• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Empati Dengan Cooperative Learning Pada Proses Belajar Siswa Di SMP Negeri 10 Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Empati Dengan Cooperative Learning Pada Proses Belajar Siswa Di SMP Negeri 10 Medan"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN EMPATI DENGAN COOPERATIVE LEARNING

PADA PROSES BELAJAR SISWA DI SMP NEGERI 10

MEDAN

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

ABNES OKTORA GINTING

031301092

FAKULTAS PSIKOLOGI

(2)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kita ucapkan pada Tuhan Yang Maha Esa, berkat petunjuk dan anugerah-Nya, peneliti dapat menyelesaikan skripsi untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana jenjang strata satu (S-1) di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara dengan judul : “HUBUNGAN EMPATI DENGAN COOPERATIVE LEARNING PADA PROSES BELAJAR SISWA DI SMP N 10 MEDAN”.

Saya menyadari bahwa sungguh besar bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, baik dari masa awal penyusunan skripsi sampai pada perevisian skripsi. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. dr. Chairul Yoel, Sp.A(K) selaku Dekan Fakultas Psikologi.

2. Filia Dina Anggaraeni, M.Pd. selaku dosen pembimbing serta penguji I yang telah banyak memberikan masukan dan arahan serta meluangkan waktunya untuk membimbing saya dengan penuh integritas. Terima kasih banyak ya Bu buat semuanya.

3. Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada orang tua saya yang terhormat dan tercinta, karena telah memberikan dukungan yang sangat besar kepada anaknya, baik dukungan moril maupun materil, yang membuat penulis termotivasi untuk segera menyelesaikan skripsi ini.

(3)

Saya menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saya mengharapkan masukan dan saran dari para pembaca agar bisa lebih berkualitas buat ke depannya. Akhirnnya harapan saya semoga skripsi ini mampu memperkaya kajian psikologi di lingkungan Universitas Sumatera Utara.

Medan, April 2009

(4)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN………...………1

A. LATAR BELAKANG MASALAH………..……….1

B. RUMUSAN MASALAH………...5

C. TUJUAN PENELITIAN………...……….5

D. MANFAAT PENELITIAN………...……….5

1. Manfaat Teoritis……….5

2. Manfaat Praktis………...………6

E. SISTEMATIKA PENULISAN……….……….6

BAB II LANDASAN TEORI………...……….8

A. EMPATI……….8

1. Definisi Empati……….………...8

2. Perspektif Teoritis Empati………..9

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Empati………..12

4. Aspek-aspek yang Terdapat dalam Empati………..15

B. COOPERATIVE LEARNING………20

(5)

2. Karakteristik Pembelajaran Kooperatif

(Cooperative Learning)………..22

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Cooperative Learning………22

C. HUBUNGAN EMPATI DAN PENELITIAN MENGENAI COOPERATIVE LEARNING………..25

D. HIPOTESIS………...26

BAB III METODE PENELITIAN……….27

A. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN………...27

B. DEFINISI OPERASIONAL PENELITIAN……….27

1. Empati………..27

2. Cooperative Learning………..28

C. POPULASI DAN TEKNIK PENGAMBILAN SAMPEL………29

1. Populasi dan Karakteristik Subyek Penelitian………29

2. Teknik Pengambilan Sampel………..30

3. Jumlah Subyek Penelitian………...31

D. METODE PENGUMPULAN DATA………...31

1. Alat Ukur yang Digunakan………31

a. Skala Empati………..32

b. Skala Cooperative Learning………33

2. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur………..35

a. Validitas Alat Ukur………35

(6)

c. Reliabilitas Alat Ukur………37

E. HASIL UJI COBA ALAT UKUR………38

1. Skala Empati…….………39

2. Skala Cooperative Learning ...……….40

G. PROSEDUR PENELITIAN……….43

1. Tahap Persiapan Penelitian………43

a. Persiapan alat ukur penelitian……….43

b. Perizinan……….43

c. Uji coba alat ukur penelitian………44

2. Pelaksanaan penelitian……….45

3. Tahap Pengolahan Data………46

H. Metode Analisis Data………46

1. Uji Normalitas………..46

2. Uji Linearitas………....47

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN……….48

A. Gambaran Subyek Penelitian………...48

1. Gambaran Subyek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin…..48

2. Gambaran Subyek Penelitian Berdasarkan Usia………..49

B. Hasil Analisis Data..………..49

1 Hasil Utama Penelitian ………...49

2. Hasil Uji Asumsi………50

a. Uji Normalitas………50

(7)

3. Kategorisasi data penelitian ………..51

C. Pembahasan………...54

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN……….56

A. Kesimpulan………56

B. Saran………57

(8)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Blue Print Skala Empati...32

Tabel 2. Blue Print Pedoman Pelaksanaan Observasi Cooperative Learning...33

Tabel 3. Distribusi Aitem-aitem Hasil Uji Coba Skala Empati...39

Tabel 4. Distribusi Aitem-aitem Skala Empati...39

Tabel 5. Distribusi Aitem-aitem Hasil Uji Coba Pedoman Pelaksanaan Observasi Cooperative Learning...40

Tabel 6. Distribusi Aitem-aitem Pedoman Pelaksanaan Observasi Cooperative Learning...41

Tabel 7. Gambaran Subyek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin...48

Tabel 8. Gambaran Subyek Penelitian Berdasarkan Usia...49

Tabel 9. Hasil Olah Data Korelasi Pearson Product Moment...49

Tabel 10. Uji Normalitas dengan Kolmogorov-Smirnov...50

Tabel 11. Deskripsi Kategorisasi Variabel Empati dan Cooperative Learning...52

Tabel 12. Kriteria Jenjang Kategorisasi Variabel Empati dan Cooperative Learning………52

(9)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Data Mentah Uji Coba Skala Lampiran 2 Reliabilitas Alat Ukur Lampiran 3 Data Mentah Penelitian Lampiran 3 Hasil Pengolahan Data

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Setiap manusia yang lahir di dunia ini pada suatu ketika tentu akan mengetahui, bahwa hidup mempunyai persoalan-persoalannya, terutama hidup bermasyarakat. Ia bertemu dengan sesama hidupnya yang juga menghadapi persoalan-persoalan serupa dan lalu merasa perlu berhubungan dengan mereka untuk memecahkan persoalan ini bersama. Malahan di dalam persoalan-persoalan yang bersifat pribadi pun, ia tetap membutuhkan orang lain yang dapat menyelami dan dapat membantunya untuk menyelami persoalan-persoalan itu. Tetapi bantuan orang lain ini terutama dibutuhkannya dalam memecahkan “persoalan-persoalan sosial”. Karena secara individual orang tidak akan mampu untuk menghadapinya, dan seandainya bisa juga tidak akan mungkin dapat menyelesaikannya dengan baik. Dari sebab itu, pemecahan persoalan-persoalan sosial dengan sendirinya menuntut adanya kerja sama (SJ, 1995).

(12)

menakutkan karena dibayangi oleh tuntutan-tuntutan mengejar nilai-nilai ujian yang tinggi. (Lie, 2003).

Tampaknya, perlu adanya perubahan paradigma dalam menelaah proses belajar siswa dan interaksi antara siswa dan guru. Sudah seyogianyalah kegiatan belajar mengajar juga lebih mempertimbangkan siswa. Siswa bukanlah sebuah botol kosong yang bisa diisi dengan muatan-muatan informasi apa saja yang dianggap perlu oleh guru. Selain itu, alur proses belajar tidak harus berasal dari guru menuju siswa. Siswa bisa juga saling mengajar dengan sesama siswa yang lainnya. Bahkan, banyak penelitian menunjukkan bahwa pengajaran oleh rekan sebaya (peer teaching) ternyata lebih efektif daripada pengajaran oleh guru. Sistem pengajaran yang memberi kesempatan kepada anak didik untuk bekerja sama dengan sesama siswa dalam tugas-tugas yang terstruktur disebut sebagai sistem “pembelajaran gotong royong” atau cooperative learning. Dalam sistem ini, guru bertindak sebagai fasilitator (Lie, 2003).

Pada definisi tersebut terkandung pengertian bahwa dalam belajar kooperatif banyaknya anggota kelompok kecil, kemampuan anggota-anggota kelompok yang berbeda, menggunakan aktivitas belajar yang bervariasi untuk meningkatkan pemahaman diri. Setiap anggota kelompok tidak hanya bertanggung jawab pada belajar sendiri tetapi juga membantu teman satu team yang lain dalam belajar, sehingga tercipta suasana sukses (Lie, 2003).

(13)

perguruan tinggi untuk lebih menyiapkan anak didik dengan keterampilan-keterampilan baru untuk bisa ikut berpartisipasi dalam dunia yang berubah dan berkembang pesat. (Lie, 2003).

Dalam rimba modernitas sekarang ini, empati merupakan barang mahal yang cukup sulit didapat. Empati bukan hanya sekedar ikut merasakan, tetapi juga berbuat dengan tindakannya nyata. Di dalam tataran praktis hal ini cukup sulit untuk dilakukan, karena manusia-manusia modern terkurung oleh egonya, dan memberi empati sangatlah menyejukkan jiwa. (Arianto, 2008).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 1995), empati berarti keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain. Atau lebih gampangnya empati berarti menempatkan diri seolah-olah menjadi seperti orang lain. Mempunyai rasa empati adalah keharusan seorang manusia, karena di sanalah terletak nilai kemanusiaan seseorang.

