• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketahanan Budaya Masyarakat Lokal Di Wilayah Perbatasan Indonesia - Malaysia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Ketahanan Budaya Masyarakat Lokal Di Wilayah Perbatasan Indonesia - Malaysia"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

1

KETAHANAN BUDAYA MASYARAKAT LOKAL DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA - MALAYSIA

Culture Resillience Of Local Society In An Indonesia - Malaysia Border Area

Dewi Kurniasih1

Abstrak

Perbatasan suatu negara bukan merupakan batas suatu area kebudayaan. Seringkali dua negara yang berbeda justeru memiliki satu budaya yang sama. Masuknya budaya asing dapat menimbulkan benturan nilai terhadap ketahanan

budaya lokal. Ancaman globalisasi tak bisa dihindari. Namun, selama kita memiliki ketahanan budaya yang tangguh, kebudayaan luar tidak akan

mengakibatkan pudarnya nasionalisme bangsa.

Abstract

A border of a country cannot be considered as a limitation of cultural area. Two different countries sometimes have one same culture. When a foreign culture goes into a certain country, it can cause clash of values to local culture resillience. The globalization threat is unavoidable. Nevertheless, as long as the country has firm

culture resilience, its nationalism cannot be weaken by the foreign country.

1. Pendahuluan

Perbatasan negara merupakan salah satu bentuk utama kedaulatan wilayah suatu negara. Hal ini terkait dengan penentuan batas wilayah kedaulatan, pemanfaatan sumber kekayaan alam, penjagaan keamanan dan keutuhan wilayah. Penentuan perbatasan negara dalam banyak hal ditentukan oleh proses historis, politik, hukum nasional dan internasional.

Kawasan perbatasan yang luas dan jumlah penduduk yang relatif kecil serta persebaran tidak merata menyebabkan rentang kendali pemerintah, pembangunan,

(2)

pengawasan dan pembinaan masyarakat sulit dilakukan. Padahal pada hakekatnya pembangunan di wilayah perbatasan merupakan bagian dari pembangunan nasional. Kondisi ini menyebabkan masyarakat perbatasan mempunyai keterkaitan yang saling mempengaruhi dengan kegiatan sosial ekonomi yang dilaksanakan di wilayah lainnya yang berbatasan dengan wilayah maupun antar negara.

Pandangan awam mengenai perbatasan seringkali dikonsepsikan sebagai garis nyata yang membatasi dua atau lebih negara. Konsepsi ini mengartikulasikan perbatasan sebagai tanda terdapatnya batas yang tegas atas daerah-daerah kebudayaan. Pada kenyataannya, perbatasan suatu negara bukan merupakan batas suatu area kebudayaan. Seringkali dua negara yang berbeda justeru memiliki satu kebudayaan yang sama.

Seiring perkembangan zaman, negara-negara modern muncul dengan batas-batas teritori yang tegas dan menegaskan tentang suatu kebudayaan negara. Perkembangan batas-batas teritori menjadi penting dan menegaskan istilah “kita”

dan “mereka” memunculkan suatu pembentukan identitas yang juga membedakan

antara warga negara A dengan warga negara B. Tidak terkecuali, pada masyarakat yang bermukim di wilayah perbatasan, masyarakat tersebut secara deprivasi mendapatkan identitas sebagai warga suatu negara yang berbeda dengan warga negara lain yang wilayahnya berbatasan darat secara langsung.

(3)

mobilitas yang memungkinkan mereka untuk keluar dan masuk kembali ke negaranya terutama mereka yang berada di pesisir.

Sebagian besar wilayah perbatasan di Indonesia ini berada dalam posisi periferal yang jauh dari pusat negara. Kondisi ini menimbulkan kenyataan bahwa kehidupan masyarakat yang bermukim di wilayah perbatasan terkadang masih terasa asing dan sulit dibayangkan oleh publik. Studi-studi sosial di daerah perbatasan Indonesia sendiri baru dimulai sejak akhir 1990-an. Pemahaman tentang wilayah perbatasan hanya diperoleh secara parsial dari sisi teritorial Indonesia. Pemahaman mengenai wilayah perbatasan menciptakan proses adaptasi di masyarakat. Adaptasi tidak selalu dihubungkan pada penegasan lingkungan secara normatif, tetapi dalam beberapa hal pada pola dari lingkungan atau hanya kondisi yang extreme. Adaptasi dilihat sebagai respon kultural atau proses yang terbuka pada proses modifikasi dimana penanggulangan dengan kondisi untuk kehidupan oleh reproduksi selektif dan memperluasnya.

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memiliki 17.508 pulau. Kondisi ini menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan (archipellagic state). Secara geografis posisi ini sangat strategis, karena berada pada posisi silang diantara benua Asia dan Australia serta diantara Samudera Hindia dan Pasifik. Pulau-pulau tersebut dihubungkan oleh laut-laut dan selat-selat di wilayah Nusantara.

