• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Skor The International Society For Thrombosis and Haemostasis DIC (Disseminated Intravascular Coagulation) Terhadap Angka Kejadian DIC (Disseminated Intravascular Coagulation) pada Pasien Eklamsia di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Skor The International Society For Thrombosis and Haemostasis DIC (Disseminated Intravascular Coagulation) Terhadap Angka Kejadian DIC (Disseminated Intravascular Coagulation) pada Pasien Eklamsia di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

Tesis Magister

HUBUNGAN SKOR THE INTERNATIONAL SOCIETY FOR THROMBOSIS AND HAEMOSTASIS DIC (DISSEMINATED INTRAVASCULAR COAGULATION) TERHADAP

ANGKA KEJADIAN DIC (DISSEMINATED INTRAVASCULAR COAGULATION) PADA PASIEN EKLAMSIA DI RUMAH SAKIT HAJI ADAM MALIK MEDAN

OLEH :

M. ARIEF SIREGAR

PEMBIMBING :

1. Dr. dr. Sarma N. Lumbanraja, SpOG (K) 2. dr. Dudy Adiansyah, M.ked (OG), SpOG

PEMBANDING :

1. dr. Henry Salim Siregar, SpOG (K) 2. dr. Risman F. Kaban, M.ked (OG), SpOG 3. dr. Iman Helmi Effendi, M.ked (OG), SpOG (K)

(2)

PENELITIAN INI DIBAWAH BIMBINGAN TIM 5

Pembimbing :

Dr. dr. Sarma N Lumbanraja, SpOG.K

dr. Dudy Aldiansyah, M.Ked (OG), SpOG

Penyanggah :

dr. Henry Salim Siregar, SpOG.K

dr. Risman F Kaban, M.Ked (OG), SpOG

dr. Iman Helmi Effendi, M.Ked (OG), SpOG.K

Diajukan untuk melengkapi dan memenuhi syarat

menyelesaikan Program Pendidikan Magister

(3)

KATA PENGANTAR

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.

Segala puji dan syukur Saya panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat

dan hidayah-Nya penulisan tesis ini dapat diselesaikan.

Tesis ini disusun untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran dalam bidang Obstetri dan Ginekologi.

Sebagai manusia biasa Saya menyadari bahwa tesis ini banyak kekurangannya dan

masih jauh dari sempurna, namun demikian besar harapan Saya kiranya Tesis ini

dapat bermanfaat dalam menambah perbendaharaan bacaan khususnya tentang :

“Hubungan Skor The International Society For Thrombosis And Haemostasis DIC (Disseminated Intravascular Coagulation) Terhadap Angka Kejadian DIC

(Disseminated Intravascular Coagulation) Pada Pasien Eklamsia Di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan”

Dengan selesainya laporan penelitian ini, perkenankanlah Saya menyampaikan rasa

terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Syahril Pasaribu, DTM&H

(CTM&H), SpA(K) dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera

Utara, Prof. Dr. Gontar Alamsyah Siregar, SpPD (KGEH), yang telah

memberikan kesempatan kepada Saya untuk mengikuti Program Pendidikan

Magister di Fakultas Kedokteran USU Medan

2. Ketua Departemen Obstetri dan Ginekologi FK-USU Medan, Prof. Dr. Delfi

(4)

FK-Program Studi Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi FK-USU Medan, dr.

Henry Salim Siregar, SpOG (K); Sekretaris Program Studi Dokter Spesialis

Obstetri dan Ginekologi FK-USU Medan, dr. M. Rhiza Z. Tala, M.Ked(OG),

SpOG (K); Prof. Dr. M. Jusuf Hanafiah, SpOG (K); Prof. Dr. Djafar Siddik,

SpOG (K); Prof. Dr. dr. M. Thamrin Tanjung, SpOG (K); Prof. Dr.

Hamonangan Hutapea, SpOG (K); Prof. Dr. R. Haryono Roeshadi, SpOG (K);

Prof. Dr. T. M. Hanafiah, SpOG (K); Prof. Dr. Budi R. Hadibroto, SpOG (K);

Prof. Dr. M. Fauzie Sahil, SpOG(K); Prof. Dr. Daulat H. Sibuea, SpOG (K);

yang telah bersama-sama berkenan menerima Saya untuk mengikuti

pendidikan magister di Departemen Obstetri dan Ginekologi.

3. Khususnya kepada Prof. Dr. Delfi Lutan, MSc, SpOG (K); yang telah memberi

Saya kesempatan untuk dapat menempuh Program Pendidikan Magister di

Departemen Obstetri dan Ginekologi FK-USU. Saya ucapkan Terimakasih

yang tidak terhingga, semoga Allah SWT membalas kebaikan beliau.

4. Ketua Divisi Fetomaternal Obstetri dan Ginekologi, dr. Makmur Sitepu,

M.Ked(OG), SpOG(K), dan Sekretaris Divisi Fetomaternal Obstetri dan

Ginekologi, dr. Johny Marpaung, M.Ked(OG), SpOG, yang telah mengizinkan

Saya untuk melakukan penelitian tentang :

“Hubungan Skor The International Society For Thrombosis And Haemostasis DIC (Disseminated Intravascular Coagulation) Terhadap Angka Kejadian DIC

(Disseminated Intravascular Coagulation) Pada Pasien Eklamsia Di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan”

5. Dr. dr. Sarma N Lumbanraja, SpOG(K) dan dr. Dudy Aldiansyah, M.Ked(OG),

SpOG selaku pembimbing tesis Saya, bersama dr. Henry Salim Siregar,

(5)

M.Ked(OG), SpOG(K), selaku pembanding dan nara sumber yang penuh

dengan kesabaran telah meluangkan waktu yang sangat berharga untuk

membimbing, memriksa, dan melengkapi penulisan tesis ini hingga selesai.

6. Prof. dr. Budi R Hadibroto, SpOG(K) selaku Bapak Angkat Saya selama

menjalani masa pendidikan, yang telah banyak mengayomi, membimbing dan

memberikan nasehat yang bermanfaat kepada Saya selama dalam

pendidikan.

7. Kepada dr. Edy Ardiansyah, M.Ked (OG), SpOG selaku pembimbing

minirefarat Magister Saya yang berjudul: “Prolaps Puncak Vagina Paska Histerektomi”.

8. Seluruh Staf Pengajar Departemen Obstetri dan Ginekologi FK-USU Medan,

yang secara langsung telah banyak membimbing dan mendidik Saya sejak

awal hingga akhir pendidikan. Semoga Allah SWT membalas budi baik

Guru-guru Saya tersebut.

9. Kepada keluarga yang telah banyak meluangkan waktu dan tenaga dalam

membimbing saya dalam sejak awal pendidikan.

10. Direktur RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan kesempatan

dan sarana kepada Saya selama mengikuti pendidikan di Departemen

Obstetri dan Ginekologi.

11. Kepada dr. Surya Dharma sebagai pembimbing statistik yang telah

memberikan waktu dan tenaga dalam membantu dalam penyelesaian tesis

magister ini.

12. Kepada senior-senior Saya, dr. Teuku Rahmat Iqbal, SpOG; dr. T.M. Rizki,

SpOG; dr. Mulda, SpOG,; dr. Sim Romi, SpOG; dr. Tomy, SpOG; dr. Simon

(6)

Dwi Faradina, Mked(OG), SpOG; dr. Hj. Dessy Hasibuan, SpOG; dr. Rony P.

Bangun, SpOG; dr. Alim Sahid, SpOG; dr. Ilham Sejahtera L., SpOG; dr. Nur

Aflah, SpOG; dr. Yusmardi, SpOG; dr. Gorga W. Udjung, SpOG; dr. Siti S.

Sylvia, SpOG; dr. Anggia Melanie L., SpOG; dr.Maya Hasmita, SpOG; dr.

David Luther, SKM, Mked(OG), SpOG; dr. Riza H. Nasution, SpOG; dr. Lili

Kuswani, SpOG;dr. M. Ikhwan, SpOG; dr. Edward Muldjadi, SpOG; dr. Ari

Abdurrahman Lubis, SpOG; dr. Zilliyadein R., SpOG; dr. Benny J., SpOG; dr.

M. Rizki Yaznil, Mked(OG), SpOG; dr. Yuri Andriansyah, SpOG; dr. T. Jeffrey

A., SpOG; dr. Made S. Kumara, SpOG; dr. Sri Jauharah L., SpOG; dr. M.

Jusuf Rahmatsyah, Mked(OG), SpOG; dr. Boy P. Siregar, SpOG; dr. Hedy

Tan, dr. Glugno Joshimin F,dr. Firman A, SpOG; dr. Aidil A., SpOG; dr. Rizka

H., SpOG; dr. Hatsari, SpOG; dr. Andri P. Aswar, SpOG; dr. Alfian, SpOG; dr.

Errol, SpOG; dr. T. Johan A., Mked(OG) , SpOG; dr. Tigor P. H., Mked(OG),

SpOG; dr. Elvira M.S., Mked(OG), SpOG; dr. Hendry A.S., Mked(OG), SpOG;

dr. Heika NS, Mked(OG), SpOG; dr. Riske E.P.; dr. Ali Akbar, Mked(OG),

SpOG; dr. Arjuna S, Mked(OG), SpOG; dr. Janwar S, Mked(OG), SpOG; dr.

Irwansyah P, Mked(OG), SpOG; dr.UlfahW.K., Mked(OG), SpOG; dr. Ismail

Usman, Mked(OG), SpOG; dan dr. Aries M. dr.Hendri Ginting, Mked(OG)

SpOG; dr. Robby P; dr. Meity Elvina, Mked(OG) SpOG; dr.M. Yusuf,

Mked(OG), SpOG; dr. Dany Aryani, Mked(OG), SpOG; dr. Fatin, Mked(OG),

SpOG Saya berterima kasih atas segala bimbingan, bantuan dan

dukungannya yang telah diberikan selama ini.