Empati merupakan emosi atau afeksi yang positif. Empati ini berperan penting dalam mengatasi masalah yang sedang dihadapi individu dan dalam membentuk sikap dan perilaku terhadap orang lain. Orang yang mempunyai empati tinggi lebih berorientasi pada orang lain yang mengalami kesulitan tanpa banyak mempertimbangkan kerugian-kerugian yang akan diperoleh, seperti pengorbanan waktu, tenaga dan biaya. Dengan demikian seseorang yang mempunyai empati tinggi akan peduli terhadap orang lain di sekelilingnya. (Brigham, 1991).

(14)

terhadap orang lain, tak heran kalau empati selalu berkonotasi sosial seperti menyumbang, memberikan sesuatu pada orang yang kurang mampu. Rasa empati dapat dilakukan asalkan mau, kapan saja dan di mana saja kita berada. Setiap orang harus membiasakan dari hal-hal yang sederhana. (Arianto, 2008).

Menurut definisi Mader & Mader (Understanding One Another, 1990), empati adalah kemampuan seseorang untuk menjalin ikatan dengan individu lainnya secara emosional (share-feeling) yang dilandasi kepedulian. Para pakar ilmu komunikasi dan pendidikan menilai bahwa kepedulian atau empati merupakan kata kunci dalam tahap akhir kecerdasan emosional.

Merujuk pendapat A, siswa kelas IX C SMP N 10 Medan,

“Kepedulian itu penting dimiliki tiap anggota kelompok. Biasanya kalau yang

saya lihat rasa pedulinya tinggi maka kelompok diskusi tersebut mantap…”.

H, siswi kelas IX B SMP N 10 Medan juga mengutarakan pendapatnya,

“Kalau belajar pake diskusi kelompok tambah semangat dan bisa mengeluarkan aspirasi kami tiap-tiap orang. Jadi kalau kami berdiskusi kami bisa saling berpendapat trus saling mengajarin…”.

Pak L, guru mata pelajaran IPA di SMP N 10 Medan memberikan paradigma hubungan empati dengan cooperative learning dengan melihat fakta di lapangan bahwa ketika proses diskusi kelompok dilaksanakan, proses belajar siswa jadi lebih hidup. Siswa bertambah banyak yang aktif dan memicu semangat siswa yang lainnya untuk memberikan prestasi terbaiknya.

(15)

B. RUMUSAN MASALAH

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan empati dengan cooperative learning pada proses belajar siswa di SMP Negeri 10 Medan?

C. TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara empati dengan cooperative learning pada proses belajar siswa di SMP N 10 Medan.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Teoritis

a. Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan khususnya di bidang psikologi mengenai empati dan cooperative learning.

b. Memperkaya kajian penelitian di bidang Psikologi Pendidikan mengenai hubungan empati dan cooperative learning.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menyesuaikan dan melihat hubungan antara empati dengan penerapan cooperative learning pada proses belajar siswa di SMP N 10 Medan.

(16)

E. SISTEMATIKA PENULISAN

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini terdiri dari uraian singkat mengenai latar belakang masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : LANDASAN TEORI

Bab ini berisikan tentang teori-teori empati, cooperative learning, hubungan empati dan penelitian mengenai cooperative learning, serta hipotesa penelitian.

BAB III : METODE PENELITIAN

Bab ini membahas tentang identifikasi variabel penelitian, definisi operasional dari empati dan cooperative learning, populasi dan metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan yang terdiri dari uji validitas, uji daya beda dan reliabilitas alat ukur dan hasil uji coba alat ukur, prosedur pelaksanaan penelitian, serta metode analisa data.

BAB IV : ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

(17)

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

(18)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. EMPATI

1. Definisi Empati

Batson dan Coke (dalam Eisenberg & Strayer, 1987) mengartikan empati sebagai keadaan emosional yang dimiliki seseorang yang sesuai dengan apa yang dirasakan orang lain. Selain itu Hetherington dan Park (dalam Hetherington, 1999) mengatakan bahwa empati merupakan kemampuan seseorang untuk merasakan emosi yang sama dengan emosi yang dirasakan orang lain. Empati yang dimiliki dapat membuat seseorang mengenal dan memahami emosi, pikiran serta sikap orang lain.

Sejalan dengan pendapat ahli di atas Wattson, (dalam Wattson, 1984) mengartikan empati sebagai kemampuan untuk melihat suatu situasi dari sudut pandang orang lain serta David (dalam Weinstein, 1987) mengartikan empati sebagai kemampuan untuk menilai secara akurat pandangan orang lain terhadap suatu situasi. Empati dalam hubungannya dengan kecerdasan emosional merupakan suatu komponen yang sangat penting. Empati dibangun berdasarkan kesadaran diri, semakin terbuka seseorang terhadap emosinya maka akan semakin terampil ia membaca perasaan orang lain (Goleman, 1995).

(19)

(dalam Johnson, 1983) melihat empati sebagai kecenderungan untuk memahami kondisi atau keadaan pikiran orang lain, kemampuan alih peran dan mengenali perasaan orang lain seperti sikap, motif, nilai serta keyakinannya.

Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Zahn, (dalam Wardhani, 1989) yang mendefinisikan empati sebagai kemampuan untuk mendeteksi emosi yang berbeda dan kemampuan untuk mengambil alih peran atau memahami emosi yang berbeda atau memahami perspektif orang lain, dalam rangka membandingkan dan mengkombinasikannya sehingga dapat menghasilkan respon emosi yang matang.

Eisenberg dan Mussen (dalam Eisenberg & Strayer, 1987) berpendapat bahwa empati merupakan keadaan afektif yang seolah-olah dialami sendiri yang berasal dari keadaan atau kondisi emosi orang lain yang mirip dengan keadaan atau kondisi emosi orang tersebut. Respon afeksi itu sendiri menurut Hoffman (dalam Goleman, 1995) lebih jelas dirasakan sebagai situasi orang lain dari situasi diri sendiri, empati juga sebagai kemampuan untuk meletakkan diri sendiri dalam posisi orang lain dan mampu menghayati pengalaman orang lain tersebut.

2. Perspektif Teoritis Empati

Thompson (dalam Eisenberg & Strayer, 1987) mengemukakan 3 perspektif teoritis dalam menjelaskan empati, adapun perspektif tersebut adalah sebagai berikut:

a. Psikoanalitik dan Neoanalitik

(20)

1987). Ketergantungan anak pada ibu di masa awal kehidupannya merupakan bentuk hubungan yang bersifat simbiotik. Berdasarkan kedua perspektif tersebut anak dipandang sebagai sosok yang mempunyai sensitifitas yang tinggi dalam berbagai situasi yang bervariasi. Kesensitifan yang tinggi ini dipengaruhi oleh perasaan ibu (maternal affect) dan suasana hati (mood) ibu yang secara tidak sadar dipindahkan pada anak. Ibu memindahkan emosinya pada anak melalui kontak fisik yang ia lakukan saat mengasuh anak. Anak akan dapat merasakan suasana emosi ibu yang kurang baik melalui vokal dan ekspresi wajah. Reaksi emosional yang kurang baik tersebut akan menjadi stimulus yang dikondisikan dan selanjutnya menimbulkan distress pada anak. Respon emosional anak terhadap

maternal affect ini dipandang sebagai bagian fungsi ego yang bersifat otonom

(Stern, dalam Eisenberg & Strayer, 1987).

Kemampuan berempati pada anak akan bertambah seiring dengan bertambahnya pengalaman hidup dan interaksinya dengan individu-individu lain. Peristiwa ini terjadi pada usia 2 tahun pertama (Kaplan dalam Eisenberg & Strayer, 1987). Hal tersebut, dalam konteks ikatan antara ibu dan anak

(mother-infant bonding) digunakan untuk menjelaskan bahwa bukan hanya emosi

(misalnya kecemasan) dan mood ibu yang dipindahkan pada anak, namun dalam jangka panjang disposisi atau karakteristik kepribadian ibu juga ikut berpengaruh (Spitz dalam Eisenberg & Strayer, 1987).

b. Developmental Study

(21)

penalaran kognitif, dalam hal ini kemampuan permanensi objek. Kemampuan permanensi objek adalah kemampuan untuk membedakan atribut psikologis diri sendiri dengan orang lain. Kemampuan ini berguna untuk memahami peran psikologis orang lain. (Feshbach dalam Eisenberg & Strayer, 1987). Setelah anak berusia dua tahun akan berkembang kemampuan untuk mengungkapkan perasaan secara spontan. Spontanitas dalam mengungkapkan perasaan ini dipengaruhi oleh pengalaman internal dan eksternal yang mencerminkan perkembangan aspirasi emosi, kemauan dan aspek kognitif yang dialami individu.

c. Early Socioemotional Development

Steiberg dan Sroufe (dalam Eisenberg & Strayer, 1987) menyatakan bahwa bayi dan anak-anak mempunyai motivasi yang tinggi dan responsive terhadap emosi partner sosialnya. Sejak lahir anak pada dasarnya sudah memancarkan signal socio-emotional dan merespon signal socio-emotional orang lain. Tingkah laku ini merupakan potensi awal untuk mendapatkan perhatian dan berguna untuk meningkatkan daya tahan. Biasanya perilaku ini ditujukan pada pengasuh dalam bentuk tangisan atau senyuman.