(4)

Timur yaitu dengan Serawak dan Sabah), Provinsi Papua dengan Papua New Guinea dan Nusa Tenggara Timur dengan Timor Lorosae. Sedangkan di wilayah laut, Indonesia berbatasan dengan sepuluh negara yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Philipina, Palau, Papua New Guinea, Australia dan Timor Lorosae.

Selanjutnya tulisan ini hanya melihat kondisi perbatasan wilayah antara Indonesia dengan Malaysia khususnya di Pulau Kalimantan. Panjang perbatasan Indonesia dengan Malaysia di Pulau Kalimantan mencapai 2004 km. Sepanjang 966 km perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia terletak di wilayah Kalimantan Barat yang berbatasan dengan Negeri Serawak. Sedangkan di Kalimantan Timur, panjang perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia sekitar 1.308 km, berbatasan langsung dengan Negeri Serawak dan Negeri Sabah (Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Pertahanan dan Keamanan, 2008).

(5)

2. Maksud

Tulisan ini bermaksud untuk mengungkapkan ketahanan budaya masyarakat di wilayah perbatasan negara antara Indonesia dan Malaysia.

3. Telaah Pustaka

Pergeseran nilai budaya bangsa seringkali terjadi. Salah satu faktor adalah masuknya budaya asing yang dapat menimbulkan benturan nilai terhadap ketahanan budaya kita. Pergeseran tersebut juga dipengaruhi oleh transformasi nilai yang dibenarkan oleh tradisi sosial budaya masyarakat, rentang waktu, dan arah perkembangan masyarakat.

Sejumlah ahli antropologi seringkali membedakan pengertian budaya dengan kebudayaan. Kebudayaan diartikan sebagai hasil dari cipta, karsa, dan rasa manusia. Sedangkan budaya diartikan sebagai daya dari budi yang berupa cipta, karsa, dan rasa manusia (Koentjaraningrat, 1985:181). Adapun kata culture yang merupakan kata asing yang sama artinya dengan kebudayaan berasal dari kata latin colore yang berarti mengolah, mengerjakan terutama mengolah tanah atau bertani.dari arti ini berkembang arti culture sebagai daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan merubah alam.

(6)

1. Kebudayan materil: hasil cipta, karsa yang terwujud benda-benda, barang-barang, alat-alat pengolahan alam.

2. Kebudayaan nonmateril : hasil cipta, karsa yang terwujud kebiasaan-kebiasaan, adat istiadat, kesusilaan, ilmu pengetahuan, keyakinan, dll.

Wujud kebudayaan menurut Koentjaraningrat (1985: 185), yaitu:

1) Ideas, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai, norma, perturan. Sifatnya abstrak, tidak dapat dilihat dan diraba. Wujud idealnya adat istiadat.

2) Activities, wujud kebudayaan sebagai suatu konpleks aktifitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. Wujudnya sistem sosial (sosial sistem).

3) Artifacts, wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujudnya kebudayaan fisik.

(7)

kedua istilah tersebut tidak akan dibedakan karena budaya di sini hanya dipakai sebagai suatu singkatan ari kebudayaan dengan arti yang sama.

Nilai budaya maupun sikap dapat mempengaruhi tindakan manusia baik secara langsung, maupun melalui pola-pola cara berfikir. Sebagai suatu sistem tata kelakuan yang abstrak, dalam kenyataan suatu sistem nilai budaya itu terperinci lagi ke dalam apa yang disebut norma-norma dan norma-norma inilah yang merupakan, tata kelakuan dan pedoman yang sesungguhnya untuk sebagian besar dari tindakan-tindakan manusia dalan masyarakat. Bentuk yang nyata dari norma-norma itu bermacam-macam; ada yang berbentuk undang-undang, peraturan-peraturan, ketetapan-ketetapan, aturan-aturan adat, aturan-aturan sopan santun pergaulan dan sebagainya, masing-masing dengan fungsi-fungsinya sendiri guna mengatur kehidupan kemasyarakatan yang kompleks itu (Sayogyo, 1995).

Kerangka untuk meninjau sistem nilai budaya pernah diajukan oleh ahli antropologi F.R Kluckhon dan ahli sosiologi F.L. Strodtbeck dalam buku mereka variation in Value Orientation (1961) dan berpangkal kepada lima masalah pokok

dalam kehidupan manusia yang bersifat universal dan yang berada dalam semua kebudayaan dimana saja di dunia. Kelima masalah pokok itu adalah masalah mengenai hakekat dari:

1. Sifat hidup manusia 2. Dari karya manusia

3. Dari kedudukan manusia dalam ruang waktu 4. Hubungan manusia dengan alam sekitarnya 5. Hubungan manusia dengan sesamanya.

(8)

1. Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, transportasi dan sebagainya).

2. Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi.

3. Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem perkawinan).

4. Bahasa (lisan maupun tulisan). 5. Sistem pengetahuan.

6. Religi (sistem kepercayaan). 7. Kesenian.

Sedangkan Koentjaraningrat (1985:186) mengemukakan bahwa unsur kebudayaan sebagai isi pokok dari tiap kebudayaan didunia. Unsur-unsur tersebut adalah:

1) Bahasa; lisan maupun tertulis 2) Sistem pengetahuan

3) Organisasi sosial; sistem kekerabatan (perkawinan, sopan-santun, tolong menolong), sistem komuniti, sistem pimpinan, organisasi politik, sistem hukum, sistem perkawinan.

