedangkan yang paling sedikit berusia <25 tahun. Selanjutnya untuk subjek guru tingkat TK sebanyak 6 orang yang mengikuti pelatihan dan 6 orang yang tidak mengikuti pelatihan. Subyek guru tingkat SMP sebanyak 14 orang yang mengikuti pelatihan dan 15 orang yang tidak mengikuti pelatihan. Subyek guru tingkat SMA sebanyak 13 orang yang mengikuti pelatihan dan 14 orang yang tidak mengikuti pelatihan. Sebagian besar subyek merupakan guru tingkat SD yaitu sebanyak 15 orang yang mengikuti pelatihan dan 17 orang yang tidak mengikuti pelatihan.

Tabel 3. Deskripsi Sikap Guru Terhadap Siswa Berkebutuhan Khusus

Sikap Kategori Total

Positif Negatif

Mengikuti Pelatihan 29 (63,04%) 17(36,95%) 100%

Tidak Mengikuti Pelatihan 28 (51,85%) 26 (48,14%) 100%

(21)

12

berkebutuhan khusus. Kemudian untuk guru yang tidak mengikuti pelatihan sebanyak 28 orang (51,85%) yang memiliki sikap positif dan 26 orang (48,14%) yang memiliki sikap negatif terhadap siswa berkebutuhan khusus. Sehingga dapat disimpulkan bahwa guru yang mengikuti pelatihan memiliki sikap yang positf terhadap siswa berkebutuhan khusus. Selanjutnya guna mengetahui ada tidaknya perbadaan yang signifikan akan diuji dengan menggunakan uji beda. Selanjutnya guna mengetahui ada tidaknya perbadaan yang signifikan akan diuji dengan menggunakan uji beda.

Teknik analisis yang digunakan dalam untuk mengetahui perbedaan sikap guru TK, SD, SMP, dan SMA/SMK yang mengajar dikelas inklusi yang mengikuti pelatihan dan tidak mengikuti pelatihan tentang siswa berkutuhan khusus menggunakan uji independent sampel t-test yang dihitung dengan menggunakan software SPSS versi 21. Data yang digunakan dalam analisis statistik penelitian ini adalah skor murni hasil kuesioner yang kemudian dikodekan dan dibagi menjadi dua unit yaitu guru yang mengikuti pelatihan dan guru yang tidak mengikuti pelatihan. Hal ini bertujuan untuk mempermudah membandingkan antara skor hasil yang dari pengukuran variabel yang diteliti dan untuk menghindari kesalahan pengukuran.

Uji beda dengan menggunakan independent sampel t-test antar variabel penelitian dapat dilihat melalui tabel 2 di bawah ini, dimana apabila t-hitung > t-tabel dengan nilai Sig.(alpha) < 0,05 maka dapat disimpulkan terdapat perbedaan demikian juga sebaliknya. Adapun hasil uji beda tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah 2 di bawah ini:

Tabel 4. Hasil Analisa Uji Independen Sample t-Test Perbedaan Sikap Guru yang Mengikuti Pelatihan dan Tidak Mengikuti Pelatihan Guru Inklusi

Sikap N Mean Std t-hitung t-tabel Sig.

(22)

13

Tabel 5. Hasil Analisa Sikap Guru Terhadap Siswa Berkebutuhan Khusus ditinjau dari Aspek-Aspek Sikap

Aspek Mean

Mengikuti Pelatihan Tidak Mengikuti Pelatihan

Kompetensi Pedagogik 35,06 27,79

Kompetensi Kepribadian 29,17 23,70

Kompetensi Profesional 29,26 23,55

Kompetensi Sosial 29,02 23,68

Kompetensi Umum 28,97 23,79

Kompetensi Dasar 36,45 29,83

Berdasarkan hasil analisa sikap guru terhadap siswa berkebutuhan khusus yang ditinjau dari aspek-aspek sikap. Jika dilihat dari mean sikap guru yang mengikuti pelatihan dapat digambarkan bahwa guru yang mengikuti pelatihan memiliki sikap yang positif terhadap siswa berkebutuhan khusus, hal tersebut didasari oleh tingkat aspek sikap guru yang mengikuti pelatihan untuk keseluruhan memiliki nilai mean yang lebih tinggi dibandingkan guru yang tidak mengikuti pelatihan. Sikap guru yang mengikuti pelatihan memiliki sikap yang yang positif terhadap siswa berkebutuhan khusus didasari oleh besarnya mean kompetensi dasar yaitu 36,45, kemudian kompetensi pedagogik sebesar 35,06, kompetensi profesional sebesar 29,26, kompetensi kepribadian sebesar 29,17, lalu kompetensi sosial sebesar 29,02 dan jika dibandingkan aspek-aspek sebelumnya untuk guru yang mengikuti pelatihan nilai mean terendah adalah pada aspek umum sebesar 28,97. Kemudian untuk nilai mean pada guru yang tidak mengikuti pelatihan aspek tertinggi juga dimiliki oleh kompetensi dasar, namun masih jauh lebih besar pada guru yang mengikuti pelatihan yaitu 29,83, kemudian kompetensi pedagogik sebesar 27,79, kompetensi umum sebesar 23,79, kompetensi kepribadian sebesar 23,70, lalu kompetensi sosial 23,68, dan pada guru yang tidak mengikuti pelatihan memiliki aspek terendah pada kompetensi profesional yaitu sebesar 23,55.