(22)

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Empati

Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi proses perkembangan empati pada diri seseorang yaitu:

a. Pola Asuh

Franz (dalam Koestner, 1990) menemukan adanya hubungan yang kuat antara pola asuh pada masa-masa awal dengan empathic concern anak yang mempunyai ayah yang terlibat baik dalam pengasuhan dan ibu yang sabar dalam menghadapi ketergantungan anak (tolerance of dependency) akan mempunyai empati yang lebih tinggi. Keterlibatan ayah dalam hal ini berhubungan dengan jumlah waktu yang diluangkan bersama anak, sedangkan tolerance of dependency diinterpretasikan sebagai:

(1) besarnya tingkat interaksi ibu dan anak,

(2) refleksi kelembutan, responsivitas dan penerimaan terhadap perasaan anak, yang semuanya berhubungan dengan perilaku prososial (Siegel dalam Laurence, 1982).

(23)

jarang menggunakan hukuman dalam menilai perilaku anak. Orang tua akan lebih banyak menggunakan alasan-alasan yang dapat diterima anak dalam menjelaskan mengapa suatu perbuatan dinilai salah. Selanjutnya hal-hal di atas akan dijadikan model bagi anak dalam mengembangkan empathic concern, atau dengan kata lain anak akan melakukan proses modelling pada ibu dalam berempati.

Selanjutnya yang berhubungan dengan pola asuh adalah metode pendisiplinan yang diterapkan orang tua terhadap anak. Metode ini diterapkan dengan memfokuskan perhatian anak pada perasaan dan reaksi orang lain. Matthews (dalam Barnett, 1979) berpendapat bahwa perkembangan empati lebih besar terjadi dalam lingkungan keluarga yang:

(1). Memberikan kepuasan pada kebutuhan emosional anak dan tidak terlalu mementingkan kepentingan pribadi.

(2). Mendorong anak untuk mengalami emosi dan mengekspresikan emosinya. (3). Memberikan kesempatan untuk mengobservasi dan berinteraksi dengan orang lain sehingga mengasah kepekaan dan kemampuan emosi.

b. Kepribadian

Individu yang mempunyai kebutuhan afiliasi yang tinggi akan mempunyai tingkat empati dan nilai prososial yang tinggi pula (Koestner, 1990), sedangkan individu yang memiliki self direction, need for achivement dan need for power yang tinggi akan mempunyai tingkat empati yang rendah.

c. Jenis Kelamin

(24)

Karakteristik yang diatribusikan pada perempuan dibandingkan laki-laki adalah kecenderungan berempati. Persepsi stereotip ini didasarkan pada kepercayaan bahwa perempuan lebih nurturance (bersifat memelihara) dan lebih berorientasi interpersonal dibandingkan laki-laki (Parsons dan Bales dalam Eisenberg & Strayer, 1987). Penelitian yang dilakukan oleh Marcus (dalam Eisenberg & Strayer, 1987) berupa cerita hipotetik yang diajukan untuk melihat respon empati, didapatkan hasil bahwa anak perempuan lebih empatik dalam merespon secara verbal keadaan distress orang lain. (Buck, 1995) dalam penelitiannya menemukan hasil, ada perbedaan dalam hubungan dengan orientasi eksternal dan internal. Perempuan lebih berorientasi eksternal (orientasi pada orang lain), sedangkan laki-laki lebih berorientasi internal (orientasi pada diri sendiri).

d. Variasi Situasi, Pengalaman dan Objek Respon

Tinggi rendahnya kemampuan berempati seseorang akan sangat dipengaruhi oleh situasi, pengalaman dan respon empati yang diberikan. Secara umum anak akan lebih berempati pada orang yang lebih mirip dengan dirinya dibandingkan dengan orang yang mempunyai perbedaan dengan dirinya (Krebs, 1987).

e. Usia

(25)

f. Derajat Kematangan

Gunarsa (dalam Gunarsa, 1979) mengatakan bahwa empati itu dipengaruhi oleh derajat kematangan. Maksud derajat kematangan adalah besarnya kemampuan seseorang dalam memandang sesuatu secara proporsional.

g. Sosialisasi

Semakin banyak dan semakin intensif seorang individu melakukan sosialisasi maka akan semakin terasah kepekaannya terhadap emosi orang lain. Matthew (dalam Hoffman, 1996) menyatakan beberapa hal yang menjadikan sosialisasi sebagai komponen yang berpengaruh terhadap empati, yaitu:

(1). Sosialisasi membuat seseorang mengalami banyak emosi.

(2). Sosialisasi membuat seseorang dapat mengamati secara langsung situasi internal orang lain.

(3). Sosialisasi membuka terjadinya proses role taking.

(4). Terdapat banyak afeksi sehingga seseorang akan menjadi lebih terbuka terhadap kebutuhan emosi orang lain.

(5). Dalam sosialisasi ditemukan banyak model yang dapat memberikan banyak contoh kebiasaan prososial dan perasaan empati yang dinyatakan secara verbal. 4. Aspek-aspek yang Terdapat dalam Empati

(26)

(Koestner, 1990; Davis, 1983). Westner menamakan dua komponen tersebut sebagai intelegensi dan sensitivitas terhadap isyarat (clue sensitivity).

Komponen kognitif dalam empati difokuskan pada proses intelektual untuk memahami perspektif orang lain dengan tepat, di sini diharapkan seseorang dapat membedakan emosi orang lain dan menerima pandangan mereka. Adapun komponen afektif merupakan kecenderungan seseorang untuk mengalami perasaan emosional orang lain. Feshbach dan Kuchenbecker (dalam Mussen, 1979) menyatakan ada tiga komponen empati yaitu:

a. Kemampuan kognitif untuk membedakan perasaan.

b. Kemampuan untuk mengambil alih perspektif atau memahami pengalaman orang lain.

c. Perasaan atau emosi yang timbul atau digerakkan dari dalam diri sendiri.

Berdasarkan skala empati yang dibuat Davis (1983) secara global ada dua komponen dalam empati, yaitu komponen kognitif dan komponen afektif yang masing-masing mempunyai dua aspek yaitu: Komponen kognitif terdiri dari

Perspective Taking (PT) dan Fantacy (FS), sedangkan komponen afektif meliputi Empathic Concern (EC) dan Personal Distress (PD).

Keempat aspek tersebut mempunyai arti sebagai berikut: a. Perspective Taking (PT)

(27)

kepentingan orang lain. Coke (dalam Davis, 1983) menyatakan bahwa perspective

taking berhubungan dengan reaksi emosional dan perilaku menolong pada orang

dewasa.

b. Fantacy (FS)

Kemampuan seseorang untuk mengubah diri mereka secara imajinatif dalam mengalami perasaan dan tindakan dari karakter khayal dalam buku, film atau cerita yang dibaca dan ditontonnya. Stotland (dalam Davis, 1983) mengemukakan bahwa fantacy merupakan aspek yang berpengaruh pada reaksi emosi terhadap orang lain dan menimbulkan perilaku menolong.

c. Empathic Concern (EC)

Perasaan simpati yang berorientasi pada orang lain dan perhatian terhadap kemalangan orang lain. Aspek ini juga merupakan cermin dari perasaan kehangatan yang erat kaitannya dengan kepekaan dan kepedulian terhadap orang lain.

d. Personal Distress (PD)

Menekankan pada kecemasan pribadi yang berorientasi pada diri sendiri serta kegelisahan dalam menghadapi setting interpersonal yang tidak menyenangkan. Personal Distress yang tinggi membuat kemampuan sosialisasi seseorang menjadi rendah.

(28)

diberikan orang lain mengenai situasi internalnya yang dapat diketahui melalui perilaku dan sikap-sikap mereka (Lindgren 1974).

Seseorang dapat menginterpretasikan orang lain bahagia, cemas, sedih, marah atau bosan biasanya melalui ekspresi wajah yang tampak, seperti tersenyum, menyeringai, cemberut atau ekspresi lain. Selain itu sikap badan, suara dan gerak isyarat juga dapat dijadikan petunjuk penting suasana hati yang sedang dialami seseorang (Lindgren dan Staub, 1978). Kemampuan berempati yang dimiliki oleh masing-masing individu berbeda-beda. Reaksi empati yang ditujukan pada orang lain seringkali didasarkan pada pengalaman masa lalu. Biasanya seseorang merespon pengalaman orang lain secara lebih empatik apabila sebelumnya ia mempunyai pengalaman yang mirip dengan orang tersebut (Staub, 1978), sebab itu akan menimbulkan kemiripan kualitas pengalaman emosi.

Krebs (dalam Krebs, 1987) mengatakan bahwa seseorang akan lebih mudah berempati terhadap orang lain yang memiliki kesamaan dengan dirinya daripada orang yang tidak memiliki kesamaan. Johnson, (dalam Johnson, 1983) menambahkan bahwa orang yang empatik biasanya melukiskan dirinya sebagai orang yang lebih toleran, mampu mengendalikan diri, ramah, punya pengaruh dan bersifat humanistik.