4) Sistem peralatan hidup dan teknologi; pakaian, perumahan, alat rumah tangga, senjata, alat produksi, transportasi

5) Sistem mata pencaharian hidup; sistem pertanian, peternakan, sistem distribusi

(9)

7) Kesenian; upacara adat atau benda seni.

Kebudayaan yang di dalamnya terkandung segenap norma-norma sosial, yaitu ketentuan-ketentuan masyarakat yang mengandung sanksi atau hukuman-hukuman yang dijatuhkan apabila ada terjadi pelanggaran. Norma-norma itu mengandung kebiasaan-kebiasaan hidup, adat-istiadat atau kebiasaan (folksways). Folksways sendiri berisi tradisi hidup bersama yang biasanya dipakai secara turun-temurun. Adat istiadat yang berisikan hukuman adat yang relatif lebih berat lagi disebut mores, yang di dalam pengertian kita sehari-hari diwajibkan untuk dianut dan diharamkan jika dilanggar. Sedangkan, apabila kebiasaan seseorang dilakukan juga oleh orang lain sehingga kemudian menimbulkan norma yang dijadikan patokan bertindak oleh orang banyak sebagai adat istiadat, maka disebut custom.

Kebudayaan berfungsi mengatur agar manusia dapat memahami bagaimana seharusnya manusia bertingkah laku, berbuat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam masyarakat. Sedangkan, adat kebiasaan (habit) merupakan kelakuan pribadi, artinya seseorang berbeda dengan kebiasaan orang lain.

Menurut pandangan antropologi, kebudayaan adalah “suatu sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar” (Koentjaraningrat, 1982: 193).

(10)

manusia dan primate yang lain dari tingkah laku yang hampir selalu digerakkan oleh naluri.

Linton (dalam Ihromi, 2000:18) mengemukakan bahwa:

Kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat yang manapun dan tidak hanya mengenai sebagian dari cara hidup itu, yaitu bagian yang oleh masyarakat dianggap lebih tinggi atau lebih diinginkan. Oleh karena itu, tidak ada masyarakat atau perorangan yang tidak berkebudayaan, setiap masyarakat mempunyai kebudayaan, bagaimanapun sederhananya itu, dan setiap manusia adalah makhluk berbudaya, dalam arti mengambil bagian dalam sesuatu kebudayaan.

Kebudayaan menunjuk kepada berbagai aspek kehidupan. Oleh karena itu, kata kebudayaan meliputi cara-cara berkelakuan, kepercayaan-kepercayaan dan sikap-sikap, dan juga hasil dari kegiatan manusia yang khas untuk suatu masyarakat atau kelompok penduduk tertentu. Setiap manusia dilahirkan ke dalam suatu kebudayaan yang bersifat kompleks dan kebudayaan itu sangat kuat pengaruhnya terhadap cara hidup serta cara berlaku yang akan diikuti selama hidup manusia.

(11)

sukar, kalau tidak mustahil untuk secara bersamaan mempertahankan yang bertentangan itu. Jadi kebudayaan cenderung terdiri dari unsur-unsur yang dapat disesuaikan satu sama lain (Ihromi, 2000: 30).

Bronislaw Malinowski pelopor teori fungsionalime dalam antropologi, menyatakan bahwa:

Unsur-unsur pokok kebudayaan yaitu: (1) sistem norma-norma yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat agar menguasai alam sekelilingnya; (2) organisasi ekonomi; (3) alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan, perlu diingat bahwa keluarga merupakan lembaga pendidikan yang utama; dan (4) organisasi militer (Soekanto, 1982: 192).

Kebudayaan sebagai hasil interaksi antar manusia dan manusia dengan lingkungannya, menunjukkan suatu pengertian yang luas dan kompleks, karena meliputi segala hal yang dialami oleh manusia baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Untuk itu kebudayaan menurut Poespowardojo (1993: 110) adalah:

Mencakup segala sesuatu yang terjadi dan dialami oleh manusia secara personal dan kolektif, mencakup pula bentuk-bentuk yang dimanifestasikan sebagai ungkapan pribadi, seperti yang disaksikan dalam sejarah kehidupannya, baik hasil pencapaian yang telah ditemukan oleh umat manusia dan diwariskan secara turun temurun, maupun proses perubahan dan pengembangan yang sedang dilalui dari masa ke masa.

(12)

ide-ide atau gagasan-gagasan serta pola tindakan masyarakat tempat mereka berada.