13. Kepada sahabat-sahabat saya se-angkatan: dr.Pantas S Siburian; dr. Morel

(7)

Rizki P Y; dr. Ferdiansyah P Hrp; dr. Yudha S; dr. Henry Gun, terima kasih

untuk kebersamaan dan kerjasamanya selama pendidikan hingga saat ini.

14. Rekan-rekan PPDS yang sangat baik: dr. Hiro Hidaya Nst, dr. Ray Barus, dr.

M. Rizal S, dr. Ika Sulaika, dr. Hotbin, dr. Julita, dr. Edward, dr. Edy R, dr.

Erwin Hrp, dr. A.Rohim, dr. Kiko M, dr. Anindita, dr. Wahyu Wibowo, dr.

Novrial, dr. Reni, dr. Johan Ricardo, dr. Juhriyani M, dr. Yufi, dr.

Arvitamuriany, dr. S. Djaganata, dr. Wahyu Utomo, dr. Trisna, dr. Indra, dr.

Sugeng, dr. Eva M, dr. Andrian, dr. Heikal, dr. Putra, dr. Irsyat, dr. Ahmad

Syafiq, dr. Dalmi, dr. Yusrizal, dr. Irfan H, dr. Azano S Sitepu, dr. Luthfi A, dr.

Citra Lestari, dr. Annisa F Hsb, dr. Henry S, dr. Marissa, dr. Dahler, dr. Irvan

Arifianto, dr. Zulkarnaen T, dr. T.Ebta M, dr. Dyah Nurvita, dr. Devi, dr.

Isnayu, dr. Syauki, almh. dr. Kartika, khususnya kepada dr. Iman Syahputra,

dr. Hamima, dr. Tony Simarmata, dan dr. Qisthi Aufa Lbs. Terima kasih atas

kebersamaan, dorongan semangat dan doa yang telah diberikan selama ini.

Kepada teman-teman PPDS lain yang tidak dapat saya sebutkan

satu-persatu, saya ucapkan terima kasih.

15. Kepada almh. Ibu Hj. Asnawati Hsb, Ibu Hj. Sosmalawaty, Ibu Zubaedah,

Mimi, Fina, Anggi, dan seluruh Pegawai di lingkungan Departemen Obstetri

dan Ginekologi RSUP H. Adam Malik Medan terima kasih atas bantuan dan

dukungannya.

16. Dokter muda, Bidan, Paramedis, karyawan/karyawati, serta para pasien di

Departemen Obstetri dan Ginekologi FK-USU/RSUP. H. Adam Malik yang

dari padanya Saya banyak memperoleh pengetahuan baru, terima kasih atas

kerja sama dan saling pengertian yang diberikan kepada Saya sehingga

(8)

Tiada kata yang dapat Saya ucapkan selain rasa syukur kepada Allah SWT

dan sembah sujud serta terima kasih yang tidak terhingga Saya sampaikan

kepada kedua orangtua Saya yang sangat Saya cintai, Ayahanda dr. Anwar

Siregar, SpOG dan ibunda Hj. Nazliah Nasution yang telah membesarkan,

membimbing, mendoakan, serta mendidik Saya dengan penuh kesabaran dan

kasih sayang dari sejak kecil hingga kini, memberi contoh yang baik dalam

menjalani hidup serta memberikan motivasi dan semangat kepada Saya selama

mengikuti pendidikan ini. Kepada ketiga saudara kandung Saya, Kakanda:

Masita Sari Siregar, SE.Ak ; M. Andri Siregar, ST; Maulida Sari Siregar, Amd;

terima kasih atas bantuan, dorongan semangat dan doa kepada Saya selama

menjalani pendidikan

Kepada Istri tercinta, dr. Marlina, dan buah hati kami, M. Arkan Rifki Siregar,

yang merupakan inspirasi dan pendorong motivasi Saya dalam menyelesaikan

pendidikan saya selama ini. Semoga ilmu yang Saya peroleh dapat memberikan

manfaat kepada kita semua.

Akhirnnya kepada seluruh keluarga handai taulan yang tidak dapat Saya

sebutkan namanya satu persatu, baik secara langsung maupun tidak langsung,

yang telah banyak memberikan bantuan, baik moril maupun materil, Saya

ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada

kita semua. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.

Medan, Juli 2013

(9)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...iii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR TABEL ... xiii

ABSTRAK...xiv

2.1.3. Onset Terjadinya Eklamsia ... 6

2.1.4. Patologi Serebral pada Eklamsia ... 7

2.1.5. Keluaran Maternal dan Perinatal ... 8

2.2. Disseminated intravascular coagulation( DIC ) ... 9

2.2.1. Definisi ... 9

2.2.2. Insidensi ... 10

2.2.3. Patogenesis DIC ... 10

2.2.3.1. Terjadinya keadaan Hipertrombinemia ... 11

2.2.3.2. Aktivasi Antikoagulan Physiologic ... 11

2.2.3.3. Pengaruh Fibrinolisis pada kejadian DIC ... 12

(10)

2.2.5. DIC yang terkait dengan kejadian emboli air ketuban ... 15

2.2.6. DIC yang terkait dengan kejadian Abrupsio plasenta ... 16

2.2.7. Menegakkan Diagnosa DIC ... 18

2.2.7.1. Pemeriksaan Fisik ... 19

2.2.7.2. Diagnosa laboratorium ... 19

2.2.7.3. Pemeriksaan untuk koagulasi ... 21

2.2.8. Perubahan koagulasi, antikoagulasi, dan protein fibrinolitik ... 21

2.2.9. Kaskade Koagulasi dan Fibrinolisis ... 22

2.2.10. Tatalaksana ... 24

2.2.10.1. Pemberian Obat – obatan ... 26

2.2.10.2. Tatalaksana Perdarahan pada DIC ... 30

2.2.10.3. Terapi Potensial yang lain pada DIC ... 33

2.3. Kerangka Teori ... 34

2.4.. Kerangka Konsep...35

BAB III. Metode Penelitian ... 36

3.1. Rancangan Penelitian ... 36

3.1.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 36

3.1.2. Populasi dan Sampel Penelitian ... 36

3.1.3. Kriteria Penerimaan dan Penolakan Sampel ... 37

3.1.4. Prosedur Kerja ... 37

3.1.5. Variabel Penelitian ... 37

3.1.6. Analisis dan Interpretasi ... 38

3.1.7. Batasan Operasional ... 38

BAB IV. Hasil Penelitian dan Pembahasan ... 40

4.1. Karakteristik Umum Subjek Penelitian ... 40

4.2. Frekuensi DIC Pada Pasien Eklamsia ... 41

4.3. Frekuensi Mortalitas Maternal Pada Pasien Eklamsia Berdasarkan Nilai Skor DIC ... 42

4.4. Frekuensi Mortalitas Maternal Berdasarkan Kejadian DIC Pada Pasien Eklamsia ... 43

(11)

BAB V. Kesimpulan dan Saran ... 46

5.1. Kesimpulan ... 46

5.2. Saran ... 46

DAFTAR PUSTAKA ... 48

(12)

DAFTAR GAMBAR

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Terapi Pengganti untuk pasien dengan gejala DIC ... 28 Tabel 2. Karakteristik Umum Subjek Penelitian ... 40

Tabel 3.Frekuensi DIC Pada Pasien Eklamsia ... 41

(14)

HUBUNGAN SKOR THE INTERNATIONAL SOCIETY FOR THROMBOSIS AND HAEMOSTASIS DIC (DISSEMINATED INTRAVASCULAR COAGULATION)

TERHADAP ANGKA KEJADIAN DIC (DISSEMINATED INTRAVASCULAR COAGULATION) PADA PASIEN EKLAMSIA DI

RUMAH SAKIT HAJI ADAM MALIK MEDAN Siregar MA

Departemen Obstetri dan Ginekologi ,Lumbanraja S, Aldiansyah D.

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Medan, Indonesia, Juni 2013

ABSTRAK

LATAR BELAKANG: Kehamilan normal berhubungan dengan perubahan komponen hemostasis, yang akan meningkatkan resiko terjadinya DIC. Resiko terjadinya DIC meningkat pada pasien eklamsia dan merupakan salah satu penyebab mortalitas maternal yang harus diantisipasi . Sistem skoring dari The International Society for Thrombosis and Haemostasis (ISTH) memberikan penilaian objektif untuk DIC.

METODE: Penelitian ini dirancang sebagai suatu penelitian analitik observasional dengan desain studi retrospektif, untuk melihat penerapan skoring DIC terhadap angka kejadian DIC pada pasien eklamsia. Populasi sampel meliputi ibu hamil dengan diagnosa eklamsia di RSUP H. Adam Malik Medan yang memenuhi kriteria inklusi. Cara pengambilan sampel adalah secara retrospektif dengan membuka Rekam Medis pasien yang didiagnosa dengan eklamsia dan memenuhi kriteria inklusi.

HASIL: Pada pasien eklamsia dengan skor DIC < 5, sebanyak 41 pasien (91,1%), tidak ada yang didiagnosa dengan DIC secara klinis. Sedangkan pada pasien eklamsia dengan skor DIC ≥ 5, sebanyak 4 pasien (8,8%), 2 orang didiagnosa dengan DIC secara klinis (4,4%).(p value = 0,006)

KESIMPULAN: Terdapat hubungan yang signifikan antara skor DIC dan diagnosa klinis DIC. (p value = 0,006)

(15)

ASSOCIATION BETWEEN THE INTERNATIONAL SOCIETY FOR THROMBOSIS AND HAEMOSTASIS DIC (DISSEMINATED INTRAVASCULAR COAGULATION) SCORING AND THE INCIDENCE OF DIC (DISSEMINATED INTRAVASCULAR

COAGULATION) IN ECLAMPSIA PATIENTS AT HAJI ADAM MALIK GENERAL HOSPITAL MEDAN

Siregar MA

Department of Obstetric And Gynecology ,Lumbanraja S, Aldiansyah D.