Rose (dalam Hogan, 1980) mengemukakan lima aspek orang yang mempunyai karakteristik orang yang berempati tinggi (highly empathic concern), yaitu:

a. kemampuan dalam berperan imajinatif

(29)

c. kemampuan untuk mengevaluasi motif-motif orang lain d. pengetahuan tentang motif dan perilaku orang lain e. mempunyai rasa pengertian sosial

Empati bagi seorang individu mempunyai beberapa fungsi, yaitu: a). Menyesuaikan Diri

Empati mempermudah proses adaptasi karena ada kesadaran dalam diri bahwa sudut pandang setiap orang berbeda. Dymon (dalam Hadiyanti, 1992) menyatakan bahwa orang yang baik penyesuaian dirinya akan dimanifestasikan dalam sifat optimis, fleksibel dan kematangan emosi.

b). Mempercepat hubungan dengan orang lain

Lauster (dalam Lauster, 1995) berpendapat bahwa jika setiap orang berusaha untuk berempati, maka salah paham, perdebatan dan ketidaksepakatan antar individu dapat dihindari.

c). Meningkatkan harga diri

Empati berperan besar dalam hubungan sosial. Richard (dalam Jones, 1992) menyatakan bahwa hubungan sosial merupakan media berkreasi dan menyatakan identitas diri. Adanya hubungan sosial dan media berkreasi menyebabkan tumbuhnya rasa harga diri dalam diri seseorang (Kurtinez dan Gewirtz, 1984).

d). Meningkatkan pemahaman diri

(30)

pendapat orang lain tentang dirinya. Melalui proses tersebut akan terbentuk konsep diri yang terjadi dengan perbandingan sosial yang dilakukan dengan membandingkan diri sendiri dengan orang lain (Mussen, 1989). Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa empati pada dasarnya terdiri dari komponen kognitif dan komponen afektif. Komponen kognitif difokuskan pada proses intelektual untuk memahami perspektif orang lain dengan benar. Adapun komponen afektif merupakan kecenderungan seseorang untuk mengalami pengalaman emosional orang lain.

B. COOPERATIVE LEARNING

1. Definisi Cooperative Learning

Cooperative mengandung pengertian bekerja bersama dalam mencapai

tujuan bersama (Hasan, 1996). Sehubungan dengan pengertian tersebut, Slavin (1984) mengatakan bahwa cooperative learning adalah suatu model pembelajaran di mana siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari 4 sampai 6 orang, dengan struktur kelompoknya yang bersifat heterogen. Jadi, belajar kooperatif adalah pemanfaatan kelompok kecil dalam pengajaran yang memungkinkan siswa bekerja bersama untuk memaksimalkan belajar mereka dan belajar anggota lainnya dalam kelompok tersebut (Hasan, 1996).

(31)

lebih di mana keberhasilan kerja sangat dipengaruhi oleh keterlibatan dari setiap anggota kelompok itu sendiri. Cooperative learning juga dapat diartikan sebagai suatu struktur tugas bersama dalam suasana kebersamaan di antara sesama anggota kelompok (Solihatin, 2008).

Cooperative learning lebih dari sekedar belajar kelompok atau kelompok

kerja, karena belajar dalam model cooperative learning harus ada “struktur dorongan dan tugas yang bersifat kooperatif” sehingga memungkinkan terjadinya interaksi secara terbuka dan hubungan-hubungan yang bersifat interdependensi yang efektif di antara anggota kelompok (Slavin, 1983; Stahl, 1994). Di samping itu, pola hubungan kerja seperti itu memungkinkan timbulnya persepsi yang positif tentang apa yang dapat mereka lakukan untuk berhasil berdasarkan kemampuan dirinya secara individual dan sumbangsih dari anggota lainnya selama mereka belajar secara bersama-sama dalam kelompok. Stahl (1994) mengatakan bahwa model pembelajaran cooperative learning menempatkan siswa sebagai bagian dari suatu sistem kerja sama dalam mencapai suatu hasil yang optimal dalam belajar. Model pembelajaran ini berangkat dari asumsi mendasar dalam kehidupan masyarakat, yaitu “getting better together”, atau “raihlah yang lebih baik secara bersama-sama” (Slavin, 1992).

(32)

bukan semata-mata harus diperoleh dari dosen, melainkan bisa juga dari pihak lain yang terlibat dalam pembelajaran itu, yaitu teman sebaya.

Keberhasilan belajar menurut model belajar ini bukan semata-mata ditentukan oleh kemampuan individu secara utuh, melainkan perolehan belajar itu akan semakin baik apabila dilakukan secara bersama-sama dalam kelompok-kelompok belajar kecil yang terstruktur dengan baik. Melalui belajar dari teman yang sebaya dan di bawah bimbingan dosen, maka proses penerimaan dan pemahaman siswa akan semakin mudah dan cepat terhadap materi yang dipelajari. 2. Karakteristik Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning)

Karakteristik pembelajaran kooperatif di antaranya (dalam Karlina, 2007): a. Siswa bekerja dalam kelompok kooperatif untuk menguasai materi akademis. b. Anggota-anggota dalam kelompok diatur terdiri dari siswa yang berkemampuan rendah, sedang, dan tinggi.

c. Jika memungkinkan, masing-masing anggota kelompok kooperatif berbeda suku, budaya, dan jenis kelamin.

d. Sistem penghargaan yang berorientasi kepada kelompok daripada individu. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Cooperative Learning

Roger dan David Johnson (dalam Lie, 2003) mengatakan bahwa tidak semua kerja kelompok bisa dianggap cooperative learning. Untuk mencapai hasil yang maksimal, lima unsur model pembelajaran gotong royong harus diterapkan. a. Saling Ketergantungan Positif

(33)

sedemikian rupa, sehingga setiap anggota kelompok harus menyelesaikan tugasnya sendiri agar yang lain bisa mencapai tujuan mereka. Kondisi belajar ini memungkinkan siswa untuk merasa tergantung secara positif pada anggota kelompok lainnya dalam mempelajari dan menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan oleh pengajar.

b. Tanggung Jawab Perseorangan

Salah satu dasar penggunaan cooperative learning dalam pembelajaran adalah bahwa keberhasilan belajar akan lebih mungkin dicapai secara lebih baik apabila dilakukan dengan bersama-sama. Oleh karena itu, keberhasilan belajar dalam model belajar strategi ini dipengaruhi oleh kemampuan individu siswa dalam menerima dan memberi apa yang telah dipelajarinya di antara siswa lainnya. Sehingga secara individual siswa mempunyai dua tanggung jawab, yaitu mengerjakan dan memahami materi atau tugas bagi keberhasilan dirinya dan juga bagi keberhasilan anggota kelompoknya sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.

c. Tatap Muka

(34)

d. Komunikasi Antar Anggota

Dalam mengerjakan tugas kelompok, siswa bekerja dalam kelompok sebagai suatu kelompok kerja sama. Dalam interaksi dengan siswa lainnya siswa tidak begitu saja bisa menerapkan dan memaksakan sikap dan pendiriannya pada anggota kelompok lainnya. Pada kegiatan bekerja dalam kelompok, siswa harus belajar bagaimana meningkatkan kemampuan interaksinya dalam memimpin, berdiskusi, bernegoisasi, dan mengklarifikasi berbagai masalah dalam menyelesaikan tugas-tugas kelompok. Dalam hal ini pengajar harus membantu siswa menjelaskan bagaimana sikap dan perilaku yang baik dalam bekerja sama yang bisa digunakan oleh siswa dalam kelompok belajarnya.

e. Evaluasi Proses Kelompok

Setelah masing-masing kelompok belajar menyelesaikan tugas dan pekerjaannya, selanjutnya perlu dianalisis bagaimana penampilan dan hasil kerja siswa dalam kelompok belajarnya, termasuk juga:

(1) bagaimana hasil kerja yang dihasilkan,

(2) bagaimana mereka membantu anggota kelompoknya dalam mengerti dan memahami materi dan masalah yang dibahas,

(3) bagaimana sikap dan perilaku mereka dalam interaksi kelompok belajar bagi keberhasilan kelompoknya, dan

(35)

harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan ide dan saran, baik kepada mahasiswa lainnya maupun kepada pengajar dalam rangka perbaikan belajar dari hasilnya di kemudian hari.

C. HUBUNGAN EMPATI DAN PENELITIAN MENGENAI

COOPERATIVE LEARNING

Van Sickle (1983) dalam penelitiannya mengenai model cooperative

learning dan implikasinya terhadap perolehan belajar siswa dan pengembangan

kurikulum social studies, menemukan bahwa sistem belajar kelompok dan

debriefing secara individual dan kelompok dalam model cooperative learning

mendorong tumbuhnya tanggung jawab sosial dan individual siswa, berkembangnya sikap ketergantungan yang positif, mendorong peningkatan dan kegairahan belajar siswa, serta pengembangan dan ketercapaian kurikulum.

Stahl (1992) dalam penelitiannya di beberapa sekolah dasar di Amerika menemukan, bahwa penggunaan model cooperative learning mendorong tumbuhnya sikap kesetiakawanan dan keterbukaan di antara siswa. Penelitian ini juga menemukan bahwa model tersebut mendorong ketercapaian tujuan dan nilai-nilai sosial dalam pendidikan social studies.

Mengkaji beberapa temuan penelitian terdahulu, tampaknya model

cooperative learning menunjukkan efektivitas yang sangat tinggi bagi perolehan

(36)

sosial yang sangat bermanfaaat bagi siswa dalam kehidupannya di masyarakat (Solihatin, 2008).