Kebudayaan dipandang juga sebagai suatu strategi yang perlu dikelola dan diarahkan. Rumusan yang lebih fungsional menyatakan bahwa kebudayaan adalah suatu desain untuk hidup, baik dalam lingkungan fisik maupun sosial. Untuk itu Sanstrapratedja (1992: 141) mengemukakan bahwa:

Kebudayaan dianggap sebagai suatu perencanaan, dan sesuai dengan perencanaan itu, manusia mengadaptasikan dirinya pada lingkungan fisik, sosial dan ide. Strategi untuk menghadapi lingkungan fisik mencakup sistem produksi pangan dan semua teknologi yang digunakan. Adaptasi sosial mencakup sistem politik, sistem kekeluargaan dan hukum sebagai strategi untuk berhubungan dengan sesama, sedangkan adaptasi ide menunjuk pada ilmu, seni, filsafat dan agama.

Manusia sebagai pengemban dan pendukung kebudayaan akan selalu mengalami perkembangan dan perubahan. Sebagaimana tempat kebudayaan itu diproses, manusia sebagai media yang aktif, maka akal budilah sebagai faktor yang dominan dalam hal kebudayaan. Hal ini mengandung arti, bahwa kebudayaan akan selalu berkembang dan berubah sejalan dengan lingkungan yang dihadapi oleh manusia.

Menurut Lauer bahwa ada dua perspektif yang mempengaruhi perubahan, yaitu materialistis dan idealistis. Kedua perspektif ini menyoroti faktor mana yang lebih kuat mempengaruhi perubahan. Selanjutnya Lauer (1993: 205-276) mengemukakan bahwa:

(13)

Kedua perspektif tersebut mampu menjelaskan perubahan budaya suatu masyarakat, terlepas dari segala kekuatan dan kelemahannya. Perspektif materialisme mempunyai persamaan dengan teori “cultural materialism”. Teori

ini pertama kali dikemukakan oleh Marvin Harris (1968: 634-653) yang dikembangkannya dengan bertolak pada doktrin antropologi, dengan membagi tiga tingkatan model kebudayaan:

1. Infrastruktur, yang berhubungan dengan penduduk, kebutuhan dasar biologis, dan sumber daya (pekerjaan, peralatan, teknologi, dan lain-lain).

2. Struktur, yang berhubungan dengan pola organisasi (pemerintahan, pendidikan, kekeluargaan, peraturan yang dihasilkan dan lain-lain). 3. Superstruktur, yang berhubungan dengan institusi kemasyarakatan

(huum, agama, politik, seni ilmu, kepercayaan, nilai-nilai, perasaan, tradisi dan lain-lain).

Pendekatan materialisme budaya ini, juga dirumuskan oleh Steward (dalam Semedi, 1994: 21):

Sebagai proses adaptasi manusia terhadap lingkungannya, perlu diperhatikan unsur-unsur kebudayaan yang secara empirik memiliki hubungan dekat dengan aktifitas pemanfaatan lingkungan. Ada tiga langkah dalam menjelaskan pengaruh tekno-ekonomi terhadap kebudayaan, yaitu mempelajari: (1) kondisi lingkungan dan kondisi teknologi yang dipakai untuk mengeksploitasinya; (2) pola perilaku yang muncul dalam aktivitas penyakapan energy dari lingkungannya; dan (3) pengaruh pola perilaku terhadap aspek-aspek kebudayaan lainnya.

(14)

1. Kebudayaan adalah sistem dari pola perilaku yang disalurkan secara sosial dan berguna untuk menghubungkna masyarakat manusia denga lingkungan ekologis mereka.

2. Perubahan kebudayaan pada dasarnya merupakan proses adaptasi dalam kaitannya dengan proses perubahan ekologis.

3. Teknologi, kegiatan-kegiatan ekonomi dan organisasi sosial berhubungan langsung dengan proses produksi, dan merupakan unsure-unsur kebudayaan yang paling adaptif, baik disebabkan oleh factor eksternal amupun disebabkan oleh factor internal.

4. Komponen ideasional dari sistem cultural dapat memberikan pengaruh kepada perilaku individu dalam mencari nafkah dan dalam memelihara ekosistem, akan tetapi tidak menentukan.

Tylor (1958:49) mengatakan bahwa manusia berkembang dari yang sederhana menjadi kompleks dan bahwa semua manusia melewati tiga tahap utama dalam evolusi yaitu dari tahap liar, beradab dan akhirnya peradaban. Pada setiap tahapan tersebut dicirikan oleh teknologi yang berbeda, oleh sebab itu Tylor berpendirian bahwa teknologi menjadi ciri kemajuan suatu masyarakat.

(15)

Membangun kesejahteraan rakyat adalah meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat yang layak dan bermartabat dengan memberi perhatian utama pada tercukupinya kebutuhan dasar. Membangun ketahanan budaya adalah mewujudkan kondisi dinamis bangsa yang tanggap, ulet, dan tangguh dalam menghadapi dan mengatasi segala bentuk perubahan yang berlangsung baik pada tatanan nasional, regional, maupun global. Terwujudnya kesejahteraan rakyat yang makin meningkat dan ketahanan budaya yang makin kukuh pada dasarnya merupakan bagian tak terpisahkan dari tujuan pembangunan nasional yang harus senantiasa diupayakan pencapaiannya.