Tabel 6. Hasil Analisa Sikap Guru Terhadap Siswa Berkebutuhan Khusus ditinjau dari Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Mean

Mengikuti Pelatihan Tidak Mengikuti Pelatihan

Laki-Laki 183,41 152,83

Perempuan 190,62 152,53

(23)

14

mengikuti pelatihan sikap guru laki-laki lebih positif dibandingkan guru perempuan terhadap siswa berkebutuhan khusus.

Tabel 7. Hasil Analisa Sikap Guru Terhadap Siswa Berkebutuhan Khusus ditinjau dari Usia

Usia Mean

Mengikuti Pelatihan Tidak Mengikuti Pelatihan

<25 181,22 149,46

25-35 192,24 162,77

36-45 182,41 152,46

>45 180,88 147,43

Berdasarkan hasil analisis sikap guru terhadap siswa berkebutuhan khusus ditinjau dari usia. Untuk guru yang lebih berkompetensi dalam mengikuti pelatihan berdasarkan hasil mean usia guru mengikuti pelatihan memiliki sikap yang lebih positif terhadap siswa berkebutuhan khusus yaitu usia 25-35 tahun sebesar 192,24 dan usia 36-45 sebesar 182,41.

Tabel 8. Hasil Analisa Sikap Guru Terhadap Siswa Berkebutuhan Khusus ditinjau Tempat Mengajar

Guru Tingkat Mean

Mengikuti Pelatihan Tidak Mengikuti Pelatihan

TK 184,73 152,83

SD 185,61 147,41

SMP 191,64 146,06

SMA 191,16 163,37

Berdasarkan hasil analisa sikap guru terhadap siswa berkebutuhan khusus ditinjau dari tempat mengajar. Dari hasil mean untuk tempat mengajar TK hingga SMA yang lebih membutuhkan pelatihan adalah guru TK dan SD, dapat dilihat nilai mean guru TK dan SD yang mengikuti pelatihan masih lebih rendah dibandingkan guru SMP dan SMA yaitu untuk guru TK sebesar 184,73 dan SD sebesar 185,61 jika dibandingkan guru tingkat SMP yaitu 191,64 dan SMA 191,16.

DISKUSI

(24)

15

274,90. Hasil penelitian ini selaras dengan hasil penelitian terdahulu yang menunjukkan bahwa pelatihan guru inklusi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi sikap dan pengetahuan guru terhadap siswa berkebutuhan khusus maupun berjalannya program inklusi (Bathnagar & Das, 2014).

Bagi seorang guru pelatihan mengenai proses pembelajaran baik di dalam kelas reguler maupun kelas inklusi sangat membutuhkan adanya pelatihan, guna membangun pengetahuan sehingga guru mampu menangani dan memenuhi kebutuhan siswa berkebutuhan khusus dengan baik. Pengetahuan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap sikap, hal tersebut didukung oleh hasil penelitian Sharma (2012) dimana pada penelitiannya ia melakukan eksperimen terhadap dua kelompok guru yang sama disatu sekolah kemudian di berikan perlakuan yaitu pelatihan dan tidak di berikan pelatihan mengenai pendidikan inklusi. Kemudian setelah di lakukan uji analisis didapatkan hasil bahwa kelompok guru yang di berikan pelatihan cenderung lebih siap mengajar di kelas dengan latar inklusi, hal tersebut dikarenakan pengetahuan mereka yang semakin bertambah terutama mengenai bagaimana memenuhi kebutuhan siswa berkebutuhan khusus dengan jenis kecacatan yang berbeda dan guru yang mengikuti pelatihan cenderung memiliki sikap yang semakin positif terhadap penerimaan siswa berkebutuhan khusus di kelas reguler. Sedangkan pada kelompok guru yang tidak mengikuti pelatihan, mereka cenderung memiliki sikap yang negatif terhadap siswa berkebutuhan khusus dikarenakan kurangnya pengetahuan mengenai bagaimana memenuhi kebutuhan siswa berkebutuhan khusus di kelas reguler.