Sementara itu, Matthews, (dalam Barnett, 1979) mengidentifikasikan 15 sifat yang mencerminkan rasa empati terhadap orang lain yang terdiri dari tujuh sifat yang dinilai positif dan lima sifat yang dinilai negatif. Sifat-sifat positif itu antara lain: murah hati, suka menolong, baik hati, sensitive, lembut hati, simpati dan hangat, adapun sifat negatif tersebut antara lain: dingin, keras hati, egois, mementingkan diri sendiri dan tidak berperasaan.

Akar cinta pada sesama juga terletak pada empati, yaitu kemampuan dan kepekaan untuk membaca emosi orang lain. Tanpa adanya kepekaan terhadap kebutuhan atau penderitaan orang lain, tidak akan timbul kasih sayang, padahal menurut Goleman (1995) dua sikap moral saat ini adalah kendali diri dan kasih sayang.

Dari penjelasan di atas, dapat diasumsikan bahwa terdapat adanya hubungan antara empati dengan cooperative learning. Kondisi ini dilihat dari sifat positif yang mencerminkan rasa empati terhadap orang lain berkorelasi dengan unsur-unsur yang diperlukan agar cooperative learning berjalan dengan baik pada proses belajar siswa.

D. HIPOTESIS

(37)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN

Sesuai dengan permasalahan yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, yaitu ingin melihat adakah hubungan empati dengan cooperative

learning pada proses belajar siswa di SMP N 10 Medan, maka peneliti akan

menggunakan metode korelasi.

Adapun variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah: - Variabel Bebas : Empati

- Variabel Tergantung : Cooperative Learning

B. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL PENELITIAN

Definisi operasional memberikan batasan arti suatu variabel dengan merinci hal yang harus dikerjakan oleh peneliti untuk mengukur variabel tersebut (Kerlinger, 2002). Oleh karena itu, untuk menghindari terjadinya perbedaan persepsi dalam melakukan interpretasi setiap variabel dalam penelitian ini, maka definisi operasional dibatasi secara jelas sebagai berikut:

1. Empati

(38)

dan humanis. Dalam penelitian ini empati seseorang dilihat dari jumlah skor empati yang diperoleh subyek dalam menjawab skala empati yang terdiri dari empat aspek, yaitu perspective taking (pengambilan secara spontan sudut pandang orang lain), fantacy (kecenderungan seseorang untuk mengubah diri ke dalam perasaan dan tindakan dari karakter khayalan yang terdapat dalam film-film, buku, maupun dalam permainan), empathic concern (orientasi seseorang terhadap orang lain berupa perasaan simpati dan peduli terhadap orang lain yang ditimpa kemalangan), personal distress (orientasi seseorang terhadap dirinya sendiri meliputi perasaan cemas dan gelisah pada situasi interpersonal). Tinggi rendahnya empati seorang subyek tergantung pada tinggi rendahnya skor skala empati ini. Semakin tinggi skor subyek maka semakin tinggi pula tingkat empati subyek dan semakin rendah skor subyek maka semakin rendah pula tingkat empati subyek. 2. Cooperative Learning

Cooperative learning terkandung pemahaman bahwa dalam belajar

kooperatif tercipta kerjasama yang baik antar anggota team ada ketergantungan saling memerlukan yang positif (menanamkan rasa kebersamaan), tanggung jawab masing-masing anggota (setiap anggota memiliki sumbangan dan belajar), keterampilan hubungan antar person (komunikasi, keberhasilan, kepemimpinan, membuat keputusan, dan penyelesaian konflik), tatap muka menaikkan interaksi dan pengolahan data. Adapun aspek-aspek yang terdapat dalam empati antara lain: a. Saling Ketergantungan Positif

(39)

d. Komunikasi Antar Anggota e. Evaluasi Proses Kelompok

Tinggi rendahnya cooperative learning seorang subyek tergantung pada tinggi rendahnya skor skala coopeartive learning ini. Semakin tinggi skor subyek maka semakin tinggi pula tingkat cooperative learning subyek dan semakin rendah skor subyek maka semakin rendah pula tingkat cooperative learning subyek.

C. POPULASI DAN TEKNIK PENGAMBILAN SAMPEL

1. Populasi dan Karakteristik Subyek Penelitian

Populasi adalah seluruh penduduk atau individu yang dimaksudkan untuk diteliti. Populasi dibatasi sebagai jumlah penduduk atau individu yang paling sedikit memiliki satu sifat yang sama (Hadi, 2000). Adapun populasi dalam penelitian ini adalah siswa SMP Negeri 10 Medan yang berlokasi di Jalan Letjend Djamin Ginting Km 4,5 Medan.

Sementara itu, menurut Hadi (2000), sampel adalah bagian dari populasi. Sampel juga harus memiliki sedikitnya satu sifat yang sama agar dapat dilakukan generalisasi. Karakteristik sampel dalam penelitian ini adalah:

a. Siswa/i kelas VIII SMP N 10 Medan

Dengan alasan, pelajar pada kelas ini telah mengenal dan melakukan

cooperative learning sejak memasuki SMP, sehingga pengalaman akan metode

(40)

b. Usia siswa/i 13-16 tahun

Pada usia ini siswa berada pada fase perkembangan remaja di mana salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. (Hurlock, 1999).

c. Siswa/i belajar dengan cooperative learning.

Peneliti memilih sampel dengan cara memilih satu kelas yang nantinya akan menggunakan metode belajar cooperative learning. Peneliti selanjutnya menyesuaikan diri dengan jadwal belajar mengajar kelas tersebut dengan terlebih dahulu meminta ijin pada guru yang bersangkutan untuk melakukan penelitian. 2. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah Purposive Sampling.

Purposive Sampling merupakan teknik pengambilan sampel yang disesuaikan

dengan tujuan penelitian (Hadi, 2000). Alasan penggunaan Purposive Sampling ini disebabkan karena, penelitian dilakukan terhadap sekelompok subyek berdasarkan ciri atau sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Sampel dipilih berdasarkan tujuan penelitian.

Populasi dalam penelitian ini adalah kelas VIII berjumlah 9 kelas dengan jumlah siswa keseluruhan 350 orang. Maka pada pelaksanaan uji coba alat ukur dan penelitian, dipilih 1 kelas yang akan menerapkan proses belajar cooperative

learning. Berdasarkan pelaksanaannya di lapangan, pada uji coba alat ukur

(41)

3. Jumlah Subyek Penelitian

Jumlah subyek dalam penelitian ini direncanakan berjumlah siswa dan siswi kelas VIII sebanyak 39 orang dalam satu kelas dari populasi + 350 orang siswa. Banyak ahli riset menyarankan untuk mengambil sampel sebesar 10 % dari populasi, sebagai aturan kasar. Namun pertimbangan efisiensi sumber daya akan membatasi besarnya jumlah sampel yang dapat diambil (Azwar, 2004).

D. METODE PENGUMPULAN DATA

1. Alat Ukur yang Digunakan

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pengambilan data dengan menggunakan skala. Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala psikologis. Skala psikologis merupakan alat ukur aspek afektif yang menggambarkan aspek kepribadian individu (Azwar, 2000).

Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini terdiri dari dua skala, yaitu skala untuk mengukur empati dan skala untuk mengukur cooperative learning, yang digunakan dengan cara menyebarkan skala yang berisi sejumlah pernyataan yang telah disusun sedemikian rupa sehingga subyek penelitian dapat mengisinya dengan cermat.

a. Skala Empati

Skala empati yang digunakan dalam penelitian ini disusun berdasarkan aspek-aspek empati yang dibuat oleh Davis (1983), yaitu:

(42)

(3) Empathic Concern (EC) (4) Personal Distress (PD)

Skala empati ini menggunakan skala Likert. Masing-masing terdiri dari empat alternatif jawaban yaitu: Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), Sangat Tidak Sesuai (STS). Skala ini disajikan dalam bentuk pernyataan mendukung (favorable) dan tidak mendukung (unfavorable). Nilai pilihan bergerak dari 1 sampai 4. Bobot pernyataan mendukung (favorable) yaitu, SS = 4, S = 3, TS = 2, STS = 1. Sedangkan untuk bobot pernyataan tidak mendukung

(unfavorable) yaitu SS = 1, S = 2, TS = 3, STS = 4.

Tabel 1. Blue Print Skala Empati

No. Aspek-aspek Favorable Unfavorable Jumlah 1 Perspective Taking (PT) 1, 9, 17, 25, 33,

Pada tabel 1. jumlah aitem yang akan dibuat pada skala empati ini adalah 80 aitem yang terdiri dari 40 mendukung (favorable) dan 40 aitem tidak mendukung (unfavorable).

b. Skala Cooperative Learning

(43)

mempersiapkan materi dan instrumen pengamatan yang akan digunakan. Instrumen pengamatan disajikan dalam bentuk skala di mana variabel penelitian diklasifikasikan secara rinci menjadi aitem-aitem berdasarkan aspek-aspeknya (Bungin, 2005). Skala cooperative learning ini disusun berdasarkan aspek-aspek yang mempengaruhi cooperative learning yaitu saling ketergantungan positif, tanggung jawab perseorangan, tatap muka, komunikasi antar anggota, evaluasi proses kelompok. Nilai pilihan yang diberikan untuk penampilan yang dilakukan bergerak dari 1 sampai 3. Nilai 1 diberikan jika perilaku subyek tergolong tidak pernah, nilai 2 diberikan jika perilaku subyek satu kali, dan nilai 3 diberikan jika perilaku subyek lebih dari satu kali.