Medical Faculty Universitas Sumatera Utara

Medan, Indonesia, July 2013

ABSTRACT

BACKGROUND: Normal pregnancy is associated with changes in hemostatic component, which increases the risk of DIC. Risk of DIC also increases in eclamptic patient and is one of the cause of maternal mortality which must be anticipated. Scoring system from The International Society for Thrombosis and Haemostasis (ISTH) gives objective assesment for DIC.

METHOD: This study is an observational analysis with retrospective study design, to observe the application of DIC scoring on the incidence of DIC in patients with eclampsia. Sample population includes pregnant women with eclampsia in H. Adam Malik Medan General Hospital and met the inclusion criteria. Sampling was performed retrospectively by examining Medical Records of the patients diagnosed with eclampsia and met the inclusion criteria

RESULT: In eclampsia patient with DIC score <5, as many as 41 patients (91,1%), none have been clinically diagnosed with DIC. Whereas, in eclampsia patients with DIC score ≥5, as many as 4 patients (8,8%), 2 was clinically diagnosed with DIC (4,4%).(p value = 0,006)

CONCLUSION: There is a significant correlation between DIC score and clinical diagnosis of DIC. (p value = 0,006)

(16)

HUBUNGAN SKOR THE INTERNATIONAL SOCIETY FOR THROMBOSIS AND HAEMOSTASIS DIC (DISSEMINATED INTRAVASCULAR COAGULATION)

TERHADAP ANGKA KEJADIAN DIC (DISSEMINATED INTRAVASCULAR COAGULATION) PADA PASIEN EKLAMSIA DI

RUMAH SAKIT HAJI ADAM MALIK MEDAN Siregar MA

Departemen Obstetri dan Ginekologi ,Lumbanraja S, Aldiansyah D.

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Medan, Indonesia, Juni 2013

ABSTRAK

LATAR BELAKANG: Kehamilan normal berhubungan dengan perubahan komponen hemostasis, yang akan meningkatkan resiko terjadinya DIC. Resiko terjadinya DIC meningkat pada pasien eklamsia dan merupakan salah satu penyebab mortalitas maternal yang harus diantisipasi . Sistem skoring dari The International Society for Thrombosis and Haemostasis (ISTH) memberikan penilaian objektif untuk DIC.

METODE: Penelitian ini dirancang sebagai suatu penelitian analitik observasional dengan desain studi retrospektif, untuk melihat penerapan skoring DIC terhadap angka kejadian DIC pada pasien eklamsia. Populasi sampel meliputi ibu hamil dengan diagnosa eklamsia di RSUP H. Adam Malik Medan yang memenuhi kriteria inklusi. Cara pengambilan sampel adalah secara retrospektif dengan membuka Rekam Medis pasien yang didiagnosa dengan eklamsia dan memenuhi kriteria inklusi.

HASIL: Pada pasien eklamsia dengan skor DIC < 5, sebanyak 41 pasien (91,1%), tidak ada yang didiagnosa dengan DIC secara klinis. Sedangkan pada pasien eklamsia dengan skor DIC ≥ 5, sebanyak 4 pasien (8,8%), 2 orang didiagnosa dengan DIC secara klinis (4,4%).(p value = 0,006)

KESIMPULAN: Terdapat hubungan yang signifikan antara skor DIC dan diagnosa klinis DIC. (p value = 0,006)

(17)

ASSOCIATION BETWEEN THE INTERNATIONAL SOCIETY FOR THROMBOSIS AND HAEMOSTASIS DIC (DISSEMINATED INTRAVASCULAR COAGULATION) SCORING AND THE INCIDENCE OF DIC (DISSEMINATED INTRAVASCULAR

COAGULATION) IN ECLAMPSIA PATIENTS AT HAJI ADAM MALIK GENERAL HOSPITAL MEDAN

Siregar MA

Department of Obstetric And Gynecology ,Lumbanraja S, Aldiansyah D.

Medical Faculty Universitas Sumatera Utara

Medan, Indonesia, July 2013

ABSTRACT

BACKGROUND: Normal pregnancy is associated with changes in hemostatic component, which increases the risk of DIC. Risk of DIC also increases in eclamptic patient and is one of the cause of maternal mortality which must be anticipated. Scoring system from The International Society for Thrombosis and Haemostasis (ISTH) gives objective assesment for DIC.

METHOD: This study is an observational analysis with retrospective study design, to observe the application of DIC scoring on the incidence of DIC in patients with eclampsia. Sample population includes pregnant women with eclampsia in H. Adam Malik Medan General Hospital and met the inclusion criteria. Sampling was performed retrospectively by examining Medical Records of the patients diagnosed with eclampsia and met the inclusion criteria

RESULT: In eclampsia patient with DIC score <5, as many as 41 patients (91,1%), none have been clinically diagnosed with DIC. Whereas, in eclampsia patients with DIC score ≥5, as many as 4 patients (8,8%), 2 was clinically diagnosed with DIC (4,4%).(p value = 0,006)

CONCLUSION: There is a significant correlation between DIC score and clinical diagnosis of DIC. (p value = 0,006)

(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perubahan fisiologis selama kehamilan akan mempengaruhi koagulasi dan

sistem fibrinolitik. Banyak faktor pembekuan yang meningkat dan faktor anti

pembekuan menurun menyebabkan terpacunya koagulasi dan menurunnya

fibrinolisis. Koagulapati yang telah terjadi sebelumnya akan mempengaruhi

kehamilan dan koagulopati alami juga akan berubah karena kehamilan. Perubahan

status koagulasi akan berpengaruh pada cara pelahiran maupun teknik anastesi

terutama pada penderita gangguan hipokoagulopati.1

Kehamilan juga dihubungkan dengan perubahan besar dari metode

hemostasis seperti meningkatnya sebagian besar faktor pembekuan, menurunnya

antikoagulan alami dan menurunnya aktifitas fibrinolitik. Perubahan ini akan semakin

jelas pada saat persalinan.2

Kehamilan normal berhubungan dengan komponen hemostasis, yang akan

meningkatkan resiko perdarahan , trombosis, dan DIC (Disseminated Intravascular

Coagulation). 3

Menurut Morikawa dkk (2006), selama kehamilan normal, koagulasi dan

fibrinolisis secara bersamaan meningkat dan tetap stabil untuk menjaga proses

hemostasis. Hal ini bahkan terjadi lebih luas pada kehamilan kembar. Waktu

pembekuan darah secara keseluruhan, tidak berbeda secara signifikan pada wanita

hamil normal. 4

Pada kasus obstetri, DIC cenderung terjadi pada keadaan berikut ini: emboli

(19)

enzymes, and low platelet count (HELLP) sindrom, sindrom kematian janin dalam

kandungan yang berlangsung lama (retained fetus syndrome), sisa konsepsi yang

tertinggal,dan abortus. 5

Jika seorang wanita mengalami eklamsia, kemungkinan wanita tersebut untuk

mengalami trombositopenia secara khusus adalah 18%, dan kemungkinan untuk

mengalami DIC sekitar 11%, dan untuk mengalami HELLP sindrom adalah sekitar

15%. Wanita dengan preeklamsia-eklamsia yang mengalami gangguan koagulasi

(trombositopenia, HELLP, atau DIC) , memiliki angka kematian sekitar 16% sampai

50%, angka kematian bayi mencapai 40% bahkan lebih.6,7

Sekitar 16% preeklamsia dan eklamsia akan mengalami solusio plasenta,

yang akan meningkatkan kemungkinan terjadinya DIC dan kematian ibu dan janin.

Pada kasus eklamsia DIC terjadi terbatas pada mikrosirkulasi ginjal dan plasenta,

walaupun begitu setidaknya 10%-15% wanita akan berkembang menjadi sistemik

dan luas.5,6

Hal yang terpenting dalam menegakkan diagnosis DIC adalah sistem skoring

yang berdasarkan pengujian yang dapat dilakukan dengan cepat serta siap untuk

digunakan. Sistem skoring ini akan memungkinkan penegakan diagnosa lebih baik

dan menjadi standar referensi untuk keperluan diagnostik maupun terapeutik. Untuk

overt DIC, disarankan untuk menggunakan skor kumulatif 5 atau lebih dari

Prothrombin Time (PT) yang memanjang, kadar fibrinogen dan trombosit yang

berkurang, serta meningkatnya marker-marker yang terkait fibrin.7

Bakhtiari et al (2004) menemukan sensitivitas sebesar 91% dan spesifisitas

sebesar 97% dengan skor DIC menurut International Society of Thrombosis and

Hemostasis (ISTH).8 Sehubungan dengan relevansi terapeutik, analisa retrospektif

(20)

fibrinogen, mendapatkan hasil yang menggarisbawahi kekuatan prognostik skor DIC

menurut ISTH.9,10

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, penulis ingin mengetahui hubungan

antara nilai skor DIC menurut International Society of Thrombosis and Hemostasis

(ISTH) dengan angka kejadian DIC pada pasien eklamsia di RSUP H. Adam Malik

Medan. Data yang didapat nantinya diharapkan dapat mendukung sistem skoring

DIC menurut ISTH untuk dapat digunakan secara rutin sebagai alat diagnostik DIC,

terutama pada pasien-pasien eklamsia.

1.2. Rumusan Masalah

Sesuai dengan latar belakang di atas, peneliti ingin mengetahui bagaimana

hubungan antara skor DIC menurut International Society of Thrombosis and

Hemostasis (ISTH) dengan angka kejadian DIC pada pasien eklamsia di RSUP H.

Adam Malik Medan.

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk melihat hubungan skor DIC berdasarkan skoring sistem DIC terhadap

angka kejadian DIC pada penderita eklamsia.

1.3.2. Tujuan Khusus

- Mengetahui karakteristik pasien penderita eklamsia berdasarkan o Kelompok umur

o Paritas

(21)

o Tingkat pendidikan

o Usia Kehamilan

- Mengetahui frekuensi terjadinya DIC pada pasien-pasien eklamsia. - Mengetahui frekuensi mortalitas maternal pada pasien eklamsia

berdasarkan nilai skor DIC.

- Mengetahui perbandingan nilai skor DIC pada pasien eklamsia dengan DIC dan tanpa DIC.