Guru merupakan salah satu faktor utama yang mendukung berjalannya program inklusif, tenaga pendidik yang profesional dalam bidangnya. Guru yang mengajar hendaknya memiliki kualifikasi yang dipersyaratkan, yaitu memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap tentang materi yang di ajarkan, kemudian dapat memahami karakteristik siswa. Di lihat dari hasil penelitian mengenai sikap guru yang di dasari oleh 6 aspek kompetensi yang harus dimiliki oleh guru inklusi yaitu (1) kompetensi pedagogik, (2) kompetensi kepribadian, (3)kompetensi profesional, (4) kompetensi sosial, (5) kompetensi umum, (6) kompetensi dasar didapatkan hasil bahwa mean dari setiap aspek yaitu guru yang mengikuti pelatihan cendrung lebih tinggi di bandingkan dengan guru yang tidak mengikuti pelatihan. Guru yang mengikuti pelatihan didasari dengan nilai aspek kompetensi dasar yaitu sebesar 36,45, kemudian kompetensi pedagogik sebesar 35,06, kompetensi profesional sebesar 29,26, kompetensi kepribadian sebesar 29,17, lalu kompetensi sosial sebesar 29,02 dan jika dibandingkan aspek-aspek lainnya untuk guru yang mengikuti pelatihan nilai mean terendah adalah pada aspek umum sebesar 28,97. Dengan kompetensi yang dimiliki guru dapat merancangkan strategi pembelajaran yang tepat metode yang digunakan, media, dan evaluasi. Guru juga harus menjadi contoh yang baik, serta dituntut untuk profesional terhadap profesinya (Ilahi,2012).

(25)

16

menyebabkan guru cenderung bersikap menolak akan kehadiran siswa berkebutuhan khusus di kelas reguler.

Adanya pelatihan mengenai inklusi dapat memberikan dampak yang positif terhadap sikap guru, berdasarkan hasil peneltian Shurban dan Sharma (2006) menemukan bahwa guru yang mengikuti pelatihan cenderung memiliki sikap yang positif terhadap program inklusi hal tersebut dikarenakan bertambahya pengetahuan dan kepercayaan diri mereka mengenai program inklusi sehingga berkurangnya tingkat kekhawatiran mereka akan kesulitan dalam melaksanakan program inklusif dan menghadapi siswa berkebutuhan khusus dengan kecacatan yang beragam, mereka merasa lebih mampu dan yakin dapat menjalankan peran mereka sebagai guru inklusi.

Selain pelatihan sikap guru dapat dilihat dari jenis kelamin, berdasarkan hasil perhitungan meansikap guru perempuan yang mengikuti pelatihan cenderung lebih tinggi yaitu 190,62, sedangkan untuk yang tidak mengikuti pelatihan sebesar 152,53. Dan untuk laki – laki yang mengikuti pelatihan sebesar 183,41 sedangkan yang tidak mengikuti pelatihan sebesar 152,83. Namun ada hasil yang berbeda berdasarkan hasil penelitian Shamir (2013) menunjukan bahwa secara umum guru menunjukan sikap yang positif terhadap siswa berkebutuhan khusus di sekolah reguler, akan tetapi guru laki-laki cenderung bersikap lebih positif dibanding guru wanita. Selain itu sikap guru akan lebih positif ketika melihat penempatan pendidikan bagi siswa berkebutuhan khusus dalam bidang intelektual dan emosi di luar sekolah reguler, dan sikap guru menjadi kurang positif ketika melihat penempatan pendidikan bagi siswa berkebutuhan khusus yaitu tunanetra untuk berada di luar sekolah reguler. Kemudian dalam penelitian lain mengenai sikap guru terhadap kehadiran siswa berkebutuhan khusus di kelas inklusi menemukan bahwa sikap guru perempuan cenderung lebih positif dibandingkan guru laki-laki (Leyser & Tappendorf, 2001).

Cornoldi, et al (dalam Subban & Sharma, 2005) mengatakan bahwa guru yang berusia kategori tua lebih cenderung memiliki sikap yang negatif terhadap trend pendidikan inklusi di bandingkan guru dalam kategori usia muda, selain itu guru dengan kategori usia muda lebih menerima pendidikan inklusi meskipun usia tua lebih dapat dikatakan berpengalaman namun mereka merasa tidak nyaman dengan kehadiran siswa berkebutuhan khusus di kelas reguler.Kemudian guru muda lebih cenderung mendukung meskipun pengalaman mengajar mereka yang masih sedikit (Elisa & Wartasari, 2013). Usia merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan sikap guruberdasarkan hasil penelitian ini jika dilihat dari mean karakteristik guru yang lebih berkompetensi dalam mengikuti pelatihan guru inklusi yaitu usia 25-35 tahun sebesar 192,24 dan usia 36-45 sebesar 182,41.

(26)

17

lebih tinggi lebih memperhatikan pada materi pelajaran dan kurang memperhatikan pada perbedaan individu siswa, sehingga guru yang lebih memperhatikan materi pelajaran, kehadiran siswa berkebutuhan khusus di dalam kelas mereka menjadi masalah tersendiri dalam praktekpengurusanaktivitaskelas. Namun jika melihat berdasarkan tingkatan tentulah kebutuhan mengajar setiap guru dengan setiap tingkatan pastilah berbeda sehingga semua masihlah membutuhkan adanya terlebih lagi terutama dikarenakan hadirnya sekolah inklusif merupakan hal yang baru di dunia pendidikan dan membutuhkan banyak penyesuaian.