Tabel 2. Blue Print Pedoman Pelaksanaan Observasi Cooperative Learning

No. Aspek-aspek Indikator Perilaku Nomor Aitem lain ketika ada masalah.

4 1

2. Tanggung Jawab Perseorangan

Individu tetap fokus pada tugas selama diskusi kelompok

Pembagian tugas yang adil untuk setiap individu.

7 1

(44)

sebelum mengambil kesimpulan.

Individu tetap mencoba walaupun tugas itu bertambah sulit.

9 1

3. Tatap Muka Individu menunjukkan

penerimaan terhadap pertemuan kelompok.

10 1

Individu tiba tepat waktu pada pertemuan kelompok.

Individu menerima saran yang membangun dengan cara yang bersahabat.

pengalaman, perasaan, ide atau opininya.

15 1

Individu berbicara dengan jelas dan menggunakan

perbendaharaan kata yang dapat dipahami dengan mudah.

16 1 sudut pandang yang berbeda dengan opini mereka.

18 1

Individu menggunakan logika untuk menantang pemikiran kelompok atau metode kerja.

19 1

Individu menerima saran yang membangun dengan cara yang bersahabat.

20 1

5. Evaluasi Proses Kelompok

Individu membawa bahan-bahan pelajaran bagi kelompok untuk diujikan.

21 1

Individu merujuk pada sumber bacaan selama diskusi.

22 1

Individu membatasi lamanya berkomentar sehingga yang lain

(45)

mempunyai kesempatan untuk bicara.

Individu melibatkan dan

mengenal kontribusi orang lain.

24 1

Individu menawarkan cara baru dalam memandang ide-ide atau masalah.

Pada tabel 2. jumlah aitem yang akan dibuat pada pedoman pelaksanaan observasi variabel cooperative learning ini adalah sebanyak 26 aitem.

2. Validitas, Uji Daya Beda dan Reliabilitas Alat Ukur

Skala empati dan skala cooperative learning yang disebarkan akan diukur validitas dan reliabilitasnya.

a. Validitas Alat Ukur

Menurut Sukadji (2000), validitas merupakan derajat yang menyatakan suatu tes mengukur apa yang seharusnya diukur. Validitas suatu tes tidak begitu saja melekat pada tes itu sendiri, tetapi tergantung penggunaan dan subyeknya. Skala empati dan skala cooperative learning dalam penelitian ini akan diuji validitasnya berdasarkan pada validitas isi (content validity).

(46)

Dalam penulisan aitem, blueprint akan memberikan gambaran mengenai isi skala dan mendukung validitas isi skala (Azwar, 2000). Dalam penelitian ini, peneliti membuat blue print kedua skala lalu peneliti meminta professional

judgement dari dosen pembimbing skripsi. Melalui konsultasi dengan dosen

pembimbing, akan diperoleh aitem-aitem mana yang layak dan tidak layak untuk diuji coba sebagai alat ukur.

b. Uji Daya Beda

Sebelum melakukan pengujian reliabilitas, hendaknya terlebih dahulu melakukan prosedur seleksi aitem dengan cara menguji karakteristik masing-masing aitem yang menjadi bagian tes yang bersangkutan. Aitem-aitem yang tidak memenuhi syarat kualitas yang baik tidak boleh diikutkan menjadi bagian tes (Azwar, 2000). Prinsip kerja yang dijadikan dasar untuk melakukan seleksi aitem dalam hal ini adalah memilih aitem-aitem yang fungsi ukurnya selaras atau sesuai dengan fungsi ukur skala sebagaimana dikehendaki oleh penyusunnya (Azwar, 2005).

Pengujian daya beda aitem menghendaki dilakukannya komputasi korelasi antara distribusi skor aitem dengan suatu kriteria yang relevan, yaitu distribusi skor skala itu sendiri. Komput asi ini akan menghasilkan koefisien korelasi aitem total (rit) yang dikenal dengan sebutan parameter daya beda aitem. Kriteria

pemilihan aitem berdasarkan korelasi aitem menggunakan batasan rit ≥ 0,275.

(47)

dianggap memuaskan. Aitem yang memiliki harga rit kurang dari 0,275 dapat

diinterpretasikan sebagai aitem yang memiliki daya beda rendah (Azwar, 2005). Pernyataan-pernyataan pada skala diuji daya beda aitemnya dengan menghitung koefisien korelasi antara skor aitem dengan skor total skala. Teknik statistika yang digunakan adalah reliabilitas Alpha Cronbach. Semakin tinggi koefisien korelasi antara skor aitem dengan skor skala berarti semakin tinggi konsistensi antara aitem tersebut dengan skala secara keseluruhan yang berarti semakin tinggi daya bedanya. Bila koefisien korelasi rendah mendekati angka nol berarti fungsi aitem tersebut tidak cocok dengan fungsi ukur skala dan daya bedanya tidak baik (Azwar, 2005). Pengujian daya beda aitem ini dilakukan dengan menggunakan program komputer SPSS 13.0 for windows.

c. Reliabilitas Alat Ukur

Reliabilitas adalah sejauh mana hasil suatu pengukuran dengan alat tersebut dapat dipercaya (Suryabrata, 2000). Reliabilitas alat ukur yang dapat dilihat dari koefisien reliabilitas merupakan indikator konsistensi aitem-aitem tes dalam menjalankan fungsi ukurnya secara bersama-sama. Reliabilitas alat ukur ini sebenarnya mengacu pada konsistensi atau kepercayaan hasil ukur yang mengandung makna kecermatan pengukuran (Azwar, 1997).

(48)

Cronbach ini digunakan untuk tes-tes yang homogen, karena pada dasarnya

rumus tersebut merefleksikan homogenitas butir-butir soal (Suryabrata, 2000) agar estimasi yang diperoleh dapat mendekati reliabilitas yang sebenarnya (Azwar, 1997).

Reliabilitas dinyatakan oleh koefisien reliabilitas (rxx’) yang angkanya

berada dalam rentang dari 0 sampai dengan 1,00. Semakin tinggi koefisien reliabilitas mendekati angka 1,00 berarti semakin tinggi reliabilitasnya. Sebaliknya koefisien yang semakin rendah mendekati angka 0 berarti semakin rendahnya reliabilitas.

Menurut Triton (2006) kategori reliabilitas pengukuran terbagi atas lima bagian, yaitu: 1). 0,00 s/d 0,20 (kurang reliabel), 2). >0,20 s/d 0,40 (agak reliabel), 3). >0,40 s/d 0,60 (cukup reliabel), 4). >0,60 s/d 0,80 (reliabel), 5). >0,80 s/d 1,00 (sangat reliabel). Teknik yang digunakan untuk menguji reliabilitas alat ukur pada penelitian ini adalah teknik koefisien Alpha Cronbach dengan bantuan program

SPSS versi 13 for windows.

F. Hasil Uji Coba Alat Ukur

1. Skala empati

Uji coba skala empati dilakukan terhadap 38 orang siswa/i sekelas pada kelas VIII B. Berdasarkan hasil uji coba sebanyak 80 aitem skala empati diperoleh 39 aitem yang memiliki koefisien korelasi aitem total yang memenuhi syarat untuk dapat digunakan dalam penelitian (rit ≥ 0.275 ). Adapun distribusi

(49)

Tabel 3. Distribusi Aitem-aitem Hasil Uji Coba Skala Empati

No. Aspek-aspek Favorable Unfavorable Jumlah 1 Perspective Taking (PT) 1, 9, 17, 41, 49,

Pada skala empati di atas akan dilakukan perubahan tata letak urutan nomor aitem-aitem. Hal ini dilakukan karena aitem yang gugur dan tidak terpilih, tidak diikutsertakan lagi dalam skala penelitian. Koefisien korelasi aitem-aitem yang reliabel berkisar antara 0.293 hingga 0.721. Nilai koefisien alpha sebesar 0.844.

Distribusi aitem-aitem skala yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Distribusi Aitem-aitem Skala Empati

No. Aspek-aspek Favorable Unfavorable Jumlah 1 Perspective Taking (PT) 1, 4, 9, 18, 22,

2. Skala Cooperative Learning

(50)

Tabel 5. Distribusi Aitem-aitem Hasil Uji Coba Pedoman Pelaksanaan Observasi Cooperative Learning

No. Aspek-aspek Indikator Perilaku Nomor Aitem lain ketika ada masalah.

4 1

Pembagian tugas yang adil untuk setiap individu. walaupun tugas itu bertambah sulit.

9 1

3. Tatap Muka Individu menunjukkan

penerimaan terhadap pertemuan

4. Komunikasi Antar Anggota

pengalaman, perasaan, ide atau opininya.

15 1

Individu berbicara dengan jelas dan menggunakan

perbendaharaan kata yang dapat dipahami dengan mudah.

16 1

Individu mempertimbangkan sudut pandang yang berbeda dengan opini mereka.

(51)

Individu menggunakan logika untuk menantang pemikiran kelompok atau metode kerja.