- Frekuensi mortalitas maternal berdasarkan kejadian DIC pada pasien eklamsia.

1.4. Manfaat Penelitian

Data yang didapat nantinya diharapkan dapat mendukung sistem skoring DIC

menurut ISTH untuk dapat digunakan secara rutin sebagai alat diagnostik DIC,

terutama pada pasien-pasien eklamsia di RSUP H. Adam Malik Medan. Sehingga

dapat mendukung tujuan untuk menurunkan angka mortalitas maternal di Indonesia

(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Eklamsia

Eklamsia didefinisikan sebagai terjadinya kejang dan / atau koma yang tidak

dapat dijelaskan selama kehamilan atau setelah melahirkan pada pasien dengan

tanda dan gejala preeklamsia. Di dunia Barat, kejadian eklamsia dilaporkan berkisar

1 dalam 3.448 kehamilan. 1-3 insiden yang dilaporkan biasanya lebih tinggi di

pusat-pusat rujukan tersier, pada kehamilan multifetal, dan pada populasi tanpa prenatal

care.12,13,14

2.1.1. Patofisiologi

Patogenesis kejang pada eklamsia terus menjadi subyek penyelidikan dan

spekulasi yang ekstensif. Beberapa teori dan mekanisme telah diimplikasikan

sebagai faktor etiologi yang mungkin, namun tidak satupun yang terbukti secara

meyakinkan. Beberapa mekanisme etiologi yang terlibat dalam patogenesis kejang

pada eklamsia telah menyertakan vasokonstriksi serebral atau vasospasme

ensefalopati hipertensi, edema serebral atau infark, pendarahan otak, dan

ensefalopati metabolik. Namun, tidak jelas apakah temuan ini adalah penyebab atau

efek dari kejang.14

2.1.2. Diagnosis

Diagnosis eklamsia dapat dipastikan dengan adanya hipertensi, proteinuria,

dan kejang. Hipertensi dianggap sebagai ciri khas untuk diagnosis eklamsia.

(23)

110 mm Hg diastolik) di 20-54% dari kasus atau ringan (tekanan darah sistolik

antara 140 dan 160 mm Hg atau tekanan darah diastolik antara 90 dan 110 mm Hg)

pada 30-60% dari kasus. Selain itu, hipertensi berat lebih sering terjadi pada pasien

yang mengalami eklamsia antepartum (58%) dan mereka yang mengalami eklamsia

pada 32 minggu kehamilan atau sebelumnya (71%) .14

Diagnosis eklamsia biasanya dikaitkan dengan proteinuria (setidaknya +1

pada dipstick) . Beberapa gejala klinis berpotensi membantu dalam penegakan

diagnosis eklamsia. Gejala-gejala ini dapat terjadi sebelum atau setelah onset

kejang, termasuk diantaranya sakit kepala oksipital atau frontal terus-menerus,

penglihatan kabur, fotofobia, nyeri epigastrium dan / atau kuadran kanan atas, dan

perubahan status mental. Pasien akan memiliki setidaknya satu dari gejala ini pada

59-75% dari kasus. Sakit kepala dilaporkan oleh 50-75% pasien, sedangkan

perubahan visual dilaporkan 19-32% dari pasien.14,15,16,17

2.1.3. Onset Terjadinya Eklamsia

Kejang eklamsia dapat terjadi antepartum, intrapartum, atau postpartum.

Frekuensi kejang antepartum yang dilaporkan dari penelitian terbaru berkisar dari

38% menjadi 53%. Frekuensi eklamsia postpartum berkisar dari 11% menjadi 44% .

Meskipun kebanyakan kasus eklamsia postpartum terjadi dalam 48 jam pertama,

beberapa kasus dapat terjadi setelah 48 jam postpartum dan terdapat satu kasus

yang dilaporkan pada 23 hari postpartum. Evaluasi neurologis luas diperlukan untuk

menyingkirkan adanya patologi serebral lain. Evaluasi ini harus mencakup

pemeriksaan neurologis, pencitraan otak, pengujian serebrovaskular, pungsi lumbal,

dan tes darah. Hampir semua kasus (91%) eklamsia berkembang pada atau setelah

(24)

(7,5%) atau 20 minggu kehamilan (1,5%). Mereka juga harus memiliki evaluasi

medis dan neurologis luas untuk menyingkirkan patologi lain seperti tumor otak,

ensefalitis, meningitis, pendarahan otak atau tromboangitis otak, trombotik

trombositopenia purpura, atau penyakit metabolik.14,17,18

Eklamsia postpartum lambat didefinisikan sebagai eklamsia yang terjadi pada

lebih dari 48 jam, tapi kurang dari 4 minggu, setelah persalinan. Pasien akan

memiliki tanda dan gejala yang konsisten dengan preeklamsia dengan disertai

kejang. Beberapa wanita akan menunjukkan gambaran klinis preeklamsia selama

persalinan atau segera setelah melahirkan (56%), sedangkan yang lain akan

menunjukkan temuan klinis untuk pertama kalinya lebih dari 48 jam setelah

melahirkan (44%). Maka, wanita yang mengalami kejang berhubungan dengan

hipertensi dan/atau proteinuria atau dengan nyeri kepala atau pandangan kabur

pada 48 jam setelah persalinan harus dipertimbangkan menderita eklamsia dan

diberikan pengobatan yang sesuai.14,17,18

2.1.4. Patologi Serebral Pada Eklamsia

Penyebab eklamsia tidak diketahui, dan masih banyak pertanyaan yang

belum terjawab tentang patogenesis dari manifestasi serebralnya. Diagnosis

eklamsia tidak tergantung pada temuan atau diagnosis neurologis klinis tunggal.

Tanda-tanda neurologis fokal seperti hemiparesis atau penurunan kesadaran jarang

terjadi seperti yang dilaporkan dari penelitian di negara-negara berkembang.

Walaupun pasien eklamsia biasanya menunjukkan manifestasi berbagai kelainan

neurologis, termasuk kebutaan kortikal, defisit motor fokal, dan koma. Sebagian

(25)

neurologis yang dijumpai biasanya hanya sementara hipoksia, iskemia, atau

edema.19

Secara umum, EEG (electroencephalography) dijumpai abnormal dalam

mayoritas pasien eklamsia, tetapi kelainan ini tidak patognomonis untuk eklamsia.

Atas dasar temuan pencitraan otak, perhatian telah diarahkan untuk hipertensi

ensefalopati sebagai model untuk kelainan sistem saraf pusat pada eklamsia. Ada

kegagalan autoregulasi aliran darah serebral normal pada pasien dengan hipertensi

ensefalopati dan pada pasien dengan eklamsia. Dua teori telah diusulkan untuk

menjelaskan kelainan otak : dilatasi paksa dan vasospasme. Teori dilatasi paksa

menunjukkan bahwa lesi pada eklamsia disebabkan oleh hilangnya autoregulasi

serebrovaskular. Pada peningkatan tekanan arteri, vasokonstriksi serebral yang

normal pada awalnya terjadi. Namun, ketika batas atas autoregulasi tercapai,

vasodilatasi serebral mulai terjadi, memungkinkan hiperperfusi lokal dengan edema

interstitial atau vasogenik. Menurut teori vasospasme, overregulasi otak terjadi

sebagai respons terhadap hipertensi berat akut dengan iskemia yang dihasilkan,

edema sitotoksik, dan infark. Singkatnya, sebagian besar wanita dengan eklamsia

akan memiliki bukti edema vasogenik pada pencitraan otak. Hal ini menunjukkan

bahwa hipertensi ensefalopati memainkan peran sentral dalam patogenesis kejang

pada eklamsia.14

2.1.5. Keluaran Maternal dan Perinatal

Meskipun eklamsia dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian ibu di

negara maju (0-1.8%), tingkat mortalitas adalah setinggi 14% di negara

berkembang. Angka kematian ibu yang tinggi yang dilaporkan dari negara-negara

(26)

sakit dan mereka yang tidak memeriksakan dirinya selama kehamilan. Selain itu,

tingkat kematian yang tinggi dapat dikaitkan dengan kurangnya sumber daya dan

fasilitas perawatan intensif yang dibutuhkan untuk mengelola komplikasi eklamsia.14

Risiko terbesar kematian ditemukan di antara wanita dengan kehamilan pada

atau sebelum 28 minggu usia kehamilan. Kehamilan yang diperberat oleh eklamsia

juga terkait dengan peningkatan angka morbiditas maternal, seperti solusio plasenta

(7-10%), DIC (7-11%), edema paru (3-5%), gagal ginjal akut (5-9%), aspirasi

pneumonia (2-3%), dan cardiopulmonary arrest (2-5%). Sindrom gangguan

pernapasan dewasa dan perdarahan intraserebral adalah komplikasi yang jarang

ditemui. Risiko DIC (8%), hemolisis, peningkatan enzim hati, HELLP syndrome

(10-15%), dan hematoma hati (1%) adalah serupa pada pasien eklamsia dan

preeklamsia berat. Penting untuk dicatat bahwa komplikasi maternal secara

signifikan lebih tinggi di antara perempuan yang mengalami eklamsia antepartum,

khususnya di antara mereka yang mengalami eklamsia jauh dari aterm.12,14,19

2.2. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) 2.2.1. Definisi

Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) adalah sindroma klinis yang

ditandai dengan aktivasi sitemik dari kaskade koagulasi secara terus menerus yang

mengarah pada pembentukan trombus intravaskular (berdampak pada suplai darah

ke berbagai organ) dan menurunnya trombosit dan faktor koagulasi (menyebabkan

perdarahan).20

Kitchens (2009) menyatakan bahwa DIC merupakan karakteristik yang terjadi

akibat aktivasi sistemik pembekuan intravaskular. DIC merupakan hasil fisiologis dari

(27)

2.2.2. Insidensi

Pada kasus kasus obstetri, seperti abrupsi plasenta dan emboli air ketuban,

DIC terjadi pada lebih dari 50% kasus. Pada keadaan preeklamsi berat DIC terjadi

pada 7% pasien.20

2.2.3. Patogenesis DIC

Patogenesis DIC sangat kompleks dan terpusat pada pembentukan trombin

secara in vivo. Komponen yang ikut berperan termasuk meningkatnya ekspresi dari

tissue factor, fungsi suboptimal sistem alami antikoagulan, disregulasi fibrinolisis dan

peningkatan kemampuan anionic phospholipid.22,23

(28)

2.2.3.1. Terjadinya keadaan Hipertrombinemia

Hal ini menunjukkan bahwa tissue factor (TF) pathway, lebih berperan dari

pada contact factor pathway, dalam terciptanya suatu keadaan hipertrombinemia

pada DIC, hal ini terlihat dalam suatu model eksperimental human endotoxemia.