Dalam penelitian ini masih terdapat beberapa kelemahan yaitu tidak adanya data jumlah populasi guru inklusi di Kota Malang, sehingga dari 93 lembaga pendidikan tingkat TK, SD, SMP, dan SMA/SMK peneliti hanya mengambil jumlah minimum pengambilan sampel yaitu 100 responden hal tersebut di dukung oleh terbatasnya perizinan penyebaran angket di sekolah, serta waktu dan jarak sekolah yang jauh yang menjadi kendala pula dalam penelitian ini.

SIMPULAN DAN IMPLIKASI

Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara sikap guru yang mengikuti pelatihan dan tidak mengikuti pelatihan guru inklusi. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai t-hitung 6,885 > t-table 1,962 dengan tingkat signifikansi 0,000 karena jauh dibawah 0,05. Sehingga dapat membuktikan bahwa pelatihan memberikan pengaruh yang positif terhadap sikap guru yang mengikuti pelatihan dan dari hasil perhitungan meanuntuk guru yang mengikuti pelatihan lebih tinggi dari pada guru yang tidak mengikuti pelatihan.

(27)

18

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, S. (2011).Sikap manusia-teori dan pengukuranya(Ed.2).Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Azwar, S. (2012).Realibilitas dan Validitas (Ed.4).Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bangun, W. (2012). Manajemen sumber daya Manusia. Jakarta: Erlangga.

Bathnagar, N. & Das, A. (2014). Regular School Teachers’ Concerns and Perceived Barriers to Implement Inclusive Education in New Delhi, India. International Journal of Instruction. 7,94-95.

Bungin, B. (2010). Metodologi penelitian kuantitatif (Ed.1). Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Cipkin, G. & Rizza, F. T. (2000). The attitude of teachers on inclusion. Retrieved from

http://nummarius.com/The_Attitude_of_Teachers_on_Inclusion.pdf. Dayaksini, T. & Hudaniah.(2012).Psikologi sosial.Malang: UMM Press.

Darmawan, D.(2013). Metode penelitian kuantitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Djamarah, S. B. (2000).Guru dananak didik-dalam interaksi edukatif. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Elisa, S.& Wrastari, A. T. (2013).Sikap guru terhadap pendidikan inklusi ditinjau dari faktor pembentuk sikap. Jurnal Psikologi Perkembangan dan Pendidikan, 2, 01. Guru Harus Memahami Pentingnya Pendidikan Inklusi. Diakses Senin, 5 Mei 2015

from http://www.malangtimes.com/baca/4742/20151005/161608/guru-harus-memahami-pentingnya-pendidikan-inklusi/.

Ilahi, M. T. (2013).Pendidikan Inklusif Konsep dan Aplikasi. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. Leyser, Y., & Tappendorf, K. (2001). Are Attitudes and Practices Regarding

Mainstreaming Changing? A Case Of Teachers in Two Rural School Districts. Education, 121(4), 751-760.

Malak, S. Md.(2013).Inclusive Education Reform in Bangladesh: Pre-Service Teachers’ Responses to Include Students with Special Educational Needs in Regular Classrooms.International Journal of Instruction,6, 197-211.

Mudjito, Harizal, & Elfindri. (2012).Pendidikan inklusif. Jakarta: Baduose Media Jakarta. Miner, J. B. (1992).Industrial organizational psychology. Singapore: Printed Singapore. Munandar, A. S. (2001).Psikologi industri dan organisasi. Jakarta: Universitas Indonesia. Ormrod, J. E. (2008).Psikologi pendidikan “membantu siswa tumbuh dan berkembang”

(28)

19

Peebles, J. & Mendalglio, S. (2014).Preparing teachers for inclusive classroom: introduction the individual direct experience approach. Learning Landscapes, 7, 1-13.

Praptono, Budiyanto, Sujarwanto, Yusuf, M., Supena, A., Hartono, Sayekti, A. (2012). Strategi umum pembudayaan inklusif di Indonesia. Surabaya: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus Pendidikan Dasar 2013. Samir, J. (2013). Regular classroom teachers’ attitudes towards including students with

disabilities in the regular classroom in the United Arab Emirates.The Journal of Human Resource and Adilt Learning, 9, 1.

Sharma, U.(2012). Changing Pre-Service Teachers’ Beliefs to Teach in Inclusive Classrooms in Victoria, Australia.Australian Journal of Teacher Education. 37, 53-64.

Shubban, P. & Sharma, U. (2005). Understanding Educator Attitudes Toward the Implementation of Inclusive Education, The Society for Disability Studies. 25,2 Shubban, P. & Sharma, U. (2006). Primary School Teachers’ Perceptions Of Inclusive

Education In Victoria, Australia. International Journal Of Special Education. 21, 42-50

Tiwari, M. (2014). Peer tutoring: a step forward towards inclusion. Special education teacher, 3, 7.