19 1

Individu menerima saran yang membangun dengan cara yang bersahabat.

20 1

5. Evaluasi Proses Kelompok

Individu merujuk pada sumber bacaan selama diskusi.

22 1

Individu membatasi lamanya berkomentar sehingga yang lain mempunyai kesempatan untuk bicara.

23 1

Individu melibatkan dan

mengenal kontribusi orang lain.

24 1

Individu menawarkan cara baru dalam memandang ide-ide atau masalah.

Berdasarkan hasil uji coba sebanyak 26 aitem pedoman pelaksanaan observasi cooperative learning diperoleh 21 aitem yang memiliki koefisien korelasi aitem total yang memenuhi syarat untuk dapat digunakan dalam penelitian (rit ≥ 0.275). Nilai koefisien alpha sebesar 0.902

Pada pedoman pelaksanaan observasi di atas akan dilakukan perubahan tata letak urutan nomor aitem-aitem. Hal ini dilakukan karena aitem yang gugur dan tidak terpilih, tidak diikutsertakan lagi dalam skala penelitian. Distribusi aitem-aitem skala yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada tabel 6.

Tabel 6. Distribusi Aitem-aitem Pedoman Pelaksanaan Observasi Cooperative Learning

(52)

Individu menolong temannya

menyalahkan temannya yang lain ketika ada masalah.

Pembagian tugas yang adil untuk setiap individu.

Individu tetap mencoba walaupun tugas itu bertambah sulit.

8 1

3. Tatap Muka Individu menunjukkan

penerimaan terhadap pertemuan

4. Komunikasi Antar Anggota

pengalaman, perasaan, ide atau opininya.

12 1

Individu berbicara dengan jelas dan menggunakan

perbendaharaan kata yang dapat dipahami dengan mudah.

13 1

Individu mempertimbangkan sudut pandang yang berbeda dengan opini mereka.

14 1

Individu menggunakan logika untuk menantang pemikiran kelompok atau metode kerja.

15 1

Individu menerima saran yang membangun dengan cara yang bersahabat.

16 1

5. Evaluasi Proses Kelompok

Individu merujuk pada sumber bacaan selama diskusi.

(53)

Individu membatasi lamanya berkomentar sehingga yang lain mempunyai kesempatan untuk bicara.

18 1

Individu melibatkan dan

mengenal kontribusi orang lain.

19 1

Individu menawarkan cara baru dalam memandang ide-ide atau masalah.

20 1

Individu menerima kompromi sebagai cara untuk menyelesaikan konflik.

21 1

TOTAL 21

G. Prosedur Penelitian

1. Tahap Persiapan Penelitian

a). Persiapan alat ukur penelitian

Penelitian ini melibatkan dua alat ukur yaitu skala untuk mengukur empati dan skala untuk mengukur cooperative learning. Dalam penyusunan skala empati dan skala cooperative learning langkah pertama adalah menentukan aspek-aspek setiap variabel yang akan diukur, kemudian disusun sejumlah pernyataan atau aitem yang akan diukur berdasarkan blue print yang telah dibuat mengacu pada aspek-aspek yang akan diukur pada masing-masing variabel. Pada saat pembuatan alat ukur peneliti meminta pertimbangan dosen pembimbing dan melakukan seleksi aitem-aitem yang memenuhi syarat berdasarkan blue print sebelum diujicobakan.

b). Perizinan

(54)

Utara sebagai tanda bukti bahwa peneliti legal untuk melakukan penelitian. Surat izin penelitian yang dikeluarkan oleh Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara selanjutnya diproses sehingga peneliti dapat melakukan penelitian di SMP Negeri 10 Medan.

c). Uji coba alat ukur penelitian

Sebelum dijadikan alat ukur penelitian, maka kedua alat ukur tersebut diujicobakan terlebih dahulu pada 38 orang siswa/i sekelas. Uji coba alat ukur penelitian ini dilakukan pada tanggal 6 Maret dan 9 Maret dengan melakukan uji coba alat ukur skala empati pada awalnya. Peneliti membagikan skala empati kepada siswa/siswi kelas VIIIB SMP Negeri 10 Medan yang seluruhnya berjumlah 38 orang. Pada saat tersebut, peneliti juga bertanya kepada guru yang bersangkutan kapankah beliau akan menerapkan cooperative learning dalam proses belajar selanjutnya. Kemudian beliau meresponnya dengan memberi tanggal yang pasti yaitu 9 Maret dimulai pukul 7.30 AM.

Langkah selanjutnya, peneliti mencari 3 orang yang akan membantu peneliti dalam melakukan uji coba pada skala cooperative learning dimana nantinya peneliti mengadakan observasi dibantu oleh tiga orang observer pada saat guru menerapkan cooperative learning di kelas. Ketiga observer tersebut kebetulan berstatus mahasiswa sebanyak 2 orang dan berstatus sarjana pendidikan 1 orang lainnya.

(55)

yang dirancang oleh peneliti. Proses pelaksanaannya pertama peneliti meminta ijin terlebih dahulu pada guru yang akan mengajar di kelas tersebut, setelah mendapatkan ijin masuk untuk mengadakan observasi. Peneliti membagi setiap observer mendapat bagian 2 kelompok dari total 8 kelompok siswa/i sekelas selama dua jam pelajaran. Selanjutnya peneliti membagikan alat ukur observasi

cooperative learning pada masing-masing observer.

Setelah selesai mengadakan observasi peneliti membahas hasil observasi tersebut dengan ketiga observer, Langkah-langkah ini yang dilakukan peneliti pada 38 orang siswa/i untuk memperoleh data uji coba dari variabel cooperative

learning. Data uji coba yang diperoleh untuk masing-masing variabel, diolah

untuk menentukan aitem-aitem mana saja yang dapat dijadikan alat ukur dalam penelitian.

2. Pelaksanaan Penelitian

Setelah alat ukur diujicobakan, selanjutnya dilakukan penelitian terhadap sampel penelitian dengan menggunakan aitem-aitem yang diterima dari alat ukur yang telah diujicobakan sebelumnya. Penyebaran skala dan observasi mulai dilakukan dari tanggal 27 – 31 Maret 2008. Pertama, skala empati disebar kepada 39 orang siswa yang terlibat sebagai subyek penelitian.

(56)

meminta ijin terlebih dahulu pada guru yang akan mengajar di kelas tersebut. Setelah selesai mengadakan observasi, peneliti membahas hasil observasi tersebut dengan ketiga observer.

3. Tahap Pengolahan Data

Pengolahan data penelitian ini seluruhnya menggunakan bantuan program komputer SPSS 13.0 for windows.

H. Metode Analisis Data

Sebelum menguji hipotesis dengan menggunakan statistika parametrik, maka dilakukan uji asumsi yaitu uji normalitas dan uji linearitas (Hadi, 2000).

1. Uji Normalitas

Uji normalitas sebaran dimaksudkan untuk menguji apakah data yang dianalisis sudah terdistribusi sesuai dengan prinsip–prinsip distribusi normal agar dapat digeneralisasikan terhadap populasi. Uji normalitas sebaran pada penelitian ini dilakukan untuk membuktikan bahwa data semua variabel yang berupa skor–skor yang diperoleh dari hasil penelitian tersebar sesuai dengan kaidah normal. Pada penelitian ini Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov dengan bantuan SPSS 13.0 for

windo ws. Kolmogorov-Smirnov adalah suatu uji yang memperhatikan tingkat

kesesuaian antara distribusi serangkaian harga sampel (skor yang diobservasi) dengan suatu distribusi teoritis tertentu. Kaidah normal yang digunakan adalah

(57)

2. Uji Linearitas

(58)

BAB IV

ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan menguraikan analisa dan pembahasan sesuai dengan data yang diperoleh. Pembahasan diawali dengan memberikan gambaran subyek penelitian, hasil utama penelitian dan deskripsi hasil penelitian.

A. Gambaran Subyek Penelitian

Populasi penelitian ini adalah siswa/i kelas VIII SMP Negeri 10 Medan yang berjumlah 350 orang (9 kelas). Dari 350 orang siswa/i terpilih 39 orang subyek sekelas yang memenuhi karakteristik populasi penelitian.

Dari 39 orang yang terpilih, diperoleh gambaran subyek berdasarkan jenis kelamin, dan usia.

1.Gambaran Subyek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan jenis kelamin subyek penelitian maka diperoleh gambaran penyebaran subyek penelitian seperti yang tertera pada tabel 7.

Tabel 7. Gambaran Subyek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin Jumlah (N) Persentase (%)

Pria 12 31 %

Wanita 27 69 %

Total 39 100

(59)

2.Gambaran Subyek Penelitian Berdasarkan Usia

Berdasarkan usia subyek penelitian maka diperoleh gambaran penyebaran subyek penelitian seperti yang tertera pada tabel 8.

Tabel.8 Gambaran Subyek Penelitian Berdasarkan Usia Usia (Tahun) Jumlah (N) Persentase (%)

13 32 82 %

14 7 18 %

Total 39 100%

B. Hasil Penelitian

Berikut ini akan dipaparkan hasil analisa data berupa kategorisasi data penelitian, uji asumsi yang meliputi uji normalitas dan linearitas, hasil pengolahan data hubungan antara empati dengan cooperative learning, dan deskripsi hasil penelitian.