Kebudayaan memiliki dua daya atau potensi yang menyebabkan kebudayaan itu tetap hadir dalam kehidupan, yang pertama yaitu daya untuk melestarikan kebudayaan (preservatif) dan kedua yaitu daya menarik kebudayaan itu untuk maju (progresif). Dalam dua daya inilah masyarakat pendukung kebudayaan berada dan menentukan ke arah mana kebudayaannya. Untuk dapat menentukan ke arah mana kebudayaannya maka masyarakat pendukung kebudayaan harus memiliki kesadaran budaya dan ketahanan budaya (cultural Resilience). Kesadaran Budaya adalah suatu bentuk perasaan yang tinggi soal rasa

(16)

Ketahanan budaya dapat diwujudkan melalui kegiatan-kegiatan yang mendorong dan meningkatkan peran segenap masyarakat dalam melindungi, memanfaatkan, dan mengembangkan nilai transformasi dan warisan budaya. Ancaman globalisasi tak bisa dihindari. Namun, selama kita memiliki ketahanan budaya yang tangguh, kebudayaan luar tidak akan mengakibatkan pelumpuhan yang memarginalisasi eksistensi bangsa ini. Ketahanan budaya pada dasarnya ketahanan mengenai pelestariannya dan pengembangannya secara dinamis dengan upaya-upaya yang lebih khusus.

Penguatan dan pemahaman budaya masyarakat di wliyah perbatasan dilakukan untuk mengetahui dan menemukenali bagaimana masyarakat di wilayah perbatasan menguatkan/ mempertahankan dan memahami kebudayaannya sebagai jatidiri/identitas daerah/ bangsa. Mengingat daerah perbatasan sebagai daerah yang bersinggungan dengan negara tetangga dan memungkinkan pengaruh asing/negara tetangga mudah masuk sebagai akibat hubungan yang terjadi.

Manusia merupakan makhluk yang memiliki keinginan untuk menyatu dengan sesamanya serta alam lingkungan di sekitarnya. Penggunaan pikiran, naluri, perasaan, keinginan manusia memberi reaksi dan interaksi dengan lingkungannya. Pola interaksi sosial dihasilkan oleh hubungan yang berkesinambungan dalam suatu masyarakat.

(17)

tersebut. Sedangkan Karl Marx menganggap masyarakat adalah suatu struktur yang menderita karena suatu ketegangan organisasi atau perkembangan akibat adanya pertentangan antara kelompok-kelompok yang terbagi secara ekonomi.

Masyarakat berasal dari kata society (Inggris), socius: kawan (Latin), syaraka: ikut serta-berpartisipasi (Arab). Secara umum, masyarakat mempunyai

ciri:

1. adanya kumpulan individu

2. tinggal di tempat dan waktu tertentu

3. adanya aturan/adat istiadat yang mengatur untuk pencapaian tujuan bersama

Dalam kurun waktu tertentu kumpulan individu mengalami proses adaptasi dan organisasi dari tingkah laku para anggotanya serta timbul perasaan berkelompok secara lambat laun (l’esprite de corps). Terdapat empat norma kemasyarakatan yang berupa perintah atau larangan yang bersifat mengikat dan memaksa, yaitu :

a. Cara (usage)

Menunjuk pada perbuatan individu terhadap individu lain, berkekuatan lemah karena penyimpangan yang terjadi tidak akan mengakibatkan hukuman yang berat, hanya sekedar celaan saja.

b. Kebiasaan (folkways)

(18)

c. Tata kelakuan (mores)

Menurut Mac Iver dan H. Page, mores adalah kebiasaan yang ada di dalam masyarakat yang diterima sebagai norma pengatur dalam masyarakat tersebut. Mores ini merupakan pencerminan dari sifat-sifat yang hidup dalam kelompok manusia sebagai alat pengawas, pemaksa, dan alat untuk melarang sesuatu agar anggota masyarakat itu menyesuaikan perbuatannya dengan tata kelakukan tersebut.

d. Adat kebiasaan (custom)

Custom ini terjadi dari suatu mores yang kekal serta kuat integrasinya dengan pola kelakuan masyarakat. Pelanggaran yang terjadi akan mendapat sanksi keras, yang terkadang tidak secara langsung diperlakukan.

Norma-norma tersebut diatas setelah mengalami proses pada akhirnya akan menjadi bagian tertentu dari pranata sosial. Pranata Sosial yang berupa pranata institution adalah sistem-sistem yang menjadi wahana yang memungkinkan warga

masyarakat itu untuk berinteraksi menurut pola-pola resmi. Konsep Pranata (institution) ini sering rancu dengan lembaga (institute). Pranata merupakan sistem norma/aturan-aturan yang mengenai suatu aktivitas masyarakat yang khusus sedangkan lembaga (institute) merupakan badan/organisasi yang melaksanakan aktivitas tadi.

(19)

1) Kinship/domestic institutions; Pranata yang berfungsi untuk memenuhi keperluan kehidupan kekerabatan.