Umam, K. (2010). Perilaku organisasi. Bandung : Pustaka Setia.

Woodcock, S. (2013). Trainee teachers’ attitudes towards students with specific learning disabilities.Australian Journal of Teacher Education, 38, 8.

Walgito, B. (1991). Psikologi sosial.Yogyakarta : Andi Offset.

(29)

20

LAMPIRAN 1

BLUE PRINT SKALA SIKAP GURU

TERHADAP SISWA BERKEBUTUHAN

(30)

21

SKALA SIKAP GURU TERHADAP SISWA BERKEBUTUHAN KHUSUS DI KELAS INKLUSI

BLUE PRINT

1. Aspek Kompetensi Pedagogik

 Afektif :

a. Reaksi emosional guru dalam memahami dan mengembangkan potensi siswa berkebutuhan khusus

b. Reaksi emosional guru saat berkomunikasi dengan siswa berkebutuhan khusus c. Reaksi emosional guru saat menyampaikan materi di kelas dengan kehadiram

siswa berkebutuhan khusus

 Kognitif

a. Pengetahuan guru mengenai kebutuhan pembelajaran siswa berkebutuhan khusus (Program Pembelajaran Individu)

b. Pengetahuan guru mengenai karakteristik kecacatan siswa berkebutuhan khusus

c. Kepercayaan guru dalam mengembangkan potensi siswa berkebutuhan khusus

 Konatif

a. Menerima kehadiran siswa berkebutuhan khusus di kelas bersama dengan siswa reguler

(31)

22

a. Reaksi emosianal guru ketika mengajar siswa berkebutuhan khusus di kelas inklusi

b. Reaksi emosional guru dalam menyambut kehadiran siswa berkebutuhan khusus dikelas inklusi

c. Reaksi emosional guru saat berkomunikasi dengan siswa berkebutuhan khusus

 Kognitif

a. Pengetahuan guru mengenai hak-hak dan undang-undang yang mengatur siswa berkebutuhan khusus di kelas inklusi

b. Kemampuan guru untuk bersikap luwes ketika mengajar di kelas inklusi

c. Kemampuan guru dalam menunjukan respon positif terhadap siswa berkebutuhan khusus di kelas

d. Kemampuan guru untuk menumbuhkan sikap empati dan simpati terhadap siswa berkebutuhan khusus

e. Kemampuan guru dalam menangani perilaku siswa berkebutuhan khusus yang tidak diinginkan

f. Kemampuan guru untuk berkerjasama dengan guru pembimbing khusus maupun guru kelas

3. Aspek Kompetensi Profesional

 Afekif

a. Reaksi emosional guru saat memberikan tugas dan penilaian terhadap siswa berkebutuhan khusus

b. Reaksi emosional guru dalam menerima adanya keberagaman siswa di kelas c. Reaksi emosional guru saat menghadapi perilaku siswa berkebutuhan khusus

yang tidak diinginkan

 Kognitif

a. Kemampuan guru dalam menyampaikan materi pelajaran dengan suasana kelas inklusi

b. Kemampuan guru dalam menyesuaikan materi pelajaran dengan keberagaman yang ada di dalam kelas

c. Kemampuan guru dalam menyusun bahan pengajaran yang runut, logis, dan dapat diterima oleh siswa reguler dan siswa berkebutuhan khusus

 Konatif

a. Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi

b. Guru memberikan motivasi secara langsung

c. Guru berkomitmen pada siswa dan proses belajarnya dengan memberikan pengulangan materi

4. Aspek Kompetensi Sosial

 Afektif

a. Reaksi emosional guru saat membantu menangani perilaku siswa berkebutuhan khusus yang tidak diinginkan

b. Reaksi emosional guru saat lahirnya program inklusi oleh pemerintah

c. Reaksi emosional guru saat membantu siswa reguler untuk menerima teman sebaya mereka yang memiliki kecacatan atau berkebutuhan khusus

 Kognitif

a. Kemampuan guru dalam membangun sikap empaty antar siswa reguler dan siwa berkebutuhan khusus

(32)

23

c. Kemampuan guru dalam berkomunikasi secara efektif dengan guru pendamping khusus mengenai perkembangan peserta didik berkebutuhan khusus

 Konatif

a. Guru bersikap ramah terhadap siswa berkebutuhan khusus di kelas inklusi b. Guru membantu guru pendamping khusus ketika siswa berkebutuhan khusus

melakukan perilaku yang tidak diinginkan (tantrum)

c. Guru membantu siswa berkebutuhan khusus mengerjakan tugas 5. Aspek Kemampuan Umum