Dalam keadaan endotoxin-induced DIC, peningkatan mediator tumor necrosis factor

(TNF) dan pelepasan interleukin (IL)-6 tidak menunjukkan perubahan apapun pada

contact system. Secara kontras, blokade TF/factor VIIa pathway memakai antibodi

monoclonal TF yang secara langsung menghambat pembentukan trombin dan

mencegah munculnya onset DIC. Aktivasi TF pathway bisa disebabkan oleh

kerusakan jaringan, yang terjadi akibat trauma berat, septikemia atau kanker.22

Trauma yang berat, merangsang pelepasan fospolipid jaringan, hal ini akan

mengaktivasi kaskade pembekuan. Sekali dikeluarkan, kompleks TF dan faktor VII,

akan diaktivasi oleh faktor Xa membentuk kompleks TF/VIIa. Kompleks TF/VIIa

mengaktifkan faktor IX dan X, menyebabkan pembentukan trombin. Trombin

memiliki peranan penting untuk mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Trombin lalu

mengaktifkan faktor V menjadi Va dan faktor VIII menjadi VIIIa, yang secara cepat

memacu pembentukan trombin.22

2.2.3.2. Aktivasi Antikoagulan Physiologic

Secara normal, kadar trombin diatur oleh anticoagulants antithrombin alami,

protein C, dan TF pathway inhibitor (TFPI). Antitrombin dan protein C cenderung

menurun dalam keadaan DIC. Kadar Antitrombin bisa menjadi lebih rendah akibat

pemakaian untuk mengurangi trombin. Sebagai tambahan, interaksi pelepasan

elastase dengan pelepasan neutrofil dalam keadaan septikemia, dan anoksia hepar

(29)

inhibitor penting lainnya, juga dapat menurun hal ini berhubungan dengan kebocoran

kapiler, berkurangnya sintesis akibat rusaknya hepar, dan/ atau pengurangan jumlah

trombomodulin di permukaan pembuluh darah (down-regulation). Hal ini terjadi

karena pelepasan TNF-α dan pro-inflammatory cytokines lainnya.23

2.2.3.3. Pengaruh Fibrinolisis pada kejadian DIC

Suatu penelitian eksperimental terhadap DIC yang disebabkan sepsis

menunjukkan peningkatan aktivitas fibrinolitik akibat pelepasan tissue plasminogen

activator (TPA) dari sel endotel. Hiperfibrinolisis yang terjadi diikuti oleh pelepasan

plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1) secara cepat, hal ini akan menekan

fibrinolisis, yang memiliki peran penting dalam patogenesis DIC. Mutasi dari

fungsional gen PAI-1 (4G/5G polymorphism) juga terjadi pada DIC. Mutasi ini

(30)

2.2.3.4. Aktivasi dan Pelepasan Inflammatory Cytokines dalam patogenesis

DIC

Hal ini membuktikan bahwa aktivasi sistem pembekuan yang secara tidak

langsung memicu kaskade inflamasi, karenanya hal ini secara bergantian memicu

sintesis pro-inflammatory cytokines sel endothelial. Cytokines dan mediator inflamasi

lainnya akan mengawali proses koagulasi. Inflammatory cytokine thrombin dan

serine protease lainnya berikatan dengan protease-activated receptors pada

permukaan sel, hal ini akan merangsang terjadinya inflamasi dan pembekuan.

Activated protein C (APC) telah diakui sebagai mediator respon anti inflamasi.

Respon ini didapatkan dengan penghambatan produksi TNF, IL-1β, IL-6, and IL-8

oleh endotoksin yang terbentuk. Karenanya, berkurangnya kadar protein C dapat

memicu bahkan menimbulkan suatu pro-inflammatory state, yang menimbulkan

reaksi koagulasi.23

Kebanyakan pasien DIC terdiagnosa lalu diterapi pada fase trombotik, dan

telah terjadi perdarahan (hipokoagulabilitas) pada kasus DIC akut maupun kronis.

Perdarahan hebat pada pasien DIC selalu terjadi setelah prosedur pencabutan gigi,

operasi panggul, aneurisma aorta, leukemia , dan penyakit lainnya. Perdarahan akut

yang hebat bisa terjadi pada pasien usia tua yang menderita DIC kronis.23

DIC, bisa juga digambarkan sebagai dua fase fenomena trombohemoragik,

keadaan trombosis terkadang memicu perdarahan. Kondisi klinis yang mendasari

keadaan DIC dapat menyebabkan hiperkoagulabilitas akibat aktivasi kaskade

koagulasi dengan penurunan antikoagulasi alami, pembentukan pro-inflammatory

cytokines, dan abnormalitas fibrinolytic pathway. Status hiperkoagulasi, jika

(31)

penggunaan, dan terkadang memicu terjadinya gangguan perdarahan (consumptive

coagulopathy).23

DIC akut hanya terjadi jika mekanisme kompensasi hemostasis yang normal

terjadi berlebihan. Aktivasi trombosit secara langsung pada keadaan septikemi dan

viremia. Aktivasi trombosit terjadi karena kerusakan endotel pembuluh darah diikuti

dengan pembentukan trombin melalui kaskade koagulasi. Kombinasi dari defisiensi

faktor koagulasi, trombositopenia, menurunnya fungsi trombosit, dan terhambatnya

aksi dari peningkatan FDPs (Fibrin Degragation Products), menimbulkan

kecenderungan untuk terjadinya perdarahan yang luas dan terus menerus.20

DIC kronik atau yang sudah berkompensasi merupakan hasil dari stimulasi

yang lemah atau pun berkurang. Pada beberapa pasien, penghancuran dan

timbulnya faktor koagulasi dan jumlah trombosit masih seimbang. 20

2.2.4. DIC yang terkait dengan kejadian preklamsia, eklamsia, dan HELLP sindrom 6,20

Preklamsia, eklamsia, dan HELLP sindrom sepertinya merupakan keadaan

progresif dari proses patofisiologi yang sama. Sayangnya, patofisiologinya sendiri

juga belum jelas. Hal ini semakin tidak jelas untuk proses kerusakan endotel yang

dapat mengaktivasi protein prokoagulan dan trombosit atau mungkin saja kerusakan

ini diawali oleh gangguan prokoagulan dan trombosit yang pada akhirnya akan

menghancurkan endotel; hal terakhir ini adalah keadaan yang lebih sering terjadi.

Jika seorang wanita mengalami eklamsia, kemungkinan wanita tersebut untuk

mengalami trombositopenia secara khusus adalah 18%, dan kemungkinan untuk

mengalami DIC sekitar 11%, dan untuk mengalami HELLP sindrom adalah sekitar

(32)

(trombositopenia, HELLP, atau DIC) , memiliki angka kematian sekitar 16% sampai

50%, angka kematian bayi mencapai 40% bahkan lebih.6

Sekitar 16% preeklamsia dan eklamsia akan mengalami solusio plasenta,

yang akan meningkatkan kemungkinan terjadinya DIC dan kematian ibu dan janin.

Pada kasus eklamsia DIC terjadi terbatas pada mikrosirkulasi ginjal dan plasenta,

walaupun begitu setidaknya 10%-15% wanita akan berkembang menjadi sistemik

dan luas.6

2.2.5. DIC yang terkait dengan kejadian Emboli Air Ketuban

Air ketuban mengandung struktur dengan aktivitas menyerupai tromboplastin

dalam jumlah tinggi, aktivitas prokoagulan ini meningkat seiring usia kehamilan. Air

ketuban juga memiliki aktifitas antifibrinolitik yang relatif kuat, seperti penghambatan

sistem fibrinolitik, aktifitas antifibrinolitik dari air ketuban ini juga meningkat seiring

kehamilan. Penghambatan fibrinolitik merupakan faktor predisposisi pasien DIC

untuk megalami fenomena trombotik yang luas karena penghambatan atau

penghentian respon fibrinolitik sekunder yang terjadi pada pasien DIC. Respon

fibrinolitik sekunder yang terjadi pada pasien DIC bertanggung jawab untuk proses

perdarahan akibat penghancuran plasmin oleh beberapa faktor pembekuan yang

juga menjaga sirkulasi tetap bebas dari bekuan darah (trombi).

Tidak diketahui apakah air ketuban memiliki efek langsung terhadap

pembuluh darah, atau efek ini terjadi akibat aktivasi dari prokoagulan dan trombosit.