2) Economic institutions; Pranata yang berfungsi untuk memenuhi keperluan manusia dalam mata pencaharian, memproduksi,menimbun, menyimpan, mendistribusi hasil produksi dan harta.

3) Educational institutions; Pranata yang berfungsi untuk memenuhi keperluan penerangan dan pendidikan manusia.

4) Scientific institutions; Pranata yang berfungsi untuk memenuhi keperluan ilmiah manusia, menyelami alam semesta.

5) Aesthetic and recreational institutions; Pranata yang berfungsi untuk memenuhi keperluan dalam menghayatkan rasa keindahannya dan untuk rekreasi.

6) Religious institutions; Pranata yang berfungsi untuk memenuhi keperluan dalam berhubungan dan berbakti kepada Tuhan atau alam gaib.

7) Political institutions; Pranata yang berfungsi untuk memenuhi keperluan dalam mengatur dan mengelola keseimbangan kekuasaan dalam masyarakat. 8) somatic institutions; Pranata yang berfungsi untuk memenuhi keperluan fisik

dan kenyamanan hidup.

(20)

of lives, money, devastation, sosial cohesion, and human dignity and

freedom". Akibatnya batas-batas negara Asia Tenggara dewasa ini tidak pernah dapat berpotongan dengan batas-batas kultural secara persis.

Perlunya perhatian kepada masyarakat perbatasan khususnya mengenai pemberdayaan dirinya dalam pembangunan menurut Garna (2009:98) diupayakan untuk:

1. terwujud dan kuatnya security belt kesatuan Republik Indonesia sebagai hasil atau dalam bentuk integrasi sosial dan integrasi nasional di daerah perbatasan.

2. Security belt tersebut didayagunakan untuk menjaga keutuhan wilayah NKRI.

3. Integrasi sosial adalah kunci menuju ketahanan sosial, sedangkan integrasi nasional adalah kunci menuju ketahanan nasional.

4. Komunitas Adat Terpencil (KAT) yang berdiam di daerah perbatasan merupakan titik rawan dalam memperkuat security belt tersebut.

5. Pendekatan secara integratif untuk membekali KAT dengan pemberdayaan sosial dalam mengatasi kerawanan di perbatasan.

Masyarakat perbatasan adalah suatu kesatuan-kesatuan khusus dalam masyarakat yang menurut kategori sosial, golongan sosial, komunitas kelompok dan perkumpulan yang saling berinteraksi dan memiliki ikatan khusus dan bertempat tinggal di wilayah perbatasan (Gaspersz, 2009). Penelitian ini memberi batasan mengenai masyarakat perbatasan yaitu orang-orang (Warga Negara Indonesia) yang merupakan masyarakat Bangsa Indonesia yang bertempat tinggal di wilayah perbatasan Indonesia dengan Malaysia khususnya di Pulau Sebatik.

(21)

bersumber dari kesamaan asal budaya maupun geografis. (Healey, 2006: 4). Hubungan yang sifatnya penyesuaian tanpa menghilangkan identitas, jati diri individu tersebut, sebagai bentuk dari adaptasi. Dalam melakukan penyesuaian dengan lingkungan sekitarnya, masyarakat tidak sampai merubah inti budaya di Pulau Sebatik. Hal ini menurut (Fredrik Barth:1969) bahwa, hubungan yang terjadi antar budaya tidak selalu merubah identitas budaya tersebut, meskipun dalam melakukan hubungan tersebut terjadi interaksi, pembauran, kontak dan pertukaran informasi, antara budaya yang satu dengan budaya lainnya.

4. Pembahasan

Ketahanan nasional di daerah perbatasan memiliki peran yang sangat penting. Wilayah perbatasan berbatasan langsung dengan negara-negara tetangga. Hal tersebut menjadi sangat rentan bagi wilayah perbatasan terhadap masuknya berbagai pengaruh negatif baik dari segi politik, sosial, ekonomi, budaya, dan ideologi yang tentunya dapat mengganggu pertahanan dan keamanan negara.

Pulau Sebatik merupakan satu dari sekian banyak pulau terdepan di wilayah Indonesia. Secara administratif pulau ini terletak diantara dua negara. Bagian utara dikelola oleh Negara Bagian Sabah Malaysia sedangkan di bagian selatan dikelola oleh Provinsi Kalimantan Timur. Pulau ini merupakan pintu masuk ke Indonesia melalui Malaysia.

(22)

pendistribusian barang-barang pokok kehidupan sehari-hari yang didominasi oleh produk-produk Malaysia. Meskipun dalam aktivitas keseharian masyarakat di Pulau Sebatik sangat bergantung pada Tawau, tetapi dari segi teritorial, Pulau Sebatik merupakan bagian dari wilayah Indonesia. Kajian-kajian dan catatan-catatan lepas dari para pelaku perjalanan ke Pulau Sebatik pun menyatakan bahwa penduduk Pulau Sebatik masih terikat kepada Indonesia. Hanya saja, kebutuhan pokok yang didistribusikan dari Tawau-Malaysia dengan relatif mudah daripada kebutuhan pokok yang didistribusikan dari wilayah Indonesia. Hal ini dikhawatirkan akan menggangu ketahanan budaya masyarakat di Pulau Sebatik.