 Afektif

a. Reaksi emosional guru saat memberikan kesempatan untuk melatih kembali siswa dengan kecacatan retadarsi mental

b. Reaksi emosional guru saat akan mengajar di kelas inklusi

c. Reaksi emosional guru dalam membantu memotivasi siswa berkebutuhan khusus untuk belajar

 Kognitif

a. Kemampuan guru dalam mengembangkan hubungan antar siswa reguler dan siswa berkebutuhan khusus yang sehat dan serasi

b. Kemampuan guru dalam merangsan minat siswa berkebutuhan khusus untuk belajar

c. Kemampuan guru dalam meningkatkan kepercayaan diri siswa berkebutuhan khusus

 Konatif

a. Guru menjalankan rencana pendidikan individual (IEP)

b. Guru mempelajari dan paham mengenai tipe-tipe siswa berkebutuhan khusus c. Guru mengikuti pelatihan maupun sosialisasi guna menambah kemampuan dan

keterampilan dalam strategi pengajaran siswa berkbutuhan khusus 6. Aspek Kemampuan Dasar

 Afektif

a. Reaksi emosional guru ketika kelas tidak kondusif karena adanya siswa berkebutuhan khusus melakukan tindakan yang tidak diinginkan

b. Reaksi emosional guru saat memberikan pendampingan pendidikan terhadap siswa berkebutuhan khusus

c. Reaksi emosional guru saat memberikan layanan khusus terhadap siswa berkebutuhan khusus

d. Reaksi emosional guru ketika sekolah atau lembaga pendidikan lainnya memberikan tambahan dukungan dan training cara mengajar siswa berkebutuhan khusus di kelas inklusi

e. Reaksi emosional guru saat memberi pengulangan disetiap proses intruksi tugas di kelas dan pekerjaan rumah

f. Reaksi emosional guru saat memberikan siswa berkebutuhan khusus waktu untuk merespon intruksi pengajaran di depan kelas

 Kognitif

a. Kemampuan guru dalam menciptakan strategi pengajaran yang disesuaikan dengan hasil asesmen individual

b. Kemampuan guru dalam mengelola kelas dengan keberagaman siswa c. Kemampuan guru dalam menyusun Program Pembelajaran Individu

d. Kemampuan guru dalam mengembangkan komunikasi sosial dan keahlian akademik siswa berkebutuhan khusus

(33)

24

f. Kemampuan guru dalam memberikan bimbingan secara berkesinambungan untuk siswa berkebutuhan khusus

 Konatif

a. Guru memantau pembelajaran siswa berkebutuhan khusus dan memberi umpan balik yang efektif

b. Guru berhati-hati dalam memberikan label siswa yang mengalami ketidakmampuan

c. Guru memberikan tanggapan positif jika terjadi kemajuan

No Aspek

Item Favorable Item Unfavorable

1. Afektif 1 2,3

Item Favorable Item Unfavorable

(34)

25

No Aspek

Kompetensi Profesional

Item Favorable Item Unfavorable

1. Afektif 20 19,21

Item Favorable Item Unfavorable

1. Afektif 30 28,29

Item Favorable Item Unfavorable

(35)

26

No Aspek

Kemampuan Dasasr

Item Favorable Item Unfavorable

1. Afektif 46,47,49 48,50,51

2. Kognitif 52,53,54,55,56,57 -

3. Konatif 59,60 58

Penilaian Skala Likert

Item Favorable Skor Item Unfavorable Skor

Sangat Setuju (SS) 4 Sangat Setuju (SS) 1

Setuju (S) 3 Setuju (S) 2

Tidak Setuju (TS) 2 Tidak Setuju (TS) 3

(36)

27

LAMPIRAN 2

(37)

28

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

FAKULTAS PSIKOLOGI

Jl. Raya Tlogomas No. 246 Telp. (0341) 464318 Pes. 134 Fax (0341) 460782 Malang 65144

Dengan Hormat,

Dalam rangka menyelesaikan tugas akhir, saya Dewi Juliani/201110230311175 mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang akan mengadakan penelitian untuk memenuhi salah satu persyaratan wajib dalam menyelesaikan program sarjana. Oleh karena itu, saya mengharapkan bantuan dari saudara/i untuk memberikan informasi sebagai data penelitian dalam bentuk pengisian skala.

Perlu diketahui bahwa skala ini hanya digunakan untuk kepentingan penelitian ilmiah. Oleh karena itu, saudara/i tidak perlu ragu dalam memberikan informasi melalui jawaban atas pernyataan yang disediakan. Jawablah dengan jujur dan sesuai kenyataan yang sebenarnya. Sebagai peneliti saya memegang etika penelitian guna menjamin kerahasiaan jawaban yang saudara/i berikan.

(38)

29

ANGKET PENELITIAN

Identitas responden

Nama/Inisial :

Jenis Kelamin : Laki-laki ( )/Perempuan ( )*

Usia :

Guru Tingkat : TK/SD/SMP/SMA

Guru Bidang studi :

Pengalaman Mengikuti Pelatihan Guru Inklusif : a. Pelatihan Guru Inklusi b. Sosialisasi Program Inklusif c. . .