Endothelin-1, vasokonstriktor dan bronkokonstriktor, tampaknya dilepaskan secara

sistemik dari skuamous sel pembuluh darah janin dan mungkin menambah

(33)

Aktivitas prokoagulan yang terkait dengan rasio lecithin/sphingomyelin (L/S)

air ketuban selama kehamilan. Air ketuban secara invitro akan meningkatkan

prothrombin time, aktivasi thromboplastin time parsial, the Russell's viper venom

time, dan menurunnya kadar faktor VII dalam plasma. Karenanya, fungsi air ketuban

sebagai total tromboplastin dan sebagai suatu pengganti aktivasi Tissue Factor. Air

ketuban mengaktivasi sistem prokoagulan secara langsung dengan aktivasi faktor X,

dengan ion kalsium dan faktor Xa. Faktor Xa adalah salah satu substansi

trombogenik yang telah diketahui. Faktor Xa, berperan dalam munculnya faktor V

dan sebagai penambahan fosfolipid (termasuk di permukaan air ketuban dan

trombosit), secara cepat akan mempengaruhi perubahan protrombin menjadi

trombin. Sekali trombin terbentuk, fibrinogen akan diubah menjadi fibrin. Pasien

yang mengalami emboli air ketuban akan mengalami pembentukan platelet-fibrin

mikrotrombi yang masuk ke dalam sirkulasi sistemik dan pulmoner. Sindroma DIC

dihubungkan dengan trombosis mikrosirkuler, tromboembolisme, dan perdarahan.6,24

2.2.6. DIC yang terkait dengan kejadian Solusio Plasenta

Pada solusio plasenta yang terjadi adalah enzim plasenta atau enzim

jaringan, termasuk prokoagulan dan struktur yang menyerupai tromboplastin,

mungkin masuk ke dalam uterus lalu beredar ke aliran darah ibu, dan mengaktivasi

sistem koagulasi. Mempercepat proses kelahiran dapat menekan berkembangnya

(34)

Kematian Janin Dalam Kandungan yang berlangsung lama (Retained fetus

syndrome)

Pada kasus sindroma kematian janin dalam kandungan yang lebih dari 5

minggu, kejadian DIC mendekati 50%. Kondisi awal biasanya DIC ringan yang

terkompensasi, yang lalu akan berkembang menjadi thrombohemorrhagic yang luas.

Pada keadaan ini jaringan nekrotik dari janin termasuk enzim yang terbentuk dari

jaringan nekrotik janin, masuk kedalam uterus lalu masuk ke sirkulasi ibu lalu secara

berlawanan mengaktivasi prokoagulan dan sistem fibrinolitik dan memicu DIC yang

hebat.6

Pada beberapa wanita, sindroma DIC muncul setelah persalinan.

Patofisiologinya belum diketahui secara pasti tetapi diduga dari tidak baiknya

vaskularisasi plasenta terjadinya iskemi plasenta akan menyebabkan pelepasan

thromboxanes, angiotension, procoagulant prostaglandins, endothelin-1 and tumor

necrosis factor-alpha (TNF-alpha) kedalam sirkulasi sistemik. Munculnya DIC

mengawali terjadinya mikro dan makrotrombi, yang akan mempengaruhi sirkulasi

plasenta, ovarium, ginjal, hepar, dan serebral. Trombus yang terbentuk akan

menyebabkan kerusakan endotel, microangiopathic hemolytic anemia, dan berbagai

derajat kegagalan organ yang terkena trombus. Kegagalan end-organ termasuk hati,

ginjal, dan paru, edema atau infark serebri. Ruptur hepar merupakan hal yang bisa

terjadi sewaktu-waktu bahkan dalam keadaan HELLP sindrom.6

Seperti yang telah dibahas dalam penatalaksanaan preklamsia, pemeriksaan

laboratorium awal untuk DIC sangat disarankan. Terapi biasanya dengan

mempercepat pelahiran, kontrol tekanan darah dan kontrol DIC, banyak yang

(35)

yang terbukti baik pada beberapa kasus. Kematian ibu biasanya terjadi akibat DIC

yang tidak terkontrol.6

Abortus

Beberapa pasien yang di abortus, dengan pemakaian larutan saline,

mengalami DIC. Pada beberapa kasus bahkan menjadi DIC yang hebat dan pada

kasus DIC ini terkompensasi sampai proses aborsi selesai.3,6

Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan dalam menegakkan diagnosa dan

untuk mengevaluasi pasien DIC, untuk melihat perubahan fungsi hemostasis dan

untuk menilai kondisi pasien secara keseluruhan. Pemeriksaan yang dilakukan

adalah skreening fungsi hemostasis, seperti prothrombin time (PT), activated partial

thromboplastin time (aPTT) atau jumlah trombosit, hasilnya akan menunjukkan

derajat penggunaan dan aktivasi faktor koagulasi. Sebagai tambahan, pembentukan

fibrin secara tidak langsung terpicu sebagai hasil penghancuran faktor koagulasi.11

2.2.7. Menegakkan Diagnosa DIC

Diagnosa utama : tidak ada pemeriksaan tunggal untuk penegakan diagnosa

DIC. DIC adalah hasil dari kombinasi keadaan berikut ini :

• Riwayat gangguan perdarahan, biasanya merupakan hasil sekunder untuk

beberapa kasus.

• Bukti klinis dari perdarahan yang dengan gambaran purpura ptechie dan mimisan

pada pemeriksaan fisik.

• Gambaran laboratorium yang klasik berupa trombositopenia (<100 x109/L),

pemanjangan PT (thrombin time), APTT (activated partial thromboplastin time),

(36)

2.2.7.1. Pemeriksaan Fisik

Dapat dilihat adanya perdarahan pada kulit seperti ptechie, ekimosis, dari

bekas suntikan atau tempat infus, atau pada mukosa, sering ditemukan pada DIC

akut. Perdarahan ini bisa juga masif dan membahayakan, misalnya pada traktus

gastrointestinal, paru, susunan saraf pusat, atau mata. Pasien dengan DIC kronik

umumnya hanya disertai sedikit perdarahan pada kulit dan mukosa.25

Trombosis mikrovaskular dapat menyebabkan disfungsi organ yang luas.

Pada kulit dapat berupa bula hemoragik, nekrosis akral, dan gangren. Trombosis

vena dan arteri besar dapat terjadi, tetapi relatif jarang. Disfungsi organ akibat

mikrotrombosis yang luas ini dapat berupa iskemia korteks ginjal, hipo1ksemia

hingga perdarahan dan acute respiratory distress syndrome (ARDS) pada paru serta

penurunan kesadaran. Disfungsi hati dengan ikterus dilaporkan terdapat pada

22-57% pasien dengan DIC.25

2.2.7.2. Diagnosa laboratorium

Pada DIC akut sangat penting untuk mengetahui gambaran hasil laboratorium

yang abnormal secara cepat dan akurat, sehingga kita dapat memberikan terapi

yang tepat. Keadaan hemostasis abnormal yang paling penting adalah pemanjangan

thrombin time, hipofibrinogenemia, dan trombositopenia. Kadar fibrinogen di bawah

100 x109/L, dan pemanjangan thrombin time melebihi dua kali nilai kontrol sudah

dapat menegakkan diagnosa, terutama bila dijumpai perdarahan secara nyata.2,27

- Pemeriksaan Laboratorium

(A) Pemeriksaan darah rutin : hasil hapusan darah yang menunjukkan adanya

(37)

seperti peningkatan kadar serum lactic acid dehydrogenase (LDH) dan

berkurangnya kadar heptoglobin. Trombositopenia merupakan tanda awal yang

selalu dijumpai pada DIC akut jumlah trombosit berkisar antara 50 sampai 1009/L

trombositopenia yang terjadi mungkin hebat.27

(B) gangguan koagulasi. Activated partial thromboplastin time (APTT), Prothrombin

time (PT), Thrombin time (TT) memanjang pada sebagian besar pasien DIC akut.

Pada awal gangguan dan DIC kronis, nilai APTT kemungkinan normal atau bahkan

lebih singkat dibanding nilai normalnya. Kadar fibrinogen dalam plasma dan kadar

faktor V dan XIII biasanya tampak menurun; fibrinogen dan faktor V biasanya akan

berubah secara bersamaan. Pada sebagian besar pasien terutama yang mengalami

solusio plasenta, kadar protrombin biasanya akan tetap normal, tetapi gambaran

hipoprotrombinemia akan terlihat pada keadaan sepsis. Pada pasien DIC kronis,

defisiensi protrombin jarang dijumpai, tetapi faktor X akan menurun jumlahnya.27

(C) Pemeriksan fibrinolisis: Aktivitas fibrinolitik menyebabkan peningkatan kadar

kompleks fibrin dan kadar FDPs dalam sirkulasi. Kadar di atas 100 μg/ml biasanya

dijumpai pada keadaan DIC akut (nilai normal <10 μg/ml). Immunological assays

untuk pemeriksaan antibodi monoklonal terhadap D-dimer lebih spesifik dibanding

dengan pemeriksaan umum lainnya. Hasil false positive bisa dijumpai pada FDPs.

Pemeriksaan FDPs tidak bisa untuk mendiagnosa DIC, karena kadarnya meningkat

pada 85-100% pasien. Pemeriksaan kadar D-dimer lebih spesifik dalam

mendiagnosa DIC, terutama untuk membedakan antara koagulopati akibat penyakit

(38)

Bed side tests : Bed side tests yang dilakukan untuk mengevaluasi gangguan

pembekuan darah, dapat memberikan banyak informasi yang membantu dalam

menghadapi masalah yang terjadi. Bed side tests yang mungkin dilakukan adalah: i.

Bleeding time ii. Clotting time, iii. Clot observation (Weiber) test. iv. Serial clot lysis

test v. blood film. Test penyaring : hitung jumlah trombosit (menurun), Bleeding time

(meningkat), Prothrombin time (meningkat), APTT (bisa jadi menigkat), Thrombin

time (meningkat), morfologi sel darah merah (schistocytes & microspherocytes).27

2.2.7.3. Pemeriksaan untuk koagulasi:1

Pemeriksaan Nilai Normal Alat Ukur

Waktu Perdarahan 3-10 menit Jumlah trombosit,

integritas vaskular

Hitung Trombosit 150.000-400.000 /mm3

Waktu Protrombin 12-14 detik Faktor I,II,V,VII,X

Partial Tromboplastin time 25-35 detik Faktor I,II,V,VIII,IX,X,XI,XII

Thrombin time (TT) 12-20 detik Faktor I,II

Fibrinogen 200-400 mg/dl

Fibrin degradation products (FDP)

<4 mcg/ml

(39)

2.2.9. Kaskade Koagulasi dan Fibrinolisis 7

Hal yang terpenting dalam menegakkan diagnosis DIC adalah sistem skoring

yang berdasarkan pengujian yang dapat dilakukan dengan cepat serta siap untuk

digunakan. Sistem skoring ini akan memungkinkan penegakan diagnosa lebih baik

dan menjadi standar referensi untuk keperluan diagnostik maupun terapeutik. Untuk

(40)

Prothrombin Time (PT) yang memanjang, kadar fibrinogen dan trombosit

yang berkurang, serta meningkatnya marker-marker yang terkait fibrin. 7

Bakhtiari et al (2004) menemukan sensitivitas sebesar 91% dan spesifisitas

sebesar 97% dengan skor DIC menurut International Society of Thrombosis and

Hemostasis (ISTH).8 Sehubungan dengan relevansi terapeutik, analisa retrospektif

dari dua penelitian tentang sepsis, menggunakan data yang tidak disertai kadar

fibrinogen, mendapatkan hasil yang menggarisbawahi kekuatan prognostik skor DIC

menurut ISTH.9,10

Sistem skoring dari The International Society for Thrombosis and

Haemostasis (ISTH) memberikan penilaian objektif untuk DIC.12,27

Penilaian resiko

- Jika YA : Lanjutkan

: Apakah pasien memiliki penyakit penyerta yang berhubungan

dengan overt DIC ?