Selain jarak yang relatif dekat dengan Kota Tawau, masyarakat di Kecamatan Sebatik, yaitu di Desa Pancang mengembangkan mata pencaharian sebagai nelayan. Lingkungan alam yang berhadapan dengan laut memungkinkan terjadinya adaptasi masyarakat di Desa Pancang untuk memilih mata pencaharaian sebagai nelayan. Nelayan di desa ini adalah nelayan tradisional yang bercirikan menggunakan teknologi sederhana dan kurang mutakhir. Sebagai nelayan, mobilitas mereka cukup tinggi mengarungi lautan hingga ke tengah laut, ke arah selatan (Selat Makasar) dan ke arah utara (Laut Sulu). Mobilitas yang tinggi tersebut, mengakibatkan para nelayan Pulau Sebatik melakukan pertukaran komoditasnya di Kota Tawau Malaysia.

(23)

yang termasuk dalam kelompok suku bangsa ini antara lain suku bangsa Bulungan, Tidung, Berau, Bayau, dan Kutai. Suku bangsa melayu yang datang belakangan meliputi suku bangsa Banjar dan Bugis.

Nelayan di Desa Pancang didominasi oleh etnis Bugis. Secara kronologis, tidak ada catatan pasti mengenai masuknya etnis Bugis ke wilayah Pulau Sebatik, khususnya ke Desa Pancang. Namun dapat diperkirakan bahwa etnis Bugis yang ada di Pulau ini sudah memasuki generasi ketiga. Pelras (1996:24) menyatakan bahwa etnis Bugis merupakan etnis dengan budaya agraris yang memiliki kemampuan beradaptasi yang tinggi terhadap lingkungannya. Etnis Bugis pun memiliki mobilitas yang tinggi dan mampu menyebar ke berbagai tempat di wilayah Nusantara dengan menggunakan modal transportasi perairan. Mereka berusaha untuk menemukan lahan yang dapat dijadikan sumber mata pencahariannya.

Etnis Bugis yang datang ke Pulau Sebatik pada umumnya adalah mereka yang datang dan berusaha membuka lahan untuk pertanian atau perkebunan, sesuai dengan karakteristik agrarisnya. Berkaitan dengan kondisi geografis Pulau Sebatik yang dekat dengan perairan laut, maka sangat terbuka bagi etnis Bugis untuk mengembangkan mata pencaharian lain, yaitu menjadi nelayan.

(24)

Kondisi yang dialami para nelayan di Desa Pancang ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat yang lebih layak dengan memberi perhatian utama pada tercukupinya kebutuhan dasar. Kenyataan ini apabila dihadapkan pada nasionalisme nelayan akan membangun ketahanan budaya di kalangan mereka sendiri. Ketahanan budaya yang kuat akan mewujudkan kondisi dinamis bangsa yang tanggap, ulet, dan tangguh dalam menghadapi dan mengatasi segala bentuk perubahan yang berlangsung baik pada tatanan nasional, regional, maupun global. Ketahanan budaya terutama di wilayah perbatasan yang semakin kokoh merupakan bagian tak terpisahkan dari tujuan pembangunan nasional yang akan dicapai meskipun sistem nilai dalam kehidupan manusia, seperti perilaku budaya yang menghormati semua bangsa, memahami manusia dengan budaya lain serta menghargai adanya perbedaan budaya masih belum berjalan dengan baik.

Konsep kepala adat dalam tulisan ini adalah seseorang yang berpengaruh dan diakui sebagai pemimpin oleh seluruh masyarakat adatnya, akan tetapi kepala adat tersebut tidak memiliki atau mempunyai jabatan resmi dalam pemerintahan desa. Eksistensi manajemen kepemimpinan kepala adat merupakan pencerminan upaya masyarakat dalam menggali, melestarikan dan mengembangkan budaya adat melalui penerapan adat istiadat dan hukum adat pada kehidupan masyarakat adatnya.

(25)

yang berada dan berkedudukan di desa yang merupakan suatu wadah untuk mempertemukan keinginan antara pemerintah dan masyarakat.