Petunjuk Pengisian Skala

1. Tulislah nama, jenis kelamin, guru bidang studi, dan pengalaman pelatihan anda. 2. Jawablah pernyataan-pernyataan dibawah ini sesuai dengan keadaan dan kondisi

Anda yang sebenarnya dengan cara memberikan tanda ( X ) pada kolom alternatif jawaban yang menurut Anda paling sesuai dengan pernyataan:

SS = jika Anda “Sangat Setuju” pada pernyataan S = jika Anda “Setuju” pada pernyataan

TS = jika Anda “Tidak Setuju” pada pernyataan

STS = jika Anda “Sangat Tidak Setuju” pada pernyataan

Apabila Anda ingin mengubah jawaban semula maka berilah tanda ( = ) pada jawaban yang salah, kemudian beri tanda ( X ) pada jawaban penggantinya.

3. Jawablah seluruh pernyataan, jangan ada yang terlewatkan Contoh :

No Pertanyaan Jawaban

SS S TS STS

(39)

30

No Item Pernyataan SS S TS STS

1. Saya peduli terhadap perkembangan potensi anak didik saya yang berkebutuhan khusus

2. Saya tidak menyukai saat berkomunikasi dengan anak didik saya yang berkebutuhan khusus

3. Saya cemas ketika akan menyampaikan materi di kelas yang terdapat siswa berkebutuhan khusus

4. Saya berpikir setiap siswa berkebutuhan khusus harus memiliki program pembelajaran individu

5. Saya tidak percaya bahwa semua siswa mampu belajar pada latar yang inklusif

6. Saya percaya dapat membantu mengembangkan potensi anak didik saya yang berkebutuhan khusus

7. Saya khawatir akan kehadiran siswa berkebutuhan khusus di kelas

8 Saya memarahi siswa yang membuat kegaduhan di kelas termasuk siswa berkebutuhan khusus

9. Saya menggunakan media belajar yang menarik dan sesuai dengan kebutuhan siswa berkebutuhan khusus 10. Saya merasa nyaman ketika mengajar siswa

berkebutuhan khusus

11. Saya senang dengan kehadiran siswa berkebutuhan khusus bersama siswa reguler

12. Saya merasa nyaman dalam berkomunikasi dengan siswa berkebutuhan khusus

13. Saya berpikir setiap siswa memiliki kesempatan pendidikan yang sama termasuk siswa berkebutuhan khusus

14. Saya merasa nyaman mengajar di kelas inklusi

15. Saya menerima siswa berkebutuhan khusus di kelas inklusi

16. Saya merasa kasihan dengan siswa berkebutuhan khusus

17. Saya khawatir dengan perilaku siswa berkebutuhan khusus yang tidak diinginkan saat materi pelajaran berlangsung

18. Saya berkomunikasi dengan guru pembimbing khusus maupun guru kelas sebelum memberikan evaluasi belajar dan penilaian

19. Saya khawatir akan kemampuan siswa berkebutuhan khusus dalam mengerjakan tugas di kelas ataupun di rumah

20. Saya senang dengan adanya keberagaman siswa di kelas

21. Saya marah ketika siswa berkebutuhan khusus menunjukkan perilaku yang mengganggu suasana belajar

(40)

31 peserta didik dan kecacatan

23. Saya belum mampu menggunakan media yang mendukung materi pembelajaran untuk siswa berkebutuhan khusus

24. Saya merancang bahan ajar dengan menggunakan sumber yang bervariasi (tidak hanya buku pegangan peserta didik) dan disesuaikan dengan kondisi siswa berkebutuhan khusus

25. Saya menggunakan berbagai strategi dan metode penilaian untuk memantau kemajuan dan hasil belajar peserta didik dalam mencapai semua aspek penilaian dalam PPI (Program Pembelajaran Individu)

26. Saya merespon positif partisipasi siswa berkebutuhan khusus dalam proses belajar mengajar

27. Saya memberikan pengulangan dan memberikan kesempatan siswa berkebutuhan khusus untuk merespon kira-kira 10-15 detik

28. Saya tidak dapat menahan emosi ketika siswa berkebutuhan khusus sedang tantrum

29. Saya berpikir bahwa tidak sebaiknya siswa berkebutuhan khusus tidak dimasukkan dalam kelas yang sama karena mereka mengacaukan siswa reguler 30. Saya senang membantu siswa reguler mengenal

kecacatan dan berkomunikasi dengan teman sebaya mereka yang berkebutuhan khusus

31. Saya peduli akan siswa berkebutuhan khusus sebagai individu yang berbeda layaknya saya peduli terhadap semua siswa reguler