- Jika TIDAK : jangan gunakan algoritma ini

Lakukan tes koagulasi global (PT, jumlah trombosit, fibrinogen, marker yang terkait fibrin)

Jumlah trombosit (>100 · 109/l = 0, <100 · 109/l = 1, <50 · 109/l = 2) Beri skor hasil tes

Peningkatan marker fibrin (contoh : D-dimer, produk degradasi fibrin) (tanpa peningkatan = 0, peningkatan moderat = 2, peningkatan bermakna = 3)

Kriteria peningkatan D-Dimer :

- Tanpa peningkatan (<0,5 µg/ml)

24,25

- Peningkatan moderat (0,5-8,2 µg/ml)

- Peningkatan bermakna (>8,2 µg/ml)

PT yang memanjang (<3 detik = 0, 3 - 6 detik = 1, >6 detik = 2) • Kadar fibrinogen (≥1 g/l = 0, <1 g/l = 1)

Hitung jumlah skor

≥ 5 sesuai dengan overt DIC: Ulangi skoring setiap hari

:

(41)

2.2.10. Tatalaksana

DIC merupakan hasil akhir dari penyakit yang mendasari. Penggantian faktor

koagulasi yang berkurang dan penggantian trombosit sangat mempengaruhi

keadaan pasien DIC, tetapi penyembuhan sindroma ini tergantung pada terapi

penyakit primernya. Kondisi DIC, walaupun terselubung, dapat menyebabkan

perdarahan yang mematikan, dan membutuhkan penatalaksanaan gawat

darurat.20,23

Hal ini mencakup :

I. Deteksi dan eliminasi kasus primernya : ini merupakan dasar dari

penatalaksanaan DIC. Menemukan penyebab utama dan berusaha untuk

memperbaiki keadaan tersebut dengan segera.20

II. Tindakan suportif : tindakan untuk mengontrol gejala terberat, seperti perdarahan

atau trombosis.20

III. Regimen Pengganti dan Profilaktik :

Pencegahan berulangnya DIC kronis. Penatalaksanaan sangat bervariasi

tergantung pada keadaan klinisnya. Pada pasien dengan komplikasi obstetri

seperti solusio plasenta, kematian janin dalam kandungan, atau sepsis akut akibat

bakteri, penyakit dasarnya cukup mudah untuk diatasi, melahirkan bayi dan

plasenta atau pemberian antibiotik yang tepat dapat menurunkan sindroma DIC.20

DIC derajat ringan dan sedang mungkin tidak akan menyebabkan

perdarahan, umumnya cukup di observasi tanpa pengobatan lebih lanjut. Kondisi ini

tidak akan hilang sampai faktor pencetusnya dihilangkan, pasien DIC cenderung

(42)

Terapi suportif diberikan untuk mengatasi keadaan shock, asidosis, dan

iskemi jaringan. Bantuan untuk kardiopulmoner, seperti inotropik, pemakaian darah,

ventilasi yang baik, harus didapatkan pasien di kamar persalinan. Perfusi jaringan

dan fungsi pernafasan harus dijaga dengan pemberian cairan intravena dan

pemberian oksigen untuk mengatasi hipoksia.23

Suntikan antibiotik diberikan sesegera mungkin jika dicurigai ada infeksi

bakteri. Pemantauan janin, pencatatan balans cairan ibu, dan pemeriksaan

parameter koagulasi secara serial sangat diperlukan. Pasien terkadang

membutuhkan komponen darah untuk menggantikan faktor koagulasi yang

berkurang, trombosit dan inhibitor trombin alami dan plasmin dengan tujuan

mengurangi perdarahan, sementara penyebab utama sedang diperbaiki.20,23

Pasien dengan keadaan kritis mungkin mengalami koagulopati, karena

defisiensi vitamin K. Pemberian 10 mg vitamin K dilakukan dalam dua hari sebelum

koagulopati menyebabkan DIC. Pasien DIC juga bisa mengalami defisiensi vitamin

K karena peningkatan penggunaan, pemberian vitamin K untuk semua pasien yang

diduga DIC akan memenuhi kebutuhan terhadap vitamin K. Beberapa dokter juga

akan memberikan asam folat untuk mencegah terjadinya defisiensi folat yang akut

yang akan mempengaruhi pembentukan trombosit.20,23

Kelahiran pervaginam jika mungkin dilakukan tanpa tindakan episiotomi, hal

ini lebih baik dibandingkan persalinan secara seksio sesarea. Terjadinya koagulopati

beberapa jam setelah persalinan menunjukkan keadaan sepsis, gangguan hati, sisa

hasil konsepsi, atau gangguan koagulasi kongenital.20,23

Pasien yang awalnya mengalami DIC ringan dan tanpa gejala mungkin akan

mulai berdarah setelah tindakan pembedahan. Contohnya pasien dengan DIC

(43)

salin atau prostaglandin. Terapi profilaksis menggunakan heparin akan mencegah

berkambangnya sindroma DIC ringan dan pada beberapa pasien dengan kematian

janin dalam kandungan yang membutuhkan tindakan pengeluaran janin secara

operasi. Kebanyakan pasien dengan DIC derajat ringan dapat di tangani dengan

pemberian plasma dan trombosit tanpa pemberian heparin.20,23

2.2.10.1. Pemberian Obat - obatan

Untuk DIC yang terjadi pada kehamilan tujuan pertama adalah mengenali

komplikasi obstetrinya. Jika hal ini telah diatasi, maka DIC bisa dicegah. Terapi

tambahan yang khusus diberikan jika dijumpai gangguan pembekuan.6,20

Terapi harus berdasarkan etiologi dan ditujukan untuk mengatasi penyakit

utama. Terapi juga harus disesuaikan dengan usia, penyakit, keparahan, dan lokasi

dari perdarahan/trombosis.20

Terapi DIC akut mencakup antikoagulan, komponen darah dan

antifibrinolitiks. Parameter haemostasis dan koagulasi harus dinilai secara

berkesinambungan selama penatalaksanaan. Dasar terapi tergantung pada kondisi

klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium terhadap haemostasis.23

(A) Komponen darah : komponen darah digunakan untuk mengatasi parameter

hemostatik yang abnormal. Produk ini hanya diberikan setelah terapi awal dan

pemberian antikoagulan.

i) Packed red blood cells (washed) : lebih disukai dari pada whole blood

karena volume nya lebih sedikit, komplikasi imun yang kecil dan cara penyimpanan

yang mudah. Satu unit PRC akan meningkatkan haemoglobin sekitar 1g/dl atau

(44)

ii) Platelet Konsentrat : Pasien DIC, yang mengalami perdarahan dengan

jumlah trombosit kurang dari 50x109/ L, harus mendapatkan transfusi trombosit.

Pasien DIC mungkin membutuhkan jumlah trombosit yang lebih tinggi untuk

mendapatkan proses haemostasis yang adekuat, pasien dengan keadaan

trombositopenia tanpa gangguan fungsi trombosit (keadaan trombositopenia sendiri

juga membutuhkan transfusi trombosit jika jumlah trombosit kurang dari 20x109/L).

Secara umum trombosit diberikan jika jumlah trombosit kurang dari 50x109/l,

dengan perdarahan aktif. Dan trombosit diberikan jika terjadi perdarahan hebat

setelah transfusi menggunakan darah yang telah disimpan lama. Batasan yang lebih

rendah (<30x109/l) dipakai jika tidak ada perdarahan aktif. Tidak ada pernyataan

tentang pemberian faktor pembekuan seperti plasma jika tidak terdapat

perdarahan.30

iii) Fresh Frozen Plasma (FFP): FFP mengandung semua faktor koagulasi dan

inhibitornya, ATIII dan protein-C. 4 sampai 5 units FFP diberikan dengan tetesan

cepat. Pemberian Fresh Frozen Plasma (FFP) (10-20ml/kg) cukup bermanfaat pada

keadaan perdarahan aktif dan dijumpai pemanjangan PT dan aPTT, jika pemberian

FFP tidak mungkin dilakukan akibat adanya kelebihan cairan, pemberian

Prothrombin Complex Concentrate (PCC) (25–30 U/kg)) dapat dipertimbangkan.21

iv) Cryoprecipitate: mengandung faktor VIIIc, vWF, fibrinogen, fibronectin dan

sejumlah faktor XIII. Cryoprecipitate diberikan untuk meningkatkan kadar fibrinogen

plasma mendekati 100-150 mg/dl. Sebagai panduan, 3 g fibrinogen diharapkan

(45)

Penggantian fibrinogen harus disertai dengan cryoprecipitate. Setiap unit

cryoprecipitate mengandung sekitar 200 mg fibrinogen.