1. Hasil Utama Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk melihat apakah ada hubungan antara empati dengan cooperative learning. Berdasarkan hasil uji asumsi didapat bahwa data penelitian variabel empati dan cooperative learning terdistribusi normal namun hubungannya tidak linear. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah korelasi Pearson Product Moment dengan bantuan SPSS 13.0 for windows.

Tabel 9. Hasil Olah Data Korelasi Pearson Product Moment

Empati Cooperative Learning

Empati Pearson Correlation

(60)

Berdasarkan hasil pengolahan data pada tabel 9 diperoleh nilai korelasi (r) sebesar 0.240 dengan taraf signifikansi (p) sebesar 0.141 sehingga p>0.05. Hal ini berarti hipotesa nol (Ho) diterima yang menunjukkan ada hubungan yang tidak

signifikan antara empati dengan cooperative learning. 2. Hasil Uji Asumsi

a. Uji Normalitas

Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah distribusi data penelitian masing-masing variabel telah menyebar secara normal. Untuk mengukur normalitas digunakan Kolmogorov-Smirnov. Hasil uji normalitas dengan menggunakan Kolmogorov-Smirnov adalah sebagai berikut :

Tabel 10. Uji Normalitas dengan Kolmogorov-Smirnov

Empati Cooperative Learning Kolmogorov-Smirnov (Z) 0.585 0.770

Signifikansi (p) 0.884 0.594

Penelitian ini menggunakan taraf kepercayaan ( ) 0.05. Apabila nilai p>

maka masing-masing data penelitian telah terdistribusi dengan normal. Sedangkan

jika p< maka masing-masing data penelitian tidak terdistribusi dengan normal.

Berdasarkan data pada tabel 12 dapat dilihat bahwa nilai sebaran normal (Z) masing-masing variabel sebesar 0.585 dan 0.770 dengan p>0.05 (p=0.884 dan 0.594), maka dapat disimpulkan bahwa data penelitian telah terdistribusi dengan normal.

b. Uji Linearitas

(61)

dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang linear antara variabel empati dengan cooperative learning.

Selain dengan bantuan metode statistik uji F, hasil uji lineritas juga dapat diketahui melalui analisa grafik. Hasil analisa grafik dapat dilihat pada gambar 1. berikut ini :

Gambar 1. Grafik Linearitas Antara Empati dengan Cooperative Learning

3. Kategorisasi data penelitian

(62)

Tabel. 11 Deskripsi Kategorisasi Variabel Empati dan Cooperative Learning.

Variabel Skor Empirik Skor Hipotetik

Min Maks Mean SD Min Maks Mean SD Empati 112 147 124.51 7.42 39 156 97.5 19.5

Cooperative Learning

46 63 55.67 4.79 21 63 42 7

Berdasarkan tabel 11 diperoleh skor empirik dan skor hipotetik. Skor empirik merupakan skor yang didapat di lapangan. Mean empirik pada variabel empati 124.51 dengan standar deviasi empirik sebesar 7.42. Mean empirik variabel

cooperative learning didapat sebesar 55.67 dengan standar deviasi empirik

sebesar 4.79.

Sedangkan skor hipotetik merupakan skor yang diharapkan dapat dicapai oleh sampel penelitian. Hasil mean hipotetik untuk variabel empati didapat sebesar 97.5 dengan standar deviasi sebesar 19.5. Mean hipotetik untuk variabel

cooperative learning didapat sebesar 42 dengan standar deviasi sebesar 7.

Setelah perhitungan skor empirik, maka hasil tersebut dimasukkan kedalam rumus kriteria jenjang pengkategorian yang ditampilkan dalam tabel 12 berikut ini:

Tabel 12. Kriteria Jenjang Kategorisasi Variabel Empati dan Cooperative Learning

Variabel Jenjang kategorisasi

(63)

Berdasarkan tabel 12. data empirik diketahui bahwa subyek penelitian pada variabel empati yang tergolong ke dalam kategori tinggi sebanyak 4 orang (10 %), kategori sedang sebanyak 30 orang (77 %), kategori rendah sebanyak 5 orang (13%). Subyek penelitian pada variabel cooperative learning yang tergolong ke dalam kategori tinggi sebanyak 10 orang (26 %), kategori sedang sebanyak 22 orang (56 %), kategori rendah sebanyak 7 orang (18 %).

Setelah mengetahui pengkategorisasian kedua variabel penelitian, hasilnya dapat dimasukkan ke dalam tabel penyebaran variabel dalam bentuk matriks kategori yang ditunjukkan pada tabel 13.

Tabel 13. Matriks Kategorisasi Variabel Empati dengan Cooperative Learning

CL

Rendah Sedang Tinggi

E Rendah 3 8 % 2 5 % 0 0 %

Sedang 4 10 % 20 51 % 6 16 %

Tinggi 0 0 % 0 0 % 4 10 %

39 (100%)

Keterangan: E = Empati

CL = Cooperative Learning

Berdasarkan data empirik diketahui bahwa hasil kombinasi variabel yang memiliki persentase terbesar terlihat pada Empati pada kategori sedang dengan

Cooperative Learning pada kategori sedang yaitu 51 %. Kedua diduduki oleh

(64)

Keenam diduduki oleh Empati kategori rendah dengan Cooperative Learning kategori tinggi yaitu 0 %, Empati kategori tinggi dengan Cooperative Learning kategori sedang yaitu 0 %, Empati kategori rendah dengan Cooperative Learning kategori tinggi yaitu 0 %.

C. Pembahasan

Hasil penelitian pada sampel siswa kelas VIII A SMP Negeri 10 Medan diperoleh nilai R = 0.147 dengan p = 0.371 (p>0.05). Hal ini berarti hipotesa nol (Ho) diterima yang menunjukkan ada hubungan yang tidak signifikan antara empati dengan cooperative learning. Stahl (1994) mengatakan bahwa pola hubungan kerja model pembelajaran cooperative learning memungkinkan timbulnya persepsi yang positif tentang apa yang dapat mereka lakukan untuk berhasil berdasarkan kemampuan dirinya secara individual dan sumbangsih dari anggota lainnya selama mereka belajar secara bersama-sama dalam kelompok.

Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa empati hanya memberikan kontribusi sebesar 3.7 % dalam menjelaskan cooperative learning. Dengan demikian, sisanya yakni 96.3 % cooperative learning pada siswa kelas VIII SMP Negeri 10 Medan dipengaruhi oleh faktor-faktor lain.

(65)

interpersonal di antara sesama anggota harus ditumbuhkan oleh guru sehingga kelompok belajar dapat bekerja dan belajar secara produktif (Solihatin, 2008).

(66)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini berisi kesimpulan dan saran berdasarkan data yang telah diuraikan pada bab sebelumnya.

A. Kesimpulan

Berdasarkan pada hasil analisa data penelitian yang diperoleh peneliti maka diperoleh kesimpulan dari penelitian ini sebagai berikut:

1. Hasil Utama Penelitian

a. Berdasarkan hasil korelasi Pearson Product Moment diperoleh hasil

penelitian bahwa nilai korelasi (r) sebesar 0.240 dengan taraf signifikansi

(p) sebesar 0.141 sehingga p>0.05. Hal ini berarti hipotesa nol (Ho) diterima yang menunjukkan ada hubungan yang tidak signifikan antara empati dengan cooperative learning.

b. Data empirik empati menunjukkan bahwa subyek penelitian yang tergolong kedalam kategori tinggi sebanyak 4 orang (10 %), kategori sedang sebanyak 30 orang (77%), kategori rendah sebanyak 5 orang (13 %).

Gambar

Gambar 1.  Grafik Linearitas Antara Empati dengan Cooperative Learning...51
Tabel 1. Blue Print Aspek-aspek Skala Empati Favorable Unfavorable
Tabel 2. Blue Print Pedoman Pelaksanaan Observasi  Cooperative Learning
Tabel 3. Distribusi Aitem-aitem Hasil Uji Coba Skala Empati Aspek-aspek Favorable Unfavorable Jumlah
+7

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu metode pembelajaran yang dapat membuat siswa lebih aktif adalah metode cooperative learning tipe cooperative script, di mana cooperative learning adalah suatu

Pada bab II landasan teori yang berisi meliputi penelitian terdahulu, kerangka pemikiran meliputi pengertian membaca, tujuan membaca, jenis-jenis membaca, kemampuan membaca

Berdasarkan pada kerangka pemikiran yang telah diuraikan di atas secara umum hipotesis penelitian ini dirumuskan “Terdapat Pengaruh Kompetensi Guru dan Fasilitas

Untuk menjawab hipotesis penelitian yang telah dirumuskan bahwa terdapat pengaruh model Cooperative Learning teknik STAD terhadap hasil belajar siswa pada

Berdasarkan landasan teoretis dan kerangka konseptual yang telah dikemukakan,penulis merumuskan hipotesis penelitian ini adalah ada pengaruh metode outdoor learning

Berdasarkan kerangka penelitian yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian ini adalah Penerapan model pembelajaran CLIS ( Children Learning In Science

Hasil yang diperoleh dari pengujian hipotesis dalam penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara empati dengan komitmen profesi pada

Hasil yang diperoleh dari pengujian hipotesis dalam penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara empati dengan komitmen profesi pada