32. Saya percaya bahwa saya bisa melakukan manajemen kelas dengan latar inklusi

33. Saya merasa nyaman berkomunikasi dengan guru pendidikan khusus

34. Saya percaya bahwa semua siswa mampu belajar pada latar inklusi

35. Saya membantu guru pendamping khusus menenangkan siswa berkebutuhan khusus melakukan perilaku yang tidak diinginkan

36. Saya membantu para siswa berkebutuhan khusus untuk menemukan cara yang sesuai dengan kemampuan mereka dalam menyelesaikan tugas

37. Evaluasi pembelajaran yang berulang pada siswa berkebutuhan khusus membuat saya jenuh

38. Saya senang mengajar di kelas dengan latar inklusi 39. Saya sangat bersemangat dalam membantu

memberikan motivasi siswa berkebutuhan khusus untuk belajar

(41)

32

41. Saya memberikan reward (hadiah atau nilai) setiap kali siswa berkebutuhan khusus mampu menyelesaikan tugas

42. Saya membantu siswa berkebutuhan khusus untuk menemukan cara yang tepat untuk mengekspresikan perasaan mereka

43. Saya menggunakan penilaian dengan mempertimbangkan taraf keberhasilan siswa dengan membandingkan prestasi yang dicapainya dengan kriteria yang telah ditetapkan lebih dulu

44. Saya berpikir bahwa setiap guru yang mengajar harus mengenal karakteristik kecacatan

45. Saya berpikir bahwa pelatihan dan sosialisasi sangat diperlukan untuk mengajar secara efektif di kelas inklusi

46. Saya menenangkan siswa berkebutuhan khusus ketika mereka melakukan tindakan yang tidak diinginkan 47 Saya merasa senang ketika melihat siswa berkebutuhan

khusus memiliki kemajuan dalam belajar

48. Saya khawatir ketika harus memberikan layanan khusus terhadap siswa berkebutuhan khusus

49. Saya merasa senang dengan adanya modifikasi di sekolah untuk memenuhi kebutuhan tiap siswa berkebutuhan khusus

50. Saya tidak senang untuk memberikan pengulangan disetiap intruksi tugas di kelas dan pekerjaan rumah 51. Saya merasa terganggu saat siswa berkebutuhan khusus

lambat dalam merespon materi pelajaran

52. Saya menggunakan alat penilain yang sesuai dengan tujuan pembelajaran dan materi ajar sebagaimana yang sudah disusun dalam PPI (program pembelajaran individu)

53. Saya berpikir bahwa siswa berkebutuhan khusus adalah individu yang menarik

54. Saya berpikir bahwa asesmen awal sangat dibutuhkan untuk mengetahui karakteristik kecacatan dan kebutuhan belajar siswa berkebutuhan khusus

55. Saya menggunakan bahasa yang benar dan tepat dalam pembelajaran pada siswa berkebutuhan khusus

56. Saya bekerjasama dengan guru pendamping khusus dalam melakukan asesemen awal

57. Saya memberikan bimbingan tambahan untuk kemajuan siswa berkebutuhan khusus

58. Saya merasa tidak perlu memberikan evaluasi materi pengajaran

59. Saya berhati-hati dalam memberikan label terhadap siswa yang mengalami ketidakmampuan

(42)

33

LAMPIRAN 3

(43)

34

Gambar

Tabel 8
Tabel 3.  Deskripsi Sikap Guru Terhadap Siswa Berkebutuhan Khusus
Tabel 4. Hasil Analisa Uji Independen Sample t-Test Perbedaan Sikap Guru yang
Tabel 5. Hasil Analisa Sikap Guru Terhadap Siswa Berkebutuhan Khusus ditinjau
+2

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengembangan olahan susu kambing sangat pospektif karena susu kambing memiliki kadar protein yang tinggi dan kadar lemak yang

sebanyak 13 sampel susu yang dijual pada kedai susu dalam radius 2 kilometer dari titik terluar kampus Institut Pertanian Bogor Dramaga dan Cilibende antara jam

Pengujian proporsional + integral + derivatif pada PID dilakukan dengan mengganti nilai konstanta dari integral, menggunakan nilai konstanta proporsional +

Bukti audit adalah segala informasi yang mendukung angka-angka atau informasi lain yang disajikan dalam laporan keuangan, yang dapat digunakan oleh auditor sebagai dasar yang

Seperti halnya Holsti, definisi yang luas mengenai politik luar negeri juga diberikan oleh Christoper Hill yang mengatakan politik luar negeri sebagai jumlah hubungan luar resmi

Pada awal terjadinya aksi penyerangan oleh hacker Indonesia (AnonIndo), secara umum hacker Australia yang tergabung dalam Anonymous Australia masih memaklumi

Konflik dapat juga berakibat stresss yang secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap kepuasan kerja karyawan, tujuan serta Semangat Kerja karyawan di dalam

Alat tangkap merupakan pemicu konflik di Tembeling dan Senggarang, terjadi pelanggaran daerah penangkapan ikan yang menyebabkan konflik dengan nelayan setempat, Nelayan