Tabel 1. Terapi Pengganti untuk pasien dengan gejala DIC.20

B) Antikoagulan

DIC harus ditatalaksana berdasarkan penyakit yang mendasarinya, yang

mungkin saja membutuhkan tindakan operasi maupun tidak, terapi antibiotik,

pemberian produk darah, terapi cairan, dan evakuasi uterus. Terapi suportif

antikoagulan diberikan untuk mengatasi gangguan koagulasi. Terapi yang diberikan

adalah heparin (bekerja sebagai anti trombin dan menghambat aktivasi Faktor X),

atau low molecular weight heparin (LMWH), danaparoid sodium, synthetic protease

inhibitor, antitrombin, human recombinant activated protein C, recombinant activated

factor VIIa, recombinant human soluble thrombomodulin, dan recombinant tissue

(46)

Antikoagulan digunakan untuk menterapi keadaan trombosis intravaskular jika

perdarahan terus berlanjut atau pembekuan 4-6 jam setelah permulaan dari suportif

terapi.22

i) Heparin: Heparin telah digunakan untuk terapi DIC pada kasus kematian

janin dalam kandungan, akibat aktivasi proses pembekuan. Walaupun efektifitas

terapi ini belum terbukti, tetapi dijumpai hasil yang bermanfaat. Ada beberapa

laporan tentang perbaikan hasil laboratorium yang sebelumnya terganggu, setelah

pemberian heparin. Tetapi hasilnya secara klinis tidak dapat dipastikan. Heparin

tidak dianjurkan pada pasien yang mengalami perdarahan atau yang memiliki rsiko

tinggi untuk mengalami perdarahan.

Penggunaan heparin dalam terapi perdarahan masih kontroversial. Walaupun

cukup logis untuk menekan pembentukan trombin dan mencegah penggunaan

protein pembekuan, hal ini harus diberikan pada pasien yang mengalami trombosis

atau terus mengalami perdarahan setelah pemberian plasma dan trombosit.23

Indikasi pemberian heparin dan dosisnya tidak memiliki ketentuan. Tidak ada

bukti bahwa pemberian heparin akan menurunkan angka kematian dan kesakitan

pada DIC akut. Heparin mungkin tidak efektif karena tetap diperlukan antitrombin-III

untuk aktifitas antikoagulan, anti trombin-III biasanya menurun pada keadaan DIC.

Keadaan DIC yang terkait dengan kehamilan heparin terbukti bermanfaat. Pada

kematian janin dalam kandungan dengan sistem vaskuler yang utuh, heparin

diberikan untuk menghentikan proses koagulasi dan trombositopenia selama

beberapa hari sampai proses pelahiran yang aman memungkinkan.21

ii) Low molecular weight-heparin: komponen ini banyak dipakai dalam

(47)

ketat dan resiko rendah terhadap perdarahan, trombositopenia dan osteoporosis.

Antitrombin III dan Protein-C juga komponen yang menjanjikan.23

iii) Antitrombin: adalah salah satu konsentrat faktor antikoagulasi, yang digunakan sebagai terapi tunggal pada satu kasus DIC obstetri dengan kadar

antitrombin kurang dari 70%. Pada suatu randomized controlled trial, konsentrat

antitrombin atau plasebo diberikan kepada pasien preeklamsi berat (1500 U/hari

selama 7 hari) disertai pemberian unfractionated heparin. Perbaikan skor biofisikal

profil dan parameter koagulasi jelas terlihat pada kelompok yang diberikan

antitrombin, dan tidak dijumpai efek samping. Penelitian lebih lanjut masih

diperlukan untuk memastikan kebenaran hal ini.20

Penggunaan konsentrat antitrombin cukup logis dalam penatalaksanaan DIC

karena secara efektif dapat menghambat trombin. Efikasi antitrombin masih

diragukan dalam penatalaksanaan DIC. Beberapa percobaan terhadap manusia

menunjukkan manfaat, tetapi suatu multicenter randomized trial yang besar tidak

menunjukkan penurunan kematian pasien sepsis yang diberikan konsentrat

antitrombin. Kienast dan kawan kawan, telah melaporkan pemberian anti trombin

dosis tinggi tanpa heparin dapat menurunkan kematian pada pasien DIC akibat

sespsis. Penelitian ini masih butuh penelitian lebih lanjut untuk pembuktian.23

2.2.10.2. Tatalaksana Perdarahan pada DIC

Pasien DIC dengan kadar trombosit dan faktor pembekuan yang rendah dan

menunjukkan perdarahan harus mendapatkan terapi tambahan. Terapi tambahan

yang bisa diberikan adalah pemberian FFP, cryoprecipitate, dan trombosit (bila

(48)

pasien DIC, karena pemberian FFP dapat menyebabkan secara berlebihan dapat

menyebabkan kegagalan jantung kongestif. Status pulmoner pasien yang

mendapatkan FFP harus benar benar di awasi.23

Protein C pada DIC

Activated Protein C (APC) menginaktivasi faktor Va dan VIIIa, hal ini akan

menurunkan pembentukan trombin. APC juga bekerja sama dengan Plasminogen

Activator Inhibitor (PAI), menstimulasi fibrinolisis. Protein C lebih sedikit dalam

kondisi DIC, penambahan antikoagulasi alami ini dianggap bermanfaat. Percobaan

tahap III untuk konsentrat APC pada pasien sepsis dihentikan lebih dini karena

efikasinya dalam menurunkan angka kematian. Kematian yang terjadi dari seluruh

kasus setelah 28 hari adalah 24,7% dalam grup APC dibandingkan 30.8% pada

kontrol (penurunan resiko relatif 19.4%). 23

Recombinant human APC disetujui oleh US Food and Drug Administration

(FDA) dan the European Community untuk penatalaksanaan pasien sepsis berat.

Penelitian pada tahun 2002 membandingkan efikasi APC dibandingkan heparin

pada 132 pasien DIC, didapatkan bahwa APC dosis rendah lebih efektif

dibandingkan heparin dalam mengatasi perdarahan akibat DIC, tetapi terdapat

sedikit perbedaan dalam disfungsi organ yang terjadi pada kasus DIC.23

Tissue Factor Pathway Inhibitor (TPFI)

TF (Tissue Factor) mengaktifkan faktor VII dan IX secara bersamaan

mengaktivasinya dan memulai pembekuan. TFPI memiliki kemampuan berikatan

dengan TF dan faktor VIIa dan Xa. Sebagai hasilnya, TFPI menghambat

(49)

trombosis pada kasus DIC. Penelitian random tahap II terhadap rekombinan TFPI

(rTFPI; tifacogin [Chiron]) dibandingkan plasebo menunjukkan kecenderungan

penurunan kompleks trombin-antitrombin dan kadar IL-6. Penelitian random tahap III

dari efikasi rTFPI dibandingkan plasebo pada pasien sepsis menunjukkan rTFPI

meningkat seiring dengan resiko perdarahan. Penurunan angka kematian terkait

dengan nilai international normalized ratio (INR) adalah semakin rendah INR maka

semakin rendah juga angka kematiannya, dan tidak ada perbedaan untuk pasien

dengan kadar INR yang tinggi.23

(C) Antifibrinolitik agents: penggunaan antifibrinolitik hanya diberikan setelah

semua jenis terapi telah dicoba dan tampak tidak berhasil. Secara teori,

epsilon-aminocaproic acid (EACA) dan agen antifibrinolitik (Tranexamic acid) menghilangkan

pembentukan antagonis terbesar dari fibrin intravaskular, dan pada kasus DIC yang

benar-benar tercatat, penggunaan antifibrinolitik justru menimbulkan komplikasi

tromboemboli yang hebat bahkan mematikan.21

Agen antifibrinolitik, seperti, tranexamic acid dan epsilon aminocaproic acid,

jarang dipakai sebagai penatalaksanaan DIC. Pengecualiannya terlihat pada kasus

dengan perdarahan dimana kadar fibrinolisis meningkat (contoh, beberapa kasus

dari kanker prostat, acute promyelocytic leukemias). Jika diperlukan, antifibrinolisis

diberikan untuk mengontrol perdarahan, dan dijumpai fibrinolisis yang hebat,

pemberian antifibrinolitik harus dikombinasi dengan heparin. Penggunaan

antifibrinolitik harus berhati-- hati karena antifibrinolitik juga bisa memicu kematian

(50)

2.2.10.3. Terapi Potensial yang lain pada DIC

Thrombomodulin

Wada dkk menunjukan hasil penelitian farmakologik terhadap trombomodulin

plasma pasien DIC. Pada penelitian ini, 0,3–30 U/mL of trombomodulin secara

signifikan menghambat pembentukan trombin dan menstimulasi produksi APC. Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa thrombomodulin layak diteliti lebih jauh untuk

kasus DIC. 23

Activated Factor VII pada DIC

Sallah dan tim nya, melaporkan pemberian rekombinan faktor VIIa pada

pasien DIC dengan perdarahan yang terjadi pada pasien kanker. Pada penelitian ini,

15 dari 18 pasien berhanti berdarah dan menunjukkan perbaikan parameter

koagulasi. Keberhasilan pemberian rekombinant faktor VIIa juga dilaporkan pada

pasien dengan perdarahan post operatif abdomen dan pada DIC akibat keadaan

sepsis. Pemberian faktor VIIa tidak dianjurkan pada DIC, penelitan ini juga masih

harus dilanjutkan.23

Gabexate Mesylate

Gabexate mexylate merupakan inhibitor sintetis serine protease seperti

trombin, ini memiliki aktivitas antikoagulan dengan tidak adany antitrombin. Pada

penelitian sebelumnya gabexate mesylate digunakan pada 15 pasien DIC

dibandingkan 8 pasien yang mendapatkan heparin, terbukti bahwa gabexate

mesylate lebih efektif dibandingkan heparin pada pasien dengan kadar antitrombin

yang rendah. Penelitian setelahnya menunjukkan hasil yang hampir sama.

Gambar

Gambar 1. Proses terjadinya DIC.8
Gambar 2. Mekanisme terjadinya perdarahan pada DIC8
Tabel 1. Terapi Pengganti untuk pasien dengan gejala DIC.20
Tabel 2. Karakteristik Umum Subjek Penelitian
+4

Referensi

Dokumen terkait