Partisipasi seorang kepala adat baik dalam urusan kemasyarakatan serta kegiatan yang berhubungan dengan pembangunan desa di daerah perbatasan memiliki peran yang sangat penting, hal ini terbukti dari selalu dilibatkannya kepala adat dalam setiap kegiatan yang akan dilakukan baik oleh camat selaku pemimpin wilayah di kecamatan, maupun kepala desa selaku pemimpin yang ada di desa. Keterlibatan kepala adat dalam setiap urusan kemasyarakatan oleh pemimpin formal baik camat maupun kepala desa didasari oleh beberapa hal sebagai berikut:

1) Adanya rasa saling menghormati antara camat dan kepala desa dengan kepala adat;

2) Adanya ketaatan masyarakat terhadap nilai-nilai adat yang masih kental, sehingga peran kepala adat sangat dijunjung tinggi;

3) Adanya kesadaran para pimpinan formal bahwa mereka adalah merupakan bagian dari masyarakat adat yang harus taat dan menjunjung tinggi nilai-nilai sosial budaya yang ada pada masyarakatnya;

(26)

Peran manajemen kepemimpinan kepala adat ini, terutama sekali akan terlihat jelas ketika: (1) terjadinya masalah-masalah ataupun konflik-konflik sosial yang ada pada masyarakat baik yang bersifat pidana maupun perdata. Biasanya masalah-masalah ini akan diserahkan oleh masyarakat adatnya kepada kepala adat untuk memberikan suatu solusi pemecahan terhadap sengketa yang ada; (2) Dalam pelaksanaan suatu "hajatan" yang melibatkan seluruh masyarakat desa seperti ritual adat dan keagamaan, kegiatan perayaan 17 Agustus 1945, serta perayaan yang bersifat nasional; (3) serta dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pembangunan fisik desa, khususnya di wilayah perbatasan.

5. Kesimpulan

(27)

Referensi

Abdillah, Karim Hings. 2000. Mendayagunakan Wilayah Perbatasan Dengan Meningkatkan Peran dan Mekanisme Partisipasi Masyarakat Dalam Rangka Peningkatan Kesejahteraannya Guna Pemantapan Integritas Bangsa. Jakarta:Lemhanas.

Ardhana, I Ketut, et.al. 2007. Dinamika Etnisitas dan Hubungan Ekonomi pada Wilayah Perbatasan di Kalimantan Timur – Sabah, Studi Kasus di Wilayah Krayan dan Long Pasia: halaman 1, Jakarta:Pusat Penelitian Sumber Daya Regional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Pertahanan dan Keamanan. 2008. Laporan Hasil Kajian Masalah Perbatasan Kalimantan (Program Jangka Pendek Pembangunan Wilayah Perbatasan), Jakarta:Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Pertahanan dan Keamanan.

Eriksen, Thomas Hylland. 1993. Ethnicity & Nationalism – Anthropological Perspectives. London:Pluto Press.

Joyomartono, Mulyono. 1991. Perubahan Kebudayaan dan Masyarakat dalam Pembangunan. Semarang: IKIP Semarang Press.

Kymlicka, Will. 1998. Multicultural Citizenship. Oxford:Oxford University Press. Martinez, Oscar, J. 1994. Border People. Tucson:University of Arizona Press. Susanto, Astrid S. 1998. Masyarakat Indonesia Memasuki abad ke Dua Puluh

Satu. Jakarta: Dirjen Dikti Depdiknas.

Susilo, Budi. 1994. Mentalitas Dalam Pembangunan Masyarakat Modern, dalam: Johanes mardimin (ed), Jangan Tangisi Tradisi, Transformasi Budaya Menuju Masyarakat Indonesia Modern. Yogyakarta: Kanisius

Tirtosudarmo, Riwanto, et al. 2005. Dari Entikong sampai Nunukan : dinamika daerah perbatasan Kalimantan-Malaysia Timur (Sarawak dan Sabah), Jakarta:Pustaka Sinar Harapan.

(28)

What is Cultural Resilience?

Many human cultures have come and gone, others have survived; the longer surviving cultures can be said to be resilient. Cultural resilience refers to a culture's capacity to maintain and develop cultural identity and critical cultural knowledge and practices. Despite challenges and difficulties, a resilient culture is capable of maintaining and developing itself. A resilient culture engages with other challenges such as natural disasters and encounters with other cultures, and manages to continue. For example:

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan yang didapat bahwa ada hubungan antara ukuran-ukuran ambing dengan produksi susu sapi Friesian Holstein, dimana terdapat hubungan yang signifikan antara

pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari

Hasil penelitian ini ditemukan bahwa sustainability report tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan, hasil yang sama ditunjukkan pula oleh variabel kinerja lingkungan

Menurut saya setidaknya ada lima peran yang dapat diambil oleh museum: (1) peran sosial; (2) peran akademik; (3) peran eduksi; (4) peran pemberdayaan masyarakat; (5) peran

Hasil penelitian ini, searah dengan penemuan Panjaitan, Hotman (2012), yang menunjukkan adanya pengaruh kualitas layanan terhadap citra perusahaan, dengan kualitas layanan

Hasil yang diharapkan dari kurva CBR adalah ketebalan lapisan-lapisan perkerasan di atas sub-grade sesuai dengan jenis-jenis tanah atau material yang digunakan untuk perkerasan

Enam genotipe bawang merah yang dicoba menunjukkan perbedaan pada variabel tinggi tanaman, bobot basah seluruh bagian tanaman, bobot kering lokal tanaman per rumpun,

Berdasarkan pada unsur-unsur item skala kesiapan kerja mahasiswa (item measure), menunjukkan bahwa kemampuan bekerja dalam tim mahasiswa IKIP PGRI Jember sangat tinggi,